Matematika Modern Versus Matematika Realistik Oleh: Endang Mulyana Th. 2003 A. Latar Belakang Masalah Pemberlakuan Kurikulum tahun 1975 di tiap tingkatan sekolah, mulai Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), terjadi suatu perubahan yang sangat mendasar untuk mata pelajaran matematika. Pada kurikulum sebelumnya, di SD disebut mata pelajaran Berhitung, di SMP mata pelajaran terdiri dari dua mata pelajaran yaitu Aljabar dan Ilmu Ukur. Sedangkan di SMA mata pelajaran matematika terdiri dari mata pelajaran Aljabar, Ilmu Ukur Analitik, Ilmu Ukur Sudut, dan Ilmu Ukur Ruang. Pengajaran matematika pada Kurikulum 1975 identik dengan pengajaran matematika modern atau matematika baru.
Ruseffendi (1990)
memandang pembaharuan pengajaran matematika dari tradisional ke matematika modern, sebagai suatu revolusi dalam pengajaran matematika, sebab dalam waktu yang relatif singkat wajah pengajaran matematika telah berubah. Menurut Ruseffendi (1990) pengajaran matematika matematika modern memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Memuat topik-topik, dan pendekatan baru 2. Penekanan pengajaran lebih diutamakan kepada pengertian daripada kepada hafalan dan keterampilan berhitung. 3. Program matematika SD dan SL lebih kontinu 4. Pengenalan penekanan pengajaran kepada struktur 5. Programnya dapat melayani kelompok anak-anak yang kemampuannya lebih heterogen. 6. Program baru menggunakan bahasa yang lebih tepat 7. Pusat pengajaran lebih diutamakan kepada murid, tidak lagi kepada guru 8. Metode mengajar yang dipergunakan lebih banyak dipergunakan metode menemukan, pemecahan masalah, dan tekniknya diskusi. 9. Pengajaran matematika modern lebih hidup dan menarik.
2 Dalam pengajaran matematika, Belanda mengaku negaranya tidak terpengaruh oleh gerakan Matematika Modern, mereka mengembangkan pengajaran matematika sendiri yang disebut Realistic Mathematics Education (RME) (Goffree dan Dolk, 2000). RME dikembangkan atas dasar tiga prinsip, yaitu; (1) Guided reinvention through progressive mathematizationa, (2) didactical phenomenology, dan (3) self-develoved models (Zulkardi, 2001). Belanda mengaku sukses dengan program RME. Siswa yang melakukan pembelajaran matematika dengan RME memiliki skor yang lebih tinggi dengan siswa yang pembelajarannya melalui pendekatan tradisional dalam hal keterampilan berhitung, lebih khusus lagi dalam aplikasi. Sementara penelitian di beberapa negara, setidaktidaknya RME membuat: Matematika lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak terlalu formal dan tidak
terlalu abstrak
Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa
Menekankan belajar matematika pada ‘learning by doing’
Memfasilitasi penyelesaian masalah matematika dengan tanpa menggunakan penyelesaian (algoritma) yang baku. Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika (Turmudi,
2000).
Para penggagas dan pendukung RME lebih menekankan perbedaan antara RME dengan matematika modern, serta lebih banyak mengungkapkan kelebihan RME dan kelemahan matematika modern (Treffer, 1991; de Lange, 2000). Pada kesempatan ini penulis akan mencoba melakukan kajian tentang perbedaan dan persamaan di antara keduanya. Kajian ini dibatasi dalam aspek historis munculnya matematika modern dan RME, pandangan tentang hakekat matematika serta prinsip dan karaterisitik masingmasing.
3 B. Pembahasan 1. Historis Secara historis, matematika modern muncul dipicu karena persaingan antara blok Barat merasa terpukul oleh kemajuan teknologi blok Timur. Untuk menghadapi blok Timur, blok Barat memerlukan banyak ilmuwan-ilmuwan yang handal dalam memajukan teknologinya. Matematika sebagai salah satu ilmu dasar dalam mendukung teknologi perlu direstrukturisasi baik dari segi materi (content) maupun pembelajarannya (Ruseffendi, 1988; Wahyudin, 1999). Melalui pembelajaran matematika modern Amerika (blok Barat) cukup berhasil menghasilkan banyak ilmuwan dan mengembalikan kejayaan mereka dalam memimpin teknologi. Keberhasilan Amerika dengan matematika modernnya tidaklah sempurna, pembelajaran matematika modern lebih mendorong orang-orang yang berbakat saja. Sementara para siswa yang kurang berbakat, prestasi belajarnya dalam matematika malah lebih terpuruk (Ruseffendi, 1988). Hal ini sangat masuk akal, walaupun matematika diberikan melalui pendekatan spiral dan disesuaikan dengan tahap berpikir anak, namun karakteristik matematika modern menuntut kemampuan yang tinggi untuk menguasainya. Sementara itu RME, merupakan salah satu jawaban dari tantangan yang berbeda. Kebutuhan dan penggunaan matematika dan persaingan global khususnya dalam bidang ekonomi di era teknologi dan informasi ini hampir di setiap sektor kehidupan kita dituntut
untuk
menggunakan
keterampilan
intelegen
dalam
menginterpretasi,
menyelesaikan suatu masalah, ataupun untuk mengontrol proses komputer. Kebanyakan lapangan kerja belakangan ini menuntut kemampuan menganalisis daripada melakukan keterampilan prosedural dan mekanistik. Dengan demikian, siswa memerlukan lebih banyak matematika untuk menjawab tantangan dunia kerja. Tetapi jawaban atas kebutuhan di atas bukan hanya melahirkan RME saja, Jepang sejak awal tahun 90-an mengembangkan ‘open-ended’ yaitu pendekatan yang menekankan pada soal-soal konstektual yang mempunyai banyak solusi dan strategi (Zulkardi, 2001). Dipandang dari konteks menjawab
permasalahan masing-masing, kedua
pandangan matematika di atas tidak perlu dipertentangkan, bahkan untuk menjawab tantangan ke depan dalam pendidikan matematika sekolah maupun pengembangan keilmuan matematika itu sendiri kedua pandangan tersebut saling melengkapi. Pendidikan matematika sekolah untuk semua siswa diarahkan untuk menjadi problem
4 solver pada kehidupan sehari-hari, sementara untuk siswa tertentu yang akan menekuni dunia ilmu baik dasar maupun terapan tentu diperlukan matematika sebagai subject matter untuk mendukung pengembangan keilmuannya. Kebiasaan melakukan aktivitas matematisasi dapat mendukung dalam melakukan penemuan-penemuan pengetahuan baru. 2. Hakekat Matematika Sejalan dengan historisnya, menurut Reys dkk (1984) yang berkepentingan dalam gerakan matematika baru adalah para ilmuwan sehingga tidak mengherankan jika matematika yang dikembangkan dalam kurikulum bersifat abstrak, aksiomatik, akurat, mengutamakan kepada struktur dan generalisasi (dalam Ruseffendi, 1990). Pengajaran matematika modern memandang matematika sebagai ‘... ilmu tentang struktur yang terorganisasi mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat dan akhirnya ke dalil; ... (Ruseffendi, 1988, h. 261). Pandangan ini dikenal dengan sebutan pandangan strukturalistik, dan orientasi pembelajaran ini adalah subject matter yang didasarkan atas teori himpunan. Proses matematimatisasi berawal tingkat aritmetik formal, tetapi agar anak dapat menerima gagasan-gagasan matematika dilakukan kongkritisasi operasi dan
struktur melalui benda-benda kongkrit. Hal ini
merupakan proses matematisasi vertikal, sementara masalah nyata bukan bagian yang esensial dalam pembelajaran aritmatika (Treffer, 1991). RME dikembangkan atas pandangan Freudenthal dimana matematika harus dihubungkan dengan realitas dan matematika sebagai aktivitas manusia. Matematika harus dekat dengan siswa dan harus dikaitkan dengan situasi kehidupan sehari-hari, serta siswa harus diberi kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas matematisasi pada semua topik dalam matematika (Zulkardi, 2001). Hersh (dalam Dossey, 1992) menyatakan bahwa matematika adalah membuat (making)
mengetahui (knowing)
matematika. Sedangkan karakter pembuatan
(making) matematika adalah aktivitas yang kreatif atau proses generatif. Matematika merupakan gagasan-gagasan. Bukan coretan pensil atau kapur, bukan segitiga yang bersifat fisik atau himpunan-himpunan yang bersifat fisik, tetapi gagasan (yang mungkin direpesentasikan melalui yang bersifat fisik). Sifat-sifat pokok dari aktivitas matematika atau pengetahuan matematika diketahui dari pengalaman sehari-hari adalah sebagai berikut: (1) Obyek-obyek matematika ditemukan atau diciptakan oleh manusia;
5 (2) Matematika diciptakan tidaklah sembarangan, tetapi muncul dari aktivitas dengan obyek-obyek matematika yang telah ada, dan dari kebutuhan ilmu pengetahuan dan kehidupan sehari-hari; (3) Waktu diciptakan, obyek-obyek matematika mempunyai sifat-sifat yang ditetapkan dengan tepat. Pandangan Hersh di atas, menampung kedua pandangan
antara RME dan
matematika modern. Bagi siswa yang segera memasuki dunia kerja pembelajaran matematika lebih diarahkan kepada proses aktivitas yang kreatif dalam memecahkan masalah, sementara bagi siswa yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi dalam memecahkan masalah-masalah yang canggih untuk mendukung aktivitas kreatifnya diperlukan penguasan matematika termasuk strukturnya. Muncul pertanyaan, mengapa RME dalam proses matematisasinya tidak melibatkan konsep-konsep yang ada dalam matematika modern ? Menurut hemat penulis alangkah baiknya (kalau memungkinkan) kita dapat mencoba mengembangkan pembelajaran dengan pendekatan realistik untuk mengarahkan siswa pada konsep-konsep matematika modern yang esensial. 3. Prinsip RME dan Karakteristik Matematika Modern Berdasarkan prinsip yang dianut RME yang telah dikemukakan pada awal tulisan ini, tidaklah bertentangan. Prinsip yang pertama mengarhkan siswa untuk diberi kesempatan mengalami sendiri proses yang sama saat matematika ditemukan dan menginspirasikan menggunakan prosedur informal dengan menggunakan situasi nyata yang mengandung matematika. Prinsip kedua fenomena yang dijadikan bahan haruslah berangkat dari keadaan nyata bagi siswa sebelum mereka mencapai tingkatan formal. Sedangkan prinsip ketiga, siswa diarahkan membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah (Zulkardi, 2001). Pengajaran yang lebih mengutamakan kepada siswa dan metode mengajar lebih banyak dipergunakan metode penemuan, pemecahan masalah dengan teknik diskusi sejalan dengan prinsip-prinsip RME. Demikian dengan hasil penelitian RME di beberapa negara, yang menjadi perbedaan yang mencolok adalah tentang menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran atau keharusan
6 menggunakan situasi nyata dalam memulai pembelajaran. Dalam matematika modern hal itu bukan tidak ada, tetapi sangat sedikit dan tidak menjadi perhatian yang utama. Di pihak lain beberapa karakteristik matematika modern kurang mendapat perhatian RME, seperti: (1) topik-topik baru (himpunan, peluang), (2) kontinuitas program matematika SD dan SL, (3) menggunakan bahasa yang lebih tepat, dan (4) penekanan pengajaran pada struktur. Hingga saat ini sumber-sumber buku ajar RME lebih banyak mengetengahkan matematika SD, penulis belum menemukan buku-buku ajar RME untuk SL atau Perguruan Tinggi (PT). Apakah bahasa (istilah/notasi) yang digunakan sembarangan saja atau mengikuti aturan tertentu? Demikian pula dengan kajian-kajian tentang relevansi antara program matematika SD dan matematika SL maupun PT. Ditinjau dari segi psikologi pembelajaran, baik matematika modern maupun RME, keduanya berangkat dari psikologi konstruktivisme. Siswa belajar dengan mendekati setiap persoalan/tugas baru dengan pengetahuan yang telah ia miliki (prior knowledge), mengasimilasi informasi baru, dan membangun pengertian sendiri. Konstruksi pengetahuan adalah suatu proses perubahan meliputi penambahan, penciptaan, modifikasi, penghalusan, restrukrisasi, dan penolakan. Siswa membangun pengertian dan memperoleh pengetahuan baru melalui konstruksi untuk dirinya sendiri dan membagi pengertian satu sama lain melalui proses negosiasi, re-konseptualisasi struktur pengetahuan awal (Hadi, 2002). Ernest (1991) menyatakan bahwa pengetahuan matematika merupakan suatu konstruksi sosial yang mengakui matematika sebagai bahasa, aturan dan kesepakatan manusia yang memainkan peran sebagai peran kunci dalam menetapkan dan menjustifikasi kebenaran matematika. Hal ini mengimplikasikan bahwa program matematika di tingkat yang lebih tinggi mengarah kepada matematika formal yang terstruktur, apakah RME memperhatikannya ? Apabila pembelajaran matematika menurut RME, dalam matematisasi vertikalnya kurang menghiraukan bahasa yang tepat, notasi yang universal dan struktur matematika, justru yang telah ada, maka kemungkinan terperosok ke dalam matematika mekanistik. Dari diagram ‘empat arah’ dari Treffer pada Gambar 1. RME mengarah kepada dua kemungkinan, yaitu mekanistik atau strukturalistik. Sementara itu menurut hemat penulis
7 konsep himpunan merupakan salah satu konsep dasar dalam matematika sekarang. Apabila RME dalam pendidikan matematika tingkat lanjut tidak melibatkan konsep himpunan atau konsep-konsep dasar lainnya dalam matematika modern, maka RME kurang relevan untuk mengembangkan matematika lanjut. Atau adakah struktur matematika masa kini yang tidak melibatkan konsep-konsep matematika modern ?
formal
models Mechanistic
Strukturalistic
informal context-bound
Empiristic
Realistic
Gambar 1: Empat arah (Treffer, 1991, h.34).
C. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Matematika modern dan RME masing-masing muncul dari permasalahan yang berbeda. Permasalahan yang melatarbelakangi RME tidak saja mendorongnya RME tetapi ada yang lain seperti pembelajaran matematika open-ended.
8 2. Hakekatnya matematika adalah ilmu struktur yang terorganisasikan, tetapi tidak statis, berkembang secara dinamis melalui konstruksi sosial dan memungkinkan untuk dilakukan restrukturisasi. 3. RME mengharuskan awal setiap pembelajaran dengan situasi nyata, sementara matematika modern kurang menghiraukannya. 4. RME dalam matematisasi vertikalnya tidak mengarahkan kepada matematika yang telah ada (yang diketahui penulis), hal ini akan membawa ke matematika mekanistik. D. Daftar Pustaka
Dossey, A. J. (1992). The nature of mathematics: Its role and its influence. Dalam Grouws D. A. (Ed.) Handbook of research on mathematics teaching and learning. (h. 39-48). New York: Macmillan Publishing Company. Ernest, P. (1991). The philosophy of mathematics education. London: The Falmer Press. Goffre, F. & Dolk, M. (2000). Standards for mathematics education, Dalam de Lange, J. (Ed.) The Freudenthal Institute CD-Rom. The 9th International Congress on Mathematical Education (ICME9) in Japan. Hadi, S. (2002). Effective teacher professional development for the implementation of realistic mathematics education in Indonesia. Thesis University of Twente: tidak diterbitkan. Ruseffendi, E.T. (1990). Pengajaran matematika modern dan masa kini untuk guru dan PGSD D2. Seri Pertama. Bandung: Tarsito. Ruseffendi, E.T. (1988). Pengantar kepada membantu guru mengembangkan kompetensinya dalam pengajaran matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Treffers, A. (1991). Didactical background of a mathematics program for primary education. Dalam Streefland, L. (Ed.) Realistic mathematics education in primary school. Utrecht: Freudenthal Institute. Wahyudin, (1999). Kemampuan guru matematika, calon guru matematika, dan siswa dalam mata pelajaran matematika. Disertasi Doktor pada FPS IKIP Bandung:
9 diterbitkan. Zulkardi, (2001). Realistic Mathematics Education (RME) dan contoh pengajarannya pada ‘Aljabar Leinear’ di Sekolah Menengah. Makalah disajikan pada Seminar Aljabar VI Unpar Bandung.
ilmu bekesuksesanakanbelajar denganSementara matematikadamenjawab tantangan apa yang lebih (dalam kaitan matematika untuk semSebagai contohbaik untuk yang menjadi pertanyaanKedua pandangan iniPandanganDari uraian di atasPenulisnamun demikia Maslah nytamaterial (benda) dikongkritkanterhanya saja dari dunia keilmuan/teknologi yang
kurang familiar dengan dunia anak. sehing.keilmuansering ye
‘suatu Dalam
matematikaAdapupembelajatanDi samping itu terjadi pula pergeseran pandangan dalam memahami bagaimana siswa belajar matematika. Belajar tidak lagi dipandang sebagai proses menerima informasi untuk disimpan di memori siswa yang diperoleh melalui pengulangan praktek (latihan) dan penguatan. Dengan asumsi bahwa matematika itu sebagai aktivitas manusia, realitas yang ada di lingkungan siswa dipandang sebagai awal tepat untuk melakukan belajar matematika. Hal ini tercermin dari prinsip-prinsip dasar RME sebagai berikut:
prinsip aktivitas
prinsip realitas
10
prinsip tahapan
prinsip keterkaitan
prinsip interaksi
prinsip bimbingan
1. Konsepsi Pembelajar dan Pembelajaran
Setiap pembelajar membawa konsepsi sebelumnya dalam menuju pengalaman pendidikan, yang sangat berpengaruh pada pembelajaran berikutnya. Pembelajaran memiliki suatu himpunan konsepsi pilihan yang tersebar tentang gagasan-gagasan matematika yang mempengaruhi pembelajaran selanjutnya.
Setiap pembelajar bertanggung jawab atas pembelajarannya. pengetahuan baru pembelajar dikonstruksi untuk dirinya sendiri berdasarkan pengalaman-pengalaman awalnya.
2. Setiap pembelajar meyakini bahwa keberhasilan dalam belajar dengan pemahaman dapat dicapai. Dengan kata lain semua siswa, tanpa 3. RME dan realitas kehidupan sekolah
C. Matematika Realistik
D. Pembahasan menghiraukan ras, budaya, dan jender memiliki kemampuan memahami dan mengerjakan (doing) matematika.
4. Konsepsi Materi (content) 5. Konsepsi Guru Dan Pengajaran Konsepsi Ketertekaitan (context) E. Kesimpulan Ciri-ciri Matematika Modern (Ruseffendi, 1988): 1. Mengutamakan kepada pengertian dan menggunakan metode penemuan 2. Memuat materi (konten) matematika baru 3. Matematikanya ialah matematika deduktif 4. Ketat atau akurat 5. Bahasanya lebih ditepatkan
11 6. Mengutamakan kepada struktur
Menurut Ruseffendi (1999), matematika modern memiliki enam ciri utama yaitu:
Mengutamakan kepada pengertian dan menggunakan metode penemuan
Memuat materi matematika baru
Matematikanya ialah matematika deduktif
Ketat dan akurat
Bahasanya lebih ditepatkan
Mengutamakan kepada struktur Ciri-ciri Matematika realistik