Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
MAKNA UNGKAPAN DALAM ADAT PROSESI PENGISLAMAN (PATOBA) PADA MASYARAKAT BAJO DI DESA BONTUBONTU KECAMATAN TOWEA KABUPATEN MUNA WA ODE NARTI
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini mengenai makna ungkapan yang terdapat dalam adat prosesi pengislaman pada masyarakat Bajo. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah makna ungkapan yang terdapat dalam adat prosesi pengislaman pada masyarakat Bajo Di Desa Bontu-bontu Kecamatan Towea. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dan menganalisis makna ungkapan yang terdapat dalam adat prosesi pengislaman pada masyarakat Bajo. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Data yang digunakan adalah data lisan. Sumber data yaitu informan dari tokoh adat yang mengetahui ungkapan adat pengislaman (dipatoba) pada masyarakat Bajo Di Desa Bontu-bontu Kecamatan Towea. Teknik pengumpulan data adalah teknik wawancara (interview), dan teknik simak catat. Teknik analisis data adalah teknik deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan semiotik. Hasil penelitian dalam pembahasan makna ungkapan pengislaman (dipatoba) pada masyarakat Bajo misalnya (1) Kata daruana dinda yang memiliki arti orang tua perempuan (ibu) ibaratkan pengganti Nabi Muhammad Saw dan Kata daruana pappu yang memiliki arti orang tua laki-laki (Ayah) ibarat pengganti Allah Swt. kata tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam pengislaman (patoba) untuk tunduk, patuh, dan takut terhadap orang tua perempuan dan orang tua laki-laki (ayah) karena mereka telah merawat kita dari sejak kecil sampai dewasa. (2) Kata daruana malaika yang memiliki arti pengganti malaikat dan Kata daruana mukmin yang memiliki arti pengganti mukmin kata tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam pengislaman (patoba) seorang adik harus senantiasa menghargai, menghormati, serta menuruti perintah kakaknya sebab hal itu merupakan pencerminan jika ia menghormati dan mengakui malaikat ciptaan Allah SWT. begitupun juga dengan kakak harus menyayangi dan menghormati adik atau yang seusia dengan adik. Dan selalu bertingkah laku yang baik dimata keluarga maupun dimata masyarakat sehingga dalam pergaulannya tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri keluarga bahkan dilingkunngan masyarakat. serta akan mematuhi segala aturan-aturan yang diperintahkan oleh Allah Swt dan menjauhi segala larangan-Nya dan tidak ada yang lain disembah selain kepada Allah Swt.
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan budaya yang tersebar diseluruh nusantara. Yang masing-masing daerah memiliki kebudayaannya tersendiri. Untuk mengenal kebudayaan suatu daerah dapat ditempuh dengan berbagai cara. Salah satu diantaranya adalah dengan mempelajari bahasa dan sastranya. Sastra daerah pada dasarnya meliputi (1) sastra lisan dan (2) sastra tulisan. Sastra lisan dikenal sebagai salah satu warisan budaya daerah yang turun temurun berkembang dalam masyarakat
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
pendukungnya secara lisan, sedangkan sastra tulisan disampaikan melalui tulisan sebagai lanjutan dari sastra lisan (Rusyana dalam Harudin dkk, 2007:341). Pelaksanaan tradisi patoba (pengislaman) dipandang sangat penting. Melalui upacara prosesi patoba anak-anak dinasehatkan agar memiliki sopan santun dan akhlak yang mulia berdasarkan norma-norma agama islam. Karena tradisi ini sangat berkaitan erat dengan ajaran nasihat yang ada dalam kehidupan manusia baik didunia maupun diakhirat. Karena itu, patoba ini merupakan suatu upaya untuk melakukan beberapa perintah yang sangat penting. Dengan melalui ajaran dan doa yang diharapkan kelak dapat memberikan petunjuk kejalan yang benar demi keselamatan dunia akhirat. Maka dari itu, patoba berfungsi sebagai alat pendidikan dalam rangka mencapai kedewasaan. Masyarakat di Desa Bontu-bontu Kecamata Towea Kabupaten Muna, sebagian besar menggunakan bahasa Bajo. Masyarakat Bajo yang pada kenyataanya memiliki budaya yang tercipta dari budaya sebelumnya namun, memiliki budaya berbeda dengan daerah lain yang ada di Nusantara. Masyarakat Bajo merupakan suatu masyarakat yang hidup dengan mendasarkan pada nilai-nilai adat istiadat, yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka, diman nilai-nilai itu dipatuhi oleh seluruh masyarakat baik dalam kehidupan social budayanya maupun dalam pengelolaan sumber daya alam. Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah makna ungkapan yang terdapat dalam adat prosesi pengislaman pada masyarakat Bajo Di Desa Bontu-bontu Kecamatan Towea ? Tujuan Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis makna ungkapan yang terdapat dalam adat prosesi pengislaman masyarakat Bajo di Desa Bontu-bontu Kecamatan Towea. KAJIAN PUSTAKA Konsep Kebudayaan Kata kebudayaan berasal dari kata buddhayah dalam bahasa sansekerta berarti akal, kemudian menjadi kata buddhi, (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia. Konsep Foklor Istilah foklor diambil dari folklore paduan dari bentuk asal folk dan lore. Folk dapat diartikan ‘rakyat’, ‘bangsa’, atau ‘kelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan’. Tegasnya, penanda ini dapat berupa kesamaan bahasa, mata pencarian, kepercayaan, warna kulit, dan bentuk rambut. Ciri yang terpenting dan terutama adalah bahwa mereka mempunyai tradisi yang dirasakan sebagai milik bersama. Kesadaran bersama akan identitas sendiri juga termaksud ciri khas
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
kelompok masyarakat itu. Lore adalah adat dan khazanah pengetahuan yang diwariskan turun-temurun lewat tutur kata, melalui contoh, atau perbuatan. Dengan kata lain, secara umum foklor dapat diberi makna ‘bagian kebudayaan yang tersebar dan diadatkan turun-temurun dengan cara lisan atau dalam bentuk perbuatan’. Dalam karya sastra, tradisi lisan itu antara lain berupa peribahasa, teka-teki, dan cerita rakyat (mitos, legenda, dan dongeng). (Sugono, 2003: 169). Konsep Tradisi Lisan Pembicaraan tradisi lisan dimulai dari konsep folklor. Tradisi lisan dapat diartikan sebagai kebiasaan atau adat berkembang dalam suatu komunitas masyarakat yang direkam dan diwariskan dari generasi kegenarasi melalui bahasa lisan. Dalam tradisi lisan terkandung kejadian-kejadian sejarah, adat istiadat, cerita dongeng, pribahasa, lagu, mantra, nilai moral, dan nilai keagamaan. Dalam tradisi lisan, peranan orang yang dituakan seperti kepala suku atau ketua adat sangat penting. Mereka diberi kepercayaan oleh kelompoknya untuk memelihara dan menjaga tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Menurut Sibarani (2012-123) tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi yang lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan. (non verbal). Didalam hubungan penulisan sejarah, yang dimaksud dengan tradisi lisan secara umum adalah segala macam keterangan lisan dalam bentuk laporan tentang sesuatu hal yang terjadi pada masa lampau (Vasina dalam Hutomo, 1991: 19). Konsep Sastra Secara etimologi atau asal usulnya, istilah kesusastraan berasal dari bahasa sansekerta, yakni susastra. Su berarti ‘bagus’ atau ‘indah’. Sastra berarti ‘buku’, ‘tulisan’, atau ‘huruf’. Dengan demikian, susastra tulisan yang bagus atau tulisan yang indah. Adapun imbuhan ke – an pada kata kesusastraan berarti, segala sesuatu yang berhubungan dengan (tulisan yang indah). Istilah kesusastraan kemudian diartikan sebagai tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dalam bahasa indah (Kokasih, 2012: 1). Secara umum sastra dibangun oleh dua unsur yang paling mendasar yaitu unsur etik dan estetik. Karena adanya kedua unsur inilah, sastra menjadi sebuah bentuk yang bernilai rasa tinggi. sastra terbentuk dari manusia dan kepada manusia pulalah hasil dari sebuah karya sastra akan dikembalikan untuk dinilai, dinikmati, dirasakan, diapresiasikan, dan lain sebagainya. Konsep Sastra Lisan Pengertian Sastra Lisan Istilah sastra lisan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris oral literatur. Sastra lisan adalah kesusatraan yang mencakup ekspresi kesusatraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dari mulut ke mulut (Danandjaja dalam Rahmawati, 2014: 9). Sastra lisan tersebar dari mulut ke mulut, anonim, dan menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Pendapat ini senada dengan pendapat Teew (dalam Rahmawati, 2014: 10). Yang memberikan pemahaman bahwa karya
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
sastra lisan tersebut berkembang dari mulut ke mulut. Hal ini berarti bahwa karya tersebut berkembang melalu komunikasi. Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dari mulut ke mulut Danandjaja (dalam Murniah dkk, 2008: 340). Jenis Sastra Lisan Sastra lisan sebagai hasil kesusastraan masyarakat yang telah hadir ditengahtengah masyarakat sejak zaman lampau secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : a. Sastra lisan yang murni, yaitu sastra lisan yang benar-benar dituturkan secara lisan. Hal ini terdapat pada sastra lisan yang berbentuk prosa murni seperti dongeng, cerita rakyat dan lain-lain.selain itu, ada juga yang berbentuk prosa liris yang penyampaiannya dinyanyikan atau dilagukan. Dalam puisi berwujud nyanyian rakyat seperti pantun, syair, tembang anak-anak, ungkapan tradisional, teka-teki berirama, dan lain-lain. b. Sastra lisan yang setengah lisan, yaitu sastra lisan yang penuturannya dibentuk-bentuk seni lain, misalnya sastra ludruk, sastra ketoprak, sastra wayang, dan lain-lain. Hutomo (dalam Safitri dkk, 2007: 232). Fungsi Sastra Lisan Menurut Horace (dalam Uniawati. 2006: 9) merumuskan fungsi sastra dengan ungkapan padat yaitu dulce it utile yang berarti menyenangkan dan berguna. Sifat menyenangkan dalam karya sastra dimaksudkan bahwa karya sastra itu menarik minat dan perhatian serta tidak menimbulkan kejenuan dan rasa bosan pada diri penikmatnya. Sifat berguna diartikan, bahwa karya sastra itu memiliki fungsi dan dapat memberikan manfaat bagi pemenuhan kebutuhan batin penikmatnya dan bukan hanya sekedar pengisi waktu senggang. Ciri- Ciri Sastra Lisan Selain memiliki fungsi, untuk mengetahui ciri-ciri sastra lisan, diperlukan pemahaman khusus. Menurut Rahmawati (2014: 12) sastra lisan memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Penyebarannya dari mulut kemulut, maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan, baik dari segi waktu maupun ruang; b. Lahir didalam masyarakat yang masih bercorak desa; c. Menggambarkan ciri-ciri budaya suatu masyarakat, sebab sastra lisan itu merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan sosial); d. Tidak diketahui siapa pengarangnya, dan karena itu ia menjadi milik masyarakat; e. Bercorak puitis, teratur dan berulang; f. Tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan yang tidak diterima masyarakat moderen; g. Terdiri dari berbagai versi. Konsep Makna
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
Kridalaksana (2008: 128) menjelaskan bahwa makna adalah (a) maksud pembicara, (b) pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia, (c) hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukan, (d) cara menggunakan lambang-lambang bahasa. Odgen dan Richards (dalam Rahmawati, 2014: 19) memberikan definisi mengenai makna sebagai berikut: (1) suatu sifat intrinsik, (2) suatu hubungan yang khas yang tidak teranalisis dengan hal-hal atau benda-benda lain, (3) konotasi suatu kata, (4) suatu esensi, intisari atau pokok, (5) suatu kegiatan yang diproyeksikan kedalam suatu obyek, (6) emosi yang ditimbulkan oleh sesuatu, (7) tempat atau wadah sesuatu dalam suatu sistem, (8) konsekuensi-konsekuensi praktis suatu hal atau benda dalam pengetahuan masa depan kita, (9) konsekuensi-konsekuensi teoretis yang terlibat atau terkandung dalam suatu pernyataan. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa makna adalah maksud atau pengertian yang disampaikan oleh penutur kepada penutur melalui seperangkat bunyi atau simbol sebuah bahasa sesuai dengan aturan dan kesepakatan kebahasaan. Konsep Ungkapan Pengertian Ungkapan Ungkapan merupakan perkataan yang dikenal oleh masyarakat secara turuntemurun dengan makna dan simbol yang terkandung didalamnya. (Rahmawati 2014: 2). Menurut Kridalaksana (dalam Murniah dkk, 2008: 342) yang dimaksud dengan ungkapan adalah aspek fonologis/grafemis dari unsur bahasa yang mengandung makna. pengertian ini disamakan dengan idiom yaitu konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih dan masing-masing anggota mempunyai makna hanya karena bersama yang lain. Menurut Alwi (dalam Murniah dkk, 2008: 168) ungkapan adalah kelompok kata atau gabungan kata yang menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya seringkali dikaburkan) dan tradisional adalah sikap dan cara berfikir yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun. Dari beberapa pengertian ungkapan di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa dilihat dari segi bentuknya ungkapan dapat berupa kata, kelompok kata, atau kalimat; sedangkan dari segi isinya ungkapan mengandung makna kiasan. Pengertian Ungkapan Tradisional Ungkapan tradisional yang dikenal oleh masyarakat merupakan simbolsimbol yang dipahami oleh masyarakat pemakainya. Pengertian lebih lengkap mengenai ungkapan tradisional ini dikemukakan oleh beberapa orang ahli antara lain, Athaillah (dalam Rahmawati 2014: 13) yang mengemukakan bahwa ungkapan tradisional adalah ungkapan yang dikenal oleh masyarakat pendukungnya. ungkapan tersebut telah berkembang secara turun-temurun dengan makna dan simbol yang terkandung didalamnya bersifat tetap dan hakikat artinya diinterpretasikan sama waktu yang lalu hingga sekarang. Lebih
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
lanjut Gaffar (dalam Rahmawati 2014: 13) mengemukakan bahwa ungkapan tradisional adalah kiasan yang dilahirkan dengan kalimat-kalimat pendek dan menjadi buah bibir orang banyak. Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa ungkapan tradisional adalah perkataan atau sekelompok kata yang dikenal masyarakat secara turun-temurun dengan makna dan simbol yang terkandung didalamnya dengan versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk tutur kata maupun yang disertai contoh perbuatan. Gambaran Umum Tentang Patoba (Pengislaman) Dalam tradisi masyarakat Bajo, pengislaman disebut dengan Patoba. Dalam masyarakat Muna pengislaman disebut dengan Katoba. Patoba dan Katoba memiliki arti yang sama dalam bahasa Indonesia yaitu Pengislaman. Dalam tradisi masyarakat Muna, katoba merupakan bagian dari prosesi pengislaman bagi anak-anak (laki-laki dan perempuan) yang baru beranjak usia dewasa (7-10 tahun). Menurut riwayatnya, tradisi ini telah dimulai sejak zaman pemerintahan raja Muna ke-16 bernama La Ode Abdul Rahman menerima tradisi ini dari salah seorang sufi keturunan Arab bernama Syarif Muhammad yang biasa dikenal pula dengan nama Saidhi Raba (La Niampe, 2008: 1). La Fariki (2010: 3-4) mengatakan bahwa ‘’toba’’ diangkat dari bahasa Arab yang diterjemahkan sebagai ‘’penyesalan’’, yaitu menyesali perbuatan dosa atau perbuatan yang telah merugikan orang lain atau merusak lingkungan alam. Falsafah toba dibangun di atas pemikiran bahwa masyrakat butuh keteraturan. Toba disusun dari serangkaian norma-norma, doktrin-doktrin dan hukum-hukum oleh para ahli hukum secara turun-temurun untuk mengatur pola dan interaksi kehidupan masyrakat mulai dari anak dengan orang tua, dengan sesama dan bahkan dengan lingkungan alam (La Fariki, 2010: 4). Upacara Patoba pada Masyrakat Bajo dilaksanakan secara perseorangan dan dapat pula dilaksanakan secara kolektif (antar keluarga dalam satu rumpun), tergantung dari hasil kesepakatan dan kemampuan ekonomi orang tua atau rumpun keluarga tersebut. Upacara Patoba dapat dilaksanakan semeriah mungkin, namun dapat pula dilaksanakan sesederhana mungkin.Yang terpenting adalah hadirnya empat unsur pokok; tokoh agama merangkap tokoh adat (penutur patoba), anak yang dipatoba (objek tuturan), dan keluarga terdekat yang bertindak sebagai saksi pelaksanaan prosesi patoba. Patoba merupakan salah satu tradisi pada masyrakat Bajo. Tradisi ini merupakan persiapan mental seorang anak yang akan memasuki usia menjelang dewasa. Mereka anak yang dipatoba yang diberikan bekal dan pengetahuan bagaimana memperlakukan orang tua, dan saudara-saudaranya serta perilaku dalam lingkungannya sebagai pengalaman ajaran agama. Disamping itu, juga yaitu diberikan petuah-petuah atau nasihat bagaimana menjauhi larangan-larangan menurut agama. Semua itu dilakukan dalam upaya menjadikan anak menjadi manusia berguna dan tidak menjadi manusia yang sia-sia.
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
Dalam prosesi patoba pula, seorang anak mendapatkan perlakuan yang sama dan diberikan keistimewaan dalam pakaian adat yang paling bagus tergantung dari kesepakatan atau kemampuan ekonomi keluarga anak tersebut. Setelah melalui prosesi ini barulah dinyatakan sah memeluk agama Islam terutama belajar membaca kitab suci Al-Qur’an dan belajar melaksanakan sholat wajib serta belajar adat terutama diawali dengan mendengarkan nasihat atau ajaran dari kedua orang tua. Upacara adat patoba pada masyarakat Bajo dapat dilaksanakan oleh sebuah rumah tangga dan dapat pula dilaksanakan secara kolektif (antar keluarga dalam satu rumpun), tergantung hasil kesepakatan dan kemampuan ekonomi orang tua mungkin dengan menggunakan berbagai macam peralatan modern sebagai hiburan kepada segenap tamu undangan. Peralatan modern yang dimaksudkan disini misalnya, elekton, band, dan CD/DVD paket dengan TV. Akan tetapi, terlepas dari meriah atau sederhananya suatu upacara yang terpenting adalah hadirnya empat unsur pokok; tokoh agama merangkap tokoh adat (penutur patoba), anak yang patoba (objek tuturan), dan keluarga terdekat yang bertindak sebagai saksi pelaksanaan prosesi patoba. Pendekatan Semiotik dalam Menelusuri Sebuah Karya Sastra Untuk memahami makna dalam pengislaman adat Bajo dalam penelitian ini menggunakan pendekatan semiotik. Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti ‘’tanda’’.Semiotik (semiotika) adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tentang tanda-tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya semua yang hadir dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberikan makna. Semiotika adalah ilmu yang memfokuskan kajiannya pada penggunaan simbol-simbol dan maknanya Leech (dalam Aderlaepe, dkk 2006: 8).Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain-lain. Konsep Pembelajaran Sastra karya sastra merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya (Jabrohim, 2012). Sastra merupakan cermin kehidupan masyarakat pendukungnya, bahkan sastra menjadi ciri identitas suatu bangsa (Anderlaepe, 2006). Karya sastra adalah bentuk kreatifitas dalam bahasa yang indah berisi sederetan pengalaman batin dan imajinasi yang berasaal dari penghayatan realitas sosial pengarang. Karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Pada hakikatnya pengajaran sastra adalah menciptakan situasi siswa membaca dan merespon karya sastra serta membicarakan secara bersama dalam kelas (Dirgantara, 2012: 48). inilah yang perlu menjadi bahan renungan sebagai dasar untuk mempersiapkan pembelajaran sastra di kelas. Pembelajaran sastra adalah pembelajaran apresiasi. Metode dan Jenis Penelitian Metode Penelitian
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni menggunakan metode deskriptif kualitatif. Dikatakan deskriptif karena dalam penelitian ini mendeskripsikan data berdasarkan kenyataan-kenyataan secara objektif sesuai data yang ditemukan. Dikatakan kualitatif karena dalam menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan satu sama lain dengan mengguakan kata-kata atau kalimat bukan menggunakan angka-angka statistik. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan. Sebagaimana peneliti lapangan itu adalah suatu bentuk penelitian yang dilakukan dengan cara peneliti turun langsung di lapangan untuk mendapatkan data yang valid mengenai makna ungkapan tradisional dalam adat prosesi pengislaman (patoba) pada masyarakat Bajo.
Data dan Sumber Data Data Data dalam penelitian ini adalah data yang berbentuk bahasa lisan yang berupa tuturan yang dituturkan langsung oleh tokoh adat atau masyarakat Bajo yang mengetahui dan memahami secara detail mengenai ungkapan yang terdapat dalam adat prosesi pengislaman pada masyarakat Bajo di Desa Bontu-bontu Kecamatan Towea Kabupaten Muna. Sumber Data Data dalam proposal ini bersumber dari informan, yaitu masyarakat atau tokoh adat yang mengetahui yngkapan adat prosesi patoba (pengislaman). Peneliti memilih informan dengan kriteria sebagai berikut : 1. Tokoh adat serta penutur asli bahasa Bajo. 2. Msyarakat Bajo yang masih meyakini kebenaran adat prosesi patoba dalam kehidupan sehari-hari. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi lapangan (Field Study), yaitu pengumpulan data secara langsung pada obyek atau lokasi penelitian. Untuk memperoleh data di lapangan digunakan teknikteknik sebagai berikut: a. Wawancara (interview) yaitu dengan mengadakan tanya jawab secara terstruktur kepada informan terpilih. b. Teknik simak catat yaitu teknik yang dilakukan guna memperoleh data dengan cara memperhatikan, kemudian mencatat pembicaraan atau informasi dari informan sebagai data dalam penelitian. Teknik Analisis Data Teknik yang digunakan dalam menganalisis data menggunakan pendekatan semiotik. Kegiatan penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yaitu data yang terkumpul dalam bentuk wawancara, dan simak catat. Selanjutnya guna melakukan
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
transkrip yaitu memindahkan dengan menyalin data lisan menjadi data tertulis dengan menggunakan huruf latin. Selain data transkrip menjadi data tulis, kemudian data diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk proses analisis. Terjemahan dilakukan secara bebas dengan menyesuaikan arti dan makna yang sesuai dan mengerti dari data tersebut. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN hasil penelitian terhadap makna ungkapan dalam adat prosesi pengislaman (patoba) pada masyarakat Bajo di Desa Bontu-bontu Kecamatan Towea yaitu : Data 1 : Pamapporahta aku ma bunda’ang ta memong tikkana ne battuna para anna’ itu nadi patoba. ‘saya minta maaf dihadapan kita sekalian, sekarang sudah tiba saatnya anak- anak untuk patoba’ Maksud kalimat tersebut adalah seorang tokoh adat (imam) meminta dihadapan hadirin (saksi) bahwa anak-anak sudah saatnya untuk diislamkan (patoba). kata Pamapporahta yang artinya maaf merupakan ungkapan yang dituturkan oleh imam atau tokoh adat sebagai kata pembuka dalam acara patoba (pengislaman ). karena kata Pamapporahta yang artinya maaf sebagai kata pembuka bahwa imam atau tokoh adat itu meminta izin dan meminta maaf dengan penuh hormat kepada hadirin agar acara patoba akan segera dimulai. Data 2 : Kame’ simemongna aha’ toadi. ( kami ini adalah orang tuamu). Maksud kalimat yang diucapkan oleh imam atau tokoh adat pada kalimat tersebut yaitu memberitahukan kepada anak-anak yang patoba bahwa semua orang tua yang hadir ditempat ini adalah orang tuamu. Kata kame’ yang artinya kami merupakan ungkapan yang dituturkan oleh imam atau tokoh. Tokoh adat menuturkan kata kame’ (kami) bukan kata saya karena kata kame’ menunjukan semua orang tua yang hadir di tempat ini anggaplah sebagai orang tuamu. Sedangkan jika imam atau tokoh adat menggunakan kata saya menunjukan bahwa hanyadialah (tokoh adat) yang dianggap orang tuanya. Data 3 : Angga di aha toadi mangajampangi kaang, apa’na ahatoai di lilla daruana papu baka ahatoadi dinda daruana nabitta. ( hormatilah kedua orang tua (ayah dan ibu) karena kedua orang tua kalianlah yang bekerja keras yang memberikan kehidupan serta merawat kita sejak kecil sampai dewasa. Karena orang tua laki-laki (Ayah) ibarat pengganti Allah SWT, dan orang tua perempuan (Ibu) ibaratkan pengganti Nabi Muhammad SAW. Maksud kalimat tersebut adalah imam mengajarkan kepada anak-anak yang patoba harus selalu menghormati kedua orang tua (Ayah dan Ibu) karena merekalah yang bekerja keras, memberikan kehidupan kepada kalian, membesarkan serta merawat kalian dari sejak kecil sampai kalian dewasa. Kata daruana dinda yang memiliki arti orang tua perempuan (ibu) ibaratkan pengganti Nabi Muhammad SAW. Kata kalimat tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam pengislaman (patoba) untuk bersikap sopan santun dan selalu menghormati kedua orang tua
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
terutama orang tua perempuan (Ibu) karena dia telah mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh, dan merawat kita dari sejak kecil sampai dewasa. Sangat berdosa jika ada anak yang tidak menghargai atau tidak menghormati ibunya. oleh karena itu, seyogyanya seorang anak harus senantiasa menghargai, menghormati, serta menuruti nasehat ibunya sebab hal itu merupakan pencerminan jika ia menghormati dan mengikuti sunnah Rasullullah Muhammad Saw. Seperti nasihat kepada sang anak dari tokoh adat yang ditunjukan kepada orang tuanya yaitu dimulai dari lingkungan keluarga. Anak-anak dinasihati agar takut pada semua larangan dan patuh pada semua perintah ibu kandung. Didalam keluarga kedudukan ibu diibaratkan sebagai penggannti Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu tidak ada yang dapat menggantikan peran seorang ibu dalam sebuah rumah tangga. Kata daruana pappu yang memiliki arti orang tua laki-laki (Ayah) ibarat pengganti Allah SWT. Dilingkungan keluarga ayah merupakan penguasa tertinggi. Karena itu, sebagai seorang anak sepantasnya takut kepada larangannya, patuh dan tunduk terhadap segala perintahnya, dan wajib menghormatinya. Oleh karena itu kedudukan orang tua laki-laki dimata sang anak adalah sama dengan kedudukan Allah SWT. dalam pemahaman masyarakat Bajo, yang namanya orang tua terlebih itu orang tua kandung (ayah) haruslah dihormati, dihargai, dan didengar amanatnya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan orang tua dan anak merupakan ikatan yang tidak dapat dihapus atau dihilangkan begitu saja. Oleh karena itu, seorang anak harus tahu posisinya sebagai anak agar tidak melakukan hal-hal yang dapat melukai hati dan perasaan orang tuanya. Seorang anak yang tidak lagi menghormati, tidak menghargai dan tidak mendengar nasihat orang tuanya maka ia dapat disebut sebagai anak durhaka dan tidak berterima kasih. Seorang ayalah yang berusaha mencari nafkah hidup keluarga dan keberlangsungan jalannya rumah tangga. Oleh karena itu, seorang anak wajib takut kepada ayah sebab takut kepada ayah itu merupakan gambaran sang anak takut dan patuh kepada Allah SWT dengan segala kuasa dan kebesaran-Nya. Kebiasaan takut dan taat kepada kedua orang tua kandung dalam lingkungan keluarga kemudian diwajibkan bagi sang anak untuk diperhatikan dalam kehidupan lingkungan masyarakat, bukan saja bapak kandung yang harus ditakuti larangannya tetapi berlaku bagi semua laki-laki yang telah berstatus sebagai orang tua. kedua kata tersebut merupakan perumpamaan sebagaimana kita patuh kepada kedua orang tua seperti kita takut kepada Allah SWT. Jadi kita tidak memandang kedua orang tua tersebut sebagai Allah SWT dan Nabi hanya sebagai perbandingan. Data 4 : Dahakang padorake Daha baong ah lamong disoho, lamong dipalao nyanggo’ iya. Apa’na aha toa nema manyalamat kita mallou dampurina. ( tidak boleh lagi bertingkah kurang ajar dan keras kepala kepada orang tua kalian, jangan berkata ah kalau disuruh dan kalau dipanggil menjawab iya. Karena orang tualah yang memberikan keselamatan kepada kita dihari akhir).
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
Maksud kalimat tersebut adalah imam mengajarkan kepada anak-anak yang patoba bahwa tidak boleh kurang ajar dan keras kepala kepada kedua orang tua, tidak boleh berkata ah jika disuruh dan jika dipanggil harus menjawab dengan kata iya. Karena kedua orang tualah yang memberikan keselamatan kita di dunia dan akhirat. Kata Dahakang padorake yang memiliki arti keras kepala. Kalimat tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam adat pengislaman tidak boleh membantah kata-kata kedua orang tua, dan tidak boleh bersikap kasar kepada orang tua, dan jika dipanggil harus menjawab dengan kata iya tidak boleh menjawab kata ah karena itu adalah perbuatan dosa besar. Data 5 : Anggadi danakang di apa’na kka di nema nganjagaang baka manuloh kaang, kka di daruana malaika. (Hormatilah kakak kandungmu karena kakak kandungmulah yang akan menjaga dan suka menolong kalian. Karena kakak kandung ibaratkan pengganti malaikat). Maksud kalimat tersebut adalah imam mengajarkan kepada anak-anak yang patoba harus selalu menghormati kakak kandung mereka karena kakak kandunglah yang menjaga dan melindungi kita. dan kakak kandung ibaratkan pengganti malaikat. Kata di daruana malaika yang memiliki arti pengganti malaikat. Kata pengganti malaikat memiliki makna dalam patoba bahwa seorang kakak, terlebih kakak lakilaki pada dasarnya berperan menggantikan posisi ayah dan ibu jika kedua orang tua meninggalkan rumah atau telah tiada. Oleh karena itu, sepatutnya seorang adik harus senantiasa menghargai, menghormati, serta menuruti perintah kakaknya sebab hal itu merupakan pencerminan jika ia menghormati dan mengakui malaikat ciptaan Allah SWT. Kurang lebih dengan apa yang dipaparkan di atas dimana bukan saja kakak kandung yang harus ditakuti, dihargai, ditaati dan dihormati. Tetapi berlaku bagi semua kakak yang usianya melampaui umur anak yang patoba tersebut. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting demi terwujudnya kasih sayang dan kedamaian antara adik dan kakak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Jadi, anak yang patoba diajarkan untuk mematuhi segala perintahnya, hormat, dan taat dalam menjalankan kebaikan yang disampaikannya. Dalam lingkungan masyarakat Bajo, pemahaman terhadap kakak tidak harus kakak kandung sendiri siapa saja yang lebih tua umurnya dari kita, itulah yang disebut kakak. Mereka itu dianggap sebagai malaikat yang selalu menyampaikan kebaikan. Data 6 : Karimanang di ndi did aha samata lamba’ dilamong marummusya dibaraang pakiala’, apa’na ndi daruana mukmin. Sayangilah adik kandungmu, jangan sering memukulnya, jika dia nakal jangan dimarahi maka nasehatilah dia baik-baik karena adik kandung ibaratkan pengganti mukmin. Maksud kalimat tersebut adalah imam mengajarkan kepada anak-anak yang patoba harus selalu menyayangi adik kandungnya, tidak boleh diganggu dan dipukul, jika adik salah nasehatilah dengan baik-baik karena adik kandung pengganti mukmin. Kata daruana mukmin yang memiliki arti pengganti mukmin. Kata pengganti mukmin tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam adat
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
pengislaman adalah dalam lingkungan keluarga pada maasyarakat Bajo, khususnya dalam pergaulan yang namanya adik kandung ataupun yang bukan adik kandung selayaknya disayangi dan dipelihara. sebagai kakak harus mampu memberikan contoh yang baik kepada adiknya karena seorang adik tentu akan menjadikan kakak sebagai contoh bagi dirinya apabila dimata kakaknya diperlakukan sangat baik. Begitu pula sebaliknya, apabila kakak tidak memberikan contoh yang baik kepada adiknya dan menganggap enteng, dan menumbuhkan rasa kebencian karena merasa diri sebagai kakak, maka adik yang bersangkutan akan menaruh rasa dendam, benci, jengkel, dan tidak bersahabat. Sehingga akan menimbulkan kehidupan yang tidak harmonis, baik dilingkungan keluarga maupun dilingkungan masyarakat. Hubungan keduanya akan menentukan keharmonisan sesama anggota keluarga secara khusus dan sesama anggota masyarakat secara umum. Dalam sebuah keluarga sering terjadi ketidak cocokan antara kakak dan adik yang disebabkan oleh perbedaan pandangan dan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, dibutuhkan saling pengertian dan saling memahami antara kakak dan adik agar tidak terjadi perselisihan yang dapat menimbulkan perpecahan antara keduanya. Diharapkan kakak dan adik dapat hidup saling menyayangi, saling menghormati, dan saling menghargai. Menghargai yang adik berarti telah memberi kasih memelihara harga diri kaum mukmin karena adik itu sama statusnya dengan kaum mukmin. Data 7 : Lamong palabas ma bundaang aha baong tabe. ( kalau lewat dihadapan orang harus berkata permisi ) Maksud ungkapan tersebut adalah imam mengajarkan kepada anak-anak yang patoba bahwa lewat dihadapan orang harus mengucapkan kata permisi. Kata tabe yang memiliki arti permisi. Kata tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam adat pengislaman mengucapkan permisi setiap lewat dihadapan orang. Misalnya ada orang banyak yang sedang berkumpul tiba-tiba kita lewat dihadapanya maka harus mengucapkan kata tabe atau permisi. Jika kita tidak mengucapkan kata tersebut berarti kita dianggap tidak memiliki sopan santun dan berarti anak tersebut dikatakan belum memahami tuturan patobanya. Relevansi Hasil Penelitian dengan Pembelajaran Sastra di Sekolah Pengajaran sastra adalah sebuah sistem yang keberhasilannya ditentukan oleh banyak faktor, seperti kurikulum, guru, buku sumber pembelajaran serta sarana dan prasarana yang terlibat didalamnya. Pembelajaran sastra disekolah pada dasarnya bertujuan agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra, sehingga mereka terdorong dan tertarik untuk mengetahui isi, makna, dan fungsi karya sastra itu sendiri.
PENUTUP
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa makna ungkapan pengislaman (dipatoba) pada masyarakat Bajo di Desa Bontu-bontu Kecamatan Towea adalah sebagai Berikut: misalnya (1) Kata daruana dinda yang memiliki arti orang tua perempuan (ibu) ibaratkan pengganti Nabi Muhammad Saw dan Kata daruana pappu yang memiliki arti orang tua laki-laki (Ayah) ibarat pengganti Allah Swt. kata tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam pengislaman (patoba) untuk tunduk, patuh, dan takut terhadap orang tua perempuan dan orang tua laki-laki (ayah) karena mereka telah merawat kita dari sejak kecil sampai dewasa. (2) Kata di daruana malaika yang memiliki arti pengganti malaikat dan Kata daruana mukmin yang memiliki arti pengganti mukmin kata tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam pengislaman (patoba) seorang adik harus senantiasa menghargai, menghormati, serta menuruti perintah kakaknya sebab hal itu merupakan pencerminan jika ia menghormati dan mengakui malaikat ciptaan Allah SWT. begitupun juga dengan kakak harus menyayangi dan menghormati adik atau yang seusia dengan adik. Dan selalu bertingkah laku yang baik dimata keluarga maupun dimata masyarakat sehingga dalam pergaulannya tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri keluarga bahkan dilingkunngan masyarakat. serta akan mematuhi segala aturan-aturan yang diperintahkan oleh Allah Swt dan menjauhi segala larangan-Nya dan tidak ada yang lain disembah selain kepada Allah Swt. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti menyarankan agar penelitian ini ditindaklanjuti dan menjadi salah satu bahan bacaan generasi muda, mengingat daerah kita saat ini telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Selain itu, perilaku generasi muda yang semakin tidak terkendali, hal tersebut tentunya dapat diatasi dengan menumbuhkembangkan kebudayaan daerah misalnya, makna ungkapan pengislaman.
57
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: ANDI. Anderlaepe, dkk. 2006. Analisis Semiotik Atas Lirik Kantola Sastra Lisan Derah Muna. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Dirgantara, Agus Yuana. 2012. Pelangi Bahasa Sastra dan Budaya Indonesia Kumpulan Apresiasi dan Tanggapan. Garudhawaca. Haruddin, dkk. 2007. Bunga Rampai Hasil Penelitian Bahasa Dan Sastra Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Http:// www. Artikata. Com/arti-365995-pengislaman. Html Jabrohim. 2012. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kridalaksana, Harimurti.2008. Kamus Linguistik. Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. La Fariki. 2010. Sistem Pendidikan ‘’Toba’’ pada Masyarakat Buton dan Muna Sulawesi Tenggara. Kendari: Komunika. La Niampe. 2008. Tuturan Tentang Katoba dalam Tradisi Lisan Muna. Deskripsi Nilai dan Fungsi (Makalah: Disajikan dalam Seminar Internasional Lisan VI Wakatobi). Kendari : Universitas Haluoleo. Murniah,dkk.2008. Bunga Rampai Hasil Penelitian Kesastraan. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Rahmawati, 2014. Ungkapan Tradisional Muna. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Safitri, Sandra dkk. 2007. Bunga Rampai Hasil Penelitian Bahasa dan Sastra . Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Sugono, Dendy. 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Supriyanto, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara. Kendari : Kantor Wilayah Departemen Agama Prov. Sulawesi Tenggara. Uniawati. 2006. Fungsi Mantra Melaut Pada Masyarakat Suku Bajo Di Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875
Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875 E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
Uniawati. 2012. Mantra Melaut Suku Bajo Analisis Semiotik. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara Wahid, Sugira. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra. Makasar: Cv.Berkah Utami. Wicaksono, Andri. 2014. Pengkajian Prosa Fiksi. Garudhawaca.
Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875