MAKNA LAMBANG DAN SIMBOL KENTONGAN DALAM MASYARAKAT INDONESIA F. Sumiyati Pendahuluan Suatu tradisi bangsa Indonesia , untuk merayakan peristiwa bersejarah berkaitan dengan kemerdekaan, tepatnya saat detik-detik proklamasi, masyarakat membunyikan kentongan, lonceng gereja, bedug masjid atau sirine. Suasana yang hingar bingar ikut menghantar warga masyarakat yang bergembira, percaya diri, ada harapan untuk hidup lebih layak. Kegenbiraan itu diungkap dengan memukul kentongan. Kentongan selaku alat komunikasi tradisional ikut ambil bagian untuk merdeka. Perlu diamati dan bila mungkin diteliti benarkah kentongan ikut ambil bagian dalam memerdekakan bangsa? Dalam benak penulis muncul serangkaian pertanyaan, apakah generasi muda masih tahu tentang kentongan, makna suara kentongan dan senang berkomunikasi dengan kentongan? Suara sumbang sering terdengar begitu mendengar suara kentongan. Kentongan, ah kuno. Mereka kini terbiasa dengan sarana komunikasi canggih yang serba elektrik, seperti: loud speaker, telepon, H T, H. P. , dll. Mungkin ungkapan di atas cukup beralasan, mengingat kaum muda kini hidup di abad elektronik dan kentongan dianggap kurang efektif untuk berkomunikasi. Dalam masyarakat kiranya masih dikenal kentongan, Di gardu perondan masih tergantung kentongan dengan alat pukulnya, Namun tidak jelas maknanya. Apakah sekedar hiasan pelengkap ataukah masih dipakai untuk komunikasi warga. Kegiatan ”kamling” (keamanan lingkungan) melibatkan warga masyarakat serta perlunya mengetahui tanda-tanda suara kentongan yang berkaitan dengan apa yang terjadi atau berkaitan dengan adat-istiadat masyarakat (Iman Sudiyat, 1987). Di lingkungan masyarakat masih dikenal berlakunya hukum tidak tertulis, di antaranya adat-istiadat. Adat dapat disamakan dengan kebiasaan. Adat dirasa masih diperlukan karena ada unsur kebersamaan dan tuntunan hidupnya. Setelah mengetahui dan memahami maknanya, mungkin suatu saat dapat mengungkapkannya. Dengan demikian warisan budaya nenek moyang beserta segala makna dan pesannya dapat dilestarikan. Masih segar dalam ingatan kita pada tanggal 11 Juni 1983 terjadi gerhana matahari total. Peristiwa itu sangat langka menurut para astronom. Masyarakat di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Sulawesi Selatan dan Irian Selatan dapat menikmati peristiwa langka tersebut. Peristiwa langka itu baru akan dinikmati pada akhir abad XXIII. Untuk mengenang peristiwa langka tersebut PT Aneka Tambang Unit Logam Mulia mengabadikannya dalam medali emas dan perak. Pada medali itu terlukis wajah raksasa Batara Kala yang menelan matahari yang dilengkapi tulisan Kala Rahu Indonesia. Dalam kitab Tantu Pagelaran yang digubah pada tahun Resi Pandawa Buta Dra. F. Sumiyati, adalah alumni Prodi Pendidikan Sejarah FPIPS IKIP-PGRI Wates tahun 1989 dan kini guru SMP Negeri 15 Yogyakarta.
Tunggal (1557 Saka = 1635 Masehi) diceriterakan secara lengkap. Terucaplah para dewata menghadap Batara Parameswara. Kemudian mereka pesta minum air amerta (air kehidupan) yang menyebabkan para dewata luput dari bahaya maut. Daun beringin dijadikan tempat minum. Saat itu raksasa bernama Rahu, menyamar sebagai seorang dewata dan berkumpul bersama dewata lainnya serta turut minum air amerta. Daun awar-awar yang dijadikan tempat minum. Sang Hyang Matahari dan Bulan melihatnya, maka ditegurlah ia sewaktu minum air amerta. Kemudian lehernya dipenggal dengan senjata cakra. Putus lehernya dan matilah badannya. Air amerta baru saja dikulum dan belum merasuki tubuh. Karena itu kepala raksasa Rahu tetap hidup dan menaruh dendam kepada Sang Hyang Matahari dan Bulan. Itulah sebabnya Sang Hyang Rahu disebut musuh Sang Hyang Matahari dan Bulan, sampai sekarang ini. Mitos yang dikenal masyarakat Jawa dan Bali menyatakan bahwa tubuh Kala Rahu yang jatuh ke bumi kemudian berubah menjadi lesung kayu. Pada waktu gerhana matahari atau bulan, penduduk memukuli lesung dengan irama (gejog, Jawa). Sehingga tubuh Rahu diharapkan merasakan kesakitan dan memuntahkan matahari /bulan yang dicaploknya. Tetapi apabila tetap ditelannya, maka matahari atau bulan itu akan ke luar juga, karena raksasa Rahu hanya berupa kepala tanpa perut. Mitos ini ada unsur menghindarkan diri dari mara bahaya (c. a. van Peursen, 1976). Untuk lebih mempertajam pembahasannya, maka di bagian berikut ini diungkapkan permasalahan-permasalahan pokok yaitu: simbol dan mitos, kentongan dan fungsinya, serta makna kentongan. Agar lebih jelas lagi maka dapat diikuti uraian berikut: Simbol dan Mitos Sejumlah pakar Antropologi termasuk Hans J. Daeng (2000) menyetujui pendapat Ernst Cassier bahwa manusia disebutnya animal symbolicum. Hal ini karena manusia sesuai struktur anatominya mempunyai sistem reseptor dan sistem efektor. Sistem reseptor berfungsi menerima rangsangan dari luar. Sedangkan sistem efektor berfungsi pereaksi terhadap rangsangan dari luar. Kedua sistem itu dalam satu ikatan yang sama disebut lingkaran fungsional binatang. Lingkaran fungsional itu dapat berubah secara kuantitatif maupun kualitatif. Faktor itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Oleh karenanya manusia dalam kehidupannya banyak menggunakan simbol-simbol. Simbol erat dengan mitos. Van Peursen menyatakan bahwa mitos adalah sebuah ceritera pemberi pedoman dan arah tertentu pada sekelompok orang. Mitos akan menyadarkan manusia akan kekuatan-kekuatan ajaib, yang menggugah manusia untuk bijaksana. Secara etimologis simbol dan simbolisme diambil dari kata Yunani sumballe (sumballein), yang dapat diartikan: berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, bertemu, melemparkan menjadi satu, menyatukan. Budiono Herusatoto (2000) mengajukan istilah “simbolos” yang diartikan tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Lebih lanjut Budiono mengartikan simbol sebagai sesuatu hal/keadaan yang merupakan media pemahaman terhadap obyek. Maka bentuk simbol dapat diartikan penyatuan dua hal yang luluh menjadi satu. Dalam simbolisme subyek menyatukan dua hal menjadi satu.
Simbol dan simbolisasi dapat diartikan dua macam pemikiran. Satu pihak melihat simbol sebagai sesuatu yang imanen (c a van Peursen, 1976). Dirasa pada diri manusia serba terkurung, masih terpengaruh unsur lain. Di lain pihak ada pemikiran yang mengatakan bahwa simbol itu transenden dan dalam dialog dengan yang lain akan ditemukan jawaban. Menurut pandangan pihak ini simbol tidak hanya berdimensi horizontal imanen melainkan juga berdimensi transenden. Pendek kata simbol berdimensi metafisika. Simbol juga mengungkapkan aspek-aspek terdalam bahwa kenyataan tidak terjangkau oleh alat pengenalan lain. Gambar, simbol dan mitos berfungsi mengungkapkan masalah modalitas (ada yang paling rahasia). Bila hal ini dikaji secara mendalam akan mengenal manusia sebelum terjalin dalam peristiwa sejarah. Rupa simbol-simbol dapat berubah, tetapi fungsinya tetap sama. Simbol, mitos dan ritus selalu mengungkapkan suatu situasi yang membatasi manusia dan tidak hanya dalam siatuasi sejarah saja. Situasi batas adalah situasi yang ditemukan manusia secara sadar dan bersifat universial. Semakin manusia mengangkat diri dari momen sejarahnya dan membiarkan keinginannya menghayati peranannya, maka manusia makin menjadikan dirinya sebagai makluk yang penuh dan utuh (Rahmat Subagya, 1981). Simbol-simbol dan gambar-gambar sekedar sarana masuk ke dunia adisejarah. Meskipun pemikiran simbolik menjadikan kenyataan yang langsung terbuka (transenden). Tetapi pemikiran itu tidak merusak atau mengaburkan nilai kenyataan. Menurut van Peursen (1976) mitos itu suatu yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Sesuatu itu berupa lambang-lambang ungkapan pengalaman manusia. Mitos mempunyai pengaruh kuat pada manusia, memberi arah kepada kelakuan manusia, dan memberi pedoman kebijaksanaan manusia. Lebih lanjut van Peursen menegaskan tentang fungsi mitos sebagai berikut: mitos menyadarkan manusia akan adanya kekuatan-kekuatan ajaib. Dengan mitos manusia dibantu untuk mengerti, menghayati kekuatan ajaib sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam kehidupan yang bersifat kesukuan. Dengan mitos akan menghadirkan kembali peristiwa yang pernah terjadi dan juga berlaku sekarang. Mitos berfungsi sebagai pengantara antara manusia dan daya-daya kekuatan alam. Mitos memberi pengetahuan tentang dunia. Demikian juga manusia yang terkungkung pengaruh alam (primitif) akan memperoleh keterangan-keterangan (c a van Peursen, 1976; Rahmat Subagya, 1981). Mitos tidak hanya memberikan sumbangan pemikiran intelektual, namun lebih merupakan orientasi spiritual dan mental yang berkaitan dengan yang illahi/ketuhanan. Bahkan ketuhanan kadang-kadang dinomorduakan. Masyarakat yakin bahwa mitos berarti suatu ceritera yang benar dan baik. Masyarakat yakin mitos bernilai tinggi, karena merupakan suatu yang suci, bermakna dan memberi contoh model bagi tindakan manusia, memberi makna dan nilai-nilai kehidupan. Mitos sering menceriterakan suatu sejarah yang terjadi pada waktu primordial, pada awal mula. Mitos menceriterakan bagaimana suatu realitas mulai bereksistensi melalui tindakan makluk supra natural (Rahmat Subagya, 1981). Mitos berfungsi membawa masyarakat primitif ke luar dari waktu sejarah menuju ke ruang waktu yang tidak terikat pada yang kini, non temporal, yaitu waktu
(Sartono Kartodirdjo, 1992). Fungsi yang dimainkan suatu mitos tidak terpisahkan dari maknanya dan mitos itu berfungsi karena bermakna. Fungsi tidak lepas dari makna dan fungsi berasal dari makna. Sementara itu J. W. M. Bakker, S. J. (1992: 40) mengingatkan , bahwa teknik hendaknya dimanfaatkan untuk mengolah sumber daya alam, komunikasi dan lain-lain hal yang perlu untuk taraf kehidupan yang layak. Meskipun harus disadari , bahwa dalam masyarakat primitif batas-batas antara kekuasaan manusia dan tenaga alam belum disadari dan manusia menguasai alam dengan magi, dengan mantera dan ritual.
Kentongan dan Fungsinya Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan kentongan atau kentung-kentung sebagai bunyi-bunyian yang berasal dari bambu atau kayu berongga, dibunyikan atau dipukul untuk menyatakan tanda waktu atau tanda bahaya atau mengumpulkan massa. Kentongan atau kentungan sehubungan bunyinya “thung, thung (Jawa). Agak mirip dari “Kamus Umum Bahasa Indonesia’ tersebut, dalam buku “Ensiklopedi Umum” menyebutkan kentongan juga terbuat dari kayu atau bambu dengan panjang yang berbeda-beda. Di tengah-tengah terdapat alur/rongga memanjang. Bila kentongan dipukul dengan tongkat pemukul, udara di dalamnya beresonansi, sehingga memperkuat suara. Bahan untuk membuat kentongan dari banbu atau kayu. Kentongan dari bahan kayu dapat dibuat berbentuk ikan, tubuh orang, kepala raksasa, dll. Bila dari pangkal batang kayu atau bambu cenderung kentongan itu kecil. Diameter kayu akan menentukan besarnya rongga, berarti menetukan keras-lemahnya suara. Besar-kecilnya kentongan yang dipajang atau digantung di bagian depan rumah sangat erat hubungannya dengan status social dan kekayaan seseorang. Rumah seorang Jagabaya atau pemuka masyarakat akan terpasang kentongan cukup besar. Kentongan besar dan indah akan menghiasi rumah adat, rumah joglo, dll. Bila pada suatu siang atau malam hari terdengar bunyi kentongan, orang akan memberikan perhatian padanya sambil dengan seksama menghitung tabuhan (pukulan) yang akan menyusul. Dari frekuensi pukulan dengan irama yang berbeda untuk setiap peristiwa, diketahuilah apa yang sedang terjadi dan strategi apakah yang harus disiagakan untuk menghadapinya. Pada malam hari di pedukuhan-pedukuhan terpencil para petugas ronda sering menyatakan kehadirannya melalui bunyi tetekan (kothekan, Jawa). Peronda sering membawa kentongan yang terbuat dari bambu. Pejabat Pemerintah Desa/Kalurahan di bidang keamanan (Jagabaya, Jawa) sering membunyikan kentongan tanda aman sekaligus menyatakan waktu. Ernst Cassirer menyebut manusia sebagai animal symbolicum. Mungkin tokoh ini mendasarkan pernyataannya dengan mencermati manusia dalam berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan media, simbol/kode atau alat tertentu. Selaku homo sapiens yang socius di lingkungan masyarakat pasti memperhatikan tingkat kemajuan teknologi dan pengetahuan seirama aktivitas-aktivitas yang berfungsi dalam usaha pengendalian sosial. Koentjaraningrat (1979) menunjuk pengendalian sosial itu mungkin berupa hukum atau keamanan lingkungan. Salah satunya ialah kentongan atau gentongan (Jawa Tengah), Kohkal (Jawa barat), gul-gul (Madura) dan kulkul (Bali).
Kentongan yang terbuat dari bambu disebut thethekan (Jawa). Di Madura terdapat orkes kentongan dengan sejumlah kentongan dalam aneka ragam ukuran panjang dan besarnya sebagai pengatur irama untuk permainan sebuah serunai. Seirama dengan itu di kabupaten Sleman propinsi DIY pernah tampil semacam simponi kentongan. Jika di pos perondan di dusun-dusun Jawa merupakan hal yang biasa kentongan terbuat dari bambu, sehingga kehadiran kulkul pada masyarakat Bali merupakan sesuatu yang sine qua non. Kulkul terlihat tergantung pada pohon semboja di dekal kuil atau pun di halaman kuil. Setiap banjar menurut Koentjaraningrat (1985) mempunyai setidaktidaknya dua macam kulkul. Kulkul banjar yang dibunyikan untuk kegiatan sehari-hari. Sedangkan kulkul sekaha dipukul untuk mengumpulkan massa untuk suatu kegiatan bersama, misalnya berkaitan dengan subak atau upacara keagamaan. Sementara itu Hans J. Daeng (2000: 85) menambahkan bahwa di Bali Selatan diiadakan upacara untuk memuja Sang Widi Wasa untuk menjauhkan dari penyakit. Bersamaan dengan itu kulkul ditabuh. Kulkul pada umumnya berbentuk ikan. Hal ini diasosiasikan dengan seksualitas. Secara luas difahami bahwa ikan dijadikan lambang kesuburan dan kelahiran kembali (reinkarnasi). Sementara itu Gatut Murniatmo, dkk (2000: 94) menyebutkan ada tiga kulkul. Selain yang sudah disebut Koentjaraningrat ditambah dengan kulkul keluarga. Kulkul keluarga digunakan bila akan mengadakan upacara-upacara inisiasi, seperti potong gigi, perkawinan dan kematian. Bila kulkul semacam itu dipakai oleh lingkungan bangsawan disebut kulkul bedil. Setiap keluarga mempunyai dua kulkul yang bernadakan suara berbeda, yaitu “dung” dan “ding”, seperti yang dan yin dalam mitologi Tiongkok. Bunyi ini melambangkan dua jenis kelamin yang berbeda,”dung” melambangkan laki-laki dan “ding” melambangkan wanita. Untuk masyarakat Bali memukul kulkul sampai kini masih dilestarikan. Gatut Murniatmo, dkk memberi ilustrasi cara membuat kulkul. Kulkul dibuat dari kayo pohon camplung atau kayu lain yang tidak mudah pecah. Biasanya yang membuat adalah orang yang ahli membuat kulkul. Mula-mula kayu dipotong kira-kira sepanjang satu seperempat meter. Kemudian dibuat saluran (rongga) pada bagian tengah. Di bagian atas dibuat lubang untuk tali penggantung. Setelah selesai kulkul dipelaspasi yaitu diberi sesaji. Sesaji dimaksudkan untuk dewa yang menjiwai kulkul dengan diperciki air suci dan diberi mantra-mantra. Setelah selesai kulkul akan digantungkan pada tempat yang sudah disediakan. Kulkul pura digunakan untuk kepentingan keagamaan. Dijelaskan oleh Gatut Murniatmo, dkk. pada waktu hari odalan, yaitu hari untuk memperingati pura, untuk bersembahyang bersama misalnya berkaitan dengan hari raya Galungan dan Kuningan. Pada hari raya odalan, kulkul dipukul dua hari sebelum odalan dan sampai dua hari sesudah odalan, tegasnya sejak para dewa disucikan sampai kembali ke surga. J.W.M. Bakker, S.J. (1992: 46) sangat setuju dengan men-sosialisasikan kentongan dengan pertimbangan kesenian, keindahan, aestetika akan mewujudkan nilai rasa dalam arti luas dan dapat mewakili kebudayaan dalam arti luas. Irama kentongan adalah seni dan berfaedah, selain mewakili alam juga teknologi. Oleh karenanya produk kesenian dibuat karena gaya indah (artes pulchrae) yang tidak secara langsung mencukupi kebutuhan praktis (faedah). Hendaknya seni dan makna seni itu dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia, bila tidak maka akkan kembali menjadi I’art pour l’homme.
Kini di berbagai daerah kentongan tidak sekedar sebagai alat pemberi tanda bila terjadi musibah, seperti: kebakaran, pencurian, pembunuhan/rajapati, bencana alam, dan kematian. Tetapi juga untuk mengumpulkan massa bergugur – gunung atau bergotong-royong. Kentongan mungkin merupakan perkembangan lebih lanjut dari bahasa genderang dari masa lampau. Kini genderang masih tetap dibunyikan sebagai pembawa berita untuk hal-hal yang istimewa, seperti: wabah penyakit, kematian, gempa bumi, menyemarakkan pertandingan/perlombaan, gerhana bulan atau gerhana matahari. Di masyarakat pedesaan secara rutin seorang jagabaya (pejabat keamanan desa) akan memukul kentongan pada jam 00.00, untuk mengingatkan warganya bahwa telah larut malam, juga dimohon berjaga-jaga agar tidak kecurian. Di lingkungan masyarakat yang tingkat kekerabatannya masih kuat beberapa hari menjelang resepsi perkawinan diadakan serangkaian persiapan. Keluarga yang terhitung bangsawan/hartawan meminta bantuan tetangga untuk mempersiapkan segala sesuatu. Sambil bercanda-ria dan menumbuk padi dengan menggunakan lesung dan lumpang kayu dengan alat penumpuk (alu, Jawa) terdengarlah suara gejog (Koentjaraningrat, 1985). Sementara itu di kiri-kanan sungai Krasak di lereng Merapi dikenal istilah lampor. Bila di dusun paling atas terjadi banjir, maka secara sukarela mereka memberitahu hal itu dengan memukul kentongan. Warga dusun yang lebih rendah kemudian menjawab serta meneruskan berita akan bencana alam itu dengan memukul kentongan. Bunyi kentongan yang sahut-menyahut di sepanjang sungai Krasak itulah yang disebut lampor. Penduduk dimohon menjauh dari sungai demi keamanan. Namun juga berkembang mitos, bahwa saat itu sedang berlangsung perarakan dari Gunung Merapi menuju ke Laut Selatan. Mereka yang tidak menghindar dapat terkena penyakit. Pada umumnya kentongan milik keluarga biasa (wong cilik) berukuran kecil terbuat dari bambu digantungkan di tempat strategis dekat pintu. Sedangkan di lingkungan keluarga hartawan atau Pamong Praja kentongan berukuran besar dari kayu dengan seni hias model wanita Jawa (berdandan kebaya, bergelung), namun kentongan tidak digantung. Kentongan ini juga berfungsi sebagai hiasan. Dalam kesenian Jawa ketoprak gaya Mataraman, salah satu ciri khasnya yang melengkapi dan memandu gamelan yaitu kentongan. Bunyi kentongan tertentu dapat memandu gending tertentu. Bunyi kentongan dengan irama tertentu akan menandai jejeran, perang, datangnya tamu atau adegan lawak. Salah satu kentongan yang terbaik untuk kesenian ketoprak adalah milik ketoprak RRI Nusantara II Yogyakarta. Menurut H.M. Darori Amin (ed) dalam bukunya Islam & Kebudayaan Jawa (2000: 190) menjelaskan bahwa di masjid juga terdapat kentongan di samping adanya bedug. Seorang muadzin sebelum beradhan akan memukul kentongan dan bedug. Lebih lanjut H M Darori Amin menyebutkan beberapa tempat yang masjidnya memiliki kentongan dan bedug yang difungsikan untuk pertanda saatnya bersholat, yaitu: masjid Demak, masjid dekat makam raja Kotagede dan Imogiri, dan masjid di Giri. Bila sudah saatnya sholat khususnya di kompleks masjid menara Kudus, seorang muadzin naik ke puncak menara untuk memukul kentongan dan bedug,
kemudian beradzan. Agar suara itu terdengar meluas juga dipergunakan loudspeker. Tidak berapa lama umat muslim berbondong-bondong untuk bersholat. Keadaan seperti di masjid Menara Kudus juga berlaku meluas di pelosok pedalaman pulau Jawa, di mana masyarakatnya masih akrab dengan seni dan komunikasi tradisional. Di dekat pintu gerbang Kasatriyan Kraton Yogyakarta juga dipajang kentongan raksasa dengan panjang 2,5 m dan diameter 0,75 m. Kentongan yang berasal dari Kembangarum, Turi, Sleman itu pernah dimanfaatkan saat perjuangan fisik. Khususnya untuk memberitahu para pejuang untuk berkumpul, bersiaga sehubungan akan adanya bahaya musuh. Sekaligus memberitahu agar wanita dan anak-anak bersembunyi/menyelamatkan diri. Menyadari bahwa kentongan sebagai alat komunikasi kurang diperhatikan warga masyarakat, serta dalam rangka mensosialisasikan kentongan, maka Pemerintah Daerah di lingkungan DIYmengeluarkan Instruksi Gubernur KDH-DIY nomor: 5/INST/1980 tertanggal 26 Mei 1980 tentang tanda bunyi kentongan, sebagai berikut: 1. Keadaan aman Tanda bunyi: ----- V ----- (doro muluk satu kali) Artinya: keadaan aman atau keadaan aman kembali. 2. Keadaan siap /waspada Tanda bunyi: 0 0. 0 0. 0 0 dst (dua dua) Artinya : 1. Kemungkinan timbul bencana alam /kejahatan. 2. Keadaan samar-samar /mencurigakan 3. Mempersiapkan diri. 3. Kejahatan Khusus Tanda bunyi: 0 0 0. 0 0 0. 0 0 0 dst (tiga-tiga). Artinya: pertama, ada raja kaya (kerbau, sapi, kuda) hilang. Kedua, ada pencurian alat komunikasi. Ketiga, ada pencurian biasa /ringan. 4. Kejahatan besar Tanda bunyi: 0000000. 0 – 0000000. 0 – 0000000 (tujuh gandul). Artinya: pertama, ada penggedoran (perampokan). Kedua, ada pencurian dengan perlawanan. Ketiga, ada pembegalan/penjambretan. Keempat, ada pembunuhan (rajapati). Kelima, ada penjambretan dengan sepeda motor/kendaraan bermotor. 5. Bencana Alam Tanda bunyi: 0000000000 (gobyok/titir). Artinya: pertama, ada banjir biasa/lahar dingin. Kedua, ada angin topan/ribut. Ketiga, ada kebakaran. Keempat, ada tanah longsor. Kelima, ada gunung berapi meletus. Keenam, ada binatang buas. 6. Kematian Tanda bunyi: ----- V ----- , ----- V ----- (doro muluk 2 kali). Artinya: ada orang meninggal dunia (layatan) Agar dalam membunyikan kentongan memasyarakat, maka instruksi tersebut dimohon untuk ditempelkan di gardu perondan, rumah kepala dusun, rumah pejabat pemerintahan lainnya, bahkan diminta untuk ditempelkan di rumah-rumah penduduk.
Antropomorf dan Zoomorf Sejumlah pakar ettografi Universitas Zurich seperti: J. S. Brandts Buys van Zijp, L.C. Heyting, J. Kunst, D.H. Meijer dan Alfres Steinmann dalam studinya tentang kentongan anthropomorf di Indonesia menyebutkan, bahwa ada hiasan atau bentuk yang anthroposentris. Ada kentongan yang berbentuk pada bagian rongga dilengkapi dengan alat reproduksi manusia atau badan binatang. Ada kentongan yang ujungnya diberi hiasan kepala manusia atau kepala raksasa. Ada juga kentongan yang dihiasi dengan telinga, hidung, atau pakaian dalam , ujung destar , selendang, atau kain sarung. Di Indonesia kentongan antropomorf dan zoomorf ditemukan hanya di pulau Lombok, pulau Bali, pulau Madura dan Jawa terutama di bagian Timur. Sedang di Jawa Barat hanya diketemukan sebuah. Meskipun demikian masih ada dugaan bahwa kentongan anthropomorf cukup tersebar di Jawa Barat. Lebih lanjut Steinmann menyebutkan bahwa di Indonesia dan Melanesia kentongan identik dengan manusia. Maksudnya kentongan itu mempunyai kepala (sirah, Jawa), leher (gulu , Jawa), tubuh (lambung) dan lamba (bibir). Pada salah satu ujung kentongan terlihat kepala dan dada, sedang pada ujung yang lainnya terdapat kaki dan bagian berongga merupakan badan dan perut. Bentuk serupa diketemukan di Papua Nugini, tepatnya di daerah lembah sungai Sepik dan sungai Awar. Kentongan berukuran besar yang anthropomorf atau zoomorf dijumpai di kepulauan Solomon(sebelah Timur Irian) dan New Hebrides (Selatan kepulauan Solomon atau Timur Benua Australia). Suatu hal yang menarik ialah kentongan anthropomorf digantung vertikal dan berujud seorang lelaki. Di pulau Bali kentongan diberi pakaian lelaki “poleng “(warna hitam dan putih berselang-seling), namun ada juga kentongan dengan kepala kala. Menurut keyakinan orang Bali, sejak dahulu orang yang mati gantung diri di alam baka akan menjadi kulkul. Pandangan semacam itu juga berlaku dalam banyak ceritera rakyat di Melanesia (kepulauan di Utara pulau Irian) yang mengemukakan bahwa kentongan disamakan dengan badan manusia. Di pulau Madura cukup banyak diketemukan gulgul dalam bentuk ikan. Ukuran kentongan juga beraneka ragam. Gulgul berbentuk ikan digantung vertikal. Sedangkan kentongan berbentuk ikan di Jawa Timur digantung secara horizontal. Di Jawa Barat ada kohkol berbentuk ikan dengan sisik yang dicat hitam. Bentuk ikan yang dipakai sebagai hiasan pada kentongan Jawa Timur, kulkul Bali dan kohkol Jawa Barat sering diasosiasikan dengan seksualitas. Karena secara luas ikan dijadikan sebagai simbol kesuburan dan kelahiran kembali (reinkarnasi). Namun ada juga kentongan berbentuk burung, biasanya burung meliwis (dendrocygna aicuata). Namun ada juga yang berbentuk katak besar atau harimau.
Makna Kentongan Anthropomorf Jika ditanya makna kentongan anthropomorf kiranya agak sukar menjawabnya. Dalam pandangan masyarakat kentongan anthropomorf dijadikan alat penolak bala. Pada peristiwa-peristiwa gerhana bulan atau gerhana matahari, di lingkungan
masyarakat Jawa Tengah, DIY dan Jawa Barat, kentongan dibunyikan. Selain itu lesung kayu dipukul berirama (gejog, Jawa) untuk memberitahu bahwa saat itu terjadi peristiwa alam gerhana. Sedikit istimewa di Sumatra saat berlangsung gerhana bulan atau gerhana matahari senapan ditembakkan. Namun karena Pemerintah Hindia Belanda melarang pemilikan senjata api, maka genderang besar (tabuah) dipukul. Di lingkungan masyarakat Bali, bila dilahirkan bayi kembar, suatu hal yang kurang disukai dan dianggap membahayakan, sebagai usaha menolak bala dan demi keselamatan bersama, maka dibunyikanlah kulkul di banjar. Di daerah Bali Selatan masyarakatnya Hindu mengadakan upacara memuja Sang Hyang Widi Wasa untuk menjauhkan penyakit, bersamaan dengan upacara itu kulkul di pura dibunyikan. Dengan diberikannya bentuk manusia dengan wajah yang menakutkan pada kentongan, maka diperkuatlah perlindungan magis sebagai upaya menolak mala petaka yang mengancam keselamatan manusia. Hal ini dipertegas dengan menonjolkan ciri-ciri demonis sebagai hiasan pada kentongan anthropomorf. Kepala kala yang diletakkan di atas pintu masuk kuil di Jawa menurut kepercayaan kehinduan sebagai penolak bala yang tidak dapat dipisahkan dari pendapat masyarakat, bahwa simbol itu berkaitan dengan leluhur yang melindungi. Landasan pemikiran dalam pembuatan kentongan anthropomorf selain mencari model paling dekat/mudah juga diwarnai unsur pemujaan terhadap arwah leluhur. Untuk memanggil roh-roh leluhur, orang Toraja Bare’e memukul genderang, dengan maksud memohon kehadiran arwah leluhur untuk menghadiri pesta rakyat. Untuk tujuan yang sama seperti pada orang Toraja Bare’e, orang Dayak Bahau memukul gong tembaga. Tidak jauh berbeda orang Batak Toba saat membawakan korban untuk leluhur juga memukul genderang untuk mencegah agar arwah leluhur tidak kaget dan terungkap keinginan agar arwah leluhur membantu anak keturunannya yang masih hidup. Kalau di Jawa khususnya DIY bagian Utara saat kematian kentongan dibunyikan tong tong tong empat kali, kemudian dibakukan dengan tong tong tong tong empat kali. Demikian juga saat perayaan orang meninggal dunia di Bali kulkul dipukul. Bila ada peristiwa kematian, seorang anggota keluarga memukul kulkul, andaikan tidak memiliki dapat membunyikan genderang atau lesung untuk membangunkan roh agar dapat membebaskan diri dari topeng kematian. Kentongan anthropomorf dihubungkan pula dengan pemujaan terhadap pendiri desa (cikal bakal, Jawa). Pendiri desa yang dimaksud adalah seseorang yang mengusahakan membuka hutan/semak kemudian mendirikan pemukiman rumah tangga serta hidup di daerah tersebut. Orang itu berjasa bagi kelompoknya, maka disebut cikal bakal, ada yang menyebut cakal bakal. Sebagai pendiri dan pembangun desa pertama (mbebadra, Jawa), cakal bakal telah berkarya untuk kepentingan desa. Setelah cakal bakal itu meninggal dunia, masih diharapkan bantuannya untuk melindungi, membantu keturunannya yang masih hidup. Pandangan yang demikian juga berkembang meluas di masyarakat Hindu Bali, khususnya di daerah pedalaman.
Simpulan Simbol dan mitos tidak dapat dipisahkan dari kentongan. Kentongan telah difungsikan meluas sebagai sarana komunikasi di seluruh persada Nusantara, bahkan
Melanesia. Namun untuk mendalami tentang fungsi kentongan perlu penelitian lebih mendalam. Kentongan yang anthropomorf dan zoomorf berkembang meluas di Lombok, Bali, Madura dan Jawa. Unsur manusia dan variasi bentuk ikut mewarnai seni pembuatan kentongan. Kentongan anthropomorf pada umumnya digantung vertikal dan hampir seluruhnya diasosiasikan seorang laki-laki. Sedangkan kentongan zoomorf digantung horizontal. Bentuk kentongan berupa ikan bernadakan seksualitas, lambang kesuburan. Kentongan zoomorf yang digantung vertikal biasanya berbentuk kepala harimau, berbentuk badan wanita, atau kepala kala yang cukup menyeramkan. Bagi masyarakat primitif kentongan anthropomorf dihubungkan dengan pemujaan arwah leluhur, terutama pendiri desa. Kentongan dengan ciri-ciri demonis dihubungkan dengan berbagai peristiwa yang menakutkan dalam bentuk pencegah mara bahaya. Oleh karenanya kentongan dapat dimaksudkan untuk pencegah mara bahaya. Dengan menipisnya pemahaman tentang simbolisme dan mitos serta kurang efektifnya kentongan, maka kaum muda dan terpelajar semakin meninggalkan kentongan. Kentongan mungkin hanya dijadikan asesoris rumah, agar bergaya kuno dan menarik para tamu. Hal ini nampak pada sejumlah rumah makan adat.
Sumber Bahan Bakker,S.J., J.W.M., 1992, Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar, Yoyakarta – Jakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia. Budiono Herusatoto, 2000, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: Hanindita Graha Widia. Daeng, Hans J. , 2000, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Darori Amin,H. M (ed.). , 2000, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media. Gatut Murniatmo,dkk, 2000, Khazanah Budaya Lokal, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Iman Sudiyat, 1982, Azas-azas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Yogyakarta: Liberty. Koentjaraningrat, 1979, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru. _____________, 1985, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan. Peursen, van, 1976, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius. Rachmat Subagya, 1981, Agama Asli Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka. Sartono Kartodirdjo, 1992, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama.
~~~~~