MAKNA SIMBOLIK FILOSOFIS DALAM PELEMBAGAAN TARI BEDHAYA BEDHAH MADIUN DI KERATON YOGYAKARTA Eny Kusumastuti * Abstrak Muatan makna simbolik filosofis yang begitu tinggi dalam tari Bedhaya, menyebabkan genre tari ini senantiasa ditempatkan sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan yang paling penting di keraton-keraton Jawa. Di Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, tarian ini dianggap sebagai salah satu atribut sang raja, yang pada gilirannya juga berfungsi sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaan dan kewibawaan para Sultan atau Sunan. Tari Bedhaya Bedhah Madiun merupakan sebuah tari Bedhaya ciptaan Hamengku Buwana VII seorang Sultan Yogyakarta. Sesuai dengan pandangan filosofis yang melatarbelakanginya serta berdasarkan fenomena visualnya, tari Bedhaya Bedhah Madiun merupakan gambaran proses kehidupan manusia dalam mencapai kesejahteraan dan menuju kesempurnaan. Niat dari setiap pelembagaan tari Bedhaya adalah untuk state ritual, yang bisa dilihat di dalam Kandha Bedhaya Srimpi, yakni selalu ditujukan untuk membangun kesejahteraan serta kemakmuran rakyat dan negara. Hal itu terkait dengan kelangsungan kekuasaan sang raja, upaya semakin meningkatkan kewibawaan dan kemashuran, serta harapan agar sang raja mendapatkan anugerah usia yang panjang. Kata kunci: bedhaya, makna simbolik filosofis, fenomena visual, bentuk dan struktur tari
Pendahuluan Dalam perspektif budaya Jawa, istilah bedhaya dan srimpi menyiratkan makna yang sangat penting. Makna penting itu bukan saja bagi kalangan ningrat Jawa (para priyayi trahing aluhur), melainkan juga bagi masyarakat petani Jawa. Di lingkungan istana, Bedhaya dan Srimpi dipahami sebagai genre tari puteri Jawa yang merefleksikan tingkat keteraturan, keselarasan, kehalusan budi, dan pengendalian diri yang tinggi. Sementara di kalangan petani Jawa, istilah tersebut dipakai untuk memberikan identifikasi terhadap bentuk atau genre tari yang dikualifikasikan sebagai tari alus. Oleh karena itu, tari Gambyong, Bondhan, atau Golek oleh para petani ada kalanya disebut dengan istilah bedhaya dan srimpi. Satu hal yang menarik adalah, baik di dalam lingkungan istana maupun di kalangan petani, istilah Bedhaya dan Srimpi tidak semata-mata dipakai untuk menunjukkan perbedaan bentuk, struktur, atau gaya suatu tari dengan tari yang lain, melainkan juga dipakai untuk memberikan suatu komitmen terhadap kualitas estetik dan tingkat kedalaman muatan filosofisnya. Sudah barang tentu ini tidak harus diartikan bahwa dasar-dasar estetika tari istana sama dengan dasar-dasar estetika tari rakyat. Masing-masing memiliki perbedaan tergantung pada latar belakang budaya, tradisi, dan cara berfikir masyarakatnya tentang seni. Tari Bedhaya, di lingkungan keraton Yogyakarta dipakai sebagai model dan sumber referensi bagi tari puteri karena tarian ini dianggap mewakili karakteristik ningrat Jawa yang alus yang tampak pada penyajiannya. Tarian yang spesifik ini, ditata begitu rapi dengan struktur herarkis yang sangat teratur, lembut, murni, harmonis, penuh sofistikasi dan dilakukan dengan penuh pengendalian diri (Pudjasworo 1993:4). Tari Bedhaya termasuk salah satu jenis tari keraton yang menjadi materi pelembagaan tari di keraton *
Penulis adalah seorang dosen pada Jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Semarang, saat ini sedang menyelesaikan studi di program Pascasarjana UNNES
Yogyakarta, karena tari ini penuh muatan makna simbolik filosofis yang menjadi roh dalam sebuah teks dan konteks suatu karya seni. Pelembagaan Tari di Keraton Yogyakarta Di dalam modus legitimasi pelembagaan tari tradisional, terutama dalam memahami pelembagaan produksi dari pembentukan, perkembangan maupun mobilitas segala simbol, ide, norma, nilai tari (superstruktur-struktur), terdapat komponen yang menyangkut pelembagaan (institutions), isinya (content), dan efek atau norma-normanya (effects) (Williams 1981:14-20). Pengertian pelembagaan adalah suatu sistem bentuk hubungan kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu budaya tertentu, dan sebagai suatu prosedur yang menyebabkan tindakan atau perbuatan manusia yang dibatasi oleh pola tertentu dan diarahkan untuk bergerak melalui jalan yang dianggap sesuai dengan keinginan masyarakat (Bouman 1982:54). Parson (1951:39) lebih cenderung mengkategorikan sebagai suatu sistem interaksi sosial yang stabil (stable system of social interaction). Apabila terjadi perubahan dari salah satu struktur bagiannya, maka cenderung menjaga keseimbangan atau kestabilan. Berdasar pemikiran itu, pelembagaan dapat diartikan pula sebagai wadah atau kegiatan yang terdiri dari berbagai macam unsur yang saling terkait menjadi suatu sistem budaya yang kuat dan stabil. Komponen pelembagaan budaya ini akan menanyakan wadah atau locus penghasil produk budaya, dan siapa yang mengontrol serta bagaimana kontrol itu dilakukan. Sementara yang dimaksud dengan isi budaya menyangkut sistem nilai, norma, kaidah-kaidah, dan makna simbolik lainnya yang dihasilkan. Isi budaya biasanya akan menanyakan produk apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa yang diusahakan dan pengertian komponen efek atau norma budaya serta menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan dari hasil budaya itu . Mencermati keberadaan tari tradisional gaya Yogyakarta, kiranya tidak akan dapat dilepaskan hubungannya dengan kelembagaan atau locus masyarakat istana. Dalam hal ini adalah keraton Yogyakarta sebagai wadah atau kegiatan pembentukan dan perkembangan seni tari itu, dan Sultan sebagai penyelenggara, pemelihara, sehingga menjadi eksis dan stabil. Hasil kesenian ini diusahakan melalui wadah pelembagaan kesenian yang mengatur, memelihara dan mengembangkan dengan berbagai macam tujuan. Gambaran pelembagaan produksi dan distribusi itu berupa lembaga ke-abdidalem-an, yang terdiri para kerabat atau sentana dalem, dan para abdi dalem dengan berbagai macam keahliannya, dari seniman pencipta, pekerja kreatif, pelaku sampai dengan sebutan pembantu pelaksana seni yang berhubungan dengan seni tari. Mereka terhimpun dalam suatu wadah dengan fungsi dan tugasnya masing-masing, untuk mencapai satu tujuan yaitu mengabdi (ngawula), menjunjung perintah raja, membina, serta mengembangkan seni tari untuk melegitimasikan kedudukan raja (Hadi 2001: 14). Menari di keraton dalam sistem pelembagaan seperti itu merupakan mission sacre, artinya sebagai pengabdian yang suci, karena tari gaya Yogyakarta yang dicipta oleh Sultan Hamengku Buwono I merupakan pusaka budaya istana (Suryobrongto dalam Soedarsono 2000:129-130). Saluran pengelolaan atau kontrol terhadap pelembagaan itu dibutuhkan manajemen atau kepemimpinan. Kontrol atau kepemimpinan itu bukan secara langsung dari raja, tetapi lewat para bangsawan kerabat raja yang mendapat kekuasaan sepenuhnya atas nama raja. Oleh karenanya, melalui cara seperti itu, pelembagaan ini dapat dilihat sifat-sifat patrimonial adanya hubungan secara vertikal antara abdi dan rajanya atau kawulagusti (Hadi 2000:51-52). Jenis pelembagaan tari klasik gaya Yogyakarta sejak dari pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I sampai sekarang, yang telah dibentuk dan dikembangkan di keraton, sebagian besar terdiri dari jenis pelembagaan tari yang bersifat sakral, sehingga pelembagaan itu mengandung berbagai isi, nilai, norma maupun efek yang diharapkan. Kesakralan pelembagaan tarian itu tampak ketika fungsinya terkait dengan upacara atau ritus istana, misalnya mengenai jenis upacaranya, waktu dan tempat penyelenggaraan, tema atau cerita yang dibawakan, pendukung, penonton, maupun berbagai macam perlengkapannya. Pelembagaan tari itu sekarang telah berkembang di luar keraton dan kadang mengalami pergeseran fungsi
(Hadi 2001:61). Di samping jenis tari yang bersifat sakral, terdapat pula pelembagaan tari di istana Yogyakarta yang bersifat sekuler. Pelembagaan tari ini dapat dipertunjukkan dalam acara apa pun, dapat ditarikan oleh siapa saja dan dapat ditonton oleh siapa saja. Walaupun demikian, pelembagaan tarian itu tetap mengandung nilai yang bersifat pembinaan dan pendidikan (Hadi 2001:16). Tari Bedhaya dan Perkembangannya Menurut sejarahnya, tari Bedhaya dalam pelembagaannya merupakan tari klasik yang sangat tua usianya dan merupakan kesenian asli Jawa. Tari Bedhaya yang tertua adalah Bedhaya Semang yang diciptakan oleh Hamengku Buwono I pada tahun 1759, dengan cerita perkawinan Sultan Agung dari Mataram dengan Ratu Kidul yang berkuasa di samudera Indonesia. Pelembagaan tari Bedhaya Semang ini dianggap sakral karena perkawinan tersebut dianggap sebagai hubungan suci. Karena kesakralannya itulah, maka Bedhaya Semang menjadi pusaka kraton yang sangat dikeramatkan. Sebagai sebuah genre tari, spesifikasi Bedhaya antara lain, adalah pertama, ditunjukkan dengan penggunaan penari putri yang pada umumnya berjumlah sembilan dan mempergunakan rias busana yang serba kembar. Kedua, Bedhaya sebagai salah satu genre tari Jawa, telah dijadikan sumber referensi dalam penyusunan gerak tari putri di keraton Yogyakarta. Ketiga, tari Bedhaya memiliki muatan makna simbolik dan filosofis yang tinggi dan dalam, sehingga menjadi contoh yang paling tepat bagi cara penerapan konsep alus-kasar dalam tari Jawa (Pudjasworo 1993:2). Muatan makna simbolik filosofis yang begitu tinggi dan dalam dari tari Bedhaya, menyebabkan genre tari ini senantiasa ditempatkan sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan yang paling penting di kasultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Tarian ini bahkan dianggap sebagai salah satu atribut sang raja, yang pada gilirannya juga berfungsi sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaan dan kewibawaan para sultan atau sunan. Niat dari setiap pergelaran tari Bedhaya untuk state ritual, yang bisa dilihat di dalam setiap kandha Bedhaya Srimpi, yakni selalu ditujukan untuk membangun kesejahteraan serta kemakmuran rakyat dan negara, kelangsungan kekuasaan sang raja, dan semakin meningkatkan kewibawaan dan kemashuran, serta harapan agar sang raja mendapat anugerah usia panjang (Pudjasworo 1993:8). Sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I sampai sekarang (Sultan H. B. X), tradisi memiliki pelembagaan Bedhaya terus dilakukan. Masing-masing Sultan ketika memerintah sengaja menciptakan atau mementaskan pelembagaan tarian itu, semata-mata bukan kepentingan pertunjukan saja, tetapi sebagai perwujudan pengukuhan kewibawaan, dan lebih kepada kepentingan ritual. Ciri-ciri itu dapat dilihat misalnya tempat pementasannya yang diselenggarakan di Bangsal Kencana dan digunakan untuk kepentingan upacara penting, misalnya hari ulang tahun raja, penobatan, dan ulang tahun penobatan raja. Sultan sebagai saksi utama dan cerita atau tema yang dibawakan memiliki isi atau pun nilai tertentu. Para penari yang membawakan harus dalam keadaan bersih dalam arti tidak sedang menstruasi ( Hadi 2001:83). Dalam upacara-upacara atau ritus kerajaan yang bersifat sakral dengan menghadirkan tari Bedhaya itu, berfungsi sebagai alat kebesaran raja, sama dengan alat-alat kebesaran yang lain yang memiliki kekuatan magis seperti berbagai macam senjata, payung kebesaran, mahkota, dan benda-benda lainnya. Bedhaya dan benda-benda dengan kekuatan magis yang terkandung di dalamnya, berfungsi sebagai regalia atau pusaka kerajaan, yang senantiasa turut memperkokoh maupun memberi perlindungan, ketenteraman, kesejahteraan kepada raja beserta seluruh kawulanya. Kepercayaan seperti itu memiliki makna peranan kosmis raja, istana dan pemerintahannya, yakni kesejajaran antara mikrokosmos dan makrokosmos. Artinya istana sebagai mikrokosmos berusaha mencari keselarasan, keserasian maupun keharmonisan kehidupan dengan makrokosmos, yaitu mengharapkan kelanggengan untuk mencapai kesejahteraandan kemakmuran kerajaan (Robert von Heine-Geldern dalam Hadi 2001:84). Bersamaan dengan pergeseran waktu dan perkembangan IPTEK, tari Bedhaya mengalami perkembangan, walaupun begitu tetap mempunyai makna simbolik filosofis yang tinggi. Perkembangan pelembagaan tari Bedhaya dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu :
1. Penari yang membawakan tarian Bedhaya Dahulu yang boleh membawakan tari Bedhaya hanya para sentana dalem (anak cucu raja), namun sekarang setelah mengalami perkembangan, dapat pula ditarikan oleh siapapun yang berminat dan mampu melakukannya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya keterbukaan dari pihak keraton yang bersedia menerima pihak-pihak luar keraton yang ingin belajar dan mendalami tari Bedhaya. 2. Penyempitan waktu penampilan sebuah tari Bedhaya Waktu yang diperlukan untuk menarikan sebuah tari Bedhaya (tari Bedhaya Semang) pada jaman dahulu adalah kurang lebih 3 jam. Sekarang setelah dilakukan pengemasan, maka waktu yang dibutuhkan 1 jam sampai 11/2 jam. Meskipun demikian kaidah-kaidah tari serta makna simbolik filosofisnya tetap tidak berubah. 3. Latar belakang cerita tari Bedhaya Cerita yang diambil dalam penciptaan tari Bedhaya mengalami perkembangan, yang semula bersumber pada pernikahan sang raja dengan Ratu Kidul berkembang pada cerita babad, sejarah, epos Mahabarata ataupun epos Ramayana. Beberapa contoh tari yang bersumber dari cerita lain adalah : a. Tari Bedhaya Bedah Madiun diambil dari cerita babad b. Tari Bedhaya Ciptaning diambil dari cerita Arjuna Wiwaha c. Tari Bedhaya Dewa Ruci diambil dari lakon Dewa Ruci d. Tari Bedhaya Panca Krama diambil dari epos Mahabarata e. Tari Bedhaya Putri Cina diambil dari cerita Menak 4. Syarat-syarat khusus penari Bedhaya Pada saat memeragakan tari Bedhaya biasanya penari dituntut harus masih gadis, berpuasa dan dalam keadaan suci (tidak sedang datang bulan). Sekarang ketentuan tersebut tidak seketat itu meskipun masih juga dilakukan apabila tarian tersebut untuk penobatan raja dan dilakukan di dalam keraton. Pelembagaan Tari Bedhaya Bedhah Madiun Tari Bedhaya Bedhah Madiun diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII sekitar tahun 1921 (Nuki 1993). Latar belakang terciptanya tari Bedhaya Bedhah Madiun ini adalah bertemunya Panembahan Senopati dari Mataram dengan Retno Dumilah putri dari Pangeran Timur, raja ke-3 dari Madiun. Pertemuan ini berawal dari keinginan Panembahan Senopati untuk memperluas kerajaannya sampai ke wilayah Madiun. Pada saat terjadi peperangan yang dikenal dengan Tundhung Madiun atau bedhah-nya Madiun, muncullah Retno Dumilah, puteri Pangeran Timur yang ingin mempertahankan kerajaannya. Dengan bujuk rayu dan kata-kata lembut akhirnya Retno Dumilah jatuh cinta pada Panembahan Senopati dan kemudian menjadi permaisuri. Tari Bedhaya Bedhah Madiun ini sering juga disebut tari Bedhaya Gandakusuma, karena iringan tari Bedhaya tersebut adalah Gendhing Gandakusuma. Struktur gerak tari Bedhaya Bedhah Madiun ini diawali dengan lagon yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh beberapa orang pria dengan iringan instrumen gambang, rebab, gong, gender dan suling. Kemudian disusul sebuah gendhing yang mengiringi keluarnya penari dengan berjalan maju yang disebut kapangkapang, yang diakhiri dengan lagon juga. Setelah lagon selesai maka penari telah siap dengan sila panggung. Sementara penari masih dalam posisi sila, terdengarlah seorang yang menguraikan secara singkat tentang pencipta tari dan ringkasan ceritanya yang disebut dengan kandha. Kemudian diteruskan dengan Kawin Sekar, yaitu tembang yang dipakai mengawali gendhing, sebagai ganti buka gendhing yang biasanya dilakukan dengan salah satu instrumen gamelan (Padmosoekotjo 1960). Setelah tembang Kawin Sekar, barulah terdengar gendhing ageng yang mengiringi dimulainya tari Bedhaya tersebut. Ragam gerak yang terdapat dalam gendhing ageng ini adalah nyembah, ngenceng, encot, trisig, lampah semang, imbal, ngewer udhet, apit nyolongi, gudhawa asta minggah, pucang kanginan, gudhawa asta II, ngewer udhet, pendhapan maju mundur. Gendhing ageng ini dilanjutkan dhawah yang masih dalam satu gendhing yang pertama dan dilanjutkan minggah ke gendhing alit. Ragam gerak yang muncul adalah kipat gajahan, lembehan, duduk wuluh, impang majeng, lampah mundur, ngenceng, jengkeng, nglayang. Setelah suwuk, kemudian dilanjutkan dengan gendhing Ketawang. Di dalam gendhing Ketawang ini, gerakgerak tari yang muncul disebut sebagai gerak tari pokok yang membedakan antara Bedhaya yang satu
dengan Bedhaya yang lain berdasarkan latar belakang ceritanya. Pada bagian ini gerakan yang muncul adalah bango mati, ngundhuh sekar, gidrah, ngundhuh sekar, gidrah, ngundhuh sekar II. Sampai pada rakit gelar ini, digambarkan dengan peperangan antara Retno Dumilah dan Panembahan Senapati yang berakhir dengan saling jatuh cinta. Rangkaian gerak tari Bedhaya Bedhah Madiun ini diakhiri dengan kapang-kapang yang diiringi dengan lagon. Makna Simbolis dan Filosofis Tari Bedhaya Bedhah Madiun Bentuk tari Bedhaya biasanya ditarikan oleh sembilan orang penari putri. Jumlah sembilan tersebut berkaitan dengan mitos Jawa, bahwa lubang anggota badan manusia ada sembilan yaitu 2 lubang mata, 2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 1 lubang mulut, 1 lubang kemaluan, 1 lubang dubur, yang dimiliki oleh setiap manusia yang sempurna fisiknya sebagai sarana untuk kembali ke asal mula kehidupan yaitu kepada Tuhan itu sendiri yang dalam bahasa Jawa disebut mulih mulanira dumadi (Brotodiningrat 1982:17-21). Di dalam tata rias dan busana, sembilan penari Bedhaya tersebut dibuat sama, tidak ada perbedaan sedikitpun antara penari yang satu dengan penari yang lain. Hal tersebut menggambarkan bahwa hidup manusia itu dimulai dari samun, samar atau tidak tampak. Di samping itu, secara lahiriah dimaksudkan agar tidak menimbulkan iri hati antara penari yang satu dengan penari yang lain. Sembilan penari dalam tari Bedhaya mempunyai nama masing-masing, yang secara organik ketika membentuk formasi atau rakit lajur erat hubungannya dengan simbol gambaran bentuk jasmani manusia, yaitu : (1) endhel pajeg, (2) batak, (3) jangga melambangkan bagian kepala; (4) dhadha dan (5) buntil melambangkan badan atau gembung; (6) apit ngajeng dan (7) apit wingking melambangkan tangan kanan dan kiri; sementara bagian kedua kaki dilambangkan (8) endhel wedalan ngajeng, dan (9) endhel wedalan wingking (Hadi 2001:89). Sembilan penari tersebut menggambarkan badan wadhag manusia, setelah berwujud manusia, maka di dalam tubuhnya terdapat nur, rahsa, roh, nafsu, budi, yang berasal dari empat hal yaitu: trikamandanu, maruta, bagaskara, dan swasana. Di dalam jalannya tari Bedhaya, pada mulanya endhel masuk pada lajur kemudian dibuat sering keluar dari lajur dan kemudian masuk lagi pada lajur bersama-sama dengan endhel wedalan ngajeng dan endhel wedalan wingking. Hal ini mengandung maksud unsur air, api, angin, di mana ketiga hal tersebut menyatu dan terkandung di dalam tubuh manusia. Batak dan jangga melambangkan kepala dan di dalam kepala itu terdapat pusat syaraf indera yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap. Oleh karena itu untuk dhadha dan buntil hanya mengikuti jalannya batak, maksudnya dhadha adalah tempat bagian-bagian atau alat yang berfungsi untuk mencerna makanan, sedangkan buntil adalah alat untuk melakukan asmara serta untuk membuang kotoran. Apit ngajeng, apit wingking, endhel wedalan wingking menurut ajaran Islam adalah empat perkara yang tidak boleh ditinggalkan. Keempat perkara tersebut adalah sarengat (syari’at) yang merupakan tatanan hidup manusia, tarekat (tharikat) yang merupakan tindakan atau wujud perbuatan manusia, hakekat (hakikat)yang merupakan kesempurnaan hidup, dan makripat (ma’rifat) menyerahkan jiwa dan raga kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Peperangan yang ada di dalam tari Bedhaya melambangkan pertentangan kehendak untuk berebut kemenangan. Pertentangan tersebut adalah hal yang wajar sebab di dunia ini pasti ada dua hal yang bertentangan yaitu baik dan buruk, benar dan salah, tinggi dan rendah dan lain-lain. Untuk itu maka seandainya sampai terjadi hal yang baik itu terkalahkan oleh yang buruk, maka akan rusak juga kebaikan itu dan sebaliknya jika yang buruk bisa dikalahkan oleh yang baik, di situlah tempat kebajikan, keluhuran serta kemuliaan. Hal tersebut bertalian dengan konsep curiga manjing warangka atau manunggaling kawula gusti yang maksudnya merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Dilihat dari tata rakit, ada beberapa rakit yang melambangkan maksud-maksud tertentu, yaitu :
1. Rakit lajur
4
5
9
7
3
2
8
6
1
Rakit ini menggambarkan wujud jasmaniah manusia yang terdiri dari kepala yang dilambangkan (1) endhel pajeg, (2) batak, (3) jangga; kemudian badan dilambangkan (4) dhadha dan (5) buntil; serta anggota badan dilambangkan (6) apit ngajeng, (7) apit wingking; tangan dilambangkan (8) endhel wedalan ngajeng dan kaki dilambangkan (9) endhel wedalan wingking. Rakit lajur ini menggambarkan perwujudan manusia, sedangkan rakit yang lainnya merupakan lambang proses kehidupan manusia. 2. Rakit ajeng-ajengan 9
5
4
7
3
2
8
1
6
Rakit ini menggambarkan adanya perselisihan antara jiwa, raga, dan karsa manusia. 3. Rakit tiga-tiga
9
4
7
5
3
6
8
2
1
Dalam keseluruhan komposisi Bedhaya, formasi ini muncul dua kali, biasanya menjelang rakit gelar dan sesudahnya atau mengakhiri seluruh proses pertunjukkan Bedhaya dengan iringan gendhing Ladrangan. Dalam struktur Bedhaya, rakit tiga-tiga dihadirkan menjelang rakit gelar yang memberi makna
menyatukan tekad (telu-teluning atunggal) untuk menghadapi atau mempersiapkan apa yang akan terjadi; kemudian dihadirkan kembali sesudah rakit gelar dan memberi makna kesempurnaan yang telah terjadi (Hadi 2001:87). Rakit tiga-tiga ini mempunyai makna nilai tiga yang dapat dipahami kaitannya dengan konsep Tri Tunggal sebagai simbol manifestasi Tri Murti (Brahma, Wishnu, Shiwa) dalam ajaran Hindu, yaitu melambangkan kemanunggalan “ dari awal keberadaan dan segala yang ada” (utpeti atau Brahma); “hidup dari yang ada” (sthiti atau Wishnu); kemudian “akhir dari segala yang ada” (pralina atau Shiwa). Di samping itu, ajaran mistik Jawa menunjukkan pula kaitannya dengan kesatuan ketiga inti anasir kehidupan yakni sari maruta, sari tirta kamandanu dan sari bagaskara yang melahirkan sembilan warna kehidupan dan akan mampu mempengaruhi sifat kodrati manusia (Pudjasworo1984:28-37). 4. Rakit gelar 3
5
8
2
9
4
1
6
7
Rakit ini merupakan rakit yang terletak di bagian akhir dari proses tari Bedhaya. Menurut Pudjasworo (dalam Hadi 2001:85-86) dikatakan bahwa di dalam rakit gelar ini mengandung makna nilai dua yang dapat dipahami sebagai simbol Rwa-Binedha yaitu kesatuan antara peran (1) endhel pajeg dan peran (2) batak, sementara peran-peran yang lain hanya bersifat figuratif. Dalam proses komposisi (rakit gelar), keduanya menggambarkan percintaan, akhirnya tampak bersatu yang sering disebut loro-loroning atunggal. Kesatuan antara perempuan dan laki-laki dalam ajaran Hindu sering disimbolkan dalam wujud lingga (laki-laki) dan yoni (perempuan) juga sebagai simbol kesejahteraan. Sehubungan dengan hal tersebut, di dalam Bedhaya , makna nilai dua menggambarkan pula adanya hubungan dengan berlangsungnya upacara kesuburan maupun kesejahteraan raja dan istana. Penggambaran Bedhaya sebagai yoni dan raja sebagai lingga, karena pada hakikatnya dalam penampilan Bedhaya, raja merupakan saksi tunggal yang tidak dapat dipisahkan dalam kesatuan pertunjukan itu. Oleh karena itu, tradisi mengusahakan pelembagaan Bedhaya semakin kuat di dalam era pemerintahan raja, sebagai wujud sakti dari seorang raja yang akan menambah kekuatan dan kekuasaan demi kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh kawula-nya. Makna keseluruhan proses tari Bedhaya adalah sebagai lambang keberadaan manusia dalam pengertian totalitas yang dimulai dari lahir sampai mati. Keseluruhan proses itu, senantiasa terikat dengan tiga dimensi waktu di dalam suatu wadah yang tunggal, yaitu manusia lahir, mengalami hidup dan akhirnya mati. Ketiganya sering disebut telu-teluning atunggal dalam menuju kesempurnaan dari seluruh proses kehidupan (Pudjasworo 1984:36). Sementara itu makna simbolik filosofis yang terkandung di dalam rias dan kostum terlihat pada perlengkapan-perlengkapan yang digunakan, yaitu : 1) Cundhuk mentul yang pada dasarnya sama dengan subang, pelik yang bentuknya ceplikan penuh cahaya, melambangkan matahari atau sumber cahaya, lambang kehidupan. 2) Centhung yang dipakai di kepala memberikan kesan megah dan asri. 3) Cithak melambangkan mata ketiga syiwa yang pernah membakar Batara Kamajaya dan Dewi Ratih.
4) Kalung yang digunakan adalah kalung susun yang bentuknya seperti bulan muda melambangkan kewanitaan, sedangkan jumlah yang gasal melambangkan kebaikan. 5) Klat bahu yang biasa dipakai adalah klat bahu naga, baik dari bahan kulit maupun dari logam, yang melambangkan naga mamong atau naga makan yang berarti kemakmuran. 6) Gelang berbentuk bundar melambangkan suh maksudnya agar manusia mempunyai sifat-sifat sebagai suh atau ngesuhi. 7) Lulur (boreh) berwarna kuning kehijauan sebagaimana warna bulan yang memberi kesan bersih. Makna lain, apabila memakai lulur tersebut akan terjatuh dari slemer atau roh halus. Penutup Tari Bedhaya Bedhah Madiun secara jelas merefleksikan cara pandang dan cara berfikir kaum ningrat Jawa tentang seni. Melalui tarian inilah bisa ditemukan kaidah-kaidah atau standar-standar yang berlaku di dalam tradisi ningrat Jawa. Melalui kemampuan mengevaluasi nilai-nilai dasar yang berlaku dalam tradisi pertunjukan tari Bedhaya, maka seseorang akan sampai pada tingkat pemahaman terhadap estetika tari Bedhaya. Selain ditetapkan atas dasar fenomena visualnya yakni faktor bentuk dan struktur tarinya, juga ditetapkan berdasarkan keterkaitannya dengan pandangan filosofis serta sistem nilai budaya yang berlaku dalam kehidupan kaum ningrat Jawa. Makna simbolik filosofis yang terkandung dalam tari Bedhaya Bedhah Madiun dapat dikemukakan sebagai gambaran fisik manusia, adanya pertentangan baik-buruk, hubungan manusia dengan Tuhan, kesempurnaan kehidupan, serta kesejahteraan dan kesuburan. Pelembagaan tari Bedhaya yang selalu dimunculkan dalam upacara-upacara atau ritus kerajaan yang bersifat sakral berfungsi sebagai alat kebesaran raja, sama halnya dengan alat-alat kebesaran lainnya yang memiliki kekuatan magis seperti senjata, mahkota dan payung kebesaran. Tari Bedhaya juga dimaksudkan sebagai bentuk sakti raja yang akan menambah kekuatan dan kekuasaan demi kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh kawula-nya. Daftar Pustaka Brotodiningrat, KPH. 1982. Falsafah Beksa Bedhaya Sarta Srimpi Ing Yogyakarta Dalam Kawruh Djoged Mataram. Yogyakarta: Yayasan Siswa Among Beksa. Bouman, P.J. 1982. Sosiologi Fundamental. Terjemahan Ratmoko. Jakarta: Djambatan. Hadi, Y. Sumandiyo. 2000. Sosiologi Tari: Sebuah Wacana Pengenalan Awal. Yogyakarta : Manthili Hadi, Y. Sumandiyo. 2001. Pasang Surut Tari Klasik Gaya Yogyakarta (Pembentukan, Perkembangan, Mobilitas). Yogyakarta : Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta Parsons, Talcot. 1951. The Social System. New York: The Free Press. Padmosoekotjo, S. 1960 . Ngrengengan Kasusastraan Jawi III. Yogyakarta: Hien Hoo Sing Pudjasworo, Bambang. 1984. “Pengaruh Sistem Nilai Budaya Kaum Ningrat Jawa terhadap Kehidupan Seni Tari Keraton Yogyakarta”. Laporan Penelitian, ASTI Yogyakarta. Pudjasworo, Bambang. 1993. “Tari Bedhaya: Kajian tentang Konsep Estetik Tari Puteri Gaya Yogyakarta. Dalam SENI, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. Soedarsono, RM. 2000. Wayang Wong Gaya Yogyakarta: Masa Gemilang dan Memudar. Yogyakarta:
TARAWANG.