Minggu, 03 Mei 2015 | 01:26 PDIP:
Pendidikan Nasional Belum Mampu Ciptakan Manusia Indonesia Merdeka
http://www.beritasatu.com/pendidikan/270567-pdip-pendidikan-nasional-belum-mampu-ciptakan-manusia-indonesia-merdeka.html
Ilustrasi ujian nasional berbasis komputer (BeritaSatu.com/Priska Sari Pratiwi)
Jakarta - Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menilai Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) harus jadi momentum untuk mewujudkan tujuan dari konsep pendidikan sebagaimana digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Hasto mengatakan, Peringatan Hardiknas yang jatuh pada tanggal 2 Mei bertepatan dengan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara. Bukan hari lahir Taman Siswa yang Ki Hajar dirikan tahun 1922, juga bukan hari lahir lembaga pendidikan nasional lain, seperti Muhammadiyah (1912) atau NU (1926). "Fakta itu bermakna Hardiknas menekankan peringatan pada lahirnya konsep Pendidikan Nasional. Pada cara pengajaran dan materi pendidikan yang bertujuan untuk melahirkan bangsa Indonesia yang merdeka. Di situlah Ki Hajar Dewantara menjadi salah seorang penggagas dan pelopor utama," kata Hasto, di Jakarta, Sabtu (2/5). Menurut Hasto, memperingati Hardiknas adalah mengingatkan kembali tujuan pendidikan nasional. Menurut Ki Hajar Dewantara, kata dia, tujuan Pendidikan Nasional adalah membentuk Bangsa Indonesia yang berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka. Selain itu, membentuk bangsa Indonesia berbudi luhur yang merdeka, mandiri dan swadaya, dalam lingkungan yang bernafaskan kebangsaan dan berlanggam kebudayaan. Karenanya, lanjut dia, konsep pendidikan harus menerapkan pendidikan yang ‘membimbing’ (among) melalui keteladanan (ing ngarso sung tulodo), penyemangatan (ing madyo mbangun karso) dan pemberdayaan (tut wuri handayani).
1
"Guru bukan instruktur, tetapi pamong yang senantiasa menjadi teladan, penyemangat dan pemberdaya para siswa. Hanya dengan pendidikan seperti itu akan lahir manusia Indonesia merdeka," ujarnya. Setelah 70 tahun merdeka, lanjut Hasto, tujuan itu masih jauh dari harapan. Pendidikan, kata dia, belum mampu membentuk manusia Indonesia merdeka yang sebenar-benarnya merdeka. "Pendidikan belum tuntas mengikis belenggu berpikir, berperasaan dan bertabiat sebagai bangsa terjajah. Dalam beberapa hal justru pendidikan melahirkan belenggu-belenggu baru. Belenggu gaya hidup konsumtif, belenggu berpikir dan bertabiat asing, tidak mengakar pada realitas sosial dan budaya bangsa. Pendidikan yang justru mengasingkan dari realitas bangsa Indonesia sendiri. Pendek kata, setelah 70 tahun merdeka, masih banyak sisi-sisi kehidupan bangsa Indonesia yang masih terjajah," jelasnya. Untuk itu, dalam memperingati Hardiknas 2 Mei 2015, PDIP menyerukan untuk memfokuskan kembali arah pendidikan nasional kepada pembentukan manusia Indonesia merdeka. Peringatan Hardiknas adalah momentum menggali kembali konsep pendidikan nasional yang telah diwariskan oleh para tokoh, pemikir dan ahli pendidikan Indonesia. "Selanjutnya merumuskan kebijakan pendidikan nasional yang benar-benar ditujukan untuk membangun Indonesia merdeka," pungkasnya.
Hotman Siregar/FMB Suara Pembaruan
Reformasi Pendidikan:
Mendidik Manusia Anti Korupsi, Memperbaiki Bangsa http://edukasi.kompasiana.com/2015/05/03/reformasi-pendidikan-mendidik-manusia-anti-korupsi-memperbaiki-bangsa-742395.html
OPINI | 03 May 2015 | 00:50 Apa yang terjadi dengan bangsa ini? Bangsa yang dibangun dengan semangat gotong royong sehingga berhasil menyatukan 13.466 pulau dan 1.128 suku bangsa dalam sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia akhirnya terdegradasi secara moral dengan 2
perilaku individualis yang bernama korupsi ini? Mungkinkah awal mula tumbuhnya budaya korupsi ini ada akibat keberadaan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) telah memonopoli dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia selama 197 tahun? Perilaku koruptif anggotanya mungkin secara langsung telah memberikan contoh kepada bangsa Indonesia, di samping betapa bejatnya kaum penjajah ini semena-mena atas lahan dan hasil pertanian mereka, sebuah teknik dan seni memanipulasi keuangan untuk memperkaya kantong pribadi. Terbukti atau tidaknya dugaan ini, saya belum bisa memastikan. Namun ada satu hal yang pasti. Perilaku apapun sangat mungkin untuk dicontoh dan dijadikan bagian dari kehidupan kita. Sebuah contoh apalagi, akan sangat mungkin diadaptasi oleh seseorang yang masih dalam tahap pencarian jati diri dan pendidikan yang rendah dan terjajah. Entitas suatu objek yang dicontoh dan memberi pemahaman, dan subjek yang menyerap pengetahuan mengantarkan saya pada suatu keberadaan yang umum: guru dan murid. Pendidikan menunjukkan perannya dalam mengantarkan sebuah bangsa menuju suatu budaya, baik buruk maupun mulia. Keteladanan adalah suatu hal yang mutlak, dan bangsa ini sedang kekurangan hal tersebut. Petinggi SKK Migas, Menteri ESDM, Gubernur Riau, Ketua Mahkamah Konstitusi dan bahkan seorang Menteri Agama dan banyak tokoh masyarakat lain yang seharusnya menjadi seseorang yang kita hormati dan posisinya kita dambakan justru menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebuah keteladanan adalah kunci bagi kecerdasan dan pembangunan mental pengikut dan masyarakat di bawahnya. Minimal, secara tanpa disadari, kita tidak membangun stereotipe buruk atas semua kaum elitis di atas kita dan menganggap bahwa jika kita mampu menduduki posisi mereka nanti, kita akan memiliki kapabilitas untuk melakukan perilaku korup tersebut. Pendidikan sangat bergantung pada keteladanan, dan keteladanan paling awal datang orang tua dan juga dari sosok yang telah kita kenal harus kita gugu dan tiru: guru. Saya percaya bahwa pendidikan adalah kunci kesejahteraan bangsa. Pendidikan yang baik dari usia sedini mungkin akan menyelamatkan peradaban bangsa ini, oleh karena itu saya akan berfokus pada praktik pendidikan mulai dari tingkat dasar. Dunia pendidikan sekarang tengah terancam dengan krisis keberlanjutan dari Kurikulum 2013. Kurikulum yang secara konseptual telah terancang dengan baik namun dalam pelaksanaannya minim dengan kapabilitas dan operasional yang patut diteladani. Kurikulum 2013 menurut saya memiliki petunjuk dasar yang bagus, karena telah memberikan arahan secara tersistem untuk memantau tidak hanya perkembagan kognitif akademik dari siswanya, namun juga memberikan pemantauan dan pembimbingan mental, moral dan relevansi sosial kepada anak didiknya. Mata pelajaran yang telah terintegrasi 3
dan dipelajari secara simultan akan mampu menumbuhkan kritisme dan penalaran anak. Jika dilaksanakan dengan baik, metode ini akan membuat anak melihat dunia dari sisi keilmuan yang utuh dan dapat diterapkan pada kehidupan nyatanya dalam membuat karya yang mapan dari berbagai macam sisi keilmuan tanpa kesulitan untuk memadukan pemahamannya. Penilaian perilaku dan moral juga penting untuk menyadarkan anak bahwa prestasi tidak hanya dilihat dari nilai rapor akademis, tapi juga penilaian guru atas perilaku baiknya selama di sekolah. Semua konsep ini baik. Coba kita lihat jangka panjang. Jika kurikulum ini mampu berjalan dengan baik dan berlaku penuh berfokus pada inisiatif siswa (student centered), anak-anak didik akan mampu berfikir secara luas tidak hanya korelasi antar mata pelajaran namun juga relevansi antara pemahamannya dengan kenyataan lingkungan sekitarnya. Anak didik akan mampu memberikan kontribusi kepada lingkungan dengan adab, moral dan etika yang baik. Namun lihatlah pelaksanaan Kurikulum 2013 sekarang. Guru masih sulit utuk bertransisi dari guru yang pedagogik menjadi guru yang inspiratif dan mampu memancing minat belajar aktif anak. Anak masih menunggu arahan dan masukan ilmu dari gurunya karena guru tidak tahu bagaimana cara memotivasi anak. Guru masih menyisakan paradigma bahwa mereka lah sumber dari segala macam ilmu. Kesalahan dari sistem pendidikan guru adalah guru diarahkan pada penguasaan materi. Hal ini miris karena sesungguhnya, intisari pendidikan adalah bukan untuk mengajari anak didik, namun menumbuhkan minat belajar pada anak didik. Buku yang campur aduk dari berbagai macam mata pelajaran, modul yang sulit dimengerti dan pelatihan yang minim, hal-hal itulah yang akhirnya menjadi fokus kesulitan para guru. Seandainya para guru telah memberikan keteladanan yang baik dan inspirasi, maka jiwa manapun akan tanpa sadar termotivasi. Sampai saat ini, masih banyak guru yang menyerah untuk membuat metode pengajaran yang menyenangkan dan membangkitkan semangat belajar siswa, sehingga akhirnya sistem pengajaran yang telah berlangsung sejak zaman baheula lestari kembali. Sistem pengajaran yang satu arah, meninggalkan murid-murid pasif, tak tahu arah dan tidak bertanggung jawab atas perjalanan belajarnya, mengesampingkan minat dan pencarian mimpinya. Ini dia alasan pertama mengapa sistem pendidikan yang ada saat ini memicu perilaku korupsi: metode pendidikan yang diterapkan di sekolah diproyeksikan menimbukan daya korup. Anak-anak tidak dibiarkan bertanggung jawab dengan pilihannya. Sedari kita duduk di sekolah dasar, anak-anak tidak merasakan esensi bertanggung jawab. Anak-anak hanya menjalankan hidup dan materi yang telah disodorkan, tidak merasakan adanya 4
tanggung jawab yang datang atas hasil dari apa yang dilakukannya. Mereka tidak merasakan nikmatnya dari berjuang untuk sesuatu yang mereka pilih dan hasil yang akan mereka dapatkan dari perjuangan tersebut. Anak-anak hanya tahu untuk belajar, bahkan hal-hal yang tidak mereka senangi, hanya untuk mendapatkan nilai dan kebebasan dari hukuman dari orang tuanya jika tidak mendapat nilai merah. Jikalau nanti mereka masuk pada sebuah sistem yang lebih besar dimana mereka menempati posisi profesional dan mandatoris, misalnya menjadi karyawan kantor, mereka akan sulit untuk bertanggung jawab karena tidak dibiasakan untuk berjuang. Daya juang yang rendah demi tujuan yang positif, demi tujuan untuk memajukan organisasi atau perusahaan, akan menjerumuskan mereka pada hal-hal yang praktis. Tidak usah jauh-jauh untuk membayangkan sampai pada level dunia karir, mererka yang sejak SD hingga SMA tidak merasakan perjuangan untuk pilihan mereka sendiri akan hilang pada saat mereka masuk bangku kuliah. Mereka tak jarang akan salah jurusan dan akan sulit sekali untuk berperan aktif berkontribusi berdasarkan disiplin ilmunya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana teman-teman saya di bangku kuliah saat ini banyak yang merasa salah jurusan, bahkan saya sendiri adalah korban. Saya dan teman-teman saya yang salah jurusan akan selalu tergoda untuk mencari jalan pintas agar dapat mengikuti ritme perkuliahan. Mencontek tugas, mencontek pada saat ujian, membohongi absensi dan banyak lagi perilaku yang sesungguhnya koruptif kami lakukan agar bisa bertahan di jurusan kami. Saya bisa saja membuat pengecualian (excuse) kepada diri saya, bahwa saya harus melakukan praktik kotor ini demi mencapai kelulusan dan nantinya saya akan berkontribusi lebih dahsyat dengan jalan yang saya inginkan, tetapi pengalaman, teknik dan penerimaan mental atas perilaku ini telah saya dapatkan. Jika saya tidak kuat menghadapi godaan seperti ini lagi pada saat berkarir nanti, saya akan dengan lihai memanfaatkan pengalaman yang saya miliki untuk melakukan perilaku korupsi, seperti memanipulasi keuangan kantor misalnya. Yang paling merusak adalah, jiwa saya atau siapapun yang senasib dengan saya, telah menerima perilaku korup ini menjadi bagian kecil dari diri saya, dan itu bermula dari pendidikan dasar yang tidak menanamkan tanggung jawab. Alasan kedua: pelaksanaan evaluasi pendidikan di sekolah itu sendiri memberikan contoh korup. Target yang telah di-set oleh pemerintah daerah untuk akreditasi pendidikannya tidak sejalan dengan kapabilitas dari guru dan murid. Saya akan berikan contoh nyata yang lagi-lagi saya alami sendiri. Saya telah dua kali terlibat dalam perilaku kecurangan ujian nasional, yaitu pada saat kelas 6 SD dan SMA. Seperti telah saya katakan, pengawas UN kelas 6 SD sekolah saya mengkoordinir kerja sama dan membuka buku pelajaran agar murid dapat menjawab soal ujian. Pada saat SMA, 5
bahkan guru-guru dan pihak sekolah lah yang telah mengkoordinir sumber jawaban UN dan mengakomodasi iuran per bulan untuk membeli kunci jawaban itu kepada seluruh siswa kelas SMA. Luar biasa menurut saya. Hasilnya juga luar biasa: seluruh siswa SMA dari sekolah saya lulus kecuali satu – yang setelah saya tanyakan mengapa ia gagal adalah karena ia salah mengurutkan kunci jawaban. Saya adalah satu-satunya siswa yang tidak memberika iuran untuk kunci itu dan menjalankan ujian secara jujur meninggalkan saya acap kali harus tinggal di kelas paling lama untuk menyelesaikan ujian. Kejujuran dan proyeksi nyata atas kemampuan pendidikan sekolah telah dimanipulasi demi tingkat kualitas pendidikan daerah. Dapat kita duga, mentalitas pihak sekolah, guru dan anak didik sangat terpengaruh. Guru tetap mendapatkan gaji yang sama bahkan tanpa ia mampu mengajar dengan baik karena kunci jawaban sudah disediakan, dan siswa tetap lulus tanpa perlu susah payah belajar dengan hanya membayar iuran per bulan untuk memberli kunci jawaban. Peristiwa ini terjadi di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara tempat saya sekolah, dan saya yakin ini tidak hanya berlaku di sekolah saya. Konspirasi nasional ini telah menyelamatkan muka beberapa sekolah dan pemerintah daerah, namun menghancurkan masa depan bangsa ini. Alasan ketiga adalah: praktik dari pengadaan pendidikan itu sendiri memberikan contoh korup. Pengadaan buku yang belum merata dan tidak sampai-sampai ke seluruh sekolah, perilaku pihak percetakan yang mencari kesempatan di tengah kesempitan meraup untung dengan menerbitkan buku dan pelatihan guru yang terkesan dipaksakan menimbulkan kesan acak-acakan dan dugaan-dugaan yang negatif. Jika kita ingin menjalankan sistem pendidikan dengan baik, maka bersihkan dan rapikan proses pengadaannya dari hulu sampai ke hilir untuk menghilangkan preseden buruk. Kita tidak akan membiarkan seorang guru berkata “Wong dari pengadaan bukunya saja buruk, gimana kita mau mengajar dengan serius?” Kita butuh untuk mengetahui alasan mengapa seseorang melakukan korupsi karena dari situ kita dapat melakukan metode pencegahan dan perbaikan. Untuk dapat menemukan alasan, kita harus mengetahui latar belakang apa yang mendasarinya. Ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi perilaku koruptif seseorang dan itu akan sangat sulit jika ditelisik satu per satu. Bisa jadi karena memang wataknya yang serakah, budaya keluarganya yang konsumtif sehingga kebutuhan untuk uang akan selalu menggebu-gebu dan mungkin dari sistem yang ada berlaku memaksa seseorang untuk melakukan korupsi. Kita mungkin bisa merumuskan solusi untuk memperbaiki sistem, meningkatkan hukuman namun kita tidak akan pernah
6
bisa memperbaiki dari sisi manusia tanpa mengaksentuasi peran dari pendidikan mulai dari pendidikan dasar. Kita semua bisa memastikan bahwa siapapun pejabat di pemerintahan baik daerah maupun pusat, anggota DPR, DPRD dan MPR, petinggi BUMN, menteri dan presiden pasti pernah mengenyam bangku pendidikan dasar. Kita namun tidak bisa menyempitkan pribadi potensial korupsi hanya pada elite pemerintahan atau perusahaan, namun setiap warga negara. Oleh karena itu, satu-satunya cara mencegah perilaku korup yang memiliki cakupan luas dan sistemik meskipun membutuhkan modal materi dan pemikiran serta hasil yang bisa dibuktikan setelah berjalan jangka panjang adalah dengan cara mereformasi pendidikan secara menyeluruh. Urgensi pendidikan untuk membentuk pribadi dengan kesadaran sosial dan moral yang anti-korupsi telah saya jabarkan. Reformasi pendidikan harus menjadi fokus kita mulai saat ini. Reformasi pendidikan dapat diterapkan dengan memperbaiki pendidikan dari segi metode, pelaksanaan evaluasi dan pengadaan. Kita harus membentuk metode pendidikan yang membebaskan anak berkreasi sesuai dengan minat dan bakatnya. Peran guru harus fleksibel untuk dapat menilai kualitas anak tidak hanya dari standardisasi Kriteria Kelulusan Minimal (KKM) namun dari keterampilan hidupnya (life skill). Biarkan anak-anak menyusun kurikulum untuk hidupnya sendiri. Peran guru adalah sebagai pengamat dan pemberi motivasi. Pendidikan guru jangan lagi ditekankan pada penguasaan materi namun bagaimana cara menginspirasi. Kurikulum yang mirip dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang membiarkan guru memberikan materi yang kontekstual dengan daerah tinggalnya harus dikembangkan lagi hingga tahap memberikan peluang bagi anak untuk menyusun materi belajarnya sendiri. Anak-anak tidak akan terus bersama dalam satu kelas, namun berhak memilih kelas mana yang ingin ia ikuti, mirip dengan dunia perkuliahan. Dengan cara itu, anak-anak akan terlatih untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab sedari kecil. Mengubah metode pembelajaran berarti juga merubah sistem evaluasi. Ujian Nasional (UN) memang sepatutnya dihilangkan karena hanya akan menyuburkan praktek kecurangan dan tidak mendidik anak untuk percaya pada keunikan dirinya masing-masing karena dinilai berdasarkan soal yang standar secara nasional. UN akan diganti dengan proyek akhir anak didik sesuai dengan ketertarikan mereka. Proyek dapat berupa esai, proyek fisik yang berkaitan dengan spirit memberi pada lingkungan. Pemerintah daerah juga harus disadarkan bahwa angka kuantitas lulusan tidaklah penting, namun yang penting adalah bagaimana cari kita mampu meningkatkan kualitas mental dan jiwa anak didik nantinya. 7
Menteri Pendidikan harus sadar bahwa tidaklah penting untuk meninggalkan sebuah sistem baru sebagai warisan dari kepemimpinannya. Implementasi yang rapi dan minim konflik penolakan serta kenyamanan dari pengguna sistem adalah yang paling krusial. Rencanakan secara matang dan kaji secara mendalam dan menyeluruh apapun kebijakan pendidikan yang akan diaplikasikan. Kurikulum 2013 mengambil anggaran sekitar Rp 2,49 triliun dari APBN namun opsi pembatalan dan perombakan justru semakin mencuat. Inilah bukti bahwa jikapemerintah kurang memperhatikan segala kemungkinan yang ada dari sebuah kebijakan, justru akan berpotensi menuju pada kesia-siaan dan yang paling kita kecam, perilaku korupsi apalagi dari dana sebesar itu. Pendidikan anti-korupsi adalah penanaman budaya luhur yang berkesinambungan, maka mulai dari sistem pendidikan dasar seharusnya mengadopsi sistem pendidikan tinggi dengan objektif untuk menumbuhkan pribadi yang bersemangat dan bertanggung jawab. Kita memberikan waktu agar budaya anti-korupsi melekat pada anak didik. Kita dapat mentransformasikan Pendidikan Anti-Korupsi seperti di Universitas Paramadina menjadi kurikulum sekolah yang terdifusi dalam kegiatan belajar mengajar. Memperbaiki pendidikan, memperbaiki manusia, memperbaiki bangsa.
8