82
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 05 No. 02 Juli 2014
Studi Kasus Pernikahan Dini Di Desa Wukirsari Imogiri Bantul Yogyakarta Arifah Istiqomah1
ABSTRACT Background : The early marriage phenomenon not only happens in the society but also it happens in the schools that must focus on obtaining the knowledge and developing talent. Indonesia is one of the five countries that the percentage of early marriage is considering the highest in the world. The number of early marriage in DIY is worrying. From year to year the number of early marriage increases up to 50%. Every week, the Religion Court in Bantul Regency declares early marriage couples that ask for dispensation. Including the local government clinic in Imogiri I, from the four villages, the Wukirsari Village is the highest for women who get pregnant under 20 years old. The younger they get married, the bigger the risk that they will face. Methods : The objectives of the research were to know the society perceptions about the early marriage, to know the factors that cause the early marriage, and to know the impacts that appear in the early marriage in Wukirsari Village, Bantul regency. The type of the research was descriptive qualitative. The sampling technique used in the research was purposive sampling. The data sources included the informant and the official document about early marriage. The data collection techniques used were interview and document notes. Results : Most of the informants had the negative perceptions in early marriage. The cause of the early marriage was pregnant before getting married. The other motives were the youth with the age less than 20 years old had got jobs so that they felt the could handle marriage and also the culture belief that getting married with the age more than 20 years old was taboo. The impact of the early marriage was the complication case in obstetrics that could influence the health and psychological aspect for mom and the fetus, and the divorce case also increased. Conclusion : The conclusion of this research is that the public perception of early marriage is not good. Factors causing early marriage in the Wukirsari village in Bantul Regency is being pregnant out of marriage, educational background, social economic, and cultural. Early marriage affects health, psychological and household survival. Keywords: adolescent reproductive health, early marriage.
PENDAHULUAN
ini, fenomena pernikahan usia dini tidak hanya di kalangan masyarakat adat tetapi telah merambah pelajar sekolah yang semestinya fokus menuntut ilmu dan mengembangkan bakat. Pernikahan pada hakikatnya bukan hanya ikatan untuk melegalkan hubungan biologis
A. Latar Belakang Pernikahan dini atau pernikahan di usia masa remaja masih banyak dijumpai di negara berkembang termasuk Indonesia. Sampai saat
1. Dosen Program Studi DIII Kebidanan, Akademi Kebidanan Ummi Khasanah.
82
Istiqomah, A., “Studi Kasus Pernikahan Dini Di Desa Wukirsari ....” namun juga membentuk sebuah keluarga yang menuntut pelaku pernikahan mandiri dalam berpikir dan menyelesaikan masalah dalam pernikahan. Akibat tidak siapnya mental pelaku pernikahan usia dini, konflik yang berujung perceraianpun seringkali mengakhiri ikatan tersebut (Wilda, Latifatul dan Eka, 2010). Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja berhenti pada usia 19 tahun. Pada usia 20 sampai 24 tahun dalam psikologi, dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead edolesen. Pada masa ini, biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Apabila terjadi pernikahan yang dilakukan di bawah 20 tahun maka akan memiliki dua dampak yang cukup berat. Dari segi fisik, remaja belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu pemerintah mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 20 – 35 tahun. Dari segi mental pun, emosi remaja belum stabil. Secara emosi remaja masih ingin berpetualang untuk menemukan jati dirinya (Hasmi, 2012). Data United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa wanita yang berusia 25 sampai 29 tahun yang menikah di bawah usia 18 tahun di Indonesia mencapai 34 %, dan Indonesia termasuk dalam lima besar Negaranegara yang persentase pernikahan dini tertinggi di dunia. Berdasarkan usia pernikahan dan level pendidikan, data statistic di Indonesia menunjukkan pada tahun 2008 terdapat 20 % wanita yang menikah di usia sekitar 15-19 tahun dan 18 % wanita yang menikah dengan laki-laki dibawah usia 20 tahun (Simamora, 2012). Indonesia juga merupakan negara dengan presentase tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Sebanyak 0,2 % dari 22.000 wanita usia 10-14 tahun sudah menikah. Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan 41,9% perempuan menikah pada umur 15-19 tahun. Persentase
83
perempuan muda berusia 15-19 yang menikah lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun yaitu 11,7 % Perempuan dan 1,6 % Laki-laki (Yuswono, 2012). Angka pernikahan dini di wilayah DIY cukup mengkhawatirkan. Jumlahnya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan hingga 50%. Berdasarkan data pengadilan, peningkatan itu dilihat dari dua tahun terakhir, pada tahun 2010 jumlah dispensasi pernikahan di pengadilan sebanyak 362 dan pada 2011 terdapat 522 pemohon. Permintaan dispensasi nikah tersebut biasanya dilakukan oleh pihak orang tua karena anaknya mengalami kehamilan (Pratiwi, 2012). Di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) angka pernikahan dini tergolong tinggi. Setiap pekan, Pengadilan Agama Kabupaten Bantul setidaknya menyidangkan anak-anak di bawah umur yang minta dispensasi menikah. Berbagai alasan untuk mendapatkan dispensasi nikah dini di antaranya hamil di luar nikah, menyusul syarat administrasi bekerja sebagai transmigran, dan kekhawatiran orang tua. Dalam satu semester tahun 2009, jumlah perkara dispensasi nikah mencapai 65 kasus. Dari jumlah tersebut dispensasi nikah yang dikabulkan mencapai 63 kasus. Rata-rata pasangan yang masuk pada daftar dispensasi nikah memiliki usia 19 hingga 20 tahun. Jumlahnya dari bulan ke bulan rata-rata naik, hal itu juga diimbangi dengan tingginya angka perceraian. Sesuai aturan, anak usia di bawah pernikahan tidak diperbolehkan melangsungkan pernikahan sebelum mencapai usia kematangan. Namun, kesanggupan pasangan dan persetujuan wali maupun orang tua menjadi pertimbangan dikabulkannya permintaan mereka (Waskita, 2009). Perkawinan usia dini tidak terlepas dari beberapa faktor yang memengaruhi. Ada tiga faktor atau sinyalemen ini yaitu tradisi lama yang sudah turun temurun yang menganggap perkawinan pada usia anak-anak sebagai suatu hal yang wajar. Dalam masyarakat Indonesia, bila anak gadisnya tidak segera memperoleh
84
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 05 No. 02 Juli 2014
jodoh, orang tua merasa malu karena anak gadisnya belum menikah. Begitu pula dengan budaya eksploitatif terhadap anak, yang membuat anak tidak berdaya menghadapi kehendak orang dewasa, baik orang tuanya yang menginginkan perkawinan itu, maupun orang yang mengawini (Al-Hafizh, 2011). Puskesmas Imogiri I merupakan salah satu puskesmas di Bantul, Yogyakarta. Puskesmas tersebut menduduki urutan tertinggi dalam hal proporsi usia wanita hamil pertama kali kurang dari 20 tahun, yaitu 30,1% (132 dari 438 total sasaran). Dari empat desa di wilayah kerjanya, Desa Wukirsari menempati urutan tertinggi dalam sumbangan angka ini, dan posisi ini tidak berubah selama lebih dari lima tahun ke belakang. Desa Wukirsari merupakan desa yang memiliki penduduk dalam rentang usia remaja (13-18 tahun) cukup tinggi yaitu sebanyak 2.691 jiwa (16,7%). Jumlah pernikahan dini tahun 2011 di Desa Wukirsasri sebanyak 20 kasus, meningkat pada tahun 2012 menjadi 34 kasus. Terkait dengan pernikahan dini, semakin muda usia saat pernikahan pertama maka semakin besar risiko yang dihadapi ibu dan anak misalnya abortus, infeksi yang terjadi pada kehamilan. Hal tersebut disebabkan organorgan reproduksi belum siap sehingga rentan terhadap kematian. Pernikahan dini juga dapat menutup kesempatan bagi perempuan dalam memperoleh pendidikan yang lebih baik (Movementi, 2013). Dari pihak lain melihat dan menelaah bahwa remaja yang menikah muda akan lebih cenderung untuk mengalami kegagalan dalam rumah tangga mereka (Mochlisin, 2012).
B. Tujuan Penelitian Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pernikahan dini dengan mendeskripsikan melalui pendekatan kualitatif tentang: 1. Persepsi masyarakat tentang pernikahan dini di Desa Wukirsari Imogiri Bantul. 2. Faktor-faktor penyebab pernikahan dini di Desa Wukirsari Imogiri Bantul.
3. Dampak yang timbul pada pernikahan dini di Desa Wukirsari Imogiri Bantul.
METODE PENELITIAN Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yang menekankan pada masalah fenomena pernikahan dini, maka jenis penelitian ini dengan strategi yang terbaik adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penikahan dini yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 20 tahun atau masih berusia remaja (Ardi, 2012 dan BKKBN, 2008). Masalah yang dikaji pada penelitian ini meliputi persepsi, penyebab, dan dampak pernikahan dini. Penelitian ini dilakukan di Desa Wukirsari, Imogiri, Bantul. Waktu Pelaksanaan Penelitian November 2012-Juni 2013. Teknik sampling yang digunakan bersifat purposive sampling. Sumber data yang digunakan antara lain informan yang terdiri dari Staf Kelurahan Desa Wukirsari Bagian Kesejahteraan Masyarakat, Petugas Kantor Urusan Agama (KUA), Bidan di Pukesmas Imogiri I, Staf Pengadilan Agama (PA), Pasangan nikah dini (5 pasangan). Selain itu Arsip atau dokumen resmi mengenai pernikahan dini. Dari hasil penelusuran dokumen yang terkait dengan pernikahan dini diperoleh dari Kelurahan Desa Wukirsari, KUA Imogiri, Puskesmas Imogiri I, Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, Kementerian Agama Bantul, dan Pengadilan Agama Bantul. Teknik Pengumpulan Data melalui Wawancara mendalam (in-depth interviewing) dan pencatatan dokumen (content analysis). Uji Keabsahan Data melalui 4 macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu Triangulasi Sumber, Triangulasi Metode, Triangulasi Teori, dan Triangulasi Penelitian. Analisis penelitian kualitatif bersifat interaktif yang prosesnya dimulai dengan menelaah seluruh data. Selanjutnya mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan membuat abstraksi. Abstraksi meru-
Istiqomah, A., “Studi Kasus Pernikahan Dini Di Desa Wukirsari ....” pakan usaha membuat rangkuman inti. Tahap terakhir dari analisis ini adalah penarikan kesimpulan dari penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Persepsi Masyarakat Berdasarkan hasil wawancara, informan Bp. J (PN3 Staf Kelurahan Desa Wukirsari, 01) mengatakan, “Penikahan di usia dini kurang baik karena sebagian besar pernikahan dini berakhir dengan perceraian, bahkan ada yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan status belum kawin, tapi mau daftar nikah dengan membawa akte cerai jadi ini pernikahan dini yang kedua dengan status janda”. Hal senada juga diungkapkan oleh informan Ny. A (Bidan Desa Wukirsari, 03), “ Menurut saya kurang baik. Karena organ reproduksi belum sempurna, lebih baik usia 20 sampai 35 tahun, dari segi psikologis juga belum matang”. Begitu pula oleh informan Ny. R (Hakim PA Bantul, 04) menyatakan, “Sangat tidak setuju. Tapi kalau sudah masuk ke dalam perkara, banyak aspek yang perlu dipertimbangkan, misal adat atau kekhawatiran orangtua jika seperti itu masih bisa diarahkan, tapi kalau ada hak anak yang harus diselamatkan terkait akte kelahiran, kemudian tidak ada hubungan nasab ratarata dikabulkan”. Sedangkan informan Bp. IM (Kepala KUA, 02) berpendapat, “Ada segi positif dan negatif. Kalau dari situasi/konteks sosial tidak ada salahnya melakukan pernikahan dini, tapi kalau untuk kepentingan keluarga yang ideal perlu dipikir ulang karena tujuan dari pernikahan adalah membangun rumah tangga yang bahagia, kekal. Umur meskipun bukan satu-satunya, namun bisa digunakan sebagai tolak ukur kematangan seseorang sehingga bisa menghadapi permasalahan
85
keluarga secara rasional”. Menurut beberapa pasangan yang melakukan pernikahan dini ada yang menyatakan baik, ada pula yang tidak baik. Ny. H (IRT, 05) menyatakan, “Pernikahan dini tidak baik. Karena untuk membina rumah tangga masih belum maksimal”. Hal serupa diungkapkan oleh Ny. FR (IRT, 08) menurutnya, ”Tidak baik. Karena belum siap”. Begitu juga Ny. F (IRT, 09) menyatakan pendapat mengenai pernikahan dini, “Tidak baik. Karena kehilangan masa depan dan pekerjaan sehingga masa depan kurang terjamin”. Hal tersebut bertolak dengan pendapat dua informan yang melakukan pernikahan dini. Ny. A (Karyawan Swasta, 06) menyatakan pendapat, “Menurut saya pernikahan dini itu baik. Karena agar awet muda dan ekonomi sudah mapan sebab suami punya usaha sendiri”. Senada dengan yang dibicarakan dengan Ny. AN (IRT, 07), menurutnya pandangan terhadap pernikahan dini, “Baik, karena mendidik agar bisa mandiri”. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, bahwa tujuh dari sembilan informan (77,7%) memiliki persepsi yang kurang baik terhadap pernikahan dini.
2. Penyebab Pernikahan Dini Berdasarkan hasil pencatatan dokumen (content analysis), saat ini terjadi peningkatan pernikahan di usia dini.
Gambar 1. Data Pernikahan Usia < 20 Tahun di Kecamatan Imogiri
86
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 05 No. 02 Juli 2014 Menurut Gambar 4.1. telah terjadi peningkatan pernikahan usia dini, di tahun 2012 untuk pihak mempelai wanita mencapai 153 orang dan laki-laki 90 orang di Kecamatan Imogiri. Berdasarkan data yang diperoleh KUA Imogiri tahun 2012 jumlah mempelai wanita kurang dari 20 tahun yang berasal dari Desa Wukirsari sebanyak 52 orang, sedangkan yang laki-laki berjumlah 29 orang.
Dari Gambar 4.2. dapat dilihat bahwa orang yang menikah di Desa Wukirsari paling banyak lulusan SMA untuk laki-laki 68 orang (44%) dan perempuan 61 orang (39,8%). Berdasarkan Gambar 4.3., orang yang menikah di Desa Wukirsari sebagian besar mempunyai usaha atau wiraswata, laki-laki sebanyak 38 orang (50%) dan perempuan 36 orang (48,6%).
Berdasarkan wawancara dengan Bp. J (PN3 Staf Kelurahan Desa Wukirsari, 01) mengenai penyebab masyarakat melakukan nikah dini, beliau menyatakan “Ketika ditanya ke masyarakat alasannya rahasia, seringnya adalah kehamilan tidak diinginkan, kalau alasan ekonomi sebagian daerah Pocung memang kebanyakan sudah banyak yang kerja, merasa sudah mempunyai penghasilan kemudian berani untuk menikah”. Hal serupa juga diungkapkan oleh Bp. IM (Kepala KUA Imogiri, 02) berpendapat, “Menurut orang-orang desa usia 21 tahun sudah dewasa (alasan sosiologi), jika dibaca dari putusan pengadilan karena sudah terlanjur hamil terlebih dahulu, dari segi ekonomi orang tua segera ingin memisahkan anak dengan orang tua dan mandiri, terlebih untuk mempelai wanita itu lebih aman dan mendapat perlindungan, di daerah sana juga sudah mandiri kebanyakan sudah bekerja”. Berikut data pendidikan dan perkerjaan orang yang menikah dari Desa Wukirsari.
Gambar 2. Data Pendidikan yang Menikah di KUA Imogiri
Gambar 3. Data Pekerjaan yang Menikah di KUA Imogiri
Walaupun sudah merasa mandiri dengan mempunyai pekerjaan, namun ada faktor lain yang mendasari pernikahan dini. Wawancara dengan salah seorang petugas Puskesmas Imogiri I mengungkapkan, “Secara global, dari segi orang tua kalau perempuan umur 20 tahun belum menikah dikira tidak laku, dari pergaulan dan lingkungan kalau usia kurang dari 20 tahun kebanyakan hamil terlebih dahulu” Kata Ny. A (Bidan Desa Wukirsari, 03). Ditambah dengan wawancara kepada staf Pengadilan Agama Bantul Ny. R (Hakim, 04) menyatakan, “Mayoritas pernikahan dengan dispensasi kawin yang mengajukan calon laki-laki karena calon perempuan sudah hamil terlebih dahulu. Kadang-kadang ada juga persepsi orang tua lebih baik dinikahkan atau kadang-kadang karena salah satu atau laki-lakinya mau kerja ke Jakarta. Tapi kalau seperti itu hanya sedikit”. Berikut data tentang kunjungan pertama (K1) ibu hamil dan imunisasi Tetanus Toxoid (TT) calon penganten perempuan dari Desa Wukirsari.
Istiqomah, A., “Studi Kasus Pernikahan Dini Di Desa Wukirsari ....”
87
kan orang tua, ditakutkan terjadi hal yang tidak diinginkan”.
Gambar 4. Kunjungan K1 dan Imunisasi TT Caten
Sesuai Gambar 4.4, kunjungan K1 ibu hamil usia kurang dari 20 tahun meningkat dan imunisasi TT caten pada perempuan yang menikah di usia kurang dari 20 tahun juga meningkat. Hasil wawancara dengan informaninforman yang telah melakukan pernikahan dini, penyebab mereka melakukan pernikahan dini salah satunya adalah hamil di luar nikah. Menurut Ny. H (IRT, 05), “Saya melakukan nikah di usia 19 tahun karena hamil diluar nikah, kurang lebih pada waktu itu hamil 7 bulan”. Seperti yang diungkapkan Ny. FR (IRT, 08), “Saya hamil di luar nikah kurang lebih sudah 5 bulan hamil”. Begitu pula yang dialami oleh Ny. F (IRT, 09) mengatakan, “Alasan menikah dini karena saya hamil di luar nikah kurang lebih sudah 2 bulan hamil, selain itu budaya setempat banyak yang menikah usia muda”. Sehingga karena kondisi seperti itu, terpaksa harus segera dinikahkan. Alasan lain yang mendasari nikah dini adalah budaya setempat yang menganggap lebih baik menikah di usia muda. Seperti yang diungkapkan oleh Ny. A (Karyawan Swasta, 06), “Alasan yang mendasari saya menikah usia dini adalah karena saling suka dan budaya setempat memang banyak yang menikah usia kurang 20 tahun. Kalau usia sudah lebih dari 20 tahun dianggap sudah tua”. Ditambah pula pendapat oleh Ny. AN (IRT, 07) menyatakan, “Alasan saya menikah dini karena Saling suka. Budaya lingkungan dari keluarga agar segera menikah, daripada pacaran tidak diperboleh-
Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 77,7% informan menyatakan bahwa penyebab pernikahan dini adalah hamil di luar nikah dan 60% dari pasangan nikah dini memiliki alasan sudah terlanjur hamil sebelum menikah. Alasan lainnya, sebanyak 55,5% informan mengungkapkan bahwa usia kurang dari 20 tahun rata-rata sudah memiliki pekerjaan dan adanya anggapan budaya bahwa menikah di usia lebih dari 20 tahun merupakan hal yang tabu.
3. Dampak Pernikahan Dini Terkait dampak dari pernikahan dini, hasil wawancara dengan Bp. J (PN3 Staf Kelurahan Desa Wukirsari, 01) mengatakan, “Dampak terhadap segi kesehatan, psikologis, pendidikan kurang paham, dari kependudukan per tahun meningkat, kebanyakan cerai bahkan ada yang cerai dini”. Menurut Bp. IM (Kepala KUA Imogiri, 02) juga mengatakan, “Dari segi kesehatan kemungkinan tidak baik, begitu pula dari segi fisik bahkan psikologis, secara teori dari segi pendidikan akan terganggu, semakin meningkat pula kependudukan, dan angka perceraian juga tinggi”. Hal yang sama juga diungkap oleh Ny. A (Bidan Desa Wukirsari, 03) menyatakan, “Dari segi kesehatan, bisa terjadi hamil beresiko dilihat dari usia dan kesiapan organ reproduksi, dari psikologis emosi belum stabil padahal ibu hamil sensitif sekali jadi memicu pertengkaran bahkan sampai perceraian sehingga rawan sekali cenderung angka perceraiannya tinggi, dari segi pendidikan pasti terhambat dan berhenti sekolah. Dari segi kependudukan meningkat karena jumlah ibu hamil juga meningkat”. Berdasarkan Gambar 4.5 di bawah ini, komplikasi obstetri di Puskesmas Imogiri I meningkat dari 25 kasus tahun 2010 menjadi 90 kasus pada tahun 2012.
88
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 05 No. 02 Juli 2014 tahun, yang tercatat pada tahun 2010 sekitar 2 kasus menjadi 9 kasus pada tahun 2012. Sebab-sebab terjadinya perceraian, ratarata ada gangguan pihak ketiga dan suami meninggalkan kewajiban.
Gambar 5. Komplikasi Obstetri di Puskesmas Imogiri I
Menurut data di Puskesmas Imogiri I yang dinyatakan oleh Ny. A (Bidan Desa Wukirsari, 03), “Komplikasi ibu hamil pada tahun 2011 berjumlah 5 kasus dan meningkat di tahun 2012 menjadi 9 kasus. Komplikasi ibu hamil usia kurang dari 20 tahun antara lain persalinan dengan Sectio Caesaria (SC), induksi dan perdarahan”. Begitu pula seperti yang diungkapkan oleh Ny.R (Hakim PA Bantul, 04), “Kalau dari segi psikologis kondisi belum siap dan tidak tahu harus bagaimana, kalau dari segi pendidikan terhambat biasanya berhenti sekolah, segi kependudukan meningkat dari satu sisi ditekan dengan Keluarga Berencana (KB) sementara di sisi lain harus dituntut menikah karena hamil, untuk segi kelangsungan rumah tangga banyak kasus perceraian karena pernikahan usia di bawah umur, rapuh sekali untuk mempertahankan perkawinan. Tidak siap menikah hanya karena kondisi”.
Hasil wawancara dengan informan yang mengalami nikah dini, Ny. A (Karyawan Swasta, 06) mengatakan, “Ada masalah dalam keluarga, paling kadang bertengkar, cara menanganinya salah satu mengalah”. Hal senada juga diungkap oleh Ny. AN (IRT, 07) menyatakan, “Ada masalah kadang bertengkar tapi tidak terlalu serius, salah satu mengalah”. Begitu pula Ny, F (IRT, 09) juga mengatakan, “Dulu pernah ada masalah, bertengkar karena suami tidak setia tapi bisa diperbaiki, kalau masalah ekonomi sebagai buruh penghasilan pas-pasan, rumah juga masih ikut orang tua saya. Untuk menangani masalah itu, keluarga suami saya minta maaf, kemudian dari saya juga mau memaafkan karena saya memikirkan anak jika tidak punya bapak kesannya kurang baik”. Bahkan ada salah satu informan yang sampai saat ini ada masalah tapi belum teratasi, Ny. FR (IRT, 08) mengungkapkan, “Ada masalah yaitu berselisih, orang tua suami saya tidak setuju dengan pernikahan ini. Sampai saat ini belum tertangani dengan baik karena tidak ada yang mau mengalah. Bahkan dari orang tua saya kalau tidak bisa diatasi akan diurus ke pengadilan”. Namun menurut Ny. H (IRT, 05) mengatakan, “Selama ini tidak ada permasalahan yang serius dalam rumah tangga, saling memahami saja”.
Gambar 6. Angka Perceraian dengan Riwayat Usia Nikah < 20 Tahun
Dari Gambar 4.6, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan angka perceraian dengan riwayat usia menikah kurang dari 20
Berdasarkan hasil wawancara dan pencatatan dokumen tersebut di atas, dampak dari pernikahan usia dini adalah kasus komplikasi obsteri meningkat sehingga berpengaruh terhadap kesehatan dan psikologis ibu dan janin, serta kasus perceraian juga meningkat, sebanyak 55,5% informan berpendapat pernikahan dini juga akan berujung dengan perceraian.
Istiqomah, A., “Studi Kasus Pernikahan Dini Di Desa Wukirsari ....” B. Pembahasan 1. Persepsi Masyarakat Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada Pasal 7 ayat (1) perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita (Pasal 7 ayat 2). Terkait dengan pernikahan dini, Lutfiati dalam Suparyanto (2011) menjelaskan bahwa pernikahan dini merupakan intitusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Sedangkan Nukman dalam Suparyanto (2011) menyatakan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan. Melihat dari hasil in-depth interviewing dengan sembilan informan, tujuh diantaranya (77,7%) mengatakan bahwa persepsi terhadap pernikahan dini itu kurang baik. Nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Pernikahan dalam Islam merupakan fitrah manusia agar seorang muslim dapat memikul amanat tanggung jawabnya yang paling besar di dalam dirinya terhadap orang yang paling berhak mendapat pendidikan dan pemeliharaan. Di samping itu pernikahan memiliki manfaat yang paling besar terhadap kepentingankepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial itu adalah memelihara kelangsungan jenis manusia, memelihara keturunan,
89
menjaga keselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta menjaga ketentraman jiwa. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan (Fatawie, 2013). Pernikahan dini setidaknya melanggar lima hak anak. Hak-hak anak yang dilanggar, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan, dengan kasus pernikahan dini itu, anak tidak melanjutkan sekolah, kemudian melanggar hak untuk berpikir dan berekspresi, berpendapat, memanfaatkan waktu luang, dan hak perlindungan. Anak seharusnya dilindungi dari pernikahan dini yang berdampak pada perkembangan, baik secara fisik maupun psikis (Kembaren, 2009).
2. Penyebab Pernikahan Dini Berdasarkan hasil in-depth interview, sebanyak 77,7% informan menyatakan bahwa penyebab pernikahan dini adalah hamil di luar nikah dan 60% dari pasangan nikah dini memiliki alasan sudah terlanjur hamil sebelum menikah. Sesuai dengan pendapat Ahmad (2009), yang menyatakan bahwa ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anakanak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib. Terlebih jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua cenderung menikahkan anak-anak tersebut. Dengan kondisi seperti ini, jelas-jelas pernikahan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana pernikahan yang diamanatkan UU bahkan agama. Pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan di kemudian hari bisa goyah, apalagi jika pernikahan tersebut didasarkan keterpaksaan.
90
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 05 No. 02 Juli 2014 Penyebab lain yang mendasari pernikahan dini adalah budaya, pendidikan dan sosial ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 55,5% informan mengungkapkan bahwa usia kurang dari 20 tahun ratarata sudah memiliki pekerjaan. Sesuai Gambar 4.2. dapat dilihat bahwa orang yang menikah di Desa Wukirsari paling banyak lulusan SMA untuk laki-laki 68 orang (44%) dan perempuan 61 orang (39,8%). Ditambah pula pada Gambar 4.3., orang yang menikah di Desa Wukirsari sebagian besar mempunyai usaha atau wiraswata, laki-laki sebanyak 38 orang (50%) dan perempuan 36 orang (48,6%).
bahkan pula oleh Ahmad (2009) yang mengatakan bahwa umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan Undang-undang.
Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri. Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan di luar nikah (Ahmad, 2009).
Berdasarkan hasil wawancara dan pencatatan dokumen, dampak dari pernikahan usia dini adalah kasus komplikasi obsteri meningkat sehingga berpengaruh terhadap kesehatan dan psikologis ibu dan janin. Gambar 4.5 menunjukkan bahwa komplikasi obstetri di Puskesmas Imogiri I meningkat dari 25 kasus tahun 2010 menjadi 90 kasus pada tahun 2012 (Dinkes Bantul, 2013).
Terkait dengan budaya, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 55,5% informan mengungkapkan bahwa adanya anggapan budaya menikah di usia lebih dari 20 tahun merupakan hal yang tabu. Dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan Rohmat (2009) dan Sari (2006) yang menemukan bahwa salah satu faktor penyebab seseorang melakukan pernikahan dini karena budaya atau adat setempat. Sesuai dengan pendapat Hartanto (2012) yang menyatakan bahwa banyak pernikahan usia dini disebabkan faktor budaya, ada yang masih beranggapan ketika anak mengalami menstruasi maka dia bisa dinikahkan. Ditam-
Oleh karena itu mulai sekarang perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan usia perkawinan menjadi lebih dewasa lagi. Sehingga bisa mempersiapkan dan menyongsong masa depan dengan lebih terencana dan lebih baik (Kisara, 2012).
3. Dampak Pernikahan Dini
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Menurut ilmu kesehatan, bahwa usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik maupun mental, kebutaan dan ketulian (Ihsan, 2008). Menurut UNICEF, seorang perempuan yang hamil sebelum usia 18 tahun secara fisik dan mental belum siap untuk melahirkan seorang anak. Di dunia, persalinan yang berujung pada kematian merupakan faktor yang dominan dalam kematian gadis antara usia 15-19 tahun (Inayati, 2011).
Istiqomah, A., “Studi Kasus Pernikahan Dini Di Desa Wukirsari ....” Purwosunu (2013) menambahkan bahwa kematian ibu dan janin 50% lebih tinggi pada ibu usia 15 – 19 tahun dibanding ibu usia 20 – 29 tahun. Komplikasi obstetri yang timbul juga lebih banyak seperti preeklamsi, infeksi, perdarahan, dan lain-lain. Hal ini disebabkan kehamilan remaja cenderung mendapat asuhan kehamilan lebih jarang. Dampak lain dari pernikahan dini adalah adanya peningkatan kasus perceraian. Sebanyak 55,5% informan mengatakan berujung dengan perceraian. Dari Gambar 4.6, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan angka perceraian dengan riwayat usia menikah kurang dari 20 tahun, yang tercatat pada tahun 2010 sekitar 2 kasus menjadi 9 kasus pada tahun 2012. Sebab-sebab terjadinya perceraian, rata-rata ada gangguan pihak ketiga dan suami meninggalkan kewajiban. Dikuatkan pula oleh penelitian yang dilakukan Rohmat (2009) yang menyatakan bahwa karena pernikahan semacam ini tidak didasari atas kematang jiwa dan raganya maka banyak pasangan yang keluarganya di akhiri dengan penceraian. Pernikahan usia dini merupakan pernikahan yang masih rawan dan belum stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan banyak terjadinya perceraian. Secara psikologis, pasangan usia muda belum siap bertanggung jawab secara moral, pada setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosinya (Ihsan, 2008). Didukung oleh pendapat Kembaren (2009) yang menyatakan bahwa dari perspektif psikologis, pernikahan dini dapat menimbulkan disharmoni keluarga. Disharmoni bisa terjadi karena emosi yang bersangkutan masih labil dan pola pikir yang masih belum matang. Melihat pernikahan
91
dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Ketika anak yang melakukan pernikahan dini tidak dapat beradaptasi dengan baik dengan lingkungan dan situasi barunya maka dapat mengakibatkan timbulnya stres yang berdampak tidak baik bagi dirinya. Oleh karena itu perlu beberapa persiapan yang dilakukan dalam rangka berkeluarga antara lain persiapan fisik, biologis, mental, sosial ekonomi, pendidikan dan ketrampilan serta keyakinan atau agama. Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) merupakan upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan pertamapun terjadi pada usia yang cukup dewasa (Adzlan, 2011). PUP merupakan bagian dari Program KB untuk generasi muda dengan sebutan Generasi Berencana (Genre). Melalui perencanaan dan persiapan kehidupan berumah tangga, kapan harus hamil, berapa jarak kelahiran, dan bercita-cita untuk mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, harapannya kelak menjadi keluarga yang berkualitas (PIK MA Youth Center UMP, 2012).
SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Persepsi atau pandangan masyarakat terhadap pernikahan dini adalah kurang baik. 2. Faktor penyebab pernikahan dini di Desa Wukirsari Imogiri Bantul adalah hamil di luar nikah, pendidikan, sosial ekonomi, dan budaya. 3. Pernikahan dini berdampak terhadap kesehatan, psikologis dan kelangsungan rumah tangga.
92
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 05 No. 02 Juli 2014
B. Saran-saran 1. Bagi profesi Sebagai bidan sebaiknya berpartisipasi aktif dalam meningkatkan promosi kesehatan tentang pendewasaan usia perkawinan (PUP) untuk mencapai generasi berencana (Genre). Khusus dari Akademi Kebidanan Ummi Khasanah akan andil dalam hal tersebut melalui Program Bidan Kecil. Harapannya dengan pemberian pendidikan kesehatan reproduksi lebih dini akan dapat mewujudkan generasi berencana. 2. Bagi masyarakat Sebaiknya dapat menjaga diri dari pergaulan yang kurang baik melalui kegiatan-kegiatan positif seperti melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, kegiatan keagamaan, dan lain-lain.
KEPUSTAKAAN Adzlan T. 2011. Pendewasaan Usia Perkawinan. http://lampung.bkkbn.go.id/Lists/ Artikel/DispForm.aspx ?ID=21&ContentTypeId= 0x01003DCABABC04B7084595DA36 4423DE7897. Diakses tanggal 1 Desember 2012. Ahmad. 2009. Pernikahan Dini Masalah Kita Bersama. http://pa-bantul.net. Diakses tanggal 15 Desember 2012. Ardi. 2012. Pengertian Pernikahan Dini. http:// w w w. p sy c h o l o g y m a n i a . co m / 2012/06/pengertian-pernikahandini.html. Diakses tanggal 15 Desember 2012. BKKBN. 2008. BeberapaaDefinisi. http:// ceria.bkkbn.go.id/referensi/ substansi/detail/19. Diakses tanggal 5 Desember 2012. Fatawie Y. 2013. Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara. h t t p : / /
w w w. p es a nt r e n v i r t u a l . c o m / index.php?option=com_content &view=article&id=1240:pernikahandini-dalam-perspektif-agamadan-negara&catid=2:islamkontemporer&Itemid=57. Diakses tanggal 1 Februari 2013. Hartanto W. 2012. 50% Perempuan Indonesia Nikah di Bawah Usia 19 Tahun. h t t p : / / w w w. b k k b n . g o . i d / viewberita.aspx?beritaid=568. Diakses tanggal 2 Mei 2013. Hasmi E N. 2012. Dampak Berat Pernikahan Dini. http://pikkr.wordpress.com/2012/10/ 15/dampak-berat-pernikahan-dini/. Diakses tanggal 1 Desember 2012. Ihsan. 2008. Tuntunan Praktis Rumah Tangga Bahagia. Surabaya. BP-4 Jatim. Inayati I N. 2011. Perkawinan Anak Di Bawah Umur Dalam Perspektif Kesehatan, Hukum dan Ham. http:// innanoorinayati.blogspot.com/ 2011/11/perkawinan-anak-dibawah-umur-dalam.html. Diakses tanggal 1 Februari 2013. Kembaren L. 2009. Aspek psikologis pernikahan dini. http:// w ww.lahargokembaren.com/ 2 0 0 9 /1 1 / a s p e k - p s i k o l o g i s pernikahan-dini.html. Diakses tanggal 1 Februari 2013. Kisara. 2012. PUP (Pendewasaan Usia Perkawinan). http://kisara.or.id/ programs/pup-pendewasaanusia-perkawinan.html. Diakses tanggal 1 Februari 2013. Movementi S. 2013. BKKBN Dorong Kenaikan Batas Usia Pernikahan. http:// www.tempo.co/read/news/2013/ 02/27/173464028/BKKBN-DorongKenaikan-Batas-Usia-Pernikahan. Diakses tanggal 28 Februari 2013.
Istiqomah, A., “Studi Kasus Pernikahan Dini Di Desa Wukirsari ....” PIK MA Youth Center UMP. 2012. Analisis Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) dan Program Generasi Berencana (Genre). http:// pendewasaanusiaperkawinan. blogspot.com/. Diakses tanggal 1 Februari 2013. Purwosunu Y. 2013. Kehamilan Remaja. http:// www.anakku.net/kehami lanremaja.html. Diakses tanggal 2 Mei 2013. Rohmat. 2009. Pernikahan Dini dan Dampaknya Terhadap Keutuhan Rumah Tangga (Studi Kasus di Desa Cikadu Kecamatan Cijambe Kabupaten S u b a n g ) ” . h t t p : / / digi li b.uinsuka.ac.id/4035/1/ BAB%20I,V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf. Diakses tanggal 3 Mei 2013. Sari F P. 2006. Perkawinan Usia Muda: Faktorfaktor Pendorong dan Dampaknya terhadap Pola Asuh Keluarga (Studi Kasus di desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalaya). http:// w w w. p u s t a kas k r i p s i . co m / perkawinan-usia-muda-faktorfaktor-pendorong-dandampaknya-terhadap-pola-asuhkeluarga-studi-kasus-di-desamandalagiri-kecamatan-leuwisarikabupaten-tasikmalaya3315.html. Diakses tanggal 3 Mei 2013.
93
Simamora M. 2012. Pernikahan Usia Dini. http:/ /sehatituinda.blogspot.com/2012/ 10/pernikahan-usia-dini.html. Diakses tanggal 5 Oktober 2012. Suparyanto. 2011. Konsep Pernikahan Dini. h t t p : / / d r suparyanto.blogspot.com/2011/ 02/konsep-pernikahan-dini.html. Diakses tanggal 1 Desember 2012. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Waskita D. 2009. Nikah Dini Marak di DIY, Hamil Duluan Jadi Alibi. http:// kliping.kemenag.go.id/ download.php?file=5902. Diakses tanggal 1 Desember 2012. Wilda, Latifatul S A dan Eka M. 2010. Pernikahan Usia Muda Banyak Masalah!!! ke1. http://id.shvoong.com/lifestyle/ dating/2074298-pernikahan-usiamuda-banyak-masalah/ #ixzz2L2kl2YZH. Diakses tanggal 1 Desember 2012.