BAB II REFORMASI HUKUM AGRARIA / PERTANAHAN DI INDONESIA
I.
PENDAHULUAN Perubahan adalah suatu keniscayaan yang dapat terjadi pada apa atau siapa saja. Perubahan pada masyarakat akan dapat menyebabkan perubahan terhadap nilai-nilai yang berlaku. Terhadap perubahan ini, waktu akan memegang peranan penting, karena waktu itu dapat mempengaruhi pikiran dan presepsi seseorang tentang suatu nilai tertentu. Terkait dengan peran dan pentingnya waktu dalam perubahan masyarakat ini, James dan Bergson seperti yang dikutip oleh David M. Engel menyatakan bahwa time was firs and importantly a subjective phenomena associated with the stream of thought and perceptions that constitute our mental life (David M. Engel, 1987 : h 607). Tanggal 17 Agustus tahun 1945, merupakan waktu yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengingat pada saat itu, bangsa Indonesia memproklamasikan adanya suatu negara. Proklamasi ini telah mengubah kehidupan bangsa Indonesia yang semula berada di bawah kekuasaan negara lain menjadi negara yang merdeka. Perubahan semacam ini bukan karena budi baik (by grace) dari Pemerintah Kolonial tapi sebagai perubahan "by leverage", hasil perjuangan yang tak kenal lelah dengan segala pengorbanan, termasuk harga dan nyawa. Proklamasi sebagai dasar perubahan tidak saja berfungsi sebagai "declaration of independence" tetapi juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah Nasional untuk
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
1
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
menentukan hukum (agraria) yang berlaku pada pasca Indonesia Merdeka. Hukum agraria yang baru ini harus mencerminkan nilai-nilai bangsa yang sudah merdeka sebagai pengganti dari hukum (agraria) yang ada pada masa pemerintahan penjejahan yang bersendikan nilai-nilai kolonial. Hukum agraria pada masa kolonial mengandung karakter sebagai berikut : (a) hukum agraria kolonial dibangun atas dasar pola hubungan tanah dan
negara
sebagai
pola
hubungan
kepemilikan
(sebagai
akibat
diberlakukannya "domein varklaring" dalam Agrarisch Besluit Stb. 1870 nomor 118); (b). Hukum agraria pada saat itu bersifat dualisme, diberlakukan dua macam sistem hukum agraria secara bersamaan, yaitu hukum agraria barat untuk golongan Eropah dan Timur Asing, serta hukum agraria adat yang beralku bagi golongan Bumi Putera (sebagai dkibat diberlakukannya pasal 163 dan 131 Indische Staats Regeling yang melakukan penggolongan masyarakat serta menentukan hokum yang berlaku pada masing-masing golongan tersebut); dan (c) adanya "tuan-tuan tanah" yang memiliki dan atau menguasai tanah (termasuk tanah pertanian) tanpa batas sehingga menyebabkan ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian. Tanah pertanian yang begitu luas hanya dikuasai oleh kelompok orang tertentu. Sedangkan kelompok petani yang lebih besar hanya menguasai tanah pertanian tidak memadai atau sempit. Karakter hukum agraria yang demikian ini tentu saja tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi dari bangsa Indonesia yang sudah merdeka. Perubahan terhadap hukum agraria kolonial tidak dapat dilakukan pada awalawal kemerdekaan. Saat itu Pemerintahan Nasional masih disibukkan dengan
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
2
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
upaya-upaya untuk mempertahankan kemerdekaan dan keutuhaan Negara kesatuan
dari
ancaman
baik
yang
datangnya
dari
luar,
maupun
pemberontakan dari dalam negeri. Era hukum agraria kolonial baru berakhir setelah pada tahun 1960 Pemerintah nasional berhasil menetapkan Undangundang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang dikemudian dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
II. UUPA SEBAGAI PERWUJUDAN HUKUM AGRARIA NASIONAL Pemerintahan Nasonal dalam menetapkan UUPA sebagai hukum agraria nasional telah melakukan tidak sekedar perbaikan, tetapi juga perombakan terhadap sendi-sendi hukum agraria kolonial sehingga UUPA memiliki substansi yang berbeda dan lebih sesuai dengan kepentingan dan nilai-nilai dari bangsa yang sudah merdeka. Proses yang demikian ini adalah wajar, mengingat hukum harus ditempatkan dalam konteks masyarakatnya. Hukum lahir dan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang ada dalam masyarakat. Secara tepat Gunther Toubner mengatakan bahwa legal development is not identified exclusively with the unfolding of norms, principles, and basic concept of law. Rather, it is determined by the dynamic interplay of social forces, institutional constraints, organizational structures, and-last but not least-conceptual potensials (Gunther Toubner, 1983 : h 247). UUPA dibangun diatas sendi-sendi yang melihat hubungan antara negara dan Bumi (tanah termasuk didalamnya) bukan merupakan hubungan kepemilikan tetapi merupakan hubungan penguasaan (pasal 33 ayat 3 UUD
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
3
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
1945). Selain itu, dengan lahirnya UUPA, meniadakan sifat dualisme hukum agraria menjadi sifat yang unifikatif. Artinya, setiap orang utamanya warga negara Indonesia tanpa melihat lagi asal golongannya akan tunduk pada hukum yang sama, yaitu UUPA dan peraturan pelaksananya. Sifat yang unifikatif ini diperkuat lagi dengan memberikan peran yang besar pada hukum adat dalam pembentukan UUPA. Hukum adat berfungsi: a. Sebagai sumber dan dasar dalam pembentukan hukum agraria nasional secara tertulis. Ini memberikan arti bahwa setiap peraturan hukum (agraria) tertulis harus didasarkan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum adapt (pasal5UUPA) b. Sebagai pelengkap hukum agraria tertulis. Ini terjadi jika dalam hokum agraria tertulis belum adanya pengaturannya. Untuk hal semacam ini, hukum adat akan dipergunakan sebagai acuan dalam pengaturannya (pasal 56 dan 58 UUPA) Dengan berlakunya UUPA, maka ketentuan Agrarische Wet, Agrarische besluit, dan Buku II BW, khususnya yang mengatur masalah pertanahan menjadi tidak berlaku lagi. Lebih jauh lagi, pembentukan UUPA diarahkan pada tujuan: a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
4
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya Dari uraian diatas menunjukkan bahwa UUPA ingin memberikan perlindungan kepada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat petani dengan memberikan kepastian hak dan kepastian hukum pada hak atas tanahnya (yang erasal dari hak adat). Perlindungan semacam ini, sebelumnya tidak pemah diperoieh dari; pemerintah kolonial yang hanya sekedar memberikan perlindungan pada hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat. Rumusan UUPA tersebut sebagai pengganti dari hukum agraria sebelumnya, dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat (petani). Dalam konteks ini, adalah benar apa yang dikatakan oleh Gunther Toubner bahwa hukum dalam masyarakat harus difahami dari "dimention of modern legal raionality". Terkait dengan itu, ia membuat 3 (tiga) parameter, yatiu justification of law (rasionalitas hukum), exsternal function of law (rasionalitas sistem), dan internal structures of law (rasionalitas internal)(Gunther Teubner, 1983 : h 257).
Dari rasionalitas hukum modern ini,
hukum harus memperhatikan masyarakat dengan segala aspeknya. Perabahan hukum tidak saja memperhatikan aspek atau dinamika internal dari hukum, tapi juga pula mempertimbangkan dinamika ekstemalnya. Perubahan hukum tanpa memperhatikan dinamika ekstemalnya, seperti a law with out society, hukum tanpa masyarakat (Gunther Toubner, 1983 ; h 258) Lahirnya UUPA tidak sekedar menimbulkan perubahan peraturan hukum di bidang agraria, yaitu dari hukum agraria kolonial menjadi hukum agraria nasional. UUPA juga memberikan dasar-dasar bagi kegiatan reforma
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
5
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
pertanahan (Land reform). Dasar-dasar kegiatan land reform dapat dijumpai dalam pasal 7, 10 dan 17 UUPA. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam ketentuan itu adalah: a. Diperlukan adanya penentuan batas maximal dan minimal pemilikan tanah pertanian b. Larangan pemilikan tanah absentee atau guntai c. Kewajiban untuk mengerjakan tanah pertanian secara aktif Prinsip-prinsip tersebut kemudian dijabarkan dalam Undang-undang nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang kemudian dikenal sebagai undang-undang Landreform.
III. REFORMA PERTANAHAN (LAND REFORM) Lahirnya Undang-undang landreform ini dimaksud untuk mengatasi ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang terjadi pada masa sebelumnya, dengan melakuan perombakan terhadap struktur penguasaan dan pemilikannya. "Land for tiller", tanah (pertanian) untuk petani adalah prinsip yang dipergunakan. Tanah-tanah pertanian yang dimiliki oleh mereka yang bukan petani atau mereka yang tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri secara aktif, tanahnya akan menjadi obyek landreform. Misalnya pada tanah absentee (yaitu tanah-tanah yang letaknya dikecamatan berbeda dengan pemiliknya), atau pada mereka yang pemilikannya melampaui batas yang telah ditentukan. Secara lengkap, yang dapat menjadi obyek land reform dapat dirinci sebagai berikut : (a) tanah-tanah yang melebihi batas maksimal dari yang ditentukan; (b) tanah guntai (absentee); (c)
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
6
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
tanah pertanian yang digadaikan; (d) pemecahan yang menyebabkan pemilikan tanah pertanian kurang dari 2 hektar. Terhadap obyek land reform ini, tanahnya akan dikuasai negara dengan memberikan ganti rugi pada pemiliknya, untuk kemudian didistribusikan kepada petani dengan pemberian hak milik. Petani tersebut, diutamakan pada mereka yang sebelumnya tidak memiliki tanah pertanian (sawah). Mereka adalah: a. Para penyewa yang menggarap sawah b. Para buruh tani yang menggarap sawah c. Pekerja tetap atas sawah d. Penyewa-penyewa yang menggarap tanah dalam jangka waktu kurang dari 3 (tiga) tahun. Diharapkan degan pemilikan dan atau penguasaan tanah oleh petani tersebut, akan dapat dikerjakan secara aktif, tidak saja untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan pangan bagi masyarakat Indonesia, tapi juga menghasilkan distribusi pendapatan yang lebih merata diantara penduduk. Terkait dengan ruang lingkup dari land reform ini, Perserikatan BangsaBangsa memberikan suatu definisi yang khusus tentang land reform untuk dapat dibedakan dengan pengertian Agrarian Reform. Dikatakan bahwa land reform refers to the integral reform of tenure production and suppoting services structures to eliminate obstacles to economic and social development arising out of defects in the agrarian structure, by redistribution of wealth, opportunity and power, as manifest in the owner ship and control of land, water and other reources. Agrarian reform diartikan sebagai the cover all aspect of institutional developmente including; land reform, tenure
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
7
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
production and supporting services structure and related institutions, such as local government, public administration in rural areas, rural education, and social welfare instituions and so forth (Progres in Land reform : Fifth Report (NY. United Nations, 1970, Vol III, hal 303). Dari uraian diatas, dapat difahami bahwa land reform mempunyai pengertian yang lebih sempit dibandingkan agrarian reform, dapat dikatakan land reform adalah bagian dari agraria reform. Pada land reform mencakup beberapa macam sasaran, yaitu (a) "tenure reform", penataan kembali struktur penguasaan tanah, (b) "tenancy reform" perbaikan atau pembaharuan perjanjian sewa, bagi hasil, gadai,dan sebagainya, tanpa hams mengubah distribusi penguasaan dan atau pemilikan tanah pertanian, dan (c) "land consolidation", menyatukan pemilikan tanah yang letaknya terpencar-pencar (fragmentasi) menjadi satu hamparan yang solid. Kebijakan land reform yang dikemas dalam Undang-undang nomor 56/Prp/1960, kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan antara lain Peraturan Pemerintah nomor 4 tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Guntai (Absentee) bagi Para Pensiun Pegawai Negeri, Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 1964 jo. PP nomor 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian ganti Kerugian, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria nomor 20 tahun 1963 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Gadai, dan Keputusan Menteri Agraria no SK978/Ka/1960 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian. Secara operasional, kegiatan land reform didukung oleh organisasi penyelenggaraan seperti yang diatur dalam Keputusan Presiden nomor 131
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
8
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
tahun 1961. Menurut peraturan ini, bahwa dalam rangka penyelenggaraan land reform, dibentuk Panitia-panitia land reform dari ringkat pusat, daerah tingkat I, daerah tingkat II, Kecamatan dan desa. Panitia land reform ini bertugas untuk menyelenggarakan pimpman, pelaksanaan, pengawasan, dan bimbingan koordinasi. Terhadap sengketa atau masalah hukum yang terjadi dalam pelaksanaan land reform, dapat diselesaikan lewat Pengadilan Land Reform yang dibentuk melalui Undang-undang nomor 21 tahun 1964. Kelengkapan peraturan hukum baik yang bersifat materiil maupun formil atas program land reform tidak serta merta mengakibatkan program tersebut terlaksana dengan baik. Reaksi paling keras terhadap pelaksanaan program ini, datangnya dari pemilik tanah yang terkena obyek land reform. Mereka menganggap bahwa land reform ini akan menimbulkan kerugian bagi dirinya. Menurut Erman Rajagukguk dalam disertasinya yang berjudul Hukum agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, kerugian bagi mereka dalam dua hal, yaitu ganti rugi atas tanah mereka tidak mencukupi dan terjadinya pengurangan pendapatan mereka. Dalam terminologis juridis, mereka tidak (mau) mematuhi peraturan hukum. Berbicara tentang kepatuhan hukum tidak bisa dilepaskan dengan kesadaran hukum. Keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat, dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dua hal tersebut bagaikan dua sisi dari mata uang yang sama. Kepatuhan hukum dari warga masyarakat akan menjadi baik jikan didukung oleh kesadaran hukum yang baik pula. Persoalan menumbuhkan kesadaran hukum bukanlah persoalan yang mudah, karena hal ini menyangkut persoalan yang tidak bersifat lahirian, tetapi bersifat yang tidak namapak, bersifat
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
9
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
materiil. Miyazawa melihat kesadaran hukum sebagai suatu hubungan yang bersifat "casual relationship" antara elemen yang bersangkut paut dengan masalah individu, dan elemen budaya yang bersangkut paut dengan masalah kelompok masyarakat. Dengan konsepnya tersebut, Miyazawa berupaya mengkaitkan masalah sikap dan budaya dalam konteks kesadaran hukum. Miyazawa mengatakan, I suspect that legal consciousness is more amenable to emperical research at this level than at the aggregate, cultural leve. Furthermore, aggregate level relationships between culture and behavioral patterns demand and empirical explication to understand their inherent casual relationship (Setsuo Miyazawa, 1987 : hal 223). Berbeda dengan Miyazawa, Kawashima melihat kesadaran hukum dalam bahasa Jepang sebagai "hoishiki" yang tidak dapat diterjemahkan dengan "legal consciousness", tetapi lebih dekat dengan istilah "mentalite". Mengingat kesadaran hukum dalam pengertian "hoishiki" tidak terfokus pada aspek psykhologi. Dikatakan oleh Kawashima bahwa, this concept ("hoishiki") is based not on psychology but on the sociology of culture or anthropology. Lebih lanjut dikatakan bahwa "hoishiki" as aconvenient term to mean a broader mental life as a whole. (Setsuo Miyazawa, 1987: hal 220). Dengan demikian Kawashima melihat "hoishiki" lebih depat pada aspek moral (mental) kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Tersendat-sendatnya pelaksanaan land reform pada saat itu lebih runyam lagi pada saat terjadi pergantian rezim kekuasaan, dari orde lama ke orde baru. Program land reform terhenti pelaksanaannya seiring dengan adanya pergantian kekuasaan. Mengingat pergantian kekuasaan diikuti pula
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
10
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
dengan pergantian kebijakan atau politik agraria yang dijalankan. Penentuan politik agraria akan ditentukan dengan politik perekonomian secara makro dari pemerintah yang sedang berkuasa. Pada rezim orde lama, politik ekonomi makro tidak menggantungkan sepenuhnya pada modal asing, dan lebih mengedepankan sektor pertanian (termasuk pula perkebunan). Adalah wajar jika kemudian lahir UUPA dan peraturan pelaksananya yang berkaitan dengan kehidupan petani. Pada rezim orde baru, politik ekonominya lebih mengedepankan modal asing (melalui Undang-undang nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing) dan modal domestik serta menitikberatkan pada sektor industri. Akibatnya politik agraria yang dijalankan harus menyesuaikan dengan kepentingan pemilik modal yang ingin menanamkan usahanya secara aman dan menguntungkan. Kondisi ini yang kemudian melahirkan berbagai macam peraturan dibidang agraria yang jauh menyimpang dan bertentangan dengan prinsip atau nilai-nilai yang terkandung dalam UUPA. Bidang-bidang pertambangan dan kehutanan yang pada dasarnya merupakan bagian dari lingkup agraria, dan oleh karena itu seharusnya ketentuan yang mengatur bidang tersebut harus ftiengacu pada jiwa dan nilai-nilai yang ada dalam UUPA diabaikan begitu saja. Pemerintah Orde Baru menetapkan pengaturan pertambangan dan kehutanan dalam Undang-undang pokok tersendiri, yaitu melalui pembentukan Undangundang nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan Undang-undang nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Bisa difahami, jika kemudian materi dari kedua Undang undang pokok tersebut menyimpang dengan apa yang ada dalam
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
11
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
UUPA. Sebagai catatan, dengan adanya Undang-undang pokok kehutanan dimungkinkasn lahirnya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang secara ekologis sosiologis, dan kultural meragikan kepentingan masyarakat setempat, khususnya masyarakat hnkum adat sebagai pemegang hak ulayat. Undangundang Pokok Pertambangan lebih memusatkan diri pada eksploitasi barang tambang skala besar melalui pemberian kontrak karya dan kuasa pertambangan, dibandingkan melakukan pemberdayaan pada pertambangan rakyat. Pemerintah Orde baru melakukan parsialisasi terhadap bidang-bidang yang semula menjadi bagian UUP A, diberikan tempat tersendiri dan dijauhkan dari UUPA. Demikian juga terhadap peraturan lain yang mengatur tentang pengadaan tanah yang diperlukan oleh pemilik moda. Pemerintah mengeluarkan Peraturan menteri dalam negeri (Permendagri nomor 15 tahun 1975) tentang Pembebasan tanah, yang dalam UUPA konsep pembebasan tanah ini tidak dikenal, UUPA hanya mengenal peralihan hak atas tanah lewat jual beli dan perbujatan hukum yang sejenis atau melalui pencabutan hak atas tanah. Permendagri ini memberikan pengaturan yang menguntungkan pemilik modal dibandingkan kepentingan pemilih tanah, khususnya dalam hal penentuan besar dan bentuk ganti kerugian. Contoh-contoh diatas merupakan bagian kecil saja, bagaimana pemerintah orde baru memang menggunakan politik agraria yang berbeda dengan pemerintah sebelumnya. Untuk mengatasi kemiskinan (khususnya di pedesaan), Pemerintah Orde Baru menggunakan strategi pembangunan industri dan pertanian melalui mekanisme "trickle down effect". Wujudnya adalah kebijakan
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
12
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
pertanian untuk meningkatkan pertumbuhan produktivitas pertanian melalui gerakan "revolusi hijau" (gerakan intensifikasi pertanian dengan penggunaan teknologi) dan kebijakan industrialisasi untuk mendorong petani yang terlempar dari proses itu agar mencari penghidupan baru di sektor non pertanian. Salah satu komponen utama dalam revolusi itu adalah pengenalan tekhnologi baru ke pedesaan dan perbaikan infra struktu pedesaan demi peningkatan produksi pertanian. Komponen lain, yaitu proses pembangunan masyarakat desa sebagai "human capital". Pada proses ini, pendidikan dan perbaikan kesehatan difungsikan untuk mempersiapkan penduduk desa untuk memasuki lapangan kerja di sektor industri di kota. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan tersebut tidak dilakukan melalui proses perombakan atau penataan kembali struktur pemilikan dan penguasaan tanah pertanian yang timpang. Terhadap program land reform, pemerintah orde baru memberikan "stigma" bahwa program tersebut dibuat atau paling tidak dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan adanya stigma tersebut program land reform terhenti, yang melaksanakan takut di-cap orang atau anggota PKI yang saat itu menjadi musuh politik Orde Baru. Pemerintah Orde Baru telah mempolitisasi pelaksanaan land reform. Politisasi ini berpuncak dengan munculnya kebijakan penghapusan pengadilan land reform melalui Undangundang nomor 7 tahun 1970. Ironisnya, UUPA dan Undang-undang Land reform tidak dicabut dalam artian secara yuridis tetap berlaku. Dapat dikatakan program land reform itu ibarat sebagai manusia, kaki-kakinya telah dipatahkan sehingga tidak bisa berjalan sama sekali. Pemerintah Orde Baru telah menggunakan hukum sebagai "an instrument for purposive goal
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
13
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
oriented intervention" seperti yang dikemukakan oleh Theinstein dalam artikel Gunther Teubner. (Gunther Teubner, 1983 : hal 240). Dalam kaitannya dengan ini, Weber seperti yang ditulis oleh David M. Trubek dalam artikelnya, mengatakan bahwa hukum could be aimed at satisfying "substantive demand of a political, etical or effective character" (David M. Trubek 1986 : h. 590). Namun kemudian diingatkan oleh Weber bahwa hukum yang demikian itu akan reduces its generality, destroy its systemic character, opens it to manipulation by virious interest, and reduces its predictability (David M Trubek, 1986 : h. 590). Peraturan hukum yang dibuat oleh Pemerintah Orde Baru, khususnya yang terkait dalam bidang pertanahan diatas, dapat dipahami dari pikiran Donald Black yang menyatakan hukum sebagai "governmental social control" social control consists of defining and responding to deviant behavior and is to be regarded as law when carried out by a government, deviance is defined as conduct that is subject to social control (Dafid F. Greenberg, 1983: hal 343). Kritik Greenberg, hukum yang dipandang sebagai sosial kontrol dari pemerintah akan menempatkan pemerintah sebagai subyek yang tidak dapat berbuat ilegal dan tidak ada yang melakukan kontrol terhadapnya. Lebih jauh Greenberg mengatakan a theory that defines law as governmental social control has no place for the question of why governments sometimes conform to their own rules and at other times do not. (David F. Greenberg, 1983:hal 344). Berkaitan dengan pemerintah Orde Baru melalui gerakan reformasi pada tahun 1998, dapat menjadi titik tolak untuk melakukan evaluasi,
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
14
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya
introspeksi maupun retrospeksi terhadap kebijakan ataupun politik agraria yang selam ini berjalan. Perlu adanya komitmen dari Pemerintahan pada era reformasi untuk menentukan politik agraria yang sejalan dengan UUP A. Jika demikian, ini berarti perlu adanya "political will" dari pemerintah dalam melaksanakan UUPA, termasuk didalamnya pelaksanaan program Land reform. Bagaimanapun juga penerapan peraturan hukum selain ditentukan oleh (substansi) hukumnya, juga dipengaruhi oleh tingkat kesadaran hukum masyarakat dan sikap aparat penegak hukum sebagai perwujudan dari "political will" pemerintah.
Hukum Politik Agraria - Heru Kuswanto,SH,M.Hum
15
Fakultas Hukum – Univ. Narotama Surabaya