RUANG UTAMA
MANAJEMEN BENCANA: KAJIAN DAN RUANG LINGKUP Mita Widyastuti Abstract Indonesia situated in cross over between two continents and two oceans had made consequences. Over five years there are so many disasters happened: earthquake, tsunami, flood, etc. In this paper is talk about disaster management, from the definition of disaster until the scope of disaster management. Kata Kunci: Manajemen, Bencana, Teori, Ruang Lingkup
Negeri Sejuta Bencana Beberapa kali kita dibuat terkaget-kaget pada saat bencana alam secara bertubi-tubi melanda negeri kita. Bencana banjir belum selesai kita tangani menyusul bencana tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, kebakaran dan sebagainya. Evaluasi sementara, kita selalu kedodoran dalam menghadapi setiap bencana, dan akibat dari ketidaksiapan tersebut masyarakat sebagai korban bencana tambah menderita karena terlambat mendapat bantuan, bencana selalu menyisakan duka bagi kita. Segala macam bencana sudah terjadi di negeri kita, bencana tersebut terjadi secara merata dari Sabang sampai Merauke, tidak saja di perkotaan tetapi juga perdesaan. Dalam catatan Walhi pada kurun waktu 1998-2003 telah terjadi 647 kejadian bencana (lihat tabel), dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor, dengan korban jiwa dan kerugian akan rusaknya infrastruktur yang tidak kecil. Pada tahun 2005
terjadi bencana yang maha dahyat gempa bumi dan tsunami yang melanda Nangroe Aceh Darusalam (NAD) yang menimbulkan korban jiwa sebanyak 170.000 orang, disusul beberapa kejadian gampa bumi yang terjadi di beberapa daerah (Nias, Padang, Irian, Yogya, Bengkulu dsb). Dari beberapa bencana tersebut gempa bumi dan tsunami adalah bencana yang murni disebabkan faktor alamiah alam, sedang banjir dan tanah longsor adalah bencana yang terjadi bukan hanya karena faktor alamiah alam, namun lebih banyak karena campur tangan manusia (kerusakan alam akibat penebangan hutan, penggundulan bukit, alih fungsi lahan resapan menjadi pemukiman mengakibatkan tidak seimbangnya ekosistem). Banjir dan tanah longsor merupakan bencana yang bisa diantisipasi kejadian dan resikonya atau bisa dikatakan merupakan bencana yang “bisa direncanakan”. Sayangnya bencana yang “bisa direncanakan” tersebut menunjukkan intensitas yang meningkat dari tahun ke tahun.
Tabel 1. Bencana alam di Indonesia (1998-2003) Jenis
Jumlah Kejadian 302 245
Korban Jiwa 1066 645
Banjir Tanah longsor Gempa 38 306 bumi Gunung 16 2 berapi Angin 46 3 topan Jumlah 647 2022 Sumber: Bakornas PB
bagaimana melakukan pemulihan kalau bencana sudah terjadi. Dengan memandang bahwa bencana merupakan paket yang inheren dalam kehidupan maka perlulah kita mengenal apa yang termasuk dalam ruang lingkup bencana, bagaimana mengelola bencana dan bagaimana melakukan tindakan-tindakan praktis berkaitan dengan bencana. Permasalahanpermasalahan tersebut menjadi bahasan manajemen bencana. Dengan manajemen bencana, banyak orang tidak terperangkap banjir karena kurangnya evakuasi, tidak akan ada kekurangan perahu karet dan tidak akan ada tuding-tudingan kesalahan dalam penanganan bencana.
Kerugian (juta rp.) 191.312 13.928 100.000 n.a 4.015
Kedatangan bencana alam di negeri kita ini sebenarnya tidak perlu membuat kita heran dan terkejut sehingga bencana dipandang sebagai hukuman dari Tuhan atas perilaku salah kita. Bencana alam yang selama ini terjadi merupakan sunatullah, sesuatu yang sebenarnya dapat kita pahami secara nalar. Secara geologi kita menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar daratan kita (pulau-pulau) berada pada patahan/sesar dan wilayah kita merupakan bertemunya sirkum Altantik dan Mideterania yang merupakan gugus pegunungan yang tingkat keaktifannya tinggi. Disamping itu, letak geografis kepulauan Indonesia menimbulkan dampak tertentu bagi kehidupan masyarakat dalam hal ini bencana alam (badai, angin puting beliung, ombak besar, hujan asam dsb). Sebagai manusia yang dikaruniai akal, memandang bencana alam merupakan paket yang tidak dapat kita hindari dari kenyataan tersebut, sehingga yang perlu kita sikapi adalah bagaimana nalar kita memprediksi bencana, bagaimana mengantisipasi bila terjadi dan
Definisi Bencana Bencana seringkali didefinisikan dalam berbagai arti. Beberapa definisi cenderung merefleksikan karakteristik yang mengikuti, seperti: Penyimpangan yang terjadi didalam pola hidup yang normal. Beberapa penyimpangan umumnya terjadi dan juga tiba-tiba, tidak diharapkan dan meluas (meliputi wilayah yang luas). Menyebabkan penderitaan pada manusia, seperti kematian, terluka/cedera, kesulitan hidup serta gangguan kesehatan. Menyebabkan kerusakan struktur sosial seperti terganggunya sistem pemerintahan, kerusakan gedung, komunikasi dan infrastruktur pelayanan publik ataupun pelayanan yang penting. Terganggunya kebutuhan masyarakat, seperti tempat tinggal, 12
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
makanan, pakaian, kesehatan dan pelayanan sosial. Definisi diatas kurang mencakup karena hanya melihat satu, dua sisi dari bencana dan kurang melihat perkembangan terkini dari kompleksitas bencana yang dapat terjadi di masyarakat modern sekarang ini. Agar lebih jelas kiranya perlu kita melihat definisi kata bencana dari kamus, yaitu antara lain: Oxford Dictionary: Sudden or great misfortune, calamity (Suatu ketidakberuntungan atau malapetaka yang datang tiba-tiba). Webster’s Dictionary: A sudden calamitious event producing great material damage, loss and distress (Kejadian yang sangat membahayakan yang datang tibatiba yang menghasilkan kerusakan besar pada material, korban jiwa, kerugian finansial dan penderitaan). Melihat amat bervariasinya definisi “bencana” seringkali menimbulkan perdebatan utamanya pada saat suatu kejadian/peristiwa yang menimbulkan penderitaan masyarakat terjadi dalam dalam lingkungan kita. Hal ini berkaitan dengan permasalahan: siapa yang bertanggung jawab, bagaimana penanggulangannya, pembagian kewenangan, penentuan areal terdampak dan sebagainya. Merujuk pada Handbook Disaster Management, bencana didefinisikan dengan: “An event, natural or manmade, sudden or progressive, which impacts with such severity that effected community has to respond by taking exceptional measures” (kejadian, yang disebabkan oleh alam atau hasil perbuatan manusia, baik tiba-tiba maupun secara perlahan-
lahan/sedikit demi sedikit, yang berpengaruh kuat pada masyarakat). Definisi di atas lebih mencakup karena dalam definisi tersebut disebutkan juga penyebab bencana, akibat bencana serta penekanan pada respon masyarakat. Menurut definisi di atas bencana dapat disebabkan oleh alam dan hasil perbuatan manusia. Dilihat dari penyebab bencana maka ada 4 kategori penyebab bencana (dalam Sobirin, Pikiran Rakyat 4 April 2005), yaitu bencana geologi, bencana iklim, bencana lingkungan dan bencana sosial. Bencana geologi antara lain gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi dan tanah longsor. Bencana iklim antara lain banjir, kekeringan dan badai. Bencana lingkungan antara lain pencemaran lingkungan (air, tanah, udara), eksploitasi sumber daya alam berlebihan termasuk penjarahan hutan, alih fungsi lahan di kawasan lindung, penerapan teknologi yang keliru dan munculnya wabah penyakit. Bencana sosial antara lain kehancuran budaya, budaya tidak peduli, KKN, politik tidak memihak rakyat, kesenjangan sosial ekonomi budaya, konflik, kerusuhan dan lainlain. Dalam buku Disaster Management (1991:3-6), ancaman bencana dapat diklasifikasikan, antara lain: 1). The Traditional Disaster Threats, seperti gempa bumi, tsunami, angin topan, banjir, tanah longsor, kekeringan dan sebaginya; 2) The New Disaster Threats, seperti kerusuhan sosial, terorisme, pembajakan, konflik, kecelakaan kerja, ledakan pada reaktor nuklir, kecelakaan pada transportasi umum dan sebagainya; 13 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
3) The Geography of Disaster, seperti kemiskinan yang umumnya menimpa negara-negara Afrika dan Asia Selatan; 4) Modern Loss Factor, halhal yang dilakukan dalam upaya penanggulangan bencana harus dikoordinasikan antar daerah maupun antar negara dan dunia internasional sehingga penanggulangan benarbenar efektif, tidak justru menyebabkan kerugian/kehilangan pada kelompok tertentu. Secara umum jenis-jenis bencana, antara lain: Gempa bumi Letusan gunung berapi Tsunami Angin taufan Banjir Tanah longsor Kebakaran hutan Kekeringan Penyakit menular Kecelakaan Ketidaktentraman atau kerusuhan Pada umumnya akibat yang ditimbulkan oleh bencana, antara lain: Kematian/hilangnya nyawa Terluka Kerusakan dan hancurnya kepemilikan Kerusakan dan hancurnya tanaman pangan Menurunnya produksi Menurunnya kualitas kehidupan Hilangnya kehidupan Rusaknya pelayanan-pelayanan yang penting Rusaknya infrastruktur nasional dan sistem pemerintahan Hilangnya ekonomi nasional Akibat-akibat sosiologis dan psikologis.
Manajemen Siklus
sebuah
Bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Nangroe Aceh Darusalam (NAD) telah membukakan mata kita bahwa manajemen bencana di negara kita masih sangat jauh dari yang kita harapkan. Padahal, dalam penanggulangan bencana secara normatif kita telah memiliki Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP). Di tingkat Propinsi dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bancana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satkorlak PBP. Di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satlak PBP. Walaupun tugas dan fungsi Bakornas, Satkorlak dan Satlak PBP ini telah jelas diuraikan dalam Keppres Nomor 3 Tahun 2001, namun faktanya ketika terjadi bencana terlihat institusi ini sering ”kedodoran”. Adanya institusi diatas menandakan bahwa kita telah memiliki sistem penanganan bencana (manajemen bencana), namun pemahaman terhadap manajemen bencana belum sepenuhnya dihayati. Bencana hanya dipandang peristiwa yang datang sewaktu-waktu saja, bukan masalah yang diprioritaskan. Dapat dipastikan pemahaman dasar tentang manajemen bencana tidak dikuasai atau tidak dimengerti oleh banyak kalangan birokrat, masyarakat maupun swasta. Salah satu hal yang perlu dipahami bahwa manajemen bencana adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan. Pembangunan sebagai 14
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Bencana,
upaya meningkatkan kesejahteraan atau kemanusiaan merupakan aktifitas yang dilakukan secara berkesinambungan, bukan aktifitas periode yang singkat. Manajemen bencana bersifat dinamis (hal ini terlihat dalam siklus manajemen bencana), sesuai perkembangan masyarakat dan kompleksitas bencana. Sebagai sebuah cabang ilmu manajemen bencana harus memenuhi peryaratan, yaitu aspek yang jelas (kelembagaan, organisasi dan tata cara), fungsi yang berjalan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan) dan unsur yang lengkap (sumber daya manusia, kuangan, perlengkapan dan sejenisnya). UNDP membagi manajemen bencana menjadi empat tahap besar. Tahap pertama adalah kesiapsiagaan (perencanaan siaga, peringatan dini), tahap kedua tanggap darurat (kajian darurat, rencana operasional, bantuan darurat), tahap ketiga pasca darurat (pemulihan, rehabilitasi, penuntasan, pembangunan kembali), tahap keempat pencegahan dan mitigasi atau penjinakan. Pengalaman menunjukan, dari keempat tahap tersebut justru tahap kedua, yaitu tahap tanggap darurat yang selalu penuh ”hiruk-pikuk” tetapi koordinasinya sangat lemah. Hal ini membuktikan bahwa pada saat bencana terjadi, penanganan bencana selalu dilakukan dalam suasana kepanikan dan kebingungan. Pada saat tanggap darurat ini nampak ada yang terkaget-kaget dan merasa kecolongan, ada yang serius, ada yang menjadi ”seksi repot”, ada yang menonton saja dan bahkan ada yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Pada tahap ketiga, yaitu pasca darurat, nuansa rehabilitasi
dan rekonstruksi sangat berbau ”proyek”, banyak pihak yang mencari remah-remah diatas penderitaan orang lain. Pada tahap keempat, yaitu pencegahan dan mitigasi, semua pihak mulai melupakan peristiwa bencana yang lalu, hampir semua orang tidak peduli lagi harus berbuat apa. Kembali ke tahap pertama, yaitu kesiapsiagaan, bisa dipastikan semua pihak tidak siap dan tidak siaga, dan bila terjadi bencana, kembali kecolongan, terkaget-kaget dan panik. Padahal, penanganan keempat tahap sejak kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca darurat, pencegahan dan mitigasi masing-masing memiliki bobot keseriusan yang sama. Manajemen Masyarakat
Bencana
Berbasis
Dalam penanganan bencana tidak selayaknya/cukup mengandalkan kemampuan pemerintah. Pemerintah memiliki keterbatasan baik dalam sumber daya manusia, pendanaan, perlengkapan maupun logistik. Manajemen bencana harus bersifat kesemestaan, melibatkan semua pihak, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Ketiga komponen tersebut harus mampu menjadi pelaku yang setara, semua harus berperan utama, bukan hanya berperan serta. Sasaran implementasinya adalah masyarakat mengetahui ancaman bahaya di lingkungan masing-masing dan masyarakat harus mampu menolong dirinya sendiri. Konsep dasar manajemen bencana berbasis masyarakat adalah upaya meningkatkan kapasitas masyarakat atau mengurangi kerentanan masyarakat. Besaran 15 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
bencana merupakan akumulasi berbagai ancaman bahaya dengan rangkaian kerentanan yang ada di masyarakat. Rangkaian kerentanan ini antara lain terdiri dari kemiskinan, kurangnya kewaspadaan, kondisi alam yang sensitif, ketidak-berdayaan dan berbagai tekanan dinamis lainnya. Kerentanan satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain berbeda akar masalahnya, demikian pula ancaman bahayanya pun berbeda-beda jenisnya. Pada umumnya permasalahan bencana di Indonesia menjadi rumit karena terjadi di daerah yang kondisi masyarakatnya tidak mampu alias rentan dan lokasinya pun jauh dari pusat pemerintahan dan sulit dicapai. Oleh sebab itu paradigma baru manajemen bencana harus dapat mengatasi permasalahan tersebut, dengan manajemen bencana berbasis masyarakat, yaitu menuju masyarakat yang mampu mandiri, mampu mengenali ancaman bahaya di lingkungannya dan mampu menolong dirinya sendiri.
tahap yang krusial dalam manajemen bencana, mengingat kecenderungan bencana yang disebabkan oleh ulah manusia terus meningkat dari tahun ke tahun. Diperlukan tindakan serius dan tegas dari pemerintah terhadap penyimpangan perilaku masyarakat yang dapat menimbulkan bencana. Pemerintah melalui lembaga-lembaga yang berkompeten (juga dibantu swasta) melakukan survey atau evaluasi secara berkala terhadap tempat-tempat atau aktifitas-aktifitas yang memungkinkan timbul bencana, sehingga kemungkinan-kemungkinan bencana dapat diprediksi, dengan demikian bencana dapat dijinakkan. Perlu kepemimpinan yang kuat dalam menghadapi bencana karena kondisi yang tidak pasti/darurat dalam bencana harus diatasi dengan segera agar bantuan cepat dilakukan, mobilisasi serta koordinasi efektif dan ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang kuat kepemimpinannya dan visioner. Keteladanan pemimpin juga diperlukan dalam mengantisipasi bencana, menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam mengatasi situasi kritis dalam kejadian bencana. Keteladanan juga dibutuhkan dalam mencegah terjadinya penyimpangan perilaku di masyarakat, pembabatan hutan (ilegal logging) yang terjadi bertahuntahun tidak akan ada apabila tidak ada kerjasama dengan ”aparat pemerintah”. Terakhir, masalah perencanaan pembangunan dan mekanisme penggaran yang kurang luwes dalam penjadwalan pencairan dana. Seringkali proyek-proyek penanggulangan bencana tidak efektif dalam mengatasi bencana karena salah dalam penjadwalan. Kita punya
Penutup Mengingat negeri kita rentan terhadap segala bentuk bencana – negeri sejuta bencana, maka manajemen bencana perlu disosialisasikan secara terus-menerus dengan melibatkan sebanyak mungkin komponen masyarakat. Penyebaran informasi, pelatihan manajemen bencana serta simulasi bencana perlu dilakukan secara berkala sehingga masyarakat terlatih untuk siaga terhadap bencana. Pencegahan (prevention) dan penjinakan (mitigation) merupakan 16 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
kebiasaan setelah bencana menghajar kita, segera proyek penanggulangan kita implementasikan tidak melihat pola dari bencana (apakah tiap tahun, 5 tahunan atau 35 tahunan dsb). Apabila bencana tersebut datang 5 tahunan maka implementasi proyek penanggulangan itu berarti apa-apa, kita ambil contoh pasca banjir umumnya sungai-sungai dikeruk dan dalam jangka waktu empat tahun kondisi sungai kembali seperti sedia kala, pada musim hujan di tahun kelima banjir kembali tidak dapat kita elakkan. Penting kiranya kita mengubah cara berpikir kita dan cara berperilaku kita dan cara hidup kita. Ini bisa dimulai dari diri kita, mulai dari
saat ini dan mulai dari hal-hal yang kecil. Kita harapkan ada perubahan perspektif tentang bencana. Sumber Bacaan Carter, Nick W, 1991, Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook, Manila, Asian Development Bank. Sobirin, 2007, Manajemen Bencana, www.pikiran-rakyat.com Walhi, 2004, Sejuta Terencana di www.walhi.or.id
Bencana Indonesia,
Kompas dan Media Indonesia.
17 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005