BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengambilan dan Preparasi Sampel Pengambilan sampel dilakukan di wilayah intertidal Pantai Sayang Heulang, Garut Selatan, Jawa Barat saat air laut sedang surut, sekitar pukul 09.0010.30 WIB. Di pantai Sayang Heulang, lokasi rumput laut terletak setelah komunitas lamun yang cukup luas (Gambar 16). Kondisi perairan di Pantai Sayang Heulang cukup baik karena airnya cukup jernih serta tidak terlihat ada sampah di wilayah intertidal dan pantai. Terdapat beberapa jenis rumput laut yang berada di Pantai Sayang Heulang, diantaranya Gracilaria sp., Sargassum sp., Ulva sp., Euchema sp. dan lain-lain. Pengambilan sampel rumput laut dilakukan dengan cara mengambil langsung dari substratnya menggunakan tangan di daerah intertidal yang tergenang air. Hal ini agar meminimalisir rusaknya metabolit sekunder akibat terlalu lama terpapar sinar matahari. Pengambilan saat air laut sedang surut bertujuan agar lebih memudahkan peneliti saat pengambilan sampel karena ombak di pantai Sayang Heulang sangat deras.
Gambar 16. Pantai Sayang Heulang, Garut Selatan, Jawa Barat
Masing-masing jenis sampel dimasukkan ke dalam plastik zipper yang kemudian dimasukkan ke dalam cool box yang telah diisi oleh es agar saat rumput
38
39
laut dibawa ke laboratorium masih dalam keadaan segar. Sampel yang telah diambil dari Pantai Sayang Heulang, Garut segera dimasukkan ke dalam freezer pada suhu -20oC. Sampel yang akan digunakan untuk uji fitokimia dicuci dan dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel dengan air ledeng. Setelah bersih kemudian sampel segar direndam dengan aquades sebentar sebagai bilasan terakhir. 4.2 Uji Fitokimia Sampel yang telah bersih dipotong kecil-kecil menggunakan pisau kemudian diblender sampai halus. Sampel Sargassum crassifolium setelah diblender berbentuk seperti bubur sedangkan Gracilaria coronopifolia masih berbentuk agak kasar dan butirannya lebih besar daripada Sargassum crassifolium. Sampel yang telah halus kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitik seberat 5 gram sebanyak untuk 7 macam uji fitokimia yaitu ; Uji Alkaloid, Flavonoid, Fenolik, Fenol Hidroquinon, Tanin, Saponin, Steroid dan Triterpenoid. Berdasarkan uji fitokimia yang dilakukan pada rumput laut Sargassum crassifolium dan Gracilaria coronopifolia diperoleh hasil kandungan metabolit sekunder yang disajikan pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia Sampel Segar Sargassum crassifolium dan Gracilaria coronopifolia Sampel Uji Sargassum crassifolium Gracilaria coronopifolia Alkaloid Flavonoid HCl ++ +++ H2SO4 2N +++ + NaOH 10% + + Fenolik ++ Saponin Tanin FeCl 5% ++ Gelatin +++ + Steroid Triterpenoid Fenol Hidroquinon Keterangan :
(-) negative, (+) positif lemah, (++) positif sedang, (+++) positif kuat
40
Hasil dari uji fitokimia dapat diketahui senyawa yang terkandung pada S.crassifolium dan G.coronopifolia serta berbagai senyawa metabolit sekunder yang dapat dijadikan sebagai agen antipigmentasi dengan cara menginhibisi enzim tirosinase. Pada S.crassifolium terdapat senyawa flavonoid, steroid dan tanin sedangkan pada G.coronopifolia terdapat flavonoid, saponin dan steroid. 4.2.1 Alkaloid Alkaloid merupakan senyawa organik yang ditemukan banyak di alam.Hampir seluruh senyawa alkaloida berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan (Syaputri 2012). Senyawa alkaloid memiliki atom nitrogen dan biasanya bersifat basa (Syaputri 2012). Senyawa alkaloid ini ada yang bersifat toksik namun adapula yang bermanfaat sebagai obat (Syaputri 2012). Identifikasi alkaloid pada penelitian ini menggunakan prosedur KiangDouglas, sampel direndam dengan larutan encer ammonia yang merupakan larutan organik sesuai dengan sifat senyawa alkaloid yang yang larut dalam pelarut organik.Selain itu ditambahkan larutan encer ammonia agar sifat sampel berubah menjadi basa bebas (Nadjeeb 2006). Hasil yang diperoleh kemudian diekstrak menggunakan klorofom. Setelah larutan pekat, kemudian ditambahkan HCl 2N, agar larutan bersifat asam kembali. Langkah terakhir menambahkan beberapa tetes pereaksi meyer (Nadjeeb 2006). Hasil uji kualitatif alkaloid menunjukkan bahwa Sargassum crassifolium dan Gracilaria coronopifolia tidak mengandung senyawa alkaloid karena saat ditambahkan pereaksi meyer tidak terbentuk endapan. Senyawa alkaloid pada umumnya memang tidak ditemukan pada gymnospermae, paku-pakuan, lumut dan tumbuhan rendah (Harborne 1987).
Gambar 17. Hasil Uji Alkaloid (kiri) Sargassum crassifolium (kanan) Gracilaria coronopifolia
41
4.1.2 Flavonoid Uji flavonoid dilakukan pada suasana asam dan basa. Hasil uji flavonoid setelah diberikan HCl pada sampel Sargassum crassifolium menunjukkan hasil positif karena terjadi perubahan warna menjadi oranye sama seperti saat ditambahkan pereaksi H2SO4 2N dan NaOH 10%. Hasil uji flavonoid Gracilaria coronopifolia menunjukkan hasil yang positif pada ketiga pereaksi. Perubahan warna yang terjadi saat ditambahkan pereaksi H2SO4 2N dan NaOH 10% pada G.coronopifolia memang tidak berwarna oranye terang seperti saat ditambahkan HCl, namun masih terjadi perubahan warna menjadi oranye walaupun saat difoto perubahan warna kurang begitu jelas (Gambar 19). Perbedaan warna yang terjadi pada berbagai macam pereaksi dikarenakan adanya perbedaan suasana antara asam dan basa. Dimana, untuk flavonoid pada S.crassifolium dan G.coronopifolia lebih bereaksi pada suasana asam.
Gambar 18. Uji Flavonoid S.crassifolium (kiri-kanan: HCl, H2SO4 2N, NaOH 10%)
Gambar 19. Uji Flavonoid G.coronopifolia (kiri-kanan: HCl, H2SO4 2N, NaOH 10%)
4.2.3 Fenolik Fenolik merupakan senyawa aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksi (-OH). Hasil uji kualitatif fenolik pada Sargassum crassifolium dan Gracilaria coronopofilia tergolong kategori negatif karena saat ditambahkan FeCl 1% Warna larutannya tetap berwarna oranye tidak berubah menjadi biru atau biru kehijauan.
42
Gambar 20. Hasil Uji Fenolik (kiri atas) Gracilaria coronopifolia (bawah) Sargassum crassifolium
4.2.4 Saponin Hasil uji kualitatif saponin, terlihat bahwa S.crassifolium negatif mengandung saponin dan G.coronopifolia positif mengandung saponin. Setelah proses pemanasan kemudian pengkocokkan, larutan Sargassum crassifolium menimbulkan busa yang sedikit hanya 1 cm dan segera menghilang setelah beberapa
saat.
Untuk
sampel
Gracilaria
coronopifolia
setelah
proses
pengkocokkan busa yang timbul cukup tinggi filtrat : busa (1:1). Hasil pengkocokkan, disimpulkan bahwa uji saponin Sargassum crassifolium termasuk kategori negatif (-), sedangkan Gracilaria coronopifolia termasuk kategori positif sedang (++).
Gambar 21. Hasil Uji Saponin (kiri) Sargassum crassifolium (kanan) Gracilaria coronopifolia
4.2.5 Tanin Hasil uji kualitatif tanin pada sampel menujukkan bahwa S.crassifolium mengandung senyawa tanin, karena saat penambahan FeCl 5% warnanya berubah menjadi coklat kehitaman. Sedangkan pada uji dengan penambahan gliserin pada
43
kedua sampel terdapat endapan putih, namun endapan putih ini bukan hasil reaksi gelatin dan sampel melainkan gelatin yang tidak larut dalam sampel (Gambar 22).
Gambar 22. Hasil Uji Tanin (kiri) Penambahan Gliserin (kanan) Penambahan FeCl 5%
4.2.6 Triterpenoid dan Steroid Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C3
0
asiklik, yaitu skualena. Penggunaan pereaksi Lieberman-Burchard (anhidrida asetat-H2SO4 pekat) akan bereaksi dengan kebanyakan triterpena dan sterol dengan terbentuknya warna hijau-biru (Harborne 1987). Hasil uji triterpenoid dan steroid didapatkan bahwa kedua sampel positif mengandung steroid karena terbentuk warna biru kehijauan setelah diteteskan asam sulfat pekat.Pada S.crassifolium warna biru kehijauan tampak sangat jelas oleh karena itu digolongkan kategori positif kuat (+++) sedangkan pada G.coronopofolia warna biru yang terbentuk samar-samar dan digolongkan pada kategori positif lemah (+).
Gambar 23.Hasil Uji Triterpenoid dan Steroid (kiri) Sargassum crassifolium (kanan) Gracilaria coronopifolia
44
4.2.7 Fenol Hidroquinon Hasil uji fenol hidroquinon menunjukkan bahwa kedua sampel baik Sargassum maupun Gracilaria negatif mengandung senyawa karena tidak terjadi reaksi setelah diteteskan FeCl3 5% tidak terbentuk warna biru-hijau dan hanya terbentuk gumpalan berwarna oranye-coklat.
i (kiri) S.crassifolium (kanan) ii(kiri) S.crassifolium (kanan) G.coronopifolia G.coronopifolia Gambar 24. Hasil Uji Fenol Hidroquinon (kiri) Sebelum ditetes FeCl3 5% (kanan) Setelah diteteskan FeCl3 5%
4.3 Ekstraksi dan Rendemen Semua sampel dan kontrol positif yang diekstraksi diberi perlakuan yang sama yaitu maserasi 1x24 jam dengan pengulangan. Pengulangan dilakukan pada residu hasil penyaringan yang kemudian direndam kembali selama 1x24 jam dengan pelarut yang sama seperti yang digunakan pada saat awal maserasi. Setiap sampel dan kontrol positif yang diekstraksi memberikan hasil yang berbeda-beda. 4.3.1
Ekstraksi Pengulangan evaporasi sampel Sargassum crassifolium pada residu hasil
penyaringan yang telah direndam kembali selama 1x24 jam dilakukan sebanyak 2 kali karena saat maserasi yang ketiga, pelarut sudah terlihat hijau bening baik saat dimaserasi menggunakan metanol maupun etil asetat. Saat proses ektraksi tidak ditemukan garam pada filtrat sehingga tidak dilakukan penyaringan berulang. Ekstrak etil asetat S.crassifolium berwarna coklat pekat dengan ektrak kasar berbentuk seperti pasta sedangkan ekstrak metanol S.crassifolium berwarna coklat dan berbentuk seperti pasta namun lebih cair daripada ekstrak etil asetat. Berdasarkan kuantitas hasil ektrak metanol lebih banyak daripada ekstrak etil asetat, hal ini menandakan bahwa pada rumput laut S.crassifolium memiliki lebih
45
banyak kandungan senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar. Sesuai dengan prinsip ekstraksi menggunakan pelarut, yaitu like dissolve like, dimana pelarut akan melarutkan senyawa berdasarkan kepolarannya (Khopkar 1990). Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar sedangkan senyawa semi polar akan tertarik pada pelarut polar dan non polar.Selain itu, metanol secara umum dapat melarutkan kandungan metabolit sekunder dari bahan alam dengan berbagai kepolarannya (Syaputri 2012). Oleh karena itu ekstrak kasar metanol lebih banyak daripada ekstrak kasar etil asetat. Proses pengulangan maserasi pada rumput laut G.coronopifolia dilakukan sebanyak 2x, baik saat maserasi menggunakan metanol maupun etil asetat. Pada proses pengulangan maserasi yang ketiga, filtrat sudah berwarna hijau bening. Proses evaporasi daun Carica papaya dilakukan sampai 3x pengulangan evaporasi karena saat maserasi yang ketiga pelarut masih terlihat pekat. Baru pada pengulangan keempat filtrat berwarna hijau bening. Ekstrak kasar daun Carica papaya sangat pekat, terlihat dari hasil ekstrak yang sangat kental dan padat. Pada hasil evaporasi ekstrak metanol daun Carica papaya menghasilkan dua warna ekstrak yaitu hijau dan coklat. Ekstrak metanol daun Carica papaya yang berwarna coklat ini menghasilkan aroma wangi seperti gula merah namun rasanya sangat pahit. Diduga ekstrak ini merupakan senyawa metabolit sekunder karena terdapat beberapa senyawa metabolit sekunder yang memiliki ciri rasa yang pahit (Harborne 1987). Ekstrak etil asetat daun Carica papaya sangat pekat terlihat dari warnanya yang hijau pekat dan ekstrak daun Carica papaya yang terkena tangan akan sulit untuk membersihkannya dibandingkan dengan ekstrak sampel rumput laut.
46
Gambar 25. Hasil Evaporasi Daun Carica papaya (1)Ekstrak Metanol (2)Ekstrak Etil asetat
Setelah proses evaporasi, masing-masing ekstrak yang diperoleh, dimasukkan ke dalam botol vial yang telah diberi label dan ditimbang sebelumnya, untuk penghitungan nilai rendemen. Ekstrak hasil evaporasi yang kedua maupun ketiga kalinya dimasukkan ke dalam botol vial yang sama dan ditimbang berat akhir botol ditambah ekstrak. 4.3.2 Rendemen Rendemen yang paling banyak didapat dari kontrol positif yaitu Daun Carica papaya oleh pelarut metanol sedangkan hasil rendemen yang paling sedikit didapat berasal dari sampel Sargassum crassifolium oleh pelarut etil asetat. Pada semua sampel ekstrak metanol lebih besar daripada etil asetat, hal ini menandakan pada Sargassum crassifolium, Gracilaria coronopifolia dan Carica papaya terkandung banyak senyawa polar daripada semipolar. Karena prinsip ekstraksi menggunakan pelarut adalah like dissolve like, dimana pelarut akan melarutkan senyawa berdasarkan kepolarannya (Khopkar 1990). Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar sedangkan senyawa semi polar akan tertarik pada pelarut polar dan non polar. Karena metanol bersifat polar dan etil asetat bersifat semi polar maka senyawa yang banyak terkandung pada sampel dan Carica papaya adalah senyawa polar.
47
Berat rata-rata ekstrak metanol yang lebih banyak daripada ekstrak etil asetat kemungkinan dikarenakan metanol memiliki dua gugus, yaitu polar dan non polar. Gugus polarnya adalah OH sedangkan gugus non polarnya adalah CH3 oleh karena itu pelarut metanol dapat juga menarik senyawa non polar. H H
C
O OH O
H
Gambar 26. Struktur Kimia (a) metanol (b) etil asetat Sumber : http:/Wikipedia/
Tabel 5. Rendemen Sampel dan Daun Carica papaya Sampel
Pelarut
Sargassum crassifolium
Gracilaria coronopifolia
Daun Carica papaya
Berat (g) Bahan Ekstrak
Metanol Etil asetat
0,6751
0,6751
0,0781
0,0781
1,2476
1,2476
0,2288
0,2288
4,5636
4,5636
0,9724
0,9724
100
Metanol Etil asetat
Rendemen (%)
100
Metanol Etil asetat
Rumus
100
Persentase rendemen dengan jumlah ekstrak kasar berbanding lurus yaitu semakin banyak ekstrak kasar yang dihasilkan maka semakin besar pula nilai rendemen dari bahan alam. Persentase rendemen mengartikan seberapa banyak kandungan metabolit sekunder yang terkandung pada sampel awal (simplisia). Nilai rendemen untuk masing-masing sampel bila diurutkan dari yang paling tinggi ke paling rendah adalah ekstrak metanol daun Carica papaya 4,5636%, ekstrak metanol Gracilaria coronopifolia 1,2476%, ekstrak etil asetat daun Carica papaya 0,9724%, ekstrak metanol Sargassum crassifolium 0,6751%,
48
ekstrak etil asetat Gracilaria coronopifolia 0,2288% dan terakhir ekstrak etil asetat Sargassum crassifolium 0,0781%. Perbedaan jumlah ekstrak kasar antara ekstrak metanol dan ekstrak etil asetat menandakan bahwa sebagian besar senyawa yang terkandung pada Gracilaria coronopifolia adalah senyawa polar, dimana senyawa polar ini tertarik pada pelarut metanol yang bersifat polar juga. Nilai rendemen yang tertinggi tidak hanya mengindikasikan banyaknya metabolit sekunder yang terdapat pada sampel tetapi dapat mengindikasikan bahwa pada sampel terdapat salah satu senyawa metabolit sekunder yang mendominasi. Pada Sargassum crassifolium mungkin terdapat salah satu senyawa metabolit sekunder polar (flavonoid, tanin atau steroid) yang mendominasi hasil ekstraksi begitupun untuk ekstrak metanol Gracilaria coronopifolia. Walaupun pelarut metanol dapat melarutkan senyawa non polar, namun berdasarkan sifat pelarut like dissolve like maka diasumsikan pelarut metanol akan lebih banyak melarutkan senyawa polar daripada non polar karena pelarut metanol sendiri bersifat polar.Sedangkan untuk esktrak etil asetat diperkirakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat semi polar yang mendominasi hasil ekstrak.
Gambar 27. Hasil Ekstrak Kasar Sampel dan Kontrol Positif (kiri-kanan : G.etil asetat, G.metanol, S.etil asetat, S.metanol, C.etil asetat, C.metanol)
4.4 Perolehan Metabolit Sekunder Dari hasil kualitatif senyawa metabolit sekunder dengan metode uji fitokimia teridentifikasi bahwa S.crassifolium memiliki senyawa metabolit sekunder yang flavonoid, tanin dan steroid, sedangkan G.coronopifolia memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, steroid dan saponin.
49
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar. Namun, masih terdapat senyawa flavonoid yang memiliki kepolaran rendah, seperti yang disebutkan oleh Anderson dan Markham (2006) bahwa isoflavon, flavanon, flavon methyl dan flavonol merupakan senyawa flavonoid dengan kepolaran yang rendah dan dapat diekstraksi menggunakan berbagai macam pelarut salah satunya etil asetat. Pada ekstrak etil asetat S.crassifolium dan G.coronopifolia diduga terkandung senyawa flavonoid yang memiliki kepolaran yang rendah. Sedangkan pada ekstrak metanol S.crassifolium dan G.coronopifolia terkandung pula senyawa flavonoid yang mempunyai kepolaran yang tinggi. 4.5 Uji Aktivitas Enzim Tirosinase Jamur merupakan salah satu mikroba yang dapat menghasilkan berbagai jenis enzim (Wulan 2012). Proses isolasi dan pemurnian enzim pada jamur lebih mudah dilakukan karena enzim pada jamur disekresikan ke luar sel (Wulan 2012). Enzim tirosinase pada jamur menyebabkan perubahan warna menjadi coklat (Wuryanti 2000). Pada penelitian Wuryanti 2000 yang menggunakan sampel Jamur merang (Volavariella volvaceae) menunjukkan aktivitas spesifik enzim tirosinase pada fraksi F2 (10-20%) sebesar 6,020 U/mg. Pada penelitian ini, enzim tirosinase diekstrak dari berbagai jenis jamur, yaitu jamur kancing (Auricuralia sp.), jamur kuping (Agaricus sp.) dan jamur tiram (Pleorotus sp.). Masing-masing jamur segar ditimbang sebanyak 50g lalu dihaluskan menggunakan blender sampai berbetuk seperti bubur bayi. Sampel yang telah halus ditambahkan aseton p.a sebanyak 30 mL sampai homogen. Kemudian filtrat dan residu disaring menggunakan kertas saring. Saat proses pengekstrakan suhu harus dalam keadaan rendah agar enzim yang merupakan untaian protein tidak rusak saat proses ekstraksi. Proses ekstraksi enzim dilakukan pada suhu ruang, namun untuk menjaga suhu tetap dalam keadaan rendah semua proses ekstraksi dilakukan pada nampan yang diberikan es (Lampiran 3). Proses penyaringan pada sampel jamur kuping sangat sukar karena filtrat sangat kental sehingga ditambahkan aseton p.a sebanyak 20 mL agar filtrat yang didapat lebih cair dan dapat disaring. Filtrat yang didapat dari sampel jamur
50
kuping berwarna ungu bening dan memiliki nilai absorbansi 0,216 sedangkan aktivitas unitnya sebesar 0,0039 U/mL (Lampiran 7). Proses ekstraksi dari jamur kancing menggunakan jamur dengan tudung yang berdiameter 2-5 cm. Proses penyaringan pada jamur kancing tidak sesulit pada jamur kuping sehingga perbandingan sampel dan aseton p.a tetap 5 : 3. Setelah proses penyaringan menggunakan kertas saring didapat filtrat sebanyak 2,3 mL dan berwarna putih sedikit keruh. Nilai absorbansi jamur kancing 0,037 dan aktivitas unitnya sebesar 0,0025 U/mL. Jamur tiram yang digunakan untuk ekstraksi enzim tirosinase yaitu jamur dengan tudung yang berdiameter 7- 11 cm. Proses penyaringan jamur tiram menghasilkan paling banyak filtrat dari kedua jenis jamur yang lain, yaitu sebanyak ± 12 mL dengan perbandingan sampel segar dan aseton p.a 5 : 3. Nilai absorbansi jamur tiram adalah 0,646 dan nilai aktivitas unitnya sebesar 0,0066 U/mL. Nilai aktivitas unit enzim tirosinase pada ketiga jenis jamur yang diujikan, jamur tiram memiliki nilai aktivitas tertinggi sebanyak 0,0066 U/mL. Hal ini menandakan jamur tiram akan lebih cepat mengalami pencoklatan daripada jamur kancing dan jamur kuping seperti yang dikatakan Wuryanti (2000) pada penelitiannya bahwa besarnya unit aktivitas enzim tirosinase akan mempengaruhi kecepatan perubahan warna pada sayur dan buah-buahan. Karena jamur tiram memiliki aktivitas unit enzim tirosinase yang paling besar dan proses ekstraksi yang cukup mudah maka untuk tahap uji inhibisi enzim tirosinase akan menggunakan ekstrak enzim tirosinase dari jamur tiram. Tabel 6. Aktivitas Unit Enzim Tirosinase Aktivitas Unit Sampel Nilai Absorbansi Enzim ( U/mL) Jamur Kuping 0,216 0,0039 (Auricularia sp.) Jamur Kancing 0,037 0,0025 (Agaricus sp.) Jamur Tiram 0,646 0,0066 (Pleurotus sp.)
51
Satu aktivitas unit enzim memiliki arti sejumlah ekstrak yang digunakan untuk mengkatalisis reaksi oksidasi 1 µmol L-dopa per menit (Zhang 2006). Nilai aktivitas unit enzim yang terbesar didapat pada jamur tiramsebesar 0,0066 U/mL, jamur kuping 0,0039 U/mL dan terakhir jamur kancing 0,0025 U/mL (Lampiran 7). Berikut adalah gambar nilai aktivitas unit enzim dimulai dari yang memiliki aktivitas unit enzim terbesar sampai terkecil.
Gambar 28. Grafik Aktivitas Unit Enzim Tirosinase
Nilai aktivitas unit enzim terbesar didapat pada jamur tiram, walaupun warna jamur kancing dan kuping lebih coklat daripada jamur tiram yang cenderung berwarna putih. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai aktivitas enzim tirosinase jamur tiram lebih tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan komponen sel pigmentasi jamur tiram lebih cepat terjadi daripada jenis jamur lainnya setelah proses pemanenan. Setelah proses pemanenan, enzim tirosinase dan substrat yang ada pada sel jamur tercampur sehingga terjadi reaksi. Fenol yang merupakan bagian enzim tirosinase yang awalnya tidak berwarna. Setelah bereaksi menjadi quinon kemudian bertransformasi dan terjadi perubahan warna dari tidak berwarna menjadi pink, ke ungu, ke coklat. Kecepatan reaksi pencoklatan (browning) ini bergantung pada kuantitas dan besar aktivitas dari
52
enzim tirosinase yang berkaitan dengan pH dan temperaturoptimal jamur (Nichols 1985 dalam Rai dan Arumugunathan 2008). Warna coklat dan kecoklatan yang dapat dilihat pada jamur kancing dan kuping sebagian besar akibat kerja aktif enzim tirosinase. Tirosin dan DOPA merupakan substrat in vivo untuk enzim tirosinase (Rai dan Arumugunathan 2008), sedangkan pada jamur L-glutaminyl-4-hydroxy benzene (GHB) merupakan substrat alami bagi mushroom tyrosinase (Stussi dan Rast 1981 dalam Rai dan Arumugunathan 2008). Menurut Robb dan Gutteridge (1981) dalam Rai dan Arumugunathan (2008) ditemukan bahwa enzim tirosinase pada Agaricus bisporus (jamur kancing) mengkatalisis monophenols menjadi diphenols yang mana diphenols ini akan teroksidasi menjadi quinon yang kemudian warna polymerase menjadi pigmen coklat yang disebut melanin. Selain enzim tirosinase terdapat pula faktor lain yang dapat menyebabkan warna coklat pada jamur yaitu (i) interaksi reduksi gula, asam amino dan protein (ii) reaksi oksidasi asam askorbat dengan protein atau asam amino (iii) reaksi oksidasi polyunsaturated asam lemak dengan asam amino dan protein serta (iv) karamelisasi gula (Swaminathan 1988 dalam Rai dan Arumugunathan 2008). Menurut Stamets (2005) dalam Rai dan Arumugunathan (2008), kandungan protein jamur A.bisporus Portobello dan A.bisporus Crimni memiliki jumlah nutrisi yang lebih besar dibandingkan jamur yang lainnya. A.bisporus Portobello dan A.bisporus Crimni memiliki masing-masing kandungan protein sebesar 34,44 g/100 g dw dan 33,48 g/100 g dw, kandungan lemak 3,10 g/100 g dw dan 2,39 g/100 g dw serta kandungan gula sebesar 22,70 g/100 g dan 21,90 g/100 g (Lampiran 10), sedangkan Pleorotus ostreatus dan Pleoratus pulmonaris (jamur tiram) memiliki kandungan protein, lemak dan gula yang lebih rendah, yaitu untuk protein sebesar 27,25 g/100 g dw dan 19,23g/100 g dw, kandungan lemak 2,75 g/100 g dw dan 2,70 g/100 g dw serta kandungan gula sebesar 22,30 g/100 g dan 11,80 g/100 g (Lampiran 10). Saat sebelum proses pemanenan mungkin reaksi-reaksi non enzimatis yang paling berpengaruh pada pewarnaan jamur sedangkan setelah proses pemanenan proses enzimatislah yang sangat mempengaruhi perubahan warna, dimana enzim tirosinase diketahui aktif bekerja
53
bila terkena oksigen di udara (Rai dan Arumugunathan 2008). Oleh karena itu, mengapa jamur kancing dan jamur kuping yang berwarna lebih coklat (sebelum pemanenan) memiliki aktivitas unit enzim yang lebih rendah daripada jamur tiram. 4.6 Uji Inhibisi Enzim Tirosinase Inhihibitor enzim merupakan zat yang dapat menghambat kerja enzim sedangkan inhibisi tirosinase merupakan proses penghambatan kerja enzim menggunakan zat inhibitor tirosinase. Aktivitas inhibisi dari ekstrak metanol dan etil asetat dari Sargassum crassifolium, Gracilaria coronopifolia dan daun Carica papaya diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 475 nm. Panjang gelombang 475 nm sesuai dengan prinsip alat yaitu mengukur jumlah unsur berdasarkan jumlah energi cahaya yang diserap oleh unsur tersebut dari sumber cahaya yang dipancarkan serta berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya mengenai enzim tirosinase yang menggunakan panjang gelombang 475 nm. Hal ini berkaitan dengan produk yang ingin diketahui nilai absorbansinya yaitu dopakrom dimana dopakrom memiliki nilai serapan cahaya pada panjang gelombang 475 nm dan dopakrom ini merupakan hasil oksidasi antara L-tirosin dan enzim tirosinase, awal mula proses terbentuknya melanin. Uji inhibisi tirosinase yang pertama menggunakan metode Miyazawa dan Tamura dalam Supriyanti (2009), kemudian dilakukan modifikasi dengan menggunakan konsentrasi 25 μg/mL; 50 μg/mL; 75 μg/mL; 150 μg/mL; 300 μg/mL) dan 100 μL larutan tirosinase dengan pengulangan menghasilkan nilai inhibisi yang tidak berbeda nyata. Hasil yang tidak berbeda nyata ini dimaksudkan bahwa nilai persentase inhibisi dari konsentrasi sampel tidak jauh berbeda, sehingga perubahan yang dihasilkan tidak dapat terlihat. Oleh karena itu pada uji inhibisi kedua konsentrasi sampel diperbesar menjadi 125 μg/mL, 250 μg/mL, 500 μg/mL dan 1000 μg/mL. Pada uji kedua ini, dilakukan pula eksperimen mengenai waktu yang paling optimal dalam menginhibisi enzim tirosinase karena pada uji pertama didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata maka ada
54
kemungkinan bahwa waktu inkubasi belum mencapai optimal. Hasilnya pada sampel dengan proses inkubasi selama ± 1 jam menghasilkan nilai inhibisi yang tidak berbeda nyata, kemudian saat proses inkubasi dinaikkan menjadi ± 1,5 jam, nilai absorbansi yang didapat cukup bagus walaupun masih merupakan nilai yang fluktuatif dan belum mencapai IC50. Karena nilai absorbansi mulai mengalami penurunan maka dicoba menambahkan waktu inkubasi menjadi ± 3 jam dan ± 12 jam dengan tujuan untuk mendapatkan nilai inhibisi yang baik. Hasilnya nilai inhibisi dengan waktu inkubasi selama ± 3 jam menjadi lebih kecil daripada saat diinkubasi selama ± 1,5 jam. Kemudian waktu inkubasi dinaikkan menjadi ± 12 jam untuk mengetahui apakah nilai inhibisi menurun kembali sama seperti saat pengujian nilai inhibisi dengan waktu inkubasi ± 3 jam. Hasilnya nilai inhibisi menjadi lebih kecil, tidak sesuai dengan teori dimana yang seharusnya dengan penambahan ekstrak maka nilai inhibisi menjadi lebih besar. Indikator terjadinya proses inhibisi enzim tirosinase terlihat dari nilai absorbansi. Saat waktu inkubasi ± 12 jam terjadi keunikan, dimana sampel yang diberi konsentrasi hidroquinon berubah warna menjadi coklat, berbeda dengan larutan uji sampel dan kontrol positif ekstrak daun Carica papaya, warna larutan uji tetap berwarna kuning bening serta semakin besar konsentrasi hidroquinon semakin pekat pula perubahan warnanya (Gambar 29). Menurut Passi et al. 1981 dalam Maeda dan Fukuda 1991, hidroquinon pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai substrat enzim tirosinase dan bersaing dengan tirosin. Sehingga diduga bahwa perubahan warna yang terjadi pada larutan uji karena saat proses inkubasi dengan waktu yang cukup lama merupakan kondisi dimana hidroquinon berperan seperti substrat bagi tirosinase sehingga tirosinase lebih aktif bekerja dan menyebabkan warna larutan uji berubah menjadi coklat.
55
Gambar 29. Larutan Uji dengan Waktu Inkubasi 12 Jam
Langkah selanjutnya setelah proses inkubasi yaitu proses pendinginan dengan cara didiamkan pada suhu ruangan selama 15 menit bertujuan untuk memberikan waktu pada enzim tirosinase yang ada pada larutan uji bereaksi dengan udara seperti yang dituliskan pada buku Post Harvest Technology Of Mushroom yang ditulis oleh Rai dan Arumugunathan (2008), bahwa enzim tirosinase sangat aktif bekerja saat mendapat oksigen di udara. Proses penentuan konsentrasi dilakukan dengan metode stock dimana terlebih dahulu membuat larutan dengan konsentrasi 2000 µg/mL kemudian membuat konsentrasi yang lebih kecil (Lampiran 11). Hasil pengujian inhibisi tirosinase sangat berfluktuatif dan tidak dapat ditentukan nilai IC50, begitupula dengan hasil dari pengulangan.
Gambar 30. Grafik Hasil Uji Inhibisi Tirosinase dengan Waktu Inkubasi ± 1,5 Jam
56
Persentase inhibisi enzim tirosinase mengalami nilai yang fluktuatif dan cenderung menurun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jeon et al. (2005) enzim tirosinase mempunyai suhu dan pH optimal dimana human tyrosinase enzyme diujikan pada berbagai besar suhu terdapat nilai yang berfluktuatif serta setelah melewati suhu dan pH optimal kemampuan enzim tirosinase menurun. pH optimal untuk human enzyme tyrosinase berkisar antara 6-7 sedangkan untuk mushroom tyrosinase mencapai aktivitas optimum dalam mengoksidasi L-DOPA pada pH 7 (Jeon et al. 2005). Suhu optimal human tyrosinase enzyme untuk mengoksidasi L-DOPA adalah 40-50oC dan mengalami penurunan pada suhu > 60oC sedangkan suhu optimal bagi mushroom tyrosinase adalah 40oC dan mengalami penurunan aktivitas pada suhu lebih dari 40oC. Bila kita melihat dari grafik, nilai absorbansi yang didapat kurang baik, karena apabila sesuai dengan teori seharusnya semakin tinggi konsentrasi maka semakin besar pula nilai inhibisi yang didapat. Karena semakin banyak zat inhibitor tirosinase maka akan semakin kecil kesempatan enzim tirosinase untuk mengubah tirosin menjadi dopaquinon. Tetapi karena enzim yang digunakan untuk uji inhibisi memiliki aktivitas yang kecil dan bukan merupakan enzim murni maka diduga terdapat senyawa-senyawa lain yang ikut bereaksi dan menyebabkan nilai inhibisi berfluktuatif. Nilai terbaik untuk uji inhibisi enzim tirosinase mulai dari yang tertinggi adalah S.crassifolium metanol pada konsentrasi 100 µg/mL, G.coronopifolia metanol pada konsentrasi 100 µg/mL, daun Carica papaya etil asetat pada konsentrasi 250 µg/mL, S.crassifolium etil asetat pada konsentrasi 250µg/mL, daun Carica papaya metanol pada konsentrasi 250 µg/mL, G.coronopifolia etil asetat pada konsentrasi 250 µg/mL terakhir hidroquinon pada konsentrasi 1000 µg/mL. Mengacu pada teori, seharusnya nilai inhibisi terbaik didapat oleh hidroquinon, karena senyawa hidroquinon ini sudah diteliti dan sangat berpotensi sebagai agen inhibitor. Dimana dengan konsentrasi 0,01 mM hidroquinon sudah mampu menghambat aktivitas enzim tirosinase sampai hampir mencapai nilai 0 (Maeda dan Fukuda 1991), melihat kurva yang berubah-ubah saat perbedaan
57
waktu inkubasi disimpulkan bahwa dalam waktu inkubasi ± 1,5 jam bukan merupakan waktu inkubasi optimal bagi uji inhibisi tirosinase. Rata-rata nilai inhibisi terbaik didapat pada konsentrasi 100 µg/mL dan 250 µg/mL dan semakin besar konsentrasi nilai inhibisi makin menurun. Hal ini dapat disebabkan karena pada uji inhibisi ini digunakan enzim tirosinase yang aktivitasnya kecil yaitu sebesar 0,0066 U/mL sehingga saat konsentrasi agen inhibitor yang besar enzim tirosinase tidak dapat “menampung” semua senyawa dari metabolit sekunder untuk bereaksi sehingga senyawa-senyawa sekunder yang masih ada bereaksi dan membuat larutan uji menjadi lebih keruh oleh karena itu pada konsentrasi sampel yang tinggi nilai inhibisi menurun. Pada penelitianpenelitian sebelumnya mengenai uji inhibisi tirosinase seperti yang dilakukan Supriyanti (2009) nilai yang dihasilkan cukup baik karena menggunakan enzim tirosinase yang aktivitasnya tinggi sebesar 524,4 U/mL, juga pada penelitian yang dilakukan Yagi et al. (1986) dengan menggunakan enzim tirosinase dengan aktivitas unit sebesar 9 U/mL. Hasil persentase inhibisi pada penelitian ini dengan waktu inkubasi ± 24 jam menunjukkan hasil yang berbeda daripada hasil persentasi inhibisi pada waktu inkubasi ± 1,5 jam (Lampiran 13). Berikut merupakan grafik inhibisi dengan waktu inkubasi ± 24 jam.
Gambar 31. Grafik Hasil Uji Inhibisi Tirosinase dengan Waktu Inkubasi ± 24 Jam
58
Pada konsentrasi tertentu nilai persentase inhibisi, baik sampel maupun kontrol positif cenderung menurun. Hal ini dikarenakan unit aktivitas enzim yang digunakan tergolong kecil sehingga saat komponen-komponen enzim yang ada telah bereaksi dengan molekul sampel terdapat molekul-molekul sampel yang tersisa dan bereaksi dengan buffer yang menyebabkan larutan uji menjadi keruh, seperti penelitian yang dilakukan Jeon et al. (2005) terdapat fase naik, fase optimal dan fase penurunan. Hasil Uji Inhibisi Tirosinase dengan waktu inkubasi ± 24 jam menunjukkan bahwa sampel dan kontrol positif yang diekstrak menggunakan pelarut etil asetat hasilnya lebih baik daripada ekstrak yang dilarutkan dengan metanol. Hal ini menunjukkan hasil yang sama seperti yang dilakukan oleh Kamkaen et al. (2007) yang mana ekstrak etil asetat buah tropikal mendapatkan nilai inhibisi tirosinase yang paling besar daripada ekstrak yang dilarutkan dengan metanol dan hexane. Pada penelitiannya, kojic acid (kontrol) didapat nilai inhibisi tirosinase dengan hexane sebesar 87,65%, metanol 65,24% dan etil asetat 96,12%. Hal ini kemungkinan dikarenakan senyawa metabolit sekunder yang terkandung pada masing-masing ekstrak berbeda walaupun dari sampel yang sama. Dimana ekstrak pelarut metanol tidak dapat mengekstrak dengan baik senyawa fenol pada alga, yang pada penelitian ini sangat berperan sebagai agen inhibitor enzim tirosinase (Anderson dan Markham 2006). Harus dilakukan ekstraksi awal menggunakan pelarut non polar agar dapat memecah lipid yang terdapat pada alga sebelum diekstrak menggunakan pelarut metanol. Hasil uji menggunakan ekstrak etil asetat lebih baik karena etil asetat dapat mengekstrak senyawa fenol dan flavonoid dengan kepolaran yang rendah (Anderson dan Karkham 2006) sehingga diduga senyawa yang lebih banyak mengandung agen inhibitor tirosinase dari S.crassifolium dan G.coronopifolia terdapat pada ekstrak etil asetat. Menurut penelitian yang dilakukan Handayani (2004)
Sargassum
crassifolium mengandung asam askorbat sebanyak 49,01±0,75 mg/100g dimana menurut Chang (2012), asam akorbat dapat mereduksi dopaquinon dan mengurangi
o-dopaquinon
ke
L-DOPA
dengan
demikian
mengurangi
59
pembentukan dopakrom dan melanin. Dihubungkan dengan hasil uji fitokimia, dimana S.crassifolium secara kualitatif memiliki kandungan tanin, flavonoid dan steroid yang lebih tinggi daripada G.coronopifolia. Tidak hanya senyawa tanin dan flavonoid yang memiliki potensi menjadi inhibitor tirosinase tetapi steroid pun disinyalir mempunyai kemampuan yang sama. Khan (2007) menyatakan bahwa senyawa steroid memiliki potensi sebagai agen inhibitor tirosinase. Oleh karena itu esktrak yang berasal dari S.crassifolium dapat lebih baik menginhibisi enzim tirosinase daripada G.coronopifolia. Nilai IC50 didapat dari perhitungan analisis probit (Lampiran 14), dimana nilai konsentrasi IC50 dari yang paling baik pada sampel dengan waktu inkubasi ±24 jam adalah hidroquinon dengan konsentrasi sampel sebanyak 1,026 µg/mL, ekstrak etil asetat S.crassifolium 1,517 µg/mL, ekstrak etil asetat daun Carica papaya 2,335 µg/mL, ekstrak etil asetat G.coronopifolia 6,942 µg/mL, ekstrak metanol S.crassifolium 22,484 µg/mL. Nilai IC50 untuk sampel ekstrak metanol G.coronopifolia dan esktrak metanol daun Carica papaya bernilai negatif yang masing-masing bernilai sama yaitu -32,342 µg/mL. Dilihat dari grafik hasil uji inhibisi dengan waktu inkubasi ± 24 jam (Gambar 31) dan nilai IC50, dapat dilihat bahwa hasil sampel yang diekstrak menggunakan pelarut metanol kurang baik. Hal ini dapat disebabkan oleh senyawa flavonoid yang merupakan senyawa target tidak terekstrak dengan baik menggunakan metanol karena terdapat jaringan lipid pada alga (Anderson dan Karkham 2006) atau dapat juga dikarenakan waktu inkubasi yang tidak optimal bagi ekstrak metanol. Hidroquinon telah lama diketahui sebagai agen inhibitor enzim tirosinase yang sangat baik.Namun, penggunaannya dalam kosmetik telah dilarang karena memiliki efek negatif seperti iritasi, vitiligo, okronosis eksogen, kelainan pada ginjal dan dapat menyebabkan kerusakan DNA (Westerhof dan Kooyers 2005). Pada penelitian inipun, hidroquinon merupakan agen inhibitor tirosinase yang paling berpotensial tetapi saat diinkubasi dengan waktu lebih dari 12 jam, larutan yang diberi sampel hidroquinon mengalami perubahan menjadi coklat bening, berbeda dengan larutan uji sampel lainnya yang tetap berwarna kuning bening
60
(Gambar 29). Perubahan warna terjadi karena hidroquinon memiliki potensi untuk berikatan dengan protein dan menimbulkan reaksi kimia seperti perubahan warna. Menurut Westerhof dan Kooyers (2005), hidroquinon dan p-benzoquinone dapat bereaksi dengan DNA membentuk ikatan kovalen.p-benzoquinon mempunyai kemampuan untuk membelah DNA in vitro menjadi rantai tunggal, menginhibisi sintesis DNA/RNA, menstimulasi mitogen dan menginhibisi pertumbuhan lymphocyte. Stillman et al. (2000) dalam Westerhof dan Kooyers (2005) menemukan bahwa hidroquinon dapat menyebabkan perubahan genetik 5q31 dan 7 pada manusia. Oleh karena itu, pemakaian hidroquinon dalam kosmetik (pemutih kulit) sudah dilarang. Nilai IC50 yang paling baik setelah waktu inkubasi ± 24 jam adalah hidroquinon, setelah itu ekstrak etil asetat S.crassifolium, hal ini sesuai dengan hipotesis pada awal penelitian dimana senyawa turunan fenol yang yang lebih dapat terekstrak oleh pelarut etil berpengaruh besar terhadap proses inhibisi tirosinase. Walaupun pada hasil uji fitokimia tidak terdeteksi senyawa fenol hidroquinon dan fenolik, namun masih terdapat senyawa metabolit sekunder flavonoid, steroid dan tanin yang kemungkinan memiliki senyawa turunan yang dapat dijadikan sebagai agen antipigmentasi. 4.7 Mekanisme Inhibisi Enzim Tirosinase Enzim tirosinase merupakan monophenols oksigenase. Pada tumbuhan, enzim ini terlibat dalam proses perlindungan dari stress lingkungan dan juga berperan penting dalam perubahan warna menjadi coklat ketika kontak dengan oksigen (O2) (Lande et al. 2010). Dilihat dari struktur kimia enzim tirosinase dikategorikan ke dalam tipe III copper enzyme karena adanya dua pasang copper pada wilayah sisi aktif (Gambar 6) yang berfungsi menginisiasi aktivitas enzim (Ross et al. 1991 dalam Lande et al. 2010). Proses reaksi kimia senyawa metabolit sekunder tergantung pada cara kerja mekanisme senyawa tersebut dalam menginhibit enzim tirosinase. Mekanisme beberapa senyawa dalam menginhibisi tirosinase adalah dengan berperan langsung sebagai kompetitif inhibitor yang berkompetisi saat terjadi
61
reaksi L-DOPA oleh mushroom tyrosinase contohnya senyawa benzaldehydes (Jimenez et al. 2001 dalam Khan 2007). Dengan kata lain senyawa kompetitor ini dan enzim tirosinase akan saling bersaing untuk dapat berikatan dengan tirosin sebagai substrat mereka pada reaksi oksidasi monophenols (Khan 2007). Saat zat inhibitor bersaing untuk berikatan dengan substrat tirosinase yaitu tirosin maka reaksi oksidasi diphenol tidak terjadi. Saat senyawa lain berikatan dengan tirosin maka bukan DOPA yang terbentuk melainkan produk lain yang tidak bersifat browning. Proses pembentukan dan penghambatan melanin tergantung pada jenis senyawa yang berinteraksi dengan tirosin karena setiap senyawa mempunyai kecepatan aktivitas yang berbeda-beda (Khan 2007).
Gambar 32. Mekanisme Inhibitor
Mekanisme inhibisi tirosinase pada penelitian ini belum dapat diprediksi karena masih menggunakan ekstrak kasar mushroom tyrosinase dan ekstrak kasar sampel. Diperlukan enzim dan senyawa inhibitor murni agar reaksi terjadi benarbenar dapat diketahui secara pasti. Tetapi berdasarkan Khan (2007), senyawa inhibitor dari eksogenous biasanya bersifat inhibitor kompetitif sehingga diduga ekstrak S.sargassum dan G.coronopifolia bersifat inhibitor kompetitif.