Cepat atau lambat Papua pasti merdeka Wawancara Jacob Rumbiak (1) http://www.merdeka.com/khas/cepat-atau-lambat-papua-pasti-merdeka-wawancara-jacob-rumbiak-1.html
Reporter : Faisal Assegaf | Jumat, 5 September 2014 09:14
Jacob Rumbiak. 2012 Merdeka.com Merdeka.com - Sejak hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 menyatakan Papua ingin bergabung dengan Indonesia, krisis terus membekap wilayah di ujung timur negara ini. Situasi keamanan fluktuatif. Milisi Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus melancarkan gerilya. Mereka membunuh tentara, polisi, dan bahkan warga asing di sana. Kehadiran pasukan keamanan di Papua tidak mampu menjamin sepenuhnya keamanan di Bumi Cendrawasih. Bukan sekadar perlawanan bersenjata, kaum-kaum intelektual Papua terus bergerilya di luar negeri, termasuk Jacob Rumbiak. Dalam kongres ketiga di Jayapura, papua, Oktober 2011, menghasilkan terbentuknya negara Federasi Papua Barat, dia diangkat sebagai menteri luar negeri. Dari Kota Melbourne, Australia, dia menggalang dan menyerukan sokongan bagi kemerdekaan Papua. Dia yakin Papua bakal lepas dari cengkeraman Indonesia. "Cepat atau lambat pasti kemerdekaan itu datang," katanya saat dihubungi melalui telepon selulernya Rabu lalu. Berikut penjelasan Jacob Rumbiak kepada Faisal Assegaf dari merdeka.com. Dengan berakhirnya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, apakah perjuangan Organisasi Papua Merdeka akan lebih bagus ke depannya? 1
Saya melihat bukan lebih bagus, tapi ada lebih keuntungan untuk kedua pihak baik Indonesia dan Papua. Saya melihat dengan adanya proses baik itu tidak ada kalah, tidak ada menang. Perjuangan Papua Barat itu bukan anti-Indonesia atau antipemerintah Republik Indonesia. Itu menyangkut hak politik orang Papua. Kita harap dengan adanya presiden baru ini bisa membuka satu ruang demokrasi sehingga kita bisa duduk dan membicarakan masa depan bersama Indonesia dan Papua. Jadi saya lebih cenderung melihat bukan bagusnya, tapi bagaimana kita akan hadir sebagai masyarakat eksternal dalam tanggung jawab bersama menjaga dunia damai pada setiap bangsa. Sehingga tidak ada permusuhan di atas dunia ini. Memangnya Anda yakin selama Jokowi memerintah Papua bisa merdeka? Saya melihat ada sedikit kerikil-kerikil kecil karena kendali jarak jauhnya ada di Megawati. Tidak mungkin Ibu Mega mengkhianati perjuangan bapaknya. Tapi kami harap beliau bisa mengerti sebenarnya kehancuran Indonesia itu ada kesalahan kebijakan dari partainya. s Sebenarnya Indonesia bukan republik. Indonesia bukan negara bersistem presidensial, sistemnya RIS (republik Indonesia Serikat). Kalau dari awal Soekarno menjalankan sistem RIS, saya pikir Indonesia adalah negara besar. Sebab daerah diberikan wewenang membangun Indonesia. Tapi karena adanya sistem kekuasaan di satu tangan, pusat, justru Indonesia bukan semakin baik, justru semakin buruk. Jadi Anda tidak yakin masa depan Papua bakal bagus saat pemerintahan Jokowi? Sebenarnya saya yakin Pak Jokowi adalah orang baik, putra terbaik. Karena dia punya rencana sungguh mulia. Dia akan angkat keadilan, dia ingin memperbaiki kesalahan sejarah. Karena bangsa besar, bangsa betul-betul meletakkan nilai-nilai bangsanya dalam sejarah benar. Sebenarnya Papua itu bagian dari taktik Amerika untuk meruntuhkan Soekarno. Sehingga saya pikir sudah saatnya untuk Indonesia dan Papua, kita membangun masa depan. Indonesia dan Papua sebenarnya sama-sama korban dari perang global atau kebijakan
2
dunia. Itu sebabnya jangan kita terus saling memusuhi. Kita bukan musuh. Kita merupakan kedua pihak korban dari perang dingin. Kita perlu ambil kebijakan masa depan untuk kedua pihak, Indonesia dan Papua. Saya pikir rakyat Papua bicarakan lebih dekat dengan Indonesia. Kami tidak bisa lari jauh. Indonesia punya peran penting dimana kami harus akui. Ada kemajuan-kemajuan besar kami miliki dari Indonesia dan itu orang Papua akui. Tapi kami juga mengendaki pemerintah Indonesia menghargai dan mengakui hak kedaulatan kami, hak-hak politik kami. Memangnya Jokowi menjanjikan referendum untuk Papua? Saya belum dengar dari Pak Jokowi. Kalau perlawanan atau perjuangan rakyat Papua tetap berlanjut, Indonesia sangat rugi sekali karena pengeluaran keuangan sangat banyak. Banyak korban putra-putra terbaik Indonesia mati di sana karena kebijakan pemerintah. Kematian orang-orang sipil dan militer Indonesia di Papua itu membuat saya sangat sedih. Karena itu kebijakan salah oleh pemerintah dan mereka itu anak-anak rakyat, anak-anak terbaik. Kalau kita bisa mengatur sesuatu sejak dini, kita tidak buat kesalahan seperti zaman Belanda menjajah Indonesia 350 tahun. Papua sangat kaya. Kalau pemerintah pusat bisa mengakui hak politik kami, kami akan menandatangani perjanjian bilateral. Banyak orang Papua itu sudah siap, meminta segera Papua itu punya kedaulatan. Ketika Indonesia mengakui hak kedaulatan politik Papua, sebelum mengalihkan kegiatan administrasi dari Indonesia ke Papua, kami akan tanda tangan hubungan bilateral. Jangan ragu dan takut soal orang-orang sipil Indonesia ada di Papua. Papua siap menjamin karena kemerdekaan sesungguhnya bukan untuk orang Papua tapi menjamin seluruh warga negara asing ada di Papua. Kami punya program 50 tahun ke depan kerja sama dengan Indonesia mengentaskan kemiskinan. Jadi tidak ada sesuatu perlu ditakutkan. Kenapa Anda bisa yakin rakyat Papua ingin merdeka dari Indonesia? Kami sangat yakin akan lepas karena pertama, wilayah Papua direbut dengan kekuasaan
3
militer. Itu sudah jelas, tidak bisa disangkal. Kedua, dokumen 600 halaman dari Amerika Serikat menyebutkan Amerika terlibat dalam mengalihkan Papua ke Indonesia lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 tidak mengikuti sistem PBB satu orang satu suara. Ketiga, hari ini ada perlawanan rakyat itu berarti Indonesia jangan menganggap enteng. Sebab filosofi kebenaran mengatakan ketika sebuah bangsa mulai berpikir tentang kemerdekaan, baiknya serahkan saja. Sebab cepat atau lambat pasti kemerdekaan itu datang. Memangnya dari OPM pernah mengadakan survei internal menyatakan sebagian besar rakyat Papua ingin merdeka dari Indonesia? Sudah. Kami sudah punya hasil survei dari DPR pusat, itu dipimpin Pak Abdul Ghofur pada 1999. Kemudian 2003, kalau tidak salah itu ada tiga NGO dari internasional dan tiga dari Indonesia. Survei LIPI menyatakan mayoritas orang Papua ingin merdeka. Kemudian dari hasil survei International Justice Indonesian Comissions of Jurish Australian pada 2001. Kemudian dari Universitas Cenderawasih Universitas Papua, dua universitas terkenal. Anda perlu tahu di Papua kami punya tokoh-tokoh rohaniwan baik itu muslim, Katolik, Kristen, sangat kompak menyatu dan mereka sendiri sudah beberapa kali mencoba bertemu SBY untuk menyatakan orang Papua ingin merdeka. Jadi itu sudah jelas. Keterbukaan sudah ada. Hanya tinggal kami harap dari pihak Jakarta bisa menanggapi ini sehingga jangan membuang-buang uang untuk mempertahankan sesuatu nanti tidak mungkin dipertahankan. Dari semua survei, rata-rata berapa persen rakyat Papua ingin merdeka? Rata-ratanya sudah di atas 75 persen. Kalau ditanya apakah lewat pengakuan atau referendum, saya sarankan sebaiknya pengakuan karena sudah ada bukti dari sekitar lebih dari tujuh lembaga termasuk lembaga negara dan independen mengumumkan hasil sureinya sudah di atas 75 persen orang Papua ingin merdeka. Maksud saya, mengapa harus gunakan pengakuan saja. Sebab referendum itu sangat membuang biaya sangat besar. Gaji seorang anggota PBB per bulan itu USD 85 ribu.
4
Kenapa uang itu tidak kita pakai saja untuk bangun Indonesia dan bangun Papua. Kedua, semasa kita menyiapkan referendum itu promerdeka dan prointegrasi saling membunuh, saling merusak, saling menghina, dan lain-lain. Itu tidak ada guna sama sekali. Kecuali kalau memang ingin membuktikan mayoritas orang Papua memang ingin merdeka, referendum adalah alat ukur demokrasi. Tapi dampak negatifnya lebih besar karena membuang uang, tenaga, waktu. Papua lebih kaya. Timor Leste tidak ada apa-apanya. Tidak perlu takut soal kebebasan, kemerdekaan Papua. Sebab Papua punya kewajiban moral bekerja sama dengan Indonesia. Kenapa tidak? Kami juga perlu tenaga kerja. Tenaga kerja masih menganggur perlu untuk bangun Papua juga. Tapi, 75 persen itu kan hasil survei satu dasawarsa lalu, Apa masih yakin jumlahnya tetap, mau merdeka masih lebih banyak? Iya, justru sekarang lebih banyak. Kapan survei terakhirnya? Terakhir itu pada 2007 dan 2010. Pada 2010 siapa menyelenggarakan survei? 2007 itu dari Signi Uni. Sedangkan 2010 dan 2012 itu dari Unipa dan dari Uncen, Jayapura. Hasilnya berapa persen mau merdeka? Itu sudah di atas 80 persen. Masih banyak masyarakat buta huruf di Papua. Mereka memangnya bisa mengerti merdeka itu lebih baik ketimbang tetap bergabung dengan Indonesia? Memang betul, beberapa orang generasi zaman Belanda, peralihan, mereka masih umur sekitar 9, 10, 12 tahun. Sekarang hampir rata-rata mereka msih hidup. Mereka merasa situasi di zaman Belanda itu lebih bagus karena saat tidak ada pembunuhan hebat, tidak ada penculikan. Justru biasa polisi Belanda hadapi itu perang suku. Ada perang suku tapi
5
tidak di semua tempat. Kedua, ketika dua masyarakat saling berkelahi di pelabuhan atau di jalan, tentara tidak bisa cabut senjatanya atau polisi tidak pernah menembak rakyat. Tapi dibandingkan setelah Indonesia hadir, wah itu pembunuhan, penculikan, pembantaian terlalu besar. Jadi mereka kalau dikategori buta huruf ini, mereka bukan melihat soal sesuatu bagus atau tidak. Tapi mereka punya pengalaman, terutama di kampung-kampung itu mereka hidup dari kebun. Kalau kita di kota, di Indonesia, hampir bisa katakan 80 persen orang hidup dari uang. Di Papua tidak ada. Kalau ada orang bilang miskin itu sebetulnya kategori modern. Orang Papua masing-masing punya tanah dan kebun. Jadi kategori miskin mungkin dari segi pendapatan uang, tapi dari segi makanan mereka tidak miskin. Orang-orang ini kini sulit untuk berkebun karena tentara sudah ada di hutan-hutan. Tidak seperti zaman dulu sebelum Indonesia masuk. Jadi mereka melihat sebaiknya pilih merdeka saja supaya mereka bisa makan atau tidak makan, mencari atau tidak punya apa-apa, mereka hidup bebas. Sehingga mereka bisa hidup dari apa mereka punya. Kedua, mereka melihat otonomi khusus itu bukan mempersatukan orang Papua tapi proses semacam zaman Belanda, devide et impera, adu domba. Jadi orang di daerah lain, orang di daerah seperti Wamena itu tidak bisa jadi bupati di Biak. Sebelum otonomi khusus, orang Biak bisa jadi bupati di Merauke, orang Merauke bisa jadi bupati di Manokwari. Sekarang tidak bisa. Sistem sukuisme betul-betul menjadi sistem memecah belah antar sesama saudara di Papua. Ini betul-betul kelihatan. Dulu tidak. Jadi sekarang ini kita lihat bagaimana orang Papua diadu domba, mulai diperalat, sampai harus kasih senjata untuk tembak orang-orang, tembak polisi sendiri atau tembak tentara sendiri dan katakan itu kejahatan orang Papua. Dulu tidak pernah ada. Itu sebabnya orang-orang tadi disebut buta huruf, mereka merasa pilihan merdeka itu solusi tepat sehingga tidak perlu lagi ada adu domba. Kemudian mereka mau hidup baik atau tidak, mereka punya hak untuk mengatur masa depan. Dulu setelah Konferensi Meja Bundar 1949, Indonesia mati-matian menyatakan mau
6
membebaskan Papua dari penjajahan, mau membangun Papua. Kok kenapa sampai 52 tahun dia baru ajukan segala program pembangunan. Kemudian bagaimana dengan program awal? Kalau itu betul seperti dinyatakan oleh Indonesia zaman itu kenapa baru sekarang? Dalam usia manusia, itu sudah di atas 17 tahun itu usia mampu. Kok kenapa 52 tahun baru mulai mau diajar jalan, duduk, makan, ini aneh. Tapi begitulah kenyataannya.
Kami ingin lepas dari Indonesia baik-baik Wawancara Jacob Rumbiak (2) http://www.merdeka.com/khas/kami-ingin-lepas-dari-indonesia-baik-baik-wawancara-jacob-rumbiak-2.html
Reporter : Faisal Assegaf | Jumat, 5 September 2014 10:02
Jokowi di Papua. 2014 merdeka.com/fikri faqih Merdeka.com - Menteri Luar Negeri Federasi Papua Barat Jacob Rumbiak menyarankan Indonesia segera memberikan pengakuan terhadap kedaulatan Papua. Dia beralasan cara ini jauh lebih baik ketimbang memakai referendum untuk mengetahui keinginan rakyat Papua. Apalagi jika tetap ngotot mempertahankan Papua dalam wilayah Indonesia. Korban bakal terus berjatuhan karena perlawanan tidak akan pernah berakhir. Berikut penuturan Jacob Rumbiak saat dihubungi Faisal Assegaf dari merdeka.com melalui telepon selulernya Rabu lalu. Papua tidak mungkin merdeka tanpa dukungan Amerika sebab di sana ada Freeport. Bagaimana sikap terakhir Amerika terhadap gerakan Papua merdeka? Sebenarnya, itulah. Itu menyebabkan saya pikir Papua dengan Indonesia perlu bicara. 7
Sebab Amerika menggunakan pemerintah Indonesia sebagai pengawalnya untuk melindungi kepentingan kapitalis. Indonesia hanya dapat berapa persen? Saya pikir 10 persen saja toh? Indonesia hanya dapat sedikit kan? Papua dengan Indonesia akan kita atur baik, akan kita bagi lah. Kalau memang Freeport jadi tempat Amerika gunakan tangan Indonesia supaya kepentingannya jalan, itu kita sebaiknya atur saja supaya hasil dari Freeport bisa dinikmati oleh orang Indonesia dan orang Papua. Kita atur bagi hasil berapa persen. Karena Papua bukan saja tembaga. Sebab di Papua tambang terbesar itu ada emas, minyak, gas, uranium ada di sana. Makanya itu saya sering berpikir hanya karena kepentingan kapitalisme saja kok membuat saudara saya dari Indonesia dengan Papua harus saling membunuh. Karena itu kan tidak bagus. Kita harus berpikir sehat supaya tidak hanya kepentingan ekonomi. Kenapa Indonesia dan Papua tidak bicara baik-baik saja sehingga kita dapat lebih banyak sebab kita punya. Kalau Indonesia dan Papua bisa bekerja sama di mana kita kontrol seluruh ekonomi, kita akan menjadi tuan. Kita akan menjadi pihak penentu di dunia. Kita akan kendalikan kapitalisme Amerika atau Barat. Saya pikir ini kita harus bicara sekarang. Soal Papua dengan Amerika tadi Anda sebut, itu sangat tergantung dari Indonesia. Kalau Indonesia masih tetap melepaskan, membiarkan Amerika menjadi tuan terus mengontrol Freeport sehingga Papua terus ditimpa begitu. Indonesia pun sama, di bawah ketiak kapitalisme sampai kekayaan habis kemudian baru mereka lepas. Seperti di Afrika. Semua kekayaan di Afrika sudah habis, baru Inggris, Prancis, Portugis kasih kemerdekaan. Memangnya berapa konsesi mau dikasih Papua lewat Freeport kalau Indonesia mau kasih kemerdekaan? Jelas kita kasih, saya sendiri ada di situ. Saya akan lebih banyak berbicara dengan semua pemimpin. Artinya, pemerintah dan parlemen itu jelas memiliki standar pembagian untuk kedua negara. Kita bisa atur 40 persen (Indonesia) dan 60 persen (Papua) atau 52 persen (Papua) dan 48 persen (Indonesia). Kenapa tidak? Kita akan bicara soal bagi hasil. Itu sudah jelas. Papua punya tanggung
8
jawab moral untuk harus berbicara baik-baik sehingga kedua pihak sama-sama untung. Jadi kemerdekaan itu bukan salah satu kalah, bukan salah satu menang, tapi bagaimana kita akan mendapat keuntungan sama. Tidak ada lebih, tidak ada kurang. Itu jelas kebijakan dari pembicaraan beberapa teman dalam pemerintahan federal lahir lewat kongres ketiga pada 2011. Kami harap pemerintah baru bisa membuka satu ruang di mana kita bisa berbicara, ada hal-hal kita bisa bicara tertutup dan ada hal-hal kita bisa bicara terbuka. Indonesia dan Papua adalah korban perang dingin dan kita tidak bisa terus tinggal di dalam situasi diciptakan bangsa asing atau para kapitalis. Mari kita bangkit untuk menyatakan kami mampu bangkit dan menyelesaikan persoalan selama ini dilihat sebagai masalah. Padahal masalah ini diciptakan oleh orang luar. Kemudian mereka membiarkan kami untuk saling berkelahi. Kemudian mereka berbicara hanya basa-basi saja begini begitu. Sedangkan Indonesia tidak berani menyelesaikan masalah sebenarnya ditinggalkan dan diciptakan oleh orang lain. Jadi kemerdekaan Papua ini tergantung Indonesia mau kasih atau tidak? Sebenarnya saya melihat ada dua hal. Pertama, kalau dari pihak Indonesia bisa memberikan dengan baik, saya pikir tidak perlu ada perebutan kemerdekaan dengan darah dan pengorbanan cukup besar. Tapi jelas dari Papua sudah siap untuk melakukan apa saja. aya pikir di era teknologi dan informasi ini lebih mempercepat. Karena orang Papua sekarang banyak sudah belajar. Peralatan perang itu sudah tidak sulit untuk orang Papua. Kapan saja kalau dia mau beli pesawat tempur terutama dijual di Tembagapura jadi gampang. Hanya kita tidak mau ada pertumpahan darah sia-sia. Kami mau ada penghormatan kepada Indonesia daripada merampas. Situasi memaksa sehingga terpaksa Papua lepas saja begitu. Berarti kita punya hubungan Indonesia itu sama dengan air garam kita buang ke air laut. Padahal kita sudah punya hubungan baik semasa di bawah Indonesia. Jadi kita tidak melihat Indonesia sebagai penjajah. Tapi kita akan luruskan sejarah,
9
termasuk Indonesia baik, di mana buktinya Papua menjadi sebuah negara. Tapi kalau kami merdeka karena dipaksa, nanti dari segi sejarah Indonesia dilihat sebagai penjajah. Jadi kami berusaha untuk mau bicara ini dengan Jakarta supaya nilai dan nama besar dari Indonesia itu tidak dilihat sebagai penjajah, tetapi bagaimana nanti dipersiapkan seperti negara-negara persemakmuran oleh Inggris. Sekalipun mereka belum siap betul, tapi mereka bisa merdeka dan mengatur hal-hal lain menyangkut perdagangan, pendidikan, teknologi, dan lain-lain. Jadi dari teman-teman terutama teman-teman akademisi terlibat di dalam dapur strategis dan taktis, kami lebih banyak ingin supaya bagaimana peralihan itu dengan cara bermartabat. Dengan demikian, di dalam sejarah Papua itu kami tidak menempatkan Indonesia sebagai penjajah di mana kami harus merebut kemerdekaan dari penjajah. Tapi kami melihat kehadiran Indonesia di Papua itu sebagai anugerah Tuhan, anugerah Allah untuk mempersiapkan Papua, untuk bisa berdiri di atas kaki sendiri. Mengapa Anda masih yakin Papua merdeka padahal perjuangan bersenjatanya sangat kecil, perjuangan diplomasi tidak dapat dukungan dari internasional? Mengapa masih ngotot ingin merdeka? Saya terlalu yakin karena pertama itu adanya inisiatif dan aktivitas nyata sekarang di dalam negeri, di Papua. Kalau melihat sebelum saya dipenjara tahun 1989, perjuangan Papua itu hanya orang di hutan, segelintir orang Papua di luar negeri hanya bicara saja. Waktu itu saya punya inisiatif kalau orang Papua mau merdeka basis kekuatan rakyat itu harus dibangun lewat kaum terpelajar. Maka waktu itu dokter Thomas Huolay kembali dari Amerika Serikat dan dokter Ottomus Bakri. Kami bertiga berpikir kampus adalah tempat di mana dilahirkan kaum terpelajar untuk memimpin perjuangan sebab kita bukan berjuang di hutan. Kami harus berjuang menghadapi keputusan perang dingin dulu terlibat menyerahkan kami ke Indonesia. Itu berarti harus kami kuasai bahasa Inggris, bahasa Spanyol, bahasa Perancis, bahasa Portugis untuk bisa memasuki posisi untuk tawar menawar di PBB. Tapi juga kami harus membangun basis perjuangan itu di semua wilayah Papua dan di luar negeri, dan itu berhasil. Basis perjuangan kami bukan ahanya ada di tujuh wilayah adat. Kami punya basis gerakan
10
pemuda, pelajar, mahasiswa di Jawa, Bali, Sulawesi. Kami juga punya basis pemuda, pelajar, mahasiswa di Amerika, Eropa, Australia, dan pasifik. Akan ada hasil. Jadi itu sekarang sudah ada. Sekarang kami punya pendukung itu Senegal, kemudian Perancis secara diam-diam juga sedang mendorong. Tapi jelas itu salah satu negara anggota PBB itu sudah ada. Dan kami harap dengan adanya perbaikan organisasi politik Papua dalam tahun ini itu kami sudah bisa merapat, menjadi anggota penuh. Jadi perjuangan Papua merdeka itu bukan karena perjuangan politik atau diplomatik atau militer kecil. Bagaimana kami harus membangun sebuah proses benar sehingga kami bisa raih. Selama ini kami tidak ada proses benar karena itu baru terjadi pada 2011. Karena secara tata negara, untuk ketatanegaraan, kongres III itu memenuhi syarat karena dia mendeklarasikan pemerintah. Kalau kongres II itu tidak, tahun 1971 itu mereka deklarasi pemerintahan di hutan dan pemberitaannya juga di luar negeri, bagaimana mau melobi Jakarta. Sekarang kami sudah punya seperti Mandelanya Afrika Selatan, Soekarno-Hattanya Indonesia. Siapa disebut Soekarno-Hattanya Papua kalau nanti Papua merdeka? Kalau sekarang kita sudah punya presiden dan perdana menteri hasil kongres III itu Gorgorus Suebu dan perdana menteri Edison Waromi, baru saja dibebaskan dari penjara pada 21 Juli lalu. Kalau dilihat pelaksanaan Perpera kan Papua sudah berjuang 45 tahun. Berapa tahun lagi kira-kira bakal terwujud Papua merdeka? Saya sendiri belum bisa prediksikan kapan tapi saya harap cepat. Itu tergantung pada bagaimana pemerintahan baru bisa membuka kami peluang untuk negosiasi. Dalam lima tahun pemerintahan Jokowi belum tentu Papua merdeka? Kami sedang berusaha bekerja keras di dalam pemerintahan Jokowi. Selama lima tahun kami harap bisa negosiasi dengan beliau sehingga tidak terlalu lama perjuangan ini, terus mengorbankan banyak kerugian bagi Indonesia. Bagi orang Papua itu tidak masalah. Itu sebuah perjuangan sudah jelas, namanya perjuangan itu membutuhkan pengorbanan.
11
Saya terlalu yakin Papua bisa merdeka karena isu Papua sekarang ini sudah menjadi isu internasional. Sedang jadi perhatian dunia. Kalau Papua merdeka, benderanya apa, bahasanya apa, lambangnya apa? Bahasa nasionalnya akan ditetapkan oleh pemimpin nanti. Bagi saya sendiri keputusan itu nanti terserah kepada rakyat setelah hasil pemilihan umum pertama. Anggota parlemen akan ditetapkan sesuai keputusan rakyat. Tapi jelas itu kita tetap menggunakan bahasa bisa dimengerti semua pihak. Berarti bahasa Indonesia? Iya, bahasa bisa dipakai oleh semua pihak. Kalau sesuai keputusan kongres II itu kami akan menggunakan empat bahasa seperti di Fiji. Di Fiji empat bahasa dan itu bisa digunakan sangat fasih untuk menulis dan membaca. Kami juga akan mengembangkan empat bahasa. Jadi bahasa Indonesia tetap kami gunakan karena bahasa ini bisa dipakai oleh seluruh masyarakat Papua, tetapi juga kami bisa berkomunikasi dengan masyarakat Indonesia dan juga orang-orang di Malaysia. Kedua, kami akan gunakan fising karena bahasa ini hanya bisa dipakai oleh orang-orang Melanesia, seperti Papua Nugini, Solomon, Vanuatu, dan di Torestrage. Dan juga karena kami adalah ras Melanesia. Kami harus tetap menggunakan bahasa ini. Ketiga bahasa Inggris karena itu bahasa internasional kami pakai untuk berbicara dan bercakap-cakap dengan masyarakat internasional. Sedangkan keempat setiap negara bagian akan kembangkan salah satu bahasa daerahnya menjadi bahasa di negara bagiannya. Itu menurut hasil kongres II tahun 2000. Kalau Papua merdeka, bentuk negaranya apa? Kami sudah putuskan untuk federal. Karena Papua itu terdiri dari 312 suku dan 312 suku ini mendiami tujuh wilayah adat. Sehingga lewat federal ini nanti tidak mempermasalahkan keputusan pusat karena 80 persen hasil dari setiap negara bagian itu penuh dipakai untuk pembangunan wilayahnya sedangkan 20 persen saja bisa disetor ke pusat. Jadi tidak ada saling menyatakan kalau nanti sistem presidensial atau republik itu
12
kekuasaan di tangan pusat sehingga salah satu suku naik suku lain bisa berserakan. Sehingga bisa saja terjadi semacam konflik nasional antar suku dan ini kan sekarang sudah kelihatan berbahaya lewat otonomi khusus. Ini sudah berbahaya sehingga kami sudah harus letakkan dasar-dasar negara nanti lahir. Itu berdasarkan sistem dan bentuk benar sehingga kami harus selesaikan masalah kemungkinan bisa timbul setelah merdeka. Kedua, kami juga tetapkan federal karena kami belajar dari India. India merebut kemerdekaan itu sangat gampang. Tapi setelah merdeka pertumpahan darah lebih besar dan perpecahan menjadi Bangladesh dan Pakistan. Papua pun juga, kami sudah lihat kalau tidak atur baik-baik, bisa saja satu waktu wilayah kepulauan itu bisa pisah dari daratan seperti daerah-daerah Pasifik lain. Bisa sebut tujuh negara bagian itu apa saja? Tujuh negara bagian itu wilayah satu, Padi di Jayapura. Kedua, wilayah Serere di Marokun dan Biak. Ketiga, wilayah Dumbray di Manokwari. Kempat, Umbray di Fakfak, Kaimana. Kelima, Haamim itu seputar Merauke. Keenam, Lapago itu wilayah Lame, itu Wamena di atas. Ketujuh, Metago itu wilayah dari Suku Me. Mereka mendiami daerah Etami, Larike, Nabire. Rencana ibu kota di mana? Itu masih sedang dipertimbangkan. Bisa saja di Jayapura atau di tarik ke tengah ke daerah Nabire. Kelihatannya akan ditarik ke tengah. Jayapura itu kemungkinan dijadikan pusat perdagangan negara-negara Pasifik. Sedangkan ibu kotanya bisa dipindah ke Nabire atau Manokwari. Jadi Bintang Kejora belum tentu menjadi bendera nasional kalau Papua merdeka? Bisa jadi juga. Karena sementara ini agak terjadi pro dan kontra. berdasarkan kongres kedua tahun 2000 kita putuskan tetap dengan Bintang Kejora sampai dengan nanti peralihan. Kalau administrasi pemerintahannya sudah dialihkan ke Papua dan hasil pemilihan pertama anggota parlemen akan tetapkan apakah bendera itu tegtap atau ada baru. Bendera kami pakai ini sebenarnya bukan bendera kami. Ini masih warna bendera kolonial.
13
Tapi kita sudah sepakat kita pakai saja sampai dengan nanti parlemen pertama itulah akan menetapkan. Kita akan ukur semua atribut kami sesuai identitas kami. Kalau tidak ada identitas orang Melanesia, diganti saja. Kalau Papua merdeka rencananya pakai mata uang apa? Sementara ini kami dari federal sedang rancang itu ada dua kemungkinan. Kami bisa pakai pound sterling atau dolar Amerika selama di bawah PBB sampai dengan peralihan, kemudian kami ubah. Sistem pemerintahannya parlementer? Iya, sistemnya parlementer.
14