MANAJEMEN ASET KEANDALAN DI PT INDONESIA POWER UBP PRIOK UNIT GT 1.3 Surya Dwi Fachreza dan Prof. Dr. Ir. Iwa Garniwa MK. M.T. Program Studi Teknik Elektro, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat ABSTRAK Manajemen keandalan merupakan kegiatan untuk menjamin tidak terjadinya kegagalan pada seluruh peralatan saat dioperasikan, tidak mengalami derating, dengan biaya optimum, dengan meminimalkan atau menghilangkan kegagalan dan penyebabnya, serta melakukan optimasi. Diawali dengan melakukan prioritas keandalan sistem dan peralatan (SERP) yang memberikan hasil berupa prioritas aset yang harus dilakukan perbaikan yaitu sistem eksitasi. Selanjutnya sistem eksitasi tersebut digunakan sebagai masukan untuk proses Failure Mode Effect Analysis (FMEA). Hasil dari proses FMEA adalah Failure Defense Task (FDT) yang termasuk tugas, pemeliharaan, dan rekomendasi perbaikan. Total penghematan biaya sebelum dan setelah dilakukan manajemen aset adalah sebesar Rp. 1.334.106.000 (menggunakan bb gas) dan Rp. 4.992.660.000 (menggunakan bahan bakar HSD). Kata Kunci : FMEA; FDT; MPI; SERP; Sistem Eksitasi.
ABSTRACT Reliability Management is a guarantee product to prevent from failure and derating on all operation equipment, with optimum price the objective is to decrease failure and the root cause, so it will get a high efficiency. Start with System Equipment Reliability Prioritization (SERP) process that show the priority asset that need improvement which is excitation system. Those excitation system is use as an input for Failure Mode Effects Analysis Process. The output of FMEA is a Failure Defense Task (FDT) which include task, maintenance, and repair recommendation. Total saving cost before and after implementation management asset is Rp. 1.334.106.000,- (Using Petroleum) and Rp. 4.992.660.000 (using High Speed Diesel). Keyword : FMEA; Excitation System; FDT; MPI; SERP.
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Proses produksi ditentukan oleh kondisi mesin-mesin produksi untuk melakukan
fungsinya. Kerusakan salah satu sistem pada unit produksi menyebabkan terhentinya proses produksi dan tentu saja hasilnya akan di bawah kapasitas. Dalam hal ini, proses perbaikan memegang peranan yang sangat penting dalam menunjang availabilitas dari mesin mesin–mesin produksi. Oleh sebab itu, dibutuhkan sistem manajemen keandalan yang baik agar dapat memprediksi kerusakan pada mesin pembangkit dan dapat diberikan pemeliharaan yang tepat pada seluruh asetnya. Manajemen keandalan merupakan kegiatan untuk menjamin tidak terjadinya kegagalan pada seluruh peralatan saat dioperasikan, tidak mengalami penurunan kapasitas, dengan biaya optimum, dengan meminimalkan atau menghilangkan kegagalan dan penyebabnya, serta melakukan optimasi. Pada kesempatan ini, penulis menjelaskan proses pendekatan dalam managemen keandalan, yaitu SERP yang menghasilkan aset yang akan diprioritaskan untuk dilakukan pemeliharaan, FMEA yang menghasilkan metode pemeliharaan yang tepat untuk aset yang mengalami kerusakan. Penulis pun melakukan pengujian untuk sistem eksitasi bagian blok konverter pada mesin GT 1.3 yang sering mengalami kerusakan berdasarkan panduan buku manual sistem eksitasi dan kerugian kerugian dari segi ekonomi saat mesin tidak bekerja karena terjadi kerusakan.
1.2
Permasalahan Masalah yang timbul di PT. Indonesia Power UBP Priok yang diangkat pada skripsi ini
adalah fenomena downtime machine yang tidak terjadwal, pengelompokan aset–aset kritis sebagai acuan dalam proses perbaikan yang mana akibatnya pihak manajemen tidak dapat menentukan tindakan perawatan yang optimum terhadap kerusakan aset berdasarkan modus kegagalan. Permasalahan yang kedua adalah kerusakan pada sistem eksitasi bagian blok konverter tetapi sistem kontrol tidak mengidentifikasi kerusakan tersebut. Permasalahan tersebut belum terselesaikan sejak tahun 2011. Untuk menganalisa kejadian tersebut maka studi tentang SERP dan FMEA perlu dilakukan.
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan studi manajemen keandalan di PT Indonesia Power UBP Priok adalah
sebagai berikut : •
Menunjukkan prioritas terhadap perbaikan suatu proses atau sub sistem melalui daftar peningkatan proses atau sub sistem yang harus diperbaiki.
•
Mengidentifikasi dan membangun tindakan perbaikan yang bisa diambil untuk mencegah atau mengurangi kesempatan terjadinya potensi kegagalan atau pengaruh pada sistem.
•
Melakukan tindakan yang diprioritaskan terlebih dahulu apabila terjadi kerusakan pada sebuah sistem
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Manajemen Aset Keandalan Manajemen keandalan merupakan kegiatan untuk menjamin tidak terjadinya kegagalan
pada seluruh peralatan saat dioperasikan, tidak mengalami penurunan kapasitas, dengan biaya optimum, dengan cara meminimalkan atau menghilangkan kegagalan dan penyebabnya, serta melakukan optimasi. Diawali dengan melakukan penaksiran kepada seluruhan peralatan (baseline (baseline) dan prioritisasi peralatan (SERP). Hasil dari kedua proses tersebut digunakan sebagai acuan untuk menentukan prioritas peralatan yang membutuhkan kajian FMEA (Failure Mode Effect Analysis). Tindakan yang harus dilakukan atau Failure Defense Task (FDT) yang mencakup tugas, frekuensi dan rekomendasi adalah hasil dari kajian tersebut. ENGINEERING SERP FMEA
RENDAL HAR
BASE LINE IM C PO RN OT V IN EU MO EU NS T
HAR MK/CR/LR FDT
PREVENTIVE MAINTENANCE WORK PLAN
CONDITION BASE MAINTENANCE/PdM
WORK SCH
WORK EXECUTION
OVERHOUL
ANALYSIS
WORK PACKAGE REVIEW
Gambar 2.1 Siklus Manajemen Keandalan
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
WORK CLOSE
O O
System Equipment Reliability Prioritization (SERP) SERP (System Equipment Reliability Prioritization) merupakan metode untuk meranking
tingkat keandalan sistem peralatan. Hasil dari proses SERP adalah Maintenance Priority Index (MPI) berupa ranking peralatan berdasarkan kriteria tertentu yang mencerminkan tingkat kekritisan. Hasil MPI dan hasil dari pemetaan peralatan merupakan proses identifikasi awal yang memberikan gambaran terhadap peralatan-peralatan kritis yang harus segera mendapatkan penanganan dan ditingkatkan keandalannya. .
.
Gambar 2.2 Siklus SERP
2.3
Failure Mode Effect Analysis (FMEA) FMEA atau Failure Mode and Effect Analysis adalah sebuah metoda untuk mengenali
modus kerusakan dan pengaruh kerusakan terhadap fungsi peralatan atau asset. Hasil dari FMEA berupa langkah-langkah pencegahan yang pada akhirnya akan didapatkan tindakan yang paling optimal. P
2
T , Gambar 2.3 Siklus FMEA
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
2.4
Sistem Eksitasi Peralatan eksitasi berfungsi untuk mengatur tegangan generator dengan jalan mengontrol
secara langsung arus rotor menggunakan konverter thyristor. Unit eksitasi dapat dipisahkan ke dalam 4 bagian utama, yaitu trafo eksitasi (-T01), bagian kontrol (ER), konverter (EG), serta Field Flashing dan peralatan deeksitasi (EE).
Gambar 2.4 Sistem Eksitasi PLTGU Priok
Pada sistem eksitasi tipe shunt daya eksitasi diambil dari generator stator. Arus medan untuk rotor mengalir melalui trafo eksitasi (-T01), konverter EG, dan Field Circuit Breaker (Q02). Trafo Eksitasi menurunkan tegangan generator ke level yang diperlukan oleh konverter. Konverter EG mengubah arus 3 fasa menjadi arus DC yang teregulasi. Dalam eksitasi tipe shunt, tidak terdapat cukup medan sisa didalam generator untuk menghasilkan tegangan generator melalui konverter. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan peralatan field flashing. Ketika peralatan field flashing disuplai oleh daya dari sumber DC (Baterai), arus field flashing dibatasi oleh sebuah resistor. Ketika disuplai dari sistem AC, sebuah transformer beroperasi sebagai adaptor.
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
Eksitasi generator diaktifkan dengan menutup field circuit -Q02 dan field flashing breaker -Q03. Breaker tersebut menyuplai arus ke medan, yang akan mengeksitasi generator sampai dengan 30%. Generator kemudian mensuplai tegangan ke konverter melalui trafo eksitasi. Mulai dengan 10% tegangan generator, firing elektronis, dan konverter dapat meneruskan kenaikan tegangan, sehingga rangkaian field flashing dapat mengurangi arus. Saat tegangan mencapai 70% dari Ug, field flashing breaker akan terbuka dan tidak akan ada lagi arus yang lewat. Dioda jembatan pada masukan field flashing breaker berguna untuk mencegah aliran balik dari arus sumber ke sumber field flashing. Konverter EG dibagi menjadi 3 blok konverter yang berdiri sendiri. Jika salah satu blok konverter gagal, sistem tetap dapat beroperasi dengan menggunakan blok lainnya. Setiap Blok konverter memiliki Final Pulse Stage (FPS), pendingin, dan peralatan monitoring masing-masing. Redudansi di regulator dijamin oleh 2 chanel yang terpisah dengan pengukuran pada masukan dan ekstensive monitoring yang berdiri sendiri (Supervision).
3. PROSES SERP Output yang dihasilkan oleh proses SERP ini adalah sebagai berikut : •
MPI (Maintenance Prioritization Index) adalah output akhir proses SERP yang berfungsi untuk memfokuskan dan memprioritaskan perbaikan pada suatu aset.
•
System Criticality Ranking (SCR)
•
Operation Criticality Ranking (OCR)
•
Asset Failure Probability Factor (AFPF)
3.1
System Criticality Ranking Penilaian di sisi management (SCR) dibagi menjadi 3 kategori, dimana penilaiannya telah
ditetapkan berdasarkan SK Direksi Nomor : 57.K/010/IP/2010. •
OC (Operational Cost) Operational Cost adalah biaya pemeliharaan rata-rata selama 1 tahun. Pada sistem generator operational cost (OC) diberi nilai 4. Hal ini disebabkan karena sistem tersebut
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
menggunakan presentase biaya pemeliharaan rata-rata selama 1 tahun kebelakang sebesar 560 juta - 1 miliar rupiah. •
PT (Process Throughput) Process Throughput adalah dampak hilangnya fungsi atau rentang waktu perbaikan. Pada sistem generator Process Throughput bernilai 8. Hal ini disebabkan apabila sistem tersebut mengalami kegagalan maka unit tersebut akan trip dan membutuhkan waktu ±1 minggu agar unit dapat bekerja kembali.
•
SF (Safety) Safety dinilai berdasarkan potensi bahaya terhadap keselamatan personil yang bekerja pada area sistem tersebut. Pada sistem generator safety bernilai 2. Hal ini disebabkan karena dengan tidak adanya efek yang berbahaya apabila personil bekerja pada daerah tersebut. Dari ketiga kategori diatas, dapat kita cari nilai SCR dengan komposisi 0.3 untuk OC, 0.5
untuk PT, dan 0.2 untuk SF : SCR
= [0.3(4)2 + 0.5(8)2 + 0.2(2)2]1/2 = [4.8 + 32 + 0.8]1/2 = 6.13
3.2
Operation Criticality Ranking Nilai Operation Criticality ranking (OCR) didapat berdasarkan pada lama waktu
kegagalan aset yang mempengaruhi kegagalan fungsional sistem induk dan ketersediaan untuk mem-back up atau redudansi peralatan tersebut. OCR pada sistem eksitasi bernilai 10, dengan kata lain apabila sistem tersebut mengalami kerusakan maka harus segera dilakukan tindakan perbaikan karena tidak ada cadangan untuk peralatan tersebut. 3.3
Asset Criticality Ranking Nilai Asset Criticality Ranking (ACR) didapat dengan cara mengkombinasi nilai dari
SCR dan OCR yang akan menghasilkan sebuah ranking dari suatu peralatan berdasarkan tingkat kekritisannya. ACR pada sistem eksitasi ini bernilai :
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
ACR = SCR x OCR = 6.13 x 10 = 61.3 3.4
Asset Failure Probability Factor Nilai AFPF didapat dengan melihat tingkat keandalan peralatan dengan parameter yang
diukur berupa frekuensi kerusakan dari peralatan tersebut dalam periode 1 tahun terakhir. AFPF pada sistem eksitasi ini bernilai 6, dengan kata lain sistem eksitasi di unit GT 1.3 ini setiap tahunnya sering mengalami kerusakan. 3.5
Maintenance Priority Index Maintenance Priority Index (MPI) adalah hasil akhir dari proses SERP. Sistem dan aset
yang memiliki nilai MPI tertinggi di PLTGU Priok Unit 1.3 adalah sistem generator dengan aset berupa sistem eksitasi yaitu sebesar 367.8. Hal itu dipengaruhi oleh nilai AFPF dan nilai OCR yang besar. Nilai AFPF yang besar disebabkan karena sistem eksitasi pada Unit GT 1.3 sering mengalami gangguan selama tahun 2012 dan nilai OCR yang besar disebabkan karena apabila sistem eksitasi mengalami gangguan atau kerusakan maka unit tersebut tidak akan beroperasi karena tidak ada sistem eksitasi untuk mem-back up unit tersebut.
4. PROSES FMEA 4.1
Sistem atau Aset Priotitas Berdasarkan hasil SERP pada proses sebelumnya maka didapatkan input untuk proses
FMEA ini berupa aset sistem eksitasi dengan nilai MPI sebesar 367.8. 4.2
Komponen pada Sistem Eksitasi Berdasarkan data gangguan sistem eksitasi di PT Indonesia Power Unit GT 1.3,
komponen yang sering mengalami kerusakan berada di bagian konverter G 33. Berikut adalah sub komponen yang berhubungan dengan konverter G 33 :
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
•
Intermediate Pulse Stage (IPS),
•
Final Pulse Stage (FPS),
•
Blok Konverter
•
Pendingin Konverter,
•
Konverter Thyristor .
4.3
Modus dan Dampak Kegagalan Modus kegagalan (kerusakan) yang terjadi pada sistem eksitasi dibagian blok konverter
G 33 Unit GT 1.3 ini adalah tidak adanya penunjukan arus pada ampere meter sehingga pembagian arus menjadi tidak seimbang antara konverter G 33 dengan konverter lainnya. Dampak dari kegagalan ini adalah arus eksitasi dibebankan pada dua konverter yang lain. Hal ini menyebabkan konverter akan mudah rusak karena harus bekerja ekstra untuk menanggung beban dari G 33 atau umur konverter (life time) tidak akan sesuai dengan yang diprediksikan. 4.4
Pengujian dan Pengukuran Perbaikan yang dilakukan bertujuan untuk mengindentifikasi kerusakan dengan
melakukan pengujian dan pengukuran sesuai dengan buku manual operasi (O&M) pada sistem eksitasi. Pada bagian ini penulis akan menjelaskan pengujian dan pengukuran yang dilakukan oleh teknisi di PT Indonesia Power UBP Priok. •
Pengukuran Intermediate Pulse Stage Pengukuran Intermediate Pulse Stage (IPS) ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada tegangan (VAC) yang mengalir di IPS tersebut atau tidak. Tegangan yang mengalir di IPS ini dihasilkan oleh Gate Control Unit (GCU) yang berfungsi untuk membangkitkan firing pulse pada thyristor. Tegangan yang seharusnya dihasilkan oleh IPS menurut buku manual operasi (O&M) sistem eksitasi adalah 2-5 volt.
•
Pengukuran Final Pulse Stage Pengukuran pada bagian Final Pulse Stage (FPS) bertujuan untuk mengetahui apakah tegangan yang mengalir di FPS sudah sesuai dengan tegangan minimal yang dibutuhkan oleh gate thyristor. Tegangan yang dihasilkan oleh FPS menurut manual book sistem eksitasi adalah antara 2-5 V.
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
•
Pengujian Simulasi Saat Full Speed No Load (FSNL) Setelah dilakukan penggantian card dan mesin melakukan start up, pembacaan arus eksitasi GT 1.3 tidak mengalami perubahan (unbalance). Tabel 4.5 adalah tabel presentase arus eksitasi di setiap konverter terhadap arus total yaitu 460 A. 55% arus eksitasi masih dibebankan kepada konverter G 31 dan 33% dibebankan kepada G 32, sedangkan konverter G 33 hanya dibebankan 12%. Menurut buku manual operasi (O&M) arus eksitasi yang mengalir disetiap konverter adalah ±120 A. Untuk memastikan kerusakan berasal dari bagian blok konverter maka penguji melakukan pengujian saat Full Speed No Load (FSNL). Pengujian tersebut dilakukan dengan cara merubah setting parameter conduction monitoring di mikroterminal unit (UNS 2660) yang bertujuan untuk memblokir sinyal trip dari failure stage. Setelah merubah setting UNS 2660, tim penguji melakukan pemblokiran terhadap konverter gate, yaitu dengan cara menurunkan MCB salah satu fan rectifier (sebagai salah satu simulasi konverter block) dan memantau nilai arus beban konverter yang satu dan arus beban konverter di konverter lainnya. Setelah fan rectifier yang lainnya diturunkan maka dilihat kembali nilai arus di konverter yang terbebani.
•
Pengecekan Konverter Blok Setelah melakukan simulasi FSNL, disimpulkan bahwa kerusakan berasal dari dalam blok konverter. Saat melakukan pengecekan dan pemeriksaan, tim penguji melihat adanya kontak yang tidak bersih terutama pada bagian kontak baut sisi minus pada keluaran konverter.
Gambar 4.1 Busbar Kontak Konverter
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
Saat dilakukan pembersihan, ditemukan adanya thyristor dan dudukan thyristor yang sudah rusak yang kemungkinan disebabkan oleh pemasangan thyristor yang tidak sesuai dengan dudukannya. Permasalahan lain yang juga ditemukan saat pembersihan konverter adalah terdapat perbedaan tipe atau kelas dan nomer seri dari thyristor yang terpasang di setiap bridge yang akan menyebabkan resistansi dari setiap gate nya berbeda.
Gambar 4.2 Nomor Seri Thyristor yang Berbeda
•
Pengukuran Thyristor Dari percobaan sebelumnya tim penguji mengindikasi bahwa kerusakan berasal dari komponen thyristor. Oleh karena itu tim penguji melakukan pengujian dan pengukuran pada komponen thyristor. Pengujian thyrirstor dilakukan dengan beberapa metode dan alat ukur, dimana hasil dari pengukuran mengacu pada datasheet komponen thyristor. Pengukuran yang pertama dilakukan dengan menggunakan multimeter. Hubungkan multitester seperti pada gambar 4.10. Gunakan pengukuran resistansi (hambatan) pada multitester dengan skala x1 agar hasil dari pengukuran bisa setinggi mungkin (lebih dari Mega Ohm). Selanjutnya balikan prob multitester seperti pada gambar B diatas, dan ukur lagi nilai resistansinya. Resistansi yang terukur pada posisi ini pun harus tinggi (> MΩ).
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
Gambar 4.3 Pengukuran Resistansi
Dengan memanfaatkan datasheet, maka tim penguji mencoba melakukan metode injeksi arus dengan cara memberi arus pada gate sehingga thyristor menjadi penyearah layaknya diode penyearah biasa.
Gambar 4.4 Metode Injeksi Arus
PT Indonesia Power UBP Priok memiliki alat diagnosis yaitu FT 100 dimana alat ini dapat membandingkan nilai signature komponen, dengan membandingkan signature tersebut dapat diketahui secara cepat apakah thyristor masih berfungsi dengan baik atau tidak. FT
100
dapat
membandingkan
signature
komponen
yang
kita
ukur
dan
mempresentasekan perbedaan dengan signature yang sudah ditetapkan. Untuk komponen baru presentase ketidaksamaan ±5% sedangkan untuk komponen lama dibawah ±10%.
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
4.5
Output FMEA Modus kegagalan yang sering terjadi pada peralatan sistem eksitasi adalah pembacaan
arus eksitasi yang tidak seimbang antara konverter yang satu dan yang lainnya. Untuk modus kegagalan tersebut dapat disebabkan oleh 3 faktor, yaitu dari bagian Intermediate Pulse Stage (IPS), Final Pulse Stage (FPS), dan dari blok konverter itu sendiri. Dari proses FMEA ini kita bisa menentukan perbaikan mana yang harus dilakukan terlebih dahulu (diprioritaskan) apabila kerusakan serupa terjadi pada blok konverter. Dari action yang telah dilakukan, tim penguji diharuskan untuk memerika atau mengecek bagian konverter blocknya terlebih dahulu (bagian thyristor) karena apabila kerusakan serupa terjadi kembali maka kemungkinan besar kerusakan tersebut berasal dari bagian thyristornya, entah dari sisi kebersihan atau memang thyristor tersebut sudah tidak bisa digunakan kembali.
Tabel 4.1 Rekomendasi Tindakan Tindakan yang Harus Dilakukan
Kode FDT
Frekuensi
Pengukuran, pengujian, dan pengecekan kebersihan komponen thyristor
3
Pembersihan dilakukan per 3 bulan. Pengukuran dan pengujian dilakukan per tahun.
Simulasi FSNL
2
Simulasi FSNL dilakukan saat terjadi gangguan
Pengecekan dan pengukuran card IPS dan FPS
1
Pengukuran dan pengecekan dilakukan rutin
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
5. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dan hasil analisis dari pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu : 1. Dari hasil proses analisis prioritas keandalan sistem dan peralatan menyatakan bahwa sistem eksitasi di PLTGU Priok Unit GT 1.3 memiliki nilai MPI tertinggi yaitu sebesar 367.8 yang disebabkan karena sistem eksitasi sering mengalami kerusakan dengan modus kegagalannya adalah tidak adanya penunjukan arus pada ampere meter sehingga pembagian arus menjadi tidak seimbang antara konverter G33 dengan konverter lainnya. 2. Total kerugian finansial yang ditanggung oleh PT. Indonesia power UBP Priok pada tahun 2012 adalah sebesar Rp. 66.214.287.360,- (menggunakan bb gas) dan Rp. 306.128.291.200,- (menggunakan bahan bakar HSD) dengan total kehilangan daya sebesar 119800 yang bersumber dari rekapitulasi gangguan tahun 2012. 3. Dari hasil proses pengukuran dan pengujian sub sistem blok konverter didapat bahwa kerusakan yang terjadi di sistem eksitasi PLTGU Unit GT 1.3 berasal dari bagian komponen thyristor. Hal itu diketahui saat dilakukannya pengecekan kondisi fisik thyristor dan pengukuran resistansi, pengujian metode injeksi arus, dan pengujian dengan FT 100. 4. Dari analisis proses FMEA kita dapat menentukan tindakan yang harus dilakukan (diprioritaskan) apabila kerusakan pada bagian blok konverter terjadi kembali, yaitu dengan melakukan pengukuran dan pengujian komponen thyristor, setelah itu dilakukan simulasi Full Speed No Load untuk mengetahui apakah tindakan tersebut berhasil atau tidak. Total penghematan biaya sebelum dilakukan proses FMEA dan setelah dilakukan FMEA adalah sebesar Rp. 1.334.106.000 (menggunakan bb gas) dan Rp. 4.992.660.000 (menggunakan bahan bakar HSD).
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013
6. DAFTAR ACUAN
[1]
Mitchell. S. John. 2010. Physical Asset Management Handbook 4th edition.
[2]
PT. Indonesia Power. 2010. Pedoman Tata Kelola Manajemen Keandalan (Reliability Management) di Lingkungan PT Indonesia Power.
[3]
ITS Undergraduate., Pengertian Failure Mode Effect Analysis. http://digilibs.its.ac.id. Diakses pada tanggal 23 Mei 2012.
[4]
Prasetyo, Aji dan Eko Prasetyo. 2011. Start Up Process in Gas Turbin Generator and Electrical Equipments at PLTGU Priok.
[5]
Irawan, Heri. 2010. Sistem Penguatan dengan Sikat (Brush Excitation System) pada Generator Unit 1 PLTU Cilacap. http://elektro.undip.ac.id. Diakses pada tanggal 10 Septemper 2012.
[6]
Manual Instruction Book Excitation System. ABB Industry PTE, LTD 1993.
[7]
Ariani, Rina. et. al. 2010. Modifikasi Card Binary Control Input UNC 4661.a VAR.1 Sistem Eksitasi UNITROL D. Jakarta.
[8]
Rafika, Doni. et. al. 2012. Maintenance Priority Index 2012. Jakarta.
Manajemen aset ..., Surya Dwi Fachreza, FT UI, 2013