MANAJEMEN PEMBIAYAAN PESANTREN BERBASIS AGRIBISNIS (Studi Kasus Pada Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung)
LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN INTERDISIPLINER Diajukan sebagai laporan Penelitian di LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Oleh: Badrudin, H. Dr.,M.Ag. (MPI FTK/ Ketua Peneliti/NIP. 197307051999031012/NIDN 20050777302) Jaja Jahari, H.Dr.,MPd. (MPI FTK / Anggota Peneliti/NIP 195603071982031006/NIDN 2007035602)
DIBIAYAI OLEH: LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2016
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN
Badrudin NIP: 197307051999031012
MANAJEMEN PEMBIAYAAN PESANTREN BERBASIS AGRIBISNIS (Studi Kasus pada pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung)
Mengetahui,
ABSTRAK Pesantren -sebagai lembaga pendidikan keagamaan- umumnya memiliki kelemahan dalam manajemen pembiayaan. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang indigeneous ‗asli‘, pesantren sejatinya dapat mengelola pembiayaan lembaga secara baik. Terdapat kecenderungan umum pesantren tidak mandiri secara ekonomi. Hal tersebut merupakan dampak adanya intervensi politik terhadap pesantren dan ketidakmampuan pesantren melakukan optimalisasi sumber dana secara swadaya sehingga pesantren memiliki ketergantungan terhadap sumber dana dari pihak eksternal. Fenomena pada Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung ditemukan fakta bahwa pesantren tersebut dapat mengelola pembiayaan pesantren sekaligus lembaga pendidikan formal (Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah). Penggalian sumber-sumber pembiayaan dilakukan dengan menggali potensi agribisnis (pertanian [sayur-mayur] dan peternakan). Pesantren tersebut dapat membiayai program pendidikan secara mandiri dan mempertahankan eksistensinya sampai sekarang sehingga mendapatkan recognize nasional dari Pemerintah. Hal tersebut merupakan fenomena yang langka di Indonesia. Fenomena tersebut cukup siginifikan bagi peneliti untuk meneliti manajemen pembiayaan pesantren berbasis agribisnis. Penelitian difokuskan pada manajemen pembiayaan Pesantren berbasis agribisnis (Studi Kasus di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung). Pertanyaan penelitian dinyatakan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah cara menggali sumber-sumber pembiayaan pesantren pada Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung? 2) Bagaimana implementasi pembiayaan pesantren berbasis agribisnis di Pesantren AlIttifak Ciwidey Kabupaten Bandung dalam hal perencanaan pembiayaan (Budgeting), pelaksanaan pembiayaan (Accounting), evaluasi pembiayaan (Auditing)? 3) Apakah faktor penunjang dan penghambat pembiayaan pesantren berbasis agribisnis di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung? Penelitian ini ditujukan mengetahui dan mendeskripsikan manajemen pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Bandung meliputi: Cara menggali sumber-sumber pembiayaan pesantren pada Pesantren AlIttifak Ciwidey Kabupaten Bandung; Implementasi pembiayaan pesantren berbasis agribisnis di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung dalam hal perencanaan pembiayaan (Budgeting), pelaksanaan pembiayaan
(Accounting), evaluasi pembiayaan (Auditing); Faktor penunjang dan penghambat pembiayaan pesantren berbasis agribisnis di Pesantren AlIttifak Ciwidey Kabupaten Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Jenis penelitian termasuk interdisipliner yaitu penelitian manajemen manajemen pembiayaan pesantren dan penelitian agribisnis. Sumber data digali dari sejumlah responden, kiyai, ustad dan ustadzah, guru-guriu madrasah, para siswa, para santri, para karyawan (pertanian dan peternakan), dan sejumlah tokoh masyarakat. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Pesantren Al-Ittyifak Ciwidey telah mampu mengelola manajemen pembiayaan pesantren melalui penggalian Sumber-Sumber Pembiayaan Pesantren berbasis agribisnis, Implementasi Pembiayaan Pesantren berbasis agribisnis sehingga ditemukan Faktor Pendukung dan Penghambat Pembiayaan Pesantren berbasis agribisnis.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................
1
B. Fokus Penelitian dan Pertanyaan Penelitian ......................
7
C. Tujuan Penelitian...............................................................
8
D. Kegunaan Penelitian ..........................................................
8
E. Struktur Organisasi Laporan .............................................
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka ............................................................... 11 1. Konsep Biaya Pembiayaan Pendidikan ........................ 11 2. Alokasi dan Penggalian Sumber-Sumber Pembiayaan Pendidikan ................................................................... 13 3. Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Nonformal .... 14 4. Implementasi Pembiayaan pesantren............................ 42 5. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembiayaan Pesantren ....................................................................... 43 6. Agribisnis ..................................................................... 43 a. Subsistem Agroinput................................................ 44 b. Subsistem Usahatani ................................................ 44 c. Subsistem Agroindustri/Pengolahan Hasil .............. 44 d. Subsistem Pemasaran ............................................... 54 e. Subsistem Penunjang ............................................... 45 B. Kerangka Berfikir .............................................................. 45 C. Penelitian Terdahulu ......................................................... 52
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ....................................................... 69 B. Sumber Data, Variabel Penelitian, dan Pengukurannya ... 74 C. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 75 D. Lokasi Penelitian dan Responden ..................................... 77 E. Pengujian validitas dan Reliablitas Instrumen .................. 77 F. Metode dan Teknik Analisis Data ..................................... 78 G. Langkah-Langkah Penelitian............................................. 89 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN A. Kondisi Umum .................................................................. 91 1. Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Bandung ........................ 91 2. Sekilas Sejarah Perkembangan Agrobisnis Al-Ittifak .. 95 3. Manajemen (Pengelolaan) Agribisnis .......................... 96 B. Hasil Penelitian ................................................................. 101 1. Sumber-Sumber Pembiayaan Di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung ....................................... 101 2. Implementasi Pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung ....................................... 104 3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung ..... 111 C. Pembahasan ....................................................................... 113 1. Sumber-Sumber Pembiayaan Di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung ....................................... 113 2. Implementasi Pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung ...................................... 117 3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung ...... 118
BAB V
PENUTUP A. Simpulan............................................................................ 122 B. Rekomendasi ..................................................................... 124
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 126
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada era global berkembang knowledge-based economy (KBE) yang mensyaratkan
dukungan
manusia
berkualitas.
Pendidikan
mutlak
diperlukan guna menopang pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan –education for the knowledge economy (EKE). Keberhasilan pendidikan diukur
dari
tingkat
kemampuan
program
pendidikan
untuk
mengembangkan kemampuan individu untuk berubah menjadi lebih baik. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Cohn (1979:145) yang menyatakan bahwa: ―…education is a source of economic growth only if it is antitraditional to the extent that liberates and stimulates as well as informs the individual and teaches him how and why to make demands upon himself. Paradigma kelembagaan pendidikan di Indonesia ada tiga yaitu pendidikan formal (schooling), pendidikan informal (keluarga), dan pendidikan nonformal (masyarakat). Di antara lembaga pendidikan nonformal yaitu pesantren. Pesantren sudah ada sejak jaman Belanda. Ini merupakan lembaga yang indigenous (pribumi, asli Indonesia). Pesantren (sebagai lembaga pendidikan nonformal) telah lama ada di Indonesia termasuk saat penjajahan Belanda. Umumnya lembaga pendidikan terpisah dari masyarakat, seperti menara gading yang berdiri di tengahtengah masyarakat miskin. Hal tersebut berbeda dengan pesantren. Pesantren merupakan pendidikan yang menyatu dengan masyarakat.
1
2
Human resources (sumber daya) pesantren mengenai pendanaan, sumber daya manusia, dan fasilitas ditanggung bersama oleh masyarakat, menjadilah pesantren itu core ‗inti‘ kehidupan masyarakat. Mengkaji pembiayaan pesantren merupakan sebagian dari dinamika pesantren dalam pengembangan masyarakat, karena pesantren merupakan nonformal education. Fokus pesantren pada sumberdaya. Sumber daya pesantren ada tiga, yang bersifat human resources, finance, dan facilities. Ketiga sumber daya tersebut menjadi core kehidupan perjalanan pesantren. Finance atau pembiayaan merupakan salah satu aspek yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, termasuk pesantren. Pengelolaan pembiayaan penting diperhatikan lembaga pendidikan agar dapat mengembangkan mutu lembaga. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 yang direvisi dengan Peraturan Pemerintah No 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menjelaskan bahwa pembiayaan pendidikan merupakan salah satu standar nasional pendidikan yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan. Standar pembiayaan adalah kriteria mengenai komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengatur beberapa pasal yang menjelaskan pendanaan pendidikan yaitu Pemerintah
pada Pasal 11 Ayat 2, bahwa: ―Pemerintah dan
Daerah
wajib
menjamin
tersedianya
dana
guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun‖. Pemerintah memberikan perhatian penting untuk membiayai lembaga-lembaga pendidikan formal.
3
Jones (1985:100-131) mengemukakan enam model pemenuhan kebutuhan pembiayaan pendidikan yaitu Flat Grant, Full State Funding, The Foundation Plan, Guaranteed Tax Base, Percentage Equalizing dan Power Equalizing. Dalam hal ini, John (1983:253) menjelaskan model pembiayaan sekolah memiliki dua dimensi utama, yaitu dimensi alokasi dan dimensi penghasilan. Dimensi alokasi, tipe pokok pembiayaan pendidikan diklasifikasikan menurut 1) Flat Grant, yaitu sistem distribusi dana atas dasar pemerataan, yang berkenaan dengan jumlah per murid, per guru, atau beberapa unit biaya kebutuhan yang sama diberikan tanpa adanya perbedaan program yang berubah–ubah dalam jumlah kebutuhan per murid yang direfleksikan sebagai kebutuhan yang bervariasi dalam unit biaya yang diberikan kepada sekolah lokal, 2) Equalized Model. Model ini bertitik tolak pada ability to pay (kemampuan membayar) masyarakat. Masyarakat yang miskin tentu perlu menerima bantuan dana lebih serius dibandingkan dengan masyarakat yang income-nya lebih tinggi. Karena itu sekolah miskin akan memperoleh kesempatan sejajar dengan sekolah lainnya. Dalam PP Nomor 48 Tahun 2008, dijelaskan bahwa pendanaan pendidikan terkait dengan penyediaan sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan. Biaya pendidikan meliputi: biaya satuan pendidikan; biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; dan biaya pribadi peserta didik. Pendanaan
pendidikan
menjadi
tanggung
jawab
bersama
antara
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Biaya pendidikan yang merupakan tanggung jawab Pemerintah dialokasikan dalam anggaran Pemerintah, dan yang merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dialokasikan dalam anggaran pemerintah daerah sesuai dengan sistem
4
penganggaran pendidikan
dalam
peraturan
perundang-undangan.
yang dialokasikan dari APBD
merupakan
Pendanaan kebijakan
Pemerintah Daerah, oleh karena arah dan besaran anggaran pendidikan ditetapkan
melalui
Keputusan
Dinas
Pendidikan,
Peraturan
Walikota/Bupati daerah setempat dan Peraturan Daerah. Besaran pendanaan pendidikan merupakan proyeksi kebutuhan anggaran program pendidikan yang dijabarkan dalam Renstra dan Rencana Kerja yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Dinas Pendidikan. Besaran anggaran pendidikan merupakan bagian yang menjadi belanja APBD yang ditetapkan melalui Kebijakan umum APBD, Prioritas Plafon dan Anggaran
(PPAS)
dan
Perda
APBD
yang
ditetepakan
setelah
mendapatkan persetujuan DPRD Kota/Kabupaten yang bersangkutan. Sebagai lembaga pendidikan nonformal, pesantren hanya mendapat perhatian kecil Pemerintah dalam pembiayaan pendidikan di antaranya melalui bantuan pembangunan dan kegiatan dari Kementerian Agama. Selain persoalan minimnya pembiayaan, pesantren dihadapkan pada realitas bahwa lulusan pesantren sulit mendapat pekerjaan di masyarakat. Salah satu peluang hanya sebagai pendakwah agama Islam (ustadz atau ustadzah). Profesi pendakwah Islam tersebut tidak berhubungan secara signifikan dengan pendapatan ekonomi. Mempertimbangkan agar lulusan pesantren mendapat peluang kerja di masyarakat, beberapa pesantren menyelenggarakan pendidikan formal di lingkungan pesantren. Para santri (peserta didik di Pesantren) akhirnya mempelajari ilmu-ilmu keagamaan di pesantren dan pendidikan di sekolah/madrasah formal. Akhirnya, pesantren dituntut mampu memanaje pembiayaan pendidikan dengan baik.
5
Beberapa lembaga pendidikan formal yang dibuka di pesantren ada sekolah atau madrasah bahkan perguruan tinggi. Di antara madrasah tersebut yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Lembaga pendidikan formal termasuk mendapat bantuan dana pemerintah melalui dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Namun demikian, umumnya madrasah di Indonesia sampai saat ini merasa dianaktirikan dalam hal perolehan dana dari Pemerintah. Jumlah madrasah negeri lebih sedikit disbanding dengan madrasah swsta. Madrasah swatsa di Indonesia umumnya dikelola swasta di bawah naungan yayasan. Sebagian madrasah swasta tersebut berada di lingkungan pesantren. Pesantren dalam konteks tersebut dituntut mampu membiayai madrasah yang menyatu dengan pesantren. Pesantren penting memanaje pembiayaan dengan baik agar dapat mencapai tujuan secara efektif. Jika pembiayaan pesantren dikelola secara baik, pesantren dapat menyelenggarakan proses pendidikan dengan baik sehingga dapat mencapai tujuan dengan tepat. Pengelolaan pembiayaan pesantren yang efektif dan efisien memberi peluang pesantren dapat menyelenggarakan
proses
pembelajaran
dengan
baik
sehingga
berkontribusi terhadap hasil belajar santri/siswa yang baik pula. Sebagai lembaga pendidikan nonformal, pesantren perlu memikirkan sumber-sumber pembiayaan bagi pengembangan lembaga tersebut. Di antara sumber pembiayaan pesantren yaitu bantuan Pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Pemerintah penting membuat regulasi yang mengatur berbagai lembaga pendidikan di Indonesia termasuk pesantren. Kebijakan pemerintah dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan menteri menjadi payung hukum pengelolaan pembiayaan pesantren agar sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
6
Dalam Peratuan Pemerintah No 48 tahun 2008 pasal 2 tentang Pendanaan Pendidikan dinyatakan bahwa: ―(1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (2) Masyarakat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat; b. Peserta didik, orang tua, atau wali peserta didik dan, (3) Pihak lain selain yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.‖ Pesantren umumnya didirikan masyarakat sehingga tanggung jawab masyarakat dalam pembiayaan pendidikan menjadi penting, tetapi Pemerintah pun turut bertanggung jawab dalam pembiayaan lembaga tersebut. Akdon, dkk. (2015:75) menyatakan bahwa: ―Di antara berbagai alokasi biaya dalam pembangunan, pembiayaan pendidikan sudah selayaknya mendapatkan prioritas dari Pemerintah baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Pemerintah harus memiliki visi pendidikan, karena untuk kemajuan pembangunan perlu didukung oleh sumber daya manusia yang andal dengan tersedianya tenagatenaga terdidik (educated man) pada berbagai level manajemen pemerintahan di pusat, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota sampai tingkat kecamatan‖.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan nonformal umumnya memiliki keterbatasan dalam sumber pembiayaan. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren patut mengelola pembiayaannya secara baik, termasuk jika pesantren menyelenggarakan pendidikan formal seperti madrasah.
7
Melalui studi pendahuluan pada Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung ditemukan fakta bahwa pesantren tersebut mengelola pesantren sekaligus menyelenggarakan lembaga pendidikan formal (Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah). Penggalian
sumber-sumber
pembiayaan
dilakukan
dengan
mengembangkan agribisnis (pertanian [sayur-mayur] dan peternakan). Pesantren tersebut dapat membiayai keperluan pendidikan secara mandiri. Pesantren
Al-Ittifak
dapat
mempertahankan
eksistensinya
sampai
sekarang. Hal tersebut merupakan fenomena yang langka di Indonesia. Fenomena tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai manajemen pembiayaan pesantren berbasis agribisnis sebagai case studi pada Pesantren aAl-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung.
B. Fokus Penelitian dan Pertanyaan Penelitian Penelitian difokuskan pada manajemen pembiayaan Pesantren berbasis agribisnis di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Bandung. Pertanyaan penelitian dinyatakan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah cara pesantren berbasis agribisnis menggali sumbersumber pembiayaan di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung? 2. Bagaimana implementasi pembiayaan pesantren berbasis agribisnis di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung dalam hal perencanaan pembiayaan (Budgeting), pelaksanaan pembiayaan (Accounting), evaluasi pembiayaan (Auditing)? 3. Apakah faktor penunjang dan penghambat pembiayaan pesantren berbasis agribisnis di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung?
8
C. Tujuan Penelitian Melalui deskripsi analisis dan pemaknaan atas studi lapangan penelitian ini ditujukan mengetahui dan mendeskripsikan pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Bandung meliputi: 1. Cara menggali sumber-sumber pembiayaan pesantren berbasis agribisnis di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung. 2. Implementasi pembiayaan pesantren berbasis
agribisnis di
Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung dalam hal perencanaan pembiayaan (Budgeting), pelaksanaan pembiayaan (Accounting), evaluasi pembiayaan (Auditing). 3. Faktor penunjang dan penghambat pembiayaan pesantren berbasis agribisnis di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung. D. Kegunaan Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran berupa konstruksi model pembiayaan pesantren berbasis
agribisnis
berdasarkan
bukti-bukti
emfiris
manajemen
pembiayaan pesantren berbasis agribisnis. Konstruk tersebut disusun dengan melihat cara-cara pesantren berbasis agribisnis menggali sumbersumber biaya, mengimplementasikan biaya, serta menganalisis faktorfaktor penunjang dan penghambat pembiayaan pesantren. Hasil-hasil
penelitian
juga
diharapkan
dapat
memberikan
rekomendasi bagi pihak berwenang khususnya Kementerian Agama untuk pemberdayaan pesantren melalui penyediaan model pembiayaan pesantren berbasis agribisnis untuk menciptakan kemandirian ekonomi pesantren.
9
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat diadopsi dan diadaptasi oleh pesantren-pesantren sejenis untuk dijadikan model dalam pembiayaan pesantren.
E. Struktur Organisasi Laporan Penelitian
ini
disusun
dalam
lima
bab,
yaitu:
BAB
I
PENDAHULUAN : A. Latar Belakang Masalah, B. Fokus Penelitian dan Pertanyaan Penelitian, C. Tujuan Penelitian,
D. Kegunaan Penelitian,
E. Struktur Organisasi Penelitian. BAB II
KAJIAN PUSTAKA:
A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Pembiayaan Pendidikan; 2. SumberSumber Pembiayaan Pendidikan: a. Pemerintah, b. Masyarakat, c. Orang Tua Siswa;
3. Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Nonformal;
4. Implementasi Pembiayaan pesantren: a. Perencanaan Pembiayaan, b. Pelaksanaan Pembiayaan, c. Evaluasi Pembiayaan; 5. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Pembiayaan Pesantren berbasis agribisnis; 7. Agribisnis; B. Kerangka Berfikir;
C. Penelitian terdahulu yang
Relevan; BAB III METODE PENELITIAN: A. Pendekatan Penelitian; B. Sumber Data; C. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian; D. Populasi dan Sampel; E. Pengujian validitas dan Reliabilitas Instrumen; F. Metode dan Teknik Analisis Data Penelitian; G. Langkah-Langkah Penelitian; BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN: A. Kondisi Umum; B. Hasil Penelitian: 1. Sumber-Sumber Pembiayaan Pesantren berbasis agribisnis; 2. Implementasi Pembiayaan Pesantren berbasis agribisnis; 3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembiayaan Pesantren berbasis agribisnis;. C. Pembahasan Hasil Penelitian: 1. Sumber-Sumber Pembiayaan Pesantren berbasis agribisnis pada Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung; 2. Implementasi
10
Pembiayaan Pesantren berbasis agribisnis pada Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung; 3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembiayaan Pesantren berbasis agribisnis pada Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung. BAB V SIMPULAN DAN SARAN: A. Simpulan; B. Saran; Daftar Pustaka; Lampiran-Lampiran.
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Biaya dan Pembiayaan Pendidikan Konsep biaya dalam bahasa Inggris mengunakan istilah cost, financial, expenditure. Biaya menurut para akuntan dalam Ursy dan Hammer (1991:23) adalah cost as an exchange, a forgoing, a sacrifice made to secure benefit. Kata cost sinonim dengan expense, walaupun expense digunakan untuk mengukur pengeluaran (outflow) barang atau jasa yang disandingkan dengan pendapatan untuk mengukur pendapatan (Nanang Fatah, 2012:3). Biaya pendidikan ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain: besar kecilnya sebuah institusi pendidikan, jumlah siswa, tingkat gaji guru atau dosen yang disebabkan oleh bidang keahlian atau tingkat pendidikan, ratio siswa berbanding guru/dosen, kualifikasi guru, tingkat pertumbuhan penduduk (khususnya di negara berkembang), perubahan kebijakan dari penggajian/pendapatan (Nanang Fatah, 2012: 5). Manajemen biaya adalah aktivitas pengelolaan biaya agar dapat berfungsi sebagai alat perencanaan, pengambilan keputusan, dan kontrol. Dengan demikian, kegiatan dapat dilakukan secara maksimal, efektif, dan efisien dalam mencapai tujuan baik itu lembaga yang bersifat profit maupun nonprofit (Mulyono, 2010:78). Pengelolaan keuangan dalam arti sempit dapat diartikan sebagai tata pembukuan. Dalam arti luas diartikan sebagai pengurusan dan pertanggungjawaban, baik pemerintah pusat maupun daerah, dari penyandang dana, baik individual maupun lembaga.
11
12
Dalam pengertian sehari-hari istilah pembiayaan yang berasal dari kata finance dikaitkan dengan usaha memperoleh atau mengumpulkan modal untuk membiayai aktivitas yang akan dilakukan (Harbangan, 1989: 130). Dalam penyelenggaraan pendidikan keuangan dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam manajemen pendidikan. Komponen keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan proses belajar mengajar di sekolah bersama komponen lain (E. Mulyasa, 2003: 47). Pembiayaan pendidikan merupakan aktivitas yang berkenaan dengan perolehan dana (pendapatan) yang diterima dan bagaimana penggunaan dana tersebut dipergunakan untuk membiayai seluruh program-program pendidikan yang telah ditetapkan. Pendapatan atau sumber dana pendidikan yang diterima sekolah diperoleh dari Anggaran Pendapatn dan belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan masyarakat atau orang tua (Tedjaningsih Hartono, 2011:104). Mengenai
pembiayaan
sekolah,
Levin
(1987)
menyatakan,
pembiayaan sekolah adalah proses pengaturan pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah diberbagai wilayah geografis dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Pembiayaan sekolah ini berkaitan dengan bidang politik pendidikan dan program pembiayaan pemerintah, serta administrasi sekolah. Beberapa istilah yang sering digunakan dalam pembiayaan sekolah yaitu school revenues, school expenditures, capital dan current cost. Dalam pembiayaan sekolah tidak ada pendekatan tunggal dan yang
13
paling baik untuk pembiayaan semua sekolah karena kondisi setiap sekolah berbeda (Nanang Fatah, 2012: 6-7). Dapat
disimpulkan
bahwa
manajemen
pembiayaan
adalah
pengelolaan semua bentuk keuangan baik pemasukan dan pengeluaran yang secara langsung maupun tidak langsung untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, baik yang dikeluarkan oleh sekolah maupun siswa. Manajemen pembiayaan pesantren adalah manajemen terhadap fungsi-fungsi pembiayaan pada lembaga pesantren. Fungsi pembiayaan merupakan kegiatan utama yang harus dilakukan oleh pesantren yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam. Fungsi manajemen pembiayaan adalah menggali dan mendapatkan biaya, menggunakan biaya, dan mempertanggungjawabkan biaya.
2. Alokasi
dan
Penggalian
Sumber-Sumber
Pembiayaan
Pendidikan Komponen
pembiayaan
pesantren
dimaksudkan
agar
dapat
mendanai berbagai kelengkapan pendidikan di pesantren menyangkut pembangunan fasilitas pesantren (facilitation), kesejahteraan pendidik, bantuan kesejahteraan bagi siswa kurang mampu ekonomi, kegiatan operasional pembelajaran, dan berbagai perangkat keras dana perangkat lunak pembelajaran. Sumber keuangan pesantren umumnya dipungut dari orang tua santri dalam bentuk SPP, DPP/Iuran santri, dari Pemerintah (Kementerian Agama), masyarakat (dunia usaha dan dunia industry), alumni, donator tetap (munfiqin) dan donatur tidak tetap.
14
Selain
sumber
menyelenggarakan
keuangan
madrasah,
di
sumber
atas,
bagi
pembiayaan
pesantren pesantren
yang juga
diperoleh dari Pemerintah berupa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) baik BOS pusat, kabupaten, maupun propinsi. Terdapat kecenderungan umum pesantren lebih banyak menerima bantuan dari pemerintah dan masyarakat serta dari orang tua santri, daripada dana dari pesantren melalui sentra-sentra bisnis berbasis agribisnis. Dewasa ini terdapat fenomena sebagian pesantren yang mengembangkan agribisnis dengan menyediakan sarana entrepreneurship bagi penambahan sumber pendapatan keuangan pesantren, misalnya melalui pertanian, perikanan, dan home industri.
3. Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Nonformal Pesantren adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaan pesantren telah mengilhami model sistem pendidikan yang ditemukan saat ini. Pesantren bahkan tidak lapuk dimakan zaman. Pesantren telah berkiprah sejak awal dalam hal pencerdasan bangsa dan tidak diragukan lagi oleh semua kalangan masyarakat Indonesia. Pesantren juga telah mampu mencetak tokoh-tokoh perjuangan, dan banyak yang menjadi syuhada ‗pahlawan‘. Pada masa kemerdekaan Indonesia, pesantren mampu memunculkan para tokoh pendidikan seperti Hasym Asy‘ary, Ahmad Dahlan, Agus Salim, dan yang lainnya, yang telah berkontribusi pada pendidikan Indonesia. Namun pada kenyataannya, pesantren mengalami ketidakadilan struktural sehingga pesantren mengalami kesulitan untuk berkembang, terus tertinggal dan sulit untuk maju. Sekolah formal umumnya mendapatkan bantuan dana seperti dana BOS (Bantuan Operasional
15
Sekolah), tunjangan buku, gaji guru, pembangunan gedung, ruang kelas baru, sedangkan pesantren tidak mendapatkannya, padahal pesantren sangat membutuhkannya. Menurut data kementerian Agama pusat, pada tahun 2007 terdapat sekitar dua ribu lebih pesantren yang ada di seluruh Indonesia. Jumlah terbanyak berada di Jawa Timur. Dari dua ribu pesantren tersebut, 80% merupakan pesantren salafiyah (tradisional). Hal tersebut menjadi sangat menarik dan unik karena sifat tradisional tersebut masih bertahan sampai sekarang terutama di daerah pinggiran kota. Tradisionalisme pesantren sebenarnya melekat pada asas keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi skolatisisme As‘ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam)
yang
telah
lama
mewarnai
corak
keislaman
Indonesia
(Abdurrahman Wahid, 1997). Selaras dengan pemahaman ini, terminology yang akarnya ditemukan dari kata ‗adat (bahasa Arab) ini, merupakan praktik keagamaan lokal yang diwariskan umat Islam Indonesia generasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkan watak keislaman yang khas Indonesia (Martin Van Bruinessen, 1997:140). Di antara argumentasi pesantren menarik untuk diteliti yaitu pesantren dapat mengintegrasikan sifat keislaman dan keindonesiaan, kehidupan yang sederhana, system dan manhaj (tujuan) yang terkesan apa adanya, hubungan kiyai dan santri serta lingkungan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana demikian, yang menjadi magnet terbesar pesantren adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara,
16
dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya kontribusi pesantren baik masa pra kolonial, masa kolonial, dan pasca kolonial. Banyak pesantren masa colonial menjadi pelopor, pendobrak, dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Pesantren bersama masyarakat berjuang sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang. Pondok pesantren di Indonesia dikenal sejak zaman walisongo. Ketika itu, Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di jawa. Para santri yang berasal dari Pulau jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Di antara santri ada yang dating dari Gowa dan Talo, Sulawesi. Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di tanah air. Para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel. Materi yang dikaji di pondok pesantren adalah ilmu-ilmu agama, seperti fikih, nahwu, tafsir, tauhid, hadis, dan lain-lain. Biasanya menggunakan kitab turats atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fikih mendapat porsi mayoritas. Hal itu dilakukan karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai ilmu nahwu. Sedangkan materi fikih dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi) dan kehidupan sehari-hari baik yang berhubungan dengan makhkuk maupun
17
khaliq. Tidak heran bila sebagian pakar menyebut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat ‗fikih oriented atau nahwu oriented. Pesantren merupakan salah satu jenis lembaga pendidikan Islam yang indigenous ‗asli‘ di Indonesia. Ismail Suardi Wekke (2012:205-206) menyatakan bahwa: ―Pesantren merupakan instrument sistem pendidikan Indonesia yang unik…sebagai lembaga yang khusus melakukan kajian keagamaan (tafaqquh fi al-diin) pesantren tidak melepaskan diri dari lingkungan sosial. Pesantren lebih dahulu hadir dalam konteks kebangsaan, tetapi wujud pesantren yang menyelenggarakan sistem pendidikan kemudian menjadi salah satu subsistem pendidikan nasional. Pesantren hadir tentu untuk memenuhi kebutuhan nasional dengan tujuan utama mencapai tujuan pendidikan nasional.‖ Secara historis, pesantren -sebagai lembaga pendidikan Islam- telah mengalami perjalanan yang panjang. Pesantren diperlakukan diskriminatif dalam kebijakan pendidikan Indonesia sehingga mengalami kesulitan untuk berkembang, terus tertinggal, dan sulit untuk maju walaupun pesantren telah berkontribusi pada pendidikan Indonesia. Hal tersebut terjadi karena Pemerintah belum membuat kebijakan yang mampu memberdayakan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam. Eksistensi pesantren di Indonesia sampaii saat ini tak luput dari pengaruh kebijakan pendidikan di Indonesia. Penelitian tentang pesantren telah menjadi perhatian para sarjana diantaranya Dhofier (1982) dan Mastuhu (1994) yang memberikan gambaran pesantren dengan konteks tahun 1980 sampai 1990 berperan sebagai
pendukung
pertumbuhan
dan
perkembangan
pendidikan
Indonesia. Terdapat pula para sarjana luar negeri yang melakukan kajian tentang pesantren seperti Van Bruinessen (1995), Lukens-Bull (2001),
18
Pohl (2006). Penelitian pesantren juga dilakukan Raihani (2012), Saniotis (2012), Izfanna dan Hisyam (2012), Vignato (2012), Hamdi dan Smith (2012). Ke lima penelitian tersebut berkisar kepada multikulturalisme, inovasi pesantren dalam hal pengelolaan lingkungan, peran pesantren dalam penyelesaian konflik dan bencana, dan pendidikan karakter. Adapun penelitian Buresh (2001), Permani (2009) mengkaji pesantren sebagai kekuatan ekonomi. Tujuh penelitian terakhir tersebut sebatas menggambarkan kekuatan pesantren sebagai institusi. Untuk itu penelitian pesantren dalam politik pendidikan Indonesia penting dilakukan agar terdapat pemahaman yang komprehensif terhadap dinamika kebijakan pendidikan pesantren di Indonesia. Pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimanakah kebijakan Pemerintah terhadap pesantren di Indonesia dalam sejumlah perundangundangan pendidikan di Indonesia sejak kemerdekaan sampai undangundang terakhir. Untuk itu, kajian ini akan membahas tentang kebijakan pendidikan sebagai produk politik terhadap pesantren. Signifikansi penelitian ini dalam kajian politik pendidikan ditinjau dari tiga hal yaitu: Pertama, sebagai laporan penelitian tentang kebijakan Pemerintah selama ini terhadap pesantren. Kedua, pesantren senantiasa seiring dengan kebijakan Pemerintah dibidang pendidikan sehingga diperlukan perhatian yang memadai dari Pemerintah terhadap pesantren melalui penyediaan kebijakan yang bersifat adil. Ketiga, sebagai evaluasi terhadap sejumlah kebijakan terhadap pesantren yang ada di Indonesia tetapi dirasakan belum adil oleh pihak pesantren sehingga diperlukan adanya formulasi kebijakan yang memberdayakan pesantren. Dahl (1993) menyatakan bahwa tidak ada orang atau kelompok yang dominan dalam proses pembentukan kebijakan. Latham (1952) (dikutip
19
dalam C. Ham & M. Hill, 1993) jga menyatakan bahwa pemerintah bersifat netral dan secara esensial bertindak sebagai wasit dalam pertikaian antar kelompok. Berbeda dengan dua tokoh tersebut, Thomas R. Dye (1981) yang menyatakan: Kebijakan publik ditentukan, diterapkan, dan diberlakukan secara otoriter oleh institusi pemerintah. Hubungan antara kebijakan publik dan institusi pemerintah sangat dekat. Kebijakan tidak menjadi kebijakan publik sebelum diterima, diterapkan, dan diberlakukan oleh institusi pemerintah. J.E. Anderson (1975:98) yang menyatakan bahwa: Suatu kebijakan dibuat tatkala diberlakukan dan diberlakukan tatkala dibuat. Taylor, S. et al., (1997:16) yang menyatakan bahwa: Penentuan kebijakan merupakan kegiatan negara. Prunty,J.J., (Australian Journal of Education, 29 (2), 1985) menyatakan bahwa: Kebijakan melibatkan penggunaan kekuasaan, kendali, dan validasi nilai dari kelompok tertentu. Muhammad Sirozi, (2004) menyatakan bahwa: Kebijakan disetujui, diterima dan dilaksanakan oleh pranata pemerintah.
Pesantren dan Kebijakan Pendidikan Sekolah formal umumnya mendapatkan mendapat perhatian dan kepedulian Pemerintah melalui bantuan dana seperti APBN, APBD, dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), tunjangan buku, gaji guru, pembangunan gedung, dan ruang kelas baru, sedangkan pesantren tidak mendapatkan kepastian dana dari Pemerintah. Hal tersebut dianggap sebagai bentuk ketidakadilan kebijakan karena pesantren juga termasuk lembaga
pendidikan
yang
memberikan
kontribusi
besar
dalam
membangun sumber daya manusia Indonesia. Pesantren belum jadi mainstream penyelenggaraan pendidikan nasional Indonesia walaupun pesantren berjasa telah melahirkan sejumlah tokoh pembangunan nasional.
20
Pada masa kemerdekaan Indonesia, pesantren mampu memunculkan para tokoh pendidikan seperti Hasym Asy‘ary, Ahmad Dahlan, dan Agus Salim, yang telah berkontribusi pada pendidikan Indonesia. Negara Indonesia menjunjung pengembangan kehidupan beragama bagi para pemeluknya, sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) dan (2). Dalam perjalanan pengaturan terhadap kehidupan umat beragama muncul sejumlah kebijakan yang dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan cara pandang mengenai hubungan negara dan agama. ―Hubungan negara dan agama kerap memunculkan berbagai persepsi kelompok yang pro dan kontra (Achmad Rosyidi, 2007:188).‖ Kelompok yang pro menyatakan dengan tegas bahwa agama dan negara memiliki kaitan erat yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan menghendaki dimasukkannya simbol-simbol formal ke dalam negara. Kelompok ini populer dinamakan kelompok formalis (Jamhari dan Jajang Jahroni, 2004:x-xi). Kelompok yang kontra menginginkan adanya pemisahan antara urusan agama dengan urusan negara, karena antara keduanya terdapat hal yang saling bertolak belakang. Agama tidak membicarakan soal-soal negara secara jelas, apalagi menganjurkan pembentukan sebuah negara. Kalangan ini disebut kelompok sekuler. ―Terdapat pula kelompok substansialis ‗blok tengah‘ yang memahami dalam agama terdapat nilainilai subtansi etika moral kehidupan bernegara dan bermasyarakat (Achmad Rosyidi, 2007:189).‖ Di Indonesia kehidupan beragama merupakan tuntutan konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UUD 1945, Pasal 29). Hal tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia bukanlah negara sekuler, tetapi juga bukan negara teokratis. Secara faktual, bangsa Indonesia adalah
21
bangsa yang religius. Hal tersebut tercermin baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan karakter bangsa Indonesia yang sangat religius dan sekaligus memberi makna rohaniah terhadap kemajuankemajuan yang akan dicapai. Pendidikan yang mendukung aspek agama mendapatkan status quo dan diakui pemerintah, termasuk pendidikan agama di sekolah atau pendidikan keagamaan non formal seperti pesantren. Sebagai realisasi atau implementasi pendidikan keagamaan dapat dilihat pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terutama pada pasal 30.
Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat Pesantren dianggap sebagai sistem pendidikan asli Indonesia (Amin Haedari, 2007:34). Pesantren merupakan model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Pendidikan pesantren telah mengilhami model sistem pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan berasrama. Pesantren telah berkiprah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Dari pesantren terlahir tokoh-tokoh perjuangan (banyak yang menjadi syuhada ‗pahlawan‘) dan tokoh pembangunan bangsa. ―Ada tiga elemen dasar yang membentuk pondok pesantren sebagai subkultur. Pertama, pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh negara; Kedua, penggunaan kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan berabad-abad lamanya; dan yang Ketiga, sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas (Abdurrahman Wahid, 1988).‖ Berdasarkan elemen yang ketiga, dapat dinyatakan Pondok Pesantren memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Pesantren menjadi salah satu
22
penopang pilar utama pendidikan di bumi nusantara. Sejarah mencatat bahwa pondok pesantren sampai saat ini telah berdiri, tumbuh, dan berkembang. Hal tersebut menunjukkan bahwa jutaan orang orang Indonesia telah ikut merasakan pola pembelajaran di pondok pesantren (Nasaruddin Umar, 2014:7). Hasil Penelitian Clifford Geertz di Pulau Jawa menyatakan bahwa santri yang berasal dari golongan pesantren dimasukkan sebagai salah satu tipe dari tiga tipe klasifikasi jenis masyarakat jawa di Mojokuto, bersanding dengan tipe priyayi dan abangan (Clifford Geertz, 1983). Pesantren dikategorikan dalam dua tipe yaitu tradisional dan modern. Pesantren tradisional berupaya meneruskan tradisi yang telah diwarisinya secara turun temurun. Adapun pesantren modern membuka diri melakukan perubahan-perubahan yang relevan dengan tuntutan zaman. Pesantren diharapkan mampu mengurai secara cerdas problem kekinian dengan pendekatan-pendekatan kontemporer (Hamruni, 2016:413-414). Di antara argumentasi pesantren menarik untuk diteliti yaitu pesantren dapat mengintegrasikan sifat keislaman dan keindonesiaan, kehidupan yang sederhana, sistem dan manhaj (tujuan) yang terkesan apa adanya, hubungan kiyai dan santri yang akrab, serta lingkungan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana demikian, yang menjadi magnet terbesar pesantren adalah peran dan kiprah pesantren bagi masyarakat, negara, dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya kontribusi pesantren baik masa pra kolonial, masa kolonial, dan pasca colonial dalam membangun sumber daya manusia. Banyak pesantren masa kolonial menjadi pelopor, pendobrak, dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Pesantren bersama masyarakat berjuang sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang.
23
Pondok pesantren di Indonesia dikenal sejak zaman walisongo. Ketika itu, Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di jawa. Para santri yang berasal dari Pulau jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Di antara santri ada yang datang dari Gowa dan Talo (Sulawesi). Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di tanah air. Para santri setelah menyelesaikan studinya berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing sehingga didirikanlah pondokpondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel. Sejarah asal mula pendirian pesantren diuraikan oleh para peneliti dengan informasi yang beragam. Dhofier (1982) menjelaskan bahwa pesantren telah hadir sejak zaman kolonial. Adapun Boland (1985:14-27) menggambarkan dalam masa pemerintahan kolonial pesantren menjadi inti pasukan dengan menggabungkan pasukan Hisbullah kedalam kesatuan tentara. Selanjutnya ini menjadi cikal bakal bagi pendirian Tentara Nasional Indonesia. Bahkan dalam abad ke-15, Islam telah menggantikan dominasi agama Hindu. Adapun kerajaan Demak hadir sejak abad ke-16 dengan mengislamkan Pulau Jawa. Sementara Majlis Ulama Indonesia (1986) menguraikan data bahwa pesantren di Jawa, Dayah di Aceh, Surau di Padang telah hadir sejak abad ke-13. Dengan demikian, dari penelusuran sejarah ini dapat kita lihat walaupun ada perbedaan pandangan kapan tepatnya pesantren mulai berada sebagai institusi pendidikan di Indonesia atau nusantara, tetapi pergolakan pesantren tentu sudah mengalami fase yang tidak pendek (Ismail Suwardi Wekke, 2012: 208-209).
24
Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa pesantren telah berkembang di Indonesia sebelum Indonesia merdeka dan terus berjuang menyelenggarakan
pendidikan
di
Indonesia
setelah
kemerdekaan
Indonesia. Namun demikian, perhatian Pemerintah dalam hal kebijakan pendidikan terhadap pesantren dipandang belum mampu membuat kebijakan yang memberdayakan pesanatren. Secara substantif, materi yang dikaji di pondok pesantren adalah ilmu-ilmu agama (fikih, nahwu, tafsir, hadis, tauhid, dan tasawwuf). Sumber belajar menggunakan kitab turats dikenal dengan kitab kuning. Materi nahwu (bahasa Arab) dan fikih mendapat porsi mayoritas. Hal itu dilakukan karena ilmu nahwu merupakan ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai ilmu nahwu. Materi fikih dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat dan kehidupan sehari-hari baik yang berhubungan dengan makhluk maupun khaliq. Tidak heran bila sebagian pakar menyebut sistem pendidikan Islam di pesantren bersifat ‗fikih oriented atau nahwu oriented. “Penyelenggaraan pendidikan pesantren tidak memiliki kurikulum tertulis. Kiai berperan utama sebagai kurikulum aktual yang mengarahkan program pembelajaran dan seluruh aktivitas santrinya di pesantren. Kurikulum pesantren dapat dikatakan sejalan dengan kehidupan pribadi kiai sebagai pendiri/pemimpin dan pengasuh pesantren (Lailial Muhtifah, 2012 :204).‖ Penelitian ini bertujuan menjelaskan kebijakan Pemerintah terhadap pesantren di Indonesia setelah Indonesia merdeka, kebijakan Pemerintah terhadap pesantren di Indonesia pasca UU Nomor 4 Tahun 1950, kebijakan Pemerintah terhadap pesantren di Indonesia pasca UU Nomor 2 Tahun 1989, dan kebijakan Pemerintah terhadap pesantren di Indonesia pasca UU Nomor 20 Tahun 2003.
25
Kebijakan Pemerintah Terhadap Pesantren setelah Indonesia Merdeka (1945-1950) Pada rentang waktu 1945-1950 pemerintah memberikan perhatian dan pembinaan terhadap sekolah agama. BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) mengumumkan bahwa: ―Dalam memajukan pendidikan
dan
pengajaran
sekurang-kurangnya
diusahakan
agar
pengajaran di langgar-langgar, surau, masjid, dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan (Pengumuman BPKNIP, Berita RI tahun II No.4 dan 5: 20).‖ Intinya agar pendidikan yang berlangsung di lingkungan Surau, Mesjid, Langgar, dan madrasah terus berjalan. BPKNIP merumuskan pokok-pokok usaha pendidikan yang menyatakan bahwa: ―Madrasah dan pesantren yang hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia hendaklah pula mendapat perhatiana dan bantuan yang nyata berupa tuntunan dan bantuan materiil dari pemerintah (Marwan Saridjo, 1997:55; Hanun Asrohah, 1999:77).‖ BPKNIP memberikan rekomendasi di antaranya bahwa: ―kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki (Soegarda Poerbakawatja, 1970:41).‖ Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa adanya niat dari pemerintah untuk memperbaiki mutu pesantren. Namun demikian, sebagai kebijakan, niat baik tersebut memerlukan langkah strategis dan peraturan yang lebih teknis sehingga perbaikan mutu menjadi nyata. Dalam sidang BPKNIP tanggal 29 Desember 1945 diusulkan supaya Kementerian
Pengajaran
selekasnya
mengusahakan
pembaharuan
pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan UUD 1945. BPKNIP memberikan pedoman di antaranya: ―Pengajaran agama hendaklah mendapat tempat yang teratur, seksama, dan mendapat perhatian
26
semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipeluknya. Pendidikan agama perlu diberi perhatian seksama dengan asas kemerdekaan beragama. Adapun madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar pada masyarakat pada umumnyahendaklah mendapat perhatian dan bantuan nyata dari pemerintah (Mahkamah Konstitusi RI, 1945:21; Marwan Saridjo, 1997:55; Azyumardi Azra dan Saiful Umam, 1998:47).‖ Perhatian dan bantuan
dari
Pemerintah
hanya
merupakan
keinginan
karena
implementasinya tidak menyangkut wilayah yang luas. Amin Haedari (2006:4) ―menilai bahwa pendidikan di langgar dan madrasah hendaknya mendapat bantuan d ari Pemerintah dapat diartikan bahwa langgar dan madrasah tidak diperlakukan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan
nasional
seperti
halnya
sekolah.
Keadaan
tersebut
menyebabkan lembaga pendidikan keagamaan pada satu sisi menjadi mandiri, tetapi pada sisi lain menjadi termarginalkan.‖ Usulan-usulan BPKNIP kemudian mendapat respon menteri PPK. Menteri Pendidikan dan Pengajaran (Dr. Mr. T.S.G. Mulia) membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara dan beranggotakan 51 orang dengan menerbitkan SK Menteri PPK No. 104/Bhg.0 tanggal 1 Maret 1946. Salah satu hasil Panitia Penyelidik Pengajaran ini adalah rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: ―Mendidik warga negara yang sejati, sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk warga negara dan masyarakat‖. Dalam bidang pelajaran agama Panitia Penyelidik Pengajaran melahirkan keputusan-keputusan sebagai berikut: 1. Hendaknya agama
27
menjadi salah satu pelajaran yang diberikan di sekolah rakyat (SR); 2. Guru agama disediakan oleh pihak
Kementerian dan dibayar oleh
Pemerintah; 3. Guru agama harus mempunyai pengetahuan umum dan untuk maksud itu harus didirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA); 4. Pesantren dan madrasah harus dipertinggi mutunya (Azyumardi Azra dan Saiful Umam, (ed.), 1998: h.47). Sejalan dengan upaya-upaya tersebut, berdasarkan keputrusan BPKNIP tersebut pesantren dan juga lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang sudah ada sejak masa kerajaan dan kesultanan (seperti surau [R.A. Kern, 1956: 179-181), langgar, dan rangkang) mulai mendapat perhatian secara baik. Pemerintah memberikan bantuan uang sebesar Rp. 150 per bulan untuk setiap murid. Kebijakan ini dituangkan dalam PMA (Peraturan Menteri Agama) Nomor 1 Tahun 1946. Ki Hajar Dewantara selaku Ketua Panitia Penyelidik Pengajaran dalam laporannya tertanggal 2 Juni 1946 menjelaskan bahwa pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah dipandang perlu dipertinggi dan dimodernisasi serta diberi bantuan biaya dan lain-lain. Arti dimodernisasi disini termasuk di dalamnya perbaikan kurikulum dan pengetahuan umum mulai diperkenalkan. Keputusan tersebut sesuai dengan yang diputuskan BPKNIP pada akhir tahun 1945 (Abdurrahman Saleh, 1984:19). Setelah Indonesia merdeka, kondisi pendidikan agama dan lembaga pendidikan agama tidak lebih baik dari masa sebelumnya (penjajahan Belanda dan Jepang). Indikator yang dapat dikemukakan di antaranya lulusan pesantren tidak dapat menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan. Pemerintah hanya memberikan akses kepada alumni sekolah umum untuk jabatan- jabatan administrasi modern (Amin Haedari, 2006:144).
28
Terkait dengan adanya diskriminasi kebijakan, Abuddin Nata menilai bahwa Pemerintah belum menunjukkan kesungguhannya untuk memberdayakan bangsa Indonesia melalui pendidikan. Konflik internal yang terjadi antara kaun islamis, nasionalis, dan komunis, serta konflik eksternal yang terjadi antara bangsa Indonesia dengan berbagai kekuatan politik yang ingin kembali menjajah Indonesia, menyebabkan Pemerintah seperti kehabisan energi untuk memikirkan masalah pendidikan (Abuddin Nata, 2006:3). Departemen Agama telah berperan dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan pesantren. Berdirinya Departemen Agama (3 Januari 1946) sekitar lima bulan setelah proklamasi kemerdekaan kecuali berakar dari sifat dasar dan karakteristik bangsa Indonesia juga sekaligus sebagai realisasi dan penjabaran ideologi Pancasila dan landasan konstitusi UUD 1945. Kebijakan terhadap pesantren menjadi tugas bagian C Departemen Agama yaitu mengurusi pendidikan dengan tugas pokok mengurusi masalah-masalah pendidikan agama di sekolah umum dab pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren). Walaupun pemerintah menyatakan perlu memberikan perhatian terhadap pesantren, pada praktiknya pesantren belum mendapat perlakuan yang wajar dari pemerintah sebagaimana seharusnya lembaga pendidikan mendapat perhatian dan perlakuan dari pemerintah. Masyarakat lebih banyak berjuang sendiri dalam penyelenggaraan pesantren dibandingkan peran pemerintah, terutama dalam penyediaan anggaran pendidikan untuk pesantren. Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa kebijakan pemerintah
belum
mampu
memberdayakan
pesantren
sehingga
pertumbuhan dan perkembangan pesantren termasuk lambat. Dari tahun
29
1945-1950 pesantren mendapat status quo dalam UUD 1945, mendapat pengakuan dalam maklumat BPKNIP, tetapi belum diakomodir dan terdiskriminasi dalam PMA No 1 Tahun 1946. Kebijakan Pemerintah terhadap pesantren 1945-1950 tidak diikuti komitmen dan political will yang baik dari Pemerintah untuk memajukan pesantren di Indonesia.
Kebijakan Pemerintah Terhadap Pesantren setelah UU Nomor 4 Tahun 1950 Dasar ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 jo UU Nomor 12 Tahun 1954
tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di
Sekolah adalah bahwa dalam NKRI perlu segera ditetapkan suatu undangundang tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Sambil menunggu undang-undang tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran yang lebih sempurna dapat digunakan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 karena dalam UndangUndang tersebut dinyatakan: ―Undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama dan pendidikan masyarakat (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950, Bab I, Pasal 2 ayat [1]).‖ Pemerintah menyatakan bahwa pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama dan pendidikan masyarakat masing-masing ditetapkan dalam undang-undang lain (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950, Bab I, Pasal 2 ayat [2]). Fakta di lapangan menunjukkan sampai muncul Undang-Undang Sisdiknas pada tahun 1989, Pemerintah tidak memenuhi janjinya untuk membuat undang-undang untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama sebagaimana dijanjikan dalam Bab I Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1950. Dengan demikian, pesanatren
30
sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang berkembang luas di masyarakat belum diakomodir dalam UU Nomor 4 Tahun 1950. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Nomor 12 Tahun 1954 yang tidak mengatur pendidikan dan pengajaran di sekolah agama dan pendidikan masyarakat belum menjalankan amanat UUD 1945. Sebagai konstitusi tertinggi, UUD 1945 Pasal 31 ayat [1] menyatakan: ―Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.‖ ―Pemerintah mengusahakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang (UUD 1945 Pasal 31 ayat [2].‖ Selanjutnya untuk bidang agama dinyatakan: ―Tiap-tiap warga negara berhak menjalankan ajaran agama sesuai dengan syariat dan kepercayaan masing-masing UUD 1945 Pasal 29 ayat [1].‖ Amanat konstitusi tersebut menunjukkan betapa aspek pendidikan dan agama termasuk aspek yang sangat penting dan dipentingkan oleh negara. Pendidikan berupaya menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang cerdas dan agama membentengi SDM tersebut dengan moral, mental, dan watak yang baik. Atas pertimbangan tersebut, sejatinya kebijakan pendidikan Indonesia mementingkan dan memasukkan pendidikan agama dan sekolah agama dalam kebijakan pendidikan termasuk kebijakan terhadap pondok pesantren. Tujuan pendidikan dan pengajaran menurut UU Nomor 4 Tahun 1950 jo No 12 Tahun 1954, Bab II Pasal 3, adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air (Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1950, Bab II Pasal 3). Tujuan tersebut memuat tujuan umum dari semua jenis sekolah dan harus menjadi pedoman semua pendidikan dan pengajaran (UU Nomor 4 Tahun 1950, Penjelasan Bab II Pasal [3]). Dengan demikian, semua jenis sekolah, pendidikan dan
31
pengajaran harus berorientasi pada upaya membentuk manusia Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam rumusan tujuan tersebut. Pemerintah membagi jenis pendidikan dan pengajaran menjadi: a. Pendidikan dan pengajaran taman kanak-kanak; b. Pendidikan dan pengajaran rendah; c. Pendidikan dan pengajaran menengah; dan d. Pendidikan dan pengajaran tinggi (UU Nomor 4 Tahun 1950, Bab V, Pasal 6 ayat [1]). Berdasarkan pemagian jenis-jenis pendidikan tersebut, pesantren tidak termasuk yang diatur dalam jenis-jenis pendidikan. Pemerintah
belum
memiliki
komitmen
dan
political
will
bagi
pengembangan lembaga pendidikan keagamaan (pesantren). Pesantren tidak diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1950 jo Nomor 12 Tahun 1954. Pesantren belum diperhitungkan sebagai bagian penting dalam sistem pendidikan nasional karena dalam UU Nomor 4 Tahun 1950 jo No 12 Tahun 1954 pesantren belum terintegrasi dengan sistem pendidikan nasional. Dalam UU Nomor 4 Tahun 1950 jo No 12 Tahun 1954 dicantumkan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar (UU Nomor 4 Tahun 1950 jo No 12 Tahun 1954, Bab VII, Pasal 10 ayat [2]). Pemerintah menggariskan kebijakan persyaratan untuk dapat diakui yaitu: harus terdaftar pada Kementerian Agama, memberikan pelajaran agama paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur dan telah memasukkan pelajaran umum disamping pelajaran agama (Depag RI, 1986:77). Dari segi substansi, isi atau materi yang terkandung dalam perundang-undangan yang terkandung dalam UU Nomor 4 Tahun 1950 jo No 12 Tahun 1954 tentang Dasar-Dasar Peniddikan dan Pengajaran di Sekolah tidak memuaskan umat Islam. Namun demikian, tokoh-tokoh
32
muslim tetap memperjuangkan langkah-langkah untuk memajukan pendidikan Islam melalui birokrasi atau lembaga legislatif. Konsekuensi pasca UU Nomor 4 Tahun 1950 jo No 12 Tahun 1954, pesantren dilaksanakan pada jalur terpisah dari pendidikan formal (sekolah), tetapi lebih bersifat pendidikan nonformal (pendidikan di masyarakat). UU Nomor 4 Tahun 1950 jo No 12 Tahun 1954 tentang DasarDasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah hanya berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah, tidak berlaku untuk pendidikan di pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam. Pesantren terasing dalam sistem pendidikan nasional. Hal tersebut membuktikan bahwa kebijakan pendidikan hanya berpihak pada kemauan penguasa dan tidak berpihak pada kebutuhan, harapan, dan kepentingan masyarakat mayoritas yang beragama Islam, di antaranya belum mengakomodir pesantren dalam kebijakan pendidikan nasional.
Kebijakan Pemerintah Terhadap Pesantren setelah UU Nomor 2 Tahun 1989 Pada tahun 1989, bangsa Indonesia mengalami babak baru dengan adanya undang-undang organik mengenai pendidikan, yaitu UndangUndang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada tanggal 27 Maret 1989 dan dicantumkan di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No.6. Pesantren dalam UU No.2 Tahun 1989 termasuk jenis pendidikan non-formal atau jalur luar sekolah. Pesantren ini didasarkan atas kebutuhan spiritual masyarakat untuk memperoleh dasar pendidikan agama Islam. Sasaran lembaga ini adalah para pelajar SD, SLTP/SLTA yang bermaksud menimba ilmu agama. Oleh karena itu diselenggarakan
33
pesantren dengan pengelolaan khusus yang merupakan konsumsi untuk masyarakat di luar sekolah. Konsekuensi UU No. 2 Tahun 1989 yang menempatkan pesantren pada jalur luar sekolah menjadikan output pesantren belum dihargai seperti output madrasah pada jalur sekolah atau seperti sekolah umum lainnya. Kelulusan dari pesantren berimplikasi pada penguatan kemampuan agama, tetapi tidak memiliki civil effect bagi alumninya untuk mengambil pekerjaan profesional sebagaimana halnya lulusan sekolah. Pesantren berkembang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan agama. Kebijakan undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional masih bersikap diskriminatif dalam membentuk kebijakan
pendidikan.
Undang-undang
No.2
Tahun
1989
mendiskriminasikan pesantren yang ada pada jalur nonformal sehingga tidak terakomodir dalam kebijakan tersebut. Maknanya, sampai tahun 1989, pesanten belum menjadi bagian politicall will Pemerintah. Kebijakan terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tidak lebih dari sekedar statemen simbolis-verbal yang hanya menggembirakan umat Islam, tetapi belum mampu memberdayakan. Ketika pemerintah memandang pesantren tidak menjadi prioritas pendidikan, pemerintah tidak membuat kebijakan yang mampu memberdayakan lembaga tersebut. PP 73 Tahun 1991 tentang PLS (Pendidikan Luar Sekolah) disyahkan tanggal 31 Desember 1991 oleh Presiden RI, Soeharto. PP tersebut terdiri dari 13 bab dengan 27 pasal. Dalam PP tersebut yang dimaksud
Pendidikan
luar
sekolah
adalah
pendidikan
yang
diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan maupun tidak (PP 73 Tahun 1991, Bab I, Pasal 1, ayat [1]).
34
Pendidikan luar sekolah menambah dan melengkapi pendidikan yang tidak dapat diselenggarakan oleh jalur pendidikan sekolah. Pendidikan luar sekolah memiliki keleluasaan jauh lebih besar daripada pendidikan sekolah untuk secara cepat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah, apalagi sebagai perwujudan ikhtiar pembangunan nasional. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung semakin cepat menimbulkan kebutuhan yang beraneka ragam, semakin luas dan semakin banyak untuk memperoleh informasi, pengetahuan, dan keterampilan. Pendidikan luar sekolah bertujuan: (1) Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya; (2) Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan/atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi; dan (3) Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah (PP 73 Tahun 1991, Bab II Pasal 2, ayat [1, 2, dan 3]). Jenis pendidikan luar sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan pendidikan kejuruan (PP 73 Tahun 1991, Bab II Pasal 2, ayat [1, 2, dan 3]). Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan warga belajar untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan (PP 73 Tahun 1991, Bab II Pasal 2, ayat [3]). Berdasarkan PP tersebut, pesantren termasuk jenis pendidikan keagamaan. Posisi pesantren yang berada pada jalur PLS tersebut membuat pesantren diperlakukan oleh pemerintah sebagaimana lembaga pendidikan
35
lainnya yang didirikan oleh masyarakat bertumpu pada kekuatan masyarakat dari segi kelembagaan, ketenagaan, kurikulum, sarana prasarana, dan keuangan. Pemerintah belum membuat kebijakan yang holistik dan komprehensif terhadap pesantren, dan mendiskriminasikan lembaga pendidikan pesantren. Kebijakan terhadap pesantren pada UU No.2 Tahun 1989 dan PP No.73 Tahun 1991 tentang PLS menunjukkan bahwa pesantren belum dijadikan prioritas pendidikan oleh pemerintah sehingga tidak diakomodir dalam UU Nomor 2 Tahun 1989.
Kebijakan Pemerintah Terhadap Pesantren pasca UU Nomor 20 Tahun 2003 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003 oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri. Undang-undang tersebut masuk lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2003 nomor 78. Menteri pendidikan nasional waktu itu yaitu A. Malik Fadjar. UU tersebut memuat 22 bab, 77 pasal. Pada Bab III Pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa: ―pendidikan nasional diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.‖ Prinsip tersebut secara politik memberi ruang gerak yang sama bagi lembaga penyelenggara pendidikan di Indonesia termasuk pesantren. Pesantren
diakomodir
sebagai
salah
satu
jenis
pendidikan
keagamaan di Indonesia (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem
Pendidikan
Nasional).
Pemerintah
memasukkan
pendidikan keagamaan dalam pasal tersendiri dalam Undang Sisdiknas.
36
Ditinjau dari pelaksanaannya, pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU Nomor 20 Tahun 2003: Bab VI, Pasal 30 ayat (1)). Implementasi UU tersebut diatur dalam PP 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan keagamaan. Kebijakan tersebut memberikan konsekwensi logis bahwa pemerintah perlu mendanai pembiayaan pesantren. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilainilai ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama (UU No 20 Tahun 2003, Bab VI, Pasal 30 ayat [2]). Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal (UU No 20 Tahun 2003, Bab VI, Pasal 30 ayat [3]). Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis (UU No 20 Tahun 2003, Bab VI, Pasal 30 ayat [4]). Dapat dinyatakan bahwa menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 pesantren masuk bagian sistem pendidikan nasional. Pendidikan pesantren termasuk jenis pendidikan keagamaan. Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang sedemikian rupa menyiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan perannya sebagai warga negara dengan dasar pengetahuan khusus ajaran agama yang bersangkutan (UU Nomor 20 Tahun 2003: Pasal 11 ayat [6]). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan pasal 14 menyatakan bahwa pendidikan keagamaan Islam dapat berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren. Ayat (3) peraturan pemerintah tersebut menyatakan bahwa pesantren dapat menyelenggarakan satu atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan
37
pada jalur formal, nonformal, dan informal. Artinya, pendidikan pesantren dapat mengintegrasikan program pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pasal 13 ayat (4) menjelaskan tentang syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yakni terdiri atas: isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran, sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan sekurang-kurangnya untuk satu tahun pendidikan/akademik berikutnya, sistem evaluasi dan manajemen dan proses pendidikan. Program pada jalur formal, pendidikan keagamaan mencakup pendidikan diniyah dan pendidikan pesantren. Pasal 15 peraturan pemerintah di atas menyatakan bahwa pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi serta pendidikan diniyah nonformal. Pada pasal 21 ditetapkan bahwa pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, majlis taklim, pendidikan al-Quran, diniyah takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis. Berarti pendidikan pesantren dapat menyelenggarakan program program pendidikan jalur formal, wajib belajar 9 tahun, dan menengah seperti pada madrasah dan sekolah. Pendidikan pesantren dapat pula menyelenggarakan program pendidikan keagamaan dengan jenis pendidikan diniyah formal dan jenis pendidikan diniyah nonformal. Rumusan tujuan pendidikan bidang keagamaan yang menyangkut iman, takwa, dan akhlak mulia dapat melahirkan multi interpretasi di kalangan ahli dan praktisi pendidikan sehingga implementasinya pun melahirkan keragaman dan menyulitkan. Pemerintah belum merumuskan
38
dengan jelas indikator iman, takwa, dan akhlak mulia tersebut. Rumusan tujuan
tersebut
bersifat
kualitatif
sehingga
sulit
mengukur
ketercapaiannya. Sebagai salah satu jenis pendidikan keagamaan, pesantren mendidik para santi memiliki iman, takwa, dan akhlak mulia. Menurut data Kementerian Agama pusat, pada tahun 2007 terdapat sekitar dua ribu lebih pesantren yang ada di seluruh Indonesia. Jumlah terbanyak berada di Jawa Timur. Dari dua ribu pesantren tersebut, 80% merupakan pesantren salafiyah ‗tradisional‘. Hal tersebut menjadi sangat menarik dan unik karena sifat tradisional tersebut masih bertahan sampai sekarang terutama di daerah pinggiran kota. Keuntungan pesantren masuk sistem pendidikan nasional yaitu adanya legalitas formal lembaga tersebut dalam payung hukum yang jelas, sehingga memungkinkan pesantren mendapatkan pengaturan yang baik dalam aspek keuangan, tenaga, sarana dan fasilitas pendidikan, serta aspek ketenagaan. Pesantren termasuk jenis pendidikan keagamaan. ―Pendidikan keagamaan
diselenggarakan
oleh
Pemerintah
dan/atau
kelompok
masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundangundangan (UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 30 ayat [1]). Sebagai konsekwensi logis, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama dituntut membuat kebijakan teknis dan operasional bagi penyelenggara lembaga tersebut. UU Nomor 20 Tahun 2003 sudah cukup terbuka, demokratis, dan menyediakan peluang yang cukup bagi pendidikan Islam dan subsistem pendidikan lain untuk berkiprah mengembangkan jati diri sehingga mampu ikut serta membangun pendidikan nasional secara berarti atau signifikan termasuk membesarkan lembaganya. Terdapat dua agenda penting pemerintah berkenaan dengan bidang pendidikan, yaitu peningkatan mutu pendidikan nasional dan pemerataan
39
kesempatan memperoleh pendidikan bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Dalam rangka mewujudkan agenda tersebut, pemerintah melalui beberapa kebijakannya berupaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas, di antaranya adalah kebijakan pendanaan untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Dalam pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 dinyatakan bahwa: ―Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.‖ Guna memenuhi tuntutan di atas, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat Indonesia mengerahkan segenap sumberdaya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 47 ayat 2) termasuk sumber dana. Pengelolaan dana pendidikan hendaknya berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Hal tersebut didasarkan pada pasal 48 ayat (1) UUD RI 1945. Ketentuan undang-undang tersebut ditegaskan dalam peraturan pemerintah nomor 48 Tahun 2008 bahwa sumber dana pendidikan itu berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan bantuan pihak asing yang tidak mengikat. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengatur beberapa pasal yang menjelaskan pendanaan pendidikan yaitu Pemerintah
pada Pasal 11 Ayat 2, bahwa: ―Pemerintah dan
Daerah
wajib
menjamin
tersedianya
dana
guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun‖. Pemerintah memberikan perhatian penting untuk membiayai lembaga-lembaga pendidikan formal.
40
Lembaga
pendidikan
pesantren
memerlukan
pembiayaan
pendidikan. Finance atau pembiayaan merupakan salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, termasuk pesantren. Pengelolaan pembiayaan berkontribusi terhadap pengembangan mutu lembaga. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 yang direvisi dengan Peraturan Pemerintah No 32 tahun 2013 tentang
Standar
Nasional
Pendidikan
yang
menjelaskan
bahwa
pembiayaan pendidikan merupakan salah satu standar nasional pendidikan yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan. Standar pembiayaan adalah kriteria mengenai komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Dalam Peratuan Pemerintah No 48 tahun 2008 pasal 2 tentang Pendanaan Pendidikan dinyatakan bahwa: ―(1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (2) Masyarakat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat; b. Peserta didik, orang tua, atau wali peserta didik dan, (3) Pihak lain selain yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.‖ Dalam
praktiknya,
pengelolaan
dana
pendidikan
termasuk
penggalangan dana yang dilakukan oleh kebanyakan lembaga pesantren masih dodominasi oleh sumbangan orang tua/wali santri, belum banyak mobilisasi atas sumber lain diluar sumber dari orang tua/wali santri. Dalam PP Nomor 48 Tahun 2008, dijelaskan bahwa pendanaan pendidikan terkait dengan penyediaan sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan. Biaya pendidikan meliputi: biaya satuan pendidikan; biaya penyelenggaraan
41
dan/atau pengelolaan pendidikan; dan biaya pribadi peserta didik. Berdasarkan uraian tersebut pendanaan pendidikan termasuk pesantren menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Biaya pendidikan yang merupakan tanggung jawab Pemerintah dialokasikan dalam anggaran Pemerintah dan yang merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dialokasikan dalam anggaran pemerintah daerah sesuai dengan sistem penganggaran dalam peraturan perundang-undangan. Pendanaan pendidikan yang dialokasikan dari APBD merupakan kebijakan Pemerintah Daerah, karena arah dan besaran anggaran pendidikan ditetapkan melalui Keputusan Dinas Pendidikan, Peraturan Walikota/Bupati daerah setempat dan Peraturan Daerah. Besaran pendanaan pendidikan merupakan proyeksi kebutuhan anggaran program pendidikan yang dijabarkan dalam Renstra dan Rencana Kerja yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Dinas Pendidikan. Besaran anggaran pendidikan merupakan bagian yang menjadi belanja APBD yang ditetapkan melalui Kebijakan umum APBD, Prioritas Plafon dan Anggaran
(PPAS)
dan
Perda
APBD
yang
ditetepakan
setelah
mendapatkan persetujuan DPRD Kota/Kabupaten yang bersangkutan. Secara umum dapat dinyatakan bahwa substansi kebijakan Pemerintah dalam bidang pendidikan masih menempatkan sistem sekolah sebagai mainstream ‗arus utama‘ sistem pendidikan nasional, sementara pesantren menjadi bagian komplementer. Dapat dinyatakan bahwa pesantren diakomodir dalam Pasal 30 UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 sehingga menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Dampak yang terjadi di masyarakat lembaga pesantren semakin berkembang dalam jumlah tetapi mutunya rendah sehubungan belum mendapat dukungan pemerintah melalui formulasi dan implementasi kebijakan pendidikan
42
yang memberdayakan pesantren. Adanya PP 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan belum menjadikan pesantren sebagai lembaga yang bermutu karena belum diikuti oleh komitmen dan political will yang baik dari Pemerintah untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang unggul. 4. Implementasi Pembiayaan pesantren Manajemen pembiayaan memiliki tiga tahapan penting yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap penilaian atau evaluasi. Ketiga tahap tersebut apabila diterapkan dalam manajemen keuangan mencakup tahap
perencanaan
keuangan
(Budgeting),
tahap
pelaksanaan
(Accounting), dan tahap penilaian (auditing) (Thomas. H. Jones, 1985:22). Perencanaan pembiayaan atau penganggaran merupakan proses kegiatan atau proses penyusunan anggaran (Budget). Budget ini merupakan rencana operasional yang dinyatakan secara kuantitatif dalam bentuk
satuan
uang
yang
digunakan
sebagai
pedoman
dalam
melaksanakan kegiatan lembaga dalam kurun waktu tertentu (Nanang Fatah, 2012:47). Pelaksanaan
pembiayaan
atau
akuntansi
merupakan
proses
pencatatan, pengelompokkan, dan pengikhtisaran kejadian-kejadian ekonomi dalam bentuk yang teratur dan logis dengan tujuan menyajikan informasi keuangan yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan (Arens & Loebbecke, 1996:3). Evaluasi pembiayaan atau auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian
43
informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten (Arens & Loebbecke, 1996:1).
5. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembiayaan Pesantren Terdapat sejumlah faktor yang menjadi pendukung pembiayaan pesantren, di antarnya: Kebijakan pembiayaan, kepemimpinan kiyai, dukungan manajemen, ketersediaan anggaran, dukungan Sumber Daya Manusia yang professional, dan adanya sumber-sumber pembiayaan yang memadai. Namun demikian, disaat yang sama faktor pendukung tersebut dapat menjadi penghambat apabila tidak berfungsi sebagaimana mestinya dalam pembiayaan pesantren karena kehilangan salah satu sumber daya berikut ini: man ‘ sumber daya manusia‘, money ‗sumber daya keuangan‘ dan material. 6. Agribisnis Menurut Wendi, dkk (2012) sistem agribisnis merupakan subsistem di dalam sistem yang lebih besar sehingga subsistem sesungguhnya masih dapat dirincikan. Berdasarkan pemahaman sistem, kajian agribisnis tentulah dapat dilakukan lebih terstruktur dan sistematis. Kajian dapat dilakukan dengan menjelaskan atau menerangkan apa yang menjadi pembentuk subsistem agribisnis. Sistem agribisnis meliputi kegiatan di subsistem masukan (input), subsistem produksi (farm) dan subsistem pengeluaran (output). Subsistem tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
44
a. Subsistem Agroinput Sub ini berada dalam tingkat penyediaan sarana produksi menyangkut kegiataan pengadaan dan penyaluran. Kegiatan ini mencakup perencanaan, pengelolaan dan sarana produksi, teknologi dan sumber daya agar penyediaan sarana produksi atau input usaha tani memenuhi kriteria tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu, tepat jenis dan tepat harga. Sarana produksi tersebut meliputi pupuk, benih, pestisida, alat dan mesin pertanian. b. Subsistem Usahatani Subsistem usahatani ini adalah organisasi dari alam (lahan), tenaga kerja, dan modal yang ditunjukan kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi ini mencakup kegiatan pembinaan dan pengembangan usaha tani dalam rangka meningkatkan produksi primer pertanian. Usaha tani mencakup semua bentuk organisasi produksi mulai dari yang berskala kecil sampai yang berskala besar (perkebunan, peternakan), termasuk budidaya pertanian yang menggunakan lahan secara intensif seperti akuakultur, pflorikultur, hidroponik, dll. (Firdaus, 2008; Downey, 2007; Drillon, 2007). c. Subsistem Agroindustri/Pengolahan Hasil Kegiatan ini tidak hanya aktivitas pengolahan sederhana di tingkat petani. tetapi menyangkut keseluruhan kegiatan mulai dari penanganan pasca panen produk pertanian sampai pada tingkat pengolahan lanjutan dengan maksud untuk menambah value added (nilai tambah) dari produksi primer tersebut. Dengan demikian proses pengupasan, pembersihan, pengekstraksian, pembekuan, pengeringan, dan peningkatan mutu (Budiono, 2011; Ericson, 2008).
45
d. Subsistem Pemasaran Subsistem pemasaran mencakup hasil usahatani dan agroindustri baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Kegiatan utama ini adalah pemantauan dan pengembangan informasi pasar dan market intellegence pada pasaran domestik dan pasar luar negeri. Pelaku kegiatan ini antara lain perusahaan swasta, koperasi, lembaga pemerintah, bank, atau perorangan (Muhammad Jafar, 2006). e. Subsistem Penunjang Subsistem ini merupakan penunjang kegiatan pra panen dan pasca panen yang meliputi sarana tataniaga, perbankan, penyuluhan agribisnis, infrastruktur agribisnis, koperasi agribisnis, BUMN dan swasta dan lainlain. B. Kerangka Berfikir Tidak banyak lembaga pendidikan keagamaan yang dalam kurikulumnya memberikan pengajaran tentang agroindustry (bercocok tanam). Salah satu dari sedikit pesantren yang memberikan pengajaran para santrinya untuk bercocok tanam itu ialah Pondok Pesantren Al-Ittifak Rancabali, Ciwidey. Pondok pesantren tersebut mampu membuktikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang turut pula memajukan santrinya dalam dunia pertanian. Beberapa pesantren memanaje pembiayaan dengan baik sehingga pesantren tersebut tetap eksis sampai sekarang. Manajemen pembiayaan tersebut dilaksanakan melalui sejumlah fungsi manajemen yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Perencanaan pembiayaan Pesantren diarahkan bagi penyiapan sejumlah program dan kegiatan. Perencanaan menyangkut kegiatan seperti: perencanaan untuk biaya
46
ta‟aruf (penerimaan siswa baru), biaya test masuk, biaya kesantrian, biaya proses pembelajaran, biaya kegiatan ekstra kurikuler, biaya buku pelajaran, dan kitab-kitab untuk santri (siswa) dan guru, ATK; biaya insentif guru, insentif guru piket, biaya pelatihan dan pembinaan guru. Menyangkut aspek sarana prasarana dana dialokasikan untuk biaya pemeliharaan sarana prasarana (seperti gedung, alat dan perabot, biaya renovasi, biaya pembangunan, listrik, telepon dan speedy [internet], dan kebersihan). Aspek pengelolaan meliputi pengelolaan infaq, biaya pelaporan bantuan, fotocopy, pengelolaan peserta didik,
dan biaya
kesehatan. Biaya pengadaan sarana prasarana, koran, konsumsi, tarnsportasi dan lain-lain. Pembiayaan untuk penilaian meliputi biaya UAS, UTS, UKK, biaya ujian akhir, biaya raport, biaya gaji guru, biaya pakaian siswa, biaya asrama, biaya pembangunan gedung baru, penambahan kelas, dan sarana prasarana lainnya. Pihak yang terlibat dalam penyusunan anggaran adalah komite pesantren, mudir „am (pengasuh/pimpinan pesantren), mudir madrasah (kepala sekolah) di setiap madrasah, bendahara, dan tata usaha. Langkah langkah penyusunan anggaran yaitu: a. Me-review anggaran tahun lalu terlebih dahulu berdasarkan laporan tahun lalu; b. Melakukan analisis kebutuhan dan kegiatan apa saja yang akan dilakukakan dalam kurun waktu satu tahun kedepan; c. Pengalokasian setiap kebutuhan atau kegiatan prioritas; d. Pembuatan proposal rencana anggaran pendapatan dan belanja pesantren (RAPBP) yang nanti akan diajukan oleh mudir „am (pimpinan pesantren) sebagai pimpinan atau pengasuh pesantren; e. Tahapan penyusunan RAPBP yaitu pertama berasal dari Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah setiap madrasah, kemudian disatukan dan dirancang menjadi Rencana Anggaran
47
Pendapatan Belanja Pesantren (RAPBP); f. Terakhir dirundingkan atau dimusyawarahkan dalam sebuah rapat yang diikuti oleh komite pesantren, mudir „am (Pimpinan Pesantren), mudir madrasah (Kepala Madrasah) setiap madrasah, bendahara, dan tata usaha. Penyusunan rencana anggaran pendapatan belanja pesantren (RAPBP) berisi rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam setahun kedepan, berisi rencana dana yang akan dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut dan menentukan sumber pembiayaannya. Subsidi silang dilakukan pesantren untuk dari dana yang lainnya seperti menggunakan dana pendaftaran santri untuk biaya rotibah (gaji) guru, biaya operasional, sarana prasarana, pembangunan, dan kesiswaan. Dapat dinyatakan bahwa dana pesantren dapat berasal dari donatur baik yang tetap maupun tidak tetap dana SPP santri, pendaftaran, dan dari munfiqin (infaq). Pelaksanaan pembiayaan di Pesantren dibantu dengan adanya catatan-catatan pembiayaan seperti buku jurnal, buku kas umum, buku kas tunai dan buku kas bank sebagai alat bantu pembukuan atau pencatatan penerimaan dan pengeluaran dana didukung dengan adanya BKU (Buku Kas Umum) yang didalamnya berisi data tentang keuangan, gaji pegawai (guru) dan biaya operasional; BKB (Buku Kas Bank) yaitu didalamnya berisi tentang data uang yang diambil dari bank; dan Buku Kas Tunai yaitu didalamnya berisi tentang data uang yang dibayarkan secara langsung dari bendahara. Bagian tata usaha berpengaruh dalam pelaksanaan pembiayaan. Bendahara hanya menerima laporan dan menerima masukan dana dari bagian tata usaha yang bersumber dari santri dan donatur, sedangkan untuk penerimaan dana yang bersumber dari pemerintah bendahara pesantren yang berwenang mengelolanya dibantu dengan staf bendahara di
48
setiap jenjangnya karena proses penerimaan dana dari pemerintah sangat rumit. Tahapan pembukuan di pesantren sebagai berikut: a. Semua pemasukan dana diterima oleh bagian tata usaha dan dicatat dalam buku harian jurnal; b. Bagian tata usaha memberikan laporan, laporan tersebut ada yang sifatnya harian dan bulanan kepada bendahara; c. Bendahara menerima laporan bulanan dan masukan dana dari bagian tata usaha kemudian dicatat kedalam buku kas umum dan tunai, adapun dalam hal penerimaan dana dari pemerintah dicatat dalam buku kas bank; d. dan Selanjutnya seluruh pencatatan penerimaan dan pengeluaran dicatat kembali dalam buku besar. Untuk pencairan dana kegiatan di pesantren, panitia kegiatan membuat proposal kegiatan kemudian proposal tersebut diajukan kepada pimpinan pesantren. Apabila diterima oleh pimpinan pesantren, maka bendahara dapat mengeluarkan dana tersebut yang diberikan kepada bendahara panitia. Untuk pengeluaran dana yang tidak terlalu besar dapat diberikan langsung namun tentunya harus memberikan tanda telah membelanjakan dana tersebut dan diberikan kepada bendahara. Adapun tahap pelaporan kepada pimpinan pesantren dimulai dari laporan bagian tata usaha pesantren baik laporan harian, bulanan, maupun tahunan. Namun yang dilaporkan kepada bendahara hanya laporan bulanan
saja.
Kemudian
bendahara
membuat
laporan
keuangan
keseluruhan dari bagian tata usaha dan dari pemerintah, setelah itu laporan keuangan tersebut diberikan kepada pimpinan pesantren. Di pesantren tidak ada badan pengawas keuangan namun pimpinan pesantren lebih memercayakan kepada pihak pengelola keuangan untuk bersikap jujur.
49
Pesantren membuat laporan pertanggungjawaban pembiayaan pesantren selama satu tahun. Pihak yang melakukan evaluasi ialah komite pesantren, pimpinan pesantren, kepala sekolah setiap jenjang, serta tata usaha dan bendahara pesantren. Kemudian pimpinan pesantren memeriksa apakah anggaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan atau tidak. Bendahara
mengeluarkan
anggaran
atas
persetujuan
dari
kepala
sekolah/madrasah yang ada di lingkungan pesantren masing-masing dan pimpinan pesantren. Evaluasi yang dilakukan di Pesantren yaitu dengan membuat laporan pertanggung jawaban setiap satu tahun sekali. Seperti halnya yang dijelaskan olah Thomas H. Jones yaitu audit (evaluasi) yang dilakukan di dalam kantor atau di atas meja dengan melihat laporan-laporan yang masuk dan evaluasi yang dilakukan oleh pimpinan
pesantren
dengan
mendatangi
objek
lapangan
untuk
memverifikasi data dan laporan yang masuk dan dibuktikan di lapangan. Tahap evaluasi dilakukan oleh pimpinan pesantren dan kepala madrasah setiap jenjang kelembagaan. Evaluasi ini dilakukan dengan melihat apakah target yang telah ditetapkan telah tercapai atau tidak dengan mengecek data yang ada dalam buku pembiayaan megenai penerimaan dan pengeluaran dana juga pelaporan yang sudah dibuat oleh bendahara. Pimpinan Pesantren sebagai evaluator hanya sebagai kordinator saja dalam mengecek penerimaan dan pengeluaran dana dan menanyakan permasalahan pembiayaan yang dihadapi kepada bendahara. Pengevaluasian dilakukan untuk melihat apakah penerimaan dan pengeluaran dana seimbang atau tidak. Evaluasi dilakukan oleh pimpinan pesantren dan kepala madrasah setiap jenjang. Pesantren membuat anggaran biaya tidak terduga untuk biaya yang sifatnya insidental seperti biaya untuk yang sakit dan biaya bencana alam sebesar 10% dari dana
50
yang ada. Pendapatan atau pemasukan diperoleh dari orang tua santri, doantur (masyarakat), dan pemerintah. Ketika memiliki sumber dana tambahan dari agribisnis, pesantren dapat melakukan subsidi silang anggaran sehingga biaya lembaga dapat tertutupi.
Adapun antara
perencanaan dan pelaksanaan pembiayaan yang cenderung berbeda, terjadi karena adanya penambahan pembiayaan yang tidak terduga dan juga pemasukan yang didapat tidak sesuai dengan yang seharusnya seperti dana SPP semua orang tua tidak semuanya dan tidak sepenuhnya membayar, juga pembiayaan asrama yang juga tidak semua membayar sehingga berpengaruh terhadap pembiayaan pesantren. Langkah-langkah pembuatan laporan pertanggung jawaban yaitu: 1. Bidang tata usaha pesantren membuat laporan keuangan/pembiayaan mengenai SPP, dana sumbangan dari donatur, dana pembiayaan asrama, dan lainnya yang tidak berkaitan dengan dana yang bersumber dari pemerintah untuk dilaporkan kepada bendahara; 2. Bendahara membuat laporan berdasarkan laporan yang diberikan oleh bidang tata usaha dan membuat laporan keseluruhan pembiayaan yang diterima dan dikeluarkan maupun yang disimpan. Adapun untuk laporan pembiayaan yang sumbernya berasal dari pemerintah untuk biaya BOS dari pemerintah pusat dilaporkan setiap tiga bulan sekali dan BOS dari propinsi dan kabupaten setiap enam bulan sekali; 3. Bendahara pesantren menerima laporan pembiayaan dari setiap jenjang karena dalam pelaksanaan pembiayaan seperti halnya pembukuan setiap jenjang dipisah bukukan maka laporannyapun per jenjang; 4. Penyusunan laporan keseluruhan dan dibuatkan laporan pertanggungjawaban untuk dirapatkan di rapat evaluasi bersama pimpinan pesantren, kepala sekolah setiap jenjang, komite
51
pesantren, bendahara, dan bagian tata usaha; dan 5. Penganggaran untuk tahun depan juga dilaksanakan setelah evaluasi dilakukan.
KERANGKA PEMIKIRAN MANAJEMEN PEMBIAYAAN PESANTREN BERBASIS AGRIBISNIS
(Studi Kasus di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kab. Bandung) PROSES
INPUT
Kebijakan Manajemen Pembiayaan PP 19 Tahun 2005 tentang SNP (Pasal 1 ayat 4 s.d.12, Pasal 52 ayat 1 hurup I, Pasal 62 ayat 1) Permendiknas no 69 tahun 2009 tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia PP No 48 Tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan PP No. 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
GAP 1.
2.
Teori Manajemen Pembiayaan Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan.2012 Nanang Fattah. Standar Pembiayaan pendidikan. 2012 Nanang Fattah. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. 2012 Mulyasa E. Manajemen Berbasis Sekolah. 2014 Dadang Suhardan. et.al. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. 2012 Jones, Thomas H. (1985). Introduction To School Finance. New York: Macmillan Publi Teori-teori Agribisnis
shing Company.
3. 4.
Pembiayaan pesantren hanya mendapat dana dari orang tua dan bantuan pemerintah (Kementerian Agama) dan donatur tidak tetap. Pengelolaan biaya sentralistik dan belum efisien. Dana dari santri terbatas. Tidak adanya ketersediaan dana yang memadai untuk pendidikan dalam jangka panjang
1. Penggalian sumbersumber Pembiayaan pesantren 2. Implementasi Pembiayaan pesantren (Perencanaan Pembiayaan/Budgeti n),Pelaksanaan Pembi- ayaan (Accounting), dan Evaluasi Pembiayaan (Auditing) 3. Faktor Penunjang dan Penghambat Pembiayaan pesantren
OUTPUT
Terbentuk -nya konstruk manajeme n pembiayaan pendidika n pesantren berbasis agribisnis
OUTCOME Pesantren dapat mandiri dengan menerapkan pembiayaan berbasis agribisnis
52
C. Penelitian Terdahulu Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengkaji pembiayaan pendidikan. 1. Disraeli M. Hutton (2014), ―Cost Sharing and The Financing of Public Education: Applyng A Comprehensive Model, dalam jurnal ISEA, vol. 43, Number 3, hlm. 3-18, mengemukakan kebijakan pendidikan rezim Manley tahun 1970-an menyoroti pendidikan gratis sebagai salah satu strategi untuk mengurangai biaya pendidikan yang tinggi untuk siswa Jamaika di tingkat Tersier dan Sekunder dari sistem pendidikan. Kebijakan tersebut telah membuat akses bagi pendidikan sekunder dan tersier. Dalam hal ini pembagian biaya merupakan bentuk upaya pemerintah meningkatkan biaya pendidikan, yang dapat mengurangi biaya yang ditanggung oleh orang tua dan peserta didik. Sebelum adanya kebijakan pendidikan gratis dari rezim Manley, pembagian biaya termasuk pembayaran sebagian biaya sekolah ditanggung orang tua siswa. Akses pendidikan menengah terbatas pada beberapa sekolah menengah atas, sampai adanya pengenalan sekolah menengah pertama yang memungkinkan lebih banyak siswa mengakses pendidikan di luar sekolah dasar dan semua usia (hlm.3). Sumber pendanaan menjadi tanggung jawab Pemerintah, lembaga multilateral & bilateral, orang tua dan wali, masyarakat, dan alumni, pinjaman swasta, bisnis dan lainnya. Pembagian biaya (cost sharing merupakan ciri pendidikan jamaika, meskipun adanya pengenalan sekolah gratis oleh Pemerintah pada tahun 2007, pada kenyataannya, pembagian biaya adalah ciri dari pembiayaan pendidikan publik (hlm.8). Pembahasan pembagian biaya (cost sharing) seharusnya mempertimbangkan tiga bidang berikut: a. Proporsi anggaran negara yang dialokasikan untuk sektor pendidikan
53
dibandingkan proporsi yang dialokasikan untuk sektor lain; b. Proporsi anggaran operasional sekolahg yang disediakan oleh Departemen Pendidikan (Ministry of Education) dibandingkan proporsi yang diperoleh dari kegiatan pendapatan sekolah, c. Proporsi biaya lokal pendidikan yang ditanggung oleh sekolah (ongkos bus, makan siang, perjalanan, buku, dan lain-lain) versus proporsi yang ditanggung pemerintah.
Pada
halaman
7-8
dinyatakan
bahwa
Jamaika
memperkenalkan program pembagian biaya (cost sharing) pada tahun 2994-1995 yaitu orang tua diminta membayar biaya pendidikan sebagai bagian dari biaya. 90 persen dari total anggaran dihabiskan untuk gaji dan administrasi. 2. T.H. Kanaan, (2011), ―Political Economy of Cost Sharing in Higher Education: The case of Jordan‖, dalam jurnal Prospect, vol.41, hlm. 2345, DOI 10.1007/s 11125-011-9179-5, diterbitkan oleh UNESCO IBE, jurnal tersebut menganalisis pola pengeluaran pendidikan tinggi di Jordania, menjelaskan kecukupan, efisiensi, dan keadilan sistem, serta mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, kendala, serta tantangan masa depan. Di antara kendala adalah pengeluaran publik yang relatif rendah pada pendidikan tinggi dengan membiarkan keluarga memberikan kompensasi melalui pengeluaran pribadi. Meskipun belanja pendidikan universitas lebih banyak, kenaikan jumlah siswa memerlukan peningkatan kualitas. Sementara itu, menurunnnya subsidi menekankan perguruan
tinggi
negeri
untuk
meninjau
kembali
mekanisme
pembiayaan mereka agar lebih efisien. ―Pembiayaan pendidikan tinggi menjadi semakin sulit dengan kondisi ekonomi saat ini. Sumber daya pemerintah yang semakin langka disertai meningkatnya permintaan pendidikan tinggi serta adanya klaim terhadap sumberdaya ini. Dalam
54
beberapa tahun terakhir, pemerintah harus mengurangi subsidi untuk perguruan tinggi negeri secara bertahap (hlm.40).‖ ―Pada tahun 2004, pemerintah membentuk Dana Bantuan Mahasiswa sebagai komponen kunci dalam proses restrukturisasi pembiayaan universitas. Tujuan dana tersebut adalah untuk mendukung dan mendanai siswa melalui pinjaman
dan
hibah.
Awalnya
Pemerintah
berjanji
untuk
mengalokasikan 10% dari total subsidi pemerintah selama sepuluh tahun yang berakhir pada 2014, di mana subsidi pemerintah untuk universitas akan dinaikkan (hlm.41).‖ ―Pendekatan baru untuk pendanaan dilakukan dengan melibatkan kemitraan antara banyak elemen masyarakat Yordania. Pertama, dengan mempraktikkan pembagian biaya (cost sharing) pihak negeri dan swasta, untuk memberikan beberapa konteks (hlm. 41-44).‖ ―Penerapan pembagian biaya –pergeseran biaya pendidikan tinggi dari negara ke siswa dan keluarga- kini menjadi fenomena global. Mengingat berkurangnya dana publik dan naiknya pendaftaranke pendidikan tinggi, lembaga bantuan internasional seperti Bank Dunia sangat mendukung pembagian biaya sebagai salah satu cara bagi negara untuk memperkuat sector pendidikan tinggi dan memacu pertumbuhan ekonomi. Praktik ini bertumpu pada logika ekonomi: investasi pada pendidikan tinggi menghasilkan keuntungan swasta yang signifikan, sehingga orangorang yang mendapatkan manfaat dari penddidikan tinggi harus membayar untuk itu (hlm.41-44).‖ 3. Yuanyuan LI (2014), ―Financing, Management, and Public Relation at The University of Houston and Its Implication For China‖ dalam Jurnal Chinese Education and Society (hlm. 56-70), menjelaskan bahwa pendanaan, manajemen modal, dan hubungan masyarakat pada
55
Universitas
Houston
dan
implikasinya
bagi
universitas
Cina.
Pendanaan merupakan salah satu masalah utama yang memengaruhi pendidikan tinggi. Amerika Serikat adalah negara yang paling maju di dunia dalam hal pendidikan tinggi dan salah satu upaya dalam menjaga posisi terdepan dalam pendidikan tinggi adalah dana pemerintah dan dana universitas. Melalui metode studi kasus (lapangan), penelitian tersebut bertujuan mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit sosial baik individu, kelompok, lembaga, atau masyarakat. Objek penelitian ini adalah di Amerika tempat peneliti mengumpulkan dana melalui berbagai salauran dan dapat mengelolanya secara efektif, tidak hanya untuk operasional dan pengembangan universitas tetapi juga dalam penyediaan keamanan finansial yang kuat. Dalam proses ini mereka bekerja sama dan terus menerus memperkuat hubungan dengan masyarakat (hlm. 56). Temuan penelitian tersebut dapat dikemukakan bahwa dengan mendirikan agen hubungan masyarakat yang efisien dan menciptakan hubungan yang luas dengan alumni, pemerintah, dan masyarakat dalam proses pendanaan universitas, perguruan tingggi Amerika mampu menarik sejumlah besar dana (seperti sumbangan, hibah, dan pendapatan kontrak). Pembiayaan dan manajemen, serta pengalaman dan penanganan humas pada universitas Amerika menawarkan referensi penting bagi pengembanga pendidikan tinggi di Cina (hlm. 57). Artikel ini menggunakan Universitas Houston sebagai studi kasus dalam belajar pendanaan, manajemen modal, dan hubungan masyarakat dari Universitas Amerika dalam rangka mendapatkan wawasan yang berguna bagi pengembangan pendidikan tinggi di Cina. ―Universitas Houston memiliki anggaran modal mengambang US$ 633
56
milyar pada tahun fiscal 2007. Saluran pembiayaan termasuk biaya kuliah, alokasi pemerintah negara bagian, pembayaran kontrak, hibah, sumbangan, penjualan dan pendapatan jasa, bantuan dana pendidikan tinggi (Higher Education Assistance Fund). Pendapatan penjualan dan pelayanan mengacu pada pendapatan dari jalur lain seperti kegiatan pendidikan, perusahaan, rumah sakit afiliasi, pendapatan perusahaan universitas, kerja sama penelitian, dan royalty. Akibatnya, sumber utama pendanaan pada Universitas Houston adalah biaya kuliah (38 % dari total anggaran), pendanaan pemerintah negara bagian (27% dari total anggaran) terhitung 65% dari total pendapatan (hlm. 57).‖ Universitas Houston adalah sebuah universitas negeri, tetapi ia memandang penting untuk meningkatkan pendapatan melalui bantuan, dengan 20% total pendapatan dari sumbangan yang dialokasikan. Dalam beberpa tahun terakhir, pendanaan pemerintah telah menurun, memaksa perguruan tinggi negeri untuk memperluas sumber pendanaan mereka. Sumbangan menjadi semakin penting sebagai sumber pendanaan perguruan tinggi negeri. Dana pendidikan berpacu untuk mendapat dukungan masyarakat terutama alumni, individu, perusahaan, dan yayasan (hlm. 59). Filosofi pembiayaan Universitas Houston ialah ―untuk meningkatkan uang yang tepat, bukan uang yang lebih banyak.‖ Pada tahun 2006, Universitas Houston mengumpulkan US $36,4 juta sumbangan, terhitung 28% berasal dari alumni, 21% dari perusahaan, 20% dari lembaga lain, 18% dari yayasan, dan 13% dari sumbangan non-alumni. Sumbangan ini terutama untuk operasional universitas saat ini (72%), modal (26%), konstruksi dan asset (2%). Anggaran 2007 Universitass Houston adalah US$ 6.53 miliar (termasuk gaji dan upah, biaya operasional, tunjangan, dan beasiswa mahasiswa) (hlm. 59).
57
4. Pedro Teixeira dan Tatyana Koryakina. (2013). ―Funding Reforms and Revenue
Diversification
‗Reformasi
Pembiayaan
–Patterns, dan
Chalenges
Diversifikasi
and
Rhetoric‖
Pendapatan
–Pola,
Tantangan, dan Retorika‖ dalam jurnal Routledge Tylor and Francis Group. (Studies in Higher Education).Vol.38, No 2, March 2013, hlm. 174-191. Masalah yang diteliti dalam penelitian tersebut yaitu tantangan keuangan yang dihadapi oleh banyak lembaga pendidikan tinggi Erofa dan tekanan terhadap diversifikasi pendanaan. Namun bukti yang ada menunjukkan bahwa diversifikasi pendanaan telah jarang sampai adanya harapan retoris marketisasi dan privatisasi yang dibumbui reformasi kebijakan. Peneliti menganalisis satu dekade perubahan dana di Portugal, melihat penekanan pada diversifikasi pendapatan dalam perubahan hukum, dan membandingkan hal tersebut dengan tren yang diamati dalam struktur pendanaan kelembagaan. Dibahas juga factor-faktor yang signifikan dalam evolusi diversifikasi pendapatan. Penelitian tersebut menggunakan penelitian deskriptif, bertujuan menggambarkan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat pada suatu objek penelitian tertentu.
Penelitian tersebut fokus pada lembaga pendidikan tinggi
menghadapi tuntutan kompleks, terutama dari sudut pandang keuangan. Pertumbuhan jumlah siswa, penghematan keuangan, peran pelayanan negara dan masyarakat pada umumnya telah memberikan kontribusi, jika tidak pengurangan anggran publik yang ditujukan untuk pendidikan tinggi, tetapi ada kecenderungan penurunan anggaran kelembagaan bagi pengeluaran setiap siswa. Tantangan keuangan menjadi masalah karena meningkatnya tren biaya. Kompleksitas ini juga ditandai dengan transformasi dalam model pendanaan. Tabel di
58
bawah menunjukkan saham transfer dan pendapatan publik bagi pendidikan tinggi negeri 1989-2009 (hlm. 181): 198
199
199
199
200
200
200
200
200
200
9
3
6
9
4
5
6
7a
8a
9a
Publik
95
92
87
70
72
70
70
67%
67%
69
transfer
%
%
%
%
%
%
%
8%
13
30
28
30
%
%
%
%
Pendapat 5% an
% 33%
33%
31 %
sendiri
Nilai untuk tahun 2007-2009 hanya mengacu pada sektor unversitas karena tidak ada data publik yang tersedia untuk sector politeknik. Transfer publik termasuk beberapa dana Uni Erofa yang telah dikelola oleh pemerintah nasional yang ditujukan untuk investasi pada gedung dan peralatan baru, yang telah kehilangan relevansi dalam beberapa tahun terakhir. ―Studi ini menunjukkan bahwa diversifikasi pendapatan cenderung mencapai batas tertinggi, dalam hal itu tampaknya sulit bagi lembaga untuk tumbuh melampaui tingkat ini. Meskipun beberapa lembaga mungkin dapat melakukannya. Salah satu perubahan yang mungkin terjadi adalah biaya kuliah yang menjadi salah satu alternative sumber penting dana. Meskipun demikian, meningkatkan pendapatan sendiri dengan meningkatkan jumlah biaya pendidikan melebihi tingkat tertentu tidak menjadi keputusan politik yang layak dalam konteks keuangan dan politik saat ini, karena ia memiliki implikasi sosial lainnya (hlm. 189-190).‖ 5. Robert-Okah, I. (2011). ―Financing Higher Education in Nigeria: Implications for University Governance‖ dalam JER (Journal of
59
Educational Review). Vol.4. No.3. July-August 2011. hlm. 395-402. Masalah yang diteliti yaitu minimnya pendanaan pada pendidikan universitas di Nigeria. Hal ini mengakibatkan kurangnya peralatan, perpustakaan, dan fasilitas laboratorium memprihatinkan, moral staf rendah, dan ketidakstabilan di iniversitas-universitas. Universitas pendidikan berbiaya mahal dan terbukti bahwa pemerintah sendiri tidak bisa lagi menanggung beban keuangan ini. Keadaan tidak sehat ini menyerukan sumber lain untuk membiayai pendidikan universitas. Artikel ini membahas sumber dana non-pemerintah yang lebih inovatif dan realistis seperti wakaf, biaya dan pungutan, bantuan internasional (foreign grant), obligasi terstruktur, usaha komersial serta hubungan sector produktif universitas (University Productive Sector). Penelitian termasuk jenis kualitatif menggunakan metode deksriptif kualitatif. Tujuan penelitian mengungkap fakta, keadaan, fenomena, variabel, dan keadaan yang terjadi saat penelitian berjalan dan menyuguhkan apa adanya. Artikel tersebut membahas sumber dana non-pemerintah dengan mekanisme yang menggunakan modus yang sangat sederhana. Pernyataan Pemerintah Federal bahwa masing-masing universitas federal harus menghasilkan setidaknya 10% dari total pendapatan, mengharuskan perluasan ruang lingkup masing-masing universitas dari kegiatan komersial/hibah non-NUC (National University Comission). Sumber hinah non-NUC menjadi bagian rutin dari pengahsilan universitas yang meliputi: wakaf, biaya/pungutan, pemberian, bantuan internasional, investasi dan pendapatan internal yang dihasilkan lainnya. Onushkin (Odebiyi&Aina, 1998) (Robert-Okah, I, 2011, hlm. 398) menyatakan bahwa sekitar 77% anggaran universitas Amerika Utara didapatkan dari pemerintah, 7% dari biaya kuliah, 5% dari dana
60
sendiri, 4% dari bantuan luar negeri, 1,5% dan 1% masing-masing dari sumbangan pribadi dan industri. Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan yang menghasilkan pendapatan tidak cukup, pendekatan lain seperti privatisasi perguruan tinggi, pendidikan jarak jauh, dan biaya kuliah/pungutan bisa dieksplorasi. Contoh mudus pembiayaan lainnya termasuk: a. Wakaf, b. Hibah Luar Negeri (international sources), dan c. biaya/retribusi (hlm. 398). Jurnal ini merekomendasikan perlunya universitas untuk terbuka terhadap inovasi sumber keuangan, review berkala pusat pendapatan, staf universitas yang terlibat dalam usaha komersial harus dipantau secara ketat untuk memastikan pengajaran dan penelitian tidak terganggu, pemantauan ketat usaha komersial untuk memastikan akuntabilitas sebagai konsekuensi tata kelola universitas, serta gaji staf universitas harus ditingkatkan untuk pikiran korup dan kecenderungan memperkaya diri. 6. Gary Bigham, Susan Nix, dan Alana Hayes. (2014). ―Small Texas School Districts‘ Response to State Funding Reduction‖ ‗Respon Sekolah Distrik Kecil Texas terhadap Reduksi Pendanaan Negara‘ dalam jurnal Fall, hlm. 29. Pada artikrl tersebut dinyatakan bahwa dalam merespon ekonomi negara yang menantang, legislatif Texas melaksanakan the Regular Program Adjustment Factor ‗Program Regular Penyesuaian Faktor‘ pada tahun 2011 yang secara efektif mengurangi dana negara untuk semua sekolah distrik di Texas. Penelitian tersebut menggunakan mixed method ‗metode kombinasi‘ yakni kombinasi dua metode kualitatif dan kuantitatif yang menjadi kian popular. Popularitas ini salah satunya disebabkan oleh kenyataan bahwa metodologi penelitian terus berevolusi dan berkembang. Mixed method adalah salah satu wujud dari perkembangan ini yang
61
memanfaatkan kekuatan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif sekaligus. Bagian ini dimulai dengan statistik deskriptif dari pandangan yang lebih global, diikiuti oleh statistic inferensial dihitung dalam kaitannya dengan bagian kausal-komparatif penelitian, dan berakhir dengan konten analisis. Penelitian tersebut mengungkapkan pengaruh RPAF terhadap sampel dari sekolah distrik Texas dan tanggapan mereka terhadap penurunan pendanaana negara –termasuk mengurangfi staf pemungut pajak dan obligasi pemilu, dan mengamankan pendapatan dari sumber-sumber pembiayaan non-tradisional dan lainnya, yang akhirnya membantu peningkatan pendapatan terbesar97% yang terdiri atas penerbitan utang terkait modal. Dalam menanggapi perekonomian negara yang menantang yang dihadapi oleh Legislative Texas ke-82, Program Reguler Penyesuaian Faktor (RPAF) dilaksanakan untuk mengurangi pendanaan negara bagi sekolah umum distrik (TEC $42.101 (c-1). Lebih khusus, RPAF merupakan faktor penyesuaian yang dirancang untuk mengurangi jatah program regular semua sekolah umum distrik Texas (yaitu, bantuan negara dasar) sebesar 7,61% pada tahun ajaran 2011-2012 dan 2% pada tahun ajaran 2012-13 (TEC $42.101 (c-1)). Penelitian bertujuan menentukan bagaimana sekolah umum distrik kecil Texas menanggapi pemotongan 7.61% bantuan dasar negara. 7. Njideka Edith Nwafor, Esther Esi Uchendu, dan Confidence Ogonda Akani. (2015). ―Need For Adequate Funding in The Administration of Secondary Education in Nigeria‖ dalam Global Journal of Educational Research. Vo. 14, 2015. Hlm. 119-124. Bidang Kajian Secondary Education. Jurnal ini membahas kebutuhan dana yang cukup dalam pendidikan menengah Nigeria. Penekanannya terletak pada sumber
62
dana alternative untuk sekolah menengah serta konsekuensi pendanaan yang tidak memadai berdampak pada kerusakan infrastruktur, tingginya biaya pendidikan, dan rendahnya komitmen staf. Dana yang cukup pada
pendidikan
menengah
berpengaruh
pada
pembangunan
infrastruktur dan kualitas guru. Alasan perlunya pembiayaan memadai pada pendidikan menengah adalah adanya ledakan penduduk dan kurangnya perencanaan. Penelitian tersebut termasuk deskriptif kualitatif. Tujuan penelitian mengungkap fakta, keadaan, fenomena, variabel, dan keadaan yang terjaddi saat penelitian berjalan dan menyuguhkan apa adanya. Penelitian ini menjelaskan tingkat keberhasilan sektor pendidikan berkaitan erat dengan ketersediaan sumber daya. Di antara sumber daya yang dibutuhkan untuk administrasi sector pendidikan adalah identifikasi dana sebagai instrument yang sangat diperlukan. Temuan penelitian yaitu bahwa dana berfungsi sebagai nadi bagi manajemen dan administrasi sebagian besar sektor ekonomi termasuk sektor pendidikan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa UNESCO merekomendasikan 26% dari anggaran tahunan negara mana pun harus disisihkan untuk administrasi dab pengelolaan sector pendidikan. ―Sumber alternatif pendanaan sekolah menengah yaitu: 1. Biaya sekolah; 2. Pendanaan Pemerintah; 3. Kontribusi sector swasta; 4. Penjualan kerajinan dan seni mahasiswa; 5. Alumni; 6. Penjualan produk pertanian sekolah; 7. Asosiasi guru dan orang tua (Parents Teachers Association) (hlm. 120). ―Beberapa konsekuensi kekurangan dana bagi administrasi pendidikan menengah di Nigeria meliputi: a. Kerusakan infrastruktur, b. Komitmen rendah para staf, c. rendahnya tingkat kinerja akademik, d. rendahnya binaan sekolah Nigeria, e. Biaya tinggi pendidikan (hlm. 121).‖ Beberapa
63
teknik manajemen keuangan yang dapat digunakan dalam sistem sekolah untuk mengontrol arus masuk dan arus keluar dana adalah: 1. Publikasi catatan keuangan; 2. Persiapan anggaran; 3. Metode kontrol pengeluaran; 4. Perencanaan yang memadai. ―Disimpulkan bahwa pendanaan yang tepat memainkan peran penting dalam pencapaian tujuan pendidikan menengah di negeri ini. Oleh kaarena itu direkomendasikan pemerintah harus berkomitmen terhadap pendanaan pendidikan menengah melalui alokasi anggaran yang memadai sementara sector swasta juga harus berkontribusi bagi pembangunan sekolah sebagai bagian dari tanggung jawab social mereka (hlm. 123.‖ 8. N. Kabbani (El) S. Salloum. (2011). ―Implication of Financing Higher Education For Access and Equity: The Case of Syria‖ (Implikasi Pembiayaan Pendidikan Tinggi untuk Akses dan Kesetaraan: Kasus di Suriah) dalam Jurnal Prospect. (2011). Vo. 41. Hlm. 97-113. DOI 10.1007/s 11125-011-9178-6. Bidang Kajian Higher Education. Artikel tersebut membahas implikasi akses dan pemerataan pemerintah Suriah dalam upaya mereformasi pendidikan tinggi di negara ini selama satu dekade terakhir. Dalam konteks reformasi sosial dan ekonomi terjadi pergerakan dari kontrol negara menuju pasar ekonomi sosial yang berfokus pada kecukupan pembiayaan pendidikan tinggi, efisiensi, dan kesetaraan. Kemajuan signifikan telah dibuat dalam akses ke pendidikan tinggi. Pemerintah telah memperkenalkan beragam pilihan untuk mengakses pendidikan tinggi yang menghasilkan dua kali lipat jumlah siswa yang terdaftar selama 10 tahun terakhir. Dalam hal kesetaraan, kesenjangan gender dalam pendidikan tinggi menghilang secara nasional, meskipun keberagaman daerah masih ada. Penelitian menggunakan metode kualitatif yang lebih menekankan pada aspek
64
pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah daripada melihat permasalahan untuk penelitian generalisasi. Penelitian ini memberikan perhatian pada sistem efisiensi internal dan eksternal, meskipun ada beberapa perbaikan, kualitas kurikulum dan relevansinya bagi pasar tenaga kerja masih menjadi masalah serius. Selama setengah abad terakhir, sistem pendidikan di Suriah telah didominasi oleh sektor publik. Sekolah swasta diizinkan hanya di tingkat sekolah dasar, kecuali untuk beberapa sekolah menengah swasta yang berafiliasi dengan kedutaan asing. Sektor publik ini mendorong model yang memberikan kontribusi bagi kemajuan luar biasa dalam pencapaian pendidikan, khususnya pada tahun 1960-an dan 1970-an ketika anggaran pendidikan negeri dan pendaftaran meningkat secara dramatis. ―Efisiensi dapat dinilai dari dua perspektif, internal dan eksternal (hlm. 101). Terkait efisiensi internal, belanja negara per siswa pendidikan tinggi di Suriah diukur dengan paritas daya beli dalam dolar AS, jauh lebih rendah dari rata-rata organisasi untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan. Hal ini tidak mengherankan, mengingat perbedaan tingkat partisipasi dan perbedaan biaya, bahkan setelah memperhitungkan paritas daya beli. Belanja publik per siswa dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto per kapita adalah 37% lebih tinggi di Suriah. Pertanyaan muncul di sini tentang kualitas pendidikan dibandingkan dengan jumlah yang dihabiskan di atasnya. Antara tahun 1997 dan 2006, peningkatan angka partisipasi sebagian diimbangi peningkatan belanja public secara keseluruhan pada pendidikan tinggi, sehingga sedikit peningkatan dalam pengeluaran per siswa. Dengan demikian, ada sedikit bukti yang menunjukkan bahwa kualitas pendidikan tinggi meningkat secara substansial dalam hal
65
sumber daya yang tersedia untuk siswa. Indikator lain efisiensi adalah rasio siswa untuk guru. Menggunakan indicator ini, Suriah berkinerja buruk pada efisiensi. Pada 2006, Suriah memiliki rasio 27 siswa per guru. Ini lebih tinggi dari rasio organisasi untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan (15), untuk Timur Tengah dan Afrika Utara (21) dan untuk negara-negara berpenghasilan menengah bawah (19). Selain itu, jumlah siswa per krelas naik menjadi 35 pada tahun 2007. Hal ini mungkin terjadi akibat peningkatan angka partisipasi tanpa perluasan yang memadai dari staf dan modal. Peningkatan jumlah siswa per guru menimbulkan kekhawatiran tentang kualitas pendidikan per siswa yang diterima.‖ Efisiensi eksternal pendidikan tinggi biasanya dinilai dengan menghubungjan pencapaian pendidikan untuk indikator pasar tenaga kerja
utama,
termasuk
pendapatan
dan
hasil
kerja.
Tingkat
pengangguran bisa menjelaskan bagaimana sulitnya bagi pendatang pasar tenaga kerja untuk menemukan pekerjaan yang dapat diterima. Berikut
akan
sangat
membantu
untuk
menjelaskan
tingkat
pengangguran dihitung dari pendapatan rumah tangga dan survey pengeluaran dari 1996-1997, 2003-2004, dan 2006-2007 (1996-2007). Pendapatan rumah tangga dan survey pengeluaran adalah data nasional berkala yang dikumpulkan oleh Biro Pusat Statistik Suriah dengan ukuran sampel mulai dari sekitar 30.000 rumah tangga di 1996-1997 dan 2003-2004 untuk 12.000 rumah tangga pada tahun 20062007…Pada 1996-1997 tingkat pengangguran keseluruhan merata di tingkat pencapaian pendidikan (hlm. 103). 9. Mohammd Sofwan Effendi. 2015. ― A Management Model of Financing and The Use of Research Products in Public Service Agencies‖ (Model Pengelolaan Pembiayaan dan Penggunaan Produk
66
Penelitian pada Badan Layanan Umum), dalam European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences. ISSN 1450-2275. Issu 81, Oktober 2015, hlm. 104-116. Penelitian menggunakan metode kualitatif yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah daripada melihat permasalahan untuk penelitian generalisasi. Model pengelolaan keuangan dan pelaksanaan hasil penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan
manajemen
produktifitas
biaya
penelitian
dengan
cara
mensinergikan tiga aspek utama, yaitu biaya riset (biaya), kegiatan penelitian (riset), dan produk penelitian (produk). Sinergi yang dibangun adalah 1) hubungan positif antara biaya pengeluaran yang efisien untuk mencapai produktivitas penelitian dalam menghasilkan baik hasil penelitian primer dan keluaran ilmiah; 2) hubungan positif antara transfer teknologi hasil-hasil kegiatan penelitian dan produk yang dikomersialkan memperhitungkan kelayakan pasar dan nilai ekonomi; 3) hubungan positif antara pengeluaran dan penciptaan biaya yang efisien atau produk inovasi yang siap dikomersialkan. 10. MM. Gandhi. (2015). ―Financial Management of Higher Educational Institutions With Reference to Financing, Pricing, Accounting Standards and Gaps in Practice in Universities and Colleges‖ (Manajemen keuangan institusi pendidikan tinggi –dengan mengacu pada pembiayaan, harga, standar akuntansi dan kesenjangan dalam penerapan di universitas dan perguruan tinggi) dalam IJHEM (International Journal of Higher Education Management). Vol.1 Number 2 February 2015, hlm. 33-45. Masalah yang diteliti yaitu peran dan pengembangan pendidikan tinggi vis-à-vis peran dan tanggung jawab, kewajiban pemerintah pusat dan lembaga pendidikan
67
tinggi, status dan berbagai pola pembiayaan, penetapan harga pendidikan tinggi, menyoroti status dan kesenjangan dalam praktek lembaga pendidikan tinggi di bidang manajemen keuangan dan pengungkapan informasi akuntansi kepada steakholder mereka. 11. Hall, J. (2006) dalam penelitiannya ‗‘The Dilemma of School Finance Reform‘‘ mengemukakan bahwa tingkat pendanaan yang rendah membuat siswa tidak diberi kesempatan untuk berhasil secara akademis. Hal ini antara lain diakibatkan oleh fasilitas yang buruk, serta kurangnya akses ke kurikulum beragam dan menantang. 12. Syamsudin (2009) dalam penelitiannya Pengaruh Biaya Pendidikan Terhadap Mutu Hasil Belajar melalui Mutu Proses Belajar Mengajar pada
Sekolah
Menengah
mengemukakan bahwa:
Pertama
di
Kabupaten
Asahan
1) Biaya pendidikan berpengaruh
terhadap mutu hasil belajar; 2) Biaya pendidikan berpengaruh terhadap mutu proses belajar mengajar; 3) Mutu proses belajar mengajar berpengaruh terhadap mutu hasil; 4) Biaya pendidikan berpengaruh terhadap mutu hasil belajar melalui mutu proses belajar mengajar. 13. Fattah, N (1998) dalam penelitiannya Studi tentang Pembiayaan Pendidikan Sekolah Dasar mengemukakan bahwa: 1) Komponenkomponen biaya pendidikan yang memberikan kontribusi secara signifikan terhadap mutu hasil belajar adalah: a) Gaji atau kesejahteraan pegawai, b) biaya pendidikan guru, c) pengadaan alat pelajaran, d) pengadaan bahan pelajaran, dan e) pengadaan sarana sekolah; dan 2) Komponen-komponen biaya pendidikan yang memberikan pengaruh signifikan terhadap proses belajar mengajar
68
siswa adalah: a) gaji/kesejahteraan guru, b) pengelolaan sekolah, c) pengadaan alat pelajaran, dan d) pengadaan sarana sekolah. 14. Tedjaningsih Hartono (2011) yang meneliti Pengaruh Manajemen Biaya terhadap Mutu Proses dan Mutu Hasil Pembelajaran menyimpulkan bahwa: 1) Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari manajemen biaya terhadap mutu proses pembelajaran; 2) Terdapat yang positif dan signifikan dari mutu proses pembelajaran terhadap mutu hasil pembelajaran; 3) Terdapat pengaruh yang positif dan
signifikan
dari
manajemen
biaya
terhadap
mutu
hasil
pembelajaran; 4) Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari manajemen pembiayaan dan mutu proses pembelajaran terhadap mutu hasil pembelajaran. Mengamati kenyataan bervariasinya hasil belajar, besaran dana, cara pengelolaan, dan kondisi lembaga pendidikan, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi secara kualitatif manajemen pembiayaan pesantren berbasis agribisnis dengan lokus di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung.
69
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian Penelitian ini termasuk naturalistic paradigm ‗paradigm alamiah‘ dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan yaitu metode studi kasus karena dimaksudkan untuk mengeksplorasi konstruk pembiayaan pesantren berbasis agribisnis. Paradigma menurut Bogdan dan Biklen (1992:32) adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berfikir dan penelitian. Menurut Patton yang dikutif oleh Lincoln dan Guba (1983:15), paradigma adalah suatu pandangan terhadap dunia dan alam sekitarnya, yang merupakan perspektif umum, suatu cara untuk menjabarkan masalah-masalah dunia nyata yang kompleks. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat gejala-gejala dari kerangka acuan si pelaku sendiri, yakni menafsirkan kegiatan atau kejadian dari sudut pandang pelaku yang disebut perspektif emic. Menurut Sugiyono (2008:213) penelitian kualitatif harus bersifat perspektif emic artinya memperoleh data bukan sebagaimana seharusnya, bukan berdasarkan apa yang dipikirkan oleh peneliti, tetapi berdasarkan apa adanya yang terjadi di lapangan, dialami, dirasakan dan dipikirkan oleh partisipan atau sumber data. Data yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah data manajemen pembiayaan pesantren berbasis agribisnis. Data manajemen pembiayaan pesantren berbasis agribisnis mencakup penggalian sumbersumber pembiayaan pesantren; implementasi pembiayaan pesantren berbasis agribisnis (perencanaan pembiayaan pesantren, pelaksanaan 69
70
pembiayaan pesantren [berupa penerimaan, pengeluaran], serta evaluasi pembiayaan pesantren); faktor pendukung dan faktor penghambat pembiayaan pesantren berbasis agribisnis. Pendekatan kualitatif berusaha mendeskripsikan keutuhan kasus dengan memahami makna dan gejala. ―Pendekatan tersebut merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 2000: 4).‖ Menurut Djam‘an Satori dan Aan Komariah (2009:23) penelitian kualitatif adalah mengembangkan pertanyaan dasar tentang apa dan bagaimana kejadian itu terjadi, siapa yang terlibat dalam kejadian tersebut, kapan terjadinya, dan di mana tempat kejadiannya. Penelitian kualitatif ini menggambarkan aktualitas, realitas sosial, dan persepsi sasaran penelitian tanpa tercemar oleh pengukuran formal sehingga dapat memberikan gambaran yang otentik tentang apa yang terjadi serta bagaimana mereka memahami kejadian-kejadian tersebut. Penelitian ini disebut menggunakan paradigm naturalistic karena situasi lapangan penelitian bersifat natural ‗wajar‘, sebagaimana adanya tanpa manipulasi, diatur dengan eksperimen atau tes, penelitian ini bersifat deskriptif analitik. Apa yang terlaksana di lapangan dideksripsikan dan dianalisis berdasarkan suatu kriteria tertentu sesuai dengan topik permasalahan yang menjadi fokus. Ciri-ciri penelitian kualitatif yaitu: 1. Sumber data ialah situasi wajar atau natural setting. 2. Peneliti sebagai instrumen penelitian. 3. Sangat deskriptif. 4. Meningkatkan proses maupun produk. 5. Mencari makna. 6. Mengutamakan data. 7. Triangulasi. 8. Menonjolkan rincian kontekstual. 9. Subjek yang diteliti dipandang mempunyai kedudukan sama dengan peneliti. 10. Mengutamakan perspektif emic. 11. Verifikasi. 12. Purposif
71
Sampling.
13.
Menggunakan
audit
trail.
14.
Partisipasi
tanpa
mengganggu. 15. Mengadakan analisis sejak awal penelitian desain penelitian tampil selama proses penelitian (Nasution, 1988:9-12). Menurut Patton (1990:40-41) ciri-ciri pokok penelitian kualitatif (qualitative inquiry) adalah: 1. Naturalistic inquiry. 2. Inductive analysis. 3. Holistic perspektif. 4. Qualitative data. 5. Personal contact and insight. 6. Dynamic system. 7. Unique case orientation. 8. Context sensitivity. 9. Emphatic neutrality. 10. Design flexibility. Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa penelitian kualitatif merupakan
penelitian
yang
memerlukan
kecermatan
dalam
pelaksanaannya, hal ini tidak lain karena setting alamiah perlu tetap terjaga agar data yang diperoleh benar-benar menunjukkan kondisi lapangan yang sebenarnya. Selain itu, analisis yang dilakukan bersifat induktif dari hal-hal khusus berdasarkan fakta lapangan untuk kemudian dipahami dan ditafsirkan dalam konteks keseluruhan kejadian yang bersifat holistik, dan data yang dikumpulkan merupakan data yang berkategori kualitatif. Lima jenis penelitian kualitatif menurut Djam‘an Satori dan Aan Komariah (2009:33) yaitu: biografi, fenomena, grounded theory, etnografi, dan studi kasus. Peneliti pada penelitian ini memilih jenis penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus adalah suatu metode yang dilakukan dengan memilih kasus yang terjadi pada tempat dan waktu tertentu, materi kontekstual tentang setting kasus yang diteliti. Sumber informasi dikumpulkan sebanyak mungkin dari sumber informasi yang banyak mendapatkan gambaran kasus yang detail.
72
Lokasi penelitian yang dipilih yaitu Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung dengan alasan sebagai berikut: Pertama, Pesantren tersebut sudah lama berdiri (16 Syawal 1302 H/1 Pebruari 1934 M oleh K.H. Mansyur, seorang ulama di Ciwidey), merupakan lembaga pendidikan tertadu antara lembaga formal dan nonformal sehingga banyak data yang akan diperoleh. Kedua, pesantren Al-Ittifak Ciwidey sudah mendapat recognize ‗pengakuan‘ nasional ditandai beberapa kali mendapat penghargaan; Ketiga, adanya masalah yang akan diteliti terkait dengan manajemen pembiayaan berbasis agribisnis bahwa pesantren tersebut mampu menggali dan mengelola sumber-sumber pembiayaan melalui entrepreneurship berbasis agribisnis, pesantren mampu mengelola pembiayaan pendidikan pesantyren secara mandiri, dan memiliki kemandirian ekonomi sehingga dapat menjadi role model pembiayaan pesantren di Indonesia. Pesantren Al-Ittifak memiliki sejumlah keunggulan yang layak dijadikan pertimbangan untuk menjadi lokasi penelitian. Pada tahun 1997, atas keberhasilan menembus pasar supermarket, pesantren ini dijadikan sebagai Pondok Pesantren Percontohan Pengembangan Agribisnis, yang seleksi penetapannya dilakukan pada tahun 1996 oleh Tim Antar Departemen (Departemen Agama, Departemen Pertanian, Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta Induk Koperasi Pondok Pesantren) dan Pemda Tingkat I. Tahun 1998 memperoleh Satya Lencana Wirakarya dari Presiden RI yang ke-3 (B.J. Habiebie). Tahun 1999 mendapatkan penghargaanParama Bhoga Nugraha dari Menteri Negara Pangan dan Holtikultura (Prof. Dr. F. A. Moeloek). Penghargaan dari Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Ali Marwan
73
Hanan)
tahun
2003
atas
keberhasilan
dalam
membina
dan
mengembangkan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Tahun 2003 juga mendapatkan KALPATARU kategori penyelamat lingkungan hidup dari Menteri Lingkungan Hidup (Nabiel makarim MA, MSN). Tahun 2006 mendapatkan penghargaan dari Menteri Pertanian RI (Dr Ir Anton Afrianto Ms) sebagai pelaku usaha yang menerapkan pedoman Budidaya yang baik Good Agricultural Practice (GAP) dalam rangka Bulan Mutu Nasional Sektor Pertanian. Tahun 2007 mendapatkan Business Award sebagai Pemenang Pesantren Enterpreneur. Tahun 2007 juga menerima Danamon Award Pemberdayaan Santri dan Masyarakat di Lingkungan pondok Pesantren Al-Ittifak dalam Bidang Pertanian Pemenang Kategori Organisasi Nirlaba. Selain itu, tahun 2007 menerima KALPATARU dari Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai penyelamat lingkungan. Tahun 2008 menerima Piagam Penghargaan dari Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat (Drs. Sundariyono) sebagai Kader Lingkungan Pondok Pesantren Cluster Bandung. Penghargaan dari Bupati Bandung H. Obar Subarna atas sumbangan tenaga dan pikiran dalam bidang Lingkungan Hidup untuk Kepentingan Kabupaten Bandung. Penghargaan dari PT Hero Supermarket Tahun 2012 sebagai Best Farmer of The Year Award. Kegiatan agribisnis di Pondok Pesantren Al-Ittifak berkembang pesat sehingga menyebabkan banyak perusahaan swasta dan lembagalembaga yang bergerak dibidang keuangan memberikan bantuan permodalan dan latihan manajemen. Tujuannya, untuk meningkatkan volume dan kualitas usahanya. Bantuan tersebut berdatangan sejak tahun 1993. Lembaga yang memberikan bantuan pemodalan adalah PT. Telkom dan PT Perkebunan Nasional VIII.
74
Berbagai pelatihan dan bimbingan manajemen pun diberikan antara lain oleh Pemerintah daerah Tingkat I Propinsi Jabar dan Tingkat II Kabupaten Bandung, Departemen Pertanian, Departemen Koperasi, serta beberapa instansi. Sedangkan bantuan sarana dan prasarana diberikan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II terutama Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Departemen Pertanian berupa bangunan Pusat Inkubator Agribisnis dan Departemen Koperasi, departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Agama, PT Perkebunan nasional VIII dan juga instansi lain.
B. Sumber Data, Variabel Penelitian dan Pengukurannya Menurut Lofland (sebagaimana yang dikutip oleh Lexy J. Moleong) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data-data tambahan seperti dokumen dan lainlain. Berkaitan dengan hal itu maka jenis data dibagi dalam kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto dan statistik (Moleong, 2000: 157). Kata-kata dan tindakan orang yang dapat diamati atau diwawancarai yang dicatat melalui catatan tertulis atau rekaman dalam penelitian ini merupakan sumber data utama, dengan menggunakam teknik sampling, yaitu dengan cara mewawancarai sejumlah pihak pimpinan dan pengasuh pesantren sebagai Key Informan, kemudian diikuti dengan Snow Ball Process, yaitu sumber data berikutnya diperoleh dari key informan tersebut secara bergulir, dan baru dihentikan apabila terjadi pengulangan informasi. Selain itu, penelitian ini menggunakan data tambahan berupa dokumen, arsip, buku-buku referensi, dan sumber data lainnya yang dapat menunjang terhadap sumber data penelitian mengenai pembiayaan pesantren berbasis agribisnis di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten
75
Bandung, khususnya mengenai manajemen pembiayaan pesantren. Menurut Sanusi Uwes (1999:74) sumber data penelitian kualitatif terdiri atas tiga bagian, yakni dokumen, manusia, dan suasana. Sumber data yang dikumpulkan dilakukan dengan proses observasi lapangan, melakukan studi dokumen, melakukan proses wawancara mengenai pembiayaan pesantren dengan pimpinan pesantren (kiyai), pengasuh pesantren (ustad/ustadzah), santri-santri, guru-guru madrasah, para
siswa
madrasah,
dan
masyarakat
sebagai
stakeholder
penyelenggaraan pendidikan. Hasil pendapat dan tanggapan terhadap objek penelitian kemudian dilakukan dengan teknik triangulasi dengan dua cara: a. Proses Triangulasi Sumber, dan b. Proses triangulasi teknik. Sumber data dalam penelitian ini yaitu dokumen madrasah dan dokumen pesantren, peneliti sebagai instrumen, kiyai, pengasuh dan pengelola pesantren, ustadz/ustadzah, kepala-kepala madrasah (MI, MTs, MA), dewan guru, santri dan siswa. Variabel atau indikator untuk manajemen pembiayaan pendidikan pesantren adalah: sumber-sumber pembiayaan, penyusunan program pembiayaan
pesantren,
pengalokasian
biaya,
penggunaan
biaya,
pengawasan dan pengendalian biaya, pertanggungjawaban biaya serta evaluasi biaya. C. Teknik Pengumpulan data Data kualitatif pada penelitian ini memakai teknik wawancara terbuka, observasi langsung, dan studi dokumen. Pengambilan data dilakukan dengan metode snowball sampling dengan proses jumlah kecil responden kemudian melibatkan pihak yang terkait dengan responden
76
awal untuk dijadikan
responden dan seterusnya
sehingga menjadi
semakin besar seperti bola salju (snowball). Data yang dihasilkan melalui wawancara atau observasi dari suatu subjek, setelah diinterpretasi peneliti, kemudian diperiksakan kembali kepada subjek lain, dan seterusnya sampai menemui titik kejenuhan (saturated). Sumber data yang telah dimiliki telah dipandang cukup karena tidak diperoleh informasi baru atas data yang sudah diperoleh. Sumber data penelitian adalah keadaan dan lingkungan objek penelitian, subjek-subjek yang terlibat kegiatan, kontak sosial maupun berbagai aspek sosial yang melingkupinya. Hal-hal tersebut diamati secara langsung, diwawancarai serta dibaca dan ditelaah hasil pikirannya, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, atau yang dipahami orang-orang sekitarnya untuk kemudian dijadikan bahan pertanyaan pada subjek tersebut. Pengambilan data bercorak simultaneous cross sectional atau memberchek (dalam arti berbagai kegiatan kelakuan subjek penelitian tidak diambil pada subjek yang sama, namun pada subjek yang berbeda), kemudian diinterpretasi berdasarkan kemampuan peneliti dengan melihat kecenderungan, pola, arah, interaksi factor-faktor serta hal lainnya yang memacu atau menghambat perubahan untuk merumuskan hubungan baru berdasarkan unsur-unsur yang ada (Noeng Muhadjir, 2000:60-61). Analisis data untuk mencari kebenaran yang dihasilkan tidak didasarkan pada pertimbangan banyaknya individu atau rincian rerata subjek penelitian, namun pada ciri-ciri penting berbagai kategori kemudian menghubung-hubungkannya
untuk
menghasilkan
dimunculkan (Miles & Huberman, 1992:20).
inti
teori
yang
77
Melalui teknik pengumpulan data simultaneous cross sectional atau memberchek diharapkan diperoleh data secara lebih lengkap, lebih dalam dan lebih dapat dipercaya, dan karenanya tujuan penelitian dapat tercapai. Hal ini dimungkinkan sebab dalam penelitian ini peneliti langsung berhadapan dengan sasaran penelitian. Sifat naturalistic, menjadikan peneliti berfungsi sebagai instrument pengumpul data. Maka diperlukan kemampuan menyesuaikan diri dengan berbagai ragam realitas yang tidak dapat dikerjakan dengan instrument non human, seperrti kuesioner dan semacamnya. Pada penelitian ini peneliti sebagai instrument penelitian diharapkan mampu menangkap makna, khususnya menghadapi nilai lokal yang berbeda dan bersifat khas. Melalui pengamatan langsung dengan instrumen penelitian peneliti sendiri, peneliti diharapkan mampu menangkap data yang bersifat perasaan, norma, nilai, keyakinan, kebiasaan, sikap mental serta perilaku responden. D. Lokasi Penelitian dan Responden Lokassi dalam penelitian ini adalah Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung. Sedangkan yang menjadi responden adalah kiyai, ustad dan ustadzah pesantren, guru-guru di madrasah tersebut baik ditugaskan penuh sebagai guru maupun yang diberikan tambahan sebagai pimpinan madrasah yang melakukan kegiatan pembelajaran, tokoh masyarakat, serta para siswa dan para santri. E. Pengujian validitas dan Reliablitas Instrumen Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas) menurut versi positivism dan disesuaikan dengan tuntutan pengetahuan, kriteria, dan
78
paradigmanya sendiri (Moleong, 2012:173). Konsep tersebut di atas (validitas, reliabilitas) lazim digunakan pada penelitian non kualitatif. Keabsahan
(validasi)
data
diperlukan
teknik
pemeriksaan.
Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Pada penelitian naturalistic/kualitatif terdapat empat kriteria yang digunakan untuk validasi data yaitu dengan menetapkan derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan atau
kehandalan
(dependability),
dan
kepastian
(conformability)
(Nasution, 2012: 149-151). Validitas dan keabsahan data penelitian tersebut menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data, untuk keperluan pengecekan, sebagai pembanding terhadap data yang sudah diperoleh. F. Metode dan Teknik Analisis Data Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif (Miles dan Huberman, 1992:20) terutama untuk menganalisis permasalahan yang terkait dengan pembiayaan pesantren. Berdasarkan penulisan kembali baik dari alat rekaman maupun dari alat tulis, peneliti mengkategorisasi dan mengklasifikasi data. Pengolahan demikian dilakukan tidak secara simultan saat seluruh pendapat dari responden sudah terkumpul, tapi akan dilakukan setahap demi setahap seiring dengan muncul dan berkembangnya masalah baru. Amat dimungkinkan subjek penelitian tidak mendapatkan materi wawancara yang sama. Hal ini berkaitan dengan pendalaman objek materi dari
79
penelitian itu sendiri. Hasil tersebut kemudian dianalisis untuk melihat permasalahan secara mendalam. Proses analisis data kualitatif merupakan kegiatan telaah data yang terkumpul melalui observasi, wawancara mendalam, maupun studi dokumen dan tertulis dalam catatan lapangan, transkrip wawancara maupun intisari dokumen untuk diketahui maknanya. Nasution (1996:126) mengemukakan analisis data adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti menggolongkan dalam pola, tema, atau kategori, sebab tanpa kategori atau klasifikasi data akan terjadi keruwetan. Bogdan dan Biklen (1992:153) menjelaskan bahwa: ―Data analysis is the process of systematically searching and arranging the interview transcript, field notes, and other material that you accumulate to increase your own understanding of them and to enable you to present what you have discovered to others.‖ Dengan demikian, analisis data merupakan pencarian dan pengaturan secara sistematis, transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat dipresentasikan temuannya kepada orang lain. Berdasarkan pendapat tersebut, analisis data merupakan kegiatan mengerjakan data, menatanya, membaginya menjai satuan-satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari pola, menemukan yang penting, memilih apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang akan dilaporkan. Analisis dilakukan saat pengumpulan data dan setelah pengumpulan data. Miles dan Huberman (1992:73) menjelaskan bahwa analisis selama pengumpulan data memberikan kesempatan pada peneliti lapangan untuk berfikir tentang data yang ada dan mengembangkan strategi untuk mengumpulkan data baru yang biasanya kualitasnya lebih baik,
80
melakukan koreksi terhadap informasi yang kurang jelas dan mengarahkan analisis yang sedang berjalan berkaitan dengan dampak pembangkitan kerja lapangan. Analisis selama dan sesudah pengumpulan data cenderung menjadi sangat bermanfaat bilamana dasar datanya sangat lengkap serta penelitian berada dalam tahapan analisis. Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan mengadaptasi model interaktif dari Milles dan Huberman (1992:20) yang terdiri atas tiga alur kegiatan yang berulang dan terus menerus yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Proses analisis data mengikuti langkah-langkah berikut: a. Setelah peneliti melakukan pengumpulan data, maka seluruh data dalam bentuk catatan lapangan, memo, transkrip wawancara, dokumen-dokumen, dikumpulkan dan diberi nomor halaman berdasarkan kronologis waktu pengumpulannya; b. peneliti mengadakan reduksi data yaitu kegiatan pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pemilihan, dan transformasi data ―kasar‖ yang muncul dari catatan-catatan di lapangan, catatan hasil observasi, wawancara dan dokumentasi dirangkum dan dipilih hal-hal yang pokok serta difokuskan pada hal-hal yang penting. Dengan kata lain, catatan lapangan (field note) disusun secara lebih sistematis, dicari tema-tema; c. Peneliti menelaah keseluruhan data dan mencatat kategori-kategori koding berdasarkan topic-topik atau pola-pola yang muncul secara teratur. Kategori koding ini ditulis dalam bentuk kalimat pendek. Data-data yang dicakup oleh kode tersebut diberi tanda garis bawah atau garis atas dengan bolpoin atau pensil untuk menunjukkan satuan data yang termasuk dalam satu kategori koding; d. Setiap kategori yang ditemukan maupun satuan datanya masing-masing diberi nomor pasangan untuk memudahkan penemuannya. e. Penyajian data (display) sebagai sekumpulaninformasi yang tersusun
81
dan
memberi
kemungkinan
adanhya
penarikan
kesimpulan
dan
pengambilan tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dati penyajian data yang ditampilkan dalam bentuk naratif. f. Setelah peneliti menemukan pola, tema, hubungan, persamaan, dan hal-hal yang sering muncul, maka langkah berikutnya berupa penarikan kesimpulan yaitu pemaknaan terhadap temuan penelitian, dan peneliti selalu mengadakan verifikasi secara lebih mendalam dengan cara mencari data baru agar temuan lebih terjamin validitasnya. Untuk memastikan temuan itu benar, representatif, atau merupakan kesimpulan gejala umum, maka harus diperiksa melalui keabsahan data. Pada penelitian ini terdapat dua corak yang akan dianalisis. Pertama analisis saat mempertajam keabsahan data melalui simultaneous cross sectional dan kedua melalui interpretasi pada data secara keseluruhan. Pada analisis corak pertama dilakukan penyusunan data, yakni penyusunan kata-kata hasil wawancara, hasil observasi, dan dokumendokumen berdasarkan kategorisasi yang sesuai dengan masalah penelitian. Berdasarkan data yang diperoleh, dikembangkan penajaman data melalui pencarian data selanjutnya. Data tidak dianggap sebagai error reality yang dipersalahkan oleh teori yang ada sebelumnya, tetapi dianggap sebagai another reality (Stuart A. Schlegel, 1984:12). Miles dan Huberman (1992:20) berpendapat
dalam melakukan
analisis data dilakukan empat tahapan sebagai berikut: a. Proses memasuki lingkungan penelitian dan mengumpulkan data; b. Melakukan proses reduksi data dengan pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis dari lapangan;
c. Penyajian data dengan mengolah informasi
82
untuk penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan; d. Penarikan kesimpulan atau verifikasi dari hasil data yang telah dianalisis. Pada penelitian ini data dicatat apa adanya, tanpa intervensi dari teori atau paradigma peneliti selama ini yang dimiliki. Situasi wajar, apa adanya (natural setting) dijadikan bahan penelitian yang dimasuki peneliti tanpa intervensi situasi, baik melalui bentuk angket, tes, atau eksperimen. Namun demikian peneliti berusaha mencari makna inti dari kelakuan dan perbuatan yang terlihat. Hal ini dilakukan dalam rangka memahami kelakuan tersebut dalam konteks yang lebih luas, dipandang dari kerangka pikiran dan perasaan si pelaku. Berdasarkan hal tersebut, data yang didapat merupakan data yang langsung dari tangan pertama, tanpa melalui tes atau anggket yang pada gilirannya hal tersebut akan membuat jarak dengan sumber data (Nasution, 2003: 9-10). Berdasarkan kategorisasi dicari makna dalam inferensi, sehingga data tidak hanya digambarkan tapi juga ditafsirkan. Interpretasi bersifat inovatif yakni mengembangkan ide-ide dengan argument yang didasarkan pada data yang ditemukan. Bertolak dari cara tersebut, maka penemuan pada satu waktu merupakan pedoman untuk langkah selanjutnya. Pengumpulan data lebih didasarkan pada pengembangan analisis dari data yang ditemukan sebelumnya. Triangulasi dilakukan pada objek lain mengenai hal yang sama, untuk menghilangkan bias pemahaman antara peneliti dengan pemahaman si pelaku. Metode pengecekan dilakukan dengan bentuk pertanyaan yang berbeda atau cara pengamatan yang berlainan. Tujuan hal ini terutama adalah membandingkan informasi yang didapat dari berbagai pihak agar ada jaminan tentang tingkat kepercayaan data. Hal ini sekaligus mencegah subjektivitas peneliti (Nasution,
83
2003:10). Hasil data dan analisis data inilah yang dilaporkan sebagai hasil penelitian. Secara operasional, data dianalisis sebagai berikut : 1. Sumber-sumber pembiayaan dianalisis secara deskriptif kualitatif 2. Implementasi biaya dianalisis secara deskriptif kualitatif 3. Faktor penunjang-penghambat dianalisis secara deskriptif kualitatif 4. Perspektif pembiayaan berbasis agribisnis dianalisis secara deskriptif kualitatif G. Langkah-Langkah Penelitian Berikut dikemukakan langkah-langkah penelitian yang dilakukan di lapangan, meliputi beberapa tahap, yaitu: 1. Orientasi Orientasi dilakukan melalui observasi kegiatan terkait di lapangan dan dialog dengan pimpinan atau pengasuh pesantren sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam memanaje pembiayaan pesantren, kemudian dilanjjtkan dengan observasi diiringi dialog dengan informan lain yang dipandang perlu dan dipandang dapat memberikan penambahan informasi
untuk
memberikan
penambahan
informasi
guna
lebih
memberikan pemahaman akan masalah yang menjadi fokus penelitian. 2. Wawancara Wawancara dilakukan dengan para pejabat yang dapat memberikan pendalaman menyangkut manajemen pembiayaan pesantren. Pada saat ini, materi wawancara bersifat umum, kemudian wawancara lebih diarahkan pada fokus penelitian dan langsung menghubungi sumber-sumber yang berhubungan langsung (first hand). Data hasil wawancara kemudian dikomparasikan dengan studi dokumentasi dan observasi.
84
Wawancara dilakukan dengan pimpinan pesantren (kiyai), penasuh pesantren (ustad/ustadzah dan para pengelola), dengan kepala madrasah, para guru, dan siswa/santri.
NO 1.
2.
FAKTOR Penggalian sumbersumber pembiayaan pesantren berbasis agribisnis pada pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung
Implementa si Manajemen pembiayaan Pesantren Berbasis Agribisnis
INDIKATOR 1.1. Sumber Pembiayaan dari Pemerintah Pusat dan Daerah 1.2. Sumber Pembiayaan dari Masyarakat dan Orang Tua santri 1.3. Sumber pembiayaan dari aspek agribisnis (budi daya pertanian dan perikanan) 2.1. Perencanaan pembiayaan pesantren berbasis agribisnis 2.2. Pelaksanaan pembiayaan pesantren berbasis agribisnis 2.3. Evaluasi pembiayaan pesantren berbasis agribisnis
PENGAMATAN SUMBER DATA 1.1.1. Pemerintah 1. Pengasuh Pusat Pesantren 1.1.2. Pemerintah 2. Guru/ustadz Daerah 3. Siswa/santri
1.2.1 pembiayaan dari masyarakat 1.2.2 Pembiayaan dari orang tua santri
2.1. Perencanaan 1. Pengasuh pembiayaan Pesantren pesantren berbasis 2. Guru/ustadz agribisnis 3. Siswa/santri
2.2. Pelaksanaan pembiayaan pesantren berbasis agribisnis
2.3. Evaluasi pembiayaan pesantren berbasis agribisnis
85
3.
Faktor Pendukung dan Penghamba t manajemen Pembiayaan Pesantren Berbasis agribisnis
3.1.Faktor pendukung manajemen pembiayaan pesantren berbasis agribisnis 3.2. Faktor penghambat manajemen pembiayaan pesantren berbasis agribisnis
3.1.1. Faktor 1. Pengasuh pendukung Pesantren manajemen 2. Guru/ustadz pembiayaan pesantren berbasis agribisnis 3.2.1. Faktor penghambat manajemen pembiayaan pesantren berbasis agribisnis
3. Diskusi Diskusi dilakukan untuk menangkap ide-ide yang dikemukakan para responden yang diwawancarai, peneliti juga melakukan diskusi secara terus menerus dengan responden yang ada di pesantren. Diskusi ini sifatnya berkelanjutan, selama terjun ke lapangan dan selama penulisan. Ini dilakukan juga untuk melakukan triangulasi data. Diskusi di antaranya menyangkut agribisnis di Ciburial Desa Alam Endah Kecamatan Rancabali. 4. Triangulasi Triangulasi dilakukan melalui wawancara, observasi langsung, dan observasi tidak langsung. Observasi tidak langsung ini dilaksanakan dalam bentuk pengamatan atas beberapa kelakuan dan kejadian, yang kemudian dari
hasil
pengamatan
tersebut
ditarik
benang
merah
yang
menghubungkan antar berbagai fenomena kejadian. Teknik Triangulasi dilakukan dengan menggabungkan data yang diperoleh dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama.
86
Menurut Sugiyono (2008:273) triangulasi dilakukan untuk pengujian kredibilitas yang dilakukan dengan berbagai cara, yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan triangulasi waktu pengumpulan data. Pengasuh pesantren
Ustadz/Ustadzah
Kyai
Siswa/ santri Kepala madarasah
Infor man pertama
per
Guru
Gambar 1: Proses Triangulasi sumber data penelitian
Dokumen
Wawancara
Observasi
Gambar 2: Proses Triangulasi Teknik
5. Membercheck Membertcheck dilakukan pada subjek wawancara melalui cara-cara sebagai berikut: pertama langsung pada saat wawancara dalam bentuk penyampaian ide yang tertangkap peneliti saat wawancara. Kedua tidak langsung dalam bentuk penyampaian rangkuman hasil wawancara setelah
87
peneliti mengetik dan menyusun menurut tertib masalah yang telah dirancang. 6. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi dimaksudkan untuk menambah atau memperkuat apa yang terjadi, sebagai bahan untuk melakukan komparasi dengan hasil wawancara dan sejauh ada dokumentasi yang bisa diperoleh. Studi dokumen akan diarahkan pada sejumlah aspek di bawah ini: NO 1.
2.
SUMBER DATA Penggalian 1.1.Sumber 1.1.1. Pemerintah 1. Dokumen sumberPembiayaa Pusat pesantren sumber n dari 1.1.2. Pemerintah 2. Dokumen pembiayaa Pemerintah Daerah Madrasah n pesantren Pusat dan berbasis Daerah agribisnis 1.2.Sumber 1.2.1 Pembiayaan 1. Dokumen pada Pembiayaa dari masyarakat pesantren pesantren n dari 1.2.2 Pembiayaan 2. Dokumen Al-Ittifak Masyarakat dari orang tua Bendahara Ciwidey dan Orang santri Kabupaten Tua santri Bandung 1.3. Sumber 1.3.1 Pembiayaan 1. Dokumen pembiayaan dari aspek pesantren dari aspek agribisnis 2. Bendahara agribisnis (budi daya pertanian dan perikanan) Implement 2.1. 2.1. Perencanaan 1. Dokumen asi Perencanaan pembiayaan pesantren Manajeme pembiayaan pesantren berbasis 2. Dokumen n pesantren agribisnis Bendahara pembiayaa berbasis n Pesantren agribisnis Berbasis 2.2. 2.2. Pelaksanaan Dokumen Agribisnis Pelaksanaan pembiayaan pesantren dan pembiayaan pesantren berbasis pesantren agribisnis berbasis agribisnis FAKTOR
INDIKATOR
PENGAMATAN
88
3.
2.3. Evaluasi pembiayaan pesantren berbasis agribisnis Faktor 3.1.Faktor Pendukung pendukung dan manajemen Penghamba pembiayaan t pesantren manajemen berbasis Pembiayaa agribisnis n Pesantren 3.2. Faktor Berbasis penghambat agribisnis manajemen pembiayaan pesantren berbasis agribisnis
2.3. Evaluasi pembiayaan pesantren berbasis agribisnis 3.1.1. Faktor Dokumen pendukung pesantren manajemen pembiayaan pesantren berbasis agribisnis 3.2.1. Faktor Dokumen penghambat pesantren manajemen pembiayaan pesantren berbasis agribisnis
7. Observasi Langsung Observasi dilakukan pertama pada seluruh aktivitas pembiayaan yang dilakukan pimpinan dan pengasuh pesantren. Kemudian setelah melakukan observasi yang bersifat keseluruhan ini diperoleh data-data yang bersifat umum, maka peneliti akan lebih memokuskan observasi pada kegiatan—egiatan yang langsung terkait dengan focus penelitian yaitu manajemen pembiayaan pesantren. Kemudian data hasil observasi dikomparasikan dengan studi dokumentasi sebagai upaya untuk melihat konsistensi serta kesinambungan informasi yang diperoleh, sehingga layak dan benar-benar dapat menunjukkan fenomena yang sebenarnya.
89
Observasi akan dilakukan terhadap sejumlah aspek berikut ini: NO 1.
FAKTOR
INDIKATOR
Penggalian
1.1.Sumber
sumber-sumber
Pembiayaan dari
pembiayaan
Pemerintah
pesantren
Pusat
berbasis
Daerah
agribisnis
Ittifak
1.1.1.Pemerintah
dan
DATA Peneliti
Pusat
Daerah
1.2.1Pembiayaan
Al- Pembiayaan dari
Ciwidey Masyarakat dan
Kabupaten
SUMBER
1.1.2.Pemerintah
pada 1.2.Sumber
pesantren
PENGAMATAN
Peneliti
dari masyarakat
Orang Tua santri 1.2.2Pembiayaan
Bandung
dari orang tua 1.3.Sumber
1.3.1Pembiayaan
pembiayaan dari
dari
aspek agribisnis
agribisnis
(budi pertanian
Peneliti
aspek
daya dan
perikanan) 2.
Implementasi
2.1. Perencanaan 2.1.Perencanaan
Manajemen
pembiayaan
pembiayaan
pembiayaan
pesantren
pesantren berbasis
Pesantren
berbasis
agribisnis
Berbasis
agribisnis
Agribisnis
2.2. Pelaksanaan 2.2.Pelaksanaan pembiayaan
pembiayaan
pesantren
pesantren berbasis
berbasis
agribisnis
agribisnis
Peneliti
Peneliti
90
2.3.
Evaluasi 2.3.
Evaluasi Peneliti
pembiayaan
pembiayaan
pesantren
pesantren berbasis
berbasis
agribisnis
agribisnis 3.
Faktor Pendukung
3.1.Faktor
3.1.1.Faktor
dan pendukung
pendukung
Penghambat
manajemen
manajemen
manajemen
pembiayaan
pembiayaan
Pembiayaan
pesantren
pesantren
Pesantren
berbasis
berbasis
Berbasis
agribisnis
agribisnis
agribisnis
3.2.
Faktor 3.2.1.Faktor
penghambat
penghambat
manajemen
manajemen
pembiayaan
pembiayaan
pesantren
pesantren
berbasis
berbasis
agribisnis
agribisnis
Peneliti
91
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Kondisi Umum 1. Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Bandung Al-Ittifak merupakan pondok pesantren yang telah berusia lanjut, yakni lebih dari 73 tahun.
Atas restu dari kanjeng Dalem Wiranata
Kusumah, Wedana Ciwidey saat itu, pesantren ini didirikan dengan nama Pesantren Ciburial pada tanggal 16 Syawal 1302 H/1 Pebruari 1934 M oleh K.H. Mansyur, seorang ulama di Ciwidey. Walaupun pendiriannya melalui restu Pemerintah Belanda, namun tidak sejalan dengan pandangan penjajah Belanda. Hal ini terbukti dari nasihat Kiyai Mansyur agar masyarakat tidak usah menyekolahkan anaknya melainkan mengaji saja. Para santri diharamkan belajar menulis latin dan tidak diperbolehkan kenal dengan Pemerintahan Belanda. Halhal yang berbau Belanda seperti radio, sekolah, rumah tembok, menjadi pegawai pemerintah, merupakan hal yang tabu dan larangan keras bagi masyarakat. Dari ajaran ini –Kiyai Mansur dianggap kolot-. Kondisi semacam itu bahkan masih terasa pengaruhnya hingga tahun 1980-an. Saat itu, ketika Kiai Fuad (cucu K.H. Mansyur) bermaksud merenovasi bangunan masjid dan bilik bambu menjadi bangunan permanen tembok agar dapat menampung jama‘ah salat jum‘at lebih banyak. Namun, ia ditentang keras oleh masyarakat. Berbagai tuduhan ditudingkan kepada dirinya sebagai perusak tradisi.
91
92
Dalam suasana demikian, sistem pendidikan di Pesantren Ciburial hanya terbatas pada pola pendidikan tradisional yaitu model Sorogan. Santri-santrinya hanyalah masyarakat sekitar Ciburial yang berjumlah antara 10 sampai 30 orang dan yang mondok hanya sepertiganya. Kepemimpinan K.H. Mansyur berlangsung sampai tahun 1953. Pada tahun tersebut, kepemimpinan diberikan kepada putranya, H. Rifai. Di bawah kepemimpinan H. Rifai, perkembangan pesantren Ciburial tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, berjalan dalam suasana tradisional dan kolot. Menurut K.H. Fuad Affandi, perkembangan pesantren di bawah ayahnya, justru menurun. H. Rifai tergolong pendidik yang keras. Tradisi keningratan diterapkan secara ketat. Setiap orang yang bertemu di jalan, misalnya harus membungkukkan badannya. Kondisi ini berlangsung kurang lebih 17 tahun hingga tahun 1970, sampai putranya, Fuad Afandi menyelesaikan pelajarannya di Pondok pesantren Lasetu, Jawa Tengah. Pada tahun 1970 K.H. Fuad Affandi yang saat itu berusia 22 tahun mulai memimpin pesantren ini. Sesuai dengan jiwa mudanya, Kiai Fuad melakukan beberapa kebijakan baru. Pertama, ia memberi nama Al-Ittifak pada pesantren yang dipimpinnya. Nama ini berarti kesepakatan atau kerja sama yang bertujuan agar semua yang ada dalam naungan pesantren dapat melakukan kerja sama yang baik, atau sama-sama bekerja dengan baik. Kedua, melakukan reorientasi terhadap prinsip-prinsip dan kebijakan pesantren selama dua periode kepemimpinan sebelumnya. Ketiga, menjadikan Al-Ittifak sebagai pesantren khusus bagi orang-orang yang tidak mampu atau yatim piatu. Keempat, merintis kegiatan-kegiatan ekonomi produktif, terutama sektor pertanian, dengan tujuan agar pesantren dapat mandiri dalam membiayai kegiatan belajarnya.
93
K.H. Fuad Afandi menjadi tokoh penting dibalik kemajuan bidang agrobisnis di Desa Alam Endah Kecamatan Rancabali Bandung. Selain mengajar mengaji, Kiai Fuad berhasil mendidik warganya untuk mandiri. Ia berjuang melawan kemiskinan yang merundung masyarakat pedesaan sekitar pesantren dengan semangat kewirausahaan yang dimilikinya. Dia boleh dibilang sosok kiai yang benar-benar ―membumi‖. Ia berhasil negubah ratusan hektar lahan tidur menjadi lahan produktif yang menyejahterakan ribuan keluarga petani di sekitarnya. Lewat agrobisnis sayuran yang dikembangkannya sejak 1970-an ia membuktikan betapa koperasi menjadi penyangga utama kesejahteraan kaum tani. Ia melahirkan wirausahawan-wirausahawan muda lewat pola kerja sama yang setara dan adil. Seperti disinggung Sri-Edi Swasono, Kiai Fuad Afandi adalah seorang lokal genius yang mampu menerobos pakempakem using seorang kiai. Di tangannya, pesantren menjadi tempat pendidikan sekaligus pusat perubahan masyarakat. Dia seorang kiai tradisional yang berfikir kritis dan memiliki cara pandang kreatif. Lebih dari itu, sikapnya yang moderat pun sangat membantu cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk memasarkan produkproduk pertanian dari desanya, sang kiai berhasil menggandeng jaringan swalayan ternama: Hero Supermarket. Pada masa K.H. Fuad Afandi, pesantren Al-Ittifak mengalami kemajuan yang pesat, dapat terlihat pada: 1. Jumlah santri meningkat menjadi 326 orang (256 putra dan 70 putri) dengan jumlah ustadz sebanyak 14 orang. 2. Lahan yang diusahakan berkembang pesat, dari hanya 400 m2 kini telah menjadi 14 hektar. 3. Terdapat tiga unit bangunan asrama putra dan putri.
94
4. Perkembangan kelembagaan agrobisnis seperti kelompok tani sebanyak 5 kelompok, koperasi pondok pesantren, balai mandiri terpadu, pusat incubator agrobisnis. Pada tahun 1997, atas keberhasilan menembus pasar supermarket, pesantren
ini
dijadikan
sebagai
Pondok
Pesantren
Percontohan
Pengembangan Agribisnis, yang seleksi penetapannya dilakukan pada tahun 1996 oleh Tim Antar Departemen (Departemen Agama, Departemen Pertanian, Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta Induk Koperasi Pondok Pesantren) dan Pemda Tingkat I. Berkembang pesatnya kegiatan agribisnis di Pondok Pesantren AlIttifak ini menyebabkan banyak perusahaan swasta dan lembaga-lembaga memberikan bantuan permodalan dan latihan manajemen. Tujuannya, untuk meningkatkan volume dan kualitas usahanya. Bantuan tersebut berdatangan sejak tahun 1993. Lembaga yang memberikan bantuan pemodalan adalah PT. Telkom dan PT Perkebunan Nasional VIII. Berbagai pelatihan dan bimbingan manajemen pun diberikan antara lain oleh Pemerintah daerah Tingkat I Propinsi Jabar dan Tingkat II Kabupaten Bandung, Departemen Pertanian, Departemen Koperasi, serta beberapa instansi. Sedangkan bantuan sarana dan prasarana diberikan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II terutama Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Departemen Pertanian berupa bangunan Pusat Inkubator Agribisnis dan Departemen Koperasi, departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Agama, PT Perkebunan nasional VIII dan juga instansi lain.
95
Keberhasilan pesantren Agribisnis Al-Ittifak ini menjadikan pesantren ini sebagai pusat pelatihan dan tempat kuliah kerja lapangan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi seperti IPB, UNPAD, UPI, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan lain-lain.
2. Sekilas Sejarah Perkembangan Agrobisnis Al-Ittifak Tahun 1978, Fuad Affandi mulai menyewa lahan penduduk dan mulai meminjam modal kepada salah seorang yang kaya sebagai modal bertani buncis. Tetapi karena tidak memiliki bakat dan pengetahuan, usaha ini gagal dan rugi sampai belasan juta rupiah. Kegagalan ini tidak membuat surut nyali Fuad Afandi untuk terus mencoba usaha agrobisnis ini. Bahkan Fuad Affandi membeli lahan seluas 400 m2. Hasil pertanian ini kemudian dipasarkan ke pasar tradisional. Dalam perjalanannya model pemasaran seperti ini dirasakan sangat melelahkan dan tidak membawa keuntungan. Dari sini muncullah ide untuk menjualnya ke supermarket. Tapi, bagaimana caranya? Kiyai Fuad kemudian bergabung dengan koperasi dan pada tahun 1990 masuk menjadi anggota KUD Ciwidey. Tetapi saying mereka menolak memasarkan sayur mayor Pesantren Al-Ittifak ke supermarket. Akhirnya ia tergabung ke KUD Pasirjambu. Koperasi inilah yang menjadi mitra Pesantren Al-Ittifak dalam memasarkan sayuran ke Hero Supermarket. Tetapi, selama 8 bulan, Kiyai mengalami kegagalan. Setiap sayur yang dikirim, Hero Supermarket selalu mengirim balik dengan alas an tidak memenuhi standar. Proses Pemilihan, Pengepakan, dan pengiriman sayuran, dianggap sangat tradisional hingga tidak layak dipasok ke supermarket sekelas Hero.
96
Karena kondisi ini, Kiyai Fuad akhirnya meminta pihak manajemen Hero untuk membina mereka dari dalam. Di utuslah seorang insinyur pertanian dari Hero untuk membimbing santri-santri Al-Ittifak dalam memilih jenis komoditi pertanian, mengolah lahan, dan finishing pengepakan. Dari sinilah kisah sukses Pondok Pesantren Al-Ittifak dimulai. Hingga saat ini, pesantren ini memiliki 14 Ha tanah, beberapa gedung bangunan, dan kemampuan mandiri dalam membiayai operasional pesantren lebih 50.000.000 rupiah per bulan. 3. Manajemen (Pengelolaan) Agribisnis Yayasan Al-Ittifak dibina oleh K.H. Fuad Afandi yang merangkap sebagai Pimpinan Pondok Pesantren sekaligus Ketua Pengurus Kopontren. Keorganisasian pesantren dibagi menjadi beberapa bidang, yaitu: 1. Bidang pendidikan dan sosial yang membutuhkan biaya pendidikan, termasuk beasiswa, bidang ini pula yang bertugas membantu masyarakat dalam kegiatan kemasyarakatan. 2. Bidang perekonomian yang bertugas menjalankan roda ekonomi pondok, bidang ini berpusat pada pondok pesantren. Posisi Ketua Umum pengurus Kopontren dipegang langsung oleh K.H. Fuad Affandi. Manajer dipegang oleh Ustadz H. Asep Saifuddin, salah seorang Pembina pondok pesantren. Unit-unit usaha untuk mendukung kelompok tani terdiri dari unit pelayanan sarana produksi, unit produksisss, unit pemasaran, unit pengendalian hama dan penyakit, unit kendaraan, dan unit pemanfaatan hasil.
97
Tahun 1996, Kopontren Al-Ittifak resmi berbadan hukum koperasi. Sejak itu, perkembangannya sangat pesat. Jumlah simpanan sukarela anggota misalnya, setiap minggu mencapai tidak kurang dari Rp. 3.500.000 (Tiga Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Dalam manajemennya, pihak pondok membentuk lima kelompok tani yang melibatkan warga sekitar. Sampai saat ini, terdapat lima kelompok tani yang merupakan pendukung utama Kopontren Al-Ittifak, yaitu: 1. Kelompok tani Alif 2. Kelompok tani ONE 3. Kelompok tani Jampang Endah 4. Kelompok tani Tunggul Endah 5. Kelompok tani HMS (hasil Melak Sayur) Disamping itu Ponpes membentuk berbagai usaha kecil dan menengah (UKM) yang melibatkan peran warga, di antaranya ternak sapi, ayam, ikan, domba, dan industry rumahan garmen. Khusus untuk kelompok tani Alif (Al-Ittifak) yang terdiri dari guru dan santri, komoditi yang diusahakan tidak hanya komoditi sayuran, tetapi juga peternakan sapi, domba, ayam hias, perikanan, serta home industry garmen dan kerajinan tas. Di luar kelompok tani, ekonomi lain juga dilakukan oleh santri-santri al-Itifaq melalui lembaga BMT (Baitul Maal wa Tamwiil) yang meliputi usaha simpan pinjam, penjualan sembako (Sembilan bahan pokok), dan pelayanan jasa (SIM, STNK, pajak, dan lain-lain). Organisasi BMT ini dikelola oleh enam orang pengurus, dan sekarang telah memiliki asset sebesar 150.000.000,- di luar asset bangunan, yang modal awalnya pada tahun 1997 hanya
Rp 250.000,-
(dua ratus lima puluh ribu rupiah) saja. Khusus untuk pengelolaan
98
agribisnis dilakukan melalui beberapa tahapan yang saling terkait. Tahapan-tahapan tersebut meliputi: pemilihan komoditi, perencanaan, mengatur pola tanam, dan pengorganisasian santri. 1. Pemilihan Komoditi Komoditi yang ditanam adalah komoditi-komoditi yang merupakan permintaan
pasar,
baik
pasar
tradisional
maupun
pasar-pasar
nontradisional (supermarket atau swalayan). 2. Perencanaan Untuk memenuhi permintaan pasar sesuai dengan kontrak kerja antara pondok pesantren baik melalui KUD maupun langsung dengan pengusaha, telah dilakukan perencanaan kerja dengan kelompokkelompok tani. Perencanaan dilakukan dengan membagi komoditikomoditi yang harus diproduksi oleh kelompok-kelompok tani. Selain itu, untuk mendukung kesuburan tanah, dikembangkan pula unit pembuatan kompos. 3. Mengatur Pola tanam Di setiap lahan disediakan pola tanam yang diisi oleh PPL (Petugas Penyuluh lapangan) dari Dinas Pertanian. Misalnya untuk menanam tomat, ditetapkan minggu I (pertama) di lahan mana dan luasnya berapa. Bila ternyata masih kekurangan produk yang akan dipasok, maka tugas bagian pengadaan yang akan mencari ke petani-petani di Ciwidey, Lembang, hingga Garut. Ratusan santri salat subuh berjamaah dengan khusyuk. Setelah selesai salat, mereka mengaji. Tidak boleh seorang santri pun meninggalkan masjid. Setelah satu jam berlalu, para santri keluar masjid dan bergegas masuk kamar untuk berganti pakaian. Sesaat kemudian, para santri berhambur ke luar pondokan. Sebagian santri sigap mengolah hasil
99
panen untuk dipasarkan. Sebagian santri pergi ke kandang sapid an domba untuk memberi makan dan sekaligus memerah susu sapi. Sebagian yang lain berkumpul di halaman masjid menunggu mobil bak yang akan mengangkut mereka menuju ke perkebunan di sekitar pesantren. Dengan demikian, selain belajar agama, santri juga diajarkan pemberdayaan ekonomi
lewat
praktik
kewirausahaan.
Kewirausahaan
atau
entrepreneurship itu memang menjadi jantung aktivitas Pesantren AlIttifak yang didirikan KH. Fuad Affandi. Pesantren tersebut didesain sebagai pesantren yang mampu menghidupi sendiri, tidak mengandalkan hidup dari sumbangan, agar para santri hidup mandiri. Pesantren Al-Ittifak mengubah mental masyarakat desa yang malas karena keterkungkungan, menjadi masyarakat yang bekerja keras. Pesantren ini telah berhasil menyulap perkampungan ciburial yang miskin, ketinggalan di bidang pertanian, transfortasi, dan pendidikan, menjadi kampung yang maju, bahkan telah mampu menarik wisatawan. 4. Pengorganisasian Santri Dalam mengelola agribisnis tersebut, para santri dibagi ke dalam kelompok-kelompok yang pengelompokkannya didasarkan kepada minat, tingkat pendidikan, dan keterampilan khusus yang dimiliki para santri. Secara umum pembagian tugas guru dan santri sebagai berikut: a) Pengurus inti agro bisnis, b) Kesekretariatan, c) mandor kebun, d) pengemasan, e) Pemasaran, f) pekerja lapangan, g) pengadaan. Untuk mempertahankan bisnis agro ini, pesantren menerapkan strategi pemasaran bermitra usaha, baik dengan KUD, kerja sama langsug dengan supermarket dan membuat pasar-pasar potensial yang baru. Secara bertahap, setelah mendapat kepercayaan dari satu supermarket yaitu Hero,
100
kemudian diupayakan kerja sama dengan supermarket yang lain tanpa melepaskan pangsa pasar yang sudah terjalin. Pihak pesantren juga bekerja sama dengan Departemen Pertanian dengan dilibatkannya tenaga PPL (Petugas Penyuluh Lapangan) untuk membina pengaturan pola tanam. Di luar itu, secara internal pihak pesantren pun secara rutin mengadakan forum pertemuan antara santri dengan petani untuk membahas pola tanam dan teknologi budidaya yang biasa dilakukan setiap hari kamis, malam jumat, di tiap-tiap awal bulan. Pesantren Al-Ittifak banyak yang menjuluki sebagai ―Ponpes hijau‖. Ponpes (Pondok Pesantren) tersebut memiliki sekitar 14 hektar lahan pertanian. Di samping itu, masih ada sekitar 300-an hektar lagi yang merupakan lahan warga yang penggarapannya diberikan kepada pihak pondok. Di lahan tersebut ada sekitar 25 jenis sayuran yang ditanam dan diurus oleh para santrinya. Sayur-sayuran tersebut biasanya dipasarkan di supermarket-supermarket langganan di kota-kota besar. Lahan yang dikelola santri tersebut biasanya menghasilkan 3-4 ton sayuran dalam setiap harinya. Omzetnya mencapai ratusan juta rupiah setiap bulannya. Pada pesantren tersebut sudah ada sekitar 300 santri dan 400 petani yang diberdayakan untuk bercocok tanam. Para santri mulai bercocok tanam dari pagi sampai jam 11.00 siang. Kemudian petani yang merupakan warga sekitar pondok akan melanjutkan kegiatan pertanian tersebut dari siang sampai menjelang sore hari pukul 17.00.
101
B. Hasil Penelitian 1. Sumber-Sumber Pembiayaan Di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Bandung memiliki beberapa strategi dalam pengelolaan pembiayaan pesantren yang dapat menunjang serta membantu dalam pembangunan fasilitas pesantren, kesejahteraan para pendidik, dan bantuan bagi santri kurang mampu secara mandiri serta belum ada kerja sama dengan perusahaan lain ataupun bantuan dari donatur yang bersifat tetap. Hal ini dapat dibuktikan dengan data yang diberikan oleh bendahara pesantren, dan juga hasil wawancara yang dilakukan kepada bendahara dan kepala pesantren, bahwa pendapatan dana pesantren dipungut dari dana SPP, dana dari pemerintah (Departemen Agama), dan donatur yang bersifat tidak tetap. Sumber-sumber keuangan pesantren dapat bersumber dari orang tua, pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dunia usaha, dan alumni, dan swadaya melalui kewirausahaan sosial berbasis agribisnis. Temuan menunjukkan bahwa sumber pembiayaan di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey, menggunakan dana dari orang tua dan pemerintah yaitu dari Departemen Agama untuk pembiayaan madrasah dan dana hasil swadaya melalui kewirausahaan
sosial
berbasis
agribisnis.
Namun
pengelolaan
keuangannya bisa menyisihkan uang untuk pembangunan pendidikan di pesantren tersebut. Untuk dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) yang dipungut untuk Madrasah Tsanawiyyah yaitu Rp.100.000/siswa dan untuk SPP Aliyyah sebesar Rp.125.000/siswa sedangkan untuk dana asrama sebesar 400.000 perbulan, yang biaya tersebut masih terhitung sangat hemat dan sangat kurang sekali untuk membiayai seluruh komponen pendidikan.pengelolaan pembiayaan di pesantren tersebut juga
102
hanya dikelola oleh satu bendahara saja, baik di Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah dan pesantren semuanya dikelola oleh satu bendahara saja, yaitu bendahara yayasan. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala pesantren menurut beliau bahwa pesantren ini memiliki prinsip pesantren barokah “saeutik mahi loba nyesa”(bahasa sunda), sehingga pembiayaan dirasa sangat kurang. Menurut pimpinan pesantren pengelolaan pembiayaan di pesantren sudah efektif, sehingga walaupun dana yang dirasa masih sangat minim untuk pengelolaan madrasah dan pesantren namun dapat menutupi segala kebutuhan yang diperlukan pesantren. Pada awal berdirinya Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung ini sumber pendanaan atau pembiayaan pesantren berasal dari para munfiqin (donatur) dan aghnia (mampu) dan juga berasal dari kesadaran masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan pentingnya pendidikan. Pada saat awal pengajaran, semua pembiayaan dibebaskan tanpa pungutan biaya apapun. Namun seiring berjalannya waktu dan bertambahnya kebutuhan dalam meningkatkan mutu pendidikan, maka pihak pesantren mulai memungut biaya dari setiap santri nya dimulai dari SPP sebesar Rp 5000,- dan setiap tahunnya bertambah sekitar 10% sesuai dengan kebutuhan. Sampai sekarang biaya SPP untuk Madrasah Tsanawiyyah ialah sebesar Rp 100.000,- dan untuk Aliyyah sebesar Rp 125.000,- dan untuk yang tinggal di asrama dikenakan biaya tambahan untuk makan dan biaya asrama sebesar Rp 450.000,- per bulan (wawancara dengan bendahara pesantren). Sumber pembiayaan pesantren berasal dari orang tua santri, pemerintah yaitu Bantuan Operasional Sekolah(BOS) baik BOS pusat, kabupaten maupun propinsi dan juga dari para donatur. Dari sumber-
103
sumber pembiayaan yang didapatkan oleh pesantren dapat mencukupi dan menutupi kekurangan dana yang ada dan dapat tetap melakukan pembangunan secara bertahap. Dana tersebut pada tahun ajaran 2013-2014 jika diterima seluruhnya mencapai Rp. 2.225.863.600,- dan merupakan dana yang diterima selama satu tahun(wawancara dengan bendahara pesantren). Untuk gaji pegawai guru di pesantren tidak ada yang PNS, dan biaya gaji guru tersebut pada tahun 2016 sekarang mencapai Rp. 54.115.000,setiap bulannya dan belum pernah dalam memberikan gaji kepada guru itu nunggak atau berhutang. Dalam masalah pemberian gaji guru selalu tepat waktu(wawancara dengan bendahara pesantren). Pengelolaan pembiayaan di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey dikelola oleh satu bendahara atau disatu pintukan, hal itu dikarenakan adanya subsidi silang antara pembiayaan yang satu dan yang lainnya untuk menutupi dana yang kurang, dana yang masuk dari tsanawiyyah dan aliyah disatukan dan juga karena bangunannya yang satu atap maka pembiayaan dipercayakan kepada satu bendahara, namun dalam hal teknis pengelolaannya bendahara tersebut dibantu oleh bagian tata usaha dan bagian administrasi atau staf bendahara, bendahara hanya memberikan konsepannya saja dan mengontrol jalannya pembiayaan namun tetap bendahara yang memegang seluruh pembiayaan. Secara administrasi pemasukandana aliyah dan tsanawiyyah dipisah bukukan, semua penerimaan dan pengeluaran harus berdasarkan persetujuan bendahara juga kepala pesantren ataupun kepala sekolah disetiap jenjang jika pembiayaannya berhubungan dengan sekolah (wawancara dengan bendahara pesantren).
104
2. Implementasi
Pembiayaan
Pesantren
Al-Ittifak
Ciwidey
Kabupaten Bandung a. Perencanaan Pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung Perencanaan pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung terdiri dari standar kurikulum yaitu dana yang dikeluarkan untuk kasbon tsanawiyyah dan koperasi mu‘allimin, standar isi yaitu dana yan dialokasikan untuk biaya ta‘aruf (penerimaan siswa baru), biaya test masuk, biaya kesantrian, kasbon mu‘allimim/aliyyah dan lain-lain. Standar proses yaitu dana yang dialokasikan untuk biaya proses belajar mengajar, biaya kegiatan ekstra kurikuler, biaya buku pelajaran untuk siswa dan guru, ATK dan lain-lain. Standar pendidik dan kependidikan yaitu terdiri dari biaya gaji guru piket, insentif guru, biaya pelatihan dan pembinaan guru. Standar sarana prasarana yaitu dan yang dialokasikan untuk biaya pemeliharaan sarana prasarana, seperti gedung, alat dan perabot, biaya renovasi, biaya pembangunan, listrik, telepon dan speedy, kebersihan dan lain sebagainya. Standar pengelolaan meliputi pengelolaan infaq, biaya pelaporan bantuan, Fotocopy, pengelolaan peserta didik seperti biaya kesehatan dan lainnya. Standar pengayaan meliputi pengadaan sarana prasarana,
koran,
konsumsi,
tarnsportasi
dan
lain-lain.
Standar
implementasi dan penilaian meliputi biaya UAS, UTS, UKK,biaya ujian, biaya raport, biaya gaji guru dan lain-lain. Biaya pakaian siswa, biaya asrama juga biaya untuk pembangunan penambahan kelas dan sarana prasarana. Pihak yang terlibat dalam penyusunan anggaran di Pesantren AlIttifak Ciwidey Kabuapaten Bandung adalah komite pesantren, mudir „am (kepala pesantren), bendahara, dan tata usaha.
105
Adapun langkah langkah dari penyusunan anggaran yaitu: Mereview anggaran tahun lalu terlebih dahulu berdasarkan laporan tahun lalu; Melakukan analisis kebutuhan apa saja yang dibutuhkan dan kegiatan apa saja yang akan dilakukakan dalam kurun waktu satu tahun kedepan; Kemudian kegiatan dan kebutuhan tersebut dialokasikan dengan angka dan setiap kebutuhan atau kegiatan yang sangat penting dinomor satukan dan pada urutan paling atas; Tahap selanjutnya yaitu pembuatan proposal rencana anggaran pendapatan dan belanja pesantren (RAPBP) yang nanti akan diajukan oleh mudir ‗am (kepala pesantren) sendiri sebagai kepala pesantren; Tahapan penyusunan RAPBP ini ialah pertama berasal dari Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah dari setiap kepala madrasah, dan kemudian disatukan dan dirancang menjadi Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Pesantren (RAPBP); Terakhir dirundingkan atau dimusyawarahkan dalam sebuah rapat yang diikuti oleh komite pesantren, mudir ‗am (Kepala Pesantren), bendahara, dan tata usaha. Penyusunan rencana anggaran pendapatan belanja pesantren (RAPBP) berisi rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam setahun kedepan, dengan berisi rencana dana yang akan dikeluarkan untuk melaksanakan
kegiatan
tersebut
dan
menentukan
sumber
pembiayaannya.Setiap merencanakan anggaran tidak selalu ditargetkan 100% karena dalam kenyataannya dana yang diperoleh dari orang tua tidak akan semua membayar lunas. Untuk mengantisipasi dana yang kekurangan, pihak pesantren atau bendahara khususnya selaku pengelola pembiayaan pesantren akan melakukan subsidi silang dari dana yang lainnya seperti menggunakan dana pendaftaran santri untuk biaya rotibah (gaji) guru, biaya operasional, sarana prasarana, pembangunan, kesiswaan dan lain sebagainya. Dana dari donatur sangatlah berpengaruh dalam
106
menutupi kekurangan pembiayaan di pesantren karena berdasarkan data yang diperoleh bahwa dana paling besar itu berasal dari dana SPP santri dan yang kedua dana dari para donatur baik yang tetap maupun tidak tetap. Bendahara pesantren selalu memiliki dana cadangan dalam pembiayaannnya yaitu dana dari para donatur, SPP, pendaftaran dan dari munfiqin (infaq)(wawancara dengan bendahara pesantren).
b. Pelaksanaan Pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung Pelaksanaan
pembiayaan
di
Pesantren
Al-Ittifak
Ciwidey
Kabuapaten Bandung dibantu dengan adanya catatan-catatan pembiayaan seperti buku jurnal, buku kas umum, buku kas tunai dan buku kas bank sebagai alat bantu pembukuan atau pencatatan penerimaan dan pengeluaran dana(wawancara dengan bendahara pesantren). Berdasarkan Observasi bahwa proses pembukuan pembiayaan dilakukan secara manual, hal ini didukung dengan adanya(wawancara dengan bendahara): BKU (Buku Kas Umum) yaitu didalamnya berisi data tentang keuangan, gaji pegawai(guru) dan biaya operasional; BKB (Buku Kas Bank) yaitu didalamnya berisi tentang data uang yang diambil dari bank; dan Buku Kas Tunai yaitu didalamnya berisi tentang data uang yang dibayarkan secara lansung dari bendahara. Bagian tata usaha yang paling berpengaruh dalam pelaksanaan pembiayaan, bendahara hanya menerima laporan dan menerima masukan dana dari bagian tata usaha yang bersumber dari santri dan donatur, sedangkan untuk penerimaan dana yang bersumber dari pemerintah bendahara pesantren yang berwenang mengelolanya dibantu dengan staf bendahara disetiap jenjangnya karena proses penerimaan dana dari
107
pemerintah sangat rumit. Pengelolaan pembiayaan oleh bendahara pesantren karena bangunan madrasah dan pesantren bera yang satu atap. Tahapan pembukuan di pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabuapaten Bandung yaitu sebagai berikut:Semua pemasukan dana diterima oleh bagian tata usaha dan dicatat dalam buku harian jurnal; Bagian tata usaha memberikan laporan, laporan tersebut ada yang sifatnya harian dan bulanan kepada bendahara; Bendahara menerima laporan bulanan dan masukan dana dari bagian tata usaha kemudian dicatat kedalam buku kas umum dan tunai, adapun dalam hal penerimaan dana dari pemerintah dicatat dalam buku kas bank; dan Selanjutnya seluruh pencatatan penerimaan dan pengeluaran dicatat kembali dalam buku besar. Untuk pengeluaran dana yang memerlukan biaya besar maka ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum dana tersebut dikeluarkan oleh bendahara yaitu: Membuat proposal pengajuan; Proposal tersebut diajukan kepada pimpinan pesantren; dan Apabila di terima oleh pimpinan pesantren maka bendahara dapat mengeluarkan dana tersebut beserta lembar cek yang diberikan oleh bendahara. Untuk pengeluaran dana yang tidak terlalu besar dapat diberikan langsung namun tentunya harus memberikan tanda telah membelanjakan dana tersebut dengan lembar cek dan diberikan kepada bendahara. Adapun tahap pelaporan kepada kepala pesantren ialah dimulai dari laporan dari bagian tata usaha pesantren baik laporan harian, bulanan maupun tahunan, namun yang dilaporkan kepada bendahara hanya laporan bulanan saja, kemudian bendahara juga membuat laporan keuangan keseluruhan dari bagian tata usaha dan dari pemerintah, setelah itu laporan keuangan tersebut diberikan kepada kepala pesantren. Dipesantren AlIttifak Ciwidey Kabuapaten Bandung tidak ada badan pengawas keuangan
108
namun kepala pesantren lebih mempercayakan kepada pihak pengelola keuangan untuk bersikap jujur.
c. Evaluasi Pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung Setelah melaksanakan pembiayaan selama satu tahun maka haruslah dibuat laporan pertanggung jawabannya oleh bendahara pesantren. Adapun pihak yang melakukan evaluasi ialah komite pesantren, kepala pesantren, serta bagian bendahara pesantren dan tata usaha. Kemudian kepala pesantren memeriksa apakah anggaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan atau tidak. Bendahara mengeluarkan anggaran atas persetujuan
dari
kepala
sekolah
masing-masing
dan
kepala
pesantren(wawancara dengan kepala pesantren). Evaluasi
yang
dilakukan
di
Pesantren
Al-Ittifak
Ciwidey
Kabuapaten Bandung yaitu dengan membuat laporan pertanggung jawaban yang kegiatannya selalu dilakukan setiap satu tahun sekali. Seperti halnya yang dijelaskan olah Thomas H. Jones yaitu audit (evaluasi) yang dilakukan didalam kantor atau diatas meja dengan melihat laporan-laporan yang masuk dan evaluasi yang dilakukan oleh kepala pesantren dengan mendatangi objek lapangan untuk memverifikasi data dan laporan yang masuk dan dibuktikan di lapangan. Tahap evaluasi dilakukan oleh kepala pesantren dan kepala madrasah setiap jenjangnya. Setelah mewawancarai kepala pesantren Ust H.M Rahmat Najieb beliau mengemukakan bahwa evaluasi ini dilakukan dengan melihat apakah target yang telah ditetapkan telah tercapai atau tidak dengan mengecek data yang ada dalam buku pembiayaan megenai penerimaan dan pengeluaran dana juga pelaporan yang sudah dibuat oleh
109
bendahara. Kepala pesantren sudah sangat percaya kepada bendahara mengenai pembiayaan pesantren sehingga yang dilakukan kepala pesantren sebagai evaluator hanya sebagai kordinator saja dengan melihat juga mengecek penerimaan dan pengeluaran dana dan menanyakan permasalahan pembiayaan yang dihadapi. Pengevaluasian yang dilakukan tidak terlalu dipersulitkan hanya melihat apakah penerimaan dan pengeluaran dana seimbang atau tidak, pihak pesantren juga melakukan evaluasi hanya dengan kepala pesantren, kepala madrasah setiap jenjang saja yang menjadi evaluatornya namun setiap lima tahun sekali selalu ada laporan kepada pihak terkait. Adapun dalam masalah pembiayaan bila terdapat kekurangan maka selalu ada biaya yang didapat dari para donatur juga selalu dianggarkan untuk biaya tidak terduga untuk biaya yang sifatnya insidental seperti biaya untuk yang sakit dan biaya bencana alam dan itu dianggarkan sebesar 10% dari dana yang ada. Selalu saja pendapatan atau pemasukan dari orang tua santri kurang dan tidak sesuai dengan yang seharusnya. Namun dengan adanya subsidi silang yang dilakukan oleh bendahara maka dapat tertutupi dengan bantuan dana dari donatur. Evaluasi dilakukan dengan melihat apakah antara pemasukan dan pengeluaran seimbang atau tidak.
Adapun antara perencanaan dan
pelaksanaan pembiayaan yang cenderung berbeda, hal itu dikarenakan adanya penambahan pemiayaan yang tidak terduga dan juga pemasukan yang didapat tidak sesuai dengan yang seharusnya seperti dana SPP semua orang tua tidak semuanya dan tidak sepenuhnya membayar, juga pembiayaan asrama yang juga tidak semua membayar hal ini berpengaruh terhadap pembiayaan pesantren sehingga apa yang direncanakan terkadang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Hasil evaluasi tidak
110
dilaporkan kepada pihak luar namun kepada pihak yang bersangkutan dengan pengelola pesantren. Adapun langkah-langkah pembuatan laporan pertanggung jawaban berdasarkan wawancara dengan Ibu Ai Fatimah selaku bendahara pesantrenyaitu: 1. Bidang tata usaha pesantren membuat laporan keuangan/pembiayaan mengenai SPP, dana sumbangan dari donatur, dana pembiayaan asrama, dan lainnya yang tidak berkaitan dengan dana yang bersumber dari pemerintah untuk dilaporkan kepada bendahara. 2. Bendahara membuat laporan berdasarkan laporan yang diberikan oleh bidang tata usaha dan membuat laporan keseluruhan pembiayaan yang diterima dan dikeluarkan maupun yang disimpan. Adapun untuk laporan pembiayaan yang sumbernya berasal dari pemerintah untuk biaya BOS dari pemerintah pusat dilaporkan setiap tiga bulan sekali dan BOS dari propinsi dan kabupaten setiap enam bulan sekali. 3. Bendahara pesantren menerima laporan pembiayaan dari setiap jenjang karena dalam pelaksanaan pembiayaan seperti halnya pembukuan setiap jenjang nya dipisah bukukan maka laporannya pun per jenjang. 4. Kemudian disusun laporan keseluruhannya dan dibuatkan laporan pertanggung jawaban untuk dirapatkan di rapat evaluasi bersama kepala pesantren, kepala sekolah setiap jenjang, komite pesantren, bendahara, dan bagian tata usaha. 5. Penganggaran untuk tahun depan juga dilaksanakan setelah evaluasi dilakukan.
111
3. Faktor Penunjang dan Penghambat Pelaksanaan Pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung Faktor penunjang pelaksanaan pembiayaan di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung berdasarkan wawancara kepada bendahara pesantren serta temuan lain melalui observasi dan studi dokumen ialah terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal yaitu: a. Faktor Internal Faktor internal sangat menentukan bagi pelaksanaan pembiayaan di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung, faktor penunjang dari dalam tersebut yaitu: Adanya sumber dana yang pasti yaitu dari sector agribisnis (pertanian, peternakan, dan perikanan), dana bantuan yang diberikan pemerintah setiap tahunnya yaitu dana BOS dari pusat, propinsi dan kabupaten, Pengelolaan keuangan yang satu atap atau disatu pintukan memberikan
bantuan
bagi
pengelola
keuangan
untuk
menutupi
kekurangan dana dengan menggunakan subsidi silang; Pada saat penganggaran dana yang dialokasikan tidak ditargetkan 100% karena pada kenyataannya untuk penerimaan biaya SPP khususnya hanya beberapa saja yang dapat membayar sesuai dengan waktu yang ditentukan, sehingga bendahara mengantisipasi adanya dana cadangan yang didapat dari dana donatur dan dana pendaftaran. Hal ini dapat membantu dalam pelaksanaan pembiayaan. b. Faktor eksternal Faktor dari luar yang mempengaruhi pelaksanaan pembiayaan pesantren di antaranya: Dana dari orang tua santri berupa dana sumbangan pembangunan (DSP) dan SPP yang orang tua berikan sesuai dengan anggaran yang sudah ditetapkan oleh pihak pesantren; Adanya support atau dukungan dari masyarakat sekitar akan pentingnya pendidikan;
112
Adanya bantuan dari para donatur baik tetap maupun tidak tetap; Banyaknya kegiatan kiyai memberikan tausiyah/ceramah di masjid atau pengajian sehingga banyak sekali yang ingin memberikan sumbangan dana ke pesantren. Faktor penghambat yang mempengaruhi pencapaian keberhasilan pelaksanaan pembiayaan di pesantren yaitu: Proses penerimaan dana BOS dari pemerintah yang susah dan rumit; Adanya santri yang tidak membayar SPP 100% dikarenakan kondisi ekonomi keluarga yang umumnya berasal dari kalangan menengah kebawah; Pembuatan laporan selalu terlambat dikarenakan bendahara yang mengelola pembiayaan hanya satu orang saja dan pembuatan laporan pembiayaan yang bercabang; Penerimaan/pencairan dana BOS selalu diakhir tahun; dan Kurangnya tenaga profesional yang ditunjang dengan anggaran. Untuk mengatasai hambatan-hambatan dalam proses pelaksanaan pembiayaan di pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten bandung dilakukan beberapa alternatif cara diantaranya: Membuat proposal usulan dana bantuan kepada pihak-pihak yang ingin menyumbangkan sedikit dari penghasilannya atau kepada kantor kementerian agama; Mencari sumber dana atau donatur yang mau menjadi orang tua asuh santri untuk membantu meringankan biaya peserta didik yang kurag mampu; Meminta bantuan pelatihan yaitu corporate social responsibility (CSR) kepada perusahaan terdekat untuk penguatan mutu agribisnis pesantren; Dalam setiap merencanakan anggaran, dana yang seharusnya didapat tidak ditargetkan 100% karena pada kenyataannya untuk penerimaan biaya SPP khususnya hanya beberapa saja yang dapat membayar sesuai dengan waktu yang ditentukan, sehingga bendahara mengantisipasi adanya dana cadangan yang didapat dari dana donatur dan dana pendaftaran. Hal ini
113
dapat membantu dalam pelaksanaan pembiayaan. Menggunakan dana bantuan dari pemerintah yang lebih dikhususkan bagi santri yang kurang mampu. Hasil yang dicapai dalam pelaksanaan pembiayaan di pesantren dapat dilihat dari (wawancara dengan bendahara dan kepala pesantren): Pengelolaan pembiayaan yang sesuai antara pemasukan dan pengeluaran dana artinya bahwa dalm proses pembiyaan selalu seimbang dilihat dari data yang diperoleh dari pesantren; Target yang telah ditetapkan oleh kepala pesantren telah tercapai yaitu
adanya keseimbangan antara
pemasukan dan pengeluaran, juga adanya transparansi, juga penambahan pemasukan dari para donatur. Proses belajar mengajar: Para guru/ustadz sangat antusias dalam mengajar murid-muridnya karena dalam hal pemberian ratibah (gaji) guru pengelola keuangan belum pernah berhutang artinya selalu tepat waktu. C. Pembahasan 1. Sumber–Sumber Pembiayaan Di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung Sumber pembiayaan pesantren Al-Ittifak Ciwidey dipungut dari orang tua santri dalam bentuk SPP, DPP/Iuran santri, dari Pemerintah (Kementerian Agama, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan), masyarakat (dunia usaha dan dunia industri), alumni, dan sektor agribisnis (pertanian, peternakan, dan perikanan). Sumber dana dari Pemerintah sangat terbatas. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Nanang Fattah (2012 b:78) bahwa pendidikan nasional memiliki
masalah
antara
lain
peningkatan
kualitas,
pemerataan
114
kesempatan, dan keterbatasan anggaran serta sumber daya dari masyarakat belum terpenuhi secara profesional. Pesantren yang menyelenggarakan madrasah mempunyai sumber pembiayaan dari Pemerintah berupa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) baik BOS pusat, kabupaten, maupun propinsi. Pesantrten Al-Ittifak juga
mempunyai madrasah ibtidaiyah,
tsanawiyah, dan Aliyah. Sumber pembiayaan pesantren tersebut dominan dari sektor agribisnis. Hal tersebut berbeda dengan kebanyakan pesantren di Indonesia. Kecenderungan umum pesantren lebih banyak menerima bantuan dari pemerintah dan masyarakat serta dari orang tua santri, daripada melalui sentra-sentra bisnis seperti pada pesantren berbasis agribisnis. Nanang Fattah (2012 b:57) menggambarkan alternatif pola pengelolaan strategi pembiayaan lembaga pendidikan berdasarkan sumber-sumber dana di bawah ini:
Sumber Dana A. Pemerintah Pusat 1. DIK
Jangka Pendek
Jangka Menengah
Masih diatur di Diatur tingkat pusat
tingkat
Jangka Panjang di Semua
pusat komponen
1.(untuk gaji atau biaya
diatur
komponen lain oleh
Pemda
diatur di tingkat Dati Dati II)
II
dan
sekolah mempunyai kelonggaran untuk mengatur
115
2. DIP, BOP, SBPP
Masih
diatur Pemda Dati I Pemda Dati II
Pemerintah
mempunyai
dan
Pusat
kewenangan
mempunyai
berdasarkan
mengelola
kewenangan
prioritas
keuangan
untuk
kebutuhan
sekolah
mengelola keuangan secara penuh
B. Bantuan/Blok Grant
Diterima
Diterima
Diterima
langsung
oleh langsung
oleh langsung
oleh
Pemda Dati II sekolah dengan sekolah dengan berdasarkan
arahan
konsultasi
Dati II
Pemda kewenangan penuh
dengan
untuk
mengelola
pemerintah pusat C. Sumbangan
dari Dikelola penuh Dikelola penuh Dikelola penuh
orang tua siswa oleh (BP3)
sekolah oleh
sekolah oleh
kepala
berdasarkan
berdasarkan
sekolah dengan
kesepakatan
kesepakatan
BP3,
dengan
BP3,
disertai
disertai kemampuan
pengurus BP3 kemampuan
professional
disertasi
profesional
kepala sekolah
kemampuan
kepala sekolah
sekolah D. Sumbangan
dari Dikelola penuh Dikelola penuh Dikelola penuh
116
masyarakat
atau oleh
sekolah oleh
sekolah oleh
kepala
dinia usaha dan berdasarkan
berdasarkan
sekolah dengan
yayasan
kesepakatan
kesepakatan
BP3,
dengan
BP3,
disertai
disertai kemampuan
pengurus BP3 kemampuan
profesional
disertasi
profesional
kepala sekolah
kemampuan
kepala sekolah
sekolah Gambar 1.2 Pola pengelolaan strategi pembiayaan berbasis sekolah (school based management) berdasarkan sumber-sumber dana (sumber: Nanang Fattah, 2012 b:57).
Dapat dinyatakan bahwa sumber utama pembiayaan Pesantren AlIttifak Ciwidey bersumber dari agribisnis dengan menyediakan sarana entrepreneurship
bagi
penambahan
sumber
pendapatan
keuangan
pesantren, melalui pertanian, perikanan, dan peternakan. Sumber pendanaan menjadi tanggung jawab Pemerintah, lembaga multilateral & bilateral, orang tua dan wali, masyarakat, dan alumni, pinjaman swasta, bisnis dan lainnya. Pembagian biaya (cost sharing merupakan ciri pendidikan jamaika, meskipun adanya pengenalan sekolah gratis oleh Pemerintah pada tahun 2007, pada kenyataannya, pembagian biaya adalah ciri dari pembiayaan pendidikan publik (hlm.8). Pembahasan pembagian biaya (cost sharing) seharusnya mempertimbangkan tiga bidang berikut: a. Proporsi anggaran negara yang dialokasikan untuk sektor pendidikan dibandingkan proporsi yang dialokasikan untuk sektor lain; b. Proporsi anggaran operasional sekolahg yang disediakan oleh Departemen Pendidikan (Ministry of Education) dibandingkan proporsi
117
yang diperoleh dari kegiatan pendapatan sekolah, c. Proporsi biaya lokal pendidikan yang ditanggung oleh sekolah (ongkos bus, makan siang, perjalanan, buku, dan lain-lain) versus proporsi yang ditanggung pemerintah.
Pada
halaman
7-8
dinyatakan
bahwa
Jamaika
memperkenalkan program pembagian biaya (cost sharing) pada tahun 2994-1995 yaitu orang tua diminta membayar biaya pendidikan sebagai bagian dari biaya. 90 persen dari total anggaran dihabiskan untuk gaji dan administrasi (Disraeli M. Hutton [2014]). 2. Implementasi
Pembiayaan
Pesantren
Al-Ittifak
Ciwidey
Kabupaten Bandung Implementasi pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung menempuh manajemen operasi pembiayaan yaitu melalui tahap perencanaan anggaran (budgeting), pelaksanaan anggaran (accounting), dan pengevaluasian anggaran (auditing). Komponen pembiayaan pesantren di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung dimaksudkan agar dapat mendanai berbagai kelengkapan pendidikan di pesantren menyangkut pembangunan fasilitas pesantren (facilitation), kesejahteraan pendidik, bantuan kesejahteraan bagi siswa kurang mampu ekonomi, kegiatan operasional pembelajaran, dan berbagai perangkat keras dana perangkat lunak pembelajaran. Biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri dari biayabiaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transfortasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua, maupun siswa. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan
118
yang hilang (earning forgone) dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar (Cohn, 1979; Thomas Jone, 1985; Alam Thomas, 1976) (Nanang Fatah, 2012 b: 23). Pesantren Al-Ittifak Ciwidey juga memberikan biaya gratis bagi santri yang tidak mampu. Senada dengan konteks tersebut, penelitian Disraeli M. Hutton (2014), ―menyoroti pendidikan gratis sebagai salah satu strategi untuk mengurangai biaya pendidikan yang tinggi untuk siswa Jamaika di tingkat Tersier dan Sekunder dari sistem pendidikan. Kebijakan tersebut telah membuat akses bagi pendidikan sekunder dan tersier.‖ Kelompok masyarakat kurang mampu akhirnya memiliki akses mendapatkan kesempatan pendidikan. 3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung Faktor penunjang pelaksanaan pembiayaan di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung berdasarkan wawancara, observasi dan studi dokumen terdiri atas faktor internal yaitu adanya dana bantuan yang diberikan Pemerintah setiap tahunnya, ketersediaan dana yang bersumber dari agribisnis (pertanian, peternakan, dan perikanan), pengelolaan keuangan yang satu atap atau disatu pintukan. Faktor eksternal yaitu dana dari orang tua santri berupa dana sumbangan pembangunan (DSP) dan SPP yang orang tua berikan sesuai dengan anggaran yang sudah ditetapkan oleh pihak pesantren, adanya dukungan dari masyarakat sekitar akan pentingnya pendidikan, bantuan para donator. Adapun faktor penghambat keberhasilan pelaksanaan pembiayaan di pesantren yaitu
119
proses ketidakpastian jumklah dan waktu dana dari pemerintah yang susah dan rumit dan kurangnya tenaga professional. Pesantren Al-Ittifak memang dituntut mampu mengoptimalkan pencarian sumber dana bagi kelangsungan pendidikan. Termasuk dalam hal tersebut pesantren memperkuat sector agrobisnis bagi penguatan kapasitas sumber pembiayaan pesantren. Hal tersebut senada dengan penelitian Yuanyuan LI (2014), ―Financing, Management, and Public Relation at The University of Houston and Its Implication For China‖ dalam Jurnal Chinese Education and Society (hlm. 56-70), menjelaskan bahwa pendanaan, manajemen modal, dan hubungan masyarakat pada Universitas Houston dan implikasinya bagi universitas Cina. Pendanaan merupakan salah satu masalah utama yang memengaruhi pendidikan tinggi. Amerika Serikat adalah negara yang paling maju di dunia dalam hal pendidikan tinggi dan salah satu upaya dalam menjaga posisi terdepan dalam pendidikan tinggi adalah dana pemerintah dan dana universitas. Melalui metode studi kasus (lapangan), penelitian tersebut bertujuan mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit sosial baik individu, kelompok, lembaga, atau masyarakat. Objek penelitian ini adalah di Amerika tempat peneliti mengumpulkan dana melalui berbagai salauran dan dapat mengelolanya secara efektif, tidak hanya untuk operasional dan pengembangan universitas tetapi juga dalam penyediaan keamanan finansial yang kuat. Dalam proses ini mereka bekerja sama dan terus menerus memperkuat hubungan dengan masyarakat (hlm. 56). Temuan penelitian tersebut dapat dikemukakan bahwa dengan mendirikan agen hubungan masyarakat yang efisien dan menciptakan hubungan yang luas dengan alumni, pemerintah, dan masyarakat dalam proses pendanaan universitas, perguruan tingggi
120
Amerika mampu menarik sejumlah besar dana (seperti sumbangan, hibah, dan pendapatan kontrak). Pembiayaan dan manajemen, serta pengalaman dan penanganan humas pada universitas Amerika menawarkan referensi penting bagi pengembanga pendidikan tinggi di Cina (hlm. 57). Artikel ini menggunakan Universitas Houston sebagai studi kasus dalam belajar pendanaan, manajemen modal, dan hubungan masyarakat dari Universitas Amerika dalam rangka mendapatkan wawasan yang berguna bagi pengembangan pendidikan tinggi di Cina. ―Universitas Houston memiliki anggaran modal mengambang US$ 633 milyar pada tahun fiscal 2007. Saluran pembiayaan termasuk biaya kuliah, alokasi pemerintah negara bagian, pembayaran kontrak, hibah, sumbangan, penjualan dan pendapatan jasa, bantuan dana pendidikan tinggi (Higher Education Assistance Fund). Pendapatan penjualan dan pelayanan mengacu pada pendapatan dari jalur lain seperti kegiatan pendidikan, perusahaan, rumah sakit afiliasi, pendapatan perusahaan universitas, kerja sama penelitian, dan royalty. Akibatnya, sumber utama pendanaan pada Universitas Houston adalah biaya kuliah (38 % dari total anggaran), pendanaan pemerintah negara bagian (27% dari total anggaran) terhitung 65% dari total pendapatan (hlm. 57)‖. Universitas Houston adalah sebuah universitas negeri, tetapi ia memandang penting untuk meningkatkan pendapatan melalui bantuan, dengan 20% total pendapatan dari sumbangan yang dialokasikan. Dalam beberpa tahun terakhir, pendanaan pemerintah telah menurun, memaksa perguruan tinggi negeri untuk memperluas sumber pendanaan mereka. Sumbangan menjadi semakin penting sebagai sumber pendanaan perguruan tinggi negeri. Dana pendidikan berpacu untuk mendapat dukungan masyarakat terutama alumni, individu, perusahaan, dan yayasan (hlm. 59). Filosofi pembiayaan
121
Universitas Houston ialah ―untuk meningkatkan uang yang tepat, bukan uang yang lebih banyak.‖ Pada tahun 2006, Universitas Houston mengumpulkan US $36,4 juta sumbangan, terhitung 28% berasal dari alumni, 21% dari perusahaan, 20% dari lembaga lain, 18% dari yayasan, dan 13% dari sumbangan non-alumni. Sumbangan ini terutama untuk operasional universitas saat ini (72%), modal (26%), konstruksi dan asset (2%). Anggaran 2007 Universitass Houston adalah US$ 6.53 miliar (termasuk gaji dan upah, biaya operasional, tunjangan, dan beasiswa mahasiswa) (hlm. 59).
122
BAB V PENUTUP A. Simpulan Setelah melakukan penelitian, analisis dan proses pengolahan data melalui wawancara, observasi, dan studi dokumen mengenai Manajemen Pembiayaan Pesantren berbasis Agribisnis di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Sumber pembiayaan pesantren berasal dari orang tua santri, Pemerintah (Kementerian Agama, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, Kementerian Pertanian), dan juga dari para donator serta swadaya yaitu kewirausahaan sosial berbasis agribisnis. 2. Pembiayaan Pesantren Al-Ittifak ditempuh melalui sejumlah tahap, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. a. Perencanaan (planning) Pembiayaan Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung meliputi tahapan sebagai berikut: (1) Mereview anggaran tahun lalu terlebih dahulu, (2) Melakukan analisis kebutuhan dan kegiatan yang akan dilakukakan dalam kurun waktu satu tahun kedepan, (3)Mengalokasikan dengan angka, (4) Pembuatan proposal rencana anggaran pendapatan dan belanja pesantren (RAPBP) yang diajukan oleh mudir „am (kepala pesantren), (5) Tahapan penyusunan RAPBP, (6) Musyawarah dalam sebuah rapat yang diikuti oleh komite pesantren, mudir „am (Kepala Pesantren), bendahara, tata usaha. Dalam merencanakan anggaran tidak selalu ditargetkan 100% karena dalam kenyataannya dana yang diperoleh dari orang tua tidak akan semua membayar lunas. Untuk mengantisipasi dana yang kekurangan, pihak pesantren 122
123
atau bendahara khususnya selaku pengelola pembiayaan pesantren akan melakukan subsidi silang dari dana yang lainnya. d. Pelaksanaan Pembiayaan di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung dibantu dengan adanya catatan-catatan pembiayaan seperti buku jurnal, buku kas umum, buku kas tunai dan buku kas bank sebagai alat bantu pembukuan atau pencatatan penerimaan dan pengeluaran dana. Proses pembukuan pembiayaan dilakukan secara manual. Proses penerimaan pembiayaan semuanya diterima oleh bagaian tata usaha pesantren, kecuali dana yang berasal dari Pemerintah dipercayakan kepada bendahara pesantren juga staf bendahara. Untuk pengeluaran dana yang bersifat sangat besar maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat proposal pengajuan yang kemudian diperlihatkan kepada kepala pesantren dan apabila proposal tersebut diterima maka bendahara dapat mengeluarkan dana yang diminta, sedangkan untuk pengeluaran dana yang sifatnya tidak terlalu besar dapat diberikan langsung namun tentunya harus memberikan tanda telah membelanjakan dana tersebut dengan lembar cek dan diberikan kepada bendahara. e. Tahap evaluasi dilakukan oleh kepala pesantren dilakukan dengan melihat apakah target yang telah ditetapkan telah tercapai atau belum. Dengan mengecek data yang ada dalam buku pembiayaan mengenai penerimaan dan pengeluaran dana juga pelaporan yang sudah dibuat oleh bendahara. Kepala pesantren memberikan kepercayaan kepada bendahara mengenai pembiayaan pesantren. Kepala pesantren sebagai evaluator dan kordinator melihat dan mengecek penerimaan dan pengeluaran dana serta menanyakan permasalahan pembiayaan yang dihadapi. Pengevaluasian yang
124
dilakukan tidak terlalu dipersulitkan hanya melihat apakah penerimaan dan pengeluaran dana seimbang atau tidak, pihak pesantren juga melakukan evaluasi hanya dengan kepala pesantren. 3. Faktor penunjang pelaksanaan pembiayaan di Pesantren Al-Ittifak Ciwidey Kabupaten Bandung berdasarkan wawancara, observasi dan studi dokumen terdiri atas faktor internal yaitu adanya dana bantuan yang diberikan Pemerintah setiap tahunnya, ketersediaan dana yang bersumber dari agribisnis (pertanian, peternakan, dan perikanan), pengelolaan keuangan yang satu atap atau disatu pintukan. Faktor eksternal yaitu dana dari orang tua santri berupa dana sumbangan pembangunan (DSP) dan SPP yang orang tua berikan sesuai dengan anggaran yang sudah ditetapkan oleh pihak pesantren, adanya dukungan dari masyarakat sekitar akan pentingnya pendidikan, bantuan para donator. Adapun faktor penghambat keberhasilan pelaksanaan pembiayaan di pesantren yaitu proses ketidakpastian jumklah dan waktu dana dari pemerintah yang susah dan rumit dan kurangnya tenaga professional. B. Rekomendasi Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi pihak
berwenang
khususnya
Kementerian
Agama
untuk
mempertimbangkan dan mengambil kebijakan dalam pemberdayaan pesantren melalui penyediaan model manajemen pembiayaan pesantren berbasis agribisnis agar pesantren-pesantren di Indonesia memiliki kemandirian ekonomi. Jika pesantren di Indonesia memiliki kemandirian ekonomi, mission dakwah islamiyah di Indonesia akan berkembang lebih pesat. Secara praktis, hasil penelitian ini merekomendasikan pesantren-
125
pesantren sejenis untuk mengadaptasi model pembiayaan pesantren berbasis agribisnis untuk membangun kemandirian ekonomi terutama pada pesantren yang memiliki potensi lingkungan yang sama/sejenis.
126
DAFTAR PUSTAKA
Akdon, dkk., 2015. Manajemen Pembiayaan Pendidikan. Bandung:PT Remaja Rosdakarya. Anderson, J.E. 1975. Public Policy Making, London:Nelson. Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam, cet. Ke-1. Jakarta: Logos. Azra, Azyumardi dan Saiful Umam (ed.). 1998. Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial Politik. Jakarta: INIS, PPIM, dan Depag RI. Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Bogdan, R.C. and Biklen, S.K.1992. Qualitatif Research for Education: Introduction to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon. Berita RI tahun II No.4 dan 5, hlm. 20, kolom 1, Pengumuman BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat). Boland, B.J. 1985. Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta:Grafitti Pers. Buresh, Scott Allen. 2002. Pesantren-Based Development: Islam, Education, and Economic Development in Indonesia. Disertasi: University of Virginia, Amerika Serikat. Bruinessen, Martin Van, ‗Traditionalist‟ and „Islamist‟ Pesantren in Contemporary Indonesia, Paper Presented at the ISIM workshop in ‗The Madrasah Asia‘, 23-24 Mei 2004. Bruinessen, Martin Van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Bandung:Mizan. Cohn, Elchanan., 1979. The Economic of Education. Revised Edition. Massachusetts: A Subsidiary of Harper & Row Publisher, Inc.
127
Daulay, Haidar Putra. 2007, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakakrta: Kencana Prenada Media Group. Depag RI. 1986. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Dirjen Binbaga. Dahl dalam C. Ham & M. Hill, The Policy Process in The Modern Capitalist State (2nd ed.), Brighton: Wheatsheaf Books, 1993. Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai. Jakarta:LP3ES. Dye, Thomas R. 1981. Understanding Public Policy [7 th ed.], New Jersey: Prentice-Hall, Englewood Cliffs. Downey, W. David dan Steven P. Ericson. 2007. Manajemen Agribisnis (Terjemahan). Erlangga, Jakarta. Drillon Jr. JD. 2007. Introduction to Agribisness Management, Agribisness Management Resource Materials (vol 1), Asian Produktivity Management, Tokyo. 240. Effendi, Mohammd Sofwan. 2015. ― A Management Model of Financing and The Use of Research Products in Public Service Agencies‖ (Model
Pengelolaan
Pembiayaan
dan
Penggunaan
Produk
Penelitian pada Badan Layanan Umum), dalam European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences. ISSN 14502275. Issu 81, Oktober 2015, hlm. 104-116. Ericson. S,P.Et. All, 2008. Agribisnis Manajemen, Mc Graw, Hill, Boston Fatah, Nanang. 2012, Standar Pembiayaan Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
128
Fatah, Nanang. 2012 b. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Fattah, N. 1998. Studi tentang Pembiayaan Sekolah Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Gandhi, M.M. (2015). ―Financial Management of Higher Educational Institutions With Reference to Financing, Pricing, Accounting Standards and Gaps in Practice in Universities and Colleges‖ (Manajemen keuangan institusi pendidikan tinggi –dengan mengacu pada pembiayaan, harga, standar akuntansi dan kesenjangan dalam penerapan di universitas dan perguruan tinggi) dalam IJHEM (International Journal of Higher Education Management). Vol.1 Number 2 February 2015, hlm. 33-45. Geertz, Clifford, 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pusataka Jaya. Haedari, Amin. 2006. Transformasi Pesantren: Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan, dan Sosial. Jakarta: Lekdis & Media Nusantara. Haedari, Amin. 2007. Jurnal Mihrab, Vol II, Nomor 1, Juli 2007. Hamdi, S., dan Smith, B.J. 2012. ―Sister, Militas and Islam in Conflict: Questioning ‗Reconciliation‘ in Nahdlatul Wathan, Lomobok, Indonesia, dalam Contemporary Islam, Vol.6, No.1:29-43. Hamruni. (2016). ―The Challenge and The Prospect of Pesantren in Historical Review‖. Jurnal Pendidikan Islam.Volume 5, Nomor 2, December
2016/1438
10.14421/jpi.2016.52.413-429.
hlm.
413-414.
DOI:
129
Haningsih, Sri. 2008. ―Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia‖ dalam El-Tarbawi Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 1, Nomor 1, Tahun 2008. Hall, J. 2006. ―The Dilemma of School Finance Reform― The Journal of Social, Political, and Economic Studies. Washington: Summer 2006. Vol. 31, Edisi 2; pg. 175, 16 pgs, (online) Tersedia: http://proquest.umi.com/ pqdweb/did=1151105711&sid=17Fmt=3&clientId=83698&RQT= 309. Hamid, Hamdani. 2014, Strategi Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: CV Insan Mandiri. Hartono, Tedjaningsih. 2011. Pengaruh Manajemen Biaya Terhadap Mutu Proses dan Mutu Hasil Pembelajaran. Jurnal Administrasi Pendidikan, Vol. XIII No.2 Oktober 2011. Hutton, Disraeli M. (2014), ―Cost Sharing and The Financing of Public Education: Applyng A Comprehensive Model, dalam jurnal ISEA, vol. 43, Number 3, hlm. 3-18. I, Robert-Okah. (2011). ―Financing Higher Education in Nigeria: Implications for University Governance‖ dalam JER (Journal of Educational Review). Vol.4. No.3. July-August 2011. h. 395-402. Izfanna,D. dan Hisyam. 2012. ―A Comprehensive Approach in Developing Akhlak: A Case Study on The Implementation of Character
Education
At
Pondok
Pesantren
Darunnajah‖
Multicultural Education and Technology Journal, Vol.6, No.2:7786. Jamhari dan Jajang Jahroni (Peny.). 2004. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
130
Johns, Roe L, Edgar l. Morphet dan Kern Alexander., 1983. The Economic and Financing of Education Fourth Edition, New jersey:Prentice Hall, Inc. Jones, Thomas, H., 1985. Introduction to School Finance: Technique and Social Policy, Macmillan Company: New York. Kanaan, T.H. (2011), ―Political Economy of Cost Sharing in Higher Education: The case of Jordan‖, dalam jurnal Prospect, vol.41, hlm. 23-45, DOI 10.1007/s 11125-011-9179-5. Kern, R.A. ―The Orogin of The Malay Surau‖. 1956. Journal of the Malayan Branch of The Royal Asiatic Society 29. Lincoln, Y.S. dan Guba, E.G. 1983. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA:Wadsworth Publishing Company, Inc. LI, Yuanyuan. (2014), ―Financing, Management, and Public Relation at The University of Houston and Its Implication For China‖ dalam Jurnal Chinese Education and Society (hlm. 56-70). Latham. 1952. dikutip dalam C. Ham & M. Hill, The Policy Process in The Modern Capitalist State (2nd ed.), Brighton: Wheatsheaf Books, 1993. Lukens-Bull, R.A. 2001. ―Two Sides of The Same Coin: Modernity and Traditions in Islamic Education in Indonesia‖. Antrophology and Education Quarterly, Vol. 32, No. 3:350-372. Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945. Madjid,
Nurcholis.
1997.
Bilik-Bilik
Pesantren:
Sebuah
Proses
Perjalanan. Jakarta: Paramadina. Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta:INIS.
131
Masyhud dan Khusnurdilo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka. Muhtifah, Lailial. 2012. ―Pola Pengembangan Kurikulum Pesantren: Kasus Al-Mukhlisin Mempawah Kalimantan Barat‖. Media Pendidikan Jurnal Pendidikan Islam. Volume: XXVII, Nomor 2, 2012/1433. Website: www.mp-jurnalpendidikanislam.com. Moleong, Lexy J, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. Muhamad Jafar. 2006. Agribisnis dalam Era Globalisasi. Badan Agribisnis, Departemen Pertanian, Jakarta. Mulyasa, E, 2014, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyono, 2010, Konsep Pembiayaan Pendidikan, Jogjakarta: Ar-ruzz Media. Nasution,
S.
1988.
Metode
Penelitian
Naturalistik
Kualitatif.
Bandung:Tarsito. Nasution, S. 2003. Metode Research. Jakarta:Bumi Aksara. Nata, Abuddin. 2006. Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta Pres. Nurdin, Diding dan Abu Bakar,
2011, Manajemen Sumber Daya
Pendidikan, Bandung: PT Sarana Panca Karya Nusa. Nwafor, Njideka Edith; Esther Esi Uchendu; dan Confidence Ogonda Akani. (2015). ―Need For Adequate Funding in The Administration of Secondary Education in Nigeria‖ dalam Global Journal of Educational Research. Vo. 14, 2015. Hlm. 119-124. Patton, M.Q. 1990. Qualitatif Evaluation and Research Method (2 Newbury Park, CA: Sage Publication, Inc.
nd
ed.).
132
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 yang direvisi dengan Peraturan Pemerintah No 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan Peraturan Menteri Agama No
13 Tahun 2014 tentang Pendidikan
Keagamaan Islam. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 yang direvisi dengan Peraturan Pemerintah No 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan. Permani, Risti. 2009. The Economic of Islamic Education: Evidence From Indonesia. Tesis: University of Adelaide, Australia. Pohl, F. 2006. ―Islamic Education and Civil Society: Reflection on The Pesantren Tradition in Contemporary Indonesia‖ Comparative Education Review. Vol. 50, No. 3:389-409. Poerbakawatja, Soegarda. 1970. Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka. Jakarta:t.p. Prunty, J.J. 1985. Signposts for a Critical Educational Policy Analysis, Australian Journal of Education, 29 (2). Raihani. 2012. ―Report on Multicultural Education in Pesantren‖ Compare: A Journal of Comparative and International Education, Vol.42, No.4:585-605.
133
Rosyidi, Achmad. 2007. ―Reposisi Hubungan Agama dan Negara dalam Merajut Kerukunan Antar Umat Beragama (Analisis terhadap Buku Azyumardi Azra)‖ Harmoni Jurnal Multikultural & Multireligius. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Depag RI, Vol.VI, nomor 23, Juli-September 2007. Satori, Djam‘an dan Aan komariah. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Alfabeta. Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:Alfabeta. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Salloum, N. Kabbani (El) S. (2011). ―Implication of Financing Higher Education For Access and Equity: The Case of Syria‖ (Implikasi Pembiayaan Pendidikan Tinggi untuk Akses dan Kesetaraan: Kasus di Suriah) dalam Jurnal Prospect. (2011). Vo. 41. Hlm. 97-113. DOI 10.1007/s 11125-011-9178-6. Suhardan, Dadang. Dkk., 2012, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung: Alfabeta. Supriadi, Dedi, 2004, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Sulthon Masyhud, Khusnuridlo, 2003, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka Sulthon, Khusnuridlo, 2006, Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif Global, Yogyakarta:LaksBang Syamsuddin (2009). Pengaruh Biaya Pendidikan Terhadap Mutu Hasil Belajar melalui Mutu Proses Belajar Mengajar pada Sekolah
134
Menengah Pertama di Kabupaten Asahan. Tesis pada Universitas Sumatra Utara, tidak diterbitkan. Saleh, Abdurrahman. 1984. Penyelenggaraan Madrasah Peraturan Perundangan. Jakarta: Dharma Bakti. Saniotis, A. 2012. ―Muslims and Ecology: Fostering Islamic Enviromental Ethic‖ Contemporary Islam, Vol.6, No.2:155-171. Sirozi, Muhammad. 2004. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia Peran Tokoh-Tokoh Islam dalam Penyusunan UU No.2/1989, Leiden-Jakarta: INIS,2004. Saridjo, Marwan. 1997. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta:Ditjen Binbaga Agama Islam. Taylor, S. et al., 1997. Educational Policy and The Politic of Change, London: Routledge. Teixeira, Pedro dan Tatyana Koryakina. (2013). ―Funding Reforms and Revenue Diversification –Patterns, Chalenges and Rhetoric‖ ‗Reformasi Pembiayaan dan Diversifikasi Pendapatan –Pola, Tantangan, dan Retorika‖ dalam jurnal Routledge Tylor and Francis Group. (Studies in Higher Education).Vol.38, No 2, March 2013, hlm. 174-191. Thomas H. Jones, 1985, Introduction the school finance, Newyork: MacMillan Publishing Company, collier MacMillan Publisher London Tim Dosen Administrasi Pendidikan, 2012, Manajemen Pendidikan, Bandung:Alfabeta Uhar Suharsaputra, 2010, Administrasi Pendidikan, Bandung: PT Refika Aditama
135
Umiarso, H Nur Zazin, 2011, Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan, Semarang: RaSAIL Media Group. Uwes, Sanusi. 1999. Manajemen Pengembangan Mutu Dosen. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional. Umar, Nasaruddin. 2014. Rethinking Pesantren. Jakarta: KompasGramedia. UUD 1945. UU Nomor 4 Tahun 1950 jo Nomor 12 Tahun 1954 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran. Undang-Undang tersebut diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 27 Djanuari 1954, Lembaran Negara No. 38 tahun 1954. Lihat Dokumen DPR RI, Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fokus Media, 2006. Vignato, S. 2012. Devices of Oblivion: How Islamic Schools Rescue ‗orphaned‘ Children From Traumatic Experiences in Aceh (Indonesia). South East Asia Research. Vol. 20, No.2: 239-261. Wahid, Abdurrahman. 1988. ―Pesantren Sebagai Subkultur‖, dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, cet. IV. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, LP3ES. Wekke, Ismail Suardi. 2012. Pesantren dan Pengembangan Kurikulum Kewirausahaan: Kajian Pesantren
Roudahtul Khuffadz Sorong
136
Papua Barat. INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. Vol.6, No.2, Desember 2012. Wendi, 2012, Manajemen Sistem Agribisnis, Fakultas Pertanian USU. Medan. Yahya, Imam. 2014. ―Demokrasi Pesantren: Menebar Format Politik Yang Damai‖ Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2, Nopember 2014. Zamakhsyari Dhofier, 1994, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta: PustakaLP3ES.
http://kamarulintangsakti.blogspot.com/2014/03/manajemen-keuangandalam-lembaga.html