Buku Kecil Pendorong Besar Deforestasi 24 katalis untuk mengurangi deforestasi hutan tropis dari “resiko komoditas hutan”
UCAPAN TERIMA KASIH
Global Canopy Programme adalah sebuah program pengkajian di bidang hutan tropis yang bekerja untuk mendemonstrasikan kasus melalui pendekatan sains, politik dan bisnis untuk menjaga hutan sebagai modal alam yang mendukung keberadaan air, makanan, energi, kesehatan, kemanan iklim untuk semua. GCP bekerja melalui jaringan international yang dimiliki – yang terdiri dari komunitas, pakar ilmuwan, pembuat kebijakan, dan pemimpin keuangan dan perusahaan – untuk mendapatkan bukti, pencerahan, dan aksi katalis untuk menghentikan hilangnya hutan dan meningkatkan kualitas hidup manusia yang bergantung pada hutan. Kunjungi www.globalcanopy.org untuk informasi selanjutnya.
Penulis utama: Mario Rautner, Matt Leggett, Frances Davis. Dengan kontribusi siknifikan dari beberapa staff Global Canopy Programme. Harap mengutip publikasi ini dengan Rautner, M., Leggett, M., Davis, F., 2013. Buku Kecil Pendorong Besar Deforestasi, Global Canopy Programme: Oxford. © Global Canopy Foundation 2013 Ini adalah cetakan pertama Buku Kecil Pendorong Besar Deforestasi, dipublikasikan November 2013 Published by: Global Canopy Programme, 23 Park End Street, Oxford, OX1 1HU, UK.
Publikasi ini didanai dan diproduksi dengan dukungan penuh dari Pemerintah Australia dan United Nations Environment Programme (UNEP). Publikasi dalam Bahasa Indonesia difasilitasi United Nations Office for REDD+ Coordination in Indonesia (UNORCID) dengan pendanaan dari UN REDD Programme.
This activity received funding from the Australian Government as part of the International Forest Carbon Initiative. The views expressed herein are not necessarily the views of the Commonwealth of Australia, and the Commonwealth does not accept responsibility for any information or advice contained herein.
Kontribusi eksternal bagi buku ini diterima dari Duncan Brack, Associate Fellow, Chatham House; Associate, Forest Trends Rachel Butler, Independent Technical Advisor to the European Timber Trade Federation Bruno Dorin, CIRAD and CIRED EU FLEGT Facility Global Witness James Hulse, CDP Shoana Humphries, Earth Innovation Institute Katie McCann, Earth Innovation Institute Dan Nepstad, Earth Innovation Institute Claudia Stickler, Earth Innovation Institute Nathalie Walker, National Wildlife Federation Daphne Yin, Forest Trends’ Ecosystem Marketplace Terima Kasih Kepada Tim Christophersen, UNEP Edward Davey, The International Sustainability Unit Pipa Elias, Union of Concerned Scientists Thomas Enters, UNEP Iain Henderson, UNEP-FI Steve Matzie, USAID Development Credit Authority Kami akan terus menyempurnakan Buku Kecil Pendorong Besar Deforestasi dan umpan balik dari Anda akan disambut baik. Kirimkan komentar ke:
[email protected]
Desain Grafis oleh Georgina Lea dan Goldborough Studio. 3
© Katie Evans, CIFOR
© Geoff Gallice
Kuntoro Mangkusubroto Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Indonesia
Sejarah memperlihatkan bahwa deforestasi terkait dengan pembangunan ekonomi suatu negara. Hutan diubah menjadi barang seperti makanan, kayu, dan sumber energi di tahap awal pertumbuhan ekonomi, serta dieksploitasi untuk mendapatkan komoditas bernilai tinggi seperti mineral, bahan bakar hayati, serta minyak dan gas di tahap akhir pembangunan. Semua tindakan ini mengakibatkan hilangnya 50% hutan tropis dunia, yang berdampak pada penghidupan masyarakat yang bergantung pada hutan, mengurangi keanekaragaman hayati, dan memperbanyak emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Indonesia merupakan rumah bagi hutan alam tropis terbesar kedua di bumi ini. Kehancuran sumber daya alam kita memberikan gelar yang tidak menyenangkan ke negara kita sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia dari kegiatan tata guna lahan, deforestasi, dan degradasi hutan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan berani menerima tantangan ini ketika membuat komitmen untuk menurunkan emisi 41 persen dengan dukungan dari komunitas internasional, sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara berkembang pertama yang dengan sukarela berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya. Oleh karena itu, Indonesia membentuk kemitraan dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia untuk reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+). Agar Indonesia dapat mewujudkan sasaran penurunan emisi nasional yang ambisius ini dan berhasil melaksanakan program REDD+ nasional, pendorong dasar deforestasi harus diatasi. Saya berterima kasih atas upaya tanpa henti dari Sistem PBB, melalui United Nations Office for REDD+ Coordination in Indonesia (UNORCID) dalam memfasilitasi penyebaran informasi penting dalam Bahasa Indonesia. Terima kasih juga, kepada Global Canopy Programme yang telah membuat Buku Kecil Pendorong Besar Deforestasi.
Semoga seri buku ini terus memberikan inspirasi kepada pembuat kebijakan dan masyarakat Indonesia untuk memastikan bahwa masa depan bangsa kita berkelanjutan, berkeadilan, dan sejahtera. 6
© Neil Palmer, CIAT
Memperluas akses ke informasi tentang pendorong deforestasi di tingkat global memberikan pengetahuan kepada Indonesia untuk mengubah hubungan antara hutan dengan masyarakat. Seperti yang kita ketahui bersama, tanpa pengelolaan hutan dengan cara yang berkelanjutan, masyarakat tidak akan dapat bertahan hidup. Publikasi buku ini dalam Bahasa Indonesia meningkatkan pemahaman semua pihak tentang pendorong deforestasi, dan meningkatkan kemampuan pembuat keputusan untuk melaksanakan solusi yang mengatasi inti dari persoalan deforestasi yang kompleks ini.
Andrew Mitchell PENDIRI DAN DIREKTUR, GLOBAL CANOPY PROGRAMME
Deforestasi hutan tropis terjadi pada skala industri selama beberapa dekade, yang awalnya didorong adanya permintaan atas kayu. Namun, dampak dan kompleksitas penyebabnya telah sangat berkembang karena semakin banyak hutan yang ditebang selain untuk mendapatkan kayu, namun juga untuk lahan cocok-tanam komoditas lain. Banyak wilayah di Amazon dibuka untuk peternakan dan produksi kedelai, dan di Asia, hutan gambut dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Walaupun hutan tampak tak punya nilai ekonomi namun jika dikonversi menjadi agribisnis dapat mendatangkan pengembalian investasi yang sangat tinggi. Saat ini Afrika sedang menjadi target investor yang lapar lahan murah; banyak hutan di kawasan ini ditebangi untuk pertanian guna memberi makan penduduk dunia yang semakin banyak. Banyak manfaat ekonomi seharusnya diperoleh negara yang terdeforestasi, tapi manfaat tersebut belum merata, dan beberapa biaya terbesar belum dihitung. Biaya terbesar ini mencakup biaya untuk ketahanan pangan, energi, kesehatan dan air. Banyak kajian menduga nilai ekonomi jasa ekosistem yang hilang karena deforestasi dapat mencapai US$ 2-4 triliun per tahun. Apa yang mendorong proses ini? Pendorong deforestasi industri berperan di sepanjang rantai pasokan global, dari petani dan peternak kecil hingga pengolah makanan dan konsumen di lorong supermarket di seluruh dunia. Gelombang arus uang masuk mendorong rantai pasokan ini, dari manajer keuangan di pasar modal hingga kepala kehutanan di garis terdepan hutan tropis. Komoditas seperti daging, kedelai dan kelapa sawit diperdagangkan dalam hitungan detik di pasar keuangan, dalam usaha global senilai US$ 92 miliar per tahun, dipimpin pengelola dana yang menuntut pengembalian dari perusahaan dalam rantai pasokan. Jauh dari tempat hutan dulu berada, konsumen internasional mencari ayam, produk kulit, sampo atau coklat murah, semuanya merupakan ‘komoditas yang beresiko mengancam hutan’, membeli produk ini tanpa menyadari dampak dari pilihan mereka pada hutan dunia. Walaupun pada saat ini belum diketahui bagaimana caranya memproduksi komoditas yang disebut diatas tanpa mengakibatkan deforestasi, namun sedang diupayakan untuk menemukan jawabannya. REDD+ muncul sebagai kemungkinan mekanisme untuk memberikan penghargaan ke negara yang telah menurunkan emisi dari deforestasi. Forum Consumer Goods telah menetapkan target, tidak ada net deforestation (deforestasi bersih) dalam rantai pasokan 400 perusahaan tahun 2020. Program kehutanan CDP, yang awalnya diciptakan GCP sebagai Forest Footprint Disclosure Project telah melibatkan 800 perusahaan. Saya harap buku ini akan membantu mempercepat kemajuan, dengan memberikan pemahaman yang lebih baik kepada pembuat kebijakan dan pemimpin perusahaan 8
tentang driver of deforestation (pendorong deforestasi), dan beragam kemungkinan solusi. Pada akhirnya, merekalah yang harus menggagas insentif dan kerangka kerja baru untuk perubahan yang dibangun bukan hanya pada harapan pasar karbon melainkan pada peralihan menuju pertanian berkelanjutan dan ketahanan lingkungan yang lebih besar bagi semua pihak. Hutan, sebagai modal alam yang sangat penting bagi masa depan kita, terlalu berharga untuk disia-siakan.
Isi MEMBINGKAI TANTANGAN Bagaimana Buku Ini Dapat Membantu Hutan Tropis Dan Produksi Komoditas Pengembangan Komoditas & Perannya Dalam Deforestasi Tropis Kecenderungan (Trends) Deforestasi Konteks Internasional
KATALISATOR RANTAI PASOKAN 12 14 15 18 32
PENYEBAB DASAR DEFORESTASI Pendahuluan Pertumbuhan Penduduk Dan Permintaan Untuk Komoditas Tata Kelola Perubahan Iklim Kemiskinan Prasarana Keuangan
40 41 42 44 46 50 52
PENDORONG KOMODITAS BERBASIS LAHAN Pendahuluan Metodologi Tahap Rantai Pasokan Minyak Sawit Dan Bahan Bakar Hayati Kedelai Daging Sapi Dan Kulit Kayu, Bubur Kertas Dan Kertas Interaksi Antara Penyebab Dasar Dengan Pendorong Komoditas Berbasis Lahan
58 59 60 68 80 92 104 116
KERANGKA KERJA ANALISIS Pendahuluan Petunjuk Ikon Dan Katalisator Kunci Ikon
124 131 132
Produktivitas Dan Efisiensi Pertanian Sertifikasi Kampanye Pasar Konsumen Penegakan Hukum Dan Pemantauan Pengadaan Pemerintah Strategi Penggunaan Lahan Kode Etik Dan Standar Bantuan Teknis Moratoria
138 139 142 143 144 146 149 151 152
KATALISATOR KEUANGAN Komitmen Pasar Lanjutan (Advance Market Commitment) Investasi Bersama (Co-investment) Concessional Credit Lines (Kredit Konsesional) Kriteria Pinjaman Lingkungan (Environmental Lending Criteria) Jaminan (Guarantee) Asuransi Aktivisme Pemegang Saham
156 158 159 160 161 164 168
KATALISATOR PERATURAN Kejelasan Kepemilikan Lahan Tarif Impor Hukum Internasional Dan Perjanjian Bilateral Undang-Undang Nasional Perencanaan Dan Koordinasi Nasional REDD+ Subsidi Insentif Pajak
174 175 178 182 186 188 189 190
ANALISIS KESENJANGAN DAN KESIMPULAN Rangkuman Hambatan Untuk Pelaksanaan Efektif
194 196
LAMPIRAN Catatan Akhir Kontributor Eksternal Catatan Akhir Akronim
10
202 217 222
11
MEMBINGKAI TANTANGAN
Bagaimana Buku Ini Dapat Membantu Selama satu dekade terakhir, permintaan atas hasil pertanian untuk pangan, pakan ternak dan bahan bakar serta produksi komoditas telah mengancam hutan dan menyebabkan lebih dari 50% deforestasi dan 60% degradasi hutan di negara tropis dan subtropis1, memberikan dampak besar pada perubahan iklim, jasa ekosistem (lingkungan), dan keberlanjutan pembangunan ekonomi jangka panjang. Untuk mengurangi dampak dari komoditas ‘yang mengancam hutan’, sebagai pendorong deforestasi maka pembuat keputusan di sektor pemerintah dan swasta harus memahami saling ketergantungan berbagai pendorong deforestasi, dan hubungan antara kebijakan dan pasar dengan perangkat perubahan tata guna lahan di negara hutan tropis. Meningkatnya apresiasi terhadap kompleksitas lanskap akan memungkinkan pembuat keputusan terlibat dalam produksi, perdagangan dan pengaturan komoditas yang mengancam hutan untuk mengidentifikasi dan melaksanakan solusi guna mengatasi masalah yang mendesak ini. Untuk menanggapi kebutuhan ini, Buku Kecil Pendorong Besar Deforestasi (The Little Book of Big Deforestation Drivers) menguraikan konteks global pendorong deforestasi, memberikan gambaran terperinci tentang rantai pasokan komoditas terpenting yang mengancam hutan, dan memberikan kerangka kerja jelas dan nyata, yaitu 24 katalisator peraturan, pasar dan rantai pasokan untuk mengurangi deforestasi karena komoditas ini.
© Credits
© Katie Evans, CIFOR
Penulis tidak berfokus pada katalisator tertentu, melainkan ingin merangsang dialog, mendorong kolaborasi sektor pemerintah dan swasta, dan berkontribusi bagi upaya global mengurangi deforestasi dan degradasi di negara hutan tropis.
14
Hutan Tropis Dan Produksi Komoditas
Pengembangan Komoditas & Perannya Dalam Deforestasi TropiS
Buku ini berfokus pada hutan dan ekosistem hutan di wilayah tropis dan subtropis* – jejaring tumbuhan, satwa, organisme mikro serta masyarakat adat dan lokal yang saling bergantung, hidup bersama dan berinteraksi di lahan hutan wilayah tropis khatulistiwa.
Kami mendefinisikan komoditas berbasis lahan sebagai barang dan bahan mentah yang diperdagangkan secara global, berasal dari ekosistem hutan tropis, baik langsung dari wilayah hutan, atau dari wilayah yang sebelumnya berada dalam tutupan hutan, yang ekstraksi atau produksinya sangat mendorong deforestasi dan degradasi tropis dunia.
Luas hutan tropis sekitar 7% dari luas dunia, tapi menjadi habitat bagi setidaknya setengah keanekaragaman hayati bumi ini2, juga sangat berharga bagi manusia karena memberikan barang ekonomi (seperti pangan, kayu dan kayu bakar), keanekaragaman hayati, dan jasa ekosistem di tingkat lokal, regional dan global (lihat halaman 24). Hamparan hutan tropis terluas ditemukan di Amazon Basin, Congo Basin dan Asia Tenggara. Hingga 50% dari hutan tropis dunia telah ditebang3, menjadi salah satu perubahan guna lahan antropogenik terpenting dalam sejarah. Pendorong utamanya adalah konversi dan eksploitasi hutan untuk memenuhi naiknya permintaan global atas komoditas dari hutan, seperti kayu dan kertas, mineral, minyak dan gas, serta pangan dan bahan bakar hayati. Dalam mengidentifikasi negara penghasil komoditas yang beresiko mengancam hutan dan peran komoditas dimaksud diatas yang mendorong deforestasi, juga pada saat menerapkan data perdagangan global pada komoditas yang mengancam hutan, buku ini menggunakan konsep fase peralihan hutan – urutan empat tahap berulang yang melibatkan hutan dan perubahannya. Empat tahap ini merangkum berubahnya hubungan sejarah antara hutan dengan masyarakat4.
* Buku ini menggunakan definisi hutan dari Food and Agricultural Organisation (FAO) – “dengan luas lebih dari 0,5 ha dengan tinggi pepohonan lebih dari lima meter dan tutupan lebih dari 10%, atau pohon asli dapat mencapai ambang ini.”
16
Keempat tahap ini terdiri dari: tutupan hutan yang awalnya tinggi dengan laju deforestasi rendah (pra-peralihan); deforestasi meningkat, lalu meninggi (peralihan awal); setelahnya, deforestasi melambat dan tutupan hutan mulai stabil (peralihan akhir); dan tahap akhir reforestasi (pasca peralihan)5. Buku ini berfokus pada tiga fase peralihan pertama karena deforestasi paling sering terjadi pada tiga fase pertama ini. Negara dalam fase peralihan keempat biasanya telah mulai aforestasi atau telah menjadi negara pengolah komoditas dan industri, tidak terlibat dalam pembukaan hutan tropis.
Hutan tropis merupakan sumber lebih dari 5.000 komoditas yang diperdagangkan secara komersial6. Produksi dan perdagangan komoditas ini memberikan banyak manfaat ekonomi bagi negara penghasil. Misalnya, kelapa sawit merupakan komoditas ekspor pertanian terbesar Indonesia dan punya potensi membantu jutaan rakyat keluar dari kemiskinan7. Di Brazil kedelai juga mengurangi kemiskinan dan mengangkat nilai tengah pendapatan8. Kendati membantu perkembangan ekonomi, permintaan global atas komoditas ini mendorong konversi hutan tropis menjadi lahan pertanian. Degradasi hutan dan deforestasi menghambat pemberian jasa ekosistem penting yang mendukung ketahanan pangan, air, kesehatan dan penghidupan (lihat halaman 24), sehingga mengancam kelangsungan ekonomi produksi dan perdagangan komoditas dalam jangka panjang sebagai jalur pembangunan. Karena itu, buku ini berfokus pada komoditas yang berdampakbesar pada hutan tropis dan jasa ekosistem. Komoditas ini meliputi kelapa sawit, kedelai, daging dan kulit, bubur kertas, dan kayu, serta dampaknya – melalui konversi hutan. Dalam beberapa dekade terakhir, lebih dari 80% lahanperkebunan baru yang sebelumnya adalah hutan utuh dan tak terjamah9. Rantai penghubung komoditas mentah dengan konsumen dan produk akhir industri sering melibatkan banyak aktor dan sangat rumit. Akibatnya, perusahaan atau individu biasanya sulit mengetahui asal-usul atau dampak produk yang mereka olah, dagangkan, ecerkan atau konsumsi. Hal ini merepresentasikan resiko reputasi, keuangan dan hukum bagi perusahaan dan investor yang – tanpa sadar – memperdagangkan, membuat atau mendanai produk yang mengandung komoditas ini.
17
PENDORONG DASAR DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI NEGARA TROPIS DAN SUBTROPIS 2000-201011 Walaupun skema sertifikasi dan pelacakan, seperti Forest Stewardship Council (FSC) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), memang ada, skema ini hanya mencakup sebagian kecil dari total produksi komoditas beresiko (lihat halaman 139). Semua aktor rantai pasokan, dari produsen hingga pengolah, pedagang, pembuat, pengecer dan kosumen punya akuntabilitas yang sama untuk memastikan produksi dan penggunaan secara bertanggung -jawab komoditas beresiko dan mengurangi dampak pada hutan tropis. Selain itu, badan legislatif dan pembuat kebijakanlah yang saat ini telah mengeluarkan kebijakan yang mendukung konversi hutan, dan perwakilan sektor keuangan yang mendanai dan mendapatkan manfaat keuangan dari komoditas ini juga mempunyai tanggung jawab yang sama. Aktivitas Pertanian komersial merupakan pendorong langsung terpenting deforestasi di negara tropis dan subtropis, diikuti pertanian subsisten. Keduanya pendorong 80% deforestasi, dengan penebangan untuk kayu dan kertas penyebab mayoritas dampak degradasi hutan. Pengumpulan kayu bakar, produksi arang, kebakaran tak terkendali juga merupakan faktor penting degradasi hutan, tetapi hal ini tidak menjadi fokus buku ini. Namun, ada perbedaan besar antar kawasan. di Afrika dan Asia lebih dari 30% deforestasi disebabkan pertanian komersial, di Amerika Latin angka ini naik menjadi hampir 70%. Di lain pihak, lebih dari 80% degradasi hutan di Asia dan 70% di Amerika Latin disebabkan penebangan, sedangkan di Afrika mayoritas degradasi disebabkan pengumpulan kayu bakar10.
DEFORESTASI % 100
PRASARANA KOTA PRASARANA
80
PERTAMBANGAN PERTANIAN (LOKAL/SUBSISTEN)
60
PERTANIAN (KOMERSIAL)
40 20 0
AFRIKA
AMERIKA
ASIA
SEMUA BENUA
DEGRADASI HUTAN % 100
TERNAK MERUMPUT DI HUTAN KEBAKARAN TAK TERKENDALI
80
ARANG KAYU BAKAR PENEBANGAN KAYU
60 40 20 0 AFRIKA
18
AMERIKA
ASIA
SEMUA BENUA
19
Kecenderungan (TrendS) Deforestasi Di era 1990-an liberalisasi pasar internasional melalui perjanjian dagang mengakibatkan lonjakan perdagangan global, yang menuntun pada kenaikan nilai pasar ekspor lima kali lipat dan kenaikan ekspor hasil pertanian empat kali lipat12. Satu penelitian menyiratkan deforestasi dipengaruhi harga output pertanian. Ketika perdagangan mempengaruhi harga, laju deforestasi juga akan terpengaruh. Saat liberalisasi perdagangan terjadi dan harga hasil pertanian setempat naik, deforestasi juga diperlihatkan meningkat dan mengakibatkan laju deforestasi tertinggi dalam sejarah. Laju deforestasi cenderung turun jika harga hasil pertanian setempat turun, walaupun ada liberalisasi perdagangan. Namun, selain harga, ada banyak faktor lain yang mempengaruhi peran perdagangan dalam deforestasi, meliputi kebijakan konservasi (walaupun upaya ini mungkin dipicu laju deforestasi yang lebih tinggi di tempat lain) dan hak kepemilikan, korupsi dan sistem pengelolaan sumber daya13. Kendati demikian, permintaan atas pasokan produk yang mengandung komoditas beresiko masih tinggi dan diperkirakan akan terus naik. Hal ini meningkatkan tekanan untuk mengonversi wilayah hutan yang tersisa di negara penghasil komoditas tradisional, dan juga merangsang konversi hutan di negara yang saat ini bukan penghasil komoditas utama dan mempunyai hutan yang relatif masih utuh. Walaupun laju deforestasi turun drastis di beberapa negara yang melaksanakan kebijakan konversi yang kuat atau moratorium komoditas, deforestasi terus terjadi di negara lain atau diramalkan akan meningkat di masa depan14,15,16. Kawasan Amazon Basin, Congo Basin dan Asia Tenggara adalah kawasan yang masih punya hutan tropis utuh terbesar. Semuanya lebih dari 1,3 miliar ha, hampir dua pertiganya masih dianggap hutan primer. Namun, sejak tahun 2000 hutan primer berkurang 40 juta ha17, lebih besar dari luas Jerman. Hutan-hutan ini juga berperan penting dalam wacana perubahan iklim karena menyimpan 42% karbon yang terkandung dalam semua hutan dunia walaupun luasnya hanya 33% dari luas hutan dunia. Yang terpenting, ketiga kawasan ini juga merepresentasikan garis depan konversi dan eksploitasi hutan saat ini dan di masa depan untuk produksi komoditas berbasis lahan.
20
Sejauh ini, laju deforestasi daerah Amazon adalah yang tertinggi di dunia, didorong oleh konversi hutan menjadi lahan pertenakan dan perluasan perkebunan kedelai18. Dalam beberapa tahun terakhir, deforestasi Amazon di Brazil turun karena semakin banyak wilayah yang dilindungi, prakarsa penegakan kebijakan dan hukum, dan moratorium yang disepakati pemain industri besar dan masyarakat sipil yang menjamin kedelai dan produk daging berasal dari wilayah yang telah terdeforestasi (lihat halaman 152). Namun, laju deforestasi di negara lain yang punya bioma seperti Amazon tidak turun – seperti yang terlihat di Kolombia, Peru dan Venezuela19. Amazon juga sangat penting karena menyimpan 65% karbon yang terkandung dalam hutan hujan di ketiga kawasan hutan tropis besar20. Hutan tropis di Asia Tenggara mengalami perubahan guna lahan yang cepat karena dikonversi untuk produksi tanaman komersial dan untuk hutan tanaman. Lebih dari 40% hutan di kawasan ini (dan sekitar lima kali lebih besar dari hutan di Thailand atau Malaysia) berada di Indonesia, dimana laju deforestasinya merupakan salah satu yang tercepat di dunia. Pulau Sumatra misalnya, tempat banyak spesies langka dan terancam, telah kehilangan 70% hutannya yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sebagai pendorong utamanya21. Pada Mei 2011 moratorium pemberian izin baru untuk membuka atau mengonversi hutan alam diumumkan di Indonesia dan diperpanjang pada Mei 2013, tapi masih harus dilihat sejauh mana hal ini akan efektif mengurangi deforestasi, karena proses pengembangan moratorium rumit dan bukannya tanpa cacat dan kritik22. Deforestasi juga sangat cepat di wilayah Mekong (lihat halaman 30) yang telah kehilangan hampir sepertiga tutupan hutannya (22% di Kamboja, 24% di Laos dan Myanmar, dan 43% di Thailand dan Vietnam) antara tahun 1973 hingga tahun 200923. Sejauh ini Congo Basin masih punya ekosistem yang relatif utuh dibandingkan dengan sebagian besar Amazon atau Asia Tenggara. Wilayah ini punya sekitar 70% tutupan hutan Afrika24 dan menyimpan sekitar 21% dari total karbon di ketiga kawasan hutan tropis25. Congo Basin sejauh ini telah lolos dari deforestasi cepat yang terjadi di Amazon Basin dan Asia Tenggara, yang
21
umumnya didorong pasar hasil pertanian global. Ketidakstabilan politik dan buruknya prasarana yang berkepanjangan membuat deforestasi relatif rendah, namun tapi permintaan atas komoditas dan bahan bakar hayati telah meningkatkan tekanan pada hutan Afrika. Tahun 2009, proyek kelapa sawit 1,6 juta ha diumumkan26, dan dengan 12% lahan dunia yang cocok untuk dikembangkan di negara-negara Congo Basin27, tekanan pada hutan diperkirakan akan meningkat (lihat halaman 30). Pertanyaan kunci terkait dengan komoditas berbasis lahan adalah apakah mungkin untuk melestarikan hutan dan mengatasi kemiskinan penduduk yang semakin banyak dalam paradigma produksi dan perdagangan pertanian saat ini (lihat halaman 22).
Amazon KEDELAI DAGING KAYU
Congo Basin KAYU
ASIA TENGGARA KELAPA SAWIT Kayu, Bubur Kertas Dan Kertas
© Credits
© Yayan Indriatmoko, CIFOR
KOMODITAS UTAMA YANG MENGANCAM HUTAN DARI KAWASAN HUTAN TROPIS
22
MASA DEPAN PERTANIAN Bagaimanakah cara memberikan beragam makanan bergizi kepada 9 miliar orang pada tahun 2050, dengan tetap melestarikan hutan dan jasa ekosistem, memenuhi naiknya permintaan atas bahan bakar hayati dan biomassa non-pangan lainnya, memberikan lapangan kerja dan pendapatan ke lebih dari satu miliar pekerja yang saat ini hidup dari pertanian? Persamaan pertukaran masih sulit diselesaikan. Foresight Report dari pemerintah Inggrisi dan kajian proyeksi masa depan “Agrimonde”ii dari Perancis berupaya mengatasi masalah rumit ini. Foresight Report menyimpulkan bahwa perancangan ulang seluruh sistem pangan akan dibutuhkan guna mengatasi perubahan iklim dan mencapai keberlanjutan, dan “tidak akan ada lagi hutan yang dikonversi, terutama hutan hujan, untuk produksi pangan.” Dua skenario Agrimonde yang bertentangan memperlihatkan kebutuhan pangan penduduk dunia tahun 2050 dapat dipenuhi dengan lahan dan sumber daya yang ada, tapi menekankan isi piring dan cara memproduksi makanan mendorong isu besar lain, seperti : tata guna lahan dan perdagangan internasional; jasa ekosistem; penghidupan pedesaan dan penyakit gizi. Skenario “Agrimonde GO” (AGO) diinspirasi skenario “Global Orchestration” Millennium Ecosystem Assessmentiii: tahun 2050, pertumbuhan ekonomi dan perdagangan bebas sangat mengurangi kemiskinan, tapi meningkatkan permintaan atas produk makanan hewani seperti daging dan susu. Akibatnya produksi makanan nabati harus naik 85%, biasanya kedelai dan jagunglah yang dipakai untuk pakan hewan. Walaupun ada kenaikan bersih perdagangan antar benua sebanyak 325%, konsumsi makanan hewani per kapita masih sangat tidak merata antara 24
negara kaya dengan negara miskin. Panen juga terus meningkat, dengan asumsi irigasi, pupuk kimia, pestisida dan teknologi pertanian mempertahankan kecenderungan masa lalu. Tapi karena besarnya permintaan atas pakan ternak, lahan pertanian juga akan diperluas bersama dengan perluasan ladang merumput. Dalam AGO, emisi karbon dari perubahan guna lahan diperkirakan tetap terjadi, dan emisi lain seperti N2O, CH4 dan CO2 dari manufaktur dan penggunaan input industri, peternakan, transportasi dan pengolahan akan memburuk. Skenario “Agrimonde 1” (AG1) melihat ke depan, membayangkan masa depan dunia yang sangat berbeda tahun 2050, terinspirasi ekologi pertanian atau intensifikasi ekologiiv. Tantangan utama dunia skenario ini adalah pengembangan teknologi dan pasar, agar pertanian dapat memenuhi naiknya permintaan, melindungi ekosistem dan kesehatan manusia, memberikan lapangan pekerjaan di pedesaan dan mengurangi ketidaksetaraan di dunia. Di sisi persediaan, AG1 berfokus pada gabungan berbagai ekosistem pertanian yang sangat produktif tapi rumit, (termasuk agroforestri) yang hemat modal, input dan air dengan mengeksploitasi sinergi terbaik biologi setempatv di antara banyak spesies tanaman dan hewan, di atas maupun di bawah tanah. Dan bukan berfokus pada sistem produksi pangan yang bergantung pada input dengan ekologi sederhana dan hemat tenaga kerja (AGO). Ekosistem pertanian seperti ini memerlukan reformasi mendalam dan jangka panjang di seluruh sektor. Hasil AG1 2050 dibayangkan hampir sama dengan yang teramati di awal era 2000-an, namun mampu menyimpan jauh lebih banyak karbon dan keanekaragaman hayati di lahan pertanian daripada saat ini. Lahan pertanian harus diperluas (+0,7% per tahun antara 2003 sampai 2050), tanpa kehilangan lebih banyak hutan tropis guna
memenuhi permintaan pangan dari 9 miliar orang. Namun, permintaan ini diasumsikan jauh lebih rendah daripada skenario AGO jika beberapa masalah kurang gizi atau kelebihan gizi terselesaikan sekaligus: tahun 2050, pangan harian per kapita dibayangkan akan tersedia 3000 kcal, dengan 500 kcal dari hewan (rata-rata dunia di awal era 2000an). Asumsi ini melibatkan penurunan tajam konsumsi kalori di negara-negara OECD (4000 kcal saat ini, lebih dari 1000 kcal di antaranya dari makanan hewani) berkat penurunan tajam makanan yang tercecer di sepanjang rantai makanan, dan pola makan lebih didasarkan pada makanan nabati kaya protein, serat dan mikronutrien. Ketersediaan makanan nabati dan hewani juga diramalkan akan lebih tinggi di kawasan seperti Afrika Sub-Sahara (2400 kcal tahun 2003, 150 kcal di antaranya makanan hewani). Secara keseluruhan, pada AG1, produksi kalori makanan nabati dunia bagi manusia dan hewan naik hanya 30% dibandingkan dengan 85% pada AGO 2050. Skenario ini diperkirakan akan lebih bijak sehubungan dengan kesehatan manusia (kurang gizi hingga kelebihan berat badan, penyakit kardiovaskular, dan kanker), ketahanan (terhadap goncangan iklim atau ekonomi), konservasi (tanah, air dan keanekaragaman hayati) dan emisi GRK, kecuali dari transportasi antar benua yang diperkirakan akan naik lebih tinggi lagi daripada yang ada pada AGO antara kawasan surplus pangan (OECD, Bekas Uni Soviet, Amerika Latin) dengan kawasan defisit pangan (Asia, Afrika dan Timur-Tengah). Kendati demikian, di negara tropis defisit pangan, hasil ekologi pertanian mungkin akan lebih tinggi daripada yang diasumsikan pada AG1. Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian dan pengembangan pertanian berfokus pada monokultur (gandum, beras, jagung, kedelai, tebu, kelapa sawit), yang
produksinya meningkat tajam sebagai makanan bagi manusia dan hewan, walaupun biaya input naik dan ada dampak eksternal lingkungan selain pembukaan hutan tropisvi. Karena harga per unit turun, hanya petani dengan lahan luas yang dapat meningkatkan produktivitas, sehingga mengakibatkan terjadinya kemiskinan. Hal ini menjadi fokus kebanyakan negara berkembang, di masa kini maupun di masa depanvii. Alternatif dari sistem produksi pangan yang hemat tenaga kerja, bergantung pada input dan dengan ekologi sederhana dapat mencakup: • •
•
lebih sedikit input industri untuk menurunkan biaya lingkungan dan produksi; sinergi biologi yang lebih sesuai konteks antara banyak spesies tanaman dan hewan, di atas dan di bawah tanah, guna meningkatkan hasil dan ketahanan terhadap goncangan alam dan ekonomi; harga lebih tinggi bagi petani, yang dapat: i) merangsang pengadaan makanan bergizi dan barang lain seperti bahan bakar, serat, obat-obatan dan bahan bangunan; ii) mempertahankan jasa ekosistem penting di tingkat lokal dan global (air aman, karbon dan keanekaragaman hayati, kesuburan tanah, daur ulang nutrien, penyerbukan, kontrol penyakit dan banjir, mitigasi/ adaptasi iklim); iii) membalikkan inflasi jaring pengaman sosial yang memakan biaya di pendesaan dan perkotaan.
Alternatif ini dapat mulai memperjelas beberapa pertanyaan sulit seperti pertukaran dua kewajiban: melindungi hutan tropis dan menyediakan komoditas pertanian global, ketahanan pangan, serta pendapatan dan lapangan kerja di negara tropis. Bruno Dorin CIRAD & CIRED 25
DAMPAK DEFORESTASI Hutan tropis mengandung lebih dari setengah keanekaragaman hayati dunia28. Misalnya Indonesia saja, misalnya, dengan sedikit lebih dari 1% luas lahan dunia, merupakan rumah bagi 10% spesies tanaman dunia, 12% mamalia, 16% reptil dan amfibi, dan 17% spesies burung29. Keanekaragaman hayatinya, selain nilai intrinsiknya, berfungsi sebagai simpanan modal alam yang memberikan beragam jasa ekosistem yang vital. Jasa ekosistem ini mendukung ketahanan air, energi, pangan dan kesehatan pada skala lokal hingga global, dan fundamental bagi kesejahteraan dan ketahanan masyarakat dan ekonomi di masa depan. Deforestasi dan degradasi hutan mengancam pasokan jasa ekosistem ini, dengan estimasi 15% spesies hutan tropis telah punah, dan 85% sisanya semakin terancam30. Pengakuan nilai ini dan penggabungannya sebagai modal alam bersama dengan modal keuangan merupakan tantangan besar sekaligus peluang bagi sistem ekonomi abad 21. Karena itu, kebijakan dan mekanisme sektor swasta dibutuhkan, yang mengakui saling ketergantungan yang menghubungkan jasa-jasa ekosistem ini, dan kemungkinan dampak deforestasi pada keberlanjutan ketersediaannya. KETAHANAN AIR Air bersih merupakan sumber daya global yang penting dan semakin langka – penduduk saat ini menggunakan lebih dari 50% aliran air siap akses di dunia ini31. Hutan menjadi penyaring dan sistem penyimpanan alami yang sangat penting, memasok sekitar 75% air bersih dunia yang dapat diakses32 dan Amazon saja, berkontribusi bagi 15% aliran air dunia33. Hutan dan tanah di hutan mengumpulkan dan memurnikan air hujan selama musim hujan dan secara perlahan melepaskan air selama musim kemarau, yang membantu mengatur siklus banjir dan kekeringan34. 26
Jasa penyediaan, pengaturan dan pemurnian ini langsung memberikan air minum bagi lebih dari 60 juta anggota masyarakat adat yang tinggal di hutan tropis, dan setidaknya sepertiga kota besar dunia bergantung pada hutan lindung untuk pasokan air35,36. Selain itu, daur ulang uap air di hutan melalui evapotranspirasi kembali ke udara membantu mempertahankan curah hujan di tingkat lokal dan regional37,38. Misalnya, banyak air hujan di Andes yang diserap glasier dan digunakan penduduk di dataran tinggi telah mengalami daur ulang melalui hutan Amazonia dataran rendah39.
bakar, sumber utama energi (dan penghasilan) bagi sekitar 2 miliar orang44, terutama di negara berkembang. Di Afrika, kayu bakar memberikan 90% konsumsi energi primer di beberapa kawasan45. Hutan juga dieksploitasi untuk produksi arang bagi industri, yang merupakan pendorong utama deforestasi di Afrika46.
Walaupun tidak pasti, penelitian menyiratkan deforestasi di Amazon dapat mengakibatkan penurunan presipitasi 12% di musim hujan, dan 21% di musim kemarau tahun 205040. Hal ini dapat mempengaruhi ketersediaan air minum bersih dan pengendalian penyebaran penyakit melalui air (ketahanan kesehatan). Dampak ekonomi dari deforestasi pada PLTA dan kapasitas produksi pertanian juga penting. Misalnya, hampir seperlima hujan yang turun di La Plata Basin41, kawasan penghasil 70% PDB bagi lima negara yang berbagi wilayah tersebut42, berasal dari Amazon. Sebaliknya, pertanian dan pembangkit energi juga mempengaruhi ketahanan air melalui polusi dan terganggunya arus air. Selain itu, hilangnya kelembaban tanah dan vegetasi yang terkait dengan deforestasi dan degradasi juga meningkatkan kerentanan hutan pada umumnya terhadap kebakaran dan hilangnya vegetasi serta pelepasan CO243, yang semakin membahayakan ketahanan air.
Hutan tropis juga penting untuk PLTA, dengan ketersediaan air hujan, pengaturan air permukaan, dan pengurangan sedimentasi di waduk dan sungai pada skala regional. Lebih dari 65% pasokan listrik Brazil dihasilkan PLTA dan hanya 15% dari persentase ini dihasilkan di Amazonia, rencananya akan ada 30 waduk di kawasan ini tahun 202047. Waduk besar juga diusulkan atau sedang dibangun di banyak negara hutan tropis lainnya, termasuk Guyana (Proyek Amaila Hydropower), Republik Demokratis Kongo (Grand Inga Hydropower) dan Mekong Bagian Bawah (serangkaian waduk direncanakan di Laos dan Kamboja). Deforestasi tampaknya akan menurunkan perkiraan produksi energi dari pembangunan ini – bukti menunjukkan kapasitas produksi waduk Belo Monte baru di Brazil, Amazon, dapat berkurang menjadi hanya 25% dari output maksimal PLTA, atau 60% dari proyeksi yang diberikan industri, sebagai akibat dari penurunan curah hujan yang didorong deforestasi regional48. Hal ini akan sangat berdampak pada ketahanan energi serta memberikan dampak sosial dan lingkungan setempat yang berat, termasuk kemungkinan dampak negatif pada ketahanan air.
KETAHANAN ENERGI Permintaan energi global diproyeksikan akan segera naik, dan hutan tropis yang sehat dapat berperan penting dalam mendukung energi yang lebih stabil di masa depan. Di tingkat lokal dan regional, hutan memberikan kayu
KETAHANAN PANGAN Di tingkat global, sekitar satu miliar orang bergantung pada hutan untuk penghidupan dasar49, dan lebih banyak lagi adalah konsumen komoditas pangan yang dihasilkan di dalam atau d sekitar hutan. Walaupun
produk makanan hutan tropis non-kayu, seperti daging hewan liar, kacang-kacangan dan buah-buahan sangat penting bagi ketahanan pangan di tingkat lokal, komoditas berbasis lahan seperti kelapa sawit dapat ditemukan di setengah dari semua produk makanan kemasan50, dan produk kedelai dapat ditemukan di 60% dari semua makanan olahan di supermarket51. Sebagian besar komoditas ini ditanam di lahan hutan tropis yang dibuka dalam 20 tahun terakhir. Banyak petani juga bergantung pada serangga hutan seperti lebah untuk menyerbuki tanaman52 dan sepertiga dari jumlah ikan yang ditangkap tiap tahun di Asia Tenggara bergantung pada hutan bakau pesisir53. Selain itu, keanekaragaman hayati tanaman di hutan tropis juga berfungsi sebagai cadangan simpanan gen untuk banyak produk makanan, menjamin keanekaragaman hayati genetik sebagian besar tanaman pertanian54. Deforestasi dan degradasi hutan mempengaruhi hasil panen dengan berkurangnya presipitasi, dan meningkatkan ketidakamanan pangan dan kemiskinan mereka yang bergantung pada keanekaragaman hayati hutan tropis untuk penghidupan subsisten. Namun, walaupun pertanian saat ini merupakan pendorong utama, penelitian menyimpulkan kebutuhan produksi pangan global dapat terpenuhi sambil mengurangi deforestasi di negara tropis (lihat halaman 22)55,56. KETAHANAN KESEHATAN Hutan merupakan kontributor penting produk kesehatan di tingkat lokal dan global. Antara 75% hingga 90% masyarakat di negara berkembang bergantung pada hasil alam (umumnya dari hutan) sebagai sumber utama obat-obatan57. Di akhir 1990-an, sepuluh dari 25 obat terlaris di dunia bersumber dari alam58, dan perdagangan obat-obatan 27
dan tanaman yang berasal dari hutan tropis mencapai US$108 miliar per tahun59. Namun, kurang dari 1% spesies tanaman hutan tropis telah dikaji kandungan obatnya60. Beberapa tanaman obat terancam komersialisasi, dan masyarakat hutan sering dianggap mendapatkan kompensasi yang tidak sepadan dengan pengetahuan mereka tentang tanaman obat61. Deforestasi juga mengancam potensi penemuan obat baru, dan mengganggu akses penduduk setempat – misalnya di Belem, Brazil, lima spesies tanaman obat terlaris ditebang secara komersial untuk tujuan lain62. Pengaturan penyakit63 merupakan jasa ekosistem hutan yang penting, dan bahkan perubahan kecil tutupan hutan dapat dikaitkan dengan naiknya insiden penyakit, dengan beberapa wilayah yang sangat terdeforestasi memperlihatkan kenaikan 300 kali lipat risiko penularan malaria64. Kenaikan frekuensi munculnya penyakit menular ini (seperti HIV, Ebola, SARS, demam berdarah) juga dikaitkan dengan naiknya laju deforestasi tropis dan perubahan guna lahan65. Dengan naiknya dan meratanya tingkat insiden, biaya sosial dan ekonomi juga meningkat baik bagi negara ekonomi baru maupun negara ekonomi maju – bahkan dengan dampak perubahan iklim marjinal, biaya rawat inap malaria di beberapa negara mungkin akan naik lebih dari 20%66, dengan dampak lanjutan negatif pada kemiskinan dan ketahanan penghidupan. KETAHANAN PENGHIDUPAN Sekitar 1,6 miliar orang cukup bergantung pada hutan dan hasil hutan67, dengan 350 juta sangat bergantung pada sumber daya hutan untuk penghidupan dan 60 juta anggota masyarakat adat sepenuhnya bergantung pada hutan68. Nilai perdagangan global hasil hutan diperkirakan mencapai US$ 270 miliar tapi kurang dari 5% hutan tropis dikelola secara lestari69. 28
Hubungan antara hutan, deforestasi dan penghidupan kompleks. Penghidupan masyarakat yang bergantung pada hutan dapat terancam deforestasi70 atau, jika penghasilan naik karena pertanian, dapat didukung. Walaupun dampak deforestasi pada penghidupan tergantung pada interaksi antara banyak faktor yang saling terkait, dan sulit diramalkan, potensi dampak yang mengarah pada kemiskinan pedesaan harus menjadi pertimbangan kritis dalam perencanaan sosial dan ekonomi. KETAHANAN PENGATURAN IKLIM Hutan tropis berperan sangat penting dalam mengatur iklim dunia. Berfungsi sebagai ‘penyerap karbon’, menahan banyak karbon dioksida (CO2) dari atmosfer, yang disimpan dalam tanah dan hasil tanaman. Perubahan iklim antropogenik dapat memperbesar ancaman deforestasi terhadap ketahanan air, energi, pangan, dan kesehatan dengan biaya sosial, lingkungan dan ekonomi yang tinggi. Tiap tahun hutan tropis mengolah karbon enam kali, melalui fotosintesis dan respirasi, yang dikeluarkan manusia dari penggunaan bahan bakar fosil71, dan hutan tropis (yang berdiri dan tumbuh kembali) menyimpan sekitar 2,8 miliar ton karbon tiap tahun72 – setara dengan dua kali emisi CO2 tahunan A.S 73. Hutan tropis juga menguapkan sangat banyak air yang menyejukkan permukaan bumi dan menciptakan awan yang memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa, berkontribusi bagi pengaturan iklim lokal dan global74,75. Selain mengurangi insiden banjir di tingkat lokal dengan memperlambat mengalirnya air di atas permukaan tanah76.
menghasilkan sekitar 10% emisi CO2 tahunan global77. Perubahan guna lahan di hutan tropis saat ini mengakibatkan emisi bersih 1,3 miliar ton karbon tiap tahun78. Perubahan iklim dapat meningkatkan frekuensi insiden ekstrim seperti kekeringan dan banjir, mempengaruhi ketahanan air, dengan dampak pada ketahanan energi, pangan dan kesehatan. Kenaikan suhu dibarengi perubahan lama musim tanam juga akan berdampak besar pada produktivitas pertanian. Ketika suhu rata-rata tahunan naik di atas 30oC, banyak tanaman pangan, termasuk jagung dan beras, memberikan hasil yang sangat rendah sedangkan tanaman lain, seperti buncis, tidak dapat dibudidayakan79. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tidak ada strategi mitigasi iklim lain yang mempunyai potensi memberikan dampak yang lebih besar dan lebih langsung pada stok karbon global daripada pengurangan dan pencegahan deforestasi80.
Namun, jasa pengaturan iklim ini terancam, karena deforestasi dan perubahan guna lahan,. Deforestasi dan degradasi hutan tropis, termasuk hilangnya lahan gambut, merupakan penyebab utama emisi GRK global, 29
© Credits
© Neil Palmer, CIAT
© Credits
MUNCULNYA PENDORONG DI AFRIKA DAN MEKONG INDUSTRIALISASI HUTAN HUJAN AFRIKA Perebutan sumber daya alam Afrika meluas ke hutan dan lahan. Perusahaan kayu tropis dan kelapa sawit internasional, umumnya berasal dari Asia, memperbesar skala operasi di Afrika, tempat hutan tropis terbesar kedua di dunia dan tempat lahirnya jenis kelapa sawit paling umum. Hal ini mendorong alokasi hutan dan lahan dengan cepat dan terkadang diam-diam di negara-negara di Afrika Barat dan Tengah dimana korupsi merajalela, kerangka hukum sering tidak mengakui hak masyarakat pedesaan atas lahan, dan hukum lingkungan lemah dan kurang ditegakkan. Persoalan ini terjadi secara dramatis di negara kecil di Afrika Barat seperti Liberia, yang masih punya 40% hutan hujan Guinea Bagian Atas. Penduduk Pedesaan Liberia sangat bergantung pada hutan dan lahan untuk subsisten, dan pangan untuk sepertiga penduduk dunia tidak terjaminviii. Kendati demikian, sejak tahun 2007 pemerintah Liberia telah memberikan izin penebangan industri dan perkebunan kelapa sawit yang meliputi sepertiga luas wilayah Liberia dan 70% dari hutannyaix. Desakan pemberian izin atas hutan dan lahan akan melemahkan upaya rentan Liberia untuk meningkatkan tata kelola. Audit pemerintah baru-baru ini mengungkapkan undang-undang kerap diabaikan dalam pengalokasian konsesi hutan dan pertanianx. Tahun 2012, Global Witness dan LSM-LSM di Liberia membongkar kasus banyaknya izin penebangan dikeluarkan secara ilegal dengan tujuan memanipulasi undang-undang yang dimaksudkan untuk melindungi hak masyarakat dan lingkunganxi. Wilayah berizin itu – lebih dari setengahnya dikontrol satu perusahaan penebangan Malaysia – akan mengakibatkan pembukaan 40% hutan hujan Liberia. 32
Kasus serupa ditemukan di Afrika Tengah. Di Republik Demokratis Kongo (DRC) tahun 2012, Global Witness membongkar alokasiizin illegal untuk penebangan guna dimanfaatkan warga Kongoxii. Setidaknya 146 izin dikeluarkan di satu provinsi, terutama bagi industri penebangan asing, sering dengan pembeli dari Cina Kegagalan aturan hukum juga terlihat jelas dalam konsesi penebangan besar di DRC. Pemantau independen mengidentifikasi banyaknya penebangan liar dalam waktu tiga tahunxiii. Kayu dari izin ilegal di Liberia dan DRC diekspor antara lain ke Eropa, India, dan Cina. Akhirnya digunakan konsumen yang tidak bertanya tentang dampak sosial dan lingkungan produk yang mereka beli. Di seluruh hutan hujan besar di Liberia dan Congo Basin, konsesi penebangan industri yang tidak teratur saat ini mencakup lebih dari 50 juta ha – dua kali lebih besar dari luas Inggris – sedangkan proyek kelapa sawit diusulkan atau dilakukan pada setidaknya 2,7 juta ha lahan dan hutanxiv,xv. Jika tidak ingin hutan hujan kawasan ini mengalami nasib yang sama dengan hutan hujan Asia Tenggara, pemerintah harus mencari solusi internal, bukan investasi eksternal dalam proyek industri, dan mulai dengan memperbaiki tata kelola: mengatasi korupsi, mengamankan penguasaan lahan bagi penduduk desa, menegakkan hukum, dan meminta pertanggungjawaban pelanggar hukum. BARON KARET BARU DI MEKONGxvi Harga tinggi dan naiknya permintaan atas karet alam meningkatkan permintaan atas lahan di seluruh Asia Tenggara, dengan konsekuensi sosial dan lingkungan yang merusak. Hal ini sangat jelas di Kamboja dan Laos. Lebih dari 3,7 juta ha lahan diserahkan ke berbagai perusahaan sejak tahun 2000,
40% dari angka ini untuk perkebunan karet. Perhatian internasional berfokus pada pengambilalihan lahan untuk produksi pangan dan bahan bakar, tapi di kawasan ini potensi keuntungan dari produksi karet menjadi pendorong deforestasi dan desakan permintaan atas lahan. Karet alam merupakan tanaman asli hutan hujan Amazon, tapi karet umumnya diproduksi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Kenaikan permintaan atas karet, terutama dari Cina, menimbulkan perkiraan kekurangan global tahunan sebanyak 2,5 juta ton tahun 2020xvii. Pasokan yang terbatas telah mengakibatkan kenaikan harga karet alam sepuluh kali lipat tahun 2001 hingga tahun 2011, yang semakin meningkatkan permintaan atas lahanxviii. Saat ini Vietnam adalah produsen karet terbesar ketiga di dunia. Tapi dengan keterbatasan lahan yang tersedia di negera ini, banyak perusahaan Vietnam beralih ke negara tetangga, yaitu Kamboja dan Laos, dimana pemerintahnya mengalokasikan lahan dan hutan yang sangat luas untuk agro-industri, mengabaikan undang-undang yang dirancang untuk melindungi HAM dan lingkungan. Laju deforestasi di kedua negara ini lebih tinggi daripada rata-rata di negara Asia Tenggara lainnya. Di Kamboja, tutupan hutan berkurang dari 73% massa lahan di era 1990-an menjadi 57% tahun 2010xix. Hanya 3% dari hutan negara ini yang masih diklasifikasikan sebagai hutan primerxx.
Perusahaan karet tertangkap membabat hutan utuh di dalam dan di luar batas konsesi mereka, tampaknya bekerja sama dengan perusahaan dan elit politik Kamboja. Tapi ini tak hanya terjadi di Asia. Lembaga keuangan internasional juga berperan dalam mendanai pengambilalihan lahan dan kerusakan hutanxxii. Dan dengan ban dan produk ban terhitung lebih dari setengah dari semua karet yang dikonsumsi di dunia, ada kemungkinan karet yang tumbuh di Kamboja dan Laos dapat dikaitkan dengan mobil yang kita kendarai. Jika desakan permintaan atas karet tetap tidak diatur dan dengan kecepatan laju saat ini, hutan Kamboja atau Laos akan segera hilang. Selain itu, reformasi politik dan ekonomi saat ini membuka sumber daya lahan dan hutan di Myanmar untuk eksploitasi. Pemerintah sedang mempromosikan perkebunan karet skala besar, jika mereka abaikan pembelajaran dari Kamboja dan Laos, beberapa hutan Asia yang tersisa akan menjadi sejarah. Global Witness
Desakan baron karet Vietnam untuk membuka wilayah tertinggal memberikan dampak merusak pada penduduk desa dan hutan. Masyarakat yang terdampak perkebunan karet mengalami kekurangan pangan dan air, dan menerima sedikit atau sama sekali tidak menerima kompensasi. Hutan dan tanah pemakaman masyarakat adat minoritas rusakxxi. 33
Konteks Internasional Menanggapi peran komoditas berbasis lahan dalam deforestasi adalah inti tujuan yang dinyatakan beberapa prakarsa multilateral pemerintah dan konvensi internasional. Beberapa halaman berikut merangkum strategi kunci, keputusan dan indikator lima prioritas lima perjanjian penting yang terkait (langsung ataupun tidak) ke lanskap rumit ini. UN FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC)
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengakui deforestasi dan degradasi antropogenik sebagai kontributor signifikan emisi gas rumah kaca (GRK) dunia, maka hutan punya peran inti dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. UNFCCC langsung terlibat dengan hutan melalui program kerja reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), fungsi lahan, perubahan fungsi lahan dan kehutanan (LULUCF), serta proyek aforestasi dan reforestasi di bawah Clean Development Mechanism (CDM). Mengatasi pendorong hilangnya hutan sangat penting dalam REDD+. Pada pertemuan ke-13 Konferensi Para Pihak (COP13), Para Pihak didorong untuk “menggali beragam aksi, mengidentifikasi opsi dan melakukan upaya, termasuk kegiatan demonstrasi, guna mengatasi pendorong deforestasi...”*. Keputusan tambahan COP16 (2010) dan COP17 (2011) kembali menyatakan ini, dan meminta negara berkembang mengatasi pendorong deforestasi dan degradasi hutan ketika mengembangkan dan melaksanakan strategi dan rencana aksi REDD+ nasional**.
* Keputusan 2/CP.13 (2007) ** Keputusan 1/CP.16 (2010) – paragraf 68,72 dan 76 *** Draft keputusan 3/CP.19 (2013)
34
Pertemuan Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) tahun 2013 merekomendasikan draft keputusan untuk diadopsi COP19 (2013) yang “mendorong Para Pihak, organisasi dan sektor swasta untuk melakukan aksi guna mengurangi pendorong deforestasi dan degradasi hutan***”. Walaupun mengacu pada pentingnya sektor swasta, masih belum jelas apakah UNFCCC akan memberikan pedoman tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya, atau apakah akan ada hubungan yang lebih kuat antara upaya memastikan REDD+ dengan upaya mengatasi pendorong deforestasi dari pertanian.
UN CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (CBD)
Convention on Biological Biodiversity (CBD) mengakui hubungan antara keanekaragaman hayati, jasa ekosistem dan kesejahteraan manusia, termasuk di hutan tropis, dan menekankan nilai keanekaragaman hayati masih tidak cukup tercerminkan dalam kebijakan umum dan struktur insentif yang dirancang guna mengatasi pendorong deforestasi*,**. Pada COP10, Para Pihak sepakat mengadopsi Rencana Strategi Keanekaragaman Hayati untuk 10 tahun (2011-2020), guna mengatasi pendorong dasar hilangnya keanekaragaman hayati (termasuk deforestasi), dan memberikan insentif untuk melindungi manfaat dari berfungsinya ekosistem. Sasarannya adalah “aksi efektif dan mendesak untuk menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati guna memastikan ketahanan ekosistem tahun 2020 punya ketahanan dan terus memberikan jasa penting, yang akan mengamankan keragaman hidup planet ini, dan berkontribusi bagi kesejahteraan manusia, dan pemberantasan kemiskinan***”. Rencana Strategi ini mencakup 20 target pokok di bawah lima sasaran strategis, disebut Target Keanekaragaman Hayati Aichi. Semua target Aichi terkait dengan upaya mengurangi dampak pendorong komoditas global pada deforestasi tropis, tapi beberapa dari target ini sangat relevan. Penyelesaian pendorong deforestasi dan pencapaian Target Klaster Hutan (target 5, 7, 11 dan 15 Aichi) mengandalkan pencapaian target 1-4, yang secara umum masuk dalam Sasaran Strategis A, guna mengatasi penyebab dasar hilangnya keanekaragaman hayati dengan mengarusutamakan keanekaragaman hayati di pemerintah dan masyarakat. Target Klaster Hutan saling terkait dan saling bergantung. Penurunan hilangnya habitat dan degradasi, termasuk hilangnya dan degradasi hutan (target 5) merupakan prasyarat pengelolaan hutan lestari (target 7). Kedua target ini turut meningkatkan persentase lahan yang dilindungi untuk konservasi keanekaragaman hayati (target 11), yang dipengaruhi tingkat kemajuan restorasi bentang hutan (target 15).
* Kerja CBD lintas sektor dalam langkah ekonomi, perdagangan dan insentif berupaya memperbaiki insentif individu, pemerintah dan perusahaan menuju konservasi keanekaragaman hayati yang lebih efektif dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang lebih berkelanjutan, seperti mendorong perdagangan barang keanekaragaman hayati yang dihasilkan secara berkelanjutan. Kerja ini juga berupaya memastikan aturan perdagangan internasional dan tujuan Konvensi saling mendukung. ** Keputusan X/2/CP.10 *** Keputusan X/2/ CP.10 – Rencana Strategi Keanekaragaman Hayati 2011-2020 dan Target Keanekaragaman Hayati Aichi
35
UN CONVENTION TO COMBAT DESERTIFICATION (UNCCD)
UN GLOBAL COMPACT (UNGC)
Hutan sangat penting dalam mencegah penggurunan dan kekeringan, dan hutan lahan kering merupakan sumber jasa ekosistem penting di lahan kering. Oleh karena itu, hutan merupakan tema inti United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD). Unsur hutan dari Rencana Strategi 10 tahun UNCCD sejalan dengan Target Aichi CBD, terutama tujuan strategi kedua dan ketiga, dimana masing-masing bertujuan meningkatkan kondisi ekosistem yang terdampak dan memberikan manfaat global, seperti melalui pengelolaan hutan dan sistem pertanian lestari. Juga ada sinergi antara Program Aksi Nasional UNCCD dengan National Biodiversity Strategies and Action Plans (NBSAPs) CBD, terutama sehubungan dengan hutan lahan kering dan agroforestri.
Diluncurkan pada tahun 2000, UN Global Compact (UNGC) adalah prakarsa kebijakan yang bertujuan mendorong sektor usaha dalam menyelaraskan operasi mereka dengan 10 prinsip ‘praktik terbaik’ untuk HAM, tenaga kerja, lingkungan hidup dan anti korupsi. UNGC berupaya mengarusutamakan kesepuluh prinsip strategi usaha ini di tingkat global dan “mengatalisasi aksi sektor usaha dalam mendukung sasaran dan isu UN, dengan penekanan pada kolaborasi dan aksi bersama”. Prinsip lingkungan UNGC adalah sektor usaha harus mendukung pendekatan pencegahan terhadap tantangan lingkungan (Prinsip 7); menjalankan prakarsa guna memperbesar tanggung jawab lingkungan (Prinsip 8); dan mendorong pengembangan dan penyebaran teknologi ramah lingkungan (Prinsip 9).
UN FORUM ON FORESTS (UNFF)
Kerja United Nations Forum on Forests (UNFF) didasarkan pada Deklarasi Rio, Prinsip Hutan, Bab 11 Agenda 21 dan hasil akhir Intergovernmental Panel on Forests (1995-1997) dan Intergovernmental Forum on Forests (1997-2000). UNFF di masa depan dipandu empat Tujuan Global bersama berikut ini yang sangat terkait dengan mengatasi pendorong global deforestasi dan degradasi: (1) membalikkan hilangnya tutupan hutan dunia melalui pengelolaan hutan lestari (PHL); (2) meningkatkan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan berbasis hutan; (3) memperluas wilayah hutan yang dikelola secara lestari, dan meningkatkan persentase hasil dari hutan yang dikelola secara lestari; dan (4) membalikkan penurunan bantuan pembangunan resmi untuk PHL dan menggalang sumber daya pendanaan baru dan tambahan bagi PHL. Pada pertemuan ke-7 UNFF tahun 2007 Forum ini mengadopsi Non-Legally Binding Instrument (NBLI) on All Types of Forests, perangkat internasional pengelolaan hutan lestari yang akan mepermudah kerja-sama internasional dan aksi nasional guna mengurangi deforestasi, mencegah degradasi hutan, mendorong penghidupan berkelanjutan dan mengurangi kemiskinan semua orang yang bergantung pada hutan (UNFF, 2012). UNFF juga telah memfasilitasi diskusi masa depan hutan dalam ekonomi hijau serta peluang untuk mencerminkan dengan lebih baik nilai hutan dalam pembangunan berkelanjutan. 36
Karena naiknya produksi berbagai komoditas yang beresiko mengancam hutan merupakan pendorong utama deforestasi dan degradasi hutan, UNGC dapat menjadi alat guna meningkatkan dukungan dan mengkoordinasikan upaya sektor pemerintah dan swasta untuk mengurangi jejak hutan pada rantai pasokan dunia. Saat ini ada sekitar 7.000 perusahaan penanda tangan UNGC, diharapkan akan mensosialisasikan pencapaian prinsip inti dua tahun sekali. Perusahaan yang tidak melakukannya akan dikeluarkan dari prakarsa ini, dengan 99 perusahaan telah dikeluarkan pada paruh pertama tahun 2013*. GLOBAL ENVIRONMENT FACILITY (GEF)
Dibentuk tahun 1991, GEF adalah pendana terbesar proyek lingkungan tingkat global, yang mendukung investasi transformasional dalam banyak proyek termasuk antara lain keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan degradasi lahan**. Sejak pembentukannya, GEF telah memberikan US$11,5 miliar hibah dan memanfaatkan $57 miliar pendanaan bersama untuk lebih dari 3.215 proyek di lebih dari 165 negara81. Tahun 2013 Arahan Penyusunan Program GEF-6*** mengakui penanganan pendorong deforestasi sebagai sasaran utama dalam prioritas strategis Pengelolaan Hutan Lestari82. Program 11 (Mengeluarkan Deforestasi dari Rantai Pasokan Komoditas Daging, Kedelai, Kelapa Sawit, Bubur Kertas dan Kertas untuk
* ‘UN Global Compact Expels 99 Companies in First Half of 2013’ www.unglobalcompact. org/news/339-07-01-2013 ** Juga perairan internasional, polutan organik tetap, dan lapisan ozon. *** Sumber daya untuk GEF diberikan kembali tiap empat tahun ketika negara kontributor menjanjikan sumber daya melalui proses yang disebut ‘GEF Replenishment.’ Pertemuan pertama GEF-6 – putaran keenam pemberian kembali sumber daya diselenggarakan April 2013.
37
Mengamankan Manfaat Keanekaragaman Hayati Dunia) khususnya bertujuan mendukung aksi katalitik dengan lembaga keuangan global, regional dan nasional; pembeli (misalnya pedagang, pengolah, merk dagang, pengecer dan kosumen); dan produsen untuk mengurangi dampak pada keanekaragaman hayati melalui hilangnya hutan.
HASIL 11.1 GEF 6 MEMUNGKINKAN LINGKUNGAN YANG KONDUSIF GUNA MENDUKUNG RANTAI NILAI RAMAH KEANEKARAGAMAN HAYATI DALAM PRODUKSI KOMODITAS
HASIL 11.2 GEF 6 PERLUASAN BIDANG KOMODITAS YANG DIPRODUKSI DENGAN PRAKTIK BERSERTIFIKAT YANG RAMAH KEANEKARAGAMAN HAYATI
HASIL 11.3 GEF PENURUNAN LAJU DEFORESTASI BERDASARKAN PRODUKSI KOMODITAS
CBD
Sasaran rencana strategi keanekaragaman hayati CBD untuk mengatasi penyebab dasar hilangnya keanekaragaman hayati dengan mengarusutamakan keanekaragaman hayati di pemerintah dan masyarakat.
Target 5 Aichi – penurunan hilangnya dan degradasi habitat alam; 14 – memastikan restorasi dan perlindungan ekosistem dan jasa ekosistem terkait dan; 15 – mendorong ketahanan ekosistem dan peningkatan stok karbon, dan memerangi penggurunan.
Target 7 dan 11 Aichi – berfokus pada perlindungan dan pengelolaan lahan lestari, termasuk lahanpertanian dan lahanhutan
UNFCCC
Langkah UNFCCC untuk mendorong partisipasi dalam pelaksanaan mekanisme REDD+ yang mendukung integritas lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati.
Ketetapan UNFCCC untuk mendorong Para Pihak, organisasi dan sektor swasta untuk ambil aksi mengurangi pendorong deforestasi dan degradasi hutan.
Upaya UNFCCC menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi.
UNFF
Persyaratan UNFF demi meningkatkan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan berbasis hutan.
Tujuan UNFF untuk memperluas wilayah hutan yang dikelola secara lestari dan meningkatkan persentase hasil hutan yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.
UNGC
Ketetapan UNGC bagi sektor usaha Prinsip praktik terbaik lingkungan untuk ambil pendekatan pencegahan dari UNGC untuk sektor usaha. dan tanggung jawab yang lebih besar terkait dengan tantangan lingkungan.
Prinsip praktik terbaik lingkungan dari UNGC untuk sektor usaha.
UNCCD
Tujuan Strategi 2 dan 3 UNCCD, masing-masing bertujuan meningkatkan kondisi ekosistem yang terdampak dan menghasilkan manfaat global, seperti melalui pengelolaan hutan lestari dan sistem pertanian.
Tujuan Strategi 2 UNCCD yang bertujuan meningkatkan kondisi ekosostem dengan mengurangi degradasi lahan.
SINERGI PROGRAM
Ada saling ketergantungan dan sinergi antara prakarsa-prakarsa ini. Masing-masing diselaraskan dengan draft hasil akhir Program 11 GEF-6 – Mengeluarkan Deforestasi dari Rantai Pasokan Komoditas Daging, Kedelai, Kelapa Sawit, Bubur Kertas dan Kertas untuk Mengamankan Keanekaragaman Hayati Dunia. Seperti mekanisme pendanaan ketiga Konvensi Rio – CBD, UNFCCC dan UNCCD – GEF berada dalam posisi unik untuk merespons pedoman gabungan Konvensi Rio, UNFF dan UNGC, dan mengatalisasi pelaksanaan aksi guna mengatasi deforestasi dari rantai pasokan komoditas berbasis lahan di seluruh negara dan organisasi mitra. Upaya kolaborasi antara prakarsa-prakarsa ini juga tersedia, seperti Collaborative Partnership on Forests*, prakarsa Sekretariat Konvensi Rio, dan prakarsa Peduli Iklim – program bersama UNGC, UN Environment Programme (UNEP) dan program UNFCCC yang bertujuan memajukan peran sektor usaha dalam mengatasi perubahan iklim. Yang sangat relevan dengan pendorong pengurangan pendorong, prakarsa ini didukung 350 perusahaan tingkat global, memberikan kerangka kerja bagi pemimpin sektor usaha untuk memajukan solusi praktis yang terkait dengan perubahan iklim, dan mendorong penetapan target penurunan emisi, dan pengungkapan informasi emisi.
Tujuan Strategi 2 dan 3 UNCCD, masing-masing bertujuan meningkatkan kondisi ekosistem yang terdampak dan menghasilkan manfaat global, seperti melalui pengelolaan hutan lestari dan sistem pertanian.
* Collaborative Partnership on Forests (CPF) terdiri dari 14 organisasi internasional, badan dan sekretariat konvensi yang punya program kehutanan yang penting. www.cpfweb.org
38
39
PENYEBAB DASAR DEFORESTASI
Pendahuluan
Pertumbuhan Penduduk Dan Permintaan Untuk Komoditas
Mayoritas deforestasi dan degradasi hutan dari komoditas berbasis lahan yang beresiko merusak hutan didorong serangkaian interaksi kompleks dengan beberapa faktor ekonomi, demografi, dan kelembagaan dasar atau tidak langsung. Oleh karena itu, guna memahami dinamika pendorong komoditas utama, penting untuk mempertimbangkannya dalam konteks yang lebih luas. Bab berikut ini menguraikan dengan singkat hubungan yang kompleks dan saling ketergantungan antara faktor dasar dengan deforestasi, serta menyoroti bidang perdebatan dan konsensus yang ada.
Dalam mengembangkan kebijakan untuk mengatasi deforestasi dari komoditas, pembuat kebijakan harus mempertimbangkan korelasi kuat antara pertumbuhan penduduk dan permintaan komoditas dengan deforestasi, serta pengaruh kompleks faktor demografi, politik dan sosial-ekonomi lainnya. Pada tahun 2050 jumlah penduduk diperkirakan akan naik lebih dari sepertiga, mencapai lebih dari 9 miliar orang. Diperkirakan, guna memenuhi permintaan dari semakin banyak penduduk yang semakin kaya, serta mengakomodasi perubahan preferensi makanan, produksi pangan harus naik 70%, dan lahan garapan harus diperluas 70 juta ha, atau sekitar 5%84 (lihat halaman 22).
Contohnya, pembangunan jalan sesuai dengan berkembangnya kota, atau meningkatkan akses ke pasar guna mengurangi kemiskinan pedesaan, dapat memfasilitasi dan mendorong ekstraksi kayu atau perluasan pertanian. Perluasan ini sering didukung faktor kelembagaan (seperti pemerintahan terbatas), dan faktor sosial dan ekonomi (seperti investasi dari sektor keuangan internasional) yang dapat memberikan pengaruh dari luar daerah83. Dinamika penyebab dasar ini, dan interaksinya dengan produksi dan perdagangan komoditas berbasis lahan, juga sesuai dengan tingkat regional dan nasional. Hal ini semakin mempersulit pendefinisian konsensus dan dalam pengembangan kebijakan dasar, terutama mengingat sifat global rantai pasokan komoditas ini. Walaupun keterbatasan lingkup bagian ini tidak dapat mencakup rangkuman menyeluruh akan berbagai bukti yang berhubungan dengan bidang-bidang ini, namun beberapa pesan luas dapat didukung, yang sangat penting bagi pembuat keputusan yang berupaya memberikan dampak berkurangnya deforestasi tropis.
42
Produksi sereal diproyeksikan naik (40 % atau 900 juta ton), demikian pula dengan daging (75 % atau 200 juta ton)85,86. Terbatasnya lahan garapan yang tersedia tidak diragukan lagi akan memberikan tekanan tambahan pada hutan dunia. Diperkirakan juga akan ada perluasan 120 juta ha lahan garapan di negara berkembang (sebagian besar di Amerika Latin dan Afrika Sub-Sahara) dan penyewaan 50 juta ha lahan garapan untuk pemanfaatan lain di negara maju87. Proyeksi menunjukkan, agar dapat menghasilkan pakan ternak guna membantu kenaikan produksi daging dunia, produksi kedelai harus naik 140 % tahun 2050,tidak termasuk kenaikan tambahan produksi bahan bakar hayati88. Tebu dan kedelai saja diramalkan akan mengakibatkan perluasan 20 juta ha lahan pertanian di Brazil selama 40 tahun ke depan (lebih dari dua kali luas Hungaria)89. Permintaan produksi kelapa sawit, termasuk untuk bahan bakar hayati, juga naik dan produksi diperkirakan akan naik dua atau bahkan tiga kali lipat tahun 2050 –memenuhi permintaan ini dapat mengakibatkan tambahan tiga juta ha perkebunan kelapa sawit di Indonesia90,91. Serta, permintaan dunia atas produk kayu dan kertas juga diprediksi akan naik92, dengan permintaan produk energi hayati, kertas dan kayu cenderung naik tiga kali lipat tahun 2050 dari jumlah kayu yang sekarang diambil dari perkebunan dan hutan alam93.
43
Tata Kelola Banyak negara hutan tropis mengidentifikasi tata kelola yang lemah, kebijakan yang tidak memadai atau bertentangan, dan kegiatan ilegal terkait dengan kurangnya penegakan hukum sebagai penyebab dasar deforestasi94,95. Namun, mendefinisikan tata kelola yang ‘baik’ merupakan tantangan. Meliputi kualitas dan tujuan dari proses pengambilan keputusan, melibatkan aktor dan pemangku kepentingan di luar pemerintah dan sektor kehutanan, dan bersifat kontekstual, dengan berbagai negara menghadapi hambatan dan peluang unik guna mencapai dan mendefinisikan tata kelola yang baik96.
penggunaan bahan bakar hayati bahkan dapat mengakibatkan peningkatan deforestasi di negara seperti Indonesia106. Beberapa bab berikut menguraikan kebijakan dan tindakan yang dapat mengatalisis pengurangan deforestasi, biasanya melalui upaya untuk meningkatkan tata kelola secara sistematis.
Rendahnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan, rendahnya kapasitas manusia dan buruknya pengetahuan teknis, keterbatasan sumber daya dan koordinasi pengelolaan dan manajemen hutan sering menandai lemahnya tata kelola. Indikator isu-isu tersebut meliputi korupsi merajalela, konflik kepemilikan hutan dan hak akses, dan lazimnya konversi hutan ilegal atau tak terencana97,98. Oleh karenanya, kebijakan yang berupaya meningkatkan tata kelola hutan sering menargetkan perbaikan penerapan dan kapasitas penegakan undang-undang kehutanan, menetapkan penguasaan lahan dan hak guna yang jelas dan adil, dan mengembangkan sistem guna memantau kinerja dan meningkatkan akuntabilitas di tingkat nasional dan daerah99,100,101,102. Bahkan keberadaan sumber daya, kebijakan atau kemauan politik untuk memerangi deforestasi menjadi tidak cukup untuk memerangi kekuatan ekonomi dan politik dari pendorong langsung ketika digerogoti lemahnya tata kelola103,104. Misalnya, kerugian tahunan pendapatan dan aset akibat penebangan liar di lahan publik saja diperkirakan mencapai sekitar US$10-18 miliar di seluruh dunia105. Bukan hanya negara hutan tropis yang punya tanggung jawab memperbaiki tata kelola yang mencegah deforestasi akibat komoditas berbasis lahan. Pemerintah negara konsumen umumnya tidak memiliki regulasi yang dapat meningkatkan pasar untuk produk dari sumber legal atau diproduksi secara berkelanjutan (untuk contoh lihat halaman 178 dan 184). Kebijakan yang ada di negara-negara ini, seperti target wajib 44
45
Perubahan Iklim Meskipun deforestasi dan degradasi hutan tropis menghasilkan emisi GRK yang signifikan, dan merupakan salah satu kontributor utama perubahan iklim, terdapat juga bukti yang menunjukkan bahwa perubahan iklim sendiri juga dapat berkontribusi mendorong deforestasi dan degradasi melalui sejumlah cara.
deforestasi, dan pemeliharaan penyerapan karbon yang ada untuk mendukung pengaturan iklim, akan meningkatkan ketahanan hutan terhadap kekeringan dan kebakaran serta perubahan suhu116.
Kenaikan suhu dunia dikaitkan dengan peningkatan tekanan air serta kekeringan parah tanah dan vegetasi hutan tropis, dengan degradasi hutan dan erosi di beberapa kawasan hutan107,108. Misalnya, prediksi menunjukkan, kenaikan 2°C di Amazon Basin dapat dikaitkan dengan pengurangan 11% curah hujan di kawasan tersebut dan semakin parah dan seringnya kekeringan terjadi, yang dapat mengakibatkan tumbuhan muda hutan mati109,110,*. Matinya tumbuhan muda di hutan dapat mengakibatkan hutan berhenti menyerap karbon, bahkan mulai mengeluarkannya111, yang diperkirakan akan lebih sering terjadi dalam beberapa dekade mendatang akibat lebih rutin dan parahnya iklim yang menimbulkan kekeringan112. Bukti juga menunjukkan adanya titik puncak ketika dampak iklim mulai mendorong deforestasi – beberapa model menunjukkan hal ini dapat terjadi jika 40% wilayah Amazon telah terdeforestasi113. Namun, bukti terbaru membantah hipotesis ini, dan memproyeksikan tingkat ketahanan hutan tropis yang lebih tinggi. Data ini menunjukkan meskipun kenaikan suhu 1°C yang relatif sedang dapat mengubah komposisi spesies hutan tropis dan mempengaruhi tingkat degradasi dan regenerasi hutan, hal ini mungkin tidak akan meningkatkan angka tanaman muda yang mati di hutan. Alasannya mungkin karena pelepasan CO2 tambahan yang dapat bertindak sebagai pupuk hutan, meningkatkan pertumbuhan pohon dan penyerapan CO2114.
* Diartikan di sini sebagai kematian pohon jauh di atas tingkat kematian biasa.
46
Kenaikan rata-rata suhu kawasan dan perubahan tingkat presipitasi juga terkait dengan deforestasi dan cenderung memberikan pengaruh negatif pada hasil dan daerah yang cocok untuk produksi tanaman. Hal ini mungkin memerlukan transisi dari lahan pertanian ke wilayah hutan baru dan perubahan pola deforestisasi115. Meskipun banyak perdebatan seputar mekanisme matinya hutan akibat iklim, dan ketidakpastian tentang mekanisme perubahan, ada konsensus ilmiah bahwa mengurangi 47
Kemiskinan Ada interaksi yang rumit antara hutan, ketidakberdayaan politik masyarakat adat dan masyarakat setempat, dengan kesulitan menanggulangi kemiskinan di negara hutan tropis117. Tingkat di mana deforestasi dan degradasi hutan dapat dihubungkan secara kausal dengan kemiskinan sangat bervariasi, dan bergantung pada skala analisis serta konteks sosial, ekonomi dan kelembagaan118. Meskipun studi ini tidak mencakup rangkuman menyeluruh berbagai bukti yang terkait dengan hubungan ini, beberapa kesimpulan umum dapat ditarik.
48
© Credits
Demikian pula, walaupun perluasan pertanian dapat mengurangi kemiskinan masyarakat di wilayah hutan, terutama dikaitkan dengan budidaya komoditas oleh petani kecil125,126, hal sebaliknya juga mungkin terjadi. Misalnya, pembukaan dan kebakaran hutan di Sumatera mengakibatkan turunnya pendapatan dan peluang pendapatan karena degradasi hutan127. Ada juga bukti kuat, manfaat ekonomi dari kegiatan yang terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan (misalnya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit) umumnya cenderung dilakukan oleh perusahaan menengah hingga besar, atau kaum elit dalam masyarakat, yang memperkuat ketimpangan pendapatan128,129.
© Brasil2, iStockPhoto
Masyarakat yang tinggal di daerah dengan tutupan hutan tinggi cenderung punya tingkat kemiskinan tinggi, dan tingkat ketergantungan pada hutan relatif tinggi dan hasil hutan untuk subsisten dan penghidupan119. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara kemiskinan dengan perubahan fungsi lahan dan deforestasi yang lebih tinggi120, dan peringatan bahwa opsi kebijakan yang menurunkan laju deforestasi dapat meningkatkan kemiskinan dengan membatasi output pertanian121, bukti lain sangat menentang hipotesis ini. Penelitian memperlihatkan bahwa komoditas berbasis lahan yang berisko merusak umumnya dimanfaatkan mereka yang hidup layak di kota-kota negara maju dan berkembang122, dengan laju deforestasi semakin meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan perkotaan dan ekspor pertanian, tapi tidak berkorelasi dengan peningkatan penduduk miskin pedesaan123. Selain itu, beberapa kajian juga memperlihatkan deforestasi disebabkan keluarga terkaya dalam masyarakat hutan mencapai 30% lebih tinggi daripada yang disebabkan keluarga termiskin124, menyiratkan kemiskinan saja tidak mendorong deforestasi.
PETANI KECIL DAN DEFORESTASI Petani kecil, dengan jumlah jutaan di seluruh dunia, bertani di lahan milik seluas mulai dari di bawah satu ha di daerah pedesaan padat penduduk Afrika hingga lahan seratus ha di pemukiman yang disponsori pemerintah di Amazon Brazil. Kebanyakan keluarga petani kecil punya jejak karbon kecil karena keterbatasan akses ke kredit, buruh tani, dan modal lainnya. Sebagai kelompok mereka dicap sebagai pelaku dan korban deforestasi, berubah-ubah tergantung pada wacana yang sedang dominan. Banyak deforestasi yang disebabkan petani kecil, didorong oleh produksi tanaman pangan pokok untuk subsisten atau skala kecil dimasukkan ke pasar perkotaan terdekat. Namun, mereka juga berhubungan erat dengan komoditas berbasis lahan yang diuraikan dalam buku ini, dan terkadang digantikan pemain yang lebih besar yang sedang mencari lahan untuk pertanian komersial. Tapi di waktu lain, mereka adalahpemain penting, walaupun skala kecil, dalam rantai komoditas. PERAN DAN ARTI PENTING Relatif pentingnya petani kecil sebagai aktoir deforestasi dan degradasi sangat bervariasi di seluruh benua dan negara. Banyak negara di Amerika Latin dan Asia memperlihatkan pergeseran menuju peningkatan dominasi komoditas berbasis lahan dan hasil panen yang dieksporxxiii, tapi deforestasi di Afrika sebagian besar masih didorong pertanian subsisten petani kecil dan panen kayu bakarxxiv. Di Afrika Sub-Sahara, meskipun setiap keluarga dapat bertani di lahan seluas kurang dari satu hektar, tingginya kepadatan penduduk dan terbatasnya peluang ekonomi non-pertanian bagi masyarakat miskin pedesaan mengakibatkan petani menjadi pendorong utama deforestisasixxv. Meskipun beberapa orang 50
percaya kenaikan produksi minyak dan mineral akan membantu mengurangi tekanan pada hutan tropis Afrika, umumnya, peningkatan permintaan atas tanaman pangan pokok dan arang dari penduduk perkotaan dengan pendapatan yang lebih tinggi berarti kelanjutan deforestasi dan degradasi akibat petani kecil, terutama di pinggiran kota dan sepanjang koridor transportasixxvi. Di Asia tropis, pertanian komersial mendominasi, tapi sekitar 40% deforestasi dapat dikaitkan dengan pertanian subsisten skala kecilxxvii. Mengingat peran mereka dalam rantai komoditas lain (lihat di bawah), total jejak petani kecil Asia menjadi lebih besar lagi. Di Amerika Latin, ada beragam konteks negara. Di Brasil, walaupun aktor komersial mendominasi, pemukiman yang disebabkan oleh reformasi agraria, yang membawa petani tanpa lahan ke Amazon mulai era 1970-an, didapati sebagai lokasi 18% deforestasi Amazon hingga tahun 2010xxviii. Sebaliknya, petani subsisten mendorong deforestasi di banyak negara di Amerika Tengah serta Kolombia dan Peruxxix. Di Peru, misalnya, 75% deforestasi hingga tahun 2012 terjadi di <0,5 ha lahan dan pertanian petani kecil dianggap sebagai pendorong utama deforestasi di tingkat nasionalxxx. PETANI KECIL, SUBSISTEN, DAN LADANG BERPINDAH Banyak deforestasi yang diakibatkan petani kecil, didorong budidaya tanaman pangan pokok (misalnya jagung, ubi kayu, beras) dan budidaya tanaman komersial skala kecil (misalnya kopi, coklat, kapas). Transmigrasi dan bedol desa di beberapa daerah mengakibatkan pertumbuhan penduduk miskin perkotaan yang bergantung pada petani kecil setempat guna memasok makanan pokok
ke pasar kota yang semakin berkembang. Dengan demikian, produksi dari petani kecil terkait erat dengan ketahanan pangan penduduk pedesaan maupun perkotaan. Penting untuk melihat seberapa permanennya deforestasi yang disebabkan petani kecil yang sering becocok tanam dengan sistem ladang berpindah, menyebabkan lahan yang telah dibuka dibiarkan tak tergarap dan pertumbuhan kembali hutan terjadi dengan cepat, membentuk potongan-potongan hutan berbagai usia yang tidak terjadi pada pertanian komersial dengan pembukaan lahan besar-besaran. Oleh karenanya, ladang berpindah yang dilakukan petani kecil tidak mengakibatkan hilangnya hutan secara permanen, melainkan penggantian hutan primer dengan hutan sekunder terdegradasixxxi sehingga emisi GRK dari pertanian petani kecil mungkin lebih kecil daripada yang dibayangkanxxxii. PETANI KECIl dAN RANTAI PASOKAN KOMOdITAS Yang terpenting harus diingat, produksi komoditas sering mengakibatkan perpindahan penduduk setempat, menyebabkan petani kecil berpindah di sepanjang perbatasan pertanian dan masuk ke wilayah hutan. Hal ini terlihat pada peternak sapi dan petani kedelai yang membeli lahan dari petani kecil di Brazilxxxiii atau perkebunan kelapa sawit yang merambah lahan masyarakat di Indonesiaxxxiv,xxxv. Jalan yang dibangun industri kayu dapat memudahkan pergerakan petani kecil ke arah perbatasan, dengan jalan penebangan sering menjadi pemicu invasi lahan dan kemudian menyebabkan deforestasi oleh petani kecil dan tuan tanah besarxxxvi.
penting untuk kelapa sawit, ternak, dan kayu. Di Indonesia, sepertiga lahan dikuasai kelapa sawit yang digarap petani kecilxxxvii. Di negara lain, petani memperlihatkan peningkatan ketertarikan untuk masuk ke pasar minyak sawit dan beberapa negara memberikan insentif ekonomi dan bantuan teknis guna memudahkan transisi tersebut (misalnya Peru). Untuk ternak, banyak petani kecil memelihara ternak yang kemudian dijual ke peternakan penggemukan yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam rantai pasokanxxxviii. Petani kecil juga berpartisipasi dalam rantai pasokan kayu: biasanya mereka memasok pasar setempat atau menyediakan bahan baku untuk penebang komersialxxxix, menjual kayu tegakan dari lahan hutan mereka dengan harga rendahxl atau melalui kemitraan yang lebih adil maupun skema penanamxli. RANGKUMAN Petani kecil perorangan membuka bidangbidang hutan kecil pada dasarnya guna memenuhi kebutuhan mendesak keluarga mereka. Namun, mengingat jumlahnya sebagai suatu kelompok mereka bertanggung jawab atas banyak deforestasi di seluruh daerah tropis dan berperan penting dalam rantai pasokan untuk komoditas pertanian utama. Dengan demikian, mekanisme yang efektif dan berkeadilan untuk mengurangi deforestasi tropis harus mempertimbangkan implikasi bagi petani kecil, baik sebagai pelaku maupun korban perubahan dinamika guna lahan. Mary Menton Global Canopy Programme
Para petani kecil juga berperan aktif dalam memasok bahan baku untuk banyak komoditas. Kedelai membutuhkan mekanisasi dan membatasi partisipasi petani kecil dalam rantai pasokannya, tapi berperan peran 51
Prasarana Pembangunan prasarana, seperti prasarana energi dan jaringan transportasi, dapat menjadi pendorong tidak langsung deforestasi dan juga memberikan dampak sosial yang signifikan, seperti perpindahan masyarakat adat dan masyarakat setempat. Pembangunan jalan di kawasan hutan cenderung memberikan dampak terbatas pada tutupan hutan, tapi pembukaan akses ke daerah yang sebelumnya tidak dapat diakses dapat memudahkan penebangan legal dan ilegal, dan konversi hutan menjadi lahan pertanian. Misalnya, pembangunan dan pembuatan jalan raya Trans-Amazon sejauh 4.800 km disebut Brazilian Institute of Environment and Renewable Natural Resources (IBAMA) sebagai faktor kunci deforestasi130; jalan Douala Bangui sepanjang 1.400 km yang melintasi Congo Basin bagian utara selesai dikerjakan tahun 2003, dan mengakibatkan penebangan, perburuan dan hilangnya hutan; dan jalan raya Samling (dinamakan seperti Perusahaan Kayu Samling) di Pulau Borneo - Malaysia untuk penebangan industri131. Bendungan skala besar semakin menonjol dalam strategi energi negara hutan tropis. Di Malaysia di Pulau Borneo, misalnya dua belas bendungan besar saat ini sedang dibangun132, meningkatkan kekhawatiran atas banyak dampak lingkungan dan sosial133. Bendungan besar di kawasan hutan tropis tidak hanya menyebabkan deforestasi langsung dari lembah-lembah yang terkena banjir, melainkan juga dapat memperburuk perubahan iklim. Secara global, bendungan hidro diperkirakan menyumbang setidaknya 4% dari total dampak pemanasan oleh manusia dengandikeluarkannya jutaan ton metan GRK134. Pada saat yang sama, meningkatnya deforestasi dari sumber lain dapat mengakibatkan berkurangnya curah hujan dan dengan demikian berkurangnya energi yang dihasilkan bendungan (lihat halaman 24)135.
52
TAMBANG DAN DEFORESTASI Ekstraksi minyak, gas dan mineral berlangsung di beberapa ekosistem hutan tropis yang paling terpencil dan penting di seluruh dunia, dan pertambangan diperkirakan menyumbang 7% dari total deforestasi dunia di daerah subtropisxlii. Sedikit data tentang dampak industri minyak dan gas pada deforetasi yang tersedia, namun dampak langsung pertambangan pada tutupan hutan relative kecil dibandingkan dengan dampak tidak langsung dan berjangka panjang pada ekosistem hutan yang disebabkan polusi, pembangunan prasarana dan meningkatkan kegiatan manusia dan ekonomi di daerah hutan terpencil. Lebih dari seperempat tambang logam aktif dunia dapat ditemukan dalam 10 km dari wilayah terlindungxkuuu serta pertambangan rakyat dan skala kecil (ASM) umumnya beroperasi di wilayah terlindung di seluruh duniaxliv.Konsesi juga sering tumpang tindih dengan wilayah adatxlv,xlvi. Hampir 15% (1,08 juta km2) Amazon dikuasai konsesi minyak aktif dan terencana dan sekitar 8% (636.670 km2) ekstraksi tambang mineral dan konsesi eksplorasixlvii. Peru mengambil hampir semua (92%) gas alamnya dari Amazonxlviii, dimana pembangunan prasarana dan jalur pipa sangat mengganggu bentang alam dan merubah sistem pengairan yang berdampak pada regenerasi hutanxlix. Dampak penting tidak langsung dari pertambangan adalah polusi. Air limbah yang sangat beracun merupakan produk sampingan dari ekstraksi minyak. Kebocoran ke dalam sistem air tanah berisiko mencemari tanah dan seluruh ekosistem, membunuh vegetasi dan menurunkan kemampuan untuk tumbuh kembalil. Pertambangan juga memerlukan banyak air dan bahan kimia yang digunakan untuk memisahkan mineral dari bijih besili. Dalam sektor ASM penggunaan merkuri untuk memisahkan emas bertanggung jawab atas
sepertiga dari semua merkuri yang dilepaskan ke lingkungan di seluruh dunia (727 ton per tahun)lii,liii, serta polusi merkuri dan pembuangan limbah juga umum terjadi pada tambang skala besarliv. Misalnya, tambang emas OK Tedi di Papua Nugini telah menghancurkan lebih dari 1.600 km2 hutan akibat kebocoran merkuri dan ampas tambang yang masuk ke dalam sistem sungai. Total hutan mati diperkirakan akan mencapai 3.000km2 lv. Pembangunan prasarana yang mendukung ekstraksi mineral (misalnya jalan, jalur pipa) juga memberikan akses kepada pendatang dan masyarakat setempat ke kawasan hutan baru untuk penebangan liar, perluasan ASM, dan pertanian (lihat halaman 48). Migrasi dapat terjadi secara cepat dan tiba-tiba, dengan banyak konsekuensi sosial dan lingkungan – misalnya, satu desa yang berbatasan langsung di sebelah atas Cagar Alam Amani di Tanzania, semula hanya ada beberapa ratus penambang ASM tahun 2003 menjadi lebih dari 40.000 penambang tahun 2005lvi. Kenaikan harga minyak dan mineral terpantau selama dekade terakhir diproyeksikan akan terus terjadilvii, dengan pasokan mineral terbesar di masa depan diperkirakan berasal dari negara berkembanglviii. Hal ini tampaknya menambah tekanan pada hutan tropis dan daerah baru seperti Congo Basin juga membuka diri untuk pembangunan. Anna Bolin Global Canopy Programme
53
Keuangan Dana dapat mengalir ke negara hutan tropis dari perusahaan multinasional, bank, dan investor sektor swasta, serta pemerintah, lembaga keuangan pemerintah dan bank pembangunan di sektor publik, mulai dari: lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, hingga dana sub-regional; dan dana program terfokus seperti International Fund for Agricultural Development (IFAD).
pertanian pedesaan di kawasan tersebut juga mengakibatkan deforestasi142. Seringkali merupakan hasil dari fakta bahwa sektor publik harus melakukan pertukaran antara pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan kepedulian terhadap lingkungan.
Keragaman produk keuangan dan investasi yang tersedia, dan lingkup geografis dari lembaga yang menyediakannya, berarti keuangan memberikan dampak yang rumit, luas dan multi sektoral di banyaki daerah hutan tropis. Dampaknya tidak sepenuhnya dipahami, tapi keuangan dapat bermanfaat secara ekonomis, sosial atau lingkungan, misalnya program kredit pedesaan terkait dengan perlindungan lingkungan dan pembangunan sosial; atau dapat merusak hutan tropis. Yang dibahas secara singkat di sini adalah potensi dampak negatif keuangan pada deforestasi dan degradasi hutan – beberapa bagian selanjutnya (dari halaman 155) menganalisis kapasitas keuangan untuk mengatalisasi berkurangnya deforestasi. Sektor Keuangan dapat terkait langsung ataupun tidak langsung dengan deforestasi. Bank komersial* misalnya telah dituduh mendanai perusahaan yang terlibat langsung dalam kegiatan yang mengakibatkan deforestasi136. Di sisi lain, pinjaman dapat diberikan untuk pengembangan proyek prasarana skala besar (misalnya bendungan atau jalan - lihat halaman 50) yang secara tidak langsung dapat memudahkan deforestasi di kawasan hutan baru137.
* HSBC, misalnya, dituduh memberikan pinjaman hingga US$25 juta (dari tahun 2004 sampai 2012) ke perusahaan-perusahaan kayu terbesar di Sarawak, yang dikaitkan dengan tingginya laju deforestasi (Global Witness, 2012).
54
Dalam hal ini, dana dari sektor publik juga berperan dalam deforestasi dengan merangsang pertumbuhan produksi pertanian di kawasan hutan tropis. Dengan memberikan modal untuk pembebasan lahan dan peningkatan teknologi, terutama bahan bakar hayati dan bahan baku138, dana dari sektor publik berperan dalam perubahan guna lahan dan berakibat pada deforestasi139,140. Di Brazil, misalnya, perluasan budidaya kedelai di lahan padang rumput, yang terjadi karena adanya investasi dalam pertanian mekanik, menggusur produksi ternak yang ada ke perbatasan hutan, serta meningkatkan laju deforestasi di Amazon141. Demikian pula, ketersediaan kredit pedesaan untuk meningkatkan kegiatan 55
© luoman, iStockPhoto
PENDORONG KOMODITAS BERBASIS LAHAN
Pendahuluan
Metodologi
Permintaan atas dan produksi komoditas yang dijelaskan dalam bab ini - minyak sawit, kedelai, daging sapi/kulit, kayu dan bubur kertas/kertas - bertanggung jawab atas mayoritas deforestasi dan degradasi hutan di negara tropis. Total nilai ekspor komoditas tersebut dari negara hutan tropis yang berada dalam fase transisi satu hingga tiga (lihat halaman 14) mencapai US$ 134 miliar tahun 2011, yang lebih dari gabungan produk domestik bruto (PDB) 29% dari seluruh perekonomian negara di dunia143,144.
PETA PERDAGANGAN
Dalam tiga dekade terakhir, ada perubahan besar dalam cara produksi komoditas berbasis lahan dihasilkan. Liberalisasi pasar dalam periode ini, ditambah dengan kemajuan teknologi produksi dan layanan informasi, serta peningkatan logistik dan layanan transportasi, memberikan sektor swasta banyak insentif yang lebih besar untuk memecah proses produksi dan menyebarkannya ke banyak wilayah geografi145. Menurunnya pengawasan oleh produsen beberapa barang konsumen atas bahan baku dan produk antara, juga dibarengi risiko dan tanggung jawab, termasuk perlunya memastikan komponen dan bahan yang digunakan dalam produk berasal dari sumber legal dan tidak bertentangan dengan kebijakan pengadaan perusahaan yang berkelanjutan. Pemetaan aliran komoditas berbasis lahan, kegiatan dan aktor di sepanjang rantai pasokan dapat meningkatkan pemahaman tentang berbagai tahap rantai pasokan, sehingga membantu mengidentifikasi intervensi pendorong efektif, baik oleh sektor swasta maupun sektor publik, untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan tropis146. Pada bab ini, tiap bagian membahas salah satu komoditas utama, beserta penjelasan tahap rantai pasokan terkait dengan komoditas itu, sekumpulan gambar informasi, ilustrasi tentang rantai pasokan sederhana, dan peta alur perdagangan yang memperlihatkan pasar ekspor negara tropis dan subtropis utama di mana deforestasi terjadi untuk komoditas ini. Ilustrasi ini disertakan guna menunjukkan perdagangan komoditas di dunia awalnya dilakukan sejumlah kecil negara hutan, dan menunjukkan potensi risiko terhadap sektor publik dan swasta jika dikaitkan dengan deforestasi tropis melalui perdagangan dan pengadaan komoditas ini. 60
Peta perdagangan pada bab ini bertujuan memberikan gambaran tentang alur perdagangan komoditas. Semua peta ini dibuat menggunakan nilai ekspor komoditas, dari Basis Data Statistik United Nations Commodity Trade (Comtrade). Karena keterbatasan data untuk menghitung dampak tiap komoditas pada deforestasi dan degradasi hutan di negara hutan tropis, angka ekspor dan produksi yang digunakan mewakili seluruh negara, bukan hanya wilayah hutannya saja. Hal ini dapat dibenarkan karena rantai pasokan dunia jarang memisahkan antara komoditas dari hutan dengan komoditas dari luar hutan. Negara utama eksportir komoditas disertakan dalam analisis ini hanya jika 10% atau lebih dari produksi komoditas berbasis lahan bertanggung jawab atas deforestasi hutan tropis negara tersebut. Persentase ini teridentifikasi melalui peninjauan pustaka dan data pemerintah masing-masing negara. Selain itu, negara eksportir disertakan hanya jika negara tersebut dalam fase transisi hutan satu147 (pra-transisi), dua (transisi awal) atau tiga (transisi akhir). Negara dalam fase empat (pasca-transisi) tidak disertakan karena laju deforestasi negara-negara ini biasanya rendah dan negara-negara ini umumnya merupakan pangkalan utama pengolah komoditas berbasis lahan, bukan negara eksportir yang menghasilkan komoditas tersebut (misalnya Cina). GAMBAR INFO
Data produksi dalam negeri dan konsumsi dunia diambil dari basis data statitik United Nations Food and Agriculture Organization (FAOSTAT148) jika tersedia. Perhatian, angka untuk konsumsi dalam negeri lebih lama (2009) daripada angka dalam data perdagangan (2011). Data ekspor terkait dengan komoditas berasal dari Comtrade.
61
Tahap Rantai Pasokan Tahap rantai pasokan bervariasi berdasarkan industri, komoditas, dan wilayah, tapi biasanya meliputi produksi, pengolahan, distribusi, manufaktur, perdagangan eceran dan konsumsi. Beberapa perusahaan besar juga mempunyai operasi terpadu, sehingga mampu mengendalikan banyak tahap rantai pasokan. Guna membantu menggambarkan bagaimana katalisator yang teridentifikasi dalam buku ini dapat berlaku bagi rantai pasokan dunia, kerangka kerja sederhana yang terdiri dari tahap-tahap dasar ini ditetapkan dan digambarkan di sini. Kerangka kerja ini digunakan untuk menjelaskan tiap rantai pasokan komoditas berbasis lahan yang dibahas pada bab ini. KONVERSI / PRODUKSI
KONVERSI / PRODUKSI
Produksi dapat diartikan sebagai proses mengubah sumber daya atau komponen menjadi produk. Dalam konteks rantai pasokan, produksi hanya merupakan salah satu tahap dan biasanya mengacu pada penciptaan bahan baku149, dan biasanya merupakan tahap dimana terjadi dampak langsung pada hutan150. Pada rantai pasokan minyak sawit, tahap ini mencakup pembukaan dan konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. PENGOLAHAN
PENGOLAHAN
62
Pengolahan dapat ditandai sebagai serangkaian kegiatan penambahan nilai guna menghasilkan produk akhir. Dalam analisis ini, pengolahan meliputi kegiatan transformasi awal. Misalnya, kelapa sawit diolah di prabrik dekat lokasi panen, buah digiling untuk menghasilkan minyak sawit mentah. Kegiatan pengolahan selanjutnya dalam bentuk penyulingan dan pemisahan yang mengubah minyak sawit mentah menjadi berbagai produk turunan berada dalam tahap Manufaktur. Kapasitas internal negara produsen untuk mengolah bahan baku sebelum diekspor bervariasi, tapi pengolahan awal biasanya terjadi di negara asal karena perubahan menuju investasi yang lebih besar dalam kapasitas pengolahan dalam negeri negara hutan.
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
Komoditas berbasis lahan dipasok ke pasar dalam negeri ataupun pasar ekspor. Faktor-faktor seperti harga bahan bakar, perubahan permintaan, dan harga komoditas dunia menentukan keseimbangan antara konsumsi dalam negeri dengan pasar ekspor.
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
Transportasi terutama mengacu pada pengiriman komoditas di tingkat internasional dari negara asal ke negara manufaktur dan pengguna akhir. Pedagang pertanian dunia merupakan aktor penting dalam rantai pasokan komoditas. Sektor ini ditandai dengan sedikitnya jumlah pemain yang memperdagangkan mayoritas komoditas pertanian. Dalam analisis ini, yang dinilai hanya pedagang yang mengendalikan stok fisik dan bertanggung jawab atas pengalihan banyak komoditas dan produk turunannya dari pemasok ke pembeli151. Pedagang pasar keuangan tidak disertakan. Distribusi mengacu pada transportasi fisik produk dari aktor seperti distributor, importir dan eksportir, agen, pialang, penggrossir dan pedagang ke manufaktur konsumen akhir dan produk industri. Aktor-aktor ini biasanya lebih kecil dan lebih banyak daripada pedagang pertanian besar tingkat dunia, dan menjalankan beragam fungsi distribusi152. Pada rantai pasokan minyak sawit, tahap ini meliputi pengiriman minyak sawit mentah ke pelabuhan negara asing oleh pedagang komoditas dan pengiriman selanjutnya produk ke penyulingan.
63
MANUFAKTUR
MANUFAKTUR
HIPOTESIS RANTAI PASOKAN
Manufaktur mencakup produksi bahan akhir untuk antara lain sektor pangan, pakan dan bahan bakar, serta manufaktur barang akhir untuk konsumen atau industri. Pada tahap ini juga, ada kecenderungan peningkatan peran pasar pada sejumlah perusahaan yang aktif di sejumlah tahap rantai pasokan melalui model usaha terpadu. Untuk minyak sawit, model ini dapat meliputi penyulingan minyak sawit mentah menjadi lemak dan pemanfaatannya sebagai bahan dalam pembuatan produk roti.
Pada contoh realistis namun tidak spesifik ini, tentang rantai pasokan burger sapi, setidaknya 75 tahap di berbagai negara teridentifikasi untuk sebagian kecil kemungkinan bahan. Tahap rantai pasokan ini disederhanakan berdasarkan kebutuhan dan tidak menggambarkan kompleksitas sebenarnya. Negara eksportir dan importir dipilih hanya sebagai gambaran, bukan untuk menggambarkan kecenderungan tertentu atau hubungan dagang rantai pasokan sebenarnya. Namun, rantai pasokan produk makanan serupa di negara besar lainnya yang juga mengkonsumsi komoditas hutan, seperti AS, Cina atau Australia, akan sama dengan yang digambarkan di sini.
ECERAN / KONSUMSI
ECERAN / KONSUMSI
Pengecer memberikan kepada produsen, akses ke konsumen153. Kecenderungan belakangan ini menunjukkan konsolidasi antara produk konsumsi sektoral dan produk konsumsi utama memberikan pengaruh besar di sepanjang rantai pasokan komoditasnya hingga ke produksi. Misalnya 15 supermarket terbesar dunia berkontribusi 30% dari seluruh makanan yang dijual supermarket di dunia154. Bagian ini mengacu pada penjualan barang ke konsumen swasta namun juga ke pengguna produk industri. Konsumsi merupakan tahap akhir rantai pasokan dan mengacu pada penggunaan produk manufaktur yang mengandung komoditas berbasis lahan, oleh pribadi atau industri. Pada minyak sawit, tahap ini terdiri dari pembelian produk akhir roti oleh konsumen di supermarket.
64
65
DARI HUTAN KE MAKANAN: HIPOTESIS RANTAI PASOKAN
GAMBAR INI MENUNJUKKAN KOMPLEKSITAS HIPOTESIS RANTAI PASOKAN DUNIA YANG DAPAT MENGARAHKAN HUTAN TROPIS KE PRODUK MAKANAN YANG DIBELI DI AUSTRIA. DAGING SAPI
KEDELAI
HUTAN BRAZIL
LAHAN KEDELAI
TRANSPORTASI
SILO / ELEVATOR
TRANSPORTASI
PABRIK PENGHANCUR
PELABUHAN
TRANSPORTASI
TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN
HUTAN PARAGUAY
PETERNAKAN DAGING SAPI
TRANSPORTASI
BRAZIL
PARAGUAY INGGRIS
TRANSPORTASI
PENYULINGAN
TRANSPORTASI
PELABUHAN
PELABUHAN
BELANDA
TRANSPORTASI
TRANSPORTASI PELABUHAN
BELGIA
TRANSPORTASI
TRANSPORTASI
PENGOLAH DAGING
POLANDIA
URUGUAY MANUFAKTUR MAKANAN
TRANSPORTASI
POLANDIA
TRANSPORTASI
PENGECER
KONSUMEN
KONSUMEN
PENGECER
MANUFAKTUR MAKANAN
TRANSPORTASI
DISTRIBUSI MAKANAN DIS TRANSPORTASI CEPAT SAJI
CINA
BUBUR KERTAS DAN
HUTAN INDONESIA
AUSTRIA
AUSTRIA
DISTRIBUSI MAKANAN CEPAT SAJI
TRANSPORTASI PELABUHAN TRANSPORTASI TRANSPORTASI PABRIK BUBUR KERTAS
TRANSPORTASI
MINYAK SAWIT
PELABUHAN
TRANSPORTASI
INDONESIA
PELABUHAN
MINYAK KELAPA SAWIT
HUTAN GHANA
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
TRANSPORTASI
GHANA
BELANDA TRANSPORTASI
ITALIA
PEDAGANG TRANSPORTASI PELABUHAN TRANSPORTASI KERTAS
PELABUHAN
PELABUHAN TRANSPORTASI
PABRIK KERTAS
TRANSPORTASI
LITHUANIA
JERMAN
PABRIK MINYAK SAWIT
TRANSPORTASI
MANUFAKTUR MAKANAN
TRANSPORTASI
HUNGARIA
PERCETAKAN & PENGEMASAN
KEDELAI
POLANDIA
TRANSPORTASI DISTRIBUSI MAKANAN CEPAT SAJI
AUSTRIA
AUSTRIA
TRANSPORTASI
PENGECER KONSUMEN
DIGUNAKAN UNTUK ROTI, DAGING SAPI (JUGA PAKAN TERNAK) SEBAGAI PROTEIN KEDELAI ATAU TEPUNG KEDELAI DALAM ROTI, SAUS DAN KEJU SEBAGAI LESITIN. JUGA DIGUNAKAN DALAM SAUS, ACAR DAN KENTANG GORENG SEBAGAI MINYAK \ KEDELAI.
DAGING SAPI
KONSUMEN
DIGUNAKAN DALAM ROTI BAHAN DASAR DAN KENTANG GORENG SEBAGAI LAPISAN ATAU LEMAK
MINYAK SAWIT
DIGUNAKAN DALAM ROTI DAN JUGA SEBAGAI MINYAK UNTUK MENGGORENG KENTANG.
PENGECER
POLANDIA
TRANSPORTASI
BUBUR KERTAS & KERTAS
TRANSPORTASI
DISTRIBUSI MAKANAN CEPAT SAJI
DIGUNAKAN DALAM PENGEMASAN DAN TISU.
© Nafise Motlaq, World Bank
Minyak Sawit Dan Bahan Bakar Hayati PENDAHULUAN
Kelapa sawit Elaeis guineensis merupakan spesies tropis yang asli dari Afrika Barat dan dibawa ke Asia Tenggara tahun 1848155,156. Memberikan hasil panen tertinggi dengan biaya per hektar terendah dari biji penghasil minyak manapun dan juga merupakan minyak konsumsi terbesar berdasarkan volume produksinya157,158. Minyak sawit ditemukan dalam beragam produk di banyak industri, termasuk pangan, pakan hewan, kosmetik, farmasi, kimia, dan, semakin banyak ditemukan di bahan bakar hayati. Selama satu dekade terakhir, produksi minyak sawit naik lebih dari dua kali lipat dan menjadi pendorong utama deforestasi, terutama di Asia Tenggara159,160. Perluasan kelapa sawit berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati dan kebakaran hutan, dan berbagai implikasi sosial161. Implikasi konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit pada perubahan iklim sangat besar, terutama untuk perkebunan yang dibuka pada lahan gambut yang kaya karbon, mengakibatkan produksi minyak sawit menjadi sumber utama emisi CO2 di Indonesia162. KONVERSI / PRODUKSI
KONVERSI / PRODUKSI
Indonesia dan Malaysia berkontribusi atas sekitar 90% produksi dan ekspor minyak sawit dunia163, yang sangat berkontribusi bagi perekonomian mereka. Produksi sawit juga meluas ke wilayah lain di dunia, termasuk ke Afrika Barat dan Afrika Tengah, Amerika Latin dan Papua Nugini164. Sebagian besar perluasan industri minyak sawit ini dilakukan dengan memperluas lahan produksi, bukan dengan peningkatan hasil panen165 dan sebagian dari perubahan tata guna lahan yang terkait dengan meluasnya perkebunan kelapa sawit ditandai dengan hilangnya hutan166. Dari tahun 1990 sampai 2005, lebih dari 50% perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia terjadi setelah deforestasi hutan tropis dataran rendah untuk pengembangan pertanian167. Perkebunan kecil, dan perkebunan besar (milik swasta ataupun negara), memasok ke pabrik dekat perkebunan karena buah kelapa sawit harus diolah dalam waktu 24 jam setelah dipanen agar tidak busuk168. Perkebunan kecil bisa bersifat independen, sehingga bebas menjual ke penggilingan manapun yang ingin membeli
70
hasil kebun mereka, atau disponsori, dan terkait resmi dengan pabrik tertentu169. Perkebunan kelapa sawit dapat memberikan peluang ekonomi bagi ratusan ribu petani perkebunan kecil, yang bersama-sama, menguasai wilayah tanam yang cukup luas dan berkontribusi sekitar 35-45% dari total produksi di Indonesia dan Malaysia170,171. Terkait dengan perkebunan milik perusahaan, konsolidasi umum dilakukan, serta penggabungan perusahaan dan akuisisi menghasilkan beberapa perusahaan perkebunan dan pengolahan yang sangat besar, seperti Sime Darby Berhad dan Wilmar International Ltd172. PENGOLAHAN
Kelapa sawit dipanen sebagai tandan buah segar (TBS) sepanjang tahun sebelum diangkut ke penggilingan untuk diolah, dimana buah kelapa sawit dihancurkan guna menghasilkan minyak sawit mentah (CPO) dan minyak biji sawit mentah (CPKO), sebagai bahan utama banyak produk makanan olahan di seluruh dunia. Bungkil sawit (PKM) merupakan produk sampingan proses penghancuran dan digunakan industri pakan ternak dan pembangkit listrik173. Industri di Malaysia ditandai dengan tingginya kapasitas internal penyulingan dan pengolahan, sedangkan Indonesia berfokus pada perluasan (ekstensifikasi) perkebunan kelapa sawit, dan pengiriman bahan baku ke pabrik pengolahan luar negeri, meskipun belakangan ini ada banyak investasi guna meningkatkan kapasitas penyulingan dan pengolahan dalam negeri dan sekitar 60% ekspor dari negara tropis terdiri dari minyak sawit sulingan dan produk turunannya (lihat halaman 70)174,175,176.
PENGOLAHAN
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
Tahun 2009, sekitar tiga perempat produk minyak sawit di Indonesia dan Malaysia diekspor, dan Indonesia mengungguli Malaysia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia tahun 2005177,178. Seperti produk pertanian lainnya yang juga diperdagangkan di tingkat internasional, minyak sawit diangkut dan diperdagangkan melalui berbagai metode dan tahap rantai pasokan, dari perkebunan ke penggilingan dan pabrik penghancuran, hingga ke penyulingan (dalam dan luar negeri), dan akhirnya ke manufaktur dan konsumen dunia - mempersulit daya lacak179. Pedagang internasional punya pengaruh cukup
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
71
besar atas pasar komoditas biji penghasil minyak di dunia. Mereka mempengaruhi harga, menyeimbangkan penawaran dan permintaan, dan mengendalikan pergerakan minyak sawit dan produk turunannya di tingkat internasional, dan beberapa perusahaan yang mendominasi perdagangan internasional tersebut meliputi Archer Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill dan Louis Dreyfus180. Mereka umumnya punya hubungan erat dengan bagian lain pada rantai pasokan. Hubungan ini tergambar melalui kepemilikan pedagang komoditas Archer Daniels Midland (ADM) dalam Wilmar Group – salah satu pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar – dan melalui kepemilikan langsung Cargill atas perkebunan dan penggilingan di Indonesia181,182. MANUFAKTUR MANUFAKTUR
Penyulingan CPO dan CKPO terdiri dari netralisasi, bleaching dan deodorising. Minyak ‘dipecah’ guna menghasilkan bahan-bahan seperti olein (pecahan cair) dan stearin (pecahan padat) untuk digunakan dalam berbagai produk akhir, seperti minyak pangan dan sabun183. 70% minyak sawit dunia digunakan dalam produk makanan olahan untuk konsumsi, sisanya digunakan untuk keperluan industri, termasuk biodiesel184. Di antara manufaktur barang konsumsi akhir yang menggunakan produk minyak sawit terbanyak dan melaporkan kebijakan minyak sawit mereka adalah Unilever, BASF dan Nestlé185. Sejumlah manufaktur barang konsumsi, terutama di Uni Eropa, berkomitmen menggunakan atau secara bertahap mulai menggunakan minyak sawit dengan sertifikasi Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO), tapi skema ini bukannya tanpa kritik dan hanya setengah dari minyak sawit bersertifikat yang ada di dunia ini yang dijual di pasar internasional186,187.
utama yang mengandung minyak sawit meliputi margarin, minyak goreng, biskuit, makanan ringan, produk roti dan pengganti susu189. Konsumsi minyak sawit per kapita dunia naik dari kurang dari 0,5kg di awal era 1970-an menjadi 2,5kg tahun 2009190. PERSOALAN LAINNYA
Industri bahan bakar hayati juga tumbuh pesat, didorong amanat kebijakan dan sasaran energi terbarukan di seluruh dunia, dan minyak sawit dipertimbangkan karena potensinya dalam pengembangan sumber bahan bakar alternatif dalam bentuk biodiesel. Belum lama ini, Indonesia dan Malaysia mengembangkan kapasitas penyulingan fleksibel untuk memproduksi biodiesel untuk dieskpor dengan mempertimbangkan harga komoditas191.
ECERAN / KONSUMSI
ECERAN / KONSUMSI
72
Negara importir utama produk minyak sawit utama dari Indonesia dan Malaysia adalah India dan China, yang volumenya mencapai lebih dari sepertiga ekspor, dengan negara-negara Uni Eropa mengimport jumlah yang cukup besar188. Selain minyak sawit dan produk turunannya, negara konsumen juga mengimpor minyak sawit dalam bentuk produk akhir olahan untuk konsumen. Di Inggris, misalnya, diperkirakan 30-50% total minyak sawit yang digunakan masuk dalam bentuk ini. Produk makanan konsumsi 73
Rantai Pasokan Minyak Sawit HUTAN
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT KONVERSI / PRODUKSI
PENGGILINGAN AWAL
MINYAK SAWIT MENTAH & MINYAK BIJI SAWIT MENTAH
BUNGKIL SAWIT
PENYULINGAN & PEMECAHAN
PENGOLAHAN
EKSPOR / PEDAGANG
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
EKSPOR / PEDAGANG
PENYULINGAN & PENCAMPURAN LANJUTAN OLEOKIMIA
MINYAK PANGAN
PRODUSEN PAKAN
© Yayan Indriatmoko, CIFOR
MANUFAKTUR
ECERAN / KONSUMSI
INDUSTRI BAHAN BAKAR HAYATI
INDUSTRI KIMIA & PERAWATAN PRIBADI
INDUSTRI PANGAN
INDUSTRI TERNAK
BIODIESEL DAN PEMBANGKIT LISTRIK
SABUN, LILIN, KOSMETIK, DETERGEN, PELUMAS, PELARUT, DLL.
LEMAK, MARGARIN, MINYAK GORENG, ES KRIM, SHORTENING, DLL.
SUSU DAN DAGING
75
JUTA HEKT
NEGARA NON-TROPIS NEGARA TROPIS
NILAI EKSPOR PRODUK MINYAK SAWIT DARI NEGARA TROPIS 2011
NEGARA NON-TROPIS
JUTA HEKTAR
JUTA HEKTAR
WILAYAH PANEN KELAPA SAWIT TAHUN
NEGARA NON-TROPIS NEGARA TROPIS
EKSPOR PRODUK MINYAK SAWIT DARI NEGARA TROPIS 2011
NEGARA TROPIS MINYAK SAWIT SULING
US$40,111,038,755
MINYAK SAWIT MENTAH BUNGKIL SAWIT
TAHUN
EKSPOR PRODUK MINYAK SAWIT DARI NEGARA TROPIS 2011 EKSPOR PRODUK MINYAK SAWIT DARI NEGARA TROPIS 2011
KONSUMSI MINYAK SAWIT DAN MINYAK INTI SAWIT PER KAPITA DUNIA
MINYAK SAWIT SULING MINYAK SAWIT MENTAH
MINYAK SAWIT MENTAH BUNGKIL SAWIT
BUNGKIL SAWIT MINYAK SAWIT & MINYAK INTI SAWIT
KILOGRAM
MINYAK SAWIT SULING
KONSUMSI MINYAK SAWIT DAN MINYAK INTI SAWIT PER KAPITA DUNIA
KILOGRAM
KILOGRAM
TAHUN
MINYAK SAWIT & MINYAK INTI SAWIT
MINYAK SAWIT & MINYAK INTI SAWIT
PERDAGANGAN MINYAK SAWIT DARI NEGARA HUTAN UTAMA 2011
IMPORTIR UTAMA (LEBIH DARI 1% TOTAL NILAI EKSPOR DARI NEGARA HUTAN UTAMA) IMPORTIR LAIN (KURANG DARI 1% EKSPOR TAPI BERNILAI LEBIH DARI 1 JUTA USD)
EKSPORTIR INDONESIA MALAYSIA
IMPORTIR (PERSENTASE DARI SELURUH EKSPOR DARI NEGARA HUTAN UTAMA)
UAE (1.4%)
INDIA (18.2%)
CINA & HK (16.1%)
BELANDA (7.4%)
PAKISTAN (6.0%)
NIGERIA (1.4%) UKRAINA (1.4%)
MESIR (4.0%)
SINGAPURA (3.2%)
SPANYOL
FEDERASI RUSIA
BRAZIL
(1.3%)
(1.2%)
(1.1%)
AS (3.2%)
MYANMAR (1.1%)
BANGLADESH (2.8%) JEPANG (2.1%)
JERMAN
REP KOREA (1.0%)
(1.1%)
ITALIA (1.9%)
IRAN (1.6%) VIETNAM (1.6%)
FILIPINA (1.6%)
© Mario Rautner
Kedelai PENDAHULUAN
Kacang kedelai merupakan komoditas asli dari Asia Tenggara dan komoditas yang sangat serbaguna, salah satu sumber protein dan minyak nabati penting di dunia untuk dikonsumsi manusia. Dapat ditemukan sebagai bahan berbagai makanan olahan192, dan dipasarkan dalam bentuk kacang kedelai maupun dua produk turunan utamanya, yaitu minyak kacang kedelai dan makanan dari kedelai193. Makanan dari kedelai terutama digunakan sebagai bahan membuat pakan ternak dan unggas194. Pemanfaatan kedelai yang tidak terkait dengan makanan juga semakin umum, termasuk untuk cat, tinta, lilin dan biuh berbasis kedelai serta berbagai produk plastik. KONVERSI / PRODUKSI
KONVERSI / PRODUKSI
Produksi dunia meningkat dengan cepat, belakangan ini didorong pertumbuhan permintaan di Cina, dan negara produsen kedelai utama adalah A.S, Brazil dan Argentina, yang total volumenya mencapai 80% pasokan dunia195,196. Sebagian besar di Brazil dan banyak juga di Paraguay dan Bolivia, kedelai terkait langsung dengan deforestasi hutan tropis selama 20 tahun terakhir. Kedelai biasanya ditanam di perkebunan industri skala besar197, dengan sebagian kecil penanam merupakan petani kecil, terutama jika dibandingkan dengan sektor kelapa sawit198. Hasil panen kedelai disimpan di lumbung besar, dicampur dengan sumber lain, sehingga sulit untuk menelusuri asal produk dalam rantai pasokan ini199. Selama awal era 2000-an, budidaya kedelai di Amazon mengalami perubahan dramatis, didorong rendahnya harga lahan, suburnya tanah dan rendahnya upah tenaga kerja. Misalnya di Mato Grosso, luas area yang ditanami kedelai meningkat 80 persen antara tahun 1980 dan 2004, dan merupakan bagian penting dari apa yang disebut ‘kurva deforestasi’ (di sepanjang Para dan Rondonia) di mana 85% dari seluruh deforestasi di Amazon terjadi dari tahun 1996 hingga 2005200,201. Mayoritas perluasan kedelai dilakukan pada lahan yang awalnya dibuka guna memelihara ternak, mendorong peternak masuk ke lahan hutan, sehingga secara tidak langsung lebih mendorong deforestasi202, dengan area yang lebih kecil dibuka untuk perkebunan kedelai203,204. Puncaknya,
82
deforestasi untuk produksi kedelai di Mato Grosso mencapai sekitar 18,5% dari total deforestasi tahunan nasional antara tahun 2001 hingga 2005, didorong naiknya permintaan pakan ternak di Eropa dan Asia, serta didukung intervensi pemerintah205. Kenaikan permintaan juga meningkatkan kepedulian atas hutan lain, termasuk Cerrado di Brazil, dan kawasan hutan dataran rendah di Bolivia206,207. Moratorium diberlakukan di Brazil tahun 2006, yang secara drastic membantu pengurangan laju deforestasi (lihat halaman 115), dan memastikan kedelahi yang dihasilkan di daerah yang terdeforestasi setelah Juli 2006 tidak dapat dipasarkan perusahaan yang terkait dengan Brazilian Association of Vegetable Oil Industries (ABIOVE) atau National Association of Cereal Exporters (ANEC). Kedua lembaga ini mewakili sekitar 90% pasar kedelai Brazil208. Di Paraguai, yang hingga 8 tahun lalu laju deforestasinya tertinggi kedua di dunia sebagian besar karena perubahan guna lahan untuk produksi kedelai, ada respons politik kuat terhadap deforestasi yang didorong komoditas berbasis lahan. Sejak tahun 2004, moratorium melarang konversi lahan hutan di hutan Atlantik sebelah timur Paraguai, dan mengurangi laju deforestasi di kawasan tersebut sebesar 90% dibandingkan dengan kondisi tahun 2002209. Pada September 2013 moratorium diperpanjang 5 tahun lagi210. PENGOLAHAN
Penghancuran kedelai untuk menghasilkan minyak kedelai dan makanan dari kedelai merupakan tahap awal pengolahan. Sekitar 67% tanaman kedelai dunia diolah menjadi makanan dari kedelai, yang sebagian besarnya diolah lebih lanjut menjadi pakan ternak. Dari 16% produksi kedelai dunia yang diolah menjadi minyak kedelai211, diperkirakan 95% dikonsumsi sebagai minyak pangan, dan sisanya digunakan untuk produk industri seperti sabun dan biodiesel212.
PENGOLAHAN
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
Sekitar 34% produksi kedelai dunia diekspor dan diperdagangkan di tingkat internasional213. Perdagangan dan pengolahan kedelai di semua negara eksportir besar didominasi perusahaan dagang komoditas internasional besar yang sama yang juga mendominasi perdagangan minyak sawit dan meliputi ADM, Bunge, Cargill dan
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI 83
Louis Dreyfus214. Setelah panen, pedagang besar ini mengumpulkan, menyimpan dan mengangkut kedelai untuk dihancurkan atau diekspor. Petani kedelai sering meng-ijon ke pedagang komoditas yang ditukar dengan benih, pupuk dan bahan kimia pertanian, yang memberikan kendali tak langsung atas produksi kepada pedagang215. Cina muncul sebagai aktor utama industri kedelai dan tujuan ekspor utama untuk Brazil, menyumbangkan hampir 67% dari total ekspor kedelai tahun 2011216. Seperti beberapa negara di Asia Selatan, Afrika Utara dan Timur Tengah dengan kapasitas internal yang terbatas untuk memperluas produksi, Cina banyak berinvestasi dalam kapasitas penghancuran kedelai dalam negeri. Akibatnya, permintaan kedelai meningkat dengan cepat melebihi permintaan produk kedelai lain. Sekarang Cina merupakan importir kedelai terbesar dunia untuk industri peternakan mereka yang tumbuh pesat, dan diperkirakan di masa depan Cina akan semakin mendominasi import kedelai dunia217,128.
PERSOAlAN LAIN
Minyak kedelai merupakan bahan utama produksi biodiesel di Brazil, mengkontribusikan 75% produksi tahun 2011224 dan di Mato Grosso biodiesel dari budidaya kedelai mungkin berkontribusi atas hampir 6% deforestasi langsung tahunan di negara tersebut225. Berdasarkan proyeksi produksi biodiesel di masa depan dari negara berkembang, minyak sawit dan minyak kedelai akan tetap menjadi komoditas terpenting, yang mengakibatkan kenaikan produksi dengan tajam226.
MANUFAKTUR
MANUFAKTUR
Kedelai digunakan dalam pembuatan beragam produk mulai dari kue/roti dan margarin hingga kosmetik, tinta, biodiesel dan bahkan bahan bangunan seperti kayu lapis219. Hanya ada sedikit pemain dominan dalam industri pangan dan kosmetik, termasuk Unilever, Procter and Gamble, Kraft dan Nestlé220,221. ECERAN / KONSUMSI
ECERAN / KONSUMSI
84
Konsumsi kedelai dan produk turunannya di Brazil sekitar setengah dari produksinya, meskipun semakin banyak yang diekspor guna memenuhi meningkatnya permintaan dunia222. Tumbuhnya konsumsi di Asia, terutama di Cina dan India, dan meningkatnya kapasitas produksi biodiesel di Eropa meningkatkan permintaan dunia atas minyak kedelai. Eropa masih menjadi pasar konsumen utama makanan dari kedelai, walaupun pasar ini mengalami kemandegan selama beberapa tahun terakhir akibat penurunan konsumsi daging. Asia Tenggara merupakan pasar yang berkembang paling pesat untuk makanan dari kedelai guna memenuhi permintaan pakan hewan, menunjang meningkatnya konsumsi daging223.
85
RANTAI PASOKAN KEDELAI
HUTAN
PERKEBUNAN KEDELAI ELEVATOR / PENYIMPANAN
KONVERSI / PRODUKSI
FASILITAS PENGHANCUR KEDELAI
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
MINYAK KEDELAI
MAKANAN DARI KEDELAI
EKSPOR / PEDAGANG
EKSPOR / PEDAGANG
PENYULING & PENGOLAH
MANUFAKTUR
ECERAN / KONSUMSI 86
PENGOLAH MAKANAN DARI KEDELAI
INDUSTRI BIODIESEL
INDUSTRI BAHAN KIMIA, PANGAN & PERAWATAN PRIBADI
INDUSTR KIMIA & PANGAN
PRODUSEN PAKAN / INDUSTRI TERNAK
BIODIESEL
FATS, MARGARINES, COOKING OIL, SHORTENINGS, ECITHIN, DETERGENTS, ETC.
PROTEIN, TEPUNG, SEREAL, KOSMETIK, PLASTIK, CAT, DLL.
SUSU DAN DAGING
© Neil Palmer, CIAT
PENGOLAHAN
JUTA HEKT
JUTA HEKTAR NEGARA TROPIS
JUTA HEKTAR
WILAYAH PANEN KEDELAI
NILAI EKSPOR PRODUK KEDELAI DARI NEGARA TROPIS 2011
JUTA HEKTAR
JUTA HEKTAR
WILAYAH PANEN KEDELAI TAHUN
JUTA HEKTAR NEGARA TROPIS
ESKPOR PRODUK KEDELAI DARI NEGARA TROPIS 2011
NEGARA TROPIS KEDELAI
US$48,890,663,330
MINYAK KEDELAI BUNGKIL & TEPUNG KEDELAI
TAHUN
FAOSTAT 2013
ESKPOR PRODUK KEDELAI DARI NEGARA TROPIS 2011
TAHUN
KONSUMSI KEDELAI DAN MINYAK KEDELAI PER KAPITA DUNIA
ESKPOR PRODUK KEDELAI DARI NEGARA TROPIS 2011
KEDELAI MINYAK KEDELAI
MINYAK KEDELAI BUNGKIL & TEPUNG KEDELAI
BUNGKIL & TEPUNG KEDELAI MINYAK KEDELAI
KILOGRAM
KEDELAI
KEDELAI
FAOSTAT 2013
FAOSTAT 2013
KONSUMSI KEDELAI DAN MINYAK KEDELAI PER KAPITA DUNIA
KILOGRAM
KILOGRAM
KONSUMSI KEDELAI DAN MINYAK KEDELAI PER KAPITA DUNIA
MINYAK KEDELAI KEDELAI
TAHUN
MINYAK KEDELAI KEDELAI
PERDAGANGAN KEDELAI DARI NEGARA HUTAN UTAMA 2011
IMPORTIR UTAMA (LEBIH DARI 1% TOTAL NILAI EKSPOR DARI NEGARA HUTAN UTAMA) IMPORTIR LAIN (KURANG DARI 1% EKSPOR TAPI BERNILAI LEBIH DARI 1 JUTA USD)
EKSPORTIR BRAZIL PARAGUAY BOLIVIA
IMPORTIR (PERSENTASE DARI SELURUH EKSPOR DARI NEGARA HUTAN UTAMA)
IRAN (1.4%)
TURKI (1.3%)
VENEZUELA (1.3%)
JEPANG (1.2%)
PERU (1.2%)
FEDERASI
KOLOMBIA (1.2%)
RUSIA (1.2%)
CINA & HK (42.3%)
BELANDA (8.7%)
SPANYOL (6%)
JERMAN (6%)
THAILAND (4.1%)
PERANCIS (3.9%)
REP KOREA (2.1%)
ITALIA (1.8%)
VIETNAM (1.6%)
INGGRIS (1.5%)
© Adam Kuban
Daging Sapi Dan Kulit PENDAHULUAN
Sekitar 57 juta ton daging sapi dihasilkan per tahun di seluruh dunia, melalui beragam sistem produksi227. Sejak tahun 2003 ternak di negara tropis lebih banyak daripada di negara nontropis228. Guna memenuhi permintaan daging sapi dari penduduk dunia yang lebih besar dan lebih makmur229, populasi ternak dunia diperkirakan akan naik 70% menjadi 2,6 miliar tahun 2050230. KONVERSI / PRODUKSI
KONVERSI / PRODUKSI
Perluasan ternak merupakan pendorong utama deforestasi di sejumlah negara tropis, terutama di Amerika Latin, tapi juga kontributor utama kesejahteraan dan lapangan kerja231,232,233. Brazil saat ini punya peternakan terbesar di antara seluruh negara hutan tropis, sedangkan Uruguay punya jumlah ternak terbesar per kapita234. Di Brazil, 75% deforestasi terkait dengan industri peternakan235, namun produksi Brazil untuk diekspor relatif baru. Dari awal 1990-an, pembukaan hutan untuk peternakan meningkat cepat, dan dari tahun 1990 hingga 2003, penggembalaan ternak di Amazon tumbuh 140%236. Nilai ekspor produk ternak Brazil naik tiga kali lipat antara 2001 hingga 2009237. Peternakan juga diidentifikasi sebagai pendorong deforestasi di kawasan hutan kering Argentina dan Chaco Paraguay238. Di Chaco Paraguay, ada peningkatan daerah merumput 70% dari tahun 1990 hingga 2008239. Sektor peternakan juga menjadi kontributor penting emisi GRK240, dengan emisi dari peternakan bertanggung jawab atas sekitar setengah dari seluruh emisi Brazil241. Daging juga memerlukan lebih banyak lahan dan air per unit yang punya nilai nutrisi daripada komoditas pertanian lainnya242. Misalnya, satu kilogram daging sapi memerlukan 15.000 liter air, sedangkan 1 kilogram kacang polong hanya butuh 600 liter air243. Industri di Argentina dan Brazil didasarkan pada ternak dengan pakan rumput sepanjang tahun244. Namun, ada peningkatan penggunaan sistem ‘feedlot’, ternak dipelihara dengan intensif, dan diberi pakan ternak yang dapat meliputi produk kedelai, guna meningkatkan efisiensi produksi245,246. Rantai pasokan ternak Amazon Brazil, dari peternakan ke tempat pemotongan hewan, sangat rumit, dengan banyak peternakan anak sapi sebagai
94
pemasok tak langsung, yang menjual ke peternakan penggemukan besar dan peternakan jenis lainnya, yang kemudian memasok langsung ke tempat pemotongan hewan247. Ternak juga dapat melalui pelelangan sebelum mencapai tempat pemotongan hewan248. Ada juga pasar gelap* di Brazil dengan sekitar seperempat jumlah ternak yang disembelih. Kegiatan seperti ini tampaknya kurang merespon tanda-tanda pasar249. Tahun 2009, setelah laporan LSM yang menarik perhatian pada deforestasi ilegal atas peternakan, dan tindakan hukum dari Kantor Kejaksaan Umum di negara bagian Para di Amazon, moratorium daging sapi yang disebut perjanjian ternak G4 diberlakukan di Brazil (lihat halaman 92). Pengemas daging terbesar di Brazil sepakat untuk membeli hanya dari peternakan di Amazon Brazil yang belum pernah dihubungkan dengan deforestasi sejak tanggal perjanjian tersebut250. PENGOLAHAN
Mayoritas ternak yang dipelihara di Amazon disembelih di kawasan tersebut. Daging, kulit dan produk sampingan lalu diangkut ke seluruh penjuru negeri dan diekspor ke negara lain251. Dalam rantai pasokan daging di Brazil, sektor pengolahan daging sangat terkonsolidasi, dengan tiga perusahaan – JBS dan Marfrig (dua produsen protein terbesar dunia), dan Minerva - menyumbang hampir 70% dari nilai ekspor, dengan JBS saja mengirimkan hampir 40% dari total daging sapi252,253,254. Ketiganya, serta beberapa pengolah besar lainnya yang berkantor pusat di Brazil, juga bergerak di negara hutan tropis lain di Amerika Latin235. Industri kulit merupakan industri utama dunia, dengan kulit mentah dan produk kulit olahan yang diperdagangkan luas dan permintaan terus tumbuh. Kulit terutama berasal dari ternak yang dipelihara untuk diambil dagingnya256, dan nilai kulit ternak memberikan kurang dari 20% nilai pasar suatu hewan257. Industri penyamakan melibatkan pengolahan kulit mentah menjadi kulit, untuk digunakan dalam manufaktur beragam produk konsumen. Pengolahan kulit mentah juga menghasilkan produk sampingan yang dimanfaatkan sektor lain, seperti produksi pupuk dan pakan ternak258.
PENGOLAHAN
* Didefinisikan Walker dkk., 2013 sebagai seluruh daging yang dihasilkan di fasilitas tanpa kode pemeriksaan resmi.
95
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
ECERAN / KONSUMSI
Diperkirakan 80% daging di Brazil dan Argentita dikonsumsi di dalam negeri, sedangkan di Paraguay dan Nikaragua persentasenya jauh lebih rendah, sedikit di atas 20%259. Daging sapi dari tempat pemotongan hewan yang dijual di pasar dalam negeri biasanya melalui penggrosir, distributor atau pengecer sebelum mencapai konsumen akhir. Sektor pengecer di Brazil sangat terkonsolidasi260, dengan tiga jaringan supermarket – Wal-Mart, Carrefour dan Pão de Açúcar – bertanggung jawab atas banyak daging yang dijual di negera ini261.
Konsumsi daging sapi per kapita dunia sekarang mencapai 9,6kg per tahun268 dan ada banyak produk makanan di dunia yang mengandung daging sapi. Selain daging sapi dan kulit, ada juga permintaan atas produk turunan dari ternak. Produk sampingan ini digunakan di beragam industri, termasuk kosmetik, pangan, pakan, farmasi dan industri lainnya, dan dapat ditemukan dalam banyak produk. Lemak hewani, terutama lemak sapi, banyak digunakan pada beragam produk, khususnya pada industri produk kosmetik dan perawatan pribadi. Lemak hewani juga penting dan sumber yang semakin banyak digunakan untuk biodiesel di Brazil269.
Rantai pasokan ekspor kulit Brazil sangat rumit, mencakup beragam produk dan jenis kulit untuk diekspor262. Mayoritas ekspor adalah kulit mentah dengan dua pertiga produk kulit yang diekspor ke Cina dan Italia263. JBS dan Euro America Assessoria merupakan dua eksportir kulit terbesar di Brazil, bersama-sama menyumbang hampir separuh dari nilai ekspor264.
ECERAN / KONSUMSI
MANUFAKTUR
MANUFAKTUR
Pergerakan dan perdagangan produk ternak diatur dengan ketat, jauh lebih ketat daripada komoditas lainnya yang juga mengancam hutan. Hal ini berdampak pada manufaktur produk yang mengandung daging sapi, dan impornya ke negara konsumen. Di beberapa negara seperti negara anggota Uni Eropa, impor seperti ini harus berasal dari tempat di negara asing yang telah disetujui265. Namun, skandal seperti daging kuda mencemari produk daging sapi di Eropa mencerminkan sulitnya melacak produk dan bahan pembuat di sepanjang rantai pasokan. Cina dan Italia adalah dua manufaktur produk kulit terbaik dunia266 tapi produksi semakin tersebar ke banyak negara dan kawasan, dan produk kulit dari Brazil, Argentina, Paraguay dan negara hutan lain di Amerika Selatan menyelinap masuk melalui berbagai merk terkenal yang dijual ke seluruh dunia melalui negara pengolah utama. Alas kaki menyumbang lebih dari setengah dari seluruh kulit dengan industri pakaian, kendaraan dan perabot juga banyak menggunakan kulit267.
96
97
RANTAI PASOKAN DAGING DAN KULIT SAPI
HUTAN
PETERNAKAN TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN SETEMPAT
KONVERSI / PRODUKSI
PENGOLAHAN LEMAK
PENYAMAKAN KULIT
PENGOLAHAN DAGING SAPI & PRODUK SAMPINGAN
PEDAGANG & EKSPORTIR
PEDAGANG & EKSPORTIR
PENGOLAHAN
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
PENYAMAKAN ULANG & MANUFAKTUR MANUFAKTUR PRODUK DAGING SAPI
© Neil Palmer, CIAT
MANUFAKTUR
BIODIESEL LOKAL, SABUN, KOSMETIK, DLL. ECERAN / KONSUMSI
ALAS KAKI, PAKAIAN, FESYEN, AKSESORIS, PENUTUP PERABOT & MOBIL
PRODUK SAMPINGAN DAGING SAPI TERMASUK GLISERIN, GELATIN DLL UNTUK BARANG KONSUMSI (PRODUK KESEHATAN & KECANTIKAN) DAN UNTUK INDUSTRI
PRODUK DAGING ECERAN, MAKANAN CEPAT SAJI, MAKANAN OLAHAN
99
JUTA KEPALA (TERNA
NEGARA NON-TROPIS NEGARA TROPIS
JUTA KEPALA (TERNAK)
JUMLAH TERNAK DAN PRODUKSI KULIT (MENTAH)
NILAI EKSPOR PRODUK DAGING & KULIT SAPI DARI NEGARA TROPIS 2011
NEGARA NON-TROPIS NEGARA TROPIS
JUTA KEPALA (TERNAK)
JUMLAH TERNAK DAN PRODUKSI KULIT (MENTAH) TAHUN
NEGARA NON-TROPIS NEGARA TROPIS
EKSPOR PRODUK DAGING & KULIT SAPI DARI NEGARA TROPIS 2011 DAGING & KOTORAN SAPI
US$10,787,004,970
KULIT DAGING SAPI OLAHAN KULIT MENTAH
TAHUN COMTRADE 2013
EKSPOR PRODUK DAGING & KULIT SAPI DARI NEGARA TROPIS 2011
TAHUN
EKSPOR PRODUK DAGING & KULIT SAPI DARI NEGARA TROPIS 2011
EKSPOR PRODUK DAGING & KULIT SAPI DARI NEGARA TROPIS 2011
DAGING & KOTORAN SAPI KULIT
KULIT DAGING SAPI OLAHAN
DAGING SAPI OLAHAN DAGING SAPI KULIT MENTAH
KILOGRAM
DAGING & KOTORAN SAPI
KULIT MENTAH
COMTRADE 2013
COMTRADE 2013
EKSPOR PRODUK DAGING & KULIT SAPI DARI NEGARA TROPIS 2011 TAHUN
KILOGRAM
KILOGRAM
EKSPOR PRODUK DAGING & KULIT SAPI DARI NEGARA TROPIS 2011
DAGING SAPI
DAGING SAPI
PERDAGANGAN DAGING DAN KULIT SAPI DARI NEGARA HUTAN UTAMA 2011
IMPORTIR UTAMA (LEBIH DARI 1% TOTAL NILAI EKSPOR DARI NEGARA HUTAN UTAMA) IMPORTIR LAIN (KURANG DARI 1% EKSPOR TAPI BERNILAI LEBIH DARI 1 JUTA USD)
EKSPORTIR
DAGING SAPI
KULIT
BRAZIL PARAGUAY ARGENTINA NIKARAGUA KOLOMBIA
IMPORTIR (PERSENTASE DARI SELURUH EKSPOR DARI NEGARA HUTAN UTAMA)
BELANDA (3.7%)
FEDERASI RUSIA (14.1%)
CINA & HONG KONG (13.2%)
IRAN (7.3%)
ISRAEL (3.0%)
CHILI (6.8%)
INGGRIS (2.2%)
ARAB SAUDI (1.5%)
ITALIA (6.6%)
VENEZUELA (6.6%)
THAILAND (1.3%)
JERMAN (5.9%)
LIBANON (1.1%)
AS (5.5%)
MESIR (4.7%)
© Syahmir
Kayu, Bubur Kertas Dan Kertas PENDAHULUAN
Rantai pasokan untuk kayu, bubur kertas dan kertas terdiri dari sangat banyak operasi dan operator serta jauh lebih rumit dan terpecah-pecah daripada rantai pasokan komoditas lainnya yang juga berisiko mengancam hutan270. Antara tahun 1992 hingga tahun 2012 nilai ekspor dunia produk ini naik lebih dari dua kali lipat, dari US$104 miliar menjadi US$233 miliar271, dan permintaan dunia atas produk kayu diperkirakan akan lebih naik lagi, memberikan tekanan tambahan pada hutan tropis272. Tingginya permintaan juga mendorong pasar kayu gelap, menghasilkan hingga sekitar US$15 miliar per tahun pendapatan ilegal, dan dengan royalti yang tidak dibayar dan pajak atas penebangan resmi memberikan tambahan US$5 miliar273. Produksi dan perdagangan produk kayu sangat rentan terhadap pelanggaran: kayu merupakan produk yang dapat berjamur yang mudah digelapkan, berasal dari wilayah yang jarang berpenghuni serta jauh dari penegakan hukum, dan bergerak dalam rantai pasokan dunia dengan banyak celah untuk korupsi274. KONVERSI / PRODUKSI
KONVERSI / PRODUKSI
Negara hutan tropis hanya menyumbang sedikit untuk produksi dan perdagangan produk kayu dunia275. Namun, dengan naiknya permintaan, tekanan pada hutan tropis di negara berkembang akan terus meningkat, diperburuk biaya produksi yang lebih rendah, dan iklim yang mendukung pertumbuhan cepat tanaman, semakin mendorong konversi hutan alam menjadi perkebunan276. Penebangan sebagai pendorong degradasi hutan paling sering terjadi di Amerika Latin dan Asia Tenggara, terutama di Indonesia277,278, yang punya laju deforestasi tertinggi di dunia. Sebagian besar didorong pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, yang dapat didanai penjualan kayu yang ditebang279. Panen kayu melibatkan rubuhnya pohon secara acak ataupun terpilih di hutan dan perkebunan. Tidak seperti industri kertas, hanya sedikit spesies pohon yang dianggap layak digunakan secara ekonomi pada industri kayu. Penebangan terpilih melibatkan penebangan pohon tertentu (misalnya spesies bernilai tinggi) dan degradasi hutan yang ditimbulkan dapat membuat wilayah tersebut lebih rentan terhadap kebakaran dan eksploitasi dari industri ekstraksi lain280.
106
Luas hutan tanaman produksi sangat meningkat dalam dua dekade terakhir281 tapi mengganti hutan primer dengan perkebunan produksi monokultur dapat dikaitkan dengan dampak negatif pada lingkungan, termasuk pada emisi CO2282, sumber daya air283 dan keanekaragaman hayati284. Di Afrika, terutama di Congo Basin, produksi kayu juga jadi ancaman besar bagi hutan tropis, dengan konsesi penebangan dialokasikan untuk areal hutan yang luas285,286. Selain itu, pemungutan kayu bakar, terutama di Afrika, dapat menjadi pendorong utama degradasi hutan287. Area hutan bersertifikat di dunia dperkirakan mencapai sekitar 400 juta ha, tapi di negara tropis, persentase hutan yang disertifikasi sebagai hutan yang dikelola secara lestari masih sangat rendah288. 87% dari seluruh hutan bersertifikat berada di belahan bumi utara, sedangkan hanya 2% hutan tropis yang saat ini bersertifikasi289. Industri bubur kertas dan kertas lebih terkonsolidasi daripada industri kayu dan di Indonesia, di mana deforestasi hutan tropis yang terkait dengan produksi bubur kertas dan kertas terjadi, dua perusahaan mendominasi sektor ini: Asia Pulp and Paper (APP), anak perusahaan Sinar Mas Group Indonesia, yang juga punya operasi minyak sawit besar, dan Asian Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL) yang berkantor pusat di Singapura. Keduanya bertanggung jawab atas 80% produksi bubur kertas di Indonesia290. PENGOLAHAN
Setelah ditebang dari hutan, kayu dipilah sesuai potensi penggunaan akhir dan biasanya diangkut dalam jarak pendek dari lokasi panen untuk diolah, baik langsung ke penggilinggan ataupun melalui tempat penyimpanan antara di terminal291. Eskpor kayu gelondongan sudah tidak banyak dilakukan, dengan beberapa negara hutan tropis memberlakukan larangan ekspor di berbagai masa guna mengatasi penebangan liar dan merangsang perekonomian setempat292. Kayu gelondongan berkualitas tinggi biasanya dikirim ke penggergajian untuk produksi kayu, sedangkan kayu gelondongan kecil digunakan untuk membuat kertas, bahan bakar biomassa dan panel kayu. Sayangnya, ketika
PENGOLAHAN
107
kayu panenan masuk ke penggergajian, perlindungan identitas dan daya lacak produk mudah hilang293 - tapi lebih mudah dipertahankan daripada komoditas lainnya yang juga mengancam hutan dan kertas. Ekspor kayu yang tidak diolah dan produk kayu olahan primer menjadi kurang penting di perdagangan internasional. Ini mencerminkan perubahan menuju peningkatan eskpor produk sekunder bernilai tambah lebih tinggi (misalnya bahan lantai)294. TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
ECERAN / KONSUMSI
Rantai produk Rakit Sendiri (DIY), pemasok bahan bangunan dan pengecer perabot mewakili beberapa titik penjualan produk kayu ke konsumen swasta dan profesional303. Jaringan pengecer besar menguasai sebagian besar pasar nasional dan mampu memberikan pengaruh besar pada struktur rantai pasokan304. Sangat banyak produk kertas (senilai sekitar US$80 miliar) dijual sebagai tisu melalui berbagai jalur pengecer termasuk jaringan supermarkets305.
ECERAN / KONSUMSI
Rantai pasokan produk kayu meliputi jalur distribusi berbagai tingkat. Produk dapat masuk dari penggergajian ke pasar melalui berbagai perantara, termasuk penggrosir, pengecer, distributor, agen, eskportir, dan importir295. Demikian pula, kertas melalui banyak tahap perdagangan dan produksi, termasuk penggergajian bubuk kertas dan kertas, pedagang kertas, percetakan, dan pengecer. Negara importir terbesar kayu tropis gergajian adalah Cina, yang biasanya menggunakannya untuk manufaktur perabot dan perbaikan rumah di pasar yang juga terkait erat dengan eskpor Cina. Cina juga importir terbesar kayu tropis gelondongan296 dan importir terbesar bubur kertas dari Indonesia. Importir utama kayu lapis tropis adalah Jepang, Korea Selatan, A.S, Taiwan, dan Inggris297. Produk kayu olahan, terutama perabot, dikirim dari negara tropis ke pasar di A.S, Jepang dan Uni Eropa298, yang juga merupakan pasar impor utama produk kertas. Dalam beberapa tahun terakhir, import ini terhambat mandeg bahkan turun, sebagian karena meningkatnya popularitas produk elektronik alternatif299. Permintaan atas produk ini beralih ke pasar baru di Asia300. MANUFAKTUR
MANUFAKTUR
108
Proses manufaktur mengubah kayu menjadi berbagai produk termasuk perabot, lantai, kayu lapis dan papan serta produk kayu rangka dan bahan bangunan. Lebih dari 60% perdagangan dunia produk kayu olahan sekunder terdiri dari perabot dan bagian-bagian perabot301. Bubur kertas biasanya diubah menjadi kertas cetak dan tulis, kertas koran, tisu, kardus, dan produk kertas lain dan karton di lebih dari 4000 penggilingan bubur kertas di dunia302. 109
KAYU, BUBUR KERTAS DAN KERTAS
HUTAN
KAYU KERAS GELONDONGAN & PERKEBUNAN BARU
KONVERSI / PRODUKSI
KAYU BAKAR PENGOLAHAN
PENGGERGAJIAN, KAYU LAPIS & VENEER
SISA PENGOLAHAN
PABRIK BUBUR KERTAS & KERTAS
KAYU POTONG, VENEER, KAYU SERPIHAN
ESKPORTIR, PEDAGANG, DISTRIBUTOR & IMPORTIR
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
PEMBANGKIT LISTRIK DARI BIOMASSA
MANUFAKTUR PAPAN, KAYU LAPIS, KAYU OLAHAN
PERABOT, LANTAI, MANUFAKTUR
ESKPORTIR, PEDAGANG, DISTRIBUTOR & IMPORTIR
PABRIK KERTAS, PABRIK PENGUBAHAN
MANUFAKTUR
ECERAN / KONSUMSI 110
ENERGI, PEMANAS, PENGGUNAAN UNTUK MASAK & PENGGUNAAN LOKAL LAINNYA
BAHAN BANGUNAN
PERABOT, KAYU LANTAI
SURAT KABAR, BUKU, KERTAS FOTO KOPI, TISU & PRODUK KESEHATAN, KEMASAN
© Raul Lieberwirth
PERCETAKAN & PENERBIT
JUTA METER KUBIK
KAYU GELONDONGAN NON-TROPIS KAYU GELONDONGAN TROPIS
JUTA METER KUBIK
PRODUKSI KAYU GELONDONGAN
NILAI EKSPOR PRODUK KAYU, BUBUR KERTAS & KERTAS DARI NEGARA TROPIS 2011
KAYU GELONDONGAN NON-TROPIS
JUTA METER KUBIK
PRODUKSI KAYU GELONDONGAN KAYU GELONDONGAN NON-TROPIS TAHUN
KAYU GELONDONGAN TROPIS
EKSPOR PRODUK KAYU DARI NEGARA TROPIS 2011
KAYU GELONDONGAN TROPIS
US$34,592,171,583
BUBUR KERTAS & KERTAS PAPAN & PANEL KAYU GERGAJIAN & KAYU POTONG SAMBUNGAN, TIANG, PERALATAN, DLL KAYU BAKAR LAINNYA TAHUN
EKSPOR PRODUK KAYU DARI NEGARA TROPIS 2011 TAHUN BUBUR KERTAS & KERTAS PAPAN & PANEL
KONSUMSI KERTAS PER KAPITA DUNIA
EKSPOR PRODUK KAYU DARI NEGARA TROPIS 2011
KAYU GERGAJIAN & KAYU POTONG
PAPAN & PANEL
KONSUMSI KERTAS SAMBUNGAN, TIANG, PERALATAN, DLL
KILOGRAM
BUBUR KERTAS & KERTAS
KAYU BAKAR LAINNYA
KAYU GERGAJIAN & KAYU POTONG SAMBUNGAN, TIANG, PERALATAN, DLL KAYU BAKAR LAINNYA
KILOGRAM
KONSUMSI KERTAS PER KAPITA DUNIA
KILOGRAM
KONSUMSI KERTAS PER KAPITA DUNIA
TAHUN
KONSUMSI KERTAS
TAHUN
KONSUMSI KERTAS
PERDAGANGAN MINYAK SAWIT DARI NEGARA HUTAN UTAMA 2011
IMPORTIR UTAMA (LEBIH DARI 1% TOTAL NILAI EKSPOR DARI NEGARA HUTAN UTAMA) IMPORTIR LAIN (KURANG DARI 1% EKSPOR TAPI BERNILAI LEBIH DARI 1 JUTA USD)
EKSPORTIR
BUBUR KERTAS DAN KERTAS
KAYU
INDONESIA BRAZIL KAMERUN GHANA
IMPORTIR (PERSENTASE DARI SELURUH EKSPOR DARI NEGARA HUTAN UTAMA)
UAE (2.4%)
FRANCE (2.3%)
NETHERLANDS
UK (1.9%)
SINGAPORE (1.8%)
ITALY (1.8%) THAILAND (1.1%)
NIGERIA (1.1%)
PHILIPPINES (1.0%)
(2.0%)
JEPANG (14.8%)
CINA & HK (14.3%)
AS (9.0%)
KOREA (4.5%)
INDIA (4.4%)
MALAYSIA (3.4%)
AUSTRALIA (3.2%)
VIETNAM (3.0%)
ARAB SAUDI (2.8%)
JERMAN (2.5%)
BELGIA (2.5%)
SINERGI KEBIJAKAN GUNA MENGATASI PENDORONG DEFORESTASI: STUDI KASUS DARI INDUSTRI TERNAK AMAZON Naiknya permintaan internasional atas komoditas pertanian meningkatkan tekanan pada hutan di seluruh negara tropislix. Kebijakan yang efektif untuk mencegah deforestasi sementara mendorong peningkatan produktivitas tanaman dan lahan merumput yang ada merupakan kebutuhan utama dunialx. Hutan mencakup wilayah yang sangat luas dan seringkali lahan pemerintah dan swasta terpencil, dan penguasaannya sering tidak pastilxi. Sepanjang hutan dapat dibuka tanpa sepengetahuan dan hak atas tanah diabaikan, langkah efektif guna mengendalikan deforestasi akan sulit diwujudkan. Brazil punya sistem pemantauan deforestasi nasional, Prodes, yang memberikan data deforestasi tahunan sejak 1988lxii. Sistem untuk mendaftarkan properti pedesaan diundangkan tahun 2009, Rural Environmental Registry (CAR), yang menyimpan informasi batas properti pribadi dan tutupan vegetasi berdasarkan geografilxiii. Jika diterapkan secara luas oleh pemilik lahan, sistem ini memungkinkan adanya identifikasi lahan siapa yang sedang dibuka dan terbukti dapat menjadi kombinasi kuat untuk memerangi deforestasi dan mendukung rantai pasokan komoditas yang terbuka dan bebas dari deforestasi. Padang rumput untuk ternak ditemukan di sekitar tiga perempat lahan yang dibuka di Amazon Brazillxiv,lxv sehingga menjadi prioritas dalam menanggulangi deforestasi di Brazil. Pada Juni 2009, Kantor Kejaksaan Federal di negara bagian Pará di Amazon mengajukan tuntutan terhadap tempat pemotongan hewan yang membeli dari peternakan gelap dan memperingatkan supermarket agar tidak membeli dari tempat pemotongan hewan tersebutlxvi. Sementara itu, Greenpeace mengeluarkan laporan yang dipublikasikan luas yang menghubungkan deforestasi dengan rantai pasokan pengemas daging terbesar di Brazil 116
dan produk akhir yang dijual supermarket besar dan merk produk kulit di Brazil dan di dunialxvii. Akibatnya, supermarket di Brazil menghentikan pembelian dari tempat pemotongan hewan yang dituntut dan banyak merk produk kulit internasional memberlakukan “kebijakan deforestasi nol”. Hal ini mengakibatkan pengemas daging menandatangani perjanjian dengan Jaksa Federal dan Greenpeace. Pengemas daging mengeluarjan “Ketentuan Penyesuaian Praktik”, menyepakati untuk memastikan semua peternakan tempat mereka membeli produk, terdaftar di CAR negara bagian. Dalam perjanjian bulan Oktober 2009 dengan Greenpeace, empat pengemas daging terbesar di Brazil menyepakati rencana bertahap menghentikan semua pemasok di bioma Amazon yang peternakannya melakukan deforestasi baru atau tidak terdaftar di CAR negara bagianlxviii. Jumlah properti yang terdaftar di negara bagian Pará naik menjadi lebih dari 70.000lxix, mewakili mayoritas lahan milik pribadilxx. Sejak 2009, negara bagian lainnya di Amazon Brazil mengambil tindakan serupa dan perusahaan di sepanjang rantai pasokan daging sapi dan kulit mengambil langkah guna mendukung rantai pasokan bebas deforestasilxxi,lxxii. Namun, tidak semua tempat pemotongan hewan telah menandatangani TAC, ketentuan untuk membeli dari peternakan yang terdaftar di CAR negara bagian hanya berlaku bagi peternakan pemasok langsung, bukan peternakan anak sapi dan jumlah properti di CAR negara bagian lain lebih sedikit daripada di Pará. Keputusan guna lahan dipengaruhi berbagai faktor ekonomi, sosial dan politik, termasuk permintaan pasar internasional dan kebijakan pemerintahlxxiii, tapi langkah yang berlaku di Brazil memberikan peluang untuk mengatasi beberapa faktor utama sekaligus. Nathalie Walker National Wildlife Federation
MORATORIUM KEDELAI Moratorium kedelai, diluncurkan tahun 2006, merupakan contoh menarik tentang kemungkinan risiko pada reputasi untuk mendorong aksi bersama dari perusahaan agro-industri yang memecahkan masalah lingkungan. Melalui Moratorium ini, kebanyakan industri kedelai di Brazil sepakat untuk berhenti membeli kedelai yang ditanam di lahan yang sebelumnya adalah hutan yang dibuka setelah 25 Juli 2006. Selama 7 tahun, Moratorium ini sangat berhasil, membantu menurunkan 76% deforestasi di Amazon Brazil. Moratorium ini diilhami oleh kenaikan tajam laju deforestasi di kawasan Amazon Brazil tahun 2003 dan 2004, ketika lebih dari 25.000 kilometer persegi hutan dibuka tiap tahun (bandingkan dengan rata-rata 19.500km2 tahun 1996-2005)lxxiv. Kenaikan tajam deforestasi ini sebagian diakibatkan oleh desakan perluasan kedelai di mana mata uang Brazil yang lemah mendukung ekspor kedelai dibarengi dengan peningkatan permintaan internasional atas protein nabatilxxv. Lahan kedelai meluas ke hutan sebelah tenggara kawasan Amazon, terutama di negara bagian Mato Grossolxxvi, dan membuat Greenpeace meluncurkan kampanye dengan sasaran rumah makan Eropa yang membeli ayam yang dipelihara dengan pakan yang mengandung kedelai dari Amazonlxxvii. Produsen dan pengolah kedelai yang beroperasi di Amazon merespon, bersemangat menyingkirkan pelaku deforestasi Amazon dari rantai pasokan mereka. Moratorium ini mengembangkan inovasi penting. Sistem pemantauan lahan kedelai di Mato Grosso dikembangkan, mengidentifikasi wilayah produksi kedelai baru yang tidak sesuai dengan tanggal akhir Moratorium, dan mempublikasikan nama pemilik lahan yang tidak mematuhi. Kelompok kerja LSM Brazil dibentuk untuk mengawal proses ini dan dialog yang kuat dikembangkan di antara masyarakat sipil dan aktor industri.
Namun, Moratorium ini bukan instrumen yang sempurna untuk mengatasi deforestasi. Moratorium ini tidak mengatasi deforestasi vegetasi hutan Cerrado yang didorong perluasan kedelai, juga tidak memperhitungkan dampak tak langsung produksi kedelai pada hutan yang dibuka untuk lahan merumput ternak. Lahan merumput ternak yang cocok untuk dikonversi menjadi lahan kedelai harganya mahal, dan penjualan lahan ini mendorong peternak untuk masuk lebih dalam ke hutanlxxviii. Moratorium ini juga diperbarui tiap tahun, dan hampir berakhir di masa lalu. Sebagian yang jadi kerentanannya adalah kurangnya insentif positif bagi petani kedelai yang melakukan pembukaan hutan resmi pada lahan mereka. Dampak Moratorium pada deforestasi Amazon sangat sulit dinilai, dengan tepat. “Badai” perluasan kedelai berakhir tahun 2005, dan total luas area produksi kedelai turun di negara bagian ini ketika Moratorium mulai diberlakukanlxxix. Ketika produksi mulai naik lagi tahun 2007, peningkatan hasil produksi ternak memungkinkan produksi daging sapi dan kedelai naik di Mato Grosso sementara deforestasi terus turun drastislxxx,lxxxi. Inisiatif lainnya turut berperan dalam penurunan lebih lanjut deforestasi, termasuk pembatasan akses kredit peternakan bagi produsen yang berlokasi di wilayah dengan tingkat deforestasi tinggi, Moratorium Daging Sapi diluncurkan tahun 2009, dan penegakan yang lebih kuatlxxxii. Moratorium Kedelai ini paling baik dipandang sebagai satu elemen penting dari serangkaian intervensi yang, bersama-sama, telah menekan deforestasi di Amazon Brazil. Daniel Nepstad dan Claudia Stickler Earth Innovation Institute
117
Interaksi Antara Penyebab Dasar Dengan Pendorong Komoditas Berbasis Lahan Deforestasi adalah proses rumit yang biasanya tidak dapat diwakili oleh satu dimensi hubungan sebab-akibat. Bahkan, penyebab dasar dan komoditas yang langsung mendorong deforestasi dan degradasi hutan ini saling terkait erat dan tergantung dalam serangkaian interaksi kompleks berbagai faktor. Pada umumnya, merepresentasikan dengan baik keseluruhan sistem dan faktor yang terlibat dalam proses deforestasi sangat sulit dilakukan306. Penelitian menunjukkan di kebanyakan wilayah dengan laju deforestasi tinggi ada interaksi antara tiga atau empat penyebab dasar, yang mempengaruhi dua atau tiga pendorong langsung. Misalnya, dalam suatu pola yang sering terlihat, pembangunan jalan (yang terkait dengan ekstraksi kayu atau perluasan pertanian) biasanya didorong kebijakan dan faktor kelembagaan, juga faktor ekonomi dan budaya. Sementara itu, kebijakan prodeforestasi seperti insentif untuk tanaman komersial, pajak rendah dan lainnya dengan sasaran guna lahan dan pengembangan ekonomi, juga menuntun pada perluasan tanaman komersial dan lahan merumput, digabungkan dengan perluasan jaringan jalan307.
Interaksi antara pendorong komoditas langsung juga dapat terjadi, seperti pada kasus kedelai dan daging sapi di Amazon Basin. Perluasan peternakan ke Amazon umumnya didorong pertumbuhan produksi kedelai, terutama di kawasan Cerrado309. Selain itu, dengan peningkatan penggunaan teknik pemeliharaan ternak intensif (peternakan) di Brazil, kedelai sekarang juga digunakan sebagai komponen pakan ternak, sehingga menghasilkan lingkaran produksi yang saling bergantung310, 311.
© Credits
© Tomas Munita, CIFOR
Demikian pula, diperkirakan jika prasarana dan akses ke hutan ditingkatkan di Congo Basin, proyeksi pertumbuhan penduduk kawasan 110% (tahun 2030), bersama dengan kenaikan permintaan komoditas (termasuk bahan bakar hayati), perubahan pola makan di negara ekonomi baru, dan liberalisasi perdagangan akan mengakibatkan meningkatnya deforestasi untuk pertanian308.
118
PERAN CINA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL KOMODITAS Cina adalah importir berbagai komoditas berbasis lahan terbesar di dunia. Sekarang, Cina berada di urutan pertama importir kayu gelondongan, kayu gergajian, dan bubur kertas, dan eksportir terbesar panel kayulxxxiii. Tahun 2011, Cina membeli hampir 50% kedelai, 40% kulit dan 11% daging sapi yang diekspor Brazil (dalam nilai). Selain itu, lebih dari 12% dari total minyak sawit yang diekspor Indonesia dan 20% minyak sawit yang diekspor Malaysia dikirim ke Chinalxxxiv. Banyak komoditas berbasis lahan, seperti kulit dan kayu, diekspor kembali setelah diolah di Cina, tapi lainnya, termasuk minyak sawit, kedelai dan daging sapi untuk pasar dalam negeri. Oleh karenanya, keberhasilan mengatasi deforestasi yang didorong produksi dan perdagangan komoditas ini akan sangat sulit tanpa keterlibatan Cina. EKSPOR KOMODITAS UTAMA KE CINA DALAM JUTA DOLLAR AMERIKA (2011)lxxxv Peringkat menunjukkan posisi Cina di antara negara tujuan komoditas tersebut. NILAI 11,753 3,829 2,430 804
EKSPORTIR BRAZIL MALAYSIA INDONESIA INDONESIA
535 438 347
BRAZIL INDONESIA BRAZIL
272 203
INDONESIA ARGENTINA
94 39
KAMERUN GHANA
120
KOMODITAS PERINGKAT KEDELAI 1 MINYAK SAWIT 1 MINYAK SAWIT 2 BUBUR 1 KERTAS DAGING SAPI 3 KAYU / PAPAN 2 KULIT / KULIT 1 MENTAH KERTAS 3 KULIT / KULIT 1 MENTAH KAYU / PAPAN 1 KAYU / PAPAN 3
Peran Cina sebagai importir terbesar kayu ilegal menjadi fokus banyak perdebatan. Tahun 2011 Cina mengimpor setidaknya 18,5 juta meter kubik kayu gelondongan dan kayu gergajian ilegal dari seluruh dunia, senilai sekitar $3,7 miliar (belum termasuk produk kayu olahan)lxxxvi. Mengakui masalah ini, Pemerintah Cina mengembangkan “Panduan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Asing Lestari oleh Pengusaha Cina” bekerja sama dengan sekelompok LSM internasional, termasuk World Wildlife Fund (WWF), The Nature Conservancy (TNC), the International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dan Forest Trends. Cina juga menandatangani inisiatif bilateral dengan Uni Eropa, A.S dan Indonesia guna menanggulangi impor penebangan liar dan sedang mengembangkan dan menguji Skema Verifikasi Legalitas Kayu Chinalxxxvii,lxxxviii. Namun, masih banyak yang perlu dilakukan untuk menjamin kayu untuk pasar dalam negeri, atau kayu yang nantinya akan diekspor kembali ke pasar lain di Asia atau lainnya, berasal dari sumber sah. Cina mengeskpor banyak perabot kayu ke A.S, Jepang dan Eropalxxxix, tapi walaupun ada peraturan untuk mengatasi masalah ini, seringkali sulit menjamin legalitas kayu yang digunakan setelah diolah. Juga ada kekhawatiran tentang praktik operasional beberapa perusahaan Cina yang langsung terlibat dalam operasi kehutanan di luar negeri, dan dikaitkan dengan ekspor hasil penebangan liar atau praktik ekstraksi yang sangat merusak di Indonesia, Myanmar, Papua Nugini dan negara hutan lainnyaxc. Ada beberapa inisiatif dari Cina yang terkait dengan produksi berkelanjutan, bukan ilegalitas, komoditas berbasis lahan. Industri bubur kertas dan kertas memberikan
peluang penting untuk tindakan dalam ruang ini, dengan perusahaan seperti Asia Pulp and Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) yang menjalankan pabrik bubur kertas dan kertas yang sangat besar di Cina, beberapa diantaranya terbukti menggunakan bahan baku dari Indonesia untuk menghasilkan beragam produk kertas yang kemudian diekspor ke negara lainxci. Cina juga mengalami kenaikan tajam impor kedelai dan Brazil merupakan pemasok utama. Separuh dari kedelai yang diekspor ditujukan untuk Cina, dan diperkirakan tahun 2020, hingga 90% ekspor kedelai Brazil dikirim ke Cina yang butuh tambahan sekitar 5 juta ha lahan untuk ditanami kedelaixcii. Selain itu, perusahaan Cina juga berinvestasi banyak dalam produksi kedelai di luar negeri. Banyak laporan menyiratkan Chongqing Grain Group Co Ltd (CGG) milik negara, berencana menginvestasikan hingga $2 miliar dalam pabrik pengolahan dan perkebunan kedelai di Brazil, dengan perusahaan Cina lainnya juga dilaporkan berinvestasi di kawasan tersebutxciii,xciv. Saat ini, upaya Cina untuk mewujudkan kedelai berkelanjutan masih pada tahap awal, tapi tahun 2013, negara ini menyelenggarakan pertemuan tahunan Round Table on Responsible Soya (RTRS) Association.
Walaupun jejak lingkungan per kapita Cina masih jauh lebih kecil daripada banyak negara lainxcvii, pengolahan dan perdagangan komoditas berbasis lahan oleh perusahaan Cina, serta impor komoditas ilegal ke negara ini memberikan dampak besar pada hutan tropis dan perubahan iklim. Meskipun keterlibatan Cina dalam inisiatif yang menanggapi legalitas dan keberlanjutan komoditas berbasis lahan patut dihargai, tingkat komitmen perlu diperlihatkan, yang sama dengan yang diperlihatkan negara ini terkait dengan persoalan lain seperti pembangkit energi terbarukan dan transportasixcviii. Penguatan peraturan nasional, turut serta dalam upaya internasional, menciptakan pasar untuk komoditas bersertifikat dan menerapkan alat guna memastikan transparansi rantai pasokan semuanya dapat menjadi bagian dari solusi guna mengurangi peran Cina dalam deforestasi hutan tropis. Mario Rautner Global Canopy Programme
Cina adalah konsumen minyak sawit terbesar ketiga dunia dengan sebagian besar produk digunakan untuk makanan, terutama minyak goreng. Perusahaan Cina berinvestasi banyak dalam operasi minyak sawit luar negeri, terutama di Afrika dan Congo Basinxcv. Sejauh ini, tidak ada permintaan minyak sawit berkelanjutan bersertifikat di Cinaxcvi dan masih akan dilihat apa dampak investasi ini pada perubahan guna lahan di Afrika nantinya.
121
© Sergio Morchon
© Credits
KERANGKA KERJA ANALISIS
Pendahuluan Bab ini menyajikan serangkaian perangkat atau ‘katalisator’ yang dapat dilaksanakan guna mengurangi deforestasi atau degradasi hutan akibat produksi atau perdagangan komoditas. Guna memperjelas dan memudahkan analisis, katalisator-katalisator ini dapat dikelompokkan menjadi tiga fokus utama dan bidang dampak:
menetapkan karakteristik definitif dan kaku untuk tiap katalisator yang digambarkan. Tujuannya adalah untuk menekankan kecenderungan utama dan ciri yang cenderung mengkarakterisasi katalisator yang dipersoalkan, menilai interaksinya dengan tahap rantai pasokan komoditas berbasis lahan, dan memudahkan aksi dari pengambil keputusan.
Katalisator Rantai Pasokan yang memengaruhi operasi rantai pasokan; Katalisator Keuangan yang memengaruhi perilaku melalui harga; Katalisator Peraturan yang memengaruhi perilaku melalui legalitas. Tiap katalisator dikaji dalam kerangka lima kriteria, masingmasing diwakili ikon yang relevan, guna memungkinkan pengambil keputusan untuk cepat mengidentifikasi dan membandingkan karakteristik utama dan penerapan tiap instrumen. Kriteria ini adalah: Tahap: Ikon ini menggambarkan tahap rantai pasokan yang terutama menjadi sasaran katalisator tersebut. Skala Waktu: Perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan katalisator. Pelaksana: Sektor yang biasanya menuntun pada pelaksanaan katalisator. Tingkat: Tingkat geografi dimana katalisator biasanya dilaksanakan. Ketahanan: Kemampuan tiap katalisator yang dilaksanakan untuk menahan perubahan yang dapat mengakibatkan penarikan atau pembalikan katalisator di masa depan. Misalnya, seorang pengambil kebijakan yang mencari katalisator yang dapat cepat dilaksanakan yang menanggapi produksi komoditas dalam rantai pasokan dan beroperasi di tingkat lokal dapat menggunakan ikon untuk menavigasi bab ini, serta membandingkan berbagai opsi yang diberikan. Banyak kriteria saling terkait dan saling tergantung, dan dalam beberapa kasus katalisator dapat dipertimbangkan dalam lebih dari satu kategori. Variasi-variasi ini digambarkan di tiap halaman katalisator. Harus ditekankan, bab berikut tidak dimaksudkan untuk 126
127
Konversi / Produksi
Pengolahan
Transportasi / Perdagangan / Distribusi
Manufaktur
Eceran / Konsumsi
128
Tahap
Ketahanan
Ikon ini menggambarkan tahap rantai pasokan yang menjadi sasaran utama katalisator.
Kemampuan tiap katalisator yang dilaksanakan untuk menahan perubahan yang dapat mengakibatkan penarikan atau pembalikan katalisator tersebut di masa depan.
Opsi: Hutan, Konversi/Produksi, Pengolahan, Transportasi/Perdagangan/Distribusi, Manufaktur, Eceran/Konsumsi Tiap katalisator pada bab berikut punya dampak yang berbeda pada tahap-tahap tertentu rantai pasokan. Misalnya, memahami bagaimana berbagai bentuk peraturan berinteraksi dengan dan mempengaruhi perubahan perilaku di tiap tahap sangat penting dalam menentukan kelayakan atau kesesuaian pelaksanaan katalisator tertentu. Rangkuman kerangka yang lebih rinci tentang tahapan rantai pasokan umum komoditas berbasis lahan yang diuraikan pada bab sebelumnya diberikan di bawah ini. Tahap 1. Konversi/Produksi: Tahap pertama dalam transformasi sumber daya hutan menjadi komoditas. 2. Pengolahan: Pengolahan komoditas berbasis lahan. 3. Transportasi/Perdagangan/Distribusi: Pengiriman, perdagangan dan distribusi produk atau komoditas. 4. Manufaktur: Pengolahan akhir komoditas guna menciptakan produk konsumen atau industri. 5. Eceran/Konsumsi: Pengeceran produk melalui berbagai titik jual dan konsumsinya oleh konsumen atau pengguna industri. Dampak katalisator yang beroperasi dalam bagian-bagian tertentu rantai pasokan tidak terisolasi dan dapat sangat berpengaruh pada bagian lain rantai pasokan dari arah manapun. Misalnya, peraturan yang membatasi produksi komoditas akan turun ke sepanjang rantai pasokan yang akhirnya menghasilkan berkurangnya konsumsi komoditas itu. Sebaliknya, katalisator seperti pembatasan impor komoditas berbasis lahan dapat menyebabkan kurangnya permintaan, sehingga dapat mempengaruhi produksi komoditas itu. Selain tiap individu, katalisator juga dapat menargetkan beberapa tahap dalam rantai pasokan, atau diharuskan untuk melakukannya agar berhasil.
TINGGI
Opsi: Tinggi, Sedang, Rendah Pengambil keputusan harus menilai ketahanan relatif tiap katalisator ketika mempertimbangkan kelayakan intervensi dan memahami potensi pertukaran yang terlibat dalam pelaksanaannya. Hal ini sangat penting karena katalisator dan/ atau perubahan perilaku terkait dapat menghadapi berbagai tantangan politik, sosial dan ekonomi setelah dilaksanakan. Beberapa katalisator yang dibahas butuh komitmen jangka panjang dan keterlibatan tingkat tinggi untuk pelaksanaan (misalnya hukum internasional). Katalisator ini juga kompleks, butuh waktu lama untuk diundangkan (lihat halaman 129), dan mungkin butuh keterlibatan dari banyak pemangku kepentingan sektor publik atau swasta. Akibatnya, katalisator ini cenderung punya ketahanan tinggi terhadap perubahan atau pembalikan negatif.
SEDANG
RENDAH
Namun, beberapa katalisator yang mengandalkan modal politik untuk pelaksanaannya (misalnya UU nasional perubahan tata guna lahan) mungkin terancam pembalikan karena perubahan prioritas pemerintah atau politik. Di sektor swasta, prioritas investasi juga dapat berubah akibat perubahan situasi ekonomi (seperti resesi), yang dapat berdampak negatif pada komitmen sebelumnya. Karena itu, katalisator yang punya risiko pembalikan yang relatif seimbang dapat dikatakan punya ketahanan sedang terhadap perubahan. Sebaliknya, katalisator yang pelaksanaannya tergantung pada komitmen pemangku kepentingan yang relatif rendah atau tidak didukung perundang-undangan (misalnya moratorium sukarela), mungkin dapat lebih cepat dilaksanakan, tapi juga lebih mudah dibalikkan atau dihapus potensi konsekuensi negatif bagi deforestasi. Katalisator ini dapat dianggap punya ketahanan yang relatif rendah terhadap perubahan.
129
Tingkat
Skala Waktu
Tingkat geografis dimana katalisator biasanya dilaksanakan.
Perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan katalisator.
Opsi: Lokal, Nasional, Internasional Lokal
Nasional
Internasional
Katalisator pada bab berikut cenderung dilaksanakan di tingkat geografi tertentu. Memahami bagaimana tiap katalisator berinteraksi dengan dan mempengaruhi perubahan perilaku di tingkat ini sangat penting untuk menentukan kelayakan atau kesesuaian pelaksanaan katalisator tertentu. Misalnya, bentuk katalisator peraturan dapat dilaksanakan di tingkat nasional, tapi dapat mempengaruhi perubahan perilaku internasional (misalnya subsidi dapat menurunkan biaya produksi nasional, dan meningkatkan permintaan produk yang lebih berkelanjutan di tingkat internasional). Tingkat geografi pelaksanaan dapat berimplikasi bagi faktor utama lainnya, seperti skala waktu yang dibutuhkan guna memulai katalisator (lihat halaman 129), dan ketahanan relatif perubahan yang dibuat (lihat halaman 127). Katalisator yang beroperasi di tingkat lokal (subnasional) cenderung dikembangkan dan dilaksanakan lebih cepat tapi lebih terbatas cakupannya, dan karena itu sering hanya dapat mengatasi pendorong deforestasi di tingkat lokal. Katalisator yang dilaksanakan di tingkat nasional mempengaruhi daerah yang jauh lebih besar, tapi sering lebih kompleks untuk dilaksanakan, terutama katalisator yang menargetkan perubahan peraturan di negara berkembang. Namun, di negara hutan tropis dengan tingkat pertumbuhan tinggi seperti Brazil atau Indonesia, atau di pasar utama Uni Eropa, India dan Cina, katalisator yang menargetkan perubahan tingkat nasional tetap sangat kuat. Katalisator yang beroperasi di tingkat internasional (seperti perjanjian atau sertifikasi internasional) sering memiliki lingkup global, sehingga berpotensi melibatkan perubahan besar yang diperlukan untuk mengatasi deforestasi di beberapa rantai pasokan dunia. Namun, katalisator ini jarang cepat dilaksanakan dan mungkin sulit dilaksanakan.
130
Opsi: 0-2 tahun, 3-5 tahun, 5+ tahun Pengambil keputusan harus menilai waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tiap katalisator. Selain sebagai faktor penting untuk mengevaluasi penerapan opsi kebijakan secara umum, waktu inisiasi juga berimplikasi pada keseluruhan biaya pelaksanaan, dan terkait erat dengan ketahanan relatif (lihat halaman 127) katalisator. Penundaan solusi juga berimplikasi pada deforestasi - diperkirakan 10,4 juta ha hutan tropis hancur selamanya tiap tahun antara 2000-2005312. Waktu pelaksanaan yang diperlukan tergantung pada sejumlah faktor, seperti kompleksitas hukum nasional atau internasional, tingkat kemitraan kolaboratif yang diperlukan, atau modal politik. Katalisator yang dapat dipicu perusahaan atau investor swasta dan yang beroperasi dalam kerangka hukum yang ada cenderung relatif cepat dilaksanakan. Sebaliknya, tindakan yang perlu perubahan sistem hukum, kemitraan politik yang kompleks atau konsensus internasional cenderung lebih lambat untuk dilaksanakan.
0-2 TAHUN
3-5 TAHUN
5+ TAHUN
Tiap katalisator pada bab berikut dialokasikan ke dalam satu atau lebih dari ketiga kategori skala waktu: katalisator yang biasanya dilaksanakan dalam jangka pendek (0-2 tahun), katalisator yang biasanya dilaksanakan dalam jangka sedang (3-5 tahun), dan katalisator yang biasanya dilaksanakan dalam jangka panjang (5+ tahun). Harus dicatat, skala waktu ini bersifat indikatif dan dapat bervariasi sesuai dengan kondisi nasional, sumber daya dan kapasitas.
131
PELAKSANA
Petunjuk Ikon Dan Katalisator
Sektor yang biasanya memimpin pelaksanaan katalisator.
Beberapa halaman berikut memuat 24 katalisator yang dapat dilaksanakan guna mengurangi deforestasi atau degradasi hutan akibat produksi atau perdagangan komoditas berbasis lahan. Karakteristik tiap kriteria yang diuraikan pada halaman sebelumnya diwakili dalam gambar, menggunakan ikon di halaman sebelah.
Opsi: Publik, Swasta, Masyarakat Sipil PUBLIK
SWASTA
MASYARAKAT SIPIL
Tiap katalisator pada bab berikut cenderung dilaksanakan lembaga dalam berbagai sektor. Memahami bagaimana sektor ini dapat melaksanakan tiap katalisator dapat memperjelas jalur yang mungkin paling sukses untuk pengembangan perangkat itu, dan membantu mengidentifikasi peluang kemitraan baru dan upaya bersama guna mengurangi deforestasi. Sektor publik terutama menetapkan kerangka peraturan untuk pelaksanaan dan penegakan katalisator khusus; sektor swasta, meliputi perusahaan dan investor, dapat melaksanakan katalisator yang menangani deforestasi dengan menekankan perbaikan produksi, efisiensi rantai pasokan, dan harga; dan walaupun peran mereka biasanya tidak langsung, masyarakat sipil juga dapat berdampak langsung pada sejumlah kecil katalisator, seperti dalam pengembangan standar sertifikasi, kampanye konsumen atau bahkan dalam perjanjian penangguhan sukarela atau kawasan lindung. Selain itu, jumlah dan jenis kemitraan yang terbentuk antara aktor sektor publik dengan swasta, yang dapat mengurangi deforestasi dari komoditas berbasis lahan, menunjukkan peningkatan yang menjanjikan. Walaupun cenderung ditandai dengan kemitraan pemerintah-swasta (PPP) (seperti investasi bersama), ada juga beberapa kemitraan antara masyarakat sipil dengan sektor swasta (misalnya sertifikasi). Kemitraan ini sering ditandai dengan pembagian pengetahuan teknis, investasi, risiko, tanggung jawab atau penghargaan, berkisar dari kesepakatan longgar hingga perusahaan joint venture resmi.
Ikon ditampilkan pada bar ikon seperti yang terlihat di sebelah kiri. Hanya ikon yang berlaku untuk katalisator tertentu yang digambarkan yang diberi warna, sedangkan ikon yang tidak berlaku ditampilkan dalam warna abu-abu. Pada contoh hipotetis sebelah kiri, katalisator menargetkan tahap Konversi/Produksi dan Pengolahan pada rantai pasokan, butuh waktu 3 dan 5 tahun untuk dilaksanakan, dan pelaksana utamanya adalah sektor publik dan swasta (atau kemitraan antara keduanya). Katalisator itu dilaksanakan di tingkat nasional dan sangat tahan terhadap perubahan. Halaman di sebelah kanan merangkum semua ikon yang disertakan dalam penilaian katalisator.
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Beberapa halaman berikut menampilkan matriks sebagai panduan cepat untuk menavigasi bab katalisator, dan alat identifikasi katalisator dengan karakteristik tertentu - misalnya semua katalisator yang dapat dilaksanakan sektor swasta.
Katalisator yang dapat dilaksanakan melalui kemitraan sering mendapatkan manfaat dari peningkatan ketahanan (lihat halaman 127), dan dapat diberlakukan dalam skala waktu singkat (lihat halaman 129) daripada yang dilaksanakan sendiri.
132
133
Kunci Ikon TAHAP
KONVERSI / PRODUKSI
PENGOLAHAN
TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
SEDANG
RENDAH
NASIONAL
INTERNASIONAL
3-5 TAHUN
5+ TAHUN
SWASTA
MASYARAKAT SIPIL
MANUFAKTUR
ECERAN / KONSUMSI
KETAHANAN
TINGGI
TINGKAT
LOKAL
SKALA WAKTU
0-2 TAHUN
PUBLIK 134
© Luke Mackin
PELAKSANA
135
TAHAP KONVERSI / PRODUKSI
HALAMAN
PENGOLAHAN
MANUFAKTUR
ECERAN / KONSUMSI
TINGGI
TINGKAT SEDANG
RENDAH
LOKAL
SKALA WAKTU NASIONAL
INTERNASIONAL
0-2 TAHUN
3-5 TAHUN
PELAKSANA 5+ TAHUN
PUBLIK
SWASTA
MASYARAKAT SIPIL
KATALISATOR
138
PRODUKTIVITAS DAN EFISIENSI PERTANIAN
139
SERTIFIKASI
142
KAMPANYE PASAR KONSUMEN
143
PENEGAKAN HUKUM DAN PEMANTAUAN
144
PENGADAAN PEMERINTAH
146
STRATEGI PENGGUANAAN LAHAN
149
KODE ETIK DAN STANDAR
151
BANTUAN TEKNIS
152
MORATORIUM
156
KOMITMEN PASAR LANJUTAN
158
INVESTASI BERSAMA
159
GARIS KREDIT KONSESIONAL
160
KRITERIA PINJAMAN LINGKUNGAN
161
JAMINAN
164
ASURANSI
168
AKTIVISME PEMEGANG SAHAM
174
KEJELASAN KEPEMILIKAN LAHAN
175
TARIF IMPOR
178
HUKUM INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN BILATERAL
182
UNDANG-UNDANG NASIONAL
186
PERENCANAAN DAN KOORDINASI NASIONAL
188
REDD+
189
SUBSIDI
190
INSENTIF PAJAK
136
KETAHANAN TRANSPORTASI / PERDAGANGAN / DISTRIBUSI
137
KATALISATOR RANTAI PASOKAN
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Produktivitas Dan Efisiensi Pertanian
Sertifikasi
Mencapai peningkatan produktivitas dan efisiensi pertanian untuk memberi makan semakin banyak penduduk menjadi tantangan serius dunia dengan sumber daya terbatas (lihat halaman 23). Selain penggunaan lahan terdegradasi, yang masih diperdebatkan, lingkup memperluas lahan yang ada untuk produksi masih terbatas. Guna mencegah perluasan ke kawasan hutan dan lingkungan alam lainnya, kemampuan produksi pada lahan pertanian yang ada harus ditingkatkan313, tapi juga harus dipisahkan dari penggunaan air, energi, tanah dan bahan kimia yang tidak berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan314.
Sertifikasi adalah perangkat berbasis pasar yang digerakkan sektor swasta dan masyarakat sipil dan biasanya sukarela*. Produk bersertifikasi memenuhi sejumlah kriteria lingkungan atau sosial khusus dan telah diverifikasi memenuhi standar oleh pihak ketiga independen. Sertifikasi sukarela dapat berdampak pada semua tahap rantai pasokan, dan juga meningkatkan profitabilitas relatif suatu produk dengan peningkatan efisiensi, peningkatan pengelolaan rantai pasokan, persyaratan kredit preferensi, dan akses pasar lebih besar dan harga premium320,321. Standar yang paling efektif umumnya adalah yang dikembangkan melalui proses multi pihak. Meskipun standar ini biasanya butuh waktu minimal 3 tahun untuk dikembangkan, proses berbasis konsensus memastikan standar ini juga memiliki ketahanan yang relatif tinggi.
Peningkatan produktivitas dan efisiensi perlu gabungan pendekatan yang dipimpin sektor pemerintah dan swasta, termasuk: penggunaan lebih baik pengetahuan dan teknologi yang ada; inovasi teknologi; pengurangan limbah (diperkirakan 30-50% dari semua pangan yang ditanam di dunia315); perbaikan tata kelola dan pengurangan konsumsi intensif sumber daya316. Semua inisiatif ini biasanya membahas tahap produksi dan konversi rantai pasokan, dan dapat dilaksanakan di tingkat lokal dan nasional. Satu pendekatan yang dapat berperan sentral dalam mencapainya adalah agro-ekologi. Prinsip agro-ekologi didasarkan pada pemanfaatan keanekaragaman hayati pertanian untuk mencapai produktivitas dan keuntungan lingkungan. Data menunjukkan agro-ekologi dapat “jika cukup didukung... melipatgandakan produksi pangan di seluruh daerah dalam 10 tahun”, dan prinsip agro-ekologi berhasil diterapkan di banyak daerah317. Misalnya, perbaikan tanaman, pengendalian hama, dan inisiatif agroforestri di Afrika, yang sering dilaksanakan sektor swasta, rata-rata menghasilkan panen lebih dari dua kali lipat318. Namun, sektor publik juga berperan penting dalam membantu menanggung biaya transisi untuk inisiatif seperti ini, dan meningkatkan upaya ke tingkat nasional319. Investasi sektor publik sangat penting ketika ada biaya sangat besar dan/atau biaya berkelanjutan untuk meningkatkan efisiensi yang tidak akan diambil sektor swasta. Karena itu, aksi bersama sektor publik dan swasta sangat penting.
140
Peran skema sertifikasi sebagai alat untuk mengatasi deforestasi pada rantai pasokan pun meluas. Misalnya, banyak perusahaan internasional membuat komitmen untuk mengambil hanya komoditas bersertifikat melalui standar ini, dan inisiatif utama, seperti Consumer Goods Forum (CGF) (lihat halaman 148), menganjurkan anggotanya untuk menggunakan standar multi pihak sebagai langkah menuju deforestasi nol pada tahun 2020322. Namun, sejauh ini permintaan barang bersertifikasi tidak selalu sesuai dengan tingkat produksi. Misalnya, permintaan atas Minyak Sawit Bersertifikat Berkelanjutan (RSPO) gagal menyesuaikan dengan produksi (serapan pasar 52% tahun 2012)323, dan tahun 2004 FSC memperkenalkan sertifikasi produk kayu (terkontrol) dari berbagai sumber guna mengatasi kemacetan pasokan dan permintaan tinggi324. Namun, tidak ada cukup informasi tentang dampak langsung sertifikasi pada turunnya deforestasi (lihat halaman 140), dan biaya sertifikasi cenderung tinggi, terutama bagi produsen325. Akibatnya, skema sertifikasi dikritik karena tidak menyertakan produsen kecil yang umumnya tidak punya pengetahuan teknis dan keuangan untuk memenuhi standar yang diperlukan326. Kredit dan bantuan teknis sektor publik (lihat halaman 151 dan 159) dapat dimanfaatkan untuk mendukung produsen kecil mengatasi hambatan itu.
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
* Sertifikasi juga dapat bersifat wajib, seperti program sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang didukung pemerintah.
141
DAMPAK SERTIFIKASI PADA DEFORESTASI Standar sukarela untuk komoditas pertanian dan hutan (misalnya kelapa sawit, kedelai, kayu) dikembangkan melalui proses multi pihak guna mengurangi dampak negatif produksi komoditas pada lingkungan dan sosialxcix. Pendekatan awal, disederhanakan Forest Stewardship Council (FSC) dan diluncurkan tahun 1993 untuk kayu dan kertas, menilai konsumen akan lebih memilih produk berlabel dan bersertifikat, dan prospek harga premium mendorong pengembangan sertifikasiawal. Gelombang standar baru yang disederhanakan dalam proses perundingan komoditas pertanian, seperti Roundtable on Responsible Palm Oil (RSPO) yang diluncurkan pada tahun 2007, menggunakan pendekatan “pra-kompetitif “ yang mencari transformasi pasar - misalnya, tidak menyertakan produsen non-sertifikasi dalam rantai pasokan. Pendekatan ini mengasumsikan biaya sertifikasi ditanggung dengan menaikkan harga komoditas dalam pasar yang berubah. Praktiknya, produsen bersertifikat terus mengharapkan harga premium dan pasar belum berubah. Pendekatan pra-kompetitif menjadikan adopsi standar menjadi lebih cepat dan lebih luas. Misalnya, RSPO telah memberikan sertifikasi ke hampir dua kali lipat produksi dunia (14%) dibandingkan FSC (8% dunia, dan sebagian kecil di daerah tropis) dalam waktu seperempat lebih cepatci,cii. Kemajuan agak lambat untuk perundingan soya (RTRS) dan tebu (Bonsucro)ciii,civ,cv,cvi. IPerbedaan penting mempengaruhi tingkat penyerapan. Standar “pilihan konsumen”, seperti FSC, menetapkan garis kinerja yang lebih tinggi di awal, sedangkan perundingan ini memulai di garis lebih rendah dan terus naik, dengan memudahkan penyerapan awal yang lebih luas. Juga, untungnya, beberapa komoditas pertanian (misalnya, minyak sawit dan kedelai) dikendalikan sejumlah kecil pedagang 142
dan pengolah industri kayucvii,cviii. Sertifikasi sangat berdampak pada deforestasi, namun biasanya tidak langsung. Perundingan FSC dan komoditas lainnya menetapkan batasan konversi hutancix,cx, tapi dampak langsungnya sulit diukurcxi,cxii,cxiii. Sebagian karena produsen bersertifikat masih pengecualian, bukan aturan. Sulitnya, batas hutan tropis, dimana sertifikasi memberikan dampak terbesar pada deforestasi, sering dikuasai ekonomi informal, dimana perusahaan atau petani yang taat hukum merupakan ancaman terhadap ekonomi dan sistem penyuapan yang menopang ekonomi informal. Dalam hal ini, kriteria kepatuhan hukum umum bagi semua standar dapat menimbulkan risiko baru bagi operasi bersertifikat dan bertanggung jawab. Beberapa perusahaan pertama yang bersertifikat adalah perusahaan yang telah menerapkan praktik pengelolaan bertanggung jawab, sehingga biaya dan dampak positif sertifikasi relatif kecil. Dampak akan lebih mudah diukur dengan kenaikan area yang bersertifikat dan penelitian baru. Dampak tidak langsung terlihat dari peningkatan kesadaran masyarakat dan industri tentang hubungan produksi komoditas dan deforestasi. Misalnya, sektor kedelai Brazil menerapkan Moratorium Kedelai (lihat halaman 115) sebagai alternatif pencegahan pada standar Roundtable for Responsible Soya dan permintaan kuat atas sumber kedelai nol deforestasi dari Eropa.
kebijakan publik yang kuat diperlukan guna menciptakan insentif bagiperusahaan dan sektor pertanian untuk mencapai produksi berkelanjutan, dan melemahkan sektor informal yang menghambat produksi legal dan bersertifikat. Kedua, sistem sertifikasi perlu menambahkan kriteria yang mengakui penurunan deforestasi di seluruh kawasan dan yurisdiksi. Terakhir, perusahaan dan negara dengan komitmen membeli dari sumber bersertifikat perlu meningkatkan dan melaksanakan komitmen mereka. Daniel Nepstad Shoana Humphries Katie McCann Earth Innovation Institute
Dengan batasan ini, skema sertifikasi menjadi titik masuk utama petani, agroindustri dan perusahaan kehutanan untuk berdialog tentang deforestasi hutan tropis, dan keterlibatan sektor swasta ini sangat penting. Agar sertifikasi dapat mendukung transisi menuju model pembangunan pedesaan yang memperlambat dan mengakhiri deforestasi sementara meningkatkan produksi, kerangka 143
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Kampanye Pasar Konsumen
Penegakan Hukum Dan Pemantauan
Kampanye kepada konsumen terkait dengan deforestasi dipimpin organisasi masyarakat sipil, dan sering menggunakan penelitian investigatif guna mengungkap jalur rantai pasokan antara kegiatan deforestasi di negara tropis dengan merk terkenal di negara konsumen. Pada kampanye yang berhasil, reputasi terkait dengan deforestasi berdampak negatif pada penjualan, pangsa pasar atau harga saham, dan menekan pemilik merk untuk mengubah perilaku (meningkatkan sumber bahan baku). Ancaman pembatalan kontrak dan kehilangan pasar ekspor sebaliknya menekan perusahaan di negara produsen untuk bertindak mengurangi deforestasi. Misalnya kampanye memprotes Asia Pulp and Paper membuat perusahaan kehilangan puluhan jutaan dolar akibat pembatalan kontrak327.
Keberadaan kerangka perundang-undangan yang komprehensif atau komitmen industri yang kuat saja tidak cukup untuk menjamin aktor sektor swasta dan publik dalam rantai pasokan komoditas mematuhi kebijakan atau peraturan yang dirancang untuk mengurangi deforestasi. Kepatuhan terhadap kebijakan dan peraturan tersebut harus dipantau, dan jika pelanggaran ditemukan, hukum harus ditegakkan329.
Contoh kampanye sukses lainnya adalah hubungan produk McDonalds dengan kedelai dari Amazon, Nestlé dengan minyak sawit tidak berkelanjutan, dan kemasan Mattel dengan hutan tropis di Indonesia (semua oleh Greenpeace). Di tiap kasus, perusahaan yang reputasinya berisiko dikaitkan dengan deforestasi melakukan perbaikan dengan rantai pasokan yang relevan. Meskipun kampanye konsumen cenderung singkat, kampanye seperti ini dapat mendukung langsung perubahan kebijakan jangka panjang di seluruh sektor. Misalnya, moratorium sukarela perluasan kedelai dan ternak di Amazon merupakan produk langsung kampanye konsumen oleh Greenpeace (lihat halaman 92 dan 115). Kampanye tidak terbatas pada produsen atau pemasok makanan – keberhasilan kampanye menentang Citibank (oleh Rainforest Action Network) memaksa bank itu mengubah drastis kebijakan investasi mereka. Selain itu, tahun 2012 pasca kampanye Rainforest Foundation, Norwegian Government Pension Fund menjual saham mereka di 23 perusahaan kelapa sawit yang dianggap memproduksi minyak sawit tak berkelanjutan328. Perubahan perilaku pada skala ini berdampak luas pada investor lain - dana pensiun Norwegia merupakan dana kekayaan terbesar di dunia, dan berinvestasi di lebih dari 7.000 perusahaan, dengan total nilai sekitar 650 miliar USD. Namun, ketahanan kampanye konsumen terhadap perubahan pasar dan politik, serta efektivitas jangka panjang dalam menciptakan penurunan deforestasi permanen, bukan pergeseran pasar ke wilayah yang kurang kesadaran dan pengawasan, masih harus ditentukan.
144
Walaupun penting pada tahap produksi/konversi rantai pasokan, inisiatif penegakan hukum dan pemantauan sangat penting di semua tahap. Misalnya, memastikan pengolah atau produsen mematuhi komitmen keberlanjutan mereka, skema sertifikasi mematuhi undang-undang dan prinsip mereka sendiri, dan kebijakan pengadaan diterapkan secara efektif pada tahap eceran/konsumsi, semuanya penting bagi pembentukan rantai pasokan berkelanjutan. Namun, inisiatif penegakan hukum dan pemantauan sangat penting untuk memastikan kepatuhan di bidang yang tidak diatur undangundang, dan melibatkan banyak pemangku kepentingan (misalnya skema sertifikasi330 komitmen industri sukarela). Penegakan hukum efektif dapat meliputi ancaman tindakan hukum (misalnya Proyek Leaf Interpol*), atau ancaman kehilangan kontrak atau pangsa pasar (misalnya FSC memutus hubungan dengan APRIL merespons deforestasi tidak berkelanjutan di Indonesia331). Meskipun kegiatan lapangan selalu penting dalam penegakan dan pemantauan, penggunaan teknologi semakin penting perannya. Mencakup penggunaan citra satelit real-time untuk mengidentifikasi perubahan tutupan hutan dan upaya penegakan hukum langsung332. DNA barcode, sidik jari dan penelitian isotop stabil juga digunakan untuk melacak jenis kayu tertentu dan melawan penebangan liar dan tidak berkelanjutan333; dan alat-alat online bergerak dan teknologi seperti identifikasi frekuensi radio (RFID) memungkinkan pengelolaan rantai pasokan baru dan transparan. Keterlibatan masyarakat sipil dan penggunaan keahlian sektor swasta juga semakin penting dalam pengawasan dan penegakan334. Meliputi, misalnya, platform pemantauan progresif seperti Terra-i and Global Forest Watch (GFW), yang menggunakan citra satelit pengindera jauh untuk memantau perubahan guna lahan. Proyek Community Measurement, Reporting and Verification (MRV) berperan penting dalam memantau dan menegakkan REDD+**.
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
* Law Enforcement Assistance for Forests (2012) - kemitraan antara UNEP dan Interpol yang bertujuan memerangi semua aspek kejahatan kehutanan di dunia. ** Contoh, penggunaan tim masyarakat dan teknologi ponsel pintar untuk memantau perubahan guna lahan di Guyana terkait dengan REDD+ (Global Canopy Programme).
145
Pengadaan Pemerintah TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Pemerintah pusat, regional dan lokal di negara maju merupakan konsumen utama produk komoditas berbasis lahan. Kebijakan pengadaan pemerintah menentukan kriteria dan spesifikasi pasti yang harus dipenuhi ketika badan pemerintah membeli produk. Sejumlah negara punya kebijakan pengadaan untuk memastikan produk kayu yang dibeli berasal dari sumber yang sah atau berberkelanjutan (lihat halaman 184)335. Contoh, Inggris bersama negara lain, termasuk Belanda, berkomitmen menggunakan 100% sumber minyak sawit berkelanjutan bagi pemerintah pusat tahun 2015336. Kebijakan pengadaan pemerintah dapat ditetapkan dengan memenuhi prinsip dan pedoman World Trade Organisation (WTO) (lihat halaman 176). Misalnya, aturan pengadaan Uni Eropa didasarkan pada undang-undang nasional, mengikuti seluruh kerangka hukum Uni Eropa secara keseluruhan, memungkinkan lingkup memasukkan kriteria lingkungan dan keberlanjutan. Meskipun ada perdebatan tentang implikasi hukum dan ekonomi dari interaksi antara kebijakan perdagangan dengan lingkungan, tidak satupun kebijakan pengadaan Uni Eropa pernah ditolak337. Kebijakan pengadaan juga dapat dikembangkan dan dilaksanakan lebih cepat daripada banyak kebijakan lainnya. Penelitian dampak pasar kebijakan kayu (di Inggris dan Belanda) menunjukkan impor bersertifikat terus meningkat pasca perubahan kebijakan publik338. Persyaratan bukti keabsahan atau keberlanjutan sebelum pembelian yang ditetapkan pemerintah juga berdampak pada pasar melampaui efek langsung belanja pemerintah. Pemasok yang punya sistem ketertelusuran untuk menjamin produknya bersertifikat legal dan/atau berkelanjutan untuk kontrak pemerintah cenderung memasok pelanggan lain dengan rantai pasokan yang sama. Dengan cara ini, kebijakan pengadaan pemerintah dapat menciptakan efek tambahan, meningkatkan pasar hingga 25% (dibandingkan 10% untuk pembelian langsung)339. Penggunaan daya beli sebagai mekanisme kontrol rantai pasokan untuk mengatasi produksi ilegal dan tidak berkelanjutan juga dapat diterapkan pada berbagai komoditas berbasis lahan.
146
Strategi Penggunaan Lahan TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
* Lihat Project POTICO (Palm Oil, Timber, Carbon Offsets)
148
Pengembangan proses perencanaan nasional yang terkoordinasi dan koheren (lihat halaman 186) serta berkontribusi bagi pengurangan deforestasi dari rantai pasokan komoditas tergantung pada pelaksanaan strategi penggunaan lahan nasional yang inovatif.
efektif. Namun, setelah diterapkan, pertukaran lahan memberikan dampak ketahanan di tingkat bentang alam guna mengurangi deforestasi dari rantai pasokan komoditas berbasis lahan.
Misalnya, rencana zonasi dapat meningkatkan intensifikasi produksi komoditas dan mengurangi perluasan ke wilayah hutan. Di Acre, Brasil, rencana zonasi sub-nasional mengharuskan pemilik tanah mempertahankan tingkat minimal tutupan hutan, dan mematuhi standar manajemen kehutanan berkelanjutan, pembangunan pertanian dan pengambilan hasil hutan non-kayu340. Selain itu, sekitar 200 juta ha hutan terdegradasi atau lahan terlantar di daerah tropis dapat dipulihkan untuk pertanian atau kehutanan341. Hal ini dapat menjadi opsi bagi beberapa negara hutan tropis untuk meningkatkan produksi pertanian, tanpa perluasan ke wilayah hutan alam. Misalnya, untuk memenuhi target produksi minyak sawit Indonesia sebesar 40 juta ton tahun 2020, proyek bersama antara pemerintah dengan WRI telah mengidentifikasi dan memetakan 7 juta ha lahan terdegradasi di Provinsi Kalimantan Barat dan Tengah. Bantuan teknis, investasi bersama publik dan akses kredit semua penting untuk memudahkan dan mempromosikan penyerapan proyek di daerah yang terdegradasi. ‘Pertukaran lahan (land swap)’ yang inovatif juga memungkinkan produksi pertanian intensitas tinggi di daerah kaya karbon (hutan alam dan lahan gambut) direlokasi ke lahan terdegradasi342.Proyek WRI di Indonesia menguji coba inisiatif ini*. Jika perlindungan sosial dan lingkungan yang kuat diterapkan, terbuka peluang menggunakan skenario ‘pertukaran’ lahan untuk mengurangi deforestasi hutan alam - perusahaan dapat mengembangkan konsesi baru di lahan terdegradasi dengan ketentuan kawasan hutan yang lebih luas, keanekaragaman hayati lebih tinggi atau lebih kaya karbon dibayar dan dilindungi perusahaan tersebut. Strategi penggunaan lahan biasanya makan biaya dan menuntut pengembangan paralel tata guna lahan, koordinasi kerangka hukum dan kejelasan hak kepemilikan lahan (lihat halaman 174), serta penegakan hukum dan pengawasan yang efisien agar 149
TROPICAL FOREST ALLIANCE 2020 Tropical Forest Alliance 2020 (TFA 2020) adalah kemitraan pemerintah-swasta yang inovatif, bertujuan mengurangi deforestasi hutan tropis terkait dengan komoditas utama dunia, seperti kelapa sawit, kedelai, daging sapi, kulit serta kertas dan bubur kertas. Inisiatif ini lahir dari diskusi antara pemerintah AS dengan Consumer Goods Forum (CGF), organisasi industri yang mewakili lebih dari 400 pengecer dan produsen, dan resmi diluncurkan di Rio+20 tahun 2012. Perusahaan anggota CGF menggabungkan penjualan sebesar EUR 2,5 triliun, dan langsung mempekerjakan hampir 10 juta orang, dengan perkiraan ada 90 juta pekerjaan tambahan di sepanjang rantai nilai. Mitra pemerintah meliputi negara donor utama seperti AS, Belanda, Norwegia, dan Inggris. TFA 2020 punya 4 tujuan utama: peningkatan perencanaan dan pengelolaan yang terkait dengan konservasi hutan tropis, penggunaan lahan pertanian, dan penguasaan lahan; berbagi praktik terbaik untuk konservasi hutan tropis dan ekosistem, serta produksi komoditas, termasuk bekerja sama dengan petani kecil dan produsen lain untuk intensifikasi pertanian berkelanjutan, mempromosikan penggunaan lahan terdegradasi, dan reboisasi; memberikan keahlian dan pengetahuan untuk membantu pengembangan komoditas dan pasar komoditas olahan yang mempromosikan konservasi hutan tropis; dan meningkatkan pemantauan deforestasi tropis dan degradasi hutan untuk mengukur kemajuan. Pada dasarnya, yang menjadikan TFA 2020 alat paling menjanjikan dan mempengaruhi perubahan perilaku dunia untuk mengatasi deforestasi tropis yang didorong komoditas bagi perusahaan dan pemerintah di dunia adalah skala dan luas inisiatif pemerintahswasta ini. Namun, TFA 2020 tidak 150
Kode Etik Dan Standar dimaksudkan sebagai badan pengatur, dan tidak akan mengatur pembelian atau rantai pasokan, menciptakan atau mengesahkan standar sertifikasi khusus atau jasa verifikasi, menciptakan kewajiban yang mengikat secara hukum, atau berusaha untuk membuat definisi baru atau tambahan untuk deforestasi atau keberlanjutancxiv. Akibatnya, kontribusi TFA 2020 bagi pengurangan deforestasi hanya dapat diukur dalam jumlah inisiatif yang diatur industri yang menghasilkan perubahan kuantitatif pada kegiatan usaha seperti biasa. Sebaliknya, TFA 2020 mewajibkan anggotanya mendukung sasaran Aliansi ini, dan sepakat melakukan aksi khusus untuk mengatasi deforestasi tropis yang didorong komoditas, serta mengakui tindakan yang diperlukan akan bervariasi tergantung pada daerah, produk yang terlibat, UU konservasi nasional, peraturan pertanian, dan sasaran pembangunan ekonomi. Tantangan bagi TFA 2020 adalah terus mendorong dan meningkatkan inkubasi cepat pendekatan yang dipimpin sektor swasta dengan dampak besar yang nyata, tanpa fokus yang tak terkait dengan peraturan, sehingga anggota TFA membuat komitmen tapi tidak memenuhinya, atau membatasi kontribusi mereka pada aksi yang relatif kecil dengan dampak terbatas untuk menghilangkan deforestasi dari rantai pasokan komoditas. Matt Leggett Global Canopy Programme
Banyak inisiatif telah digalang perusahaan untuk mengurangi atau menghentikan deforestasi dari rantai pasokan komoditas berbasis lahan, yang sukarela dan mandiri. Pengaturan mandiri ini secara khusus membedakan inisiatif ini dari sertifikasi s (lihat halaman 139) serta hukum dan kebijakan internasional (lihat halaman 178). Walaupun dapat melibatkan masyarakat sipil atau pemerintah, inisiatif ini biasanya dipimpin satu perusahaan tertentu, sektor dalam suatu industri tertentu, atau kelompok perusahaan yang bergerak dalam rantai pasokan komoditas. Inisiatif yang dipimpin sektor terkait meliputi Leather Working Group (LWG), yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan standar lingkungan industri kulit. LWG Audit Protocol untuk penyamakan kulit menetapkan tingkat penelusuran kulit, dan kulit yang bersumber dari Amazon Brazil dinilai apakah dapat dilacak ke peternakan pemasok tanpa deforestasi pasca-2009343, sejalan dengan G4 Cattle Agreement*. Tiap perusahaan juga telah menyusun pedoman dan standar internal komprehensif untuk membatasi atau menghentikan deforestasi di rantai pasokan mereka. Salah satu yang terdepan adalah Nestlé, yang telah menyusun ‘Komitmen Deforestasi dan Pengelolaan Hutan’. Komitmen ini menetapkan standar internal untuk memastikan semua bahan baku dari kawasan hutan tidak menyebabkan deforestasi atau hilangnya kawasan bernilai konservasi tinggi. Nestlé juga menjadi anggota Consumer Goods Forum**, organisasi industri yang berkomitmen untuk menggalang sumber daya dalam usaha tiap anggota untuk membantu mencapai nol deforestasi tahun 2020 (lihat halaman 148). Karena tidak tunduk pada peraturan eksternal, kode etik sukarela dapat berdampak relatif cepat di sepanjang rantai pasokan. Seperti disebutkan, masyarakat sipil juga dapat mendukung inisiatif tersebut. Misalnya, Conservation International telah menyusun “Pedoman Deforestasi untuk Sumber Komoditas”, memberikan data khusus ke Nestlé guna membantu memprioritaskan komitmen sumber berkelanjutan344. Pemerintah juga berperan penting dalam menyediakan data, membangun kapasitas dan mendorong pemimpin perusahaan untuk memudahkan replikasi inisiatif-inisiatif tersebut.
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
* Setelah laporan yang dikeluarkan Greenpeace tahun 2009, dan tindakan hukum Kantor Kejaksaan Umum negara bagian Pará, Amazon, 4 pengemas daging besar yang menguasai sepertiga abattoir Amazon (JBS, Bertin, Marfrig dan Minerva), menandatangani G4 Cattle Agreement’. Hal ini menetapkan kerangka waktu untuk membeli hanya dari peternakan yang dapat memperlihatkan nol deforestasi. ** CGF mewakili lebih dari 400 pengecer dan produsen besar, banyak dari mereka memproduksi atau memperdagangkan produk dari negara hutan tropis.
151
PENDORONG PENGUNGKAPAN PERUBAHAN PERUSAHAAN Disclosure (pengungkapan) atau keterbukaan informasi perusahaan mencakkup : (1) bersifat wajib, memuat informasi yang harus diungkap oleh otoritas terkait seperti Securities and Exchange Commission (SEC), dan (2) sukarela, yang terdiri dari informasi yang tidak diharuskan undang-undang, tapi diberikan perusahaan kepada pemangku kepentingan untuk transparansi dan komunikasi yang lebih baik. Pengungkapan sukarela meluas dalam 15 tahun terakhir, bersama Global Reporting Initiative (GRI) yang diluncurkan tahun 1997 untuk memberikan kerangka bagi perusahaan untuk melaporkan strategi lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) dan menjelaskan relevansi dan kepentingannya. Kini banyak perusahaan kini membuat laporan keberlanjutan tahunan, dengan rincian tugas mereka untuk strategi ini. Tahun 2002, ada peluncuran CDP, yang dulu dikenal sebagai Carbon Disclosure Project, yang awalnya meminta perusahaan untuk mengungkap jejak karbon dari kegiatan mereka dan rantai pasokan mereka. Permintaan itu lalu meluas sehingga mencakup komoditas yang mengancam air dan hutan seperti kedelai, sawit, produk ternak dan kayu, dan CDP sekarang membuat basis data terbesar di dunia tentang penggunaan modal alam oleh perusahaan. Banyak bukti menunjukkan CDP telah mendorong perubahan perilaku perusahaan dengan memberikan peluang untuk mengukur dan mengelola emisi dan kemudian mengidentifikasi hotspot untuk meningkatkan efisiensi dan keuntungan. Pengungkapan penilaian mendorong perusahaan tersebut meningkatkan kinerja mereka melebihi rekan-rekan mereka, sementara aktivisme pemegang saham menekan perusahaan untuk mengungkapkan, kemudian mengurangi emisi mereka.
152
Dalam program hutan CDP, juga terdapat banyak bukti tentang pengajuan resolusi pemegang saham ke perusahaan yang meminta mereka mengembangkan kebijakan sumber berkelanjutan (terutama untuk kayu dan minyak sawit), menetapkan target berpindah ke komoditas berkelanjutan yang bersertifikat dan mengungkapkan kemajuan mereka secara terbuka. Proyek ini juga memberikan umpan balik ke perusahaan pengungkap tentang kekuatan dan kelemahan mereka, serta saran perbaikan di masa depan. Proyek ini sangat berhasil pada perusahaan yang berurusan langsung dengan konsumen, karena kesadaran tentang risiko reputasi dan adanya komitmen keberlanjutan yang lebih maju dan sumber daya yang lebih baik. Namun, dengan semakin banyaknya produsen dan pengolah yang kini lebih terbuka mengungkapkan informasi ke CDP tekanan dari perusahaan pada pemasok untuk mengungkap rantai pasokan mungkin akan semakin besar. Program pengungkapan lain dalam ruang hutan mencakup Palm Oil Scorecard oleh WWF, program dua tahunan yang membagi perusahaan dengan berbagai kriteria keberlanjutan menurut informasi yang diungkap pada publik. RSPO juga mengharuskan anggota mereka menyelesaikan komunikasi publik kemajuan tahunan. Karena itu, pengungkapan (disclosure) jelas berperan dalam mendorong dan memantau produksi dan sumber komoditas yang lebih bertanggung jawab oleh perusahaan. Respons terbuka dapat dianalisis masyarakat sipil, yang dapat menjadi pemeriksa independen di lapangan, sementara penilaian dan tekanan pemilik saham dapat mendorong perbaikan kinerja dan mempublikasikan praktik terbaik.
Bantuan Teknis Bantuan Teknis (TA) adalah transfer pengetahuan atau keahlian dari satu organisasi ke yang lain, atau individu tertentu. TA bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi atau individu dalam mencapai tujuan. TA umumnya diberikan badan publik atau LSM ke badan publik lainnya, perusahaan atau individu di tingkat lokal dan nasional. Di skala yang lebih kecil, TA diberikan sektor swasta, kerap bermitra dengan masyarakat umum atau sipil, dan di beberapa wilayah Amerika Selatan TA berperan penting dalam pengembangan industri kedelai345. LSM juga berperan dalam memberikan TA ke organisasi swasta yang berusaha mengurangi penggunaan komoditas berbasis lahan. Pemberian TA merupakan bagian penting terhadap keberhasilan pelaksanaan banyak katalisator untuk mengurangi deforestasi yang didorong komoditas, termasuk insentif keuangan (misalnya kredit), REDD+ dan PES, serta sertifikasi. Namun, pemberian dan penyerapan TA sering terhambat terbatasnya ketersediaan bantuan keuangan (misalnya hibah atau pinjaman) dan kapasitas teknis yang rendah. Contoh, Bantuan Teknis dan Penyuluhan Pedesaan di Brasil yang merupakan layanan346.
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Terutama perangkat sisi penawaran, TA dapat menjadi katalisator penting bagi produsen, terutama produsen kecil, untuk beralih ke produksi komoditas berkelanjutan yang besar. TA dapat mengurangi biaya sertifikasi dan kepatuhan undang-undang lingkungan, memperbaiki akses pembiayaan, dan meningkatkan produktivitas (lihat halaman 138). Penelitian terbaru menunjukkan TA dapat menaikkan hasil pertanian 2-3 kali lipat di beberapa negara Afrika347,348. TA dapat membantu pengecer dan pedagang menerapkan praktik terbaik dalam mencari komoditas berkelanjutan dengan penyediaan informasi sertifikasi, kebijakan pengadaan publik, dan produk berkelanjutan. TA juga punya manfaat lain, termasuk perbaikan tata kelola proyek dan transparansi. Juga, mendorong dan mengkoordinasikan penyampaian TA melalui kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil yang penting dalam mendorong produksi komoditas berkelanjutan349.
James Hulse CDP 153
MoratorIA TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Moratorium adalah penghentian sementara suatu kegiatan. Di buku ini moratorium digunakan sebagai perangkat kebijakan guna menghentikan sementara kegiatan ilegal atau tidak berkelanjutan yang mengakibatkan deforestasi. Moratorium dapat diberlakukan pemerintah dan peraturan, atau sukarela dan ditetapkan melalui perjanjian antar perusahaan swasta. Moratorium pengaturan telah banyak digunakan sektor publik di negara berkembang untuk mengatasi deforestasi. Moratorium saat ini ada di Indonesia (HPH350), Papua Nugini (sewa pertanian351), dan Nigeria (penebangan di Cross River State352). Dengan moratorium, pemerintah dapat meninjau undang-undang, menetapkan protokol pemantauan, atau meningkatkan penegakan hukum, sambil memastikan deforestasi tidak terjadi lagi. Sebaliknya, moratorium sukarela cenderung dipimpin oleh sektor swasta menanggapi kampanye masyarakat sipil (lihat halaman 142), ditandai dengan perusahaan menyepakati komitmen terikat waktu untuk tidak membeli produk dari area tertentu yang terdeforestasi (misalnya moratorium kedelai di Amazon). Penanda tangan moratorium menuntut produsen memenuhi kriteria yang ditetapkan dengan ancaman pembatalan kontrak dan hilangnya pangsa pasar. Karena itu, moratorium sukarela paling mudah diterapkan pada rantai pasokan dengan konsentrasi beberapa perusahaan pada tahap tunggal dengan pangsa pasar besar, dan pada komoditas berbasis lahan dengan konsentrasi geografi produksi.
© Credits
© Neil Palmer, CIAT
Namun, secara definisi moratorium bukan opsi kebijakan yang kuat untuk mengurangi deforestasi. Walaupun moratorium sering diperbarui - ‘Zero Deforestation Law’’ Hutan Atlantis dari Paraguay, tahun 2004 untuk dua tahun awal, telah berulang kali diperpanjang sampai Desember 2018353 - prioritasnya adalah memastikan perpanjangan ini tidak menggantikan perubahan perundang-undangan permanen.
154
KATALISATOR KEUANGAN
Komitmen Pasar Lanjutan (Advance Market Commitment) TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Advance Market Commitment (AMC) adalah mekanisme pendanaan yang digunakan badan pemberi hibah pemerintah atau swasta untuk menyediakan pendanaan jangka panjang dan terprediksi kepada produsen barang. Komitmen keuangan dibuat badan pemberi hibah pemerintah atau swasta untuk membeli barang guna merangsang produksi jangka pendek. Tujuan akhir AMC adalah merangsang pertumbuhan di pasar atau sektor barang tersebut, dan cenderung digunakan ketika pasar untuk barang tersebut kecil, lemah atau tidak ada. Misalnya, Global Alliance for Vaccination and Immunisation (GAVI) adalah kemitraan pemerintah-swasta yang menggalang dana untuk pembelian vaksin imunisasi anak-anak. Dengan membuat komitmen keuangan pembelian vaksin, GAVI memberikan dua dampak pada pasar vaksin: menciptakan insentif keuangan yang jelas bagi produsen untuk meningkatkan produksi vaksin, dan selanjutnya mendorong yang lain - seperti yayasan amal dan sektor swasta - juga membuat komitmen keuangan dengan GAVI. Model AMC dapat diterapkan di sektor kehutanan dan penggunaan lahan untuk mendorong penurunan deforestasi (lihat halaman 188). Permintaan penurunan emisi saat ini lemah, tapi pemerintah dapat merangsang pasar dan meningkatkan permintaan penurunan emisi terverifikasi dari proyek REDD+ dengan menciptakan dan mendanai mekanisme AMC. AMC dapat menciptakan insentif keuangan berbasis kinerja yang jelas bagi masyarakat hutan, yurisdiksi dan negara untuk mengikat kontrak berdasarkan hasil jangka panjang. Selain itu, hal ini menciptakan kondisi pendukung investasi bagi investor sektor swasta dan publik lainnya yang ingin berinvestasi dalam berbagai peningkatan kegiatan guna lahan dan hutan terkait dengan REDD+.
PERTUKARAN KONTRAK DAGANG Dalam sejarahnya, pangan ditanam untuk konsumsi lokal, tetapi dengan kemajuan transportasi massal dan meningkatnya urbanisasi di banyak daerah di dunia, pasar pangan dunia telah berkembang. Awalnya, berupa ‘perjanjian berjangka’ antara pembeli dengan penjual, tapi ada masalah kelayakan kredit dan keamanan pengiriman. Tahun 1864, kontrak homogen pertama diciptakan yang menentukan kualitas, kuantitas dan rincian spesifik produk, membuat kontrak ini dapat diperdagangkan di dunia pada bursa komoditas seperti Chicago Board of Trade (CBOT). Saat ini, sebagian besar komoditas pangan diperdagangkan di bursa ini, termasuk komoditas berbasis lahan seperti kedelai, bungkil kedelai, minyak kedelai, minyak inti sawit, minyak sawit dan ternak hidup.
banyak: membuat perbedaan harga antara bersertifikat dan tidak-bersertifikat transparan dan mendorong lebih banyak penyerapan komoditas bersertifikat karena pembeli akan mampu menjamin jumlah yang cukup untuk kebutuhan masa depan mereka dan mengalihkan risiko gagal kirim ke bursa. Hal ini juga akan menciptakan pasar yang kuat untuk produk-produk bersertifikat secara terpisah, karena rantai penjamin sertifikasi diperlukan untuk memverifikasi komoditas, dan ini akan mengalihkan sinyal permintaan langsung melalui rantai pasokan. James Hulse CDP
Komoditisasi produk pangan memberikan banyak manfaat bagi perekonomian dunia, menurunkan harga dan meningkatkan efisiensi. Namun ada beberapa kelemahan, salah satunya adalah pembeli sulit mencari sumber produk hasil berkelanjutan di pasar dunia, karena saat ini tidak ada kontrak untuk komoditas bersertifikat. Pembeli yang ingin mencari produk bersertifikat harus mengikat perjanjian pengadaan bilateral dengan pedagang atau produsen untuk memastikan produk memenuhi standar mereka. Perjanjian ini mempunyai masalah yang sama dengan kontrak berjangka, karena perjanjian ini bergantung pada kelayakan kredit dari pembeli (terutama untuk pengaturan tahun jamak) dan kemampuan pemasok untuk mengirimkan jumlah yang disepakati, yang dapat dipengaruhi pola cuaca, penyakit, masalah transportasi dll. Bursa jelas berperan dalam membuat kontrak khusus bagi produk bersertifikat, dengan menggunakan skema sertifikasi utama seperti RSPO dan RTRS. Keuntungannya
158
159
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Investasi Bersama (Co-investment)
Concessional Credit Lines (Kredit Konsesional)
Terdapat banyak proyek pertanian dan kehutanan di negara hutan tropis dinilai mempunyai risiko komersial atau politik yang tinggi (lihat halaman 162 dan 164). Demikian pula, ketika proyek mencakup konservasi hutan atau tujuan penggunaan berkelanjutan, pengembalian investasi sering dianggap terlalu rendah. Jika dipadu, faktor-faktor ini mengurangi investasi sektor swasta pada proyek yang dapat mengurangi deforestasi dibandingkan dengan kondisi business-as-usual. Namun, ketika proyek menghasilkan manfaat publik, pemerintah, LSM atau badan multilateral dapat menawarkan modal, yaitu investasi bersama.
Pemberian kredit, seperti pinjaman, dapat menjadi persyaratan untuk memenuhi standar lingkungan tertentu. Pola kredit ini dapat diperluas pada perusahaan di rantai pasokan komoditas yang terkait dengan deforestasi melalui program pinjaman yang ditargetkan. Untuk mendorong penyerapan kredit ini, kredit harus dapat diakses dan terjangkau. Memberikan pinjaman lunak adalah salah satu cara untuk mencapainya.
Investasi bersama dapat mengurangi profil risiko proyek, sehingga lebih menarik bagi sektor swasta. Investasi bersama publik dapat membantu mengurangi risiko dengan mengambil beberapa persyaratan modal, memberikan pinjaman lunak atau keuangan ekuitas, menyediakan penyangga untuk menyerap kerugian atau pembayaran bagi investor swasta, atau dengan menawarkan keahlian khusus, bantuan teknis dan kondisi pendukung354,355. Investasi bersama dapat menjadi katalisator pada berbagai tahap rantai pasokan, meningkatkan ketahanan proyek, dan dilaksanakan dalam waktu singkat. Alat utama untuk melakukan investasi bersama adalah dengan menawarkan jaminan kredit (lihat halaman 161) dan pinjaman lunak (lihat halaman 159). Lembaga keuangan sektor publik juga dapat memberikan investasi bersama ekuitas dengan bunga khusus; tapi kurang dipraktikkan dibandingkan dengan menyediakan jaminan kredit atau pinjaman lunak. Di Brazil misalnya, CPFLR Energias Renovaveis SA, perusahaan energi terbarukan yang ingin menghasilkan listrik dari angin, air kecil dan biomassa, telah menerima investasi ekuitas dari International Finance Corporation (IFC) senilai US$74 juta dan mewakili sekitar 2,7% saham perusahaan. Ini akan digunakan untuk membantu membiayai pembangkit listrik 530 MW dari proyek energi terbarukan. IFC berharap partisipasinya dapat mendukung penggalangan dana dengan memberikan keyakinan kepada investor potensial lainnya356.
160
Pinjaman lunak biasanya disediakan lembaga keuangan publik dengan persyaratan yang lebih mudah daripada pinjaman lembaga keuangan swasta. Pinjaman ini cenderung memiliki bunga lebih rendah (misalnya pembayaran bunga berkala lebih rendah), masa jatuh tempo lebih lama (misalnya masa pembayaran lebih lama), atau kombinasi keduanya. Perubahan struktural di rantai pasokan komoditas pendorong deforestasi kerap menuntut banyak modal (misalnya menerapkan sistem ketelusuran), yang dapat mendorong perusahaan beralih ke moda produksi lebih berkelanjutan. Pinjaman lunak memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukannya dengan biaya yang terjangkau, tanpa harus memenuhi pembayaran hutang yang berat. Pinjaman lunak dapat mendukung perubahan transisi di semua tahap dan di semua tingkat rantai pasokan. Pinjaman ini juga kerap disertai dengan pemberian bantuan teknis (lihat halaman 151).
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Namun, kredit lunak yang ada tidak selalu dimanfaatkan sepenuhnya. Di Brazil, misalnya, pemerintah mengalokasikan banyak pinjaman lunak untuk kegiatan seperti intensifikasi ternak berkelanjutan dan restorasi hutan, namun serapan terbatas karena kapasitas pemilik tanah rendah357. Kendati demikian, ini tidak mengurangi fakta bahwa kredit pedesaan sebagai suatu mekanisme kebijakan dalam membantu mengurangi deforestasi. Terakhir, pinjaman lunak biasanya mendanai proyek yang berjuang untuk mendapatkan pembiayaan dari sumber pasar tradisional. Akibatnya, pinjaman lunak mungkin tidak dapat mengangkat banyak investasi swasta tambahan dari pihak ketiga358. Misalnya GEF Earth Fund - penyedia pinjaman lunak tidak menarik dana swasta di tingkat yang diharapkan atau dengan jumlah kemitraan sektor swasta yang diharapkan359.
161
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Kriteria Pinjaman Lingkungan (Environmental Lending Criteria)
Jaminan (Guarantee)
Meskipun aktivisme pemegang saham (lihat halaman 168) dapat menjadi alat efektif untuk mendorong perubahan perilaku perusahaan publik, banyak perusahaan dalam rantai pasokan komoditas merupakan milik swasta atau pribadi walaupun terdaftar di publik. Mengingat keterbatasan pengaruh pemegang saham pada keadaan ini, metode alternatif untuk mempengaruhi perilaku perusahaan dapat memasukkan kriteria tertentu deforestasi ke dalam keputusan pemberian kredit dari sektor swasta dan bank pembangunan multilateral.
Jaminan kredit adalah janji pihak ketiga (penjamin), untuk membayar kreditur (sebagai ganti biaya komitmen atau penelusuran asal di muka), jika organisasi peminjam gagal untuk melakukannya (misalnya tidak mampu melaksanakan tugas). Meskipun jaminan dapat diterapkan untuk berbagai transaksi, jaminan biasanya berhubungan dengan struktur hutang dari beberapa jenis.
Banyak bank yang mempunyai kriteria lingkungan yang luas - misalnya European Bank for Reconstruction and Development (EBRD) punya amanat yang mengikatnya untuk membiayai proyek ramah lingkungan dan berkelanjutan’360, sedangkan World Bank Group punya strategi lingkungan 10 tahun mempromosikan pembangunan ‘yang mendukung pertumbuhan dengan lebih fokus pada keberlanjutan dan memastikan lingkungan menjadi pendukung kunci bagi pertumbuhan yang lebih inklusif dan hijau’361. Namun, sangat sedikit organisasi yang punya kriteria khusus yang mentargetkan penurunan deforestasi. Pengenalan kriteria ini dapat mempromosikan praktik pinjaman yang lebih berkelanjutan dan mempersulit akses pembiayan bagi perusahaan yang rantai pasokan dan proyeknya terkait dengan deforestasi. Rabobank Group, bank Belanda yang berfokus pada agribisnis, mempunyai salah satu kebijakan pinjaman paling bertanggung jawab. Grup ini mempunyai kebijakan khusus untuk produk kehutanan, kelapa sawit dan kedelai, yang aktif mempromosikan sertifikasi dan terlibat dengan perusahaan untuk mengatasi potensi risiko yang terkait dengan deforestasi, legalitas, HAM, persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dan pengelolaan hutan lestari. Grup juga menuntut perusahaan menunjukkan kemajuan dalam mengatasi isu-isu ini untuk mendapat pinjaman, dan menyarankan perusahaan hilir meminta komoditas bersertifikat dari pemasok362,363. Kebijakan seperti ini dapat diterapkan di seluruh industri perbankan relatif cepat dan akan memiliki ketahanan relatif tinggi pada risiko atau perubahan mendatang. Meski secara khusus dapat mentargetkan perbaikan di tahap produksi/konversi dengan mengirim pesan yang jelas kepada perusahaan produsen tentang harapan lembaga pemberi pinjaman, kebijakan ini juga dapat berdampak positif di sepanjang rantai pasokan.
162
Jaminan kredit langsung mengurangi risiko bagi investor, membuat investasi lebih menarik dan memudahkan suatu proyek atau organisasi untuk mengakses modal. Jaminan biasanya ditawarkan organisasi dana publik untuk mendorong investasi sektor swasta di area yang melayani kepentingan publik namun sedang mengalami pinjaman terbatas. Banyak negara membuat jaminan kredit parsial “bagian sentral strategi mereka untuk meniadakan kendala pembiayaan bagi usaha kecil dan menengah (UKM)364”. Garansi dari lembaga keuangan multilateral atau internasional dapat diperluas untuk mendukung organisasi di sektor pertanian yang berusaha berpindah dari produksi bisnis biasa (BAU) ke metode dengan dampak pada tutupan hutan alam berkurang, atau langsung mendukung proyek-proyek yang melestarikan atau melindungi tutupan hutan yang ada (misalnya REDD + - lihat halaman 188)365. Proyek ini cenderung terkena risiko politik untuk gagal (default) lebih tinggi, dan ketidakpastian lebih besar karena ketergantungan pada penyediaan layanan ekosistem. Jaminan juga dapat ditawarkan bersama dengan produk-produk asuransi (lihat halaman 162 dan 164) untuk mengurangi risiko investor. Development Credit Authority* dari USAID merupakan inovator utama dalam ruang ini dan sejak 2012 telah berupaya mengembangkan jaminan pinjaman untuk kegiatan REDD +, serta proyek-proyek pasar karbon lainnya. Jaminan USAID mencakup risiko lebih luas selain risiko politik, termasuk risiko yang terkait verifikasi, cuaca, dan produksi kredit karbon366. Jaminan kredit parsial, seperti jaminan dari International Finance Corporation, adalah alat lain yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan pintar-iklim di negara-negara hutan tropis. Untuk mengurangi biaya bagi pengembang proyek dan mendorong penyerapan jenis inisiatif khusus, sektor publik juga dapat menawarkan untuk menyubsidi premi jaminan penuh atau sebagian, yang merupakan kasus untuk program jaminan USAID.
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
* www.usaid.gov/dca
163
ASURANSI RESIKO POLITIK Asuransi risiko politik melindungi pemegang polis dari tindakan gangguan politik atau sosial yang menyebabkan hilangnya nilai investasi, dan mencakup dua kategori luas risiko: pengambilalihan dan kekerasan politik. Cakupan pengambilalihan melindungi dari nasionalisasi, penyitaan dan pengambilalihan merayap oleh pemerintah, yang mengakibatkan hilangnya investasi. Cakupan resiko politik melindungi properti investor dari kerusakan (misalnya hutan penghasil karbon memicu aksi kekerasan politik yang menghancurkan hutan. Asuransi resiko politik dapat mengurangi banyak aspek risiko negara, yang tinggi di negara-negara hutan tropis dengan peluang investasi di sektor agro-kehutanan. Tapi ada dua risiko khusus yang mengkhawatirkan calon investor dalam ruang itu yang juga dapat diminimalkan dengan asuransi risiko politik: 1) tindakan penolakan pemerintah; dan 2) perubahan hukum. Risiko ini sangat penting bagi proyek-proyek yang beroperasi dengan cara yang inovatif, atau berkembang ruang hukum (misalnya karbon hutan dan pembayaran untuk jasa ekosistem). Overseas Private Investment Corporation (OPIC) dan World Bank Group’s Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) saat ini menawarkan produk-produk asuransi yang menanggung risiko proyek kompensasi karbon berkembang. Di antara keduanya ada perbedaan. OPIC mengharuskan partisipasi mayoritas AS di setiap investasi dan cenderung fokus di negara-negara yang memiliki hubungan bilateral erat dengan AS. MIGA terbuka bagi semua dari 179 negara anggotanya, dan biasanya kompetitif di negara ‘berisiko’ di mana investor ingin memanfaatkan efek penolakan Bank Dunia. MIGA saat ini menyediakan sampai USD220 juta pertanggungan asuransi per proyek, 164
sedangkan OPIC dapat memberikan hingga USD250 juta - dengan kedua lembaga dapat menyediakan tanggungan tambahan melalui reasuransi. Juga ada pasar asuransi resiko politik swasta, tetapi tidak jelas apakah pengembang proyek pengganti karbon khususnya telah memanfaatkan pasar ini. Kontrak asuransi resiko politik REDD + pertama ditanggung oleh OPIC pada investasi yang dibuat oleh Terra Global Capital pada proyek karbon hutan di Kamboja pada bulan Juni 2011. Pada tahun 2012, MIGA memberikan jaminan resiko politik pertamanya untuk penggantian proyek karbon di Nikaragua, di mana EcoPlanetBamboo (EPB) adalah menghijaukan lahan padang rumput kritis dengan guadua aculeate, spesies bambu asli. Jaminan USD27 juta MIGA mendukung investasi perusahaan dalam pembelian dan konversi lahan kritis menjadi perkebunan bambu komersial untuk penjualan dan ekspor serat bambu untuk industri pengolahan kayu, yang pada gilirannya mengurangi tekanan terhadap hutan alam. Dalam hal ini, EPB mendapat manfaat ganda - akses asuransi MIGA yang menurunkan biaya modal mereka secara signifikan (sekitar 40%), dan penurunan risiko pengambilalihan karena efek penolakan keterlibatan Bank Dunia. Biaya asuransi bervariasi sesuai dengan resiko operasi di setiap negara, tetapi pengembang proyek juga harus mematuhi kebijakan lingkungan dan anti-korupsi yang merupakan prasyarat untuk mendapatkan asuransi MIGA dan OPIC, yang dapat menjadi biaya tambahan yang sangat besar jika pengembang proyek belum memenuhi persyaratan sosial dan lingkungan standar karbon yang tumpang tindih.
premi kepada pengembang proyek, yang dapat memberikan kesempatan utama bagi pemerintah untuk mempercepat transisi luas-sektor menuju proyek-proyek berdampak rendah pada tutupan hutan alam. Juga ada ruang bagi donor untuk mentargetkan dana yang dicari pengembang proyek untuk menutupi biaya dalam memenuhi kriteria ini, atau untuk menanggung biaya premi asuransi. Beberapa preseden telah tersedia - OPIC dapat melakukan evaluasi itu sebagai bagian dari proses due diligence, dan juga menyediakan potongan harga bagi usaha kecil, sementara MIGA menyediakan harga subsidi untuk investasi USD10 juta atau kurang dengan diskon rata-rata 25%. Meskipun ada kegiatan perpindahan awal, kesadaran tentang ketersediaan asuransi resiko politik untuk proyek-proyek karbon hutan tetap rendah, dan sulit untuk mengatakan apakah pasar mungkin melihat adopsi meningkat. Namun, keberhasilan penerapan asuransi resiko politik pada proyek karbon hutan menunjukkan adanya potensi untuk mengembangkan produk- produk serupa yang mendukung inisiatif yang mendorong pengurangan deforestasi tropis. Salah satu produk itu dapat ditiru setelah program asuransi pertanian yang didukung indeks yang ditawarkan Global Index Insurance Facility Bank Dunia. Daphne Yin Forest Trends’ Ecosystems Marketplace
Badan sektor publik memiliki peluang untuk mensubsidi biaya asuransi atau harga kenaikan untuk mengurangi biaya 165
Asuransi TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Jika suatu peristiwa berisiko menyebabkan organisasi kehilangan uang (misalnya bencana alam, atau pelanggaran kontrak dll.), organisasi itu dapat mengambil asuransi untuk melindungi dirinya dari potensi kerugian. Dua jenis asuransi memiliki relevansi khusus untuk rantai pasokan komoditas berbasis lahan: asuransi komersial, yang disediakan untuk perusahaandan biasanya mencakup kerugian keuangan akibat masalah operasional, seperti kekeringan atau banjir; dan asuransi risiko politik, yang meliputi kerugian keuangan karena keputusan politik (lihat halaman 162). Keduanya penting karena negara hutan tropis dan kegiatan dengan produksi atau tujuan penggunaan berkelanjutan kerap dianggap sebagai investasi berisiko relatif tinggi367. Asuransi dapat mempercepat pengurangan deforestasi dalam beberapa cara. Pertama, perusahaan pembeli asuransi mengurangi risiko investasi usaha mereka sehingga meningkatkan akses organisasi ke modal. Jika produk asuransi ini juga memiliki kriteria lingkungan terkait deforestasi (terutama dicapai dalam produk asuransi yang disediakan sektor publik), dan mendukung kegiatan yang berdampak rendah pada hutan, ketersediaan asuransi itu memperluas penyerapan kegiatan semacam itu.
Sektor publik dapat memberikan dukungan tambahan dengan subsidi premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi swasta, membayar premi sendiri untuk kegiatan yang memenuhi kriteria lingkungan mereka sendiri, atau membangun produk asuransi yang didanai publik yang meningkatkan kegiatan pertanian / kehutanan berdampak rendah. 166
© Jane Boles
Kedua, ketika organisasi tahu bahwa potensi kerugian akan dikompensasi, investasi internal dalam teknologi atau peningkatan metode yang menjaga model usaha lebih berkelanjutan (misalnya peningkatan efisiensi yang mengurangi deforestasi) lebih dapat dilakukan. Data menunjukkan para petani tertanggung berinvestasi 19% lebih banyak di pertanian mereka dan mendapatkan pendapatan 16% lebih banyak368. Karena itu, inisiatif asuransi yang ada seperti Global Index Insurance Facility (GIIF) dapat diubah agar mendukung pengurangan deforestasi. GIIF mengembangkan asuransi bagi petani berbasis indeks statistik untuk berbagai parameter, seperti hasil panen atau tingkat kematian ternak. Penyimpangan dari kisaran normal memicu pembayaran untuk klien tertanggung. Pengenalan kriteria ‘deforestasi’ dapat memastikan para petani pelakunya dapat dikeluarkan dari skema itu369.
DEKLARASI MODAL ALAM (Natural Capital Declaration) Alam mendasari penciptaan kekayaan global. Arus barang terbarukan dan jasa yang disediakan aset bumi menopang perekonomian kita dan menghasilkan manfaat bagi bisnis. Namun cadangan ekosistem ini juga dikenal sebagai “modal alam” - sebagian besar tidak terlihat dalam pengambilan keputusan keuangan atau perusahaan. Akibatnya, degradasi terus berlanjut. Para ekonom memperkirakan bahwa biaya ekonomi tersembunyi penggunaan modal alam untuk produksi global dan pengolahan industri total USD7,3 triliun per tahun. Risiko tidak teralokasi ini setara dengan 13% dari output ekonomi globalcxv. Natural Capital Declaration (NCD) adalah inisiatif sektor keuangan yang diluncurkan pada 2012 untuk mengatasi tantangan ini. Lebih dari 40 CEO lembaga keuangan telah meneken NCD, berkomitmen untuk mengintegrasikan pertimbangan modal alam ke dalam pinjaman, investasi dan produk asuransi, serta akuntansi, pengungkapan dan laporan. Hutan termasuk bentuk modal alam terkaya dan paling berharga di dunia, dan risiko deforestasi menjadi isu-isu yang dipertimbangkan dalam NCD. Hutan memompa air, menghilangkan CO2 dari atmosfer, mendukung mata pencaharian dan membentuk perekonomian daerah. Deforestasi memberikan keuntungan jangka pendek untuk sebagian, tapi biayanya pada ekonomi global diperkirakan antara $ 2-5 triliun per tahun. Eksploitasi hutan dan modal alam lainnya secara berlebihan oleh perusahaan memicu degradasi lingkungan. Biaya deforestasi dan perubahan iklim mempengaruhi perusahaan dalam banyak hal, termasuk melalui gejolak harga komoditas, peningkatan biaya input, gangguan usaha dan kehilangan lisensi operasi. Penyedia modal keuangan terekspos risiko kredit tak terduga, 168
aset tercerai, arus kas bergolak dan hasil yang lebih rendah di seluruh kelas aset termasuk pendapatan tetap, ekuitas publik dan swasta dan pembiayaan korporasi dan proyek.
•
Berupaya membangun konsensus global untuk integrasi modal alam ke dalam akuntansi dan pengambilan keputusan sektor swasta.
Seorang investor di London atau Meksiko dapat membiayai skema pengembangan kelapa sawit di Indonesia atau Afrika, sehingga mengakibatkan deforestasi. Biaya investasi ini dalam hal keamanan iklim, makanan, energi dan air tidak mungkin disertakan dalam biaya modal, peringkat kredit, harga saham atau premi asuransi. Namun, biaya ini akan masuk lembar neraca perusahaan, dengan efek tambahan pada risiko kredit dan pengembalian portofolio. Contoh hal seperti ini menggambarkan perlunya lembaga keuangan untuk mengungkap risiko lingkungan yang menyertai produk dan layanan.
•
Mengembangkan metode untuk mengungkapkan dan melaporkan modal alam menggunakan pendekatan Integrated Report.
Liesel van Ast Global Canopy Programme
NCD bekerja sama dengan lembaga keuangan dalam memberikan panduan praktis untuk mengatasi risiko ini. Bersama-sama, Sekretariat NCD, yanf dibentuk UNEP FI dan Global Canopy Programme, Komite Pengarah, dan empat kelompok kerja bertujuan mendukung pengembangan metodologi bagi para profesional pengelolaan aset, keuangan perusahaan, treasury, dan departemen lain untuk mengintegrasikan faktor modal alam dalam penataan produk baru dan pengelolaan risiko produk baru dan lama. Kelompok kerja bertujuan: •
Membangun pemahaman tentang dampak dan ketergantungan modal alam yang relevan dengan rantai nilai lembaga keuangan.
•
Mendukung pengembangan metodologi untuk mengintegrasikan pertimbangan modal alam ke dalam produk dan jasa keuangan. 169
Aktivisme Pemegang Saham
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Aktivisme pemegang saham didefinisikan secara luas sebagai penggunaan hak suara untuk memengaruhi manajemen perusahaan. Bentuknya ada beberapa, termasuk rapat-rapat pribadi antara pemegang saham dan manajemen untuk membahas masalah yang menjadi perhatian, pertanyaan publik di rapat umum tahunan perusahaan atau pertemuan investor, dan pengajuan resolusi pemegang saham untuk meminta aksi tertentu dari tim manajemen. Di AS, proses sering dimulai dengan resolusi pemegang saham, diikuti dengan dialog yang dapat menghasilkan resolusi dan tindakan yang diminta berlangsung. Di daerah lain umumnya percakapan pribadi menjadi titik awal, dengan resolusi pemegang saham dilihat sebagai langkah terakhir. Itu adalah di AS, tempat dimana paling sering terjadi aktivisme pemegang saham publik. Di semester pertama 2013, pemegang saham AS mengajukan sembilan resolusi terkait deforestasi, naik dari enam pada 2012. Delapan resolusi meminta perusahaan menerapkan kebijakan sumber minyak sawit berkelanjutan, dan satu meminta kebijakan yang lebih luas mengenai deforestasi terkait komoditas370. Enam dari sembilan resolusi dibahas perusahaan (termasuk produsen pangan utama seperti Starbucks dan Dunkin ‘Brands), yang bersedia melaksanakan permintaan itu371. Ini menjadi bukti jelas kekuatan pemegang saham aktivis untuk memengaruhi perubahan dan substantif yang cepat dalam organisasi multi-nasional.
170
© Credits
Aktivisme dapat dalam bentuk aksi pemegang saham individu atau kelompok investor. Contoh aksi individu yang paling menonjol adalah keputusan Government Pension Fund of Norway, salah satu pengelola dana terkaya di dunia, pada awal 2013 untuk memperkenalkan kebijakan deforestasi dalam dana investasinya, yang memicu divestasi dari 23 perusahaan kelapa sawit yang dianggap memproduksi kelapa sawit tidak berkelanjutan372. Contoh aksi kelompok adalah aksi Sustainable Palm Oil Investor Working Group di dalam koalisi investor UN Principles for Responsible Investment (UNPRI), organisasi yang mewakili aset lebih dari USD 2 triliun, yang melihat bagaimana investor dapat mengajak perusahaan untuk mendukung pengembangan industri minyak sawit yang berkelanjutan373.
© Baron Visuals
TAHAP
SPEKULASI KOMODITAS PANGAN DAN HUBUNGAN DENGAN DEFORESTASI PENDAHULUAN Spekulasi adalah pembelian dan penjualan suatu aset (misalnya komoditas berbasis lahan) untuk mendapatkan keuntungan dari perubahan harga aset. Spekulan bertujuan mendapatkan keuntungan dari perubahan harga aset antara ketika aset dibeli dan ketika dijual kembali ke peserta pasar laincxvi. Spekulan berkontribusi dalam penentuan harga aset. Mereka membeli ketika aset murah dan menjualnya ketika aset mahal. SPEKULASI DENGAN MENGGUNAKAN DERIVATIF Kegiatan spekulatif memiliki hubungan dengan deforestasi melalui perdagangan jenis keamanan finansial tertentu yang dikenal sebagai derivatif. Ini adalah kontrak antara pembeli dan penjual sehingga keduanya dapat mengurangi (atau menghindari) risiko tidak mampu membeli atau menjual aset dengan harga tertentu dan/atau waktu tertentu di masa depan. Nilai kontrak derivatif berasal dari aset dasar. Misalnya, derivatif membuat produsen dapat menjamin harga aset yang dibayar oleh pembeli pada tanggal tertentu di masa depan. Tetapi untuk melakukannya, kontrak memiliki harga yang sebagian ditentukan oleh nilai aset di pasar terbuka. Dengan menggunakan nilai kontrak, produk derivatif dapat dibeli dan dijual oleh beragam pelaku pasar, sehingga menciptakan pasar dalam kontrak itu. Beberapa peserta pasar keuangan membeli dan menjual derivatif dengan tanpa niat mengambil pengiriman aset yang mendasari (misalnya jagung), tetapi hanya berniat untuk mendapatkan keuntungan dari perubahan jangka pendek dalam nilai kontrak. Ini adalah kegiatan spekulatif, dan dapat memiliki efek pada harga komoditas yang mendasarinya. Hal ini karena hubungan antara harga aset yang mendasari dan nilai 172
kontrak derivatif dapat bekerja di kedua arah. Harga komoditas dapat ditingkatkan oleh perubahan derivatifcxvii, misalnya spekulasi di pasar derivatif dapat menyebabkan kenaikan harga komoditas yang mendasari. EVOLUSI AKTIVITAS SPEKULATIF Jenis pasar tempat aset dibeli dan dijual beragam, misalnya pasar keuangan (saham, obligasi, dll.) atau pasar komoditas. Deforestasi terutama didorong oleh sektor pertanian, dan karena produk pertanian adalah komoditas yang dijual di pasar komoditas, pasar inilah yang menjadi perhatian buku ini. Derivatif komoditas dulunya hanya boleh diperdagangkan untuk memitigasi risiko (dikenal sebagai hedging), pedagang diminta untuk mengungkap kepemilikan aset ini, dan perilaku berisiko terbatas (satu metode untuk mengurangi pengambilan risiko, di antaranya adalah sesuatu yang dikenal sebagai penetapan batas posisi). Pada 2000, suatu jenis derivatif tertentu yang dikenal sebagai derivatif Over-the-Counter (OTC) dibebaskan dari pengawasan di semua pasar AS, termasuk pasar komoditas. Ini mendorong kehadiran bursa tidak diatur dan pintu masuk hedge fund, dana pensiun dan bank investasi tidak terkendali. Peserta tidak lagi harus memiliki aset dasar atau membatasi posisi merekacxviii. Sementara itu, krisis keuangan yang dimulai pada 2008 mengurangi daya tarik investasi di sektor perumahan, investor masih terus mencari sumber hasil alternatif. Akibatnya (dan alasan lainnya), komoditas mulai dipandang sebagai kelas aset lain bagi manajer portofolio. Ini ditunjukkan dari pertumbuhan dana indeks komoditas, yang memberikan investor kesempatan berinvestasi di komoditas pangan dan mengambil posisi harga pangancxix.
KENAIKAN HARGA PANGAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN DEFORESTASI Harga pangan meningkat drastis pada 20072008 dan 2010. Lonjakan ini sebagian diperkirakan akibat peningkatan aktivitas spekulatif pasar komoditas turunan. Penyebab lainnya termasuk yang dikenal sebagai fundamental pasar, misalnya perbedaan antara penawaran dan permintaan komoditas pangancxx,cxxi. Spekulan kerap mengambil posisi besar pada komoditas pangan yang menggunakan derivatif (yaitu membuat taruhan besar pada perubahan harga), sehingga dapat menekan harga pasar dari komoditas pangan dasarcxxii,cxxiii. Peningkatan harga pada gilirannya menciptakan keuntungan lebih tinggi dan mendorong peningkatan produksi komoditas pangan, yang sering berarti pembukaan hutan alam untuk dijadikan perkebunancxxiv. Minyak sawit misalnya, mengalami kenaikan harga yang signifikan pada 2008 dan 2010, hingga di atas USD 1.000/ton. Bagaimanapun, tidak ada bukti konklusif bahwa spekulasi di pasar derivatif komoditas telah mendorong perubahan harga komoditas pangan, dan tidak dapat dinyatakan dengan pasti bahwa spekulasi merupakan pendorong deforestasi. Beberapa pelaku pasar melihat kenaikan harga komoditas sebagai akibat dari perbedaan antara penawaran dan peningkatan permintaan komoditas pangancxxv,cxxvi. Namun, mereka mengakui spekulasi yang berlebihan di pasar dapat meningkatkan gejolak dan untuk sementara mendistorsi fungsi pasar yang sebenarnya. Nick Oakes Global Canopy Programme
173
KATALISATOR PERATURAN
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Kejelasan Kepemilikan Lahan
Tarif Impor
Kepemilikan lahan dapat ditetapkan sebagai seperangkat hak yang menentukan akses, penggunaan, pengelolaan, ekslusi dan pengasingan (hak menjual atau mengalihkan kepemilikan) tanah dan sumber daya374. Kepemilikan lahan yang jelas dan aman dapat berdampak positif atau negatif terhadap deforestasi tergantung keadaan ekonomi dan sosial.
Bea masuk atas impor disebut tarif impor381. Menerapkan tarif impor diferensial sebagai ukuran sisi permintaan pada komoditas berbasis lahan yang diproduksi tidak berkelanjutan dapat mengurangi perdagangan dan konsumsinya. Ini dapat dicapai dengan menurunkan tarif komoditas berkelanjutan dan/atau menaikkan tarif komoditas tidak berkelanjutan. Meski tidak ada preseden jelas yang telah ditetapkan untuk menerapkan tarif impor diferensial pada komoditas, keberadaan tarif Uni Eropa preferensial untuk impor dari negara-negara berkembang tertentu dan kriteria keberlanjutan untuk biofuel dalam Renewable Energy Directive * Uni Eropa menunjukkan bahwa tarif impor diferensial tidak akan memicu sengketa WTO (lihat halaman 176)382,383, selama pemerintah memenuhi prinsip-prinsip WTO ketika menetapkan produk yang berkelanjutan dan tidak berkelanjutan. Setiap potensi sengketa juga harus dihindari dengan membentuk perjanjian perdagangan multilateral atau bilateral antara produsen utama dan negara-negara pengimpor dan dengan membatasi perdagangan antara negara-negara itu pada definisi produk berkelanjutan yang disepakati384. Perjanjian ini berpotensi dijadikan model di sepanjang jalur ‘perjanjian kemitraan sukarela’ yang digunakan menurut FLEGT ( lihat halaman 180).
Misalnya, menjamin kepemilikan membuat pemilik tanah dapat memperhitungkan nilai-nilai potensi lahan mendatang ke dalam pengambilan keputusan saat ini. Seringkali ini dapat menyebabkan manajemen lebih berkelanjutan sumber daya hutan, tetapi di lain hal dapat menyebabkan investasi dalam pembangunan pertanian, yang sering dikaitkan dengan dampak negatif pada tutupan hutan375,376. Meski secara seimbang jaminan kepemilikan lahan dikaitkan dengan penurunan hilangnya hutan377,378, yang menentukan apakah peningkatan kepastian kepemilikan berdampak positif atau negatif terhadap hutan adalah kompleks dan spesifik. Misalnya, penelitian menunjukkan dalam jangka pendek, jaminan kepemilikan kerap memicu peningkatan persaingan untuk tanah, konflik dan perilaku cari sewa379. Karena itu sikap pemilik tanah, batasan budaya, peraturan yang ada dan insentif yang tersedia merupakan faktor penting dalam menentukan dampak akhir perbaikan jaminan kepemilikan dan menjamin kepemilikan saja tidak cukup untuk melindungi hutan. Sebaliknya, kepemilikan lahan yang jelas dan pasti menjadi faktor penting yang memungkinkan pelaksanaan banyak katalisator lain secara efektif, yang memicu efek pengali terhadap dampak dan kelayakan pengembangan proyek REDD + (lihat halaman 188) dan inisiatif produktivitas pertanian, misalnya (lihat halaman 138 ). Ini terutama karena kejelasan dan keamanan kepemilikan lahan menurunkan risiko keuangan investasi sektor publik dan swasta dalam strategi lahan dan penggunaan lahan, dan memungkinkan perencanaan strategis jangka panjang, dan manajemen sumber daya yang lebih efektif380. Namun, klarifikasi kepemilikan lahan dapat menjadi proses yang panjang dan mahal dan menuntut komitmen politik yang kuat. Setelah tercapai, biasanya melalui reformasi legislatif atau cara lain klarifikasi lainnya, investasi sangat besar diperlukan dalam penegakan hukum dan pemantauan untuk memastikan bahwa hak-hak ditegakkan dalam prakteknya.
176
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Kurangnya kemauan politik dapat menjadi hambatan bagi keberhasilan dan ketahanan jangka panjang tarif impor diferensial di pasar yang menuntut kenaikan pajak pada komoditas berkelanjutan. Karena bea masuk Uni Eropa pada komoditas berbasis lahan sangat rendah385, cakupan terbesar bagi dampak pengurangan tarif pada komoditas berkelanjutan adalah pada pasar impor komoditas hutan yang luas seperti India dan China, di mana tarif untuk komoditas yang lebih tinggi. Namun, kedua negara konsisten menentang langkah-langkah lingkungan yang terkait dengan perdagangan dalam WTO386. Membedakan antara komoditas ‘berkelanjutan’ dan ‘tidak berkelanjutan’ juga menuntut pemisahan penuh dan ketertelusuran komoditas berbasis lahan di sepanjang rantai pasokan. Ini mungkin akan melampaui sistem yang ada, misalnya minyak sawit keseimbangan massal (campuran minyak sawit bersertifikat dan tidak bersertifikat), yang saat ini diizinkan dalam sertifikasi RSPO , kemungkinan harus dikecualikan . Faktorfaktor ini, bersama dengan UU dan perbaikan ketertelusuran, dapat membatasi seluruh ukuran dan akses produsen ke pasar komoditas berkelanjutan, dan membatasi pelaksanaan yang cepat. 177
INTERAKSI ATURAN WTO DENGAN TINDAKAN UNTUK MEMBATASI PERDAGANGAN KOMODITAS BERKELANJUTAN Implikasi hukum dan ekonomi dari interaksi antara kebijakan lingkungan dan perdagangan telah banyak diperdebatkan, khususnya sejak dibentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 1995. Perjanjian lingkungan multilateral (MEA) yang ada, misalnya United Nations Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), dan berbagai tindakan yang diadopsi pemerintah beberapa tahun terakhir untuk mengecualikan kayu ilegal dari perdagangan internasional, menunjukkan kebijakan lingkungan yang mempengaruhi perdagangan dapat diterapkan tanpa memicu sengketa WTO. Meski pemerintah memiliki kebebasan untuk memperkenalkan langkah-langkah pembatasan perdagangan, mereka harus menyadari hambatan-hambatan akibat aturan WTO. Perjanjian WTO mengatur prinsip-prinsip luas untuk menghapus hambatan perdagangan internasional. Tantangan dan perselisihan WTO berpusar pada penafsiran yang berkembang mengenai prinsip-prinsip kunci ini. Anggota WTO terutama tidak diizinkan untuk membedakan antara ‘produk serupa’ yang diperdagangkan produksi anggota WTO lainnya, atau antara ‘produk serupa’ domestik dan internasional (‘produk serupa’ tidak dijelaskan dalam perjanjian WTO, dan definisinya dapat kontroversial). Pembatasan selain bea masuk, pajak dan biaya- biaya lain atas impor dari dan ekspor ke anggota WTO lainnya dilarang. Namun, perjanjian WTO memberikan pengecualian atas prinsip-prinsip ini pada situasi tertentu, termasuk ‘tindakan yang diperlukan untuk melindungi manusia, hewan atau tanaman kehidupan atau kesehatan’ dan ‘langkah-langkah yang berkaitan dengan konservasi sumber daya alam yang dapat habis jika langkah-langkah itu dilakukan 178
efektif bersama dengan pembatasan produksi atau konsumsi dalam negeri’. Secara umum, langkah-langkah perdagangan yang menyimpang kurang dari prinsip inti nondiskriminasi WTO dalam perdagangan tidak mungkin memicu sengketa. Persoalan utama adalah apakah komoditas berkelanjutan dan tidak berkelanjutan dapat dipisahkan berdasarkan proses dan metode produksinya, atau apakah sebenarnya ‘produk serupa’ sehingga tidak dapat dipisahkan. Secara teori, langkah-langkah berikut ini dapat diadopsi oleh pemerintah untuk mengatasi penggerak deforestasi terkait komoditas: 1.
Kebijakan pengadaan publik yang mewajibkan pemerintah membeli komoditas berkelanjutan (misalnya target pemerintah Inggris menggunakan penawaran makanan dan katering 100% dari sumber minyak kelapa sawit berkelanjutan pada akhir 2015).
2.
Perjanjian bilateral atau multilateral antara negara pengimpor dan pengekspor untuk membatasi perdagangan pada produk ‘berkelanjutan’ (misalnya Voluntary Partnership Agreements dalam mekanisme Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) EU yang dirancang untuk memerangi perdagangan kayu ilegal).
3.
Tarif impor diferensial untuk komoditas berkelanjutan dan tidak berkelanjutan.
4.
Peraturan pemerintah lainnya, misalnya untuk biofuel, membedakan antara komoditas atas dasar dampaknya pada lingkungan.
perusahaan swasta memiliki kebebasan penuh untuk mengontrol rantai pasokan mereka. Pemerintah dapat memainkan peran penting dalam mendukung inisiatif sektor swasta dan industri yang mempromosikan produksi dan konsumsi komoditas berkelanjutan tanpa berimplikasi pada WTO. Ini termasuk antara lain, komitmen sukarela untuk mengurangi deforestasi (misalnya tujuan Consumer Goods Forum nol deforestasi pada 2020), inisiatif sertifikasi, dan pengembangan dan penyebaran praktek-praktek terbaik. Duncan Brack Associate Fellow, Chatham House; Associate, Forest Trends
Aturan WTO hanya berlaku untuk pemerintah nasional dan oleh karena itu perusahaan179
Hukum Internasional Dan Perjanjian Bilateral
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
* Forest Law Enforcement, Governance and Trade. ** Berdasarkan Pasal 18(4) EU-RED.
180
Hukum dan perjanjian internasional dapat memberikan arsitektur regulasi untuk memandu upaya global dalam mengurangi produksi atau perdagangan komoditas hutan ilegal atau tidak berkelanjutan pada sisi permintaan maupun penawaran pasar. Perjanjian lingkungan multilateral (MEA) utama yang relevan seperti CITES, dapat mengikat Negara Penanda Tangan secara hukum untuk meratifikasi. Meskipun UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tidak mengikat, ‘protokol’ traktat seperti Protokol Kyoto, yang menetapkan batas emisi wajib, mengikat secara hukum. MEA tidak hanya alat hukum - biasanya, negara-negara peratifikasi menawarkan bimbingan teknis yang jelas disertai dukungan keuangan untuk melaksanakan tindakan untuk mencapai tujuan traktat (seperti pada REDD+). Perjanjian perdagangan bilateral, seperti Voluntary Partnership Arrangements (VPA) dari rencana aksi EU Forest Law Enforcement Governance and Trade * (FLEGT), menyajikan opsi kebijakan lain untuk mengatasi deforestasi dari komoditas berbasis lahan. FLEGT VPA berusaha untuk mengecualikan kayu ilegal dari pasar Uni Eropa sambil meningkatkan akses negara mitra ke pasar Uni Eropa untuk kayu legal (lihat halaman 180). Implementasi perjanjian bilateral juga sering dikaitkan dengan provisi Bantuan Teknis tambahan (lihat halaman 151) untuk negara-negara mitra. Dalam kasus FLEGT, Bantuan Teknis telah membangun kapasitas nasional, dan mendukung review atau reformasi UU nasional yang relevan untuk mengurangi deforestasi dari rantai pasokan komoditas, termasuk pengembangan sistem ketertelusuran untuk mendukung penegakan hukum dan pemantauan kegiatan387. Hingga kini, FLEGT VPA hanya mengatasi masalah ilegalitas di sektor perkayuan. Namun, mungkin ada opsi untuk menggali penerapan mekanisme jenis VPA dalam perjanjian bilateral baru untuk menaikkan permintaan komoditas hutan berkelanjutan, seperti minyak sawit dan kedelai388. Beberapa pertimbangan telah diberikan mengenai kelayakan perjanjian bilateral dalam memenuhi kriteria keberlanjutan EU Renewable Energy Directive (EU-RED)**,389. Namun, pemerintah juga harus menyadari kendala- kendala oleh aturan WTO, terutama ketika menerapkan ‘keberlanjutan’ kriteria untuk komoditas hutan (lihat halaman 176))390.
© Steven Worster
TAHAP
PENGUATAN TATA KELOLA HUTAN DI NEGARA EKSPORTIR KAYU MELALUI FLEGT VPA Voluntary Partnership Agreement (VPA) merupakan salah satu instrumen Rencana Aksi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) 2003, inisiatif Uni Eropa untuk mengatasi kayu ilegal dan perdagangan terkait dan mempromosikan tata kelola di sektor kehutanan. EU Timber Regulation, instrumen lainnya, diperkenalkan pada halaman 184. Instrumen lain termasuk kegiatan yang terkait dengan kebijakan pengadaan publik, inisiatif sektor swasta, pembiayaan dan investasi, langkah legislative yang ada, dan kayu konflik. VPA merupakan perjanjian perdagangan bilateral antara Uni Eropa dan negaranegara eksportir kayu. VPA bersifat sukarela, namun mengikat secara hukum setelah disetujui. Sejak 2004, enam negara * telah menyelesaikan VPA dengan Uni Eropa dan tujuh** sedang dalam proses negosiasi lainnya. Sejumlah Negara lain sedang mempertimbangkan terlibat. VPA terbukti efektif dalam menciptakan ruang untuk perbaikan tata kelola hutan. Dengan mandat membangun konsensus di negara terkait, VPA telah mendorong para pemangku kepentingan untuk berunding dan menyediakan forum diskusi tentang reformasi sektor kehutanan. •
Di Republik Kongo, proses VPA memicu penciptaan platform masyarakat sipil yang tidak memiliki tradisi terlibat dalam masalah hutan.
•
Di Kamerun dan Ghana, pejabat mengatasi keengganan pemangku kepentingan untuk memulai terlibat, dan perdebatan sengit tentang tata kelola hutan di antara semua pemangku kepentingan berlanjut saat VPA diterapkan.
182
•
Di Indonesia, para pejabat pemerintah, pemimpin sektor swasta dan jaringan organisasi masyarakat sipil telah membentuk sistem verifikasi legalitas kayu nasional terpercaya.
Negara Mitra VPA telah menggunakan proses negosiasi untuk mempercepat perubahan dalam isu-isu sulit yang melampaui legalitas ekspor kayu:
makin meningkat. Promosi keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan yang transparan dan inklusif bertujuan untuk meningkatkan tata kelola hutan dan menghentikan praktekpraktek ilegal adalah langkah pertama menuju pembicaraan yang lebih besar tentang rencana penggunaan lahan yang menghentikan deforestasi. VPA menyediakan model untuk melakukan ini.
•
Di Republik Kongo, UU itu telah melewati Hukum Masyarakat Adat, yang merupakan persyaratan sebelum otoritas mengeluarkan lisensi FLEGT.
EU FLEGT Facility
•
Di Liberia, VPA telah menjadi saluran untuk mengekspos penyalahgunaan izin penebangan penggunaan pribadi, sementara di Kamerun pemerintah dan masyarakat sipil telah menyusun rencana anti-korupsi.
•
Studi terbaru oleh Mary Hobley dan Marlene Buchycxxvii menyimpulkan bahwa VPA dapat berkontribusi penting untuk mengentaskan kemiskinan, dan juga untuk tujuan pembangunan di banyak negara penghasil kayu.
Komoditas lain yang mempengaruhi deforestasi di mana praktek-praktek ilegal atau tidak berkelanjutan menimbulkan tantangan dapat melihat pelajaran dan pengalaman VPA dalam mempromosikan dialog dalam negeri tentang isu-isu ini. Pembukaan hutan illegal untuk produksi minyak sawit dan kedelai, atau untuk memelihara ternak, merupakan contoh nyata, dan akan dibahas pada bagian lain dari buku ini. Perubahan penggunaan lahan diduga akan terus meningkat karena permintaan konsumen di negara berkembang dan maju
* **
Kamerun, Republik Afrika Tengah, Ghana, Indonesia, Liberia dan Republik Kongo. Republik Demokratik Kongo, Gabon, Guyana, Honduras, Malaysia, Vietnam dan Pantai Gading. 183
Undang-Undang Nasional
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
UU nasional untuk mengurangi deforestasi dapat menjangkau beragam regulasi, insentif dan kebijakan yang dapat memiliki dampak besar pada semua tahap rantai pasokan komoditas berbasis lahan. UU dapat beroperasi di semua tingkatan , dari ‘sisi penawaran’ ( di mana komoditas ditanam atau bersumber), ke ‘sisi permintaan ‘ (biasanya di negara pememakan atau pengolah komoditas) . UU sisi permintaan sering menargetkan produksi komoditas ilegal. Misalnya , amandemen Lacey Act AS pada 2008 menyatakan illegal terhadap perdagangan tanaman atau produk satwa liar yang sumbernya melanggar hukum negara bagian AS atau hukum domestik asing 391,392. Negara-negara lain memiliki larangan legislatif serupa, misalnya Illegal Logging Prohibition Act Australia (2012) , dan EU Timber Regulation ( lihat halaman 184). UU sisi permintaan juga dapat mencakup pedoman label atau larangan impor produk yang tidak memenuhi kriteria keberlanjutan, namun potensi efek hambatan prinsip Organisasi Perdagangan Dunia harus dipertimbangkan (lihat halaman 176). Sebaliknya, penurunan penawaran komoditas berbasis lahan dapat dicapai melalui sejumlah langkah, seperti penetapan kawasan lindung atau cadangan ekstraktif393,394. Inisiatif tersebut seringkali paling efektif jika diberlakukan bersama dengan reformasi yang lebih luas. Misalnya, pengurangan deforestasi yang cepat di Kosta Rika didorong oleh larangan perubahan tutupan lahan di hutan, dikombinasikan dengan insentif hukum dan fiskal untuk reboisasi, dan skema pembayaran jasa lingkungan (PES)395. Low Carbon Agriculture Plan di Brasil bertujuan membatasi deforestasi dan menjamin pembangunan pertanian terencana dengan menolak akses kredit petani sampai kepatuhan mereka pada Brazilian Forest Code terbukti396. Inisiatif lain, seperti program sertifikasi Sustainable Palm Oil (ISPO) di Indonesia, juga berupaya untuk menetapkan dan menegakkan standar keberlanjutan produksi nasional. Akhirnya, efektivitas dan ketahanan UU itu dihubungkan dengan penegakan hukum dan pemantauan kepatuhan (lihat halaman 143). Akibatnya, dukungan internasional diperlukan untuk membangun dan menerapkan undang-undang sisi penawaran, dan meskipun tahan terhadap perubahan nanti, reformasi legislatif biasanya butuh skala waktu menengah dan panjang untuk implementasi.
184
© Neil Palmer, CIAT
TAHAP
PENYELARASAN PASAR INTERNASIONAL: KEMUNCULAN UNDANG-UNDANG ANTI-PENEBANGAN LIAR
Supaya perusahaan mematuhi UU ini, akses informasi terpercaya tentang asal usul kayu sangat penting. Saat ini, informasi yang diperlukan perusahaan untuk menilai risiko kayu ilegal dalam rantai pasokan mereka (misalnya spesies dan negara asal) sulit dicari, sumber sentral tidak ada. Dalam EUTR , jika suatu perusahaan mencurigai mereka terpapar risiko kayu ilegal mereka diminta melakukan langkah-langkah mitigasi risiko. Langkahlangkah ini mulai dari melakukan verifikasi independen untuk mengumpulkan buktibukti sumber penawaran kayu. Memutuskan tindakan yang diterapkan adalah tanggung jawab masing-masing perusahaan. Yang keliru, banyak perusahaan meminta supplier memberikan dokumen “bukti legalitas” resmi, namun penilaian keabsahan dokumendokumen inilah sebagai bagian dari due diligence yang diharuskan dalam EUTR. Meminta informasi tambahan dari supplier merupakan langkah penting, akan tetapi meminta informasi kepada supplier jarang mendapat jawaban yang jelas, sehingga perusahaan harus menerapkan pengetahuan dan penilaian mereka sendiri mengenai informasi yang mereka harus serahkan. Bagi penyuplai ke pasar ini, jelas bahwa meski tindakan memverifikasi kontrol rantai pasokan maupun praktek-praktek pengelolaan hutan 186
bukan jaminan untuk menghindari kayu ilegal, keduanya merupakan opsi terbaik dan paling logis. Akhirnya ada perbedaan di antara ketiga UU; terutama dalam bentuk kontrol perbatasan dan penegakan hukum. Lacey Act AS mengharuskan deklarasi perbatasan dalam banyak kasus sementara EUTR tidak. Namun dalam aturan EUTR cara operator menilai risiko ilegalitas (due diligence) juga harus mendapat pengawasan. Konsekwensinya, suatu perusahaan dapat membeli kayu seluruh kayu legal, akan tetapi jika perusahaan belum melakukan penilaian risiko, itu merupakan pelanggaran menurut EUTR. Namun, UU Uni Eropa, AS dan Australia pokoknya memiliki kesamaan; semua mempertimbangkan legalitas dari segi hukum di negara asal, dan menetapkan perdagangan kayu ilegal di pasar sebagai pelanggaran. UU itu benar-benar bertujuan menjamin pembeli tahu rantai pasokan mereka, yang bagi setiap perusahaan harus praktek bisnis yang sehat. Apakah UU itu langsung mengatasi deforestasi? Mungkin, jika pasokan tertentu terbukti bersumber dari konversi ilegal, atau melebihi laju penebangan. Namun, dampak tidak langsung yang lebih besar akan tercapai ketika perusahaan cerdas melakukan due diligence pada semua komoditas berdampak hutan, termasuk produk-produk minyak sawit dan kedelai - langkah logis untuk mengetahui rantai pasokan Anda di dunia sumber daya yang aman, pasti? Rachel Butler Independent Technical Advisor to the European Timber Trade Federation
© Mokhammad Edliadi, CIFOR
Pengenalan EU Timber Regulation (EUTR, Maret 2013) baru-baru ini mengikuti amandemen Lacey Act AS (2008). Hukum ketiga, Illegal Logging Prohibition Act di Australia (2012), akan berlaku penuh mulai November 2014. Undang-undang ini berusaha untuk membatasi akses produk kayu dan kayu penebangan liar ke pasar mereka dengan menjadikan penjualan kayu hasil penebangan liar sebagai pelanggaran, dan menuntut perhatian pada risiko bahwa kayu telah ditebang secara liar.
Perencanaan Dan Koordinasi Nasional TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Perencanaan nasional terkoordinasi meliputi integrasi kebutuhan sumber daya masa depan di semua departemen pemerintah dan badan-badan publik terkait untuk mencapai sasaran lingkungan, sosial dan ekonomi. Seringkali banyak rencana nasional yang menyasar prioritas berbeda, misalnya keanekaragaman hayati, energi, dan perubahan iklim. Namun, kapasitas teknis yang rendah, komunikasi antar pemerintah yang buruk , dan akses terbatas pada data terpercaya di banyak negara hutan tropis, dikombinasikan dengan tumpang tindih mandat departemen dan sumber daya terbatas, dapat mendorong perumusan rencana nasional yang dapat mengghasilkan strategi pembangunan yang saling bertolak belakang, dan menunjukkan prioritas yang bertentangan. Salah satu hasil dari konflik ini adalah tumpang tindih dan pertentangan rencana penggunaan lahan, yang dapat mengurungkan perusahaan dan investor terlibat di sektor kehutanan dan pertanian, dan dapat menunjukkan risiko keuangan signifikan. Contoh, studi terbaru menunjukkan 31% konsensi tambang komersial, kayu dan pertanian (menurut wilayah) kerap tumpang tindih dalam banyak hal dengan lahan adat, sehingga memicu risiko pada nilai produksi pertanian yang bernilai USD 5 miliar397.
emisi, keamanan pangan, dan target ekspor komoditas). Di Brasil, misalnya, zonasi agroekologi tebu, yang bertujuan memberi manfaat sosial dan ekonomi sambil meminimalkan dampak lingkungan, menggunakan kriteria ekologi untuk menentukan daerah budidaya tebu - ini tidak termasuk Amazonia. Akses produsen ke pinjaman juga tergantung kepatuhan pada zonasi399.
Karena itu, untuk mengurangi deforestasi, sangat dibutuhkan perencanaan nasional yang terkoordinasi yang menggabungkan masukan dari semua departemen pemerintah terkait (misalnya pertambangan, kehutanan, pertanian, transportasi , energi, lingkungan dll.) di tingkat nasional dan sub-nasional, dan melibatkan konsultasi luas pemangku kepentingan dengan masyarakat sipil, sektor swasta melalui proses persetujuan atas dasar informasi awal dan tanpa paksaaan/Padiatapa (FPIC) dari masyarakat. Inisiatif ‘One Map’ di Indonesia, misalnya, berusaha untuk membuat peta penggunaan lahan nasional tunggal yang menggunakan metodologi standar dan basis data tunggal , untuk secara radikal memperbaiki perencanaan pembangunan398. Untuk mengurangi deforestasi dari rantai pasokan komoditas berbasis lahan, pendekatan ini dapat diperluas di sektor kehutanan dan pertanian di negara-negara hutan tropis lainnya supaya produksi komoditas dapat memenuhi tujuan yang beragam dan berpotensi bertentangan (misalnya, penurunan kemiskinan, penurunan
188
189
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
REDD+
Subsidi
Mekanisme UNFCCC untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi serta untuk menjaga dan meningkatkan stok karbon hutan (REDD+) memberikan peluang unik untuk membalikkan tren deforestasi dan degradasi hutan yang sedang berlangsung dan meningkatkan pengelolaan hutan berkelanjutan di negaranegara hutan tropis. Untuk menerapkan strategi REDD+ nasional, memprioritaskan tindakan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan akibat rantai pasokan komoditas pertanian hutan sangat penting400.
Subsidi adalah bentuk insentif ekonomi terarah yang disediakan pemerintah - atau badan publik - yang dapat menguntungkan produsen atau konsumen melalui transfer dana langsung, provisi barang dan jasa (misalnya input produksi), atau melalui pendapatan terdahulu (misalnya pembebasan pajak - lihat halaman 190)405. Ketersediaan dan provisi subsidi kedelai, ternak, minyak sawit, dan bahan bakar nabati dapat berdampak langsung pada profitabilitas, dan karenanya tingkat dan intensitas, komoditas ini diproduksi406.
Pembayaran untuk penurunan emisi terverifikasi dari REDD+ dapat menjadi sumber pendanaan alternatif bagi para pemilik hutan untuk mencari keuntungan ekonomi dari hutan tegak, khususnya di daerah yang terancam penebangan kayu serta memiliki nilai ekonomi untuk konversi pertanian. Namun, masih diperdebatkan apakah estimasi hasil REDD+ per hektar, meskipun berfluktuasi, akan sesuai dengan potensi keuntungan dari produksi minyak sawit401. Meski demikian, ketika jasa ekosistem lain seperti provisi air bersih dan keanekaragaman hayati dipertimbangkan, pembayaran dari REDD+ yang relatif rendah membuat pengembangan proyek REDD+ sebagai alternatif menarik dan jelas untuk konversi pertanian atau penebangan kayu402. Pembayaran REDD+ dari proyek-proyek karbon sukarela juga dapat menjadi sumber pendapatan berkelanjutan untuk membangun atau memelihara kawasan hutan lindung dan mendukung inisiatif pengelolaan hutan yang lebih baik. Selain itu, pendanaan internasional dari sektor publik untuk kegiatan persiapan REDD + dapat mendukung perbaikan penegakan hukum dan pemantauan, hak kepemilikan lahan yang jelas, dan pembangunan kapasitas kelembagaan. Perbaikan ini nantinya berkontribusi pada upaya sektor publik yang mendukung peralihan ke produksi komoditas pertanian berkelanjutan dan pengurangan emisi gas rumah kaca nasional. Karena itu, REDD+ dapat menjadi kontributor signifikan untuk mengurangi perluasan pertanian ke area hutan baru, terutama ketika diterapkan bersama katalis keuangan dan kelembagaan lainnya403. Potensi dampak REDD+ akan menguat jika perjanjian dibuat oleh UNFCCC yang menyelesaikan arsitektur untuk mekanisme REDD+ global, terjadi sebelum 2020. Supaya benar-benar efektif, strategi mitigasi REDD+ dan rencana pertanian harus terintegrasi dalam skala lanskap dan jalur pembangunan pertanian ‘climate smart’404.
190
Pemerintah dapat memberikan subsidi kepada petani berdasarkan jumlah tanaman yang dihasilkan, supaya petani tetap bekerja dan harga pangan rendah. Subsidi produksi dapat ditargetkan pada perusahaan yang bergerak dalam proyek pertanian atau kehutanan berdampak rendah, atau diarahkan jauh dari kegiatan konversi/ produksi dan pengolahan yang tidak berkelanjutan dalam rantai pasokan untuk mendorong penurunan deforestasi. Misalnya, dalam rantai pasokan daging sapi subsidi dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas di lahan rumput yang ada, atau untuk mengurangi biaya produksi pada lahan kritis, sehingga mengurangi permintaan pembukaan hutan. Begitu juga, subsidi kepada produsen yang terlibat dalam sistem produksi yang lebih berkelanjutan (misalnya komoditas “hijau”) dapat meningkatkan pendapatan, dan karenanya mempromosikan komoditas itu.
TAHAP
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Subsidi juga dapat diberikan kepada lembaga keuangan untuk mendukung pembayaran premi asuransi atau jaminan kredit (lihat halaman 161 dan 164), atau pembayaran bunga pinjaman. Dimasukkannya kriteria ‘pencegahan deforestasi’ dalam alokasi subsidi ini dapat memastikan bahwa subsidi hanya ditujukan pada proyek-proyek yang berdampak rendah terhadap hutan tropis. Penghapusan subsidi yang ada juga dapat berdampak tidak langsung terhadap tutupan hutan. Misalnya, pemerintah dapat mengurangi insentif untuk membuka jalan baru yang digunakan untuk mengakses sumber daya alam. Penerapan subsidi juga dapat memiliki dampak yang tidak diinginkan. Contoh, di AS, subsidi untuk bioetanol jagung mempercepat pergeseran produksi dari kedelai ke jagung di banyak pertanian AS. Namun karena permintaan kedelai global tetap tinggi, produksi hanya bergeser ke daerah tropis, seperti Brasil, ini menjadi pendorong utama deforestasi di Cerrado dan bioma Amazon407. 191
Insentif Pajak
KETAHANAN
TINGKAT
SKALA WAKTU
PELAKSANA
Pajak lingkungan diterapkan untuk mempromosikan perilaku lingkungan yang positif408, sementara insentif pajak lingkungan, seperti kredit pajak dan pembebasan pajak, adalah pengurangan jumlah pajak yang harus dibayar kepada pemerintah sebagai imbalan perbaikan perilaku409. Insentif pajak positif umumnya diberikan kepada individu atau perusahaan, dan untuk tujuan yang berbeda. Misalnya, untuk mendukung pertumbuhan di pasar kayu bersertifikat , pemerintah dapat memberikan insentif pajak kepada pemilik tanah yang menghasilkan kayu bersertifikat. Insentif pajak positif dapat mendukung profitabilitas rantai pasokan komoditas hutan yang berdampak rendah pada tutupan hutan dan/atau akses organisasi terhadap modal dengan mengurangi pajak yang dibayar untuk input fisik (misalnya bahan baku, bantuan teknis, dll.) dan output dari kegiatan organisasi (misalnya kayu bersertifikat, pengurangan emisi karbon dll.). Ini akan mengurangi biaya operasi kegiatan ramah hutan, sehingga mengurangi risiko suatu kegiatan tidak menguntungkan. Atau, insentif pajak dapat mengurangi pajak yang dibayar oleh investor dalam proyek (misalnya pajak atas pembayaran bunga kepada kreditur yang menawarkan pinjaman). Ini pada gilirannya menurunkan biaya modal sumber dan mengurangi risiko hasil lebih rendah ke investor dari yang diharapkan. Pajak lingkungan juga dapat meningkatkan biaya produk tertentu bagi konsumen dan pengecer untuk menurunkan permintaan. Selain biasanya mengalir ke dana pemerintah umum410, penerimaan pajak juga dapat diperuntukkan untuk mendanai aksi lingkungan yang positif. Misalnya 3,5% dari pajak bahan bakar fosil Kosta Rika digunakan untuk skema Payment for Environmental Services (PSA) yang difokuskan pada pelestarian hutan411. Agar pajak lingkungan efektif dan tahan dalam menurunkan deforestasi, pajak itu harus dikenakan secara langsung pada penggerak deforestasi; harus ada alternatif yang hemat biaya untuk industri dan konsumen (seperti produksi komoditas berkelanjutan), yang membutuhkan investasi dalam inovasi (misalnya subsidi, lihat halaman 189) dan ketersediaan kredit (lihat halaman 159) untuk menutupi biaya transisi ke rantai pasokan yang berkelanjutan; pajak harus ditegakkan; dan upaya untuk mengurangi potensi kebocoran melalui kerjasama dan perundang-undangan internasional harus dilakukan.
192
© Neil Palmer, CIAT
TAHAP
ANALISIS KESENJANGAN DAN KESIMPULAN
Rangkuman Produksi dan perdagangan komoditas utama berbasis lahan kelapa sawit, kedelai, daging sapi dan kayu, bubur kertas dan kertas - merupakan pendorong langsung deforestasi dan degradasi tropis terbesar di dunia. Hilangnya hutan mengancam keanekaragaman hayati dunia dan ketahanan jasa ekosistem. Komoditas yang mendorong langsung deforestasi dipengaruhi interaksi yang kompleks dan sesuai dengan konteks dengan serangkaian penyebab dasar, seperti pertumbuhan penduduk dunia, tata kelola yang buruk, dan kemiskinan. Dalam lanskap ini, perubahan iklim bertindak sebagai kemungkinan pendorong deforestasi dan pengganda ancaman terhadap penyebab dasar lainnya.
dapat ditemukan di seluruh dunia. Kendati demikian pasar Uni Eropa, dan AS, serta Cina dan India sangat penting terkait dengan pelaksanaan solusi sisi permintaan terhadap deforestasi. PELUANG UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN
Analisis katalisaator yang ada dalam kerangka yang digambarkan dalam buku ini juga menekankan beberapa peluang untuk melakukan tindakan. •
Sebagian besar katalisator mengatasi tahap produksi/ konversi atau eceran/konsumsi pada rantai pasokan. Sangat sedikit inisiatif yang khusus berfokus pada mendorong keberlanjutan dan memastikan transparansi dalam tahap pengolahan atau perdagangan/distribusi, atau keseluruhan rantai pasokan. Hal ini menyoroti peluang untuk berfokus pada menguji dan memperluas katalisator yang terkait dengan tahap ‘bayangan’ ini.
•
Selain itu, katalisator dengan ketahanan tertinggi terhadap perubahan biasanya adalah katalisator yang butuh waktu paling lama untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, perhatian khusus harus diberikan untuk meningkatkan ketahanan katalisator yang dapat cepat dilaksanakan (misalnya moratorium), sementara mengupayakan solusi jangka panjang, misalnya dengan mengkaitkan inisiatif ini dengan reformasi perundang-undangan jangka panjang.
•
Selain itu, ada beberapa katalisator keuangan, peraturan atau rantai pasokan yang diarahkan dan dilaksanakan hanya oleh sektor swasta. Dalam sektor ini, lebih sedikit perangkat yang digambarkan mengandalkan kepemimpinan investor dan lembaga keuangan untuk mempengaruhi perubahan. Mayoritas katalisator sedang dilaksanakan, dan sebagian besar didanai oleh aktor sektor pemerintah. Hal ini merupakan peluang besar bagi sektor swasta untuk ambil tindakan guna secara proaktif mengatasi masalah ini, serta risiko utama bagi keberlanjutan model usaha mereka dalam jangka panjang.
KARAKTERISTIK DAN KECENDERUNGAN SAAT INI
Untuk sepenunya memahami ketergantungan dan interaksi dalam dan di antara penyebab dasar dan komoditas yang mendorong deforestasi, karakteristik rantai pasokan komoditas berbasis lahan yang terlibat harus dikenali terlebih dahulu. •
Rantai pasokan komoditas berbasis lahan sangat kompleks dan tidak transparan. Sebelum produk akhir yang mengandung salah satu komoditas ini mencapai konsumen akhir, baik itu pembeli di supermarket atau pengguna industri, produk tersebut telah berubah dan diangkut beberapa kali, melewati puluhan tahap, dan melintasi berbagai negara dan benua.
•
Mayoritas produksi dan deforestasi akibat komoditas berbasis lahan saat ini sangat terkonsentrasi di sejumlah kecil negara di Amerika Latin dan Asia Tenggara. Namun, tanpa intervensi, produksi industri kemungkinan akan menyebar ke kawasan lain seperti Congo Basin. Sejumlah pedagang komoditas internasional juga mendominasi perdagangan global sebagian besar komoditas pertanian berbasis lahan. Meskipun pengolahan dan manufaktur berlangsung di seluruh dunia, Cina punya peran yang relevan sebagai penghubung pengolahan komoditas berbasis lahan.
•
196
Bertentangan dengan sangat terkonsentrasinya produksi dan perdagangan tersebut, pasar konsumen komoditas berbasis lahan dan produk yang mengandung komoditas ini
197
Hambatan Untuk Pelaksanaan Efektif Mayoritas dari 24 katalisator yang dijelaskan dalam buku ini sedang digunakan aktor sektor pemerintah dan swasta, dan sebagian besar digunakan khusus untuk menangani deforestasi dan degradasi hutan. Oleh karena itu, pertanyaan pentingnya adalah, mengapa penggunaan katalisator ini belum menghasilkan banyak keuntungan dalam mengurangi deforestasi global dari rantai pasokan komoditas berbasis lahan? Salah satu alasannya adalah, kompleksitas rantai pasokan ini dan interaksinya dengan pendorong dasar dan berbagai yurisdiksi yang terlibat telah menyebabkan pelaksanaan katalisator yang terfragmentasi, terputus-putus dan relatif terisolasi. Jika diterapkan bersamaan dan terkoordinasi dengan baik, katalisator ini dapat bertindak secara sinergis, menghasilkan momentum yang jauh lebih besar dan menyebabkan perubahan transformasional. Walaupun ada kisah keberhasilan yang memperlihatkan kekuatan tindakan bersama untuk menciptakan ‘momentum perubahan’ guna mengatasi deforestasi, jumlahnya relatif sedikit. Salah satu contoh upaya sinergis yang menghasilkan momentum perubahan tersebut adalah kampanye konsumen yang menyoroti deforestasi yang disebabkan perluasan kedelai di Amazon. Kampanye ini langsung mengakibatkan perubahan perilaku di perusahaan yang terlibat dalam rantai pasokan kedelai (misalnya McDonalds), yang kemudian membantu mendorong moratorium perluasan kedelai dari sektor swasta, yang mendukung upaya perundingan tentang sertifikasi soya, dan ditegakkan serta dipantau dengan inovasi teknologi yang dipimpin pemerintah Brasil. Diharapkan, perubahan ini akhirnya akan mengarah pada perundang-undangan nasional yang kuat yang secara permanen akan menjaga perbatasan hutan dari perluasan kedelai yang tidak berkelanjutan. Namun, pembentukan momentum penting ini di berbagai katalisator yang saat ini terhambat sejumlah hambatan utama yang berlaku di semua kategori katalisator (peraturan, rantai pasokan dan harga) dan merupakan hambatan terbesar terhadap solusi permanen bagi deforestasi tropis. Beberapa halaman berikut dengan singkat merangkum hambatan-hambatan ini dan menyoroti serangkaian rekomendasi mendesak untuk tindakan. 198
TRANSPARANSI DAN INFORMASI
Aksesibilitas, transparansi dan kegunaan informasi adalah penentu kunci keterlibatan efektif sektor pemerintah dan swasta dan, akhirnya, menjadi penentu kecepatan, efektivitas dan ekuitas diadopsinya katalisator untuk mengatasi pendorong deforestasi dan degradasi tropis. Oleh karena itu, kurangnya transparansi dan terbatasnya ketersediaan informasi lengkap yang terkait dengan rantai pasokan komoditas berbasis lahan, merupakan hamabatan penting dalam menargetkan upaya guna mengurangi deforestasi. Prioritas Tindakan 1. Ada kebutuhan mendesak untuk akses yang lebih luas ke informasi real-time atau hampir real-time yang terkait dengan interaksi antara rantai pasokan komoditas berbasis lahan dengan deforestasi di negara hutan tropis. 2. Pengembangan sistem untuk mewujudkan transparansi rantai pasokan sangat penting dalam melaksanakan sejumlah katalisator (misalnya berbagai tarif impor, subsidi, aktivisme pemegang saham, penegakan hukum dan pemantauan, serta standar industri) dan dalam mengalokasikan secara merata biaya transisi dan memberlakukan insentif (lihat di bawah). Sistem penelusuran yang efektif, yang memungkinkan penelusuran komoditas berbasis lahan di sepanjang rantai pasokan dan memberikan transparansi dari hutan ke produk akhir, sangat dibutuhkan. 3. Transparansi dan keterbukaan harus dirangsang dan diatur, dan harus diperluas ke sektor keuangan untuk memastikan akuntabilitas lembaga keuangan dan pemegang sahamnya dalam keterlibatannya di rantai pasokan komoditas berbasis lahan. Biaya Transisi dan Insentif
Penyediaan informasi saja tidak akan cukup untuk mendorong perubahan pada tingkat dan skala yang diperlukan. Oleh karena itu, perlu dilengkapi dengan penerapan insentif, serta pendanaan untuk melaksanakan katalisator yang dijelaskan dalam buku ini. Untuk memenuhi biaya tersebut dan melaksanakan banyak katalisator, butuh kombinasi mekanisme dan kegiatan dari berbagai sektor.
199
Prioritias Tindakan 1. Informasi yang lebih baik tentang rantai pasokan akan memungkinkan terciptanya metodologi untuk menghitung biaya produksi komoditas, dengan memperhitungkan dampak negatif dan positif pada modal alam dan penghidupan manusia. Metodologi ini harus dikembangkan secara kolaboratif oleh sektor swasta dan pemerintah, dan didukung masyarakat sipil. Ketersediaan estimasi akurat biaya yang sebenarnya akan memungkinkan semua pihak untuk mencapai pemahaman yang lebih menyeluruh tentang besarnya masalah dan cepat mengidentifikasi serta melaksanakan peluang yang secara ekonomi dapat dilakukan untuk perbaikan. 2. Saat ini pasar untuk komoditas berkelanjutan atau bersertifikat terbatas, sehingga sinyal harga yang ada tidak cukup untuk mendorong produksi dan perdagangan komoditas berbasis lahan secara berkelanjutan, sebagai alternatif berdaya saing atas business as usual. Pemberlakuan katalisator seperti berbagai tarif impor dan jaminan dapat memberikan sinyal pasar tersebut. 3. Sektor pemerintah, dan khususnya lembaga multilateral, harus menerima bahwa mereka harus menanggung sebagian besar biaya untuk mendukung transisi menuju produksi komoditas pertanian berkelanjutan pada semua tahap rantai pasokan, yang akan membutuhkan peningkatan sumber daya keuangan. Penyediaan keuangan ini harus dibarengi dengan perundang-undangan dan insentif, dan tergantung pada perubahan perilaku perusahaan swasta dalam mengurangi deforestasi. 4. Pengenalan kriteria lingkungan yang khusus menargetkan penurunan deforestasi ke dalam produk keuangan seperti concessional credit, jaminan dan asuransi, dapat mendukung biaya transisi ke produksi dan perdagangan komoditas berbasis lahan secara berkelanjutan. Untuk mencapainya, kelayakan untuk mengakses produk keuangan tersebut harus dikaitkan dengan kepatuhan terhadap kriteria lingkungan dan penggunaan sistem yang komprehensif untuk memantau dan menegakkannya.
200
INOVASI DAN PENGAMBILAN RESIKO
Agar katalisator berhasil dilaksanakan dan menghasilkan momentum perubahan, harus ada pengakuan perlunya mengambil risiko dan solusi inovatif di setiap sektor. Hambatan yang terkait dengan biaya transisi, insentif, transparansi dan akses informasi yang tidak cukup, terkait dengan risiko dan inovasi. Meskipun beberapa risiko terkait dengan sektor, penerimaan risiko harus dimiliki semua sektor agar solusi berhasil dilaksanakan dan mendorong perubahan dalam kerangka waktu yang diperlukan. Prioritas Tindakan 1. Untuk memaksimalkan sinergi antar katalisator, kolaborasi yang inovatif antara semua sektor perlu dibentuk, atau diperkuat jika telah ada. Sektor swasta harus memperlihatkan kepemimpinan dan komitmen keuangan dalam mendanai kolaborasi tersebut dan harus memperlihatkan penerimaan risiko sehingga inisiatif ini dapat memberikan hasil nyata. 2. Peran masyarakat sipil sebagai inovator teknologi sangat penting dan harus diperkuat, yang juga akan berkontribusi bagi efektivitas dalam memantau dan menegakkan inisiatif dan komitmen sektor pemerintah dan swasta. 3. Solusi politik inovatif, yang dapat memperlihatkan kepemimpinan dan lebih cepat meniru keberhasilan strategi mengurangi deforestasi (seperti perjanjian bilateral antar negara hutan tropis), harus dijajaki. 4. Skema sertifikasi yang ada belum berhasil mengurangi deforestasi pada skala besar atau dengan cepat. Skema sertifikasi perlu ditingkatkan, sehingga memberikan dampak yang lebih nyata pada laju deforestasi, dan sistem inovatif yang mendukung pasar produksi berkelanjutan perlu dikembangkan. Singkatnya, pergeseran transformasional sangat dibutuhkan yang meningkatkan kerjasama antara aktor-aktor pemerintah, sawsta dan masyarakat sipil dalam rantai pasokan komoditas berbasis lahan. Transparansi dan mekansime penelusuran akan perlu diciptakan dalam rantai pasokan, dan untuk menemukan solusi yang mencakup biaya transisi menuju produksi dan perdagangan berkelanjutan, inovasi dan penerimaan risiko yang menyertai pelaksanaan solusi untuk deforestasi akan menjadi sangat penting. 201
LAMPIRAN
Catatan Akhir 1.
HOSONUMA, N. ET AL. (2012) An assessment of deforestation and forest degradation drivers in developing countries. Environmental Research Letters, 7(4), 044009.
15.
MEGEVAND, C.ET AL. (2013) Deforestation Trends in the Congo Basin: Reconciling Economic Growth and Forest Protection. Washington DC: The World Bank.
2.
DUPUY, B. ET AL. (1999) Tropical forest management techniques: a review of the sustainability of forest management practices in tropical countries. FAO. Forestry Policy and Planning Division. Rome.
16.
ASIA-PACIFIC FORESTRY COMMISSION. (2010) Southeast Asian Forests And Forestry to 2020.Subregional Report of the Second Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture Organization. p143ff.
LEWIS, S.L. (2006) Tropical forests and the changing earth system. Philosophical Transactions of the Royal Society. Vol. 361 no. 1465 195-210.
17.
3.
4.
RUDEL, T.K. ET AL.. (2010) Forest transitions: An introduction. Land Use Policy 27 (2010) 95–97.
5.
ANGELSEN, A. (2007) Forest Cover Change in Space and Time: Combining the von Thünen and Forest Transition Theories. World Bank Policy Research Working Paper 4117, February 2007. The World Bank.
6.
7.
SECRETARIAT OF THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY. (2009) Sustainable Forest Management, Biodiversity and Livelihoods: A Good Practice Guide. GOENARDI, D. (2008) Prospective on Indonesian Palm Oil Production, Paper presented on the International Food & Agricultural Trade Policy Council’s Spring 2008 Meeting, 12 May 2008, Bogor, Indonesia.
8.
WEINHOLD, D. ET AL. (2013) Soybeans, Poverty and Inequality in the Brazilian Amazon. World Development Vol. 52, pp. 132–143.
9.
GIBBS, H.K. ET AL. (2010) Tropical forests were the primary sources of new agricultural land in the 1980s and 1990s. PNAS Vol. 107 no. 38.
10.
HOSONUMA, N. ET AL. (2012) An assessment of deforestation and forest degradation drivers in developing countries. Environ. Res. Lett. 7 044009.
18.
NEPSTAD, D. ET AL. (2009) The End of deforestation in the Brazilian Amazon. Science Vol. 326 4 December 2009.
19.
INFOAMAZONIA & TERRA-I. (2013) Incremento de 24% en la deforestación de la Amazonía. [Online] Available from: http://www.oeco.org.br/mapas/27291-incrementode-24-en-la-deforestacion-de-la-amazonia
20.
21.
22.
23.
11.
KISSINGER, G. ET AL. (2012) Drivers of Deforestation and Forest Degradation: A Synthesis Report for REDD+ Policymakers. Lexeme Consulting, Vancouver Canada. Based on: HOSONUMA, N ET AL.. (2012) An assessment of deforestation and forest degradation drivers in developing countries. Environ. Res. Lett. 7 044009.
12.
WTO. (2013) Statistics Database. The World Trade Organisation.
13.
ROBALINO, J & HERRERA, L.D. (2010) Trade and Deforestation: A literature review.Staff working paper. ERSD. No. 2010-04.
14.
204
INFOAMAZONIA & TERRA-I. (2013) Incremento de 24% en la deforestación de la Amazonía. [Online] Available from: http://www.oeco.org.br/mapas/27291-incrementode-24-en-la-deforestacion-de-la-amazonia
FAO & ITTO. (2011) The State of Forests in the Amazon Basin, Congo Basin and Southeast Asia. A report prepared for the Summit of the Three Rainforest Basins Brazzaville, Republic of Congo. 31 May–3 June, 2011.
FAO & ITTO. (2011) The State of Forests in the Amazon Basin, Congo Basin and Southeast Asia. A report prepared for the Summit of the Three Rainforest Basins Brazzaville, Republic of Congo. 31 May–3 June, 2011. MARONGO, B.A. ET AL. (2012) Mapping and monitoring deforestation and forest degradation in Sumatra (Indonesia) using Landsat time series data sets from 1990 to 2010. Environmental Research Letters Volume 7 Number 3. KEMEN, A. (2012) Indonesia’s moratorium on new forest concessions: key findings and next steps. World Resources Institute. Working paper.
and Trends. Washington, District of Columbia: Island Press. 29.
FAO. (2000) Asia and the Pacific National Forestry Programmes Update 34.
30.
PIMM, S. & RAVEN P. (2000) Biodiversity: Extinction by numbers. Nature 403, 843-845.
31.
POSTEL, S.L. ET AL. (1996) Human appropriation of renewable freshwater. Science 271, 785-788.
32.
SHVIDENKO, A. ET AL. (2005) Forest and woodland systems. In: HASSAN, R., SCHOLES, R. and ASH, N. (Eds). Ecosystems and Human Well-being: Volume 1: Current State and Trends. Washington, District of Columbia: Island Press.
33.
6 POSTEL, S.L. ET AL. (1996) Human appropriation of renewable freshwater. Vol 271.No. 5250. 785-788.
34.
CHIVIAN, E. (2002) Biodiversity: Its Importance to Human Health. Center for Health and the Global Environment, Harvard Medical School, Cambridge, MA.
35.
DUDLEY, N. & STOLTON, S. (eds.) (2003) Running pure: the importance of forest protected areas to drinking water. Gland, Switzerland: WWF/World Bank Alliance for Forest Conservation and Sustainable Use.
36.
SHVIDENKO, A. ET AL. (2005) Forest and woodland systems. In: HASSAN, R., SCHOLES, R. and ASH, N. (Eds). Ecosystems and Human Well-being: Volume 1: Current State and Trends. Washington, District of Columbia: Island Press.
37.
ARAGÃO, L.E.O.C. (2012) Environmental Science: The rainforest’s water pump. Nature. Citing ELTAHIR, E. A. & BRAS, R. L. (1996) Precipitation Recycling. Reviews of Geophysics 34, 367-378.
WWF. (2013) Ecosystems in the Greater Mekong: Past trends, current status, possible futures.
38.
24.
MEGEVAND, C. ET AL. (2013) Deforestation Trends in the Congo Basin: - Reconciling Economic Growth and Forest Protection. Washington DC: The World Bank.
KUMAGAI, T. ET AL. (2004) Water cycling in a Bornean tropical rain forest under current and projected precipitation scenarios. Water Resources Research, Vol. 40, W01104.
39.
25.
FAO & ITTO. (2011) The State of Forests in the Amazon Basin, Congo Basin and Southeast Asia. A report prepared for the Summit of the Three Rainforest Basins Brazzaville, Republic of Congo. 31 May–3 June, 2011.
POVEDA, G. ET AL. (2008) Sobre La Necesidad De Un Programa De Investigacion Para ElSistema AndesAmazonia. Revista Colombia Amazonica, 1.
40.
SPRACKLEN, D.V. ET AL. (2012) Observations of increased tropical rainfall preceded by air passage over forests. Nature. 489. p.282-285.
26.
27.
28.
THE RAINFOREST FOUNDATION UK. (2013) Seeds of Destruction. Expansion of industrial oil palm in the Congo Basin: Potential impacts on forests and people. MEGEVAND, C. ET AL. (2013)Deforestation Trends in the Congo Basin: - Reconciling Economic Growth and Forest Protection. Washington DC: The World Bank. SHVIDENKO, A. ET AL. (2005) Forest and woodland systems. In: HASSAN, R., SCHOLES, R. and ASH, N. (Eds). Ecosystems and Human Well-being: Volume 1: Current State
41.
SUDRADJAT, A. ET AL. (2002) Precipitation source/sink connections between the Amazon and La Plata River basins. American Geophysical Union, Fall Meeting 2002, abstract #H11A–0830.
42.
WWAP/ (2007) World Water Assessment Programme La Plata Basin Case Study: Final Report, April 2007.
43.
SPRACKLEN, D.V. ET AL. (2012) Observations of increased tropical rainfall preceded by air passage over forests.
Nature. 489. p.282-285. 44.
FAO. (2012) State of the World’s Forests. Rome: FAO.
45.
FAO. (2010) Forests and energy: regional perspectives: opportunities and challenges for forests and forestry. African Forestry and Wildlife Commission. Sixteenth Session. Near East Forestry Commission, Khartoum, Sudan, 18-21 February 2008.
46.
KISSINGER, G. ET AL. (2012) Drivers of Deforestation and Forest Degradation: A Synthesis Report for REDD+ Policymakers. Lexeme Consulting, Vancouver Canada. Based on: HOSONUMA, N. ET AL. (2012) An assessment of deforestation and forest degradation drivers in developing countries. Environ. Res. Lett. 7 044009.
47.
FEARNSIDE, P. (2012) Belo Monte Dam: A spearhead for Brazil’s dam-building attack on Amazonia? [Online] Available from: http://www.globalwaterforum. org/2012/03/19/belo-monte-dam-a-spearhead-for-brazilsdam-building-attack-on-amazonia/. Data from: MME/ EPE (2011) Brazil, Plano Decenal de Expansão de Energia 2020. Ministério de Minas e Energia. Empresa de Pesquisa Energética. Brasília.
48.
STICKLER, C.M. ET AL. (2013) Dependence of hydropower energy generation on forests in the Amazon Basin at local and regional scales. PNAS vol. 110 (23) p. 9601–9606.
49.
SUNDERLAND, T. ET AL. (2013) Food security and nutrition: The role of forests. Discussion Paper. Bogor, Indonesia: CIFOR.
50.
RSPO. (2008) Promoting the growth and use of sustainable palm oil. Fact Sheets.
51.
GILES, J. (2004) Organic food contaminated with GM. News Item. Nature. doi:10.1038/news04020215 [Online] Available from: http://www.nature.com/ news/2004/040206/full/news040202-15.html
52.
RICKETTS, T. H., ET AL. (2004) Economic value of tropical forest to coffee production. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 101, 12579-12582.
53.
HILLEL, D. & ROSENZWEIG, C. (2008) Biodiversity and Food Production. In: CHIVIAN, E. & BERNSTEIN, A. (eds.) Sustaining Life: How Human Health Depends On Biodiversity. New York, NY: Oxford University Press.
54.
FAO. (2011)Forests for improved nutrition and food security.
55.
THE GOVERNMENT OFFICE FOR SCIENCE. (2011) Foresight. The Future of Food and Farming. Final Project Report. London: The Government Office for Science.
56.
INRA-CIRAD. (2009) Agrimonde. Scenarios and Challenges for Feeding the World in 2050.
205
57.
UNFF COLLABORATIVE PARTNERSHIP ON FORESTS. (2012) SFM, Food Security and Livelihoods. SFM Fact Sheet 3.
58.
HOOD, L. (2010) Biodiversity: Facts and figures. [Online] Available from: http://www.scidev.net/global/biodiversity/ feature/biodiversity-facts-and-figures-1.html . Citing UNEP Global Environmental Outlook. 2003.
59.
60.
SIMULA, M. (1999) Trade & Environmental Issues In Forest Production. Environment Division Working Paper. Inter-American Development Bank. CONTE, L.A. (1996) Shaman pharmaceuticals’ approach to drug development. In: BALICK, M.J. ET AL. (eds.) (1996) Medicinal resources of the Tropical Forest biodiversity and its importance to human health. New York: Columbia University Press.
61.
PIERCE COLFER, C.J. ET AL. (2006) Forests and Human Health Assessing the Evidence. CIFOR. Occasional Paper No.45.
62.
SHANLEY, P. & LUZ, L. (2003) The impacts of forest degradation on medicinal plant use and implications for health care in Eastern Amazonia . BioScience 53 (6) :573-584.
63.
HASSAN, R. ET AL.(eds.) (2005) Ecosystems and Human Wellbeing: Current State & Trends Assessment. Millennium Ecosystem Assessment (MEA), Volume 1. Washington DC: Island Press.
64.
65.
66.
67.
FOLEY, J.A. ET AL. (2007) Amazonia revealed: forest degradation and loss of ecosystem goods and services in the Amazon Basin. Frontiers in Ecology and the Environment, 5(1), 25-32.Citing VITTOR, A. ET AL. (2006) The effect of deforestation on the human-biting rate of Anopheles darlingi, the primary vector of falciparum malaria in the Peruvian Amazon. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 74(1), 3-11.
71.
LEWIS, S.L. (2006) Tropical forests and the changing earth system. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences,361(1465), 195-210.
72.
PAN, Y. ET AL. (2011) A Large and Persistent Carbon Sink in the World’s Forests. Science. 333, 988-993.
73.
UNITED NATIONS. (2013) Millennium Development goals Indicators. Carbon dioxide emissions (CO2).
74.
BETTS, R.A. (2007) Biogeophysical effects of land use on climate: Model simulations of radiative forcing and large-scale temperature change. Agricultural and Forest Meteorology, 142, pp.216-233.
75.
76.
77.
87.
FAO. (2009) How to Feed the Word in 2050. Discussion paper prepared for Expert Forum: 12–13 October 2009, released 23 September 2009.
88.
BRUINSMA, J. (2009) The resource outlook to 2050: By how much do land, water and crop yields need to increase by 2050? Paper presented at the FAO Expert Meeting, 2426 June 2009, Rome on “How to Feed the World in 2050”.
forests? A review of the relationship between land tenure and tropicaldeforestation. CGIAR Research Program on Climate Change, Agriculture and Food Security (CCAFS). Working paper No. 7. 102.
ROBINSON, B.E. (2011) Does secure land tenure save forests? A review of the relationship between land tenure and tropicaldeforestation. CGIAR Research Program on Climate Change, Agriculture and Food Security (CCAFS). Working paper No. 7.
103.
MUELLER, B. & ALSTON, L. J. (2007) Legal reserve requirements in Brazilian forests: Path dependent evolution of de facto legislation. ANPEC-Associação Nacional dos Centros de Pósgraduação em Economia [Brazilian Association of Graduate Programs in Economics].
89. BONAN, G. B. (2008) Forests and Climate Change: Forcings, Feedbacks, and the Climate Benefits of Forests. Science, 320, pp.1444-1449.
KRUSE, J. (2011) Estimating Demand for Agricultural Commodities to 2050. Global Harvest Initiative.
90.
104.
VAN DIJK, A.I.J.M. & KEENAN, R.J. (2007) Planted forests and water in perspective. Forest Ecology and Management, 251:1-10.
KONGSAGER, R. & REENBERG, A. (2012) Contemporary land-use transitions: The global oil palm expansion. GLP Report No. 4. GLP-IPO, Copenhagen.
KOYUNCU, C. & YILMAZ, R. (2013) Deforestation, corruption, and private ownership in the forest sector. Quality & Quantity, 47(1), 227-236.
91.
KRUSE, J. (2011) Estimating Demand for Agricultural Commodities to 2050. Global Harvest Initiative.
105.
MEGEVAND, C. ET AL. (2013) Deforestation Trends in the Congo Basin: - Reconciling Economic Growth and Forest Protection. Washington DC: The World Bank.
92.
DAMETTE, O. & DELACOTE, P. (2011) Unsustainable timber harvesting, deforestation and the role of certification. Ecological Economics 70 (2011) 1211–1219.
106.
GAO, Y. ET AL. (2011) A global analysis of deforestation due to biofuel development. CIFOR Working paper 68.
IPCC (2013) Intergovernmental Panel on Climate Change. The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. PAN, Y. ET AL. (2011) A Large and Persistent Carbon Sink in the World’s Forests. Science. 333, 988-993.
93.
TAYLOR, R. (2012) Living Forest Report. WWF – World Wide Fund for Nature.
107.
IPCC. (1995) Intergovernmental Panel on Climate Change. Second Assessment Report.
79.
ERICKSEN, P. ET AL. (2011) Mapping hotspots of climate change and food insecurity in the global tropics. CCAFS Report no. 5. CGIAR Research Program on Climate Change, Agriculture and Food Security (CCAFS). Copenhagen, Denmark.
94.
RADEMAEKERS, K. ET AL. (2010) Study on the evolution of some deforestation drivers and their potential impacts on the costs of an avoiding deforestation scheme. Prepared for the European Commission by ECORYS and IIASA. Rotterdam, Netherlands.
108.
COX, P. ET AL. (2000) Acceleration of global warming due to carbon-cycle feedbacks in a coupled climate model. Nature, 408, 184-187.
109.
80.
NABUURS, G.J. ET AL. (2007) Forestry. In METZ, B. ET AL. (eds.) Climate Change 2007: Mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge, United Kingdom and New York, NY, U.S.A: Cambridge University Press.
95.
KISSINGER, G. ET AL. (2012) Drivers of Deforestation and Forest Degradation: A Synthesis Report for REDD+ Policymakers. Lexeme Consulting, Vancouver Canada.
MARENGO, J.A.ET AL.(2011) Dangerous Climate Change in Brazil. Centro de Ciência do Sistema Terrestre (CCST) of the Instituto Nacional de Pesquisas Espaciais (INPE), Brazil, and the Met Office Hadley Centre, UK.
110. 96.
BRITO, B. ET AL. (2009) The Governance of Forests Toolkit (Version1). World Resources Institute.
ALLEN, C.D. (2009). Climate-induced forest dieback: an escalating global phenomenon? Unasylva 231/232, Vol. 60.
GLOBAL ENVIRONMENT FACILITY. (2013) Areas of Work. [Online] Available from: http://www.thegef.org/gef
111. 97.
BRITO, B. ET AL. (2009) The Governance of Forests Toolkit (Version1). World Resources Institute.
COX, P. ET AL. (2000) Acceleration of global warming due to carbon-cycle feedbacks in a coupled climate model. Nature, 408, 184-187.
82.
GLOBAL ENVIRONMENT FACILITY. (2013) Draft GEF-6 Programming Directions.
98.
GEIST, H.J. & LAMBIN, E.F. (2002) Proximate Causes and Underlying Driving Forces of Tropical Deforestation. BioScience Vol. 52 No. 2.
FOOD AND AGRICULTURE ASSOCIATION. (2011) Framework for Assessing and Monitoring Forest Governance. Rome: FAO.
112.
83.
ANDEREGG, W.R.L. ET AL. (2012) Consequences of widespread tree mortality triggered by drought and temperature stress. Nature Climate Change 3, 30–36.
99.
SAUNDERS, J. ET AL. (2008) Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) Lessons from a forest governance perspective. Oxford: Proforest.
113.
FAO. (2009) How to Feed the Word in 2050. Discussion paper prepared for Expert Forum: 12–13 October 2009, released 23 September 2009. FAO. (2009) How to Feed the Word in 2050. Discussion paper prepared for Expert Forum: 12–13 October 2009, released 23 September 2009.
100.
KOYUNCU, C. & YILMAZ, R. (2013) Deforestation, corruption, and private ownership in the forest sector. Quality & Quantity, 47(1), 227-236.
114.
MARENGO, J.A. ET AL.(2011) Dangerous Climate Change in Brazil. Centro de Ciência do Sistema Terrestre (CCST) of the Instituto Nacional de Pesquisas Espaciais (INPE), Brazil, and the Met Office Hadley Centre, UK. COX, P. M. ET AL. (2013) Sensitivity of tropical carbon to climate change constrained by carbon dioxide variability. Nature.
101.
ROBINSON, B.E. (2011) Does secure land tenure save
115.
81.
THE WORLD BANK. (2008) Forests sourcebook : practical guidance for sustaining forests in development cooperation.
68.
THE WORLD BANK. (2008) Forests sourcebook : practical guidance for sustaining forests in development cooperation.
69.
THE WORLD BANK. (2008) Forests sourcebook : practical guidance for sustaining forests in development cooperation.
84.
70.
ANGELSEN, A. & WUNDER, S. (2012) Exploring the Forest- Poverty Link – Key concepts, Issues and Research Implications. CIFOR. Occasional Paper No.40.
85.
206
BRUINSMA, J. (2009) The resource outlook to 2050: By how much do land, water and crop yields need to increase by 2050? Paper presented at the FAO Expert Meeting, 2426 June 2009, Rome on “How to Feed the World in 2050”.
78.
WILCOX, B.A. & ELIIS, B. (2006) Forests and emerging infectious diseases of humans. FAO. Unasylva 224, Vol. 57. EGBENDEWE-MONDZOZO, A. ET AL. (2011) Climate change and vector-borne diseases: an economic impact analysis of malaria in Africa. Int J Environ Res Public Health. Mar; 8(3):913-30.
86.
ROCHA, J. (2013) Brazil faces drop in crop productivity.
207
[Online] Available from: http://wwwp.dailyclimate.org/ tdc-newsroom/2013/09/brazil-crops-climate 116.
117.
118.
Panacea or Red Herring. Asia Pacific East West Centre. No.13. [Online] Available from: http://scholarspace. manoa.hawaii.edu/bitstream/handle/10125/3777/api013. pdf?sequence=1
IPCC. (1995) Intergovernmental Panel on Climate Change. Second Assessment Report. SUNDERLIN, W.D. ET AL. (2007) Poverty and forests: multi-country analysis of spatial association and proposed policy solutions. Bogor, Indonesia: CIFOR.
131.
145.
NICITA, E. ET AL. (2013) UNCTAD. Global Supply Chains: Trade and economic policies for developing countries. Policy issues in international trade and commodities. Study series no. 55.
161.
KERR, S. ET AL. (2004) Effects of poverty on deforestation: Distinguishing behavior from location. FAO. ESA Working Paper No. 04-19.
LAWRENCE, W.F. ET AL. (2009) Impacts of roads and linear clearings on tropical forests. Trends in Ecology and Evolution Vol.24 No.12.
SHEIL, D. ET AL. (2009) The impacts and opportunities of oil palm in Southeast Asia: what do we know and what do we need to know? Occasional Paper No. 51. Bogor, Indonesia: CIFOR.
132.
SOVACOO, B. K. & BULAN, L. C. (2012) Energy security and hydropower development in Malaysia: The drivers and challenges facing the Sarawak Corridor of Renewable Energy (SCORE). Renewable Energy, 40(1), 113–129.
146.
SUN, C. ET AL. (2008) Global Forest Product Chains: Identifying challenges and opportunities for China through a global commodity chain sustainability analysis. International Institute for Sustainable Development.
162.
CARLSON, K. ET AL. (2012) Carbon emissions from forest conversion by Kalimantan oil palm plantations. Nature Climate Change, 3(3), 283-287.
163. 147.
HOSONUMA, N. ET AL. (2012) An assessment of deforestation and forest degradation drivers in developing countries. Environmental Research Letters,7(4), 044009.
UN COMTRADE. (2013) [Online] Available from: http:// comtrade.un.org
164.
IFC. (2011) The World Bank Group Framework and IFC strategy for engagement in the palm oil sector: Draft for consultations.
165.
KONGSAGER, R. & REENBERG, A. (2012) Contemporary land-use transitions: The global oil palm expansion. GLP Report No. 4. Copenhagen: GLP-IPO.
166.
WICKE, B. ET AL. (2011) Exploring land use changes and the role of palm oil production in Indonesia and Malaysia. Land Use Policy, 28(1), 193-206.
167.
KOH, L. P. & WILCOVE, D. S. (2008) Is oil palm agriculture really destroying tropical biodiversity?Conservation Letters, 1(2), 60-64.
168.
KONGSAGER, R. & REENBERG, A. (2012) Contemporary land-use transitions: The global oil palm expansion. GLP Report No. 4. Copenhagen: GLP-IPO.
169.
IFC. (2011) The World Bank Group Framework and IFC strategy for engagement in the palm oil sector: Draft for consultations.
133.
125.
126.
127.
128.
129.
208
KONGSAGER, R. & REENBERG, A. (2012) Contemporary land-use transitions: The global oil palm expansion. GLP Report No. 4. Copenhagen: GLP-IPO.
UNITED NATIONS. (2013) GDP Breakdown. United Nations Statistics Division.
KERR, S. ET AL. (2004) Effects of poverty on deforestation: Distinguishing behavior from location. FAO. ESA Working Paper No. 04-19.
124.
160. 144.
120.
123.
UN COMTRADE. (2013)[Online] Available from: http:// comtrade.un.org
FAO. (2011) Southeast Asian forests and forestry to 2020: Subregional report of the second Asia-Pacific forestry sector outlook study. Bangkok: FAO.
AFP. (2012) Brazil sets up special security force to protect Amazon. [Online].
SUNDERLIN, W.D. ET AL. (2007) Poverty and forests: multi-country analysis of spatial association and proposed policy solutions. Bogor, Indonesia: CIFOR.
122.
143.
159.
130.
119.
121.
Policy Initiative.
SOVACOO, B. K. & BULAN, L. C. (2011) Settling the Score: The Implication of the Sarawak Corridor of Renewable Energy (SCORE) in Malaysia. Energy Governance Case Study #04.
HUSSEIN, Z ET AL. (2013) Climate change mitigation policies and poverty in developing countries Environ. Res. Lett. 8. Center for Global Trade Analysis, Purdue University, U.S.A.
134.
UNION OF CONCERNED SCIENTISTS (2010) Deforestation Today – It’s just business. Briefing 7. Washington D.C.
135.
DEFRIES, R.S. ET AL. (2010) Deforestation driven by urban population growth and agricultural trade in the twenty-first century. Nature Geoscience. 3, 178 - 181 (2010). Letters.
136.
ANGELSEN, A. (2011) The economic contributions of forests to rural livelihoods: a global analysis. Oral presentation at the PEN Science Workshop: ‘Exploring the forest-poverty link: new research findings’. University of East Anglia, Norwich, UK. June 13-14, 2011.
137.
KANNINEN, M., D. ET AL. (2007) Do Trees Grow on Money? Implications of deforestation research for policies to promote REDD. Bogor, Indonesia: CIFOR.
138.
PACHECO, P. ET AL. (2011) Avoiding deforestation in the context of biofuel feedstock expansion: an analysis of the effectivenss of market-based instruments. Working Paper 73. Bogor, Indonesia: CIFOR.
LIMA, I. ET AL. (2007) Methane Emissions from Large Dams as Renewable Energy Resources: A Developing Nation Perspective. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change. Volume 13, Issue 2, pp 193-206. STICKLER, C.M. ET AL. (2013) Dependence of hydropower energy generation on forests in the Amazon Basin at local and regional scales. PNAS 110(23), 9601-9606. GLOBAL WITNESS. (2012) In the future, there will be no forest left. [Online] Available from: http://www. globalwitness.org/sites/default/files/library/HSBC-loggingbriefing-GW.pdf
148.
FAOSTAT (2013). The statistics division of the FAO. . [Online] Available from: http://faostat.fao.org
149.
KAPLINSKY, R. & MORRIS, M. (2001) A handbook for value chain research (Vol. 113). IDRC.
150.
WWF. (2012) The 2050 Criteria: Guide to responsible investment in agricultural, forest, and seafood commodities.
151.
ZSL. (2013) Sustainable Palm Oil Platform.[Online] Available from: http://www.sustainablepalmoil.org
152.
153.
SUNDERLIN, W.D. ET AL. (2007) Poverty and forests: multi-country analysis of spatial association and proposed policy solutions. Bogor, Indonesia: CIFOR.
GUAN, W. (2010) Developments in Distribution Channels - A Case Study of a Timber Product Distribution Channel. Linköping Studies in Science and Technology, Thesis No. 1458, LiU-TEK-LIC 2010:29. LEVY, M. & WEITZ, B. (2008) Retailing Management. 7th Ed. New York: McGraw Hill.
154.
USDA. (2012) Global Food Industry. Economic Research Service. 170.
139.
KANNINEN, M., D. ET AL. (2007) Do Trees Grow on Money? Implications of deforestation research for policies to promote REDD. Bogor, Indonesia: CIFOR.
155.
SANTOSA, S. J. (2008) Palm oil boom in Indonesia: from plantation to downstream products and biodiesel. CLEAN– Soil, Air, Water, 36 (5-6), 453-465.
RSPO. (2013) Roundtable on Sustainable Palm Oil Website. [Online] Available from: http://www.rspo.org
171.
140.
156.
RSPO. (2013) Factsheet Palm Oil. [Online] Available from: http://www.rspo.org/files/pdf/Factsheet-RSPOAboutPalmOil.pdf
ZSL. (2013) Sustainable Palm Oil Platform. Smallholders. [Online] Available from: http://www.sustainablepalmoil. org/growers-millers/growers/smallholders
CHOKKALINGAM, U. ET AL. (2007) Community fire use, resource change, and livelihood impacts: the downward spiralin the wetlands of southern Sumatra. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change. 12(1): 75–100.
KISSINGER, G. ET AL. (2012) Drivers of Deforestation and Forest Degradation: A Synthesis Report for REDD+ Policymakers. Lexeme Consulting, Vancouver Canada.
172.
141.
157.
ZIMMER, Y. (2010) Competitiveness of rapeseed, soybeans and palm oil. Journal of Oilseed Brassica, 1(2), 84-90.
IFC. (2011) The World Bank Group Framework and IFC strategy for engagement in the palm oil sector: Draft for consultations.
IVERSEN, V. ET AL. (2006) High value forests, hidden economies and elite capture: Evidence from forest user groups in Nepal’s Terai. Ecological Economics, 58(1), 93-107.
ARIMA,E.Y. ET AL. (2010) Statistical confirmation of indirect land use change in the Brazilian Amazon. Enivronment Research Letters, No. 6.
173. 158.
142.
ASSUNÇÃO, J. ET AL. (2013) Does Credit Affect Deforestation? Evidence from a rural credit policy in the Brazilian Amazon. CPI Technical Report. Climate
PRODUCT BOARD MVO. (2010) Fact sheet Palm Oil 2010. [Online] Available from: http://www.mvo.nl/LinkClick. aspx?fileticket=jsFVMZwZzkc%3D
PROFOREST. (2011) Mapping and understanding the UK palm oil supply chain. London: Department for Environment, Food and Rural Affairs.
174.
SANTOSA, S. J. (2008) Palm oil boom in Indonesia: from
PALMER, C. & DI FALCO, S. (2012) Biodiversity, poverty, and development. Oxford Review of Economic Policy, Volume 28, Number 1, 2012, pp. 48–68.
DOVE, M. (1994) Marketing the Rainforest – Green
209
OECD Publishing.
plantation to downstream products and biodiesel. CLEAN– Soil, Air, Water, 36(5-6), 453-465. 175.
176.
REUTERS. (2012) Insight: Top palm oil producer Indonesia wants to be more refined. [Online] Available from: http:// www.reuters.com/article/2012/07/15/us-indonesia-palmidUSBRE86E0HV20120715 UN COMTRADE. (2013) [Online]Available from: http:// comtrade.un.org
177.
FAO. (2013) FAOSTAT [Online] Available from: http:// faostat.fao.org/
178.
USDA. (2008) Oilseeds: World Markets and Trade. [Online] Available from: http://usda01.library.cornell.edu/usda/fas/ oilseed-trade//2000s/2008/oilseed-trade-12-11-2008.pdf
179.
ZSL. (2013) Sustainable Palm Oil Platform. Smallholders. [Online] Available from: www.sustainablepalmoil.org
180.
MURPHY, S. ET AL. (2012) Cereal secrets: the world’s largest grain traders and global agriculture. Oxfam.
181.
UNITED STATES SECURITIES AND EXCHANGE COMMISSION. (2011) Archer-Daniels-Midland Company. [Online] Available from: http://sec.gov/Archives/edgar/ data/7084/000000708411000028/adm10kfy11.htm
182.
CARGILL. (2013) Palm oil. [Online] Available from: http:// www.cargill.co.id/en/products/palm-oil
183.
SANTOSA, S. J. (2008) Palm oil boom in Indonesia: from plantation to downstream products and biodiesel. CLEAN– Soil, Air, Water, 36(5-6), 453-465.
184.
MURPHY, S. ET AL. (2012) Cereal secrets: the world’s largest grain traders and global agriculture. Oxfam.
192.
WWF. (2002) Corporate actors in the South American soy production chain.
193.
WWF. (2012) The 2050 Criteria: Guide to Responsible Investment in Agricultural, Forest, and Seafood Commodities. Washington D.C.: World Wildlife Fund.
194.
195.
PACHECO, P. (2012) Soybean and oil palm expansion in South America: A review of main trends and implications. Working Paper 90. Bogor, Indonesia: CIFOR.
196.
USDA. (2013) Oilseeds: World Markets and Trade. USDA Economic Research Service. [Online] Available from: www.fas.usda.gov/psdonline/circulars/oilseeds.pdf.
197.
PACHECO, P. (2012) Soybean and oil palm expansion in South America: A review of main trends and implications. Working Paper 90. Bogor, Indonesia: CIFOR.
198.
MURPHY, S. ET AL. (2012) Cereal secrets: the world’s largest grain traders and global agriculture. Oxford: Oxfam.
199.
THE DUTCH SOY COALITION. (2008) Soy big business, big responsibility: Addressing the social- and environmental impact of the soy value chain. Amsterdam: Ruparo.
186.
187.
WWF. (2012) Palm Oil Buyers’ Scorecard 2011 - Measuring the Progress of Palm Oil Buyers. [Online] Available from: www.panda.org
202.
WWF. (2012) Palm Oil Buyers’ Scorecard 2011 - Measuring the Progress of Palm Oil Buyers. [Online] Available from: www.panda.org
203.
GREENPEACE. (2013) A dirty business. [Online] Available from: www.greenpeace.org
188.
UN COMTRADE. (2013) [Online]Available from: www.comtrade.un.org
189.
PROFOREST. (2011) Mapping and understanding the UK palm oil supply chain. London: Department for Environment, Food and Rural Affairs.
190.
FAO. (2013) FOSTAT.
191.
OECD-FAO. (2012) OECD-FAO Agricultural Outlook 2012.
210
MACEDO, M.N. ET AL. (2012) Decoupling of deforestation and soy production in the southern Amazon during the late 2000s. Proceedings of the National Academy of Sciences, vol. 109, issue 4, pp. 1341-1346. PACHECO, P. (2012) Soybean and oil palm expansion in South America: A review of main trends and implications. Working Paper 90. Bogor, Indonesia: CIFOR.
KRUGLIANSKAS, I. (2011) Soy production in South America: key issues and challenges. Proforest. [Online] Available from: www.proforest.net/objects/news-objects/ soy-production-in-south-america-key-issues-andchallenges/at_download/file
209.
HUTCHINSON, S. (2011) Making a pact to tackle deforestation in Paraguay. World Wildlife Fund.
210.
WWF. (2013) Paraguay extends Zero Deforestation Law to 2018. [Online] Available at: wwf.panda.org
211.
VUOHELAINEN, A. (2011) Soy production and trade. Proforest. [Online] Available from: www.proforest. net/objects/news-objects/soy-production-and-tradevuohelainen
212.
MURPHY, S. ET AL. (2012) Cereal secrets: the world’s largest grain traders and global agriculture. Oxford: Oxfam.
213.
MURPHY, S. ET AL. (2012) Cereal secrets: the world’s largest grain traders and global agriculture. Oxford: Oxfam.
214.
PACHECO, P. (2012) Soybean and oil palm expansion in South America: A review of main trends and implications. Working Paper 90. Bogor, Indonesia: CIFOR.
215.
PACHECO, P. (2012) Soybean and oil palm expansion in South America: A review of main trends and implications. Working Paper 90. Bogor, Indonesia: CIFOR.
216.
ALICEWEB. (2013) [Online] Available at: www.aliceweb2. mdic.gov.br
217.
USDA. (2012) Agricultural Projections to 2021. Outlook No. (OCE-121) 102 pp
218.
USDA. (2010) USDA Soybean Baseline, 2010-19. [Online] Available from: www.ers.usda.gov/topics/crops/soybeansoil-crops/market-outlook/usda-soybean-baseline,-2010-19. aspx#.UehqzI1J4tQ
PACHECO, P. (2012) Soybean and oil palm expansion in South America: A review of main trends and implications. Working Paper 90. Bogor, Indonesia: CIFOR.
219.
BARONA, E. ET AL. (2010) The role of pasture and soybean in deforestation of the Brazilian Amazon. Environmental Research Letters, 5(2), 024002.
NORTH CAROLINA SOYBEAN PRODUCERS ASSOCIATION. (2013) How soybeans are used. [Online] Available from www.ncsoy.org
220.
205.
GARRETT, R. D. ET AL. (2012) Land institutions and supply chain configurations as determinants of soybean planted area and yields in Brazil. Land Use Policy.
THE DUTCH SOY COALITION. (2008) Soy big business, big responsibility: Addressing the social- and environmental impact of the soy value chain. Amsterdam: Ruparo.
221.
206.
MÜLLER, R. ET AL. (2012) Proximate causes of deforestation in the Bolivian lowlands: an analysis of spatial dynamics. Regional Environmental Change, 12(3), 445-459.
RABOBANK. (2008) The soy supply chain policy: striking a CSR balance in financial decisions. [Online] Available from: www.banktrack.org/manage/ems_files/download/ soy_supply_chain_policy/080115_rabobank_soy_supply_ chain_policy.pdf
204.
222.
PACHECO, P. (2012) Soybean and oil palm expansion in South America: A review of main trends and implications. Working Paper 90. Bogor, Indonesia: CIFOR.
223.
U. S. SOYBEAN EXPORT COUNCIL. (2011) How the Global Oilseed and Grain Trade Works. [Online] Available from: http://www.soyatech.com/userfiles/file/tradeflow_ manual(1).pdf
224.
PACHECO, P. (2012) Soybean and oil palm expansion in South America: A review of main trends and implications. Working Paper 90. Bogor, Indonesia: CIFOR.
225.
GAO, Y. ET AL. (2011) A global analysis of deforestation due to biofuel development. Working Paper 68. Bogor, Indonesia: CIFOR.
226.
OECD-FAO. (2011) Agricultural Outlook 2011-2020. Chapter 3: Biofuels. [Online] Available from: www.oecd. org/site/oecd-faoagriculturaloutlook/48178823.pdf.
227.
WWF. (2012) The 2050 Criteria: Guide to Responsible Investment in Agricultural, Forest, and Seafood Commodities. Washington D.C.: World Wildlife Fund.
228.
FAO. (2013). FAOSTAT.
229.
GOVERNMENT OFFICE FOR SCIENCE. (2011) Foresight. The Future of Food and Farming: Challenges and choices for global sustainability. London: The Government Office for Science.
230.
GOVERNMENT OFFICE FOR SCIENCE. (2011) Foresight. The Future of Food and Farming: Challenges and choices for global sustainability. London: The Government Office for Science.
231.
ETTER, A. ET AL. (2006) Modelling the conversion of Colombian lowland ecosystems since 1940: Drivers, patterns and rates. Journal of Environmental Management, 79(1), 74-87.
232.
PIU, H.C. & MENTON, M. (2013) In press. Contexto de REDD+ en Perú: motores, actores e instituciones.
233.
MÜLLER, R. ET AL. (2012) Proximate causes of deforestation in the Bolivian lowlands: an analysis of spatial dynamics. Regional Environmental Change, 12(3), 445-459.
234.
GUEVARA, J.C. &GRÜNWALDT, E.G. (2012) Status of beef cattle production in Argentina over the last decade and its prospects. Chapter 6 in Livestock Production, edited by Javed, K. ISBN 978-953-51-0814-6.
235.
BUSTAMANTE, M. M. ET AL. (2012) Estimating greenhouse gas emissions from cattle raising in Brazil. Climatic change, 115(3-4), 559-577.
236.
BARRETO, P. ET AL. (2005) Cattle ranching and challenges for environmental conservation in the Amazon. Belém,
208. RUDORFF, B. F. ET AL. (2012) Remote Sensing Images to Detect Soy Plantations in the Amazon Biome - The Soy Moratorium Initiative. Sustainability, 4(5), 1074-1088.
200. WWF. (2004)Mato Grosso a hot spot of soy expansion – and deforestation. WWF Forest Conversion News No. 3. 201.
185.
PACHECO, P. (2012) Soybean and oil palm expansion in South America: A review of main trends and implications. Working Paper 90. Bogor, Indonesia: CIFOR.
207.
211
Brazil: Imazon. 237.
WALKER, N.F. ET AL. (2013) From Amazon pasture to the high street: deforestation and the Brazilian cattle product supply chain. Tropical Conservation Science. [Online] Special Issue Vol. 6(3):446-467. Available from: www. tropicalconservationscience.org
238.
GRAU, R. ET AL. (2008) Balancing food production and nature conservation in the Neotropical dry forests of northern Argentina. Global Change Biology (2008) 14, 985–997.
239.
CALDAS, M. (2013) Land-cover change in the Paraguayan Chaco: 2000–2011. Journal of Land Use Science. 10.1080/1747423X.2013.807314.
240.
WESTHOEK, H. ET AL. (2011) The Protein Puzzle. The Hague: PBL Netherlands Environmental Assessment Agency.
241.
BUSTAMANTE, M. M. ET AL. (2012) Estimating greenhouse gas emissions from cattle raising in Brazil. Climatic change, 115(3-4), 559-577.
242.
WIRSENIUS, S. ET AL. (2011) Greenhouse gas taxes on animal food products: rationale, tax scheme and climate mitigation effects .Climatic Change, 108(1-2), 159-184.
Special Issue Vol. 6(3):446-467. Available from: www. tropicalconservationscience.org 250.
251.
252.
253.
254.
255. 243.
244.
245.
246.
247.
248.
249.
212
MEKONNEN, M.M. & HOEKSTRA, A.Y. (2011) The green, blue and grey water footprint of crops and derived crop products, Hydrology and Earth System Sciences, 15(5): 1577-1600.
WALKER, N.F. ET AL. (2013) From Amazon pasture to the high street: deforestation and the Brazilian cattle product supply chain. Tropical Conservation Science. [Online] Special Issue Vol. 6(3):446-467. Available from: www. tropicalconservationscience.org WALKER, N.F. ET AL. (2013) From Amazon pasture to the high street: deforestation and the Brazilian cattle product supply chain. Tropical Conservation Science. [Online]
GIBBS, H. ET AL. (2013) Policy Revolution in the Brazilian Amazon. [Submitted].
265.
EUROPEAN COMMISSION. (2013) TRACES.
266.
WALKER, N.F. ET AL. (2013) From Amazon pasture to the high street: deforestation and the Brazilian cattle product supply chain. Tropical Conservation Science. [Online] Special Issue Vol. 6(3):446-467. Available from: www. tropicalconservationscience.org
267.
INTERNATIONAL COUNCIL OF TANNERS. (2013) Perspective on Leather. [Online] Available from: www.tannerscouncilict.org/perspective.htm
268.
FAO. (2013) FAOSTAT.
269.
WALKER, N.F. ET AL. (2013) From Amazon pasture to the high street: deforestation and the Brazilian cattle product supply chain. Tropical Conservation Science. [Online] Special Issue Vol. 6(3):446-467. Available from: www.tropicalconservationscience.org
FERRAZ, J. B. S. & FELÍCIO, P. E. D. (2010) Production systems–An example from Brazil. Meat Science, 84(2), 238-243. WALKER, N.F. ET AL. (2013) From Amazon pasture to the high street: deforestation and the Brazilian cattle product supply chain. Tropical Conservation Science. [Online] Special Issue Vol. 6(3):446-467. Available from: www. tropicalconservationscience.org GIBBS, H. ET AL. (2013) Policy Revolution in the Brazilian Amazon. [Submitted]. GUEVARA, J.C. & GRÜNWALDT, E.G. (2012) Status of beef cattle production in Argentina over the last decade and its prospects. Chapter 6 in Livestock Production, edited by Javed, K. ISBN 978-953-51-0814-6. INTERNATIONAL COUNCIL OF TANNERS. (2013) Perspective on Leather. [Online] Available from: www.tannerscouncilict.org/perspective.htm
257.
WALKER, N.F. ET AL. (2013) From Amazon pasture to the high street: deforestation and the Brazilian cattle product supply chain. Tropical Conservation Science. [Online] Special Issue Vol. 6(3):446-467. Available from: www. tropicalconservationscience.org
MILLEN, D. D. ET AL. (2011) Current outlook and future perspectives of beef production in Brazil. Animal Frontiers, 1(2), 46-52.
264.
WALKER, N.F. ET AL. (2013) From Amazon pasture to the high street: deforestation and the Brazilian cattle product supply chain. Tropical Conservation Science. [Online] Special Issue Vol. 6(3):446-467. Available from: www. tropicalconservationscience.org
256. FERRAZ, J. B. S. & FELÍCIO, P. E. D. (2010) Production systems–An example from Brazil. Meat Science, 84(2), 238-243.
GUEVARA, J.C. & GRÜNWALDT, E.G. (2012) Status of beef cattle production in Argentina over the last decade and its prospects. Chapter 6 in Livestock Production, edited by Javed, K. ISBN 978-953-51-0814-6. WALKER, N.F. ET AL. (2013) From Amazon pasture to the high street: deforestation and the Brazilian cattle product supply chain. Tropical Conservation Science. [Online] Special Issue Vol. 6(3):446-467. Available from: www. tropicalconservationscience.org
BARRIONUEVO, A. ( 2009) Giants in Cattle Industry Agree to Help Fight Deforestation. The New York Times. [Online] Available from: www.nytimes.com/2009/10/07/world/ americas/07deforest.html
www.comtrade.un.org
270.
GUAN, W. (2010) Developments in Distribution Channels - A Case Study of a Timber Product Distribution Channel. Linköping Studies in Science and Technology, Thesis No. 1458, LiU-TEK-LIC 2010:29.
271.
FAO. (2013) Faostat.
272.
UNEP. (2009) Vital Forest Graphics. Nairobi, Kenya: UNEP.
273.
WORLD BANK. (2012) Justice for Forests: Improving Criminal Justice Efforts to Combat Illegal Logging. Washington, D.C: World Bank.
274.
BROWN, M.L. (2010). Limiting corrupt incentives in a global REDD regime. Ecology Law Quarterly 37(237):237–266. RUDEL, T. K. ET AL. (2009) Changing drivers of deforestation and new opportunities for conservation. Conservation Biology, 23(6), 1396-1405. UNEP. (2009) Vital Forest Graphics. Nairobi, Kenya: UNEP.
258.
EENPACT. (2013) Leather Sector Report. The Leather Industry.
275.
259.
FAO. (2013) FAOSTAT.
276.
260.
SMERALDI, R. & MAY, P. H. (2008) O Reino do Gado: uma nova fase da pecuarização da Amazônia. São Paulo, Brazil: Amigos da Terra-Amazônia Brasileira.
277.
FAO. (2009) State of the World’s Forests. Rome: FAO.
278.
HOSONUMA, N. ET AL. (2012). An assessment of deforestation and forest degradation drivers in developing countries. Environmental Research Letters,7(4), 044009.
261.
GREENPEACE. (2009) Slaughtering the Amazon.
262.
WALKER, N.F. ET AL. (2013) From Amazon pasture to the high street: deforestation and the Brazilian cattle product supply chain. Tropical Conservation Science. [Online] Special Issue Vol. 6(3):446-467. Available from: www. tropicalconservationscience.org
263.
UN COMTRADE. (2013) [Online] Available from:
279.
FISHER, B. ET AL. (2011) The high costs of conserving southeast Asia’s lowland rainforests. Frontiers in Ecology and the Environment. 9: 329–334.
280. UNION OF CONCERNED SCIENTISTS (2011) The root of the problem: What’s driving tropical deforestation
today? [Online] Available from: www.ucsusa.org/assets/ documents/global_warming/UCS_RootoftheProblem_ DriversofDeforestation_FullReport.pdf 281.
ITTO. (2011) Status of tropical forest management 2011. ITTO Technical Series 38.
282.
LIAO, C. ET AL. (2010) Ecosystem carbon stock influenced by plantation practice: implications for planting forests as a measure of climate change mitigation. PloS one, 5(5), e10867.
283.
KENNAN, R. & VAN DIJK, A. (2010) Planted forests and water. In BAUHUS, P. ET AL.(eds.) Ecosystem goods and services from plantation forests. London, UK: Earthscan Ltd.
284.
BROCKERHOFF, E. G. ET AL. (2008) Plantation forests and biodiversity: oxymoron or opportunity? Biodiversity and Conservation, 17(5), 925-951.
285.
FISHER, B. (2010) African exception to drivers of deforestation. Nature Geoscience 3: 9-10.
286.
NDOYE, O. & TIEGUHONG, J. C. (2004) Forest Resources and Rural Livelihoods: The Conflict Between Timber and Non-timber Forest Products in the Congo Basin. Scandinavian Journal of Forest Research, 19 (Suppl. 4): 1_/9.
287.
HOSONUMA, N. ET AL. (2012) An assessment of deforestation and forest degradation drivers in developing countries. Environmental Research Letters,7(4), 044009.
288.
FAO. (2009) State of the World’s Forests. Rome: FAO.
289.
FERNHOLZ, K. (2012) Certified forest products markets, 2011-2012. In: UNECE/FAO Forest Products Annual Market Review, 2011-2012. United Nations. Geneva.
290.
GREENPEACE. (2013) Major breakthrough in protection for Indonesia’s remaining rainforests. [Online] Available from: www.greenpeace.org/international/en/press/ releases/Major-breakthrough-in-protection-for-Indonesiasremaining-rainforests
291.
CARLSSON, D. ET AL. (2006) Supply chain management in the pulp and paper industry. Working Paper DT-2006AM-3. Interuniversity Research Center on Enterprise Networks, Logistics and Transportation (CIRRELT), Université Laval, Québec, Canada.
292.
FOREST LEGALITY ALLIANCE. (2012)National export bans and restrictions. [Online] Available from: http://risk.forestlegality.org/files/fla/Export_bans_ restrictions_2012_06.pdf
293.
AULISI, A. ET AL. (2008) Trees in the greenhouse: Why Climate Change is Transforming the Forest Products Business. Washington, D.C: World Resources Institute.
213
294.
ITTO. (2002) Tropical timber products: Development of further processing in ITTO producer countries. Geneva: ITC/ITTO.
309.
295.
GUAN, W. (2010) Developments in Distribution Channels - A Case Study of a Timber Product Distribution Channel. Linköping Studies in Science and Technology, Thesis No. 1458, LiU-TEK-LIC 2010:29.
WWF. (2009) Keeping Amazon forests standing: a matter of values. [Online] Available from: www.wwf.se/source. php/1229304/Keeping%20the%20Amazon%20forests%20 standing.pdf 323.
310.
DEBLITZ, C. (2010) Feedlots: A new tendency in global beef production? Working Paper 2/2011 updated in July 2012. agri benchmark.
RSPO. (2013) Market data. [Online] Available from: www. rspo.org/en/Market_Data_-_as_at_3rd_August
324.
FSC. (2011) FSC evaluation of the impacts and implementation of the Controlled Wood System
SOYBEAN AND CORN ADVISOR, INC. (2011) Feedlots Consuming More Grain Domestically in Mato Grosso.
325.
JAKARTA POST. (2010) Sharing the burden of producing sustainable biofuels. [Online] Available from: www. thejakartapost.com/news/2010/01/12/sharing-burdenproducing-sustainable-biofuels.html ISEAL ALLIANCE. (2011) Improving small-scale producer access to certification. [Online] Available from: www. isealalliance.org/online-community/blogs/new-reportimproving-small-scale-producer-access-to-certification
296.
UNECE/FAO. (2011) Forest products annual market review 2010-2011. Geneva Timber and Forest Study Paper 27.
297.
ITTO. (2012) Annual Review and Assessment of the World Timber Situation. [Online] Available from: www.itto.int/ annual_review
298.
ITTO. (2012) Annual Review and Assessment of the World Timber Situation. [Online] Available from: www.itto.int/ annual_review
World Bank.
311.
299.
312.
FAO. (2005) Global Forest Resources Assessment. Rome: FAO.
313.
GOVERNMENT OFFICE FOR SCIENCE. (2011) Foresight. The Future of Food and Farming: Challenges and choices for global sustainability. London: The Government Office for Science.
326.
SUSTAINABLE DEVELOPMENT SOLUTIONS NETWORK. (2013) Opportunities and Solutions for Sustainable Food Production. Background paper for the High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda. [Online] Available from: www.unsdsn.org/ files/2013/05/130112-HLP-TG7-Solutions-for-sustainablefood-production.pdf
327.
UNECE/FAO. (2013) Forest products annual market review 2012-2013. Geneva Timber and Forest Study Paper 33. 314.
300. WRI. (2008) Trees in the greenhouse: Why Climate Change is Transforming the Forest Products Business. [Online] Available from: pdf.wri.org/trees_in_the_greenhouse.pdf 301.
ITTO. (2012) Annual Report [Online] Available from: www.itto.int/annual_report
302.
IBISWORLD. (2012) Global Paper & Pulp Mills Market Research Report.
303.
NORD, T. (2005) Structure and Developments in the solid wood value chain: Dominant saw milling strategies and industrialized housing. Licentiate Thesis, Luleå University of Technology.
304.
305.
306.
307.
NORD, T. (2005) Structure and Developments in the solid wood value chain: Dominant saw milling strategies and industrialized housing. Licentiate Thesis, Luleå University of Technology. RISI. (2013) Tissue Retailers and Distributors Insight Forum to focus on retail and distribution channels at Tissue World Americas 2014 in Miami, March 18-21. GEIST, H.J. & LAMBIN, E. (2001) What drives tropical deforestation? A meta-analysis of proximate and underlying causes of deforestation based on subnational case study evidence. Land-Use and Land-Cover Change (LUCC) Project, International Geosphere-Biosphere Programme (IGBP). LUCC Report Series: 4.
315.
GOVERNMENT OFFICE FOR SCIENCE. (2011) Foresight. The Future of Food and Farming: Challenges and choices for global sustainability. London: The Government Office for Science.
317.
DE SCHUTTER, O. (2010) Report submitted by the Special Rapporteur on the right to food, Olivier De Schutter. Human Rights Council, Sixteenth Session. A/HRC/16/49. GOVERNMENT OFFICE FOR SCIENCE. (2011) Foresight. The Future of Food and Farming: Challenges and choices for global sustainability. London: The Government Office for Science.
318.
319.
320.
GEIST, H.J. & LAMBIN, E.F. (2002) Proximate Causes and Underlying Driving Forces of Tropical Deforestation BioScience Vol. 52 No. 2.
214
MARTINET, A. ET AL. (2009) REDD Reference Levels and Drivers of Deforestation in Congo Basin Countries. The
GOVERNMENT OFFICE FOR SCIENCE. (2011) Foresight. The Future of Food and Farming: Challenges and choices for global sustainability. London: The Government Office for Science.
316.
321. 308.
322.
DE SCHUTTER, O. (2010) Report submitted by the Special Rapporteur on the right to food, Olivier De Schutter. Human Rights Council, Sixteenth Session. A/HRC/16/49. PFAFF, A ET AL. (2010) Policy impacts on deforestation: lessons learned from past experiences to inform new initiatives. Nicholas Institute for Environmental Policy Solutions, Duke University, NI R 10-02. IIED. (2013) Demand-side interventions to reduce deforestation and forest degradation. Workshop Report 21st February 2013. London.
328.
329.
330.
331.
ISEAL ALLIANCE. (2013) Consumer Goods Forum cites FSC and RSPO in net zero deforestation pledge. [Online] Available from: www.isealalliance.org/online-community/ news/consumer-goods-forum-cites-fsc-and-rspo-in-netzero-deforestation-pledge
BUTLER, R. (2013) The beginning of the end of deforestation in Indonesia? Mongabay. [Online] Available from: news.mongabay.com/2013/0205-app-forest-policy. html RAINFOREST FOUNDATION. (2012) The world’s biggest sovereign wealth fund joins battle against rainforest destruction. [Online] Available from: http://www.regnskog. no/languages/english/the-worlds-biggest-sovereignwealth-fund-joins-battle-against-rainforest-destruction MAGRATH, B. & GRANDALSKI, R. (2002) Policies, strategies and technologies for forest resource protection. In: Enters ET AL. (eds). Applying Reduced Impact Logging to Advance Sustainable Forest Management. FAO. BROWN, D. & LUTTRELL, C. (2005) Review of independent forest monitoring. Overseas Development Institute (ODI), Forest Policy and Environment Group. 67p. London: ODI. FSC. (2013) FSC Ends Association with the APRIL Group. [Online] Available from: ic.fsc.org/newsroom.9.454.htm
332.
ASSUNÇÃO, J. ET AL. (2013) DETERring Deforestation in the Brazilian Amazon: Environmental Monitoring and Law Enforcement. Climate Policy Initiative.
333.
GLOBAL TIMBER TRACKING NETWORK. (2013) Why GTTN. [Online] Available from: www. globaltimbertrackingnetwork.org/about_us/why_gttn.html
334.
BROWN, D. ET AL. (2004) Forest Law Enforcement & Governance: The role of independent monitors in the control of forest crime. ODI.
335.
BRACK, D. & SAUNDERS, J. (2004) Public Procurement of Timber: EU Member state initiatives for sourcing legal and sustainable timber. Discussion paper for workshop on public
procurement of timber. London, UK: Chatham House. 336.
DEFRA. (2012) Sustainable production of palm oil: UK statement. [Online] Available from: www.gov.uk/ government/uploads/system/uploads/attachment_data/ file/69607/uk-statement-palm-oil-20121025.pdf
337.
LEGGETT, M. (2013) Drivers of deforestation and WTO rules: Conflicts and Solutions. Oxford: Global Canopy Programme.
338.
DE BOER, A. & HENTSCHEL, G. (2011) European Timber Trade Federation Annual Survey: The European Market for Verified Legal and Sustainable Timber (April 2011), p.6.
339.
BRACK, D. (2008) Controlling illegal logging using public procurement policy. Energy, Environment and Development Programme. June 2008, EEDP LOG BP 08/02.
340.
EDF. (2013) Ready for REDD: Acre’s State Programs for Sustainable Development and Deforestation Control. [Online] Available from: www.edf.org/sites/default/files/ Acre_Ready_for_REDD_EDF.pdf
341.
GLOBAL PARTNERSHIP FOR FOREST LANDSCAPE RESTORATION. (2009) A world of opportunity. Edinburgh, UK.
342.
FOREST CARBON PORTAL (2013). Indonesian palm oil industry would support land swaps to protect forest, while expanding production. [Online] Available from: www.forestcarbonportal.com/news/indonesian-palm-oilindustry-would-support-land-swaps-protect-forest-whileexpanding-production
343.
LEATHER WORKING GROUP. (2013) [Online] Available from: www.leatherworkinggroup.com
344.
CONSERVATION INTERNATIONAL. (2013) Deforestation Guides for Commodity Sourcing. [Online] Available from: www.conservation.org/how/science/Pages/deforestationguides-for-commodity-sourcing.aspx FAO. (2007) Future expansion of soybean 20052014 Implications for food security, sustainable rural development and agricultural policies in the countries of Mercosur and Bolivia, Synthesis Document, Policy Assistance Series 3 ISSN 1819-4591, Santiago October 2007.
345.
346.
ASBRAER/ABER. (2010) Serviços de ATER para o Brasil contemporâneo: “Contribuição da Extensão Rural Estatal aos candidatos à Presidência da República”. Associação Brasileira das Entidades Estaduais de Assistência Técnica e Extensão Rural (ASBRAER) e Academia Brasileira de Extensão Rural (ABER).
347.
CLAY, J. ET AL. (2005) Leverage points for encouraging sustainable commodity production. Agricultural commodities, trade and sustainable development. London: International Institute for Environment and Development.
215
348.
349.
350.
351.
352.
GOVERNMENT OFFICE FOR SCIENCE. (2011) Foresight. The Future of Food and Farming: Challenges and choices for global sustainability. London: The Government Office for Science. CLAY, J. ET AL. (2005) Leverage points for encouraging sustainable commodity production. Agricultural commodities, trade and sustainable development. London: International Institute for Environment and Development. WRI. (2013) Indonesia Extends its Forest Moratorium: What Comes Next? [Online] Available from: http://insights. wri.org/news/2013/05/indonesia-extends-its-forestmoratorium-what-comes-next POST COURIER. (2013) SABL Inquiry Commission Slammed By PNG Government. [Online] Available from: http://pidp.eastwestcenter.org/pireport/2013/ March/03-28-09.htm TROPICAL FOREST GROUP. (2013) Reducing Emissions from Deforestation, Cross River State, Nigeria. [Online] Available from: http://www.tropicalforestgroup.org/ logging-moratorium-cross-river-state-nigeria
[Online] Available from: http://web.worldbank.org/ WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/ENVIRONMENT/0,,conte ntMDK:22276657~pagePK:210058~piPK:210062~theSite PK:244381,00.html
374.
362.
RABOBANK GROUP. (2013) Sustainable banking policy. [Online] Available from: www.rabobank.com/en/group/ sustainability/policies.html
SCHLAGER, E. & OSTROM, E. (1992) Property rights regimes and natural resources: a conceptual analysis. Land Economics Vol. 68 (3) pp. 249-262.
375.
363.
RABOBANK GROUP. (2012) Rabobank Brazil - CSR Policy. [Online] Available from: www.rabobank.com.br/en/ images/CSR%20Policy%20version.pdf
364.
BECK, T. ET AL. (2008) The Typology of Partial Credit Guarantee Funds around the World. Washington, DC: The World Bank.
365.
GAINES, A. & GRAYSON, J. (2009) Chapter Four: The potential of risk mitigation mechanisms to facilitate private sector investment in REDD projects. In Forest Investment Review. London: Forum for the Future.
366.
YIN, D. (2013) How Forest Carbon Projects Protect Themselves From Political Risk. Ecosystem Marketplace. [Online] Available from: www.ecosystemmarketplace.com/pages/dynamic/article. page.php?page_id=9916§ion=news_articles&eod=1
353.
WWF. (2013) Paraguay Extends Zero Deforestation Law to 2018. [Online] Available from: wwf.panda.org/?210224/ Paraguay-extends-Zero-Deforestation-Law-to-2018
367.
OAKES, N. & LEGGETT, M. (eds.) (2012) The Little Forest Finance Book. Oxford: Global Canopy Programme.
354.
OAKES, N. & LEGGETT, M. (eds.) (2012) The Little Forest Finance Book. Oxford: Global Canopy Programme.
368.
INTERNATIONAL FINANCE CORPORATION ADVISORY SERVICES. (2013) Global Index Insurance Facility. [Online] Available from: http://www.ifc.org/wps/wcm/ connect/b72e85804f36187a88a1ce032730e94e/GIIF_ Global_Factsheet_April+12.pdf?MOD=AJPERES.
355.
FORUM FOR THE FUTURE. (2009) Forest Investment Review. London: Forum for the Future.
356.
INTERNATIONAL FINANCE CORPORATION. (2013) IFC Projects Database. [Online] Available from: ifcext.ifc.org/ifcext/spiwebsite1.nsf/651aeb16abd09c1f852 5797d006976ba/a8f1bd7744b6da1485257bc800701226?o pendocument.
357.
TRIVEDI, M. ET AL. (2012) Think PINC: Securing Brazil’s food, water and energy with Proactive Investment in Natural Capital. Oxford, UK: Global Canopy Programme.
358.
GRIFFITHS, J. (2012) Leveraging private sector finance: how does it work and what are the risks? London: Bretton Woods Project. [Online] Available from: www. brettonwoodsproject.org/doc/private/leveraging.pdf
359.
360.
361.
216
GLOBAL ENVIRONMENT FACILITY. (2011) Review of the Global Environment Facility Earth Fund. Evaluation Report No. 62. [Online] Available from: http://www.thegef.org/ gef/sites/thegef.org/files/documents/Earth-Fund_2011.pdf EBRD. (2008) Environmental and Social Policy. [Online] Available from: http://www.ebrd.com/downloads/ research/policies/2008policy.pdf WORLD BANK. (2011) 2012 Environment Strategy.
369.
370.
371.
372.
373.
INTERNATIONAL FINANCE CORPORATION ADVISORY SERVICES. (2013) Global Index Insurance Facility. [Online] Available from: http://www.ifc.org/wps/wcm/ connect/b72e85804f36187a88a1ce032730e94e/GIIF_ Global_Factsheet_April+12.pdf?MOD=AJPERES. CERES. (2013) Shareholder Resolutions – Forests. [Online] Available from:http://www.ceres.org/investor-network/ resolutions#!/subject=Forests&year=2013&company=&file r=§or=&status=&memo=&all=.
producers-to-adhere-to-rspo-principles-as-next-phase-ofengagement-begins 388.
WALKER, N. ET AL. (2013) Demand-side interventions to reduce deforestation and forest degradation. London: International Institute for Environment and Development (IIED).
ROBINSON, B.E (2011) Does secure land tenure save forests? A review of the relationship between land tenure and tropical deforestation. CCAFS Working Paper 7. Copenhagen, Denmark: CCAFS.
389.
WESTBERG, C.J. & JOHNSON, F. X. (2013) The path not yet taken: Bilateral agreements to promote sustainable biofuels under the EU Renewable Energy Directive. SEI Working Paper No. 2013-02.
376.
ANGELSEN, A. (2010) Policies for reduced deforestation and their impact on agricultural production. PNAS, 107 (46), 19639–19644.
390.
BRACK, D. (2013) Controlling imports of Palm-Oil: interaction with WTO rules. A report commissioned by Global Canopy Programme.
377.
ROBINSON, B.E (2011) Does secure land tenure save forests? A review of the relationship between land tenure and tropical deforestation. CCAFS Working Paper 7. Copenhagen, Denmark: CCAFS.
391.
USDA ANIMAL AND PLANT HEALTH INSPECTION SERVICE.(2008) Amendments to the Lacey Act from H.R.2419, Sec. 8204.
392. 378.
KISSINGER, G. ET AL. (2012) Drivers of deforestation and forest degradation: a synthesis report for REDD+ policymakers. Vancouver, Canada: Lexeme Consulting.
US DEPARTMENT OF JUSTICE. (2012) Gibson Guitar Corp. Agrees to Resolve Investigation into Lacey Act Violations.
393. 379.
DEACON, ET AL. (2006) Political economy and natural resource use. Economic development and environmental sustainability: new policy options, 122.
CLARK, S. ET AL. (2008) Protected areas: an effective tool to reduce emissions from deforestation and forest degradation in developing countries? Working Paper. Cambridge, U.K : UNEP WorldConservation Monitoring Centre.
394.
JOPPA, L.N. ET AL. (2008) On the protection of “protected areas”. PNAS May 6, 2008 vol. 105 no. 18 6673-6678.
395.
RODRICKS, S. (2010) TEEBCase: Enabling the legal framework for PES, Costa Rica. 2010. [Online] Available from: TEEBweb.org. Mainly based on BENNET, K. & HENNINGER, N. (2009) Payments for Ecosystem Services in Costa Rica and Forest Law No. 7575: Key Lessons for Legislators. World Resources Institute.
396.
IPAM. (2012) Brazil’s “Low-Carbon Agriculture”Program: Barriers To Implementation. [Online] Available from: http://www.gcftaskforce.org/documents/brazil’s_lowcarbon_agriculture_program.pdf
397.
RRI. (2013) Global Capital, Local Concessions: A DataDriven Examination of Land Tenure Risk and Industrial Concessions in Emerging Market Economies.
398.
DTE. (2012) Indonesia’s ‘One Map Policy’. [Online] Available from: http://www.downtoearth-indonesia.org/ story/indonesia-s-one-map-policy
399.
LEOPOLD, A. (2010) TEEBcase: Agroecological Zoning in Brazil incentivises more sustainable agricultural practices.
380. MUNDEN PROJECT. (2012) The financial risks of insecure land tenure: an investment view. Prepared for the Rights and Resources Initiative. [Online] Available from: www. rightsandresources.org/documents/files/doc_5715.pdf 381.
BRACK, D. & BAILEY, R. (2013) Ending global deforestation: policy options for consumer countries. London: Chatham House.
382.
BRACK, D. & BAILEY, R. (2013) Ending global deforestation: policy options for consumer countries. London: Chatham House. LEGGETT, M. (2013) Drivers of Deforestation and WTO Rules: Conflicts and Solutions. Oxford : Global Canopy Programme.
383.
384.
LEGGETT, M. (2013) Drivers of Deforestation and WTO Rules: Conflicts and Solutions. Oxford: Global Canopy Programme.
385.
BRACK, D. (2013) Controlling Imports of Palm Oil: Interaction with WTO Rules. A report commissioned by Global Canopy Programme.
386.
BRACK, D. & BAILEY, R. (2013) Ending global deforestation: policy options for consumer countries. London: Chatham House.
387.
PURVIS, N. ET AL. (2013) Breaking the link between commodities and climate change. Report prepared by Climate Advisers, Washington D.C. [Online] Available from:
CERES. (2013) Dunkin’ Palm Oil Resolution. [Online] Available from: http://www.ceres.org/investor-network/ resolutions/dunkin-palm-oil-resolution-2013 RAINFOREST FOUNDATION. (2012) The world’s biggest sovereign wealth fund joins battle against rainforest destruction. [Online] Available from: http://www.regnskog. no/languages/english/the-worlds-biggest-sovereignwealth-fund-joins-battle-against-rainforest-destruction UN PRI. (2013) Institutional investors call on palm oil producers to adhere to RSPO principles as next phase of engagement begins. [Online] Available from: http://www. unpri.org/press/institutional-investors-call-on-palm-oil-
http://www.climateadvisers.com/pdf/Breaking.pdf
400. FOREST CARBON PARTNERSHIP FACILITY. (2009) Drivers of deforestation and degradation. Conference presentation, August, 13 – 14, 2009. 401.
BUTLER, R ET AL. (2009) REDD in the red: palm oil
217
Kontributor Eksternal Catatan Akhir could undermine carbon payment schemes. Conservation Letters 1–7. 402.
403.
HEIN, L. ET AL. (2012) REDD+ in the context of ecosystem management. Current Opinion in Environmental Sustainability. 4,6: 604–611. ANGELSEN, A. (2010) Policies for reduced deforestation and their impact on agricultural production. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS). Vol. 107, no. 46 pp. 19639-19644.
v.
ALTIERI, M.A (1999) The ecological role of biodiversity in agroecosystems. Agriculture Ecosystems & Environment 74, 19-31.
vi.
FOLEY, J.A. ET AL. (2005) Global consequences of land use. Science 309, 570-574.
xix.
FAO. (2010) Forest Resources Assessment data for Cambodia.
vii.
DORIN, B. ET AL. (2013) A World without Farmers? The Lewis Path Revisited. CIRED Working Paper 47-2013.
xx.
viii.
THE WORLD BANK. (2013) Country Partnership Strategy, July 2013.
FAO. (2010) Assessment of land use, forest policy and governance in Cambodia. [Online] Available from: http://www.unredd.net/index.php?option=com_ docman&task=doc_download&gid=6040&Itemid=53
xxi. ix.
GLOBAL WITNESS. (2013) GIS estimates.
Interviews conducted by Global Witness with villagers in Kratie and Ratanakiri Provinces, Cambodia, 2012-2013.
x.
xxii.
FULLERTON, D. ET AL. (2010) Environmental taxes. MIRRLEES, J. ET AL. (eds.). Dimensions of Tax Design. The Mirrlees Review. Oxford: Oxford University Press.
LEITI. (2013) LIBERIA EXTRACTIVE INDUSTRIES TRANSPARENCY INITIATIVE (LEITI) Post Award Process Audit Final Report.
GLOBAL WITNESS. (2013) Rubber Barons. [Online] Available from: http://www.globalwitness.org/ rubberbarons
xi.
OECD. (2011) Environmental Taxation. A Guide for Policy Makers. [Online] Available from: www.oecd.org/env/toolsevaluation/48164926.pdf
GLOBAL WITNESS. (2012) Signing Their Lives Away: Liberia’s Private Use Permits and the Destruction of Community-Owned Rainforest.
xxiii. DEFRIES, R. S. ET AL. (2010) Deforestation driven by urban population growth and agricultural trade in the twenty-first century. Nature Geoscience, 3(3), 178-181.
xii.
GLOBAL WITNESS. (2012) The art of logging industrially in the Congo: how loggers are abusing artisanal permits to exploit the Democratic Republic of Congo.
xxiv. RUDEL, T. K. ET AL. (2009) Changing drivers of deforestation and new opportunities for conservation. Conservation Biology, 23(6), 1396-1405.
xiii.
REM. (2013) Final report. Independent Monitoring of Forest Law Enforcement and Governance (IM-FLEG) in the Democratic Republic of Congo.
xxv.
xiv.
GLOBAL WITNESS. (2013) Estimate for Liberia.
xv.
THE RAINFOREST FOUNDATION UK. (2013) Seeds of Destruction. Expansion of industrial oil palm in the Congo Basin: Potential impacts on forests and people.
WOLOSIN, M. ET AL. (2011) A Whole-of-Government Approach to Reduce Tropical Deforestation. Discussion Paper. Climate Advisors. pp. 11-28. [Online] Available from: http://www.climateadvisers.com/pdf/RFF-DP-11-28.pdf WOLOSIN, M. ET AL. (2011) A Whole-of-Government Approach to Reduce Tropical Deforestation. Discussion Paper. Climate Advisors. pp. 11-28. [Online] Available from: http://www.climateadvisers.com/pdf/RFF-DP-11-28.pdf
408. OECD. (2011) Environmental Taxation. A Guide for Policy Makers. [Online] Available from: http://www.oecd.org/ env/tools-evaluation/48164926.pdf
411.
PAGIOLA, S. (2008) Payments for environmental services in Costa Rica. Ecological economics, 65(4), 712-724.
xvi.
218
xviii. ASSOCIATION OF NATURAL RUBBER PRODUCING COUNTRIES (2008) Quarterly NR Market Review, Kuala Lumpur, Q1 and Q2. [Online] Available from: www.anrpc. org/html/filedownload.aspx?file=QUARTERLY%20NR%20 MARKET%20REVIEW/MARKET%20REVIEW%20 Q1_Q2%20%202008.PDF ADNAN, H. (2010) Rubber prices reach new highs. The Star, 26 April 2010, [Online] Available from: http:// biz.thestar.com.my/news/story.asp?file=/2010/4/26/ business/6120041&sec=business\ INTERNATIONAL RUBBER STUDY GROUP (IRSG) & FAO. (2003) Recent Developments in Natural Rubber Prices. [Online] Available from: http://www.fao.org/ docrep/006/Y4344E/y4344e0d.htm; Teo Ser Luck, op.
GRIFFON, M. (2013) Qu’est ce que l’agriculture écologiquement intensive ? Quae, Versailles.
BULL, G. Q. ET AL. (2006) Industrial forest plantation subsidies: Impacts and implications’. Forest Policy and Economics 9, pp. 13-31.
410.
PAILLARD, S. TRÉYER, S. & DORIN, B. (Coord.) (2011) Agrimonde: scenarios and challenges for feeding the world in 2050. Quae, Versailles.
INTERNATIONAL RUBBER STUDY GROUP (IRSG). (2003) The future of tyre and rubber sector of China and consequences for the world rubber industry: a multi-client study. [Online] Available from: www.iisrp.com/RelatedlinksDoc/IRSGChinaStudy.pdf
iv.
405.
409.
ii.
xvii.
MILLENNIUM ECOSYSTEM ASSESSMENT. (2005) Ecosystems and Human Well-being: Synthesis. Millennium Ecosystem Assessment, World Resources Institute, Washington D.C.
FAO. (2012) Building Bridges Between REDD+ And Sustainable Agriculture: Addressing Agriculture’s Role As A Driver Of Deforestation.
407.
GOVERNMENT OFFICE FOR SCIENCE. (2011) Foresight. The Future of Food and Farming: Challenges and choices for global sustainability. London: The Government Office for Science.
iii.
404.
406.
i.
This article is based on Global Witness’ May 2013 report “Rubber Barons: how Vietnamese companies and international finance are driving a land grabbing crisis in Cambodia and Laos” [Online] Available from: www.globalwitness.org/rubberbarons
FISHER, B. (2010) African exception to drivers of deforestation. Nature Geoscience, 3(6), 375-376.
xxvi. RUDEL, T. K. (2013) The national determinants of deforestation in sub-Saharan Africa. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences,368(1625). xxvii. KISSINGER, G. ET AL. (2012) Drivers of deforestation and forest degradation: a synthesis report for REDD+ policymakers. Lexeme Consulting, Vancouver, Canada. xxviii. BRANDÃO, A. ET AL. (2012) Inquérito Civil Público no 1.23.000.002382/2011-17. Belém, Brazil: Imazon.
219
xxix. KISSINGER, G. ET AL. (2012) Drivers of deforestation and forest degradation: a synthesis report for REDD+ policymakers. Lexeme Consulting, Vancouver, Canada.
xlii.
HOSONUMA, N ET AL. (2012) An assessment of deforestation and forest degradation drivers in developing countries. Environ. Res. Lett. 7 044009.
xxx.
xliii.
DURAN, A.P. ET AL. (2013) Global spatial coincidence between protected areas and metal mining activities. Biological Conservation, Vol. 160 p. 272-278.
xliv.
VILLEGAS, C. ET AL. (2012) Artisanal and small-scale mining in protected areas and critical ecosystems programme: a global solutions study. WWF-World Wide Fund for Nature & Estelle Levin, Ltd.
MINAM PERÚ. (2013) Plan de Inversión Forestal (Documento de Trabajo)-Versión 15.03.2013 - Elaborado por el Comité Directivo Nacional del FIP, integrado por el MEF, MINAM, MINAG y CIAM. Lima, Perú : Ministerio del Ambiente.
xxxi. BROWN, D. & SCHRECKENBERG, K. (1998) Shifting cultivators as agents of deforestation: assessing the evidence. Overseas Development Institute. xlv. xxxii. BRUUN, T. B. ET AL. (2009) Environmental consequences of the demise in swidden cultivation in Southeast Asia: Carbon storage and soil quality. Human Ecology, 37(3), 375-388. xlvi. xxxiii. LIMA, M. ET AL. (2011) Deforestation and the social impacts of soy for biodiesel: perspectives of farmers in the South Brazilian Amazon. Ecology and Society, 16(4), 4. xxxiv. RIST, L. ET AL. (2010) The livelihood impacts of oil palm: smallholders in Indonesia. Biodiversity and Conservation, 19(4), 1009-1024. xxxv. COLCHESTER, M. ET AL. (2006) Promised land: Palm oil and land acquisition in Indonesia: Implications for local communities and indigenous peoples. Bogor: Forest Peoples Programme (FPP), Perkumpulan Sawit Watch (SW).
xlix.
l.
xl.
xli.
220
MEDINA, G. ET AL. (2009) Loggers, development agents and the exercise of power in Amazonia. Development and Change, 40(4), 745-767. MAYERS, J. & VERMEULEN, S. (2002) Companycommunity forestry partnerships: From raw deals to mutual gains. International Institute for Environment and Development, London.
lvi.
WWF. (2013) The many faces of the Camisea natural gas project. [Online]. Available from: wwf.panda.org/what_ we_do/where_we_work/amazon/problems/other_threats/ oil_and_gas_extraction_amazon/camisea_amazon SOSYASUNI. (2013) Forseeable impacts of oil industry activity in Yasuní. [Online] Available from: http://www. sosyasuni.org/en/index.php?option=com_content&task=vi ew&id=39&Itemid=26
li.
MEGEVAND, C. ET AL. (2013) Deforestation Trends in the Congo Basin: Reconciling Economic Growth and Forest Protection. Washington DC: The World Bank.
lii.
SWENSON, J.J. ET AL. (2011) Gold mining in the Peruvian Amazon: global prices, deforestation, and mercury imports. PloS one, 6 (4), e18875.
liii.
UNEP. (2013) Global Mercury Assessment 2013: Sources, Emissions, Releases and Environmental Transport. Geneva, Switzerland: UNEP Chemicals Branch.
liv.
EARTHWORKS AND MININGWATCH CANADA. (2012) Troubled waters: how mine waste dumping is poisoning our oceans, rivers, and lakes. [Online]. Available from: www.earthworksaction.org/files/publications/TroubledWaters_FINAL.pdf
UNEP. (2011) Decoupling Natural Resource Use and Environmental Impacts from Economic Growth. [Online] Available from: http://www.unep.org/resourcepanel/ decoupling/files/pdf/decoupling_report_english.pdf
lviii.
PWC. (2011) Mine 2011 — The game has changed: review of global trends in the mining industry. [Online] Available from: http://www.pwc.com/en_GX/gx/mining/pdf/mine2011-game-has-changed.pdf
lix.
DEFRIES, R. ET AL. (2013) Export-oriented deforestation in Mato Grosso: harbinger or exception for other tropical forests? Phil. Trans. R. Soc. B 368, 20120173.
lx.
SEARCHINGER, T. ET AL. (2011) The Food, Forest and Carbon Challenge. National Wildlife Federation.[Online] Available from: www.nwf.org/~/media/PDFs/GlobalWarming/Reports/TheFoodForestandCarbonChallenge. ashx .
lxi.
MARSHALL, A.R. (2007) Lower Ok Tedi and Middle Fly vegetation dieback monitoring summary report. Ok-Tedi
GEIST, H. & LAMBIN, E. (2002) Proximate causes and underlying driving forces of tropical deforestation. Bioscience 52, 143–150.
lxii.
PRODES. (2013) [Online] Available from: http://www.obt. inpe.br/prodes/index.php
lxiii.
PRESIDÊNCIA DA REPÚBLICA. (2009) DECRETO Nº 7.029, DE 10 DE DEZEMBRO DE 2009. [Online] Available from: http://www.planalto.gov.br/ccivil_03/_ato20072010/2009/Decreto/D7029impressao.htm .
lxiv.
lxv.
lxvi.
lv.
MWANYOKA, I. R. (2005) Payment for Water Services as a Mechanism for Watershed Management: The Case of the Sigi River Catchment, Tanga, Tanzania. [Online] Report prepared for WWF Tanzania. Available from: www.cepf.net/Documents/wwf.pse.report.pdf
lvii.
xlviii. MINEM PERÚ. (2011) Anuario Estadístico de Hidrocarburos 2010. Lima, Peru: MINEM.
xxxvii. RIST, L. ET AL. (2010) The livelihood impacts of oil palm: smallholders in Indonesia. Biodiversity and Conservation, 19(4), 1009-1024.
xxxix. POKORNY, B. ET AL. (2010) A produção familiar como alternativa de um desenvolvimento sustentável para a Amazônia: Lições aprendidas de iniciativas de uso florestal por produtores familiares na Amazônia boliviana, brasileira, equatoriana e peruana. Bogor, Indonésia: CIFOR.
SWENSON, J.J. ET AL. (2011) Gold mining in the Peruvian Amazon: global prices, deforestation, and mercury imports. PloS one, 6(4), e18875.
xlvii. RAISG. (2012) Amazonía bajó presión. Red Amazónica de Información Socioambiental Georreferenciada; coordinación. general Beto Ricardo (ISA) . São Paulo: Instituto Socioambiental.
xxxvi. NEPSTAD, D. ET AL. (2001) Road paving, fire regime feedbacks, and the future of Amazon forests. Forest ecology and management 154.3: 395-407.
xxxviii. WALKER, N.F. ET AL. (2013) From Amazon pasture to the high street: deforestation and the Brazilian cattle product supply chain. Tropical Conservation Science. Special Issue Vol. 6(3):446-467.
FINER, M. & ORTA-MARTINEZ, M. (2010) A second hydrocarbon boom threatens the Peruvian Amazon: trends, projections, and policy implications. Environmental research letters, 5(1), 014012.
Mining Environment Department. [Online]. Available from: http://www.oktedi.com/attachments/238_070920_ FY07%20Dieback%20Monitoring_Marshall_summary.pdf
BUSTAMANTE, M. M. ET AL. (2012) Estimating greenhouse gas emissions from cattle raising in Brazil. Climatic Change, DOI: 10.1007/s10584-012-0443-3. MACEDO, M. N. ET AL. (2012)Decoupling of deforestation and soy production in the southern Amazon during the late 2000s. Proceedings of the National Academy of Sciences, doi:10.1073/pnas.1111374109. BARRETO, P & SILVA, D. (2010) Will Cattle Ranching Continue to Drive Deforestation in the Brazilian Amazon? Paper presented at the International Conference: Environment and Natural Resources Management in Developing and TransitionEconomies, November 1.
lxvii. GREENPEACE. (2009) Slaughtering the Amazon. lxviii. GREENPEACE. (2009) Brazil cattle industry giants unite in banning Amazon destruction. [Online] Available from:
http://www.greenpeace.org/usa/en/media-center/newsreleases/brazil-cattle-industry-giants lxix.
SIMLAM. (2013) Sistema Integrado de Monitoramento e Licenciamento Ambiental. [Online] Available from: http:// monitoramento.sema.pa.gov.br/simlam
lxx.
GIBBS, H. (2013) University of Wisconsin-Madison, pers comm. 25th July 2013.
lxxi.
WALLKER, N.F. (2013) From Amazon pasture to the high street: deforestation and the Brazilian cattle product supply chain. Tropical Conservation Science 6:446-467.[Online] Available from: http://tropicalconservationscience. mongabay.com/content/v6/TCS-2013_Vol_6(3)_446-467Walker_et_al.pdf
lxxii. CONSUMER GOODS FORUM. (2010) Consumer Goods Industry Announces Initiatives on Climate Protection Press Release. [Online] Available from: http://sustainability. mycgforum.com/images/sustainability-pic/Press_ Release_-_2010-11-29-ClimateProtection.pdf lxxiii. BRANDO, P.M. ET AL. (2013) Ecology, economy and management of an agroindustrial frontier landscape in the southeast Amazon. Phil. Trans. R. Soc. B 368, 20120152. lxxiv. INPE. (2013) Projeto Desmatamento (PRODES): Monitoramento da Floresta Amazonica por Satelite. [Online] Available from: http://www.obt.inpe.br/prodes lxxv. NEPSTAD, D. C. ET AL. (2006) Globalization of the Amazon soy and beef industries: opportunities for conservation. Conservation Biology 20:1595-1603. lxxvi. MORTON, D. C. ET AL. (2006) Cropland Expansion Changes Deforestation Dynamics in the Southern Brazilian Amazon. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 103:14637-14641. lxxvii. GREENPEACE. (2006) Eating Up the Amazon. Greenpeace International. lxxviii. NEPSTAD, D. C. ET AL. (2006) Globalization of the Amazon soy and beef industries: opportunities for conservation. Conservation Biology 20:1595-1603. lxxix. NEPSTAD, D. ET AL. (2009) The End of Deforestation in the Brazilian Amazon. Science 326:1350-1351. lxxx. MACEDO, M. N. ET AL. (2012) Decoupling of deforestation and soy production in the southern Amazon during the late 2000s. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 109:1341-1346. lxxxi. NEPSTAD, D. C. ET AL. (2013) Responding to climate change and the global land crisis: REDD+, market transformation and low-emissions rural development. Philosophical Transactions of the Royal Society B-Biological Sciences 368.
221
lxxxii. NEPSTAD, D. C. ET AL. (2011) Systemic Conservation, REDD, and the Future of the Amazon Basin. Conservation Biology 25:1113-1116. lxxxiii. UNECE. (2009) The importance of china’s forest Products markets to the UNECE region. Geneva timber and forest discussion paper 57.
Report. WWF. xcviii. MCKINSEY & COMPANY. (2009) China’s green revolution – Prioritizing technologies to achieve energy and environmental sustainability. xcix.
lxxxiv. UN COMTRADE. (2013) [Online] Available from: http:// comtrade.un.org lxxxv. UN COMTRADE. (2013) [Online] Available from: http:// comtrade.un.org
c.
lxxxvi. ENVIRONMENTAL INVESTIGATION AGENCY. (2012) Appetite for destruction - China’s trade in illegal timber. lxxxvii. JIANGUAN, F. (2013) China’s Effort to Tackle the Trade in Illegal Timber. Presentation - 22nd Illegal Logging Update and Stakeholder Consultation meeting. Chatham House London. Department of Development Planning and Assets Management, State Forestry Administration of China. lxxxviii. STATE FORESTRY ADMINISTRATION OF CHINA. (2012) China’s Forest Resources Management and Forest Products Trade Policies. Presentation - UNFF CLI Vietnam.
ci.
cii.
ciii.
lxxxix. UN COMTRADE. (2013) [Online] Available from: http:// comtrade.un.org xc.
ENVIRONMENTAL INVESTIGATION AGENCY. (2012) Appetite for Destruction – China’s trade in Illegal Timber. New York.
xci.
GREENPEACE. (2012) The Ramin Paper Trail Asia Pulp & Paper Under Investigation - Part 2.
xcii.
BROWN-LIMA, C. ET AL. (2010) An overview of the BrazilChina soyabean trade and its strategic implications for conservation. The Nature Conservancy.
xciii. CHINA DAILY. (2011) CGG is setting up a soyabean base in Brazil. [Online] Available from: http://www.chinadaily. com.cn/business/2011-11/24/content_14153948.htm xciv.
xcv.
xcvi.
BLOOMBERG. (2012) Brazil Seen Beating U.S. in Soyabean Trade as China Buys. [Online] Available from: http://www. bloomberg.com/news/2012-10-31/brazil-seen-beating-u-sin-soyabean-trade-as-china-demand-surges.html PUTZEL, L. ET AL. (2011) Chinese trade and investment and the forests of the Congo Basin. Synthesis of scoping studies in Cameroon, Democratic Republic of Congo and Gabon. Working Paper 67. Bogor, Indonesia: CIFOR. NORMAN, B. (2013). GreenPalm: China and India. [Online] Available from: http://www.sustainablepalmoil.org/ standards-certfication/certification-schemes/case-studies/ greenpalm-kick-starting-sustainability-in-china-and-india
xcvii. GAODI, X. ET AL. (2012) China Ecological Footprint
222
STEERING COMMITTEE OF THE STATE-OFKNOWLEDGE ASSESSMENT OF STANDARDS AND CERTIFICATION. (2012) Toward sustainability: the roles and limitations of certification. Washington, DC: RESOLVE, Inc. NEPSTAD, D. ET AL. (2013) Responding to climate change and the global land crisis: REDD+, market transformation and low-emissions rural development. Philosophical Transactions of the Royal Society B-Biological Sciences, 368. RSPO. (2013) Market data performance 11 June 2013. [Online] Available from: http://www.rspo.org/file/MarketData-Performance-May2013_11June_LATESTiii.pdf FSC. (2013) Global FSC certificates: type and distribution. [Online] Available from: https://ic.fsc.org/download.factsand-figures-august-2013.a-2271.pdf WWF. (2012) The 2050 criteria: guide to responsible investment in agricultural, forest, and seafood commodities. Washington, DC: WWF.
civ.
BONSUCRO. (2013) Fact sheets. [Online] Available from: http://bonsucro.com/site/fact-sheets
cv.
RTRS. (2013) Certified volumes and producers. [Online] Available from: http://www.responsiblesoy.org/index. php?option=com_content&view=article&id=297&Itemid =181&lang=en
cvi.
MASCOTENA, A. (2013) Personal communication.
cvii.
MASCOTENA, A. (2013) Personal communication.
cviii. GRIMARD, A. (2013) Personal communication. cix.
FSC. (2012) FSC principles and criteria for forest stewardship. Bonn, Germany: FSC International Center.
cx.
STICKLER, C. ET AL. (2012) Global rules for sustainable farming. A comparison of social and environmental safeguards for REDD+ and principles and criteria for commodity roundtables. San Francisco, U.S.A: IPAM International Program.
cxi.
cxii.
AULD, G. ET AL. (2008) Certification schemes and the impacts on forests and forestry. Annual Review of Environment and Resources, 33, 187-211. DAMETTE, O. & DELACOTE, P. (2011) Unsustainable timber harvesting, deforestation and the role of certification. Ecological Economics, 70, 1211-1219.
cxiii. VISSEREN-HAMAKERS, I.J. & PATTBERG, P. (2013) We can’t see the forest for the trees: the environmental impact of global forest certification is unknown. Gaia, 22, 25-28. cxiv.
USAID. (2013) Tropical Forest Alliance 2020. [Online] Available from: http://www.usaid.gov/sites/default/files/ documents/1865/TFA2020FACTSHEET.pdf
cxv.
TRUCOST PLC. (2013) Natural Capital at Risk: The Top 100 Externalities of Business. [Online] Available from: http://www.teebforbusiness.org/js/plugins/filemanager/ files/TEEB_Final_Report_v5.pdf
cxvi.
IRWIN, S. H. & SANDERS, D. R. (2010) The Impact of Index and Swap Funds on Commodity Futures Markets. OECD Food, Agriculture and Fisheries Working Papers No. 27.
the European Forest Institute.
cxvii. GHOSH, J. (2010) The Unnatural Coupling: Food and Global Finance. Journal of Agrarian Change, Volume 10, pp. 72-86. cxviii. GHOSH, J. (2010) The Unnatural Coupling: Food and Global Finance. Journal of Agrarian Change, Volume 10, pp. 72-86. cxix.
JONES, T. (2010) The Great Hunger Lottery: How Banking Speculation Causes Food Crises, s.l.: World Develpment Movement.
cxx.
SCHAFFNIT-CHATTERJEE,C. (2009) The Global Food Equation: Food security in an environment of increasing scarcity, Frankfurt am Main: Deutsche Bank Research.
cxxi.
SCHAFFNIT-CHATTERJEE,C. (2011) Where are the food prices heading? Short-term drivers, trends and implications, Frankfurt am Main: Deutsche Bank Research.
cxxii. JONES, T. (2010) The Great Hunger Lottery: How Banking Speculation Causes Food Crises, s.l.: World Develpment Movement. cxxiii. IRWIN, S. H. & SANDERS, D. R. (2010) The Impact of Index and Swap Funds on Commodity Futures Markets. OECD Food, Agriculture and Fisheries Working Papers No. 27. cxxiv. BLOCK, B. (2009) Global Palm Oil Demand Fueling Deforestation. [Online] Available from: http://www. worldwatch.org/node/6059. cxxv. SCHAFFNIT-CHATTERJEE,C. (2009) The Global Food Equation: Food security in an environment of increasing scarcity, Frankfurt am Main : Deutsche Bank Research. cxxvi. SCHAFFNIT-CHATTERJEE,C. (2011) Where are the food prices heading? Short-term drivers, trends and implications, Frankfurt am Main: Deutsche Bank Research. cxxvii. HOBLEY, M. & BUCHY, M. (2011) FLEGT and poverty alleviation: the role of VPAs. Internal report prepared for
223
Akronim Advanced Market Commitment
BAU
Business-as-usual
CBD CITES COP
United Nations Convention on Biodiversity Conventions on International Trade in Endangered Species Conference of the Parties
EM ES EU
Enforcement and Monitoring Ecosystem services European Union
FAO FI FLEGT FSC
Food and Agriculture Organisation of the United Nations Financial Institutions Forest Law Enforcement Governance and Trade action plan Forest Stewardship Council
GEF GHG
The Global Environment Facility Green House Gas Emissions
IFC
International Finance Corporation
MEA
Multilateral Environmental Agreements
NGO
Non Governmental Organisation
OECD OPIC
Organisation for Economic Co-operation and Development Overseas Private Investment Corporation
PES PPP
Payment for Ecosystem Services Public Private Partnership
REDD+ RSPO RTRS
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Roundtable for Sustainable Palm Oil Round Table on Responsible Soy
SFM
Sustainable Forest Management
TA TFA
Technical Assistance Tropical Forest Alliance
UN UNCCD UNFCCC UNFF UNGC
United Nations United Nations Convention to Combat Desertification United Nations Framework Convention on Climate Change United Nations Forum on Forests UN Global Compact
VPA
Voluntary Partnership Arrangements
WRI WTO
World Resources Institute World Trade Organisation
© Neil Palmer, CIAT
AMC
224
Untuk mengikuti perkembangan silahkan kunjungi: www.globalcanopy.org