MAKNA DAN TATA CARA PERAYAAN QING MING DI KALANGAN MASYARAKAT TIONGHOA CINA BENTENG Laureni, Natalia Candilla, Kelly Rosalin Bina Nusantara University, Jl. Kemanggisan Ilir III/45, Palmerah, Jakarta Barat, 021-5327630
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT
This study aims to determine the meaning and procedures of Qing Ming ceremony in the Chinese-Indonesian community called “Benteng Chinese”. This study has performed detailed literature review and qualitative methods, such as conducting numerous interviews. In addition, the analysis of this research was derived from numerous theories, namely the diffusion theory, the semiotics theory, and the functional theory. All of the aforementioned theories were utilized to investigate the origin, meaning, and step-by-step procedures of Qing Ming festival in the Benteng Chinese. The result of this exploration indicates that Qing Ming festival is considered as devotion to ancestors, family reunion, and the annual memorial of loved ones. Furthermore, the celebration of Qing Ming among Benteng Chinese community is still equivalent with the original approach, while the presentation of food offerings in the Qing Ming prayer is adopting the Sundanese culture, in which diamond-shaped packed rice or sticky rice dumpling is often used as the prayer offerings. Keywords :meaning, procedures, Qing Ming celebration, Tionghoa Cina Benteng society
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna dan tata cara perayaan Qing Ming di kalangan masyarakat Tionghoa Cina Benteng. Metode penelitian yang telah dilakukan adalah studi pustaka dan menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan wawancara secara langsung kepada Humas Kelenteng Boen Tek Bio dan beberapa masyarakat Tionghoa Cina Benteng di Tangerang. Analisis yang dilakukan penulis dengan menggunakan teori difusi, teori semiotik, dan teori fungsional, ketiga teori tersebut digunakan untuk menganalisis asal usul, makna dan tata cara perayaan Qing Ming di kalangan masyarakat Tionghoa Cina Benteng. Hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa perayaan Qing Ming di masyarakat Cina Benteng dimaknai sebagai penghormatan kepada orang tua atau bakti kepada leluhur, reuni keluarga, dan tahun baru orang meninggal serta tata cara perayaan Qing Ming masih kental dan sama, tetapi dalam penyajian sembahyang Qing Ming di Cina Benteng terdapat beberapa sajian makanan yang sudah mengambil dari budaya Sunda. Contohnya adalah ketupat, lepet dan lain-lain. (L, NC). Kata Kunci: Makna, tata cara, perayaan Qing Ming, masyarakat Tionghoa Cina Benteng.
1
2
PENDAHULUAN Kebudayaan memiliki dua cakupan pengertian yaitu pengertian yang luas dan yang sempit. Luasnya cakupan itu tidak hanya terdapat dalam penggunaannya dalam kehidupan kita sehari-hari, tetapi juga penggunaannya di dalam ilmu pengetahuan sosial (social sciences). Pengertian luas, kebudayaan adalah makna, nilai, adat, ide dan simbol yang relatif. Sedangkan pengertian sempit, kebudayaan adalah memiliki kandungan spiritual dan intelektual yang tinggi. Oleh karena itu kebudayaan merupakan suatu yang seharusnya bagi manusia.(Sulasman dan Setia,2013) Ilmu Antropologi menyatakan masalah utama dalam antropologi adalah kesamaan dan perbedaan budaya, pemeliharan budaya ataupun perubahannya dari masa ke masa, contohnya seperti Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman budaya, suku, ras, serta berbagai agama yang dianut oleh bangsanya. Maka dari itu banyak sekali akulturasi kebudayaan yang ada di Indonesia dan kebudayaan etnis yang berbeda. Kebudayaan berbeda terjadi karena adanya perbedaan agama, lingkungan tempat tinggal, suku, dan ras. Misalnya: etnis Tionghoa, Jawa, Sunda dan lain-lain. Di dalam etnis Tionghoa selalu menjunjung tinggi kebudayaan nenek moyang mereka. Karena Kebudayaan Tionghoa sudah dilakukan secara turun-menurun dari nenek moyang mereka. Kebudayaan Tionghoa memiliki banyak hari raya yang ditaati dan dirayakan oleh masyarakat Tionghoa yaitu: perayaan tahun baru (Imlek), upacara kematian, upacara pernikahan, perayaan Qing Ming dan masih banyak tradisi dan perayaan lainnya yang masih dirayakan. Dari masing-masing kebudayaan Tionghoa memiliki makna dan arti yang sangat penting dan sangat menarik untuk dipelajari, salah satunya adalah penghormatan terhadap leluhur. Pada umumnya, keturunan Tionghoa sangat menghormati leluhurnya. Penghormatan ini merupakan tradisi yang dilakukan oleh keturunan Tionghoa. Bentuk penghormatan terhadap leluhur dilakukan oleh keturunan Tionghoa dengan menyajikan makanan yang pada biasanya sering kita sebut dengan “sembahyang” kepada leluhur. Salah satu bentuk penghormatan terhadap leluhur adalah dalam bentuk sembahyang Qing Ming (dalam bahasa Mandarin: Qing: Bersih; Ming: Terang). Menurut dari penanggalan Masehi, Qing Ming jatuh pada tanggal 4 – 6 bulan April. Pada saat hari Qing Ming orang-orang pergi membersihkan makam para leluhur dengan membawa batang hio, lilin, kertas Gin-coa (dalam bahasa Mandarin Yinzhi: kertas perak) dan sedikit makanan. Masyarakat Tionghoa umumnya akan menggunakan kepercayaan “Hong Sui” untuk menetapkan posisi makam bagi leluhur dan keluarga mereka. Mereka percaya jika posisi makam berada di tempat yang benar, akan menjadi hal yang baik. Begitu juga dengan masyarakat Tionghoa ada yang meminta pertolongan ahli “Hong Sui” untuk menetapkan posisi makam bagi leluhur dan keluarga mereka. Tetapi dalam beberapa waktu ini, di kota Jakarta sangat sulit menemukan lahan yang dapat digunakan untuk membangun tempat pemakaman. Dewan Tionghoa di Jakarta membangun sebuah tempat pemakaman umum dan juga memperkenankan orang-orang untuk memilih penjuru makam. Untuk itu dibuat deretan-deretan tempat makam dengan arah ke Timur, Barat, Utara dan Selatan. Manakala orang ingin memakamkan menghadap ke Selatan, ia akan memilih deretan makam yang mengarah ke penjuru itu. Oleh karena itu banyak dari masyarakat Tionghoa yang melakukan kremasi atau diperabukan. Jika diperabukan, maka abunya dapat dititipkan di rumah abu, ditempatkan di rumah dengan altar khusus atau disebar di laut. Sehingga banyak masyarakat Tionghoa sekarang tidak menyapu makam, hanya melakukan sembahyang Qing Ming di rumah. Saat perayaan Qing Ming di Jakarta, beberapa masyarakat Tionghoa dengan nama “she” (marga) yang sama menyewa sebuah aula untuk bersama-sama sembahyang dan melakukan penghormatan leluhur. Sebagian besar masyarakat Tionghoa di Indonesia sangat menghormati dan melestarikan kebudayaan Tionghoa, terutama adalah masyarakat Tionghoa Cina Benteng. masyarakat Cina Benteng yang masih kuat memegang tradisi-tradisi yang ada, terutama dalam aspek kepercayaan, masih menjalankan tradisi sembahyang Qing Ming dengan mendatangi tempat pemakaman leluhur dan keluarga. Dimana Cina Benteng merupakan komunitas dari perkawinan campur yang dilakukan oleh pemukim Tionghoa dengan penduduk setempat di daerah Tangerang dan sampai sekarang masyarakat Cina Benteng masih memegang teguh tradisi dari leluhurnya. (Iwan Santosa ,2012) Perkawinan campur yang dilakukan para lelaki Tiongkok dengan wanita Sunda di Tangerang, telah menghasilkan keturunan yang disebut “Peranakan Tionghoa”, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Cina Benteng”. Masyarakat Cina Benteng walaupun merupakan komunitas yang telah bercampur tetapi mereka tetap kuat memegang tradisi-tradisi dari leluhurnya, salah satunya seperti menjalankan tradisi sembahyang Qing Ming disetiap tahun. Perayaan Qing Ming sangat penting dilakukan, mengingat bakti kepada orang tua dan penghormatan kepada leluhur, serta menjaga nilai keluarga.
3 Sebelumnya, sudah ada beberapa penelitian yang berhubungan dengan perayaan Qing Ming, diantaranya yang dilakukan oleh Anita Sugianta, Mey Lisa (2011) beranggapan bahwa berbagai peristiwa politik, dampak perluasan pembangunan, majunya pendidikan dan teknologi serta kehidupan yang modern selama periode Orde Baru dan Era Reformasi telah membawa perubahan-perubahan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Cina Benteng. Penelitian ini menggunakan metode wawancara atau In-Depth Interview. Wawancara mendalam dalam penelitian ini merupakan cara pengumpulan data informasi secara langsung, bertatap muka dengan subjek penelitian. Penelitian Reny Syafrida (2012) mengungkapkan bahwa melihat kecenderungan bergesernya nilai-nilai religius pada generasi muda saat ini. Pengetahuan kaum muda dari keluarga Tionghoa (rata-rata berusia tidak lebih dari 40 tahun) yang masih memelihara abu leluhur sangat kurang. Mereka sudah tidak lagi menaruh perhatian secara khusus terhadap penghormatan leluhur. Upacara-upacara penghormatan mereka lakukan tanpa mengetahui dan memahami secara mendalam. Dalam penelitian ini Reny Syafrida menggunakan metode kualitatif. Nurul Hidayah (2009) dalam penelitiannya pada Tradisi Nyadran di Dusun Pokoh, Desa Ngijo, Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar, menjelaskan tentang masyarakat yang sudah berbeda suku dan agama masih tetap memegang kuat tradisi-tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang khususnya tradisi yang berkaitan dengan kehidupan manusia yaitu: kelahiran, pernikahan dan kematian. Dan dalam penelitian itu dijelaskan juga bahwa masyarakat itu masih pergi ke makam atau tempat-tempat yang di katakan keramat dengan membawa berbagai macam sesaji untuk dipersembahkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara. Nio Joe Lan (2013) dalam buku Peradaban Tionghoa Selayang Pandang menyatakan sembayang leluhur atau pemujaan leluhur sudah dilakukan sebelum zaman Konfusius. Bentuk pemujaan yang dilakukan oleh para kaisar pada zaman itu adalah membangun kuil yang megah untuk menyimpan dan merawat abu leluhurnya. Oleh karena itu tradisi Tionghoa mementingkan ritual penghormatan leluhur. Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini karena pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua, termasuk leluhur. Hingga zaman modern, ajaran ini tetap diterapkan. Dan penghormatan leluhur bisa dilakukan orang Tionghoa secara sederhana dalam rumahnya. Héyuánzhì dan Báixuěfēi (2001) dalam Buku Zhōngguó chuántǒng jiérì jí chuánshuō menjelaskan menyapu makam adalah kegiatan yang penting dalam festival, yang dimaksudkan mempersembahkan pengorbanan kepada nenek moyang di kuburan mereka. Wahyu Wibisana (2009) dalam Buku Hari-hari Raya Tionghoa menjelaskan pengertian Qing Ming, upacara, dan sajian untuk di sembahyangkan. Dan juga menceritakan tentang berbagai macam versi cerita tentang Qing Ming. Perbedaan dalam penelitian terdahulu dengan penelitian kami adalah pada perkembangan masyarakat Cina Benteng pada periode Orde Baru dan Era Reformasi, baik dalam sosial, budaya, dan ekonomi yang diteliti Anita Sugianta dan Mey Lisa, serta pada masyarakat yang diteliti dimana penelitian yang dilakukan Reny Syafrida menekankan pada masyarakat Medan. Dalam penelitian ini penulis lebih mengidentifikasikan masalah terhadap apa makna perayaan Qing Ming bagi masyarakat Tionghoa Cina Benteng? Dan bagaimana tata cara perayaan Qing Ming bagi masyarakat Tionghoa Cina Benteng?. Peneliti bertujuan untuk mengetahui makna dan tata cara perayaan Qing Ming di kalangan masyarakat Tionghoa Cina Benteng, dan manfaat peneliti melakukan penelitian ini untuk dapat mengetahui makna dan tata cara perayaan Qing Ming di kalangan masyarakat Tionghoa Cina Benteng dan untuk dapat melestarikan tradisi perayaan Qing Ming yang berada di Cina Benteng. Dikarenakan masyarakat Cina Benteng di zaman sekarang sudah lama hidup dan bersosialisasi dengan penduduk setempat di Tangerang dan dalam melakukan sembahyang Qing Ming tidak terlepas dari makna dan bagaimana tata cara perayaan Qing Ming yang mereka lakukan. Dikarenakan masyarakat Cina Benteng merupakan hasil budaya pencampuran antara Tionghoa dengan Sunda yang sudah menghasilkan budaya baru, serta penelitian sebelumnya cukup jarang pula meneliti mengenai makna dan tata cara perayaan Qing Ming yang ditekankan pada masyarakat Tionghoa Cina Benteng yang bertempat di Tangerang. Ini alasan penulis tertarik untuk meneliti makna dan tata cara perayaan Qing Ming yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa Cina Benteng. Teori yang digunakan dalam penelitian ini : (1) dalam asal usul masyarakat Tionghoa Cina Benteng peneliti menggunakan teori difusi; (2) makna perayaan Qing Ming bagi masyarakat Tionghoa Cina Benteng, peneliti menggunakan teori fungsional; (3) tata cara perayaan Qing Ming bagi masyarakat Tionghoa Cina Benteng dalam peralatan dan penyajian menggunakan teori semiotik.
4
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan melakukan wawancara dan studi pustaka dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari sumber-sumber teoritis, buku-buku dan internet. Penulis melakukan wawancara kepada Bapak Oey Tjin Eng Humas Kelenteng Boen Tek Bio sebagai pakar budaya dan beberapa masyarakat Tionghoa Cina Benteng di Tangerang. Penulis melakukan wawancara untuk mengetahui tentang makna dan tata cara perayaan Qing Ming yang ada di Cina Benteng. Kemudian dari pengumpulan data yang berdasarkan studi pustaka dan wawancara dilakukan analisa dan ditarik kesimpulan.
HASIL DAN BAHASAN Sejarah Qing Ming Pada perayaan Qing Ming terdapat dua perayaan, yaitu perayaan Hanshi Jie (Cold Food Festival) atau disebut makan dingin dan perayaan Qing Ming. Pada hari raya perayaan makan dingin yang artinya bagi orang Tionghoa tidak boleh menyalahkan api. Pada saat itu masakan yang dihidangkan sudah dimasak pada hari sebelumnya. Konon tradisi ini untuk memperingkatkan Hanshi Jie yang berarti Han (dingin) Shi (makanan) Jie (perayaan). Menurut legenda Hanshi Jie adalah hari untuk memperingati tewasnya Kai Cu Cui yang merupakan seorang prajurit setia Raja Cin Bun Kong yang tewas terbakar di hutan Bian – San dan Raja Cin Bun Kong merupakan kaisar pertama yang menganjurkan dirayakannya hari Qing Ming. (Marcus A.S.,2009 : 121). Oleh karena peristiwa tewasnya Kai Cu Cui, pada zaman itu orang-orang sembahyang ke kuburan dengan tidak membawa api dan hanya membawa makanan yang sudah dimasak pada hari kemarinnya. Sedangkan yang pertama kali mempunyai ide membersihkan kuburan adalah Raja Cin Bun Kong pada peristiwa tragis yang sangat mengharukan yang menimpa diri Kai Cu Cui, menterinya yang setia itu. Asal mula Qing Ming yang merupakan tradisi masyarakat Tionghoa untuk selalu membersihkan kuburan dan menghormati leluhur. Asal usul Qing Ming, konon ada seorang yang bernama Cu Guan Ciang (Zhu Yuan Chang). Ia adalah pendiri Dinasti Ming yang lahir dari keluarga yang sangat miskin. Agar tidak mati kelaparan, ia diserahkan oleh orang tuanya ke sebuah kuil. Pada suatu saat ketika ia menjadi kaisar, ia tidak mengetahui lagi di mana letak makam leluhurnya. Maka pada hari yang sudah ditentukan, ia memerintahkan semua rakyatnya untuk berziarah ke makam leluhur mereka masing-masing dan memberi tanda kertas kuning diatas makam leluhurnya. Di atas makam yang tidak ada tanda kertas kuningnya, kaisar menziarahinya sebagai makam leluhurnya. (James Danandjaja, 2007 : 381) Asal Usul Masyarakat Tionghoa Cina Benteng Awal munculnya masyarakat Tionghoa Cina Benteng berasal dari para lelaki Tiongkok yang datang ke tanah Jawa. Kedatangan para lelaki Tiongkok yang tidak membawa perempuan dari Tiongkok menyebabkan mereka melakukan perkawinan campur dengan penduduk pribumi setempat yaitu wanita Sunda. Dari hasil perkawinan ini, disebut “Peranakan Tionghoa”. Komunitas Tionghoa Peranakan tersebut bermukim di dekat benteng Kompeni. Perbentengan VOC ini terletak di dalam Kota Tangerang dekat Sungai Cisadane dan disebut sebagai Benteng Makassar karena yang membangun adalah orang Makassar. Dari sinilah muncul sebutan masyarakat “Cina Benteng”. Teori difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang menyebabkan adanya migrasi manusia. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain akan menularkan budaya tertentu. Setiap ada persebaran kebudayaan, terjadilah penggabungan dua kebudayaan atau lebih. Teori difusi juga merupakan pandangan awal yang menyatakan bahwa kebudayaan yang ada merupakan sebaran dari kebudayaan lainnya. Menurut teori difusi, perubahan kebudayaan terjadi karena adanya proses pengaruh mempengaruhi dari kebudayaan yang satu terhadap kebudayaan yang lainnya. Bahwa dengan adanya kebudayaan Cina Benteng merupakan suatu budaya baru yang terbentuk karena adanya alkuturasi budaya dari budaya Tiongkok dengan budaya Sunda. Dan ini akan mempengaruhi setiap tradisi yang ada di Cina Benteng, salah satunya adalah tradisi Qing Ming. Contohnya dalam hal penyajian makanan saat sembahyang Qing Ming dapat terlihat alkuturasi budaya yang terjadi, seperti ketupat dan lepet dalam sajian perayaan Qing Ming masyarakat Tionghoa Cina Benteng. Hasil wawancara masyarakat Tionghoa Cina Benteng Hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap makna dan tata cara perayaan Qing Ming di kalangan masyarakat Tionghoa Cina Benteng : Makna perayaan Qing Ming
5 Makna perayaan Qing Ming sangat terlihat jelas dalam ajaran Konfusius. Ajaran Konfusius terutama berkisar seputar keluarga dan ketatanegaraan. Dalam filsafat pengajaran Konfusius, ini berkaitan dengan kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tuanya diangkat dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang sudah lazim terjadi pada masa itu. (Nio Joe Lan, 2013). Dilihat dari makna menurut ajaran Konfusius, perayaan Qing Ming sangat berkaitan erat dengan ajaran Konfusius, dalam hal penghormatan leluhur dan berbakti kepada orang tua. Menurut Bapak Oey Tjin Eng yang merupakan Humas Kelenteng Boen Tek Bio, masyarakat Tionghoa Cina Benteng, menyatakan bahwa makna perayaan Qing Ming bagi masyarakat Tionghoa Cina Benteng dilihat dari “Qing”: jernih, “Ming”: terang. Jika disatukan berarti membersihkan kuburan supaya terang dan bersih. Tujuan utama Qing Ming adalah sebagai reuni keluarga. Saat Qing Ming semua sanak saudara berkumpul menceritakan masing-masing pengalamannya maupun kehidupan mereka. Yang terpenting adalah mengingat jasa kedua orang tua, bagaimana mereka mendidik kita sehingga kita bisa menjadi seseorang yang baik dan benar agar dapat menularkan ke anak cucu. Dan dari hasil wawancara beberapa responden yang berasal dari masyarakat Tionghoa Cina Benteng, masyarakat Tionghoa Cina Benteng memaknai perayaan Qing Ming sebagai hari tahun baru orang yang sudah meninggal dan acara reuni keluarga. Makna Qing Ming menurut masyarakat Tionghoa Cina Benteng memiliki fungsi dalam sembahyang Qing Ming dan memiliki arti yang sangat besar dalam menghormati para leluhur yang telah meninggal. Dengan berkumpulnya sanak keluarga untuk merayakan Qing Ming, telah berfungsi sebagai acara reuni keluarga. Mereka mengganggap dengan melakukan perayaan Qing Ming di setiap tahun adalah salah satu cara untuk berbakti, mengingat jasa, serta membalas budi kepada sanak keluarga yang telah meninggal. Peneliti menggunakan teori fungsional untuk menganalisa fungsi kebudayaan. Menurut teori fungsional, setiap pola adat kebiasaan merupakan sebagai dari fungsi dasar dalam kebudayaan (Garna, 1986: 55). Begitu juga dengan ajaran Konfusius yang berkaitan erat dengan perayaan Qing Ming di kalangan masyarakat Tionghoa Cina Benteng, seperti mengajarkan menghormati leluhur dan berbakti kepada orang tua. Dengan demikian makna perayaan Qing Ming di masyarakat Tionghoa Cina Benteng masih berkaitan erat dengan makna awal dari ajaran Konfusius, tetapi masyarakat Tionghoa Cina Benteng masih memiliki makna tambahan seperti reuni keluarga dan tahun baru bagi orang yang meninggal. Tata Cara Perayaan Qing Ming Masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan budaya sembahyang Qing Ming. Dari hasil penelitian wawancara Bapak Oey Tjin Eng dan beberapa responden yang berasal dari masyarakat Cina Benteng, menyatakan tata cara perayaan Qing Ming masih sama dilakukan. Masyarakat Cina Benteng memiliki dua pelaksanaan. Pelaksanaan Sebelum Perayaan Qing Ming Sebelum perayaan Qing Ming dilakukan masyarakat Cina Benteng kurang lebih satu minggu sebelum perayaan Qing Ming, biasanya mereka melakukan Tee-coa yang artinya membersihkan kuburan dan menebarkan kertas yang berukuran panjang selebar ibu jari di atas kuburan yang baru dibersihkannya, sebagai tanda bahwa kuburan leluhur sudah dibersihkan. Dan biasanya masyarakat Cina Benteng juga melipat kertas gin-coa yang merupakan sebagai uang orang meninggal dan kertas panjang kuning yang bermakna sebagai tanda leluhur atau orang tua yang meninggal dan dibakar pada saat perayaan Qing Ming. Pelaksanaan Perayaan Qing Ming Pelaksanaan sembahyang Qing Ming masyarakat Cina Benteng dilakukan di kuburan dan rumah. Sembahyang di kuburan Untuk pelaksaan Qing Ming di kuburan peralatan yang biasanya mereka bawa adalah sepasang lilin berwarna merah yang berarti kebahagiaan dalam merayakan tahun baru orang meninggal, hio-louw (tempat menancap hio), hio (dupa), tiga cangkir teh, tiga cangkir arak, satu pisin (piring kecil) yang berisi teh-liau (gula batu), tang-koa (manisan beligo), dan seng-jin atau manisan bi-cian, samseng (daging babi, ayam, ikan bandeng) yang mengartikan keseimbangan antara darat, udara, dan air, berbagai macam kue siu-ku (kue ku), hwat-kue (kue mangkok), bi-ko (kue wajik), sesisir pisang dan jeruk untuk disajikan saat sembahyang Qing Ming. Selain itu mereka juga membawa nasi, sumpit, sendok, sesuai dengan jumlah leluhur yang disembahyangi, terdapat juga makanan seperti ketupat dan lepet. Sesudah sesajian itu disiapkan dan ditata, maka keluarga mulai bersembahyang dengan masing-masing orang menggunakan 2 batang hio yang disojakan ke arah Hok Tek Ceng Sin (dewa tanah), sembahyang tersebut dilakukan dan maksud untuk permisi pada dewa tanah dan menyampaikan hari ini hari Qing Ming, kemudian sembahyang di kuburan leluhur dengan menyampaikan kepada para leluhur bahwa hari ini hari Qing Ming dan sanak keluarga telah datang
6 berkunjung. Setelah semua sanak keluarga sembahyang dan menunggu hio hampir padam yang merupakan suatu bentuk kehormatan untuk leluhur, salah satu anggota keluarga melakukan sio-pwee atau melempar uang dan biasanya uang gobangan, yang dimaksud untuk menanyakan kepada para leluhur apakah makanan dan minuman yang disajikan sudah selesai dimakan atau belum. Untuk mengetahui hasilnya, Dapat dilihat dari dua sisi berbeda dari uang gobangan yaitu Uang gobangan yang berbentuk gambar dan Uang gobangan yang berbentuk tulisan. Seperti gambar dibawah ini.
Gambar 1 Uang Gobangan Sisi Gambar Gambar 2 Uang Gobangan Sisi Tulisan Keterangan : A : Uang gobangan yang berbentuk gambar, yang mengartikan marah. B : Uang gobangan yang berbentuk tulisan, yang mengartikan ketawa. Jika saat lemparan Sio-pwee yang memunculkan bagian sisi tulisan dan tulisan, dan sisi gambar dan gambar dapat diartikan bahwa leluhur belum selesai makan, maka sajian makanan belum dapat diambil. Sedangkan jika hasil lemparan sio-pwee memunculkan sisi yang berbeda seperti muncul sisi gambar dan muncul sisi tulisan, dapat diartikan bahwa leluhur sudah selesai makan, maka sajian makanan sudah dapat diambil dan sembahyang pun bisa diakhiri. Sanak keluarga sudah dapat mengangkat makanan yang disembahyangkan. Sesudah itu keluarga membakar kertas gin-coa dan kertas panjang kuning. Di atas kertas yang sedang dibakar, disiramlah segelas arak dengan cara menyiram tiga kali berkeliling, dibakar juga sedikit makanan, nasi, dan kua cai ke dalam api yang sedang menyala, yang diartikan sebagai mengusir roh jahat dan persembahan dapat diterima langsung oleh leluhur. Maka selesailah upacara sembahyang. Sanak keluarga sudah boleh menikmati makanan yang sudah disembahyangi tersebut. Sembahyang di rumah Dan untuk tata cara sembahyang Qing Ming di rumah hampir sama dengan sembahyang Qing Ming di kuburan, tetapi untuk sembahyang di rumah ada beberapa peralatan dan penyajian yang harus dipersiapkan seperti : Meja Altar Peralatan dan penyajian yang digunakan adalah meja altar persegi panjang (si zhuo), papan arwah (shen zhu), tempat menancapkan dupa batang (xiang lu), teh, manisan kering (cha liao) yang berisi Tang Kue atau disebut Tang Koa (manisan beligo), Teh Liao (gula batu), Angco atau disebut Seng-jin atau manisan Bi-cian yang mengartikan hidup berjalan manis, baik, arak putih mengartikan Yin Yang (keseimbangan), disediakan juga tampin (sirih) dan rokok. Meja Sajian Peralatan dan penyajian yang digunakan adalah meja bujur sangkar tempat sajian (ji zhuo), tabir penutup meja sembahyang (zhuo wei), beberapa piring dan mangkok nasi, samseng (daging babi, ayam, ikan bandeng), sayur kuah (baso lohwa, yang berarti semua sanak keluarga dapat rukun, sayur lodeh, ayam keloak, opor ayam, babi jin, babi hong), sayur kering (ayam goreng, udang goreng, ikan
7 goreng, bakmi goreng, cah pete, ba qian (kentang dan babi), ketupat dan lepet, serta sayur kua cai yang diartikan sebagai sajian makanan untuk orang meninggal. Setelah itu disajikan juga buah (apel, jeruk, pisang, nanas, pir), kue wajik (mi gao), kue kura-kura (gui gao), kue mangkok (fa gao). Lalu disamping kanan dan kiri ujung meja terdapat tempat menancapkan lilin (zhu tai). Beberapa arti persajian sembahyang yaitu Ju Zi: Jeruk, mengartikan keberuntungan, Fa Gao: Kue mangkok, mengartikan berkembang, Mi Gao: Kue wajik, mengartikan bersatu, Gui Gao: Kue ku, mengartikan panjang umur, Xiang Jiao: Pisang, mengartikan memanggil atau mengundang, Zhu Tai: Tempat menancapkan lilin, Lilin: Mengartikan cahaya penerangan Cara Bersembahyang Setelah semua peralatan penyajian disajikan dan ditata, yang pertama mulai memasang hio lalu disojakan di depan meja sembahyang yaitu anak lelaki, kemudian ditancapkan pada hio-louw, lalu disusul dengan anggota keluarga lainnya. Sesudah hio hampir padam, salah satu anggota keluarga melakukan sio-pwee atau melempar uang dan biasanya uang gobangan. Dari cara ini untuk mengetahui makanan yang disajikan sudah selesai dimakan atau belum, jika sudah selesai maka selesailah sembahyang ini dan makanan yang disajikan pun dapat diangkat. Kemudian keluarga bisa memulai membakar kertas gin-coa dan kertas panjang kuning di luar rumah dengan menggunakan tong besi. Di saat kertas yang sedang terbakar, kemudian disirami segelas arak dengan cara menyiram tiga kali berkeliling, dibakar juga sedikit makanan, nasi dan kua cai ke dalam api yang sedang menyala. Maka selesailah upacara sembahyang. Dan para anggota keluarga juga sudah dapat menikmati makanan sembahyang tersebut. Penulis mengunakan teori semiotik untuk menganalisa tata cara perayaan Qing Ming di kalangan masyarakat Tionghoa Cina Benteng, dikarenakan peneliti melihat dari tradisi perayaan Qing Ming, banyak sekali sajian yang dipersiapkan dalam tradisi Qing Ming. Sajian tersebut merupakan tanda yang mewakili sesuatu yang dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan, dan perasaan. Harapan dan pikiran masyarakat Cina Benteng dalam perayaan Qing Ming terlihat dari sajian yang mereka sajikan untuk leluhurnya yang mengandung makna simbolis yang baik dan membawa keberuntungan, misalnya: buah seperti pisang yang artinya memanggil atau mengundang, nanas yang artinya kemakmuran datang, jeruk yang artinya keberuntungan, kue seperti wajik yang artinya bersatu, kue mangkok yang artinya berkembang.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil wawancara dan studi pustaka yang dilakukan oleh penulis maka dapat disimpulkan bahwa makna perayaan Qing Ming bagi masyarakat Cina Benteng masih sama dengan makna awal dari Konfusius yaitu menghormati leluhur atau berbakti, tetapi masyarakat Cina Benteng masih memiliki makna tambahan seperti reuni keluarga dan tahun baru orang yang meninggal. Dan dalam tata cara perayaan Qing Ming di masyarakat Cina Benteng, adat istiadat kebudayaan perayaan Qing Ming sudah tidak murni lagi, Tetapi pada masyarakat Cina Benteng yang dalam penyajian makanan juga telah berakulturasi dengan budaya Sunda, seperti adanya makanan Sunda yang disajikan dalam perayaan Qing Ming contohnya lepet, ketupat, dan lain sebagainya. Dari hasil penelitian, penulis ingin pembaca dapat mengetahui dan mengenal tradisi dari peranakan Tionghoa terutama kebudayaan Qing Ming Cina Benteng. Oleh karena itu, baik masyarakat luas ataupun masyarakat Cina Benteng dapat terus melestarikan tradisi kebudayaan Qing Ming yang sudah ada. Sekiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya dan masyarakat luas.
REFERENSI
韩鉴堂.北语对外汉语精版教材[M]. 北京:北京语言大学出版社, 2005. 何元智,白雪飞. 中国传统节日及传说(The Tradisional Chinese Festival and Tales)[M]. 重庆: 重庆出版社, 2001. 任耕耘.传统节日[M].合肥:黄山书社, 2009. 广领导小组办公室. 中国文化常识(Common Knowledge About Chinese Culture)[M]. 北京:高 等教育出版社, 2007. 贾中恒,朱亚军.(2002). Peirce 的符号学三元观.外语研究,serial no.73,diakses 24 Januari 2015 dari http://wenku.baidu.com/link?url=bh9VoFUiEZYqVewV6tLMrieQYJqtbV6s-YC2YfhbEfl2p5UI
8 58ltLiQpY-ZBtGYEiR84UaQFAtTevRY04my3CI88BoNc_aX2pd7_vLMHBCK. Goh Pei Ki, Fu Chunjiang. (1997). Origins of Chinese Festivals : Asal Mula Festival China. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
9 Lan, Nio Joe. (2013). Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Santosa, I. (2012). Peranakan Tionghoa di Nusantara. Jakarta : Buku Kompas (PT Kompas Media Nusantara). Wibisana, W. (2009). Hari-hari raya Tionghoa. Jakarta : Suara Harapan Bangsa. Sulasman, Gumilar. Setia. (2013). Teori-Teori Kebudayaan. Bandung : CV Pustaka Setia. Theo, Rika, Lie, Fennie. (2014). Kisah, Kultur, dan Tradisi Tionghoa Bangka. Jakarta : Buku Kompas (PT Kompas Media Nusantara). Danandjaja, James. (2007).Folklor Tionghoa : Sebagai Terapi Penyembuh Amnesia Terhadap Suku Bangsa dan Budaya Tionghoa. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti. Aspertina. (2012). Etnis Tionghoa yang Masih Memegang Tradisi Leluhurnya, Akan Merayakan Hari Raya Ceng Beng. Jakarta : Catatan Publik, diakses 17 Januari 2015 dari http://www.aspertina.org/artikel/catatan-publik/2012/11/06/ceng-beng-(ching-ming)/ Syafrida, R. (2012). Kajian Fungsi dan Makna Tradisi jisi zuxian yanjiu (Penghormatan Leluhur) Dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa: Penelitian Kualitatif di Medan. Medan: Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 22 Agustus 2014 dari www.etnomusikologiusu.com/uploads/1/8/0/0/.../skripsi_reny.docx Anita Sugianta, Mey Lisa. (2011). Analisa Perubahan Sosial Masyarakat Sewan Lebak Wangi (Perbandingan Era Reformasidan Orde Baru). Jakarta: Universitas Bina Nusantara. Diakses pada 25 Januari 2015 dari http://eprints.binus.ac.id/23298/1/2011-2-00735-MD%20Abstrak001.pdf Hidayah, N. (2009). Tradisi Nyadran di Dusun Pokoh, Desa Ngijo, Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Diakses pada 29 Oktober 2014 darihttp://digilib.uin-suka.ac.id/2676/1/BAB%20I,V.pdf Ongkowijaya, B.(2010). Peribadahan Umat Ru. Depok: Wisma Kinasih.
RIWAYAT PENULIS Laureni lahir di Jakarta pada tanggal 10 November 1992. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang jurusan Sastra China pada tahun 2015 dan menamatkan pendidikan SMA di SMA Kristen Yusuf , Jakarta. Saat ini bekerja sebagai guru di Kiddie Club School. Natalia Candilla lahir di Jakarta pada tanggal 25 Desember 1991. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang jurusan Sastra China pada tahun 2015 dan menamatkan pendidikan SMA di SMA Tarakanita 2, Jakarta. Saat ini bekerja sebagai guru di Ai Xin. Kelly Rosalin lahir di Pontianak pada tanggal 21 November 1987. Menamatkan Pendidikan S1 di Bina Nusantara University Sastra Cina 2010 dan S2 di Nankai University Teaching Chinese For Speaking Of Other Languages 2012. Saat ini bekerja sebagai SCC (Subject Content Coordinator) di jurusan Sastra Cina Bina Nusantara University.
1
11
1