Pekan XII
Makna: Menyambut Kematian 34. Kegentaran dan Paradoks Keberanian Pertanyaan Mengapa
ada
ketiadaan
ontologis
sesuatu
(atau
merupakan
(atau
paling
mendasar
yang-berada)
yang-tidak-berada)?
landasan
eksistensial,
yang
karena
terdalam pertanyaan
adalah:
menggantikan
Pertanyaan
semua “Mengapa
ini
ketakjuban dunia
ada
di
sini?” langsung menimbulkan pertanyaan “Mengapa saya ada di
sini?”
pertanyaan
dan
dari
tentang
situ
makna
[muncul]
kehidupan.
sejumlah
Yang
besar
terakhir
ini
merupakan salah satu topik yang paling sering dibahas di lembar
mawas
mahasiswa.
bahwa
kebanyakan
sekurang-kurangnya pertanyaan
tentang
Itu
terutama
pertanyaan secara makna
karena
tentang
tak
kematian
langsung,
kehidupan.
kita
Itu
akui pun,
merupakan lantaran
pertanyaan tentang yang-tidak-berada mula-mula mengangkat pertanyaan tentang yang-berada; dan secara demikian pula kesadaran akan kematian mula-mula mengangkat pertanyaan tentang makna kehidupan. Di Kuliah 35 kita akan memeriksa bagaimana pasti-terjadinya kematian mempengaruhi misteri yang timbul ketika kita mencari makna kehidupan. Namun pertama-tama,
mari
kita
berfokus
pada
sebuah
paradoks
yang
muncul
di
dalam
diri
kita
sewaktu
kita
memilih
kehidupan dengan menghadapi kematian. Menurut kebanyakan eksistensialis, kapan saja kita berhadapan sendiri
dengan
(umpamanya
tidak-mustahilnya tatkala
kita
ketiadaan
merenungkan
kita
ajal
yang
akhirnya akan mendatangi kita), kita mempunyai “tanggapan eksistensial” alamiah yang mencakup sejenis kekhawatiran tertentu.
Martin
eksistensialis umumnya
Heidegger
Jerman
dianggap
yang,
selaku
(1889-1976),
dengan
salah
filsuf
Wittgenstein,
seorang
dari
dua
pada
filsuf
abad keduapuluh yang paling berpengaruh (lihat Pekan VI), memperbedakan
antara
kekhawatiran
eksistensial
tertentu
itu dan jenis kekhawatiran umum dengan cara berikut ini. Kekhawatiran manusia dunia:
umum
terhadap itu
adalah obyek
biasanya
yang
tanggapan
empiris
mengancam
mensyaratkan
[dia]
bahwa
kita
seorang di
dalam
memerangi
obyek itu dengan harapan menaklukkan ancamannya, atau, alternatif lainnya, melarikan diri dari obyek itu dengan harapan terlepas dari ancamannya. Di kedua kasus ini kita dapat mengatakan bahwa orang yang takut akan sesuatu di dalam
dunia
menanggapinya
dengan
mencoba
mendorong
sesuatu keluar dari dari dunia—salah satu dari obyek yang ditakuti
dan
orang
itu
sendiri
(lihat
Gambar
XII.1a).
Sebaliknya, kekhawatiran eksistensial adalah tanggapan di dalam lubuk seorang manusia terhadap situasi manusiawi umum,
khususnya
bila
situasi
itu
mengungkap
dalam
beberapa hal di dalam diri kita akan adanya “ketiadaan” atau
yang-tidak-berada.
Tanggapan
manusiawi
alamiah
adalah melarikan diri dari ancaman itu, karena memerangi “ketiadaan” tampaknya mustahil! Namun dalam hal ini kita melarikan diri bukan dengan berusaha melainkan
dengan
membenamkan
diri
lari dari
dunia,
sedalam-dalamnya
ke
dalam obyek-obyek empiris yang terdapat pada pengalaman kita
sehari-hari
dilakukan menonton
dengan
(lihat banyak
televisi,
Gambar cara,
menjadi
XII.1b).
seperti
penggemar
Ini
bisa
menekuni
hobi,
fanatik
olahraga,
atau pun menjadi cendekiawan dan membenamkan diri dalam buku-buku. Maksud Heidegger adalah bahwa cara lazim (tak sehat) yang berupa lari dari ancaman ketiadaan itu hanya berpura-pura bahwa itu tidak ada, dengan membenamkan diri dalam yang-berada. “aman” dari ketiadaan
“ancaman” dari ketiadaan
melarikan diri
membenamkan diri
dari dunia
di dunia
ancaman
“aman”
dari yang-berada
dari yang-berada
kekhawatiran
kekhawatiran
biasa
eksistensial (kegentaran)
(a) Kekhawatiran Empiris Biasa
(b) Kekhawatiran Eksistensial
Gambar XII.1: Tanggapan Yang Tak Tepat terhadap Dua Jenis Kekhawatiran
Seusai
menggunakan
pendahuluan,
sekarang
seorang
filsuf
tentang
hakikat
pembedaan
mari
pendahulu, dan
Heidegger
kita
menengok
yang
juga
fungsi
sebagai
lagi
banyak
kekhawatiran
ide-ide
berbicara
eksistensial.
Dialah Søren Kierkegaard (1813-1855) yang pada umumnya diakui
sebagai
bapak
eksistensialisme
teistik
(sebagai
lawan dari eksistensialisme ateistik yang dibapaki oleh Nietzsche). Kierkegaard (yang diucap “Kiirkegaar”,i[1] yang bermakna
“halaman
gereja”—yaitu
makam)
ialah
seorang
filsuf Denmark yang menulis sendirian duapuluh-satu buku (di samping 8000 halaman makalah yang tak diterbitkan) selama
duabelas
pernah
diterima
menjelaskan buku
berlainan
terutama
dan
baik
utama dengan
(dengan
sebagiannya
beberapa
buku
tak
semasa
hayatnya.
Ia
di
nama
saling
yang
bertentangan!).
namanya
kerusakan
serangkaian
samaran
terakhirnya,
memakai
menyerang
ide-idenya
beberapa
tahun
dengan
yang
filosofisnya
ditulis
pada
sejumlah
saja,
dengan
ide-ide
yang
Namun
tahun
ia
menulis
sendiri,
agama
yang
Kristen
sepenglihatannya pada masanya. Di antara ide-idenya yang menarik,
hanya
satu
yang
akan
kita
selidiki
di
sini
mengingat keterbatasan waktu kita, yaitu penggunaan kata “kegentaran” (kata Denmarknya “angst”) yang mengacu pada sesuatu yang saya sebut “kekhawatiran eksistensial”. Walaupun
“angst”
(kegentaran)
kadang-kadang
diterjemahkan sebagai “dread” (kegamangan) atau “anxiety”
(kecemasan), menangkap terhadap
tidak
satu
kedalaman
makna
yang-berada
Kierkegaard
dengan
pun
dari
kekhawatiran
sebagaimana kata
kata-kata
yang
tersebut.
ini
yang
eksistensial
dimaksudkan
Kegamangan
oleh
terlalu
sering diasosiasikan dengan ketidaknyamanan atau kewaswasan sewaktu menghadapi suatu ancaman empiris, seperti bila
saya
gigi”.
mengatakan
Begitu
“Saya
pula,
gamang
berobat
kecemasan
ke
terlalu
dokter sering
diasosiasikan dengan “stres” umum, seperti bila mahasiswa mengatakan “Kami cemas akan kemampuan kami untuk menempuh pengujian”.
Dengan
tujuan
menangkal
godaan
untuk
mengaitkan kegentaran secara terlalu dekat dengan tipetipe
kekhawatiran
mengambil
empiris
kebiasaan
yang
biasa, berupa
sebagian
cendekiawan
menggunakan
kata
asli
Denmark saja—suatu praktek yang saya ikuti di hari ini. bila [nanti] saya beberapa kali menyebut kegamangan atau kecemasan,
tentu
saja
kita
harus
mengenalinya
sebagai
kegentaran, bukan kekhawatiran empiris. Buku
pertama
Kierkegaard,
Either-Or
(1843),
memperbedakan antara dua jalan hidup dasar, tahap estetik dan tahap etis. Yang pertama itu didasarkan pada perasaan dan berfokus pada pemuasan kenikmatan hidup; yang kedua itu didasarkan pada kewajiban dan berfokus pada perbuatan kebaikan.
Secara
demikian,
pembedaan
ini
bersesuaian
dengan pembedaan yang kita bahas di Kuliah 22, antara utilitarianisme
dan
deontologi.
Para
pembaca-awal
buku
tersebut
berdebat
didukung
oleh
tentang
penulisnya
sudut
dari
pandang
dua
sudut
mana
yang
pandang
yang
berlawanan itu. Namun niat Kierkegaard yang sesungguhnya ialah menunjukkan bahwa pilihan salah satu (either) dan pilihan atau (or) itu dengan sendirinya sama-sama ganjil dan
tidak
lengkap.
lain,
Stages
bahwa
tahap
dengan
on
Maka
Life’s
estetik
melampaui
kemudian Way
dan
kedua
ia
(1845),
tahap tahap
menerbitkan yang
etis itu
buku
mengemukakan
keduanya
sendiri,
menuju,
ke
tahap
ketiga, tahap religius, yang mensintesis dan melebihi dua tahap terdahulu (lihat Gambar XII.2). Ia mendefinisikan jalan
hidup
religius
dengan
“kedidalaman”
(inwardness)
yang
(outwardness)
yang
dibutuhkan
peristilahan melampaui
untuk
sikap
“kediluaran”
penalaran
teoretis
dan ilmiah. I. Estetik (kenikmatan di luar) nasib kesiapan III. Religius lompatan
lompatan
(keimanan di dalam)
dosa
iman
penderitaan
penebusan kesalahan II. Etis (kebaikan di luar)
Gambar XII.2: Tiga Tahap Kehidupan dan Dua Lompatan Kierkegaard
Dalam
The
Concept
of
Anxiety
(1844)
Kierkegaard
mengembangkan ide kegentaran dengan menganalisis ide dosa Kristiani.
Ia
menyatakan,
psikologis
yang
timbul
kegentaran
secara
adalah
alamiah
keadaan
dari
kodrat
ontologis esensial manusia: kebebasan kita memberi kita potensi
yang
kehadiran
tak
kita
terbatas
di
dalam
untuk
[dimensi]
masa
depan;
namun
waktu
membuat
kita
terbatas dan bebal. Dengan kata lain, kegentaran muncul dari
ketegangan
antara
keinderawian
raga
kita
(yang
berakar sebagaimana adanya di dalam waktu) dan kebebasan jiwa
kita
(yang
berakar
sebagaimana
adanya
di
dalam
kekekalan). Kebebalan kita memastikan bahwa pilihan yang kita tentukan untuk masa depan kita sendiri akhirnya akan menjatuhkan kita ke dalam dosa, sehingga kegentaran bisa dialami
sebagai
“kebebasan
dalam
jeratan”
(entangled
freedom) (CA 320)—yaitu terjerat-tanpa-batas dalam batas. Kemudian, (lihat
dosa
Gambar
sebagai XII.3),
keadaan adalah
normal yang
spirit
pertama
manusia
dari
dua
“lompatan kualitatif” yang harus kita lalui dalam rangka maju melalui tahap-tahap kehidupan seperti yang tampak dalam Gambar XII.2. Sesudah lompatan dari ketakberdosaan ke dosa (seperti dalam kisah Adam dan Hawa), lompatan kedua adalah dari dosa ke iman (sebagaimana dalam kisah Ibrahim). Lompatan pertama bersesuaian dengan perubahan dari
yang
sedangkan
estetik lompatan
ke kedua
yang
etis
(atau
bersesuaian
sebaliknya),
dengan
perubahan
dari
pilihan
estetik/etis
ke
yang
religius.
Paganisme
berakar di tahap estetik, tempat dialaminya lompatan dosa sebagai nasib (fate) dan lompatan iman sebagai kesiapan (providence); sebaliknya, agama Yahudi berakar di tahap etis, tempat dialaminya lompatan dosa sebagai kesalahan (guilt) dan lompatan iman sebagai penebusan (atonement). Agama
Kristen
berakar
di
melampaui
tahap
keduanya
religius
dengan
dengan
tepat
secara
aktual
yang
berupa
keimanan mutlak kepada Allah.ii[2] raga sementara: keinderawian + spirit kegentaran
keberanian
x
spontan: dosa
jiwa kekal: kebebasan
Gambar XII.3: Asal-Usul Ontologis Kegentaran dan Dosa Analisis
Kierkegaard
tentang
kegentaran
dan
dosa
menyiratkan bahwa tiadanya rasa gentar merupakan keadaan psikologis
terburuk,
karena
tanpa
kegentaran
kita
tak
pernah bisa maju ke tahap spirit. Dalam keadaan asal yang tanpa dosa, kegentaran muncul sebagai tanggapan terhadap “ketiadaan” (yakni kebebalan seseorang) akan masa depan: “kecemasan
adalah
aktualitas
kebebasan
sebagai
kemungkinan
berkemungkinan”
(CA
313).
Pengabaian
kebebasan ini pada aktualnya merupakan pemberhalaan bila menyebabkan orang yang dalam tahap kehidupan estetik itu memahami
bahwa
ketakberdosaan,
kedamaian,
kebahagiaan,
keindahan, dan sebagainya, itu baik dengan sendirinya. Memahami seperti ini berarti memisahkan diri sendiri dari kedalaman
spiritual
kodrat
manusia
itu
sendiri:
“alat
yang paling efektif untuk lari dari kecemasan spiritual adalah menjadi nirspirit” (385). Namun selekas kebebasan ini dimanfaatkan, suatu kesadaran akan dosa timbul, yang menghasilkan “kecemasan
jenis
mengenai
kegentaran kenistaan”
baru,
dalam
(381-386).
bentuk
[Jenis]
ini
muncul dalam tiga bentuk: (1) hasrat untuk kembali ke keadaan
tak
berdosa;
(2)
peringatan
akan
jatuh
lebih
dalam ke dalam dosa; dan (3) keinginan bahwa penyesalan belaka sudah cukup untuk menebus dosa. Sayangnya, upaya sebagian pemeluk agama untuk mengatasi kecemasan semacam itu
dengan
kecemasan
menggunakan yang
lebih
kebaikan-luar parah,
dalam
hanya
menimbulkan
bentuk
“kecemasan
mengenai kebaikan” (386-420). Orang religius sejati beralih dari tujuan estetik dan etis supaya menjadi di dalam. “Kedidalaman” mengacu pada
pemahaman-diri
mensyaratkan
yang
keterbukaan
aktif
diri
(CA
terhadap
408), yang
yang abadi.
Karenanya, beralih menuju diri sendiri dengan cara ini identik dengan beralih menuju Tuhan. Hasilnya, itu selalu
diawali dengan peningkatan kesadaran orang tersebut akan kesalahan: In turning toward himself, [the religious "genius"] eo ipso turns toward God, and ... when the finite spirit would see God, it must begin as guilty. As he turns toward
himself,
he
discovers
guilt.
The
greater
the
genius, the more profoundly he discovers guilt.... In turning inward he discovers freedom.... To
the
degree
he
discovers
freedom,
to
that
same
degree the anxiety of sin is upon him in the state of possibility.... (376-377) (Dalam
beralih
religius] bila
itu
spirit
bermula
menuju
dirinya
sendiri,
sendiri
beralih
menuju
terbatas
sebagai
itu
bersalah.
melihat Ketika
[si
Tuhan,
Tuhan, ia
“jenius” dan
itu
beralih
...
pasti menuju
dirinya sendiri, ia menemukan kesalahan. Semakin hebat