Manado post Juni 2008, KARYA ALFFIAN WALUKOW REINKARNASI KERAJAAN TAMPUNGANG LAWO KE PROPINSI NUSA UTARA Perjalanan sejarah peradaban Sangihe berjalan bersamaan dengan peradaban kebudayaan Indonesia secara umum dimulai dari migrasi bangsa China akibat tekanan kaisar China. Dari data Sejarah telah ditemukan peralatan rumah tangga dan kerangka manusia purba di goa Bowoleba Manalu oleh seorang peneliti Inggris, Peter Belwood yang diperkirakan berumur 5000 tahun. Berdasarkan Legenda, asal mula penduduk Sangihe dari daerah Philliphina bagian Selatan. Sangiang Mengkila dan Sangiang Medellu adalah manusia pertama dalam Legenda Sangihe. Sejak berada di Kepulauan Sangihe mereka mewariskan kerajaan pertama,tertua dan terbesar dalam sejarah kerajaan - kerajaan Sangihe yaitu kerajaan Tampungang Lawo kepada Gumansalangi. Secara umum, ditinjau dari persebaran dan warna kulit,karakter wajah dan bentuk tubuh, penduduk asli Sangihe termasuk dalam Ras Malayan Mongoloid ras umum Indonesia sama dengan karakter wajah penduduk asli Minahasa. Ciri khas yang membedakan adalah penduduk asli sangihe berkulit gelap, sawo matang karena memiliki unsur keturunan ras Negritoide (sama dengan penduduk asli Philliphina). Sebagian dari penduduk asli sangihe kemungkinan masih termasuk ras Wedoid atau Veddoide, seperti penduduk asli Toraja. Ada juga yang mengatakan bahwa penduduk asli Sangihe berasal dari Molibagu,dari suku Mongondow. a. Manusia pertama di kepulauan sangihe. Status social Manusia Sangihe purba berdasarkan Legenda terdiri dari : 1. Manusia Tampilê Batang, Hidup diakar pohon besar yang sudah roboh. 2. Apapuhang. Tinggal di cabang pohon yang beratap daun, suka makan makanan mentah. Tempat tinggal Apapuhang berada di Utaurano antara Mangehesê dan Bowongkalaeng. Disebuah lembah yang sekarang dikenal dengan nama Balang Apapuhang, kecamatan Tabukan Utara. 3. Pêmpanggo ( manusia jangkung ) Tidak memiliki tempat tinggal tetap. 4. Angsuang ( Raksasa ) Beberapa versi sastera lisan sangihe menjelaskan bahwa Manusia pertama adalah Upung Dellu atau Pengeran Gumansalangi dan Sangiang Kila atau Putri Ondoasa, mereka adalah keturunan dari Humansandulage. Versi pertama : Humansandulage beristeri Tendensehiwu dan memperanakan Datung Dellu. Datung Dellu bersiteri Hiwungelo memperanakan Gumansalangi. Setelah mempersunting Ondoasa, Gumansalangi berlayar dari Molibagu melalui pulau Ruang,Tagulandang,Biaro,Siau terus ke Mindanao kemudian kepulau Sangihe, mereka tiba di Kauhis lalu mendaki Gunung
Sahendarumang dan berdiam disana sampai terbentuknya kerajaan Sangihe pertama bernama Tampungang Lawo pada tahun 1425. Versi kedua : Gumansalangi adalah anak seorang raja dari sebuah kerajan kecil di wilayah Philiphina bagian selatan. Ibunya meninggal ketika Gumansalangi masih kecil. Raja kemudian menikah lagi dengan perempuan lain dan melahirkan seorang puteri. Pada suatu pesta sang puteri atas perintah ibunya mempengaruhi Raja dengan sebuah permintaan dan berkata ”harta kekayaan tak penting bagiku yang kuinginkan adalah agar Ayah dapat membunuh Gumansalangi. Permintaan ini dilakukan agar tahta kerajaan tidak jatuh ketangan Gumansalangi. Keinginan itu diketahui oleh Batahalawo dan Batahasulu atau Manderesulu orang sakti kerajaan pengikut Gumansalangi, mereka lalu meberitahukan rencana itu pada Gumansalangi. Batahalawo kemudian melemparkan ikat kepala ( poporong ) kelaut yang kemudian menjelmah menjadi Dumalombang atau ular naga besar. Dumalombang mebawa terbang Gumansalangi dan tiba di Rane dan tebing Mê nanawo lalu mengitari bukit Bowong Panamba,Dumêga dan Areng kambing. Setibanya ditempat yang baru, setiap malam Gumansalangi hanya mendengarkan suara burung pungguk atau Tanalawo, arti lain dari Tanalawo adalah Pulau Besar. Pada suatu senja digubuknya kedatangan seorang nenek yang memerlukan tempat berteduh. Malam berikutnya dia didatangi lagi seorang gadis cantik. Dua persitiwa membingungkan hati Gumansalangi. Disaat tenang terdengar suara yang berkata ambilah telur dipucuk pohon yang besar itu dan jangan sampai pecah. Ditebangnyalah pohon tersebut sampai mendapatkan sebutir telur. Telur itu kemudian pecah dalam perjalanan pulang, dari telur itu keluar seorang puteri cantik yang kemudian dikenal dengan nama Konda Wulaeng atau Sangiang Ondo Wasa ( puteri perintang malam ) putri khayangan. Mereka menikah lalu dinobatkan menjadi Kasili Mědělu dan Sangiang Měngkila yang Berarti Putra Guntur dan Putri Kilat. Dinamai demikian karena pakaian sang putri berkilau seperti emas dan pertemuan merek terdengar gemuruh dari langit. Cerita ini juga menjadi bagian dari lahirnya nama sangihe, dan menjadi inspirasi untuk pemotongan kue adat Tamo. Istilah sangihe berdasarkan banyak pemahaman berasal dari beberapa pengistilahan diantaranya : 1. Kata Sangi yang berarti tangisan. 2. Kata Sangihe berasal dari dua kata yaitu : - Sangiang yang berarti Putri Khayangan - Ihe atau uhe berarti Emas. 3. Kata sangi dapat juga ditemukan sebagai nama daerah di pulau lapu-lapu kepulauan Philliphinss,Afrika dan India. 4. Kata sangi teradaptasi dari kata Zang , bahasa Belanda yang berarti menyanyi. 5. Pelaut Eropa menyebut daerah kepulauan sangihe talaud dengan nama Sanguin. 6. Pelaut-pelaut China dalam satu ekspedisi yang dipimpin Laksaman Ceng Ho menyebut daerah kepulauan sangihe dengan nama Shao San
b. Sangihe sebuah kebudayaan Sejak lama Sangihe sudah menggunakan bintang sebagai penentu arah dalam pelayaran laut. Nenek moyang sangihe pernah mengarungi laut dengan perahu layar sampai ke Australia, memiliki pengetahuan tentang 18 mata angin termasuk Arah mata angin yang menunjuk utara agak kebarat, bernama Miang dan mata angin Amboha yang menunjuk antara barat daya dan selatan, penaggalan bulan dilangit dan penanggalan tahun sesuai tahun Masehi Pada masa kejayaan kerajaan Majapahit, kepulauan Sangihe dan Talaud adalah garis terdepan ekspansi Majapahit kedaerah Indo China. 600 – 700 tahun silam. Wilayah Kepulauan Sangihe adalah bagian terpenting dari tercapainya cita-cita Patih Gajah Madah untuk mempersatukan Nusantara. Masyarakat sangihe dimasa lalu bukanlah masyarakat kafir seperti yang dituduhkan kaum missionaris mula-mula. Masyarakat Sangihe dimasa lalu memiliki agama sendiri dengan kekuatan yang disembah yaitu Genggonalangi sebagai penguasa langit. Penguasa daratan yang bertahta dipuncak-puncak tertinggi dinamai penguasa Aditinggi dan Mawendo sebagai penguasa tertinggi Tagaroa (Lautan luas) Didaerah lain di Kawasan Pasifik mulai dari Madagaskar sampai pulau Paskah, Tagaroa atau Tanghaloa adalah Dewa Penguasa Laut. Agama Tua Sangihe dikenal dengan Sundeng. Agama ini mengenal bermacam-macam ritual keagamaan diantaranya adalah Ritual Menahulending, dan salah satu bagian dari ritual keagamaan tua yang masih tertinggal adalah Menulude atau Tulude. Masyarakat sangihe memiliki warisan kesenian tua yang masih terwaris keanak cucu seperti tari – tarian dan musik. Tarian adat sangihe : 1. Mebawalase Sambo Kesenian ini adalah salah satu kesenian asli dan tertua yang pernah ada di kepulauan sangihe dan sedang menuju pada kepunahan. Kesenian ini hanya dipentaskan dikalangan tertentu pada acara-acara yang sangat khusus. Kesenian ini dimainkan oleh beberapa orang tua adat dengan cara menyanyikan secara berbalas – balasan syair sastera tingkat tinggi yang memiliki muatan megic. Setiap pemain harus mampu menjawab atau mebalas lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi semula. Jika tidak mampu membalas maka akan berakibat fatal diantaranya adalah kematian. 2. Mebawalase kantari. Mebawalase kantari adalah adaptasi dari mebawalase sambo pada masa awal masuknya bangsa Eropa di kepulauan sangihe ± 1500 (bangsa Spanyol dan portugis ) Oleh pengaruh kesenian barat maka mulai digunakan lagu-lagu yang bernada diatonis dengan bentuk berbalas – balasan. Mebawalase kantari kemudian mengalami perubahan pertama akhir tahun 1800 sampai 1904 oleh Nona F. Th. Steller dikalangan Gereja dalam bentuk paduan suara gerejawi dengan nama Sampregening. Kesenian ini kemudian kembali lagi menjadi kesenian rakyat secara umum. Pada awalnya konsep lagu-lagu mebawalase bertema Sastera daerah lalu mengalami tambahan tema lagu seperti lagu-lagu gerejawi, lagu percintaan badani,cinta kasih orang tua,perjuangan daerah. Mebawalase kantari kemudian dikenal dengan kesenian ”tunjuk” karena teknik pemindahan balasan dilakukan dengan proses tunjuk
menggunakan bunga. Pada akhirnya kesenian ini menjadi kesenian yang dinamakan Masamper. Di era 1980 – an Masamper mulai dimasukan diajang festifal atau dilombakan. Dengan sistim penilaian yang sedang dibakukan. Setiap kelompok masamper beranggotakan ± 30 orang ditambah seorang pemimpin yang disebut pangaha atau pangataseng. Masamper adalah kesenian yang bernuansa kristiani karena sebagian besar lagu bertema rohani kristen, tetapi ada diantara kelompok masamper yang anggotanya didominasi oleh umat islam. Tahun 1990-an lagu – lagu Masamper mulai dikomersilkan dalam bentuk rekaman kaset. Sampai saat ini ada kurang lebih 60 kelompok masamper yang aktif dalam kegiatan rekaman. 10 kelompok di Jakarta 40 kelompok di sangihe dan 10 kelompok lain tersebar dibeberapa daerah yang berpenduduk mayoritas keturunan sangihe. 3. Musik Oli Nama asli dari musik ini adalah musik Lide. Lahir dan berkembang pertama kali diwilayah kerajaan Manganitu. Musik ini adalah musik sekelompok keluarga, dan berkembang pesat dikalangan penganut agama tua sangihe yaitu agama Sundeng. Kelompok musik lide besar dengan jumlah anggota 60 0rang terakhir muncul pada tahun 1920 – an di Istanah kerajaan Manganitu. Musik ini adalah Musik tertua di indonesia Timur yg merupakan warisan budaya asli suku Sangihe. Proses lahir musik lide sebagai bentuk pujian kepada penguasa di agama Sundeng. Meskipun Sampai saat ini hanya satu keluarga di kampung Manumpitaeng kec. Manganitu yang masih bisa memainkan musik lide dengan nada – nada dan konsep lagu tua. Lagu - lagu dalam musik Oli pada awalnya terdiri dari 12 bentuk lagu dan pada saat ini 6 diantaranya sudah punah. Gaya musik oleh bertemah keluhan yang memiluhkan, salah satu diantaranya dinamakan ”Sangi u, Buala” atau tangisan buaya. Nada-nada pada lagu Lide terbentuk dari 3 sampai 5 nada.Karakter nada pada musik lide memiliki kedekatan dengan musik tradisional Mongolia dan Tibet. 4. Tari Gunde’. Tarian ini berkisah tentang kehidupan wanita kerajaan yang menggambarkan kehidupan wanita secara umum. Akhir tahun 1800 tarian ini mulai ditarikan secara umum oleh berbagai lapisan masyarakat. Tarian Gunde lahir dari kalangan Istana Kerajaan Manganitu. Inti gerakan Gunde adalah penjiwaan seorang perempuan sangihe yang sangat dihormati. Tahun 1990 sampai sekarang tari gunde secara kontinyu mulai di lombakan atau dipergelarkan dan mengalami perubahan yang sangat besar dengan lahirnya dua klasifikasi yaitu : Tari Gunde asli dan Tari Gunde kreasi baru. Sampai saat ini sistim penilaian Tari gunde belum ada kesepakatan. Pakaian asli yang digunakan dalam tari gunde bernama Laku Tepu. Gerakan tari gunde terbentuk secara alami ketika seseorang sedang memainkan tagonggong dan melakukan sambo dalam sebuah acara hayatan. Sampai tahun 1920-an gerak tari gunde belum memiliki aturan tetap, tetapi oleh perkembangan saman tari gunde mengalami perubahan dalam bentuk keserasian gerak dan pola lantai yg tersistimatik oleh tuntutan saman. Pembagian unsur gerak dasar tari gunde ditentukan oleh bentuk lagu sambo, diantaranya :
1. 2. 3. 4. 5. 5.
6.
7.
8.
9.
Lagung Sonda Lagung Bawine Lagung Sasahola Lagung Balang Ada satu lagu khusus yang hanya dinyanyikan ketika menjemput pejabat tinggi kerajaan setingkat raja. Tari Salo dan Upase Tarian ini adalah bentuk tarian perang, seperti Tari Cakalele. Upase adalah tarian perang yang pada masa lalu dilakukan dikalangan istana sementara salo adalah tarian perang umum. Tarian ini sudah dimainkan sebelum bangsa Eropa masuk di kepulauan sangihe dan pertama kali dikembangkan di Wilayah kerajaan Tabukan. Tari Sese Madunde Tari Sese Madunde lahir dikerajan Siau yang berkisah tentang percintaan sepasang anak muda. Konon, sepasang remaja yang pernah mamainkan tarian ini pasti akan menikah dikemudian hari. Jadi pantangan dari tarian ini yaitu tidak boleh ditarikan oleh sepasang anak muda yang masih ada hubungan darah. Tarian ini diangkat dari cerita rakyat Sese Madunde inti cerita ini sama dengan cerita rakyat Jaka Tarub. Tari Rangsasabe dan Alabadiri Tari Rangsasabe pertama kali diciptakan oleh seorang raja dikerajaan Tabukan. Diperkirakan tarian ini lahir pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Tari ini berkisah tentang keluhan rakyat terhadap bentuk kekejaman penjajah. Beberapa saat kemudian munculah tari Alabadiri yg diciptakan oleh raja berikutnya untuk menandingi keindahan tari Rangsasabe. Pada umunya tarian ini lebih bernuansa islami. Hadrat Manggut Adalah bentuk kesenian asli sangihe yang bernuansa Islam, bentuk pementasan hadrat manggut mirip dengan kesenian ber - Rebana atau tari musik rebana. Kesenian ini diperkirakan muncul kepermukaan setelah masuknya ajaran Islam dari Kesultanan Ternate dan Tidore kerajaan Tabukan. Kain Tenun Sangihe. Masyarakat Sangihe mengenal teknik tenun tingkat tinggi jauh sebelum suku Minahasa mengenal kain tenun yang dinamakan Kain Tenun Bentenan. Kain tenun Bentenan yang di simpan dimusim Belanda adalah motif asli sangihe.diperkirakan tenunan tersebut adalah tenunan sangihe yang ditemukan oleh bangsa Belanda ditanah Minahasa. Alasannya adalah dimasa lalu, suku minahasa hanya mengenal bentuk baju yang terbuat dari serat bambu sementara motif pada kain Bentenan di museum Belanda tidak dapat dibuat diolah dengan menggunakan bahan serat bambu. Kemungkinan besar, kegiatan tenun kain dikepulauan sangihe berkembang diwilayah kerajaan Manganitu yaitu di kampung Manumpitaeng dan di Pulau Bebalang, Batunderang. Didaerah ini masih terdapat 20 baju tradisional perempuan sangihe berumur 120 tahun dan alat tenun.
Bahan dasar pembuatan kain tenun sangihe adalah Serat batang pisang ”hote” atau rote dalam bahasa tountembouan. Sedangkan serat yang lebih halus lagi terbuat dari kulit batang pohon Mlinjo (ganemo) Mulanya kain tenun ini hanya digunakan sebagai kain pembatas ruang tidur dan sebagai alas untuk duduk. Teknik pewarnaan sudah digunakan sejak lama pada tali kail yang juga terbuat dari serat kulit batang Mlinjo yang dipintal menjadi benang kemudian dikembangkan menjadi pewarna kain. Sejak lama, masyarakat sangihe mengenal penggunaan Warna Ungu,merah dan coklat untuk pewarnaan yang diambil dari bahan alam seperti kulit batang kayu Bakau (mangroove) dan buah kesumba. Letusan gunung Awu dan Gunung Karangetang tahun 1800 – an telah membawah migrasi besar-besaran warga sangihe ke daerah Minahasa atas inisiatif pemerintah Belanda. Migrasi kedua dilakukan ketika terjadi Tsunami setinggi 8 meter akibat letusan gunung Duang di Taghulandang. Sebagian besar penduduk menempati daerah disekitar pesisir pantai Belang termasuk pulau Bentenan. Hal ini sangat beralasan karena mereka adalah Nelayan. Perpindahan penduduk secara terorganisir terakhir pada akhir tahun 1800 ke wilayah Lolak dan Lalou khususnya pada tahun 1902. Mereka dipindahkan sebagai pekerja Ondernemeng kelapa milik perusahaan Belanda. Sebagian penduduk yang dimutasikan ke Lolak diperlakukan sebagai Budak. Akibat perlakuan tersebut maka sebagian dari mereka berlayar denagn perahu layar menuju ke daerah Wori. Tetapi pada saat itu justeru mereka dipekerjakan di dalam ondernemeng kelapa milik perusahaan Belanda yang beralih pemilikan ke seorang pengusaha tionghoa bernama Li Bun Yat. Semenjak Li Bun Yat dipancung oleh tentara Jepang maka mulailah terbentuk perkampungan Sangihe di daerah bekas ondernemeng kelapa. Komunitas sangihe di Belang telah meperkenalkan teknik pintal dan tenun didaerah pesisir.
Periodisasi Sejarah kerajaan - kerajaan di Sangihe. Periodisasi perkembangan kerajaan Sangihe dimulai sejak Masa Kedatuan Tua.Kedatuan berasal dari kata “datu” yang berarti Raja. Setiap kedatuan memiliki Kraton atau Lingkungan Istana (kraton dalam bahasa Sangihe Kararatuang atau Karatung ) Kedatuan Tua ini sudah ada sebelum masuknya bangsa Eropa di Kepulauan Sangihe. Kedatuan tua adalah bentuk kerajaan yang dipengaruhi oleh bentuk kerajaan-kerajaan Hindu. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan kata Paghulu sebagai nama kampung dipusat kerajaan Manganitu baru. Kata Paghulu diadaptasi dari kata “Penghulu Bendahari” adalah pejabat tinggi kerajaan yang membantu tugas-tugas raja, kedudukannya setara dengan bendahara(mangkubumi),temenggung dan para menteri. Kata paghulu juga dapat berarti penghulu (pengaruh islam) c. Terbentuknya Kerajan di Sangihe Sebelum ada Kedatuan/kerajaan, kelompok masyarakat Sangihe dipimpin oleh seorang Kulano (jabatan setingkat kepala desa / atau tonaas dalam bahasa Tountembouan). Dikesultanan Ternate mengenal Kulano sebagai Raja. Kedatuan tua Sangihe yang pernah ada yaitu : 1. Kedatuan Bowontehu – Manarow ( Manado Tua ) Didirikan oleh Datu Mokodolugu pada tahun 1400 - 1500.Diperkirakan nama kota Manado adalah adaptasi dari kata bahasa Sangihe “Manarow” yang berarti sangat jauh, kemungkinan nama Manado lahir sesudah penggunaan nama Wenang. Secara Geografis kedatuan Tua Sangihe yang paling Jauh dari pusat peradaban sangihe yaitu kedatuan Manarow. Pusat kedatuan Tua Manarow terletak di Pulau Manado Tua. Kerajaan - kerajaan dikepulauan sangihe dan talaud mulai berdiri tahun 1425. 2. Kedatuan Tampungang Lawo yang berpusat di Salurang. Didirikan oleh Gumansalangi abad XIII. 3. Kedatuan Mongsohowang (dikaki Gunung Awu) berpusat di Kolongan. 4. Kedatuan Karangetang didirikan oleh Pangeran Kedatuan Bowontehu – Manarow bernama Lokongbanua pada tahun 1510 – 1540. Pusat pemerintahan di Katutungan – Paseng Siau Barat. Putra Lokombanua bernama Posuma memimpin kerajaan Siau Baru dengan pusat pemerintahan di Ondong sedangkan adik dari Posumah memimpin kerajaan Siau Baru dengan pusat pemerintahan di Ulu. Paseng berasal dari kata Pesa atau Paskah nama ini diberikan oleh missionaris Portugis yang pertama kali tiba di Siau. Setelah VOC menguasai kerajaan Siau sampai berakhirnya kolonialisme, kerajaan Siau pernah dipimpin oleh seorang raja yang diangkat dari Keresidenan Manado bernam Raja Parengkuan. Raja ini berjasa membangun jalan antara Ulu sampai ke Talawid Siau barat selatan.
Menjelang berakhirnya kedatuan Tua Sangihe, ada beberapa raja yang beragama Islam diantaranya Raja Syam Syah Alam dari kerajaan Wulaeng kerajaan tua Kendahe, dan beberapa raja dari kerajaan Tabukan seperti Raja Gama. Berdasarkan Legenda, pada masa pemerintahan raja Syam Syah Alam – raja Kendahe (ada raja Syam Syah Alam dikesultanan Mindanao dan di kesultanan Ternate Tidore), Kerajaan Kendahe mencapai puncak kejayaan. Istana kerajaan di Tanjung Maselihe dibangun dengan sangat megahnya. Semua perlengkapan Istanah terbuat dari emas termasuk Singgasana Raja. Suatu saat Raja Syam Syah Alam melakukan perbuatan yang melanggar adat istiadat. Seminggu sebelum istana ditenggelamkan, Imam Masade seorang pemimpin Agama Islam Tua Sangihe, pernah memberikan nasehat dengan mengatakan bahwa, Jika Syam Syah Alam tidak menyadari perbuatannya yang melanggar adat maka akan datang bencana. Raja tidak menghiraukan nasehat tersebut, dan terjadilah bencana itu. Angin puting beliung,gemuruh dari langit dan letusan Gunung Awu menghancurkan kerajaan Wulaeng sehingga Tanjung yang panjangnya kira-kira 5 km, putus dan tenggelam kedasar laut. Sampai sat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat terutama masyarakat nelayan bahwa tempat itu dijaga oleh ratusan Ikan Hiu. Pengaruh Islam mula-mula terhadap Kerajaan –kerajaan Sangihe dilakukan oleh orangorang China pada tahun 1279 mulai dari kesultanan Bayan,kesultanan Sulu dan Kesultanan Mindanao di Philliphina bagian selatan. Perlu diingat bahwa siar dan dakwah islam mula-mula di tanah sangihe tidak di pengaruhi oleh ajaran - ajaran Wali Songo. Tahun 1521-1523 kapal – kapal Spanyol dibawah pimpinan Magellhaes dan Marthin Inques Carquizano pernah berlabuh di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Salah satu kapal Spanyol bernama Santa Maria de Paral pernah karam di Pantai Lesa dekat teluk Tahuna. Armada Spanyol dibawah pimpinan Ruy Lopez de Villadebes tiba di perairan kepulauan Sangihe dan Talaud,kemudian disusul oleh bangsa Portugis. Pada saat itu Raja – raja dan sebagian besar penduduk sangihe sudah menganut agam Kristen Khatolik sampai datang VOC, Raja dan peduduk beralih agama menjadi agama Kristen Protestan. Kedatangan VOC juga menjadi awal berkembangnya injil protestan di Kepulauan Sangihe. Pendeta Steller yang dikirim oleh Badan Penginjilan Belanda adalah orang yang paling berjasa meletakkan dasar injil dan pendidikan modern di Sangihe. Meskipun pada era sebelum kedatangan VOC, Raja Santiagho sempat kuliah di Universitas St. Thomas Philliphin, penginjilan dan persekolahan sudah dirintis oleh Spanyol dan Portugis. Hal ini dibuktikan dengan kedatangan Pdt Steller sudah disambut dengan nyanyian gereja oleh anak-anak sekolah minggu di Kerajaan Manganitu atas inisiatif Raja Nonde. (Raja Nonde dimakamkan dibawah mimbar gereja Petra Manganitu) Keberadaan agama Islam dikepulauan Sangihe sudah ada jauh sebelum masuknya pengaruh kekristenan Eropa. Agama Islam mula-mula dipengaruhi oleh dua aliran Islami yaitu : Ajaran Syiah dari Phillhipin dan Sunni dari daerah Ternate Tidore. Agama Islam telah meletakan dasar bagi Agama baru di kepulauan sangihe terutama di pesisir pantai Tabukan Utara di daerah Border Cros Area (BCA) Sebelum agama Islam meletakan dasar agama yang monotheisme sudah ada agama Islam Tua.
Agama ini adalah salah satu agama yang ada di Sangihe saat ini disamping agama Islam dan Kristen. Agama Islam Tua ini mula-mula diajarkan oleh Seorang Imam yang bernama Massade. Yang unik dari Ajaran ini adalah Agama Islam Tua bukanlah Agama Islam. Pengaruh Islam Suni dimulai sejak ada hubungan antara kerajaan Sangihe dan Ternate – Tidore. Berdasarkan buku Mr. M. Yamin, wilayah kepulauan sangihe berada dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate sejak tahun 1677 – 1824. Pada masa itu kerajaan-kerajan Sangihe adalah bagian dari kekuasaan Kesultanan Ternate tetapi tidak takluk secara mutlak kepada kesultanan Ternate. Pengaruh kekuasaan Kerajaan Ternate dan Tidore yang merupakan kerajaan Islam dapat dilihat dari struktur pemerintahan kerajaan yang hampir sama dengan Kesultanan Ternate-Tidore. Pada masa itu juga terjadi inkulturasi kebudayaan antar kedua kerajaan dari perkawinan keluarga raja dan melalui proses perdagangan. Sebuah peninggalan Inkulturasi kebudayaan yaitu terdapat komunitas perkampungan Tidore di kota Tahuna. Kerajaan –kerajaan yang pernah takluk kepada kesultanan Ternate diwakilkan dengan dikirimnya Tombak kerajaan dari setiap Raja yang takluk ke Keraton Sultan Ternate. Ada 5 buah tombak tanda takluk di kesultanan Ternate diantaranya adalah 1 tombak milik kesultanan Johor, Malaisya. Diantara 5 Tombak tersebut tidak ada satupun tombak milik kerajaan Sangihe. Yang ada hanyalah sebuah Batok kelapa kembar yang dihadiahkan kerajaan Sangihe kepada sultan Ternate sebagai symbol persahabatan. Disamping pemberian seperti itu, Ada satu Sultan Ternate yang memperistri puteri raja Tabukan bernama Maimuna. Maimuna akhirnya kembali kekerajaan Siau dan menjadi isteri dari Raja Batahi (sahabat dekat Santiago) Disisi lain, Tamako yang tunduk pada kerajaan Siau pernah membantu pengiriman minyak kelapa sebagai upeti kepada kesultanan Ternate. Kerajaan Siau Juga pernah mengirimkan Bantuan 3000 pasukan untuk membantu Portugis malawan VOC ketika terjadi perang Antara Kesultanan Ternate dan Tidore. Kerajaan Siau juga pernah mengirim 1500 pasukan untuk membantu Portugis mempertahankan Benteng Moraya di Tondano ketika terjadi perebutan wilayah kekuasaan antara Portugis dan VOC. Untuk sampai di pesir pantai Tondano tepatnya di daerah Kora-kora dan Kayuroya Pasukan dari kerajaan Siau menggunakan kapal kora-kora atau kapal Bininta. Bininta adalah perahu tradisional Sangihe yang khusus digunakan Raja dalam kunjungan kedaerah bawahan juga sebagai perahu perang yang khusus digunakan oleh panglima perang. Perahu kora-kora juga pernah digunakan sebagai angkutan laut oleh VOC dalam pelayaran Hongi Tokten. Diperairan Laut Maluku. Bentuk perahu ini mirip dengan perahu naga China, dengan konstruksi haluan berbentuk Mulut Buaya dan buritan berbentuk ekor buaya. Panjang perahu ini 12 sampai 16 meter. Dan ditumpangi oleh 30 – 60 pasukan perang, satu penabuh Tagonggong ( gendang adat sangihe) satu tua adat dan seorang panglima perang. Istilah panglima perang laut kemudian dikenal sebagai Kapitan Laut. Istilah Kapiten Laut kemudian berubah lagi menjadi Kapitalaung ( kepala desa) Sistem Monarki pada kerajaan-kerajaan Sangihe berakhir sejak dimulainya Pemerintahan Kolonial Belanda, pengangkatan raja dilakukan tidak lagi berdasarkan garis
keturunan waris raja kepada anak laki-laki tertua tetapi diangkat berdasarkan kepentingan Belanda. Kerajaan Sangihe sejak masuknya Bangsa Eropa terdiri dari : 1. Kerajaan Tahuna ( Malahasa) didirikan tahun 1580 2. Kerajaan Manganitu ( Maubungang )idirikan tahun 1600 3. Kerajaan Siau ( Karangetang )didirikan 1510 4. Kerajaan Taghulandang (Mandolokang) didirikan 1570 – 1609 didirikan oleh ratu Lohoraung anak dari seorang Kulano Bowontehu bernama Bulango, Bulango adalah adik dari Raja Lokongbanua. Bulango dan Lokongbanua adalah anak dari Raja bowontehu Mokodoludut dari permaisuri Ambunia. Raja Mokodoludut juga mempunyai anak yang kemudian menjadi Raja didaerah Bolaang Mongondow bernama Yayubongkai 5. Kerajaan Tabukan ( Rimpulaeng ) 6. Kerajaan Kendahe ( Wulaeng ) Pada masa kolonial Belanda, satu orang raja dapat memimpin sekaligus tiga kerajaan seperti yang dilakukan Belanda pada Raja Manganitu Willem Manuel Pandensolang Mokodompis, menjadi raja atas kerajaan bawahan Kerajaan Manganitu Tamako yang berpusat di Tamako, kerajaan Manganitu yang berpusat di Kampung Karatung soa, dan Kerajaan Tahuna yang berpusat di Kota Tahuna. Perbedaan raja – raja Sagihe d. Talaud atau Porodisa. Dimasa lalu, Kepulauan Talaud adalah negeri bawah laut, karena pergeseran kulit bumi maka muncullah daratan di wilayah kepulauan Talaud sekarang. Talaud oleh bangsa Eropa dinamakan Porodisa berasal dari kata Paradise yang berarti Sorga. Seluruh hamparan daratan dikepulauan talaud terbentuk dari karang laut yang timbul kepermukaan. Didaerah ini tidak dijumpai gunung api dibandingkan dengan sangihe dan siau terdapat 2 gunung api di daratan pulau yaitu Awu dan Karangetang, 1 gunung api diatas permukaan laut yaitu gunung Ruang dan 1 gunung api bawah laut bernama Gunung Mehengetang sebagai gunung api bawah laut tertinggi didunia. Talaud memiliki 3 spesies burung endemik yang masih spesies purba dan tidak dapat ditemukan didaerah manapun didunia. Sangihe memiliki 7 spesies burung endemik yg sangat langkah termasuk diantaranya jenis-jenis walet. Karakteristik penduduk asli Talaud sama dengan karakteristik penduduk asli Sangihe karena penduduk Talaud adalah keturunan dari saudara kandung Gumansalangi. Sejak masuknya bangsa Eropa di Talaud sampai akhir tahun 1800, semua wilayah kepulauan Talaud merupakan bagian dari kerajaan – kerajaan Sangihe. Sampai saat ini belum ditemukan bukti dalam bentuk sastera lisan ataupun bukti lain yang menunjuk bahwa di Talaud pernah Terbentuk Kerajaan asli. Tetapi Talaud pernah menjadi pusat kerajaan Majapahit Wilayah VII dengan nama Kerajaan Udah Makat Raya dalam pencetusan Ide penyatuan Nusantara oleh Patih Gajah Mada, dan menjadi basis kekuatan kerajaan Majapahit dalam misi penyerbuan ke Indo China.
Selain agama Islam dan Kristen diTalaud juga terdapat agama asli pribumi yg disebut agama musi atau agama adat. Kepulauan Sangihe dan Talaud merupakan salah satu daerah yang pertama kali dimasuki Jepang disamping Tarakan dan Sumatera bagian utara. Pada masa pendudukan Jepang, semua yang berhubungan dengan Belanda dimusnahkan oleh Bala tentara Jepang, termasuk membunuh orang-orang yang dianggap kaki tangan Belanda tanpa proses peradilan. Jepang memberlakukan hukum pancung kepada orang-orang yang dianggap mata-mata Belanda. Pada masa itu pernah dilakukan eksekusi masal oleh tentara Jepang. Eksekusi yang dilakukan secara rahasia oleh tentara Jepang ternyata sempat disaksikan oleh seorang pemanjat kelapa yang berada tidak jauh dari tempat eksekusi, berdasarkan petunjuk dari orang tersebut akhirnya kuburan dapat ditemukan dan dipasangi batu pusara. Setelah kemerdekaan, ada beberapa warga Sangihe yang tinggal di Makasar merasa terpanggil untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Kisah perjuangan mereka menjadi bagian dari peristiwa Merah putih di Sangihe meskipun tidak terdaftar dalam catatan perjuangan rakyat Sulawesi utara. Para pejuang membawah bendera Merah Putih dari Makasar secara estafet dengan sangat rahasia melalui laut hingga sampai di Tahuna dan berakhir di kecamatan Kendahe. Sejak kemerdekan RI mulai dari tahun 1950 pada saat pengakuan kedaulatan RI di Konfrensi Meja Bundar, yang dilaksanakan di Belanda, tidak ada lagi kerajaan di Kepulauan Sangihe. Istana raja yang pernah ada, dihancurkan dimasa orde baru termasuk istana kerajaan Manganitu – Tamako, Istana kerajaan Taghulandang, Istana kerajaan Tabukan di Enemawira. Salah satu dan satu-satunya yang masih bertahan adalah Istana kerajaan Manganitu. Sangihe memiliki system kekeluargaan Madani yang berbeda dengan daerah lain di Sulawesi utara.Setiap keluarga memiliki susunan empat orang anak yang disebut Akang (anak pertama atau Sulung), Ara (anak kedua), Ari (anak ketiga), Hembo (anak keempat terakhir atau bungsu) Jika satu rumah tangga hanya memiliki satu anak maka anak tersebut disebut Mbau. Sitem gotong royong telah dikembangkan sejak lama dengan istilah palose ( atau mapalus dalam bahasa tountemboan) Kemajuan kehidupan bermasyarakat didukung dengan filosofi tua “Somahe kai kehage” Kini, kejayaan masa lalu itu mulai terulang lagi seperti : Pusat kerajaan Siau tertua di Ondong sudah menjadi pusat kabupaten Siau,Taghulandang,biaro (Sitaro). Peta,Tabukan Lama, sebagai pusat kerajan Tabukan Raya sedang dipersiapkan menjadi pusat kabupaten Sangihe baru bagian Utara. Tamako sebagai pusat kerajaan Bawahan Manganitu-Tamako sedang dipersiapkan menjadi pusat kabupaten Sangihe baru bagian selatan. Mungkinkah ini yang disebut dengan reinkarnasi, atau mengulang kembali kejayaan kerajaan – kerajaan Sangihe dimasa lalu. Jika benar demikian maka kehidupan monarkiach keluarga raja yang notabene dihormati ”ditakuti” akan bangkit lagi. Kehidupan Monarkiach keturunan Raja di kep. Sangihe yang terakhir diantaranya Monarki Tiwa (orang Motoling / Minsel ) di Manganitu sebagai keturunan langsung dari kekerabatan keluarga Raja Tanawata Mokodompis, dan Monarki kekerabatan keluarga keturunan raja Papukule Sarapil. Sarapil adalah utusan Indonesia yang memenangkan Pulau Miangas ke Indonesia ketika terjadi sengketa perebutan pulau oleh Amerika dan Belanda tahun 1918.
Sudah saatnya Orang Sangihe harus memilih, menjadi bagian dari Sulawesi Utara milik orang Minahasa atau menjadi Nusa Utara milik Indonesia. Sejak kemerdekaan, orang terakhir yang diberikan harga pas untuk orang sangihe oleh Sulawesi Utara adalah A.A.Baramuli. Seudah itu mati. Santiago hanyalah nama penghias meskipun J.E. tatengkeng sang pelopor sastera sudah diakui Indonesi tapi kapan ada Universitas J.E.Tatengkeng. Nama besar keluarga kerajaan sangat berpengaruh terhadap status sosial masyarakat Sangihe modern, semisal Keturunan Raja Winsulangi dari kerajaan Siau akhirnya menjadi pemimpin besar Sangihe dan 10 orang lain keturunan raja Siau pernah menjadi orang besar di Sangihe. Para keturunan budak tersingkir dan tetap terikat sabagai keturunan budak. Budak yang hanya dibayar dengan 150 ekor ikan tude’. Mengapa ? status sosial masyarakat sangihe tidak pernah disadari telah dibuat menjadi beberapa strata atau tingkatan sosial. Oleh siapa. Apakah oleh keterpurukan sosial itu sendiri atau oleh hitamnya kulit orang sangihe. Secara tidak sengaja Strata masyarakat sangihe pada saat ini terdiri dari : Kelas 1,Golongan Tionghoa dan keturunannya ditambah para pejabat daerah. dan keturunan Raja. Kelas 2, : Kelas ini diduduki oleh orang Minahasa dan keturunan Minahasa dan para pendatang yang berhasil membuka usaha di Sangihe. Betapa orang Minahasa sangat dihormati di daerah manapun dikepulauan sangihe. Banyak diantara orang Minahasa yang dimasa lalu menikah dengan keluarga Raja telah menjadi tuan tanah di tanah. Kelas 3, Kaum pribumi atau penduduk asli Sangihe. Keberadaan srata ini tidak pernah disadari, sekalipun itu oleh orang sangihe sendiri. Kenapa demikian karena norma kehidupan yang berlaku disangihe yang diwariskan oleh leluhur demikian adanya. Bahwa tamu adalah segala – galanya. Contoh sederhana, tamu apapun yang bertandang dirumah dikenal atau tidak dikenal akan menerimah suguhan meskipun hanya sebatas air putih, dalam filosofi ” sedangkan orang dekat kase minum apalagi orang jauh ” Klasifikasi strata diatas bukanlah sebuah provokasi untuk membenci kaum tionghoa dan kaum Minahasa di Tanah Sangihe tetapi kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa tingkatan seperti itu memang ada dibelakang mata. Kaum pribumi yang tersingkir semakin terisolasi membentuk kampung – kampung baru yang letaknya semakin jauh dari keramaian. Kenapa ” hitam ” menjadi sumber kebencian. Dan putih adalah yang terbaik. Sekian lama Sulawesi Utara dibawah bendera ” Torang samua basudara ” tetapi Sangihe hanyalah saudara tiri bukan saudara kandung. Jika boleh dihitung diperkirakan orang sangihe di tanah Minahasa dan Mongondow 2 kali lebih banyak dari orang Sangihe yang tinggal di kepulauan sangihe, diantaranya 3 kecamatan pantai utara dan 2 kecamatan pantai selatan Bolmong. Kecamatan Lolak khusunya berpenduduk mayoritas keturunan Sangihe. Bitung,Lembe,Mentehage,Siladeng,Naen,Bunaken,Talise,Likupang,Wori,Belang,Bentenan, dan dibekas daerah kekuasaan kerajaan siau di manado bagian utara seperti Tumumpa,Tuminting,Singkil,Sindulang sampai ke Tongkeina juga desa - desa yang bernama kolongan yang berasal dari kata Kalongang (sebangsa talas) Bagaimana status sosial masyarakat sangihe ditanah Minahasa. Secara tersembunyi mereka dianggap sebagai kaum pinggiran. Menjelang pemilu mereka sangat dihormati. Hal ini akibat dari pandangan yang melekat pada nama orang sangihe seperti ungke’ dan momo
adalah kaum bawah. Dimasa lalu Ungke dan Momo adalah panggilan sayang-sayang di kalangan keluarga istanah (seperti panggilan utu dan eneng di suku Tountemboan). Tetapi nama itu kemudian berubah status, Ungke adalah buruh tokoh, kuli bangunan,tukang kelapa,tukang jaga tanah orang, sementara momo Cuma ”Tukang Bobaso”. Pandangan seperti ini bukanlah masalah, tetapi menjadi cambuk agar sangihe berubah dan mengubah diri atas pandangan tersebut. Suatu waktu menjelang pemilihan wakil rakyat atau pejabat tinggi di Minahasa, organisasi – organisasi yang beranggotakan orang Sangihe dipecundangi oleh kepentingan politik untuk berperan menjadi pion, sehingga orang yang bukan orang sangihe kemudian menjadi orang sangihe. Warna kulit telah memberi jarak antara orang sangihe kepada yang putih. Seperti yang dirasakan oleh orang-orang Papua dimanapun di Negeri ini. Mungkinkah ini penyebab sehingga banyak orang sangihe yang justeru tinggal menetap didaerah asal nenek moyangnya yaitu di Republik Philliphina khususnya di Philliphina bagian Selatan karena merasa sama. Sekalipun mereka sangat menderita hidup tanpa status yang jelas di pulau Balut dan sekitarnya, Saranggani,General Santos,Lajangas,Samboanga, Del Sur, Davao,Madagaskar,dan dikepulauan Sulu. Inilah kenyataan sejarah, kenapa kita hidup seperti anak tiri di Sulawesi Utara. Berkaca dari pengalaman sejarah dan kejayaan Masa lalu, sudah saatnya kita menjadi diri sendiri sebagai Propinsi Baru, propinsi nusa Utara, dan tidak akan mengingkari NKRI. Sangihe adalah garis terdepan Nusantara yang menetukan keutuhan Integrasi. Menjadi diri sendiri bukan membungkus dendam diri terhadap semua pengecualian. Sadarlah bahwa Sangihe adalah kebudayaan besar yang sama kedudukannya dengan kebudayaan lain di Nusantara.