MAMPUKAH TUTUPAN LAHAN HUTAN MENGATUR PROSES TATA AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) (Studi Kasus di DAS Cisadane) Oleh/By: Edy Junaidi Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Jalan Ciamis-Banjar Km. 4 P.O. Box 5. Telp. 0265771352
[email protected]
ABSTRAK Peranan hutan dalam mengatur tata air Daerah aliran Sungai (DAS) telah lama menjadi perhatian dan perdebatan para ahli hidrologi. Para ahli hidrologi berpendapat peranan hutan dalam mengatur aliran sungai hanya berlaku pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mempunyai luasan sempit ( < 100 km2), tidak berlaku untuk DAS-DAS yang mempunyai luasan >100 km2. Guna mengkaji seberapa besar peranan penutupan lahan hutan terhadap aliran sungai pada DAS, dengan membandingkan hasil air, keberadaan tutupan lahan hutan pada 3 DAS yang mempunyai luasan berbeda, yaitu sub DAS Cikaniki dengan luasan sempit (< 100 km2), DAS Cikaniki dengan luasan sedang (100 km2 – 500 km2) dan DAS Cisadane dengan luasan lebar (> 500 km2). Kajian ini memanfaatkan model hidrologi Soil Water Assessment Toll (SWAT). Hasil Kajian menunjukkan, pada luasan DAS lebar keberadaan hutan kurang berperan dalam mengatur tata air. Keberadaan lahan hutan berperan dalam mengatur tata air pada luasan DAS sedang dan sempit Kata kunci : hutan, tata air, luasan DAS dan model SWAT. I.
Latar belakang Peranan hutan pada hidrologi daerah aliran sungai (DAS) dalam menjaga kestabilan tata air yang secara langsung mempengaruhi aliran sungai telah lama menjadi bahan diskusi dan perdebatan para ahli hidrologi. Perdebatan mengenai peranan hidrologi hutan sudah dimulai sejak abat 19, pada saat ahli kehutanan eropa memperkenalkan teori busa. Teori ini berpendapat bahwa tanah, akar dan daun yang terdapat pada hutan yang komplek berperan sebagai busa raksasa yang menyerap air hujan yang jatuh (menyimpan air pada musim penghujan dan mengeluarkan air pada musim kemarau). Meskipun banyak dikritik sejak tahun 1920-an, teori ini banyak mendapat perhatian para ahli hidrologi hutan. Tanggapan awal para ahli kehutanan Amerika terhadap peranan hutan dalam mengatur aliran sungai dimulai tahun 1905 seperti dikemukakan berdasarkan pendapat Gifford Pinchot, bahwa hutan mampu mengatur aliran sungai, tetapi pengaruh hutan terhadap aliran sungai menjadi sangat penting hanya pada kondisi tutupan hutan melingkupi sebagian besar DAS (CIFOR dan FAO, 2005; Andreassian, 2004) Penelitian mengenai pengaruh perubahan pemanfaatan lahan hutan terhadap pengaturan aliran sungai biasanya dilakukan di hulu DAS (luasan sekitar 100–1.000 ha) dan sering mempertimbangkan hanya perubahan tutupan vegetasi tunggal (misalnya dari hutan menjadi padang rumput). 1
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengaruh tata guna lahan hutan dalam pengaturan tata air hanya dapat terjadi pada DAS dengan luasan sempit dan hanya memperhatikan penggunaan lahan tunggal pada suatu DAS (Andreassian, 2004). Para ahli hidrologi berpendapat bahwa peranan tutupan lahan hutan dalam mengatur tata air pada DAS berlaku pada luasan sempit (luasan < 100 km2), tetapi tidak berlaku untuk DAS-DAS yang mempunyai luasan >100 km2 (Kiersch, 2001 dalam CIFOR dan FAO (2005) dan Andreassian, 2004 ). Guna mengantisipasi kelemahan-kelemahan penelitian tersebut, kajian yang bertujuan mengkaji peranan tutupan lahan hutan terhadap tata air pada DAS dilaksanakan pada DAS dengan luasan sempit (< 100 km2), sedang (100 km2 – 500 km2) dan luasan lebar (> 500 km2) dengan memperhatikan kondisi penutupan lahan yang lain. Kajian ini menggunakan model hidrologi. Penggunaan model hidrologi dapat meminimalkan biaya, waktu dan tenaga dalam melakukan analisis pada suatu DAS. Model hidrologi yang digunakan pada kajian ini adalah Soil Water Assessment Tool (SWAT). Model SWAT merupakan model hidrologi berbasis proses fisik (physical based model), sehingga memungkinkan sejumlah proses fisik yang berbeda untuk disimulasikan pada suatu DAS. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengkaji peran tutupan lahan hutan dalam pengaturan tata air yang terjadi pada suatu DAS (pada luasan sempit (< 100 km2), sedang (100 km2 – 500 km2) dan lebar (> 500 km2)) tanpa mengabaikan peranan penggunaan lahan lain. II. METODE A. Lokasi Kajian Kajian dilaksanakan di DAS Cisadane (luas 1.372,3 km2), DAS Cikaniki (luas 199,6 km2) dan sub DAS Cikaniki (luas 77,5 km2) yang secara administrasi terletak di Propinsi Jawa Barat (Gambar 1). Secara geografis DAS Cisadane terletak pada 106o20’50”-106o28’20” BT dan 6º0’59”-6º47’02” LS.
2
107 -6
-6
CILEGO N TEL UK NAG A ·#
KET E RA N G AN : BAB ELAN
SER AN G
·#
·#
TAN GE RAN G
Sub S ub DAS Cikaniki
D A S C isa da ne
JAKARTA ·#
·#
Su ng a i BEK AS I
LE UW IL IANG
·# te n Ko ta K a bu pa
LEG OK
·#
PO N DOKG EDE
·#
·#
·#
·#
CIPUTAT
·#
· #
CIB ITU NG
KAR AW ANG
Su b D A S C ika niki
·#
SER PON G
RAN GKASB ITU NG ·#
CIK ARANG
·#
·#
C
SAW ANG AN ·#
·#
·#
·# ·#
CIM ANG G IS
DEP OK
PARUN G
Su b su b D A S C ika niki
·#
CIB ARU SAH
CILEUN GS I
·#
·#
RUM P IN
JON GGO L
·#
·#
CIB INON G
U LEU W IL IANG ·#
S KAL A 1 : 5 00.0 0 0
JAW A BAR AT
BOG O R ·#
CIAW I ·#
CIS AR UA ·#
CIGO M BON G ·#
9 000
0
9000 Me te rs
107
Gambar 1. Lokasi kajian DAS Cisadane
Karakteristik masing-masing DAS lokasi kajian dapat dilihat pada Tabel 1. sebagai berikut : Tabel 1. Karakteristik DAS Karakteristik
DAS Cisadane1)
Luas (km2) 1.372,34 Panjang sungai utama 292,71 (km) Kerapatan drainase 0,21 (km/ km2) Gradien sungai (%) 1,50 Bentuk DAS agak memanjang Sumber : Diolah dari peta DEM Keterangan : 1) DAS besar 2) DAS sedang 3) DAS kecil
DAS Cikaniki2)
Sub DAS Cikaniki3)
199,59
77,49
37,86
13,38
0,19
0,17
2,10 memanjang
3,70 memanjang
Sebaran secara spasial penggunaan lahan pada DAS Cisadane dapat dilihat pada Gambar 2. Sedangkan luasan masing-masing penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 2. Terdapat sembilan penggunaan lahan di DAS Cisadane, yaitu : hutan, kebun campuran, ladang/tegalan, lahan terbuka, pasir, pemukiman kota, sawah, semak belukar dan tambak..
3
660 00 0
680 000
700 00 0
720 00 0
932 00 00
932 00 00
Keterangan : Hutan Kebun Campuran Ladang/Tegalan Lahan Terbuka Pasir Pemukiman Kota Saw ah Semak Belukar Tambak
930 00 00
930 00 00
U 928 00 00
928 00 00
926 00 00
926 00 00
10000
0
660 00 0
680 000
1000 0
20000 Meters
700 00 0
720 00 0
Gambar 2. Peta penggunaan lahan DAS Cisadane
Tabel 2. Luasan penggunaan lahan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Penggunaan lahan
Hutan Kebun Campuran Ladang/Tegalan Lahan Terbuka Pasir Pemukiman Kota Sawah Semak Belukar Tambak Jumlah Sumber: Diolah dari peta land use
Luas Ha 33.452,6 6.743,1 73.597,4 1.570,7 127,5 27.649,2 7.839,3 570,8 4.992,6 156.043,0
% 21,4 4,0 47,2 1,0 0,1 17,7 5,0 0,4 3,2 100,0
B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang diperlukan dalam kajian ini, yaitu data primer (berupa kondisi karakteristik penggunaan lahan, karakteristik tanah dan karakteristik sungai) dan data sekunder (berupa peta jaringan sungai, peta DEM (Digital Elevasion Model), peta penggunaan lahan, peta jenis tanah, iklim dan 4
karakteristik sungai). Jenis data dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 3. Sedangkan alat yang digunakan komputer dengan software MapWindow45RC2, software MWSWAT 1.5, software SWAT 2.1.5 editor, GPS dan alat tulis menulis. Tabel 3. Jenis dan sumber data yang digunakan pada kajian No. Jenis Data Sumber Data Keterangan 1
Peta jaringan sungai (skala 1 : 50.000) Peta DEM
Bakosurtanal
Peta rupa bumi Indonesia
US Geoological Survey BP DAS Citarum – Ciliwung
5
Peta land use (skala 1 : 250.000) Peta jenis tanah (skala 1 : 250.000) Data curah hujan
SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) untuk Z_58_14.tiff dengan resolusi spasial 90 x 90 m Klasifikasi citra Landsat TM (Thematic Mapper) path 122 row 064 dan row 065 tahun 2005
6
Data temperatur
Balai Pengelolaan Sumberdaya air Ciliwung-Cisadane, Balai besar CiliwungCisadane dan Balai Pengelolaan DAS Ciliwung-Cisadane Balai Klimatologi
7
Data iklim
Balai Klimatologi
8
Data debit SPAS
9
Data karakteristik penggunaan lahan, tanah dan sungai
Balai Pengelolaan Sumberdaya air Ciliwung-Cisadane Survei inventarisasi lahan
2
3
4
BP DAS Citarum – Ciliwung 12 stasiun penakar curah hujan tahun 2005 dan 2006
2 stasiun temperatur tahun 2005 dan 2006 4 stasiun klimatologi yaitu 1 stasiun selama 5 tahun dari tahun 2003 – 2007 dan 3 stasiun selama 5 tahun dari tahun 1995 – 1999 SPAS Batu baulah dan SPAS Logak muncang pengamatan tahun 2005
C. Metode Tahapan kegiatan yang dilakukan pada kajian terdiri dari dua tahapan, yaitu : 1. Tahapan survei Pada tahapan ini pengumpulan data berupa data primer dan sekunder disesuaikan dengan masukan data (input) yang diperlukan model SWAT. Data primer dan sekunder yang diperlukan diantaranya : iklim, karakteristik tanah, karakteristik penggunaan lahan, karakteristik sungai dan peta – peta. 2. Tahapan penggunaan model SWAT Pada tahapan ini terdiri dari penyiapan data berupa data spasial dan data atributnya agar model dapat dijalankan untuk bisa menghasilkan 5
output sesuai dengan tujuan kajian. Pada tahapan ini juga dilakukan beberapa skenario merubah penggunaan lahan hutan pada masingmasing lokasi kajian menjadi penggunaan lahan lain dengan pertimbangan apabila terjadi konversi lahan hutan. Skenario yang dilakukan pada masing-masing lokasi kajian, yaitu : a. Skenario 1, merubah penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan kebun campuran. b. Skenario 2, merubah penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan ladang. Analisis data pada penelitian ini lebih ditujukan kepada penggunaan model SWAT yaitu output model. Analisis yang dilakukan berupa : a. Kalibrasi model SWAT Kalibrasi model bertujuan agar luaran model yang digunakan hasilnya mendekati dengan luaran dari DAS prototip yang diuji. Pada kajian ini luaran yang dikalibrasi adalah hasil debit, dengan cara membandingkan antara hasil prediksi (hasil output model dengan menggunakan data hujan dan temperatur tahun 2005) dengan hasil observasi dengan menggunakan kriteria statistik. Data hasil observasi berasal dari SPAS Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Wilayah CiliwungCisadane yaitu SPAS Batu Baulah (luas daerah tangkapan + 858,8 km2) dan SPAS Logak muncang (luas daerah tangkapan + 197,2 km2) untuk pengamatan tahun 2005. Metode statistik yang digunakan adalah persentase perbedaan dari nilai observasi (DVi), koefisien determinasi (R2) dan koefisien Nash-Sutcliffe (ENS). Pertimbangan kalibrasi yang dilakukan dua kali untuk melihat kemampuan model dalam memprediksi hidrologi DAS pada luasan sempit - sedang dan luasan lebar. b. Analisis kemampuan hutan dalam mengatur tata air Untuk mengetahui kemampuan hutan dalam mengatur tata air pada beberapa luasan DAS dengan menggunakan indikator hidrologi (KRS dan debit jenis) dan Juga komponen neraca air (aliran permukaan, aliran dasar, perkolasi dan evapotranspirasi), dengan cara membandingkan selisih prosentase luaran masing-masing DAS pada setiap skenario. Data hasil analisa dikompilasi dalam bentuk grafik yang dianalisis secara deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kalibrasi Model Gambar 3 menunjukkan grafik XY scatter hubungan antara debit bulanan prediksi (nilai X) dan debit bulanan observasi (nilai Y) pada SPAS Batu Baulah dan SPAS Legok Muncang. Hasil analisis statistik menunjukkan untuk SPAS Batu Baulah, nilai koefisien Nash-Sutcliffe sebesar 0,63, Dv sebesar –13,22 % dan R2 sebesar 0,79. Sedangkan untuk SPAS Legok Muncang hasil analisis statistik untuk nilai koefisien Nash-Sutcliffe sebesar 0,70, Dv sebesar 0,49 % dan R2 sebesar 0,69.
6
25 Debit observasi (m 3/dt)
Debit observasi (m 3/dt)
100
75
50
R2 = 0,79
25
20 15 10
R2 = 0,69
5 0
0 0
25
Dv = -13,22% ; ENS 0.63
50 Debit predik si (m 3/dt)
=
75
100
0
5
Dv = 0,49 %; ENS 0,7
10 =
15
20
25
De bit predik si (m 3/dt)
(A) (B) Gambar 3. Grafik XY scatter debit bulanan prediksi hasil model dan debit bulanan observasi, (A) SPAS Batu Baulah; (B) SPAS Legok Muncang Menurut kriteria Santi et al. (2001), hasil prediksi model SWAT dapat dikriteriakan baik dalam memprediksi hidrologi DAS untuk luasan sempit sampai lebar, karena mempunyai rata-rata debit hasil prediksi berada pada kisaran -15 % sampai + 15 % dari rata-rata debit hasil observasi, serta nilai ENS ≥ 0,5 dan R2 ≥ 0,6. Dengan demikian model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi hidrologi DAS pada lokasi kajian. B. Peranan Hutan sebagai Pengatur Tata Air Untuk melihat peranan hutan sebagai pengatur tata air pada DAS dengan menggunakan indikator tata air yaitu KRS (koefisien rejim sungai) dan Q jenis (debit jenis). Nilai KRS dapat menggambarkan kondisi tata air suatu DAS dalam menjaga keberlangsungan keberadaan air pada suatu DAS. Sedangkan untuk nilai Q jenis menggambarkan kondisi aliran puncak, nilai ini dapat digunakan untuk menggambarkan potensi banjir suatu DAS. Hasil analisis kemampuan tutupan lahan hutan dalam mengatur tatat air DAS ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Gambar 4.A. terlihat pada grafik semakin sempit luas DAS, prosentase perubahan KRS jika lahan hutan diubah menjadi kebun campuran ( ) dan ladang ( ), menjadi semakin besar. Pada grafik terlihat pada DAS luasan sedang dan DAS luasan sempit, prosentase perubahan KRS nampak sekali jika tutupan lahan hutan dikonversi seluruhnya menjadi penggunaan lain (kebun campuran dan ladang). Sedang pada DAS luasan lebar kurang begitu nampak prosentase perubahan KRS.
7
35
300
30
250
25
% Perubahan Q jenis
% Perubahan KRS
350
200 150 100
20 15 10
50
5
0
0
DAS lebar
DAS sedang
DAS sempit
DAS lebar
Selisih skenario 1 vs eksisting Luasan DAS Selisih skenario 2 vs eksisting
DAS sedang
DAS sempit
Selisih skenario 1 vs eksisting Luasan DAS Selisih skenario 2 vs eksisting
(A)
(B)
Gambar 4. Prosentase perubahan (A) KRS dan (B) Q jenis, jika tutupan lahan hutan dirubah menjadi kebun campuran dan ladang, pada masing-masing luasan DAS Grafik prosentase perubahan Q jenis (Gambar 4.B.), terlihat semakin sempit luas DAS nilai prosentase perubahan Q jenis menjadi semakin besar, baik untuk prosentase perubahan Q jenis jika tutupan lahan hutan diubah menjadi kebun campuran ( ) dan ladang ( ). Pada grafik terlihat pada DAS luasan kecil, prosentase perubahan Q jenis nampak sekali jika tutupan lahan hutan dikonversi seluruhnya menjadi penggunaan lain (kebun campuran dan ladang). Sedang pada DAS luasan sedang dan besar cukup nampak prosentase perubahan Q jenis. Pada luasan DAS lebar, keberadaan tutupan lahan hutan tidak signifikan pengaruhnya dalam menjaga keberlangsungan keberadaan air pada musim kemarau dan mengurangi potensi banjir. Untuk DAS dengan luasan sedang, pengaruh keberadaan tutupan lahan hutan agak signifikan pengaruhnya dalam menjaga keberlangsungan keberadaan air pada musim kemarau dan mengurangi potensi banjir, tetapi pengaruhnya lebih besar dalam menjaga keberlangsungan pasokan air pada musim kemarau. Sedangkan untuk luasan DAS sempit, keberadaan tutupan lahan hutan sangat mempengaruhi dalam menjaga keberlangsungan keberadaan air pada musim kemarau dan mengurangi potensi banjir. 120.00
0.00
100.00
-5.00 % Perubahan aliran dasar
% Prubahan aliran permukaan
DA S lebar
80.00
60.00
40.00
20.00
DAS sedang
DAS sempit
-10.00
-15.00
-20.00
-25.00 0.00 DAS lebar
DAS sedang
DAS sempit
-30.00 Luasan DAS
Selisih skenario 1 vs eksisting Luasan DAS Selisih skenario 2 vs eksisting
(A)
Selis ih s kenario 1 vs eksisting Selis ih s kenario 2 vs eksisting
B) 8
0.00
0.00 DAS lebar
DAS sedang
DAS lebar
DAS sempit
% Perubahan evapotranspirasi
% Perubahan perkolasi
DAS sedang
DAS sempit
-2.00
-5.00 -10.00 -15.00 -20.00 -25.00 -30.00
-4.00 -6.00
-8.00 -10.00 -12.00
-35.00
-14.00 Luasan DAS
Selisih skenario 1 vs eksisting Selisih skenario 2 vs eksisting
Luasan DAS
Selis ih skenario 1 vs eks isting Selis ih skenario 2 vs eks isting
(C) (D) Gambar 5. Prosentase perubahan (A) aliran permukaan, (B) aliran dasar, (C) perkolasi dan (D) evapotranspirasi, jika tutupan lahan hutan dirubah menjadi kebun campuran dan ladang, pada masingmasing luasan DAS Pada Gambar 5, terlihat nilai komponen prosentase perubahan komponen neraca air jika tutupan lahan hutan (pada luasan sempit, sedang dan lebar) dikonversi menjadi penutupan lahan kebun campuran dan ladang. Komponen neraca air yang dianalisa yaitu aliran permukaan, aliran dasar, perkolasi dan evapotranspirasi. Pada grafik terlihat untuk komponen aliran permukaan semakin sempit DAS yang dianalisa semakin signifikan pengaruh prosentase perubahan aliran permukaan. Jika tutupan lahan hutan dikonversi menjadi tutupan kebun campuran dan ladang terjadi kenaikan jumlah aliran permukaan. Sedangkan untuk komponen aliran dasar, perkolasi dan evapotranspirasi, semakin sempit luasan DAS semakin signifikan perubahan prosentase komponen-komponen tersebut. Jika tutupan lahan hutan dikonversi menjadi tutupan lahan kebun campuran dan ladang terjadi penurunan jumlah aliran dasar, perkolasi dan evapotranspirasi. Secara umum, keberadaan tutupan lahan hutan berpengaruh terhadap neraca air DAS dimana akan menurunkan aliran permukaan tetapi menaikkan aliran dasar, perkolasi dan evapotranspirasi. Semakin luas DAS pengaruh keberadaan tutupan lahan hutan terhadap komponen nerca air semakin menurun. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Pada luasan DAS lebar (luasan > 500 km2) keberadaan tutupan lahan hutan kurang berperan dalam mengatur tata air. Keberadaan tutupan lahan hutan berperan dalam mengatur tata air pada luasan DAS sedang (luas diantara 100 km2 – 500 km2) dan sempit (luasan < 100 km2). 2. Pada luasan DAS sedang, peranan paling dominan keberadaan tutupan lahan hutan dalam menjaga keberlangsungan aliran sungai daripada mengurangi debit puncak. 9
3. Pada luasan sempit, keberadaan tutupan lahan hutan sangat berperan dalam hal menjaga keberlangsungan aliran sungai dan mengurangi debit puncak. B. SARAN 1. Penghutanan kembali (afforestation / reforestation) sebaiknya dilaksanakan pada sub DAS-sub DAS yang berkontaribusi buruk dalam menjaga tata air DAS. 2. Perlu pengelolaan DAS secara terpadu, dalam mengatasi persoalan pengeloaal DAS. DAFTAR PUSTAKA Andreassian, V., 2004. Waters and forests: from historical controversyto scientific debate. Journal of Hydrology 291, pp. 1–27. [terhubung berkala].http:// www.elsevier.com/locate/jhydrol. Html [29 Mei 2011]. CIFOR dan FAO. 2005. Hutan dan banjir, tenggelam dalam suatu fiksi, atau berkembang dalam fakta ?. RAB Publication 2005/03. Forest Prespectives 2. CIFOR dan FAO. Bogor dan Bangkok. Kiersch, B., 2001. Land use impacts on water resources: a literature review. Discussion Paper No.1. Land-water linkages in rural watersheds. Electronic Workshop. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Santhi, C., Arnold, J.G., Williams, J.R., Dugas, W.A., Srinivasan, R., Hauck, L.M., 2001. Validation of the SWAT model On A large river basin with point and nonpoint sources, J. Amer. Water Resour. Assoc. (JAWRA), Vol. 37, No.5, pp. 1169-1188. [terhubung berkala].http://www. http.brc.tamus.edu/swat/document. Html [29 April 2011]. Swank, W.T., Swift, L.W., Douglass, J.E., 1988. Streamflow changes associated with forest cutting, species conversions and natural disturbances. In: Swank, W.T., Crossley, D.A. (Eds.), Forest Hydrology and Ecology at Coweeta, Springer, New York. [terhubung berkala].http:// www.elsevier.com/locate/jhydrol. Html [29 Mei 2011].
10