MASA PENDIRIAN CANDI SURAWANA DAN CANDI TIGAWANGI: Analisis Segi Relief dan Inskripsi Oleh: Dwi Budi Harto *
Abstrak Candi Surawana dan candi Tigawangi adalah salah dua di antara puluhan candi yang berada di Jawa Timur. Meskipun berada di Kediri kedua candi ini tidak termasuk peninggalan Masa Kediri, tetapi merupakan peninggalan Masa Majapahit. Jika dilacak dari berbagai literatur ternyata angka tahun pendirian dan pendiri kedua candi Masa Klasik Hindu-Budha ini menunjukkan data yang berbeda. Oleh karena itu pelurusan angka tahun pendirian dan pendiri kedua candi perlu dilakukan, yaitu dengan menggunakan pendekatan Historis-Arkeologis. Berdasarkan kajian ini, kitab Negarakertagama sebagai rujukan utama dibantu dengan data Arkeologis lainnya, maka secara interpretatif menunjukkan bahwa candi Surawana didirikan setelah candi Tigawangi. Dimungkinkan tahun pendirian candi Tigawangi ± 1358 M sedangkan candi Surawana antara 1358 M – 1361 M. Keduanya didirikan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1351 M – 1389 M). Candi Surawana dan candi Tigawangi kemungkinan merupakan pendharmaan salah dua di antara 4 nenek Hayam Wuruk selain Rajapatni (Gayatri), di antaranya: (1) Sang Prameswari Tri-bhuwana/Indreswari/Tribhuwaneswari; atau (2) Parameswari Mahadewi; atau (3) Prajnyaparamita Jayendradewi. Pembangunan candi Surawana dipimpin oleh seorang Karaman (pejabat setingkat desa) yang bernama Si Da…. atau si Na…. atas perintah Bhre Wengker/Wijayarajasa/R. Kudamerta. Sedangkan candi Tigawangi pembukaan tanahnya dilakukan oleh Hayam Wuruk di ladang Watsari di Tigawangi. Kemungkinan pembangunan selanjutnya ditangani oleh Rajasawardhana dari Matahun. Kata Kunci: candi Surawana, candi Tigawangi, angka tahun, pendirian, Negarakertagama.
Pendahuluan Bidang Seni Rupa bisa dikaji dari berbagai pendekatan, salah satunya adalah pendekatan Historis. Tulisan ini akan mengkaji seputar peninggalan Sejarah Masa Klasik Hindu-Budha di Jawa Timur berdasarkan kajian Historis-Arkeologis, khususnya pada candi Surawana dan candi Tigawangi. Candi Surawana dan candi Tigawangi adalah salah dua di antara puluhan candi yang berada di Jawa Timur. Meskipun berada di wilayah Kediri, berdasarkan data Arkeologis sebelumnya, kedua candi ini bukanlah peninggalan kerajaan Kediri, melainkan merupakan peninggalan kerajaan Majapahit. Kedua candi ini dalam percaturan peninggalan kuna atau dunia pariwisata tidak setenar Borobudur ataupun Prambanan. Di bidang penelitian juga sedikit yang mengangkat candi ini secara khusus, sebagian besar hanya menyinggung kulitnya saja. Berdasarkan kenyataan ini sangat menarik bila candi tersebut diangkat ke permukaan. Lebih menarik lagi, angka tahun atau masa pendirian kedua candi masih diperdebatkan. Data Arkeologis sementara menyebutkan bahwa candi Surawana didirikan pada tahun 1388 M sebagai tempat pendharmaan (peringatan untuk memuliakan) Raja Wengker/Bhre Wengker dan candi Tigawangi didirikan pa-
1
da tahun 1400 M sebagai pendharmaan Bhre Matahun. Beranjak dari data tersebut tulisan ini ingin menggali dan mengkaji lebih lanjut kebenarannya. Kebenaran data Arkeologis/Sejarah sangat penting bagi ilmu pengetahuan, karena data ini telah masuk pada dunia pendidikan (di sekolah-sekolah). Berdasarkan beberapa pengamatan di lapangan banyak anak sekolah yang melakukan study tour menyebutkan dan meyakini bahwa angka tahun tersebutlah yang benar, karena didasarkan atas brosur yang diberikan juru kunci. Jika data tersebut salah maka sebagai “pengetahuan berantai” akan menghasilkan data yang salah dan diturunkan kepada generasi berikutnya.
Profil Candi Surawana dan Candi Tigawangi Candi Surawana terletak di Dusun Surowono, Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, bukanlah terletak di Dukuh Surawana, Desa Bloran, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri sebagaimana ditulis oleh Riharyani dalam Skripsinya (1987:1) yang mengutip pendapat N.J. Krom (1923:209). Desa Bloran ini memang benar terletak di Kecamatan Pare tetapi terletak di sebelah utara Dusun Surawana. Dusun Surawana ini oleh penduduk biasa disebut “Surowono”, sehingga candinya juga tidak disebut sebagai Candi Bloran (sebagaimana yang ditulis Riharyani 1987:1 dan 9), tetapi disebut Candi Surowono/Surawana. Kesalahan dusun dan desa yang ditulis oleh Riharyani ini mungkin tidak melihat kenyataan di lapangan, hanya mengutip pendapat N. J. Krom. Sedangkan Krom mungkin mendasarkan nama dusun dan desa itu pada kenyataan tahun 1923 (saat membuat buku), bukan kenyataan sekarang yang telah berubah nama dan wilayahnya. Denah candi berbentuk bujursangkar dengan masing-masing sisinya berukuran 7,8 meter (Krom 1923:210 dalam Riharyani 1987:12). Pondasi ditanam sedalam 30 cm di bawah permukaan tanah dan di bawah kaki candi terdapat batur dengan ketebalan 27 cm. Pondasi candi Surawana ini termasuk jenis pondasi tidak langsung yang berfungsi untuk meratakan tekanan pada tanah karena mendapat beban tertentu (Soediman 1979:12 dalam Riharyani 1987:13). Tinggi kaki candi adalah 1,38 meter dan badan candi 3,20 meter, sehingga tinggi keseluruhan dari permukaan tanah 4,58 meter (Perquin 1915:110 dalam Riharyani 1987:12). Sebagaimana arah candi Jawa Timur lainnya, candi Surawana ini juga menghadap ke Barat dan ditemukan sudah tidak beratap lagi. Kaki candi berdiri di atas batur berbentuk bujur sangkar setinggi 27 cm di atas permukaan tanah. Kaki candi juga dilengkapi dengan kemunculan sudut yang mengarah pada pintu masuk candi yang juga memiliki batur. Pintu masuk ini dalam keadaaan rusak, namun dapat dilihat sisa-sisa dinding/pipi pintu *
Penulis adalah dosen seni rupa FBS Universitas Negeri Semarang, magister Seni Murni.
[email protected], HP. 0881215017992
2
masuk kanan-kiri berhiaskan seorang yang tinggi (tinggal kakinya saja) dikelilingi beberapa orang dengan proporsi lebih kecil pada kedua pintu masuk di kaki candi. Sedangkan pada pintu masuk badan candi terdapat seorang prajurit mengendarai kuda (tinggal kaki kuda, lainnya rusak) yang menerjang orang-orang yang lebih kecil proporsinya. Sebagaimana ciri candi-candi di Indonesia maka prajurit berkuda ini terletak simetris di kanan dan kiri pintu masuk bagian badan candi. Pada tepi dinding kaki candi sebelah atas terdapat pelipit berornamen padma, mendatar mengelilingi bangunan yang sebagian telah rusak sehingga terputus pada bagian tertentu. Di atasnya terdapat relief cerita binatang. Pada sudut kaki candi dan pada beberapa sudut kaki penampil dihiasi dengan pilar-pilar berelief seorang raksasa (Gana) dalam sikap jongkok, tangannya mengarah ke atas seakan sedang menyangga pradaksina patha. Hiasan Gana ini hampir berbentuk arca. Hiasan Gana ini juga menambah kesan tambun pada bangunan candi Surawana. Di atas pradaksina patha terdapat badan candi. Di antara badan candi dan kaki candi terdapat dinding kosong yang berfungsi sebagai pelipit bersusun tiga dengan ukuran bertahap lebarnya (bagian bawah paling lebar), kemudian disusul dengan hiasan padma, dilanjutkan dengan segitiga berornamen dan kendi-kendi atau buli-buli, berderet berselang-seling mengelilingi bangunan. Di tengah-tengah dinding kosong di atas pradaksina patha terdapat arca setengah relief berwujud Gana. Di atas hiasan berselingan antara kendikendi dan segitiga berornamen ini dipahatkan relief Arjuna Wiwaha, Bubuksah Gagangaking, dan Sri Tanjung (Kempers 1959:96 dalam Riharyani 1987:14). Candi Tigawangi terletak di Dusun Candirejo, Kelurahan Tigawangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri Jawa Timur. Data tempat candi Tigawangi ini sekaligus sebagai koreksi terhadap sumber pustaka yang sering menyebut candi tersebut terletak di Kecamatan Plemahan. Letak candi Tigawangi berdekatan dengan candi Surawana, dari Surawana menyusuri jalan beraspal sampai pertigaan jalan berbelok ke kanan (arah barat) dan bertemu dengan jalan besar jalur bus Kediri-Malang kemudian ke arah barat menyusuri jalan desa beraspal, dilanjutkan dengan melewati jalan desa tidak beraspal. Sambil menyusuri jalan desa tidak beraspal jangan lupa bertanya kepada penduduk agar tidak tersesat, maka sampailah ke candi Tigawangi. Nama Tigawangi merujuk pada kitab Negarakertagama, sedangkan penduduk setempat menyebutnya sebagai “Tegowangi”. Sampai dengan penulisan ini keadaan candi Tigawangi tidak mempunyai atap lagi, tinggal bagian batur, kaki dan badan. Seperti halnya candi Surawana, tampaknya candi Tigawangi memang belum selesai dibangun oleh raja yang berkuasa saat itu. Candi ini diperkirakan Santiko (1987:80) memiliki atap sebagaimana candi-candi lain sezamannya seperti candi Surawana, candi Kedaton, dan candi Gambar Wetan. Candi Tigawangi tampaknya berdenah lebih besar bila dibandingkan dengan candi Surawana. Denah candi berbatur bujur sangkar dengan ukuran 11,20 m X 11,20 m dan tinggi kurang lebih 4,35 meter. Kerusakan candi Tigawangi lebih parah bila dibandingkan dengan candi Surawana. Bagian-bagian yang masih lengkap adalah batur, kaki dan sebagian tubuhnya. Walaupun sebagian tubuhnya telah rusak, tetapi
3
sebagian besar reliefnya relatif masih utuh. Sebagaimana candi-candi Jawa Timur, candi Tigawangi juga menghadap ke barat. Menurut Kusen (1990:22), berdasarkan arca-arcanya dapat diketahui bahwa candi Tigawangi berlatar belakang agama Siwa. Bahan yang digunakan untuk membangun candi Tigawangi sama dengan bahan yang ada pada candi Surawana, yaitu batu andesit bagian luarnya, sedangkan bagian dalamnya tampaknya menggunakan batu merah. Teknologi yang menggunakan 2 bahan seperti ini sering disebut sebagai Mecra (Mesra). Bagian atapnya juga dimungkinkan menggunakan 2 bahan yaitu atap ijuk atau sirap dengan konstruksi atap dan tiang dari kayu. Teknologi seperti ini sering disebut Samkirna. Beberapa pelipit yang melingkari kaki candi ada yang berukir, tetapi ada pula yang polos. Pelipit kaki candi pada sisi genta bawah dihiasai dengan padma, demikian juga pelipit pada sisi genta bawah yang berdekatan dengan prasawya patha, sisi genta bawah pada badan candi dan sisi genta atas pada badan candi dihiasi padma yang melingkar kaki dan tubuh candi. Kaki candi dihiasi ornamen, tetapi tanpa relief cerita hanya pada bagian tangga masuk terdapat relief naga dan mungkin binatang mitologi. Ornamen ini dibuat berselang-seling dengan kemunculan hiasan roset berbingkai bujur sangkar dan jajaran genjang. Di tengahtengah ketiga sisi kaki candi ditemukan panel dengan posisi tegak/vertikal masing-masing panel ini terdapat arca Gana. Selain ditampilkan sendirian Arca Gana juga ditampilkan bersama orang-orang berperawakan kecil di sekitarnya. Arca Gana ditampilkan jongkok dengan kedua tangannya diangkat ke atas seakan-akan mendukung bangunan candi, tepatnya mendukung prasawya patha. Pada badan candi terdapat panel-panel dihiasi relief dan di tengah-tengah ketiga sisinya terdapat pilar tanpa relief, kecuali pilar bagian timur terdapat relief yang belum selesai dikerjakan. Pilar ini menghuungkan kaki dan tubuh candi. Relief pada tubuh candi bercerita tentang Sudamala. Urutan cerita dapat dibaca secara parasawya. Pada bagian sudut timur laut tidak bisa dibaca kelanjutan ceritanya karena telah rusak /belum ditemukan batu reliefnya. Sedangkan kelanjutannya pada sisi utara, tampaknya belum diselesaikan oleh pemahatnya saat itu, karena panel ini tampak kosong/masih polos. Perbedaan yang sangat mencolok pada candi Tigawangi bila dibandingkan dengan candi Surawana adalah terletak pada candi Perwaranya. candi Tigawangi memiliki candi induk dan candi Perwara/anak candi satu buah, sedangkan candi Surawana tidak memiliki anak candi. Anak candi Tigawangi terletak di sebelah tenggara ± 4 meter dari candi induknya. Anak candi ini juga menghadap ke barat, tinggal bagian kaki dan tubuhnya saja. Pada bagian tubuh ada beberapa batu yang belum ditemukan. Bagian tubuh dihiasi relief yang bercerita tentang kehidupan sehari-hari. Tahun Pendirian Candi Surawana dan Candi Tigawangi yang Perlu Dikaji Ulang Candi Surawana ditemukan kembali oleh D.M. Verbeek pada tahun 1887 M dalam keadaan setengah runtuh. Ia menemukan bangunan candi yang dibuat dari bahan batu terletak di sebelah timur laut Pare (Verbeek 1891:81 dalam Riharyani 1987:2). Kemudian pada tahun 1908 M candi ini dikunjungi oleh Kne-
4
bel dan pada tahun 1915 M oleh Perquin (Krom 1923:209 dalam Riharyani 1987:2). Tahun pendirian candi Surawana telah menimbulkan kebingungan Klokke (1983:88) dan Drs. Aris Sofyani Arkeolog dari Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur di Trowulan setelah disodori beberapa data tertulis tentang angka tahun berikut ini. Klokke dalam tulisannya mengenai angka tahun ini dibiarkan mengambang sedangkan Drs Aris Sofyani masih berusaha mencari pemecahannya di kemudian hari. 1) Candi Surawana didirikan sekitar tahun 1365 M. Tahun pendirian candi Surawana dikemukakan oleh Soekmono (1981:73) yang menyebutkan bahwa di sekitar tahun 1365 M diselesaikan 2 buah candi dekat Kediri, yaitu candi Surawana dan candi Tigawangi. 2) Candi Surawana didirikan tahun 1388 M. Berdasarkan kitab Negarakertagama pupuh LXXXII bait ke-2 (Pigeaud 1960:63 dalam Riharyani, 1987:9), Soekmono, Yudoseputro, Aris Sofiyani dan lain-lain menunjukkan bahwa angka tahun pendirian candi Surawana adalah tahun 1388 M. Kemungkinan angka tahun 1388 M ditafsirkan dari pupuh Negarakertagama tersebut. 3) Candi Surawana didirikan tahun 1400 M. Pendirian candi Surawana pada tahun 1400 M, sebagai tempat pendharmaan Bhre Wengker [keterangan kecil pada foto yang terpampang pada Museum Trowulan; keterangan Drs. Aris Sofyani; brosur yang dibawa juru kunci di candi Surawana; buku Sekilas Mengenal Candi-Candi di Jawa Timur (t.t.:27); Soekmono (1993:70, 72); Yudoseputro (1997:tanpa halaman); Kusen (1985:17). 4) Candi Surawana didirikan tahun 1478 M. Riharyani (1987:9) menyatakan bahwa pendirian candi Surawana pada tahun 1478 M yang merujuk pada pendapat Bernet Kempers dalam buku Ancient Indonesian Art (1959), Pararaton (Padmapuspita 1966) dan Pigeaud (1960:63). 5) Candi Tigawangi didirikan tahun 1358 M. Candi Tigawangi didirikan pada tahun Saka 1280 atau 1358 M (Adisasmito 1983:1; Slametmulyana 1979:220). 6) Candi Tigawangi didirikan tahun 1365 M. Tahun pendirian candi Tigawangi adalah sekitar tahun 1365 M (Soekmono 1981:73). Disisi lain Kusen dalam 2 laporan penelitiannya (1989 - 1990:22; 1985:16) menyebutkan bahwa candi Tigawangi pembangunannya tentu telah dimulai sebelum tahun 1365 M. 7) Candi Tigawangi didirikan tahun 1370 M. Pendirian candi Tigawangi ± tahun 1370 M (Mulyono 1989:159, 298; Haryanto 1988:76)
5
8) Candi Tigawangi didirikan tahun 1400 M. Candi Tigawangi didirikan pada tahun 1400 M, yaitu 12 tahun setelah meninggalnya Bhre Matahun pada upacara Sradha. Sumber pustaka yang dimaksud adalah:(1) Catatan kecil pada keterangan foto yang terpampang di ruang pamer Museum Trowulan, (2) brosur candi Tigawangi yang dipegang juru kunci, (3) penjelasan Drs. Aris Sofyani seorang arkeolog dari Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur di Trowulan, beliau spesial mengurusi candi-candi wilayah Kediri, Blitar dan Tulungagung, (4) buku Sekilas Mengenal Candi-Candi di Jawa Timur.
Pendiri Candi Surawana dan Candi Tigawangi Perlu Dikaji 1) Pendiri Candi Surawana Riharyani menyebutkan bahwa candi Surawana adalah tempat pendharmaan Bhre Wengker. Bhre Wengker yang dimaksud adalah Hyang Purwawisesa (Riharyani 1987:10). Hal ini didasarkan pada Negarakertagama pupuh LXXXII bait ke-2 (Pigeaud 1960:63 dalam Riharyani 1987:9). 2) Pendiri Candi Tigawangi Mengenai pendiri candi Tigawangi juga terdapat kesimpangsiuran. Dua buah sumber pustaka menyebutkan pendirinya adalah Bhre Matahun (Kusen 1989-1990:22; Kusen 1985:16). Sumber lain menyebutkan bahwa candi Tigawangi didirikan oleh Sang Prabu Rajasawardhana dari kerajaan Matahun (Adisasmita 1983:1). Sementara itu Slametmulyana (1979:220) tidak menyebut asal dari Rajasawardhana, melainkan menyetujui bahwa pendiri candi Tigawangi adalah Rajasawardhana. Berdasarkan Negarakertagama (pupuh LXXXII bait ke-2 baris ke-4) dijelaskan bahwa pembukaan Ladang Watsari di Tigawangi dilakukan oleh Baginda sendiri. Kata “Baginda” dalam kalimat pupuh ini lebih menunjuk pada Hayam Wuruk, karena Negarakertagama merupakan puja sastra terhadap Hayam Wuruk (Baginda Wilwatikta). Kesimpangsiuran data Arkeologis ini perlu dibahas lebih lanjut. Kekeliruan angka tahun pada pendirian candi Surawana dan candi Tigawangi itu sering terdapat pada buku-buku Sejarah, Arkeologi, atau informasi museum, informasi wisata, dan lain-lain.
Interpretasi Tahun Pendirian Candi Surawana dan Candi Tigawangi Berdasarkan Negarakertagama Penentuan tahun pendirian candi Surawana dan candi Tigawangi ini sengaja disatukan dengan alasan kedua candi memiliki tahun pendirian yang hampir bersamaan, karena tercantum dalam satu pupuh Nega-rakertagama yaitu pupuh LXXXII:2, yang bisa diinterpretasi sebagai candi yang dekat masa pendiriannya.
6
Menanggapi data sebelumnya maka penulis justru keberatan terhadap pendapat-pendapat tersebut, dan masing-masing pendapat perlu dibahas. Pembahasannya sebagai berikut: 1) Keberatan terhadap pendapat “candi Surawana didirikan tahun 1388 M”. Tidak diketahui secara pasti alasan tahun 1388 M sebagai pendirian candi Surawana, hanya disebut oleh Riharyani bahwa sumbernya dari Pigeaud (1960:63) yang menunjuk pada Negarakertagama pupuh LXXXII bait ke-2. Pupuh tersebut sebenarnya hanya menyebut raja yang melakukan dharma agama yaitu Bhre Wengker, tetapi tidak menyebut angka tahun pendirian candi Surawana. Dengan demikian data ini sangat lemah, meskipun telah di-cross-check dengan data kegiatan Bhre Wengker dari sumber lain. 2) Keberatan terhadap pendapat “candi Surawana didirikan tahun 1478 M”. Pada tahun itu tentu kurang tepat karena pada tahun 1365 M Kitab Negarakertagama sudah dibuat oleh Prapanca dan di dalamnya telah memuat nama candi Surawana. Tentunya candi Surawana dibuat sebelum tahun 1365 M dan bahkan tahun 1361 M telah dikunjungi oleh Hayam Wuruk (Negarakertagama, 62:2.2). Riharyani (1987:10) menafsirkan bahwa kunjungan Hayam Wuruk tahun 1361 M ke Surawana, bukanlah ke candi tetapi sebuah tempat peristirahatan di Surawana. Menurut penulis, pada tahun 1361 M Hayam Wuruk jelas mengunjungi candi Surawana dan bukan tempat peristirahatan, sebagaimana terjemahan Slametmulyana (1979:304) bahwa tempat itu memang disebut candi. Selain itu bila disimak uraian Negarakertagama pada pupuh LXI:2 s/d LXII:2 konteks kunjungan Hayam Wuruk adalah ke tempattempat suci (candi), bukan tempat peristirahatan. 3) Keberatan terhadap pendapat “candi Surawana didirikan tahun 1400 M” Alasannya sama dengan keberatan terhadap tahun 1478 M. Selain alasan tersebut, Pararaton X (Padmapuspita 1966) menyebutkan bahwa Bhre Wengker atau Wijayarajasa tidak dicandikan di Surawana melainkan di Manar (Manyar), dengan nama resmi (dharmabhiseka) Wisnubhawanapura. Hal ini perlu dipertanyakan karena menunjuk kata Manyar. Di sekitar candi Surawana saat ini tak ada desa yang bernama Manyar. Dusun Surawana sendiri tidak pernah disebut Manyar. Bila ditelusur lebih luas maka kata "Manyar" dapat dijumpai di Surabaya, seperti Manyar Adi dan Manyar-Manyar lainnya. Selain data tahun sebagaimana diuraikan pada keberatan tahun 1478 M, tentulah kata Manyar ini bukanlah data yang dapat mendukung bahwa candi Surawana sebagai pendharmaan Bhre Wengker atau Wijayarajasa, karena Manyar tidak sama dengan Surawana. 4) Keberatan terhadap pendapat “candi Tigawangi didirikan tahun 1365 M atau 1370 M atau 1400 M” Keberatan ini didasarkan pada Negarakertagama pupuh LXXXII bait ke-2 yang menuliskan secara beriringan antara pendirian candi Tigawangi dan candi Surawana. Jika Negarakertagama yang dibuat pada tahun 1365 M, telah menyebut pembukaan ladang untuk pendirian candi Tigawangi, tentunya pendirian candi tersebut sebelum tahun 1365 M, atau maksimal tahun 1365 M.
7
5) Penulis sependapat dengan Soekmono, bahwa pendirian candi Surawana dan candi Tigawangi sekitar tahun 1365. Adapun alasannya akan diuraikan berikut ini.
Negarakertagama dan Validitasnya Latar/setting penulisan ini adalah Sejarah Majapahit umumnya, khususnya pendirian candi Surawana dan candi Tigawangi. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa pendirian candi Surawana dan candi Tigawangi masih menimbulkan kesimpangsiuran para ahli dalam menentukan tahunnya. Berikut ini akan diuraikan kronologi pendirian candi menurut interpretasi penulis berdasarkan Kitab Negarakertagama. Interpretasi ini dilakukan dengan triangulasi data yang didapat dari isi pupuh Negarakertagama dan pada kondisi tertentu ditriangulasikan pula dengan isi Serat Pararaton, tetapi kecenderungannya adalah difokuskan pada Negarakertagama. Negarakertagama yang digunakan adalah hasil saduran Slametmulyana (1979). Keabsahan saduran tentunya dapat dipercaya, walaupun sebenarnya lebih baik apabila penulis bisa memahami teks aslinya. Namun karena keterbatasan penulis dalam bidang ini, maka penulis merujuk pada naskah saduran tersebut. Negarakertagama sangat berharga bagi pengetahuan Sejarah Majapahit. Beruntunglah generasi sekarang yang masih bisa mendapatkan data Sejarah melalui Negarakertagama. Menurut Damais (1995:97) di Indonesia tampak adanya ketidakpastian dalam pelestarian dokumen kuna dan unsur kebetulan. Karena Damais melihat bahwa Negarakertagama yang dibuat tahun 1365 M oleh Prapanca itu secara kebetulan ditemukan dan diselamatkan oleh Brandes pada tahun 1894 M. Naskah dalam bentuk lontar itu akan dijadikan kayu bakar yang ditumpuk di gudang. Seakan Damais ingin membuka mata bangsa Indonesia akan "kurang perhatiannya" bangsa Indonesia terhadap Sejarah, tetapi di sisi lain tampaknya juga ingin menonjolkan jasa Brandes, yang notabena adalah "penjajah" saat itu. Karena saat ditemukan naskah tersebut, bertepatan dengan ekspedisi Belanda melawan Tjakranegara pada tahun 1894 M. Naskah yang diselamatkan Brandes tersebut adalah naskah yang disalin di Bali pada tahun 1740 M, kemudian diterbitkan dalam aksara Bali pada tahun 1902 M oleh Brandes. Menurut Slametmulyana (1979:11) Negarakertagama yang berbentuk kakawin itu menduduki urutan kedua setelah piagam-piagam (misalnya piagam-piagam Singasari) dan prasasti dalam kaitannya dengan keabsahan/validitas sumber Sejarah. Sedangkan Pararaton menduduki urutan ketiga setelah Negarakertagama. Hal ini senada dengan ungkapan Soekmono (1981:120) yang menyatakan bahwa Pararaton dimaksudkan sebagai sumber Sejarah sangat kurang dapat dipercaya, karena isinya bersifat dongeng. Sementara Negarakertagama menurut Soekmono (1981:118) dikatakan penting sekali untuk Sejarah, karena yang diuraikan adalah riwayat Singasari dan Majapahit dari sumber-sumber pertama dan ternyata sesuai dengan prasasti-prasasti. Sedangkan kitab-kitab lain seperti Babad Tanah Jawi, Tantu
8
Panggelaran, Serat Sastramiruda dan lain-lain jika dipakai sebagai sumber Sejarah keabsahannya jauh di bawah ketiga sumber tersebut. Pendapat tentang pendirian candi Surawana pada tahun 1388 M 1400 M, dan 1478 M tampaknya didasarkan pada Negarakertagama pupuh LXXXII:3.3. Kalimat pada pupuh LXXXII:3 baris ke-3 ini menimbulkan banyak penafsiran dari para ahli, adapun bunyinya:"...dharma parimitta cri natheng Wengker ing Curabhana..." (Pigeaud dalam Riharyani 1987:9). Slametmulyana (1979:314) menafsirkan bahwa; "...Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana...". Penulis-penulis lain menafsirkan bahwa raja Wengker dicandikan di Surabana, dan kata "Surabana" ini didentikkan dengan candi Surawana (Riharyani 1987:9; Soekmono 1993:70; Sekilas...Jawa Timur, t.t.:27; Kempers 1959:96; Yudoseputro 1997:tanpa halaman). Nama Surawana sering dipertukarkan dengan Surabana, sebagaimana telah sering terjadi pada tradisi lisan di Jawa, huruf W sering dipertukarkan dengan B, contohnya: watu dipertukarkan dengan batu, wali dipertukarkan dengan bali yang berarti suci. Penulis cenderung sependapat dengan pendapat Slametmulyana (1979:314), tetapi kurang setuju dengan pendapat Slametmulyana (1979:204-205) yang menyatakan bahwa Raja Wengker membuka hutan untuk pertanian, dengan alasan bahwa: 1. Angka tahun pendirian candi Surawana yang pernah disebut adalah tahun 1388 M, sebagai pendharpendharmaan Bhre Wengker. Tahun 1388 M ini tidak sesuai dengan uraian Negarakertagama. Dalam Negarakertagama Pupuh LXII bait ke-2 baris ke-2, candi Surawana sudah disebut dan dikunjungi Hayam Wuruk pada tahun 1361 M. Sehingga, seharusnya Surawana dibuat sebelum kitab itu dibuat (sebelum 1365 M), bahkan telah dibuat sebelum tahun 1361 M karena telah dikunjungi Hayam Wuruk. Menurut data Sejarah Hayam Wuruk berkuasa mulai tahun 1351 M – 1389 M, bila di-cross-check-kan dengan data kunjungan Hayam Wuruk dalam Negarakertagama, maka candi Surawana paling tidak dibuat antara tahun 1351 M – 1361 M. 2. Apabila Raja Wengker/Bhre Wengker saat itu dicandikan berarti dia saat itu atau sebelumnya telah mangkat. Ada 2 nama Bhre Wengker dalam Sejarah Majapahit, yaitu Bhre Wengker (Wijayarajasa/Raden Kudamerta) dan Bre Wengker Wengker (Bhra Hyang Purwawisesa). Hal ini perlu dilacak pada pupuh-pupuh Negarakertagama, misalnya:pupuh:IV:2, XII:2, LXV:2, LXXIX:2 dan LXXXVIII:2. Walaupun antar pupuh tidak dibuat kronologis (persejarahannya) tampaknya ada hubungan antar kalimat dalam kelompok-kelompok secara kontekstual yang mengisyaratkan bahwa Raja Wengker (Wijayarajasa) saat itu masih hidup sampai dengan tahun 1365 M (tahun pembuatan kitab Negarakertagama) dan Raja Wengker (Wijayarajasa) dimungkinkan masih hidup lebih dari tahun 1365 M dan Raja Wengker (Bhra Hyang Purwawisesa) juga masih hidup saat itu. Alasan lain karena masih dalam pemerintahan Hayam Wuruk (1351-1389 M), tampaknya Raja Wengker memang masih hidup terbukti pernah memberikan persembahan dalam acara Sradha Agung Sri Rajapatni di hadapan Hayam Wuruk (Negarakertagama, pupuh LXV:4.1) dan membuka hutan Surawana, Pasuruan, dan
9
Pajang (Negara-kertagama, pupuh LXXXII:2.2). Pararaton (Padmapuspita 1966) menyebutkan Raja Wengker mening-gal pada tahun 1388 M (Pararaton, X). Pararaton tidak menulis Bhre Wengker tetapi menyebut Baginda Prameswara di Pamotan yang identik dan berhubungan secara kontekstual dengan Seri Paduka Prameswara di Pamotan yang termuat pada Pararaton VII alinea terakhir, yang tidak lain adalah juga Bhre Wengker (lihat juga silsilah raja-raja Majapahit menurut Hasan Djafar). Sebagai catatan Raja Wengker yang dimaksud tentunya bukan Bhra Hyang Purwawisesa sebagaimana diungkapkan Riharyani, melainkan Wijayarajasa/Raden Kudamerta sebagai paman Hayam Wuruk. Alasannya Bhre Wengker (Hyang Purwawisesa) meninggal (1466 M) jauh sesudah Hayam Wuruk berkuasa, bahkan jauh beberapa generasi sesudah Hayam Wuruk meninggal (1389 M), sesudah Bhre Wengker (Raden Kudamerta/Wijayarajasa) wafat (1388 M). Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dicandikan di candi Surawana bukanlah kedua Bhre Wengker baik Raden Kudamerta/Wijayarajasa maupun Bhra Hyang Purwawisesa/Girisawarddhana/Dyah Suryawikrama. 3. Tampaknya Bhre Wengker pada saat itu memang membuka hutan, tetapi bukan untuk pertanian sebagaimana ditulis Slametmulyana di atas. Penulis cenderung hutan yang dibuka tersebut tanahnya digunakan untuk areal pendirian candi, dengan alasan apabila dilihat secara kontekstual antar kalimat pada pupuh sebelum dan sesudahnya, hal itu akan tersirat bahwa hutan yang dibuka itu untuk pendirian candi. Sebagai contoh pupuh sebelum uraian tentang Bhre Wengker membuka hutan yaitu Negarakertagama pupuh LXXXII:1 baris ke-2, berbunyi:"Penegakan bangunan-bangunan suci membuat gembira rakyat" (Slametmulyana 1979:314). Bangunan suci, tentu bukanlah tanah pertanian, tetapi berhubungan dengan wihara, candi atau tempat peribadatan lainnya. Selain itu didukung pula oleh bait 3 baris ke-2 dan diperkuat pada baris ke-3 dan ke-4 yang terdapat pada Negarakertagama pupuh LXXXII. Bunyi selengkapnya:(1) baris ke-2:"Candi, biara dan lingga utama dibangun tak ada putusnya"; (2) baris ke-3:"Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para pendeta"; (3) baris ke-4; "Memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata". Hal ini tersirat bahwa pembangunan candi memang sangat penting dilakukan oleh Hayam Wuruk secara terus menerus dan dianggap sebagai budi luhur, bakti kepada dewa, leluhur, dan para pendeta. Dengan demikian pembukaan hutan dan penyucian tanah sebagai areal pembangunan candi Surawana telah dipersiapkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Hal ini juga diperkuat oleh bunyi pupuh LXXXII:1.1 dalam Negarakertagama. Bait dan baris pada pupuh ini tampaknya berhubungan secara kontekstual dengan bait sesudahnya yang menjelaskan pembukaan hutan. Jika disimak pupuh LXXXII:1.1 ini berbunyi:"Para ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah laku sang prabu". Sebagaimana diketahui dalam Sejarah, bahwa ibu Hayam Wuruk berjumlah 2 orang (lihat silsilah di atas) yakni:(1) Tribhuwanattunggadewi sebagai ibu kandung dan (2) Rajadewi Maharajasa, bibi Hayam Wuruk. Dalam sistem pemerintahan pada masa Majapahit keduanya sering disebut sebagai ibu, dan dalam rapat-
10
rapat kenegaraan keduanya sering dimintai pertimbangan. Berdasarkan hal ini, paling tidak pembukaan hutan itu dilaksanakan ketika kedua ibu masih hidup. Bila dilacak dari data Sejarah, maka ibu kandung Hayam Wuruk Tribhuwanattunggadewi meninggal pada tahun 1372 M (Damais 1995:70), sedangkan ibu Hayam Wuruk yang lain (Rajadewi), penulis menafsirkan beliau meninggal antara tahun 1371 M 1376 M (Pararaton X). Perkiraan ini didasarkan pada uraian Pararaton yang tampaknya dari Bab I hingga Bab XVIII diuraikan secara kronologis, artinya tahun-tahun yang dituliskan menunjuk peristiwa yang berurutan kejadiannya. Tahun 1371 M menunjuk pada peristiwa Gajah Enggon menjadi patih, kemudian alinea berikutnya menyebut wafatnnya Rajadewi dan Tribhuwanattunggadewi tanpa disebut tahunnya. Alinea berikutnya menyebut peristiwa gunung baru pada tahun 1376 M. Jika dalam Pararaton Bab X tersebut diuraikan meninggalnya Rajadewi dan Tribhuwanattunggadewi dalam satu alinea, maka dimungkinkan pula bahwa Rajadewi tahun meninggalnya hampir bersamaan dengan meninggalnya Tribhuwanattunggadewi, yaitu sekitar tahun 1372 M. Hal ini logis bila sebelumnya ditafsirkan bahwa Rajadewi meninggal antara tahun 1371 M - 1376 M. Jika tahun 1351 M Hayam Wuruk mulai menaiki tahta, maka paling awal pembukaan hutan itu terjadi pada tahun 1351 M dan bisa lebih dari tahun 1351 M, tetapi tidak bisa kurang dari angka itu. Bila interpretasi ini benar maka Bhre Wengker/Wijayarajasa, tampaklah bahwa ia belum meninggal pada saat pembukaan hutan Surawana dan baru meninggal pada tahun 1388 M. Bila Bhre Wengker/Wijayarajasa sebagai pembuka hutan sekaligus merencanakan bahwa candi yang dibuat di atas tanah tersebut adalah untuk dirinya sendiri kelak, maka hal ini dapat dibenarkan secara urutan angka tahun. Tetapi, sepanjang pengetahuan Sejarah dan dari bukti-bukti Sejarah, belum pernah ada seorang raja yang merencanakan candi untuk pendharmaannya sendiri, tentu direncanakan dan dibuat oleh raja lain setelah ia meninggal (lihat beberapa contoh yang terdapat pada pupuh-pupuh Negarakertagama, misalnya pendharmaan Rajapatni dalam Sradha Agung saat Hayam Wuruk berkuasa). Bila dikaitkan dengan pendapat penulis pada simpulan kronologi pendirian candi di atas maka pembukaan tanah atau ladang kemudian penyucian tanah/pemberkahan tanah terjadi setelah raja meninggal. Pada kasus Rajapatni di atas terjadi 2 tahun setelah meninggalnya beliau. Tetapi jarak waktu ini tidak bisa digeneralisasi. Salah satu petunjuk yang berkaitan dengan meninggalnya raja yang akan dicandikan dan kemudian pemberkahan/penyucian tanahnya, adalah peristiwa meninggalnya Rajapatni, yaitu semasa pemerintahan Hayam Wuruk (1351-1389 M). Sebagaimana diketahui bahwa Rajapatni atau Gayatri adalah nenek Hayam Wuruk, meninggal pada tahun 1350 M ketika Hayam Wuruk mulai menaiki tahta. Kedudukkan nenek dalam silsilah di atas adalah generasi pertama raja-raja Majapahit, sedangkan Hayam Wuruk adalah generasi ketiga. Maka generasi pertama silsilah raja-raja Majapahit yang mungkin meninggal pada masa pemerintahan Hayam Wuruk atau sebelumnya, adalah nenek Hayam Wuruk selain Rajapatni. Sebagaimana tersebut dalam Negarakertagama bahwa nenek
11
Baginda berjumlah empat orang yang semuanya anak Kertanagara, raja Singasari yang berkuasa tahun 1268-1292 M. Dalam Negarakertagama pupuh XLVI:1, puteri Kertanagara ini adalah:(1) Sang Prameswari Tribhuwana (puteri sulung), (2) Parameswari Mahadewi, (3) Prajnyaparamita Jayendradewi, dan (4) Gayatri atau Rajapatni sebagai puteri bungsu. Jika Gayatri/ Rajapatni meninggal pada tahun 1350 M, maka perkiraan umur relatif meninggalnya saudara Gayatri lainnya adalah berkisar sebelum atau sesudah Gayatri meninggal (sekitar tahun 1350 M). Negarakertagama dalam pupuh-pupuhnya tidak pernah mencatat tahun meninggalnya nenek-nenek Hayam Wuruk selain Rajapatni, demikian pula Pararaton. Kemungkinannya Prapanca tidak menuliskan hal-hal yang dianggap kecil seperti itu, tetapi bila mengingat bahwa meninggalnya Rajapatni yang juga nenek Hayam Wuruk ditulis dalam Negarakertagama maka tidaklah mungkin bila nenek Hayam Wuruk yang lain tidak tercatat. Berdasarkan interpretasi ini, mungkin ketiga nenek Hayam Wuruk selain Rajapatni meninggal sebelum pemerintahan Hayam Wuruk (sebelum tahun 1351 M), yaitu pada masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi (1328-1351 M). Hal ini didasarkan pula pada kecenderungan tulisan
Prapanca
dalam
menguraikan
isi
Negarakertagama.
Bila
disimak
pupuh-pupuh
Negarakertagama, maka dapat diketahui bahwa Prapanca cenderung memfokuskan pada peristiwaperistiwa yang terjadi mulai dari masa pemerintahan Hayam Wuruk (1351 M) hingga tahun 1365 M (penulisan Negarakertagama), sedangkan peristiwa sebelum pemerintahan Hayam Wuruk ditulis Prapanca atas dasar pelaporan Dang Acarya Ratnamsa seorang pendeta Budha di Singasari (Negarakertagama, pupuh XXXVIII:3 s/d pupuh XLIX:8), yang sebagian besar bukan pengamatan Prapanca sendiri. Karena itu peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi kurang mendapat perhatian untuk ditulis oleh Prapanca. Dengan demikian dugaan besar raja atau kerabat raja yang dicandikan di candi Surawana bukanlah Raja Wengker atau Bhre Wengker tetapi mungkin satu di antara 3 nenek Hayam Wuruk, yakni: (1) Sang Prameswari Tribhuwana (puteri sulung), (2) Parameswari Mahadewi, dan (3) Prajnyaparamita Jayendradewi, yang mungkin meninggal pada masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi (1328-1351 M). Menurut Slametmulyana (1979:220) candi Tigawangi didirikan pada tahun 1358 M. Negarakertagama pupuh LXXXII:2 baris ke-4 menyebutkan bahwa:"Baginda sendiri membuka ladang Watsari di Tigawangi". Sedangkan pembukaan ladang ini bersamaan waktunya dengan pembukaan hutan di Surawana (Negarakertagama pupuh LXXXII:2 baris ke-2 dan baris ke-3). Pembukaan hutan itu kemudian dilanjutkan dengan acara penyucian tanah untuk areal candi oleh seorang pendeta. Jarak waktu antara penyucian tanah dan meninggalnya raja pada peristiwa meninggalnya Rajapatni adalah 2 tahun setelah meninggalnya raja. Ini merupakan waktu yang tidak bisa digeneralisasi untuk candi lain, karena tidak ada ketentuan seperti Sradha. Namun waktunya tentu sebelum diadakan upacara Sradha. Berdasarkan uraian ini dan uraian sebelumnya, dimungkinkan bahwa pada tahun 1358 ini terjadi
12
rangkaian upacara Sradha untuk pendirian candi Surawana dan candi Tigawangi. Hal ini sangat mungkin bila dikaitkan dengan kronologis agenda kegiatan Hayam Wuruk yang ditulis Prapanca. Pada tahun 1357 M Hayam Wuruk ke laut selatan menembus hutan. Lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu dan Sideman (Negarakertagama, pupuh XVII:6 baris ke-3 dan ke-4). Kemudian pada pupuh XVII:7 baris ke-1 dan ke-2 disebutkan bahwa pada tahun 1359 M Hayam Wuruk di Badrapada, bulan berikutnya pada tahun yang sama pesiar ke seluruh negara menuju kota Lumajang. Berdasarkan agenda ini ada tahun yang lowong kegiatan, yaitu tahun 1358 M, dimungkinkan tahun itu dipakai untuk acara Sradha di Surawana dan Tigawangi. Selain didasarkan lowongnya kegiatan kemungkinan lain didasarkan pada jarak kota. Di Lodaya (1357 M) lebih dekat ke Kediri (tempat candi Surawana dan candi Tigawangi) dari pada ke Lumajang (1359 M), kemungkinan Hayam Wuruk singgah ke Kediri dan tidak tercatat oleh Prapanca. Kemungkinan lain pada tahun 1358 M Hayam Wuruk beristirahat di Lodaya dan baru pada tahun 1359 M sampai di Lumajang. Pada tahun 1358 M itu juga, mungkin Rajasawardana atau Raja Matahun mendirikan candi Tigawangi dengan rangkaian upacara Sradha sebagaimana uraian Slametmulyana (1979:220) tetapi tidak tercatat oleh Prapanca, karena Prapanca saat itu sedang mengikuti Hayam Wuruk istirahat di Lodaya dan fokus tulisan Prapanca adalah kegiatan Hayam Wuruk. Kemungkinan tambahan, di Surawana juga terjadi hal yang sama dengan di Tigawangi, tetapi raja yang memimpin upacara Sradha itu tidak tercatat dalam Sejarah, dan dimungkinkan pula dipimpin raja negara bawahan. Karena fokus tulisan Prapanca pada kegiatan Hayam Wuruk, maka kegiatan raja negara bawahan ini tidak dicatat oleh Prapanca dalam Negarakertagama. Baru pada tahun 1359 M kedua raja bawahan, yaitu Rajasawardana dan raja bawahan yang memimpin upacara Sradha di candi Surawana berangkat ke Badrapada (tidak tahu di mana tempatnya) untuk bergabung dengan rombongan Hayam Wuruk menuju Lumajang. Hal ini terbukti pada bunyi pupuh XVII:7 baris 3:"Naik kereta diiring semua raja bawahan Jawa serta permaisuri dan abdi". Pupuh tersebut serangkai dengan kegiatan Hayam Wuruk ke Lumajang. Bila menggunakan analogi semacam ini, sebagian orang mungkin beranalogi mencari tahun kosong sebagai tahun yang tidak digunakan sebagai kegiatan Hayam Wuruk pada penulisan Prapanca dalam Negakertagama. Misalnya tahun 1351 M, memang tahun itu Prapanca tidak memberikan agenda kegiatan Hayam Wuruk, tetapi bila dikaitkan sumber lain yang lebih valid, sebenarnya ada peristiwa yang berkaitan dengan kegiatan Hayam Wuruk. Kegiatan itu adalah penobatan Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit pada tahun 1351 M. Kegiatan ini, tersebut dalam piagam Singasari yang bertarikh tahun Saka 1273 bulan Waisaka (April-Mei 1351 M) (Slametmulyana 1979:135) merujuk pada Brandes (1909:38) dan merujuk pada Damais halaman 83 menyebut peristiwa itu pada tanggal 27 April 1351 M. Berdasarkan piagam Singasari dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun secara tidak resmi (mungkin lisan) Hayam Wuruk menaiki tahta pada tahun 1350 M, tetapi secara resmi dinobatkan pada tahun
13
1351 M. Bila dikaitkan dengan Negarakertagama pupuh I:1.4 dan pupuh II:2.1 yang menyatakan meninggalnya Rajapatni pada tahun 1350 M, kemudian dirangkai dengan pupuh II:2.2 yang menyatakan bahwa kesedihan meninggalnya Rajapatni terobati oleh naiknya Hayam Wuruk ke atas tahta pemerintahan, tampaknya antara meninggalnya Rajapatni dan naiknya Hayam Wuruk ke atas tahta berselang satu tahun yaitu tahun 1351 M. Jadi tidak pada tahun yang sama sebagaimana interpretasi para ahli, sehingga sering disebut dalam silsilah Hayam Wuruk mulai berkuasa pada tahun 1350 M. Sebenarnya perlu dikoreksi bahwa tahun itu seharusnya tahun 1351 M. Prapanca memang tidak menyebutkan secara tegas mulai berkuasanya Hayam Wuruk, tetapi dirangkai secara romantis dengan kejadian sebelumnya (meninggalnya Rajapatni 1351 M) dan itu bisa menimbulkan bermacammacam interpretasi. Sebagaimana uraian Slametmulyana di atas bahwa keabsahan data Sejarah nomor satu adalah piagam-piagam atau prasasti-prasasti, oleh karena itu mengenai permulaan tahun berkuasanya Hayam Wuruk seharusnya juga mengikuti piagam Singasari, yaitu tahun 1351 M. Dapat dipastikan bahwa antara turunnya tahta Tribhuwanattunggadewi dan naiknya tahta Hayam Wuruk adalah pada tahun yang sama 1351 M, hanya berbeda bulan. Pada tahun 1351 M semasa Tribhuwanattunggadewi berkuasa memang benar bahwa Tribhuwanattunggadewi menyampaikan keputusan Dewan Pertimbangan Agung kepada Rakrian Empu Mada sebagai pengemban keputusan, untuk mendirikan candi (caitya) untuk para brahmana, kepala agama Siwa dan Budha yang gugur bersama-sama sang Prabu Kertanagara serta bekas mapatih. Pelaksanaan pembangunan tersebut diserahkan kepada Jirnodhara (Slametmulyana 1979:135). Kegiatan ini tampaknya tidak berkaitan dengan pembukaan hutan untuk areal candi, karena pembukaan hutan itu dilaksanakan ketika Hayam Wuruk berkuasa. Tampaknya juga tidak berkaitan dengan raja yang dicandikan di Surawana dan Tigawangi. Karena yang ditunjuk oleh Tribhuwanattunggadewi adalah pembuatan candi (pelaksanaan Sradha) untuk raja serta punggawa segenerasi Kertanagara (raja Singasari, catatan:tetapi bukan Sradha untuk Kertanagara) yang masanya jauh tiga generasi sebelum masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi. Dengan demikian pada masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi (sebelum tahun 1351 M) diperkirakan saat meninggalnya raja yang akan dicandikan (Sradha) 12 tahun kemudian di Surawana dan Tigawangi. Bila dikaitkan dengan uraian sebelumnya maka tahun 1351 M diperkirakan tahun yang menunjukkan meninggalnya salah satu dari empat nenek Hayam Wuruk selain Rajapatni, kemungkinannya adalah:(1) Sang Prameswari Tribhuwana/Indreswari/Tribhuwaneswari; (2) Parameswari Mahadewi atau (3) Prajnyaparamita Jayendradewi. Bila dikaitkan dengan pendirian candi Tigawangi (Sradha) di atas, maka kemungkinannya candi Surawana juga didirikan pada tahun 1358 M, tetapi bila dikaitkan dengan uraian pada Negarakertagama bahwa Surawana dikunjungi Hayam Wuruk pada tahun 1361 M, maka candi Surawana kemungkinan didirikan sebelum tahun 1361 M. Kunjungan Hayam Wuruk ke Surawana memang ke Candi bukan
14
peristirahatan (telah diuraikan sebelumnya) dan dimungkinkan bahwa candi tersebut telah selesai sampai dengan pembangunan atapnya, karena Hayam Wuruk saat itu bermalam di situ (Negarakertagama pupuh LXI:2.1 dilanjutkan pupuh LXII:2.2) Candi Surawana dan candi Tigawangi dikategorisasikan sebagai candi yang berfungsi sebagai monumen peringatan meninggalnya raja/kerabat raja yang terintegrasi dengan candi sebagai kuil Hindu. Bukti yang tampak adalah:(1) terdapatnya lingga, (2) mungkin sebagian arca perwujudan yang belum lengkap (belum ditemukan keseluruhannya) dan (3) adanya kala yang masih ditemukan sebagian. Kala ini menunjukkan adanya pintu masuk menuju bilik candi. Bilik candi biasanya digunakan sebagai tempat menyimpan peripih. Peripih tentunya berhubungan dengan candi yang berfungsi sebagai monumen peringatan meninggalnya raja/kerabat raja. Ketiganya tersebar di halaman candi Surawana dan candi Tigawangi, sampai saat ini belum direkonstruksi. Lingga dengan Yoni merupakan lambang kewanitaan dan kelakilakian, keduanya membentuk lambang kesuburan. Yoni biasanya diwujudkan sebagai arca perwujudan seorang raja berdasarkan dewa penitisnya. Tentunya raja yang dimaksud adalah raja yang sudah meninggal. Yoni biasanya berbentuk kubus dengan bagian tengah agak masuk seperti leher, pada bagian sisi tertentu diberi cerat yang dipakai untuk mengucurkan air. Bila dilacak lagi pada kata abhiseka dalam Kamus Kawi Jawa (Sr 2003) maka sebenarnya air tersebut dipergunakan untuk upacara, anugurasi atau peresmian tertentu. Salah satu syarat lokasi yang dapat didirikan candi adalah harus ada air. Jika tidak ada sungai di sekitarnya harus dibuatkan parit, bengawan atau tempat air tertentu (lihat kitab Tantu Panggelaran). Air ini berkaitan dengan peresmian pendirian candi (abhiseka), melalui sebuah upacara tertentu. Kala biasanya dipasang pada gapura masuk. Kala yang ditemukan pada candi Surawana dan candi Tigawangi dimungkinkan terletak pada pintu masuk ke dalam ruang candi-candi tersebut. Dengan demikian tampaknya kedua candi ini didirikan untuk pendharmaan seorang raja yang telah meninggal. Jika demikian maka tata urutan pendirian candi sebagaimana terjadi pada Sradha Agung Sri Rajapatni dimungkinkan terjadi pula pada saat pendirian candi Surawana dan candi Tigawangi (bandingkan dengan Harto 2005). Penentuan Tahun Pendirian Candi Surawana dan Candi Tigawangi Berdasarkan Reliefnya Penentuan tahun pendirian candi Surawana dan candi Tigawangi didasarkan pada: 1. Relief bergambar naga yang terdapat di pelataran candi Surawana. Relief naga pada candi Surawana belum bisa direkonstruksi lagi, jadi oleh pihak/Dinas Purbakala masih dibiarkan tergeletak di pelataran halaman candi Surawana. Relief naga juga terdapat pada candi Tigawangi, yaitu pada penyangga cerat Yoni candi Tigawangi sehingga kedua candi diperkirakan berasal dari masa yang sama atau hampir bersamaan. Untuk melacaknya maka dapat di-cross-check-kan dengan relief naga yang juga terdapat pada Gapura Bajangratu di Trowulan. Menurut Satari (1980:245) relief naga seperti pada Gapura
15
Bajangratu ini sebagai akibat pengaruh Cina yaitu periode Yuan (1280 M – 1367 M) yaitu dengan salah satu cirinya terdapat batas yang jelas pada tubuh naga antara punggung dan perut, namun bisa muncul sifat lo-kalnya seperti geligi yang tajam. Dengan demikian candi Surawana maupun Tiga-wangi diperkirakan berdiri pada masa Yuan tersebut, yaitu antara tahun 1280 M – 1367 M. 2. Penentuan tahun pendirian candi Surawana dan candi Tigawangi ini sengaja disatukan, hal ini didasarkan pada Harto (1999) yang menunjukkan bahwa berdasarkan derajat kesamaan (dk) Cara Wim-ba/CW, Tata Ungkapan/TU dan gabungan CW dan TU (singkatnya bahasa rupa) menunjukkan kesa-maan pada urutan ke-1. Berdasarkan derajat kesamaan Cara Wimba, Tata Ungkapan dan bahasa rupa kedua candi memiliki nilai yang tinggi yaitu:CW pada urutan ke-1 (dk = 94), TU pada urutan ke-2 (dk = 81) dan gabungan CW dan TU pada ururtan ke-2 (dk = 87,5). Hal ini menunjukkan bahwa relief bercerita pada candi Surawana dan candi Tigawangi memiliki kesamaan yang tinggi. Dengan demikian kedu-anya dimungkinkan didirikan pada
tahun yang
sama
atau
hampir
bersamaan. Jika Slametmulyana menyebut pendirian Tigawangi tahun 1358 M, karena derajat kesamaan CW, TU maupun gabungan CW dan TU nilainya tinggi, maka tahun pendirian candi Surawana juga berkisar pada tahun 1358 M tersebut. Tahun ini relatif bisa diterima karena masih termasuk masa pada periode Yuan tersebut. 3. Salah satu relief pada candi Surawana adalah cerita Sri Tanjung dan salah satu relief pada candi Tigawangi adalah Sudamala. Kedua relief cerita tersebut digubah oleh seorang resi yang sama bernama Citragotra. Jika disimak jalan ceritanya, maka relief cerita Sri Tanjung merupakan kelanjutan relief cerita Sudamala. Hal ini terbukti bahwa ketika Sidapaksa/suami Sri Tanjung (salah seorang tokoh utama dalam cerita Sri tanjung) hendak dibunuh oleh para dewa, dia merintih bahwa ayahnya bernama Nakula dan pamannya bernama Sadewa, nama tokoh Nakula dan Sadewa ini terdapat dalam relief cerita Sudamala. Dengan demikian relief cerita Sri Tanjung candi Surawana merupakan kelanjutan dari relief cerita Sudamala candi Tigawangi. Jika reliefnya merupakan cerita berkelanjutan maka dimungkinkan bahwa pembangunan kedua candi tersebut berurutan, candi Tigawangi terlebih dahulu baru kemudian diikuti pembangunan/pendirian candi Surawana. 4. Pada relief cerita Sri Tanjung, yaitu adegan bertemunya kembali Sri Tanjung dengan Sidapaksa pada bingkai bagian bawah terdapat inskripsi sebagai berikut:
Catatan:
16
Penulisan di atas mungkin ada kesalahan, karena penulis tidak memahami tulisan semacam ini. Penulis hanya menuliskan sesuai dengan tulisan yang ada pada bingkai panel tersebut. Berdasarkan literatur yang penulis baca, belum ada yang membahas tulisan tersebut, karena tempat tulisan tersebut memang agak tersembunyi dan berukuran kecil. Setelah dikonfirmasikan dengan M. Lutfi Fauzi (S2 Arkeologi UI), beliau memberikan simpulan bahwa tulisan tersebut memang berupa inskripsi, bukan angka tahun. Berdasarkan pembacaan M. Lutfi Fauzi tulisan tersebut berbunyi: Ka – raman si Da… atau berbunyi: Ka – raman si Na…. Jika dilacak pada Kamus Jawa Kuno, maka rama pada arti yang ke-2 berarti: tertua, senior (dalam komunitas religi, desa, tentara), kemudian karaman masyarakat desa (unit administratif), rama mantri araraman perwira (pejabat ?) Senior (Kamus Jawa Kuno Indonesia bagian 2 P-Y, Zoetmulder 1995:913). Berdasarkan tulisan ini dapat dinterpretasi bahwa pembangunan atau pendirian candi Surawana dipimpin oleh seorang Karaman, yaitu seorang pejabat setingkat desa atau pemimpin dalam komunitas religi/keagamaan yang bernama si Da… atau si Na… Kata si merupakan kata sandang yang menunjuk julukan seseorang, sedangkan nama sebenarnya adalah Da… (tulisan di belakangnya tidak terbaca) atau Na…(tulisan di belakanya tidak terbaca/inskripsi aus sehingga tidak jelas kelanjutan namanya, yakni menunjuk pada kelanjutan nama si kepala desa). Berdasarkan tulisan ini dapat dinterpretasi pula bahwa raja yang berkuasa saat itu (Hayam Wuruk) memerintahkan kepada seorang Karaman bernama si Da…/si Na… untuk mendirikan candi Surawana. Jika di-cross-check-kan dengan Negarakertagama pupuh LXXXII:2/2, maka bisa ditafsirkan bahwa daerah Surawana dulunya hutan, kemudian dibuka oleh Sri Nata Wengker untuk dipersiapkan sebagai lahan/lokasi sebuah candi pendharmaan (yang nantinya disebut candi Surawana), sedangkan pembangunan candi Surawana selanjutnya mungkin oleh Raja Wengker diserahkan kepada seorang Karaman bernama si Da…atau si Na…. Dengan demikian wajar apabila dalam Negarakertagama tidak disebut proses pembangunan candi Surawana tersebut, karena pihak kerajaan merasa sudah ada yang mengawasi/menangani pembanunan candi tersebut. Kondisi semacam ini tampaknya belum/tidak diketahui Prapanca, sehingga ia tidak menuliskannya dalam Negarakertagama. Meskipun ada inskripsi seperti itu, namun angka tahun pendirian Surawana secara pasti belum juga dapat ditentukan. 5. Berdasarkan hasil penelitian Harto (1999) perbandingan wimba-wimba Wayang Beber Pacitan yang berhubungan dengan relief candi, telah disebutkan banyak wimba yang terdapat pada candi Surawana yang mirip dengan wimba yang terdapat pada candi Tigawangi. Dengan demikian selain berdasarkan derajat kesamaan CW dan TU, berdasarkan kemiripan wimba-wimba pada Surawana dan Tigawangi ini, maka semakin meyakinkan bahwa candi Surawana dan candi Tigawangi dibangun pada masa yang sama atau hampir bersamaan. Dengan demikian data dari Slametmulyana yang menyebutkan
17
bahwa candi Tigawangi didirikan pada tahun 1358 M, juga berlaku bagi candi Surawana, walaupun belum tentu persis tahun tersebut, tetapi paling tidak bisa dijadikan ‘ancar-ancar’. Penutup
Berdasarkan pembahasan sebelumnya secara interpretatif dan garis besar dapat ditarik simpulan bahwa data yang paling kuat yang menunjukkan pendirian candi Tigawangi adalah tahun 1358 M. Sedangkan pendirian candi Surawana adalah pada suatu upacara Sradha pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1351 M -1389 M) atau sebelum kunjungan Hayam Wuruk ke Surawana (sebelum 1361 M) yaitu antara tahun 1351 M - 1361 M, tetapi sesudah pendirian candi Tigawangi (sesudah 1358 M), atau tepatnya antara 1358 M – 1361 M. Jika kemungkinan perkiraannya tepat pada tahun 1358 M mungkin pendirian candi Surawana hanya berbeda bulan dengan pendirian candi Tigawangi, tetapi bulannya tidak diketahui dengan pasti. Candi Surawana kemungkinan merupakan pendharmaan salah satu nenek Hayam Wuruk selain Rajapatni (Gayatri), yakni di antaranya:(1) Sang Prameswari Tribhuwana/Indreswari/Tribhuwaneswari; (2) Parameswari Mahadewi atau (3) Prajnyaparamita Jayendradewi. Karena ketiganya tampaknya sebagai keluarga Raja Hayam Wuruk terdekat. Salah satu dari ketiganya diperkirakan meninggal pada masa pemerintahan Bhre Kahuripan atau Tribhuwanattunggadewi (1328-1351 M). Kemudian 12 tahun sesudah meninggalnya (1340 M – sebelum tahun 1361 M) diadakan upacara Sradha dan didirikan candi Surawana sebagai pendharmaannya. Pembangunan candi Surawana tersebut dipimpin oleh seorang Karaman (pejabat setingkat desa) yang bernama Si Da… atau si Na…, atas perintah Bhre Wengker/Raja Wengker sebagai pembuka hutan Surawana saat itu (Negerkertagama, pupuh LXXXII:2.2). Seorang karaman dikatakan sebagai pemimpin pembangunan candi Surawana, hal ini diidentikkan dan pernah terjadi pada pembangunan candi pada Masa Mataram Kuno, misalnya Candi Kalasan. Pembangunan candi Tigawangi juga merupakan pendharmaan salah satu dari 3 nenek Hayam Wuruk sebagaimana tersebut sebelumnya (selain yang dicandikan/didharmakan di candi Surawana). Pembangunannya telah dibuka oleh Hayam Wuruk di ladang Watsari di Tigawangi (Negerkertagama, pupuh LXXXII:2.4). Watsari ini mungkin sebuah pedukuhan atau desa kecil atau mungkin nama orang pemilik ladang di daerah Tigawangi. Pembangunannya diperkirakan tahun 1358 M (Adisasmito 1983:1; Slametmulyana 1979:220), sebelum pembangunan candi Surawana (karena salah satu relief cerita pada candi Tigawangi (yakni Sudamala) merupakan pendahulu dari salah satu relief cerita pada candi Surawana (yakni Sri Tanjung). Pembangunan pada tahun 1358 M ini adalah pembangunan pada candi Induk Tigawangi, sedangkan pada candi Perwara Tigawangi dimungkinkan dibangun pada tahun 1388 M untuk pendharmaan Bhre Matahun (Pararaton X).
18
Meskipun angka tahun yang dihasilkan dari pembahasan ini bersifat interpretatif, paling tidak sudah ada pembuktian Historis bahwa angka tahun yang ada pada literatur-literatur sebelumnya harus dikaji ulang, agar data Arkeologis semakin mendekati kebenaran. Namun demikian kajian tentang pendirian kedua candi tersebut masih perlu diteliti lagi, jika dikemudian hari memang ada bukti ilmiah yang lebih valid.
Daftar Pustaka Adisasmito, H. S. 1993. Relief di Candi Tigawangi. Malang: Universitas Brawijaya. Damais, L. C. 1995. Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Jakarta: EFEO. Djoko. 1983. Trowulan Bekas Ibukota Majapahit. Jakarta. Balai Pustaka. Harto, D.B. 1999. ”Relief Candi Tigawangi dan Candi Surawana: Tinjauan Cara Wimba dan Tata Ungkapannya” .Tesis. Bandung: Magister Seni Rupa dan Desain – ITB. Harto, D. B. 2005. “Tata Cara Pendirian Candi: Perspektif Negarakertagama”. Dalam Jurnal Seni Imajinasi, Volume 3 Juli 2005. Semarang. FBS – Unnes. Haryanto, S. 1988. Pratiwimba Adiluhung: Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Djambatan. Kempers, A.J. B. 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge: Harvard University Press. Klokke, M. 1983. The Tantri Reliefs On Ancient Javanese Candi. Cambridge: KITLV Press. Kusen. 1985. Kreatifitas dan Kemandirian Seniman Jawa dalam Mengolah Pengaruh Budaya Asing: Studi Kasus tentang Gaya Seni Relief Candi di Jawa Antara Abad IX – XVI M. Jakarta: Lembaga Javanologi Direktorat Jendral Kebudayaan Dep. P & K. Kusen 1989 – 1990. “Relief Sudamala Candi Tigawangi dan Sukuh dalam Perbandingan (Studi Tentang Proses Transformasi Cerita ke dalam Bentuk Visual)”. Laporan Penelitian. Yogyakarta:Fakultas Sastra UGM. Mulyono, S. 1989. Wayang: Asal-Usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: CV Haji Masagung. PT Indayu Press dan Yayasan Masagung. Padmapuspita, J. 1966. Pararaton: Teks Bahasa Kawi dan Terjemahan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Taman Siswa. Riharyani. 1987. “Latar Belakang Keagamaan Candi Surawana Ditinjau dari Relief-Reliefnya”. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Santiko, H. 1987. “Hubungan Seni dan Religi: Khususnya dalam Agama Hindu di India dan Jawa”. Dalam Estetika dalam Arkeologi Indonesia, Diskusi Ilmiah Arkeologi II. Yogyakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Satari, S. S. 1980. “Perkiraan Pertanggalan Gapura Bajang Ratu” Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi II. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala. Slametmulyana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius. Soekmono, R. 1993. “Peninggalan-Peninggalan Purbakala Masa Majapahit”. Dalam 700 Tahun Majapahit: Suatu Bunga Rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
19
Soetarno, R. 1997. Aneka Candi Kuno di Indonesia. Semarang: Dahara Prize. Winter, Sr, C.F. dan R. Ng. Ranggawarsito. 2003. Kamus Kawi Jawa. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Tanpa Pengarang. tt. Selintas Mengenal Candi-Candi di Jawa Timur. Tanpa kota: Biro Humas Pemda Tk. I Jawa Timur. Tanpa Pengarang. tt. Brosur Kunjungan ke Candi Surawana. Tanpa kota: tanpa penerbit. Tanpa Pengarang. tt. Brosur Kunjungan ke Candi Tegawangi. Tanpa kota: tanpa penerbit. Worsley, P. 1986. “Narrative Bas-Reliefs at Candi Surawana”. Dalam Southeast Asia In The 9th To 14th Centuries. Singapore and Canberra: Institute of Southeast Asian Studies Singapore and Research School of Pacific Studies Australian National University (ANU). Yudoseputro, W., dkk. 1997. Arjuna Wiwaha. Tanpa kota: Dirjen Kebudayaan Departemen P dan K RI Proyek Pengembangan Media Kebudayaan. Zoetmulder, P.J. 1982. Kamus Jawa Kuno Indonesia. Bagian 2 P-Y. (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.
LAMPIRAN
Gambar 1: Candi Surawana
Gambar 2: Candi Tigawangi
20