MENELUSURI MAKNA FILOSOFIS PANCASILA DALAM HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA
Candra Perbawati Universitas Lampung Email:
[email protected]
Abstrak Konsep negara hukum di Indonesia merupakan perpaduan antara pancasila, hukum nasional, dan tujuan negara. Ketiga unsur tesebut merupakan satu kesatuan utuh. Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum nasional, hukum nasional disusun sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara. Hukum nasional disusun apabila tidak mampu mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Masalah yang akan dikaji adalah bagaimanakah reaktualisasi nilai-nilai pancasila dalam reformasi agraria di Indonesia. Pancasila sebagai sistem nilai telah mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Tertanam dalam tradisi, sikap, perilaku, adat-isitiadat dan budaya bangsa. Pancasila tergolong nilai korohanian yang didalamnya terkandung nilai nilai secara lengkap dan harmonis, baik nilai materiil, nilai vital, nilai kebenaran atau kenyataan, nilai aesthetis, nilai ethis/moral maupun nilai religius. Hal ini dapat terlihat pada susunan pancasila yang sistematis-hierarkis, yang di mulai dari sila pertama sampai dengan sila kelima. Secara teoritis, hukum pertanahan merupakan salah satu unsur penting dalam tata hukum Indonesia karena hukum pertanahan merupakan zaak atau thing yaitu benda atau sesuatu yang dapat dihaki oleh seseorang. Benda yang dapat dihaki oleh seseorang tidak terbatas pada benda atau barang dalam arti berwujud atau berjasad atau kasat mata yang dapat ditangkap panca indera, tetapi termasuk juga benda yang tidak kasat mata atau tidak terwujud dan tidak berumbuh. Oleh karena itu, dalam hukum perdata tanah termasuk dalam kategori barang atau benda yang berwujud yang dapat ditangkap panca indera yang harus dipelihara dari sisi regulasi yang tidak lepas dari makna filosofis pancasila. Kata kunci : Pancasila, Agraria, Negara hukum Abstract
The State law concept in Indonesia is the combination of Pancasila, the national law, and the destination state. The third elements are a unified whole proficiency level. Pancaisla is the basis for the establishment of a national law, and it is structured as a mean to achieve the goals of the State. The national law is compiled when it is not able to deliver the Indonesian nation to achieve a prosperous and happy life. Issues that will be examined is how the reactualization of the values of Pancasila in agrarian reform in Indonesia. Pancasila is as the value system rooted in the life of the Indonesian nation. Based on traditions, attitudes, behaviors, customs and culture of the nation, Pancasila
is classified spiritual values that contains the values completely and harmoniously, such as: the value of material, the values of vital, the value of truth or reality, the value of aesthetic, the value of ethical and religious values. It can be seen in the systematic arrangement of Pancasila-hierarchical, that it is started of the first principle to the fifth precept. Theoretically, the law of the land is one of the important elements in the Indonesian legal system because the land law is zaak or thing that is the object or something that can be owened by someone. The objects that can be owned by someone is not limited to objects or goods within the meaning of intangible or tangible that can be captured five senses, but including also the objects that are not visible or not realized. Therefore, in the civil law of land includes in the category of goods or tangible objects that can be captured senses that must be maintained from the regulation that cannot be separated from the philosophical meaning of Pancasila. Keywords: Pancasila, Agricultural, State law Pendahuluan Kehidupan bangsa Indonesia terus mengalami perubahan. Perubahan perubahan itu agar terarah kepada tujuan negara yang telah disepakati, perlu dilakukan secara sengaja dan terencana. Sejak awal kemerdekaan upaya mewujudkan sistem hukum nasional sudah mulai dikerjakan, salah satunya yaitu dengan melakukan unifikasi hukum pertanahan (agraria). Hukum agraria nasional sengaja digarap paling awal, karena dari masalah agraria inilah bangsa Indonesia terlibat dalam pergulatan sosial, politik maupun hukum. Persoalan yang utama dengan adanya globalisasi negara Indonesia perlu membuka diri dan berinteraksi dalam percaturan dunia global. Hubungan-hubungan internasional mensyaratkan adanya hukum nasional yang mampu mengakomodasi hukum Internasional. Hukum internasional harus diterima sebagai bagian penyusunan hukum nasional. Bagaimanakah hukum nasional atau reformasi agraria disusun dengan tetap menjaga semangat kedaulatan hukum atas negeri sendiri dengan tetap berisikan nilai-nilai luhur yaitu pancasila. Secara mendalam tulisan ini akan menelusuri makna filosofi pancasila yang bersumber sebagai instrumen utama sumber hukum agraria di Indonesia. Dari hasil elaborasi ditemukan bahwa regulasi pertanahan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari makna filosofis pancasila yang termaktub pada sila pertama sampai sila ke lima.
Pembahasan A. Menelusuri Makna Filsafat dan Pancasila 1.
Makna Filsafat
Kata Filsafat berasal dari bahasa Yunani “Philein dan Sophia, Philein artinya cina (love), sedangkan Sophia artinya kebijaksanaan (wisdom. Jadi filsafat artinya cinta kebijaksanaan atau love of wisdom.1. Filsafat memberikan kepada manusia penglihatan yang rasional mengenai dunia ini (Philosophy provides us a rational view of the world) oleh karena 1
3
Sunarjo Wreksosuhardjo, Filsafat Pancasila secara Ilmiah dan Aplikatif, (Yogyakarta : Andi Press, 2004), h.
itu,yang menanyakan dan memasalahkan itu(filsafat) adalah akal budi manusia yang bekerja secara merdeka/bebas (so, Philosophy is a free inquiry of reason) . Dengan demikian, filsafat memberikan pandangan mengenai dunia yang masuk akal. Filsafat adalah juga suatu interfrestasi atas hidup ini. Pemahaman yang baik dan benar terhadap filsafat memberikan bantuan yang besar pada usaha mempersatukana keinginan-keinginan dan maksud-maksud orang banyak. Itulah nilai praktis atau manfaat praktis filsafat (that is the practical aspect of). Fisafat adalah suatu usaha manusia untuk memahami dunia tempat kita semua ini hidup. Berfilsafat berarti mencari kebenaran melalui perenungan. Jadi di dalam Pancasila sebagai filsafat yang dicari adalah kebenaran yang substansial, oleh karena itu setiap penjabaran Pancasila secara praktis untuk kehidupan bernegara, harus bertolak dari nilainilai substansial dari Pancasila. Hal ini dapat dilihat dari keinginan para pendiri negara agar Pancasila dijadikan sebagai dasar yang kekal dan abadi, sebagai pengatur, pengisi serta pengarah hubungan orang dan bangsa Indonesia terhadap pribadi sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap Tuhan, dan terhadap alam semesta. Pengertian ini sangat penting karena disamping bersifat universal, juga menjadi penentu berfungsinya Pancasila secara praktis,yaitu sebagai titik tolak atau pangkal derivasi yang deduktif bagi semua kebijakan dan sebagai alat penguji atau parameter yang induktif untuk melihat kenyataan yang ada dalam masyarakat. 2.
Makna Filsafat Pancasila
Pancasila mempunyai arti yang bersifat substantif dan regulatif.2 Adanya nilai yang bersifat substantif karena Pancasila merupakan paham atau pandangan hidup yang fundamental dan merupakan norma dasar dan menjadi landasan dari norma-norma lainnya. Adapaun sifat regulatifnya adalah karena di dalam butir-butir masing-masing sila nampak nilai operatif dan regulatif karena masing-masing sila itu sebagai satu kesatuan system yang juga berinteraksi dan bekerja sama, juga memberikan pengaturan yang dapat memberikan pedoman kehidupan manusia Indonesia secara langsung. Nilai operatif membuktikan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam kelima Pancasila, berasal dari kehidupan rakyat Indonesia yang hingga sekarang meskipun telah terpengaruh oleh arus globalisasi, masih memperlihatkan tanda-tanda untuk tetap menjadi pedoman untuk dilaksanakan. Sedangkan nilai regulatf juga nampak secara langsung yakni misalnya berupa pengaturan dimana berbagai persoalan yang timbul di dalam masyarakat harus diselesaikan dengan cara musyawarah, selain itu mengingat bahwa penempatannya di dalam UUD 1945 maka sila-sila itu sekaligus mempunyai sifat regulatif fundamental. 3.
Makna Keadilan dan Konsep Pancasila
Konsep keadilan dalam Pancasila dirumuskan dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab pertama kali dijabarkan dalam ketetapan MPR No.II/MPR/1978, ketetapan ini kemudian dicabut dengan ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998. Dalam rumusan tersebut sikap adil digambarkan sebagai bermartabat,, sederajat, saling mencintai sikap tepo salira tidak sewenang-wenang, mempunyai nilai kemanusiaan, membela kebenaran dan keadilan serta hormat menghormati dan kerjasama dengan bangsa lain, sedang makna adil dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakayat Indonesia adalah gotong royong, keseimbangan antara hak dan kewajiban, memiliki fungsi sosial hak milik dan hidup sederhana. Dengan demikian
2
Bahder Johan Nasution, Negara hukum dan HAM, (Bandung : Bandar Maju, 2011), h. 110
mengacu pada rumusan tersebut di atas maka konsep keadilan menurut pandangan bangsa Indonesia adalah keadilan sosial.3 Berbicara tentang keadilan, bangsa Indonesia mengakui bahwa keadilan yang absolut hanya ada pada Tuhan Yang Maha esa. Sila pertama Pancasila merupakan konsep keadilan yang sesungguhnya. Dan maha adil. Dalam kedudukan Pancasila sebagai suatu system filsafat dimana antara sila yang satu dengan sila yang lain saling terkait. Untuk memahami keterkaitan antara satu sila dengan sila lainnya, arti pemahaman dalam hal ini adalah pemahaman yang secara utuh. Tentunya tidak mungkin untuk memahami keadilan sosial yang sesuai dengan pandangan hidup manusia Indonesia, tanpa memperhatikan nuansa keagamaannya yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, demikian juga bila tidak memahami kemanusiaaanya yang adil dan beradab didalam persatuan Indonesia yang segala sesuatunya diputuskan, dan diatur berdasarkan azas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Segala kebajikan dan moralitas yang tertinggi tersebut yang sekarang telah disahkan menjadi segala peraturan hukum Indonesia, juga dapat diartikan sebagai perjanjian utama antara rakyat Indonesia untuk mendirikan negara Indonesia yang bercita-cita, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Tanpa Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 maka negara Republik Indonesia tidak akan pernah ada. Ilmu hukum sebagai institusi pencarian kebenaran merupakan ilmu yang terus menerus berkembang. Perkembangan itu walaupun tidak selamanya berjalan secara linear, namun dalam skala luas dan menyeluruh dipastikan mengarah kepada kebenaran dan keadilan absolut. 4 Ketika kita menyadari bahwa kebenaran dan keadilan absolut itu hanya pada Tuhan YME, maka kita juga harus mengiringi perkembangan ilmu hukum tersebut mengarah pada makna kebenaran dalam persepsi Tuhan YME sebagai sumber sekaligus arah dan tujuan kegiatan berolah ilmu hukum, yang merupakan aktivitas ilmiah yang lazim dikategorikan sebagai berparadigma Pancasila. Notonagoro5 dengan menggunakan teori causalis menyatakan bahwa keberadaan Pancasila bagi bangsa Indonesia dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Causa materialis Pancasila adalah adat kebiasaan, kebudayaan, dan agama bangsa Indonesia. Causa formalisnya adalah formulasi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, Causa finalis adalah dasar negara. Adapun causa efficien Pancasila adalah dasar filsafat negara. Berdasarkan teori causalis itu pula, dalam analisis ilmiah tentang hakikat dan hubungan antara Tuhan YME dengan manusia, Notonagoro berkesimpulan bahwa Tuhan YME itu merupakan causa prima, motor immobilis, sangkan paraning dumadi ; sementara itu hakikat manusia sebagai mahluk Tuhan YME tersusun monopluralis,sarwa tunggal (jiwatubuh,individu-sosial, laki-laki perempuan, dsb) yang dalam keseluruhannya dan keutuhannya beraktivitas dalam rangka pemenuhan kebutuhan kemanusiaannya yang mengarah pada kesempurnaannya ( absolute,mutlak). Tuhan YME telah mengkaruniakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan kepada bangsa Indonesia. Nilai-nilai ketuhanan itu telah menjadi sumber insfirasi dan motifasi bagi munculnya nilai-nilai ketuhanan itu telah menjadi sumber insfirasi dan motifikasi bagi munculnya nilai-nilai lain. Secara filosofis dikatakan bahwa setiap nilai harus bersumber Sutjito bin Atmoredjo, Negara hukum Dalam Persfektif Pancasila, (Proseding Pancasila, Sekjent Kepaniteraan MK, 2009), h. 183-204 4 Sudjito, Pancasila Sebagai Dasar Filsafat dan Paradigma Ilmu hukum, (,Yogjakarta : Makalah disajikan sebagai pengantar Mata Kulian Terbuka, tt.), h. 5 5 Ibid. 3
dan dijiwai oleh nilai ketuhanan Yang Maha Esa. Keharusan demikian, membawa konsukwensi bahwa keseluruhan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan utuh, sebagaimana disebut dengan system nilai, Sistem nilai itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Pancasila Hukum internasional, merupakan entitas hukum yang tidak mungkin kita tolak kehadirannya. Sebagai bagian dari kehidupan global, bangsa Indonesia perlu berinteraksi dangan negara-negara lain. Banyak hal kita bisa peroleh Dari hubungan internasional. Satu diantaranya adalah agar eksistensi Indonesia diakui dan diterima dalam pergaulan sesama negara bermartabat. Pengakuan demikian itu penting, selain dalam rangka mempermudah perwujudan tujuan negara yang berdimensi nasional , juga untuk mewujudkan tujuan negara yang berdimensi internasional, yaitu ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Oleh sebab itu, hukum internasional secara substansial maupun formal harus dipertimbangkan baik-baik untuk diterima dan dimasukkan sebagai bagian dari hukum nasional. Penerimaan hukum internasional tersebut tidak boleh sekali-kali untuk mengharmoni hukum nasional, melainkan sebagai upaya meningkatkan budaya dan peradaban bangsa melalui hukum nasional.
B. Hukum Pertanahan di Indonesia 1.
Arti Penting Hukum Pertanahan di Indonesia
Hukum Pertanahan di Indonesia dipicu oleh perkembangan globalisasi ekonomi di Indonesia yang mendorong kebijakan pertanahan yang semakin adaftif terhadap mekanisme pasar, namun belum diimbangi dengan pergulatan akses rakyat dan masyarakat hukum adat terhadap perolehan dan pemanfaatan tanah. Hal itu dapat dilihat dari semakin gencarnya Pemerintah menawarkan berbagai proyek infrastruktur. Kesemuanya kegiatan itu memerlukan ketersediaaan tanah yang merupakan sumberdaya yang langka dan tidak terbaharukan, Di sisi lain, masih berlangsung ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah,baik di pedesaan maupun di perkotaan. Ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah mengamanatkan perlunya Pembaruan Agraria/ Reforma Agraria yang bertujuan menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria (termasuk tanah) untuk tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan keadilan dalam akses untuk perolehan dan pemanfaatan tanah perlu menemukan kembali nilai-nilai Pancasila dan mewujudkannya dalam berbagai agenda dan program Reforma Agraria. Secara normatif nilai-nilai Pancasila diterjemahkan dalam berbagai ketentuan Undang-Undang Pertanahan Agraria (UUPA). 2.
Implementasi Pacasila dalam Undang-Undang Pertanahan Agraria (UUPA)
Jika ditelusuri secara mendalam tentang makna filosofis pancasila, maka terdapat hubungan secara mendalam dari butir-butir pancasila yang dapat diimplementasikan secara nyata dalam regulasi Undang-Undang Pertanahan Agraria (UUPA). Sila ketuhanan Yang Maha Esa diintegrasikan dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Pertanahan Agraria (UUPA) sebagai pengakuan bahwa bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa Kepada Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional.
Pemikiran Prof Notonagoro6 bahwa hubungan antara manusia dengan tanah, baik secara kolektif maupun individual sebagai hubungan yang bersifat kedwitunggalan dilandasi pada nilai yang didasarkan pada sila kedua. Hubungan antara manusia dengan tanah yang bersifat kolektif dapat dijumpai pada Pasal 1 Ayat (1) dan Pasal 2 Ayat (1) UUPA yang menegaskan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia, dan bahwa bumi,air, dan kekayaan alam itu dalam tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hubungan yang bersifat individual diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 4 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 16. Pokok pangkal pemikiran ini adalah bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan yang diberi kepercayaan oleh rakyat untuk menguasai bumi,air, dan kekayaan alam, dalam bentuk macam-macam hak atas tanah dengan isi wewenang masingmasing dan perbuatan hukum berkenaan dengan bumi, air dan kekayaan alam dengan memperhatikan bahwa semua hak atas tanah itu mempunyai fungsi sosial (pasal 6 )., Terkait dengan sila ketiga, dalam hubungan antara manusia sebagai individu dengan tanah , status kewarganegaraan berpengaruh terhadap hak atas tanah yang dapat dipunyai. Pasal 9 Ayat (1) menentukan bahwa hanya warganegara Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi,air dan lain sebagainya. Dua sila terakhir, yakni kerakyatan dan keadilan sosial diberi makna melalui Pasal 7, pasal 10, dan Pasal 17. Prinsip utama dalam kaitan hubungan antara individu dengan tanah pertanian adalah bahwa pemilik tanah pertanian harus mengerjakan sendiri tanahnya secara aktif. Oleh karena itu, pemilikan dan penguasaan tanah yang melampau batas tidak diperkenankan karena hal itu dapat merugikan kepentingan umum. Konsukwensinya ditentukan batas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian. Ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pertanahan Agraria (UUPA) yang secara normatif mengandung nilai-nilai Pancasila itu, dalam tataran empirik tidak diimplementasikan secara konsukwen dan konsisten. Hal itu disebabkan karena kebijakan pertanahan pada masa orde baru yang lebih menekankan orientasi pada pertumbuhan ekonomi telah merubah persepsi tentang fungsi tanah. Orientasi tersebut mendorong kebijakan pertanahan yang lebih cenderung prokapital ketimbang pro rakyat.
C. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pertanahan di Indonesia Kebijakan pemerintah terhadap pertanahan yang semakin adaftif yang memiliki hubungan terhadap mekanisme pasar patut dipahami dalam konteks idiologi neoliberalisme yang mendorong pemerintah menerapkan kebijakan yang memberikan peluang pada pasar untuk membuat keputusan sosial dan politik yang penting dan pemberian peluang yang seluas-luasnya bagi perusahaan untuk berkembang. Peran negara dengan demikian, menjadi berkurang dengan akibat bahwa perlindungan bagi kelompok yang secara sosial ekonomi lemah menjadi terabaikan. Dalam kondisi paradok saat ini, harus diakui bahwa tidak mungkin menghindarkan diri dari pengaruh globalisasi ekonomi namun dengan demikian perlu diupayakan untuk membuat kebijakan yang lebih adil bagi mereka yang selama ini belum memperoleh keadilan untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya yang dijamin UUD 1945. Mengartikan masalah keadilan dengan arti hukum, yaitu dengan bersumber pada UUD 1945 berarti keadilan harus terkait pada dua hal di dalam kehidupan berkelompok di Indonesia yaitu 6
Maria, Tanah dalam Persfektif Hak Ekosob, (Jakarta : Kompas PT Gramedia, 2008), h. 101
keadilan terkait dengan ketertiban bernegara, dan keadilan terkait dengan kesejahteraan sosial. Dari dua aspek diatas pada era globalisasi, hal ini sangat berkaitan dengan pembentukan hukum dalam hal ini reforma agraria, dimana dalam hal pembentukan hukum pertanahan dalam prosesnya tidak mustahil hukum yang terbentuk adalah hasil konfromi kepentingan-kepentingan para pihak yang sebenarnya adalaah hasil manifestasi politik hukum, oleh karenanya terhadap produk hukum pertanahan yang dihasilkan tidak jarang terjadi perdebatan-perdebatan tentang bagaimana tolak ukur atau parameter yang dipakai dalam proses pembentukan hukum pertanahan. Mengikuti pemikiran Hans Kelsen7 timbul pertanyaan tentang apa yang menjadi Grundnorm dari peraturan atau hukum Indonesia? Dalam banyak literatur, dijelaskan bahwa Pancasila adalah Grundnorm atau norma dasar, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku dan yang akan diberlakukan di Indonesia,. Hai ini dapat dilihat dari pandangan yang mengatakan bahwa : Pancasila berkedudukan sebagai landasan unsur konstitutif dan regulatif, sebagai Grundnorm sumbernya dari segala sumber hukum dan landasan filosofis dari bangunan hukum nasional, dan perbagai manifestasi budaya Indonesia yang memancarkan dan menghadirkan “geisslichten Hintergrund” Dengan demikian hukum tidak terlepas dari nilai yang berlaku di masyarakat bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan yang hidup dalam masyarakat. Ini berarti hukum positif Indonesia bersumber pada nilai,yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan azas kerohanian negara Indonesia, Menurut Moh Hatta sebagaimana dikutif Ruslan Saleh8 Pancasila terdiri atas dua fundamen yaitu fundamen politik dan fundamen moral. Dengan meletakan fundamen moral di atas negara dan pemerintahannya memperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan berbuat benar,melaksanakan keadilan, kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan yang keluar dan kedalam. Dengan Fundamen politik pemerintahan yang berpegang pada moral yang tinggi diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengacu pada pemikiran Moh Hatta dapat disimpulkan bahwa : “Pancasila bukan hanya norma dasar dari kehidupan hukum nasional, akan tetapi juga merupakan Norma dasar dari norma-norma lain, seperti norma moral, norma kesusilaan, norma etika dan nilai-nilai. Oleh karena itu Pancasaila mengharuskan agar tertib hukum serasi dengan norma moral, sesuai dengan norma kesusilaan dan norma etika yang merupakan pedoman bagi setiap warga negara untuk bertingkah laku”. Menurut Bernard Arief Sidharta9 secara defacto, ilmu hukum yang diemban di Indonesia sebagaimana yang diajarkan dalam pendidikan hukum dan dipraktekan para praktisi hukum masih berkiprah dalam kerangka paradigma ilmu hukum anno 1924 yang memandang ilmu hukum hanya sebagai eksemplar normologi yang mempelajari hukum hanya sebagai tatanan aturan hukum positif, dari sudut optic preskriptif, seperti yang diajarkan Hans Kelsen dengan Reine Rechtslere nya dan aliran-aliran positivistik lainya. Selanjutnya menurut Arief Sidharta, membina Ilmu Hukum Nasional Indonesia pada inti Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Ham, (Bandung : Mandar Maju, 2011), h. 125 Ibid, h. 127 9 Bernard Arief sidharta, Refleksi Tentang Fondasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 1996), h. 213 7 8
nya berusaha mengembangkan paradigma baru yang bersifat nasional yang berpangkal pada pandangan hidup dan sesuai dengan kenyataan masyarakat serta kebutuhan bangsa Indonesia. Menurut Satjipto Rahardjo10 Salah satu paradigma hukum adalah: Pertama; Hukum sebagai perwujudan nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Kedua; Hukum sebagai Ideologi , dalam hal ini Ideologi merupakan suatu kompleks pendapat atau pernyataan dalam bentuk suatu pemihakan kepada nilai-nilai tertentu. Ketiga; Hukum sebagai instiitusi .Institusi hukum mengemban tugas untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum.perwujudannya tidak berlangsung secara abstrak, tetapi selalu dalam konteks sosialnya. Keempat; Hukum sebagai rekayasa sosial dalam hal ini hukum merupakan instrument yang dipakai untuk mencari tujuan-tujuan yang jelas. Dengan demikian orientasi cita terwujudnya ilmu hukum Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pandangan hidup bangsa, yakni Pancasila. Artinya, bahwa “ cita” ,mengandung arti gagasan,rasa,karsa,cipta dan pikiran yang ingin diwujudkan. Terwujudnya ilmu hukum Indonesia haruslah bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian,ketertiban,penegakan,dan perlindungan yang berintikan keadilan.maka cita hukum memiliki makna bahwa pada hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat, berakar pada gagasan,rasa,karsa,cipta, dan pikiran dan masyarakat itu sendiri. Para pejuang dan pendiri negara telah menetapkan Pancasila sebagai “cita hukum” (Rechtsidee) yang harus menjiwai perilaku segenap subjek hukum masyarakat Indonesia sehingga terwujud negara Indonesia sebagai Negara hukum dalam (Rechtsstaad). Sebagaimana ditegaskan dalm Pembukaan UUD 1945, Pancasila merupakan cita bangsa dan negara yang tertinggi yang menjadi landasan filosofis dan Ideologi negara, pandangan dan tujuan hidup bangsa,cita negara dan sebagai dasar negara harus menjadi tolak ukur dan batu penguji mengenai baik buruknya, adil atau tidaknya hukum yang berlaku karena pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Berkaitan dengan pembaharuan hukum Agraria, Moh Mahfud menyatakan :11 “Dalam kedudukannya sebagai dasar dan Ideologi negara yang tidak dipersoalkan lagi bahkan sangat kuat, maka Pancasila itu harus diajdikan paradigma (kerangka berfikir,sumber nilai, dan orientasi arah) dalam pembangunan hukum, termasuk semua upaya pembaharuannya”. Pancasila sebagai dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan perundangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya;Pancasila sebagai Ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial politik tempat hukum menjadi salah-satunya alatnya dan karenanya juga bersumber dari pancasila.
Simpulan Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa: nilainilai pancasila yang bersifat obyektif-universal mensyaratkan bahwa pancasila dapat 10
Satjipto Rahardjo, Sosiologi hukum Perkembangan Metode dan Pilihan masalah, dalam
Khuzaifah
Dimyati, 2002, h. 60 Moh Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), h. 51 11
diterima oleh semua lapisan masyarakat dengan demikian makna pancasila dapat diejawantahkan dalam bentuk tata hukum di Indonesia salah satunya yaitu UndangUndang Pertanahan Agraria (UUPA). Oleh karena itu, Undang-Undang Pertanahan Agraria (UUPA) sesuai dengan kondisi sosio-kultur masyarakat Indonesia dengan mengedepankan aspek hukum adat yang meneguhkan terhadap jiwa nasionalisme Indonesia. Pembaharuan Undang-Undang Pertanahan Agraria (UUPA) di Indonesia harus memantapkan dan menguatkan kembali nilai sosio-politik hukum yang sesuai dengan UU No.5 tahun 1960 yakni populisme yang berpihak pada kepentingan rakyat. Untuk selanjutnya nilai-nilai pancasila yang terkandung tersebut secara mutlak dapat dipertemukan untuk mendapatkan sinkronisasi dasar-dasar pengaturan berbagai sektor agraria kedalam satu undang-undang payung hukum yakni Undang-Undang Pertanahan Agraria (UUPA) yang akan diamandemen dengan mempertimbangkan pembaharuan terhadap bebrapa pasal yang bersifat filosofis dengan mengedepankan makna filosofis pancasila.
Daftar Pustaka Wreksosuhardjo, Sunarjo, Filsafat Pancasila Secara Ilmiah dan Aplikatif, (Yogyakarta : Andi Press), 2004 Johan Nasution, Bahder, Negara hukum dan HAM, (Bandar Maju, Bandung), 2011 Sudjito, Pancasila Sebagai Dasar Filsafat dan Paradigma Ilmu Hukum, disajikan sebagai pengantara MKT. Sumardjono, Maria, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, (Jakarta : Kompas), 2008 Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing), 2010. Sidharta Arief, Bernard, Refleksi tentang Fondasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum, (Bandung : CV Utama), 1996. Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, (Khuzaifah Dimyati), 2002. Moh, Mahfud, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Raja Jakarta : Grafindo Persada), 2010. Atmoredjo, Sudjito, Negara Hukum dalam Persfektif Pancasila, (Proseding Pancasila, Sekjent Kepaniteraan MK), 2009.