MASALAH-MASALAH HUKUM AKTUAL DALAM W ACANA REFORMASI AGRARIA DI INDONESIA Suparjo Sujadi' Abslrak This article does endeavor to launch many issues in recent agrarian reform in Indonesia. Many factors become considerations to conduct newly agrarian reforms and momentously. The prior agrarian reforms outstanding in the ideal agrarian and land tenure structure that has reflected many land conflicts needs adequate resolution. That situation coincides to the huge number of deprived people who living in less in public service such as food, education, health, living hood that have reflected any social-economic gaps. All of them ideally are the mostly agrarian concern to be accomplished by mainly idea to create ideal land tenure and access to land itself Ultimately, the unfinished on delegation ofpower between central to local government in post decentralization law since J 999 has been substantial problems. Kata kunci: hukum tanah, masalah-masalah aktual, refarmasi agraria, indonesia
I.
Uraian tentang Reformasi Agraria di Indonesia
Dalam sejarah program reformasi agraria d i Indonesia yang dimulai dengan berlakunya UUPA memiliki visi dan misi ideal untuk dapat meningkatkan kemakmuran sosial-ekonomi rakyat Indonesia. Program landrefonn sebagai ujung tombak terdepan .dalam pelaksanaan reformasi agraria menitikberatkan pengaturan yang mengubah ketimpangan struktur pemilikkan dan penguasaan tanah di Indonesia. Hingga pasca reformasi 1998, ternyata permasalahan reformasi agraria masih juga belum memiliki peru bah an yang signifikan dalam mencapai tujuan program landreform yang dicanangkan sejak 1960. Hal itu dapat dilihat pada berbagai kasus sengketa tanah di berbagai tempat seperti kasus pembebeasan tanah oleh pemerintah (kasus Kedungombo, kasus tanah adat Hebe-Ohee); ataupun kasus pendudukan tanah-tanah perkebunan yang marak belakangan ini oleh pihak-pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah dimaksud.
I
Pengajar pada Kelompok Hukum Agraria dan Mata Kuliah Penatagunaan Tanah
dan Landreform Program Sarjana FHUI, Jakarta sej ak 1994.
Masalah Hukllm Aklllal dalam Wael/no Relormasi di Indonesia, Sujadi
91
Masalah besar lainnya adalah berkenaan dengan masalah ketahanan pangan dan perumahan. Masalah pangan memiliki relevansi erat dengan sektor pertanian yang memerlukan alokasi sumber daya tanah-tanah pertanian yang semakin menurun Illasnya. Penurunan luas tanah pcrtanian
terse but disebabkan adanya peningkatan kebutuhan tanah untuk berbagai keperluan seperti peru mahan, kawasan industri, pusat pertokoan, infrastruktur. Ada kesadaran melakukan reformasi agraria hal mana pad a masa reformasi telah ada TAP MPR-RI NO. IX/TAP/ MPR/2001 tentang " Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam" . Namun dalam pandangan Said Nisar ketetap3l1 tersebut masih mengandung banyak kelemahan dan s ifatnya sangat kontoversial, dangat kompleks dan membingllngkan. Persoalan agraria adalah persoalan yang compleks, antara lain 2 :
a.
Memahami dan menjaga "Political Equilibrium" dengan melakukan Reajusment dibidang Agraria; Issue "land Reform" telah melanda hampir seluruh negara sedang berkembang. Pad a masa pemerintahan President Macapagal di Philipina, President Betancourt di Venezuela dan pad a masa pemerintahan Perdana Menteri Nehru di India telah menggunakan konsep "land reform" untuk menjawab ketidakstabilan dalam Negeri. Namun land reform ini tidak dapat meyelesaikan masalah.
Muatan kebijakan pembaruan Agraria lebih banyak muatan politiknya dari pada mengejar misi yang sebenarnya. pelaksanaan land reform di lapangan akan menimbulkan banyak persoalan sosial sebelum tanah ini dibagi-bagikan kepada petani miskin. Terhadap tanah-tanah yang telah dimiliki oleh Petani itu harus dibarengi dengan kebutuhan alat-alat pembangunan lainnya. Lapangan hidup disektor pertanian belum mampu menjadi tumpuan hidup para petani. Hal ini disebabkan bukan karena Undang-Undang Pokok Agraria tidak mendukung, tetapi adanya perangkap pad a fenomena tenaga petani yang harus dibayar cash. Akibatnya banyak petani meninggalkan lahan pertanian lalu mereka masuk ke kota-kota besar menjadi buruh harian atau
2 H. M. Said Nisar, "Kajian tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA TAP MPR NO: IXIMPRl2001", paper lepas.
92
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No. I .fanuOl·i-Maret 2007
menarik becak. Kenapa hal seperti ini terjadi karen a Pemerintah belum berhasil mengubah wajah lapangan kerja di bidang pertanian menjadi "/ndustriali::ed Farming, atau Commercial Farming". Dalam ungkapan yang sistematis adalah belum adanya link and match dalam pelaksanaan program landreform. "Strategy" Pertanian ini adalah strategi politik. Da lam suasana perang ekonomi (Economic War) pertanian ini selalu menjadi sasaran untuk diobrak-abrik sehingga pola ketergantungan negara
berkembang kepada negara industri maju menjadi lebih langgeng dan bahkan bersifat permanent. b. Prinsip yang terdapat dalam Pasal 4 dari TAP MPR Nomor IX/MPRl2001 dimulai dari point a sampai dengan point II (semuanya ada II point) pad a dasarnya hanya merupakan pengulangan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 45, Undang-Undang Pokok Agraria GBI-IN , dan Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tetnag I-Iak Asasi Manusia dan juga beberapa aturan tertulis lainnya. Point a dari Pasal 4 dimaksud berbunyi sebagai berikul: Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam hanls dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalimat "Negara Kesatuan Republik Indonesia" sebagai suatu prinsip sudah banyak kali diulang-ulang dalam teks UndangUndang Dasar 45 dengan berbagai penampilan kata-kata seperti: PERSATUAN INDONESIA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA dstnya. b. Memelihara dan menjunjung tinggi hak asasi manllsia Indonesia. Kalimat seperti ini juga adalah fotocopy verbatim dari Undang-Undang 39 tahun 1999. c. Prinsip yang lainnya yaitu prinsip transparansi, prinsip keadilan, prinsip kelestarian lingkungan, prinsip keterpaduan pembangunan. prinsip pengakuan hak masyarakat ad at, prinsip keseimbangan, dan prinsip decentra Iisas i. Semua prinsip yang termuat dalam Pasal 4 diatas tidak ada yang bersifat baru dan spesial. Oleh karena prinsip-prinsip ini sudah umulll sifatnya dan ditemukan disemu3 perulldallg-undangan yang ada. maka keberadaannya sangat tidak diperlukan.
Maso/tI" /-/UkU111 Akftlo/ c/a/alll WaC(1IlO Re/or/1Iasi eli Indonesia. Sl!iaeli
c.
93
TAP ini memual dua arah kebijakan ya itu: Pembaruall Agrar ia dan Pengelo laa n Sumber Daya Alam. Ke lemahan TAP illi ya ng sekaligus merupakan sumber kebingungan adalah: I)
Kajian lerhadap UUpA 1960 sudah berulangkali dilakukan bahkan sejak lahun 1966 berbagai Undang-Undang lerkail dengan Agrar ia sudah diundangkan misalnya: UU Kehulanan NO.5 (1967); UU Pokok Pertamhangan No. II 1967, UU No.8la hun 1971 tentang Pertambangan Minyak GAS dan BUM!. dan sebagainya. Perdebatan d i bidang agraria sudah berlangsung se lama dua abad akan selalumeliputi isu-isu berikul ini : a. Bagaima ll a meningkatkan produksi pangan (Ag,.arian
Production); b. c.
Bagaima na mensejahteraan masyarakat Pedesaan; Bagaimana menciptakan "Keadilan sosia l" ditengah-
tengah masyarakat. Keliga isu tersebut pad a hakekalnya menyangkul kinelja institLlsi Pemerintahan dari Pusal hingga ke daerah dan bukan terletak pada usaha untuk melakukan pengkajian ulang berbagai peraturan dibidang agraria lalu dicarikan dasar hukumnya melal ui suatLl TAP. Sebagai contoh dapat kita ambi I parad igma institusi "Walikota" diseluruh Indonesia yang tidak pernah berubah dari dulu hingga hari ini. Kesibukannya hanya berfokus pada soal-soal administrasi, soa l person ii, dan mengejar pajak Bumi da n Bangunan. Keberhasilan seorang Walikota dan daparat dibawahnya ditentukan pada target pajak yang d iperolehnya. Bahkan pernah ada kejadian di Sulawesi Selatan seorang petani tidak mampu membayar Pajak Bumi dan Bangunan pada waktunya lalu piring dan barang-barang berharga yang ada di dalam rumah sang petani disita (oleh petugas pajak) . Kejadian seperti 1111 banyak ditemukan dilapangan . A lasannya adalah bukan karen a Undang-Undang Pokok Agrar ia dan sejenisnya yang sudah tidak bisa menjawab tantangan pembangunan. Pembagunan agraria tidak saja terletak kepada hukum yang ada tetapi bagaimana programnya dibuat dan pelaksanaannya. Ada banyak peristiwa d imana Walikota dan
9J
JlIrnal HlIkllm dan Pembangllnan Tahlln Ke-37 No. I Janllari-Maret 2007
aparat dibawahnya hanya tinggal diam, tidak mengambil tindakan umpamanya dalam hal: Bagaimana tindakan Pemerintah da lam peristiwa banjir yang melanda daerah pertanian dan tambak setiap tahun; b) Bagaimana eara mempermudah petani tambak memperoleh bibit dan pupuk; c) Bagaimana eara mengatasi hama tanaman termasuk penyakit yang melanda pertanian dan perikanan setiap a)
tahun~
Persoalan-persoalan diatas dihadapi oleh petani sendiri dan pemerintah hanya tinggal diam saja. Berita seperti ini hanya merupakan konsumsi pers saja. Aparat pemerintah tidak sehingga tidak merasa pernah merasa berdosa bertanggungjawab. Persoalannya sekali lagi bukan karena UUPA yang salah sehingga perlu dirobah , tetapi paradigma institllsi dan bagaimana programnya di lapangan yang memerlukan pemikiran ulang ke arah yang lebih baik. 2)
Potensi Sumber Daya Alam beragam.
Indonesia yang kaya dan
Kondis i ini telah memperoleh atensi dari seorang peneliti Carolyn Mar dengan mengatakan: "Indonesia is fabulously rich and Indonesia is desperately poor" (Indonesia kaya secara menakjubkan dan miskin seeara menyedihkan). Pe rsoalan yang ada pada Sumber Daya A lam berbeda dengan yang ada di bidang kepemilikan tanah (Undang- Undang Agraria). Ada beberapa rakta yang sering terungkap di lapallgan: a)
Investor-investor asing yang mengelola Sumber Oaya
A lam seperti " Newmon" di Propensi NTB yang mengelola sumber daya mineral lebih banyak mengulltungkan para Investor.
b) Pengrusakan lillgkungan sudah merupakan bahagian tak terpisahkan denga n kegiatan Investor c) Kasus kelaparan ya ng menyebabkan meninggalnya 250 penduduk di Yakuhimo, di Papua yang notabene memiliki sumber daya dan kekayaan alam ya ng melimpah seperti ya ng dieksploitasi Freeport yang seeara nominal lebih dari cukup untuk membiayai
Ma.w/all /-/ukul}1 Akluu/ cia/am IVw:w1£I RejiJrmasi di Indonesia, Sl!jadi
95
pembangunan di seluruh Indonesia. Namun realitas kelaparan sebagai penyebab matinya 250 jiwa sungguh menegaskan pendapat Carolyn Mar tersebut. Berkaitan de ngan fenomena semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasan tanah pada sekelompok kecil masyaraka! dapat diliha! baik di perdesaan maupull perkotaan . Oi perdesaan, konsentrasi pengllasaan tanah
dapat dilihat dari beberapa hasil sensus pertanian dalam beberapa dekade terakhir. Sensus pertanian tahun 1993 menunjukkan bahwa 69% luas tanah pertanian dikuasai oleh 16% rumah tangga perdesaan, sementara 31 % luas tanah pertanian sisanya dikuasai o leh sebagian besar petani keeil dan tunaki sma (sebesar 84% rumah tangga perdesaan). Pada sisi lain, dalam kurun waktu tiga dekade terakhir ini luas rata-rata penguasaan tanah per rtJmah tangga pertanian semakin mengecil yailu 1,05 hektar pada tahun 1983 menjadi 0,74 hektar pad a tahun 1993 dan diperkirakan menurun tajam pada sensus pertanian 2003 yang saat ini sedang berlangsung. Sementara angka rata-rata pengllasaan tanah di Jawa saat ini
diperkirakan hanya meneapai 0,2 hektar per rumah tangga pertanian. Luas rata-rata penguasaan tanah yang sangat kecil ini jelas tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga pertanian tersebut. Fenomena tersebut semakin diperburul< dengan adanya fragmentasi tanah yang semakin tidak dapat dihindari, alih fungsi tanah pertanian ke penggunaan nonpeltanian yang tidak terkendali , masalah kerusakan lingkungan sebagai akibat eskploitasi yang berlebihan, dan masalah lainnya. Gambaran konsentrasi pemilikan dan penguasaan tanah di perkotaaan dapat dilihat dari semakin banyaknya kelompok miskin yang tersisih dan bahkan kehilangan tanahnya untuk berbagai kepentingan pembangunan. Hal ini terkait dengan tata ruang perkotaan yang kurang memberikan akses kelompok masyarakat miskin untuk turut menikmati adanya perubahan penggunaan tanah. Di sisi lain, dalam waktu beberapa tahun terakhir ini khususnya pada masa hisis ekonomi, pendudukan atas tanah yang sudah memiliki status hal< alas tanah "tertentu" terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Hal ini berdampak pad a hilangnya kepereayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia sebagai akibat dari tidak memadainya jaminan kepastian hukum atas tanah, dan masalah lainnya. Untuk itulah relevan dengan komentar Carolyn Mar di atas amat diperlllkan pelaksanaan reformasi agraria di Indonesia secara terlls-menerlls,
sistematis dan menyelesaikan masalah keserasian, keseimbangan dalam struktur pemilikkan, penguasaan dan penggunaan tanah banyak hal yang mesti dipikirkan jalan keluar terbaik untuk melaksanakan program reforma agraria terse but.
96
II.
iurnal HukunT dan Pembangunan Tahull Ke-37 No. I ianuari-Maret 2007
Masalah-Masalah Pertanahan yang Aktual dan di Masa Depan
Adapun dalam kerangka tantangan jaman dan waktu hingga sampai pada perkembangan terakhir di Indonesia, masih amat diperlukan reformasi agraria dengan l1lengingat masalah-l1lasalah aktual yang secara khusus dikelol1lpokkan dalal1l ura ian berikut ini .
A.
Rencana pemerintah mclakukan redistribusi tanah 8,5 juta ha (60% untuk petani tuna kisma); dan sisanya 40% untuk perumahan dengan jangka waktu hak 100 tahun
Pemerintah akan l1lelaksanakan reformasi agrar ia secara bertahap mulai tahun 2007 hingga 2014. Tanah seluas 8,15 juta hektar akan d ibagikan ke masyarakat l1liskin yang memenuhi kriteria tertentu dan pengusaha dengan ketentuan lerbalas. Dalam Acara S imposium Agraria Nasional III di Jakarla, Selasa 12 Desember Kepala Badan Perlanahan Nas ional Joyo Winolo mengatakan, pelllbagian tanah kepada 1ll3syarakat miskin akan mulai dilakukan sekitar akhir April 2007. Da lalll lahap awa l, 5.000 keluarga miskin akan diberikan tanah bersertifikal. Luas lanah yang dibagikan untuk setiap keluarga berbeda-beda bergantung pada kebutuhan dan ketersediaan lahan di setiap daerah . Diperkirakan sebanyak 6 juta heklar lahan akan dibagikan bagi masyarakat miskin dan 2,15 juta hektar sisanya diberikan kepada pengu saha untuk usaha produktif dengan terap Illelibatkan petani perkebunan. Negara dapat mencabut kembali pemberian tanah tersebut jika tidak dapa! dimanfaatkan untuk usaha produktif. Tanah yang akan dibagikan berasal dari lahan kritis. hutan produksi konversi. tanah telantar, tallah milik negara yang hak guna L1sahanya habis, maupull tanah bekas swapraja. Reformasi agraria juga dilllaksudkan unruk Illemberikan akses rakyat terhadap tanah sebagai sumber ekonomi serta mengatasi sengketa dan konflik pertanahan yang ada.Dalam pandangan Kepala BPN tersebut' pemberian (anah
Joyo Winoto. yang dilansir dalam Harian Kompas , 13 Desember 2006
dikutip dari sillis Bappenas.
, diakses tallggal
18
Descmber,
2006. Berita serupa juga dimwtt da lam berbagai surat kabar sejak bulan September 2006, dalam rangka Bulan Bakti Agraria mcmpering
berJakunya U UPA tahun 1960 diantaranya:
97
Ma.w/all /-fukllm Ak/uu/ da/ol11 lVaC(/l1l1 RI.;/i>rlI111Si di Il1llmlesia ..'·lIiodi
bagi kelliarga misk in eli pedesaan diharapkan mampll meningkatkan taraf hidup mercka. Dari sekitar 40 juta penduduk mis kin eli Indo nesia pada tahun 2006, seban yak 67 persen di antaranya tinggal di pedesaan.
Dari j uml ah kelllarga miskin te rse but. 90 persen menggantllll gkan hidupnya pad a sektor pertanian . Adapapun mode l pe mbagian lahan a kan berbeda untuk setiap daerah, bergantung pada ko ndisi dan
ketersediaan lahan. Terhadap isu re neana ke bijakan recli stribusi ta nah te rse but telah
menimblilkan komentar dan kritik antara lain yang diuraikan eli bawah Inl .
I.
Perhimpunan Bantuan Hllkum Indonesia (PBln)"'
PBHI telah menyatakan sikap atas rencana pcmerintah menga lokas ika n
lahan
un tuk
rakyat/menjalankan
" reforma
Agraria" haru slah dalam kerangka refol'ma agraria sejati yang ses ua i dengan asas-asas dan prinsip dari UUPA 1960. Sehingga tidak dijadikan sebaga i alat legitimas i bagi dilaksanakannya refonna agraria berdasarkan kei nginan moda l dan ke bijakan ya ng seten gah-sete n ga h.
Pandangan PBHI tersebut dengan pandangan ya ng agak se mpit ya itu , karena da lam praktek la ndrefo rm yang ses ungguhnya tidak dikenal tanah untllk investor, tapi tanah untuk petani/ penggarap (land to the tiller). Berdasarkan pandanganpandangannya terse but PBHI menuntut:
TEMPO Inleraklif, "Pelllerintah Bagikan 9 Juta Hektar Tanah" Kallli.>, 28 September 2006 i9:j.j WIB < http ://www.tempo interaktif.com/hg/ ekb is/2006/0 9/281 brk,20060928 -84977, id .htm I> . n. Gorontalo (SIB), "8, I Jula Hektar Lahan Di Indonesia Akan Di Bebaskan Un/uk Rakya{" , diakses tangga l 25 Novembe r 2006. b. Medan Bi snis, Program Reformasi Agraria: Pemerintah Bagikan 8.2 Jula Heklar Lahan bual Pelani, , diakses tanggal 29 September 2006. PBHI , "Rencana Pemerinlah Menjaiankan "Re/orma Agraria" di Indonesia", . diakses 19 Oktober 2006.
98
Jurnal Hukwn dan Pelllbangunan Ta"un Ke-37 No. I Janllari-Marel 2007
a)
Pemerintah segera menjalankan reforma agraria sejati yallg diamanatkan oleh UUPA 1960; b) Pemerilltah Illdonesia ulltuk segera menye1esaikan konflik agraria dengan mellgutamakall keberpihakall dall keadilan kepada petani, nelayan dall masyarakat adat. c) Negara untuk mencabut segala peraturan dan perulldangan yang bertentangan dengan reforma agraria sejati dan dilaksanaknnya Undang-Undang Pokok Agraria 1960 secara konsekwen.
2.
Fedcrasi Serikat Pctani Indonesia (FSPI) FSPI
memandang
bahwa
pelaksanaan
refonna
agrana
menulltut penyusunall undang-lIlldang bani yang merupakan tunman dari UUPA 1960. sehingga se lain tidak me langgar struktur peruntukan, penguasaan, pemanfaatan. dan pengolahan
tentang agraria, hanls ada jaminall keberianjutan dan kelestarian agraria terse but. Penataan struktur agraria yang berhubungan disektor pertanian dan kaum tani haruslah dimulai dari pelaksallaall program Landreform yailll sliatu upaya yang mencakup pemecahan dan penggabullgan satuall -satuan lIsaha tani, dan
perubahan
skala
peningkatan
program
pemilikan.
kemampuan
pelldidikall,
Kemudian
petani
upaya
dengan
pellyediaall
dilanjutkall
dellgall
berbagai
program-
subsidi.
pemilikall
teknologi pertanian. sistem distribusi/perdagangan yang adil. dan mendorong tumbuhnya organisasi-organisasi massa petalli dan
koperasi petalli, serta infrastruktur laillilya. MCllllrut palldallgall FSPI' lallgkah-Iallgkah yang harus ditempuh oleh penyelellggara Ilegara dalam melljalan kall pembaruan agraria tersebut adalah:
I)
Menjalankan reforma agraria haruslah sesllai dengan prillsip dan semangat dari jiwa UUPA 1960. yang dilaksanakan secara Illurni dan konsekwen.
"J'ondollgall dall Sil,ap FSPI 1l'lIll1J1g Program Pel1lharuol1 .-Igraria . di al\sL's 21) NO\"l~·l11hr.:r 20()6. 5
SUSiOllll'"
FSPI.
="
/Wasalah Hukum AklUal dalam Wacalla Rejbrl1wsi di lJ1donesia. Sl!i(l(/i
2)
3)
B.
99
Pembatalan atau pencabutan tcrhadap se luruh prodllk 1Il1dang-lindang dan peratllran yang berkaitan den ga n agraria, termasuk penghentian pcmbahasan RUU Penanaman Modal. Pembatalan atall pencabutan seillruh undang-undang dan peratllran yang berkaitan dengall agraria tersebllt ha rllslah diikllti pula pembllatan lIndang-undang dan peratllran yang merupakan tunman dari UUPA 1960, sehingga tidak menjadi lIndang-undang dan peratllran yang se ktoral dan tUlllpang tindih. Untuk penyede rhanaan dalam pelaksanaannya sehingga tidak terjadi tumpang tindih , maka departe me n ya ng berkaitan dengan agraria harus la h dalam satll koordinas i, yang memiliki otoritas .
Relevansi Rencana Redislribusi Dan Rc.lIisasinya Dengan Kondisi Hukum (UUPA Dan UU No.56/Prp/1960) Dan Peraluran Pcrundang-Undangan Yang Berlakn Bagi Program Landreform
Berkenaan denga n rencana keb ijakan re distribus i tanah tersebut tentlln ya secara hukum memeriukan legitimasi baik secara formil maupun materil. Secara formil tentunya harus ada paying hukllm yang memadai "adequate "; dan secara materiil te ntllnya ju ga harlls mempe rhat ikan mekanisme dan s iste m pe nye le nggaraa n ya ng tepat dan e fi sien. Untuk itu di s ini akan disampaikan review ter hada p hukum pos itif yang berlaku dalam pelaksanaan program landreform yang sudah dimulai tidak lama sete la h berlakllnya UUPA,ya itli antara lain: I) 2) 3)
Landasan Idi il: Pancas ila Landasan Konstitusional: Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 Landasan Operasional: a)
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 7, 10, 13, 15, 17 dan 53; b) Undang-Undang (UU) Nomor 56/ Prpl1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; c) UU Nomor 211960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian ; d) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22411961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi;
100
Jurnal Hukull1 dan Pembangunan Tahlll1 Ke-J7 No. I Januari-Maret 2007
PP Nomor 4111964 tentang Perubahan dan tambahan PP Nomor 224/1961; f) PP Nomor 411977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri; g) Peraturan Menteri Dalam Negeri (PM DN) Nomor 1511974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Land Reform; h) Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13 tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan UU no. 211960; i) Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5411980 tentang Kebijaksanaan Pencetakan Sawah; j) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nas ional (BPN) Nomor 311991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah dan Obyek Land Reform Secara Swadaya; e)
Adapun di dalam pengaturan mengenai redistribusi tanah yang masih berlaku yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961, kiranya layak dijelaskan untuk memberikan analisis kemungkinan sebagai tolok ukur pelaksanan rencana kebijakan pemerintah membagi-bagi tanah pada akhir tahllll 2006 yang lalu mengenai : I) 2) 3) 4) 5)
Tanah yang Menjadi Obyek Redistribusi Pemberian Ganti Kerugian kepada Bekas Pemilik Penerillla Redistribusi Persyaratan bagi Penerima Redsitribusi Kewajiban Penerima Redistribusi
PP Nomor 22411961 lersebut diatas telah mengatur pelaksanaan pembagian
tanah
dan
pemberiall
ganti
rugi
sebagai
ketentuan
pelaksana dari Pasal 17 UUPA dan Pasal 2 dan 3 UU Nomor 56/ Prp1l960. Namun karena buruknya kondisi politik dan ekonomi di Indonesia pada waklu itu tidak menguntungkan menyebabkan redistribusi tallah pertaniall kurang berjalan sebagaimana yang diharapkan Adanya sinyalemen kegagalan pelaksanaan landrefonn dan terkait dengan isu pelaksanaan redistribusi tanah, maka dapat diajukan beberapa permasalahan dari segi formalitas hukum yang mendasari pelaksanaan program tersebut, yaitu: I)
Selain UUPA dan UU No.56/ PrpIl960, maka apakah peraturan pelaksananya PP Nomor 224 tahun 1961 secara
At/asalah HlIklll1l Akwal dolam rVacana /?e/ormasi eli Indonesia. Sl!iadi
101
Illateril Illasih relev3n dengan kOlldisi (rcalitas) masyarakat saat illi? 2)
Apabi la sudah tidak relevan dan memerlukan pcngaturan kembali dengan merevisi PI' Nomor 224 tahun 1961, maka akan memeriukan waktu lebih lama dalam pelaksanaan program redistribusi lanah tersebut?
3)
Bagaimana lIrliSall koordinasi dengan pemerintah daerah dan bagailllana rllmllsan peran pemerintah daerah dalam hal ini? Berkenaan dengan business core dan competency, maka instansi mana yang paling memiliki kewenangan, apakah
4)
BPN; atau Kementrian Dalam Negeri; ataukah pemda? Selain itu te lah juga ditetapkan Pemturan Kepala Badan Pertanahan Nasio na l (BPN) Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek Land Reform Secara Swadaya. Redistribusi tanah obyek Land Reform yang semu la hanya tanggung jawab
Pemerintah kemlldian dengan peratllran tersebut Illaka petalli penerima redistribusi dapat turut berpartisipasi aktif. Tujuan pengaturan penguasan tanah obyek Land Reform secara swadaya ada lah untuk meningkalkan pembagian tanah kepada para
petani penggarap yang sanggllp berperan serta da lam pelaksanaan dan pembiayaannya dalam meningkatkan kesejahteraannya, sehingga pad a akhirnya dapat tercapai: a.
b. c.
C.
Tertatanya penggllnaan tanah obyek Land Reform dalam bidang tanah yang teratur disertai dengan prasarana jalan dan/atau saluran irigasi serta kemllngkinan penyediaan areal untuk kawasan lindllng dan fasilitas umllm. Terselenggaranya pembagian tanah yang merata tanpa menimbulkan perbedaan pemilikan tanah yang besar. Tersedianya lanah yang dapat dimanfaatkan dan menjadi modal kehidllpan petani yang dikelola secara kooperatif.
Masalah Penanganan Sengketa Tanah-Tanah Vlayat Masalah sengketa pemilikan yang bernuansa historis ini dapat
terjadi diantara ora ng-perorangan maupun antara badall hllkllll1 swasta dengan pihak instansi pemerintah alau dapat juga kombinasi dian!ara unSllr-lInsur tersebllt. Nuansa historis ini diajllkan berkaitan dengan pemilikan yang terkait dengan fakta sejarah adanya pluralisme hukllm tanah yang pernah beriakll sejak jaman penjajahan; juga unsm
102
Jurnal Hukum dan Pembangunan TahzlI1 Ke-37 No. I Januari-Maret 2007
keturunan (turun-temurun); penerapan sistem pembuktian (tertulistidak tertulis) yang diterapkan dalam hukum aeara6 Masalah yang s ignifikan dan relevan adalail berkaitan d e ngan Hak Ulayat Masyarakat iluklilTI ad at yang kembali diako modas ikan dalam
berbagai tingkatan peratllran perlindang-lindangan 7. Pengakllan dan perlindungan teriladap masyarakat ad at dalam peraturan perundang-undangan seeara umum diatur dalalll Pasal 18b, dan Pasa l 281 Undang-undang Dasar 1945. Kedua Pasal tersebut dalalll pengakuan dan perlindungan Illensyaratkan dengan "sepanj a ng sesllai dengan perkeillbangan masyarakat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. ses uai dengan perkembangan jaman dan peradaban". Pengakuan dan perlindungan teriladap Illasyarakat adat sebagai suatu unit kOlll llnitas berdasarkan peratllran perundang-undangan di tingkat pelaksanaan berdasarkan pernail diatur Illelalui Peraturan Menter i Dalalll Negeri No.3 Tailun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian se tta Pengeillbangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat, dan Leillbaga Adat di Daerah 8
(, Hin gga saat ini khusllsnya di DKI Jakarta nwsih banyak lerjadi sl! ngkda tallah berkaitan dengan eks. hnk-hak mas tanah Belandn (ex -eigendom verponding. ex-tanall partilielir) eontoh lain kasus rcncann pClllbnngullnn bandar udara di alas Tnnah I kbc-Ohce di Papua dan di daerah Inin yang Icrkait (k ngan kasus-kaslis tanah milik pl.!nduduk yang sccara alami lllcndiami lokasi tcrtl.!nlu yang akan dijadikan proyek pembangllnan yang bl!rskala ckonomi besar scperti pcrtamb'lIlgan. pcrkebllnan. wadllk, kehulanan, transmigrasi. (III. 7 Pellgnluran Masyarakal hukulll adal dan I-lak Ulayal dapal dilihal mulai dari UUD 1945 h;nggn pcrn!uran kepala desa. Dua argumen rdim"n,; yang bcrkcmbang illcnjcJang pcmberiakukan UU nomor 41 ti.lhUll 199<) , yailu: arglll1lcn pcrl 3ma. mClluntut pcngakuiln dan pcngt:rnhalian hak alas hutan dan pel1lutihan hak yang lelah dirampas sc!ama ini serla klasilikasi ulan g. Icrhadnp hulan ncgara. Terhadap argulllcn ini Franz von fknda-[3c'ckmann mcmandangnya st:baga i bukan pengakllall alas hllkum (adal) mcrcka atil U kcmbali ke eara-cara lama yang tcrutama diinginkan masyarakat. mdainkan pCllgakuan dan pcnghapusan kctidakadilan historis s\!rtn kt:ku(lsaan yang sah dan diakui (legitimate) untuk mcngatur lIflisan mercka scndiri: dan arg llmcn kedui1 adalah Illntutan distrihusi ulang. at as akscs tt!rhadap slI mbl!r daya hUlan dan pl.!ndapalan dari hulan scbagai sa r~lIla untuk ll1l:ngillihkan ckonomi dari kendali sl!ge lintir elite rnenu,ill jaring.an bisnis hl!rskala kedl dan mCl1l!ngah yang diorgnnisas ik'lI1 sl!baga i koperasi
s NamUll (kl1likian pcngakuan dan pcrlidullgan illl tclah I11cn:duk si lingkllp kchidupan masyarakat adat kcn.:na dalam kOllsl!p pClllhl..'rda)<1 <11l dan pekstarian yang diatur hanya Illcngenai aspd-. yang s~lllpit yaitu "sr~k budaY<1 yang eli identilikasik
Masalah
fill/Will
Aklllol dalol1l Wacana Reformasi di Indones ia, Sl~iadi
1113
Sebagai pengaturan Jebih Janjut, masyarakat adat juga diakui daJam Ketetapan MPR Nomor XYII / MPR/ J 998 tentang Hak Azasi Manusia ya ng ke mudian ditamp ung daJam UU Hak Azas i Manusia No . 39 Tahun 1999 Pada permasaJahan khusus menyangkut penyeJesaian masaJah ta nah -t a na h Hak UJayat teJah di atur pula di daJam Peraturan Menteri Negara AgrarialKepaJa BPN No. 511999 memberikan sej umJ ah kriter ia dasar untuk me mastikan keberadaan hak uJ ayat masyarakat adat (yaitll keberadaan Ta nah U Jayat ). Di sebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak atas tanah bi Jamana: I)
2)
3)
Masyarakat ya ng bersangkutan masih terikat oJeh hukum adat sebaga i sebuah masyarakat spes ifik ya ng mengakui da n menerapka n hukllm adat daJam kehidupan sehari-har i; Terdapat tanah uJayat ya ng menjadi Ji ngk unga n hidup masyarakat adat ya ng bersangkutan dan menjadi tempat pemenuhan ke butuhan hidup mereka sehari -hari;dan Terdapat hukum ad at yang mengatur pengeJoJaan dan pemanfaatan tanah uJayat yang bersangkutan, yang dipatuhi oJeh masyarakat adat tersebut.
Pasa J 3 PM NA No.511999 ini menetapkan sejumJah keadaan yang mengakibat kan punahnya hak atas tanah adat, yaitu: I) 2) 3)
Bidang tanah yang bersangkutan teJah d ikuasai oleh perorangan atau badan hukum dengan suatu hak berdasarkan UUPA; atau B idang tanah yang bersangkutan teJah diambiJaJih atau dibebaskan oJe h Jembaga pemerintah , badan hukum, atau perorangan sesuai dengan peratllran perllndang-lIndangan
dan prosedur yang berlaku.
akses masyarakat adal dengan sllmber daya alam yang sudah ada ti dak diperhatikan dalam pengertian tidak mendapat pengaturan yang komperehensi f. Hal tersebut tampak dari adanya empat dari 11 detinisi istilah yang amat signilikan dengan pcmbcrdayaan masyarakat adat tidak dijabarkan dalam Pasal-Pasal sc lanjlltnya. Adapun isti lah yang dimaksud adalah ist il ah lembaga ad at. wilaya h adat. hak adat. hukum adat.
10-1
Jurnal Huklllll dan Pembangunan Tail/In Ke-37 No. 1 Jal7l1ari-Marel2007
O. Polemik mengenai Oesentralisasi dan Kewenangan Pengelolaan Pertanahan (Pengelolaannya Apakah Ada di Pusat Saja; atau Di daerah Saja; atau Ada Pembagian Jenis Wewenang dalam Pengelolaan Tanah Oi pusat Ada. dan Oi daerah Ada Juga?) Pasea reformasi yang ditandai dengan era otonomi daerah dengan berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU NomoI' 25 tahun 1999 9 , telah juga menimbulkan berbagai masalah. Adapun permasalahan yang timbld dapat dikelompokkan menjadi konflik horizontal dan konflik vertikal. Konflik horisontal'Oyang sempat dan masih berlanjut? Adalah berkaitan dengan kewenangan di dalam bidang pertanahan yang melibatkan an tara lain Badan Pertanahan Nasional dan Dep3l1emen Dalam Negeri. Hal itu dapat dilihat dengan adanya beberapa produk Keputusan Presiden yang bertllfut-turut namun berbeda arah pelaksanaan o(onomi pertanahan yang satu kepada Depdagri kemudian yang baru kepada BPN (Keppres Nomor 34/2003). Konflik vertikal adalah yang terjadi antara pemerintah pusat dengan propinsi; propinsi dengan kabupaten ". Sejak masa desentralisasi pemerintahan daerah dimulai dengan bcrlakunya UU No.22 tahllll 1999 dan kemudian direvisi dengan UU No.34 tahun 2004, maka dimulailah prosesi penyerahan berbagai kewenangan yang selama ini berada di tangan pemerintah plisat
kepada pcmerintah daerah. Namun dalam rangka penyerahan urusan kewenangan pe rtanahan sebagaimana diatur di dalam UU NO.34 tahun 2004, ternyata mcnimbulkan polemik menyusul di tetapkann ya Peraturan Presiden Nomor 10 tahllll 2006.
'l
Pad a tahun 2004 keoua lIlldang-undang (CrSCb ul tdah dig
32 lahull 2004 dan UU Nomor 33 tahlln 2004
10 Kontlik horisontal yang sernpat tel:jadi adulah anll1ra dun knbupalen yang berebut pcnentu<1n bata s wilayah sepcrli
ckngan
Kutai Kertanegara:
antara kccamutan <.kngan kec
Illasih tallS bcrlanjut bt:rkt:naan dcngan otonomi di propinsi DKI Jakarta d~l1gan UU nomor 3-l tnhun 2000 yang Illcmbcrikan pclmlllg kepada pl.:l11crinlnh propinsi OKI untuk Illl.:ngdo\a
lanah di \\'ilayl.lhnya bakailan dcngan kC\\'t!nangan umum pcmcrinlahan propinsi.
Masa/aft fillkllm Akflla/ da/am WaCl1na Relormasi £I; Indouesia, Sl!iadi
lOS
Akibatnya persaingan pelaksanaannya di tingkat teknis terlihat di berbagai daerah yang masih terdapat Kantor Pcrtanahan (instansi vertikal BPN) namun juga ada Dinas Pertanahan Kabupaten/ kota se bagai pelaksanaan otonomi daerah. Prates dan kritik antara lain diberikan oleh para srake holders yang berkepentingan dengan masalah-masalah pelaksanaan otonomi daerah: 12 I)
2)
3)
Semua pemerintahan provinsi yang tergabung dalam API'SI (Asosiasi Pemerintahan Provin s i Seluruh Indonesia) sepakat untuk mengajukan judlfcial review terhadap Perpres (Pe raturan Presiden) Nomor 10 Tahun 2006 tentang BPN (Badan Pertanahan Nasional). Kesepakatan untuk mengajukan judicial review itu dicapai dalam rapat APPSI yang dipimpin ketuanya, Gubernur DKI Jakarta SUliyoso. Menurut Sutiyoso, kesepakatan ini sebagai tindak lanjut dari rekomendasi yang dikeluarkan dalam rapat kerja nasional APPSI di Mataram beberapa waktu lalu. Menurut Sutiyoso Perpres 10/2 006 itu bertentangan dengan pflnsip otonomi daerah, karena persoalan pertanahan sepe nuhnya sudah merupakan wewenang pemerintah daerah, baik provinsi , kabupaten maupun kota, sebagaimana amanat UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, keberadaan Perpres dinilai sudah mendahului lahirnya PP (Peraturan Pemerintah) tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai pengganti PP No. 25 tahun 2000 tentang Pembagian Kewenangan Pemerintah dengan Pemerintah Daerah Otonom.
Sebab itulah , sejak keluarnya Perpres tersebut, APPSI sudah mengingatkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menangguhkan pelaksanaannya. Bahkan Presiden sudah berjanji untuk melakukan revisi. Tetapi yang menjadi aneh dan menggelikan, adalah tindakan dari Kepala BPN Joyowinoto, yang sudah melantik 700 pejabat eselon II untuk ditempatkan di berbagai provinsi dan
12
Juli 2006.
, diakses Rabu. 26
106
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tabun Ke-37 No.1 .!anuari-Maret 2007
kabupaten/kota untuk ditempatkan sebagai Kepala kantor Wilayah BPN.
1.
DPRD Kota Bekasi , Jawa Bara!
Ketlla Komisi A DPRD Kota Bekas i, Hasnul Kholid Pasaribll , mempertanyakan kejelasan stat LIS Badan Pertanahan Nas ional (BPN) Kota Bekasi. Menllrlltnya, BPN saat ini masih mendlla karena di satll sisi bertanggllng jawab ke Pemerintah Pusat, di sisi lain ke Pemkot Bekasi. "Coba sekarang ini Kepala Kantor Pe rtan ahan pergi ke Jakarta, namlln Pemkot Bekasi tidak tahu dan mungkin tidak dilapori ," lIjarnya d i Bekasi, Selasa (19/8) -" Sementara itll, Sek retaris Komisi A, Qisas Rachman, ketika dimintai komentarnya soa l status BPN jllga sepe nd apat dengan Hasnul Kholid Pasaribll. Pertanyaan itll sebagai konsekllensi diajukannya perllbahankelembagaan di jajaran Pemkot Bekasi ke DPRD sete mpat, namlln tidak meng iklltsertakan BPN. Adaplln kelembagaan yang diajllkan Pe mkot Bekas i sebanyak 23 organisasi perangkat daerah antara lain, penambahan lembaga Asisten Daerah (A sda), Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman. Selanjlltnya, Lembaga Teknis Kantor Pemaclam Kebakaran, Bakllkeda (Badan Kekayaan dan Kellangan Daerah) akan diganti menjadi Badan Pendapatan Daerah. 2.
Asosiasi Pemedntah Kota Seluruh Indonesia (AJlcksi) Komisariat Sumatcra Bagian Sclatan"
Asosiasi Pemerintah Kota Selllrllh Indonesia (Apeksi) Komisariat SUl11atera 8agian Selatan meminta pemerintah pusat segera menyerahkan Ufusall pertanahan kepada daerah otanom. Penyerahan lIrllsan pertanahan itll penting agar se mlla kota dan kabupaten Illudah mengatur alokasi lalum guna perencanaan tata rllang. Hal itll dikemllkakan koordinator Apeksi Komi sariat
IJ
"Dr!?/J A'ola Rd'o.\'; Per!oll),akal1 A'ejclas(/II SWIllS !JP,\ ",
com/ Il1~lro / lh~\\ s/030~ f 19/ 1 0294 7 .hlm>. cii:-.ksl.:s 19
1.1
"AINksi S'wJlhagsc!
llusanlara/0611 / 1·VI15112.hlm>
Tunt /II ui
Olollollli
Aguslus 2006 . Perwllo!wl/"
Sdnsa 19 Aguslus 2006.
h tlp :/Ikomp<.ls. com/vcr 11
Masalah HukuIII Akllfal dalom Wa cana RelorlllClsi d i Indonesia , Sl~jadi
I II 7
Sumbagsel dan Wali Kota Pangkal Pinang. Zlilkarnain Karim , dalam penutupan Musyawa rah Apeksi Sumbagsel, Selasa 14 Novembe r 2006 di Pangkal Pinang. Untuk memudahkan penyer"han urusa n peltanahan , Apeksi
bersama dengan asosiasi pemerintah kabllpaten dan asosiasi pe merintah desa sudah mengajukan judicial review atas peraturan pres iden mengenai tllgas dan fllngs i BPN. Judicial review itu untuk me mudahkan ditetapkannya peraturan pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam peraturan pelaksanaan itll , akan dipertcgas kewe nangall pemerilltah daerah oton ol11, yang sa lah satunya adalah Ufusan pemerintahall. Peraturan itl! akan membuat kalltor BPN di daerah akan dilebur menjadi Dinas Pertanahan , di bawah wali kota dan bupati. Para staf Dinas Pe rtanahan, kata Zulkarnain, akan direkrut dari staf BPN daerah, sedangkan , se mua aset, data, pe ta dan semua peralatan kerja BPN daerah ju ga akan menjadi milik Dinas Pertanahan daerah. Selain itu dalam pandangan Apeksi juga penyerahan kewena ngan kepada daearah akan memudahkan pengaturan tata ruang kota, penyerahan kewenangan pertanahan di daerah akan membuat pelayanan pembuatan sertifikat bagi masyarakat semakin eepat dan murah. Di sisi lain , pemasukan bagi daerah dari urusan pertanahan juga semakin besar karena tidak tersedot ke pemerintah pusa!.
3.
Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksl) "
Asos ias i DPRD Kota Seluruh Indones ia (Adeksi) seeara tegas meno la k Pe raturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 2006 T e ntang Badan Pe rtanahan Nasional (BPN). Pen o lakan ini didasarkan
karena Perpres tersebut telah mengllrallg i kewe nangan daerah se rta substans i Pasa l-Pasal Perpres tersebut bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 2 Perpres No. 10/2006 disebutkan, Badan Pe rtanahan Nasional (BPN) melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan seeara nas ional, regional dan sektora!' Kemudian pada Pasal
15
Nasional"_
"Adeksi menolak Perpres No . 10 Tahlln 2006, tentang Badan Pertallohan
.
Desember 2006.
diakses
19
108
Jurnal Huklllll dan Pembangllnan Tahun Ke-37 No. I Januari-Maret 2007
berikutnya diterangkan mengenai 21 fungsi BPN, antara lain pengaturan dan penetapan hak atas tanah, pembinaan dan pelayanan admin istrasi umum bidang pertanahan, serta pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah khusus. Pasal-pasal tersebut mengindikasikan bahwa daerah tidak mempllnyai kewenangan atas pertanahan , karena semua yang berhllbungan dengan pertanahan diatur dari pusat. Padahal secara logika hukum bidang pertanahan di daerah berkaitan dengan tata mang wi layah dimana yang mengetahui pers is kondisi wilayah serta persoalan pertanahan adalah daerah itu sendiri. Oleh karena itu bila pertanahan diserahkan kewenangannya ke pusat hal ini akan menimbu lkan persoalan yang serius dikemudian hari. Pertanahan sa mpai saat ini masih selalu menjadi persoa lan di daerah. Hal ini karena di daerah tidak ada kantor dinas pertanahan mengingat semua urusan tanah diatur dari pusal (BPN) melalui kantor wi layah BPN yang ada di kabupaten/kota. Akibatnya persoalan-persoalan pertanahan di daerah tidak kunjung selesai. Seharusnya uru san dan kewenangan pertanahan tidak diserahkan semuanya kepada BPN seperti yang diatur dalam Perpres No. 10/2006. Karena dikhawatirkan mereka tidak mampu menyelesa ikan masalah pertanahan seperti yang diharapkan masyarakal. Sehubungan dengan persoa lan pertanahan tersebut, Adeksi telah mengeluarkan pernyataan s ikap sebagai berikut : a)
Menolak dikeluarkannya Perpres No. 10 Tahun 2006 lenlang Badan Pe.1anahan Nasional, karena Perpres tersebul sebagai bukli tidak adanya kewenangan daerah atas perla nahan sebagaimana amanal UU 32/2004 lenlang Pemerinlahan Daerah. b) Mengharapkan segera dibentuk badan konsullasi unluk memfasililasi anlara pusal dan daerah dalam proses pengembalian kewenangan atas pertanahan
kepada daerah. Mengajak komponen daerah unluk secara serius berkoordinasi dan bekerjasama dalam rangka mewujudkan desenlralisasi bidang perlanahan di daerah sebagaimana cita-cila olonomi daerah. d) Menunlut kepada pemerinlah agar konsekuen dan serius dalam menjalankan politik desentralisasi sesuai
c)
semangat otonomi daerah.
lv/usalall HllkulJI A kl1lo/ da/olJl Wacal1a R(>j'onnCls i di Indonesia, SI(jaC/i
e)
lOY
Mendcsak iJarlllonisasi dan sinkronisasi antar leillbaga pelllerintaiJ bidang sektor,,1 dalam menerapkan prinsip-prinsip desentrali sasi.
Penje lasan
menganai
penyerahan
kewenangan
bidang
pertanaiJan Illenurul Undang-Undang N o. 32 Tahun 2004 dapat dijelaskan berikut ini. Adapun kewenangan yang Illenjadi urusan Peille rintahan Daerah Propinsi , Kabupaten/ Kota ada yang Illerupakan urusan wajib dan ada yang bersifat piliiJan. Yang Illerupakan urusan wajib, disebut da lalll Pasal 13 ayat (I) dan Pasal 14 ayat( I). Sepanjang yang Illengenai bidang pe rtanahan, urllsan y ang bersifat wajib meliputi "pelayallall pertallflflall",
yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Peillerintah, yang hingga sekarang bellll11 ada.
Pasal 10 ayat (I) dan (2) Illenyatakan , bahwa: "Peillerintahan Daerah menyelenggarakan lIrusall pemerintahan yang menjadi kewenangannya, keclIali urusan pemerintahan yang oleh undang-
undang
ini
dite ntukan
Illenjadi
urusan
Pemerintah.
Dalalll
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang kewellallgall daerah
sebagailllana d illlaksud dalalll ayat (I), peillerintahan daerah menjalankan otonoilli seluas-Iuasnya untuk mengatur dan mellgurus sendi ri urllsan pemerintahall berdasarkan asas otonomi dan tllgas pemballtuan".
Perlu diperhatikan, bahwa urusan kewenangan pemerintahan tersebut tidak khusus/tidak hanya mengenai pertanahan. Maka masih Illenjadi persoalan, apakah yang dinyatakan dalalll Pasal 10 ayat (2) terse but seluruhnya berlaku juga terhadap musan pelayanan pertanahan, yang disebut dalam Pasal 13 dan 14 Pasal 10 ayat (5) Illenetapkan bahwa "selain urusan pemerintahan yang disebut dalalll ayat (3) diatas", Illasih ada urusan-urusan lain, yang kewenangannya ada pada Peillerintah Pusa!. K iranya ini adalah urusan yang ditentukan secara khusus oleh berbagai undang-undang.Diantara urusan-lirusan lain itll termaslik juga lIrlisan bidang pertanahan, yang oleh Pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945 dan Pasal 2 UUPA kewenangannya ditllgaskan kepada Negara.
III,
Beberapa Pendapat Lain Slisie
Berindra
dalam
tulisannya
Kewenangan yang Masih Diperebutkan"
bertajuk 'Pertanahan dalam harian Kompas,
110
Jurnal HukuIII dan Pembangunan Tahun Ke-3 7 No. I Januari-Marel 2007
Jumat. 16 Juni 2006 memberikan highlight dari hasi l Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, bulan Mei 2006. APPSI te lah meminta pemerintah memberi kewenangan bidang pertanahan kepada daerah, sesua i Undang-Unda ng Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No 32/2004 telah dua tahlm dilaksanakan. Namun, sampai sekarang pembagiall kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah
be lum kunjung j elas. Salah satunya bidang pertanaha n yang masih
diwarllai tarik-menar ik pusat dan daerah. Pusal ingin mengu3sai semU3 kewenangan di bidallg pertall ahan, sementara pemer intah daerah ingin mendapat bagian urusan pertanahan. Dalam UU No 32/2004 , ada enam kewenangan pemerintahan pusat dan 30 kewenangan yang bisa dilaksanakan peme rintahan daerah. Pusat pun ya wewenang dala m bidan g politik lu ar nege ri ,
pertahanan , kea manan, hukulll, mOlleter, dan agama. Salah salu kewenangan pemerinlah daerah adalah dalam bidang pelaya nan pertanahan. Akan lela pi , dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenanga n Provinsi
se bagai Daerah Olono m, ya ng merupaka n (unll1an UU No 32/2204, tida k salu pun ya ng menyebut pemda puny a kewenangan pertanahan. Belum lagi , revisi PP No 25/2000 diselesaikan Departemen Dalam Negeri , tiba-t iba muncul Peraturan Presiden Nomor 10 Tah un 2006 ten tang Badan Pertanahan Nasional (BPN), II Apr il 2006. Pasal 2 Perpres No 10/2006 menyebutkan, BPN bertugas me laksanakan lugas pemerintahall di bidang pertanahan secara n3sionaL regional dan sektoral. Kemudian Pasal berikutnya. menyebut BPN memiliki 21 fungsi. Beberapa fungs i itu ada lah pengaturan da n penetapan hak alas tanah, pembinaan dan pelayanan administrasi umllill bidang
pertallahan serta pelaksanaan penatagunaan tanah, reforlll3si agraria dan penataan wilayah-wilayah khus us. Dalam aturan sebelumnya, Keputusan Presiden No moI' 95/2000 tentang BPN, disebutkan bahwa tugas BPN adalah pengaturan perulltukan, persediaan dan penggllnaan tanah , pengaturan hllblln gan hllkllm antara oran g dan tanah serta pengaturan hllbungan hukllm antara ora ng dan pe rbllatan hllkllm berkaitan dengan tanah. Oi dalam
Keputusan Pres id en NomoI' 95 /2000 itu menyebut BPN mempunyai enam fungsi.
Perpres No 10/2006 ini te ntu membuat bera ng kalangan pemerintahan daerah, baik di ting kat provinsi maupun kabupaten /kota. Dalam Rapat Koordinasi Asos ias i dan Badan Ke lja Sama selu ruh
lv/asa/ah fllIklll11 Aklu£I/ do/am WlicallO Reji)rmasi cli Indonesia, Slu"adi
'"
Ind o nesia dengan Oepdagri, mereka memprotes Perpres No 10/2006 yang tidak memberi napas otonomi daerah. Itu sebabnya, APPSI dalam rapat Mei 2006 merekomendasi prakarsa pengajuan konsep perubahan UU No 511 960 tontang Pokok-
pokok
Agraria agar selaras
dengan
asas
descntralisasi,
demi
menampung tuntutan pelayanan pertanahan ak ibat perkembangan jumlah penduduk, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
perubahan tala ruang, kepastian hak-hak atas tanah. tennasuk hak ulayat/adat. Mantan Sekretaris Utama BPN Toto SUllliyoto dalam tulisannya
beljudul Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Rangka Pelaksanaan Otonollli Oaerah Illcngatakan, dengan diberlakukan UU 2211 999
tentang Pemerintahan Daerah, sistel'n pcmcrinlahan bcrubah s ignifikan, dcngan memberi kewcnangan !lIas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Karena itll, perlu peillbagian
kewcnangan yang jelas antara pelllerintah pusat dengan provinsi dan kabupaten/ kota. Toto mengusulkan
peillerintah
provinsi
diberi
kewenangan
perencanaan penatagunaan tanah provinsi, perencanaall penatagullaan pertanahan antara dlla kabupaten/kota, dan penyelesaian penetapan hak ulayat antara dua kabupaten/ kota. Adapun peillerintah kabupaten /kota
diberi kewenangan izin lokasi , pengaturan dan peruntukan tanah, penyelesaian Illasalah se ngke ta tanah garapan at as tanah negara, pe nguasaan pendudukan tanah tanpa iz in dari yang berwenang dan penye lesaian ganti rugi untllk pengadaan tanah. Oi sisi lain, Sekjen Konsorsiulll Peillbaruan Agraria Usep Setiawan Illengungkapkan tarik ulur kewenangan bidang pertanahan antara pusat dan daerah ini sebenarnya tidak terlalu penting. Pelllbagian kewenangan yang jelas akan Illenjadi percuma, tanpa
reformasi agraria dengan perubahan struktur organisasi pemerintahan" Berbagai persoalan sengketa pertanahan tetap saja tidak bisa diselesaikan. Menurut Usep refonnasi agraria membutuhkan kebijakan nasional. Karena itlilah, tidak bisa se mua kewenangan bidang pertanahan diberikan kepada daerah. Sebaiknya pemerintah membagi kewenangan secara proporsional dan menghentikan tarik-I1lenarik kepentingan pusat dan daerah, lupakan kepentingan internal pemerintahan. Selain itll hanls dimulai tahap memikirkan sol usi terbaik kondi s i agraria di lapangan sehingga berbagai persoalan agraria yang banyak memakan korban dapat segera diselesaikan.
112
Jurnal Hllkllm dan Pembangunan Tahlln Ke-37 No.1 JallZlari-Maret 2007
A.
Penjelasan Peri hal Pertanahan
Pendelegasian
Kewenangan
Bidang
Menyikapi polemik desentralisasi kewenangan di bidang pertanahan tersebut, dengan memperhatikan Pasal 33 ayat (3) dan beberapa ketentuan Undang-Undang yang merupakan hukum positif, maka dapat diberikan penjelasan sebagai berikut: I.
Kewenangan Pemerintah Pusat
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. yang secara konstitusional memberikan wewenang dalam rangka mengelola pel1anahan dan dalam arti luas lerhadap sumber kekayaan alam di Indonesia, jelas dan dapat ditafsirkan bahwa dalam kerangka pengaturan masalah pertanahan pada dasarnya merupakan kewenangan Negara RI. Selanjulnya dalam rangka pelaksanaan lebih lanjul kewenangan negara terse but, dengan memperhatikan ketentuan
Pasal 2 dan Pasal 14 UUPA, maka kewenangan negara dalam bidang pertanahan adalah meliputi: a)
mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan, persediaall dan pemeliharaan bumi, air
b)
dan ruang angkasa terse but; menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan
hukulTI antara orang-orang dengan bumi , air dan fllang angkasa,
c)
mellentukan
dan
mengatur
hubungan-!1ubungan
huku111 antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukuITI yang mengena i bumi, air dan fllang angkasa.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2)U U PA tersebul, maka untuk saal lIli berkenaan dengan adanya desentralisasi kewenangan kepada pemerintah daerah. sesungguhnya kewenangan tersebul masih relevan. Hal itu karena kewenangan yang d iatur di dalam Pasal 2 ayat (2) terscbut sebagai kewen3ngan dalam bentuk kaedah polil ik pertanahan yang dimaksudkall menjabarkall Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. secar'a sistematis jika ditafsirkan dengan desentralisasi adalah relevan dengan ketelltuan Pasal2 ayat (4) UUPA:
Hak mengllasai dari Negoro lerseblll diolos peloksanaannya dapol dikuosokon kcpadll daerah-
Masalah Hukum Aktual dalam Wacana Reformasi di Indonesia, Sujadi
113
daerah swatantra dan masyarakal-masyarakal hukum adal, sekedar diperlukan dan lidak berlenlangan dengan kepenlingan nasional, menurul ketentuankelentuan Peraturan Pemerintah. Pasal2 ayat (4) terse but membuka kemungkinan pelaksanaan desentralisasi kewenangan tersebut dan memerlukan perumusan lebih lanjut dalam kerangka pelaksanaan UU Nomor 34 tahun 2004 yang sementara ini dirumuskan dalam lingkup "pelayanan dalam bidang pertanahan".
2.
Kewenangan Pemerintah Daerah
Dalam perspektif Hukum Tanah nasional (UUPA) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia membu(I( SU(I(U renc(ln(l umum " mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya: a) untuk keperluan Negara, b) untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; c) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; d) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; e) untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. Berdasarkan rencana umum terse but dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing 17 •
16 Tenninologi "membuat suatu rencana umum", sebagai kewenangan pemerintah (pusat) dalam Pasal 14 UUPA memang tepat dalam menjabarkan Pasal33 ayat (3) UUD 1945, kewenangan tersebut dalam level politik pertanahan seperti di dalam Pasal2 ayat (2) UUPA.
114
Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.1 Januari-Maret 2007
Sementara di dalam UU Nomor 32 tahun 2004, di dalam Pasal 13 dan 14, terlihat dua jenis kewenangan dalam bidang pelayanan pertanahan dan perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang pada level propinsi dan kabupatenlkota". Berdasarkan pemahaman terhadap ketentuan UUPA dan UU Nomor 32 tahun 2004, tersebut maka secara yuridis dapat dijelaksan mengenai kewenangan di bidang pertanahan: I)
2)
Lingkup kewenangan pemerintah pusat, adalah dalam lingkup membuat blue print politiklkebijakan pertanahan nasional sebagai pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dalam lingkup substansi pengaturan yang sudah ada di dalam Pasal2 dan Pasal 14 UUPA; Ada juga lingkup kewenangan pemerintah daerah, dapat disinkronkan berkenaan dengan pelaksana delegasi kewenangan pemerintah pusat (dapat ditafsirkan dalam bidang pelayanan pertanahan) dan membuat rencana umum tata ruang wilayah (RUTR) sebagai kewenangan yang linear dengan kewenangan pemerintah pusat. Dalam lingkup kewenangan ini pemerintah daerah tetap tunduk pada pedoman umum kebijakan/politik pertanahan nasional di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 14 dan Pasal 2 UUPA. Hal itu sebagai konsekuensi format negara kesatuan yang memberikan kedaulatan penuh pada NKRI dalam segala aspek. Pemerintah Pusat sebagai organisasi kekuasaan adalah penyelenggara kekuasaan negara, sedangkan pemerintah daerah tidak lain hanya menjalankan
17 Ketentuan Pasal 14 ayat (2) UUPA, terlihat adanya pelimpahan kepada daerah untuk juga membuat politik pertanahan di daerahnya masing-masing sesuai kandisi tiap-tiap daerah dan adanya keharusan politik pertanahan terseb ut dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Daerah (PERDA) baik di level propinsi, kabupatenlkota. Ketentuan Pasal 14 ini memi liki perbedaan dengan Pasal 2 UUPA yang bersifat hubungan vertikal (sub-ordinasi); namun di dalam Pasal 14 in i ada kewenangan linear pada level pemerintahan masing-masing (Pemerintah pusat - pemerintah daerah), sekaJipun terkandung sub-ordinasi narnun hanya pada lingkup substansi politiklkebijakan rencana penggunaan tanah secara normatif.
18 Namun kewcnangan pemcrintah prop ins i dalam pelayanan pertanahan dibatasi sejauh pelayanan pertanahan yang bers ifat lintas kabupaten/kota saja, selb ihnya merupakan kewenangan pemerintah kabupatenlkota, yang dipcrtegas di dalam Pasal 14 undang-undang
terse but.
/\1asalah Hllkul11 Akltllll dolam lVacol1o Relormosi di Indonesia , Sl(iadi
115
pelllerintahan sebagai pelimpahall kekllasaan negara dari pelllerintah pusat, l<) Demikianlah maka se be narnya po lemik desenlralisasi kewe nangan pertanahan dapat dijelaskan dan tidak perlu berkepanjangan, sepanJang dilandasi nial luhur para
penye lenggara negara dan seyogyanya rlllllllsan di dalam revisi PP 2512000, tentang Pembagian Kewenangan Pemerintahan pada peillerintah pusat dan daerah, akan Illemu at substa nsi yang tidak me ningga lkan prinsip-prins ip tersebut di atas.
IV.
Penulup
Dari uraian Illengenai Illasa lah-masalah Hktllal dalam rangka refo rmasi agraria di Indonesia pad a bagian terdahulll , maka dapat di saillpa ikan res ume seka li gus sebaga i kesimpulan sebaga i berikut: I.
2.
19
Re formas i agraria di Indones ia sesunggu hnya telah dimu la i sejak ta hun 1960 secara norm at if namun dalam rea li sas inya me ngalami keteriambalan, berbagai hambatan id eo logis, politis dan pada akhirnya pro gra m landreform di Indonesia lermasuk gagal diba nding kan dengan Jepang dan Taiwan; Adanya isu kebijakan pemerintah untuk me lakukan landreform, khususnya ll1elakukan redistribusi tanah kepada rakyat miskin yang me liputi tanah seiuas 8,5 juta ha (60% untuk petan i tuna ki sma); dan s isanya 40% untuk perumahan dengan jangka wa ktu hak 100 lahun meme riukan pemikiran dan pe rumusan kembali terhadap ketentuan hukum positif ya ng berlaku. Hal itu agar pelaksanaan redistribusi tanah yang digagas pemerintahan SBY saat ini tidak mengulangi kegagalan pelaksanaan redistribusi yang te la h te rjadi di dasawarsa 1960-an. Hal 1111 dengan ll1empertill1bangkan beberapa isu kontemporer mengenai: a. masa lah mendasar dengan tenls bertambah me ningkatnya angka kemiskinan di perkotaan dan perdesaan;
Sebagai Pcmahaman kontekstual materi Undang-Undang Nomer 32 tahun 2004
yang seca ra sistematik telah mengatur di dalam BAB III dan BAB IV. berkenaan dengan Pembagian Kewenangan dan pe nydcnggaraan Pemerintahan dan dapat diterapkan dalam menguraikan penjelasan tcrhadap po lemik desentralisasi pcrtanahan yang dibahas ini
116
Jurnal Hukllm dan Pembanglillan Tahlln Ke-37 No. I Janllari-Marel 2007
b. c.
masalah penyelesaian sengketa tanah-tanah ulayat masyarakat hukum ad at yang belum tuntas; masalah sengketa desentralisasi kewenangan bidang pertanahan yang belum juga tuntas
AI/asalah Hukum Aklual dalam lVo(.'ona Rciormasi eli Indonesia. Sr{iadi
I J7
Oaftar Pustaka Buku Harsono. Boedi., Hukum Agraria Indones ia, Bagian Pertama , J ilid I, Jakarta: Pe nerbit Djambata n, Edisi Revis i 1999.
Hutaga lung, Arie S.. ef .01 .. Asas-asas Hukul11 Agraria, bahan kuliah Hukul11 Agraria FHUI , 1997. Indrawati, Sri Mulyani. Dr., "'Krisis Eko nomi Indonesia dan Langkah Reformasi", Pidato Ilmiah disampa ikan dalam acara Dies Natalis Uni versitas Indo nes ia ke-48, Kampus UI Depok, 7 Februa ri 1998. Kasi m, Ifdhal dan Endang Suhendar, Tanah Se baga i KOl1loditas, Cel. Perta ma, Jakarta: E LSAM, 1996. N isar, Said, H. M" Kajian tentang Peillbaruan Agraria dan Pengelolaan SDA TAP MPR NO: IX / MPRl2001 , paper lepas . Rajaguguk, Erman dalam di sertasi nya ya ng bej udul , "Hukul1l Agraria, Pola Pengllasaan Tanah dan Kebutuhan HidllP", Cel. Pertama, Jakarta: Chandra Pratama, 1995. Suj ad i, Suparj o."Pel1lbaharuan Hukum dalam Revis i UUPA, Kajian dari Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekono mi ", Majalah Hllkum dan Pembangunan, Edisi Khusus Dies-Natalis UI, February 2001.
Internet
"Apeksi Sumbagsel Tuntut Olonomi Pertanahan ". < http ://kompas.com/ ver IInusantara/ 061 1114IlS 11 2.htm> , d iakses, Selasa 19 AgllStU S 2006.
"DPRD
Kola
Bekasi
Perlanyakan
Kejelasan
Status
BPN ".
, diakses 19 AgustllS 2006.
"Adeksi menolak Perpres No. J 0 Tahun 2006. lenlang Badan Perlanahan < http: //www.adeksi.or.id/deta i I/deta iIpressre lease. php? Nas ional ", id=6>, diakses 19 Desember 2006. < http ://www.bangyos.comlid_berita-i s i.php?c id= l&id=274> , d iakses Rabu, 26 Juli 2006.
118
.furnal Hukum dan Pembangunan Tailun Ke-l7 No. I .fanuari-Maret 2007
FSPI., "Pandangan dan Sikap FSPf tentang Program Pembaruan Agraria Nasional", dalam situs , diakses 29 November 2006 . Gorontalo (SIB)" "8,1 Juta Hektar Lahan Di 1ndonesia Akan Di Bebaskan Untuk Rakyal", , diakses 25 November 2006. Medan Bisnis" "ProgramReformasi Agraria: Pemerintah Bagikan 8,2 Juta Hektar Lahan buat Petani", , diakses 29 September 2006. PBHI. , "Rencana Pemerinlah menjalankan "Relorma Agraria" di 1ndonesia," , d iakses 19 Oktober 2006. TEMPO 1nteraklif, "Pemerintah Bagikan 9 Jula Hektar Tanah" Kamis, 28 September 20061 19:54 WIB < http://www. tempointeraktif.com/hg/ ekbis/2006/09/28/brk,20060928 84977,id.html>. diakses 29 September 2006. Winoto, Joyo. , Harian Kampas, 13 Desember 2006 dikutip dari situs Bappenas: , diakses 18 Desember 2006.