MANAJEMEN PEMBANGUNAN KOTA DI INDONESIA Oleh : Drs.H.M. Arry Djauhari, M.Si. – Dosen Kopertis Wil.IV. dpk FISIP
ABSTRAK Ketika pembangunan masih dianggap sama dengan pertumbuhan, pada waktu yang lalu orang melihatnya sebagai sesuatu yang bergantung pada industrialisasi dan urbanisasi. Sementara ini orang terus menerus berbondong-bondong datang ke kota-kota besar, sehingga perumahan system pembangunan air, penyediaan air bersih, semuanya menjadi makin dibutuhkan dan makin tidak memadai. Perdebatan-perdebatan yang meluas tentang pembangunan terdesak mundur oleh urusan-urusan urgen dan segera yang dihadapi oleh para administrator perkotaan. Migrasi adalah fakta yang demikian penting dalam kehidupan perkotaan , ada manfaatnya jika di amati lebih seksama dan di jajaki apa tanggapan-tanggapan yang dapat di berikan oleh pemerintah . Literatur tentang migrasi menyarankan bahwa perhitungan para penduduk desa dalam memutuskan akan bermigrasi atau tidak sangat mirip dengan perhitungan mereka tentang peranserta secara umum Manajemen dalam pembangunan perkotaan dipandang sebagai proses intervensi yang melibatkan negosiasi dan pencapaian kesepakatan diantaralembaga-lembaga dan berbagai pihak (umumnya swasta dan pemerintah). Juga antara Pemerintah Daerah Tingkat II, Pemerintah Daerah Tingkat I, dan Pemerintah Pusat serta masyarakat umum yang berkepentingan. “Manajemen Perkotaan” di definisikan sebagai “Upaya memobilisasi berbagai sumber daya, dan memanfaatkannya sehingga saling mendukung dalam perencanaan, penyusunan program, pelaksanaan pendanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan suatu pemukiman agar dapat mencapai tujuan pembangunan. Usaha-usaha yang kini dilaksanakan dalam manajemen perkotaan di Indonesia dapat dilihat dalam 3 bidang yang saling terkait erat :
• • •
kebijakan-kebijakan pembangunan perkotaan dan proyek-proyek yang inovatif Memperkuat kapasitas kelembagaan dan peningkatan kelembagaan;. Pengembangan kemampuan personil melalui program-program pelatihan,.
Kata Kunci : Manajemen, Pembangunan
I. PENDAHULUAN Migrasi dari pedesaan ke perkotaan yang terjadi sehari-hari di seluruh Negara dunia ketiga merupakan satu di antara perubahan-perubahan sersejarah pada zaman sekarang ini. Satu perubahan ini saja yaitu garak perpindahan dari dusun ke kota, memiliki pengaruh dan gema yang jauh. Pembicaraan-pembicaraan mengenai pertumbuhan kota-kota di Negaranegara sedang berkembang lazim di awali dengan deretan angka, angka yang sangat mencekam besarnya. Apakah fakusnya penduduk, penyakit, penganguran, penghunian illegal, angka-angka itu tetap demikian besar sehingga tampaknya menutup kemungkinan bagi terciptanya administrasi yang efektif. Ketika pembangunan masih dianggap sama dengan pertumbuhan, pada waktu yang lalu orang melihatnya sebagai sesuatu yang bergantung pada industrialisasi dan urbanisasi. Baru belakangan, dengan dilancarkannya kritik-kritik terhadap model-model pertumbuhan yang awal, orang memberikan perhatian pada dampak kebijakan perkotaan atas sector-sektor lain dalam perekonomian, namun ketika pembangunan didefinisikan secara lebih luas, mulailah bermunculan pertanyaan tentang dampak kebijakan perkotaan terhadap sector-sektor dalam perekonomian, khususnya wilayah pedesaan. Yang kita permasalahkan sekarang, apakah pembangunan perkotaan dan pedesaan dapat didefinisikan dan direncanakan sedemikian rupa sehingga keduanya berinteraksi secara positif dan bukan saling membatalkan. Sementara ini orang terus menerus berbondong-bondong datang ke kotakota besar, sehingga perumahan system pembangunan air, penyediaan air bersih, semuanya menjadi makin dibutuhkan dan makin tidak memadai. Perdebatan-perdebatan yang meluas tentang pembangunan terdesak mundur oleh urusan-urusan urgen dan segera yang dihadapi oleh para administrator perkotaan. Sbagaimana pelayanan dan jasa dapat disampaikan seefektif mungkin, bagaimanakah administrator daerah dapat bekerja dalam kekuasaan terbatas dan dengan sumber-sumber daya yang kecil? Apa yang dapat dilakukan untuk para migran agar kepadatan dan kekumuhan mereka dapat tertanggulangi? Bagaimanakah hal itu harus dilakukan tanpa merangsang lebih banyak lagi migrasi dari wilayah-wilayah pedesaan? Dimensi-dimensi Masalah Perkotaan Dengan migrasi dan pertambahan alami yang berkelanjutan, diproyeksikan bahwa populasi perkotaan di Negara-negara sedang
berkembang akan meningkat lebih dari satu milyar antara tahun 1960 sampai 2000 menurut data demografi pertumbuhan perkotaan. Satu sumber standar ialah Kingsley Davis, World Uurbanization I;Basic Data (Berkeley: Universitiy of California, 1959). Yang menjadi masalah, peningkatan itu tidak tersebar secara seimbang melainkan mejurus pada beberapa kota saja yang memang sudah besar. Sungguhpun semua kota bertumbuh, dan kebanyakan dengan tingkat pertumbuhan yang amat pesat, kota-kota sentral umumnya lebih pesat tumbuhnya dari pada tempat-tempat urban yang lebih kecil. Tahun 2006 ,diproyeksikan pada tahun 2010 nanti penduduk kota Jakarta berjumlah lebih 12 juta, disamping 3,5 juta yang tinggal di perkotaan Botabek (Bogor,Tangerang, Bekasi ) dan 5,5 juta yang tinggal dipedesaan Botabek.Total akan ada 21 juta penduduk menjadi warga wilayah konurbasi (penyatuan) Jakarta sebagai megacity. (Nining Irianingsih, Jakarta Menuju Megacity, Femina No.42/XX tahun 1992). Diperkirakan bahwa menjelang tahun 2000an Negara-negara sedang berkembang akan mempunyai 200 kota besar dengan populasi masing-masing 1 juta lebih, Bahkan di Afrika pun, benua yang paling tipis terlanda urbanisasi, lebih dari sepertiga rakyatnya akan hidup di kota-kota menjelang tahun 2000 an itu, suatu model migrasi dari desa-kota yang terkenal adalah model Harris Todaro; sungguhpun model ini menjelaskan banyak diantara hubungan-hubungan yang menerangkan migrasi, ia mengabaikan pentingnya sector informal. (Michael Todaro, “A Model of Labour Migration and Urban Unemployment in Less Develoved Country”, American Economic Review 1 : 1969). Migrasi dari desa ke kota bahkan berlangsung pula di negara-negara yang melaksanakan control yang meluas. Cina misalnya, mengalami tekanan migrasi yang terus-menerus, dan kini mempunyai 31 kota dengan populasi yang melebihi satu juta jiwa . (Tomas p. Berstein , up to the Mountains and down to the villages ,New Haven, Coon : Yale University Press, 1977). Sebagian dari pertumbuhan ini tentu saja adalah karena peningkatan jumlah penduduk secara alamiah dan karena tingkat kelahiran yang secara keseluruhan terus bertambah; tetapi diperkirakan bahwa lebih dari setengah peningkatan tahunan terjadi karena migrasi. Dengan kecenderungan kuat akan terjadinya pertumbuhan yang sedemikian , orang akan mengharapkan dilakukannya persiapanpersiapan serius untuk mengelola wilayah-wilayah perkotaan tersebut; namun yang terjadi tidaklah demikian. Sebagian ,kurangnya persiapan yang dilakukan justru karena pembuat kebijakan berperasaan mendua mengenai pertumbuhan perkotaan dan implikasi jangka panjangnya bagi
bangsa secara umum . Masalah yang mereka hadapi adalah bagaimana menemukan cara-cara untuk mengelola pertumbuhan itu tanpa meningkatkan daya pikat kehidupan perkotaan dan dengan demikian menaikan tingkat absolut migrasi . Perumahan yang lebih baik dan pekerjaan yang lebih baik serta perawatan kesehatan akan menyedot lebih banyak orang meniggalkan desa-desa mereka. Migrasi memiliki implikasi lain untuk administrator . Ketika orang-orang berpindah memasuki wilayah perkotaan , meningkatlah kebutuhannya untuk mendapatkan jasa dan pelayanan dari pemerintah . Sebagian dari peningkatan permintaan seperti ini merupakan ciri yang tak terelakkan dari kehidupan perkotaan. Banyak pelayanan dan jasa yang tidak dapat diselenggarakan melalui upaya-upaya individu seperti yang mungkin telah dilakukan di wilayah pedesaan . Pembuangan sampah misalnya , menjadi suatu ihwal yang lain sama sekali ; otoritas pedesaan tidak mengurusi pembuangan sampah , tetapi kebanyakan wilayah perkotaan harus merancang kebijakan mengenai pembuangn sampah dan air limbah . Di desa-desa suplai air sering bukan merupakan soal yang menunt perhatian ; akan tetapi begitu orang berpindah ke kota , kebutuhan mereka akan air menjadi urusan yang harus dibereskan oleh otoritas kemasyarakatan dan tidak diserahkan begitu saja kepada alam . Dampak urbanisasi makin dirumitkan oleh kondisi lemah yang umumnya memadai kebanyakan pemerintahan Daerah di negara-negara sedang berkembang . Kurangnya staf , uang , dan wewenang , mengakibatkan sedikitnya sumber daya yang dapat digunakan oleh kota-kota di dunia ketiga untuk menjawab tantangan yang dihadapi . pola-pola historis dan pengalaman-pengalaman zaman colonial sering menghalangi pengembangan otoritas lokal , dan pada masa sesudah kemerdekaan dorongan-dorongan nasionalis kerap kali merintangi pengembangan otoritas lokal itu . Pemerintah pusat , departemen-departemen tidak hentinya membatasi peran dan otoritas unit-unit lokal . Masalah-masalah perekotaan bersifat legal dan konstitusional di samping ekonomis dan sosialis . Ini berarti kita perlu memikirkan bagaimana kaitan antara pemerintahan urban dan pemerintahan di tingkat-tingkat yang lain , serta memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia untuk desentralisasi lebih lanjut sumber-sumber daya dan otoritas di samping kemungkinan koordinasi .
1.2. Migarasi dan Perilaku Migran Karena migrasi adalah fakta yang demikian penting dalam kehidupan perkotaan , ada manfaatnya jika di amati lebih seksama dan di jajaki apa tanggapan-tanggapan yang dapat di berikan oleh pemerintah . Literatur tentang migrasi menyarankan bahwa perhitungan para penduduk desa dalam memutuskan akan bermigrasi atau tidak sangat mirip dengan perhitungan mereka tentang peranserta secara umum . Pada intinya ini merupakan upaya nasional untuk menetapkan berbagai biaya dan manfaat perpindahan ke kota . Dan karena sifat rasionalnya itulah , pembuat kebijakan dan para administrator dapat mencoba mengetahui tujuan-tujuan yang hendak di capai orang dan menawarkan insentifinsentif baru baginya . Agaknya insentif ekonomi memainkan peran besar dalam memutuskan untuk bermigrasi ; tampaknya orang ’’cenderung berpindah dari tempat yang kesempatan ekonominya rendah ke wilayah yang mengandung kesempatan-kesempatan potensial yang tinggi . (Lorene Yap Internal Migration in Lees Developed Countries : a Survey of Literature , world Bank saff working Paper No . 215 , Washington D.C. : world Bank , 1975 ) Hal yang sangat menentukan ialah bagaimana para penduduk desa memperkirakan potensi itu . Umumnya mereka perpandangan bahwa wilayah perkotaan memiliki potensi lebih besar untuk meningkatkan pendapatan mereka ; persepsi ini sering mereka pertahankan selama waktu yang panjang sementara mereka masih mencari pekerjaan . ( Todaro Economic Development ) . Betapapun , waktu yang dilewatkan sebagai penganggur tidak mengandung resiko yang lebih besar dari pada ketidak pastian musim dan iklim bagi tanaman-tanaman subsistensi . Dan banyak yang memang sudah tidak memiliki akses tanah dan oleh karenanya menggantungkan kehidupannya pada upah yang tidak menentu sebagai buruh pertanian . Maka tidak mengejutkan bahwa mereka yang bertahan hidup sebagai penghuni kaki lima dan tempattempat hunian liar mengatakan kepada petugas peneliti bahwa kehidupan mereka jauh lebih baik dilingkungan perkotaan yang baru dari pada di kampung halaman mereka sebelumnya . Dalam banyak hal asumi-asumi mereka memang berlandasan kuat . Angka-angka menunjukkan bahwa pengangguran cenderung lebih banyak melanda penghuni kota yang berpendidikan lebih tinggi dan lebih lama tinggal di kota ketimbang penghuni yang baru setahun tinggal di kota . Juga bukan tak lazim jika pendapatan diperkotaan lima kali atau sepuluh kali lipat lebih besar dari pada di wilayah-wilayah pedesaan .
Demikianlah maka mudah dilihat bagaimana wilayah-wilayah perkotaan disamakan dengan kesempatan dan potensi yang lebih besar. Survai-survai juga memberikan petunjuk bahwa factor-faktor yang menjelaskan keputusan bermigrasi ialah adanya kerabat di kota dan jarak antara desa dengan kota tujuan . Kedua hal itu dapat menekan resiko yang timbul dari keputusan untuk bermigrasi , dan dengan demikian di pandang meningkatkan kesempatan untuk bermigrasi itu . Karena selisih antara penghasilan pedesaan dan perkotaan merupakan faktor terpenting satu-satunya , migrasi dapat dihambat dengan mempertahankan agar pendapatan perkotaan tetap rendah atau dengan memperbaiki pendapatan di pedesaan . Oleh sebab itu para administrator perkotaan memiliki alasan untuk lebih condong pada usaha-usaha pedesaan yang dapat menambah penghasilan , pekerjaan di luar pertanian , dan perbaikan-perbaikan penghasilan dari pertanian . Juga akan bermanfaat jika diketahui berapa proporsi migrant yang tinggal di kota hanya untuk beberapa saat kemudian kembali ke kampung halaman sesudah mereka memperoleh sejumlah modal tertentu . Lalu dapat dilakukan upaya untuk memudahkan mereka kembali ke desa dan bukan mendorong mereka untuk tetap tinggal di kota .Sungguhpun demikian , pada analisis terakhir , perkotaan mungkin akan terus tumbuh bahkan pendapatan pedesaan diperbaiki dan perpindahan dua arah digalakanpun sama saja. Perbedaan penghasilan itu sudah demikian signifikan di banyak Negara sehingga menutup jurang antara keduanya itu nyata- nyata menjadi kurang mungkin dengan rencana-rencana lima tahunan . Di samping paktor-paktor yang menarik orang ke kota , ada pula pertimbangan –pertimbangan yang mendorong orang keluar dari desa ; ada ciri-ciri wilayah pedesaan yang bertindak sebagai disinsentip . kekurangan tanah menambah dorongan untuk meninggalka desa, dan orang-orang yang tak memiliki tanahpun berpindahlah kewilayah perkotaan . Akses yang terbatas yang terbatas untuk faktor –faktor produksi air, hewan , alat-alat , kredit juga mendorong untuk minoritas etnik, wilayah perkotaan dapat menjadi tempat pengungsian dari isolasi dan perlakuan buruk yang mengancam mereka di pedesaan .untuk wanita , migrasi dapat menjadi pelarian dari penderitaan karena di sia-siakan atau kararena menjanda di samping karena keterbatasan aksestanah , kredit , dan hewan, Untuk pemuda, migrasi dapat menjadi pelarian dari kekuasaan dan pengendalian otoriter pihak yang lebih tua.
Ditekankannya rasionalitas migrasi menantang beberapa diantara pandangan-pandangan tradisional mengenai migrant. Sering para pengamat memberikan migran sebagai ”barisan tidak puas “ yang tak stabil , dan menyimpulkan bahwa pasang naik itu akan terbukti mengguncang kan stabilitas . Tetapi banyak penelitian akhir-akhir ini yang menunjukkan bahwa migran tidak memiliki kecenderungan istimewa untuk berperilaku mengacau atau distruktif dalam hal politik .sepanjang migrasi itu dilaksanakan secara sukarela . para migran mempunyai insentif untuk bertekun mengupayakan kehidupan yang lebih layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Kepentintingan utama mereka ialah terjaminya manfaat-manfaat langsung seperti terjaminnya penguasaan mereka atas wilayah kediaman , pondok , pendidikan , dan pekerjaan mereka . (Nelson , Acces , Migrant , Urban Poverty and instability in Developing Nations , Cambidege , Mass . : Harvard University Press , 1969 ) . Wayne Cornelius misalnya , menyingkapkan bahwa begitu seorang migrant merasa sudah mengamankan hal-hal yang sudah dianggapnya “ manfaat-manfaat utama’’ , kebutuhan dan permintaan mereka menyusut secara signifikan . Jenice Perlman yang bekerja di Brazil telah pula mengdokumentasikan bahwa pada migran pada umumnya tidak marjinal atau distruktif ; mereka dimajirnalkan oleh para pembuat keputusan tingkat Daerah . Para pembuat keputusan itu melihat bahwa mitos tentang migran yang disrupif itu merupakan rasionalisasi yang bermanfaat untuk membuat kebijakan-kebijakan relokasi migran dan menjauhkan mereka dari jasa dan pelayanan perkotaan . (Jenice Pelman . The Myth of Marginality , Berkelay University of California Press , 1976) .
II. PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN PERKOTAAN 2.1 Peran Pemerintah Pusat Realitas kehidupan dan politik di banyak negara Dunia ketiga ialah bahwa para eksekutif dewan-dewan kotasetempa memiliki kewenangan kecil kendati tanggung jawab mereka sangat besar dan sulit .Pengololaan pembangunan perkotaan menuntut tingkat koordinasi tinggi antara Departemen-departemen , pemeritah pusat dan Pemerintah Daerah . Kendati tidak diarahkan langsung pada kota-kota besar , keputusankeputusan pemerintah pusat menimbulkan dampak yang mendalam terhadap pertumbuhan perkotaan . lingkup jangkauan keputusan pemerintah mengenai buruh , tata guna tanah , investasi , pemajakan dan
penyerapan tenaga kerja , misalnya , mempunyai dampak langsung terhadap migrasi dan pembangunan perkotaan . Acap kali hal-hal tersebut dianggap relative saling terpisah , dan sedikit saja perhatian ditunjukan pada dampaknya terhadap migrasi dari desa ke kota . (Bryant , Stephens , dan Macliver , “Rural to urban Migration “.) .Bahkan keputusan yang tampaknya cukup terpisah dengan pertumbuhan perkotaan pun , seperti tingkat gaji pegawai negeri , mempengaruhi permintaan barang di perkotaan , dan para migran melihat bahwa permintaan yang meningkat itu pada giliranya akan memperbesar kesempatan kerja . Bisa dikatakan semua Departemen mempunyai dampak tertentu terhadap pemmbangunan perkotaan padawaktu yang akan datang . Bila Departemen perdagangan merundingkan lokasi industri pada masa yang akan datang . ini akan mempengaruhi selisih pendapatan dalam suatu radius yang luas di seputar tiap lokasi yang di tentukan . Melalui sifat – hakikat kurikulum yang digunakan dalam sistem persekolahan dan lokasi gedung sekolahnya , Departemen pendidikan secara tak langsung mempengaruhi pembangunan perkotaan dan migrasi . Sedangkan ketimpangan antara banyaknya lulusan sekolah dan besarnya kebutuhan angkatan kerja berpengaruh langsung terhadap migrasi . Departemen kesehatan mempengaruhi pembangunan perkotaan dengan lokasi dan penetapan klinik-klinik serta dengan fasilitas yang disediakannya . kementrian keuangan mempengaruhi organisasi melalui kebijakan – kebijakan fiskal dan moneternya serta melalui masukan yang diberikanya kepada kebijakan harga departemen pertanian . Pemerintah pusat juga dilibatkan dalam masalah – masalah Daerah karena alasan politis . Negara – negara penganut model pembangunan pedesaan pun kedapatan bahwa wilayah perkotaan membutuhkan perhatian konstan . Masalahnya antara lain ialah bahwa kepadatan kota menimbulkan kebutuhan akan tindakan ke pemerintahan , atau setidak – tidaknya tindakan yang dilakukan oleh pemerintah , lebih dari kebutuhan akan tindakan serupa itu di wilayah-wilayah pedesaan ; desakan semacam ini terjadi juga kendati wilayah pedesaan mungkin memiliki kebutuhan –kebutuhan yang lebih gawat dan mendesak , (Orang , terutama para pembuat keputusan kunci , lebih sering mencurajkan perhatian pada kebutuhan-kebutuhan perkotaan daripada kebutuhan-kebutuhan di pedesaan). Sering masalah-masalah perkotaan dimasukkan dalam agenda politik karena baru dan oleh sebab itu lebih dramatic. Umpamanya saja ihwal masalah-masalah kesehatan. Tingkat kematian dan penyakit yang tinggi pada anak-anak di wilayah pedesaan
cenderung dilihat sebagai sesuatu yang tak terelakkan sehingga tidak usah dilakukan prakarsa-prakarsa kebijakan dalam hal itu. Namun di wilayah perkotaan soal kesehatan sering ditimbulkan oleh kepadatan, dan dalam hal ini angka yang kecil saja sudah cenderung menarik perhatian yang segera. Sungguhpun sebagian alasan terjadinya bisa perkptaan dalam keputusan kebijakan ialah lebih banyaknya kegiatan politik pendduk kota, soal yang lebih serius ialah bahwa kelas menengah di perkotaan lebih efektif dan secara politis lebih relevan. Kelas menengah ini pula yang sering menentang upaya untuk mengurus kebutuhan-kebutuhan migrant. Mereka tahu bahwa setiap sen dari pungutan yang dikumpulkan untuk suatu proyek perbaikan hunian liar tidak pernah tersediakan bagi renovasi perumahan kelompok penghasilan menengah. Realitas politiknya ialah bahwa otoritas Daerah bersandar pada pemilihan dan sulit bagi mereka memulai kebijakan jangka panjang yang tidak bermanfaat bagi kelompok menengah itu. Kiranya penting untuk tidak menarik garis pemisah dikotomik yang terlalu tegas antara kehidupan perkotaan dan pedesaan, sebab kenyataannya terdapat kaitan-kaitan yang amat beraneka dan rumit jalinannya. Kaitan-kaitan itu merupakan bagian penting dari budaya suatu negara dan juga ekonomi politiknya, dan sering bertindak sebagai pemancar manfaat dari satu sector ke sector lain. Orang kota di sebagian besar Dunia Ketiga mempunyai saling ketergantungan social dan ekonomi dengan warga dusun.
2.2. Peran Pemerintah Daerah Suatu ciri penting warisan colonial isalah pemerintah daerah yang lemah dan mempunyai pendapatan asli daerah yang rendah. Bukan berarti strukturnya lemah, sungguhpun memang sering demikian, kelemahan yang paling memang sering demikian, kelemahan yang paling membahayakan ialah tiadanya cukup kesadaran bahwa pemerintah daerah memiliki kontribusi potensial dalam mewujudkan vialitas nasional. Otoritas Daerah yang kurang cerdas dan tidak imajinatif sering merupakan penghambat pelayanan dan jasa pemerintah. Keadaannya berbeda-beda bergantung pada watak pengalaman colonial, jenis perjuangan yang diperlukan untuk mencapai kemerdekaan, dan berapa lama kemerdekaan itu sudah diraih. Tradisi pemerintahan daerah yang paling lemah ialah pada colonialisma Spanyol dan Portugis, seperti di
Amerika latin, Mozambique, dan Angola. Di kebanyakan wilayahwilayah bekas jajahan tersebut, kekerasan yang menyertai perjuangan kemerdekaan membuahkan dampak sentralisasi dan mengecilkan kemungkinan-kemungkinan swadaya serta prakarsa daerah. Sungguhpun pemerintahan-pemerintahan Amerika Latin sudah mempunyai kesempatan seratus tahun lebih untuk membangun kembali, dari saat ke saat pemerintah-pemerintah itu umbuk menjadi makin tersentralisasi, menggunakan tradisi cacique (tradisi kepemimpinan India) pada tingkat daerah dan bukannya tradisi pemerintah Daerah. Pemerintah Prancis dipola mengikuti metropolis. Yakni menggunakan satu pusat yang kukuh dan yang kekuasaan administratifnya menjangkau jauh hingga daerahdaerah pinggiran. Bahkan sampai sekarang pemerintahan-pemerintahan militer di negeri-negeri yang dahulu berbahasa Prancis cenderung menependekatan Gaulist terhadap pemerintahan Daerah, dan cenderung memperlakukan swadaya sebagai cara untuk mengerahkan buruh gratis bagi pekerjaan-pekerjaan umum. Kadang-kadang pendekatan ini bertumpu pada loi indigenat ( hukum pribumi) seperti dipraktekkan dalam pemerintahan colonial Prancis yang awal. (Lord hailey, An African Survey, Revised 1956, Oxford University Press, London, 1957). Kolonialis Inggris yang mempunyai tradisi pemerintah local di negerinya sendiri mencoba mencangkokan lembaga pemerintahan local di banyak megara Afrika dan sedikit di India, Bangladesh serta Pakistan masih dapat ditemukan. Misalnya, di banyak kota yang memakai tradisi ini, perencanaan sering disusun dengan mengikuti model English Town dan Country Planning Act dengan pendekatan atas tataguna tanah yang diatur secara ketat dan tiadany pekerjaan sector informal. Tugas penting yang diletakkan di pundak pemerintah Daerah adalah menyelenggarakan penyampaian pelayanan local. Namun, bahkan di negara sedang berkembang pun, peranan yang dimainkan oleh pemerintah local (Daerah) amat lemah. Dalam kejiannya mengenai pemerintahan dan administrasi di Lagos, Anne Marie Hauk Walsh menemukan bahwa pemerintah tingkat regional dan federal mendominasi pelayanan dan pembangunan perkotaan. (Anne Marie Hauk Walsh, Te Urban Chalenge to Government, Praeger, New York, 1969). Pelayanan masyarakat dan pekerjaan-pekerjaan penting “disediakan oleh pemerintah-pemerintah ini atau korporasi-korporasinya yang berkekuatan huum; otoritas Daerah bukan hanya mendapat eksistensi dan kekuasaan dari mereka, melainkan juga dikontrol secara ketat oleh pemerintah tingkat reional dan federal itu. “(Walsh, Urban Chalenge, 1969:54).
Akibatnya, pemerintah Daerah terutama dipandang sebagai pelaksana (caretaker) dan bukan pembuat keputusan efektif. Pada gilirannya warga masyarakat tidak memandang bahwa pemerintahan Daerah dapat atau seyogyanya dapat “berbuat lain” dan ada faedahnya; pemerintah Daerah yang merupakan hasil pilihan mereka sendiri itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang terutama menanggapi kebutuhan-kebutuhan mereka. Karena kelemahan-kelemahan institusional ini, barangkali pada tempatnya kalau disimpulkan bahwa tugas administratif yang utana untuk wilayah-wilayah perkotaan ialah memperbaiki atau meningkatkan kapasitas. Dan seperti yang senantiasa terjadi kapasitas ini bergantung pada pendanaan atau pembiayaan. Pemeintahan Daerah mengalami kekurangan biaya secara serius, antara lain karena kewenangan mereka yang terbatas dalam pemungutan pajak. Suatu studi yang belum lama berselang diselenggarakan oleh IMF menggaris bawahi keengganan pemerintah-pemerintah di tingkat lain untuk membagi kekuasaan perpajakan yang ada padanya. Penelitian itu mengemukakan bahwa “tingkat-tingkat pemerintahan yang lebih tinggi tidak akan melepaskan sumber-sumber pendapatan yang dinilainya berharga atau dianggap berharga secara potensial, untuk penggunaan sendiri, sampai sumbersumber itu terpaksa dilepaskannya karena krisis yang melanda pemerintahan yang asa di bawahnya. “ (Roger Smith, Financing Cities in Dveloping Countries, Washington DC, 1974:330). Secara ironis, beberapa upaya untuk membenahi masalah-masalah financial hanya memperparah kekurangmampuan pemerintah Daerah. Beberapa donor, misalnya, dalam mengulurkan bantuan untuk kota-kota menanggapi kelemahan-kelemahan yang mencolok di tingkat daerah itu dengan menciptakan otoritas-otoritas tersendiri untuk menyelenggarakan akan royek-proyek khusus. Walaupun proyek-proyek itu mungkin sangat berhasil dalam mencapi tujuan-tujuannya, dan memenuhi kebutuhankebutuhan para pemanfaat proyek-proyek itu, tidak banyak yang dapat dipelajari oleh pemerintah Daerah untuk memberbaiki penampilannya pada waktu berikutnya. Entah karena didesak oleh para donor atau oleh pemerintah pusat yang khawatir akan perluasan kekuasaan pemerintah Daerah. Sejauh ini telah dikemukakan bahwa pemerintah Daerah perlu di kukuhkan kekuasaan dan kapasitas finansialnya jika pemerintah Daerah tersebut diharapkan mampu menanggulngi kesulitan-kesulitan dahsyat yang menghadangnya. Akan tetapi, pihak-pihak yang menyadari pentingnya peningkatan kapasitas local sering mengikuti model yang
sangat bersifat “dari atas ke bawah”, sangat terprofesionalisasi, dan nonpartisipatif. Ambillah misalnya pengembangan masyarakat. Sangat lazim terjadi, para perencana tata guna tanah yang professional diserahi tugas untuk menjalankan upaya pembangunan masyarakat itu, dan rencana-rencananya semata-mata memperhatikan tata guna tanah yang fisik. Colin Rosser memberikan upaya perencanaan perkotaan di Kalkuta dalam dasawarsa 1960an yang muncul dari perpektif tersebut. Tetapi dalam kasus ini sebuah tim multidisiplin dikerahkan untuk mengawasi rencana-rencana pembangunan itu, dan setahap demi setahap tim itu sampai pada pandangan bahwa diperlukan pendekatan-pendekatan yang lebih radikal untuk menghadapi masalah-masalah di Kalkuta yang menghimpit. Mereka mendesakkan bahwa perencanaan perkotaan seharusnya lebih daripada sekedar menyusun rencana fisik. Sesungguhnyalah, lebih tepat jika rencana itu dikatakan sebagai proses dan bukannya produk yang “rampung” dan spesifik, bukan pekerjaan “satu gebrak” yang dilakukan oleh para ahli di balik layer, melainkan suatu proses permanent, berkesinambungan, yang sepenuhnya erpadu dengan struktur pemerintahan yang normal. Hanya dengan cara demikianlah maka perencanaan perkotaan akan terpadu dengan pihakpihak yang hendak melaksanakannya. (Collin Rosser, Action Planing in Calcutta, Frank Cass, London, 1970:126). Staf tersebut maju setapak lagi. Mereka putuskan bahwa beratnya masalah-masalah itu berarti bahwa proses perencanaan apapun harus memobilisasi kontribusi, sumber-sumber daya dan dukungan masyarakat, serta memadukan hal-hal itu di dalamnya. Program yang mereka kembangkan untuk melibatkan masyarakat meliputi banyak langkah. Secara tradisional, peranserta selama ini diidentifikasikan dengan perilaku yang bersifat partisan atau politis seperti pemungutan suara, kampanye, kegiatan kelompok kepentingan, dan lobbying. Kegiatankegiatan ini oleh Joan Nelson disebut sebagai bentuk-bentuk peran serta horizontal; yang dilibatkan secara kolektif dalam upaya untuk mempengaruhi keputusan-keputusan kebijakan. Arena kedua bagi peranserta ialah yang oleh Nelson disebut sebagai peranserta vertical. Peran serta vertical ini mencakup segala kesempatan ketika anggota masyarakat mengembangkan hubungan tertentu dengan kelompok elit dan pejabat, dan hubungan itu bermanfaat bagi kedua belah pihak. Contohnya antara jaringan ptron-klien dan wahana politik (political Machines). Dalam kedua kasus tersebut perhatian masyarakat bukan terletak pada bagaimana mempengaruhi pemerintah melainkan lebih pada
pengembangan hubungan tertentu yang dapat memberikan manfaat. (Joan Nelson, Acces to Power : Politica and the Urban Poor in Developing Nations, Princeton University Press, New York, 1979: 163167, 202-213). Pembedaan yang dikemukakan Nelson ini berguna, mengingat bahwa aliansi-aliansi individu itu menyebar ke mana-mana dan mungkin mempengaruhi atau merupakan penggani keterlibatan yang lebih langsung dalam proses politik. Peran serta dalam proses administrative yang merupakan arena ketiga untuk peran serta, dapat bertumpangtindih dengan satu diantara kedua arena tersebut di atas. Bentuknya barangkali kegiatan kelompok kepentingan untuk mengolah keputusan administrasif, atau pertukaran (exchange) tertentu antara patron dank lien; namun biasanya peranserta jenis ini lebih luas cakupannya peran serta dalam bentuk-bentuk lainnya. Hal utama yang dikemukakan Rosser ialah bahwa dalam rangka memadukan seutuh-utuhnya dan mengandalkan kelompok-kelompok sukarela itu, peranserta harus diorganisasikan secara berhati-hati. “Pengorganisasian secara terampil yang didasarkan pada konsultasi penuh dengan para pemuka Daerah dan departemen-departemen pemerintah merupakan syarat utama”. (Collin Rosser, People, Planing, and Development Sudies, Prank Cass, London, 1970:121-139). Implikasinya dalam hal ini adalah bahwa pemerintah local memerlukan dukungan financial dari tingkat nasional, dan juga perlu memberikan perhatian seksama pada struktur-struktur keorganisasian untuk melibatkan masyarakat disamping perhatian pada produsen untuk mengaitkan perencanaan dalam proses kebijakan serta pelaksanaan (implementasi) yang tengah berlangsung.
III.MANAJEMEN PEMBANGUNAN KOTA DI INDONESIA 3.1. Manajemen Perkotaan dan Pelatihan Manajemen dalam pembangunan perkotaan dipandang sebagai proses intervensi yang melibatkan negosiasi dan pencapaian kesepakatan diantaralembaga-lembaga dan berbagai pihak (umumnya swasta dan pemerintah). Juga antara Pemerintah Daerah Tingkat II, Pemerintah Daerah Tingkat I, dan Pemerintah Pusat serta masyarakat umum yang berkepentingan. “Manajemen Perkotaan” di definisikan sebagai “Upaya memobilisasi berbagai sumber daya, dan memanfaatkannya sehingga saling
mendukung dalam perencanaan, penyusunan program, pelaksanaan pendanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan suatu pemukiman agar dapat mencapai tujuan pembangunan (kota)”. (Davidson, dalam Sidabutas, 1991:42). Usaha-usaha yang kini dilaksanakan dalam manajemen perkotaan di Indonesia dapat dilihat dalam 3 bidang yang saling terkait erat : - kebijakan-kebijakan pembangunan perkotaan dan proyek-proyek yang inovatif dalam rangka desentralisasi, perencanaan yang berorientasi pada tindakan dengan dukungan politis dan partisipatis (melalui partisipasi masyarakat dan kemitraan swasta pemerintah). - Memperkuat kapasitas kelembagaan dan peningkatan kelembagaan; perbaikan perundangan dan prosedur administrative. Perbaikan manajemen keuangan dan pertanahan. - Pengembangan kemampuan personil melalui program-program pelatihan, informasi dan komunikasi. Dalam konteks ini peran baru yang dimainkan oleh pemerintah adalah sebagai fasilitator “enabler“ dan bukan sebagai penyedia seluruh dana dan pelayanan. Dengan sumber daya dan kapasitas yang terbatas, maka dapat disusulkan suatu pendekatan strategis terhadap perkotaan seperti berikut : - Usaha-usaha yang dipusatkan pada pelayanan yang mempunyai dampak strategis, dan yang tidak dapat dikelola secara efisien oleh sector swasta dan organisasi kemasyarakatan atau perorangan. - Menciptakan kerangka dan struktur yang sesuai untuk memungkinkan sector swasta dan organisasi kemasyarakatan menyumbangkan pelayanan. - Mendorong sector swasta melalui deregulasi, penetapan harga yang sesuai dengan kebijaksanaan fisikal, melalui manajemen pertanahan dan konsolidasi lahan misalnya, atau melalui penggunaan jasa pihak ketiga untuk tugas-tugas seperti konstruksi, pengumpulan dan sebagainya untuk meningkatkan pengadaan pelayanan. Prospek dan kebutuhan pengembangan kelembagaan yang diharapkan harus ditetapkan dalam Rencana Tindak Pengembangan Kelembagaan (LIDAP) yang menggariskan cara-cara untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan kelembagaan di Tingkat II. Bantuan teknis (dari Pemerintah yang lebih tinggi atau konsultan luar negeri) yang diperluaskan harus dicantumkan pula dalam program untuk pelaksanaan, manajemen, serta pengoperasian dan pemeliharaan.
Pelatihan harus dijadikan suatu upaya jangka panjang untuk memperkuat kapasitas manajemen perkotaan, terutama kepada “manusia” dan para professional yang akan menentukan arak dan kecepatan pembangunan. Tanpa pembangunan sumber daya manusia yang tepat, kebijaksanaan dan pembangunan (perkotaan) yang inovatif serta perubaha kelembagaan tidak akan ada artinya. Sumber daya manusia yang diperlukan sebagai dasar bagi upaya mentransformasikan perubahan (inovasi) menjadi kegiatan yang tetap dan berkelanjutan. Kekurangan tenaga teknis dan manajemen yang terampil dalam bidang perencanaan di Tingkat II (dan juga di Tingkat I dan di pusat) menyebabkan pelatihan di perlukan. Pelatihan diperlukan untuk meningkatkan keterampilan perencanaan dan bidang-bidang teknis yang lain khususnya bagi staf Dinas Pekerjaan Umum Tingkat I dan Staf Bappeda Propinsi dan Kbupaten/Kota, dimana langkah awal proses “bottom-up” seharusnya berlangsung. Bidang-bidang pelatihan yang diperlukan antara lain perencanaan tata ruang, teknis prasarana, manajemen keuangan, administrasi pendapatan daerah, perpajakan, evaluasi, penetapan tarip, dan sebagainya. Untuk mengatasi keadaan tersebut, Direktorat Jenderal Cipta Karya telah mencetuskan program pelatihan P3KT (Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu) bagi staf instansi Tingkat I dan Tingkat II. Pelatihan ini dilaksanakan nbersama-sama dengan Departemen Dalam Negeri khusunya dengan Diklat Propinsi Departemen Dalam Negeri di daerah dan tersu dikembangkan secara bertahap di tahun-tahun yang akan. (UP2L-P3KT 1991, Sidabutar, 1991). 3.2.Manajemen Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Mobilisasi sumber dana di Daerah Kabupaten/Kota prinsipnya merupakan masalah manajemen keuangan pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pada dasarnya sumber-sumber potensi sudah tersedia, namun pengumpulannya harus pengumpulannya harus dilaksanakan secara lebih memadai. Hal ini berkaitan pula dengan masalah manajemen dalam administrasi pendapatan daerah, penetapan tarip, penetapan dan pengumpulan pajak. Pada saat ini kapasitas pemerintah daerah untuk memobilisasi sumber dansedang ditingkatkan melalui serangkaian usaha operasional, termasuk diberlakukannya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), penyempurnaan administrasi pada pendapatan daerah, penyempurnaan manajemen perusahaan daerah air minum dan
kemampuan menarik retribusi, serta usulan pnyempurnaan terhadap Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi Daerah. Upaya-upaya lain pada umumnya berorientasi untuk memperkenalkan lebih banyak retribusi yang harus ditanggung pemakai jasa perkotaan. Hal ini telah pula dicoba disektor kesehatan, pendidikan, transportasi, namun sampai saat ini sistem pemulihan biaya (cost recovery) semacam itu baru terbatas pada air bersih dan pasar. Pada saat ini Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mampu memberikan sekitar 15 % dari dana yang diperlukan untuk seluruh kegiatan pembangunan di Daerah Tingkat II; hibah dan Subsidi pusat menutup kekurangan itu. Dalam 5 tahun mendatang diharapkan usaha-usaha perbaikan kemampuan keuangan daerah akan meningkatkan keikutsertaan pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam pembiayaan akan meningkat menjasi 30 % . (Robert Van Der Hoff dkk., Program Pembanguna Prasarana Kota Terpadu: Suatu Pendekatan Inovatif dalam Manajemen Pembangunan Perkotaan, 1993). Dengan semakin ditekannya peran pemerintah Daerah dalam pembiayaan program-program pembangunan, maka peran penetapan pajak khususnya dan pendapatan Daerah pada umumnya, akan semakin besar pula peranannya. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus mampu memperkirakan apakah sistem pemasukan pendapatan daerah efisien atau tidak. Jika Tidak, harus disusun rencana tindak peningkatan pendapatan. Rencana tindak peningkatan pendapatan akan diberlakukan pada pajak daerah tertam dipusatkan pada Pajak Bumi dan Bangunan sebagai sumber utama peningkatan pendapatan. Disamping itu dalam upaya meningkatkan PAD ini, maka proyek-proyek yang diperkirakan dapat mendukung upaya it uterus ditingkatkan. Mobilisasi sumber dana didapatkan pula dari keterlibatan sector swasta, khususnya dalam pembangunan dan pengoperasian pelayanan perkotaan. Tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang lebih besar di bidang pembangunan perkotaan didorong pula oleh kebijaksanaan baru yang memungkinkan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memikul beban pembiyaan yang lebih besar melalui pinjaman. Pada saat ini penggunaan pinjaman (dari luar dan dalam negeri) untuk pembangunan prasarana perkotaan di Indonesia, masih sangat terbatas, namun diperkirakan akan meningkat di tahun-tahun mendatang. Jika Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diharapkan dapt sepenuhnya memobilisasi manajemen sumber dana daerah pada saatnya nanti, kebijaksanaan dan perumusan pemberian hibah harus diatur
kembalisehingga memberikan rangsangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dengan intensif semacam itu, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus berusaha meningkatkan pendapat sekaligus juga berarti efisiensi pelayanan jasa perkotaan. Bahkan jika Pemerintah Pusat bermaksud untuk mengalihkan beban pembangunan perkotaan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka diperlukan waktu yang lama sebelum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mencapai Tingkat kemandirian di segi keuangan. Sementara itu program pemberian hibah dan pinjaman perlu di rasionalisasikan. Pada saat ini pemerintah pusat bermaksud untuk mengatur kembali jalur-jalur pembiayaan untuk investasi prasarana menjadi suatu dana pinjaman tunggal yang dikenal dengan nama Rekening Pembangunan Daerah (RPD). Prosedur itu sudah dioperasionalkan sejak tahun 1991. Tingkat pendanaan melalui hibah Pemerintah Pusat untuk Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu, Selama Repelita V telah ditetapkan dalam buku pedoman penyiapan P3KT dan bervariasi antara kota-kota kecil, sedang, dan besar (masing-masing mendapat bantuan sebesar 70%, 50%, dan 30%.
3.3.Manajemen Kerjasama Pemerintah Dengan Swasta (Public Private Partnership) Pada prinsipnya sector swasta dapat meningkatkan investasinya di bidang pelayanan perkotaan, melebihi yang ada pada saat ini. Peran sector swasta dalam pembangunan perumahan sederhana,transportasi umum perkotaan, air bersih, sanitasi perkotaan, pengelolaan sampah, dan pengembangan lahan terarah (guide land development) mempunyai banyak pengalaman kerja sama antara pemerintah dengan swasta yang diperoleh dari berbagai proyek kerja sama.Pengalaman-pengalaman kerja sama tersebut diharapkan dapat membantu dalam menyusun strategi untuk tahun 1990an (suselo 1989). Agar kerja sama pemerintah swasta ini dapat berhasil, pihak-pihak yang terlibat harus mempertimbangkan beberapa persyaratan pokok seperti saling mempercayai dan hubungan baik; kepentingan yang selaras; pembagian beban modal dan keuntungan; serta resiko proyek yang harus ditanggung secara bersama-sama oleh semua mitra yang terlibat. Dalam merealisasikan komitmen, pengambilan keputusan harus sesuai prosedur
yang jelas, pendekatan yang lugas, serta koordinasi pelaksanaan kebijaksanaan di berbagai lembaga, dan Tingkat Pemerintahan.
3.4.Manajemen Peran serta Masyarakat Sektor non pemerintah dan non komersial yakni organisasi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta lembaga kemasyarakatan dapat lebih diperankan secara efektif. Meskipun masyarakat tidak dapat memberikan sumbangan berupa dana dalam jumlah besar, masyarakat dapat membantu pemerintah menghemat banyak biaya.Demikian pula LSM tidak dapat memberikan bantuankeuangan, tetapi mereka dapat membantu pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengelola pembangunan perkotaan sebagai perantara antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota . Berbagai pengalaman membuktikan bahwa untuk mendapatkan hasil yang baik dari peran serta masyarakat, masyarakat dan LSM harus dilibatkan dalam setiap tahap pembangunan perkotaan: perencanaan, penyusunan program, pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan dan sebagainya. Sumbangan mereka dapat berupa data bagi perencanaan yang didapat dalam survai yang dilaksanakan sendiri oleh masyarakat; ide-ide perencanaan di tingkat local dan kegiatan swadaya oleh masyarakat setempat; dukungan manajemen di tingkat kampung; bantuan berupa tenaga pada pelaksanaan proyek dan juga pada pengoperasian dan pemeliharaannya; juga sumbangan berupa lahan. Sumbangan dapat pula berupa sumbangan uang, misalnya imbalan jasa, pajak, retribusi atau investasi itu sendiri. Untuk mendapatkan Tingkat motivasi yang untuk melibatkan masyarakat, perlu suatu kegiatan pendukung yang berupa kegiatan informasi dan komunikasi (infokom) yang baik. Karena adat kebiasaan yang berbeda dari setiap daerah, bentuk partisipasinya akan berbeda-beda pula. Hal ini juga berarti bahwa tiap Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus mencari sendiri bentuk manajemen partisipasi masyarakat yang paling efektif. IV. KESIMPULAN Wilayah-wilayah perkotaan di negara-negara sedang berkembang, dengan konsentrasi manusia dalam jumlah raksasa, sekaligus merupakan gudang energi dan sumber daya maupun pusat kemelaratan dan
kesengsaraan, Segamblang kenyataan kemelaratan yang ada, demikian juga migrasi yang terus berlangsung sehingga memperdalam kesulitan. Dari segi Administratif, soal yang dihadapi ialah bagaimana menangani masalah-masalah ini tanpa menyedot lebih banyak orang ke kota-kota besar atau merenggutkan sumber daya dari tugas utamanya yakni pembangunan pedesaan. Adapun dilemanya, tidak banyak pemerintah Daerah yang memiliki kapasitas untuk menjadi kreatif atau efektif. Oleh sebab itu pemerintah pusat perlu memikul sebagian besar beban wilayah perkotaan tetapi dengan cara tertentu, sehingga mengukuhkan kapasitas lembaga-lembaganya yang lemah dan kekurangan sumber daya. Pemerintah Daerah Tingkat I maupun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota hendaknya lebih imajinatif dalam memikrkan berbagai ragam strategi untuk menghimpun kekuatan dalam komunitas dan mengoptimalkan sumber dayanya. Sebuah strategi yang penting dicatat ialah menemukan lebih banyak cara untuk menyadap sumber-sumber daya sector informal dan membrikan perlindungan pada sekor tersebut agar dapat tumbuh serta semarak. Dalam pemerintahan yang secara administrative lambat di negara-negara yang sedang berkembang, orang terlalu mudah mengabaikan hal yang tidak berlangsung dibawah pengaturan, izin, atau restu pemerintah. Akan tetapi sector informal menyajikan sumber daya yang kaya bagi kegiatan-kegiatan pembangunan perkotaan.
DAFTAR PUSTAKA Anne Marris Hauk Walsh, 1969, The Urban Challenge To Government, Preager, New York. Collin Rosser, 1970, Action Planing In Calcuta, Frank Cass, London. Jenice Pelman, 1976, The Myth of Marginaty, Berkeley University Press, California. Joan Nelson, 1969, Migrant, Uran, Proverty and Instability In Developing Nations, Cambridege Mast, Harvard University Press. Lord Hailey, 1957, An African Survey, Revised 1956, Oxford University Press, London. Lorene Yap, 1975, Internal Migration In Less Developed Countries, Survey of Literature, World Bank Staff Working Paper No. 215, Washington DC.
Nining Irianingsih, 1992, Jakarta Menuju Megacity, Femina No. 42/XX. Roger Smith, 1974, Financing Cities In Developing Countries Washington DC. Sidabutar, P. Rukmana N., Hoff, R.Van Der Steinburg G., 1991, Development Of Urban Management Cpabilited : Training for Integrated Urban Infrastructure Development in Indonesia, Dalam Cities, Vol. 8, No.2, Oxford. Suselo, H, 1989, Integrated Urban Infrastructure Development Programe and Privat Sector Role in Urban Development In Indonesia Lessens For Urban Strategies In The 1990s Paper Presented at The International Work Shop on Urban Project as a Srategy for Economic Development in the 1990s, Cambridge, USA. Todari Michele, 1978, Economic Development in The Thrd World, Long Men Inc. , New York