MAKNA SUMBANGAN PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen)
Skripsi oleh : HIMBASU MADOKO NIM. K8405001
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
MAKNA SUMBANGAN PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen)
oleh : HIMBASU MADOKO NIM. K8405001
Skripsi Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini Telah Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Surakarta,
Juli 2009
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Drs. Suparno, M.Si NIP. 19481210 197903 1 002
Pembimbing II
Siany Indria L.,S.Ant.,M.Hum NIP. 19800905 200501 2 002
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari
: Jum’at
Tanggal
: 17 Juli 2009
Tim Penguji Skripsi: Nama Terang
Ketua
: Drs. H. MH. Sukarno, M.Pd
Sekretaris
: Dra. Hj. Siti Rochani .CH, M.Pd
Anggota I
: Drs. Suparno, M.Si
Anggota II
: Siany Indria. L, S.Ant., M.Hum
Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd NIP. 19600727 198702 1 001
Tanda tangan
........................
.......................
………………
………………
ABSTRAK
Himbasu Madoko, MAKNA SUMBANGAN PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui dan memahami mengapa sumbangan dalam acara perkawinan menjadi sesuatu yang penting di dalam kehidupan masyarakat, (2) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana masyarakat memaknai sumbangan pada acara pernikahan dalam konteks masa kini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif diskriptif. Sumber data dalam penelitian ini yaitu; (1) Informan atau narasumber, yaitu warga masyarakat dilokasi penelitian serta pihak-pihak yang sedang atau pernah mengadakan acara pernikahan, (2) Sumber data dari peristiwa atau aktivitas, yaitu ketika acara pernikahan dan sistem sumbangan ini dilaksanakan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara mendalam (in depth interviewing) dan observasi secara langsung. Teknik pengembangan validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi data (trianggulasi sumber), trianggulasi metode dan review informan. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif yang meliputi empat komponen yaitu pengumpulan data, reduksi data (reduction), sajian data (display) dan penarikan kesimpulan serta verifikasinya. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Sumbangan pada acara pernikahan memiliki tiga arti penting dalam kehidupan masyarakat Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang Sragen. Ketiga arti penting tersebut adalah, dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat dan melestarian pranata sosial yang telah ada dimasyarakat, dapat membantu pembiayaan pihak yang sedang menyelenggarakan hajat sehingga pelaksanaan acara pernikahan sesuai dengan adat istiadat setempat dapat tetap lestari, serta dapat membentuk, memperkuat dan mempertahankan integritas masyarakat. (2) Dalam konteks masa kini masyarakat Desa Jati sering hanya memaknai sistem sumbangan sebagai suatu kebiasaan masyarakat dan hanya melaksanakan sistem sumbangan dalam rangka untuk memenuhi hubungan timbal baliknya saja tanpa memahami tujuan/maksudnya. Hal ini berpotensi untuk menggeser arti penting sistem sumbangan, atau paling tidak akan mengurangi kadar arti penting dari sistem sumbangan yang telah ada.
ABSTRACT
Himbasu Madoko, THE MEANING OF CONTRIBUTION IN THE PRESENT WEDDING CEREMONY EVENT (A Case Study in Village Jati, Sub district Sumberlawang, Regency Sragen). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, 2009. The objective of research is (1) to find out and to understand why the contribution in wedding ceremony event becomes something important in the society life, (2) to find out and to understand how the society means the contribution in wedding ceremony event in the present context. This research used a descriptive qualitative method. The data source in this study includes: (1) informant or resource, that is, the residents of research location and the people who are conducting or has ever conducted the wedding ceremony event, (2) data source from the event or activity, that is, the wedding ceremony or the contribution system conducted. Techniques of collecting data employed in this study were in depth interview and direct observation. Technique of validating data used was data (source), method triangulations and informant review. Technique of analysing data used was an interactive analysis model encompassing four components: data collection, reduction, display and conclusion drawing as well as verification. Based on the result of research, it can be concluded that: (1) the contribution in the wedding ceremony event has three important meaning in society’s life of Village Jati, Sub district Sumberlawang, Sragen. Those three meanings are: can affect the society’s behaviour and preserve the existing social order within the society, can support the fund spent by the one conducting the event so that the wedding ceremony organization is consistent with the local custom, as well as can establish, strengthen and maintain the society’s integrity. (2) In the present context, the society of Village Jati often means the contribution system only as one of society habits and conducts it only in the attempt of fulfilling the reciprocal relationship without understanding the objective/goal. This can potentially shift the importance of contribution system, or at least will reduce the importance of the existing contribution system.
MOTTO
“Orang yang murah hati dan jujur mengalami masa terbaik dalam hidup mereka dan tidak pernah dibebani oleh kesukaran-kesukaran. Tetapi orang yang penakut selalu curiga dan gelisah terhadap segala sesuatu, dan seseorang yang kikir selalu mengeluh atas hadiah-hadiah yang diberikannya kepada orang lain” ( Havamal dalam Marcel Mauss. 1992: xvii).
“Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai” (AlHadist)
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan Kepada: Bapak dan ibu tercinta Adikku Teman-teman Sos-Ant ’05 Almamater
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitankesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta; 2. Bapak Drs. H. Syaiful Bachri, M. Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta; 3. Bapak Drs. H. MH Sukarno, M. Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Jurusan
Pendidikan
Ilmu
Pengetahuan
Sosial
Universitas Sebelas Maret Surakarta; 4. Bapak Drs. Suparno, M.Si selaku Pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingannya; 5. Ibu Siany Indria. L. S.Ant., M.Hum selaku Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan demi penyempurnaan penulisan skripsi; 6. Ibu Atik Catur Budiati, S. Sos, M.A selaku Pembimbing Akademik terima kasih atas kesabaran dan petunjuk yang diberikan selama peneliti menempuh studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta; 7. Segenap Bapak/Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi yang telah memberikan ilmu kepada peneliti selama di bangku kuliah;
8. Bapak kepala Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen atas izin yang diberikan; 9. Para informan yang telah memberikan pengalaman hidup dan berbagai informasi yang dibutuhkan peneliti; 10. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun disadari dalam skripsi ini masih ada kekurangan, namun diharapkan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Surakarta,
Peneliti
2009
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN .................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................
iv
HALAMAN ABSTRAK ......................................................................
v
HALAMAN MOTTO ...........................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...........................................................
viii
KATA PENGANTAR ...........................................................................
ix
DAFTAR ISI ..........................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xv
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1
B. Rumusan Masalah .................................................................
5
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
5
D. Manfaat Penelitian ................................................................
5
BAB II LANDASAN TEORI................................................................
7
A. Tinjauan Pustaka ...................................................................
7
1. Definisi dan Bentuk Sumbangan……………………….
7
2. Konsep Sumbangan dalam Fungsionalisme……………
8
3. Resiprositas dalam Sistem Sumbangan………………...
15
4. Kekerasan Simbolik dalam Sistem Sumbangan………..
20
B. Kerangka Berfikir..................................................................
23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................
25
A. Tempat dan Waktu Penelitian ...............................................
25
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ..............................................
26
C. Sumber Data ..........................................................................
27
D. Teknik Cuplikan ....................................................................
28
E. Teknik Pengumpulan Data ....................................................
29
F. Validitas Data ........................................................................
31
G. Analisis Data .........................................................................
32
H. Prosedur Penelitian................................................................
33
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN ………………………...
35
A. Deskripsi Lokasi Penelitian...................................................
35
B. Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori ..........................................................................
38
1. Waktu Pelaksanaan Pernikahan di Desa Jati .....................
38
2. Bentuk Sumbangan pada Acara Pernikahan di Desa Jati...
40
3. Arti Penting Sumbangan dalam Acara Pernikahan bagi Kehidupan Masyarakat Desa Jati...............................
44
4. Pemaknaan Sumbangan pada Acara Pernikahan dalam Konteks Masa Kini.............................................................
65
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN..............................
81
A. Simpulan ...............................................................................
81
B. Implikasi ................................................................................
83
C. Saran ......................................................................................
84
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
86
LAMPIRAN
Daftar Tabel
1. Tabel 1 Waktu dan Kegiatan Penelitian ..............................................
25
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2 Model Interaktif .................................................................
33
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya manusia tidak akan dapat lepas antara yang satu dengan lainnya. Mereka saling berinteraksi untuk membangun pergaulan hidup bersama karena itu terbentuklah masyarakat.
Pertemuan antar manusia secara
badaniah saja tidak akan dapat menghasilkan pergaulan hidup. Pergaulan hidup akan dapat tercapai jika mereka saling berkomunikasi, bekerja sama, bahkan saling bersaing dan bertikai. Sehubungan dengan hal ini Kimball Young dan Raymond dalam Soerjono Soekanto (2004:61) mengemukakan bahwa, ”interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama”. Aktifitas saling tolong-menolong/kerja sama merupakan salah satu bentuk interaksi
sosial.
Gillin
dan
Gillin
dalam
Soerjono
Soekanto
(2004:71)
menggolongkan aktifitas ini sebagai interaksi sosial yang mengarah pada bentuk penyatuan (assosiasif).
Perasaan saling membutuhkan yang tersalurkan melalui
interaksi sosial akan terwujud dalam aktivitas saling tolong-menolong. Bentuk tolong-menolong antar sesama manusia dapat mempererat persaudaraan (hubungan batin), yang akan membentuk perasaan bersatu dan bersolidaritas. Perasaan saling membutuhkan ini menimbulkan sistem tukar menukar kewajiban untuk memberi dan menerima bantuan kepada sesamanya. Masyarakat kemudian saling membantu satu sama lain dalam berbagai hal. Kegiatan saling tolong-menolong dalam masyarakat salah satunya dapat dilihat dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat. Hampir masyarakat di seluruh dunia memiliki adat tentang siklus lingkaran hidup (life cycle). Koentjaraningrat (1992:92) menjelaskan, ”pesta dan upacara pada saat peralihan sepanjang life cycle
itu memang universal, dan ada hampir dalam semua kebudayaan di seluruh dunia, hanya saja tidak semua saat peralihan dianggap sama pentingnya dalam semua kebudayaan”. Masyarakat Jawa juga mengenal siklus kehidupan ini yang meliputi kelahiran,
perkembangan,
dan
kematian.
Dalam
hal
ini
mereka
sangat
mengindahkan kegiatan saling tolong menolong terutama dalam pelaksanaan acara adatnya. Pertolongan/bantuan yang diberikan seseorang dalam kegiatan adat bentuknya bermacam-macam. Bantuan tersebut dapat berupa tenaga, pikiran, benda materi, biaya, dan sebagainya. Seseorang dalam kehidupan masyarakat dapat memberikan salah satu bentuk pertolongan/bantuan saja seperti misalnya tenaga, pikiran, benda materi, biaya, atau bantuan yang lainnya, namun seseorang juga dapat memberikan berbagai bantuan dalam suatu acara. Seseorang mungkin dalam suatu acara dapat memberikan bantuan tenaga dalam pelaksanaanya, disamping itu juga sering memberikan bantuan biaya, pikiran benda materi, maupun bantuanbantuan yang lainnya. Salah satu bentuk tolong menolong adalah sumbangan. Di dalam masyarakat kita sumbangan memiliki dua arti. Pertama, sumbangan dalam arti umum yang mencakup semua pertolongan baik yang berupa tenaga, pikiran, benda materi, biaya, dan sebagainya. Kedua, sumbangan dalam arti yang lebih sempit, yaitu sebagai istilah pertolongan (sokongan) yang berupa bantuan material (benda ataupun biaya) untuk membantu seseorang yang sedang memiliki hajat.
Arti
sumbangan yang kedua ini dalam bukunya Clifford Geertz (1983:88) dituliskan dengan istilah “buwuh”. Sumbangan dalam arti “buwuh” inilah yang akan menjadi fokus dalam pembahasan ini. Berkaitan dengan upacara dalam siklus kehidupan yang dikenal masyarakat Jawa, sumbangan biasanya diberikan pada saat adanya kelahiran, sunatan, perkawinan, kematian ataupun aktifitas-aktifitas yang lainnya seperti menjenguk orang yang sedang sakit, membangun rumah, perayaan ulang tahun, dan
sebagainya. Sumbangan yang diberikan pada pesta perayaan perkawinan dan sunatan merupakan sumbangan yang sedikit berbeda dibandingkan dengan sumbangan pada kematian, kelahiran, dan aktifitas yang lainnya, karena diberikan kepada
seseorang/keluarga
yang
notabene
adalah
mereka
yang
mampu
menyelenggarakan pesta dan mengundang para tamu yang akan memberikan sumbangan tersebut. Dewasa ini sumbangan, sering dinilai secara sinis sebagai sumber keuntungan dan banyak orang yang menyelenggarakan hajat hanya untuk mengharapkan keuntungan dari sumbangan para tamu saja. Seperti kutipan dari informan yang diteliti oleh Clifford Geertz dalam bukunya Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (1983:88), berikut ini : ... Ia mengatakan bahwa buwuh yang dahulu merupakan soal rukun, terutama ketika buwuh itu tidak berupa uang tetapi berupa barang seperti barang makanan dan sebagainya telah merosot menjadi pasal cari uang biasa di mata seorang yang sedang gawe duwe. Kerap kali yang yang masuk lebih banyak dari uang yang keluar, karena itu tuan rumah memperoleh laba, karena itu jugalah sekarang ini orang suka menyelenggarakan pesta sekedar untuk memperoleh keuntungan. Kata orang siallah kita kalau tidak punya anak untuk disunatkan atau dikawinkan dengan suatu pesta, sebab ini berarti hilanglah kesempatan untuk memperoleh keuntungan... .
Sudarmono dalam Opini; Nuansa Kondangan http://www.lampungspost. com/cetak/berita.php?id=2007010900565359, Selasa 9 Januari 2007, menjelas-kan, ”jika saat ini makna kata hajatan sudah bias cukup luas. Bias tersebut kini mulai
merasuk pada niatnya”.
Kenyataannya pada umumnya masyarakat apabila
menerima undangan suatu acara pernikahan atau sunatan yang merupakan kabar gembira dari saudara atau temannya justru sering menjadi bahan keluhan. Masyarakat
kini
memandang
jika
menghadiri
undangan
suatu
upacara
pernikahan/sunatan yang dipikirkan pertama kali adalah harus menyediakan sejumlah uang yang dianggap pantas sebagai sumbangan.
Pandangan ini telah
menggeser niat utama dalam menghadiri suatu undangan. Masyarakat seakan-akan menjadi kurang ikhlas dengan keluhan-keluhan mereka. Fenomena menyumbang/sumbangan telah menjadi budaya yang tidak sehat lagi dalam kehidupan masyarakat. Sangat jarang sekali seseorang/keluarga yang menyelenggarakan suatu pesta pernikahan ataupun khitanan tanpa mengharapkan sumbangan dari para tamu undangannya, dan sangat banyak sekali masyarakat yang kini menjadi sering mengeluh karena sumbangan ini. Di dalam surat undangan suatu acara pesta perkawinan atau khitanan sering kita lihat tulisan yang pada intinya menyatakan seseorang/keluarga yang menyelenggarakan pesta tanpa mengurangi rasa hormat tidak menerima sumbangan yang berupa cinderamata atau karangan bunga. Sangat jarang sekali bahkan hanya ada beberapa orang saja yang berani menuliskan di dalam surat undangannya jika mereka (penyelenggara pesta) tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun. Sistem sumbangan pada khususnya dalam upacara khitanan dan pernikahan, di dalamnya terdapat berbagai fenomena sosial.
Sumbangan
memberikan banyak cerita dan interpretasi di baliknya, mulai dari sistem aturan timbal balik yang mengikat, pergeseran makna dan tujuan dari sistem sumbangan, konflik yang mungkin terdapat di dalamnya, beratnya biaya sosial, dan sebagainya, meskipun secara tampilan luar teratur dan sudah menjadi kewajiban yang dilakukan masyarakat. Berhubungan dengan hal ini, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang sistem sumbangan pada upacara perkawinan dan upacara khitanan, karena sumbangan merupakan topik yang menarik untuk diteliti. Setidaknya terdapat dua
arti penting dalam penelitian ini. Pertama, pengetahuan serta pemahaman akan arti penting sistem sumbangan pada acara pernikahan dalam kehidupan masyarakat. Kedua, penganalisaan berbagai fenomena yang terjadi pada masa kini terkait dengan sistem sumbangan pada acara pernikahan, serta pengetahuan dan pemahan akan makna sistem sumbangan ini dalam konteks masa kini. Untuk memperoleh kajian yang lebih terfokus sehingga akan dapat memperoleh kajian yang sempit serta mendalam cakupannya, penelitian ini akan difokuskan pada sumbangan pernikahan. Maka penelitian ini akan diberi judul “Makna Sumbangan pada Acara Pernikahan Masa Kini” (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen).
B. Rumusan Masalah Masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: a. Mengapa sumbangan dalam acara pernikahan menjadi sesuatu yang penting di dalam kehidupan masyarakat? b. Bagaimana masyarakat memaknai sumbangan pada acara pernikahan dalam konteks masa kini?
C. Tujuan penelitian Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui dan memahami mengapa sumbangan dalam acara pernikahan menjadi sesuatu yang penting di dalam kehidupan masyarakat. b. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana masyarakat memaknai sumbangan pada acara pernikahan dalam konteks masa kini.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Teoritis a. Menambah pengetahuan yang lebih mendalam mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan sistem sumbangan pada acara pernikahan masa kini. b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan sosiologi dan antropologi pada khususnya, serta ilmu pengetahuan sosial pada umumnya . c. Dapat dijadikan sebagai penelitian awal yang mendasari penelitian yang lebih luas cakupannya dan lebih mendalam kajiannya.
2. Manfaat Praktis a. Dapat digunakan sebagai wacana reflektif bagi masyarakat dalam kehidupan sosial. b. Dapat digunakan sebagai masukan bagi masyarakat dalam rangka untuk mewujudkan kehidupan yang lebih bijaksana.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Definisi dan Bentuk Sumbangan Sumbangan berasal dari kata sumbang, dimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) sumbang/menyumbang memiliki arti, “memberi sesuatu kepada orang yang sedang pesta, dan sebagainya sebagai sokongan”, sedangkan sumbangan sendiri artinya adalah “pemberian sebagai bantuan (pada pesta perkawinan, dsb)”. Secara umum menyumbang termasuk aktivitas sosial manusia yang disebut gotong royong. Koentjaraningrat (1992:171) menjelaskan menjelaskan konsep gotong royong sebagai “rasa saling tolong menolong atau rasa saling bantu-membantu dalam jiwa masyarakat”. Koentjaraningrat (1983:59-60) membedakan kegiatan tolong-menolong dalam masyarakat menjadi empat, yaitu 1)
tolong menolong dalam produksi
pertanian, 2) aktivitas tolong menolong antar tetangga yang tinggal berdekatan, untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, 3) aktivitas tolong menolong antara kaum kerabat (dan kadang-kadang beberapa tetangga yang paling dekat) untuk menyelenggarakan pesta sunat, perkawinan atau upacara-upacara lain sekitar titik peralihan pada lingkaran hidup individu, 4) aktivitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu secara spontan pada waktu seseorang penduduk Desa mengalami kematian atau bencana. Dalam hal ini, menyumbang atau memberikan sumbangan merupakan tolong menolong pada aktivitas ketiga yaitu, pada persiapan dan penyelenggaraan pesta atau upacara adat. Novita Purnamasari (2005:55) dalam penelitian mandirinya telah menganalisis bahwa sumbangan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu “1) tenaga (rewang), 2) barang seperti kado, dan bukan kado (bahan hidangan , perlengkapan upacara perkawinan, bunga), serta 3) uang (buwuh)”. Berkaitan
dengan buwuh ini Clifford Geertz (1983:87) secara lebih terperinci menjelaskan bahwa, buwuh adalah sejenis sumbangan yang khas dari para tamu kepada tuan rumah atas hidangan dan pelayanan yang telah mereka terima. Kebiasaan yang umum dalam memberikannya adalah dengan menempelkan pada telapak tangan secara diam-diam ketika bersalaman dengan tuan rumah untuk berpamitan, pada saat mana tuan rumah akan memberikan sebungkus jajan kepada istri tamunya sebagai lambang sumbangannya kepada sang tamu yang berupa hidangan dan hiburan pada malam pertemuan ini. Lagi-lagi sumbangan timbal balik terlibat dalam hal ini. Ketiga bentuk sumbangan tersebut merupakan suatu pemberian. Pemberian dari para tamu undangan untuk seseorang atau keluarga yang sedang merayakan acara pernikahan. Dalam Kamus Inggris-Indonesia (1986:269), kado, hadiah, dan pemberian memiliki istilah dalam bahasa inggris yang sama, yaitu ”gift”. Menurut kebiasaan di beberapa daerah, misalnya di daerah Surakarta, yang datang dan menyumbang ialah kaum ibu, kemudian pulangnya memperoleh angsulangsul atau bentelan.1 Di daerah Semarang, Purwodadi kaum laki-laki yang hadir. Mereka juga menyumbang dengan istilah salam templek, yaitu pada waktu pulang sambil bersalaman memberikan uang sumbangan (Anonim. 1982: 86). Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa sumbangan adalah aktifitas sosial untuk membantu meringankan orang yang sedang punya hajat, berkaitan dengan berbagai hajat termasuk acara pesta perkawinan yang bentuknya dapat berupa tenaga, barang (kado atau bahan hidangan, perlengkapan upacara pernikahan, dan sebagainya), serta uang.
2. Konsep Sumbangan dalam Fungsionalisme Pelaksanaan sistem sumbangan terdiri dari hubungan timbal balik antara pemberi dan penerima yang membentuk suatu sistem. Hubungan timbal balik antara 1
Angsul-angsul atau bentelan ialah makanan dan kue-kue yang dibawa pulang oleh para tamu putri dari yang empunya kerja sebagai balas jasa atas kehadirannya (Anonim. 1982: 98).
pemberi dan penerima ini bersifat fungsional yang akan membentuk kehidupan bermasyarakat. Seperti yang dikemukakan Aafke .E. Komter (2005: 195) yang menjelaskan, ”the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be fundament of human society” (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari pertukaran pemberian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia). Sumbangan yang merupakan suatu sistem salah satunya dapat dijelaskan melalui teori fungsionalsme. Aguste Comte dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1988:20) mencoba untuk merumuskan cara menganalisis masyarakat dengan menyajikan metode penafsiran organis terhadap masyarakat. Bagi Comte masyarakat dikonseptualisasikan sebagai suatu tipe organis dan harus ditelaah melalui prisma konsepsi-konsepsi biologis mengenai struktur dan fungsi. Comte dalam Saifuddin (2005:142) mengemukakan bahwasanya, manusia secara intrinsik adalah makhluk sosial, dan hubungan-hubungan yang mereka bangun jauh dari kontrak-kontrak antara individu-individu yang bebas. Masyarakat memiliki organ-organ seperti halnya tubuh seekor binatang, dimana memiliki fungsi dari suatu bagian ditentukan oleh tempatnya dalam keseluruhan tubuh. Konsep individu adalah konstruksi sosial, yang berasal dari peranan yang dikenakan oleh masyarakat kepada tindakan individu. Cara berpikir ini dikenal sebagai ‘analogi organik’. Comte juga sadar akan perbedaan antara organisme biologis dan masyarakat. Organisme sosial atau masyarakat tidak berwujud fisik seperti halnya organisme biologis, tetapi organisme sosial terdiri atas ikatan-ikatan batin. Sejalan dengan Comte, Herbert Spencer juga memandang masyarakat seperti halnya suatu organisme. Herbert Spencer dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1988:20-21) menyusun suatu sistematik mengenai cara-cara berpikir yang menganggap masyarakat merupakan analogi suatu organisme, sebagai berikut: 1. both society and organisms can be distinguished from organic matter, both grow and develop
for
(masyarakat dan organisme keduanya dapat
dibedakan dari masalah organik, untuk tumbuh dan berkembang keduannya). 2. in both society and organisms an increase in size means an increase in complexity an differentiation (pada keduannya masyarakat dan organisme peningkatan ukuran berarti peningkatan kompleksitas sebuah perbedaan). 3. in both, a progressive differentiation in structure is accompanied by a differentiation in function (pada keduanya, sebuah perbedaan dalam struktur progresif disertai oleh perbedaan dalam fungsi). 4. in both, parts of the shale are independent with a change in one part affecting other parts (pada keduanya, bagian dari pecahan yang bebas dengan suatu perubahan mempengaruhi bagian-bagian lainnya). 5. in both, each part of the whole is also a micro society or organisms in and of itself (pada kedua, setiap bagian dari keseluruhan adalah juga suatu masyarakat kecil atau organisme dalam dan dari keseluruhan itu sendiri). 6. and in both organisms and societies, the life of the whole can be destroyed but the parts will live on for a while (dan pada kedua organisme dan masyarakat, kehidupan seluruh dapat dimusnahkan tetapi bagianbangiannya akan hidup untuk sementara waktu). Pemikiran Emile Durkheim dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1988:22-23), juga mencerminkan asumsi dalam organisme, sebagai berikut: 1) Masyarakat harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang dapat dibedakan dari bagian-bagiannya, namun tidak dapat dipisah darinya. Dengan menganggap masyarakat sebagai suatu relatis, maka Durkheim memberikan prioritas dalam analisis menyeluruh. 2) Durkheim beranggapan bahwa bagian-bagian dari suatu sistem berfungsi untuk memenuhi kepentingan sistem secara menyeluruh. 3) Kepentingan-kepentigan fungsional dipergunakan dalam artian normal dan patologis. Dengan demikian suatu sistem sosial harus terpenuhi kebutuhannya untuk mencegah terjadinya keadaan abnormal.
4) Dengan memandang sistem secara normal, patologi dan fungsional, maka ada taraf atau titik tertentu dimana harmoni tercapai, sehingga fungsionalisasi secara normal berproses disekitar titik tersebut. Pemikiran tiga tokoh sosiologi awal abad 19 tentang fungsionalisme yaitu Aguste Comte, Herbert Spencer, dan Emile Durkheim tersebut menghasilkan tiga asumsi yang mengawali fungsionalisme sosiologis, seperti yang dijelaskan Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1989:21), sebagai berikut: 1) Relitas sosial dianggap sebagai suatu sistem. 2) Proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya. 3) Sebagai halnya dengan suatu organisme maka struktur suatu sistem sifatnya terikat yang disertai adanya proses-proses untuk mempertahankan integritas dan batas-batasnya. Berkaitan dengan sistem, Duncan Mitchell (1984:53) menerangkan jika ”setiap sistem mempunyai beberapa sifat yang sama, terutama bagian-bagiannya yang begitu erat hubungannya satu sama lain dari segi struktur hingga perubahan dalam satu bagian akan mengakibatkan perubahan di bagian yang lain”. Sementara itu Dahrendorf dalam Kamanto Sunarto (2000:228) mengemukakan mengenai pokok teori fungsionalisme sebagai berikut: 1). Setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil. 2). Mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik. 3). Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem. 4). Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai nilai dikalangan para anggotanya. ”Organisme Comte, Spencer dan Durkheim mempengaruhi fungsionalisfungsionalis antropologi yang pertama seperti Malinowski dan Radcliffe Brown, yang kemudian membantu pembentukan perspektif fungsional” (Soerjono Soekanto. 1986:17). Malinowski dalam Saifudin (2005: 167) berpandangan bahwa, ”segala sesuatu itu memiliki fungsi”. Merton dalam David Kaplan dan Albert A.
Manners (2000:79), memperkenalkan, konsep fungsi yang dibedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi terselubung), dalam suatu tindak atau unsur budaya. ”Fungsi manifes ialah konsekuensi obyektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi sistem yang dikehendaki dan didasari oleh pertisipan sistem tersebut. Sebaliknya, fungsi laten adalah konsekuensi objektif dari suatu ihwal budaya yang tidak dikehendaki maupun disadari oleh warga masyarakat”. Malinowski dalam Koenjtaranigrat (1987:167) membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tingkatan abstraksi, yaitu: 1) Fungsi sosial dari suatu adat , pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat. 2) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat. 3) Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu. Radcliffe Brown yang juga tokoh fungsionalisme dalam antropologi lebih suka pada penggunaan strukturalisme dari pada fungsionalisme. Radcliffe Brown dalam Soerjono Soekanto (1986: 11) mengakui bahwa, “the concept of function applied to human societies is based on an analogy between social life and organic life… the first systematic formulation of the concept as applying to the strictly scientific study of society was performed by Durkheim…”. Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa konsep fungsi diterapkan pada masyarakat manusia didasarkan pada analogi antara kehidupan sosial dan kehidupan organik. Perumusan konsep sistematis pertama seperti yang diterapkan untuk kajian ilmiah sosial yang ketat telah dilakukan oleh Durkheim. Struktur masyarakat adalah susunan yang bagian-bagiannya memberi bentuk umpamanya bila berbicara tentang struktur suatu bangunan atau struktur
suatu organisme. Radcliffe Brown dalam Duncan Mitchell (1984:51) menerangkan bahwa “unsur-unsur struktur sosial ialah manusia, tetapi lebih tepat jika dianggap sebagai kedudukan yang diduduki oleh orang-orang”. Brown dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1988:26) berpendapat bahwa analisis struktural (=fungsional) haruslah bertitik tolak pada asumsi; 1) Suatu kondisi bagi ketahanan suatu masyarakat adalah adanya taraf integrasi minimal dari bagian-bagiannya. 2) Istilah fungsi mengacu pada proses-proses yang memelihara taraf integrasi atau solidaritas tersebut. 3) Dalam setiap masyarakat cirri-ciri struktural dapat diidentifikasikan manfaatnya bagi pemeliharaan solidaritas. Berdasarkan pemikiran para fungsionalis di atas maka dapat disimpulkan bahwa pertukaran sumbangan pada acara pernikahan sebagai suatu realitas sosial juga dapat dipahami sebagai suatu sistem layaknya suatu organisme. Jika dilihat secara lebih luas dalam cakupan masyarakat maka sistem sumbangan dalam acara pernikahan ini dapat dikatakan sebagai suatu sub sistem diantara sistem-sistem yang lainnya sebagai pembentuk adanya kehidupan bermasyarakat. Seperti yang telah dikemukakan para tokoh fungsionalis di atas bahwa proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara bagianbagiannya, maka dalam sistem sumbangan juga berlaku seperti ini. Sistem sumbangan hanya akan dapat berjalan apabila unsur-unsur di dalamnya berjalan dalam hubungan timbal balik secara fungsional. Apabila salah satu unsur tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya maka sistem pertukaran dalam sumbangan ini tentunya akan mengalami gangguan. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah pemberi dan penerima yang saling melakukan pertukaran sumbangan yang saling terkait diantara yang satu dengan yang lainnya secara luas. Sistem sumbangan ini juga bersifat mengikat bagi masyarakat sehingga akan selalu mempertahankan integritasnya sebagai suatu sistem. Menurut penjelasan Malinowski di atas, sistem sumbangan yang juga merupakan suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan
memiliki fungsi yaitu memberikan pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat, pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat, dan pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu. Novita
Purnamasari
(2000:91-99)
dalam
penelitian
mandirinya
menjelaskan bahwa, bagi masyarakat Yogyakarta yang memiliki mobilitas tinggi diadakannya suatu upacara perkawinan merupakan sarana untuk bertemu dengan saudara, tetangga dan teman. Sebagai suatu aktifitas sosial nyumbang mempertemukan anggota-anggota masyarakat. Sebagai orang jawa memenuhi undangan perkawinan dan memberikan sumbangan adalah salah satu kewajiban sosial. Hal ini menunjukkan bahwa sistem sumbangan berfungsi untuk mempertemukan anggota-anggota masyarakat, dimana setiap individu/keluarga merupakan bagian dari sistem yang terjalin secara fungsional sehingga akan membentuk dan memperkuat keberadaan masyarakat. Pembahasan tentang masyarakat yang terintegrasi sebagai suatu sistem secara fungsional dapat pula ditinjau dalam penelitian etnografi Malinowski tentang sistem tukar menukar kalung kerang atau yang disebut sulava dan gelang-gelang kerang yang disebut mwali di masyarakat kepulauan Trobriand. Kalung kerang (sulava) beredar ke satu arah mengikuti arah jarum jam yang peredaranya meliputi kepulauan Tobrian atau Boyowa, Kepulauan Amphlett, Kepulauan D’entrecasteaux atau Dobu, pulau st. Aignau atau Misima, kepulauan Laughlan atau Nada dan kepulauan Woodlark atau Murua, yang semuanya terletak di sebelah timur Papua Nugini Tenggara. Sementara itu gelang-gelang kerang (mwali) beredar kearah yang berlawanan.
Sistem
tukar
menukar
ini
disebut
dengan
sistem
Kula
(Koenjaraningrat. 1987:164-165). Dalam hal ini pada intinya Malinowski bermaksud untuk menjelaskan bahwa melalui
pertukaran yang disebut dengan
sistem kula dalam masyarakat Trobriand membentuk suatu sistem yang berjalan secara fungsional. Pemberi dan penerima dalam pertukaran gelang-gelang kerang
(mwali) dan kalung-kalung kerang (sulava) memiliki peran masing-masing yang saling terikat secara fungsional sehingga membentuk serta memperkuat keberadaan masyarakat kepulauan Trobiand.
3. Resiprositas dalam Sistem Sumbangan Prinsip moral tentang resiprositas ada dalam kehidupan sosial. Gouldner dalam James Scott (1981:255) mengemukakan prinsip tentang resiprositas dan perimbangan pertukaran adalah prinsip yang didasarkan pada gagasan yang sederhana saja yakni bahwa orang harus membantu mereka yang pernah membantunya atau setidak-tidaknya jangan merugikannya. Lebih khusus lagi prinsip itu mengandung arti
bahwa suatu hadiah atau jasa yang diterima
menciptakan bagi si penerima suatu kewajiban timbal balik untuk membalas dengan hadiah/jasa dengan nilai yang setiadak-tidaknya sebanding dikemudian hari. Gouldner dalam Susana Narotzky dan Paz Moreno (2002:285) menjelaskan tentang konsep resiprositas sebagai, “a mutually contingent exchange of benefits between two or more units in his view, reciprocity constituted a general principle of mutual dependence and recognition of a shared moral norm: You should give benefits to those who give you benefits”. Pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa resiprositas adalah suatu kesatuan hubungan pertukaran tibal balik yang bermanfaat antara dua unit atau lebih. Resiprositas mendasari suatu prinsip umum saling ketergantungan dan pengakuan suatu norma moral bersama: Anda harus memberikan manfaat kepada mereka yang memberikan manfaat. Menurut Durkheim, faham pertukaran yang sepadan ini merupakan suatu prinsip moral umum yang terdapat pada semua kebudayaan. Di Asia Tenggara prinsip resiprositas terdapat dalam banyak kegiatan. Bentuk-bentuk saling bantumembantu berupa gotong royong di Jawa merupakan contoh resiprositas yang
sangat
teratur. Resiprositas juga merupakan prinsip moral yang pokok yang
mendasari kegiatan sosial desa-desa di Muangthai, baik dilingkungan keluarga maupun antar keluarga. Di Filipina, pola persekutuan diantara manusia yang satu dengan manusia yang lain pada umumnya ditafsirkan sebagai resiprositas, bahwa “setiap jasa yang diterima, diminta atau tidak, harus dibalas,” rasa malu (hiya) dan rasa berhutang budi (utang na loob) merupakan daya penggerak resiprositas (Scott. 1981:255-256). Terkait dengan sistem sumbangan dalam penelitian Novita Purnamasari (2000:98-99) dijelaskan bahwa bagi pemangku hajat, sumbangan yang diterima pada suatu hari nanti harus dikembalikan dengan mengidealkan bentuk dan jumlah yang sepadan dengan yang diterimanya, sekurang-kurangnya sama dengan jumlah yang
diterimanya.
Pengambalian
sumbangan
harus
disesuaikan
dengan
perkembangan nilai tukar uang, karena kesempatan untuk memberikan sumbangan terutama pada kesempatan yang sama tidak terjadi pada tahun yang sama. Pada masyarakat Jawa sumbangan dilihat sebagai bantuan penyelenggaraan upacara perkawinan yang merupakan suatu balas jasa atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan pada masa sebelumnya. Oleh karena itu pendapatan dari sumbangan dapat diperhitungkan dalam rencana pembiayaan upacara perkawinan. Meskipun demikian, dalam masyarakat terdapat suatu pandangan bahwa sumbangan dipandang sebagai tanda kasih yang harus diingat dengan baik agar suatu hari nanti dapat terbalas dengan sepadan dan tidak memperhitungkannya dalam rencana pembiayaan upacara perkawinan Sistem hubungan timbal balik pemberian bukanlah sesuatu yang gratis tanpa pengembalian, dan tanpa pamrih. Dalam teori, pemberian-pemberian hadiah seperti itu sebenarnya dilakukan secara suka rela, tetapi dalam kenyataan kesemuannya itu diberikan dan dibayar kembali dalam suatu kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pelakunya (Marcel Mauss. 1992:1). Marcel Mauss (1992:2) dalam bukunya mengatakan,
prestasi-prestasi yang dalam teori bersifat sukarela tanpa pakasaan, tanpa pamrih dan sopan, tetapi dalam kenyataannya bersifat mengharuskan atau mewajibkan dan bersikap pamrih. Bentuk yang biasanya digunakan ialah pemberian hadiah yang secara murah hati disajikan; tetapi kelakuan yang menyertai pemberian itu resmi dengan kepura-puraan dan penipuan sosial, sementara transaksi itu sendiri dilandasi oleh kewajiban dan kepentingan ekonomi diri sendiri dari para pelakunya. Blau dalam Margaret .M. Poloma (1994:82) menjelaskan bahwa ”dalam menjawab pertanyaan apakah yang menarik individu kedalam assosiasi? Jawaban Blau ialah mereka tertarik pada pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang intrinsik maupun ekstrinsik”. Novita
Purnamasari
(2000:91-92)
dalam
penelitian
mandirinya
menjelaskan jika keaktifan seseorang dalam menyumbang dan memenuhi undangan perkawinan menunjukkan sebagai orang yang gemati (penuh perhatian) dan entengan (suka menolong), sebagai balasanya orang yang menyumbang tersebut mudah mendapatkan balasan dan diperhatikan pula oleh lingkungan sosialnya sehingga pada saat membutuhkan pertolongan akan segera mendapat bantuan bila dibandingkan dengan mereka yang kurang aktif dalam aktifitas sosialnya. Status, kedudukan, dan pangkat dalam sistem hubungan timbal balik yang bersifat pamrih ini akan mempengaruhi jumlah banyak sedikitnya rekan dalam melaksanakan
hubungan
pertukaran
pemberian.
Malinowski
(1992:91)
menjelaskan, “the number of partner a man has varies with his rank and importance…a man would naturally know to what number of partners he was entitled by his rank and position” (jumlah rekan setiap orang berbeda-beda dengan pangkat dan kepentingan mereka…setiap orang secara alamiah akan tahu berapa jumlah rekan yang telah mereka dapat dengan pangkat dan posisi mereka). Sistem hubungan timbal balik dalam pemberian ini telah menjadi suatu pranata yang kuat, serta membentuk suatu prosedur yang rumit. Marcel Mauss menyebutkan ada tiga macam kewajiban dalam pemberian, yaitu kewajiban
memberi, kewajiban menerima, dan membayar kembali. Marcel Mauss (2005: 59) mengatakan : …Pada prinsipnya pemberian-pemberian selalu diterima dan selalu disukuri. Anda harus mengatakan rasa sukur anda atas makanan yang telah dipersiapkan untuk anda. Tetapi pada saat yang sama, anda menerima sebuah tantangan. Anda menerima pemberian “dari punggung”. Anda menerima makanan yang diberikan kepada anda karena anda bermaksud untuk menerima tantangan untuk membuktikan bahwa anda bukanlah seseorang yang tidak ada harganya... . Dalam konteks sumbangan pada acara pernikahan, pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa para tamu undangan harus selalu bersyukur atas hidangan pesta yang dipersiapkan untuk mereka. Akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan suatu tantangan bagi para tamu undangan untuk membalasnya yaitu dengan memberikan sumbangan kepada pihak yang mengadakan hajat, serta mengadakan pesta pada saat giliran mereka mempunyai hajat agar tidak dikatakan sebagai orang yang tidak berharga atau orang yang rendah martabatnya. Kegagalan untuk memberi atau menerima sama dengan kegagalan untuk membalas pemberian, yang sama artinya dengan kehilangan rasa harga diri dan kehormatan, lebih lanjut Mauss (2005: 5960) mengemukakan bahwa ”orang yang tidak dapat membayar hutang atau pothlach,
kehilangan
kedudukannya
dalam
jenjang
sosial
dan
bahkan
kedudukannya sebagai orang bebas”. Marcel Mauss (1992: 16) juga mengatakan: Kewajiban untuk memberi hadiah tidaklah kurang pentingnya. Jika kita memahami hal ini, maka kita seharusnya juga mengetahui mengapa manusia sampai melakukan tukar menukar benda satu dengan yang lainnya. Kita semata-mata akan menunjukkan sejumlah fakta. Menolak untuk memberi hadiah, atau lalai mengundang, adalah--sama dengan menolak untuk menerima--sama dengan membuat suatu pernyataan perang; ini sama dengan suatu penolakan terhadap saling berhubungan dan persahabatan. Sekali lagi, seseorang memberikan karena didorong untuk melakukan hal itu, karena si penerima mempunyai semacam hak pemilikan atas segala sesuatu yang menjadi milik si donor. Hal ini dinyatakan dan dibayangkan sebagai semacam ikatan sosial.
Ikatan sosial yang dihasilkan dari sistem timbal balik dalam pemberian dan penerimaan juga dijelaskan oleh Aafke .E. Komter (2005:116-117), yang menjelaskan bahwa, ”social ties are created, sustained and strengthened by means of gift. Acts of gift exchange are at the basis of human solidarity”, (hubungan sosial diciptakan, ditopang dan diperkuat oleh pemberian. Aktifitas tukar menukar pemberian adalah dasar dari solidaritas manusia). Labih lanjut Komter (2005: 195) menjelaskan; “the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be the fundament of human society. It contains to moral basis for the development of social ties and solidarity because it’s implicit assumption is the recognition of the other person as a potentially” (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari pertukaran pemberaian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia. Ini berisi dasar moral dari perkembangan ikatan sosial dan solidaritas karena ini adalah asumsi yang harus dipatuhi dari pengkuan orang lain sebagai suatu penggabungan). Tidak dapat dipungkiri jika dalam sistem sumbangan yang menjadi suatu pranata yang kuat dan penuh makna ini, di dalamnya juga terdapat konflik. Konflik terjadi karena ketidak konsisitenan dari pada pelaksanaan aturan timbal baliknya. Aafke .E. Komter (2005:30-31) menjelaskan, different between people’s attitudes to wards things may be the source of disagreeable misunderstandings and serious disputes. Conflicts may arise between people when things represent a different value to them or embody different sets of expectations and different course of action that need to be undertaken Dari pernyataan di atas dapat dipahami jika perbedaan diantara orang terhadap barang mungkin menjadi sumber dari ketidak setujuan salah paham dan perselisihan yang serius. Konflik mungkin timbul diantara orang saat benda menunjukkan suatu perbedaan nilai untuk mereka atau aturan yang menjadi perbedaan dari harapan dan perbedaan jalan dari aktivitas yang dibutuhkan untuk dilakukan. Katherine Jellison (2007:408) dalam menanggapi analisis Louise Pubrick mengemukakan, “Purbrick demonstrates that the meaning of a wedding gift depends
on who gives it, who receives it and the circumstances of its exchange, but she also proves that the absence of a gift likewise communicates a message social disapproval”, (Purbrick menunjukkan bahwa makna dari sebuah pernikahan hadiah tergantung yang memberikan, yang menerimanya dan keadaan dari pertukaran, tetapi dia juga membuktikan bahwa tidak adanya hadiah juga mengkomunikasikan pesan penolakan sosial). Margaret .M. Poloma (1994:69-70) dalam analisinya terhadap pemikiran Homans menjelaskan bahwa “berbagai hubungan serta perjenjangan dalam masyarakat harus sesuai dengan apa yang disebut Homans sebagai distribusi keadilan (distributive justice)”. Ketika sedang berinteraksi orang mengharapkan ganjaran mereka harus seimbang dengan biayanya. Bilamana ganjaran-ganjaran tersebut kelak tidak sesuai lagi dengan distribusi keadilan itu, maka kita akan berada dalam situasi ketidak adilan atau ketimpangan dalam distribusi ganjarang. Kuatnya sistem pranata dari hubungan timbal balik pemberian dan penerimaan serta sistem yang telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat, menjadikan sistem ini akan terus berlangsung. Marcel Mauss (1992: 16-17) menjelaskan, ”dalam saling menerima dan memberi hadiah-hadiah yang berlangsung tetap dan terus menerus, dan dapat kita namakan sebagai masalah spiritual yang meliputi orang-orang, benda-benda, dan unsur-unsur ini beredar dan beredar kembali diantara klen-klen dan individu-individu, pangkat-pangkat, jenis kelamin
dan
generasi-generasi”.
Lebih
lanjut
Marcel
Mauss
(1992:136)
mengemukakan bahwa, banyak dari morlitas kita sehari-hari berkenaan dengan kewajiban spontanitas dalam pemberian hadiah. Pemberian hadiah merupakan suatu keuntungan bagi kita karena penerimaan dan pemberian belum sampai diganti menjadi pembelian dan penjualan. Benda-benda mempunyai nilai yang mencakup nilai emosi maupun nilai materi; sesungguhnya dalam beberapa kasus, nilai-nilai yang berlaku secara keseluruhannya bersifat emosional. Moralitas kita tidak semata-mata bersifat komersial. Kita masih mempunyai orang-orang dan kelas-kelas sosial yang tetap berpegang pada adat-istiadat masa lampau, dan
kita menghormati mereka itu pada peristiwa-peristiwa tertentu dan pada waktu-waktu tertentu dalam setiap tahunnya. 4. Kekerasan Simbolik dalam Sistem Sumbangan Smith dalam Saifuddin (2005:142) mencatat bahwa ”tukar menukar adalah sifat alamiah manusia, karena tak seorang pun pernah menyaksikan dua ekor anjing saling mempertukarkan tulang, namun manusialah makhluk yang saling bertukar dengan aneka ragam cara”. Akan tetapi bagi mereka yang tidak memiliki modal dalam pelaksanaan sistem pertukaran ini menimbulkan suatu konsekuensi tersendiri. Kuatnya sistem hubungan timbal balik dalam kebiasaan sumbangan menimbulkan komitmen bagi warga masyarakat untuk tetap melaksanakan dengan berbagai cara. Koentjaraningrat (1992:172) mengemukakan bahwa, ”orang desa menyumbang dan membantu sesamanya itu karena ia terpaksa atas jasa yang pernah diberikan kepadanya dan ia menyumbang untuk mendapatkan pertolongannya lagi dikemudian hari”. Marcel Mauss (2005:137) juga mendiskripsikan pengalamannya tentang sebuah keluarga dalam masa kanak-kanaknya di Lorraine, yang terpaksa harus hidup dalam keadaan serba kekurangan, masih berani menghadapi kehancuran diri mereka sendiri demi kepentingan para tamunya pada hari-hari suci, perkawinan, komuni pertama dan upacara penguburan. Hal ini sering menjadi keadaan seperti apa yang disebutkan Bourdieu sebagai kekerasan simbolis. Kekerasan simbolis menurut Bourdieu dalam Richard Jenkins (2004:157) adalah ”pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal ini dialami sebagai sesuatu yang sah”. Atau dengan kata lain kekerasan simbolis adalah kekerasan yang secara paksa mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaankepercayaan yang sudah tertanam secara sosial (Haryatmoko. 2003:38). Kekerasan semacam ini oleh korbanya tidak dilihat atau tidak dirasakan sebagai kekerasan,
tetapi sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar. Bourdieu dalam Haryatmoko (2003:18-19) menjelaskan bahwa, pada dasarnya kekerasan simbolis berlangsung karena ketidak tahuan dari yang ditindas. Jadi, sebetulnya logika dominasi ini bisa berjalan karena prinsip simbolis yang diketahui dan diterima baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis itu berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri kebutuhan. Seperti halnya ilmu gaib, teori kekerasan simbolik berdasarkan pada teori produksi kepercayaan, yang didapat dari proses sosialisasi yang diperlukan untuk meproduksi pelaku-pelaku sosial yang dilengkapi dengan skema persepsi dan apresiasi yang memungkinkan mereka mampu menerima perintah-perintah yang diberikan dalam suatu situasi atau suatu wacana untuk mematuhinya. Kekerasan simbolik bekerja dengan mekanisme meconnaissance –mekanisme penyembunyian kekerasan yang dimiliki-menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. “Yang memang seharusnya demikian” inilah yang oleh Bourdieu disebut dengan doxa. Dunia sosial manusia penuh dengan doxa. Bourdieu menjelaskan doxa adalah wacana yang kita terima begitu saja sebagai kebenaran dan tidak pernah lagi kita pertanyakan sebab-sebabnya apalagi kebenarannya. Keberadaan doxa hanya dapat diperoleh melalui proses inkalkulasi, atau proses penanaman yang berlangsung terus menerus (Bourdieu dalam Suma Riella Rusdiarti. 2003:38). Pelaku sosial menerima kekerasan simbolik sebagai sesuatu yang wajar karena kekerasan simbolik sudah dipahami dan sudah menjadi kebiasaan yang telah dimiliki oleh pelaku sosial sejak lahir. Mekanisme kekerasan simbolik berjalan dengan dua cara, yaitu eufemisasi dan sensorisasi. Eufemisasi biasanya membuat kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilah secara “tak sadar”. Bentuknya dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, hutang, pahala, atau belas kasihan. Sementara,
mekanisme sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan”, seperti kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan “moral rendah”, seperti kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya (Bourdieu dalam Suma Riella Rusdiarti. 2003:38-39). Adanya standarisasi berkaitan dengan jumlah sumbangan yang akan diberikan dalam masyarakat juga sering menambah adanya kekerasan simbolik bagi mereka yang kurang memiliki modal. (2000:94-95)
dijelaskan
dipertimbangkan
secara
bahwa rasional
Dalam penelitian Novita Purnamasari
sumbangan oleh
yang
masyarakat
akan
diberikan
Yogyakarta.
akan
Pemberian
sumbangan uang akan disesuaikan dengan pesta perkawinan yang diadakan pengundang, selain dengan melihat kedekatan hubungan, penyumbang akan menghitung sendiri jumlah yang pantas diberikan pada pengundang berdasarkan tempat dimana acara akan dilakukan. Seseorang akan menyumbang lebih jika diundang di pesta perkawinan karena acara tersebut terkesan lebih mewah dan lebih bergengsi, kemudian komponen pesta yang lain seperti tempat dan makanan yang disuguhkan akan menjadi pertimbangan lain. Masyarakat memiliki kekuasaan penuh dalam hal ini, Rousseau dalam Saifudin (2005:141-142) menjelaskan bahwa, masyarakat bukanlah sebagai gejala alam, melainkan penjumlahan kekuatankekuatan yang hanya dapat muncul apabila beberapa orang berhimpun bersama. Setiap orang harus menyerahkan diri, tunduk, tidak kepada kekuasaan seseorang melainkan kepada kolektivitas atau asosiasi dengan cara mematuhi arahan tertinggi dari kehendak umum. Margaret
Poloma
(1994:89)
mangemukakan
bahwa,
”wewenang
berdasarkan atas norma-norma atau aturan-aturan bersama menggariskan perilaku dalam suatu kolektifitas. Norma-norma itu memaksakan individu mematuhi aturan dari mereka yang berkuasa. Norma-norma demikian diiternalisir oleh anggota
kelompok dan dipaksakan kepada mereka”. Blau dalam Margaret Poloma (1994:89) juga berpendapat bahwa, ukuran-ukuran normatif yang mendasari wewenang yang terlembaga tidak lahir dalam proses interaksi sosial antara mereka yang berada di lapisan atas dan bawah dan diantara sesama mereka yang berada dilapisan bawah, tetapi dalam proses sosialisasi dimana setiap orang secara terpisah mengakui kebudayaan bersama. Dengan kata lain, kita belajar menerima struktur wewenang sebab kita disosialisir kedalam kebudayaan kita sendiri.
B. Kerangka Berpikir Sumbangan dalam acara pernikahan memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat. Pada dasarnya sistem sumbangan ini merupakan suatu bentuk aktifitas tolong menolong dari masyarakat yang berupa bantuan baik berupa benda maupun biaya (uang) untuk pihak yang sedang mengadakan suatu hajat. Sesuai dengan teori fungsionalisme yang menganalogikan masyarakat layaknya seperti organisme hidup dimana memiliki bagian-bagian yang terikat secara fungsional untuk mencapai suatu tujuan bersama, sumbangan sebagai suatu sistem juga dapat dianalogikan layaknya seperti itu. Dalam sumbangan terdiri dari berbagai unsur seperti pemberi, penerima, benda yang diberikan atau diterima, dan sebagainya sehingga membentuk suatu sistem yang sangat kuat dengan berbagai konsekuensi kewajiban yang harus dilaksanakan. Sumbangan yang merupakan suatu bentuk pemberian menjadi salah satu sistem yang dapat membentuk serta memperkuat keberadaan masyarakat. Sebagai suatu sistem yang sangat kuat yang menimbulkan tiga kewajiban seperti yang dikemukakan Marcel Mauss yaitu kewajiban memberi, kewajiban menerima dan kewajiban membayar kembali, kewajiban sumbangan dalam acara pernikahan seperti halnya mata rantai yang saling menyambung dan tidak terputus. Sistem sumbangan menjadi suatu adat kebiasaan serta kewajiban yang telah
terinternalisasi oleh setiap warga masayarakat semenjak mereka masih kecil. Akibatnya masyarakat yang merupakan unsur pelaku sistem tersebut menjadi terikat dan tidak dapat keluar dari sistem. Hal ini menimbulkan
konsekuensi
dimana mereka harus selalu melaksanakan sistem dengan berbagai cara dan upaya. Bagi mereka yang tidak memiliki modal hal ini tentunya akan menimbulkan suatu bentuk kekerasan simbolik
dimana masyarakat memiliki kekuatan kekuasaan
penuh. Setiap individu sebagai warga masyarakat akan tunduk dan patuh terhadap kekuasaan bersama dalam masyarakat sebagai kehendak umum. Kekerasan simbolik yang dialami individu-individu yang tidak memiliki modal tidak dapat terlihat secara jelas karena sistem sumbangan sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat dan juga menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Sebagai akibatnya sistem ini akan bergeser atau berubah menjadi sistem lain yang berbeda jenisnya atau terjadi pergeseran makna dan arti penting yang akan terjadi dalam sistem sumbangan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian tentang makna sumbangan dalam acara pernikahan masa kini ini dilaksanakan di Kabupaten Sragen, yaitu di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang. Pengambilan lokasi ini didasarkan pada masih terlaksananya sistem sumbangan dengan lengkap, dimana sumbangan yang diberikan pada pihak yang sedang mengadakan pesta pernikahan di daerah ini masih berbentuk barang (hasil bumi), uang, kado (cindera mata) dan yang lainnya. Di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen sistem sumbangan juga masih terlaksana dengan baik. Sistem sumbangan di daerah ini masih menjadi adat kebiasaan yang berjalan dengan kuat. Selain itu, lokasi penelitian ini jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat domisili peneliti sehingga dirasa akan lebih mudah dijangkau dan lebih cepat dalam proses pengambilan datanya. Proses ricek data akan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, sehingga validitas data bisa dicapai Penelitian ini dilakukan dalam waktu delapan bulan, mulai dari bulan November 2008 sampai dengan bulan Juli 2009. Adapun secara lebih terperinci disajikan dalam tabel perincian waktu pelaksanaan penelitian sebagai berikut:
No
Kegiatan
1.
Penyusunan proposal
2.
Desain Penelitian
3.
Pengumpulan data dan analisis data Penyusunan laporan
4.
Nov ‘08
Des ‘08
Jan ‘09
Feb ‘09
Bulan Mar Apr ‘09 ‘09
Mei ‘09
Jun ‘09
Jul ‘09
Tabel 1: Perincian waktu pelaksanaan penelitian B. Bentuk dan Strategi Penelitian Bentuk penelitian ini adalah penelitian kualitatif diskriptif, dimana dalam penelitian kualitatif diskriptif akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif dengan diskripsi yang teliti dan penuh nuansa. Dalam hal ini, peneliti akan menangkap berbagai fenomena dan informasi yang berkaitan dengan objek penelitian di lapangan, kemudian direkonstruksi secara tidak bebas nilai. Penelitian ini menggunakan desain penelitian yang bersifat lentur dan terbuka, disesuaikan dengan kondisi dan fakta yang ada di lapangan. Maka setiap saat data dapat berubah sesuai dengan pengetahuan baru yang ditemukan. Berdasarkan lokasi atau tempat dimana penelitian dilakukan, penelitian ini termasuk penelitian kancah (field research). Y. Slamet (2006:9) menjelaskan, ”penelitian kancah (field research) adalah penelitian yang dilakukan disuatu daerah geografis tertentu dimana peneliti terjun ke masyarakat secara langsung melihat apa yang terjadi”. Peneliti berinteraksi dengan informan-informan sampai data-data yang diperlukan betul-betul lengkap dan tepat, serta peneliti benar-benar puas dalam mengambil informasi. Penelitian ini bersifat penelitian dasar (basic research).
Sedangkan strategi penelitian yang digunakan
yaitu studi kasus. Seperti yang dikemukakan Abdul Azis SR. dalam Burhan Bungin (2003:23) dengan studi kasus akan dapat mengisaratkan beberapa keunggulan sebagai berikut: 1. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar variabel serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas. 2. Studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia. 3. Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Disamping tiga keunggulan di atas, studi kasus dapat memiliki keunggulan spesifik lainnya, seperti yang dikemukakan Black dan Champion dalam Burhan Bungin (2003:23), yakni: 1. Bersifat luwes berkenaan dengan metode pengumpulan data yang digunakan. 2. Keluwesan studi kasus menjangkau dimensi yang sesungguhnya dari topik yang diselidiki. 3. Dapat dilaksanakan secara praktis di dalam banyak lingkungan sosial. 4. Studi kasus menawarkan kesempatan menguji teori. 5. Studi kasus bisa sangat murah, tergantung pada jangkauan penyelidikan dan tipe teknik pengumpulan data yang digunakan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal terpancang. HB. Sutopo (2002:112) menjelaskan, ”suatu penelitian disebut sebagai bentuk studi kasus tunggal bilamana penelitian tersebut terarah pada satu karakteristik”. Artinya penelitian tersebut hanya dilakukan pada satu sasaran (satu lokasi atau satu subjek). Jumlah sasaran (lokasi studi) tidak menentukan suatu penelitian berupa studi kasus tunggal ataupun ganda, meskipun penelitian dilakukan di beberapa lokasi (beberapa kelompok atau sejumlah pribadi), kalau sasaran studi tersebut memiliki karakteristik yang sama atau seragam maka penelitian tersebut tetap merupakan studi kasus tunggal. Begitu juga dengan penelitian tentang Makna Sumbangan pada Acara Pernikahan Masa Kini ini yang hanya dilakukan pada satu sasaran, yaitu sistem sumbangan di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen yang memiliki suatu karakteristik. Penelitian ini juga termasuk penelitian terpancang karena peneliti telah memilih dan menentukan masalah-masalah yang menjadi fokus utamannya sebelum memasuki lapangan studinya.
C. Sumber Data Data yang dikaji dan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Ada dua sumber data penting yang akan dijadikan sasaran dalam pencarian informasi dan yang akan dimanfaatkan dalam penelitian ini. Kedua sumber data tersebut ialah:
a. Informan atau narasumber, yaitu warga masyarakat di lokasi penelitian serta pihak-pihak yang sedang atau pernah mengadakan acara pernikahan. b. Sumber data dari peristiwa atau aktivitas, yaitu ketika acara pernikahan dan sistem sumbangan ini dilaksanakan. D. Teknik Cuplikan (Sampling) Teknik cuplikan (sampling) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik purposive sampling. H.B. Sutopo (2002:56) menjelaskan bahwa dalam teknik purposive sampling peneliti memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantab. Berkaitan dengan pemilihan informan yang baik, peneliti dalam hal ini mempertimbangkan analisis Spradley (2007: 68-77) yang telah menganalisis lima persyaratan minimal untuk memilih informan yang baik, yaitu: 1. Enkulturasi penuh (informan yang mengetahui budayanya dengan baik secara alami). 2. Keterlibatan langsung (keterlibatan secara langsung yang dialami oleh calon informan). 3. Suasana budaya yang tidak dikenal oleh peneliti (informan yang bukan daerah seasal dengan peneliti). 4. Waktu yang cukup (memilih informan yang tidak terlalu sibuk dan mudah diteliti). 5. Non-analitis (informan yang tidak menganalisis kebudayaannya sendiri dari perspektif orang luar, tetapi dari masyarakatnya sendiri). Dalam penelitian ini, peneliti juga memilih informan kunci. Suwardi Endraswara (2006:119) menyebutkan bahwa, ”informan kunci adalah seseorang yang memiliki informasi relatif lengkap terhadap budaya yang diteliti”. Peneliti juga akan mempertimbangkan tentang penentuan siapa yang akan menjadi informan kunci seperti yang dikemukakan Suwardi Endraswara (2006:119) sebagai berikut: 1. Orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi sesuai dengan permasalahan yang diteliti; 2. Usia orang yang bersangkutan telah dewasa; 3. Orang yang bersangkutan sehat jasmani dan rohani; 4. Orang yang bersangkutan bersifat netral, tidak mempunyai kepentingan pribadi untuk menjelekkan orang lain;
5. Orang yang bersangkutan tokoh masyarakat; 6. Orang yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti, dan lain-lain. Informan dalam penelitian ini yaitu Warto (bukan nama sebenarnya) yang merupakan mantan kepala Desa Jati yang telah menjabat selama 22 tahun 8 bulan, Pardi (bukan nama sebenarnya) sekretaris Desa Jati, Yono (bukan nama sebenarnya) salah satu bayan dukuh di Desa Jati, Brama (bukan nama sebenarnya) salah satu pemuda warga Desa Jati yang juga merupakan seorang mahasiswa, Endang serta Ratmi (bukan nama sebenarnya) yang juga warga Desa Jati. Informan-informan ini dirasa sesuai dengan pertimbangan Spradley dan Endraswara di atas dalam menentukan dan memilih informan penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara dan observasi. a. Wawancara mendalam (in depth interviewing) Dalam penelitian ini teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara tidak terstruktur (wawancara mendalam / in-depth interviewing).
Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat
“open-ended” dan mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara yang tidak secara formal terstruktur, guna menggali pandangan subyek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasi secara lebih jauh dan mendalam. Seperti yang dikemukakan Suwardi Endraswara (2006:151) tujuan wawancara antara lain adalah, (a) Untuk menggali pemikiran konstruktif seseorang informan, yang menyangkut peristiwa, organisasi, perasaan, perhatian, dan sebagainya yang terkait dengan aktivitas budaya. (b) Untuk merekonstruksi pemikiran ulang tentang hal ikhwal yang dialami informan masa lalu atau masa sebelumnya.
(c) Untuk mengungkapkan proyeksi pemikiran informan tentang kemungkinan budaya miliknya dimasa mendatang. Sesuai dengan fokus dalam penelitian ini, berbagai tujuan tersebut akan diarahkan pada makna sumbangan pada acara pernikahan masa kini. Dalam melakukan wawancara peneliti juga memperhatikan dan menerapkan beberapa syarat-syarat kode etik penting dalam wawancara yang dikemukakan Payne dalam Suwardi Endraswara (2006:152) sebagai berikut: 1. Peneliti sebaiknya menghindari kata-kata yang mempunyai dua makna atau banyak arti; 2. Peneliti sebaiknya menghindari pertanyaan-pertanyaan panjang, yang sebenarnya mengandung banyak pertanyaan khusus. Pertanyaan panjang sebaiknya dipecah-pecah kedalam bagian-bagian dan ditanyakan secara bertahap; 3. Peneliti sebaiknya membuat pertanyaan sekongkret mungkin dengan penunjuk waktu dan lokasi yang kongkret; 4. Sebaiknya seorang peneliti mengajukan pertanyaan dalam rangka pengalaman kongkret dari si responden (baca: informan); 5. Peneliti sebaiknya menyebut semua alternatif yang dapat diberikan oleh responden (baca: informan) atas partanyaanya, atau sebaliknya jangan menyebut yang alternatif sama sekali; 6. Dalam wawancara mengenai pokok-pokok yang dapat membuat informan atau responden malu, canggung, atau kagok, maka peneliti sebaiknya mempergunakan istilah yang dapat menghaluskan konsep atau membuatnya netral (euphemisme); 7. Dalam wawancara mengenai pokok seperti sub 6, gaya pertanyaan sebaiknya dinetralkan dengan kata-kata yang seolah-olah mengalihkan kesalahanya kepada keadaan informan; 8. Dalam wawancara mengenai pokok seperti tersebut dalam bab 6, seseorang peneliti sebaiknya juga mempergunakan gaya bertanya yang tidak menyangkutkan informan atau responden dengan masalahnya; 9. Dalam wawancara mengenai pook-pokok seperti yang tersebut dalam sub 6 dan 7, maka peneliti sebaiknya mengajukan pertanyaan yang terpaksa dijawab secara positif atau kalau diingkari juga diingkari secara tegas; 10. Dalam wawancara dimana responden (baca: informan) harus menilai orang ketiga, sebaiknya peneliti menanyakan sifat positif maupun yang negatif dari orang ketiga itu.
b. Observasi Pengumpulan data dengan metode observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung (observasi secara langsung) terhadap objek yang diamati.
Peneliti menggunakan teknik
observasi non partisipan, dimana peneliti tidak berperan serta dan tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan yang dilakukan obyek penelitian. Peneliti hanya mengamati tentang berbagai hal yang berkaitan dengan bentuk sumbangan dan berbagai aktivitas bekenaan dengan pelaksanaan sistem sumbangan yang ada pada acara pernikahan masa kini. Dalam pengumpulan data dengan menggunakan observasi ini peneliti juga menerapkan saran Suparlan dalam Suwardi Endraswara (2006:134) tentang delapan hal yang harus diperhatikan peneliti saat melakukan pengamatan, diantaranya yaitu; “(1) ruang dan waktu, (2) pelaku, (3) kegiatan, (4) benda-banda atau alat-alat, (5) waktu, (6) peristiwa, (7) tujuan, dan (8) perasaan”.
F. Validitas Data Guna menjamin dan mengembangkan validitas data dalam penelitian ini maka teknik pengembangan validitas data yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Trianggulasi Data (Trianggulasi Sumber) Dalam hal ini data yang sejenis atau sama akan lebih mantap kebenaranya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda. Data yang telah diperoleh dari sumber yang satu, bisa teruji kebenarannya bila dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda. b. Trianggulasi Metode Trianggulasi metode dilakukan dengan menggunakan metode atau teknik pengumpulan data yang berbeda, untuk mendapatkan data yang sama atau
sejenis. Adapun metode atau teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik wawancara mendalam (in-depth interviewing) dan teknik observasi secara langsung. c. Review Informan Cara lain untuk menjamin dan mengembangkan validitas data yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah dengan review informan. Teknik ini dilakukan dengan cara menginformasikan ulang data yang telah didapat untuk memperoleh kebaikan, kelengkapan dan kebenaran data. Maka dalam hal ini peneliti sebagai instrumen penelitian senantiasa melakukan koreksi secara terus menerus mengenai hasil penelitiannya.
G. Analisis data Miles dan Huberman dalam HB. Sutopo (2002:94) menyatakan bahwa “terdapat dua model pokok dalam melaksanakan analisis di dalam penelitian kualititatif, yaitu : 1) model analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis), dan 2) model analisis interaktif”.
Model analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah model analisis interaktif yang meliputi empat komponen yaitu pengumpulan data, reduksi data (reduction), sajian data (display) dan penarikan kesimpulan dan verifikasinya. Tiga komponen analisis (reduksi data, sajian data dan verifikasi data), aktivitasnya dapat dilakukan dengan cara interaksi, baik antar komponennya, maupun dengan proses pengumpulan data, dalam proses yang berbentuk siklus. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut : i. Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari buku-buku yang relevan, informasi dari sumber, peristiwa, observasi dilapangan, dan sebagainya.
Sedangkan pengumpulan data melalui
teknik observasi secara langsung dan wawancara mendalam (in depth interviewing). ii. Reduksi Data (Reduction)
Reduksi data ialah bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting, dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan. iii. Sajian Data (Display) Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, diskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian ini merupakan rakitan kalimat yang disusun secara logis dan sistematis, sehingga bila dibaca, akan bisa mudah dipahami berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan peneliti untuk berbuat sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pemahamannya tersebut. Sajian data selain dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat meliputi berbagai jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan, dan juga tabel sebagai pendukung narasinya. iv. Penarikan kesimpulan dan verifikasinya Dari awal pengumpulan data, peneliti sudah harus memahami apa arti dari berbagai hal yang ia temui dengan melakukan peraturanperaturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat dan berbagai proporsi guna menarik kesimpulan akhir. Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses pengumpulan data berakhir. Kesimpulan tersebut harus diverifikasi agar cukup mantap dan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Adapun interaksi diantara keempat komponen tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut :
Pengumpulan data
Reduksi data
Sajian data Penarikan simpulan / verifikasi
Gambar 1: model analisis interaktif
H. Prosedur Penelitian Kegiatan penelitian ini seluruhnya dapat dilihat dalam langkah-langkah sebagai berikut:
1. Persiapan a. Mengajukan judul penelitian kepada pembimbing b. Mengumpulkan bahan/sumber, materi/referensi yang dibutuh- kan dalam penelitian. c. Menyusun proposal penelitian. d. Menyiapkan instrument penelitian dan alat observasi. 2. Pengumpulan Data a. Pengumpulan data yang dilakukan dengan metode wawancara mendalam dan observasi langsung. b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul dengan melaksanakan refleksinya. c. Membuat field note. d. Mengatur data dengan memperhatikan semua variable yang tergambar dalam kerangka berfikir. 3. Analisis Data a. Menentukan teknik analisis data yang tepat sesuai dengan proposal penelitian.
b. Melakukan analisis awal. c. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian direcheck dengan temuan dilapangan. d. Melakukan verivikasi, pengayaan dan pendalaman data. e. Merumuskan simpulan akhir sebagai temuan penelitian. 4. Penyusunan Laporan Penelitian a. Penyusunan laporan awal. b. Review laporan yaitu mendiskusikan laporan yang telah disusun dengan orang yang cukup memahami penelitian. c. Melakukan perbaikan laporan. d. Penyusunan laporan terakhir.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Diskripsi Lokasi Penelitian Desa Jati termasuk dalam Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Luas Desa Jati adalah 420, 4760 Ha. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Cepoko, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Karang Tolun, sebelah barat berbatasan dengan Desa Hadiluwih, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Gading. Desa ini terbagi dalam 10 dusun/dukuh, 9 RW (rukun warga), dan 27 rukun tangga (RT). Desa Jati terletak agak jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten, yaitu 27 km ke arah barat. Sementara jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan yaitu 3,5 km kearah utara dan dari pusat pemerintahan ibu kota propinsi berjarak 100 km. Keadaan ini membuat suasana di Desa Jati relatif tenang, dan jauh dari kesibukan kota (Data monografi Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, tahun 2008). Suasana pedesaan dengan lingkungan lahan pertanian masih mewarnai Desa Jati. Lahan pertanian di Desa ini berupa sawah tadah hujan dengan dibantu pengairan dari sumur yang dibuat di sekitar sawah dan tanah kering (ladang). Data monografi Desa Jati tahun 2008 menunjukkan bahwa luas lahan pertanian di Desa ini adalah 251, 32 Ha (59,76% dari keseluruhan luas Desa Jati) dan untuk tanah kering (pekarangan dan tegal/kebun) luasnya 169, 17 Ha (40,23% dari keseluruhan luas Desa Jati) . Padi merupakan hasil pertanian terbesar dimana rata-rata hasil panennya adalah 8 ton/Ha dengan dua kali panen dalam setiap tahun. Selain itu untuk hasil sayuran adalah 2 ton/Ha, dan hasil buah-buahan sekitar 1 ton/Ha. Keadaan penduduk Desa Jati bersifat heterogen. Jumlah penduduk di Desa ini adalah 4.450 jiwa dengan perincian jumlah laki-laki 2.193 jiwa (49,28%) dan perempuan 2.257 jiwa (50,72%). Mayoritas penduduk bekerja disektor agraris, dengan jumlah 733 orang sebagai petani (16,48%), 1251 orang bekerja sebagai buruh
tani (28,11%). Sementara itu 30 orang karyawan (0,67%), 78 orang wirasawasta (1,75%), 78 orang bekerja di sektor pertukangan (1,75%), dan 8 orang pensiunan (0,18%). Penduduk Desa Jati mayoritas memeluk agama Islam dengan jumlah 4097 orang (92,07%), 9 orang memeluk agama Kristen (0,20%), 5 orang memeluk agama Katholik (0,11%), 284 orang memeluk agama Hindu (6,38%), dan 18 orang mememluk agama Budha (0,40%) (Data Monografi Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, tahun 2008). Tingkat pendidikan masyarakat Desa Jati dapat dikatakan masih rendah. Data Statistik Kecamatan Sumberlawang, Sragen tahun 2007 menunjukkan, masyarakat Desa Jati yang tidak atau belum sekolah sekitar 7 orang warga (0,16%), belum tamat sekolah dasar (SD) berjumlah 538 warga (12,09%), tidak tamat SD berjumlah 542 warga (12,18%), warga lulusan SD berjumlah 1.793 warga (40,29%), warga lulusan SMTP (Sekolah Menegah Tingkat Pertama) yaitu berjumlah 593 warga (13,33%), warga lulusan SMTA (Sekolah Menengah Tingkat Atas) yaitu berjumlah 261 warga (5,87%), dan warga yang lulus akademi/perguruan tinggi berjumlah 63 warga (1,42%). Berbagai organisasi kemasyarakatan tumbuh subur di Desa Jati. Diantaranya yaitu organisasi Majlis Taklim terdapat 6 kelompok organisasi dengan anggota keseluruhan berjumlah 155 orang, majelis Hindu 1 kelompok dengan jumlah anggota 38 orang, remaja Masjid 10 kelompok dengan anggota 125 orang, remaja Hindu 1 kelompok dengan jumlah anggota 17 orang, pramuka Gudep terdapat 4 gudep, karang taruna 10 dukuh dengan jumlah keseluruhan anggota 450 orang, organisasi kesenian dengan jumlah anggota 40 orang untuk kesenian karawitan dan 55 orang untuk kesenian rebana, kelompok PKK dengan jumlah anggota 450 orang, dasa wisma dengan jumlah 101 anggota, dan dharma tirta dengan jumlah anggota 20 orang (Data monografi Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen tahun 2008). Selain berbagai organisasi kemasyarakatan, seperti yang dikemukakan oleh para informan jika di Desa Jati berbagai tradisi kebudayaan Jawa juga masih lestari. Masyarakat Desa Jati selalu berupaya untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa
sebagai mana yang telah ditinggalkan masyarakat pendahulunya. Berbagai tradisi Jawa masih tetap dilestarikan dan dilaksanakan tarmasuk yang menyangkut siklus kehidupan manusia (kalahiran, proses perkembangan, dan kematian). Tradisi kebudayaan Jawa dalam proses kelahiran yang masih lestari di Desa Jati seperti, tingkeban2, sepasaran3, mitoni4, dan sebagainya. Tradisi kebudayaan Jawa dalam proses perkembangan kehidupan misalnya khitanan/sunatan, pernikahan dengan berbagai pernak-pernik upacara adatnya dan kebisaan-kebiasaan yang telah melekat didalamnya, pembuatan rumah, dan sebagainya. Sedangkan kebudayaan Jawa terkait dengan kematian yang masih lestari di Desa Jati misalnya, kondangan nelung ndino (kirim doa bersama tiga hari setelah meninggalnya seseorang), mitung ndino (kirim doa bersama tujuh hari setelah meninggalnya seseorang), matang puluh dino (kirim doa bersama empat puluh hari setelah meninggalnya seseorang), nyatus (kirim doa bersama seratus hari setelah meninggalnya seseorang), mendak pisan (kirim doa bersama satu tahun setelah meninggalnya seseorang , mendak pindo (kirim doa bersama dua tahun setelah meninggalnya seseorang), nyewu (kirim doa bersama seribu hari setelah meninggalnya seseorang), dan sebagainya. Kondisi daerah Desa Jati yang masih bersifat pedesaan, dengan penduduk yang bersifat heterogen ini selaras dengan berbagai bentuk kerjasama, organisasi kemasyarakatan, sikap saling tolong-menolong, kerukunan dalam kehidupan, saling hormat menghormati, dan tenggang rasa yang masih tampak kuat keberadaannya. Keadaan ini seperti apa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dalam Yayuk Yuliati dan Mangku Poernomo (2003:32) sebagai community sentiment atau sentimen kelompok. Soerjono Soekanto dalam Yayuk Yulianti dan Mangku Poernomo (2003:32) membedakan tiga unsur dalam sentimen kelompok yakni, ”unsur seperasaan, sepenanggungan dan saling memerlukan”. Seperasaan adalah sikap individu yang saling menyelaraskan kepentingannya dalam kelompok sehingga 2
Tingkeban: upacara selamatan yang di selenggarakan bulan ketujuh masa kehamilan (Clifford Geertz. 1989:48-57) 3 Sepasaran: upacara selamatan lima hari sesudah kelahiran (Clifford Geertz. 1989:60-63) 4 Mitoni: upacara selamatan tujuh bulan setelah kelahiran (Clifford Geertz. 1989:63-65)
kepentingan kelompok merupakan manifestasi kepentingannya. Sepenanggungan merupakan perasaan bahwa individu adalah anggota kelompok dimana ia mempunyai tanggung jawab yang sama dalam kelompoknya. Sementara saling memerlukan adalah kesadaran bahwa ia tergantung dan memerlukan kelompok itu dalam menyokong kehidupannya. Kehidupan dalam kemasyarakatan seperti ini di Desa Jati meliputi semua aktivitas kegiatan dalam semua aspek kehidupan, yaitu aktivitas kebersamaan bermasyarakat yang saling merasakan, baik yang menyangkut kesedihan maupun kebahagiaan, termasuk dalam aktifitas saling tukar menukar pemberian sumbangan pada acara pernikahan.
B. Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori 1. Waktu Pelaksanaan Pernikahan di Desa Jati Pernikahan bagi masyarakat Indonesia selalu disertai dengan adanya upacara yang dirayakan dengan perhelatan atau pesta. Dalam masyarakat, setiap keluarga entah secara besar-besaran atau sederhana merencanakan persiapan
perhelatan
pernikahan anak atau saudara mereka jauh-jauh hari sebelumnya. Khususnya persiapan dalam pembiayaan acara pernikahan. Hal ini juga diketahui oleh para tetangga atau masyarakat di sekitarnya. Masyarakat sekitar seringkali juga sudah rasan-rasan (sedikit mengetahui) apabila salah seorang tetangganya hendak melakukan perhelatan perkawinan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan maka dapat diketahui bahwa pelaksanaan acara pernikahan di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen dalam setiap bulannya terdapat lebih dari satu kali, bahkan dalam satu bulannya kadang-kadang sampai terdapat empat kali perhelatan acara pernikahan. Masyarakat Desa Jati menyebutkan nama bulan dengan angka saja, dan dari keterangan mereka dapat diketahui bahwa di Desa Jati acara pernikahan paling ramai dilaksanakan pada bulan empat, lima dan enam penanggalan Masehi atau dengan kata lain pada bulan April, Mei dan Juni. Tentu saja pemilihan bulan-bulan yang banyak digunakan untuk mengadakan pernikahan ini bukanlah tanpa alasan.
Masyarakat Desa Jati yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani turut mempengaruhi pemilihan bulan dalam melakukan perhelatan pernikahan. Alasan yang mendasarinya adalah karena persoalan waktu yang dianggap tepat, dimana pada bulan-bulan tersebut mereka sedang menunggu panen. Saat menunggu panen adalah saat para warga masyarakat Desa Jati yang mayoritas bekerja di sektor pertanian sedang tidak memiliki banyak pekerjaan seperti halnya pada saat musim tandur (tanam), atau musim panen, sehingga banyak waktu longgar untuk menyelenggarakan kegiatan acara pernikahan. Meskipun demikian, seperti halnya kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya, masyarakat Desa Jati juga mengetahui dan memahami tentang berbagai perhitungan waktu yang dianggap baik dan waktu yang dianggap jelek atau sering disebut dengan petungan5. Pengetahuan masyarakat tentang waktu yang dianggap baik atau jelek juga turut berpengaruh pada saat kapan mereka akan melangsungkan pernikahan. Dalam kalender perhitungan bulan Jawa maka bulan Suro dan bulan Apit adalah bulan yang tidak boleh digunakan untuk menyelenggarakan acara hajatan pernikahan. Apabila dihitung dengan penanggalan Jawa bulan Apit adalah bulan Dulkaidah atau sering disebut dengan bulan Sela, yaitu antara bulan Sawal dan bulan Besar. Bulan dalam penanggalan Jawa tidak dapat selalu di samakan dengan perhitungan bulan Masehi, misalnya bulan Suro yang merupakan bulan awal tahun baru pada penaggalan Jawa tidak selalu terletak pada bulan Januari (bulan awal pada tahun baru Masehi). Hal ini dikarenakan perhitungan antara bulan Jawa dengan bulan Masehi berbeda. Penanggalan Jawa menggunakan tarikh peredaran bulan, sedangkan bulan Masehi menggunakan tarikh matahari. Ada beberapa alasan mengapa bulan Apit dan bulan Suro tidak boleh digunakan untuk menyelenggarakan acara hajatan pernikahan. Warto (bukan nama 5
Pentungan: sistem numerologi orang Jawa. Pentungan merupakan cara untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidak untungan. Misalnya petungan dalam penetapan kecocokan jodoh, petungan untuk pindah tempat tinggal, bepergian, penentuan waktu pernikahan dan sebagainnya (Clifford Geertz. 1989:38-44).
sebenarnya), salah satu informan secara terperinci penjelaskan dua alasan tersebut: pertama, di daerah Surakarta dan Yogyakarta memiliki patokan bahwa bulan Apit dan bulan Suro adalah bulan-bulan keramat. Menurut Warto, seperti yang dikemukakan orang-orang/masyarakat pendahulunya bahwa pelaksanaan hajatan pernikahan pada bulan Apit dan Suro hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi saja. Sementara masyarakat biasa dianggap tidak pantas untuk menyelenggarakan hajatan pernikahan seperti yang dilakukan oleh orang yang memiliki derajat tinggi pada trah (keturunan) mereka. Kedua, sesuai dengan perhitungan Jawa memang ada bulan-bulan yang disingkiri, haram untuk menyelenggarakan acara hajatan pernikahan. Jika hal ini dilanggar masyarakat percaya bahwa akan ada bahaya yang datang, terutama bagi pihak yang menyelenggarakan hajatan pernikahan tersebut. Kepercayaan ini tentu saja berkaitan erat dengan budaya masyarakat Jawa yang masih sangat kental. Selain bulan Apit dan Suro yang telah dijelaskan di atas maka terdapat satu bulan lagi yang jarang digunakan untuk menyelenggarakan acara hajatan pernikahan, yaitu bulan puasa atau bulan Ramadan sampai pada pelaksanaan perayaan hari raya Idul Fitri. Hal ini terkait dengan pemfokusan masyarakat Desa Jati yang mayoritas beragama Islam pada pelaksanaan ibadah puasa dan perayaan hari raya Idul Fitri. Acara hajatan pernikahan sendiri syarat dengan pesta yang dilengkapi dengan berbagai suguhan hidangan bagi para tamu undangan yang telah hadir, sehingga bulan puasa atau bulan ramadhan sering dihindari bagi pelaksanaan acara hajatan pernikahan di Desa Jati. Masyarakat Desa Jati tentu saja memiliki alasan-alasan tersendiri tentang persoalan penghitungan bulan, apakah boleh dan tidak boleh dilakukannya acara pernikahan. Sehingga pelaksanaan sistem sumbangan di Desa Jati juga selalu mengikuti waktu pelaksanaan hajatan pernikahan tersebut. Karena tentunya pelaksanaan sistem sumbangan ini dilaksanakan sewaktu acara pesta hajatan pernikahan dilaksanakan. Yaitu pada bulan-bulan selain bulan Suro, Apit (Dulkaidah), bulan puasa (Ramadan), dan bulan Syawal (Idul Fitri).
2. Bentuk Sumbangan Pada Acara Pernikahan di Desa Jati Warto, Pardi, Yono, Brama, Endang dan Ratmi (bukan nama sebenarnya) sebagai informan menjelaskan bahwa di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, bentuk sumbangan yang diberikan para tamu undangan pada acara hajatan pernikahan dapat berupa uang, barang hasil bumi ataupun berupa kado. Berkaitan dengan bentuk sumbangan ini Yono salah satu informan menuturkan, “bentuk sumbangan biasanya beras mas…..kalau uang itu untuk jagong di atau dari lain Desa….kalau kado itu dari orang muda…..kalau orang tua gak kado-kadonan…..”. (W/Yono/29/04/09) Sumbangan pada acara pernikahan yang berupa barang hasil bumi adalah salah satu bentuk sumbangan yang masih eksis di Desa Jati sampai saat ini. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu informan di atas, sumbangan yang berupa hasil bumi tersebut adalah beras. Secara lebih rinci Ratmi (salah seorang informan) menunjukkan jika sumbangan hasil bumi yang berupa beras ini mencakup dua jenis yaitu beras biasa dan beras ketan. Setiap menghadiri acara hajatan pernikahan warga masyarakat Desa Jati biasanya akan menyumbang dengan dua macam jenis beras ini. Atau paling tidak dalam sekali menyumbang minimal membawa salah satu jenis beras (beras biasa atau beras ketan) untuk diberikan kepada pihak yang mempunyai hajat. Selain beras juga pisang, sayuran, cabai, bawang merah, bawang putih dan ditambah dengan “tumpangan”. Tumpangan adalah istilah yang digunakan masyarakat Desa Jati untuk menyebut beberapa makanan ataupun bahan makanan yang digunakan sebagai pelengkap sumbangan dalam bentuk hasil bumi. Beberapa makanan dan bahan makanan yang digunakan sebagai tumpangan seperti, makanan khas Jawa (wajik, jadah, gletik, lemper, rangin, dan sebagainya) minimal 1 ketel/ satu pres nampan, pisang 1 sisir, mie 1 pak/ plastik, gula 1 atau 2 kg, kue, teh 1 pak/ satu plastik, rokok 1 slop, rambak/kerupuk, dan sebagainya. Sumbangan yang berupa hasil bumi ini rata-rata untuk beras biasa standarnya sekitar 3 beruk (penakar beras)/ 4 kg dan beras ketan juga 3 beruk/ 4 kg. Jumlah ini akan
bertambah jika yang mengadakan hajatan atau yang akan disumbang masih saudara/kerabat. Untuk kerabat/saudara jumlah sumbangan yang berupa beras biasa maupun beras ketan tersebut semuanya akan menjadi 20 kg atau lebih. Adapun untuk kerabat/saudara jumlah tumpangan biasanya disesuaikan sepantasnya, tentunya dengan menyesuaikan sumbangan hasil bumi yang diberikan. Hasil bumi terutama beras adalah hasil pertanian pokok di Desa Jati. Masyarakat meskipun kadang-kadang memiliki sedikit uang, tetapi jika beras mereka selalu menyimpannya. Beras kadang-kadang menjadi harta simpanan masyarakat dimana saat mereka membutuhkan uang maka beras tersebut dapat dijual. Dengan demikian beras masih tetap eksis dijadikan sebagai sumbangan karena setiap masyarakat dirasa selalu memiliki simpanan beras. Hal ini
terkait juga dengan
pekerjaan masyarakat Desa Jati yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Selain itu beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Desa Jati dan beras juga merupakan salah satu bahan makanan pokok yang akan disajikan pada acara pernikahan. Dengan menyumbang beras beserta tumpangannya maka yang punya hajat akan dapat langsung mengolahnya sebagai hidangan yang disajikan untuk para tamu undangannya. Hal ini juga sejalan dengan Clifford Geertz (1989:88) dalam penelitiannya di masyarakat Mojokuto, yang mengatakan bahwa setiap orang menyumbang beras bukan berupa uang tunai, karena bahan makanan tersebut dapat segera digunakan untuk slametan (upacara selamatan). Di Desa Jati jenis sumbangan yang berupa hasil bumi ini lebih sering dibawa tamu undangan perempuan, karena dirasa lebih pantas terkait yang dibawa adalah barang-barang belanjaan untuk hidangan ataupun bahan hidangan yang akan disajikan dalam pesta hajatan pernikahan. Masalah urusan barang-barang belanjaan selalu diserahkan pada perempuan dan pihak laki-laki menganggap kurang pantas jika mereka yang mengurusi serta membawanya sebagai sumbangan. Sehingga barangbarang belanjaan, urusan masak-memasak, ataupun urusan dapur diidentikkan dengan perempuan. Pembagian peran gender pun sangat terlihat dalam kegiatan ini.
Jenis sumbangan yang kedua adalah berupa uang dan jenis ini juga masih berlaku di Desa Jati. Rata-rata jumlah standar sumbangan yang berupa uang sekitar Rp.15.000 sampai Rp. 25.000 untuk sekali menyumbang. Sama halnya dengan sumbangan yang berupa hasil bumi, jika yang disumbang masih kerabat/saudara maka jumlahnya akan disesuaikan besarannya. Menyumbang kerabat, saudara atau keluarga tentu saja jumlahnya akan lebih besar dibandingkan dengan jumlah sumbangan yang dikeluarkan untuk tetangga, teman atau masyarakat biasa. Uang yang akan digunakan untuk menyumbang biasanya dimasukkan kedalam amplop, seperti keterangan Brama, salah satu informan yang mengatakan, “biasanya amplop yang digunakan untuk menyumbang itu amplop yang kecil putih itu…kalau gak ya amplop yang sampingnya ada merah-merahnya itu…amplop untuk surat itu….”. (W/Brama/22/04/09) Mengamplopi uang yang akan dijadikan sumbangan dirasa lebih sopan bila dibandingkan dengan memberi langsung tanpa amplop. Tamu undangan laki-laki cenderung lebih memilih jenis sumbangan berupa uang, karena dinilai lebih pantas dan praktis untuk dibawa. Selain itu, dengan alasan kepraktisan masyarakat Desa Jati apabila menghadiri acara hajatan pernikahan di luar Desa sering menggunakan sumbangan yang berupa uang. Begitu juga saat mereka menyelenggarakan hajatan pernikahan, tamu dari luar daerah biasanya lebih sering memberikan sumbangan yang berupa uang. Dari hasil wawancara, para informan menyebutkan bahwa sumbangan dalam jenis uang ini telah berjalan sejak dahulu, tetapi mereka tidak mengetahui kapan sumbangan yang berupa uang seperti ini mulai diberlakukan. Mereka hanya mangetahui jika sumbangan dalam bentuk uang ini berlaku bersamaan dengan sumbangan yang berupa hasil bumi. Para informan mengetahui jika sumbangan yang berupa uang seperti ini telah ada di Desa Jati sejak dahulu, dan sumbangan seperti ini telah berjalan secara turun menurun dari generasi ke generasi. Jenis sumbangan yang lain adalah berupa kado. Kado lebih sering diberikan oleh tamu undangan yang masih muda usianya, khususnya adalah remaja perempuan,
baik selaku teman sekolah, kenalan, teman kerja, teman organisasi, teman bermain dan sebagainya. Sedangkan untuk anak muda laki-laki lebih cenderung menyumbang dengan uang bukan dengan kado. Brama, salah satu informan yang juga masih berusia muda mengemukakan alasan tentang kecenderungan anak muda laki-laki untuk menyumbang berupa uang, ia mengemukakan, “Ya uang, karena kado kurang praktis dan kalau bagi saya sendiri saya rasa gak pantes cah lanang gowo kado…”. (W/Brama/04/09) Kado bagi remaja laki-laki dirasa kurang praktis dan merepotkan. Mulai dari pemilih barang yang akan digunakan untuk isi kado, cara pengemasan kado yang membutuhkan kesabaran, keindahan dan kerajinan, sampai pada membawanya pun dirasa oleh para remaja laki-laki terlalu ribet/merepotkan. Remaja laki-laki juga merasa kurang pantas jika mereka membawa kado, mereka menilai bahwa remaja perempuanlah yang lebih pantas, seperti yang dikemukakan Brama (salah satu informan) di atas. Kebiasaan dan konstruksi sosial kembali mewarnai masalah pantas dan tidaknya dalam memberikan sumbangan yang berupa kado. Brama juga menjelaskan, di Desa Jati kado biasanya tidak diberikan secara berkelompok. Satu kado tidak diberikan sebagai sumbangan pada acara pernikahan atas nama banyak orang (kelompok), namun biasanya lebih bersifat individu. Setiap tamu undangan yang menyumbang berupa kado akan membawa kadonya sendirisendiri dan atas namanya sendiri. Dalam hal ini Brama mengemukakan, ”biasane yen kado yo dewe-dewe…..yen kelompok biasane gak enek…aku durung pernah ngerti ki sak wene neng kene...” (biasanya kalau kado ya sendiri-sendiri….kalau kelompok biasanya tidak ada…saya belum pernah
mengetahuinya selama di sini).
(W/Brama/22/ 05/09) Barang yang digunakan untuk menyumbang dalam bentuk kado sendiri bermacam-macam. Seperti yang dikemukakan oleh para informan misalnya album foto, jam dinding, jam kecil, mangkok, pakaian bayi, alat-alat rumah tangga, kain, bed cover (sprei), dan sebagainya. Untuk penentuan jenis barang yang akan diberikan dalam sumbangan yang berupa kado ini biasanya relatif masing-masing orang
berbeda-beda menurut selera. Selain itu penentuan jenis kado juga di dasarkan pada hubungan pemberian yang pernah terjalin. Misalnya seseorang sewaktu ia mengadakan hajatan acara pernikahan pernah disumbang dengan suatu barang dalam bentuk kado, maka pada saat yang memberikan itu punya hajat secara gantian seseorang (yang pernah diberi kado tersebut) akan mengembalikan pemberiannya dengan menyumbang barang dalam bentuk kado yang sama atau paling tidak yang senilai dengan yang pernah ia terima.
3. Arti Penting Sumbangan pada Acara Pernikahan bagi Kehidupan Masyarakat Desa Jati Bagi masyarakat Desa Jati sistem sumbangan yang telah berjalan sejak dahulu ini merupakan suatu aktivitas kemasyarakatan yang dianggap penting, karena merupakan salah satu adat kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi dan menjalin relasi antar individu dalam Desa tersebut. Hal ini menjadi kebiasaan yang rutin dilakukan oleh masyarakat. Apabila sumbangan rutin dilaksanakan dan telah menjadi kebiasaan tentunya di dalam sistem sumbangan juga terdapat berbagai hal—baik yang disadari maupun tidak—yang diketahui dan dipahami oleh setiap masyarakat sebagai upaya pelestariannya, termasuk di dalamnya adalah berbagai aturan kewajiban timbal balik untuk saling membalas dari pemberian sumbangan. Meskipun jumlah sumbangan yang diberikan bersifat relatif, atau dengan istilah lain disesuaikan sepantasnya, namun demikian dalam sistem sumbangan yang berjalan di Desa Jati tetap ada standar yang menyangkut jumlah nominal sumbangan yang akan diberikan kepada orang yang punya hajat. Tidak ada kesepakatan ataupun aturan secara tertulis dalam hal ini, tetapi yang ada hanyalah kebiasaan atau kesepakatan umum yang dipahami bersama yang telah berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Pemahaman tentang “disesuaikan sepantasnya” menimbulkan standar minimal jumlah nominal sumbangan yang pantas untuk diberikan. Masyarakat Desa Jati selalu berusaha untuk menyumbang setidaknya pada batas minimal jumlah sumbangan yang dianggap pantas. Paling tidak membalas sumbangan yang telah
diterima dengan jumlah yang sama, sehingga tidak merugikan pihak lain. Hal ini seperti yang dikemukakan Warto yang mengemukakan, ”Biasanya relative, o..nek dhisik disumbang nek nggo tuku rokok oleh telung wadah yo tapi yen saiki ra oleh yo mestine diimbangi….orang Jawa itu tidak bisa merugikan orang lain. Lah itulah keluhuran orang Jawa, jadi timbal balik semacam ini perlu dilestarikan… ”. (W/Warto/25/04/09) Pemahaman masyarakat Desa Jati tentang perimbangan jumlah pemberian sumbangan dalam hubungan timbal balik
tersebut sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Goulder dengan istilah resiprositas. Gouldner dalam James Scott (1981:255) mengemukakan,
prinsip
tentang
resiprositas
dan
perimbangan
pertukaran adalah prinsip yang didasarkan pada gagasan yang sederhana saja yakni bahwa orang harus membantu mereka yang pernah membantunya atau setidaktidaknya jangan merugikannya. Lebih khusus lagi prinsip itu mengandung arti bahwa suatu hadiah atau balas jasa yang diterima menciptakan bagi si penerima suatu kewajiban timbal balik untuk membalas dengan hadiah/jasa dengan nilai yang setiadak-tidaknya sebanding dikemudian hari. Di Desa Jati juga terdapat pemahaman tentang pertimbangan jumlah sumbangan yang pantas untuk diberikan. Pertimbangan tersebut yaitu pertama, dengan melihat kemampuan orang yang menyumbang. Warga masyarakat menyumbang sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing, dengan melihat keadaan ekonomi yang mereka miliki. Kedua, dengan melihat kemampuan orang yang disumbang. Jika orang yang disumbang kiranya akan keberatan untuk membalas sumbangan yang diberikan dengan jumlah yang besar, maka dengan pertimbangan itu si penyumbang cenderung akan menyumbang dengan jumlah yang standar. Namun dalam hal ini seperti yang telah dikemukakan di depan, tetap ada standar minimal yang dianggap pantas terkait besar kecilnya jumlah sumbangan yang berlaku dalam masyarakat. Seperti yang dikemukakan Warto; meskipun yang menyumbang itu orang kaya tetapi kalau yang disumbang sepertinya keberatan untuk mengembalikan apabila disumbang dengan jumlah
yang besar ya….lebih baik di sumbang dengan jumlah yang standar saja…memang sebenarnya bertentangan dengan agama ya…karena kalau nyumbang itu kan sebenarnya harus ikhlas ya….tapi ini kok memiliki pamrih... . (W/Warto/25/04/09) Dengan dua pertimbangan ini maka di Desa Jati status, kedudukan, pangkat, ataupun kekayaan seseorang tidak mempengaruhi banyak sedikitnya jumlah sumbangan yang akan diberikan. Begitu pula sebaliknya jika seseorang yang memiliki status, kekayaan, pangkat ataupun kedudukan saat mengadakan acara hajatan pernikahan belum tentu tamu undangan yang hadir akan memberikan jumlah sumbangan yang lebih besar. Bahkan menurut Warto orang yang terkenal, kaya, punya kedudukan tinggi di Desa Jati kadang-kadang malah rugi saat menyelenggarakan hajatan pernikahan. Warto mengemukakan, bahkan orang yang terkenal, kaya, punya kedudukan tinggi di Desa kadangkadang malah rugi mas….ya kalo terkenal jumlah tamunya pasti juga banyak, kalau mau mengadakan pesta acara pernikahan yang biasa-biasa saja kan juga malu, mulai dari hiburan, dan segala sesuatunya pasti lebih dari biasa, sehingga kadang-kadang menjadi rugi. (W/Warto/25/04/09) Sistem sumbangan yang berjalan di masyarakat Desa Jati pada khususnya dan di masyarakat Jawa pada umumnya ini merupakan salah satu contoh yang dapat menambah bukti pembenaran dari pernyataan Durkheim. Dimana Durkheim dalam Scott (1981:255-256) menjelaskan bahwa faham pertukaran yang sepadan ini merupakan suatu prinsip moral umum yang terdapat pada semua kebudayaan. Di Asia Tenggara prinsip resiprositas terdapat dalam banyak kegiatan. Bentuk-bentuk saling bantu-membantu berupa gotong royong di Jawa merupakan contoh resiprositas yang sangat teratur. Resiprositas juga merupakan prinsip moral yang pokok yang mendasari kegiatan sosial desa-desa di Muangthai, baik dilingkungan keluarga maupun antar keluarga. Di Filipina, pola persekutuan diantara manusia yang satu dengan manusia yang lain pada umumnya ditafsirkan sebagai resiprositas, bahwa “setiap jasa yang diterima, diminta atau tidak, harus dibalas,” rasa malu (hiya) dan rasa berhutang budi (utang na loob) merupakan daya penggerak resiprositas.
Pernyataan Warto di atas juga menunjukkan jika pengembalian sumbangan yang pernah diberikan atau dengan kata lain saat membalas sumbangan harus disesuaikan dengan perkembangan nilai tukar uang yang telah terjadi. Artinya faktor fluktuasi uang juga turut menjadi hal yang diperhitungkan. Dalam kesempatan lain Warto mengemukakan, “jika tahun ‘97 misalnya menyumbang Rp. 5000 maka kita gak mungkin untuk sekarang menyumbang Rp. 5000 karena harga kebutuhan pokok juga naik semua…” (W/Warto/25/04/09). Begitu juga dengan Ratmi yang mengemukakan, ”suk nggeh dibalekne Rp. 10.000 yen wis suwe banget yo duwit Rp.10.000 kuwi entuk opo...., yo mesthi ditambahi lah dek...” (besok ya dikembalikan Rp. 10.000 jika sudah lama sekali ya uang Rp. 10.000 itu dapat apa......, ya pasti ditambahi lah dek...) (W/Ratmi/6/06/ 09). Panyesuaian jumlah sumbangan yang akan diberikan dengan tingkat perkembangan nilai tukar uang ini ternyata juga sama dengan yang terjadi di masyarakat Yogyakarta, seperti apa yang ditunjukkan oleh Novita Purnamasari dalam penelitian mandirinya. Novita Purnamasari (2000:98-99) menjelaskan jika, pengembalian sumbangan di Yogyakarta harus disesuaikan dengan perkembangan nilai tukar uang, karena kesempatan untuk mengembalikan sumbangan yang pernah diterima, tidak selalu terjadi pada tahun yang sama. Uang maupun barang yang akan dipergunakan untuk menyumbang selalu dipersiapkan terlebih dahulu dengan teliti sebelum berangkat menghadiri acara hajatan pernikahan. Brama salah satu informan mengemukakan tentang persiapan saat akan menghadiri hajatan pernikahan dengan mengemukakan, ”Persiapan ya janjian sama teman-teman untuk berangkat bersama, yang kedua ya…menyiapkan uang untuk sumbangan…” (W/Brama/22/04/09). Sementara Ratmi mengemukakan, ”umpomo sesuk nyumbang sorene sampun digawe... sampun disiapne..” (seumpama besok nyumbang sore harinya sudah di buat...sudah disiapkan) (W/Ratmi/6/06/09).
Begitu juga dengan Warto mengemukakan persiapannya saat akan menghadiri acara hajatan pernikahan dengan mengemukakan, biasanya jika kita among tamu malamnya sebelum hari “H” sumbangan berupa barang (hasil bumi) sudah diantarkan dahulu, kalo untuk menyumbang uang ya pas hari “H”-nya…..kalau untuk di luar lingkungan ya malamnya sudah dipersiapkan, sudah dimasukkan kedalam amplop. (W/Warto/25/04/09) Persiapan sumbangan juga sampai pada merekatkan amplop dengan lem setelah dimasukkannya uang kedalam amplop. Brama, Pardi, dan Ratmi menjelaskan bahwa hal ini dilakukan supaya uang sumbangan aman, tidak jatuh atau bahkan hilang. Sementara Warto mengemukakan diberi perekatnya amplop bertujuan untuk menjaga kerahasiaan jumlah sumbangan agar tidak diketahui orang lain. Hal ini merupakan privasi bagi penyumbang dengan tujuan agar yang tahu jumlah nominal sumbangan yang diberikan hanyalah penyumbang dan yang disumbang saja, meskipun sudah ada semacam kesepakatan umum yang saling dipahami tentang standar minimal atau nilai kepantasan suatu sumbangan. Setelah uang atau barang yang akan diberikan sebagai sumbangan pada acara pernikahan dipersiapkan maka selanjutnya adalah melakukan aktivitas jagong (menghadiri acara hajatan pernikahan), Di sinilah inti kegiatan sumbangan dilakukan. Menurut penjelasan dari informan ada dua cara dalam memberikan sumbangan yang berupa uang. Pertama, yaitu dengan memberikan secara langsung kepada pihak yang dihajati (pengantin) atau orang tuannya dengan cara sambil bersalaman saat akan pulang. Kedua, yaitu dengan memasukkan amplop sumbangan pada kotak sumbangan yang telah disediakan—biasanya di depan meja penerima tamu. Apabila antara tamu undangan dengan pihak yang mengadakan hajatan sudah kenal akrab, sumbangan yang diberikan secara langsung dengan cara sambil bersalaman kadang-kadang secara basa-basi sering ditolak pihak yang mengadakan hajatan pernikahan. Dalam hal ini Pardi menuturkan, nggeh nek mboten enten kotak yen pun kenal akrab ngoten sing marengke ndadak nganggo di pekso-pekso….karo salaman…wis rasah……wis
rasah….ngoteniku…. (ya kalau tidak memakai kotak kalau sudah kenal akrab yang memberikan harus dipaksa-paksa….sambil bersalaman….sudah tidak usah…sudah tidak usah….seperti itu…). (W/Pardi/28/04/09) Namun jika dalam acara hajatan tersebut disediakan kotak sumbang, maka pemberian sumbangan akan lebih leluasa. Orang hanya akan memasukkan amplop saja dan bersalaman saat berpamitan dengan yang punya hajatan. Acara hajatan pernikahan di Desa Jati tidak seluruhnya selalu menggunakan kotak sumbang. Biasanya yang menyediakan kotak sumbang hanya pada acara-acara pernikahan yang diselenggakan secara besar-besaran/mewah. Selain ada sumbangan yang diberikan secara langsung, di Desa Jati juga ada sumbangan yang sifatnya kolektif. Sumbangan yang sifatnya kolektif biasanya dikumpulkan kepada suatu pengurus khusus pengumpul sumbangan yang telah memiliki kepengurusan tersendiri dan bersifat tetap. Masing-masing dukuh di Desa Jati sekarang sudah terdapat
pengurus semacam ini.
Dan ini berlaku untuk
kegiatan sumbang menyumbang antar dukuh dalam kawasan satu wilayah Desa. Antara dukuh yang satu dengan dukuh yang lain di Desa Jati terdapat semacam jalinan kerjasama dalam sumbangan kelompok. Akan tetapi tidak semua dukuh di Desa Jati terikat jalinan semacam ini, hanya dukuh-dukuh yang terletak berdekatan saja yang melakukan kesepakatan untuk menjalin hubungan sumbangan kelompok. Misalnya di dukuh Brontok, Taryono mengurusi hubungan sumbangan dengan dukuh Jati, Sarnoto mengurusi hubungan sumbangan dengan dukuh Bulan, Sular mengurusi hubungan sumbangan dengan dukuh Sadean, dan Mulyono yang mengurusi hubungan sumbangan kelompok dengan dukuh Sendang Rejo. Jenis sumbangan yang digunakan secara kolektif ini adalah uang. Biasanya jumlah nominal sumbangan yang dikumpulkan dipengurus sekitar Rp. 3.000 sampai dengan Rp. 5.000 untuk setiap keluarga. Seperti yang dikemukakan para informan, apabila di salah satu dukuh akan ada pelaksanaan acara pernikahan, pada umumnya ada beberapa langkah dalam mekanisme pelaksanaan sumbangan kelompok. Pertama, salah satu pengurus akan
memberikan informasi ke dukuh lain (yang telah terikat dalam hubungan kerjasama dalam sumbangan kolektif ini) jika di dukuhnya akan ada acara pernikahan lengkap dengan nama pihak yang akan punya hajat pernikahan dan waktu pelaksanaannya. Kedua, pengurus di dukuh yang di beri informasi tadi akan mengumumkan kepada masyarakat di mushola setempat jika akan ada acara pernikahan di dukuh sebelah, warga masyarakat kemudian dimohon untuk mengumpulkan sumbangan ke pengurus. Pengumuman kepada warga ini biasanya dilakukan sekitar lima hari sebelum acara pernikahan dilaksanakan.
Ketiga, dalam jangka waktu lima hari
sebelum acara pernikahan berlangsung tersebut para warga masyarakat akan menyetorkan uang sumbangan mereka kepada panitia dan kemudian panitia juga akan mencatat nama dan jumlah sumbangan yang diberikan. Keempat, setelah sumbangan terkumpul salah satu pengurus akan menyerahkannya kepada pihak di lain dukuh yang sedang mengadakan acara hajatan, lengkap dengan nama yang telah menyumbang dan jumlah sumbangannya. Penyetoran kepada pihak yang sedang mengadakan acara pernikahan ini biasanya sewaktu acara hajatan dilaksanakan, atau kalau tidak paling lama dalam waktu sekitar tiga hari setelah acara hajatan pernikahan dilaksanakan. Meskipun warga telah memberikan sumbangan uang lewat pengurus sumbangan kolektif, namun mereka tetap berkewajiban untuk menyumbang baik dapat berupa kado ataupun hasil bumi. Pemberian sumbangan yang berupa hasil bumi agak berbeda dengan sumbangan yang berupa uang. Sumbangan yang berupa hasil bumi biasanya dibawa oleh pihak tamu undangan perempuan. Dan ini hanya berlaku untuk satu Desa. Sumbangan yang berupa hasil bumi biasanya dapat diberikan pada sore hari sebelum keesokan harinya acara resepsi hajatan pernikahan dilaksanakan, sewaktu ibu-ibu/tamu undangan perempuan yang jagong (menghadiri undangan resepsi pernikahan) atau setelah acara resepsi dilaksanakan. Pemberiannya pun tidak diberikan secara langsung dengan pihak yang punya hajat tetapi diberikan kepada panitia penerima sumbang. Panitia ini dibentuk saat acara
kumbokernan
dilaksanakan. Kumbokernan adalah musyawarah yang diselenggarakan oleh yang
punya hajat dengan para tetangga serta pihak-pihak atau tokoh-tokoh yang dirasa mampu untuk memikirkan berbagai masalah dan kebutuhan untuk penyelenggaraan acara hajatan, termasuk pembentukan berbagai seksi beserta tugasnya, pembagian undangan dan sebagainya. Mekanisme cara memberikan sumbangan yang berupa hasil bumi lengkap dengan tumpangannya ini memiliki keunikan tersendiri. Awalnya para tamu undangan (secara lebih khusus tamu undangan perempuan) datang dengan menggendong tenggok (semacam bakul yang terbuat dari anyaman bambu) yang berisi beras lengkap dengan tumpangannya sebagai sumbangan yang akan diberikan kepada yang punya hajat pernikahan. Setelah sampai di tempat yang punya hajat, mereka akan dihadang oleh beberapa orang panitia dengan membawa secarik kertas, alat tulis dan perekat (lem kertas). Kemudian tamu undangan tersebut oleh panitia akan ditanya terkait dengan nama dan alamatnya, yang oleh panitia akan ditulis pada secarik kertas yang dibawanya, diberi perekat dan kemudian ditempel pada tenggok yang tamu undangan bawa. Setelah itu tenggok tersebut diserahkan pada panitia, sementara tamu undangan masuk ketempat acara pesta pernikahan untuk bertemu dengan yang punya hajat, menikmati hidangan, menyaksikan upacara pernikahan, dan sebagainya. Panitia khusus penerima sumbang kemudian akan membawa tenggoktenggok para tamu undangan itu kedalam (dapur), dan di dapur terdapat panitia khusus lagi yang bertugas untuk mengeluarkan isi sumbangan dari dalam tenggok serta mencatat sumbangan tersebut. Pencatatan sumbangan mencakup nama, alamat, beras berapa kilo, dan barang. Yang dimaksud barang disini adalah macammacam tumpangan yang disumbangkan beserta jumlahnya. Kemudian setelah itu tenggok-tenggok para tamu yang datang akan dikeluarkan dan ditaruh di sebelah sisi rumah yang berbeda dengan sisi saat para tamu datang. Tetapi sebelumnya tenggok-tenggok tersebut diisi dengan nasi, dan makanan-makanan kecil khas Jawa seperti wajik, jadah, gletik, rangin, roti dan sebagainya.
Pengembalian langsung dari sumbangan yang telah diberikan ini di sebut dengan tonjokan. Istilah tonjokkan ini berbeda dengan istilah yang ada di masyarakat Surakarta. Jika di masyarakat Surakarta tonjokkan adalah pemberian berbagai makanan sebelum acara hajatan pernikahan sebagai simbol undangan bagi masayarakat sekitar. Sedangkan di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen yang juga masih termasuk dalam karisidenan Surakarta, istilah tonjokkan ini di gunakan untuk mengistilahkan pemberian kepada para tamu undangan setelah mereka menghadiri acara pernikahan dan menyumbang. Jumlah tonjokan tentunya tidak sebanding dengan jumlah sumbangan yang diberikan. Tonjokan yang diberikan hanya terkesan sebagai pengisi tenggok yang kosong saat akan dibawa pulang. Saat akan pulang para tamu perempuan tersebut akan menuju ke sisi rumah yang berbeda dengan saat mereka datang dan mengambil tenggok-tenggok mereka, digendong dan dibawa pulang kembali. Mekanisme cara memberikan sumbangan yang berupa hasil bumi di Desa Jati tampak seperti ini dan hal ini akan lebih rumit saat resepsi pernikahan berlangsung, karena jumlah tamu yang datang sangat banyak sehingga panitia penerima sumbangan terlihat sangat sibuk dalam melaksanakan tugasnya. Berbeda dengan sumbangan dalam bentuk uang dan sumbangan dalam bentuk hasil bumi, biasanya kado langsung diberikan kepada pihak yang dihajati. Tamu undangan (khususnya remaja putri) yang datang dengan membawa sumbangan berupa kado akan langsung memberikan kadonya kepada pihak yang dihajati (pengantin) saat mereka datang dan bertemu dengan pihak yang dihajati (pengantin) tersebut. Namun jika para tamu undangan datang saat acara resepsi dilaksanakan, kado yang mereka bawa biasanya diletakkan atau diberikan kepada panitia penerima sumbangan, karena pihak yang dihajati tentunya sedang melakukan prosesi upacara adat pernikahan. Untuk acara hajatan pernikahan, di Desa Jati memang masih dilaksanakan secara meriah/besar-besaran. Yono salah satu informan mengemukakan jika hajatan pernikahan itu tidak dapat dihindari oleh orang tua, dan itu sudah menjadi
kewajiban setiap orang tua kepada anaknya. Begitu juga dengan Pardi seorang informan berumur 58 tahun yang pernah menyelenggarakan hajatan pernikahan untuk anak pertamanya, memberikan alasan tentang diselenggarakannya acara hajatan pernikahan anaknya secara meriah/besar-besaran, dengan mengemukakan, “netepi
umumme
lumrahe…….”
(melaksanakan
seperti
pada
umumnya).
(W/Pardi/28/04/09) Melaksanakan seperti pada umumnya, demikian alasan Pardi menunjukkan bagaimana seseorang tidak bisa mengelak dari tuntutan masyarakat tentang suatu hal. Jika di suatu Desa ada kebiasaan untuk menggelar hajatan secara besar-besaran maka
tidak
ada
alasan
bagi
anggota
masyarakatnya
untuk
tidak
menyelenggarakannya sesuai dengan kebiasaan tersebut, terlepas dari persoalan mampu atau tidak mampu. Apabila seseorang tidak menyelenggarakan hajatan secara besar-besaran maka akan timbul kecurigaan tertentu yang tertuang lewat gosip atau rasan-rasan. Kewajiban menyumbang dan mengembalikan sumbangan juga tidak selalu seimbang diantara masyarakat. Meskipun masih dilaksanakan secara besar-besaran tetapi pihak yang mengadakan acara hajatan pernikahan tidak selalu diuntungkan dari perolehan hasil sumbangannya. Para informan mengemukakan jika hasil yang diperoleh dari sumbangan biasanya seimbang dengan biaya yang dikeluarkan bahkan kadang-kadang juga sering rugi. Pardi mengemukakan, mboten mesti…kadang-kadang nggeh malah rugi, wong mantu paling mboten nggeh puluhan juta, sewo tep, tarub, dekor niku mawon pun sekitar gangsal jutananan…paling nggeh pok-pokan imbang mawon (tidak pasti….kadangkadang ya malah rugi, kalau punya hajat pernikahan paling tidak ya puluhan juta, menyewa tep, tenda, dekorasi, itu saja sudah sekitar lima jutaan….paling ya seimbang saja). (W/Pardi/28/04/09) Sejalan dengan Pardi, Warto yang juga pernah menyelenggarakan hajatan pernikahan mengemukakan, “relative seimbang, maunya sih untung tapi imbangimbang saja, malahan kadang-kadang rugi…”. (W/Warto/25/04/09)
Blau dalam Margaret M. Poloma (1994:82), dalam menjawab pertanyaan apakah yang menarik individu kedalam assosiasi? Jawaban Blau ialah mereka tertarik pada pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang intrinsik maupun ekstrinsik. Ganjaran ekstrinsik adalah ganjaran yang langsung dapat tampak atau terlihat, sedangkan ganjaran intrinsik adalah ganjaran yang tidak langsung tampak. Ganjaran yang ekstrinsik maupun instrinsik tersebut juga terdapat dalam sistem pemberian sumbangan di Desa Jati. Ganjaran ekstrinsik dalam sistem sumbangan misalnya sumbangan yang diperoleh dari para tamu undangan, kehadiran para tamu undangan yang ikut memeriahkan acara hajatan pernikahan, ucapan selamat serta doa dari para tamu undangan kepada yang dihajati, dan sebagainya. Sedangkan ganjaran intrinsik yaitu terjalinnya ikatan kemasyarakatan, dapat terlaksanakannya acara adat pernikahan, dan sebagainya. Sumbangan dari para tamu undangan untuk pihak yang menyelenggarakan hajatan pernikahan merupakan salah satu ganjaran ekstrinsik. Sumbangan ini memang dirasa sangat penting oleh warga masyarakat. Seperti yang dikemukakan Pardi dengan mengatakan; mpun membudaya…yo nek duwe gawe nggeh ngoten niku pun kebiasaan…nggeh saling ngoten niku….kangge sing duwe gawe penting soale mbantu…...nggeh mengke gentosan saling membantu…(sudah membudaya…kalau punya hajat ya seperti itu sudah kebiasaan…ya saling seperti itu…..untuk yang punya hajat penting karena membantu……nanti gantian saling membantu…”). (W/Pardi/28/04/09) Pardi dan Warto
mengemukakan sewaktu mereka menyelenggarakan
hajatan mereka juga menerima sumbangan dari para tamu undangan. Sumbangan yeng mereka terima juga lengkap, ada yang memberikan sumbangan berupa uang, hasil bumi, ataupun kado. Warto menuturkan pengalamannya sewaktu mengadakan hajatan pernikahan, dengan mengatakan, ya menerima…..untuk tambah-tambah biaya keperluan, walaupun korban dulu nanti kan juga dapat dari sumbangan…komplit mas…ya uang, kado, barang hasil bumi, gula sampai kwinal-kwintalan, beras sampai satu truk, beras dulu saya jual….undangan sampai dua ribu orang. (W/Warto/25/04/09)
Pardi juga menuturkan pengalamannya, dengan mengemukakan; nembe ping pisan….cukupan namung tep-tepan biasa, tahun 2004….nggeh nampi komplit, arto, beras….komplit mas…..undangan ngantos 700 orang…(baru satu kali…..cukupan hanya memakai tep-tep biasa, tahun 2004…ya menerima komplit, uang, beras…komplit mas…..undangan sampai 700 orang). (W/Pardi/28/04/09) Novita Purnamasari (2000:97) dalam penelitian mandirinya menyebutkan jika pada masyarakat Jawa sumbangan dilihat sebagai bantuan penyelenggaraan upacara perkawinan yang merupakan suatu balas jasa atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan pada masa sebelumnya. Oleh karena itu pendapatan dari sumbangan dapat diperhitungkan dalam rencana pembiayaan upacara perkawinan. Di masyarakat Desa Jati tidak semuanya seperti ini. Beberapa warga masyarakat yang dijadikan sebagai infoman seperti Pardi dan Warto mengakui jika dahulu saat menyelenggarakan hajatan pernikahan mereka tidak memperhitungkan sumbangan secara rinci dalam anggaran perencanaan pembiayaan upacara pernikahan, karena menurut mereka perolehan dari sumbangan tidak bisa diandalkan. Seperti apa yang dikemukakan Marcell Mauss (1992:1), ”dalam teori pemberian-pemberian hadiah seperti itu sebenarnya dilakukan secara suka rela, tetapi dalam kenyataan kesemuannya itu diberikan dan dibayar kembali dalam suatu kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pelakunya”. Begitu juga dengan sistem sumbangan di Desa Jati meskipun hal ini sering tidak disadari oleh masyarakat pendukungnya. Tiga macam kewajiban dalam pemberian, yaitu kewajiban memberi, kewajiban menerima, dan membayar kembali, seperti apa yang telah disebutkan Marcel Mauss (1992: 56) berjalan sangat kuat di Desa Jati. Seseorang akan tertib untuk datang pada acara pernikahan dan memberikan sumbangan saat ada undangan baginya, begitu pula saat pada giliranya mereka mempunyai hajat acara pernikahan maka ia juga mengadakan acara pesta pernikahan yang meriah serta akan menerima sumbangan dari para tamu yang diundang. Warto memberikan alasan tentang salah satu pernikahan anaknya yang
diselengararan secara besar-besaran, dengan mengemukakan, “Ya berharap supaya saudara-saudara
bisa
datang
kesini…sakwene
urep
yo
gentian
lah”.
(W/Warto/25/04/09) Gantian dalam hal ini dapat diartikan bahwa jika ada undangan Warto selalu menyumbang, maka gantian saat dia mengadakan hajatan maka dia berhak untuk mendapatkan sumbangan dari para tamunya. Kemudian saat tamunya mengadakan hajatan pernikahan lagi maka ia juga akan berkewajiban untuk datang dengan menyumbang lagi. Begitu seterusnya membentuk suatu pola jaringan yang luas, rumit dan setiap masyarakat yang telah melaksanakan sistem sumbangan semacam ini akan masuk dalam sistem jaringan masing-masing. Hal ini sejalan dengan pemikiran kaum fungsionalis bahwa suatu hal (fenomena) bisa menjadi dasar dari eksisnya suatu masyarakat. Dalam konteks Desa Jati maka sumbangan adalah hal yang mengikatkan masyarakatnya ke dalam suatu kebersamaan dan karenanya selalu dilestarikan. Ada beberapa cara yang digunakan masyarakat Desa Jati untuk mempermudah pencatatan sumbangan dalam memenuhi hubungan timbal balik. Pertama, melalui penulisan identitas seseorang atau keluarga pada amplop yang digunakan untuk menyumbang. Kegiatan seperti ini diakui oleh para informan sebagai upaya untuk pencatatan dalam rangka mempermudah pelaksanaan hubungan timbal balik, selain itu juga pernyataan identitas bagi tamu undangan bahwa mereka telah hadir. Seperti yang dikemukakan Pardi sebagai berikut, sing kagungan damel ben ngertos, bapak kae kok yo teko kene ….suk yen genti ewuh genti teko…nggeh dicateti ngoten niku…daftar.. (yang punya rumah agar tahu, bapak itu kok ya sampai sini…..besok kalau gentian punya hajat gentian datang…….ya dicatat seperti itu….daftar…). (W/Pardi/28/04/09) Sementara Ratmi, mengemukakan, ”amplop ditulisi ben ngerti sing nyumbang sopo-sopo... mengkeh yen mbelekne ben mboten bingung” (amplop ditulisi supaya tahu yang menyumbang siapa saja....nanti kalau mengembalikan agar tidak bingung) (W/Ratmi/6/06/09). Begitu juga dengan Yono yang mengatakan;
itu sudah membudaya mas…dalam artian misalkan sebagai penunjuk kalau dia sudah datang….mungkin pas dia datang nggak ketemu langsung dengan tuan rumah yang punya hajat….ya paling utama nggo catetan gantianlah….kalau saya itu juga pernah…pas menghadiri gak ketemu dengan yang punya hajat mungkin sedang sibuk, sedang mandi, dan sebagainya. (W/Yono/29/04/09) Penulisan identitas seperti ini juga berlaku untuk sumbangan berupa kado, barang yang digunakan untuk kado biasanya dikemas dengan kertas khusus (kertas kado) dan di dalamnya sering diberi pesan-pesan, ucapan selamat, dan identits dari yang memberikan kado tersebut. Kedua, untuk sumbang yang berupa hasil bumi biasanya pencatatan dilakukan oleh panitia khusus yang bertugas untuk menerima dan mencatat sumbangan yang berupa hasil bumi ini. Sewaktu tamu undangan datang menghadiri acara hajatan pernikahan,
sumbangan berupa hasil bumi
biasanya diberikan kepada panitia penerima sumbangan kemudian oleh panitia tersebut dicatat bahan makanan ataupun makanan apa saja yang diberikan untuk menyumbang, jumlahnya berapa, serta nama penyumbang lengkap dengan alamatnya. Ketiga, dengan menyediakan buku tamu. Jika buku tamu disediakan biasanya tamu undangan akan menulis identitas mereka yang meliputi nama, alamat, tanda tangan, dengan tidak mencantumkan jumlah sumbangannya. Keempat, yaitu dengan menyimpan kartu undangan yang pernah diterima. Biasanya warga masyarakat akan menyimpan kartu undangan yang pernah diterimannya dan membuat catatan dalam buku yang mereka buat berkaitan dengan kartu-kartu undangan yang pernah diterimannya tersebut termasuk jumlah sumbangan yang dikeluarkannya. Selain dengan membuat catatan atas undangan yang pernah diterimannya, ada juga yang hanya menyimpan undangan-undangan yang pernah diterimannya, kemudian undangan-undangan itu hanya diberi catatan kecil terkait dengan jumlah sumbangan yang pernah dikeluarkan/diberikan saat mereka menghadiri undangan tersebut. Kelima, untuk sumbangan kelompok maka pihak yang menyelenggarakan
acara hajatan pernikahan akan mengetahui siapa pihak-pihak yang telah menyumbang secara kelompok dari catatan yang di berikan oleh pengurus sumbangan kelompok tersebut. Cara-cara ini adalah upaya yang digunakan oleh para warga untuk mempermudah palaksanaan hubungan timbal balik dan resiprositas dalam memenuhi kewajiban moral yang ada dalam sistem sumbangan. Penulisan nama si penyumbang tampaknya bukanlah hal yang sepele. Setiap orang yang menyumbang di acara hajatan tidak akan lupa menorehkan namanya pada amplop, kado atau meminta sumbangan yang dibawanya dicatat oleh pihak yang sedang melakukan hajat. Resiprositas didasarkan pada hal tersebut karena siapa-siapa saja yang telah menyumbang seolah merasa sedang menabung (baik uang maupun barang) baginya kelak ketika dia juga mengadakan hajatan. Sumbangan kemudian dimaknai sebagai suatu bekal bagi hajatan seseorang kelak. Ketika seseorang sudah melakukan hajatan dan tiba giliran baginya untuk menyumbang maka dia sebenarnya sedang melakukan kewajiban mengembalikan kembali apa-apa yang pernah diberikan oleh orang lain saat dia mengadakan hajatan dahulu. Dengan demikian orang selalu merasa wajib menyumbang dan wajib mengembalikan sumbangan. Resiprositas itu berlaku namun diyakini sebagai sesuatu yang sudah lumrah (umum) dan sebuah budaya masyarakat setempat. Sehingga sumbangan pada acara pernikahan seperti ini mekanismenya hampir sama dengan suatu pinjaman ataupun tabungan. Hal ini juga dapat dianalogikan seperti halnya sebuah arisan. Jika seseorang/keluarga mengadakan acara hajatan pernikahan terlebih dahulu maka sumbangan dapat dikatakan sebagai pinjaman yang harus dikembalikan kepada para tamu undangannya. Jika seseorang/keluarga belum pernah menyelenggarakan hajatan pernikahan tetapi selalu mendapatkan undangan pernikahan maka sumbangan dapat dikatakan sebagai sebuah tabungan yang kelak akan diterimanya. Dalam sistem sumbangan analogi pinjaman dan tabungan semacam ini tidak ada putusnya. Hal ini sejalan dengan
penjelasan
Marcel
Mauss
(1992:38)
tentang
pemberian
yang
mengemukakan, ”pemberian tersebut pada saat yang sama merupakan harta
kekayaan dan juga harta milik, sebuah janji atau sumpah, dan juga sebuah pinjaman suatu barang jualan tetapi juga barang belian, suatu simpanan, sebuah mandat, sebuah kepercayaan”. Status, kedudukan, pangkat, ketenaran seseorang/keluarga dalam sistem hubungan timbal balik ini akan mempengaruhi jumlah banyak sedikitnya rekan dalam melaksanakan hubungan pertukaran sumbangan di Desa Jati. Warto yang merupakan salah satu tokoh terpandang dalam masyarakat mengakui jika setiap bulannya ia mendapatkan undangan pernikahan sekitar sepuluh undangan lebih, karena
kenalannya
begitu
luas.
Dengan
demikian
maka
saat
Warto
menyelenggarakan hajatan pernikahan tamu yang diundang sekitar 2000 orang. Warto mengakui jika yang punya hajat ini satu Desa ataupun tetangga Desa sekitar pasti mengundangnya. Yono menambahkan dengan memberikan contoh perangkat Desa. Perangkat Desa yang tentunya memiliki pangkat, kedudukan dan status terpandang dalam masyarakat juga akan memiliki jumlah rekan pergaulan yang lebih banyak dalam relasi keseharian yang secara otomatis akan berhubungan dengan persoalan sumbangan. Menurut Yono hal ini sudah menjadi konsekuensi dan harus disadari oleh mereka yang menjadi perangkat Desa. Fakta ini sejalan dengan pendapat Malinowski (1992:91) yang menjelaskan, “the number of partner a man has varies with his rank and importance…a man would naturally know to what number of partners he was entitled by his rank and position” (jumlah rekan setiap orang berbeda-beda dengan pangkat dan kepentingan mereka…setiap orang secara alamiah akan tahu berapa jumlah rekan yang telah mereka dapat dengan pangkat dan posisi mereka). Selain itu ada beberapa hal lainnya yang juga akan menentukan banyak sedikitnya jumlah rekan dalam pelaksanaan sumbangan. Beberapa informan menuturkan sregep adalah salah satu faktor yang juga ikut menentukan banyak sedikitnya jumlah rekan. Istilah sregep dalam hal ini dapat diartikan bahwa jika ada tetangga yang punya hajatan sering membantu, tertib dalam menyumbang, dan
selalu menghadiri undangan acara hajatan pernikahan. Selain itu, intensitas guyub (interaksi sosial) dengan tetangga/masyarakat juga ikut menentukan banyak sedikitnya rekan dalam kegiatan sumbangan. Seperti yang dikatakan Warto berikut ini, ya kembali pada sopo nandur bakal ngunduh, kalau nandurnya banyak ya tamunya banyak, kalau lokal jangkauannya ya tamunya lokal atau sedikit. Sing biasane sregep jagong yo pas mantu mesti akeh sing nyumbang. (W/Warto/25/04/09) Senada dengan yang dikemukakan Warto maka Yono juga memberikan tanggapan yang kurang lebih sama. Yono mengatakan, yo dinilai dari sregepe…yo dinilai dari banyak intensitas keluarnya. Semakin banyak interaksi sosialnya ya semakin banyak rekan-rekannya. Orang kaya saja kalau intensitas bergaulnya cuma dengan tetangga-tetangga dekat ya tamunya cuma itu-itu saja….yo banyak contoh sudah menyatakan demikian. (W/Yono/29/04/09) Sistem sumbangan semacam ini lebih dirasakan sebagai kewajiban timbal balik yang begitu kuat sehingga menjadi pengikat sosial.
Dalam menanggapi
tentang pentingnya sumbangan, Warto menuturkan jika sumbangan dalam acara hajatan pernikahan memang penting, karena merupakan pengikat masyarakat. Sejalan dengan hal ini Aafke .E. Komter (2005.116-117), dalam teorinya menjelaskan bahwa, “social ties are created, sustained and strengthened by means of gift. Acts of gift exchange are at the basis of human solidarity”, (hubungan sosial diciptakan, ditopang dan diperkuat oleh pemberian. Aktifitas tukar menukar pemberian adalah dasar dari solidaritas manusia). Lebih lanjut Komter (2005:195) menjelaskan; the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be the fundament of human society. It contains to moral basis for the development of social ties and solidarity because it’s implicit assumption is the recognition of the other person as a potentially (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari pertukaran pemberian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia. Ini berisi dasar moral dari perkembangan ikatan sosial dan
solidaritas karena ini adalah asumsi yang harus dipatuhi dari pengkuan orang lain sebagai suatu penggabungan). Berbagai makna yang tergali dari informan tentang sumbangan di Desa Jati secara antropologis juga
dapat dijelaskan melalui teori fungsionalisme. Teori
fungsionalisme memandang jika masyarakat memiliki organ-organ seperti halnya tubuh seekor binatang, dimana memiliki fungsi dari suatu bagian ditentukan oleh tempatnya dalam keseluruhan tubuh. Pemikiran tiga tokoh sosiologi awal abad 19 tentang fungsionalisme yaitu Aguste Comte, Herbert Spencer, dan Emile Durkheim pada intinya telah
menghasilkan tiga asumsi yang mengawali fungsionalisme
sosiologis, seperti yang dijelaskan Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1989:21), sebagai berikut: 4) Relitas sosial dianggap sebagai suatu sistem. 5) Proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya. 6) Sebagai halnya dengan suatu organisme maka struktur suatu sistem sifatnya terikat yang disertai adanya proses-proses untuk mempertahankan integritas dan batas-batasnya. Aktivitas sumbangan dalam acara pernikahan khususnya di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen sebagai suatu realitas sosial juga merupakan suatu sistem yang akan membentuk serta memperkuat kehidupan bersama dalam masyarakat. Apabila dilihat dalam lingkup yang lebih luas, sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati ini juga dapat disebut sebagai sub sistem, karena merupakan salah satu sistem dari sistem-sistem lainnya, misalnya sistem sumbangan untuk orang meninggal,
aktivitas tolong menolong dalam pertanian, aktivitas gotong
royong dalam membangun sarana umum, dan sebagainya. Proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya, maka dalam sistem sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati juga berlaku seperti ini. Sistem sumbangan dalam pernikahan di Desa Jati hanya akan dapat berjalan apabila unsur-unsur di
dalamnya berjalan dalam hubungan timbal balik secara fungsional. Apabila salah satu unsur tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya maka sistem pertukaran dalam sumbangan ini tentunya akan mengalami gangguan. Seperti yang dikemukakan Duncan Mitchell (1984:53) yang menerangkan bahwa ”setiap sistem mempunyai beberapa sifat yang sama, terutama bagian-bagiannya yang begitu erat hubungannya satu sama lain dari segi struktur hingga perubahan dalam satu bagian akan mengakibatkan perubahan di bagian yang lain”. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah pihak tamu undangan yang akan memberikan sumbangan dan pihak yang punya hajat pernikahan sebagai penerima sumbangan yang saling melakukan pertukaran sumbangan. Mereka terikat dalam suatu sistem yang membuat masyarakat Desa Jati menjadi tetap eksis. Struktur dalam sistem sumbangan pada acara pernikahan ini sifatnya mengikat. Hal ini dapat dilihat dari kuatnya hubungan timbal balik yang ada dalam sistem ini. Setiap warga masyarakat Desa Jati memiliki suatu kewajiban moral untuk selalu membalas sumbangan yang telah diterimannya. Selain itu, warga masyarakat Desa Jati juga selalu berupaya untuk mempertahankan integritas dari sistem sumbangan pada acara pernikahan dengan tujuan secara lebih luas yaitu untuk mempertahankan integritas masyarakat. Hal ini sejalan dengan Dahrendorf dalam Kamanto Sunarto (2000:228) dalam teorinya yang mengemukakan tentang pokok teori fungsionalisme dimana salah satunya disebutkan jika ”setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil”. Warto salah satu informan mengemukakan, karena ikatan rasa ketimuran, dengan adanya silaturohim lebih-lebih dibarengi hajatan, kan orang hajatan membutuhkan uang, untuk meringankan dan untuk mengikat tali persaudaraan itu ya dengan sumbangan itu tadi. Kita berharap supaya dapat meringankan beban disatu sisi kita dapat mengikat tali persaudaraan. Jadi dengan ikatan semacam ini hati kehati itu bisa mengikat. (W/Warto/25/04/09)
Usaha untuk mempertahankan integritas sistem dalam sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati dapat dilihat dari tidak dibesar-besarkannya konflik yang terjadi dalam sistem sumbangan terkait dengan ketidak konsistennya hubungan resiprositas dalam sistem sumbangan tersebut. Terkait dengan hal ini Brama mengemukakan, “mungkin ini solidaritas, menjunjung tinggi kerukunan yang masih kental, untuk hal-hal semacam itu ya masih maklum lah….mungkin pas gak punya uang….”. (W/Brama/22/04/09) Merton
dalam
David Kaplan
dan
Albert A.
Manners
(2000:79)
memperkenalkan konsep “fungsi” yang dibedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi terselubung), dalam suatu tindak atau unsur budaya. Fungsi manifes dari adanya sistem sumbangan di Desa Jati yaitu untuk membantu meringankan biaya pihak yang mengadakan hajatan pernikahan. Sementara itu fungsi laten dari adanya sistem sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati yaitu untuk membentuk serta memperkuat integritas masyarakat. Seperti penjelasan Malinowski dalam
Koentjaranigrat (1987:167) yang
membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkatan abstraksi, yaitu: 4) Fungsi sosial dari suatu adat , pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat. 5) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat. 6) Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu. Sistem sumbangan pada acara hajatan pernikahan di Desa Jati juga mencakup ketiga dari tingakatan abstraksi tersebut. Dari tingkatan abstraksi pertama, sistem sumbangan memberikan pengaruh atau efeknya terhadap tingkah laku masyarakat Desa Jati. Masyarakat Desa Jati akan selalu memenuhi kewajiban moral dengan membalas pemberian sumbangan yang pernah diterimananya.
Sehingga aktifitas timbal balik dalam memberikan dan menerima sumbangan akan selalu diusahakan oleh masyarakat dengan berbagai cara. Dari tingkatan abstraksi pertama ini juga dapat dianalisis jika sistem sumbangan pada acara pernikahan menyingkapkan makna psikologis bagi para pelakunya. Hal ini sejalan dengan pendapat Afke E. Komter (2005:43) yang mengemukakan, the first psychological function of the gift is to create moral tie between giver and recipient. Gift make people fell morally bound to another because of mutual expectation and obligation to return the gift that arise as a consequence….a scond psychological function of gift giving relates to disclosure, affirmation, or denial of identities of giver as well as recipient. Dari pernyataan Komter tersebut dapat dipahami bahwa fungsi psikologi pertama dari pemberian adalah untuk menciptakan ikatan moral diantara pemberi dan penerima. Pemberian membuat orang merasa terikat secara moral kepada yang lain karena pengharapan timbal balik dan kewajiban untuk mengembalikan pemberian yang timbul sebagai sebuah konsekuensi. Fungsi psikologis yang kedua dari hubungan memberikan pemberian adalah untuk mengungkapkan, menyatakan, atau penyangkalan identitas pemberi sebagaimana penerima. Dari tingkatan abstraksi kedua, dengan kegiatan sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati akan dapat membantu pembiayaan pihak yang sedang mempunyai hajat pernikahan untuk menyelenggarakannya sesuai dengan adat yang ada, sehingga kebiasaan sumbang-menyumbang serta adat pernikahan yang ada akan tetap lestari. Dari tingkatan abstraksi ini sistem sumbangan menyingkapkan makna
ekonomi,
terutama
dalam
pengadaan
kebutuhan-kebutuhan
dalam
pembiayaan acara adat pernikahan masyarakat setempat. Hal ini sejalan dengan teori Malinowski dalam Marcel Mauss (1992:44) dalam pembahasanya tentang sistem tukar menukar pemberian di kepulauan Trobrian, yang menjelaskan bahwa sistem tukar menukar pemberian menghidupkan keseluruhan kehidupan ekonomi dari orang-orang Trobiand.
Dari tingkatan abstraksi yang ketiga, sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati dapat menciptakan serta memperkuat sistem kemasyarakatan seperti yang telah dikemukakan di atas. Tingkatan abstraksi ketiga sistem sumbangan pada acara pernikahan ini menyingkapkan makna sosial bagi para pelakunya. Marcel Mauss (1992:44) menjelaskan, kehidupan sosial merupakan suatu keadaan tetap yang berlangsung terusmenerus dalam hal memberi dan menerima pemberian; pemberian disimpan dan dikembalikan, diterima dan dibayarkan kembali, baik berdasarkan kewajiban maupun kepentingan perorangan, dalam kebesaran penghormatan untuk membayar kembali dan pelayanan-pelayanan; atau sebagai tantangan atau jaminan-jaminan. 4. Pemaknaan Sumbangan pada Acara Pernikahan dalam Konteks Masa Kini Setiap warga masyarakat Desa Jati yang telah dewasa akan melaksanakan kegiatan sistem sumbangan pada acara pernikahan. Karena merupakan suatu adat kebiasaan yang telah berjalan sejak dahulu dan juga karena kuatnya hubungan timbal balik dalam sistem sumbangan. Seperti yang telah dijelaskan di depan, sistem sumbangan memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat Desa Jati. Namun demikian, dalam konteks masa kini terdapat beberapa hal yang unik dari sistem sumbangan di Desa Jati ini. Keadaan-keadaan pada sistem sumbangan di masyarakat Desa Jati dalam konteks kekinian berpotensi untuk menggeser arti penting sistem sumbangan, atau paling tidak akan mengurangi kadar arti penting dari sistem sumbangan yang telah ada, meskipun sering tidak disadari dan dianggap biasa oleh warga masyarakatnya. Marcel Mauss (1992:2) dalam bukunya mengatakan, prestasi-prestasi yang dalam teori bersifat sukarela tanpa pakasaan, tanpa pamrih dan sopan, tetapi dalam kenyataannya bersifat mengharuskan atau mewajibkan dan bersikap pamrih. Bentuk yang biasanya digunakan ialah pemberian hadiah yang secara murah hati disajikan; tetapi kelakuan yang menyertai pemberian itu resmi dengan kepura-puraan dan
penipuan sosial, sementara transaksi itu sendiri dilandasi oleh kewajiban dan kepentingan ekonomi diri sendiri dari para pelakunya. Sejalan dengan teori di atas, para informan mengakui jika di Desa Jati belum pernah ada acara hajatan pernikahan yang diselenggarakan dengan tidak menerima sumbangan. Semua warga masyarakat Desa Jati selalu menerima sumbangan jika mengadakan acara hajatan pernikahan. Seperti yang dikemukakan Warto, “belum pernah ada…..semua ngarep-arep (mengharap)…” (W/Warto/25/04/09). Pamrih kiranya terlihat dalam hal ini. Saat seseorang datang untuk menyumbang sebenarnya memiliki pamrih jika kelak dia berharap juga akan disumbang saat mengadakan acara hajatan. Dalam surat undangan yang diberikan kepada calon tamu undangan sebenarnya tidak terdapat pernyataan secara langsung tentang permohonan untuk menyumbang, yang ada hanya pernyataan untuk mengharap kehadiran tamu undangan dengan do’a restu untuk anak mereka yang dihajati tersebut. Kalimat permohonan kehadiran tamu dalam surat undangan tersebut biasanya sebagai berikut; “merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan bagi kami apabila bapak/ibu/saudara/i, berkenan hadir untuk memberikan do’a restu kepada putra putri kami. Atas kehadiran dan do’a restu bapak/ibu/saudara/i kami mengucapkan terimakasih”. Atau dalam undangan berbahasa Jawa sering di tulis sebagai berikut; Nuwun, mbok bilih gusti Allah hangganjar wilujeng ing sedayanipun miwah dangan ing penggalih panjenengan sekalian kula suwun rawuh benjing ing; dinten….., tanggal……, jam….., wonten……. Sakperlu paring berkah pangestu dumateng anak kulo sumarambah ing sedayanipun. Kenyataannya setiap pihak yang menyelenggarakan hajatan pernikahan selalu menerima sumbangan dan mangharap pemberian sumbangan dari para tamu undangannya. Bahkan karena telah menjadi suatu kebiasaan yang selalu dilaksanakan, sistem sumbangan telah menjadi suatu kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat yang mangikat masyarakat dengan sangat kuat. Tamu undangan tidak akan mungkin berani untuk datang dalam acara pernikahan dengan hanya
memberikan doa restu untuk pihak yang dihajati seperti yang tercantum dalam surat undangan. Tamu undangan pasti akan selalu memberikan sumbangan untuk pihak yang menyelenggarakan hajatan. Pertukaran sumbangan seperti ini terlihat penuh dengan kebasa-basian, atau Marcel Mauss (1992:2) telah menyebutkannya dengan istilah kepura-puraan. Di Desa Jati terdapat undangan secara simbolik dalam bentuk pemberian makanan sebelum acara hajatan pernikahan akan dilaksanakan. Undangan secara simbolik tersebut di Desa Jati biasa disebut dengan istilah punjungan. Sebelum acara hajatan akan dilaksanakan sebagai pengganti undangan maka berbagai makanan seperti nasi, sayur sambal goreng, mi goreng, daging, telur rebus, kerupuk, dan snack (makanan kecil) seperti roti serta berbagai makanan khas Jawa diberikan kepada pihak-pihak dalam satu Desa yang dirasa masih saudara dekat, sesepuh (tetua), seseorang yang terhormat, terpandang memiliki kedudukan baik secara ekonomi maupun sosial. Seperti undangan yang sering diberikan oleh warga Desa Jati untuk Warto, dimana Warto juga termasuk salah satu warga Desa Jati yang memiliki kedudukan sosial tinggi, sudah tidak lagi berupa kartu undangan, tetapi berupa punjungan. Menurut Warto jika mengundang dengan punjungan ini justru rasa mengikat batinnya lebih kuat sehingga selalu berusaha untuk menghadirinya. Punjungan ini adalah suatu bentuk undangan simbolik dan suatu bentuk penghormatan khusus bagi mereka yang dianggap istimewa. Di samping itu juga tersirat makna bahwa mereka yang dianggap istimewa tersebut dirasa akan memberikan sumbangan yang lebih saat menghadiri acara pernikahan, meskipun mereka yang dipunjung tersebut tidak selalu memberikan sumbangan yang lebih saat menghadiri acara hajatan. Secara tidak langsung punjungan sering dirasa sebagai media untuk meminta sumbangan bagi mereka yang dianggap istimewa. Pada saat ini pihak-pihak yang mengadakan acara hajatan pernikahan kadang-kadang memaksakan diri mengundang orang-orang terkenal, pejabat dan tokoh masyarakat yang sering kali tidak mengenalnya secara pribadi. Mereka
melakukan hal tersebut dengan tujuan hanya untuk mengejar gengsi agar pesta pernikahannya terkesan lebih meriah. Selain itu tamu-tamu tersebut dianggap memiliki potensi untuk memberikan sumbangan dalam jumlah besar dibandingkan dengan tamu biasa. Warto yang merupakan mantan kepala Desa Jati ketika menjawab pertanyaan apakah pernah mendapatkan undangan dari pihak yang belum dikenalnya? mengemukakan, Banyak, tau lho dek aku jagong, tapi teko kono sing duwe gawe malah tekok, pake daleme pundi? Lho batinku tibake pake iki rung kenal to karo aku…, aneh to… Tapi tetep nyumbang lha karena sudah datang, (Banyak, pernah lo dek saya menghadiri acara pernikahan tetapi setelah sampai di sana yang mempunyai hajat malah bertanya, bapak rumahnya mana? Lho batin saya ternyata pake ini belum kenal to sama saya…, aneh to…tetapi tetap menyumbang lha karena sudah datang). (W/Warto/25/04/09) Pengalaman Warto di atas juga sering dialami oleh masyarakat Desa Jati yang lain. Namun masyarakat kini sudah mulai berpikir ulang untuk datang ke acara pernikahan apabila mereka merasa tidak mengenal pihak yang mengundangnya, dan berpikir apakah akan memberi keuntungan pada dirinya dikemudian hari. Jika dianggap tidak menguntungkan, maka undangan tersebut akan dilewatkannya. Kegiatan sumbangan semacam ini juga menyangkut tentang harga diri dan martabat. Dalam tulisannya Marcel Mauss (2005:59) mengatakan bahwa: …Pada prinsipnya pemberian-pemberian selalu diterima dan selalu disukuri. Anda harus mengatakan rasa sukur anda atas makanan yang telah dipersiapkan untuk anda. Tetapi pada saat yang sama, anda menerima sebuah tantangan. Anda menerima pemberian “dari punggung”. Anda menerima makanan yang diberikan kepada anda karena anda bermaksud untuk menerima tantangan untuk membuktikan bahwa anda bukanlah seseorang yang tidak ada harganya... . Dalam konteks sumbangan pada acara pernikahan, pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa para tamu undangan harus selalu bersyukur atas hidangan pesta yang dipersiapkan untuk mereka. Akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan suatu tantangan bagi para tamu undangan untuk membalasnya yaitu dengan memberikan sumbangan kepada pihak yang mengadakan hajat, serta mengadakan pesta pada saat
giliran mereka mempunyai hajat agar tidak dikatakan sebagai orang yang tidak berharga atau orang yang rendah martabatnya. Pembuktian di lapangan yaitu di Desa Jati juga tampak seperti dalam teori tersebut. Warto menanggapi tentang pelaksanaan acara hajatan pernikahan anaknya dengan mengungkapkan; ya berharap supaya saudara-saudara bisa datang kesini. Sakwene urip yo saling gentian lah…yang kedua, lantaran hajatan itu ya perlu dibesarbesarkan. Tapi dalam semacam ini terdapat kepuasan tersendiri. Saya dalam menyelenggarakan hajatan ini ya istilah orang Jawa ‘wani nggetih’, beda dengan hajatan ribut kok mlirit, cethil, pelit. Intinya kembali kepada nama baik. (W/Warto/25/04/09) Tidak dapat dipungkiri meskipun telah menjadi suatu kebiasaan dalam masyarakat yang begitu kuat, dalam sistem sumbangan yang menjadi suatu pranata penuh makna ini di dalamnya juga terdapat konflik. Konflik terjadi karena tidak konsistennya para pelaku dalam pelaksanaan aturan timbal balik sistem sumbangan. Brama mejelaskan tentang kemungkinan konflik yang pernah terjadi di Desa Jati, dengan mengatakan, yang saya tahu, orang tua pernah cerita, kalo sebatas cuma ngomongngomong ya seperti dulu saya nyumbang sekian tetapi giliran saya punya hajat kok cuma disumbang sekian…..cuma seperti itu saja…kalau sampai dendam saya kira nggak ada……pernah siapa itu…dari lain Desa itu kalo nyumbang amplopnya sering kosong, ya dititeni itu…..tetapi dibiarkan saja… ya paling sebatas gunjingan. (W/Brama/22/04/09) Ratmi menjelaskan secara lebih rinci dengan mengemukakan; pernah....enten sing senenge nyumbang amplop kosong...nggeh dirasani...dititeni dibalekne...gentian pas duwe hajat yo dibalekne kosongan....ben kapok.., (pernah...ada yang sukanya menyumbang dengan ampop kosong...ya di gunjing dititeni dikembalikan....gantian saat punya hajat ya dikembalikan kosongan....biar kapok). (W/Ratmi/6/06/09) Konflik juga tidak hanya menyangkut ketidak konsisitenan dalam jumlah nominal sumbangan, tetapi juga adanya kegiatan sumbangan yang dirasa hanya untuk mencari keuntungan. Seperti yang dikemukakan Warto sebagai berikut;
ya ada tetapi tidak semuanya semacam itu, tapi ya ada sebagian kecil itung punya itung untuk mencari bathi (keuntungan), tetapi itu relatif kecil. Tapi terus terang…dalam hati kecil orang yang punya hajat itu seperti saya dulu, pasti ada niat bisnis (ingin untung), dengan perhitungan khusus, pengeluaran berapa, pemasukan, yang diundang, meskipun perhitungan ini sering meleset. (W/Warto/25/04/09) Begitu juga dengan Brama yang menuturkan pengalamannya sebagai berikut; ya cerita-cerita dari orang tua, ya agak nggak umum gitulah…misalnya terlalu sering mengadakan hajatan, atau setiap kali orang lain mengadakan acara ya terus ikut mengadakan acara sendiri…..padahal nggak begitu penting, hanya acara-acara kecil. Misalnya mbangun nikah (menikah lagi dengan istri yang sama setelah ada permasalahan tertentu)…. Tetangga saya itu mbangun nukah lagi, padahal tidak ada masalah apa-apa dalam rumah tangganya…..berbeda dengan yang sebelah itu, itu benar-benar mbangun nikah karena istrinya gila dan setelah sembuh mbangun nikah dan tidak menerima sumbang. Tetapi kalau yang satu ini gak ada masalah apa-apa kok mbangun nikah, dengan menerima sumbangan….ya penilaian umum ya untuk mencari keuntungan. (W/Brama/22/04/09) Konflik yang pernah terjadi seperti yang dikemukakan Brama di atas ternyata juga diketahui oleh warga dukuh lain. Endang menuturkan dalam menanggapi masalah ini dengan mengatakan, “enten tiang dukuh sebelah niku….jane nggeh mung mbangun nikah ngoten niku….” (ada orang dukuh sebelah itu…. sebenarnya ya hanya mbangun nikah seperti itu). (W/Endang/16/05/09) Konflik semacam ini di Desa Jati hanya relatif kecil. Masyarakat tidak pernah membesar-besarkan adanya konflik dalam sumbangan semacam ini. Sanksi bagi mereka yang tidak konsisiten dalam pelaksanaan pertukaran sumbangan hanya berupa gunjingan dan hukuman berupa pengembalian yang sama dengan saat seseorang yang tidak konsisten itu melaksanakan hubungan timbal balik dalam sumbangan. Seseorang yang sering menyumbang dengan amplop kosong tanpa uang maka saat ia mengadakan hajatan juga dibalas dengan pemberian sumbangan dengan amplop kosong. Hal ini hanya sebagai pelajaran untuk warga masyarakat yang tidak konsisten dengan hubungan timbal balik dalam sistem sumbangan agar
mereka tidak mengulanginya lagi. Hanya beberapa orang saja yang pernah atau sering tidak konsisten dalam pelaksanaan sumbangan. Warga masyarakat selalu berupaya untuk berfikir positif dalam rangka untuk menekan terjadinya konflik, seperti yang dikemukakan Warto saat menceritakan pengalamannya, dengan mengatakan; ya ada, amplop kosong juga ada. Mungkin yo pas ra duwe tenan gandeng sedulur yo wis teko, gak popo dari pihak penerima ya tidak apa-apa, mungkin yo pancen arep weroh sedulur, (ya ada, amplop kosong juga ada. Mungkin ya pas bena tidak punya berhubung saudara ya sudah datang, tidak apa-apa dari pihak penerima ya tidak apa-apa, mungkin ya memang mau menengok saudara). (W/Warto/25/04/09) Sanksi bagi mereka yang tidak konsisten dalam pelaksanaan hubungan timbal balik dalam sistem sumbangan ini sifatnya intrinsik yang tidak kelihatan, kasat mata, tidak berupa sanksi yang diberikan secara langsung, namun menyakitkan. Malinowski (1988:30) dalam tulisannya mengemukakan bahwa, sebab yang sebenarnya mengapa kewajiban ekonomi itu biasanya ditaati dengan patuh ialah bahwa kegagalan mematuhinya menempatkan seseorang dalam posisi terkucil, sedang keengganan mematuhinya mendatangkan malu baginya. Sekiranya jika seseorang terus menerus tidak mentaati peraturanperaturan hukum dalam tindak ekonominya, akan terbukti bahwa ia berada di luar tata sosial dan ekonomi masyarakatnya. Sementara Marcel Mauss (1992:59) mengemukakan, ”kegagalan untuk memberi atau menerima, sama dengan kegagalan untuk membalas pemberian, yang sama artinya dengan kehilangan rasa harga diri dan kehormatannya”. Kuatnya sistem hubungan timbal balik dalam kebiasaan sumbangan menimbulkan komitmen bagi warga masyarakat untuk tetap melaksanakan dengan berbagai cara. Tidak adanya anggaran khusus untuk kegiatan sumbang menyumbang semacam ini juga diakui oleh para informan. Padahal jika sedang musim hajatan pernikahan, warga masyarakat juga melaksanakan kegiatan sumbangan menyumbang ini dengan intensitas yang cukup sering. Seperti Warto, Pardi dan Yono yang mengaku jika setiap bulannya mereka mendapatkan undangan
sekitar lebih dari 10 undangan. Sebenarnya anggaran seperti ini dapat dipersiapkan dan diprediksikan oleh para warga karena seperti diketahui jika acara hajatan pernikahan ramai pada bulan-bulan tertentu, namun
pada faktanya warga
masyarakat tidak memiliki anggaran khusus untuk kegiatan kemasyarakatan khususnya sumbangan seperti ini. Para informan dalam hal ini menjelaskan dengan istilahnya sendiri-sendiri. Pardi mengemukakan, mboten enten anggaran…..nggeh kadang-kadang nggeh ngoten ….undangan numpuk 4, 5 nggeh mumet. Yo wis ngko ra ketung adol dengkul…..golek potangan…nek pas mboten enten nggeh golek-golek teng sanak sedulur niku mangke nek panen disaur…, (tidak ada anggaran….ya kadang-kadang ya seperti itu…undangan terkumpul 4, 5 ya pusing. Ya sudah nanti ‘jual lutut’…….mencari pinjaman..kalau pas tidak punya ya cari-cari disaudara nanti kalau panen di lunasi…). (W/Pardi/28/04/09) Begitu juga dengan Yono, dengan istilahnya sendiri Yono mengemukakan, mboten enten mas…setiap bulan mboten enten anggaran khusus damel jagong yo nek pas ra nduwe yo klabruk-klabruk golek ngendi iki..., (tidak ada mas…setiap bulan tidak ada anggaran khusus untuk jagong/menghadiri acara hajatan pernikahan ya kalau sedang tidak punya ya klabruk-klabruk mencari dimana ini..). (W/Yono/29/04/09) Sedangkan Warto mengemukakan, ”Anggaran khusus nggak ada, anggarannya kayak-kiyuk, Cuma menyisihkan saja, kalau terpaksa nggak ada ya kiyak–kiyuk itu tadi…kiyak sana…kiyuk sini….hutang-hutang…”. (W/Warto/25/04/09) Bagi mereka yang tidak memiliki modal dalam pelaksanaan sistem pertukaran ini menimbulkan suatu konsekuensi tersendiri. Salah satu modal yang penting dalam sistem sumbangan adalah uang maupun barang yang akan digunakan untuk menyumbang. Seperti yang para informan kemukakan jika yang ada dalam hati kecil pertama saat mendapatkan undangan pernikahan adalah uang ataupun beras. Konsekuensi tersebut seperti yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolis. Kekerasan simbolis menurut Bourdieu dalam Richard Jenkins (2004:157) adalah ”pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap
kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal ini dialami sebagai sesuatu yang sah” . Atau dengan kata lain kekerasan simbolis adalah kekerasan yang secara “paksa” mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial (Haryatmoko. 2003:38).
Kekerasan semacam ini oleh
korbanya tidak dilihat atau tidak dirasakan sebagai kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar. Bourdieu dalam Haryatmoko (2003:18-19) menjelaskan bahwa, pada dasarnya kekerasan simbolis berlangsung karena ketidak tahuan dari yang ditindas. Jadi, sebetulnya logika dominasi ini bisa berjalan karena prinsip simbolis yang diketahui dan diterima baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis itu berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri kebutuhan. Kekerasan simbolis dalam hal sumbangan terwujud dalam bentuk keharusan untuk menyumbang kepada pihak yang mempunyai hajat apabila diundang, tanpa memperdulikan yang diundang sedang punya uang atau tidak. Mendapatkan undangan sebanyak sepuluh buah dalam satu bulan tentu saja memberatkan bagi sebagian besar orang namun meskipun hal itu dikeluhkan tetap tidak akan bisa merubah keadaan. Artinya mereka tetap harus datang dan menyumbang, bahkan kalau perlu sampai mencari pinjaman hanya untuk menyumbang. Tidak datang dan tidak menyumbang adalah hal yang sangat dihindari karena mereka tidak mau dicap tidak menuruti kaidah umum yang berlaku di masyarakat setempat tentang sumbangan. Sumbangan menjadi sesuatu yang memberatkan, namun dianggap wajar bagi masyarakat setempat. Bentuk kekerasan simbolis dalam sistem sumbangan juga dapat dilihat dimana pihak yang memiliki kedudukan serta jenjang status ekonomi yang tinggi ternyata juga masih meminta sumbangan saat mereka mengadakan acara hajatan. Tidak ada perasaan malu ataupun bersalah bagi mereka yang kaya meskipun ia
harus menerima sumbangan dari para warga masyarakat lainnya yang status ekonominya lebih rendah. Begitu juga dengan mereka yang kurang mampu, mereka tetap menyumbang walaupun yang disumbang tersebut adalah orang kaya. Mereka bersusah payah mengusahakan uang ataupun barang sumbangan dengan berbagai cara untuk menyumbang bagi si kaya saat mengadakan acara hajatan pernikahan. Bahkan seseorang yang punya kedudukan status sosial maupun ekonomi yang tinggi di Desa Jati juga tetap menerima sumbangan dalam bentuk sumbangan kolektif. Seperti yang telah dijelaskan di depan, dimana dalam sumbangan kolektif ini pihak pengurus akan mengumumkan lewat mushola setempat bahwa seseorang akan menyelenggarakan hajatan pernikahan dan para warga dimohon untuk segera mengumpulkan sumbangan. Baik disadari ataupun tidak fenomena ini sangat ironis. Kekerasan simbolik seperti ini bekerja dengan mekanisme meconnaissance –mekanisme penyembunyian kekerasan yang dimiliki-menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. “Yang memang seharusnya demikian” inilah yang oleh Bourdieu disebut dengan doxa. Dunia sosial manusia penuh dengan doxa. Bourdieu menjelaskan doxa adalah wacana yang kita terima begitu saja sebagai kebenaran dan tidak pernah lagi kita pertanyakan sebabsebabnya apalagi kebenarannya. Keberadaan doxa hanya dapat diperoleh melalui proses inkalkulasi, atau proses penanaman yang berlangsung terus menerus (Bourdieu dalam Suma Riella Rusdiarti. 2003:38). Dalam sistem sumbangan pada acara pernikahan memang selalu tertanam dalam warga masyarakat secara terus menerus. Karena dihampir setiap bulannya selalu dilaksanakan acara hajatan pernikahan dan disitu sistem sumbangan berlangsung. Mekanisme kekerasan simbolik berjalan dengan dua cara, yaitu eufemisasi dan sensorisasi. Eufemisasi biasanya membuat kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilah secara “tak sadar”. Bentuknya dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, hutang, pahala, atau belas kasihan. Sementara, mekanisme sensorisasi
menjadikan kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan”, seperti kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan “moral rendah”, seperti kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya (Bourdieu dalam Suma Riella Rusdiarti. 2003:38-39). Seperti Yono dalam menanggapi masalah ketidak adanya anggaran untuk sumbangan dan sampai hutang-hutang untuk melaksanakannya dengan mengatakan, “gak masalah…yo orang hidup harus saling menyatu.” (W/Yono/20/04/09). Begitu juga dengan Pardi yang mengemukakan, “mpun membudaya….yo nek duwe gawe nggeh
ngoten
niku,
pun
kebiasaan…nggeh
saling
ngoteniku..”
(sudah
membudaya…ya kalau punya hajat ya seperti itu sudah kebiasaan… ya saling seperti itu…) (W/Pardi/28/04/09). Pernyataan para informan di atas menunjukkan jika mereka menganggap sistem sumbangan merupakan sesuatu yang wajar dan sebagai adat kebiasaan yang memang seharusnya demikian adanya. Warga masyarakat menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar dan memang harus dilaksanakan seperti yang telah berjalan. Meskipun ada warga masyarakat yang merasa berat tetapi juga ada masyarakat yang tidak merasa berat dengan sistem sumbangan ini. Bagi mereka yang kurang memiliki modal atau saat tidak memiliki modal tentunya akan merasa berat. Seperti Pardi yang mengemukakan jika kadang ia merasa berat dengan sistem sumbangan ini, Pardi mengatakan, “ nggeh pripun nggeh….nek rodo pas ra nduwe nggeh berat….” (ya bagaimana ya…….kalau pas tidak punya uang ya berat) (W/Pardi/28/04/09). Begitu juga dengan Brama yang mengemukakan, “ya selama saya punya uang, pas ada dirumah itu ya senang-senang saja, saya datang”. (W/Brama/22/04/09) Sementara Warto tidak merasa berat dengan sistem sumbangan ini, Warto mengatakan,
bagi saya tidak karena saya yakin ibaratnya uang sumbangan itu ya seperti kuku ini, kuku iki umpomo diingu mundake yo ra sepiroho, tapi yen di potong go nyumbang mengko yo bakal tukul neh...(Bagi saya tidak karena saya yakin ibaratnya uang sumbangan itu ya seperti kuku ini, kuku ini seumpama dipelihara tambahnya ya tidak seberapa, tetapi kalau dipotong untuk menyumbang nanti juga akan tumbuh lagi). (W/Warto/25/04/09) Meskipun ada warga yang tidak merasa berat akan tetapi para warga mengakui jika mereka sering mengeluh saat mendapatkan undangan yang menumpuk. Perasaan berat dan sering mengeluh saat mendapatkan undangan adalah efek dari kekerasan simbolis bagi mereka yang tidak memiliki modal. Pardi menuturkan, “nggeh ngeluh…..paling nggeh ngeluh ngoten niku tok…..” (ya ngeluh……paling ya ngeluh seperti itu saja) (W/Pardi/28/04/09). Begitu juga dengan Warto yang menuturkan, “Ngeluh ya, tapi cuma pelampiasan. Mau ngeluh, mau marah yang mau dimarahi juga siapa” (W/Warto/25/04/09). Yono menambahkan dengan mengemukakan jika ibu-ibu rumah tangga pasti mengeluh karena mereka yang memegang uang dan mengatur kebutuhan. Endang yang merupakan ibu-ibu rumah tangga menyatakan bahwa ia juga sering mengeluh karena biaya sumbangan. Endang yang juga bekerja sebagai pedagang menyatakan jika sedang ramai musim pernikahan dalam satu hari ia bisa mendapatkan lima undangan acara pernikahan. Dalam hal ini ia mengemukakan, ngeluh mas nek katah undangan nggeh ngeluh….biasane ngeluh kaleh pake….mosok karo tonggo…wah undangane teko neh.. ngoteniku (ngeluh mas kalau bayak undangan ya ngeluh…biasanya ngeluh sama bapak (suami)…..masak sama tetangga….wah undangannya datang lagi…seperti itu). (W/Endang/16/05/09) Ratmi yang juga ibu rumah tangga menuturkan jika ia juga sering mengeluh. Ratmi menuturkan, nggeh ngrasakne dek...jagongan pirang-pirang....dobel-dobel...sok-sok yo sambat ’jagongan kok yo akeh men...’ la sok yo susah dek...rakenal barang yo ngundang ko barang teko yo lek nemoni ki koyo ra nggatekne....yen mboten kenal kadang-kadang nggeh mboten mangkat jagong (ya merasakan dek...jagongan banyak...dobel-dobel...kadang-kadang ya ngeluh ’jagongan kok banyak sekali...’ ya sering ya susah dek...tidak kenal juga mengundang
nanti saat datang ya yang menerima tamu itu seperti tidak memperhatikan...jika tidak kenal kadang-kadang ya tidak datang jagong). (W/Ratmi/16/05/09) Inilah salah satu keunikan dari sistem sumbangan pada acara pernikahan. Tidak semua masyarakat merasa berat dengan adanya sistem sumbangan yang ada. Mereka menganggap jika sistem sumbangan memang sudah demikian sejak mereka lahir, dan ini merupakan suatu kebiasaan yang ada dalam kehidupan masyarakat, namun mereka juga sering mengeluh jika mendapatkan undangan acara pernikahan dimana mereka harus menyumbang saat menghadirinya. Dengan keluhan-keluhan tersebut seakan-akan mereka kurang ikhlas dengan
sumbangan yang akan
diberikan, padahal sumbangan yang merupakan suatu pemberian sebagai bantuan seharusnya diberikan dengan ikhlas. Pelaku sosial menerima kekerasan simbolik sebagai sesuatu yang wajar karena kekerasan simbolik sudah dipahami dan sudah menjadi kebiasaan yang telah dimiliki oleh pelaku sosial sejak lahir. Brama mengakui jika ia melaksanakan sistem sumbangan ini sejak SMA (Sekolah Menegah Atas) sewaktu temannya sudah ada yang menikah. Kalau untuk mengenal sumbangan sendiri Brama mengemukakan jika ia telah mengenalnya sejak kecil. Terkait dengan hal ini, Yono menambahkan dengan mengemukakan, “awit aku lahir wis enek sumbang menyumbang, itu naluri ya….dadi awit cilik wis rasah di ajari wong tuo…wis otomatis…”(sejak saya lahir sudah ada sumbang menytumbang, itu naluri ya…jadi sejak
kecil
sudah
tidak
perlu
diajari
orang
tua…sudah
otomatis..)
(W/Yono/29/04/09). Begitu juga dengan pendapat Pardi, yang mengemukakan, “awet
cilik…nek
melaksanakan
nggeh
sejak
dewasa,
nggeh
budaya
masyarakat…ngoten niku pun otomatis..” (sejak kecil…kalau melaksanakan ya sejak
dewasa,
ya
(W/Pardi/28/04/09).
budaya
masyarakat..seperti
itu
sudah
otomatis..)
Adanya standarisasi berkaitan dengan jumlah sumbangan yang akan diberikan dalam masyarakat juga sering menambah adanya kekerasan simbolik bagi mereka yang kurang memiliki modal. Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa standarisasi minimal jumlah sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati jelas ada. Dengan dasar “kepatutan/kepantasan” maka setiap warga masyarakat akan selalu berusaha bagaimanapun caranya untuk dapat mencapai standar yang telah ada dalam masyarakat. Sistem hibungan timbal balik yang begitu kuat menimbulkan suatu konsekuensi tersendiri apabila warga masyarakat tidak ikut melaksanakan sumbang ini. Ada semacam rasa takut dan beban jika mereka tidak melaksanakan sistem sumbangan. Pardi dalam hal ini mengemukakan, yen mboten nyumbang nggeh mboten wani…..aluwung mboten dugi…nggeh paling ibukke ngoten; ‘ayo pak sing nyumbang salah siji wae..’ yen mboten nyumbang nggih aluwung mboten mangkat.., (kalau tidak nyumbang ya tidak berani…lebih baik tidak datang…ya paling ibu berkata; ‘ayo pak yang nyumbang salah satu saja..’ kalau tidak nyumbang lebih baik tidak datang….” (W/Pardi/28/04/09) Brama dalam menaggapi masalah ini dengan mengemukakan; “keinginan untuk tidak menyumbang ya tidak ada karena pekewuh..., apalagi kalau akrab ya paling tidak
nyumbanglah
berapa….”
(W/Brama/22/04/09).
Sementara
Ratmi
mengemukakan; nggeh pekewuh yen arep ora nyumbang ki yo pekewuh ..mesti nyumbang…mesti nyumbang…nggeh mesti nyumbang….pekewuh…ra ketung salah siji…engko pake opo aku..mesti nyumbang (ya pekewuh kalau mau tidak nyumbang itu ya pekewuh….pasti menyumbang…pasti menyumbang…ya pasti menyumbang …Pekewuh ….meskipun salah satu…nanti bapak atau saya…mesti menyumbang) (W/Ratmi/6/06/09). Begitu juga dengan Warto yang mengatakan; dalam hati bersyukur, teman masih ingat, masalah datang tidaknya ya nanti lah….ya sehat bisa datang tapi kalau nggak ada uang padahal harus nyumbang ya lebih baik nggak datang…. karena rasa kemanusiaan yang
masih kuat, sanajan ora nduwe yo direwangi utang-utang lah….nek tekate arep teko yo nyumbang, teko tok ora nyumbang yo rawani…(karena rasa kemanusiaan yang masih kuat, meskipun tidak punya ya pinjam-pinjam lah…kalau niatnya mau datang ya nyumbang, datang saja tidak nyumbang ya tidak berani) (W/Warto/25/04/09). Masyarakat memiliki kekuasaan penuh dalam hal ini. Ketidak beranian warga masyarakat untuk datang pada acara hajatan pernikahan tanpa dengan memberikan sumbangan sebenarnya adalah ketidak beranian pada pihak yang punya hajat, secara lebih luas adalah ketidak beranian pada masyarakat. Sejalan dengan hal ini Warto mengemukakan, “kalau mau hadir ya raketung seberapa ya harus memberi karena untuk menjaga aib. Yang tahu kan hanya kita, yang menyumbang dengan orang yang disumbang” (W/Warto/25/04/09). Hal ini sejalan dengan teori dari Rousseau dalam Saifudin (2005:141-142) yang menjelaskan bahwa, masyarakat bukanlah sebagai gejala alam, melainkan penjumlahan kekuatankekuatan yang hanya dapat muncul apabila beberapa orang berhimpun bersama. Setiap orang harus menyerahkan diri, tunduk, tidak kepada kekuasaan seseorang melainkan kepada kolektivitas atau asosiasi dengan cara mematuhi arahan tertinggi dari kehendak umum. Margaret Poloma (1994:89) mangemukakan bahwa, ”wewenang berdasarkan atas norma-norma atau aturan-aturan bersama menggariskan perilaku dalam suatu kolektifitas. Norma-norma itu memaksakan individu mematuhi aturan dari mereka yang berkuasa. Norma-norma demikian diinternalisir oleh anggota kelompok dan dipaksakan kepada mereka”. Blau dalam Margaret Poloma (1994: 89) juga berpendapat bahwa, ”ukuran-ukuran normatif yang mendasari wewenang yang terlembaga tidak lahir dalam proses interaksi sosial antara mereka yang berada di lapisan atas dan bawah dan diantara sesama mereka yang berada dilapisan bawah, tetapi dalam proses sosialisasi dimana setiap orang secara terpisah mengakui kebudayaan bersama”. Dengan kata lain, kita belajar menerima struktur wewenang sebab kita disosialisir kedalam kebudayaan kita sendiri.
Berbagai keadaan di atas sesuai dengan apa yang di jelaskan oleh Yayuk Yuliati dan Mangku Poernomo (2003:52-53) dalam teorinya yang mengemukakan bahwa, kesejukan, ketenangan, kadamaian dan jaminan kebahagiaan merupakan pandangan umum dari kehidupan Desa. Tentu saja pandangan itu keliru apabila kita faham dan tahu betul apa sebenarnya yang melingkupi kehidupan Desa saat ini. Tidak hanya kekerasan hidup dalam mata pencaharian saja, namun juga kekerasan tekanan sosial selalu menghantui kehidupan masyarakat Desa. Beban sosial dan tuntutan lingkungan untuk dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika kehidupan Desa, kerap menjadi tekanan bagi masyarakat apabila tidak dapat mencapainya. Ketiadaan anggaran khusus untuk biaya kemasyarakatan seperti biaya sumbangan, adanya keluhan saat mendapatkan undangan acara pernikahan, adanya sebagian warga yang kadang-kadang sering merasa berat dengan biaya sumbangan, ketakuatan yang berlebihan bagi warga masyarakat jika tidak dapat menyumbang saat ada acara pernikahan sehingga mereka hanya memikirkan bagaimana caranya agar dapat menyumbang tanpa memikirkan tujuan utama dari menyumbang, dan adanya kekerasan simbolis dalam sistem sumbangan yang salah satunya terlihat lewat warga masyarakat yang memiliki status sosial maupun ekonomi yang tinggi tanpa adanya perasaan malu dan bersalah meminta serta menerima sumbangan dari warga lain yang sering kedudukannya lebih rendah sehingga terkesan menimbulkan potensi bagi pihak-pihak tertentu yang menjadikan sumbangan sebagai ladang bisnis, kadang-kadang membuat makna sumbangan menjadi bergeser. Terutama bagi warga masyarakat yang belum memahami serta belum sadar betul tentang tujuan/maksud sumbangan pada acara pernikahan ini. Seperti halnya pernyataan Endang yang ragu-ragu dalam menaggapi masalah arti penting sumbangan pada acara pernikahan, dengan mengemukakan, “pentinge….jane nggeh mboten penting…yo penting yo ora….” (pentingnya…sebetulnya ya tidak penting…ya penting ya tidak) (W/Endang/16/05/09). Begitu juga dengan Brama yang
mengemukakan, ”saya pribadi ya saya ngikut aja….tapi saya kasihkan entah itu kembali atau tidak itu terserah nanti yang penting saya tumpangi dengan keikhlasan saya…saya tetap menyesuaikan dengan masyarakat” (W/Brama/22/04/09). Seperti inilah fakta yang ada di lapangan. Tidak semua warga Desa Jati telah mengetahui dan sadar benar tentang maksud/tujuan sumbangan pada acara pernikahan. Mereka hanya melaksanakannya sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan masyarakat. Selain itu mereka hanya berusaha untuk selalu memenuhi hubungan timbal balik yang telah terjalin kuat, sehingga kadang-kadang mereka tidak memahami benar tujuan dari dilaksanakannya sistem tersebut.
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dipadukan dengan analisis data di atas, maka dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut; 1. Sumbangan pada acara pernikahan sebagai salah satu bentuk interaksi sosial memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang Sragen. Arti penting tersebut antara lain dapat membina persatuan dan kesatuan untuk berkehidupan kebersamaan dan kekeluargaan yang harmonis dan dinamis. Pelaksanan sistem sumbangan di Desa Jati telah menjadi suatu kebiasaan masyarakat yang telah membudaya sehingga tetap dilestarikan hingga kini. Terdapat tiga arti penting dalam sistem sumbangan pada acara pernikahan ini bagi kehidupan masyarakat Desa Jati. Ketiga arti penting tersebut yaitu; a. Kegiatan sumbangan pada acara pernikahan memberikan pengaruh atau efek terhadap tingkah laku masyarakat dan pranata yang ada di Desa Jati. Masyarakat Desa Jati berkewajiban secara moral untuk selalu membalas pemberian sumbangan yang pernah diterimanya. Masyarakat juga akan menjadi rajin membantu sesamanya saat ada acara hajatan pernikahan dilaksanakan maupun dalam kehidupan sehari-hari, tertib dalam menyumbang, rajin menghadiri undangan acara pernikahan, dan selalu meningkatkan interaksi sosial dengan masyarakat sekitar dalam rangka untuk menjaga hubungan dalam sistem sumbangan. Begitu pula dengan berbagai pranata yang ada di Desa Jati, seperti tolong menolong, kerjasama, saling hormat menghormati, dan sebagainya tetap terlaksana. b. Kegiatan sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati akan dapat membantu
meringankan
pembiayaan
pihak
yang
sedang
menyelenggarakan hajat pernikahan sesuai dengan adat yang ada, sehingga pelaksanaan acara pernikahan yang sesuai dengan adat istiadat Desa Jati dapat lestari. c. Sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati dapat menciptakan serta memperkuat kehidupan bersama dalam masyarakat. Sumbangan pada acara pernikahan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa unsur yang secara fungsional menjadi satu dalam rangka untuk mencapai tujuan tertentu. Unsur-unsur tersebut adalah pihak pemberi sumbangan dan penerima sumbangan yang saling memberi dan menerima. Hubungan timbal balik unsur-unsur dalam sistem sumbangan
tersebut
akan
membetuk,
mempertahankan
dan
memperkuat integritas masyarakat. 2. Makna sistem sumbangan di Desa Jati dalam perkembangannya sedikit demi sedikit telah mengalami pergeseran. Kadang-kadang Masyarakat Desa Jati hanya memaknai sistem sumbangan sebagai suatu kebiasaan masyarakat dan hanya melaksanakan sistem sumbangan dalam rangka untuk memenuhi hubungan timbal baliknya saja. Keadaan ini menimbulkan berbagai hal yang berpotensi untuk menggeser arti penting sistem sumbangan, atau paling tidak akan mengurangi kadar arti penting dari sistem sumbangan yang telah ada, meskipun sering tidak disadari dan telah dianggap biasa oleh warga masyarakatnya. Beberapa hal yang berpotensi untuk menggeser atau paling tidak mengurangi kadar arti penting sumbangan tersebut seperti; a. Adanya pamrih saat menyumbang. b. Kekerasan simbolik yang sering terjadi bagi mereka yang tidak memiliki modal (uang/barang untuk menyumbang). c. Konflik yang terjadi menyangkut tidak konsistennya para pelaku hubungan timbal balik sistem sumbangan.
d. Adanya niat bisnis (hanya untuk mencari keuntungan) yang sering melekat pada pihak yang mengadakan hajatan pernikahan. e. Uang maupun barang yang menjadi perhatian pertama saat mendapatkan undangan pernikahan. f. Ketidak adanya anggaran dalam keuangan rumah tangga untuk biaya sosial termasuk untuk sumbangan acara pernikahan sehingga kadangkadang jika sedang tidak memiliki uang atau barang sampai hutanghutang. g. Merasa berat dengan
biaya untuk sumbangan
yang sering
menyelimuti warga masyarakat. h. Mengeluh saat menerima undangan acara pernikahan, dan i. Warga masyarakat yang kadang-kadang kurang memahami arti penting sumbangan.
B. Implikasi 1. Implikasi secara teoritis a. Menambah pengetahuan yang lebih mendalam tentang arti penting dan pemaknaan masyarakat dalam konteks masa kini terkait dengan sistem sumbangan pada acara pernikahan. Seperti yang telah dijelaskan di atas,
sistem sumbangan pada acara pernikahan memiliki tiga arti
penting bagi kehidupan masyarakat yaitu dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat dan melestarikan pranata sosial yang telah ada di masyarakat, dapat membantu pembiayaan pihak yang sedang menyelenggarakan hajat sehingga pelaksanaan acara pernikahan sesuai dengan adat istiadat setempat dapat tetap lestari, serta dapat membentuk, memperkuat dan mempertahankan integritas masyarakat. Sementara dalam konteks masa kini masyarakat sering hanya memaknai sumbangan pada acara pernikahan sebagai suatu kebiasaan
yang ada pada masyarakat dan melaksanakan hubungan sistem sumbangan dalam rangka untuk memenuhi hubungan timbal baliknya saja tanpa memahami tujuan/maksudnya. b. Menguji
kebenaran
serta memantapkan
keberadaan
teori-teori
sosiologi dan antropologi terutama teori pertukaran serta memberikan sumbangan dalam perkembangannya. c. Dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti yang lain tentang berbagai hal yng terkait dengan kemasyarakatan, teori pertukaran, maupun berbagai hal dalam sistem sumbangan pada acara pernikahan. 2. Implikasi secara praktis a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana reflektif bagi masyarakat dalam rangka untuk mewujudkan kehidupan yang lebih bijaksana. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam memecahkan berbagai permaslahan yang terkait dengan sistem sumbangan pada acara pernikahan. c. Merangsang masyarakat serta kalangan akademisi terutama yang mengkaji masalah sosial untuk lebih kritis terhadap berbagai fenomena sosial yang dianggap biasa oleh masyarakat namun sebenarnya menyimpan
berbagai
permasalahan
sosial
yang
memerlukan
pemecahannya. C. Saran Dari hasil temuan dan analisis data di atas, ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai masukan, antara lain: 1. Bagi masyarakat a. Masyarakat hendaknya selalu menjaga kelestarian budaya sumbangan khususnya pada acara pernikahan mengingat arti penting yang terkandung didalamnya begitu berarti dalam kehidupan masyarakat.
b. Keikhlasan dalam menyumbang hendaknya lebih diutamakan, sebagaimana sumbangan sebagai suatu bentuk pemberian yang merupakan bantuan bagi pihak yang menyelenggarakan hajat pernikahan. c. Hendaknya masyarakat membuatan anggaran khusus dalam keuangan rumah tangganya masing-masing untuk pengeluaran biaya sosial khususnya sumbangan pada acara pernikahan sehingga akan lebih mempermudah masyarakat dalam pengaturan serta penyediaannya. d. Masyarakat pelaksanaan
hendaknya sumbangan,
lebih
memahami
sehingga
tidak
tujuan/maksud hanya
dari
melaksanakan
hubungan timbal baliknya saja tanpa mengetahui tujuan/ maksudnya. e. Masyarakat hendaknya meningkatkan kesadaran dan rasa pengertian terhadap mereka yang kurang memiliki modal sehingga akan dapat menghilangkan
kekerasan
simbolik
dalam pelaksanaan
sistem
sumbangan. f. Sanksi bagi pihak-pihak yang berpotensi mencari keuntungan lewat sistem sumbangan (seperti gunjingan, pengucilan, dan sebagainya) memang hendaknya dilaksanakan sebagai alat pengontrol masyarakat, dalam rangka untuk menjaga integrasi masyarakat dan untuk menjaga kemurnian arti penting sistem sumbangan. 2. Bagi kalangan akademisi Terutama bagi kalangan akademisi yang mengkaji masalah sosial hendaknya lebih kritis dan dapat membantu memecahkan masalah yang ada di masyarakat terkait sistem sumbangan seperti ini serta fenomena-fenomena sosial yang lainnya dimana hal-hal tersebut sering dianggap sebagai sesuatu yang telah biasa namun justru didalamnya menyimpan berbagai fenomena serta permasalahan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1982. Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Desa Daerah Jawa Tengah. Semarang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Tahun 1979/1980. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen. 2008. Kecamatan Sumberlawang dalam Angka Tahun 2007. Sragen: BPS. Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Echols, John dan Hassan Shadily. 1986. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jawa. . Haryatmoko. 2003. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa; Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu dalam BASIS No. 11-12 Tahun Ke-52. Yogyakarta: Kanisius. Jellison, Katherine. 2007. Louise Pubrick, The Wedding Present: Domestic Life Beyond Consumtion. USA: Ohio University. http://ant.sagepub.com. Tanggal Down load: 30 Oktober 2008. Jenkins, Richard. 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Kaplan, David dan Albert A. Manners. 2000. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat.1983. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. _________. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia. _________. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Komter, Aafke. E. 2005. Social Solidarity and the Gift. New York: Cambridge University Press. Malinowski, Bronislaw. 1988. Tertib Hukum dalam Masyarakat Terasing. Jakarta: Erlangga. _________. 1992. Argonaust of the Western Pacific. New York: E.P Dutton & Co., Inc. Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mitchell, Duncan. 1984. Sosiologi: Suatu Analisa Sistem Sosial. IKAPI: Bina Aksara. Moreno, Paz dan Susana Narotzky. 2002. Reciprocty’s Dark Side: Negative Reciprocity, Morality and Sosial Reproduction. http://ant.sagepub.com/ cgi/content/abstract/2/3/281. Tanggal Down Load: 30 Oktober 2008. Poloma, Margaret. M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Purnamasari, Novita. 2000. Upacara Tradisi Perkawinan Jawa dan Perubahan Bentuk Sumbangan di Yogyakarta (Studi Kasus pada Upacara Perkawinan Keluarga Alm. Moelyono dan Keluarga Bambang Sutrisno). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM Yogyakarta. Rusdiarti, Suma Riella. 2003. Bahsa Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan dalam BASIS No.11-12 Tahun Ke-52. Yogyakart: Kanisius. Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana. Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES. Slamet, Y. 2006. Metode Penelitian Sosial. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Soekanto, Soerjono dan Ratih Lestarini. 1988. Fungsionalism dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi. Jakarta: Sinar Grafika. Soekanto, Soerjono. 1986. Talcott Parson, Fungsionalisme Imperatif. Jakarta: CV. Rajawali. _________. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sudarmono. Selasa, 9 Januari 2007. Opini: Nuansa Kondangan. http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2007010900565359. Tanggal Down Load: 7 Agustus 2008. Suanarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Yuliati, Yayuk dan Mangku Poernomo. 2003. Sosiologi Pedesaan.Yogyakarta: Pustaka Utama.