MASALAH YANG DIHADAPI UMKM DALAM MENGHADAPI ACFTA DARI BERBAGAI ASPEK BISNIS (Faisal Effendi dan Slamet Subandi )
MASALAH YANG DIHADAPI UMKM DALAM MENGHADAPI ACFTA DARI BERBAGAI ASPEK BISNIS*) Faisal Effendi**) dan Slamet Subandi***) Abtract Globalisation is a fundemental or structural change in the world’s economy. This process of change will continue at an increasingly rapid rate following the development of civilization and improving the content of the relationship, interdependence and also sharpenning the competition among countries. This process not only affect international trade, but also in global investment, financing and production. Negative effects could be import goods controlling domestic market, and the effect will shut down the domestic production or will reduce export because of low competitiveness of Indonesian product. On the other hand, if Indonesian products have a high competitiveness, trade liberalism will open up great opportunities for Indonesian exports, which in turn will increase exports, stimulate growth, and expand domestic product diversification. In fact, before the implementation of ACFTA SMEs have faced many challenges, both of internally and environmentally. The environment condition is called as SMEs business climate conceptually determined by government’s policy. The policy will provide directions and strategies of economic development. Internal problem within SMEs is more highlighted by the initial condition of SMEs, such as limited ownership of productive resources in the form of assets and working capital as well as relatively low quality of human resources. This is a classical problem which has never been resolved for over 60 years since the independence era. Meanwhile the SMEs’ external problem is the derivation of economic orientation development in the form of macroeconomic policy and global economic conditions. Masalah Internal, masalah eksternal/lingkungan tumbuh UMKM, SDM akar masalah, capacity building I.
Pendahuluan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) saat ini merupakan salah satu blok perdagangan terbesar di dunia, dengan penduduk ASEAN plus
*)
Artikel diterima 25 April 2010, per review 25 April - 24 Mei, review akhir 15 Juni 2010 **) Kasubid. Temu Ilmiah dan Pengembangan Metodologi Asdep Urs. Penelitian Sumberdaya, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK ***) Kasubid. Perencanan Asdep Urs. Penelitian Koperasi, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK
23
INFOKOP VOLUME 18 - JULI 2010 : 23 - 39
Cina sebesar 1,9 miliar, ACFTA menjadi blok perdagangan dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Potensi pasar ACFTA sungguh luar biasa. Dari sisi volume perdagangan, nilai perdagangan ACFTA yang mencapai USD200 miliar merupakan blok perdagangan terbesar setelah Uni Eropa dan NAFTA. Dengan kata lain, potensi pasar ACFTA sungguh luar biasa. Inilah yang mendorong para kepala negara ASEAN dan Cina untuk menandatangani ACFTA pada tanggal 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja. Tujuan kerjasama ACFTA adalah: 1.
Memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak.
2.
Meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan bea masuk (tarif)
3.
Mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak.
4.
Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani kesenjangan yang ada di kedua belah pihak
Gusmardi (2010) berpendapat bahwa pemberlakukaan ACFTA sejak 1 Januari 2010, menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha UMKM. Membanjirnya produk Cina merupakan ancaman bagi UMKM. Implementasi ACFTA diprediksikan berpotensi memangkas pangsa pasar produk lokal karena produk-produk Cina untuk komoditas dan kualitas yang sama biasanya lebih murah dari produk lokal antara 10-30%. Dengan dihapuskannya bea masuk hingga 0% harga produk Cina bisa lebih murah lagi. Hal tersebut akan menggerus pasar produk lokal, barang-barang Cina yang mengalir deras masuk ke pasar Indonesia, kini merupakan sumber utama impor Indonesia, yakni 17,2% dari total impor non migas. Sebaliknya bagi Cina impor dari Indonesia hanya 8,7% dari total impor non migas negara ini. Jelas penetrasi barang-barang Cina ke pasar Indonesia lebih gencar ketimbang sebaliknya barang Indonesia yang masuk ke negara tirai bambu tersebut. Dodi Reza dan Alex Noerdin dalam Koran Pos Kota Edisi 27 Januari 2010, mengatakan bahwa nilai impor Indonesia ke Cina dan sebaliknya dari Cina ke Indonesia sekarang ini membentuk Neraca Perdagangan yang timpang dan cenderung merugikan Indonesia. Kondisi ini adalah tidak fair dan tidak menempatkan posisi yang saling menguntungkan. Bisa dikatakan tidak fair, karena barang-barang produk dari Cina ditengarai mendapat subsidi yang besar dari negaranya, sehingga ketika dijual kenegara lain, termasuk Indonesia harganya murah sekali (politik Dumping) Kondisi yang demikian sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Para produsen barang (yang sebagian adalah UMKM) tidak mendapatkan subsidi, bahkan sebaliknya banyak dikenakan pungutan-pungutan baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Akibatnya terjadi ekonomi biaya tinggi yang mengurangi daya saing dikalangan UMKM. Kondisi seperti itulah yang tidak menguntungkan
24
MASALAH YANG DIHADAPI UMKM DALAM MENGHADAPI ACFTA DARI BERBAGAI ASPEK BISNIS (Faisal Effendi dan Slamet Subandi )
bagi Indonesia. Padahal dalam perjanjian ada pasal saling menguntungkan. Pada hakekatnya ACFTA, mengandung makna terbukanya pasar bersama para pelaku usaha di dalam satu kawasan tertentu, yang berarti tidak akan menciptakan persaingan yang semakin tajam. Sesuai dengan Judul yang diangkat dalam artikel ini adalah “Masalah Yang Akan Dihadapi UMKM dalam ACFTA Dari Berbagai Aspek Bisnis”, akan mengedepankan berbagai masalah yang dihadapi oleh pelaku bisnis di Indonesia yang mayoritas adalah dari UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah). Banyak pihak menilai pebisnis di dalam negeri, belum siap bertarung dengan negara-negara lain dalam konteks ACFTA. Hal tersebut dikarenakan sebelum pemberlakuan ACFTA pun, produk lokal tidak mampu bersaing dengan produk-produk impor atas barang yang sama terutama dengan Cina, yang membanjiri pasar Indonesia. Sebelum dilaksanakannya ACFTA, UMKM sudah menghadapi sangat banyak masalah baik yang bersumber dari internal maupun lingkungannya. Masalah lingkungan tumbuh UMKM inilah yang disebut sebagai iklim usaha UMKM yang secara konsepsional sebenarnya sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah yang mengendalikan arah dan strategi pembangunan ekonomi. Masalah internal UMKM lebih banyak diwarnai oleh kondisi awal UMKM yang antara lain adalah keterbatasan pemilikan sumbersumberdaya produktif berupa aset dan modal kerja serta kualitas SDM yang relatif rendah. Masalah ini merupakan masalah klasik yang belum pernah terselesaikan. Sedangkan masalah ekternal UMKM merupakan derivasi dari orientasi pembangunan ekonomi dalam bentuk kebijakan makro dan kondisi perekonomian global. Kedua masalah ini (internal dan eksternal) memang memiliki korelasi yang cukup kuat, namun masalah lingkungan memiliki peran yang nampaknya lebih besar dari masalah internal dan sekaligus mensubkoordinasi kemampuan internal UMKM. Menurut Adiningsih dalam harian Suara Karya 15 Februari 2009, salah satu sumber masalah eksternal yang dihadapi oleh UMKM adalah banyaknya aturan dan pungutan termasuk juga infrastruktur yang justru jadi diinsentif bagi kalangan industri dan UKM. Jadi janganlah stimulus kebijakan pemerintah justru menjadi bumerang dan melemahkan daya saing produk dalam negeri. Senada dengan Adiningsih, Revidson Baswir berpendapat bahwa seluruh upaya pemerintah untuk mengantisipasi dampak ACFTA tidak akan mampu mengantisipasi masalah perekonomian nasional khususnya ketidaksiapan industri manufaktur. Pemerintah seharusnya sadar dengan ketidaksiapan pelaku usaha di dalam negeri.
25
INFOKOP VOLUME 18 - JULI 2010 : 23 - 39
II.
Masalah Yang Dihadapi UMKM Pemberdayaan UMKM merupakan upaya memperkuat kondisi internal dan memperbaiki faktor eksternal (lingkungan tumbuh) UMKM sehingga UMKM dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pemberdayaan UMKM juga sekaligus merupakan kebijakan yang memungkinkan terjadinya pemerataan pemanfaatan sumber-sumber daya nasional. Oleh sebab itu upaya ini harus dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat sendiri. Untuk dapat mewujudkan kondisi ideal tersebut, maka dalam menentukan solusi pemecahan masalah yang dihadapi oleh UMKM, harus diperhatikan. Pemberdayaan UMKM merupakan pekerjaan yang sangat besar dan rumit, karena sangat banyak melibatkan manusia dan jenis kegiatan usaha. UMKM merupakan sektor yang paling tahan banting menghadapi krisis. Bahkan sektor ini bisa menjadi bantalan utama tetap berputarnya roda ekonomi di saat krisis sedang berlangsung. Misalnya pada krisis pada tahun 1997, maupun 2008 yang terbukti UMKM masih bisa menjadi bentalan roda ekonomi ketika sektor industri lainnya mengalami keterpurukan. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah UMKM tahun 2009 mencapai 49,8 juta unit usaha atau 99,9% dari total usaha di Indonesia. Dari sisi lain jumlah penyerapan tenaga kerja mencapai 91,8 juta orang atau 97,3% dari seluruh tenaga kerja di Indonesia. Sejak terjadinya krisis perekonomian global pada pertengahan 2008 lalu sempat menimbulkan kekhawatiran pada roda perekonomian Indonesia. Saat krisis terjadi, pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan yang bisa mendongkrak performa UMKM. Diantara program tersebut adalah memperbanyak program-program pemberdayaan masyarakat pedesaan seperti PNPM Mandiri dan memfasilitasi kredit untuk usaha mikro serta menengah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Upaya pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM meningkatkan dana jaminan KUR menjadi Rp2 triliun, untuk menjamin kredit lunak sebesar Rp20 triliun membuktikan bahwa pemerintah sangat peduli terhadap sektor UMKM. Dengan penambahan kredit ini, pemerintah berharap akses permodalan akan semakin meningkat. Karenanya ekonomi Indonesia akan semakin tumbuh. Angka pengangguran pun bisa tertekan dengan sendirinya. Prasetyo Atmosutidjo (2010) mengatakan sekitar seribuan pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah se-Daerah Istimewa Yogyakarta menyalurkan aspirasinya ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta menuntut agar pelaksanaan ACFTA ditolak. Alasannya, Indonesia belum siap menghadapi persaingan dengan produk ekspor Cina yang sangat didukung oleh pemerintahannya. Dukungan pemerintah Indonesia dan Cina tak sebanding. Jika dilaksanakan, ini ibarat pertarungan rudal melawan bambu runcing. Dukungan yang tak sebanding antara Cina dan Indonesia menurut Prasetyo bisa dilihat dari aspek rendahnya bunga yang diberikan pemerintah Cina kepada pelaku usaha, sementara Indonesia masih tinggi.
26
MASALAH YANG DIHADAPI UMKM DALAM MENGHADAPI ACFTA DARI BERBAGAI ASPEK BISNIS (Faisal Effendi dan Slamet Subandi )
Belum lagi persoalan energi yang berimbas pada mahalnya biaya produksi sebuah produk. “Kita mengekspor batubara, sementara Cina mengimpor batubara, kenapa produksi mereka lebih murah,” katanya. Dengan contoh ini, terbukti Indonesia belum berani bersaing meskipun sumber daya alam dan sumber daya manusianya besar. “Mestinya kan kita bisa memaksa negara lain mengikuti kita. Jangan ikut dengan pasar lain,” kata dia. Di tempat yang sama pelaku UKMK kerajinan bambu, Zaenal Mutakem (2010), mengaku khawatir dengan pelaksanaan ACFTA. “Produk kerajinan kami pasti akan terkena imbas pelaksanaan ACFTA, karena harga Cina lebih bersaing”. Zaenal mengungkapkan, pemerintah Cina sangat mendukung pelaku usaha karena biaya bunga yang mereka terapkan sangat rendah yakni hanya 5%, sementara Indonesia mengenakan bunga 22%. Biaya transportasi di Cina juga lebih murah dibandingkan Indonesia, sehingga distribusi dan ongkos produksi menjadi rendah. “Jika ini tetap dilaksanakan, pelaku UMKM seperti kami bisa gulungtikar,”katanya. Yoeke Indra Agung Laksana menyarankan agar pemerintah pusat melakukan kajian terlebih dulu terhadap produk-produk yang kalah bersaing dengan Cina. Jika pelaku usaha dan pemerintah sudah siap, maka barulah kesepakatan bisa dilaksanakan. “Kami minta pemerintah pusat melindungi secara khusus usaha mikro, kecil dan menengah dengan pelaksanaan FTA ini,” tegasnya. Sedangkan Menurut Yoeke (2010), UMKM dinilai tidak siap menghadapi serbuan produk-produk asal Cina yang harganya dikenal sangat murah. “Karena mereka tidak akan mampu menghadapi serbuan produk Cina, secara kelembagaan UMKM jelas kalah,” kata Yoeke. FTA Asean-Cina merupakan perjanjian perdagangan bebas yang dirancang berlaku Januari 2010. Lebih lanjut dikatakan kesepakatan ACFTA hanya akan melegalkan produk Cina membanjiri pasar Indonesia. Sejumlah industri kecil di Banyumas dan Banjarnegara mengeluhkan mulai membanjirnya produk Cina di pasaran. Mereka mengakui produk Cina lebih unggul dibandingkan produk mereka. “Dulu kami biasa menjual 100 pisau dan golok setiap hari, sekarang paling hanya 20 buah,” kata Yoeke. Demikian juga UMKM tersebarnya dalam wilayah yang sangat luas, serta beragamnya jenis usaha yang dilakukan oleh UMKM. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara jelas terlihat iklim usaha UMKM tidak dapat dipisahkan dari iklim usaha bisnis secara keseluruhan. Iklim usaha sangat mempengaruhi performa ekonomi dan bisnis semua pelaku bisnis sehingga resiko bisnis menjadi besar. Resiko besar menimbulkan ongkos yang tinggi yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya daya saing dunia usaha. UMKM yang semestinya harus menjadi tulang punggung struktur perekonomian Indonesia belum terwujud sepenuhnya. Sebagai kelompok usaha dengan jumlah terbesar dalam struktur dunia usaha yang ada di Indonesia, idealnya UMKM dapat berperan dominan dalam berbagai aspek perekonomian. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa UMKM dibangun oleh para pengusaha yang memiliki
27
INFOKOP VOLUME 18 - JULI 2010 : 23 - 39
aset terbatas, kemampuan bisnis terbatas dan jaringan usaha yang tidak terkoordinasi dengan baik. Akibat dari itu timbul berbagai permasalahan yang secara sistematis telah dikemukakan oleh Kementerian Koperasi dan UKM dalam Daftar Inventarisasi Masalah Koperasi dan UMKM sebagai berikut: 1.
Masalah internal UMKM Hasil Analisis Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Koperasi dan UMKM yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2009, menginformasikan banyaknya masalah internal yang dihadapi oleh UMKM antara lain: (1) Kualitas SDM UMKM unit-unit usaha baru lebih banyak tumbuh karena desakan kebutuhan lapangan kerja; (2) Program penumbuhan unit usaha baru melalui model inkubator dan lainlain belum menunjukkan keberhasilannya; (3) Produk-produk UMKM tidak berdaya saing karena berada pada sektor yang cepat jenuh dan berkualitas rendah; (4) Nilai tambah dari usaha UMKM rendah karena produknya berupa bahan mentah dan bahan setengah jadi; (5) Usaha UMKM cenderung marjinal rapuh tidak berkesinambungan karena tidak familiar dengan kondisi pasar; (6) Kondisi usaha dan jaringan pasar KUMKM sangat terbatas dan dikuasai oleh sekelompok pengusaha lain yang membangun kartel; (7) UMKM menghadapi kesulitan dalam mengakses bahan baku; (8) Kualitas produk UMKM relatif rendah karena masih memakai bahan baku berkualitas rendah dan bahanbahan berbahaya; (9) Pendapatan UMKM relatif rendah karena skala usahanya yang kecil serta pasar bahan baku dan produknya dikuasai pedagang besar; (10) Karena pendapatan yang sedikit, maka UMKM khususnya pengusaha mikro termasuk dalam kelompok miskin yang tidak memiliki kelebihan uang untuk ditabung; (11) Sebagian besar pengusaha mikro merupakan kelompok marginal dengan pola hidup gali lubang tutup lubang (survival strategic); (12) Rata-rata pemilikan aset dan modal kerja dikalangan UMKM khususnya pengusaha mikro sangat sedikit; (13) Sebagian besar (68,97%) modal yang digunakan oleh UMKM masih bersumber dari pemilik modal dan atau pelepas uang; (14) Pengetahuan di bidang produksi dan manajemen usaha, serta kewirausahaan SDM UMKM relatif rendah. 1).
Kualitas SDM Kualitas SDM merupakan salah satu faktor strategis yang sampai sekarang ini dikalangan UMKM masih rata-rata rendah, baik dari aspek pendidikan maupun kewirausahaannya. Dari berbagai hasil penelitian diketahui bahwa kualitas pendidikan UMKM selama ini memang dinilai tidak signifikan pengaruhnya terhadap pengembangan dunia usaha. Oleh sebab itu kualitas pendidikan sering dianggap bukan faktor strategis untuk
28
MASALAH YANG DIHADAPI UMKM DALAM MENGHADAPI ACFTA DARI BERBAGAI ASPEK BISNIS (Faisal Effendi dan Slamet Subandi )
membangun UMKM yang tangguh. Hal ini dapat dimengerti karena pendekatan pendidikan kita memang cenderung bersifat umum dan belum banyak diarahkan pada upaya profesionalisme. Kecenderungan yang demikian memang ke depan harus dialihkan pada profesionalisme dan bukan lagi pada formalitas pendidikan hanya untuk mendapatkan gelar. Aspek penting dalam hal kualitas SDM yang perlu mendapatkan perhatian adalah antara lain kewirausahaan dikalangan UMKM yang sampai sekarang ini juga masih ratarata rendah. Masalah rendahnya kualitas SDM diduga timbul dari kurangnya capasity building untuk kalangan UMKM yang terindikasi dari tiga masalah ikutannya yaitu: (1) Pengetahuan di bidang teknologi produksi dan manajemen usaha serta kewirausahaan relatif rendah, sehinga UMKM sering kesulitan untuk berhubungan usaha dan berhubungan dengan birokrasi, serta menyebabkan rendahnya kreatifitas dan kemampuan inovatif UMKM; (2) UMKM tidak mampu untuk melakukan analisis usaha, sehingga dalam melaksanakan usahanya sering merugi atau tidak memasukkan tenaga kerja dalam kalkulasi biaya produksi; (3) UMKM tidak siap untuk menanggung resiko kegagalan usaha, sehingga sulit untuk dapat masuk dalam suatu kegiatan usaha yang sebenarnya menguntungkan dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi usaha-usaha produktif yang dapat memberikan keuntungan lebih besar kepada mereka; (4) Rasa cepat puas akan apa yang telah diperoleh menyebabkan UMKM jarang berfikir untuk memperluas usahanya; (5) Rendahnya pengetahuan UMKM dibidang produksi, menyebabkan produk UMKM sulit untuk berkembang. Kelemahan UMKM dari aspek kualitas sumberdaya manusianya memang sekilas tampak klasik sekali, tetapi memang demikianlah kenyataannya. Hal tersebut sangat wajar mengingat para pengusaha mikro dan kecil umumnya juga berangkat dari mereka yang memiliki berbagai keterbatasan sumberdaya ekonomi dan latar belakang pendidikan yang relatif rendah. 2).
Rendahnya Penguasaan Aset Karakter UMKM juga ditandai dengan rendahnya ratarata pemilikan aset, rendahnya kualitas SDM dan rendahnya penguasaan teknologi dan informasi. Dalam hal pemilikan aset, rata-rata aset yang dimiliki UMKM sangat sedikit dan UMKM menghadapi kesulitan untuk mengakses modal pinjaman dari Lembaga-Lembaga Perkreditan Formal. Masalah tersebut merupakan masalah klasik yang sampai sekarang masih belum dapat terselesaikan.
29
INFOKOP VOLUME 18 - JULI 2010 : 23 - 39
Kasus rendahnya kemampuan pemupukan modal oleh kalangan pengusaha mikro dan pengusaha kecil menurut Young Chulkim (1984) dapat disebabkan karena mereka sudah terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan (The vicious circle of poverty). Dalam kondisi yang demikian kelompok ini akan sangat sulit keluar dari permasalahan yang biasanya sudah berjalan lama, kecuali bila ada intervensi dari pihak lain. Dalam hal permodalan untuk melaksanakan kegiatan usahanya sebagian besar UMKM harus selalu meminjam modal dari orang lain. Pada waktu usaha sudah menghasilkan produk, pinjaman tersebut segera dikembalikan, dan seterusnya seumur hidup mereka tidak pernah mampu untuk membangun permodalan. Kondisi seperti itu menyebabkan UMKM terus bergantung pada pemilik modal, sebaliknya ketergantungan diantara UMKM (kerjasama antar UMKM) relatif rendah, akibatnya sulit membangun jaringan permodalan dan usahanya. Kondisi lain yang juga terlihat adalah bahwa ketidakmampuan UMKM untuk melakukan analisa usaha menimbulkan berbagai masalah baik yang bersifat internal seperti tidak diperhitungkannya biaya tenaga kerja sebagai input produksi, maupun masalah eksternal seperti kesulitan untuk melakukan kerja sama dengan pihak-pihak lain, yang memerlukan kepercayaan akan kelayakan usaha UMKM. Demkian juga UMKM tidak siap untuk menanggung resiko kegagalan usaha, menyebabkan mereka sulit untuk mencoba usaha baru yang mungkin akan lebih menguntungkan. Hasil inventarisasi masalah diatas, mengindikasikan bahwa masih ada masalah mendasar yang menghambat pengembangan pemilikan modal pengusaha kecil, terutama kesulitan kelompok ini untuk dapat mengakses permodalan dari Lembaga-Lembaga Kredit Formal termasuk kredit-kredit yang bersumber dari program pemerintah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kondisi tersebut jelas terkait dengan kebijakan moneter pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, yang mengharuskan kalangan perbankan untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit bagi nasabah. Ketentuan tersebut menyebabkan perbankan menerapkan prinsip 5C (the five C of credit) yaitu Caracter, Capital, Colateral, Capacity of Repayment dan Conditions of economics. Dalam menilai kelayakan pinjaman bagi nasabah tersebut, tiga ketentuan pertama Caracter, Capital dan Colateral adalah tidak sesuai dengan karakter UMKM, sedangkan Capacty of repayment secara umum bukan masalah bagi kalangan UMKM,
30
MASALAH YANG DIHADAPI UMKM DALAM MENGHADAPI ACFTA DARI BERBAGAI ASPEK BISNIS (Faisal Effendi dan Slamet Subandi )
karena kelayakan usaha UMKM umumnya cukup tinggi. Dari situ maka sering terlihat bahwa pengajuan kredit UMKM sangat feasible tetapi tidak bankable. Menurut Syarif (2008) model perkreditan yang dikehendaki oleh UMKM adalah yang didasarkan pada kepentingan aktual UMKM di lapang atau berorientasi dari sisi demand of credit, dengan ketentuan: (1) Persyaratan dan prosedurnya mudah sehingga tidak memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkannya; (2) Tidak memerlukan agunan sama sekali karena UMKM terutama pengusaha mikro tidak memiliki aset yang dapat dijadikan agunan; (3) Tidak terikat penggunaannya sehingga dapat digunakan untuk semua keperluan, serta; (4) Jumlahnya harus mencukupi untuk semua keperluan UMKM. Dalam hal ini tingkat bunga (rate of interest) tidak mempengaruhi minat UMKM terutama pada sektor-sektor tertentu yang marjinnya tinggi, seperti perdagangan dan sektor informal. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UMKM Tahun 2008 menunjukkan bahwa marjin usaha UMKM terutama pengusaha mikro relatif tinggi, yaitu berkisar antara 39% per tahun di sektor pertanian tanaman pangan, sampai dengan 672% per tahun di sektor informal. 3).
Keterbatasan Teknologi dan Peralatan Hasil inventarisasi masalah juga memperlihatkan bahwa rendah kualitas teknologi UMKM merupakan masalah lama (klasik) yang belum bisa teratasi. Keadaan ini terkait erat dengan kondisi internal UMKM yang diwarnai oleh keterbatasan kualitas SDM serta penguasaan sumberdaya produktif. Karena penguasaan teknologi yang rendah, maka produktivitas dan kualitas produk juga relatif rendah, sehingga sulit untuk meningkatkan daya saingnya. Inovasi teknologi adalah salah satu hasil kreatifitas UMKM yang akan timbul jika ada dorongan baik disebabkan keinginan untuk meningkatkan produktivitas, maupun kualitas produk. Namun demikian dengan kondisi UMKM seperti sekarang yang dilingkungi oleh berbagai keterbatasan, sulit bagi mereka untuk melakukan inovasi teknologi. Kalaupun ada temuan teknologi tepat guna dari kalangan UMKM, temuan tersebut jarang dapat dikembangkan, dan atau disebarluaskan karena tidak adanya jaringan komunikasi dikalangan UMKM. Kesulitan UMKM untuk melakukan inovasi teknologi sendiri disamping disebabkan oleh ketidakmampuan UMKM untuk mengaplikasikan berbagai tekonologi tepatguna dari luar, juga terkait dengan rendahnya kualitas SDM, serta sangat kurangnya
31
INFOKOP VOLUME 18 - JULI 2010 : 23 - 39
sumberdaya pendukung seperti permodalan, informasi, tidak tersedianya lembaga-lembaga pendukung serta belum terbentuknya jaringan kerjasama dengan lembaga riset. 2.
Masalah eksternal UMKM Masalah eksternal UMKM terdiri dari: (1) Kebijakan ekonomi makro yaitu (i) Kebijakan fiskal yang berupa subsidi dan pajak; (ii) Kebijakan moneter berupa nilai tukar uang terhadap mata uang asing dan suku bunga pinjaman bank. (2) Iklim usaha yang terdiri dari peluang usaha dan akses terhadap sumberdaya produktif serta kondisi pasar input dan output. (3) Kondisi perekonomian nasional dan global terdiri dari kondisi pasar global (Supply dan Demand pasar global), Kondisi pasar lokal persaingan dan pesaing serta nilai tukar produk); (4) Kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM yang terdiri dari program-program, sistem pelaksana program, sosialisasi program, perlindungan hukum serta monitoring dan evaluasi.
III. Alternatif Penyelesaian Masalah UMKM Rendahnya daya saing yang mempengaruhi ketidaksiapan baik kalangan industri manufaktur maupun usaha kecil dan menengah menuntut campur tangan pemerintah. Tanpa adanya ACFTA sekalipun kalangan industri dan UMKM terus meningkatkan daya saing produknya semaksimal mungkin, namun memang tidak kunjung terwujud karena minimnya fasilitas dari pemerintah. Kebijkan apapun seperti renegosiasi. Labelisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan sebagainya hanya bersifat sementara. Hal tersebut karena produk impor khususnya dari Cina memang dipersiapkan oleh pemerintahnya untuk bisa bersaing di pasar internasional. Oleh karena itu pemerintah harus mendorong peningkatan daya saing produk industri dalam negeri khususnya dari kalangan UMKM agar bisa eksis di era pasar bebas. Kondisi nyata di lapang sekarang ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran dari para pengusaha pada berbagai lapisan yang mulai merasakan dampak negatif dari ACFTA. Hasil pengamatan sementara terhadap dampak ACFTA yang dilakukan oleh Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK di beberapa daerah pada beberapa jenis komoditas menunjukkan bahwa ACFTA hanya nyata (significant) pada beberapa komoditas saja dan itu juga untuk tingkatan kualitas produk tertentu. Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap perjanjian tersebut telah ditandatangani dan secara konsekuen harus dilaksanakan, maka idealnya pemerintah dan masyarakat bisnis sudah mempersiapkan diri selama sepuluh tahun belakangan ini. Dari 8738 pos tarif sebanyak 7349 pos tarif akan diberlakukan bea masuk nol%. Dari jumlah
32
MASALAH YANG DIHADAPI UMKM DALAM MENGHADAPI ACFTA DARI BERBAGAI ASPEK BISNIS (Faisal Effendi dan Slamet Subandi )
tersebut sebagian adalah barang-barang produk pertanian dalam arti luas dan produk primer lainnya yang diproduksi terutama oleh para pengusaha mikro dan kecil. Pemberdayaan UMKM dilihat dari sudut pandang idealis normatif maupun rasional positif, merupakan upaya menciptakan kondisi optimal yang memungkinkan terjadinya pemerataan pemanfaatan sumberdaya nasional. Oleh sebab itu harus dilakukan oleh semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat sendiri. Untuk dapat mewujudkan kondisi ideal tersebut, maka pemerintah berfungsi sebagai regulator dan fasilitator. Fungsi pemerintah sebagai regulator adalah mengeluarkan kebijakan dan peraturan peraturan yang membuka peluang bagi semua pelaku ekonomi untuk dapat melaksanakan kegiatan usahanya secara proporsional dan optimal. Dalam rangka menghadapi era pasar bebas yang menuntut adanya produktifitas dan efisiensi untuk meningkatkan daya saing produk-produk dalam negeri maka pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan UMKM untuk mampu meningkatkan daya saingnya. Dukungan Pemerintah yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing UMKM dalam menghadapi ACFTA adalah dari semua aspek usaha UMKM baik internal maupun eksternalnya. Untuk memprediksi dampak ACFTA terhadap kehidupan perekonomian nasional dan kebijakan apa yang perlu dikeluarkan untuk mengantisipasi adanya dampak negatif dari perjanjian tersebut perlu dipahami lebih dulu substansi dari kesepakatan tersebut. ACFTA merupakan kesepakatan pasar bebas di kawasan Asia Tenggara dan Cina yang pada dasarnya adalah ditujukan untuk memberikan kebebasan pasar bagi kelompok produsen dikawasan tersebut agar dapat bersaing secara fair dalam pasar. Persaingan bebas ini diharapkan secara langsung dapat berdampak pada peningkatan efisiensi dan produktifitas. Dengan meningkatnya efisensi produksi diharapkan akan menekan harga jual yang, pada akhirnya dapat meningkatkan daya beli konsumen, sehingga akan meningkatkan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat di kawasan tersebut. Walaupun ACFTA sampai dengan awal bulan April ini baru dilaksanakan dan belum dilaksanakan sepenuhnya, tetapi keresahan dari sebagian masyarakat bisnis sudah mulai dirasakan. Keresahaan ini memang tidak terlepas dari adanya beberapa sebab antara lain kekurangpahaman masyarakat terhadap tujuan ACFTA, Ketidaksiapan kalangan produsen di dalam negeri dan ketidaksiapan komponen-komponen pendudukung bagi dunia usaha untuk mendorong peningkatan daya saing produsen dalam negeri. Terkait dengan pemahaman dan konsekuensi pelaksanaan ACFTA, Ichsanuddin Noorsy dalam Harian Suara Karya 27 Februari 2010 berpendapat bahwa pemerintah tidak lagi berbasa-basi menyangkut implementasi ACFTA. Banyaknya perjanjian perdagangan bebas yang diikuti Indonesia menuntut
33
INFOKOP VOLUME 18 - JULI 2010 : 23 - 39
percepatan reformasi birokrasi. Sedangkan dunia usaha nasional butuh dukungan kebijakan dan aturan main yang lebih jelas. Indonesia nyaris tidak punya pertahanan sama sekali sehingga implementasi ACFTA cenderung merugikan Dalam era perdagangan bebas sekarang ini Indonesa hanya bisa mengandalkan komoditi primer dan supplay energi dengan volume yang terbatas. Pernyataan di atas mungkin timbul sebagai ungkapan para ahli ekonomi tentang kurangnya sosialisasi pelaksanaan ACFTA dari pemerintah untuk kalangan dunia usaha. Bahwa selama sepuluh tahun tenggang waktu pelaksanaan ACFTA belum banyak persiapan yang dilakukan untuk menghadapi perdagangan bebas tersebut baik oleh kalangan dunia usaha maupun oleh pemerintah. Seharusnya sudah mulai dipersiapkan sejak awal terutama yang diperlukan oleh kalangan UMKM, karena kalangan ini sebagian bukanlah kalangan intelektual yang selalu mengikuti perkembangan perubahan perekonomian dunia secara baik. Dengung pelaksanaan ACFTA yang diduga akan berdampak (baik positif maupun negatif) baru santer terdengar lagi pada tahun 2008 atau dua tahun menjelang kesepakatan tersebut harus dilaksanakan. Dari berbagai masalah tersebut di atas, disarankan agar ada kebijakan pemerintah yang secara lebih spesifik mendorong perkembangan teknologi dikalangan Koperasi dan UMKM antara lain melalui: (1) Program-program penelitian pengkajian kebutuhan teknologi UMKM dalam berbagai sektor dan bidang usaha UMKM; (2) Membangun lembaga-lembaga pendukung pengembangan teknologi UMKM seperti lembaga informasi, lembaga penelitian dan pengembangan: (3) Mengembangkan lembaga pendidikan, penyuluhan dan pendampingan; (4) Melaksanakan program-program capacity building yang dikhususkan pada pengembangan teknologi dalam peningkatan produksi dan produktifitas UMKM serta; (5) Mempermudah proses medapatkan hak kekayaan intelektual bagi kalangan UMKM kreatif dan inovatif. IV.
Simulasi perdagangan bebas Untuk melihat strategi yang paling tepat, Danareksa Research Institute melakukan simulasi perdagangan bebas dengan dua skenario. Skenario pertama mengasumsikan Indonesia terlibat dalam AFTA sepenuhnya, sekaligus ikut serta dalam perdagangan bebas AFTA-Cina. Untuk menghitung simulasi di atas, digunakan program Global Trade Analysis Project (GTAP). GTAP adalah program yang memanfaatkan database perdagangan dunia dalam struktur software dengan kerangka general equilibrium. GTAP dikembangkan di Purdue University, Amerika Serikat. GTAP sering untuk menghitung dampak suatu kebijakan perdagangan bilateral ataupun multilateral
34
MASALAH YANG DIHADAPI UMKM DALAM MENGHADAPI ACFTA DARI BERBAGAI ASPEK BISNIS (Faisal Effendi dan Slamet Subandi )
Tabel 1 memperlihatkan dampak perdagangan bebas dengan kedua skenario yang disebutkan di atas. Hasil simulasi menunjukkan bahwa secara keseluruhan perjanjian perdagangan bebas dengan kedua skenario di atas memberi dampak positif terhadap volume ekspor Indonesia maupun terhadap seluruh negara yang terlibat dalam perjanjian perdagangan tersebut. Tabel 1. Ekspor-Impor Indonesia ke Negara Lain
USD juta
Untuk skenario pertama terlihatterlihat bahwa ekspor naik USD1.365 Untuk skenario pertama bahwaIndonesia ekspor Indonesia naik 1.365 juta juta. Peningkatan ini terutama didukung oleh kenaikan ekspor ke Cina (naik dollar AS.juta), Peningkatan terutama didukung oleh kenaikan ekspor ke Cina (naik USD3.443 Malaysiaini (naik USD462 juta), Thailand (naik USD1.213 US$3.443 juta),(naik Malaysia (naik US$462 Thailand (naik US$1.213 juta), dan juta), dan Filipina USD114 juta). Adapunjuta), ekspor Indonesia ke Singapura turun USD167 juta. Hal yang juga perlu diperhatikan di sini adalah kenaikan Filipina (naik US$114 juta). Adapun ekspor Indonesia ke Singapura turun ekspor Indonesia ke yang Cina juga masihperlu jauh diperhatikan lebih tinggi dibandingkan US$167 juta. Hal di sini adalahdengan kenaikan ekspor kenaikan ekspor Cina ke Indonesia yang hanya USD1.776 juta. Jadi, dalam Indonesia ke Cina masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan ekspor skenario pertama ini Indonesia mengalami tambahan surplus perdagangan Cina ke Indonesia yang hanya US$1.776 juta. Jadi, dalam skenario pertama ini dengan Cina.
Indonesia mengalami tambahan surplus perdagangan dengan Cina.
Sementara bila Indonesia tidak ikut mengimplementasikan perdagangan bebas dengan Cina (skenario II), volume perdagangan total Indonesia hanyaperdagangan Sementara bila Indonesia tidak ikut mengimplementasikan naik USD627 juta. Ekspor kita ke Cina bahkan akan turun sebesar USD435 bebas dengan Cina (skenario II), volume perdagangan total Indonesia hanya naik juta. Hal ini terjadi karena pangsa pasar kita di Cina tergerus oleh produkUS$627 juta. Ekspor kita ASEAN ke Cina lainnya bahkan yang akan turun sebesar US$435 produk dari negara-negara sekarang menjadi lebih juta. Hal ini murah produk tariftergerus impornya di produk-produk Cina turun amatdari negaraterjadidibandingkan karena pangsa pasarkita kitakarena di Cina oleh signifikan (akibat perjanjian perdagangan tersebut). negara ASEAN lainnya yang sekarang menjadi lebih murah dibandingkan produk
kita Simulasi menunjukkan, keseluruhan perjanjian AFTA dan perjanjian karena tarif impornya secara di Cina turun amat signifikan (akibat FTA ASEAN-Cina akan meningkatkan kemakmuran Indonesia. Salah perdagangan tersebut). satu ukurannya adalah equivalent variation (EV). Dalam skenario I semua negara ASEAN perubahan positif (tabel 2), sedangkan Simulasimengalami menunjukkan, secaraEVkeseluruhan perjanjian AFTA dan FTA Cina mengalami akan EV negatif. Artinya, FTA ASEAN-Cina akan memberikan ASEAN-Cina meningkatkan kemakmuran Indonesia. Salah satu ukurannya peningkatan kemakmuran yang lebih besar kepada negara ASEAN. Jadi,
adalah equivalent variation (EV). Dalam skenario I semua negara ASEAN mengalami perubahan EV positif (tabel 2), sedangkan Cina mengalami EV negatif. Artinya, FTA ASEAN-Cina akan memberikan peningkatan35kemakmuran yang lebih besar kepada negara ASEAN. Jadi, tidaklah mengherankan bila negara-negara kawasan ini tampak tidak ragu-ragu untuk mengimplementasikan perjanjian perdagangan bebas dengan Cina.
INFOKOP VOLUME 18 - JULI 2010 : 23 - 39
tidaklah mengherankan bila negara-negara kawasan ini tampak tidak raguragu untuk mengimplementasikan perjanjian perdagangan bebas dengan Cina. Dari simulasi, tampak peningkatan kemakmuran Indonesia yang lebih tinggi pada skenario I, di mana EV naik USD732 juta dan utilitas rumah tangga (u) naik 0,55. Sementara pada skenario II peningkatan EV Indonesia hanya USD194 juta, dengan kenaikan utilitas rumah tangga hanya 0,15% (tabel 2). Jadi, simulasi perdagangan bebas dengan GTAP menunjukkan bahwa Indonesia lebih diuntungkan pada skenario I daripada skenario II. Dengan kata lain, Indonesia lebih diuntungkan bila turut dengan negara ASEAN lainnya dalam menerapkan perjanjian perdagangan bebas dengan Cina. Tabel 2. Perbandingan Sejumlah Indikator Indonesia-Cina tahun 2009
“Serbuan produk dari Cina bisa mengancam produk lokal yang harganya produk Cina bisaterus mengancam lokal yang lebih "Serbuan mahal. Jika hal inidari berlangsung menerus produk maka industri lokal harganya bisa kolaps,” kata staf pengajar ekonomi pembangunan Fakultas Ekonomi lebih mahal. Jika hal ini berlangsung terus menerus maka industri lokal bisa UI ini. kata Ia mendesak pemerintah melindungi industri Fakultas lokal yangEkonomi terancamUI ini. Ia kolaps," staf pengajar ekonomi pembangunan kelangsungannya, dengan menunda penerapan pasar untuk sejumlah industri mendesak pemerintah melindungi industri lokal yang terancam kelangsungannya, sebelum sepenuhnya siap menghadapi ACFTA.
dengan menunda penerapan pasar untuk sejumlah industri sebelum sepenuhnya menghadapi Ia mengatakan, Cina lebih menguasai perdagangan karena produktivitas siap ACFTA.
tenaga kerjanya yang tinggi dan mampu berproduksi secara massal. Pada saat Ia mengatakan, Cina mendorong lebih menguasai perdagangan karena produktivitas bersamaan, Cina juga agresif ekspor ke luar negeri dalam bentuk
tenaga kerjanya yang tinggi dan mampu berproduksi secara massal. Pada saat be/rsamaan, Cina juga agresif mendorong ekspor ke luar negeri dalam bentuk 36 skim-skim kebijakan dan mendorong industri bersaing secara produktif. Pengamat ekonomi FE Universitas Diponegoro Semarang, Prof FX Sugianto, Selasa (12/1/2010) menegaskan, era ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) akan positif dalam jangka panjang untuk pengembangan daya saing produk lokal.
MASALAH YANG DIHADAPI UMKM DALAM MENGHADAPI ACFTA DARI BERBAGAI ASPEK BISNIS (Faisal Effendi dan Slamet Subandi )
skim-skim kebijakan dan mendorong industri bersaing secara produktif. Pengamat ekonomi FE Universitas Diponegoro Semarang, Prof FX Sugianto, Selasa (12/1/2010) menegaskan, era ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) akan positif dalam jangka panjang untuk pengembangan daya saing produk lokal. “Sebagai isu besar mengenai perdagangan bebas yang fokus ekonomi, produk-produk Cina bisa menjadi contoh bagaimana usaha kecil bisa menjadi produk massal yang laik jual,” kata FX Sugianto pada diskusi santai soal ACFTA 2010 di Kantor BI Semarang. Sugianto mengingatkan, pemerintah tinggal selektif dalam melindungi produk Indonesia namun tidak bisa menolak barang-barang produk Cina yang masuk. “Hal yang perlu di waspadai adalah bila isu ACFTA dibawa secara politis, hal ini hanya akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan justru akan melemahkan produk lokal,” ujar Sugianto. V.
Penutup Sebelum dilaksanakannya ACFTA pun UMKM sudah menghadapi sangat banyak masalah baik yang bersumber dari internal maupun lingkungannya. Masalah lingkungan tumbuh UMKM inilah yang disebut sebagai iklim usaha UMKM yang secara konsepsional sebenarnya sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah sebagai penguasa yang mengendalikan arah dan strategi pembangunan ekonomi. Masalah internal UMKM lebih banyak diwarnai oleh kondisi awal UMKM yang antara lain adalah keterbatasan pemilikan sumber-sumberdaya produktif berupa aset dan modal kerja serta kualitas SDM yang relatif rendah. Masalah ini merupakan masalah klasik yang belum terselesaikan. Pengembangan kualitas SDM UMKM perlu dilaksanakan melalui capacity building dalam bentuk program-program peningkatan kemampuan teknis dan manajerial UMKM. Sedangkan masalah ekternal UMKM merupakan derivasi dari orientasi pembangunan ekonomi dalam bentuk kebijakan makro dan kondisi perekonomian global. Kedua masalah ini (internal dan eksternal) memang memiliki korelasi yang cukup kuat, namun masalah lingkungan memiliki peran yang nampaknya lebih besar dari masalah internal dan sekaligus mensubkoordinasi kemampuan internal UMKM. Salah satu sumber masalah eksternal yang dihadapi oleh UMKM adalah banyaknya aturan dan pungutan termasuk juga infra struktur yang justru jadi diinsentif bagi kalangan industri dan UMKM. Jadi janganlah stimulus kebijakan pemerintah justru menjadi bumerang dan melemahkan daya saing produk dalam negeri. Dalam kondisi UMKM yang boleh dikatakan masih marjinal, banyak pakar meragukan efektifitas keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian ACFTA
37
INFOKOP VOLUME 18 - JULI 2010 : 23 - 39
dan sebaliknya banyak kalangan pakar yang berpendapat bahwa dampak negatif ACFTA akan lebih besar dari pada manfaatnya bagi kalangan UMKM, kecuali bila pemerintah mau bersikap lebih arif dengan mendorong persecepatan pembangunan daya saing bagi UMKM secara total atau komprehensif dan bukan lagi kasus per kasus. Seluruh upaya pemerintah untuk mengantisipasi dampak ACFTA tidak akan mampu mengantisipasi masalah perekonomian nasional khususnya ketidaksiapan industri manufaktur. Pemerintah lebih baik segera membenahi sektor UMKM. Pemerintah seharusnya sadar dengan ketidaksiapan pelaku usaha di dalam negeri. Secara umum sebenarnya daya beli dan kemampuan jangkauan pasar Indonesia dan Cina itu banyak kesamaan. ACFTA dengan fasilitas 0% bea masuk mestinya produk lokal Indonesia juga bisa masuk ke Cina dalam jumah besar, asal produk yang diekspor berbeda dengan barang manufaktur Cina. DAFTAR PUSTAKA Ekonomi dan Bisnis Yogyakarta. 2010. ACFTA Ancaman Industri Berbasis Pasar Dalam Negeri. Antara News 7 Januari. Ekonomi dan Bisnis Yogyakarta. 2010. Indonesia Siap Hadapi ACFTA. Antara News 22 Januari. Ekonomi dan Bisnis/Makro. 2010. ACFTA Ancaman Sejumlah Sektor Industri. Sabtu, 9 Januari 2010. 13.39 WIB. Emil Abeng. 2010. ACFTA, Antara Harapan dan Realitas. www.kompas.com, diakses tanggal 4 Februari. Gusmardi Bustami. 2010. Pemaparan FTA Asean-China. Jakarta Ichsanuddin Noorsy. 2010. Koran Suara Karya 27 Februari. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Dan Menegah Republik Indonesia. 2009. Hasil Daftar Inventarisasi Masalah. Kerjasama dengan PT Wiratama Pramata Konsultan, Jakarta. Liputan 6 SCTV. 2010. Liputan Aktual Tajam Terpercaya. Liputan 6.com, diakses tanggal 11 Januari. Liputan 6 SCTV. 2010. ACFTA Kado Pahit di Awal Tahun. http://www.Liputan 6.com./globe/print doc/258439/11/01/2010 15.15, diakses tanggal 11 Januari. Media Center Kop UKM. 2010. Implementasi ACFTA. Artikel Acfta/detail.beritaphp. htm. Media Center Kop UKM/Media center Menkop UKM, diakses tanggal 18 April. Media Indonesia. 2010. Pemerintah Bisa Minta Hentikan CAFTA http://www. mediaindonesia.com/printing/1/1/1/120104, diakses tanggal 1 Januari.
38
MASALAH YANG DIHADAPI UMKM DALAM MENGHADAPI ACFTA DARI BERBAGAI ASPEK BISNIS (Faisal Effendi dan Slamet Subandi )
Mudrahat Kuncoro. 2010. Impian di Balik FTA Asean Tiongkok. 2010. http:/www. investorindonesia.com./index., Diakses 18 Januari. Okezone. 2010 Cina Beri Kompensasi ACFTA. http://economy.okezoneOkezone. com/index.php./ReadStory/2010, diakses tanggal 8 April. Pemerintah Bisa Minta Hentikan CAFTA http://www.mediaindonesia.com/ printing/1/1/1/120104., diakses tanggal 1 Januari. Poskota. 2010. 12.359 Kontainer Produk Cinda di Priok. www.poskota.co.id., diakses tanggal 27 April. Prasetyo Atmo Sutidjo. 2010. Penolakan ACFTA. Tempo Interaktif. Revidson Baswir. 2010. Suara Karya 15 Februari. Suara Karya. 2009. Pangsa Pasar Industri Nasional Tergerus. Koran Suara Karya 21 Desember. Suara Karya. 2009. Pangsa Pasar Industri Nasional Tergerus. Koran Suara Karya 21 Desember. Suhartoyo. 2003. Pengembangan UMKM Berbasis Kewirausahaan: Tesis. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. Syarif, T. 2008. Kajian Efektivitas Model Promosi Pemasaran Produk UMKM. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Volume 3 September. Young Chulkim. 1984. Poverty in Asia World Bank. Jakarta Yoeke Indra Agung Laksana. 2010. Penolakan ACFTA. Tempo Interaktif. Zaenal Mutakem. 2010. Penolakan ACFTA. Tempo Interaktif.
39