Review Buku
MAMPUKAH PETANI MEMBERI MAKAN DUNIA? Ciptaningrat Larastiti1 Judul buku Penulis Penerbit Tebal
: The Art of Farming Chayanovian Manifesto : Jan Douwe van der Ploeg : Fernwood Publishing (2013) : ix + 157
Perdebatan mengenai masalah agraria abad 21 dipicu sebuah pertanyaan menggelitik, “mampu-
inilah yang ingin dikembangkan Jan Douwe van der Ploeg. Menurutnya, perjuangan petani untuk
kah petani memberi makan dunia?” Di mata Jan Douwe van der Ploeg, pertanyaan ini menghadir-
melanjutkan keterampilan bertani harus didukung sebuah gerakan yang memberi ruang
kan kembali polemik masalah agraria yang berlangsung lebih dari satu abad. Masalah agraria
otonomi dalam menaksir keseimbangan. Berbagai ragam keseimbangan yang nanti dijelaskan
Abad 20 berawal dari pertanyaan, “Bagaimana transisi agraria berkontribusi (atau sebaliknya)
menjadi kunci bagi intensif ikasi produksi pertanian. Dengan demikian, peluang petani
terhadap akumulasi industrialisasi?” (Bernstein 2006, 451). Kala itu terjadi perpecahan hebat anta-
untuk bangkit dan memberi makan dunia terbuka. Di mata Chayanovian, pertanian petani
ra tradisi keilmuan Lenin dan Chayanov dalam melihat dinamika kelas sosial kaum tani di tengah
mampu memasuki tempat di mana pertanian kapitalis tidak bisa dan tetap mampu melanjutkan
moda produksi kapitalistik yang sedang berkembang. Di dalam Development of Capitlism in Rusia,
produksinya sekalipun tak menghasilkan keuntungan (hal. 118). Didalam menguatkan
Lenin melihat bahwa pembangunan kapitalisme pertanian akan menghasilkan diferensiasi kelas
teorinya, Jan Douwe van der Ploeg menyajikan berbagai contoh tentang kebangkitan kaum tani
di perdesaan menjadi kelas petani kapitalis dan buruh tani (Bernstein 2009, 56). Sementara posisi
di Cina pasca rejim tanah kolektif oleh negara (hal. 31), di Brazil karena eksodus kaum miskin
Chayanov, seperti disebut berulang kali dalam The Art of Farming, mengamini bahwa pertanian
yang disebabkan oleh rejim diktator militer ke desa (hal. 12), Guinea Bissau dengan konsep lumbung
perdesaan memang diperas untuk memberi akumulasi kapital bagi industri-industri di
dan pertukaran pangan (hal. 27-29) dan Eropa dengan aliran teknologi mesin-mesin pertanian
perkotaan. Di sisi lain, alih-alih diatur langsung oleh kapitalisme, unit usaha tani juga menyimpan
(hal. 30). Menurut The Art of Farming, ketimpangan
otonomi yang dipengaruhi oleh seperangkat keseimbangan untuk melanjutkan reproduksi
sosial di perdesaan terjadi karena kemampuan petani untuk menaksir keseimbangan unit usaha
pertanian (hal. 05). Keyakinan normatif dari tradisi Chayanovian
tani dihalang-halangi oleh kekuatan negara ataupun pasar. Intervensi pembangunan yang
1
Alumnus Pascasarjana Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada dan penerjemah The Art of Farming: Chayanovian Manifesto Diterima: 21 September 2015
didorong kekuatan pasar dan negara justru menyebabkan persoalan kemiskinan perdesaan semakin kompleks. Dukungan terhadap sumber daya eksternal seperti mekanisasi pertanian, di sisi
Direview: 2 Oktober 2015
Disetujui: 20 Oktober 2015
216
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
lain, justru menambah pengeluaran petani untuk
dengan laju kapitalisme pertanian. Oleh karena-
input produksi. Kaum tani sengaja dilemahkan agar selalu abai menggunakan pengetahuan dan
nya, saya ingin mencoba menelusuri sampai sejauh manakah Jan Douwe van der Ploeg mem-
daya taksir mereka dalam mengamankan reproduksi pertanian. Buku ini berakar pada sebuah
bahas mengenai diferensiasi sosial di perdesaan.
nilai bahwa daya lenting petani menghadapi kapitalisme bisa diperkuat jika petani mampu
Kerumitan Mencapai Keseimbangan
menaksir keseimbangan unit produksinya secara otonom. Jan Douwe van der Ploeg membagi buku The Art of Farming setidaknya dalam tiga alur. Alur pertama berkaitan dengan upayanya untuk membumikan kembali konsep keseimbangan unit usaha tani dari Chayanov. Sementara alur kedua berisi tentang usaha-usaha yang dilakukan tradisi Chayanovian untuk mengembangkan interaksi antar keseimbangan. Interaksi ini merupakan sintesa yang menghubungkan gagasan keseimbangan Chayanov dengan beragam dinamika di perdesaan (hal. 5-6). Alur ketiga merupakan sikap politik Chayanovian untuk meletakkan unit usaha petani sebagai “pemenang” dalam pertarungan atas “siapakah yang mampu memberi makan dunia?” Dengan menyebutkan beragam contoh tentang kebangkitan petani (repeasantrization), Jan Douwe van der Ploeg menyebarkan optimisme bahwa petani skala kecil akan mampu mereproduksi unit usaha petani secara terus menerus dibanding dengan perusahaan kapitalis. Sepanjang petani memiliki ruang untuk mengambil keputusan sendiri, maka mereka bisa lebih giat mempraktikkan intensif ikasi pertanian dan mencukupi kebutuhan pangan dunia. Selain mengurai pokok-pokok bahasan Jan Douwe van der Ploeg tentang manifesto Chayanovian dan unit usaha petani, pada kesempatan ini saya juga memberi catatan singkat mengenai diferensiasi sosial perdesaan. Bagi kelompok ekonomi politik agraria, Chayanov ditempeli label seorang populis lantaran analisanya dianggap lemah dalam menggambarkan kelas sosial perdesaan yang semakin terfragmentasi seiring
Jan Douwe van der Ploeg membuka The Art of Farming dengan penjelasan tentang kecakapan Chayanov dalam melakukan analisa ekonomi mikro. Unit analisa ini menempatkan keluarga petani sebagai panggung utama dengan anggapan bahwa berbagai dinamika makro bisa tercermin lebih rumit di level mikro (hal. 23). Dua level itu menandai sebuah asumsi bahwa dinamika petani di perdesaan dipengaruhi oleh dua ruang yang dibedakan secara tegas, yakni keluarga petani dan lingkungan eksternalnya. Di tingkat keluarga pula para petani berjuang untuk memenuhi pangan anggota keluarga sekaligus melanjutkan produksi pertaniannya. Sementara lingkungan eksternal tidak semata-mata diposisikan sebagai faktor tunggal dinamika petani perdesaan. Argumentasi ini tampak jelas, seperti dikutip oleh Jan Douwe van der Ploeg, bahwa petani pandai menolak berbagai pengaturan (Scott 2009; lihat juga Mendras 1987 dalam Jan Douwe van der Ploeg 2013). Seringkali, unit usaha tani ini ter subordinasi dalam relasi kapitalistik yang tergambarkan melalui produksi komoditas: “Petani menjadi produsen komoditas skala kecil, mereka menjual lalu membeli barang dengan harga yang bergantung pada komoditas kapitalis, ditambah modal yang berputar melalui pinjaman bank,” (hal. 1516). Sekalipun demikian, bukan berarti unit usaha tani ter subordinasi dalam unit produksi kapitalis. Apa yang disebut sebagai unit usaha petani merupakan produksi pertanian petani yang memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari anggota keluarga. Mereka bukanlah tenaga kerja upahan seperti pada pertanian kapitalis. Ketika tenaga kerja pertanian dipenuhi oleh anggota keluarga maka keuntungan produksi menjadi sulit
Ciptaningrat Larastiti: Mampukah Petani Memberi Makan Dunia?...: 215-224
217
dikalkulasi. Prinsip dasar perekonomian kapitalis
mampu dikerjakan oleh tenaga kerja keluarga
yakni maksimalisasi keuntungan dengan mengurangi upah tenaga kerja menjadi tidak relevan.
untuk meningkatkan panen. Konsekuensinya, subyektivitas dalam menaksir keseimbangan
Absennya upah dalam pemenuhan tenaga kerja membuat balas jasa petani tidak diatur melalui
tenaga kerja dan konsumsi mensyaratkan keseimbangan kedua antara dorongan kerja maksimal
pasar tenaga kerja. Pembeda lain juga terletak pada makna kapital dalam unit usaha tani yang
(dalam teks asli adalah drudgery, lihat hal. 38-42) dan utilitas pada masing-masing individu petani.
tidak bisa disamakan dengan kapital untuk memproduksi nilai lebih yang diinvestasikan
Sama seperti keseimbangan pertama, keseimbangan drudgery dan utilitas juga tidak serta
kembali untuk akumulasi nilai lebih (hal. 24). Bagi Chayanov, prinsip ini menjadi logis lantaran
merta saling mempengaruhi. Drudgery dipahami sebagai kerja keras individu dalam meningkatkan
pencipta nilai yakni tenaga kerja upahan tidak relevan dalam unit usaha petani. Konsepsi kapital
pendapatan pertanian mereka. Seringkali, istilah ini berkonotasi pada disiplin petani yang setiap
harus dilihat sesederhana mungkin sebagai sarana prasarana pendukung pertanian (dalam
hari rutin bekerja sejak subuh hingga senja dengan keringat bercucuran di bawah terik
teks asli adalah capital formation, lihat hal. 37) yang dimiliki oleh keluarga petani. Kapital juga
matahari. Sementara pembandingnya yakni utilitas dipahami sebagai manfaat tambahan yang
dilihat sebagai sumber daya yang memiliki nilai guna untuk memenuhi naf kah hidup rumah
tersedia karena peningkatan produksi petani (hal. 38). Keseimbangan ini menggerakkan energi
tangga. Kapital keluarga ini bisa berfungsi menjadi penyangga saat gagal panen dan juga bisa
yang dicurahkan oleh individu petani untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga.
diwariskan ke generasi berikutnya. Perbedaan prinsip kerja unit usaha tani dengan
Semakin unit produksi pertanian memberi manfaat pada keluarga petani, maka individu-
pertanian kapitalis tercermin dalam manuver petani untuk menaksir dua bentuk keseim-
individu ini akan mencurahkan energi lebih besar. Namun di waktu yang sama, ambang batas
bangan. Keseimbangan pertama adalah keseimbangan tenaga kerja dan konsumsi. Tenaga kerja
curahan energi petani juga ditentukan oleh drudgery setiap individu.
merujuk pada ketersediaan kekuatan produksi dari tangan-tangan yang bekerja, sementara
Didalam analisis Chayanov, prinsip kerja unit usaha tani berjalan sejalan dengan penaksiran
konsumsi merujuk pada jumlah mulut dalam satu keluarga yang diberi makan (hal. 32). Pendeknya,
terus menerus terhadap kedua keseimbangan itu. Penaksiran yang selanjutnya disebut evaluasi
kebutuhan konsumsi keluarga harus sebanding dengan total produksi pertanian di mana jumlah
subyektif ini sangat memperhitungkan tenaga kerja dan konsumsi di tingkat rumah tangga dan
lahan yang dikerjakan disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Namun, perbandingan ini
curahan energi di level individu. Evaluasi ini menunjukkan bahwa realitas material tidak
tidaklah sederhana. Nyatanya, jumlah lahan yang dikerjakan petani tidak serta merta ditentukan
semata-mata mempengaruhi kinerja unit usaha tani. Secara aktif, petani melakukan penerje-
oleh kebutuhan konsumsi keluarga. Sebagai mesin penggerak pertanian keluarga, keseim-
mahan terhadap realitas material dengan tindakan-tindakan yang pantas (hal. 43-45). Evaluasi
bangan ini perlu dimaknai lebih kompleks. Petani secara aktif menentukan formasi kapital, berupa
subyektif ini mengganti kalkulasi ekonomis dari relasi kapital-tenaga kerja pada pertanian kapitalis.
sarana produksi pertanian per unit tanah, yang
Selain membahas dua keseimbangan
218
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
Chayanov, Jan Douwe van der Ploeg juga
keseimbangan ini menjadi semakin cair karena
menambahkan lima pemutakhiran keseimbangan yang melampaui keseimbangan di tingkat rumah
tekanan untuk memenuhi input produksi lewat pasar lebih besar dibanding dorongan internal
tangga dan individu petani. Keseimbangan pertama, keseimbangan manusia dan alam,
untuk memenuhi sendiri. Petani tidak bisa lepas dari sirkuit komoditas. Oleh sebab itu, petani
merupakan co-produksi di mana manusia meninggalkan jejak sosial yang ramah saat
harus membuat ruang manuver yang memungkinkan mereka memiliki beragam pilihan sedari
memanfaatkan sumber daya alam. Co-produksi juga bisa dipahami sebagai norma pertukaran
pemenuhan input produksi di hulu pasar hingga penjualan hasil panen di hilir. Petani bisa saja
antara manusia dan alam. Jan Douwe van der Ploeg mencontohkan cura di Itali, para peternak
mengurangi dorongan kerja optimal mereka untuk membuat pupuk kandang atau menyemai
sapi perah menyakini bila mereka merawat anak sapi dan induknya dengan baik maka panen susu
benih hanya dengna membeli sumber daya dari luar. Namun konsekuensinya otonomi relatif
akan berlimpah untuk tahun-tahun berikutnya (hal. 51). Prinsip tersebut berkaitan dengan
mereka menjadi makin kecil seiring dengan ketergantungan terhadap pasar.
keseimbangan kedua antara produksi dan reproduksi. Reproduksi pertanian ini mensyarat-
Di dalam menaksir keseimbangan sumber daya internal dan eksternal, setiap individu petani
kan co-produksi manusia dan alam untuk memperbaharui kapital dalam unit usaha tani
mencoba untuk menyeteimbangkan otonomi dan ketergantungan. Keseimbangan keempat ini erat
(hal. 54). Sementara, produksi pertanian bisa dilanjutkan dengan curahan energi yang tidak
kaitannya dengan pengorganisasia kerja dan distribusi kekayaan di perdesaan. Relasi otonomi
besar selagi ada reproduksi terus menerus. Perkembangannya, reproduksi pertanian sedikit
dan ketergantungan dicirikan dengan adanya relasi kelas dan sistem ekstraksi surplus pada
demi sedikit abai untuk menyertakan co-produksi manusia dan alam. Oleh karenanya, reproduksi
masyarakat tani (Little 1989 dalam Jan Douwe van der Ploeg 2013). Seiring intensitas rumah tangga
perlu dilihat sebagai kontestasi antara tekanan eksternal dan dorongan internal yang bisa saja
petani masuk dalam sirkuit komoditas, maka semakin besar pula ketimpangan struktural di
menghasilkan ketidakseimbangan (hal. 56). Keseimbangan produksi dan reproduksi
mana surplus terkumpul hanya pada satu dua orang di desa karena penerapan uang sewa, bunga
sangat dipenaruhi oleh keseimbangan ketiga yakni keseimbangan sumber daya internal dan
pajak dan lain-lain. Menurut Jan Douwe van der Ploeg, keseimbangan ini menjadi titik temu tradisi
eksternal. Prinsip ini telah membuka diri bahwa sulit bagi unit usaha tani untuk lepas dari sumber
Chayanovian dengan analisis kelas. Sejauh mana formasi ekonomi politik mempengaruhi pem-
daya tertentu yang hanya bisa dipenuhi di lingkungan eksternal mereka. Istilah sederhana dari
bangunan perdesaan melalui tekanan eksternal tanpa meniadakan otonomi relatif dari petani
bentuk keseimbangan ini adalah “membuat sendiri” atau “membeli dari luar” untuk meme-
(hal. 62-63). Perjuangan petani untuk memaksimalkan otonomi relatif mereka terhadap unit
nuhi input produksi unit usaha tani. Masalah ini juga menjadi perdebatan runcing pada Abad 20
usaha tani sangat berhubungan dengan keseimbangan untuk menentukan skala produksi dan
saat sebagian besar petani tak lagi memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari keluarga saja melain-
intensitas pertanian. Skala merujuk pada obyek kerja seperti lahan garapan per tenaga kerja.
kan juga dari pasar tenaga kerja (hal.57). Bentuk
Sementara intensitas mengacu pada proses
Ciptaningrat Larastiti: Mampukah Petani Memberi Makan Dunia?...: 215-224
219
produksi per obyek kerja. Melalui proses inilah,
tekanan eksternal. Tekanan eksternal ini
maka corak produksi pertanian bisa diidentifikasi. Semakin kecil intensitas proses kerja petani di atas
dijembatani empat relasi sosial yang mendorong petani mengesampingkan otonomi relatifnya.
sebidang lahan yang terbatas, corak pertanian ekonomi, maka semakin tersingkir pula mereka dalam kemiskinan. Sementara makin tinggi proses kerja petani di sebidang lahan yang sempit, maka corak pertanian mereka makin intensif. Sebaliknya, bila jumlah lahan yang semakin luas tidak dibarengi dengan intensitas pertanian, maka pengusahaan pertanian itu cenderung menghemat tenaga kerja upahan. Di sini, mekanisasi pertanian dan efisiensi menjadi norma yang kuat untuk menjalankan akumulasi keuntungan. Sementara bila skala pertanian yang besar
Analisis yang dibawa oleh tradisi Chayanovian
diimbangi dengan unit usaha tani intensif, maka hasil panen produksi pertanian dengan corak itu
membayangkan bahwa laju tekanan eksternal terhadap unit usaha tani telah melemahkan daya
bisa sangat besar. Perkembangan terkini dari beragam keseim-
lenting petani menghadapi kapitalisme. Melalui penjelasan inilah, detil mengenai ketimpangan
bangan petani menunjukkan bahwa marjinalisasi terhadap kaum tani terjadi karena penaksiran
sosial di perdesaan muncul dalam empat relasi rumah tangga petani dengan lingkungan
terhadap keseimbangan tidak semata-mata ditentukan oleh unit usaha tani. Bagi Jan Douwe
eksternal. Pertama adalah relasi desa dan kota yang dijembatani pertukaran komoditas.
van der Ploeg (2013), penaksiran yang dilakukan keluarga petani sangat dipengaruhi oleh tekanan
Mulanya, komoditas yang dipertukarkan di hilir pasar saat petani menjual kelebihan panen setelah
eksternal dan dorongan internal. Dengan demikian ketimpangan dan diferensiasi sosial muncul
mencukupi kebuuthan subsistennya. Namun, proyek neoliberal seperti Revolusi Hijau dengan
karena laju tekanan eskternal terhadap pengambilan keputusan pengorganisasian produksi
kontrol negara yang bergantung mekanisme pasar, memiliki kontribusi atas ketergantungan
rumah tangga petani. Maka pada bagian selanjutnya, saya akan menyinggung: Pertama tentang
petani terhadap hulu pasar dalam memenuhi kebutuhan reproduksi pertaniannya. Sekilas, Jan
bagaimana The Art of Farming menjelaskan diferensiasi sosial di perdesaan, dan kedua
Douwe van der Ploeg juga melihat bahwa urbanisasi bisa mempengaruhi keseimbangan rumah
tentang analisis mikro Chayanov yang kurang tajam dalam melihat ketimpangan struktural
tangga tani dalam memenuhi tenaga kerja keluarga. Keseimbangan ini sangat bergantung
diantara kaum tani.
pada repertoar kultural tentang seberapa pentingkah tenaga kerja yang pindah ke kota kembali
Diferensiasi Sosial di Perdesaan
ke desa dan meningkatkan reproduksi pertanian (hal. 82). Sayangnya, harus diakui bahwa konsep
Jan Douwe van der Ploeg dalam bukunya The Art of Farming menilai bahwa diferensiasi sosial di perdesaan muncul karena daya taksir atas keseimbangan unit usaha tani telah didominasi
repertoar kultural masih lemah karena sulit terbukti mampu mengerem laju perpindahan tenaga kerja produktif dari desa ke kota.
220
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
Kedua adalah relasi pengolahan dan pema-
pertanian. Akubatnya hasil panen pun turun
saran pangan di mana petani hanya dilibatkan sebagai pemasok sumber daya mentah untuk
drastis dan menyisakan pemogokan kerja di mana pun oleh anggota koperasi (hal. 86). Melalui
industri pangan dunia. Didalam memasarkan komoditas taninya, satu rumah tangga petani
contoh itu, maka intervensi negara terhadap kaum tani merupakan pemicu besar munculnya
sangat bergantung pada harga panen yang telah dimonopoli struktur industri pangan. Di sini, Jan
diferensiasi sosial perdesaan. Keempat, relasi antara pertumbuhan agraria
Douwe van der Ploeg menyinggung peran kooperasi untuk menciptakan kembali prinsip
dan demograf i. Relasi ini mencoba untuk menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk,
komunalitas antar rumah tangga petani. Prinsip ini mengandaikan sebuah kerjasama untuk
konsumsi pangan, tidak sebanding dengan pertumbuhan lahan produktif pertanian.
menciptakan norma yang mengatur hubungan produsen dan konsumen.
Ketimpangan ini menhancurkan pasokan pangan nasional, pun dengan pasokan pangan rumah
Ketiga adalah relasi negara dengan kaum tani. Konsep negara dalam buku The Art of Farming
tangga. Rumah tangga di perdesaan tidak mampu mencukupi pangan karena tidak memiliki sarana
ini tergambar jelas sebagai,
mereproduksi lahan pertanian (hal. 88). Walau dipaparkan dengan singkat, tradisi Chayanovian
“Entitas yang mencerminkan dan mengatur –baik langsung ataupun tidak langsung– relasi perekonomian kota dan desa, relasi antara pasar dan produsen primer, maupun hubungan antara petani, pedagang dan pengolahan pangan. Namun, lebih dari itu, negara juga memiliki kekuatan otonom yang mampu memaksakan rekam jejak mereka dalam dinamika perdesaan,” (Jan Douwe van der Ploeg 2013, 84). Relasi antara negara dan kaum tani seringkali muncul untuk menyeimbangkan antara kepemilikan lahan dan proses produksi. Salah satu contohnya adalah kebijakan reforma agraria untuk mendistribusikan lahan dan juga revolusi hijau yang disebutkan oleh Jan Douwe van der Ploeg sebagai pemicu ketidakseimbangan penaksiran petani terhadap sumber daya eksternal mereka. Dengan membawa tradisi Chayanovian, Jan Douwe van der Ploeg juga memberikan contoh tentang koperasi di Peru bagian utaram. Koperasi lahir pada rentang tahun 1972 karena serikat buruh menyerbut tanah milik tuan tanah dan membangun koperasi. Hingga tahun 1976, koperasi buruh tani itu berjaya sampai akhirnya negara mengambil alih kendali manajerial koperasi dengan diserahkan kepada insinyur
mencoba untuk melihat bahwa kelangkaan akses petani terhadap sumber agraria tidak semata-mata disebabkan oleh salah taksir keseimbangan rumah tangga petani melainkan karena persoalan struktural. Hanya saja, elaborasi yang singkat oleh Jan Douwe van der Ploeg pada bagian ini (hal. 87-88) justru membuatnya tetap mengamini diferensiasi demograf i dalam tradisi Chayanovian. Bagi Chayanov, ketidakadilan petani tercermin oleh siklus demograf i rumah tangga yang dirunut dari keseimbangan tenaga kerjakonsumen di mana jumlah tenaga kerja usia produktif harus lebih besar untuk mencukupi kebutuhan pangan usia non produktif (Bernstein 2011, 59). Dengan demikian, konsep diferensiasi sosial dalam tradisi Chayanovian menyimpan dua asumsi. Pertama, fragmentasi terjadi diantara kaum tani dan kekuasaan eksternal. Analisa ini mengasumsikan bahwa rumah tangga petani, sejauh penyediaan tenaga kerja berasal dari keluarga dan memiliki formasi kapital sederhana, adalah satu entitas. Analisa Chayanov ini tajam dalam melihat diferensiasi sosial di luar kaum tani, namun lemah melihat dinamika kelas kaum tani.
Ciptaningrat Larastiti: Mampukah Petani Memberi Makan Dunia?...: 215-224
221
Kaum tani dianggap tunggal bila pengorga-
Jan Douwe van der Ploeg ini memiliki tantangan
nisasian tenagakerjanya sama. Anggapan ini tentu bias kelas pada mereka yang disebut sebagai
besar untuk menjelaskan ketimpangan sosial di kawasan perdesaan Asia Tenggara. Kaum tani
petani pemilik, bukan petani gurem yang menyewa tanah ataupun buruh tani. Kesenjangan
tidak bisa dilihat tunggal, Wiradi (2001) menyebut bahwa mayoritas perdesaan di Indonesia terdiri
ini pun menyejarah. Aass (menyadur Vink [1942] 1984), dalam esainya tentang relevansi teori
dari pemilik-penggarap murni, penyakap murni, petani tak punya tanah tapi menggarap tanah
Chayanov di Jawa, menyebutkan bahwa gagasan diferensiasi geograf is Chayanov makin tidak
milik orang lain dengan bagi hasil ataupun sewa, dan buruh tani tanpa lahan garapan. Jumlah lahan
relevan seiring dengan melemahnya kekuasaan komunitas atas tanah. Pelemahan ini ditandai
pun tidak bisa diasumsikan tak terbatas, namun dibentuk oleh struktur penguasaan agraria
oleh dua periode pengaturan tanah dan tenaga kerja pada masa kolonial yakni tanam paksa (1830)
dengan penguasaan formal dan penguasaan efektif dan operasional yang rumit (Wiradi 2001).
dan perundangan tanah (1870) yang membuka sistem penguasaan tanah berbasis partikelir.
Seiring dengan laju politik konsesi dan kehutanan politis, kawasan yang belum digarap petani (baca:
Periode kolonisasi melalui tanam paksa, mengambil “waktu luang” dari produktif itas dari
lahan terlantar-idle land [Peluso dan Vandeergeest 2011) dianggap sebagai kawasan hutan negara,
“kerja musiman” petani Jawa saat membera tanahnya agar dipaksa ditanami komoditas
akses petani terhadap tanah menjadi makin kecil. Oleh karenanya, kajian tentang pertanian petani
tertentu untuk surplus kolonial Eropa (Godelier [1968] dalam Aass 1984).
perlu berhati-hati dengan pemahanan Chayanov tentang,
Asumsi kedua, Jan Douwe van der Ploeg menyakini bahwa diferensiasi sosial petani juga
“petani mengolah lahan di mana pertanian kapitalis tidak menapakinya, membuka lahan marjinal dan mengolahnya menjadi subur .... bagi perusahaan kapitalis, memperbaiki lahan marjinal adalah hal yang tidak menguntungkan ... sementara bagi petani mekanisme itu justru memungkinkan mereka mengakses tanah untuk diolah,” (Chayanov dalam Jan Douwe van der Ploeg 1988, 80).
terjadi karena petani tidak bisa mengakses sarana produksi untuk membudidayakan lahan lantaran kemampuan menaksir keseimbangan terceraiberai oleh intervensi pasar dan negara. “Tierra sin branzos y brazos sin tierra” (tanah tanpa tangan untuk bekerja dan tangan tanpa tanah), sebuah penggambaran situasi tragis orang Peru untuk menunjukkan keterbatasan sarana produksi dan tenaga kerja petani untuk menggarap lahan garapan yang tak terbatas jumlahnya. Bagi generasi ekonomi politik agraria, anggapan ini timpang lantaran diferensiasi sosial petani terjadi seiring dengan pemagaran-pemagaran lahan yang mentransformasi hubungan manusia dan alam melalui proses komodifikasi. Artinya, tenaga kerja manusia berubah menjadi tenaga kerja upahan seiring dengan penciptaan komoditas atas sumber-sumber agraria. Analisa Chayanovian yang diterangkan oleh
Sulit untuk membayangkan bahwa petani bisa dengan mudah menguasai lahan garapan di tengah struktur penguasaan agraria yang timpang. Alih-alih demikian, apa yang disebut petani justru mengalami diferensiasi sosial sangat tajam lantaran akses terhadap tanah kian kompetitif. Melalui data statistik distribusi tanah di sepuluh desa di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur, Wiradi (1984, 302-311) menunjukkan jumlah petani penggarap tanpa tanah milik dengan buruh tani tanpa tanah garapan dan tanah milik yang meningkat berasosiasi pada kemiskinan rumah tangga petani.
222
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
Walau demikian buku ini setidaknya
pembaharuan produksi pertanian yang adaptif
menggarisbawahi tema-tema yang disenangi tradisi Chayanovian tentang peminggiran kaum
terhadap petani. Intensifikasi merupakan proses memproduksi peningkatan hasil panen dimana
tani. Satu diantaranya merupakan kajian tentang dampak Revolusi Hijau. Tentang Revolusi Hijau,
Chayanov menyakini bahwa intensitas kerja pertanian petani dianggap lebih tinggi dibanding
Jan Douwe van der Ploeg mencatat bahwa mekanisasi input pertanian dengan mengandal-
perusahaan pertanian kapitalis (hal. 90). Intensif ikasi ini memiliki konsep dasar sebagai
kan pada rejim ilmu pengetahuan dan industrialisasi pertanian memiliki dampak fatal terhadap
interaksi antara tiga elemen yakni kekuatan tenaga kerja, obyek kerja dan instrumennya. Proses kerja
intensifikasi unit usaha tani yang didorong oleh tenaga kerja keluarga. Bagian berikutnya menje-
terdiri dari curahan kekuatan tenaga kerja dengan instrumen kerja mengubah obyek kerja
laskan Revolusi Hijau merupakan penantang utama bagi usaha kaum tani untuk “memberi
seperti tanah, benih atau binatang ternak menjadi barang yang memiliki nilai guna atau nilai tukar
makan dunia.” Jan Douwe van der Ploeg menyandingkan dua bentuk intensif ikasi, intensif ikasi
(hal. 92). Tarik ulur antara ketiganya menjadi analisa bagiamana proses intensif ikasi itu
yang didorong oleh pengerahan tenaga kerja keluarga dan intensif ikasi yang didorong oleh
digerakkan, apakah didorong tenaga kerja atau mekanisasi instrumen pertanian?
mekanisasi pertanian, sebagai analisisnya.
Jan Douwe van der Ploeg menjelaskan bahwa, sebagai ruh dari unit usaha tani, intensif ikasi
Mengandaikan Intensif ikasi Unit Usaha Tani
yang didorong oleh tenaga kerja membutuhkan lima mekanisme. Pertama adalah jumlah curahan
Di mata Jan Douwe van der Ploeg, sejarah unit usaha tani merupakan sejarah intensifikasi yang berlangsung terus menerus. Intensifikasi yang ia maksud memiliki konotasi berlawanan dengan intensifikasi pertanian oleh Revolusi Hijau. Di sini, semangat co-produksi petani menjadi lawan bagi semangat modernitas pertanian untuk menaklukkan alam demi syarat akumulasi keuntungan pertanian kapitalis. Jan Douwe van der Ploeg memberi contoh kebalikan dari keduanya melalui fenomena tentang motorisasi pertanian. Salah satunya adalah teknologi penyiangan rumput yang dibangun oleh laboratorium industri bertujuan untuk mengefisiensikan jumlah tenaga kerja. Sementara teknologi penyiangan didesain oleh petani bertujuan untuk menyerap jumlah anggota keluarga yang bekerja (hal. 114). Contoh lain yang juga digunakan adalah penggunaan pupuk kandang versus pupuk kimia (hal. 117). Dengan demikian, mengandaikan intensif ikasi unit usaha tani sama dengan mengandaikan
tenaga kerja dan instrumen pertanian per obyek kerja atau per luasan lahan. Semakin besar jumlah tenaga kerja dan dorongan kerja optimal yang dikeluarkan per satu hektar lahan, maka pertanian itu menjadi semakin intensif. Kedua, unit usaha tani membutuhkan penaksiran yang pas terhadap co-produksi manusia dan faktor-faktor pertumbuhan alamiah dari obyek kerja. Pada titik ini, unit usaha tani perlu membuktikan bahwa pengetahuan petani terhadap adaptasi lingkungan dan praktik bertani jauh lebih efektif untuk meningkatkan panen dibanding rejim rekayasa genetika yang melipatgandakan produksi panen. Ketiga adalah reproduksi pertanian dengan melakukan perbaikan-perbaikan sumber daya alam seperti pemupukan, pembuatan terasering dan sebagainya. Keempat adalah pembaharuan produksi (novelties) yang harus selalu diujicobakan oleh petani sendiri. Salah satu contoh pembaharuan produksi yang dianggap Jan Douwe van der Ploeg radikal antara lain sys-
Ciptaningrat Larastiti: Mampukah Petani Memberi Makan Dunia?...: 215-224
223
tem of rice intensif ication (SRI) (hal. 99). SRI
Agraria. Namun, keduanya juga perlu dibaca lebih
merupakan salah satu inovasi yang lahir jauh dari intervensi arus utama laboratorium tani dunia.
utuh, lantaran satu sama lain membawa dua tradisi berbeda: Jan Douwe van der Ploeg secara
SRI menyediakan alternatif pengetahuan dimana setiap tahapan budidaya padi ini justru terlihat
terang-terangan menyebut Chayanovian Manifesto sementara Bernstein juga dengan tegas
kontraproduktif. “Di dalam praktiknya, SRI membutuhkan penanaman benih padi muda,
memposisikan diri dalam kajian ekonomi politik agraria yang sangat dipengaruhi Lenin.
memberi jarak cukup luas antar anakan padi, selang seling antara lahan basah dan lahan kering,
Terlepas dari beberapa konsep keseimbangan yang sering diperdebatkan, mengkaji kembali
menggunakan pupuk organik dan menyiangi lahan lebih rutin,” (hal. 100). Mekanisme kelima
Chayanov masih menyimpan relevansi yang tinggi. Pertama, akademisi perlu berendah hati
adalah perhitungan finansial yang spesifik untuk mengoptimalkan produksi. Di sini petani
untuk melakukan penelitian empiris mengenai dinamika unit usaha tani di level mikro. Kedua,
berjuang keras untuk mengurangi serendah mungkin input produksi demi meningkatkan
kayakinan Chayanov terhadap pemilikan dan penguasaan tanah untuk unit usaha tani skala
penghasilan tenaga kerja (hal. 101). Kelima mekanisme intensif ikasi yang
kecil bisa dianggap sebagai prinsip yang lebih ef isien dibanding usaha-usaha skala besar yang
didorong tenaga kerja ini digerakkan oleh keinginan dan motivasi petani untuk memperoleh
seringkali penuh konflik perampasan tanah. Ketiga, Chayanov membangun tradisi bahwa
penghasilan tenaga kerja yang lebih baik. Melalui motivasi itu, unit usaha petani memiliki performa
reforma agraria tidak sekedar distribusi tanah skala kecil, tetapi perlu disertai dengan pengadaan
yang jauh lebih baik dibandingkan pertanian kapitalis. Maka, mampukah petani memberi
input pertanian serta mobilisasi tenaga kerja keluarga untuk melanjutkan proses produksi
makan dunia? Ya mereka mampu (hal. 122), demikian tulis Jan Douwe van der Ploeg tegas.
pertanian.2
Mereka adalah petani pengorganisasian tenaga kerja keluarga dan kepemilikan tanah yang dilindungi oleh negara. Artinya, unit usaha tani keluarga dipercaya memperoleh peruntukkan lahan garapan lebih besar dari pada perusahaan kapitalis. Namun, petani tidak hanya membutuhkan syarat itu, mereka juga perlu memperbaiki formasi kapital sederhana seperti cangkul, ternak, lumbung untuk menambah pendapatan tenaga kerja pertanian alih-alih akumulasi kapital. Optimisme ini merupakan hal mendasar yang ingin diangkat dalam Seri Kajian Petani dan Perubahan Agraria. Sebagai seri kedua, The Art of Farming ini memberi nuansa yang jauh berbeda dari buku sebelumnya oleh Henry Bernstein (2015) yakni Dinamika Kelas dalam Perubahan
Daftar Pustaka Aass, S 1984, Relevansi Teori Makro Chayanov untuk Kasus Pulau Jawa dalam Dua abad penguasaan tanah: pola penguasaan tanah pertanian di Jawa dari masa ke masa, Tjondronegoro dan Wiradi (eds.), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia Bernstein, H 2006, ‘ Is there an agrarian question in the 21st century?’ dalam Canadian Journal of Development Studies 27: 4, hal. 449460. Bernstein, H 2009, V.I. Lenin and A.V. Chayanov, ‘Looking Back, Looking Forward’ dalam The Journal of Peasant Studies 36: 1, hal. 55-81. 2
Ketiga saran ini terinsipirasi dari hasil diskusi dengan Gunawan Wiradi pada pertengahan Oktober 2015 di Kantor Sajogyo Institute.
224
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
Bernstein, H 2015, Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria, Yanuardy dkk (terj.), Yogyakarta: Insist Press Peluso, Nancy Lee dan Peter, V 2011, ‘Political Ecologist of War and Forest: Counterinsurgencies and the Making of National Natures’ dalam Annals of the Association of American Geographers 101:3, hal. 587-608. Wiradi, G 1984, ‘Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria’ dalam Dua Abad Penguasaan Tanah: pola Pegnuasaan Tanah Pertanian di Jawa dari masa ke Masa. Tjondronegoro dan Wiradi (eds.). Jakarta, Yayasan Obor Indonesia Wiradi, G 2001. Struktur Penguasaan Tanah dan Perubahan Sosial di Perdesaan Selama Orde Baru: Perdebatan yang Belum Selesai. Makalah dalam “Seminat tentang Pembaharuan Agraria” oleh Panitia Ad Hock II Badang Pekerja MPR-RI dan Universitas Pajajaran Bandung.