BAB III RITUAL KEMATIAN DO HAWU DAN MAKNA PENDAMPINGAN PASTORAL
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 9 (sembilan) informan seperti orang Sabu yang dituakan (tokoh-tokoh adat) yang tinggal di Kupang, orang Sabu yang pernah melakukan ritual tersebut, serta pendeta dan majelis yang berasal dari suku Sabu (data primer) serta data sekunder dari beberapa buku sebagai bahan acuan. Pembahasan pada bab ini dibagi dalam 3 (tiga) bagian yang diatur sebagai berikut : (1) Gambaran umum lokasi penelitian, (2) Ritual kematian suku Sabu, (3) Pendampingan Pastoral oleh Pejabat Gereja.
3. 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Sebelum membahas tentang kota kupang sebagai lokasi penelitian, penulis akan membahas sedikit mengenai orang Sabu sebagai subyek penelitian. Pulau Sabu atau Rai Hawu adalah bagian Kabupaten Kupang. Merupakan pulau terpencil dengan luas 460,78 kilometer persegi, berpenduduk sekitar 30.000 jiwa dengan sifat mobilitas tinggi, karena itu penyebarannya ke seluruh Nusa Tenggara Timur (NTT) cukup menyolok.53 Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak WD, bapak YB dan bapak DTB, diketahui bahwa masyarakat Sabu menganut agama asli jingitiu sebelum menganut agama Kristen. Kini 80% mayarakat Sabu beragama Kristen Protestan. Meskipun begitu pola pikir dan prilaku mereka masih dipengaruhi oleh agama asli jingitiu. Hal ini menarik untuk dilihat karena nilai-nilai luhur agama asli masih tetap dipegang dan dipelihara dengan baik, walaupun ritual adatnya tidak lagi dilakukan secara penuh.
53
Diunduh dari http://joezindo.blogspot.com/, Kamis, 31 Mei 2012, pada pukul 11.36 AM
28
Gambar 1. Peta penyebaran Orang Sabu di daerah NTT54
Berdasarkan hasil pengamatan dan hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap 2 (dua) informan, yaitu bapak WD dan YB, maka diketahui ada kurang lebih 5 (lima) daerah penyebaran terbesar masyarakat asal Sabu yang merantau di propinsi NTT, yaitu : kota
Kupang dan sekitarnya, Ende – Flores, Maumere – Flores, Waingapu – Sumba, Reo – Flores. Diperkirakan selitar 30 - 40% dari total masyarakat Suku Sabu merantau ke daerah-daerah tersebut. Hal ini dilakukan karena daerah-daerah itu merupakan daerah-daerah pelabuhan dan perdagangan yang langsung berhadapan dengan Laut Sawu dan Pulau Sabu atau juga karena
ada faktor lain.55 Selain itu menurut pengamatan penulis, daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang cukup maju di wilayah NTT, sehingga mereka akan mudah mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keahlian dan keinginan mereka.
54
Gambar diunduh dari http://orangsabu.blogspot.com/2009/01/lokasi-penyebaran-orang-sabu-perantau.html, Senin, 4 Juni 2012, pada pukul 06.55 AM 55 Ibid.
29
Dari kelima daerah tersebut, penulis memilih kota Kupang sebagai daerah yang akan diteliti mengenai ritual kematiaan suku Sabu, karena di kota Kupang mayoritas masyarakatnya beragama Kristen Protestan dan merupakan daerah yang paling maju (ibukota propinsi NTT), serta menjadi daerah favorit untuk dijadikan tempat perantauan orang Sabu. Selain itu juga bahasa pergaulan sehari-hari pun sama dengan orang Sabu yang tinggal di daerah perkotaan. Masyarakat Sabu yang berada di kota Kupang juga masih melakukan ritual kematian secara tradisional, walaupun ada yang tidak lagi melakukannya secara lengkap. Hal ini bagi penulis menarik dilihat karena orang yang tinggal di daerah perkotaan telah tercampur dengan berbagai pengaruh perkembangan zaman sehingga akan sangat menarik ketika adat istiadat mereka tidak serta merta dibuang tetapi masih terus dipelihara dengan baik, walaupun adat tersebut tidak dilakukan secara penuh.
Gambar 2. Peta Kota Kupang (tempat penelitian)56
56
Gambar diunduh dari Diunduh dari http://nttprov.go.id/provntt/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=66, Senin, 4 Juni 2012, pukul 07.05 AM
30
Berdasarkan informasi dari website resmi pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur57 Kota Kupang terletak di ujung barat daya Pulau Timor. Secara topografis terdiri dari dataran rendah dan pegunungan kapur. Kota ini sebelah utara berbatasan dengan teluk Kupang, sebelah timur dengan kecamatan Kupang Tengah dan Kupang Barat, sebelah selatan dengan kecamatan Kupang Barat, dan sebelah barat dengan kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang dan selat Semau. Luas kota Kupang mencapai 180,27 km. Kota kupang terbagi dalam empat kecamatan, yaitu: Alak, Maulafa, Oebobo, dan Kelapa. Luas kabupaten Kupang mencapai 7.178,26 km², terbagi dalam 19 kecamatan. Jumlah penduduk kabupaten Kupang mencapai 419.641 jiwa dengan tingkat kepadatan 59 jiwa/km². Hampir semua wilayah kabupaten Kupang dan kota Kupang adalah daerah perbukitan kapur yang kering dan gersang.
3. 2. Ritual Kematian Suku Sabu 3. 2. 1. Jenis dan Proses Ritual Kematian Suku Sabu Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis kepada bapak YB58 dan bapak WD59 diketahui bahwa Made atau meninggal menurut kepercayaan orang Sabu adalah keadaan dimana seseorang akan kembali kepada sang pencipta (Deo Ama) untuk berkumpul bersama dengan para leluhur. Arwah orang yang meninggal akan berangkat dari pelabuhan Iki Keli, dengan menaiki perahu yang bernama Ama Piga Laga ke Yuli Haha (tanjung Sasar) dekat pulau Sumba. Selain memakai data primer yaitu berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan para informan, yaitu bapak WD dan YB, penulis juga melihat adanya kesamaan
57
Diunduh dari http://nttprov.go.id/provntt/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=66, Senin, 4 Juni 2012, pukul 07.05 AM 58 Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul 16.30 WITA 59 Hasil wawancara dengan WD (66 tahun), pada hari rabu, 19 Oktober 2011, pukul 09.000 wita, di kediaman bapak WD)
31
penjelasan tentang arti kematian bagi orang Sabu dalam buku Dunia Orang Sawu60 karangan Nico L. Kana (data sekunder), beliau juga menyebutkan bahwa arwah orang yang meninggal akan berangkat dari pelabuhan Iki Keli, dengan menaiki perahu yang bernama Ama Piga
Laga ke Yuli Haha, dekat pulau Sumba. Kana juga menyebutkan bahwa kematian bagi orang Sabu dipandang sebagai perjalanan pulang ke hadapan Deo Nata rai Da’I, dewa di alam bawah yang terdalam. Seperti pada awalnya manusia datang dari alam yang gelap, yaitu dari rahim ibu, demikian pula sesudah mati manusia kembali ke tempat yang gelap di alam bawah yang terdalam itu. Lebih lanjut lagi, Kana mengatakan kematian adalah batas berpisah antara yang hidup di atas bumi dan kehidupan di alam terbawah itu. Segala hubungan yang sebelumnya pernah ada antara almarhum dan kehidupan di atas bumi, sekarang mulai diputuskan. Jasad tubuh dan badaniah kembali ke tanah akan tetapi “diri”, ngi’u, yang mengandung napas Muri (Hidup; maksudnya Dewa) tidak akan mati. Jadi kematian lahiriah itu bukanlah berarti kematian diri atau ngi’u tadi itu. Kematian adalah peralihan dari keadaan sebagai manusia di bumi menjadi seorang Deo. kepadanya dan para almarhum yang lain permohonan dan keluhan manusia diutarakan melalui pelbagai upacara. Bapak YB61 juga mengatakan bahwa kematian bagi masyarakat yang masih memegang adat adalah merupakan proses yang sangat penting. Bagi mereka jika seseorang meninggal dunia maka masih ada sejumlah proses ritual yang harus dilakukan oleh keluarga yang masih hidup. Hal ini dilakukan agar orang yang meninggal dapat dengan tenang dan selamat menuju dunia gaib.
60
Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983) , hal. 68-69 Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul 16.30 WITA
61
32
Analisa : Diatas telah dijelaskan tentang arti atau makna kematian bagi orang Sabu, berikut adalah pemaparan para ahli tentang kematian. Umumnya orang akan mengartikan kematian sebagai akhir dari hidup, berhenti bernafas dan tidak bernyawa. Menurut John Calvin (seorang reformator Kristen Protestan) kematiaan dianggap sebagai sebuah kesempatan untuk mendamaikan jiwa antara Tuhan dan manusia. Masih menurutnya, keadaan menjelang ajal dianggap sebagai salah satu syarat menuju “rumah yang sejati” dan orang yang berada dalam keadaan menjelang ajal terlihat oleh Calvin berada dalam proses pembentukan rohani yang kuat.62 Pada umumnya, kematian dipahami sebagai akhir dari kehidupan seseorang, karena merupakan proses peralihan dari kehidupan lama di dunia ke kehidupan baru. Setiap masyarakat memiliki pemahaman dan respon tersendiri mengenai makna kematian. Karena itu, dapat ditemui berbagai macam model upacara kematian yang ditemui dalam keberagaman budaya Indonesia. Salah satu yang menarik yang dibahas oleh penulis adalah upacara kematian suku Sabu, yang ada di Nusa Tenggara Timur. Menurut Soekadijo dalam bukunya yang berjudul Antropologi, kematian merupakan sebuah krisis terakhir dalam kehidupan manusia secara individu, kematian juga merupakan krisis untuk kelompok secara keseluruhan, apalagi jika kelompoknya kecil. Seorang anggotanya telah tiada, dan dengan demikian keseimbangannya terganggu. Oleh karena itu, orang-orang yang masih hidup, harus mengembalikan keseimbangan itu. Pada waktu yang sama mereka harus menyesuaikan diri dengan hilangnya seseorang yang mempunyai ikatan emosional dengan mereka.63
62
William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, (Prentice-Hall,1964), hal. 224-232 63 R. G. Soekadijo, Antropologi (Jakarta : Erlangga,1988), hal.208
33
Kematian merupakan peralihan terakhir, sehingga dalam peristiwa kematian, dianggap layak untuk memperbanyak peralatan, penghormatan dan perlambang, karena saat kematian taraf hidup serba baru.64 Pendapat Malinowski65 tentang kematian seperti yang dikutip oleh Geertz adalah suatu krisis yang paling penting. Dilihat dari pengertian kematian di atas, dapat kita lihat bahwa masing-masing orang ataupun kelompok mempunyai definisi sendiri mengenai kematian. Namun dapat disimpulkan bahwa kematian adalah berhentinya hidup seseorang di dunia sekarang ini, dengan ditandai berhentinya nafas dan fungsi tubuh seseorang yang secara medis meyakininya. Memahami arti kematian yang berbeda-beda, maka tentunya setiap arti kematian bagi setiap orang itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai hal hingga berdampak pada pola hidup yang mereka terapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Bagi penulis, perbedaan pendapat tersebut pastilah dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor keluarga, tradisi, lingkungan, pendidikan dan agamanya. Karena faktor-faktor inilah yang memungkinkan dapat memberikan dampak secara langsung pada pandangan seseorang mengenai kematian. Faktor keluarga dan lingkungan sangat berkaiatan erat hubungannya dalam penanaman suatu paham tentang kematian terhadap seseorang, karena setiap orang di dalam satu keluarga pastinya pernah mengalami kematian. Begitu pula di dalam lingkungan masyarakat sangat memengaruhi pandangan seseorang mengenai kematian. Lingkungan yang menggangap kematian sebagai hal yang menakutkan dapat membuat suasana kematian sebagai hal yang mencekam dan perlu ditakuti. Akan tetapi jika lingkungan tempat kita tinggal berpandangan bahwa kematian adalah salah satu hal yang wajar, bisa saja kebanyakan anggota masyarakat di dalamnya tidak akan berlarut-larut dalam kesedihan.
64
Rahmat Subagya, Agama Asli di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Lokacaraka, 1981), hal. 193 65 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama,(Yogyakarta : Kanisius, 1952), hal. 95-96
34
Tradisi sebenarnya berpengaruh kuat terhadap kepercayaan keluarga dan lingkungan tempat seseorang tinggal. Jika seorang memiliki tradisi bahwa kematian merupakan kuasa ilahi maka mereka cenderung memaknai kematian sebagai sesuatu yang baik atau pun jika ada tradisi bahwa tidak boleh membicarakan tentang kematian, apalagi pada saat acara-acara yang membahagiakan seperti pernikahan. Mereka akan cenderung percaya bahwa kematian adalah hal yang membawa “malapetaka” atau “sial”. Sedangkan, faktor pendidikan juga mampu memengaruhi pandangan seseorang terhadap kematian. Contohnya orang yang tidak pernah bersekolah, tidak bisa membaca dan menulis, akan cenderung mempercayai begitu saja atas apa yang dikatakan orang lain mengenai arti kematian kepada dirinya, dia bisa saja mempercayai kata keluarganya, lingkungan tempat tinggalnya, ataukah tradisi yang dipercayainya. Orang yang sudah mendapatkan pendidikan umumnya lebih berpeluang memperoleh informasi di sekitarnya. Faktor terakhir yaitu agama atau keyakinan, adalah faktor yang sangat berperan penting dalam memberikan suatu pandangan tentang berbagai hal bagi setiap pemeluknya, Biasanya arti kematian yang masuk melalui keyakinan lebih berdampak besar terhadap pola hidup dan pola pikir seseorang di kehidupannya. Sebagian besar agama atau keyakinan di Indonesia memandang kematian sebagai kuasa ilahi, mereka yakin benar kalau hidup mati mereka ditentukan oleh Tuhan yang menciptakan mereka. Penulis sendiri mengartikan kematian sebagai sesuatu hal yang pasti didalam kehidupan, artinya setiap orang pasti akan mengalaminya. Kematian merupakan saat dimana jiwa atau roh keluar dari tubuh yang fana. Tubuh memiliki semacam “tanggal kadaluarsa”nya sehingga tubuh akan menjadi tua dan akhirnya mati. Hal ini berbeda dengan jiwa yang bersifat kekal. Pemahaman penulis tentang kematian juga dipengaruhi beberapa faktor seperti agama, pendidikan dan keluarga.
35
Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis kepada beberapa informan yaitu bapak YB dan bapak WD serta mendapat informasi dari buku Dunia Orang Sabu maka diketahui bahwa ada dua jenis kematian yang dikenal dari suku Sabu yaitu Made Nata (mati manis) adalah mati yang disebabkan oleh penyakit yang disebut hagu dan yang meninggal dengan tenang yang adalah warisan dari nenek moyang yaitu Adam (Adda). Made Haro (mati asin) yaitu meninggal karena kecelakaan, dan meninggal karena bunuh diri disebut juga
Made Reka. Oleh karena itu, terdapat perbedaan ritual ataupun upacara yang dilakukan dari kedua jenis kematian tersebut. Berikut ini akan dipaparkan tentang kedua jenis ritual upacara kematian dalam masyarakat Sabu serta berbagai prosesnya, yaitu : a) Made Nata (Mati manis) Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap bapak YB66 dapat dipaparkan bahwa proses upacara Made Nata (mati manis) adalah pertama Habu Emu yaitu membuat dinding sekat (Ru he di’di) sebelum jenasah dimandikan. Semua keluarga dilarang menangis. Setelah dimandikan dan di beri pakaian yang rapi yaitu pakaian adat Sabu67 lalu didudukkan diatas sebuah batu yang khusus disiapkan untuk orang mati dan disandarkan pada sandaran yang dibuat dari pelepah daun lontar dan diikat supaya jangan jatuh. Posisi duduknya pun berbeda antara laki-laki dan perempuan. Bagi kaum laki-laki posisi duduknya 66
Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul 16.30 WITA 67 Bagi Pria pakaian yang digunakan sehari-hari adalah : Selimut dan kemeja putih, dipakai dengan ikat pinggang dan destar pengikat kepala, serta tanpa perhiasan. Sedangkan pakaian sehari-hari wanita adalah sarung diikat/dililit pada pinggang dengan 2 kali lipatan bersama kebaya tanpa aksesoris. Untuk perkawinan, selain sarung dan kemeja, pria Sabu mengenakan sabuk pinggang berkantong dua yang berfungsi sebagai dompet, selendang yang menggantung pada bahu, destar yang dilengkapi dengan mahkota tiga tiang terbuat dari emas untuk melambangkan kehormatan, sepasang gelang emas, habas atau perhiasan yang menggantung pada leher, dan kalung multisalak berliontin gong sebagai mas kawin. Mempelai wanita Sabu berdandan dengan sarung yang diikat bersusun dua pada pinggul dan dada, pending emas, gelang emas dan gading, kalung multisalak dan liontin dari emas, anting emas bermata berlian, sanggul bulat yang dipercantik dengan mahkota dan tusuk konde berbentuk koin atau uang emas kuno.
36
dibagian du’ru (haluan). Bagi kaum perempuan posisi duduknya di bagian Wui (buritan). Rumah orang Sabu diibaratkan dengan perahu. Setelah itu di beri sirih pinang dan tembakau di mulutnya. Jikalau yang meninggal laki-laki maka akan di pakaikan selendang, sedangkan jika yang meninggal adalah perempuan maka dipakaikan sarung, dan harus menggunakan pakaian adat bukan pakaian dari toko. Selain itu kain atau sarung yang akan di berikan kepada orang mati, jumlahnya tidak oleh genap harus ganjil.68 Setelah itu dilanjutkan dengan acara bakar pusar (Tunu Ehu) yang caranya adalah kemenyan (Kerani) dibakar dan diteteskan ke pusar melalui selembar daun sirih wangi. Pada jenis kematian ini akan ada banyak keluarga, handai taulan, sahabat, dan kenalan yang datang melayat, Sedangkan Made Haro (Reka) hanya keluaga dekat saja yang datang. Upacara pemakaman dalam budaya Sabu ada lima bentuk. Dalam upacara Made Haro, keluarga akan sepakat untuk memakai bentuk upacara apa yang akan digunakan dari kelima bentuk upacara tersebut, yaitu, 1)
Labu Emmu (Setelah acara penguburan selesai, akan dipasang kembali dinding atau sekat rumah yang telah dibuka selama mayat masih berada di rumah).
2)
Hae Awu (Dalam upacara ini dilakukan pemotongan hewan yang besar, untuk di bagi kepada para pelayat yang membawa sumbangan).
3)
Ke Wure (keluarga atau orang yang datang melayat akan membisikan sesuatu di telinga orang mati yaitu agar otang mati membawa semua penyakit yang ada pada keluarga mereka).
68
Hasil wawancara dengan bapak DTB (40 tahun), pada 15 Januari 2012, di kediaman bapak DTB, pada pukul
10.00 WITA
37
4)
Para Kii (pada acara ini akan dilakukan pemotongan hewan seperti kambing, babi, dan lain sebagainya). Keluarga dan kenalan yang datang melayat juga biasanya membawa binatang bagi keluarga yang berduka sehingga keluarga dari orang yang meninggal akan membagi daging sesuai dengan apa yang di bawa oleh pelayat. Daging mentah akan di bawa pulang sedangkan daging yang telah dimasak akan dibawa pulang.
5)
Tao Leo Dari lima bentuk acara tersebut, yang paling besar biayanya adalah bentuk acara Tao Leo dan yang paling sederhana adalah bentuk acara Habu Emmu.
Bapak YB menjelaskan tentang ritual yang paling lama prosesnya dan memakan biaya yang besar yaitu Tao Leo. Upacara ini berjalan selama 7 (tujuh) hari (siang dan malam) dan selama 7 (tujuh) hari itu diadakan tarian Sabu yakni Ledo Hawu69, yang diiringi oleh musik gong dan tambur (Namengu nga Dere) dan selama 7 (tujuh) hari juga orang yang datang berkunjung di jamu dengan makanan.
69
Tarian Ledo pertama kali ditampilkan pada upacara kematian, tao leo, untuk orang yang masih
memegang ajaran Jingitiu. Tarian tersebut dilakukan untuk antar dan arahkan arwah kepada leluhur selama sembilan hari dan sembilan malam. Gong dan drum ditabuh dan tarian ditampilkan dari pagi hari hingga larut malam. Tarian ini juga ditarikan berpasang-pasangan secara berurutan. Inilah momen dimana orang bisa memamerkan pusaka-pusaka: rantai emas, anting dan sabuk, gelang gading dan kain Ikat terbaik. Para lelaki dengan pedangnya (hemala) memamerkan keahlian berpedang dan mencoba memberi kesan mendalam kepada kaum wanitanya yang bergerak secara amat perlahan dengan gerakan tangan mereka yang indah. Para wanita diperbolehkan berhenti menari kapanpun mereka mau. Selama masih ada wanita yang menari, para lelaki ini diharuskan terus menari dan ini bisa bertahan selama 30 menit. Tarian Ledo sangat populer di upacara pemakaman dan banyak orang berdatangan dari daerah yang jauh dan mengantri untuk diperbolehkan masuk ke arena tarian (leo) yang tertutup di bagian atas (atap). Tarian Ledo juga ditampilkan di beberapa upacara setelah pembangunan kembali rumah leluhur. ( Diunduh dari http://savuraijuatourism.com/id/kebudayaan/tarian-tradisional (27 juni 2012, pukul 11.47 PM)
38
Gambar 3. Tarian Ledo70 Dilakukan untuk antar dan arahkan arwah kepada leluhur selama sembilan hari dan sembilan malam.
Pada hari pertama, acara Penginu Ei Langu Jara yakni perjamuan makan perpisahan dengan yang meninggal sekaligus acara mengusir roh-roh jahat. Setelah itu baru
bongkar Ru He Di di (sekat). Membunyikan meriam bambu sebagai berita kematian kepada seluruh anggota keluarga dan kepada Mone Ama (tetua adat) dengan mengantarkan daging buat Mone Ama di Nada Ae (tempat tinggal tetua adat). Membuat tenda yang atapnya dibuat dari tikar (Leo Depi) dan untuk ini harus dibunuh 1 (satu) ekor babi dan 1 (satu) ekor kerbau milik para pekerja. Pada hari kedua dan ketiga acara makan bersama bagi mereka yang membuat tenda
yang disebut Penga’a Leo De Rii yang sekaligus musik gong dan tambur dibunyikan. Kemudian dilanjutkan dengan acara Oro Rai yakni lagu dengan syair-syair yang
menceritakan tentang jasa-jasa kebaikan yang meninggal dan silsilahnya. Ini di sebut Wale do made. Pada hari keempat acara Hi, yang ditandai dengan Muri Mada De Re dan ditabuh di Nade Dere sebagai undangan kepada orang banyak. Acara ini baru terjadi pada hari kelima dan untuk acara ini disiapkan : 1 (satu)ekor kerbau untuk orang-orang satu Kerogo (kelompok
anak suku), 1 (satu) ekor anjing dan 1 ekor domba untuk orang satu Udu (suku ), 1 (satu)kuda 70
Gambar diberikaan bapak JRG, pada pada 24 Mei 2012, pukul 08.30 PM
39
dan 1 ekor kerbau untuk orang banyak. Hewan-hewan tersebut dilepas untuk diperebutkan oleh masing-masing kelompok tadi. Setelah acara ini selesai baru jenasah di kuburkan dan untuk penguburan dibunuh 1 (satu) ekor kerbau dan 1 (satu) ekor ayam untuk Mone Ama. Pada hari yang keenam, diadakan acara Pe Mou dan Pe Bale Pai dimana dalam acara-acara ini dibagi-bagikan daging babi goreng yang sudah disimpan lama di dalam guci kepada yang hadir dan diakhiri dengan pembongkaran tenda dan pemasangan kembali Ru he di’di yang di sebut Lulu Depi. Hari yang ketujuh acara Raja Pebare yaitu membuang semua barang-barang yang bekas di pakai oleh yang meninggal dilanjutkan dengan acara Pe netta emu atau membersihkan rumah yang dipimpin oleh Rue, dalam acara ini dibunuh 1 (satu) ekor kerbau yang disebut Kebao Rue. Setelah 1 (satu) tahun dibuat acara penutup yakni Mane Wai dimana dilakukan kegiatan menenun ikat pinggang di kuburan dalam acara ini dibunuh 1 ekor babi untuk Deo Ama atau Deo woro Deo Pengi (Allah Bapa atau Allah pencipta) untuk memohon keselamatan, kesehatan, kesuburan bagi manusia dan ternak serta sawah dan ladang.71 Dalam kematian orang yang belum memeluk agama Kristiani, biasanya orang meninggal diberikan “bekal” berupa uang 50 (lima puluh) rupiah untuk “belanja disana”. Selain itu posisi duduknya laki-laki yang sudah meninggal adalah menghadap ke barat, sedangkan perempuan ke Timur. Orang yang meninggal diikat dengan menggunakan tali yang diputar kearah kiri yang terbuat dari rotan yang panjangnya 9 (sembilan) depa (satu depa = satu bentangan sepasang tangan)
yang melambangkan tali pusar. Waktu akan
dikuburkan, tali dibuka hingga membentuk seperi bayi dalam kandungan. Lubang kuburnya
71
Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul
16.30 WITA
40
bulat, didalamnya beralaskan tikar. Penguburan harus dilakukan jam 1 (satu) siang. Malam harinya langsung diadakan acara Keleku (ucapan syukur).72 Dalam buku Dunia Orang Sawu (karangan Nico L. Kana), ada beberapa istilah atau nama dari proses ritual yang dilakukan dalam Made Nata (Mati Manis) yang berbeda dengan informan yang diwawancarai penulis. Berikut adalah pemaparan yang dilakukan oleh Kana73 tentang ritual Made Nata. Penetapan jenis upacara tergantung kepada hasil musyawarah diantara anggota kepala keluarga (ina ama amu) dalam kelompok dara amu di tempat orang yang meninggal tersebut menjadi warga. Keputusan ini sangat bergantung pada potensi ekonomi warga dara amu yang bersangkutan dan juga pada hubungan tolong-menolong antara almarhum dengan orang-orang di sekitarnya, yakni apakah semasa ia hidup, ia banyak memberi bantuan atau tidak kepada mereka. Selain itu tingkat usia juga dapat dijadikan faktor bagi keputusan yang akan diambil. Akibatnya, untuk pemuda atau anak-anak upacaranya sederhana saja, sedangkan bagi orang lanjut usia diusahakan upacara yang lebih lengkap dan mewah menurut kemampuan ekonomi kelompok dara amu-nya. Upacara yang sederhana dan dinilai terendah disebut Hogo wie Deo (masak untuk Dewa). Yang lebih tinggi dari itu adalah Hae Awu (naik kapal) dan yang lebih tinggi lagi ialah Peake (diikat). Yang lebih tinggi lagi di sebut Para Ki’i (memotong kambing) dan yang paling tinggi ialah upacara Tao Leo (membuat teratak atau rumah).
i. Upacara Hogo Wie Deo Ketika seseorang akan menghembuskan napas terakhirnya, padanya ditegukkan minuman ai lango jara (air minyak perjalanan). Terdiri dari sebagian kecil hati binatang, 3 (tiga) butir beras yang kulitnya telah dikupas dengan tangan (bukan beras tumbuk), 3 (tiga)
72
Hasil wawancara dengan bapak DTB (40 tahun), pada 15 Januari 2012, di kediaman bapak DTB, pada pukul
10.00 WITA 73
Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983) , hal.58-68
41
sayatan minyak babi yang selama itu disimpan di loteng bagian perempuan, semuanya dimasak dalam periuk kecil atau yang disebut aru kuku, terbuat dari tanah dan biasa di gunakan untuk memasak makanan untuk anak kecil. Sebelum dikubur jenazah dibungkus dan diikat, umbai-umbai selimut Sabu diikatkan pada jenazah, kaki dan tangannya diikat dan dikenakan sabuk yang disebut dari dulu ai (tali timba air). Apabila jenazah sudah terletak di liang kubur sabuk pun dilepaskan. Di sisi jenazah segera diletakkan sirih pinang dan tembakau, sedangkan ke mulutnya di masukkan sekeping uang logam dan cincin. Sesudah penguburan, hati anak babi atau disebut ana wawi lebo ade (anak babi yang di lubangi hatinya) diletakkan sebagai sesaji di atas kubur. Sore hari barulah bekas-bekas upacara seperti ikatan tali ikatan, wadah bekas minuman dan sebagainya itu dibuang ke tempat pembuangan di luar yang disebut kolo malaha. Sesudah jenazah dikuburkan, keesokan harinya diselenggarakan upacara “memasak untuk dewa” dengan menyembelih seekor babi sebagai tanda penutup upacara dan memohon agar kematian tidak berulang di rumah tersebut. Jika keluarga almarhum merupakan orang berada maka hewan yang dikurbankan seringkali lebih besar lagi.
ii. Upacara Hae Awu Upacara kematian ini diawali pada saat si sakit akan menghembuskan napas terakhirnya. Ia akan diberi minum ai lango jara juga sampai 3 (tiga) kali, dari kaba rai (wadah yang terbuat dari tanah), sambil diusapkan kepadanya. Jika ia ternyata sudah mati maka perbuatan ini hanya dilakukan secara simbolik. Untuk upacara ini yang disembelih adalah ayam, tetapi jika keadaan ekonominya lebih baik masih akan ditambah dengan kambing dan babi.
42
Sesudah yang bersangkutan benar-benar mati dilakukanlah perihe ri nga’a ri nginu (disisakan makanan dan minuman), yakni membunuh hewan yang sebagian dagingnya dipersembahkan bersama makanan dalam wadah yang diletakan di sisi kiri dan kanan almarhum. Sesudah itu baru almarhum dimandikan. Seluruh tubuh almarhum diolesi dengan nyiu woumangi (kelapa harum), yakni kunyahan kopra dan irisan kayu cendana, sedangkan rambutnya diolesi dengan parutan kelapa campur minyak babi. Ampas kelapa olesan itu lalu ditaburkan ke sekeliling pusar sedangkan sepotong kayu kemeyan yang disebut kerani di taruh di dalam lubang pusarnya itu. Sementara itu seuntai biji damar atau biji nitas dibakar dekat kemenyan tersebut. Kegiatan ini disebut tunu ahu (membakar pusar). Jenazah lalu disiapkan dengan dihiasi baik-baik agar diterima para leluhur menumpang perahu yang akan membawanya ke dunia gaib. Jenazah lalu di bungkus dengan selimut atau sarung yang berwarna merah yang di sebut ai mea higi taba. Sebelum dibungkus di pinggang almarhum di selipkan sirih pinang, jagung rote, kacang hijau dan kelapa kering. Bungkusan jenasah lalu diikat pada bagian tangan, pinggang dan kakinya pun diikat dengan pelepah daun lontar yang dibuat khusus untuk itu. Tali ini di sebut dari wodue api keriu (tali dua “urat” yang dipintal ke kiri), dan sebagai pengikat ia dinamai dari dulu ai nginu pa rujara la hedapa Deo (tali timba air minum di jalan ke hadapan Dewa) Dalam keadaan ini jenazah di baringkan dibalai-balai utama di dalam rumah sambil dikitari warga perempuan sepanjang malam. Esok hari para pelayat berdatangan. Pelayat perempuan berkerudung sarung atau disebut leo kolo (tudung kepala) dan sambil merangkul warga perempuan almarhum merekapun bertangis-tangisan. Para pelayat laki-laki diterima keluarga lelaki almarhum. Pada saat itulah para warga laki-laki itu memusyawarahkan bentuk upacara kematian buat almarhum. Penguburan berlangsung esoknya. Jenazah dibawa keluar melalui pintu anjungan dengan kaki lebih dahulu, kemudian diletakkan dalam liang kubur yang sudah dialasi sehelai
43
tikar. Sesudah itu barulah tali ikat jenazah dibuka. Penguburan pejabat pemimpin upacara umumnya dilangsungkan malam hari, dengan kepalanya ditudungi gong, sedangkan posisi badannya duduk diatas kulit kerang. Sebelum upacara penguburan ini di lanjutkan dengan penimbunan tanah maka diucapkanlah kata-kata perpisahan dan rasa terima kasih keluarga. Malamnya sanak saudara almarhum datang berkunjung lagi. Pada malam itu dituturkan sisilah, pedai huhu kebie (bicara susunan silsilah), baik menurut garis lelaki atau pun perempuan si almarhum. Disinilah sering para pengunjung mengetahui lebih jelas lagi hubungan kekerabatan mereka dengan almarhum ataupun dengan sesama pengunjung itu sendiri. Upacara pada hari ketiga adalah upacara pemo yang berarti upacara memberisihkan. Sumbangan hewan besar seperti kuda atau kerbau atau pun hewan kecil seperti babi atau kambing, makanan, selimut, ikat kepala dan sirih pinang dibawa oleh para penyumbang ke rumah almarhum.Makanan juga disiapkan. Seusai ini akan dilakukan imbalan buat para pengunjung yang memberikan sumbangan. Penyumbang seekor hewanakan menerima dua kali seperempat bagian hewan tersebut sebagai imbalan. Penyumbang makanan dan lainnya akan menerima imbalan berupa makanan dan potongan daging hewan. Pembagian wadah makanan ini disebut pekepala pai (pembagian besek). Malamnya diadakan lagi pembacaan silsilah, yang pada hakikatnya merupakan tapeele ne hedui herui (untuk menghabiskan susah dan duka). Esoknya merupakan logo pengahe (hari berhenti) yang tanpa upacara khusus. Makanan sisa kemarin disuguhkan dan karenanya disebut woubai (makanan basi). Hari ke lima diperuntukkan untuk upacara haga, yang menandai selesainya urusan si mati dengan dunia orang hidup dan hemanga (roh) almarhum agar berangkat ke dunia gaib tanpa di halangi wango (kekuatan yang negatif).
44
Gambar 4. Upacara Haga pada peristiwa kedukaan74 Pembawa ayam (orang yang tidak memakai baju) adalah pemimpin upacara, berdiri berhadapan dengan keluarga terdekat almarhum. Upacara ini harus dilakukan didalam kampong dengan membelakangi pintu toka dimu (gerbang timur dari kampung)
Menutup rangkaian upacara kematian Hae Awu dilakukan malam hari, dengan upacara raja daru amu (memaku rumah), yang diperuntukkan hanya diantara anggota keluarga almarhum. Bagian-bagian rumah yang penting ditancapi ruhelama (daun selamat, yakni daun lontar yang disilang-silangkan dan dipaku dengan lidi). Dengan memaku ini dimaksud seluruh rumah dan penghuninya dilindungi dari kematian, agar tidak melanda lagi.
iii. Upacara Para Ki’i Dalam upacara memotong kambing ini, segera sesudah penderita penyakit meninggal dilakukanlah upacara pemberian air minum minyak perjalanan juga, yang dicampur dengan 3 butir beras dalam tempurung minuman baru dengan sendok tempurung yang baru pula. Seekor ayam dibunuh pula, dengan cara dilubangi untuk diambil hatinya. Jika pihak keluarga almarhum cukup kaya, maka juga akan disembelih anak babi dan anak kambing. Pembawa berita kematian tidak boleh masuk begitu saja ke rumah atau kampung pemimpin upacara. Ia akan berdiri di luar pagar kampong sambil mengabarkan kabar
74
Gambar diambil dari dari buku Nico, L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983), hal.28
45
dukacita tersebut. Rasa dukacita dinyatakan tuan rumah dengan berdiri dipagar kampung sambil melemparkan telur dan abu dalam terpurung kearah gerbang. Tindakan ini disebut lole awu tabe kolo (mambawa abu menerpa kepala). Ia lalu meletakkan sedikit irisan daging kerbau dan kacang hijau dan gemuk babi campur air dingin di batu khusus. Hari ke-2 (dua) dilangsungkan upacara peraba kebao (saling merampas kerbau). Hewan yang dibunuh itu direbut dagingnya beramai-ramai oleh hadirin. Hal ini konon untuk menandai kekayaan keluarga almarhum. Esoknya dilakukan upacara pemo (memberisihkan). Esoknya lagi istirahat dan hari ke-5 (lima) diselenggarakanlah upacara haga yang juga diikuti upacara pemanggilan roh yang hidup dan akhirnya menanyai tombak. Sesudah itu baru dilakukan penutupan kembali dinding di bagian anjungan rumah atau labu laba pebare. Untuk upacara penutupan dinding itu Deo Rai diundang ke rumah almarhum untuk menyembelih kambing buat upacara. Ada kalanya ini diikuti dengan mencelupkan buah lontar ke dalam cairan mengkudu lalu mengusir roh orang mati ke luar rumah itu dengan mengibas-ibaskan daun waru ke pelbagai penjuru.
iv. Upacara Tao Leo Yang disebut upacara kematian “membuat rumah atar teratak” ini paling kompleks penyelenggaraannya karena paling tinggi kedudukannya. Untuk itu didirikan teratak tempat orang-orang menari. Sambil menanti kedatangan orang-orang yang diundangi, jenazah dimandikan, diolesi minyak dan “bakar pusar”, dibungkus sarung atau selimut atau dibaringkan tepat di bagian batas anjungan dan buritan rumah. Anak babi dan anak kambing kemudian dilubangi hatinya dan diikuti pemberian minuman “minyak perjalanan” bagi almarhum. Hewan-hewan persembahan itu disajikan buat para leluhur, sedangkan pemberian minuman dilakukan sampai 3 (tiga) kali sambil diiringi penendangan 3 (tiga) kali pula
46
dinding anjungan. Tindakan ini melambangkan pengusiran kekuatan wango dari dalam rumah. Sesudah itu semua perhiasan dan pakaian dikenakan pada jenazah. Hal ini dikarenakan si mati sedang dalam perjalanan ke dunia gaib dan karena itu dianggap perlu berdandan sebaik mungkin. Bahkan harus diolesi agar bau tubuhnya pun harum. Sesudah siap pemimpin upacara lalu melakukan upacara “penembakan” dengan bedil tua yang pucuknya diarahkan ke barat. Maka menyusullah pembuatan leo dapi (= teratak tikar) yang bahannya terdiri dari 2 (dua) batang kayu dadap atau aju kare, sembilan tiang dan kayu-kayu palang, dinding anjungan, sehelai tikar kecil serta sejumlah tikar lebar. Dinding dan tikar kecil itu dilambangkan sebagai layar perahu. Pemasangan teratak ini didahului oleh makan bersama, yakni berlauk kerbau atau ditambah dengan daging babi. Hari ke-2 (dua), fajar menyising, teratak harus diberi “makan” dan disebut pengaa’leo depi. Untuk dipotong seekor kerbau dan seekor babi. Sesudah itu sarapan bersama pun dilakukan dan disambung dengan tari-tarian sampai malam hari. Pada malam hari ke-3 (tiga) dilangsungkan oro rai (jelajahi tanah) menceritakan kebaikan almarhum atau pun orang-orang dalam garis keturunan lelaki dari almarhum, yang sudah mati. Hari ke-4 (empat) diundang orang yang melakukan upacara huri mada dere (mencoret mata gendang; yang dimaksud ialah kulit tambur yang ditabuh). Mata gendang dan sejumlah gong kemudian dicoret dengan tanda silang (+).
47
Gambar 5. Upacara Huri Made Dere pada waktu kedukaan.75 Pemberian tanda + pada gendang ialah bagian dari upacara yang berlangsung sampai berhari-hari. Sekalipun demikian, upacara ini sering berlangsung dengan khidmat
Saat mencoreti gendang si pelaku mengucapkan mantra, li mangau, bagi almarhum dan tokoh leluhur mitis bernama Ago Rai yang dianggap datang menjemput almarhum. Sesudah itu dilanjutkan dengan banyo, lagu duka. Sesudah itu dilangsungkan kata-kata hiburan dan pujian bagi para pelayat. Hari ke-5 (lima) masih dilanjutkan dengan tarian di bawah teratak. Menjelang sore hari berlangsung upacara perebutan daging kerbau sembelihan. Sebelum dipotong hewanhewan itu, lazimnya 2 (dua) ekor kerbau dan seekor kuda, oleh pemimpin upacara diberi kelapa harum di telinganya sambil diriingi pengucapan mantra. Hari ke-6 (enam) ialah lodo pemo, hari pembersihan dan penutupan dinding anjungan. Dilanjutkan dengan memakan makanan sisa. Sedangkan haru ke-7 (tujuh), hari terakhir, diisi dengan memaku erat-erat, raje pebare, dan memaniskan semua tempat yang telah digunakan untuk upacara dengan menyirami dengan air gula lontar. Mantra yang diucapkan selain memohon berakhirnya
75
Gambar diambil dari dari buku Nico, L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983), hal.29
48
kematian buat rumah itu juga sekaligus buat pemeberkahan bagi seisi rumah yang ditinggal si mati.
Analisa : Dari penjelasan diatas, jelas terlihat ada banyak sekali proses atau ritual yang dilakukan jika ada anggota keluarga yang meninggal. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk orang yang telah meninggal tetapi juga bagi keluarga yang ditinggalkan. Dari pihak keluarga yang masih hidup diperlukan tindakan ritual agar yang anggota keluaga yang sudah meninggal terjamin keadaannya “di alam sana” dan pihak yang hidup tidak dilanda “pengaruh buruk” (baik itu perasaan dan kehilangan identitas, atau mendapat gangguan roh si mati) akibat suatu kematian melainkan memperoleh berkat.76 Dalam tahapan ritual untuk Made Nata (mati manis), terdapat lima bentuk upacara yang dapat dipilih oleh keluarga. Penetapan jenis upacara yang dilakukan tergantung pada potensi ekonomi keluarga dari yang meninggal tersebut dan hubungan antara orang yang meninggal dengan sanak saudara, handai taulan dan kenalan baik atau tidak. Dari sini terlihat bahwa hubungan atau relasi yang baik antara sesama manusia sangat diperhitungkan. Hal ini dikarenakan pandangan masyarakat Sabu tentang hakikat manusia sebagai makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri sehingga membutuhkan pihak lain seperti, manusia lain, alam serta kekuatan gaib sehingga relasi yang baik antar sesama manusia sangat diperhatikan. Dari kelima bentuk upacara yang dilakukan terdapat persamaan tindakan pertama dalam memulai proses ini, yaitu jenazah diberi minum ai lango jara (air minum perjalanan). Penulis melihat hal ini dikarenakan arti atau makna kematian bagi orang Sabu adalah sebuah perjalanan menuju alam gaib untuk berkumpul dengan para leluhur. Arwah 76
Ninik Dwiyantu S., Pengaruh Adat Tionghoa di Sekitar Kematian dalam Kehidupan Bergereja- Skripsi (Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana, 1990) hal. 30
49
orang yang meninggal tidak langsung akan berkumpul dengan para leluhur karena arwah para leluhur tidak berada di pulau Sabu tetapi di Yuli Haha (tanjung Sasar) dekat pulau Sumba. Oleh karena itu perlu di beri minum ai lango jara untuk bekal menuju alam gaib. Sama halnya ketika keluarga memberi satu uang koin (logam) ke mulut jenazah, ataupun memakaikan pakaian adat yang bagus serta didalam petinya ditaruh sarung ataupun selimut, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memberi bekal bagi orang yang telah meninggal untuk digunakan di alam gaib. Dalam budaya Sabu, biasanya ada yang masih memberikan atau menyediakan makanan bagi orang yang telah meninggal, hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa orang yang sudah meninggal itu masih ada. Jika ada anggota keluarga yang bermimpi bertemu dengan orang yang telah meninggal maka keluarga merasa ada yang ingin disampaikan oleh orang yang telah meninggal itu atau merasa bahwa orang yang telah meninggal tersebut sedang merasa lapar sehingga perlu diberi atau disediakan makanan. Dalam budaya Sabu, yang membawa satu barang atau hantaran bagi orang yang meninggal biasanya per satu desa bukan perorangan. Hal ini berbeda dengan kebudayaan orang Sabu yang telah tinggal diluar Sabu. Mereka biasanya membawa hantaran secara pribadi bukan kelompok. Pada waktu dilakukan pemotongan hewan yang merupakan hantaran dari keluarga, maka bagian kepala, dada dan isi perut di bawa kembali oleh tuan atau pemilik binatang, sedangkan sisanya diberikan kepada keluarga yang berduka. Barang atau hewan antaran dari keluarga atau kenalan akan dicatat sehingga ketika keluarga tersebut mengalami pesta atau acara lain termasuk kematian maka akan “dibalas” kembali oleh keluarga yang telah diberikan hantaran tersebut. Barang yang dibawa tidak harus sama baik jumlah atau pun jenisnya, tetapi hal ini dilakukan agar saling mengingat satu sama lain atau biasa disebut sistem balas jasa, sehingga apa yang kita lakukan kepada orang lain, maka hal itu yang akan di tambahkan pada kita.
50
Dalam buku Dunia Orang Sawu, Kana mengatakan bahwa kubur orang yang mati secara wajar ialah dibawah kolong balai-balai tanah atau disebut Kelaga Rai. Bila lelaki, maka kuburannya ditempatkan di bagian anjungan (depan), sedangkan perempuan dikubur di bagian buritan (belakang). Liang kubur bagi kematian manis berbentuk lubang melingkar. Jenazah dibaringkan pada sisi badan dengan lutut tertekuk ke dada, bagian depan jenazah lelaki diarahkan ke barat sedangkan perempuan ke timur. Hal ini melambangkan keadaan manusia di dalam rahim ibu, karena tanah merupakan lambang sosok seorang ibi. Adapun kuburan untuk kematian asin berbentuk persegi empat, terletak memotong arah panjang rumah di bagian sisi anjungan. Jenazah orang mati asin dikubur terlentang dengan kepala terletak kearah bagian depan rumah yang dipilin sedemikian rupa sehingga wajahnya menghadap ke bawah.77 Jika berbicara tentang kuburan orang Sabu yang sederhana dan berada di bawah beranda rumah serta tidak banyak ornamen atau penanda yang menandakan adanya kuburan, penulis menilainya sebagai sebuah sikap sederhana sehingga mereka tidak menghias kuburnya dengan banyak ornamen. Selain itu adanya anggapan bahwa orang mati tersebut masih ada bersama-sama dengan keluarga sehingga mereka menguburnya di bawah beranda rumah agar sosoknya dirasa tetap tinggal bersama dengan mereka. Hal ini berpengaruh pada tindakan mereka yang masih memberikan makan untuk orang yang meninggal karena dianggap orang tersebut masih ada bersama-sama dengan mereka. Pada penjelasan-penjelasan diatas jelas terlihat bahwa adanya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Namun sebelumnya penulis ingin memaparkan sedikit tentang kedudukan perempuan dalam kehidupan orang Sabu. Dalam pandangan Orang Sabu, perempuan ternyata memiliki tempat yang tinggi.78 Mereka sering mengumpamakan
77 78
Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983) , hal.58 Ibid, hal. 23-24
51
matahari sebagai laki-laki sedangkan perempuan sebagai bulan, ataupun bumi sebagai lakilaki dan laut sebagai perempuan. Dalam pembagian kerja yang berdasarkan jenis kelamin di Sabu pada hakikatnya bukan karena laki-laki lebih tinggi kedudukannya daripada pihak perempuan, akan tetapi yang ingin ditonjolkan dengan adanya pembagian kerja adalah sifat keduanya saling melengkapi satu dengan yang lain, sehingga bersifat sederajat dan selaku teman sekerja. Hal ini sama dengan ajaran Kristen tentang kedudukan perempuan dan laki-laki dalah hal rumah tangga bahwa suami dan istri memiliki hubungan yang setara atau sebagai mitra kerja. Padahal pandangan orang Sabu tentang kedudukan perempuan telah ada jauh sebelum mereka mengenal agama Kristen. Penulis melihat adanya kesamaan antara ajaran orang Sabu dan ajaran agama Kristen. Bagi orang Sabu yang sudah tidak menetap lagi di pulau Sabu, biasanya tidak lagi melakukan ritual tersebut secara penuh. Mereka biasanya hanya melakukan ritual Huhu Kebie, “memberi makan” orang yang telah meninggal, atau pun menutupi jenazah dengan sarung (perempuan) dan selimut (lelaki) sesuai dengan strata sosial keluarga masingmasing. Ada pun yang masih memberikan sarung, selimut atau pun pakaian ke dalam peti jenazah sebagai bekal di dunia gaib. Dari pemaparan diatas juga dapat diidentifikasi bahwa pendampingan pastoral tidak hanya dilakukan oleh orang yang telah ahli atau profesional tetapi pendampingan pastoral lebih luas maknanya yaitu dapat dilakukan oleh siapa saja (orang Kristen) yang mau membantu orang lain baik yang ada didalam komunitas atau lingkungannya atau pun yang tidak. Hal ini dikarenakan pendampingan pastoral terutama mengacu pada semangat, tindakan, memedulikan dan mendampingi secara generik. Selain itu juga, jika kita melihat ritual yang dilakukan pada suku Sabu maka terlihat hampir sama dengan masyarakat tradisioanal lainnya, yaitu semua orang dalam lingkungan
52
atau komunitas terbesar atau dalam masyarakat dan komunitas terkecil atau keluarga inti dapat melakukan pendampingan. Jadi mereka saling menguatkan satu dengan yang lain sehingga keluarga yang berduka tidak merasa sendiri dalam kedukaannya, karena ada banyak orang yang memperdulikan kesedihannya. Oleh karena itu penulis ingin melihat bahwa sikap memedulikan sangat penting manfaatnya bagi orang yang sedang mengalami krisis. Sikap ini merupakan jalan masuk bagi seseorang yang ingin melakukan pendampingan pastoral. Hal ini di dapat penulis ketika melakukan observasi atau wawancara terhadap beberapa informan. Mereka sangat merasakan perhatian yang besar dari keluarga dan teman yang datang menunjukkan rasa peduli mereka terhadap kedukaan orang yang berduka sehingga mereka tidak berlama-lama dalam kedukaannya. Dari kelima jenis upacara tersebut yang telah dipaparkan diatas, maka terlihat bahwa ada makna pendampingan pastoral tidak langsung yang dilihat oleh penulis. Berikut ini akan dipaparkan beberapa temuan penulis tentang adanya makna pendampingan pastoral pastoral tidak langsung dalam ritual adat yang dilakukan, yaitu: 1) Menyembuhkan (Healing), yaitu suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Penulis melihat fungsi ini didalam proses yang ada dalam ritual kematian suku Sabu. Seperti dalam ritual Huhu Kebie, dimana selain mengucapkan silsilah keturunan dari orang meninggal juga ada syair yang menunjukan bahwa hidup harus terus berlanjut sehingga tidak usah bersedih terlalu lama. Menurut penulis dalam ritual ini, keluarga mendapatkan fungsi pastoral menyembuhkan dari orang yang bisa melakukan ritual huhu kebie, karena secara tidak langsung dapat orang yang melantunkan syair itu telah memberikan semacam motivasi untuk terus
53
melanjutkan hidup karena kita yang hidup telah hilang ketergantungan dengan orang yang telah mati. 2) Menopang (Sustaining), yaitu suatu fungsi pastoral yang menolong orang yang “terluka” untuk bertahan dan melewati suatu keadaan yang didalamnya terdapat pemulihan terhadap kondisi semula. Penulis melihat hal ini lewat kedatangan keluarga, kenalan dan handai taulan yang datang secara bersama-sama. Secara tidak langsung memberikan fungsi pastoral menopang agar keluarga yang berduka dapat bertahan di dalam masa berkabungnya. 3) Dalam ritual ini, penulis juga melihat fungsi memberdayakan (empowering) yang oleh Totok S. Wiryasaputra dalam buku Ready to Care79 adalah untuk membantu orang yang didampingi menjadi penolong bagi dirinya sendiri pada masa depan ketika menghadapi kesulitan kembali. Bahkan, fungsi ini juga dipakai untuk membantu seseorang menjadi pendamping bagi orang lain. Hal ini tampak dalam keseluruhan ritual kematian yang dilakukan, yaitu bahwa orang yang datang ke rumah duka dan melihat ritual tersebut dilakukan maka mereka melihat dan menyaksikan sendiri bahwa keluarga yang berduka di bantu oleh kelompoknya untuk bisa bertahan dalam masa berduka dan ada rasa kekeluargaan yang tampak sehingga ketika kedukaan itu terjadi pada mereka, mereka telah mengetahui cara untuk bertahan dikala duka dan bisa memakai beberapa makna dari ritual ini untuk membantu orang lain yang sedang berduka.
b) Made Haro (Mati Asin) Dalam jenis Made Haro (mati asin), maka akan diterima dengan menggunakan adat, yaitu dengan menggunakan genua bawang putih dan gula Sabu. Orang yang melayat pun
79
Totok S. Wiryasaputra, Ready to Care., 92-93
54
tidak diperbolehkan makan makanan di tempat orang yang meninggal, karena jika dilanggar maka akan ada dampak yang ditimbulkan seperti hewan ternak yang akan mati secara tibatiba.80 Made Haro atau mati tidak layak, contohnya kematian yang disebabkan karena kecelakaan, yang meninggal karena bersalin dan lain-lain sehingga harus segera dikubur. Oleh karena hanya orang-orang tertentu yang boleh melayat. Orang yang melayat akan menerima makanan dari luar dan 3 (tiga) hari 3 (tiga) malam baru boleh kembali dari rumah. Yang mengatar makanan hanya boleh mengantar makanan sampai di depan Darra Roe atau pintu gerbang saja. Mayat orang yang mati karena kecelakaan, dikuburkan diluar rumah dan bentuk kuburannya persegi panjang. Upacara ini disebut "Rue", sedangkan pada upacara kematian orang yang meninggal secara lazim atau biasa, mayatnya dibungkus dengan selimut adat dan dikuburkan dalam posisi jongkok dengan dibekali bahan makanan, sirih dan buah pinang.81 Dalam budaya orang Sabu, jika yang meninggal adalah orang tua, maka pestanya akan sangat mewah apabila di bandingkan dengan anak muda. Hal ini dilakukan untuk memberikan penghormatan kepada yang meninggal. Jika yang meninggal adalah trurunan raja atau para bagsawan maka acara kematian bisa dilakukan sampai 3 (tiga) bulan atau 1 (satu) tahun. Dalam budaya orang Sabu, ada proses dari ritual yang dilakukan adalah menangis sambil melantunkan syair yang disebut Huhu kebie yang adalah cerita tentang silsilah keluarga (keturunan). Orang yang melakukan Huhu kebie adalah orang yang secara kodrati atau alamiah dapat melakukannya atau yang biasa disebut dengan istilah karunia. Biasanya dilantunkan oleh dua atau lebih orang. 80
Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul
16.30 WITA 81
http://orangsabu.wordpress.com/2011/04/07/38/
55
Pada waktu meratapi jenazah, orang yang melakukan Huhu kebie akan dibungkus atau ditutupi dengan kain atau mereka menyebutnya dengan kata selimut. Dalam Huhu kebie, silsilah yang dilantunkan adalah garis keturunan ibu dan bapak. Silsilah yang dilantunkan biasanyanya sangat panjang, dimulai dari silsilah orang yang meninggal sampai pada turunan yang pertama.
82
Orang coba susun silsilah tapi tidak mengetahuinya secara pasti atau persis,
mereka bisa mendapakan kesialan atau celaka.83 Dalam budaya Sabu, jika suami dari saudara perempuan meninggal, maka setelah acara penguburan, pada malam harinya saudara laki-laki dari perempuan atau istri dari suami yang meninggal, dapat meminta agar saudara perempuanya dibawa pulang
mengikuti
mereka. Akan tetapi jika anak-anak mereka tidak setuju maka mereka akan berkata, “Mama punya air susu belum kering, jadi kita masih mau mama ada bersama-sama dengan kita”, artinya mereka masih membutuhkan kasih sayang dari ibu mereka. Sedangkan bagi keluarga dari suami yang telah meninggal itu akan berkata, “kita ambil dia (ibu/istri) dengan baik-baik, maka jika dia sedang mengalami masalah dan kehilangan, kita tidak bisa melepaskan dia begitu saja”. Hal ini wajib dilakukan karena merupakan aturan adat. Jika orang Sabu yang meninggal di luar pulau Sabu, maka akan dibawa rambut dari orang yang telah meninggal, namun sekarang barang yanga dibawa bisa berupa foto atau pun pakaian. Ritual ini disebut Ru’ Ketu. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kepada keluarga di Sabu bahwa salah satu anggota keluarga mereka ada yang telah meninggal. Selain itu
82
Hasil wawancara dengan WD (66 tahun), pada hari rabu, 19 Oktober 2011, pukul 09.000 wita, di kediaman
bapak WD) 83
Hasil wawancara dengan bapak DTB (40 tahun), pada 15 Januari 2012, di kediaman bapak DTB, pada pukul
10.00 WITA
56
dalam budaya Orang Sabu, setiap orang Sabu adalah milik tanah Sabu. Di manapun dia bepergian wajib baginya untuk kembali ke kampung halamannya. Penjemputan terhadap Ru’ Ketu dilakukan dengan menggunakan adat. 84 Dalam buku Dunia Orang Sabu (Nico L. Kana), disebutkan pula tentang proses ritual bagi Made Haro. Jika misalnya kematian asin ini karena korban jatuh dari pohon lontar, maka ia diangkut dengan tandu yang terbuat dari pelepah lontar yang disebut kelaga apa (balai-balai pelepah) ke kampung. Para pengiring jenazah, di sepanjang jalan menyanyikan nyanyian Hida Ngara, Rai (Seruan Nama Tuhan) menabur-naburkan biji jagung dan kacang hijau. Penanduan secara demikian itu dibolehkan jika kematian itu terjadi sesudah dilakukan upacara penutupan tungku masak gula lontar, yaitu upacara yang menandai berakhirnya masa kegiatan kerja yang dianggap penting dan kritis. Apabila kematian asin ini terjadi pada masa kegiatan memasak gula, maka penanduan korban ke kampung tidak boleh dilakukan sambil menyanyi seperti disebutkan tadi. Cara memasukkannya di kampung pun berbeda. Bukan lewat gerbang kampung akan tetapi melangkahi pagar karang. Ini disebut lila lau paga biri (terbang pagar langkahi pagar). Pada hari ke-3 (tiga) diadakan lagi upacara “memaniskan” namun dipimpin Deo Rai. Juga buat dia diserahkan 7 (tujuh) ekor hewan rumah. Ia disambut dengan suguhan sirih pinang. Di rumah almarhum dipotong pula seejor babi untuk makan bersama warga atau disebut senga’a pana. Babi yang disembelih itu disebut wawi luna nyiu nata (babi keramas manis). Dengan ini keadaan wajar dikembalikan lagi di antara mereka. Upacara yang kemudian menyusuli ialah seperti yang ada pada kematian biasa, yakni membersihkan, kemudian haga, diteruskan dengan “memaku rumah”. Dengan demikian lengkaplah mati asin itu menjadi mati manis.85
84
Hasil wawancara dengan WD (66 tahun), pada hari rabu, 19 Oktober 2011, pukul 09.000 wita, di kediaman
bapak WD. 85
Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983) , hal. 68-73
57
Analisa : Dalam ritual kematian suku Sabu untuk jenis mati asin (made haro), penulis melihat adanya fungsi pastoral : 1) Menyembuhkan (Healing), yaitu suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Hal ini jelas terlihat dari keseluruhan proses mati asin (made haro), yang adalah mati secara tidak wajar atau karena kecelakaan sehingga mereka melakukan ritual “memaniskan” kembali keadaan yang telah rusak agar orang telah meninggal tersebut dapat diterima untuk berkumpul dengan para leluhur di alam gaib. Selain itu juga dapat memberikan “kesembuhan” secara batin yang terluka akibat kematian anggota keluarga secara tidak wajar serta menormalkan segala hal yang telah “asin” ke keadaan semula. 2) Mendamaikan (Reconciling), yaitu suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan Allah. Hal ini menurut penulis karena hubungan manusia dan sesama serta Tuhannya telah terluka akibat kematian yang tidak wajar sehingga dalam segala bentuk ritual mati asin (made haro) dilakukan proses memaniskan kembali ke keadaan semula sehingga hubungan atau relasinya dapat tejalin lagi.
58
Gambar 6. Tetangga dan Kerabat berdatangan ketika terjadi kematian86
Disini juga terlihat bahwa manusia adalah
makhluk makhluk sosial yang hidup saling
membutuhkan satu sama lain dan memiliki relasi tidak hanya dengan sesama, tetapi juga dengan alam dan Tuhan. Sehingga hubungan baik itu harus terus terjaga sehingga apapun keadaan yang menimpa kita ada banyak tangan yang datang menolong. Seperti pada penjelasan di bab II (dua) terlihat bahwa manusia memiliki empat aspek utama, yaitu aspek fisik, aspek mental, aspek spiritual dan aspek sosial yang ada dalam dirinya. Dari sini kita dapat melihat bahwa semua aspek harus diperhatikan secara baik sehingga keberadaan manusia yang satu dengan yang lain saling melengkapi. Dengan menyadari ini maka manusia dapat menolong satu dengan yang lain. Sama halnya dengan adat mereka yang tidak memperbolehkan orang yang datang
melayat untuk tidak makan di tempat atau rumah duka selain karena takut sial, adat ini menurut penulis mereka mementingkan atau mempedulikan satu sama lain agar tidak mendapatkan kesialan yang sama. Disini terlihat bahwa sikap memperdulikan satu sama
lain begitu jelas terlihat. Akan tetapi bukan berarti dengan tidak membiarkan orang lain ikut 86
Gambar diambil dari dari buku Nico, L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983), hal.28
59
sial, mereka membiarkan orang yang meninggal tidak diurus karena takut sial tetapi mereka tetap melakukan setiap prosesnya agar kematian yang tidak wajar tersebut dapat dimaniskan kembali agar dapat diterima dengan baik oleh para leluhur dan mempermudah jalan menuju alam gaib.
3. 2. 2. Pemau Do made, meretas jalan menuju nirwana
Gambar 7. Upacara Pemau Do made87 Upacara yang dilakukan keluarga bagi orang yang telah meninggal agar dapat menuju nirwana.
Setelah rangkaian ritual yang telah di paparkan diatas bukanlah akhir dari ritual yang dilakukan keluarga yang telah kehilangan anggota keluarganya karena kematian. Keluarga yang berduka masih harus melakukan ritual agar arwah anggota keluarga yang meninggal dapat dengan damai sampai ke dunia gaib. Untuk itu maka setiap orang sabu yang meninggal dunia dipercayakan rohnya akan melenggang ke nirwana atau surga apabila telah dilakukan penyucian arwah atau Pemau Do Made bagi orang yang telah meninggal tersebut. Untuk melakukan ritual ini maka dibutuhkan dana yang cukup besar karena akan membunuh korban sembelihan mulai dari ternak kecil hingga ternak besar, tergantung dari dari strata sosial sesorang.
87
Gambar diberikaan bapak JRG, pada pada 24 Mei 2012, pukul 08.30 PM
60
Ritual penyucian arwah harus dilakukan pada bulan tertentu sesuai dengan kalender adat dan perputaran bulan, yaitu dilakukan pada hari ke enam setelah buan purnama pada bulan kedelapan tahun masehi setiap tahunnya. Orang yang meninggal dalam sebuah kampung adat tertentu yang diikat oleh kekerabatab dan hirarki suku akan melakukan ritual penyucian arwah secara serentak. Ritual ini akan dilakukan atas kesepakatan semua keluarga dari setiap orang yang meninggal dunia karena ini menyangkut dengan dana yang besar yang akan dihabiskan. Ritual ini tidak dilakukan setiap tahun, bisa lima tahun sekali atau lebih. Ritual akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Pada hari pertama adalah hari dimana semua keluarga dari orang yang meninggal akan berkumpul. disini semua kerabat serta orang yang berasal dari kampung tersebut akan berkumpul dengan membawa masing masing ternak dan makanan berupa beras atau kacang hijau. Kaum perempuan bertanggungjawab untuk mengumpulkan makanan berupa beras sementara para lelakinya bertanggungjawab mengumpulkan ternak. Setelah semuanya berkumpul maka pada hari kedua akan dilakukan ritual penyucian bagi setiap orang yang telah meninggal di kuburan mereka masing-masing yang ditandai dengan batu. Kuburan orang mati yang masih menganut aliran jingitiu berbentuk bulat seperti sumur dimana orang yang meninggal akan di ikat berbentuk bulat lalu dikuburkan. Dihari kedua ritual setiap keluarga dari yang meninggal seperti anak istri atau kakak-adik dan ibu bapaknya akan memakai pakaian adat dengan motif tertentu sesuai dengan stratanya. Mereka akan diterima oleh orang yang paling dituakan dalam kampung dengan memangku mereka masing-masing sambil melafalkan bahasa adat yang keramat. Bahasa tersebut intinya agar yang telah meninggal tidak boleh lagi mengganggu keluarga yang masih hidup akarena mereka akan disucikan jalanya menuju nirwana. Dengan demikian maka mereka sudah berbeda alam dengan dunia orang hidup. Ritual ini ditandai dengan memasak dalam satu periuk berbagai jenis makanan mulai dari beras merah,kacang
61
hijau,kacang hitam beras ketan, atau pun sorgum. Yang memasaknya pula adalah wanita wanita tua dengan tidak boleh berbicara. Setelah itu maka para lelaki telah menyiapkan seoekor domba putih dipintu luar kampung sebelah barat untuk dipotong
menjadi dua. Pemotongan domba putih ini
dinamakan Ki,I Pe Aki sebagai lambang penyucian bagi arwah yang akan disucikan. dengan darah itu mereka akan meretas jalan menuju nirwana. Domba putih yang dipotong menjadi dua ini adalah lambang persembahan dan kurban bakaran bagi sang khalik sebagai tanda penyucian bagi mereka yang telah meninggal. Binatang korban ini tidak boleh dimakan oleh orang yang satu suku dari orang yang ada dalam kampung tersebut karena itu akan mendatangkan malapetaka. Pada malam hari kedua bagi orang mati yang meninggalkan istri atau sumai akan dilakukan ritual khusus dimana mereka akan berpakaian putih-putih dibungkus dari kaki hingga kepala menyerupai pocong. mereka kemudian dibawa keluar kampung pada tengah malam dengan nyanyian adat dan tangisan ratapan menuju tempat pembuangan barang barang yang kotor dan berdosa. Setelah dari situ mereka akan dimasukkan kerumah adat kemudian disucikan dengan air dan asap dupa. Pada hari ketiga pagi harinya akan dilakukan prosesi bunuh binatang untuk dibagikan kepada setiap orang yang datng membawa sumbangan baik it berupa ternak, beras atau uang. Ratusan binatang akan dipotong kemudian dibagikan dalam sebuah tempat yang dalam bahsa sabi di sebut pai. Pembagian daging korban kepada setiap orang berdasarkan besarnya bawaan mereka. seperti yang bawa binatang maka dia memperoleh daging yang lebih banyak dan seterusnya. Pada malam hari ketiga akan dilakukan kegiatan yang mengekspresikan kegembiraan berupa permaian lompat alu atau permainan bambu gila (kalau dipulau ambon). Selain itu ada juga tarian pedoa yang dilakukan secara massal dalam kampung. Kendati
62
demikian ritual penyucian arwah ini akan dikatakan genap dan selesai setelah tiga kali purnama setelah ritual penyucian yang disebut dengan dabo rao. Dalam acara tersebut binatang yang sisa yang belum dibunuh akan dibunuh untuk dimakan beramai ramai Oleh keluarga sebagai tanda suka cita bahwa keluarga mereka telah tiba dinirwana setelah mereka yang hidup meretas jalanya menuju nirwana lewat prosesi atau ritual sakral pemau do made. Di zaman modern seperti sekarang ini, maka untuk melaksankan sebuah ritual penyucian arwah maka masyarakat sudah banyak yang hanya memberi sumbangannya dalam bentuk uang tunai dan tidak berupa binatang lagi. Uang yang di sumbangkan akan dicacat dan digunakan untuk membeli ternak buat di sembelih. Binatang tersebut nantinya akan dibunuh dan dibagikan kembali kepada setiap orang yang datang membawa sumbangan baik berupa, ternak, makanan atau uang. 88
Analisa : Sama halnya dengan ritual untuk mati manis dan mati asin, ritual peamu do made juga nampak sikap saling memperdulikan satu sama lain, walaupun anggota keluarganya telah meninggal cukup lama tetapi mereka tetap mengurusi arwahnya agar perjalanannya mulus sampai ke sorga. Bagi penulis, dengan melakukan berbagai ritual ini orang-orang yang melakukannya juga secara tidak langsung mempersiapkan orang lain agar dapat melakukan hal yang sama dengan yang mereka lakukan agar ketika ada anggota keluarga lain yang mengalami kedukaan mereka dapat melakukan hal yang sama. Dengan kata lain fungsi memberidayakan nampak di sini. Oleh karena itu pandangan orang Sabu tentang manusia sebagai makhluk sosial sangat nampak pada ritual ini. Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang
88
Berdasarkan wawancara via email dan telpon dengan bapak JRG, pada 15- 25 Mei 2012
63
berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia. Sejak awal kelahirannya adalah sebagai makhluk sosial (ditengah keluarganya). Makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sebagai individu, manusia dituntut untuk dapat mengenal serta memahami tanggung jawabnya bagi dirinya sendiri, masyarakat dan kepada Sang Pencipta. Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak. Dengan bantuan orang lain, manusia bisa menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya. Dalam keseluruhan ritual kematian suku Sabu tersebut, juga terlihat nilai-nilai luhur dalam kehidupan, antara lain: a. Religius. Nilai ini tercermin dari ajaran kepercayaan orang Sabu yang menekankan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, penguasa kehidupan manusia. b. Sosial. Nilai ini tercermin dari ajaran keyakinan yang menekankan pentingnya berperilaku baik dalam kehidupan sosial, sesuai perintah Tuhan. c. Harmoni masyarakat. Pengaturan masyarakat yang diperintahkan Tuhan serta pembentukan organisasi masing-masing penghayat semakin menguatkan harmoni kehidupan sosial masyarakat. d. Melestarikan tradisi. Hal ini merupakan wujud nyata dari ketiga nilai luhur yang telah disebutkan diatas sehingga tradisi harus tetap dilestarikan.
64
3. 3. Pendampingan Pastoral oleh Pejabat Gereja Berdasarkan hasil wawancara secara langsung atau pun melalui sambungan telepon, penulis mendapatkan informasi tentang makna pendampingan pastoral yang
terkandung dalam ritual kematian suku Sabu serta bagaimana proses pendampingan pastoral yang selama ini mereka lakukan. Hal ini dirasa penting oleh penulis karena dapat memberikan saran kepada para pejabat gereja agar mengetahui kekurangan dan kelebihan
pelayanan mereka selama ini, sehingga mereka dapat melakukan pendampingannya secara efektif. Menurut ibu AW, pendampingan pastoral adalah situasi dimana seseorang yang
memiliki jabatan gerejawi akan memberi nasihat, pandangan dan saran-saran. Selama ini, beliau melakukan proses pendampingan pastoral bagi keluarga yang berduka adalah dengan beberapa tahap, seperti : a) Berdoa bersama dengan keluarga yang sedang berduka. b) Memberi penghiburan dan kekuatan bagi yang berduka. c) Menolong, memberi dukungan dan menyemangati orang yang sedang berduka. d) Mendengarkan, serta berusaha untuk menenangkan orang yang berduka serta mau memberi pertolongan praktis. Menurut beliau, selama menjalani tugas pastoralnya sebagai penatua, ia memakai budaya orang yang didampingi untuk membantu dalam proses pendampingan pastoral
seperti pemakaian bahasa sesuai dengan asal keluarga yang berduka. Masih menurut beliau, ada dampak yang dirasakan keluarga dengan dilakukan ritual tersebut, yaitu keluarga merasakan ada sebuah kekuatan bagi dirinya lewat perhatian dari orang-orang melayat yang ikut menangis di depan mayat dan ikut melakukan ritual itu. Di dalam ritual tersbut itu ada
65
makna pendampingan pastoral yaitu memberi kekuatan bagi yang berduka.89 Bagi ibu Pdt. N.N LG, pendampingan pastoral itu penting, agar supaya langkahlagkah pastoralnya dapat dilaksanakan dengan baik sehingga persoalan yang sedang
ditangani dapat bisa diselesaikan. Menurut beliau, ada makna pendampingan pastoral dalam budaya Sabu, ada budaya yang tidak sesuai dengan iman kristiani dan karena itu perlu pendampingan pastoral pastoral agar iman kristiani tidak dipengaruhi oleh budaya atau dicampur adukan dengan budaya, misalnya saat kematian selama jenasah ada yang tidak
boleh menyapu rumah, ini kebiasaan yang sudah membudaya sekaligus keyakinan bahwa nanti aka ada yang menyusul (meninggal), pastoralnya kita memberikan pemahaman bahwa hidup dan mati kita tidak ada hubungannya dengan kebiasaan itu tapi bergantung pada
Tuhan, selain itu alasan lain yang bisa di berikan yaitu tentang kebersihan rumah.Proses pendampingan pastoralnya lewat pemberitaan firman saat ibadah penghiburan dan saat
ibadah pemakaman atau lewat percakapan-percakapan khusus dengan keluarga atau dengan jemaat, dengan memberi pemahaman kristiani berdasarkan firman Tuhan terhadap kebiasaan
yang sudah membudaya.90 Menurut
Bapak RLR, pendampingan pastoral merupakan bagian dari tugas
seorang pendeta atau majelis dalam mmemberikan dukungan ataupun membantu
menyelesaikan persoalan yang dihadapi setiap jemaatnya. Selama ini pendampingan pastoral yang dilakukan seperti datang berkunjung ke rumah duka, berdoa bersama, memberikan penghiburan dan kekuatan lewat ibadah penghiburan dan lewat perbincangan dengan
keluarga yang berduka. Beliau memakai budaya orang yang berduka seperti misalnya yang berduka adalah orang Sabu maka saya akan mrnggunakan bahasa sabu dan memberikan
89
Hasil wawancara dengan ibu AW (52 tahun, panatua), pada pada 20 Februari 2012, di kediaman Ibu AW,
pada pukul 11.00 WITA 90
Hasil wawancara via telpon dengan ibu Pdt. N.N LG (51 tahun), pada 31 Mei 2012, pada pukul 16.00 WIB
66
nasihat-nasihat yang berdasarkan kehidupan keluarga tersebut. Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis,
Bapak RLR merupakan orang
Sabu, maka beliau melihat ada dampak dari ritual yang dilakukan seperti keluarga merasa di perhatikan oleh saudara sesukunya dan merasa ada nilai kekeluargaan yang sangat kental.
Beliau juga melihat ada makna pendampingan pastoral yang terkandung dalam ritual itu seperti, mendampingi, memberi kekuatan dan menasehati keluarga yang berduka.91 Menurut ibu RWG, pendampingan pastoral adalah proses membantu orang yang sedang mengalami persoalan sehingga persoalan tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Selama ini pendampingan pastoral yang dilakukan bagi orang yang sedang mengalami keduakan adalah dengan memberikan kekuatan dan rasa belasungkawa ketika datang
melayat dan memberikan kekuatan lewat firman Tuhan dalam ibadah penghiburan sehingga keluarga yang berduka mendapat kekuatan dari kita. Masih menurut ibu RWG, selama ini jika orang yang berduka adalah orang dari suku sabu yang sama dengan saya maka akan lebih mudah proses pendekatan dan dilakukan
pendampingan pastoral. Selain itu jika orang yang berduka adalah orang yang kita kenal baik maka akan sangat mudah pula melakukan pendekatan karena memiliki kedekatan
secara emosional. Ritual adat yang dilakukan, biasanya ada dampak seperti nilai-nilai kekeluargaan dan kepedulian satu sama lain. Makna pendampingan pastoral pastoral adalah memberi kekuatan dan penghiburan bagi keluarga yang berduka.92 Menurut bapak Pdt. YDHH, pendampingan pastoral berasal dari kata kerja mendampingi yaitu suatu kegiatn menolong yang karena sesuatu sebab butuh didampingi. Berasal dari pastor dalam bahasa Latin atau bahasa Yunani disebut poimen, yang artinya
91
Hasil wawancara dengan Bapak RLR (37 tahun, diaken), pada 22 Februari 2012, di kediaman bapak RLR,
pada pukul 10.00 WITA 92
Hasil wawancara dengan ibu RWG (51 tahun, diaken), pada 22 April 2012, di kediaman ibu Rahel Wahi Ga,
pada pukul 12.30 WITA
67
gembala. Jadi pendampingan pastoral adalah kegiatan menolong orang dalam memberikan jalan keluar terhadap suatu permasalahan.
Selama ini, beliau melakukan pendampingan pastoral bagi orang yang sedang mengalami kedukaan dengan mendatangi secara langsung dan mendoakan mereka. Dalam melakukan pendampingan pastoral, beliau juga menggunakan budaya orang yang
didampingi untuk membantu dalam proses pendampingan pastoral, seperti bercakap dengan bahasa daerah orang yang didampingi (misalnya Sabu atau bahasa timor). Menurut beliau ritual yang dilakukan itu membawa dampak secara materi yaitu keluarga harus berhutang
(dana) untuk melakukan ritual tersebut.93
Analisa : Pada bab II telah dijelaskan bahwa pendampingan pastoral disebut sebagai
pemeliharaan atau penyembuhan jiwa.
Istilah ini sangat kuno dalam gereja dan
mencerminkan suatu pemahaman bahwa seluruh jemaat dipanggil untuk bertumbuh dalam
iman, dan proses pertumbuhan itu haruslah menjadi tugas pemeliharaan dari seluruh umat Kristen.
Dengan demikian, pendampingan pastoral sebaiknya dilihat bukan sebagai
tindakan pertolongan pada saat-saat yang tertentu, tetapi sebagai satu aspek penting yang mewarnai seluruh pelayanan gereja, sama pentingnya dengan kegiatan berkhotbah, melayani sakramen, dan lain sebagainya. Dari wawancara yang penulis lakukan terhadap beberapa informan dari pihak
gerejawi, maka penulis menyimpulkan beberapa hal : 1) Beberapa informan kurang paham tentang makna pendampingan pastoral . Bagi penulis inti dari pendampingan pastoral adalah adanya sikap
93
Hasil wawancara via email dengan bapak Pdt. YDHH, pada 20 Juni 2012
68
memedulikan. Jika sikap peduli telah ada maka dapat dilakukan tahap merawat,
mengasuh, memelihara, mengurus, sama seperti asal kata pendampingan pastoral dalam bahasa inggris
yaitu Caring94
yang dapat diartikan sebagai merawat,
mengasuh, memelihara, dan mengurus sesuatu atau seseorang dengan penuh
perhatian dan kepedulian. Pada hakikatnya, pendampingan pastoral adalah proses perjumpaan
pertolongan antara pendamping dan orang yang didampingi. Perjumpaan itu bertujuan untuk menolong orang yang didampingi agar dapat menghayati keberadaannya dan mengalami pengalamannya secara penuh dan utuh, sehingga
dapat menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk berubah, bertumbuh, dan berfungsi penuh secara fisik, mental, spiritial, dan sosial. Dalam pendampingan pastoral terjadi interelasi dan interaksi antara pendamping dan orang yang
didampingi.95 Penulis melihat ada dua hal yang perlu diperhatikan dari pendampingan pastoral. Pertama, pendampingan pastoral tidak hanya tentang kegiatan mengutip ayat dan memberi nasihat. Pendampingan Pastoral
lebih mengutamakan
percakapan, komunikasi timbal-balik, keprihatinan pendamping terhadap orang yang didampingi, artinya bahwa pendampingan pastoral adalah hubungan atau relasi diantara orang yang mendampingi dan orang yang didampingi. Relasi itu bukan berdasarkan jabatan atau tugas, melainkan atas dasar kasih dalam
persekutuan dalam tubuh Kristus. Kedua, pendampingan pastoral tidak bersifat sementara, atau dengan kata lain pendampingan pastoral tidak hanya dilakukan ketika orang yang sedang
94 95
Totok S.Wiryasaputra, Ready to Care,hal.65 Ibid., hal. 57-58
69
mengalami krisis tetapi sebagai suatu relasi, pendampingan pastoral harus terus berjalan dalam setiap ritme kehidupannya, baik sukacita atau pun dukacita. Pendampingan pastoral seharusnya dilihat sebagai satu aspek yang tetap dalam
kehidupan kita sebagai orang Kristen. Pendampingan pastoral tidak sama dengan pemecahan masalah.
Banyak
pendamping jika berhadapan dengan orang yang bermasalah merasa harus memberikan jalan keluar, kalau tidak dianggap pendampingan pastoral itu gagal. Dalam posisi ini seorang pendamping tidak meringankan penderitaan atau masalah yang sedang dialami orang yang didampingi tetapi membantu mereka mengalami
masalahnya secara utuh dan penuh, sehingga orang yang didampingi merasa berdamai dengan apa yang ia alami dan dapat menemukan jalan keluarnya sendiri,
disinilah letak peran pendamping, yaitu menguatkan atau mendampingi. Kebanyakan informan yang diwawancarai hanya mengetahui bahwa pendampingan pastoral hanya dilakukan oleh pihak gereja, padahal itu dapat dilakukan oleh seluruh jemaat atau warga gereja. Para informan juga kurang
memahami tahap-tahap atau proses yang benar tentang pendampingan pastoral. Hal ini mungkin kurangnya informasi atau pengetahuan yang jelas tentang hal tersebut. Sebenarnya ada tiga tahapan dalam proses pendampingan yang dapat pula
dipakai dalam pendampingan pastoral pastoral, yakni awal (menciptakan hubungan kepercayaan), tengah (anamnesis, sintesis, dan diagnosis, treatment planning, treatment execution, review dan evaluasi), dan akhir (pemutusan hubungan) proses yang utuh dan sempurna. Dengan memakai tahap-tahap tertentu sebagai petunjuk, maka arah dan proses perjumpaan menjadi jelas. Tahap pertama adalah menciptakan hubungan kepercayaan. Dalama hal ini, pendamping berusaha menciptakan kepercayaan, karena pendampingan pastoral
70
berdasar pada hubungan kepercayaan. Tanpa kepercayaan, tidak mungkin
perubahan terjadi. Tahap kedua adalah mengumpulkan data atau anamnesis. Dalam tahap ini pendamping berusaha mengumpulkan informasi, data atau fakta. Pendamping harus mampu mengumpulkan data yang relevan, akurat, dan
menyeluruh (holistik). Tahap ketiga adalah menyimpulkan atau sintesis dan diagnosis. Dalam tahap ini, pendamping diharapkan dapat melakukan analisis data, mencari kaitan antara satu gejala dan gejala yang lain, membuat sintesis dan kemudian menyimpulkan
apa yang menjadi permasalahan utama atau keprihatinan batin pokok yang sedang digumuli oleh orang yang didampingi. Tahap keempat adalah pembuatan rencana tindakan (treatment planning). Dalam tahap ini, pendamping diharapkan membuat rencana pertolongan, seperti tindakan apa yang akan dilakukan, sarana apa yang
akan digunakan, kapan rencana itu dilakukan, bagaimana proses pertolongan dilakukan, teknik apa yang digunakan, dan lain sebagainya. Tahap kelima adalah tindakan pertolongan (treatment execution). Dalam tahap ini, pendamping melakukan tindakan pertolongan yang telah direncanakan. Semuanya dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Satu tahap
berkaitan dan mempengaruhi tahap lain. Tahap keenam adalah review dan evaluasi (review
and
evaluation).
Pendampingan
pastoral
sebagai
usaha
yang
berkesinambungan memerlukan review dari waktu ke waktu dan evaluasi. Evaluasi ini dapat dilakukan untuk menilai kembali, baik proses pendampingan pastoral atau pun hasil akhirnya. Evaluasi dipakai sebagai alat untuk mengambil pelajaran bagi
pendamping
dan
segala
sesuatu
yang
berhubungan
dengan
pelayanan
pendampingan pastoral. Tahap ketujuh adalah pemutusan hubungan (termination). Pendamping perlu
71
mengatur pemutusan hubungan. Secara profesional pendamping harus memutuskan
hubungan pendampingan pastoralnya. Meskipun demikian bukan berarti akhir dari segalanya. Hubungan sosial dengan orang yang didampingi tetap dapat diteruskan.
Tahap-tahap pendampingan pastoral diatas adalah sebagai pedoman umum. Tahaptahap diatas harus disesuaikan dengan konteks krisis yang sedang dihadapi oleh
orang yang mengalaminya sehingga tahapan tersebut dapat berfungsi secara tepat. Berdasarkan wawancara yang dilakukan bahwa tidak semua orang dapat dilakukan tindakan yang sama dalam melakukan pendampingan pastoral. Hal ini
dikarenakan tidak semua orang memiliki masalah dan penerimaan masalah tersebut sama satu dengan yang lain. Oleh karena itu haruslah dilakukan observasi terlebih dahulu baru ditentukan cara mana yang tepat dalam melakukan proses
pendampingan pastoral. 2) Berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan oleh penulis, terlihat bahwa para pekerja gerejawi melakukan pendampingan pastoral hanya pada saat berkunjung untuk berbelasungkawa kepada keluarga yang berduka, lewat ibadah penghiburan, ibadah penguburan, dan ibadah ucapan syukur saja. Padahal belum
tentu rasa duka bisa berkurang atau hilang dengan adanya penghiburan secara singkat itu. Apalagi biasanya ibadah penghiburan dan ibadah ucapan syukur tidak dilakukan oleh pendeta, biasanya dilakukan oleh majelis, pelayan magang ataupun
vikaris. Hal ini jelas berpengaruh pada masa berduka seseorang. Menurut penulis, pendeta tetaplah merupakan sosok yang di tinggi dalam gereja, sehingga ketika jemaat mengalami masalah, maka orang yang paling ingin ia datang untuk
menghiburnya adalah pemimpin agamanya sehingga ia merasa di pedulikan, tidak hanya disaat senang tetapi juga di saat duka. Penulis juga menambahkan adanya manfaat dari ritual yang dilakukan, yaitu :
72
a. Ada nasihat yang terdapat dalam ratapan yang mereka lantunkan (Huhu kebie) sebagai bentuk ekspresi kedukaan (merasa kehilangan), karena didalamnya juga terdapat pesan untuk terus menjalani hidup bagi keluarga yang ditinggalkan. b. Keluarga yang sedang berduka merasa diperhatikan, karena merasa mendapat perhatian dari sanak saudara dan kenalan yang datang. c. Ada bahasa negatif, tetapi didalamnya terkandung makna positif. Contoh : “sudah tidak ada lagi yang perhatikan saya, hanya babi dan anjing liat biar mereka yang makan saja” d. Ada sosok “Tuhan” yang mereka sembah yang senantiasa menolong mereka di dalam kehidupan ini. e. Jika yang meninggal saudara laki-laki, maka saudara perempuannya dapat hilang ketergantungan pada saudaranya. Hal ini dikarenakan saudara laki-laki bagi seorang perempuan adalah harga diri dan pelindung baginya. Sehingga ketika
saudara laki-laki meninggal, si perempuan harus bisa hidup mandiri, walaupun dalam ratapannya tergambar nada negatif tapi hal tersebut dapat menjadi
kekuatan untuk bertahan baginya Jika kita berbicara tentang suatu kebudayaan tradisional dalam suatu kelompok masyarakat yang telah menganut agama resmi yang diakui pemerintah dalam hal ini adalah agama Kristen, maka penulis melihat dari beberapa informan yang telah diwawancarai maka penulis melihat ada hubungan antara manusia dan kebudayaan. Menurut penulis, manusia itu tidak pernah lepas dari adanya hubungan, dan kehidupan lingkungannya. Hubungan manusia dengan kebudayaan sangat terkait. Hal ini dikarenakan kebudayaan yang menciptakan karakter dari manusia itu. Sesorang yang tingkat kebudayaan dari daerah asalnya tinggal itu cenderung membawa dampak bagi kehidupan sosialnya. Hal ini terlihat dalam budaya Sabu. Orang Sabu yang telah
73
merantau keluar pulau Sabu cenderung masih membawa budaya asalnya ke tempat tinggal yang baru. Dari beberapa informan yang diwawancarai penulis, juga terlihat bahwa orang yang telah tinggal lama di luar pulau Sabu ada yang masih mempertahankan budayanya dan ada yang tidak terlalu “kental” dengan budayanya lagi atau dengan kata lain lebih fleksibel. Akan tetapi mereka tidak secara serta merta membuang ajaran leluhur mereka tetapi ada yang masih tetap melakukan bagian-bagian dari ritual budaya tersebut yang mereka rasakan sangat penting. Hal ini dikarenakn bagi mereka, budaya tersebut membawa dampak positif bagi mereka dan orang lain.
Dari pemaparan diatas, penulis berpendapat bahwa pendampingan pastoral tidak hanya dilakukan oleh pendeta, seperti sesuai dengan akar kata pastoral (poimen). Sesuai dengan perkembangan zaman, bagi penulis pendampingan pastoral juga bisa dilakukan oleh seluruh jemaat yang mau melayani sesama yang membutuhkan bantuan. Istilah pastoral haruslah dimaknai sebagai sesuatu yang harus dimiliki setiap jemaat. Hal ini dikarenakan tugas untuk menyembuhkan, membimbing, menopang, mendamaikan dan memberdayakan pasti salah satunya dimiliki oleh manusia sehingga jika dilatih pastilah dapat melayani dengan lebih efektif dan efisien. Ini dilakukan bukan untuk meringankan tugas pendeta dan majelis tetapi untuk memberdayakan warga jemaat agar mampu menolong orang lain dan dirinya sendiri ketika mengalami masalah, dengan memakai berbagai metode atau teknik dengan panduan Alkitab sebagai dasar dari pendampingan pastoral. Segala bentuk riual yang dilakukan sangat berpengaruh bagi orang yang berduka. Hal ini dikarenakan mereka merasa adanya perhatian dan sikap memedulikan dari orang yang terlibat langsung dalam ritual tersebut. Dari pembahasan pada bab 3 (tiga) terlihat bahwa rangkaian ritual yang dilakukan cukup panjang tergantung dari jenis upacara yang
74
dipilih. Hal ini memungkinkan orang yang berduka terlibat langsung dalam ritual tersebut sehingga dalam menghadapi rasa berdukanya mereka merasa tidak sendirian dalam kesedihannya. Setiap rangkaian ritual kematian yang dilakukan tidak hanya buat orang yang telah meninggal tetapi juga bagi keluarga yang ditinggalkan. Dari pihak keluarga yang masih hidup diperlukan tindakan ritual agar anggota keluaga yang sudah meninggal terjamin keadaannya “di alam baka” dan bisa sampai atau bertemu dan berkumpul dengan arwah nenek moyang. Dari pihak keluarga yang masih hidup tidak dilanda “pengaruh buruk” (baik itu perasaan kehilangan identitas, maupun mendapat gangguan roh si mati) akibat suatu kematian. Penulis juga melihat sikap memedulikan yang sangat berpengaruh ketika seseorang mengalami kedukaan katena kematian orang yang dikasihi. Bagi penulis, sikap ini adalah awal yang tepat untuk siapa saja yang akan melakukan pendampingan pastoral. Selain itu, penulis juga melihat ada beberapa fungsi pastoral yang tampak dari berbagai ritual kematian Suku Sabu, seperti menyembuhkan (Healing), menopang (Sustaining), memberdayakan (empowering), dan mendamaikan (Reconciling). Pandangan orang Sabu manusia adalah makhluk sosial, terlihat seluruh rangkain ritual kematian suku Sabu, tampak sikap saling tolong menolong. Setiap rangkaian ritual apapun yang diadakan pada saat kematian tidak mengakhiri masa berkabung, tetapi dengan adanya bantuan orang-orang lain dalam menyatakan dukacita sangat bermanfaat secara psikis dan melalui waktu berkabung benar-benar bisa menolong setiap orang yang ikut terlibat dalam ritual tersebut ketika menghadapi masa kritis yang akan mereka rasakan juga dalam hidup ini. Kebanyakan informan yang di wawancarai hanya mengetahui bahwa pendampingan pastoral hanya dilakukan oleh pihak gereja, padahal itu dapat dilakukan oleh seluruh jemaat atau warga gereja. Para informan juga kurang memahami tahap-tahap atau proses yang benar tentang pendampingan pastoral. Hal ini
75
mungkin kurangnya informasi atau pengetahuan yang jelas tentang hal tersebut. Mereka terjebak dalam pemahaman bahwa pendampingan itu sama dengan pemberian nasihat. Hal ini mengakibatkan dalam melakukan pendampingan mereka cenderung meberikan solusi terhadap masalah yang dialami orang yang didampingi
76