Jumat, 11 Maret 2011
KOMPAS PENDIDIKAN KARAKTER
Mampukah Sekolah Jadi Bengkel Kerusakan?
KOMPAS/AGUS SUSANTO Anak-anak mengikuti proses belajar-mengajar dengan pakaian adat di SD No 1 Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, Bali, Rabu (2/2).
Kerucut masalah dalam sarasehan karakter bangsa yang diselenggarakan Kompas bersama Yayasan Jati Diri Bangsa, awal Januari 2011, adalah pendidikan karakter sebagai perbaikan jangka panjang kerusakan moral. Suasana resah oleh kondisi aktual bangsa, hilangnya rasa malu atas perilaku korup, tidak hadirnya pemerintahan eksekutif dalam masyarakat, dan mandulnya proses peradilan membuat suasana resah berkepanjangan. Jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek pun dicoba disampaikan. Suasana resah itu terkait dengan rasa ketidakhadiran, kurangnya ketegasan kepemimpinan dan kelambanan mengambil keputusan; persoalan-persoalan yang hari-hari ini hidup dalam hati sanubari warga bangsa, sering diungkapkan publik tetapi lebih banyak menjadi keprihatinan bersama. Titik akhirnya mengerucut pada moralitas, dan pendidikan sebagai upaya pembudayaan yang sifatnya jangka panjang menjadi tumpuan akhir. Dalam tataran tujuan jangka panjang, praksis pendidikan karakter membawa serta anak didik ke pengenalan nilai-nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif dan akhirnya pengamalan nilai secara nyata. Praksis pendidikan akan berhasil kalau ada kesatuan kondisi antara internal keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pengalaman memperlihatkan, ketika kebiasaan tidak jujur sudah terbiasa terjadi dalam keluarga, dengan mudahnya menular dalam berbagai bentuk, seperti menyontek sebagai hal biasa, tidak ada perbedaan tegas antara ”milikku” dan ”milikmu”, apalagi ”milik perusahaan atau negara”—embrio kebiasaan dan sikap yang di kemudian hari berkembang sebagai budaya korup sebuah masyarakat. Masyarakat dan negara rusak secara moral, ditandai dengan rusak moral warga masyarakat, apalagi dilakukan oleh tokoh dan pemimpin masyarakat. Sekolah > bengkel sepeda Sekolah telanjur dianggap sebagai bengkel sepeda! Bengkel untuk sepeda yang sudah rusak parah ataupun bengkel kecil-kecilan sekadar tambal ban bocor. Tidak dalam arti sekolah sebagai bengkel kerja versi John Dewey, tetapi dalam arti temuan atau lebih tepat pelarian dari segala bentuk kerusakan. Mampukah sekolah berperan sebagai bengkel masyarakat? Dalam kondisi perangkat penegak hukum dengan payung upaya pemberantasan korupsi saja tertatih-tatih, apalagi praktik korup sudah menggurita dalam kehidupan berbangsa Indonesia. Apalah artinya lembaga pendidikan dalam proses pelapukan bangsa semacam ini? Dengan rumusan masing-masing, semua peserta sarasehan terbatas menjawab, ”bisa, asal...”. Perlu dicatat, Kementerian Pendidikan Nasional memang sudah merencanakan pendidikan karakter yang terintegrasi dalam semua mata pelajaran. Sama seperti dilakukan tentang pendidikan tanggap bencana atau tertib lalu lintas. Yang perlu dijaga adalah jangan sampai terulang kurikulum pendidikan sarat beban karena banyak titipan seperti pada Kurikulum 1984. Kini, ketika degradasi moralitas bangsa terus terjadi, untuk jangka panjang tidak boleh tidak masalah pendidikan karakter menjadi muatan yang harus dimasukkan, yang bobotnya lebih besar dibandingkan dengan titipan-titipan lain semacam tertib lalu lintas. Bentuknya semacam Budi Pekerti—telanjur dipahami sebagai cara bersopan santun—mata pelajaran yang selalu dirujuk sebagai salah satu pelengkap praksis pendidikan, selain faktor kognitif dan keterampilan. Praksis pendidikan afektif nyaris hilang karena telanjur semua serba jadi intelektual. Akibatnya, dihasilkan banyak lulusan pinter tetapi keblinger! Praksis pendidikan mestilah dikembalikan pada inti dasarnya, yakni berbasis karakter yang menyasar dengan jelas apa maunya. Pendidikan karakter menjadi bagian utuh dari proses penguatan dan peningkatan mutu pendidikan. Jika ingin menekankan nilai kejujuran, hendaknya tidak hanya disampaikan dalam pelajaran kognitif, tetapi juga praktik sehari-hari di sekolah. Warung kejujuran, yang kini diselenggarakan di banyak sekolah, paling tidak menjadi pintu masuk mengembangkan budaya kejujuran. Budi Pekerti
Peserta sarasehan mengapresiasi sekolah yang berani mengeluarkan murid yang ketahuan menyontek saat ulangan atau ujian, sekolah yang berani menaruh nilai kejujuran sebagai salah satu klausul penegakan disiplin sekolah. Mata pelajaran Budi Pekerti, yang menjadi nostalgis bagi kaum tua, memang betul lebih banyak mengajarkan agar siswa berperilaku sopan santun, perilaku yang saat ini dibabat habis oleh kebiasaan serba lugas dan transparan. Mata pelajaran Budi Pekerti memang belum mencukupi, sebaliknya masih diperlukan materi pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam mata pelajaran yang terkait langsung, seperti Agama dan PPKN (di masa lalu pernah diterjemahkan sebagai indoktrinasi kewarganegaraan), bimbingan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler seperti kepramukaan. Kondisi koruptif dalam masyarakat dan keluarga bisa terjadi bukan merupakan lahan pendidikan karakter, sebaliknya justru kondisi ini selain menjadi tantangan, juga bagaimana mengusahakan terus-menerus kerja sama antara keluarga dan sekolah. Yang mau ditegakkan memang knowledge is power, tetapi juga character is more. Ilmu pengetahuan ya, tetapi tak kalah penting karakter. Merosotnya karakter bangsa saat ini menjadi isu besar. Penegakan hukum tertatih-tatih. Praksis politik yang dari dasarnya kekuasaan cenderung dan mudah korup memperoleh lahan subur dalam masyarakat yang tak berkarakter. Dianutlah salah satu sisi nasihat filsuf politik Niccollo Machiavelli, yang diterjemahkan dalam bentuk tidak etis dan koruptif. Sifatnya massa! Bagaimana mengatasinya? Lakukan analisis konten! Maka apa yang terlihat dari media sehari-hari adalah panorama kemerosotan moral. Isu-isu besar, mulai dari kasus Gayus, kebohongan kepada publik, tersanderanya parpol-parpol besar dengan kasus-kasus keuangan sebagai kartu truf mati masing-masing, hingga lebih dari 60 persen kepala daerah dalam kondisi bermasalah yang menunjukkan betapa bangsa ini menuju ke kondisi negara gagal seperti yang digagas Francis Fukuyama. Kondisi negara gagal (the failed country) tidak terjadi asal.... Adakah kesadaran kegagalan itu? Dibantah langsung, padahal seharusnya ditangkap sebagai pelecut perbaikan diri, dan bukan dihindari. Lima M dalam proses manajemen yang terdiri atas manusia, mesin, materi, money (uang), dan metode sebagai pusat sehingga manusia hanya dilihat seberapa besar kompetensinya. Manusia adalah sumber daya, tidak disadari manusia itu punya aspirasi, punya kebajikan, dan seterusnya. Tidak memanusiawikan manusia itu bersumber pada cara berpikir semua dilihat dari sisi kompetensi sebagai kesalahan pertama. Kesalahan lainnya dilupakan seperti apa yang dilakukan para bapak bangsa kita, Indonesia. Mereka berhasil melakukan pendidikan karakter sehingga menjadi bersosok. Dalam praksis pendidikan karakter yang produktif, mengutip pendapat Rush Kidder, diperlukan pemberdayaan tenaga guru, efektif meningkatkan penalaran moral, tidak selesai sebagai ilmu pengetahuan tetapi juga dipraktikkan. (ST SULARTO) Jumat, 11 Maret 2011 HOLISTIK
Hanya Pengetahuan, Tanpa Keteladanan Kisah ini benar-benar terjadi. Dalam suatu ceramah, seorang penceramah tersohor menekankan tentang arti penting kejujuran. Ceramahnya disampaikan dengan menarik dan penuh semangat sehingga memesona hadirin. Karena disampaikan di lingkungan akademis, ceramah
pun dilengkapi makalah.
Inilah yang menggelikan. Makalah yang disampaikan penceramah itu justru hasil plagiat. Hasil ”copy” dan ”paste ”dari makalah orang lain. ”Rupanya ketidakjujuran dan kerusakan karakter sudah menyebar ke mana-mana,” keluh Ratna Megawangi. Yayasan yang dipimpinnya bergerak di bidang pendidikan dengan visi membangun bangsa yang berkarakter lewat pendidikan. Banyak contoh lain yang dikemukakan pembicara dalam diskusi terbatas Kompas. Benang merahnya, kerusakan karakter sudah meluas di mana-mana dan di segala aspek kehidupan bangsa. Mulai dari birokrasi pemerintahan, perusahaan swasta dan negara, kehidupan sehari-hari masyarakat, hingga bidang pendidikan, Menjadi bahasan menarik dalam diskusi tersebut, mengapa kerusakan karakter bangsa meluas ke manamana? Padahal pendidikan agama sudah diberikan sejak sekolah dasar, bahkan pendidikan moral Pancasila disertai dengan penataran. Salah satu penyebabnya ternyata, pendidikan moral yang diberikan hanya sebatas pengetahuan dan hafalan. Namun, pengetahuan itu tidak disertai dengan pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih parah lagi, pendidikan moral yang diberikan tidak disertai dengan contoh nyata atau keteladanan dari tokoh panutan, baik itu guru, orangtua, pimpinan instansi, maupun pimpinan pemerintahan. Itu sebabnya, masyarakat luas tahu dan hafal betul nilai-nilai yang baik dan nilai-nilai yang buruk. Tahu, mana yang benar dan mana yang salah. Namun, pengetahuan itu hanya sebatas pengetahuan, tidak diterapkan dalam perilaku sehari-hari. Menjadi pertanyaan kemudian, mengapa pengetahuan itu tidak diterapkan dalam perilaku sehari-hari? Ternyata untuk sampai pada perilaku, harus melalui proses. Proses inilah yang tidak berjalan di masyarakat karena masyarakat menoleransi perbuatan buruk, menganggap lazim perbuatan salah, tak ada sanksi bagi perbuatan tercela serta dilengkapi dengan tiadanya keteladanan dari tokoh panutan. Bagus Takwin bahkan menyoroti kebiasaan berbohong yang sudah meluas ke mana-mana. Kecenderungan berbohong untuk sesuatu yang sudah jadi rahasia umum ini dilakukan mulai dari anak- anak, guru, orangtua, hingga pejabat tinggi negara. ”Saya masih belum menemukan penyebabnya. Apakah kebiasaan berbohong itu karena kita hidup dalam situasi yang sulit? Apakah karena stres atau karena faktor lain,” kata Takwin. Peran pendidikan
Untuk memperbaiki karakter masyarakat yang telanjur sakit, pendidikan memegang peranan yang sangat menentukan. Namun, karena arah pendidikan kita di sekolah saat ini lebih mementingkan pengetahuan dan hafalan dibandingkan dengan pembentukan karakter, maka tujuan pendidikannya harus diubah. Pendidikan di sekolah tidak boleh lagi hanya bersifat pengajaran, tetapi membentuk masyarakat yang baik dan cerdas. Artinya baik dulu, bijak dulu, barulah menekankan pada aspek kecerdasan. Pola seperti ini sudah dilakukan sejumlah kalangan, sedangkan Ratna Megawangi menyebutnya pendidikan holistik. Artinya, pendidikan berbasis karakter yang berdimensi banyak hal, mulai dari emosi spiritual, dimensi sosial, kreativitas, kesehatan jasmani, dan banyak hal lainnya. Melalui model pendidikan seperti ini, anak diharapkan tidak sekadar menghafal, ”membeo”, dan latihan soal, tetapi berkembang aspek lain dalam dirinya, seperti kreativitas, watak baik, dan sehat jasmani. Hasilnya diharapkan masyarakat kita kelak tidak sekadar pintar untuk dirinya sendiri, tetapi berkarakter baik serta bermanfaat untuk masyarakat sekitarnya. Model pendidikan seperti inilah yang menyebabkan sejumlah negara mengalami kemajuan yang pesat. Bukan maju secara ekonomi dulu kemudian melakukan pendidikan karakter, tetapi membangun karakter bangsa terlebih dahulu sehingga bisa membawa kemajuan bangsa dalam berbagai aspek kehidupan. Meski demikian, hingga saat ini belum terlihat model pendidikan karakter untuk bangsa kita seperti yang dicanangkan Kementerian Pendidikan Nasional. ”Pendidikan karakter mestinya bukan hanya untuk siswa sekolah, melainkan untuk seluruh lapisan masyarakat, termasuk orangtua,” kata Gede Raka. Sebab, orangtualah yang memegang peranan penting dalam mendidik anak-anak. Tentu pendidikan karakter bagi orangtua dalam arti luas, termasuk pentingnya mereka memberikan teladan bagi anak-anak dan lingkungan sekitar. Khusus untuk pendidikan di sekolah, saat ini pun belum terlihat model pendidikan karakter yang akan diterapkan. Pendidikan karakter baru sebatas wacana dan belum ada cetak birunya. Agi Rahmat menyoroti sistem pendidikan kita yang sangat kagum dan takjub pada model pendidikan asing. Padahal, bangsa ini sangat kaya dengan beragam mozaik untuk pendidikan karakter, mulai dari cerita rakyat hingga keteladanan yang ditunjukkan pemimpin bangsa pada masa lalu. Upaya dan keteladanan untuk membangun karakter bangsa ini sempat berjalan baik di awal-awal proklamasi kemerdekaan, tetapi kemudian meluntur karena ditunggangi kepentingan politik praktis. Kini, di tengah memudarnya karakter bangsa, sudah saatnya berbagai potensi yang ada di bangsa ini dibangun kembali. Membangun karakter untuk kemajuan masyarakat dan bangsa.... (TRY HARIJONO)
PENDIDIKAN KARAKTER
Menyuntikkan Semangat Baru
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Warga Tengger di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur, melakukan selamatan gedung TK baru, Rabu (2/3). Selamatan bertujuan mendoakan siapa pun yang menempati tidak menemui halangan. Warga yang tinggal di sekitar Gunung Bromo tersebut hingga kini masih setia menjalankan adat istiadat. Pemerintah sejak tahun lalu, secara intensif menyebarkan gagasan memperkuat kembali pendidikan karakter di sekolah-sekolah, yang selama ini terabaikan. Kesadaran pada masalah krusial bangsa, yakni semakin melunturnya jati diri dan karakter bangsa di satu sisi, menjadi tonggak ke arah perubahan. Namun, di sisi lain ada kegamangan jika pendidikan karakter lagi-lagi tereduksi menjadi sekadar pengetahuan atau indoktrinasi. Jauh-jauh hari, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengingatkan agar pendidikan karakter yang bakal diperkuat di sekolah tidak membebani kurikulum. Pembentukan karakter siswa mesti terintegrasi dari setiap proses pembelajaran dengan mengutamakan tindakan-tindakan yang nyata.
Semangat baru disuntikkan untuk menyukseskan pendidikan karakter kali ini. Pembudayaan menjadi titik sentral sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter. Hasil akhirnya, harus bisa sampai pada perilaku berkarakter. Jalinan kerja sama pun diperkuat. Kementerian Pendidikan Nasional menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memperkuat budaya antikorupsi di sekolah. Guna memperkuat pendidikan kebangsaan, kerja sama dijalin dengan Kementerian Dalam Negeri. Universitas Indonesia digandeng untuk menjadi mitra dalam mengembangkan metode dan pendekatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam berdemokrasi serta berbangsa. Nuh mengatakan, pendidikan karakter mesti kembali digemakan karena ancaman melunturnya nilai-nilai luhur Pancasila telah nyata di negeri ini. Ditambah lagi, perkembangan pembangunan fisik belum diimbangi dengan pembangunan karakter bangsa. Padahal, kata mantan Guru Besar ITB Ida I Gede Raka, jika merefleksi pada perjalanan sejarah bangsa ini, sebenarnya pendidikan karakter jadi kekuatan. Bukan persenjataan, tetapi modal karakterlah yang diyakini membuat pejuang dan rakyat merebut kemerdekaan dan mendirikan Indonesia. Berada dalam penderitaan penjajahan, orang Indonesia menjadi optimistis, berani, percaya diri, rela berkorban, dan bersatu. Idealisme dan nasionalis merebak dalam sanubari tiap anak bangsa, menyatukan semua komponen bangsa untuk bertekad merdeka dan meraih kesejahteraan. Terabaikan Kenyataan yang terjadi kini, justru sekolah pun abai dengan pembentukan karakter. Padahal, sistem pendidikan nasional mengamanatkan dikembangkannya seluruh potensi siswa untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Semasa Mendiknas Bambang Sudibyo telah bergaung pendidikan yang holistik dengan slogan olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa/karsa. Namun, realisasinya tak terasa. Sekolah terus disibukkan dengan mengembangkan satu dimensi dari banyak potensi siswa, yakni kecerdasan semata-mata. Kebijakan ujian nasional yang memvonis siswa lulus dan tidak lulus membuat guru tak berani berimprovisasi lebih jauh untuk mengutamakan proses belajar yang menyenangkan dan kreatif. Bangsa Indonesia pada dasarnya tidak bermasalah dengan kecerdasan otaknya. Yang bermasalah justru yang berkaitan dengan hati nurani sebagai tempat bersemi jati diri dan karakter. Ratna Megawangi, praktisi pendidikan holistik berbasis karakter yang berkecimpung dalam pendidikan karakter sejak tahun 2000, mengatakan, pendidikan karakter yang diharapkan membawa perubahan tak akan berhasil jika sekolah tetap menjadi sumber stres siswa. Sekolah harus menyenangkan dan harus ada guru penuh cinta untuk membuat karakter anak-anak tumbuh. Nilai-nilai kehidupan Dalam kurikulum SD hingga SMU, sebenarnya peluang untuk membangun karakter siswa itu ada. Tetapi, kata Wakil Mendiknas Fasli Jalal—di luar acara diskusi terbatas Kompas—guru tak mampu membawa nilai-nilai kehidupan dalam setiap proses pembelajaran. Integrasi pendidikan karakter dalam kurikulum tidak dibuat menjadi suatu mata pelajaran. Guru diajak untuk mampu menonjolkan nilai-nilai kehidupan dari setiap mata pelajaran maupun dari setiap kegiatan yang ada di sekolah. Fasli memaparkan, pada dasarnya setiap mata pelajaran menuntut kompetensi yang mengandung nilai-nilai kebaikan dan kehidupan, seperti kejujuran, keuletan, kerja sama, kompetisi, kebangsaan, sopan santun, kesatuan, sportivitas, dan sebagainya. ”Ada beberapa mata pelajaran yang mengandung kompetensi yang lebih sarat dengan sikap dan nilai-nilai dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Selama ini, nilai-nilai itu tidak ditonjolkan guru,” ujar Fasli. Nilai-nilai kehidupan bukan terbatas ada di pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan, maupun sejarah. Dalam pelajaran pendidikan jasmani, misalnya, juga bisa digabungkan untuk mengimplementasikan pendidikan karakter. Guru mesti bisa mengedepankan nilai-nilai tentang pendidikan sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerja sama, percaya diri, dan demokratis. Keteladanan lemah Pendidikan karakter tidak dapat diajarkan hanya di sekolah sehingga menjadi tanggung jawab guru dan sekolah. ”Pembelajaran nilai-nilai kehidupan akan sukses jika dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab semua pihak, mulai sekolah (guru), rumah (orangtua), dan lingkungan masyarakat sekitar,” kata Fasli. Untuk itu, soal keteladanan menjadi isu penting, terutama dari petinggi negeri ini hingga para politisi. Gaung pendidikan karakter jadi tak bermakna jika terjadi dualisme antara yang diajarkan dengan kenyataan sehari-hari yang dihadapi anak. Lemahnya keteladanan dalam masyarakat feodal inilah yang jadi salah satu sebab gagalnya pembangunan manusia seutuhnya melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sejak Orde Baru. Bagaimana tidak, penguasa justru mempertontonkan karakter yang bertentangan dengan apa yang diajarkan dalam P4 yang wajib diikuti semua anak bangsa. Menurut kajian Yayasan Jati Diri Bangsa, ternyata pendidikan karakter pada zaman penjajahan menghasilkan warga yang cerdas, menyadari harga diri, dan menumbuhkembangkan idealisme. Orang punya tekad dan keberanian, pantang menyerah sehingga Indonesia berhasil merdeka. Setelah masa kemerdekaan gaung pembangunan karakter masih kuat lewat nation and character building. Indonesia mampu menghasilkan pemimpin berkaliber dunia seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sjahrir. Mereka jadi teladan tentang karakter bangsa yang seharusnya muncul dalam diri tiap warga.
Namun di Orde Baru, yang namanya keteladanan nyaris sulit ditemukan. Kehidupan yang dijalankan justru berlawanan dengan pembangunan karakter, seperti tidak boleh beda pendapat, tidak diajarkan untuk berani mengambil risiko, cenderung cari selamat, bahkan membiasakan budaya asal bapak senang. Melemahnya karakter bangsa berimbas hingga kini. Masyarakat saling tidak percaya, kurang bertanggung jawab, saling menghujat, hingga saling menyalahkan. Inilah buah ketika pembangunan ekonomi jadi panglima dengan mengabaikan pembangunan karakter. Ketika sekarang ini karakter bangsa disadari harus kuat, komitmen itu tak bisa sekadar lips service. Semangat baru membarui pendidikan karakter harus terwujud. (ESTER LINCE NAPITUPULU)