MASALAH BESAR GAGAL, HAL KECIL DIBESAR-BESARKAN Sebagai seorang pegawai PLN dengan latar belakang enjiniring tulis menulis buat konsumsi umum merupakan hal baru dan belajar sekarang ini, pembaca harap maklum jika tata krama dan metoda kurang tepat, jadi tidak seperti seorang penulis atau jurnalis sebagaimana CEO kami pak Dahlan Iskan, terima kasih telah memotivasi saya. Tulisan CEO PLN "Puasa sebulan tanpa lebaran" yang dimuat Jawa Pos 2 Mei 2011, merupakan keputusan rapat direksi PLN pada bulan April di Pengandaran, dilanjutkan dengan rapat besar direksi dan seluruh pemimpin unit di salah satu hotel daerang Lippo Cikarang, sebagai cambuk bagi semua untuk mulai introspeksi diri, sebenarnya siapa yang salah dan tidak paham pada aturan dan inti permasalahan tentang SPPD tersebut, Direksi atau pelaksana?, dan beberapa hari kemudian ada pembaca yang mendukung pelaksanaan Puasa tersebut pada seluruh BUMN, maklum adat orang indonesia cuma bisa ikut-ikutan tanpa dipikir panjang, bagaikan pepatah dimana galah mengarah kesitulah bebek bergerak. Di PLN, SPPD merupakan akronim dari Surat Perintah Perjalanan Dinas, yang artinya pelaksana SPPD adalah petugas yang diperintah dan diberi tanggung jawab oleh atasannya langsung dan atau atasan yang lebih tinggi untuk menyelesaikan sesuatu hal atau pekerjaan diluar daerah tempat tugas kesehariannya, karena pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya, sebagai konsekwensi yang harus ditanggung perusahaan adalah biaya transport, akomodasi, tanggung jawab hukum dan fasilitas, serta K2 (Keselamatan Ketenagalistrikan) dan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) jika terjadi sesuatu pada pelaksana dalam menjalankan misi yang diemban tersebut, karena dia bertindak serta berwenang sebagai wakil perusahaan untuk memutuskan dan menyelesaikan masalah. pada prinsipnya SPPD ini berbeda dengan isi tugas yang sering dimuat di media dengan istilah Kunjungan Kerja, Studi Banding, dsb. Segala alasan dan semua argumentasi bagi orang yang tidak setuju puasa SPPD ditolak CEO seperti dibeberkan pada tulisan tersebut, dengan alasan inti karena SPPD merupakan sumber pemborosan, bagian lain sumber penghasilan, perjalanan gratis, dan lainnya, sehingga harus diterapkan puasa tersebut tanpa pengecualian dan tanpa dispensasi kecuali bagi pegawai yang sakit keras dan tidak dapat ditangani oleh rumah sakit setempat. Dari kedua konteks tersebut ada perbedaan mendasar yang perlu dicermati, secara aturan main maka SPPD PLN merupakan perlindungan hukum para pelaksana tugas dengan konsekwensi biaya. jadi bertentangan dengan kebijakan yang diberlakukan Direksi PLN, lebih mengutamakan segi biaya dengan tidak mengindahkan sisi hukum serta pertanggungjawaban perusahaan. Jika SPPD merupakan pemborosan atau hal lain yang menjadi alasan dasar kebijakan, maka perlu ditinjau lebih dalam sebetulnya siapa yang salah, pelaksana tugas atau pemberi perintah?. jelas pelaksana tidak punya kesalahan apapun, lantas apa yang melatarbelakangi pemberi perintah menugaskan orang tersebut kalau tidak karena keahlian dan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah yang terjadi atau masalah yang diperkirakan akan terjadi nanti sebagai langkah preventif. walaupun metoda pembuatan SPPD diajukan oleh pelaksana, tapi kalau atasan menganggap hal tersebut tidak perlu maka tidak akan terproses SPPD itu. Sekarang masalah mengerucut pada pemberi perintah atau penyetuju yang harus bertanggung jawab. sedalam apa dia mengetahui dan memahami lingkup tugas yang menjadi tanggung jawabnya, dan bagaimana mengambil langkah penyelesaian dari permasalahan yang dihadapi. apakah akan diselesaikan sendiri semuanya atau dibagi-bagi pada bawahannya sesuai dengan keahlian masing-masing. Mikroskop dibesarkan tertuju pada masalah keahlian atasan, adakah seorang atasan yang superman atau supergirl mampu menguasai dan menyelesaikan seluruh permasalahan sehingga tidak diperlukan lagi bawahan untuk menyelesaikannya, dan bawahan hanya sekedar tukang ketik konsep surat saja. Mikroskop lebih dibesarkan, maka masalah utama adalah pemilihan dan penempatan para atasan tersebut apakah betul-betul sudah the right man on the right place?. Pada beberapa pertemuan dan beberap tulisan CEO berbulan-bulan lalu, dijelaskan bahwa untuk pemilihan pada level direksi faktor kesalahan pilih bisa sampai 30-40%, untuk level bawah direksi 20-30% dan pemimpin unit maksimal 10%, sedang level dibawah pemimpin unit bisa sampai 30% tidaklah menjadi permasalahan, perusahaan akan berjalan dengan baik. Berarti "the right man on the right place" lebih banyak kesalahan terjadi ditingkat Pusat dibanding dengan Unit
pelaksana. Itu terbukti dari perbandingan biaya SPPD yang dikeluarkan selama ini sekitar 4:1, yaitu 4 untuk perjalanan tingkat manajemen atas kebanyakan orang Pusat dan Direksi dan 1 untuk tingkat manajemen bawah dan pelaksana di unit-unit, bagaikan pepatah Gajah Dipelupuk mata tak tampak, peladuk diseberang lautan kelihatan jelas. Kenapa orang kantor Pusat lokasi ruang kerja CEO banyak melakukan perjalanan?, Salah satu jawabannya adalah jalanjalan gratis seperti dijelaskan CEO, sedang jawaban lain bisa karena faktor ketidak percayaan terhadap laporan yang diberikan oleh unit yang mempunyai faktor kesalahan pilih lebih kecil, atau mencari penghasilan tambahan, karena kalau ke unit semua biaya biasanya ditanggung. sebagai contoh perjalanan darat CEO beserta rombongan ke Sulawesi beberapa kali, secara logika akan jauh lebih kecil biayanya jika jalan udara atau jalan darat sendirian tidak perlu diikuti rombongan dan kepanitiaan di unit penerima. karena kepanitiaan akan membikin ruwet dan harus menyewakan mobil khusus yang tidak dipunyai kantor, dan sebagainya. timbul pertanyaan untuk memperkecil biaya dan seremonial yang terjadi, kenapa CEO tidak meminta unit merekam saja daerah dan permasalahan yang ingin diketahui kemudian dikirimkan, atau menggunakan teknologi telewicara seperti yang diharapkan untuk dibudayakan?, kalau model pelaporan itu terjadi maka jalan-jalan gratis CEO tidak dapat terlaksana. Godaan jalan-jalan dan makan enak gratis jelas tidak terlintas dibenak Direksi, sebagai orang kaya biaya perjalanan tersebut bisa diganti jauh lebih besar dengan tanpa mengurangi sedikitpun kekayaan yang dimiliki, tapi bagaimana dengan pegawai dibelakangnya yang tidak punya penghasilan setinggi para direktur?. Lantas apa masalah utama yang membuat perjalanan tersebut tetap dilaksanakan?. karena faktor ketidak percayaan terhadap laporan yang sudah disampaikan unit, atau unit tidak berani memutuskan sehingga Direktur harus yang memutuskannya secara langsung di lapangan?. Ketidak percayaan adalah hal yang rumit, karena menyangkut kebijakan Direksi terhadap pelaksana yang diberi kewenangan. Jika lebih dalam lagi ditinjau adalah masalah kepribadian seseorang dan bagaimana kehidupan beragamanya, apakah betul-betul orang yang dipilih amanah, ta'at aturan komit terhadap janji seperti tokoh pewayangan Yudisthira dan Adi Pati Karno atau mereka bersifat seperti Sengkuni dan Pendita Dorna orang yang sering "AMAN-AH" (baca AMAN..AH)?. Seharusnya Direksi konsisten dan harus percaya terhadap laporan yang dikirim unit, karena dari awal sudah dipahami kalau yang terpilih sekarang hanyalah ksatria pewayangan level rendah saja. lantas kenapa perjalanan tersebut masih dilaksanakan jika masalah ketidakpercayaan bukan sebagai alasan?. hanya beliau yang mampu menjawab, yang pasti ALLAH lebih tahu segalanya walau masih didalam hati, termasuk hati bekas orang cina yang ditransplantasikan ke CEO. Kalau tidak, maka faktor Pendelegasian kepada unit untuk mengambil keputusan adalah masalah utama. artinya faktor "the right man on the right place" menjadi titik utama yang harus dibenahi, dalam arti direksi PLN harus benar-benar bisa memilih orang dengan suatu kriteria dan metode penilaian yang jelas secara transparan untuk ditempatkan serta bertanggungjawab pada suatu unit atau pada posisi-posisi tertentu di unit, sehingga semua keputusan dan kebijakan yang berhubungan dengan unit dapat diputuskan langsung oleh "the man behind the gun" secara cepat dan tepat. dengan demikian SPPD orang-orang Pusat ke daerah tidak diperlukan lagi. Jika hal ini terjadi biaya SPPD minimal sudah dapat dipangkas dan dihemat 60%, sehingga perbandingan SPPD turun dari 4:1 untuk kemenangan CEO menjadi draw 1:1, SPPD orang Pusat sesuai kebutuhan saja. Jika kesepahaman ini sudah terjalin dengan baik, maka tidak perlu lagi dibentuk satuan pemeriksa Internal yang ada di unit dan di Pusat, dimana tugasnya adalah melihat dan mengoreksi di internal unit, sedang yang Pusat memeriksa unitunit diseluruh indonesia, karena semua sudah betul-betul mengerti dan memahami aturan serta menerapkan secara benar sehingga tidak akan terjadi korupsi atau kesalahan lain. semua sudah terkontrol rapi, dan mereka bekerja sesuai aturan dengan metoda penilaian serta pemilihan yang sangat transparan serta adil. apakah hal ini bisa tumbuh dengan cara Puasa SPPD sebulan, ataukah sistim untuk membuat kesepahaman dibuat terlebih dulu baru diterapkan puasa?. kalau sistim harus dibuat terlebih dulu, artinya puasa sekarang sebetulnya salah besar, tapi tidak ada salahnya diterapkan sebagai latihan dengan tanpa pengecualian serta tanpa dispensasi agar lebih terasa pada semua lapisan, serta untuk peningkatan pamor. sayang sepertinya Surat perintah direksi puasa SPPD tanpa pengecualian dan dispensasi tersebut tergoda dua kejadian yang harus ditanggung pemimpin, mungkin merupakan pembelajaran lebih dalam dan untuk mengetahui sisi mana
dasar pemahaman utama kebijakan tersebut, yaitu PLN sebagai tuan rumah Konferensi Internasional Metering Asia dan Sertifikasi penyelesaian proyek di NTT yang tertunda. Kebetulan saya ditunjuk menjadi salah satu pembicara pada konferensi tersebut, maka timbul kebijakan baru pengecualian bahwa semua biaya SPPD akan ditanggung oleh CEO. so pasti saya sangat senang bisa dapat fasilitas tersebut karena yang jelas beliau tidak mungkin mentelantarkan kami dengan memberikan fasilitas seperti jatah SPPD biasa, jika ke Jakarta saja harus cari teman untuk kongsi menginap di hotel dekat kantor Pusat, apalagi ini di Nusa Dua Bali yang pasti sulit ditemukan hotel dibawah 600 ribu semalam, dan pertemuanpun diadakan di hotel Westin yang mahal itu. masalah biaya harusnya teratasi dengan mudah oleh kekayaan CEO, tapi ada hal yang teramat penting perlu menjadi perhatian yaitu legal aspek yang belum teratasi. saya harus menyampaikan tentang permasalahan listrik prabayar saat ini yang telah saya tuliskan pada CEO kalau program ini merupakan Bom Waktu kerugian PLN mendatang, dan bagaimana cara memperbaiki sistem yang kurang berjalan baik tersebut dengan membuat standar PLN untuk meter serta sistem prabayar, yang akan diterapkan mulai pertengahan tahun 2011 untuk standar meternya, sedang sistemnya masih menggunakan metode lama. Beberapa item pada standar PLN ini bertentangan dengan standar IEC (International Electrotechnical Commission) yang diacu oleh banyak negara dan mereka mengalami beberapa masalah. secara hukum yang mempunyai hak menyampaikan dokumen adalah perusahaan, walaupun tim pembakuan PLN yang membuatlah yang menguasai isi materinya. Dengan kebijakan tanpa SPPD maka tidak satupun orang di PLN yang mempunyai hak untuk menyampaikannya keluar, apalagi ini harus disampaikan ke forum pertemuan Internasional. begitulah isi kalimat yang saya sampaikan ke organiser "jika saya tidak dapat hadir karena saya harus menghormati keputusan Direksi Puasa SPPD, jika saya hadir secara pribadi maka materi tersebut tidak dapat saya sampaikan". walaupun pada akhirnya saya dapat surat perintah untuk pergi pada pertemuan tersebut dari sekretaris perusahaan yang mengacu pada hasil rapim, dan biaya SPPD akan di reimbus oleh CEO sesuai kwitansi pengeluaran di lapangan dengan acuan pengeluaran seminimal mungkin yang rinciannya harus lebih kecil dari layaknya SPPD resmi. Alahmak .... sudah jatuh ketimpa tangga pula aku ini dan semua bagai pungguk merindukan bulan. yang pertama apakah surat sekretaris perusahaan bisa menganulir surat direksi, dan yang kedua aku harus pinjam uang belanja istri untuk biaya awal pergi ke pertemuan tersebut. coba kalau aku kaya seperti pak Dahlan, pasti tidak akan ada masalah mengenai pembiayaan itu walau tidak digantipun tidak akan mengurangai kekayaan saya, dan akan saya tunjukan pada delegasi lain kalau peserta dari PLN sebagai tuan rumah mempunyai fasilitas cukup layak, dan lucunya direksi lain berangkat kesana dengan status cuti, lantas bagaimana legal aspek dari yang disampaikan?. Demikian juga untuk masalah satunya yaitu sertifikasi proyek di NTT, ini merupakan masalah legal aspek yang harus dipahami CEO. apakah bisa seseorang tanpa perintah tugas menandatangani dan menyetujui hasil pengujian?, demikian juga dengan petugas sertifikasi, jika mereka dari PLN JASER, apakah bisa unit mengeluarkan sertifikasi dan memberi perintah petugas untuk pergi?, padahal keduanya harus tunduk dan patuh pada surat Direksi untuk Puasa SPPD. legalkah hasil sertifikasi tersebut? jika model ijin pengecualiannya adalah pelintiran kalimat seperti kekhilafan CEO, kesalahan direksi karena keterlambatan proyek tersebut, maka metode pembenaran diri begini akan berlaku untuk semua masalah nantinya, dan bagaimana dengan acuan hukumnya, dan bagaimana nasib pegawai jika aturan bisa dipelintir-pelintir begini?. saya juga tidak mengerti, mengapa jajaran Direksi membiarkan langkah CEO yang salah?, ini ada 3 kemungkinan: pertama para direksi takut, kedua para direksi tidak ambil pusing yang penting penghasilan tetap tinggi, ketiga para direksi juga tidak memahami aturan dan hanya berfungsi sebagai pelaksana tugas Dirut?, apakah ini yang disebut kekompakan, pengebirian atau langkah penyelamatan dan pencitraan diri saja?, saya juga tidak mengerti mengapa demikian. yang jelas petugas di unit melaksanakan tugasnya siang-malam sampai berdarah-darah demi melayani pelanggan yang selalu digembar-gemborkan CEO, sedang nasib mereka tidak diperhatikan dan tidak diperjuangkan. apakah puasa ini bukan pendholiman pada pegawai?. saya sitir syair Ebiet G Ade ".... Tengoklah kedalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat, o.o.oh. singkirkan debu yang masih melekat". yang banyak melakukan pemborosan adalah tempat CEO, sedang yang dikenakan aturan pengetatan adalah pegawai rendahan. sebetulnya masalah Puasa SPPD itu bukanlah hal baru bagi pegawai PLN. Istilahnya Pembatasan SPPD pernah terjadi mulai sekitar tahun 1989 yang diberlakukan selama pak Darwin menjabat sebagai Direktur SDM dan pak Yamin sebagai
Dirut, bedanya semua faktor yang menjadi tanggung jawab perusahaan masih diperhitungkan sehingga pelaksana tidak dirugikan, dan hasilnya sangat baik. sedang puasa SPPD sekarang ini banyak faktor yang tidak diperhatikan sehingga merugikan pelaksana, yang akhirnya dalam jangka panjang akan merugikan perusahaan secara besar. karena efek yang terjadi di kelistrikan adalah satu atau dua tahun mendatang setelah kebijakan diterapkan. sebagai contoh program penyambungan sejuta pelanggan, adalah program tanpa rencana dan akibatnya mulai terlihat sekarang banyak trafo yang overload dan rusak, harus dilakukan banyak pengadaan trafo, banyak pelanggan mengeluh karena padam, dan kondisi sudah menjalar pada ketidak mampuan daya pembangkit. untuk contoh yang lebih umum adalah mobil yang harusnya diganti olie mesin, tidak dilakukan penggantian saat ini dan ditunda beberapa bulan kemudian, mobil memang masih bisa berjalan tapi makin lama performance makin turun dan efek lebih lanjut, mesin mulai berbunyi aneh, selanjutnya akan berakibat pada umur layak pakai mobil akan jadi berkurang, demikian juga dengan PLN. sebagai contoh lain, petugas pengujian yang seharusnya melakukan uji alat ke lokasi diluar areanya tidak dapat dilaksanakan, kalau dilaksanakan pasti atasan melakukan tipu-menipu laporan keuangan, bagaimana mereka bisa pergi dengan membawa alat test yang seabrek tanpa adanya biaya transportasi?, saya rasa hal itu yang terjadi pada perbaikan 8 tiang rusak kena longsor di daerah medan yang dituliskan CEO baru-baru ini, apakah para pelaksana tugas melakukan urunan untuk membiayai perjalanan tersebut?. jika hal ini benar maka itu artinya telah terjadi pendholiman pada pegawai dan seolah-olah mereka adalah pekerja rodi. demikian juga dengan tim yang harus membahas dan membuat standar-standar baru PLN maupun yang revisi standar yang ada, agar dalam pengadaan barang dan sistem nantinya tidak merugikan seperti yang terjadi dengan prabayar sekarang ini, mereka juga tidak dapat berkumpul untuk menyelesaikannya. termasuk yang melakukan uji petik serta uji klarifikasi alat yang sudah dibeli PLN, petugas dari unit harus datang dan melihat langsung barang yang diuji bersamasama kontraktor, kemudian hasil ujinya ditandatangani bersama. nah kalau tidak ada SPPD sebagai bukti legal petugas diperintah maka tidak mungkin sertifikat dapat disetujui dan dikeluarkan, lantas apa yang harus dilakukan unit yang membutuhkan peralatan tersebut untuk dipasang bagi keperluan pelanggan, akhirnya terjadilah tipu-menipu pelaporan atau meminta kontraktor untuk membiayai, dan sebagainya dan sebagainya, legalkah ini?. apakah memang cara-cara begini yang diharapkan CEO dalam rangka peningkatan citranya sebagai orang yang sukses memanage perusahaan sebesar PLN, serta masih banyak lagi masalah kerugian dengan diberlakukannya puasa SPPD yang tidak tepat ini jika diurai satu persatu. ada lagi contoh yang menarik, jawa pos memuat laporan CEO dari Negeri Iran awal bulan Mei. secara hirarkhi beliau bisa pergi menggunakan SPPD, karena surat Puasa SPPD dikeluarkan oleh bawahannya, jadi tidak berlaku baginya, ini merupakan teori pembenaran diri. jika beliau menghormati aturan yang dibuat maka seharusnya kepergian ke Iran tersebut tidak dilakukan. kalaupun dilakukan beliau harus cuti karena semuanya ditanggung sendiri. nah yang jadi permasalahan apakah perjanjian atau kesepakatan hasil beliau jalan-jalan melihat 11 wanita cantik dari 10 wanita yang ada di Iran tersebut bisa digunakan sebagai agreement perusahaan?, secara legal hal itu tidak bisa, karena statusnya adalah cuti atau perjalan pribadi. demikian juga dengan kepergian-kepergian keluar Jakarta yang CEO lakukan lainnya. kalaulah memang terjadi kekompakan di tinggkat direksi, maka rasa saling menghormati dan saling menghargai haruslah ditegakkan, bukan penghinaan seperti yang telah terjadi. singkat kata bahwa kebijakan puasa SPPD berlaku untuk semua saat ini merupakan suatu langkah yang salah. kalau memang dikatakan kebijakan tersebut adalah hasil cara berfikir "out of box", seharusnya dijelaskan dulu "seperti apa dan bagaimana bentuk box itu", kalau box sudah jelas barulah itu langkah yang tepat dilakukan puasa SPPD terutama untuk manajemen atas yang kebanyakan orang Pusat tempat CEO berkantor, artinya kejelasan Job Rule dan Tanggung Jawab dari masing-masing unit terurai dengan jelas, sehingga dapat dibuat Job desk dari masing-masing petugas di unit tersebut sesuai dengan kebutuhannya, dan itulah bentuk dari box tersebut. kemudian dipilah-pilah untuk unit-unit bisa dilakukan puasa SPPD secara optimal sesuai kebutuhan, sehingga pelaksanaan preventive maintenance, pelayanan, pengujian, standarisasi dan sertifikasi dapat berjalan sesuai rencana untuk memberikan hasil kinerja yang baik dimasa mendatang. Kondisi sekarang Job rule Unit tidak jelas dan banyak program interfensi Direksi tanpa solusi sesuai lapangan sangat dominan, apalagi dengan job desk pegawai yang bekerja berdasar program yang tidak jelas atau mengikuti pelaksana yang lalu?.
Sebetulnya sampai dengan saat ini, seluruh pegawai PLN masih terus menunggu bukti hasil tulisan dan omongan pak Dahlan Iskan di Jawa Pos sebelum jadi DIRUT PLN, yang mengatakan bahwa pembangkit PLN salah Makan dan salah Minum, jika itu dibenahi maka PLN akan bisa membaik. Sekarang sudah 1,5 tahun bapak jadi CEO PLN, tidak pernah diinformasikan keberhasilan tersebut, malah yang muncul berita dari mulut ke mulut dan beberapa media, saat ini pembangkit PLN masih tetap makan makanan yang salah dan malah terlalu banyak minum dari minuman yang salah itu. artinya kondisi PLN sekarang malah jauh lebih buruk dibanding Dirut sebelumnya. Mana yang lebih penting, berita keberhasilan program-program kecil yang CEO tuliskan atau berita kerugian besar yang akan membawa kehancuran PLN kedepan disampaikan dari mulut ke mulut. Tahun lalu bapak klaim bahwa PLN untung 10 trilyun, secara evaluasi proses sebetulnya keuntungan itu bukan hasil usaha bapak, tapi merupakan hasil usaha dari direksi sebelumnya, karena perhitungan pelaporan baru dapat diketahui pada tahun berikutnya dan bapak baru bertugas bulan Nopember 2009. dan tahun ini juga terdengar klaim bahwa PLN untung 10 Trilyun, tapi kenapa teman-teman yang baru pensiun 2011 menerima pesangon turun sekitar 20% dibanding dengan penerimaan para pensiunan tahun 2010. apakah itu pemotongan itu bagian dari hasil klaim tersebut?, kalaulah klaim itu benar, maka keuntungan itu seharusnya dirasakan pula atau ada hadiah yang sampai pada kami-kami pegawai di level bawah? padahal pendapatan sekarang tidak berubah membaik, justru fasilitas yang diterima semakin menurun. terus kemana uang klaim tersebut?. bahkan semakin banyak pemotongan fasilitas di unit, termasuk rumah sakit yang dilanggan jadi menurun pada rumah sakit yang kurang bermutu. kenapa begitu kontrakdiktif berita yang diekspos dengan kenyataan yang dialami pegawai?. apakah ini yang dikatakan bahasa politis pencitraan diri, 1 ditambah 1 hasilnya tergantung pada situasi dan lokasi dimana bicara?. Saya katakan PLN pernah Jaya, bapak boleh tanyakan pada para direksi disekitar bapak, dimana waktu itu pegawai betulbetul dipegawaikan dan dihargai layaknya pegawai oleh perusahaan, penghasilan kami bisa meningkat 3x lipat dari sebelumnya sehingga mendekati perusahaan-perusahaan besar yang ada waktu itu, kami terima jasa produksi sampai 3x dalam 1 tahun, ada uang bantuan sekolah, ada uang keagamaan, dapat baju seragam 2x pertahun, teman-teman pelaksana bawah ada uang piket dan uang lembur, dan fasilitas kesehatan yang memadai, sehingga pegawai dapat berkerja dan berkarya secara maksimal. sebagai bukti saat itu untuk pertama kalinya PLN masuk kategori perusahaan sehat dengan susut nasional 12% yang dihitung secara murni dari pembayaran rekening listrik saja, tanpa memasukan penghasilan pembayaran KVARH, P2TL, dan lainnya. sangat kontradiktif dengan sekarang, susut dikatakan 1 digit artinya dibawah 10% dengan cara perhitungan semua hal yang berupa uang masuk digunakan sebagai pembandingnya. fasilitasfasilitas yang kami dapatkan terus menurun, sampai pada uang penerimaan pesangon pensiunan 2011 yang dipotong tersebut, apakah ini bukan pendholiman?. untuk itu saya usulkan, tolong bapak lakukan evaluasi segala sesuatu yang dijadikan target kinerja oleh Pusat pada unitunit diperhitungkan secara real beracuan pada nilai biaya investasi dan operasionalnya, sebagai contoh bila ditargetkan penurunan tingkat waktu pemadaman dari 60 menit menjadi 45 menit, maka mereka harus menghitung berapa rupiah nilai investasi yang diberikan dan berapa rupiah biaya operasional yang dikeluarkan untuk mencapai target tersebut. dengan demikian maka kinerja PLN bisa terukur seperti pada saat PLN jaya dulu dibawah pak Yamin, jadi bukan hanya show figure kalau waktu padam sudah bisa diturunkan. Demikian juga dengan program-program yang dibebankan ke unit-unit serta pembangunan pembangkit uap skala kecil harus diperhitungkan pencapaian targetnya terhadap biaya, sehingga perbaikan kinerja perusahaan dan kinerja managerial dapat dievaluasi secara nyata. Jadi bukan hanya penyampaian figure target tercapai seperti yang selama ini diberitakan, sehingga berita mulut ke mulut jika pembangkit PLN dibawah kepemimpinan bapak makan dan minum masih salah dan porsinya lebih banyak dari pada sebelumnya, dengan biaya investasi dan operasional yang jauh lebih besar dapat di patahkan ketidak benarannya. SAMPAIKANLAH YANG BENAR ITU BENAR WALAU TERASA AMAT PAHIT RASANYA