MAKNA SIMBOLIK TRADISI NYADRAN

MAKNA SIMBOLIK TRADISI NYADRAN A.Jauhar Fuad IAI Tribakti Kediri

ABTRACT Nyadran is the heritage of hindu, nowadays it has transformed after islam spread in java. This transformation produced local tradition without mitting the Islamic dogma and local tradition. The tradition has religious meaning concering with thanksgiving performance to Allah and wishing Allah SWT will receive the best from their ancient people or family. Nyadran is one of media for them to hope the safety life and welfare even it can illuminate the cultural transformation among them. Kata Kunci: Makna Simbolik, Tradisi, Nyadran. PENDAHULUAN Ketika agama dihubungkan dengan tradisi lokal melahirkan berbagai pendangan. Agama sebagai suatu rangkaian ajaran yang memuat keyakinan dan ibadah. Menurut Laksono, tradisi sebagai adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Tradisi merupakan tatanan transcendental yang dikaji sebagai dasar orientasi untuk pengabsahan tindakan manusia.1 Menurut Clifford Geertz, agama merupakan sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku dalam masyarakat. Simbol-simbol ini mempunyai makna yang diwujudkan ke dalam bentuk ekspresi realitas hidupnya, yang dianggap sebagai bagian dari kebudayaan. Kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau penginterpretasi keseluruhan tindakan manusia. Dengan demikian ketika keduanya di jadikan satu menjadi sulit untuk membedakan antara keduanya dalam praktek dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan memiliki dua elemen, yaitu kebudayaan sebagai sistem kognitif serta sistem makna dan kebudayaan sebagai sistem nilai. Sistem kognitif dan sistem makna ialah representasi pola dari (model of), sedangkan sistem nilai ialah representasi dari pola bagi (model for). Jika ‘pola dari’ adalah representasi kenyataan sebagaimana wujud nyata kelakuan manusia sehari-hari, maka ‘pola bagi’ ialah representasi dari apa yang menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan tindakan itu.2 Maka agama dapat menjadi sebagai pola bagi tindakan (pattern of 1

Paschalis Maria Laksono, Tradition in Javanese Sosial Structure Kingdom and Countyside: Changes in the Javanese Conceptual Model, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1995), h. 9-14. 2

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 7-10

A.Jauhar Fuad, Makna Simbolik Tradisi... 123

behavior). Selain itu, agama juga merupakan pola dari tindakan, yaitu sesuatu yang hidup dalam diri manusia yang tampak dalam kehidupan kesehariannya. Di sini, agama dianggap sebagai bagian dari sistem kebudayaan. Budaya dan agama kadang-kadang sulit dibedakan dalam pelaksanaan seharihari. Perilaku seperti ini dapat dilihat pada kebanyakan masyarakat yang tinggal di Nganjuk. Mereka masih mempertahankan tradisi lokal yaitu nyadran, yang syarat akan nilai-nilai budaya dan agama. Tradisi nyadran sendiri, menjadi menarik ketika perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, tidak mampu menggeser tradisi tersebut yang tetap memiliki makna bagi masyarakat desa. Terlebih ketika gerakan pemurnian Islam belum mampu mempengaruhi tradisi lokal yang dianggap sebagai tahayul, bid’ah dan khurafat.3 Pada masyarakat desa, masih terdapat kepercayaan terhadap danyang dan roh leluhur. Kepercayaan itu terrepresentasi pada tradisi nyadran, tradisi ini menjadi ritual yang bersifat sakral. Pada pelaksanaanya, tradisi ini dilakukan satu tahun sekali, setelah panen raya, tepatnya Kamis Legi malam Jum’at Pahing.4 Prosesi ini dilakukan dengan cara membersihkan makam, nyekar, kenduri, makan bersama (manganan) yang biasa dilakukan di sekitar pundhen dan makam keramat.5 Selain itu, perayaan nyadran, dimeriyahkan dengan pagelaran seni budaya, berupa; wayang kulit, ludruk, jaranan, reyog, orkes dan arak-arakan disiang harinya. Tradisi nyadran, merupakan tradisi yang mempunyai hubungan erat dengan agama Hindu, kemudian diberi sentuhari ajaran Islam di dalamnya.6 Namun pada umumnya, nyadran dipahami sebagai‘selamatan dibulan Ruwah menghormati para leluhur (biasanya di makam atau tempat yang keramat sekaligus membersihkan dan mengirim bunga).7 Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dengan ritus dengan objeknya. Perbedaannnya hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Pandangan penulis tradisi nyadran merupakan upaya manusia dalam rangka melakukan negosiasi dengan hal-hal yang bersifat gaib (kepada Tuhan yang Maha Esa utamanya, para arwah leluhur, jin yang ada di desa) untuk mendapat keselamatan, murah rezeki dan sandang pangan dengan memberikan sesaji yang mengandung makna simbolik di dalamnya. Selain itu, dengan dilaksanakan tradisi 3

Baca Abdul Munir Mulkhan, Neo-Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan, (Yogyakarta: UII Press, 2000). 4 Menurut juru kunci (Mbah Bayan Podo), pengambilan Kamis Legi malam Jum’at Pahing merupakan warisan dari nenek moyang yang telah bertahun-tahun melaksanakannya. Berdasarkan keterangannya, Kamis Legi malam Jum’at Pahing merupakan hari dimana Eyah Sahid (Mbah Sahid) meninggal dunia. Beliau meninggal ketika dalam kondisi bertapa, di mana tempat yang sekarang ini menjadi makamnya. 5 Tempat yang dianggap wingit atau dianggap ada penunggungnya yang disebut danyang pundhen, danyang kuburan yang keduanya dikaitkan dengan penjaga desa atau leluhur desa. 6 Tri Handayani, Tradisi Nyadran Dan Perubahan: Studi Kasus Di Desa Daleman, Jurangjero, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten. Laporan Penelitian, Universitas Diponogoro Semarang, 1995. 7 Poerwadarminta, WJS. Baoesastra Djawa, (Batavia: JB Wolters Uitgegevers Maatschappij, 1939), h. 537.

124

DINAMIKA, Volume 13, Nomor 2, Nopember 2013: 1-13

tersebut diharapkan nilai-nilai yang terkandung dalam upacara tersebut tetap lestari dan terpenting adalah terjalinnya solidaritas antar sesama. Maka muncul permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: apa makna simbolik tradisi nyadran dengan kehidupan beragama dan sosial kemasyarakat bagi masyarakat desa Sonoageng kecamatan Prambon kabupaten Nganjuk? METODE PENELITIAN Peneliti menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Di mana dimaksudkan untuk menggali suatu peristiwa yang terjadi secara nyata, sebagai sebuah interpretasi dari suatu makna. Dengan cara ini, sumber data dibagi menjadi dua; pertama, data yang merupakan bentuk luar dari ciri-ciri yang teramati; dan kedua, data yang merupakan interpretasi yang diberikan oleh informan. Data pertama sangat membantu dalam memahami interpretasi yang diberikan oleh informan. Peneliti memilih informan yang ahli atau dianggap ahli untuk menjelaskan dan menginterpretasikan perangkat dan sesaji pada tradisi nyadran. Maka, informan tersebut meliputi; kepala desa, tokoh masyarakat, kyai, akademisi, dan juru kunci makam. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi partisipan, wawancara mendalam, dan dokumenter. Observasi partisipan digunakan untuk mengenali berbagai rupa kejadian, peristiwa, keadaan, tindakan yang terkait makna simbol peralatan dan sesaji, hubungannya dengan keyakinan dan kehidupan beragama. Kegiatan observasi partisipan, dalam pengertian ini, tidak hanya dilakukan terhadap makna yang terlihat, tetapi juga terhadap yang terdengar, bahkan sampai terhadap sejumlah suasana yang terasakan (tertangkap oleh indera perasaan). Dengan kata lain, observasi partisipan dipakai untuk menggali data yang terlihat, terdengar, atau terasakan, di mana kesemuanya dipandang sebagai suatu hamparan kenyataan yang mungkin saja diangkat sebagai aspek penting terkait makna simbol dan kaitannya dengan tradisi Nyadran. Teknik wawancara mendalam (in depth interview) digunakan untuk menggali apa yang tersembunyi, yakni makna yang tersembunyi di balik ”tradisi Nyadran” terkait dengan penafsiran-penafsiran terhadap simbol peralatan dan sesaji. Sedangkan dokumenter dipergunakan untuk menggali data yang bersifat dokumen meliputi; arsip-arsip, buku pedoman, serta literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang dikaji untuk membantu pembahasan masalah yang dikaji dapat lebih menyeluruh dan terinci. Tahap berikutnya adalah tahap analisis untuk menarik kesimpulan-kesimpulan mengenai pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang menjadi dasar kehidupan beragama masyarakat di desa tersebut. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Nyekar dan Manganan di Makam Nyekar berasal dari kata sekar yang berarti kembang/bunga, maka definisinya adalah sebagai satu bentuk tradisi ziarah kubur (dengan membawa bunga untuk ditaburkan) yang ditujukan kepada nenek moyang dan arwah leluhur yang telah mendahului kita. Tiga hari menjelang pelaksanaan nyadran, warga Sonoageng melakukan tradisi nyekar dan tradisi manganan. Tradisi nyekar, mereka lakukan ke makam Mbah Sahid dan makam para leluhur, setelah nyekar mereka melakukan tradisi manganan di komplek makam.


Menurut adat yang berlaku, semua warga yang terlahir atau keturunan dari keluarga yang berasal dari dusun Sonoageng secara bergantian melakukan prosesi nyekar dan tradisi manganan. Sudah menjadi kebiasaan warga untuk melakukan selametan baik dengan mengadakan tasyakuran di rumah maupun nyekar dengan membawa sesaji dan uborampen di makam leluhur. Bagi keluarga yang sudah tinggal jauh meratau di luar kota, mereka menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halamannya, sekedar melakukan prosesi tersebut. Menjadi kepercayaan masyarakat Sonoageng, barang siapa yang tidak melakukan prosesi nyadran, maka ketidak beruntungan akan menyertai keluarga yang bersangkutan. Tradisi nyekar dan tradisi manganan sendiri dilakukan secara sederhana, tiap keluarga cukup membawa satu sesaji dan kelengkapan lainnya. Isi dari sesaji sendiri, berupa makanan yang dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Ada juga yang membawa sesaji yang dilengkapi dengan ingkung (ayam panggang) dan nasi berserta lauk pauknya dalam wadah besar yang ditutup daun pisang. Ingkung ini sebagai pelambang rasa syukur keluarga atas nikmat yang telah dianugerahkan Sang Pencipta kepadanya. Mereka yang melakukan tradisi tersebut, memiliki banyak pandangan atas sesaji yang disuguhkan. Ada yang berpandangan; bahwa sesaji, disedekahkan kepada pengunjung yang ada di makam dengan harapan para leluhur yang ada di alam kubur dapat merasakan nikmatnya makanan yang dimakan secara bersamasama; ada pula yang beranggapan makanan yang dimakan pengunjung diniati sebagai sedekah dan pahala dari sedekah itu dapat sampai kepada leluhur. Dalam prosesi nyekar, bacaan yang dilafalkan sangat pendek, mereka membacakan tidak lebih dari tiga menit. Ada beberapa orang tua yang dipercaya masyarakat untuk me-ngujub-kan (maksud dari para yang empunya hajat). Dari masing-masing pengujub mempunyai cara yang berbeda, dalam menyampaikan maksud dan tujuan yang si punya hajat. Pengujub menyampaikan maksud dari sang hajat, dengan menyampaikan rasa syukur kepada yang Kuasa dan memohon perlindungan-Nya, dan mendoakan arwah para leluhur. Namun tidak jarang dari mereka yang meminta pertolongan kepada Mbah Sahid dan bahkan leluhur mereka sendiri. Hal ini, sempat diutarakan oleh juru kunci ”bahwa kalau niatnya keliru dalam proses nyekar, dihawatirkan masyarakat akan terjerumus kepada jurang kemusrikan”. Pada dasarnya, jika proses nyekar yang dilakukan masyarakat melalui bimbingan dan arah dari orang yang tepat maka terhindar dari kemusrikan. Pemahaman ini, menunjukkan sudah terjadinya proses akulturasi antara tradisi Jawa dengan tradisi Islam, dengan masuknya ajaran Islam, misalnya acara yang diawali dengan ucapan salam, dimulai dengan bacaan basmalah, dengan bacaan doa berbahasa Arab. Menurut Aziz8, bahwa perubahan ini mulai terasa pada tahun 80-an dengan diawali pendirian dua masjid di dusun Sonoageng. Dua masjid ini telah merubah cara pandang (kepercayaan) masyarakat dari yang dahulunya menganut kepercayaan animisme, lambat-laun menjadi monotaisme (Islam yang kafah), walaupun belum berubah secara menyeluruh. Prosesi Nyadran Kamis Legi 8

Pegawai kemenag kota Kediri asal dari Sonoageng dan membantu pembangunan masjid di tempat tersebut di tahun 80-an.

126


Prosesi awal nyadran. Warga melakukan pembersihan makam, dan mempersiapkan sesaji. Perangkat ritual dipersiapkan sejak pagi hari. Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama. Prosesi nyadran diawali dari balai desa Sonoageng. Pada jam 13.00 peserta arak-arakan nyadran sudah berkumpul dengan memakai baju adat. Mereka yang terlibat dalam arak-arakan nyadran adalah: (1) sesepuh adat dengan memakai baju hitam bawahan batik kuning dan berbelangkon; (2) diikuti oleh pemuda dengan berbaju kuning bawahan kuning berbelangkon dan membawa payung; (3) diikuti bapak-bapak dengan berbaju hitam bawahan hitam berbelangkon hitam dengan membawa payung berlapis tiga; (4) diikuti ibu-ibu dan gadis-gadis berkebaya; ada sembilan gadis: empat di antaranya memakai baju kuning dan lima memakai baju merah dengan membawa bunga; (5) diikuti bapak-bapak berbaju batik hitam merah kuning bermotif bunga dengan belangkon hitam pekat dan bawahan batik, mereka ini membawa perangkat musik; (6) berikutnya berupa perangkat sesaji yakni tiga tumpeng yang dibawa oleh pemuda dengan berbaju hijau dan kuning; dan (7) terakhir warga Sonoageng. Mereka mengarak sesaji dari kantor desa ke makam Mbah Sahid dengan berjalan kaki, di sebelah kanan dan kiri jalan dipenuhi masyarakat yang menyaksikan arak-arakan. Sesampainya di makam peserta arak-arakan nyadran duduk ditempat yang telah disediakan panitia; sesepuh adat duduk di depan joglo makam, dilanjutkan ibu-ibu pengatar dan gadis-gadis, pejabat duduk digubung berbentuk persegi empat tepatnya samping makam Mbah Sahid, yang lain duduk bersila di sela-sela makam. Sembilan gadis cantik pembawa bunga langsung dipersilahkan masuk ke dalam joglo di mana Mbah Sahid dimakamkan. Pada proses ini, tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, lalu mereka duduk bersama dalam keadaan bersila. Ada pun, sesaji diletakkan tepat di bawah pohon beringin besar yang terletak sebelah tenggara makam Mbah Sahid. Prosesi nyadran belum dimulai, warga sudah berebut sesaji yang di dalamnya berisi tumpengan, ingkung, lauk-pauk, buah-buahan dan perangkat lainnya. Mereka percaya, sesaji yang diperebutkan dapat membawa berkah. Bagi mereka, keberkahan dapat terwujud berupa kemudahan usaha dagang, panen melimpah, sehat badan, mudah jodoh, ketenangan, dan kerukunan antara warga. Warga menunggu selama 30 menit, sebelum acara inti nyadran dimulai. Susunan acara nyadran dibacakan. Ada pun rangkaian acara dimulai dari pembukaan, prakata dari pemangku adat, pembacaan sejarah Mbah Sahid, pembacaan tujuan prosesi nyadran, sambutan kepala desa, sambutan Bupati Nganjuk, nyekar (tabur bunga), dan doa. Semua prosesi ini, menggunakan bahasa jawa kromo. Acara pertama, pembukaan, dimulai dengan salam dan dilanjutkan dengan penghormatan pada para pejabat dan warga. Isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur kepada yang Maha Kuasa dan ucapan terima kasih dihaturkan kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan perangkat


lainnya, termasuk ucapat terimakasi kepada warga atas kesediaan untuk meluangkan waktunya dalam mengikuti tradisi nyadran. Acara kedua, dilanjutkan dengan prakata pemangku adat. Petikan dari sambutannya sebagai berikut: Kawula sakukuan ugi memuji ing ngarsa sampean dalem gusti Allah SWT. Mugi gusti arsa ngagungaken sih pangapunten dumateng sedaya kaluputan lan dosa eyang sahid sekalian garwah lan ugi kersa nampi sedaya amal lan kesaean eyang sekalian dados amal ingkang soleh. Sumrambahipun dumateng kawula sekukuban mugi binerkahan pinaringan murah sadang kasembadan kang sinedyo. Amin. Dalam sambutannya pemangku adat mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT, atas limpahan nikmat yang diberikan kepada semua warga yang hadir dan umumnya warga Sonoageng. Dengan permohonan ampun atas kekhilafan, kesalahan, dan dosa yang telah diperbuat oleh Mbah Sahid dan beserta keluarga. Permohonan agar amal baik, dan amal saleh Mbah Sahid dan keluarga dapat diterima di sisi-Nya. Dilanjutkan dengan permohonan agar kita beserta keluarganya diberikan kemurahan rezeki: berupa kemudahan sandang, pangan, papan dan kesehatan yang melimpah, serta yang Kuasa dapat mengabulkan apa kita mohonkan. Acara ketiga dari nyadran, dilanjutkan dengan pembacaan sejarah nyadran Sonoageng: Carios cekakik sejarah eyang Sahid. Nalika semanten Raden Kaneman saking Mataram kadawuhan gurunipun supados lelana brata tumuju arah mletheking surya. Lampahipun Raden Kaneman samarge tansah pinanggih rubedo nanging awit kasektenipun sedaya reribet saget dipun pungkasi. Sak lajengipun Raden Kaneman lerem wonten sak ngandaping kanjeng sono ingkang sak alangkung agengipun. Sak lebeting ing palereman Raden Keneman pikantuk wisik supados babat wana ing mriku kinen yasa papan lajeng sinebad Sonoageng ingkang mengku werdi sasono ingkang ageng. Sak sampunipun kalampahan Sonoageng dados karang padusunan ingkang ageng Raden Kaneman ngagem asma Sahid utawi R. Sahid. Eyang Sahid pranyata prayagung ingkang remen laku barata enyang Sahid nglampahi tapa luweng lan seda ing sak ngandape mandira ingkang ageng ingkang sak mangke pinujo putra wayah dados Pundhen punjering Pepunden. Cerita ini dibacakan sebagai pengingat kepada masyarakat akan jasa Raden Sahid pada desa Sonoageng yang dulunya hanya berupa belantara hutan. Mbah Sahid dianggap masyarakat sebagai danyang, beberapa danyang dianggap sebagai roh tokoh sejarah yang sudah meninggal; pendiri desa tempat mereka tinggal, orang yang pertama membabat tanah, setiap desa biasanya mempunyai danyang utama.9 Acara keempat dari tradisi nyadran, berupa pembacaan tujuan prosesi nyadran: 1. Ndadosaken pepenget lan pangeling-eling jasanipun eyang Sahid anggenipun yasa dusun Sonoageng. 9

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 32.

128


2. Tumrap kawula Sonoageng sarana muji syukur ing arsa gusti Allah SWT. Awit sadaya berkah lan rahmat ingkang rumentah malimpah dumateng kawula Sonoageng sakukuban. 3. Nguri-uri budaya jawi murih bisoa lestari. 4. Asung tuladha dumateng para muda sepados tetep ngleluri prosesi nyadran murih lestari. 5. Nyadran ndadosasken sarana kangge mujudtaken gegayuhan luhur, tumrap para kawula ing Sonoageng, para pengunjung dalam bebrayan agung. 6. Sesaji jolen mujutaken puji syukur ing ngarsa dalem Gusti Ingkang Maha Kuwasa awit sampun peparing ulu-wetu bumi arupi sawernining hasil tetanen ikang malimpah lan pangajeng-ajeng mugio ing tahun-tahun candakipun langkung malimpah. Prosesi kelima, nyekar di makam Mbah Sahid. Nyekar ini diawali oleh sesepuh adat dilanjutkan, Bupati Nganjuk pejabat terkat dinas pariwisata, peserta arak-arakan nyadran dan dilanjutkan oleh warga sekitar. Nyekar dengan menaburkan bunga di atas makam dan memanjatkan doa berupa permohonan ampunan dan diterimanya amal saleh Mbah Sahid. Warga yang hadir dan tidak masuk dalam rombongan arak-arakan diberi waktu khusus untuk nyekar, setelah prosesi ini selesai dilakukan. Kelima, dilanjutkan dengan doa. Doa dipanjatkan oleh bapak Sunandi. Doa yang dipanjatkan menggunakan tata cara agama Islam, yakni dipanjatkan dengan menggunakan bahasa Arab. Warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anakanak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Acara nyadran telah selesai, namun tidak semua warga meninggalkan makam, mereka silih berganti melakukanya nyekar dengan membawa bunga. Di sebelah kanan maupun kiri makam mbah Sahid, banyak warga yang melakukan tradisi nyekar dan tradisi manganan dengan uborampe yang hampir sama. Juru kunci tidak mengizinkan tradisi manganan dilakukan di dalam joglo makam Mbah Sahid maupun di atas makam leluhur. Panitia menyediakan pelataran untuk makan namun sebagian yang lain dari pengujung akan membawa nasi beserta lauk pauknya ke rumah. Nyekar-nya Legowo Putra Legowo Putra merupakan grup seni jaranan yang bertempat di desa Sugihwaras yang terletak di sebelah utara desa Sonoageng. Grup ini, sebelum melakukan pagelaran seni jaranan, mereka melakukan tradisi nyekar terlebih dahulu di makam Mbah Sahid. Nyekar ini dipimpin oleh ketua sanggar, yang diikuti oleh anak buah dengan membawa perangkat ritual berupa kemenyan dan perangkat pagelaran berupa pecut, jaranan, cepaplok, bedulan dan lainnya. Prosesi ini diawali dengan bacaan mantra, dengan mengangkat kedua tangan yang disatukan tepat lurus di atas kepala secara perlahan disela membaca mantra tangan bergerak perlahan ke bawah tepat tangan diletakkan di uluhati. Prilaku itu secara serentak diikuti oleh anggota yang lain. Sesekali sang pemimpin menabur serbuk kemenyan di atas bara api yang ada di depannya, asap putih mengepul membumbung kelangit-langit joglo,


ketika asap mengepul satu persatu perangkat pagelaran diasapi yang diawali dari cemeti (cambuk), cepaplok, jaranan, bedulan dan lainnya. Pada setiap tahun, menjelang pagelaran grup Legowo Putra selalu menyempatkan diri untuk melakukan tradisi nyekar. Mereka, berharap ketika melakukan pagelaran tidak menemukan kesulitan yang berarti: baik dari makhluk hidup lain, alam, maupun makhluk gaib lainnya, sebangsa jin maupun demit, bahkan danyang-danyang lain yang ada di dusun Sonoageng. Terlebih ketika pagelaran jaranan tidak bisa dilepaskan dari hal-hal yang bersifat gaib dan mistis. Pembahasan Makna Nyadran dalam Kehidupan Beragama Mengenai pola keberagamaan yang ada di Jawa, Geertz (1983) melalui penelitiannya di Mojokuto menghasilkan sebuah konsep keberagamaan masyarakat yang bersifat abangan, santri, dan priayayi. Ketiganya merupakan akumulasi dari hasil sinkretis budaya lokal masyarakat, Hidhu-Budha dengan nilai-nilai Islam. Pola interaksi antara budaya lokal dan nilai Islam menjadikan Islam warna-warni. Menurut Khoiriyah, nyadran sebagai selametan merupakan bagian dari agama Jawa.10 Setiap kelompok dalam masyarakat jawa memiliki kebudayaan yang berbeda. Hal ini, dikarenakan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara yang satu dengan yang lain berbeda. Kebudayaan sebagai cara merasa dan cara berpikir yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan kelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu. Salah satu unsur budaya jawa yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi kejawen. Menurut Herusatoto, simbol yang juga merupakan salah satu ciri masyarakat Jawa, dalam wujud kebudayannya ternyata digunakan dengan penuh kesadaran, pemahaman, penghayatan tertinggi, dan dianut secara tradisional dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini, disebakan orang Jawa pada masa itu belum terbisa berpikir abstarak, maka segala ide diungkapkan dalam bentuk simbol yang konkrit. Dengan demikian segalanya menjadi teka-teki. Simbol dapat ditafsiri secara berganda. Juga berkait dengan ajaran mistis yang memang sangat sulit untuk diterangkan secara lugas.11 Menurut Geertz, dikalangan masyarakat Jawa terdapat kepercayaan adanya hubungan yang sangat baik antara manusia dan yang gaib. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai ritual sakral. Sebagaimana diketahui, dalam tradisi Islam Jawa, setiap kali terjadi perubahan siklus kehidupan manusia rata-rata mereka mengadakan ritual selametan atau wilujengan (memohon keselametan dan kebahagiaan dalam hidup), dengan memakai berbagai benda-benda makanan sebagai simbol penghayatan atas hubungan dirinya dengan Allah.12 Menurut Titi Mumfangati, tak

10

Khoiriyah, “Budaya Nyadran dalam Proses Adat Jawa Islam” At-Tarbiyah. Vol. 7. No. 1: Mei-Oktober 2008. 11 Herusatoto, Budiono, Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita, 2001, h. 1 12 Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983, h. 1.

130


ubahnya dengan makna upacara-upacara adat yang lain, nyadran ini juga mengandung makna religius.13 Masyarakat melihat tradisi nyadran dengan menggunakan cara pandang yang berbeda. Masyarakat dapat memandang dari sisi ekonomi, politik, pendidikan, sosial, budaya dan agama. Tentunya cara pandang ini memiliki implikasi yang berbeda pada tradisi nyadran itu sendiri. Oleh karena itu, jika dilihat dari perpektif agama maka akan terbagai menjadi dua golongan. Golongan yang pro dan golongan yang kontra. Golongan yang pro tentunya masyarakat yang masih menjalankan tradisi nyadran secara konsisten di pundhen atau tempat keramat, dengan dorongan yang kuat untuk melestarikan tradisi yang telah membudaya dan masih adanya suatu kepercayaan adat jawa. Golongan kontra, merupakan masyarakat yang berupaya melakukan perubahan secara bertahap. Golongan kontra ini tidak diartikan melakukan perlawanan, melainkan mereka juga tetap terlibat, tetapi dengan memberikan nuansa tambahan. Dengan niatan yang tepat dan tatacara yang lebih Islami, maka dalam prosesinya selalu diawali dengan membaca basmalah, dan pemanjatan doa dengan menggunakan bahasa Arab. Bagi mereka, bahwa nyadran secara syariah merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah Yang Maha Esa, atas semua anugerah yang telah diberikan kepada masyarakat, seperti telah diberikan kesehatan lahir dan batin, hasil panen yang telah diperoleh selama satu tahun dengan membuat beberapa sarana, seperti ubarampe (sesaji) dan peralatan pendukung lainnya. Menurut Turmudi, tradisi ini diwujudkan sebagai bentuk perlambang rasa syukur manusia kepada Tuhan atas nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya.14 Dengan harapan agar diberi keselamatan lahir dan batin terhindar dari pagebluk (mala petaka), dan melimpahnya hasil panen ditahuntahun mendatang. Menurut Nur Syam, upacara nyadran, merupakan upacara tolak balak diselenggarakan dalam rangka menolak malapetaka atau mara bahaya.15 Manifestasi rasa syukur sekelompok manusia yang ditunjukkan kepada segala sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan yang melebihi manusia, misalnya saja: Allah Yang Maha Esa, roh-roh halus atau danyang yang dipercaya sebagai pembuka desa. Menurut Tri Handayani, tradisi nyadran merupakan peninggalan penganut ajaran Hindu yang kemudian diberi sentuhan ajaran Islam di dalamnya. Para Wali Sanga tidak kekurangan cara bagaimana mengislamkan seseorang tanpa melakukan pertumpahan darah tapi dengan kasih sayang.16 Nyadran, merupakan perwujudan kesadaran manusia akan tidak berdayanya mereka bila tidak ada pihak lain yang terlibat, misalnya Tuhan, manusia lain terutama keluarganya, dan juga alam sekitar. Maka berdasarkan kesadaran itu manusia melakukan suatu balas jasa untuk berterima kasih dan bersyukur dengan 13

Mumfangati, Titi, “Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa”, Jantra Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. II, No. 3, Juni 2007. 14 Turmudi, Moh., “Sikap Masyarakat Muslim Terhadap Pengaruh Budaya Nyadran (Analisis Positivisme Sosiologi Agust Comte di Wilayah Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk)” Laporan Penelitian, (Jakarta: Diktis Depag RI, 2006). 15 Syam, Nur, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005). 16 Tri Handayani, “Tradisi Nyadran dan Perubahannya (Studi Kasus di Desa Daleman Jurangjero, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten)” Laporan Penelitian. (Semarang: Lembaga Penelitian Universitas Diponogoro, 1995).


mendoakan, memberikan imbalan, atau apapun agar hutangnya terbayar, walaupun tidak akan pernah bisa terlunasi. Bagi masyarakat muslim Jawa, ritual sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbolsimbol ritual yang memiliki kandungan makna yang mendalam. Simbol-simbol ritual merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari penghayatan dan pemahaman akan ”realita yang tak terjangkau” sehingga menjadi ”yang sangat dekat”. Dengan simbol-simbol ritual tersebut, terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu terlihat, ”menyatu” dalam dirinya. Simbol ritual dipahami sebagai perwujudan maksud bahwa dirinya sebagai manusia merupakan tajalli atau juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Tuhan.17 Simbol-simbol ritual tersebut di antaranya adalah ingkung dan uborampe-nya, yang disajikan dalam tradisi nyadran. Dalam hal ini, tradisi nyadran merupakan makna simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Maha Kuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya HindhuBudha dan animisme yang diaktualisasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Sanga. Nyadran menurut agama Islam yang diutamakan adalah membaca al Qur’an lalu berdoa memohonkan ampun untuk para leluhur mereka. Tetapi bila dilihat dari sudut pandang kebudayaan Jawa, nyadran berarti mensyukuri rezeki dari Allah melalui kegiatan kenduri. Masyarakat percaya bila mereka telah mengeluarkan sedekah, Allah akan memberikan ‘hadiah’ yang setimpal. Lalu ‘hadiah’ tersebut mereka kirimkan kepada para leluhurnya agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah Yang Maha Esa dan diberi tempat yang layak disisi-Nya. Sedangkan sesaji atau uborampe merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesaji juga merupakan simbol yang digunakan sebagai sarana untuk negosiasi sepiritual kepada hal-hal yang gaib. Dengan memberi makanan secara simbolik kepada para leluhur, makhluk-makhluk halus diharapkan makhluk-makhluk tersebut jinak, dan mau membantu hidup manusia. Sepintas seolah manusia melakukan persekutuan dengan bangsa lelebut. Namun jika kita memaknai sebagai wujud berbagi dengan makhluk lain atas nikmat Allah maka manifestasinya akan berbeda. Perlu ada kesadaran cara berpikir bahwa kedudukan mereka dihadapan Tuhan sebagai hamba Allah, yang artinya sejajar dengan kita. Menurut pandangan agama Islam manusia lebih mulia jika dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain, sehingga dalam konteks ini kita tidak diperkenankan melakukan pemujaan maupun permohonan kepada makhluk gaib tersebut. Makna Nyadran dalam Kehidupan Kemasyarakatan Tradisi nyadran merupakan tradisi penyelaras. Artinya upacara nyadran bukan hanya mementingkan hal-hal yang bersifat batiniyah tetapi hal yang bersifat 17

h. 49-50.

Sholikin, Muhammad, Ritual dan Tradisi Islam Jawa. (Yogyakarta: Narasi, 2010),

132


lahiriyah tidak diabaikan, yakni: dengan meningkatnya solidaritas masyarakat, adanya kebersamaan antar warga sehingga menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan dalam menghadapi berbagai permasalahan dengan penuh tanggung jawab. Melestarikan adat istiadat kebiasaan yang telah ada secara turun temurun dari orang terdahulu (leluhur). Secara akhlak nyadran, mengajarkan masyarakat untuk selalu bertoleransi. Bersikap baik (baik kepada diri sendiri, kepada sesama manusia, alam lingkungan sekitarnya dan mahluk gaib), dan menumbuhkan sikap gotong-royong. Secara sosiokultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa, nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Nyadran merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa gotong-royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikal-horizontal yang lebih intim. Dalam konteks ini, maka nyadran akan dapat meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat (sosial), sehingga akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan tradisi yang sudah berkembang menjadi lebih lestari. Selain sebagai wujud pelestarian budaya adhiluhung peninggalan nenek moyang, terdapat sejumlah kearifan dalam prosesi tradisi nyadran yang sangat relevan dengan konteks kekinian. Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran kita akan berkumpul bersama tanpa ada sekatsekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai. Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar sangat kental terasa. Apabila nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun, dan tenteram. Pada perkembangan selanjutnya, tradisi nyadran mengalami perluasan makna. Bagi mereka yang pulang dari rantauan, nyadran dikaitkan dengan sedekah, beramal kepada para fakir miskin, membangun tempat ibadah, memugar cungkup dan pagar makam. Kegiatan tersebut sebagai wujud balas jasa atas pengorbanan leluhur, yang sudah mendidik, membiayai ketika anak-anak, hingga menjadi orang yang sukses. Bagi perantau yang sukses dan kebetulan diberi rezeki berlimpah, pulang nyadran dengan beramal merupakan manifestasi hormat dan penghargaan kepada leluhur. Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekedar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan, dan ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar. Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari yang tua kepada yang muda. PENUTUP


Tradisi nyadran memiliki muatan religius yang sangat kental, keseluruhan mengandung makna keagamaan yang sangat kental dengan tiga unsur yaitu: syukur, amal, dan ikhlas. Makna nyadran dalam kehidupan beragama masyarakat dipahami sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, atas semua anugerah yang diberikan Allah kepada masyarakat desa; baik hasil panen, kesehatan, kesejahteraan yang telah diperoleh selama satu tahun. Nyadran, juga bagian dari ziarah kubur dalam agama Islam, menjadi sarana dalam memanjatkan ampunan kepada Allah SWT atas kekeliruan dan dosa yang telah diperbuat para leluhur mereka, sekaligus permohonan agar amal kebajikan dan saleh mereka dapat diterima disisi-Nya. Nyadran, juga sebagai permohonan akan keselamatan dan kesejahteraan warga desa untuk satu tahun mendatang, dengan tujuan agar masyarakat diberi keselamatan lahir dan batin, dihindarkan dari mala petaka (pageblik), diberi hasil panen yang melimpah dibanding hasil panen sebelumnya. Makna nyadran dalam kehidupan bermasyarakat menjadi wadah trasformasi kebudayaan dalam menjalin hubungan kekeluargaan, kegotong-royongan, solidaritas, perekonomian, rasa tanggung jawab, egaliter, dan kebersamaan semua lapisan masyarakat. Dalam membersihkan makam leluhur semata, ataupun selamatan dengan kenduri lalu makan-makan kue apem, ketan, dan kolak saja. Namun lebih dari itu, nyadran ternyata mampu dijadikan ajang silaturahmi, alat perekat sosial tanpa harus terkotak-kotak dalam status sosial, kelas, agama, golongan, atau apa pun yang hanya mendogmakan kita pada kebenaran secara subyektif.

134


DAFTAR PUSTAKA Beatty, Andrew, The Varietes Javanese Religion: An Antropological Account, Cambridge: Cambridge University Press, 1999. Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983. ----------, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992. Handayani, Tri, “Tradisi Nyadran dan Perubahannya (Studi Kasus di Desa Daleman Jurangjero, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten)” Laporan Penelitian. Semarang: Lembaga Penelitian Universitas Diponogoro, 1995. Herusatoto, Budiono, Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita, 2001. Khoiriyah, “Budaya Nyadran dalam Proses Adat Jawa Islam” At-Tarbiyah. Vol. 7. No. 1: Mei-Oktober 2008. Laksono, Paschalis Maria, Tradition in Javanese Sosial Structure Kingdom and Countyside: Changes in the Javanese Conceptual Model, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1995. Mumfangati, Titi, “Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa”, Jantra Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. II, No. 3, Juni 2007. Poerwadarminta, WJS. Baoesastra Djawa, Batavia: JB Wolters Uitgegevers Maatschappij, 1939. Sholikin, Muhammad, Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2010. Sukaryanto, “Negaranisasi Tradisi Nyadran: Studi Kasus Kehancuran Kearifan Lokal di Pedesaan Jawa” Laporan Penelitian, Surabaya: Universitas Airlangga, 2010. Syam, Nur, Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS, 2005. Turmudi, Moh., “Sikap Masyarakat Muslim Terhadap Pengaruh Budaya Nyadran (Analisis Positivisme Sosiologi Agust Comte di Wilayah Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk)” Laporan Penelitian, Jakarta: Diktis Depag RI, 2006.

MAKNA SIMBOLIK TRADISI NYADRAN

Recommend Documents