Antara Budak dan Manusia Merdeka Oleh: Haikal Kurniawan Ada dua jenis manusia menurut Aristoteles. Manusia merdeka dan budak. Seseorang yang merdeka adalah mereka yang memiliki tubuh dan kemampuan untuk mengatur serta menentukan jalan hidupnya sendiri. Lain halnya dengan seorang budak. Seorang budak adalah manusia yang secara natural dimiliki oleh orang lain, dianggap property dan bukan manusia yang seutuhnya. Aristoteles berpendapat bahwasanya perbudakan merupakan hal yang terjadi secara natural, karena para budak memiliki jiwa yang tidak sempurna sebagaimana manusia merdeka. Para budak tidak memiliki kemampuan untuk mengatur diri mereka sendiri serta kualifikasi yang membuat mereka layak diakui sebagai seseorang yang bebas. Oleh karena itu perbudakan oleh Aristoteles dianggap sebagai institusi yang penting dan sangat bermanfaat, bukan hanya bagi tuannya namun juga bagi budak itu sendiri karena akhirnya para budak memiliki seseorang yang mampu mengatur hidup mereka. Sepanjang sejarah manusia institusi perbudakan merupakan salah satu fenomena yang lumrah dan sangat umum. Mulai dari peradaban mesir dan yunani kuno, kekhilafahan Islam yang meliputi Timur Tengah dan Afrika Utara, hingga era kolonialisme Eropa terhadap Negaranegara dunia ketiga. Para budak menjadi salah satu fondasi perekonomian serta dari tangan dan kaki merekalah berbagai pembangunan dilakukan, baik infrastruktur, perkebunan, hingga tempat-tempat penyembahan kepada Tuhan. Sistem perbudakan, meskipun ada di ribuan kultur yang berbeda-beda, namun memiliki benang merah yang sama, bahwa para budak merupakan manusia yang dimiliki oleh orang lain. Para budak tidak memiliki hak untuk mengatur dan membuat keputusan untuk diri mereka sendiri, sementara pemilik budak memiliki hak absolut atas “property” mereka. Seorang budak memiliki kewajiban mutlak mentaati perintah tuannya. Mereka tidak berhak menolak, apalagi melawan. Budak yang dianggap melawan atau tidak melakukan tugas mereka dengan benar kerap mendapat hukuman yang sangat keji dan tidak ber-peri kemanusiaan, seperti hukuman cambuk hingga berakhir di tiang gantungan. Di abad modern, praktik perbudakan telah dianggap sebagai kejahatan serius dan hampir semua negara di dunia telah memiliki hukum yang melarang seseorang untuk memperlakukan manusia lain sebagai properti-nya. Inggris telah menghapus perbudakan pada tahun 1807 dan Amerika Serikat pada tahun 1865 men-sahkan amandemen ke 13 dalam 1
konstitusinya yang melarang kerja paksa dan segala bentuk pemaksaan. Mauritania menjadi negara terakhir yang mengkriminalkan praktik perbudakan pada tahun 2007. Pada tahun 2001, Parlemen Prancis memutuskan bahwa perbudakan merupakan kejahatan melawan kemanusiaan dan kongres Amerika Serikat secara resmi memohon maaf kepada kelompok kulit hitam atas praktik perbudakan di masa lalu pada tahun 2008. Abad 21 sepertinya sudah menjadi abad yang menjunjung tinggi kemerdekaan, dimana perbudakan sudah dihapuskan secara total diatas permukaan bumi, setidaknya dalam tataran hukum positif. Kepemilikan seseorang terhadap manusia lain dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral dan tidak bisa dijustifikasi dengan alasan apapun. Hak untuk bebas dari perbudakan sudah diakui sebagai non-derogable rights, hak yang tidak bisa diambil dan dikurangi oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Namun benarkah demikian? Kepemilikan Terhadap Diri Sendiri Kepemilikan bukanlah suatu konsep kosong yang tanpa makna. Konsekuensi logis dari diakuinya hak kepemilikan adalah pengakuan atas kedaulatan seseorang terhadap sesuatu yang ia miliki. Pengakuan terhadap hak milik tanpa diselaraskan dengan kedaulatan seseorang terhadap sesuatu yang dimilikinya sama saja dengan menegasikan konsep kepemilikan itu sendiri. Saya memiliki sebuah pensil, maka saya memiliki kedaulatan mutlak atas barang tersebut. Saya boleh menggunakannya untuk menulis, mematahkannya, membuang ke tempat sampah, ataupun menjualnya kepada siapapun yang saya inginkan. Tiada seorang pun selain saya yang berhak untuk memutuskan “takdir” dari pensil tersebut. Namun akan lain ceritanya bila pensil itu bukan hanya milik saya, namun juga milik kawan saya karena misalnya, kami membeli pensil tersebut bersama – sama. Saya tidak memiliki hak mutlak atas pensil tersebut. Apabila saya ingin meminjamkan ke orang lain, menjual, atau membuangnya saya dan kawan saya harus berunding terlebih dahulu untuk mencapai kesepakatan. Bila saya secara paksa membuang pensil tersebut tanpa berunding terlebih dahulu, maka saya sudah mencederai hak kepemilikan kawan saya atas pensil tersebut, atau dengan kata lain saya sama saja dengan mencuri, dan begitu pula sebaliknya. Contoh diatas tidak perlu lagi saya elaborasikan lebih jauh. Saya yakin sepenuhnya konsep semacam ini sudah sangat dimengerti dan dipahami oleh sebagian besar warga dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Pengakuan dan perlindungan atas hak kepemilikan merupakan salah satu fondasi masyarakat modern. Tanpa pengakuan dan perlindungan atas
2
hak tersebut maka bisa dipastikan yang terjadi adalah keliaran, dimana setiap orang tidak lagi memiliki batasan mengenai apa yang boleh da tidak boleh ia lakukan. Mengikuti contoh pensil diatas, lalu bagaimana dengan diri kita? Siapakah yang memilikinya? Apakah setiap individu benar – benar berhak untuk memiliki dirinya masing masing? Pengakuan seseorang atas kepemilikan terhadap dirinya merupakan syarat mutlak manusia yang merdeka. Tidak akan ada kemerdekaan bagi seseorang apabila ia hanya dianggap sebagai properti milik pihak lain. Ia hanya akan menjadi budak, pekerja paksa, dan alat dimana seluruh pemikiran, perbuatan dan takdirnya telah ditentukan oleh tuannya. Mengutip filsuf Inggris abad 19, John Stuart Mill dalam bukunya “On Liberty” menegaskan bahwasanya “over himself, over his body and mind, the individual is sovereign” (Atas dirinya, tubuh dan pikirannya-lah, seorang individu memiliki kedaulatan.) Pengakuan kepemilikan seseorang atas dirinya juga harus diselaraskan dengan pengakuan dan perlindungan atas kedaulatan setiap individu terhadap tubuh dan pikirannya sebagai entitas yang tidak terpisahkan dari diri seseorang. Tanpa adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hal tersebut konsep kepemilikan diri tidak lain hanyalah menjadi omong kosong belaka. Kedaulatan setiap individu atas tubuh dan pikirannya ini harus diwujudkan dalam kerangka hukum yang melindungi hak dan kebebasan bagi setiap individu untuk melakukan apapun atas tubuh maupun pikirannya. Dewasa ini, bukan hanya di Indonesia namun juga banyak di negara – negara lain yang mengagungkan kebebasan, sangat banyak produk hukum yang, bukannya melindungi kedaulatan individu atas tubuh dan pikirannya, namun justru menjadi instumen yang membatasi hak tersebut. Tengoklah berbagai produk hukum moralis dan paternalistik, mulai dari kewajiban menggunakan helm bagi pengendara motor, hingga pelarangan konsumsi narkoba, minuman keras, seks sebelum menikah, prostitusi, aborsi, euthanasia dan transaksi organ tubuh yang dilakukan secara sukarela. Dengan negara memiliki hak untuk, misalnya, mewajibkan warganya untuk melindungi kepala dengan menggunakan helm, sama saja dengan menyatakan bahwa kepala kita bukan seutuhnya milik kita. Bahwa negara memiliki ”saham” sekian persen atas kepala seseorang sehingga berhak memerintahkan dia untuk melindungi kepalanya. Begitu pula dengan pelarangan seks sebelum menikah, prostitusi, maupun transaksi organ tubuh yang dilakukan secara sukarela, sama saja dengan menyatakan bahwasanya alat kelamin serta organ tubuh kita seperti ginjal dan hati bukan 100% milik kita. Bahwa negara juga memiliki sebagian alat kelamin, ginjal dan hati seseorang dan maka dari 3
itu negara memiliki hak untuk memerintahkan kepada warganya apa saja yang boleh dan tidak boleh ia lakukan dengan alat kelamin, ginjal, maupun hatinya.
Hal ini berlaku juga dengan hukum yang melarang berbagai ideologi, keyakinan, pendapat dan ekspresi tertentu. Indonesia misalnya, ideologi Marxsime-Leninisme secara resmi merupakan gagasan politik yang dilarang. Tanpa mengurangi ketidaksukaan saya yang teramat sangat terhadap Marxsime-Leninisme, pelarangan ini juga merupakan bentuk pembatasan seorang individu bagaimana ia menggunakan pikirannya. Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa seluruh pemikiran dan kepercayaan manusia tidak lain adalah hasil kerja otak seseorang dan apabila negara memiliki hak untuk membatasi pemikiran atau ideologi yang boleh dan dilarang sama saja dengan seorang individu tidak seutuhnya memiliki otak dan hasil kerjanya berupa pemikiran, bahwa negara memiliki sekian persen dari otak warganya dan maka dari itu negara memiliki hak untuk mengendalikan apa yang boleh dan tidak boleh dipikirkan dan dipercayai oleh rakyatnya. Begitu pula dengan berbagai pembatasan dan pelarangan terhadap keyakinan – keyakinan minoritas yang ada di Indonesia, seperti aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Musadeg dan Jemaat keagamaan pimpinan Lia Eden. Tiada kata lain untuk menggambarkan kepemilikan diri seseorang, baik tubuh maupun pikirannya, diluar dari dirinya sendiri, siapapun dia, selain perbudakan. Kepemilikan mutlak seseorang atas tubuh dan pikirannya juga kembali harus diselaraskan dengan kepemilikan terhadap hasil kerja dari tubuh dan pikirannya. Seseorang yang diakui kedaulatan atas pikiran dan tubuhnya namun kedaulatan atas hasil kerja dari tubuh dan pikirannya tidak sama saja dengan praktik kerja paksa (forced labor) dimana ia hanya bersusah payah bekerja demi keuntungan orang lain dan ia sama sekali tidak mendapat buah kebermanfaatan dari hasil kerja kerasnya. Praktik kerja paksa, sebagaimana perbudakan, merupakan sesuatu yang lumrah di masa lalu, namun kini dilarang di hampir semua yurisdiksi di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Sebagaimana hak mutlak individu atas tubuh dan pikirannya, pengakuan terhadap hak seseorang atas hasil kerja tubuh dan pikirannya juga harus dimanifestasikan dalam produk hukum yang melindungi hak tersebut. Namun, lagi – lagi, bukannya menjadi pelindung atas hak tersebut, hukum justru menjadi instrumen yang mencederai hak mutlak seseorang atas hasil kerja kerasnya. Contoh paling nyatanya adalah berbagai kebijakan negara kesejahteraan yang lazim diimplementasikan di negara – negara maju seperti Inggris dan Jerman. Indonesia 4
sendiri memiliki sistem yang sering disebut “keadilan distributif” ini melalui berbagai produk kebijakan, seperti sarana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), bermacam – macam bentuk subsidi, dan kebijakan Bantuan Langsung Tunai seperti era presiden Yuidhoyono yang sebagian dananya diambil paksa dari hasil kerja keras masyarakat dalam bentuk pajak.
Adalah Robert Nozick, filsuf Amerika Serikat yang memberi pernyataan menarik mengenai sistem “keadilan distributif” yang diambil dari hasil kerja keras masyarakat. Andaikan seseorang yang memiliki penghasilan 20 juta per bulan dan negara mewajibkan ia membayar pajak sebesar 20% dari penghasilannya untuk didistribusikan kepada kalangan yang dianggap miskin. Pajak 20% dari penghasilannya sebulan berarti 20 Juta x 20% = 4 juta dan itulah jumlah yang harus ia serahkan setiap bulannya. Bila orang tersebut bekerja selama 20 hari dalam sebulan, berarti per hari ia mendapat hasil 1 juta dan bila ia harus membayar sebesar 4 juta dari pendapatannya maka dalam sebulan ada 4 hari ia bekerja tanpa hasil. Negara, dalam sebulan, berarti mempekerjakan paksa orang tersebut selama 4 hari dengan dalih pendistribusian kepada kalangan yang dianggap tidak mampu. Argumen yang paling lazim diajukan untuk menentang konsep kepemilikan diri adalah bahwasanya seorang individu merupakan bagian dari entitas yang lebih besar, yakni keluarga, masyarakat, dan negara. Oleh karena itu setiap perbuatan yang dia lakukan pasti akan memiliki third-party effect kepada orang lain. Apabila konsumsi narkoba dan praktik prositusi dibebaskan misalnya, maka yang terkena pengaruhnya bukan hanya individu – individu yang secara langsung terlibat, namun juga kepada orang lain dan masyarakat secara keseluruhan. Bayangkan apabila sebagian besar pemuda Indonesia menjadi pecandu narkoba atau terserang penyakit menular seksual karena terlibat praktik prostitusi, masa depan bangsa Indonesia niscaya akan mengalami kemunduran dan bahkan kehancuran karena tidak lagi memiliki sumber daya manusia yang produktif. Skenario tersebut memang sangat dibuat – buat dan bertentangan dengan fakta yang ada. Secara pragmatis saya bisa menjawab bahwa di negara – negara yang melakukan legalisasi (atau setidaknya dekriminalisasi) narkoba seperti Portugal, tidak membuat sebagian besar masyarakatnya menjadi pecandu dan legalisasi prostitusi justru akan mengurangi berbagai praktik prostitusi ilegal yang lebih berbahaya, namun itu bukanlah fokus saya dalam tulisan ini. Taruhlah memang benar imajinasi sebagian besar orang kalau negara melegalisasi narkoba maka tingkat kecanduan akan meningkat tajam dan produktivitas masyarakat 5
menurun, lantas kenapa? Apakah semua anggota masyarakat harus dipaksa untuk menjadi produktif? Lalu bagaimana dengan para pengangguran yang memang mereka tidak ingin bekerja (dan tidak mengkonsumsi narkoba serta tidak terkena penyakit menular seksual), apakah negara lantas mengkriminalisasikan mereka karena tidak menjadi manusia yang produktif? Apakah lalu negara memenjarakan orang – orang yang tidak bekerja? Kalau menjadi pengangguran sukarela merupakan sesuatu yang legal, maka anggap saja orang – orang yang mengkonsumsi narkoba secara sukarela sebagai kalangan pengangguran yang memang pada dasarnya tidak ingin bekerja dan berpartisipasi dalam pembangunan negara. Begitu pula dengan mereka yang terkena penyakit menular seksual karena terlibat dalam praktik prostitusi. Berkaitan dengan kepemilikan mutlak atas hasil kerja keras seseorang, lantas bagaimana negara mampu mamapu membiayai dirinya jika bukan dari pajak yang diambil secara paksa? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut patut dicermati bahwasanya setiap hak mutlak atas hasil dari kerja tubuh dan pikirannya. Oleh sebab itu tidak ada pihak lain selain orang itu sendiri yang memiliki hak untuk mempergunakan hasil kerjanya. Setiap individu secara rasional akan menggunakan hasil kerjanya untuk sesuatu yang dianggap bermanfaat. Mengutip filsuf Rusia-Amerika Ayn Rand, bila seseorang merasa ada sesuatu yang dapat memberi manfaat bagi dirinya, maka ia secara sukarela akan menggunakan hasil kerjanya untuk membiayai hal tersebut. Sebagai contoh, kita tidak membutuhkan otoritas yang memaksa untuk menggunakan hasil kerja kita untuk membeli susu. Industri susu tetap berjalan dan berkembang bukan karena konsumen dipaksa untuk membeli, namun karena bagi banyak orang susu merupakan sesuatu yang memberi manfaat, dan secara sukarela mereka membeli susu tersebut dari hasil kerja kerasnya. Begitu pula dengan negara, apabila seseorang merasa negara merupakan sesuatu yang penting bagi dirinya, maka ia secara sukarela akan menggunakan hasil kerjanya untuk membiayai kelangsungan negara tersebut. Sebagai penutup tulisan ini saya hanya ingin mengajukan pertanyaan singkat. Kalau toh memang setiap dari kita bukanlah pemilik mutlak atas diri dan hasil kerja dari tubuh dan pikiran kita masing-masing, lalu apa yang membuat pihak lain (siapapun dia) lebih berhak untuk memilikinya? Apakah karena pihak lain tersebut dianggap lebih bijak, cerdas dan memiliki kemampuan untuk mengatur dan membuat keputusan? Kalau alasannya memang demikian, lalu apa bedanya kita dengan para budak sebagaimana definisi Aristoteles?
6