KONFLIK PAPUA “MENGAPA PAPUA INGIN MERDEKA DARI INDONESIA”
JURNAL Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana dalam Bidang Hubungan Internasional
Oleh: JANNAH LIA (209000148) ZULHAM BAHRI KELREY (209000221)
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA 2014
1
KONFLIK PAPUA “MENGAPA PAPUA INGIN MERDEKA DARI INDONESIA” Jannah Lia Zulham Bahri Kelrey Jurusan Hubungan Internasional Universitas Paramadina
Abstrak Jurnal ini membahas tentang akar Konflik Papua. Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang telah terintegrasi kedalam Indonesia sejak tahun 1963. Walaupun Papua telah terintegrasi selama puluhan tahun di Indonesia, hal ini tetap memicu terjadinya konflik yaitu Papua ingin merdeka dari Indonesia. Tujuan penelitian adalah untuk memberikan ilmu pengetahuan dan informasi secara lebih spesifik dan jelas tentang empat isu utama yang memicu konflik Papua. Penulis melakukan penelitian dengan mengumpulkan data dari buku, majalah maupun artikel dengan metode library research. Pembahasan mengenai konflik Papua yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia ini merupakan konflik internal dan vertikal yang terjadi di Indonesia. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Papua menginginkan merdeka dari Indonesia karena terdapat empat isu utama yang menjadi akar konflik, yaitu: adanya marjinalisasi dan diskriminasi orang Papua, pelanggaran HAM, sejarah dan status politik orang Papua, dan tidak adanya konsistensi pemerintah dalam menerapkan Undang-Undang Otonomi Khusus. Keywords: Konflik Papua, Papua, Indonesia
Pendahualuan Papua merupakan daerah yang khusus bagi Indonesia, karena memiliki wilayahwilayah yang berbeda dengan wilayah-wilayah lain yang ada di Indonesia, seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi maupun yang lainnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari
2
kehidupan sosiologis, budaya serta sejarah tentang bagaimana proses bergabungnya Papua dengan Indonesia. Berdasarkan letak geografis Papua yang berada dibagian timur Indonesia, maka dapat dilihat perbedaannya yang lebih menonjol dengan orang-orang di wilayah Indonesia yang lain (Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi) yaitu dari perbedaan ras. Orang timur Indonesia seperti Papua adalah orang-orang yang merupakan keturunan ras Melanesia. Melanesia berasal dari bahasa Yunani memiliki arti “Pulau Hitam”. Ciri-ciri fisik ras ini adalah berkulit gelap dan berambut keriting, berbeda dengan orang-orang yang ada di barat Indonesia yang rata-rata merupakan ras melayu dengan ciri-ciri kulit sawo matang atau putih.1 Papua adalah wilayah yang termasuk ke dalam salah satu daerah konflik. Rentetan konflik Papua dari dulu hingga sekarang masih belum berakhir. Awal munculnya konflik Papua ini terjadi ketika Belanda menguasai wilayah Papua yang ditandai dengan pendirian benteng “Fort de Bus” di teluk Triton di kaki gunung Lumenciri pada tahun 1828. 2 Konflik Papua terjadi karena adanya proses penyerahan wilayah oleh Sultan Tidore kepada Pemerintah Belanda tanpa sepengetahuan orang pribumi. 3 Orang Papua saat itu memendam rasa benci terhadap Belanda, karena sejak VOC beroperasi di wilayah Papua selalu melakukan monopoli hak-hak rakyat. Memasuki masa setelah kemerdekaan Indonesia, status politik tanah Papua tetap menjadi masalah. Pemerintah Belanda masih tetap ingin berkuasa di Papua sebagai wilayah jajahannya, namun Indonesia merasa bahwa Papua merupakan bagian dari wilayahnya. Setelah melalui begitu banyak proses perundingan, maka diadakanlah perundingan New York Agreement pada 15 Agustus 1962. Dalam perundingan ini, ternyata tidak ada seorangpun dari orang maupun tokoh Papua yang terlibat didalamnya. 4 Dengan tidak adanya keterlibatan dari orang Papua dalam perundingan tersebut, sepertinya kedua belah pihak merasa bahwa orang Papua masih primitif dan belum mampu beraktualisasi diri dalam dinamika politik.
1
Muryanti, “Rumpun Melanesia Belahan Wajah Bangsa Indonesia”, diakses dari http://bekangdam7wirabuana.mil.id/index.php?option=com_wrapper&view=wrapper&Itemid=110, Pada Tanggal 20 Februari 2014, Pukul 03:50 WIB. 2 Ali Hamdan Bogra, “Lintasan Sejarah Kembalinya Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia”, diakses dari http://pkskotajayapura.org/artikel/read/lintasan-sejarah-kembalinya-papua-ke-negara-kesatuan-republikindonesia/, Pada Tanggal 22 Januari 2014, Pukul 21:48 WIB. 3 Paskalis Kossay, Konflik Papua: Akar Masalah dan Solusi (Jakarta: Tollelegi, 2011), hlm. 3. 4 Ibid., hlm. 5.
3
Pada akhirnya, Papua berintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1 Mei 1963 yang ditandai dengan peralihan kekuasaan politik dari UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority): Badan Otoritas Pemerintahan Peralihan PBB kepada Pemerintah Indonesia.5 Seiring dengan perjalanan waktu, ternyata dengan terjadinya pengabaian terhadap keterlibatan orang Papua dalam proses perundingan tersebut menyebabkan munculnya nasionalisme Papua. Dengan adanya nasionalisme Papua kemudian berkembang menjadi kepentingan politik yang menginginkan Papua merdeka. Selama hampir 40 tahun Papua bergabung dengan Republik Indonesia (RI), sebagian dari masyarakat Papua merasa bahwa mereka tidak pernah merasa berintegrasi secara total terhadap RI. Karena, adanya perasaan ketidakadilan dalam kehidupan ekonomi, hukum, politik, dan hak asasi manusia. Adanya pendapat bahwa masyarakat Papua merasa dianggap sebagai masyarakat kelas dua dan menjadi warga negara yang paling tertinggal di Indonesia. 6 Jika dilihat secara fisik, pembangunan di Papua terbilang telah menunjukkan adanya kemajuan daripada masa kolonial Belanda. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari aspek pembangunan sekolah, rumah sakit, pasar, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya yang semakin bertambah. Tapi dalam hal lain, masyarakat Papua belum merasa bisa mendapatkan jaminan politik, persamaan hak dan kewajiban, keamanan dan ketentraman. Pembangunan yang dijalankan pemerintah pusat di Papua, telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi, kecemburuan, dan benturan sosial yang tinggi. Penduduk lokal merasa terasing ditanah sendiri. Masyarakat lokal dilarang menebang hutan sembarangan, namun mereka melihat orang-orang yang mengeluarkan larangan tersebut justru menebang, mengeskplorasi hutan dengan sesuka hatinya dengan alasan Hak Pengelolaan Hutan (HPH).7 Dengan adanya kebijakan pembangunan nasional yang menggunakan doktrin “persatuan dan kesatuan” hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang-orang pemerintah pusat saja, dan mengabaikan semua kepentingan masyarakat Papua. Dalam proses perencanaan pembangunanpun tidak pernah melibatkan masyarakat Papua. Kesalahan doktrin
5
Ibid., hlm. 6. Yorrys TH Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka (Jayapura: Presidium Dewan Papua, 2002), hlm. 43. 7 Ibid., hlm. 44-45. 6
4
ini telah dirasakan puluhan tahun oleh masyarakat Papua sejak pertamakali bergabung dengan Indonesia pada awal tahun 1960-an.8 Dalam permasalahan konflik Papua yang terjadi, terdapat empat isu utama yang mencakup, yaitu:9 Pertama, marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Kedua, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kekerasan negara yang sampai hari ini belum ada masalah pelanggaran HAM yang diselesaikan secara adil, termasuk juga belum berhasil diputusnya siklus kekerasan di Papua yang dilakukan negara. Ketiga, sejarah dan status politik Papua yang terus diperdebatkan di kalangan orang Papua, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan Act of Free Choice pada 1962 yang menghasilkan integrasi (reintegrasi) Papua ke Indonesia. Keempat, kegagalan pembangunan berkaitan dengan implementasi Undang-Undang Otsus Papua, terutama bila dilihat dari keberhasilan/kegagalan di empat sektor prioritas: pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pembangunan infrastruktur.
Permasalahan Berdasarkan dari pemaparan latar belakang masalah pada penelitian ini dan agar pembahasan jauh lebih spesifik, maka peneliti hanya fokus pada permasalahan tentang empat isu utama yang menjadi faktor atau akar konflik Papua yang memicu Papua menginginkan kemerdekaan dari Indonesia. Peneliti akan memaparkan empat isu tersebut secara lebih spesifik dan jelas.
Tujuan Penelitian 8
Ibid., hlm. 45. Adriana Elisabeth, “Papua Road Map: Bagian Perjalanan Damai Papua”, Artikel dari Pusat Penelitian Politik– Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), diakses dari http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/kolom-papua/568-papua-road-map-bagian-perjalanan-damaipapua, Pada Tanggal 23 Januari 2014, Pukul 11:18 WIB. 9
5
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan empat isu utama yang menjadi akar konflik Papua yang memicu Papua menginginkan kemerdekaan dari Indonesia secara spesifik dan jelas, agar dapat memberikan informasi dan ilmu pengetahuan kepada para pembaca baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat umum tentang akar konflik Papua yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia.
Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik. Metode ini untuk menjelaskan dan menggambarkan tentang faktor empat isu utama yang menjadi akar konflik Papua yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Library Research (studi pustaka), setiap data-data yang didapatkan berasal dari data-data yang sumbernya dapat dipercaya, yaitu bersumber dari buku, artikel, surat kabar, jurnal, majalah, media internet, yang dapat memberikan informasi dan data-data yang akurat serta relevan sesuai dengan permasalahan yang dibutuhkan dalam penulisan penelitian ini. Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Hasil Penelitian Konflik yang terjadi di Papua ini tidak lepas dari kesalahan sejarah masa lalu yang dijalankan oleh pemerintah sebelumnya. Keinginan Papua merdeka dari Indonesia memiliki arti dan makna sendiri. Kata “merdeka” seringkali diartikan sebagai memisahkan diri secara politik, arti ini memiliki masalah yang fundamental bagi Indonesia yang sangat mementingkan integritas teritorial Indonesia. Namun, bagi penduduk asli Papua, istilah “merdeka” diartikan sebagai “bebas”. Bebas dalam artian bebas dari penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan. Saat ini, sentimen merdeka telah mengendap pada berbagai kelas baik pada tingkat regional maupun berbagai suku di dalam penduduk asli Papua. 10
10
Dennis C Blair, dan David L. Phillips, Komisi Untuk Indonesia: Perdamaian dan Kemajuan di Papua (Amerika Serikat: The Council on Foreign Relations, Inc, 2003), hlm. 34.
6
Konflik Papua merupakan konflik internal yang terjadi di Indonesia. Yang dimaksudkan dengan konflik internal adalah konflik yang terjadi dimana para pihak yang bertikai ada didalam suatu negara. Dalam konflik internal ini biasanya merupakan konflik yang menjadi sorotan internasional dan memiliki dimensi internasional. Konflik Papua termasuk kedalam salah satu contoh konflik vertikal, karena konflik ini terjadi antara masyarakat dan negara. Sejumlah indikator konflik vertikal Papua dapat dilihat dari beberapa permasalahan yang terjadi berikut ini: 11 1. Rangkaian penembakan yang terjadi akhir-akhir ini di sejumlah Kabupaten dimana yang menjadi korban adalah bukan hanya warga sipil tetapi juga anggota TNI dan POLRI. 2. Tuduhan-tuduhan
yang
langsung
dialamatkan
pada
Tentara
Pembebasan
Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM), sekalipun banyak terjadi tanpa adanya sebuah investigasi mendalam terlebih dahulu. 3. Adanya persitiwa pengibaran Bendera Bintang Kejora di Papua. 4. Adanya tuntutan Referendum yang berkembang di sebagian masyarakat Papua. 5. Adanya stigma separatis terhadap masyarakat di Papua. Setiap orang Papua dicurigai sebagai separatis. Dalil yang diterapkan pemerintah adalah “setiap orang Papua adalah separatis sampai dia membuktikan bahwa dia bukan separatis”. 6. Penerapan “makar” dan subversif bagi orang Papua yang dituduh TPN/OPM.
Nasionalisme Papua Menurut pandangan Chauvel (2005), menjelaskan bahwa salah satu faktor munculnya nasionalisme Papua terletak pada perjalanan sejarah Papua yang menyangkut perbedaan dan
11
Neles Tebay, “Menggagas Dialog Jakarta-Papua,” Monitor-Imparsial, Edisi Januari – Oktober 2011, hlm. 6.
7
persaingan antara orang Papua dan orang Indonesia lainnya, seperti Ambon, Kei, Manado, dan Sangir, baik sebelum Perang Pasifik 1942 maupun selama 1944-1962.12 Sejak awal perundingan Konferensi Malino yang dilaksanakan pada 16 Juni 1946 sampai perundingan terakhir, yakni New York Agreement pada 15 Agustus 1962, ternyata tidak ada seorangpun tokoh Papua yang terlibat dalam perundingan-perundingan tersebut.13 Keterlibatan tokoh Papua hanya terlihat dalam pergerakan lokal seperti: aksi-aksi perlawanan terhadap Belanda setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sekitar tahun 19461957.14 Dengan tidak terlibatnya tokoh-tokoh Papua dalam berbagai perundingan tersebut menunjukkan bahwasannya eksistensi dan martabat orang Papua belum diakui dalam perspektif pemahaman politik Belanda dan Indonesia. Sebagai salah satu contoh tidak adanya keterlibatannya orang Papua dalam hak penentuan nasib sendiri terungkap dalam Kongres II Papua yang berdasarkan hasil Komisi Pelurusan Sejarah merumuskan beberapa hal penting sebagai berikut: “…Pasal XVIII ayat d New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of selfdetermination to be carried out in accordance with international practice…” Yang dimaksudkan dalam aturan ini adalah penentuan nasib sendiri yang harus dilakukan oleh setiap orang Papua baik pria maupun wanita yang telah dewasa dan merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. 15 Berdasarkan Kongres II Papua, hal tersebut dalam prakteknya tidak dilaksanakan karena dibuktikan dengan: 16 1. Penentuan nasib sendiri dilakukan oleh suatu badan di tiap kabupaten yang disebut Dewan Musyawarah Pepera yang keanggotaanya langsung ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia. Dari 815.906 penduduk (diperkirakan 600.000 orang dewasa) yang ditunjuk langsung hanya 1026 orang anggota Dewan Musyawarah Pepera. Dari ke1026 orang tersebut yang ditunjuk hanya 175 orang untuk menyampaikan pendapat yang telah disiapkan oleh Pemerintah Indonesia.
12
Bernarda Meteray, Nasionalisme Ganda Orang Papua (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2012), hlm. 19. 13 Kossay, Konflik Papua, hlm. 4-5. 14 Ibid., hlm. 5. 15 Riris Katharina dkk., Kebijakan dan Implementasi Otonomi Khusus di Papua dan Aceh (Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia, 2012), hlm. 5. 16 Ibid., hlm. 5.
8
2. Masyarakat Papua yang di luar negeri yang pada saat penandatanganan New York Agreement adalah penduduk Papua, tidak diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam penentuan nasib sendiri. 3. Tidak dilaksanakannya hak penetuan nasib sendiri sesuai dengan pasal XVIII ayat d New York Agreement yang menurut Pemerintah Indonesia disebabkan karena 3 (tiga) alasan, yaitu (1) keprimitifan penduduk untuk dapat melakukan pemilihan secara demokratis menurut praktek modern; (2) kesulitan transportasi; (3) faktor-faktor geografis; alasan seperti ini tidak bisa diterima. Seiring berjalannya waktu, dengan tidak adanya keterlibatan orang Papua dalam perundingan-perundingan tersebut, ternyata menjadi titik balik munculnya emosional primodialisme kepapuaan. 17 Sehingga lama-kelamaan berubah menjadi semangat kesetiaan yang kuat dan tumbuh secara alamiah dan berkembang menjadi kesetiaan nasionalisme Papua. Kesetiaan tersebut semakin berkembang menjadi kepentingan politik yang menginginkan Papua merdeka.
Empat Faktor Papua Ingin Merdeka Berdasarkan dari latar belakang dapat dianalisa mulai dari akar permasalahan konflik di Papua yang menyebabkan Papua menginginkan kemerdekaan dan terlepas dari Indonesia, yaitu: a. Yang pertama, dikarenakan terjadinya marjinalisasi dan diskriminasi masyarakat asli Papua, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Marjinalisasi dan diskriminasi ini telah dirasakan selama puluhan tahun. Masyarakat asli Papua diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah pusat, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, hukum, dan hak asasi manusia. Mereka merasa tidak mendapatkan hak-hak politik (political rights), tidak mendapatkan persamaan hak dan kewajiban, tidak mendapatkan keamanan dan juga ketentraman. Masyarakat asli Papua berpendapat bahwa ada semacam ironisme dalam proses pembangunan di tanah mereka. Kesenjangan pembangunan juga dapat dilihat dari kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah walaupun di Papua terdapat otonomi khusus namun 17
Kossay, Konflik Papua, hlm. 5.
9
jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin meningkat. Berdasarkan dari hasil data dan angka-angka telah menunjukkan bahwa Papua termasuk provinsi terkaya di Indonesia selain Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, dan Kalimantan Timur. Akan tetapi, penduduk Papua tergolong paling miskin di Indonesia. 18 Salah satu faktor sumber konflik di Papua adalah adanya kesenjangan pembangunan daerah, kesenjangan tersebut dapat dipahami karena adanya sumber penyebab lain yang menjadi salah satu akar masalah Papua, yaitu: perbedaan ideologi politik yang berdasarkan pada realitas politik masa lalu.19 Marjinalisasi kehidupan orang asli Papua semakin meluas, dilihat dari persaingan kemajuan dalam berbagai aspek politik, ekonomi, dan sosial merupakan potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat meledak jika tidak ditangani secara bijaksana. Kondisi marjinalisasi ini seringkali dijadikan sebagai isu komoditi politik yang dapat membangkitkan emosi dari masyarakat asli Papua yang menjadi antipati dari masyarakat asli Papua kepada Pemerintah. 20 Proses marjinalisasi masyarakat asli Papua juga dapat dilihat dari posisi pekerjaan yang berdasarkan pendidikan dan keahlian. Misal, dalam lingkungan pemerintah provinsi Papua hanya 35% orang asli Papua yang menduduki jabatan Eselon II. Pada posisi Eselon III, hanya sekitar 26% orang asli Papua yang menduduki jabatan tersebut. Kondisi serupa juga dapat ditemui di semua kabupaten/kota dan perusahaan swasta. 21 Selain tersisih di sektor pertanian, kehutanan, dan tidak mendapatkan posisi strategis dalam birokrasi pemerintahan dan swasta. Masyarakat Papua juga kalah bersaing dalam usaha pemberdayaan ekonomi rakyat. Karena pada usaha sektor riil, baik formal maupun informal lebih banyak dikuasai oleh masyarakat pendatang. 22 Hal ini disebabkan karena adanya ketidakadilan dalam menjalani usaha tersebut. Pihak aparat keamanan terlalu berpihak pada pemilik modal yang kebanyakan merupakan kaum pendatang. Alat-alat produksi juga dikuasi oleh kaum pendatang, sehingga menyebabkan penduduk lokal sangat tergantung pada mereka. Berdasarkan dari sejarah masa Orde Baru, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam kebijakan yang diterapkan oleh masa kepemerintahan Presiden Soeharto.
18
Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, hlm. 129. Kossay, Konflik Papua, hlm. 109. 20 Ibid., hlm. 108. 21 Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, hlm. 134. 22 Ibid. 19
10
Saat itu, pemerintah telah meminggirkan masyarakat adat dan kelompok minoritas. 23 Secara sistematis Pemerintah Soeharto menyingkirkan masyarakat adat dari semua lapangan kehidupan, seperti sosial, politik, hukum, ekonomi, dan budaya. Pemerintah mengeluarkan berbagai undang-undang untuk mengambil alih sumbersumber ekonomi masyarakat adat, seperti melalui Undang-Undang (UU) Pertambangan, UU Kehutanan, UU transmigrasi dan UU Penataan Ruang. Saat itu, pemerintah juga tidak mau mengakui agama yang dipeluk oleh masyarakat Papua, karena dianggap tidak sebagai agama besar.24 b. Yang Kedua, telah terjadinya pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) dan kekerasan negara terhadap masyarakat Papua. Aksi pelanggaran HAM ini mulai terjadi pada saat sebelum dilaksanakannya Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Saat itu, Indonesia menerapkan beberapa operasi militer untuk membujuk dan memaksa masyarakat Papua agar memilih bergabung dengan Indonesia. 25 Dengan adanya kebijakan membungkam keinginan masyarakat Papua inilah yang kemudian mengakibatkan serangkaian pelanggaran HAM, seperti penyiksaan, pemerkosaan, penangkapan, pengusiran hingga sampai melakukan aksi pembunuhan. Dengan terjadinya berbagai macam rangkaian pelanggaran HAM seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hal ini menyebabkan psikologis orang Papua memunculkan sifat dendam, antipati serta sentimen radikal yang bermuara pada berkembangbiaknya ideologi nasionalisme Papua. 26 Dampak dari semua tindakan tersebut, menyebabkan terjadinya pemberontakan terhadap Pemerintah Indonesia yang semakin luas yang diorganisir oleh gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Aksi-aksi gerakan OPM tersebut harus berhadapan dengan kekuatan aparat keamanan TNI dan Polisi Republik Indonesia (POLRI), sehingga menyebabkan terjadinya benturan-benturan kekerasan yang menyebabkan pelanggaran HAM semakin menjadi-jadi. 27 Pemerintah Indonesia juga melarang masyarakat Papua untuk menyampaikan aspirasi secara bebas. Hal ini sangat bertentangan dengan Pasal XXI New York Agreement. Dalam pasal ini telah disebutkan bahwa: “UNTEA dan Indonesia akan menjamin sepenuhnya hak23
Ibid., hlm. 140. Ibid., hlm. 141. 25 Ibid., hlm. 51. 26 Kossay, Konflik Papua, hlm. 120. 27 Ibid., hlm. 121. 24
11
hak penduduk wilayah tersebut, dalam mana termasuk hak-hak atas kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, serta kebebasan berkumpul dan bersidang”.28 Larangan pemerintah tersebut dapat berakhir dengan muculnya era reformasi dengan tuntutan demokratisasi di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yang merupakan solusi bagi masyarakat Papua untuk mengekspresikan aspirasinya secara bebas dari tekanan politik yang bersifat refresif dan militeristik pada masa lalu. c. Yang Ketiga, dilihat dari sejarah dan status politik Papua yang terus menjadi perdebatan dikalangan orang Papua, khususnya berkaitan erat dengan pelaksanaan Act of free Choice pada 1962 yang telah menghasilkan integrasi Papua ke Indonesia. Sejak awal, secara politis dan emosional, masyarakat Papua tidak pernah merasa sungguhsungguh berintegrasi dengan Indonesia. Masyarakat Papua tidak pernah merasa menyatu secara maksimal dan utuh dengan Indonesia sejak awal integrasi semakin muncul ke permukaan, setelah mereka diperlakukan secara sewenang-wenang hampir 40 tahun lamanya. Maka, masyarakat Papua pun menunjukkan sikap mereka melalui perlawanan, baik lewat konflik senjata maupun dengan aktivitas politis. Salah satu bentuk aktivitas politis tersebut adalah dengan mendesak dunia internasional untuk mengungkapkan kembali proses sejarah terintegrasinya Papua dengan Indonesia. Dalam “Hasil Renungan Aspirasi Politik Bangsa Papua Barat” kepada Presiden BJ Habibie pada 24 Juli 1999 disebutkan bahwa berdasarkan fakta-fakta sejarah, Papua tidak pernah berintegrasi dengan Indonesia secara alamiah atau atas keinginan mayoritas masyarakat Papua. Integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dikarenakan alasan geopolitis dan geostrategic yakni dalam bentuk aneksasi. 29 d. Yang Keempat, dengan adanya kegagalan pembangunan yang berkaitan dengan implementasi
Undang-Undang
keberhasilan/kegagalan
di
empat
Otsus sektor
Papua, prioritas:
terutama
dilihat
pendidikan,
dari
kesehatan,
pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pembangunan infrastruktur. Otonomi adalah istilah untuk konsep yang tercantum pada Undang-Undang Otonomi Khusus. Bagi otoritas Indonesia aspek terpenting dari otonomi adalah mempertahankan
28 29
Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, hlm. 52. Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, hlm. 61.
12
integritas teritorial dari negara mereka, sambil memberikan, kemandirian, pendabiran terbatas dan sumber daya alam kepada propinsi.
30
Otonomi Khusus (Otsus) ini diterapkan oleh pemerintah karena ingin meredam tuntutan kemerdekaan masyarakat Papua. Maka pemerintah memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi masyarakat Papua. Pemberian Otsus tersebut dituangkan dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) 1999 yang merupakan bagian dari ketetapan MPR IV/1999. Dalam GBHN ini disebutkan: Dalam rangka mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keseragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, maka ditetapkan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-udang, dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia melalui peradilan yang jujur, adil dan bermartabat. 31 Otonomi Khusus Papua ini diterapkan dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2001. Adapun lahirnya Otonomi Khusus tersebut, jika dipandang dari aspek kejiwaan mengandung 3 (tiga) pesan moral utama, yaitu; (1) Adanya keberpihakan kepada orang asli Papua, (2) Pemberdayaan dan (3) Perlindungan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua dari berbagai bentuk penyimpangan, yaitu, kekerasan, penganiayaan, penghinaan, dan pembunuhan. 32 Namun, dalam kenyataannya kebijakan pemberian otonomi secara khusus tidak dapat dilaksanakan secara maksimal, bahkan pemerintah pusat tetap menggunakan cara-cara yang sentralis dalam mengendalikan wilayah Papua selama lebih dari 30 Tahun. Kebijakan otonomi ini dianggap hanya sebagai peredam gejolak politik yang sedang terjadi di Papua. Jika Otsus benar-benar dilakukan secara maksimal sesuai peraturan yang ada, maka masyarakat Papua akan memiliki sejumlah keuntungan dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Keuntungan-keuntungan tersebut dapat berupa adanya kewenangan daerah yang menjadi semakin luas, sehingga dapat mengatur segala sesuatu bagi peningkatan kemakmuran masyarakat berdasarkan peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan UU Otsus. Selain itu, dalam sumber keuangan yakni penerimaaan daerah akan lebih besar, termasuk pembagian keuangan yang tentunya akan lebih banyak masuk ke daerah dibandingkan ke pemerintah pusat dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat Papua tentunya akan lebih diakui ditanahnya sendiri.
30
Phillips, Komisi Untuk Indonesia, hlm. 34. Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, hlm. 152. 32 Kossay, Konflik Papua, hlm, 83. 31
13
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan dari latar belakang dan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa, konflik Papua ini merupakan sebuah konflik internal dan vertikal yang telah terjadi selama puluhan tahun dari masa penjajahan Belanda menduduki Papua hingga saat ini. Dengan banyaknya proses ketidakadilan yang dirasakan oleh orang Papua maka muncullah rasa nasionalisme Papua yang menginginkan Papua merdeka. Dengan adanya ideologi nasionalisme Papua yang selalu tumbuh sepanjang waktu itulah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik berkepanjangan di Papua. Akar permasalahan konflik Papua ini berdasarkan empat faktor utama yaitu: marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, pelanggaran HAM dan kekerasan negara di Papua, sejarah dan status politik Papua yang berkaitan dengan pelaksanaan Act of Free Choice pada 1962, dan kegagalan pembangunan dan implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Kurangnya perhatian saat masa pemerintahan Soeharto terhadap daerah dan masyarakat Papua dengan menyingkirkan masyarakat adat dan kelompok minoritas, maka muncullah marjinalisasi Papua. Dengan demikian masyarakat Papua merasa adanya kesenjangan pembangunan, kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Proses marjinalisasi juga dapat dilihat dari posisi pekerjaan yang berdasarkan dari pendidikan dan keahlian. Selain itu, juga terjadi kesenjangan dalam pemberdayaan ekonomi rakyat. Karena, masyarakat Papua kalah bersaing dengan masyarakat pendatang yang banyak menguasai usaha sektor riil baik formal maupun informal. Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua disebabkan karena pemerintah menerapkan operasi militer untuk membujuk dan memaksa masyarakat Papua agar bergabung dengan Indonesia. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi berupa penyiksaan, pemerkosaan, penangkapan, pengusiran, dan pembunuhan. Aksi pelanggaran HAM ini, menyebabkan psikologis orang Papua memunculkan sifat antipati, sentimen radikal dan pemberontakan terhadap Pemerintah Indonesia yang semakin meningkat, karena diorganisir oleh gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selain itu, dengan adanya larangan dari pemerintah kepada masyarakat Papua untuk menyampaikan aspirasi secara bebas yang bertentangan
14
dengan pasal XXI New York Agreement menyebabkan pelanggaran HAM semakin menjadijadi. Konflik Papua ini terjadi tidak lepas dari kesalahan sejarah pada masa lalu. Pada saat perundingan New York Argeement yang tidak melibatkan orang Papua dalam menentukan posisi Papua saat itu, menyebabkan orang Papua merasa bahwa ini merupakan sebuah ketidakadilan terhadap hak-hak mereka dan karena itu juga hingga sekarang orang Papua masih tidak menyetujui hasil dari perundingan tersebut yang kemudian menjadi konflik. Dengan lambatnya proses pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan di Papua. Menyebabkan orang Papua merasa kehidupannya jauh tertinggal dari wilayah-wilayah lain di Indonesia. Orang asli Papua masih hidup dalam kemiskinan dan tidak sejahtera. Sedangkan Pemerintah lebih fokus menangani konflik di Papua dengan pendekatan keamanan yang refensif dan bersifat militeristik dalam menangkal aksi-aksi pemberontakan orang Papua, daripada fokus menangani pembangunan kesejahteraan kehidupan orang Papua. Walaupun pemerintah telah menetapkan Otsus sebagai jalan keluar untuk menangani permasalahan di Papua, tapi dalam proses pelaksanaannya UU Otsus tersebut belum dapat meningkatkan kesejahteraan orang Papua. Sehingga menyebabkan orang Papua melakukan penolakan secara simbolis terhadap Otsus tersebut. Menurut orang Papua, pemerintah tidak memperlihatkan komitmennya secara baik dalam melaksanakan UU Otsus Papua dengan lebih konsisten. Selain itu, pemerintah juga tidak melakukan evaluasi implementasi UU Otsus dengan melibatkan rakyat Papua yang merupakan sasaran dan tujuan dari implementasi UU Otsus. Permasalahan yang terjadi dalam konflik Papua selama ini tidak akan dapat berhasil untuk dituntaskan jika pemerintah tidak melakukan evaluasi dan identifikasi sedemikian rupa dari setiap akar konflik yang terjadi. Pemerintah harus mampu mengurangi militeristik dalam menangani konflik di Papua, karena jika jalur kekerasan tetap dilakukan maka pemberontakan orang Papua juga akan terus berlanjut sehingga menyebabkan semakin banyaknya korban berjatuhan. Pemerintah juga harus mencoba untuk mengembalikan kepercayaan orang Papua terhadap Pemerintah agar permasalahan Papua dapat terselesaikan dengan baik, hal ini dapat dilakukan melalui dialog antara pemerintah dengan orang asli Papua tanpa adanya pikiran negatif antara satu dengan lain.
15
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
16
Raweyai, Yorrys TH. Mengapa Papua Ingin Merdeka. Jayapura: Presidium Dewan Papua, 2002. Blair, Dennis C, dan David L. Phillips. Komisi Untuk Indonesia: Perdamaian dan Kemajuan di Papua. Amerika Serikat: The Council on Foreign Relations, Inc, 2003. Maniagasi, Frans. Masa Depan Papua: Merdeka, Otonomi Khusus dan Dialog. Jakarta: Millennium Publisher, 2001. Kossay, Paskalis. Konflik Papua: Akar Masalah dan Solusi. Jakarta: Tollelegi, 2011. Meteray, Bernarda. Nasionalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2012. Katharina, Riris., dkk. Kebijakan dan Implementasi Otonomi Khusus di Papua dan Aceh. Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia, 2012.
Artikel Majalah: Tebay, Neles. “Menggagas Dialog Jakarta-Papua.” Monitor-Imparsial, Edisi Januari-Oktober 2011.
Internet: Hamdan Bogra, Ali. “Lintasan Sejarah Kembalinya Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Diakses dari http://pkskotajayapura.org/artikel/read/lintasan-sejarahkembalinya-papua-ke-negara-kesatuan-republik-indonesia/. Pada Tanggal 22 Januari 2014. Pukul 21:48 WIB. Elisabeth, Adriana. “Papua Road Map: Bagian Perjalanan Damai Papua.” Artikel dari Pusat Penelitian Politik–Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Diakses dari http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/kolom-papua/568-papua-road-mapbagian-perjalanan-damai-papua. Pada Tanggal 23 Januari 2014. Pukul 11:18 WIB.
17
Muryanti. “Rumpun Melanesia Belahan Wajah Bangsa Indonesia.” Diakses dari http://bekangdam7wirabuana.mil.id/index.php?option=com_wrapper&view=wrapper&Itemid=110. Pada Tanggal 20 Februari 2014, Pukul 03:50 WIB.