MAKNA DAN TATA CARA BHAKTI-PUJA DALAM AJARAN BUDDHA MAITREYA (Studi kasus di Vihara Maitreyawira Angke Jelambar Jakarta Barat) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh Yoyoh Masruroh NIM:102032126604
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H./2008 M.
MAKNA DAN TATA CARA BHAKTI-PUJA DALAM AJARAN BUDDHA MAITREYA (Studi kasus di Vihara Maitreyawira Angke Jelambar Jakarta Barat) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh Yoyoh Masruroh NIM:102032126604
Pembimbing
Hj. Siti Nadroh, M.Ag NIP: 150282310 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H./2008 M.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Al-hamdulillah segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain karena kekuatan-Nya. Karena anugrah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “TATACARA BAKTIPUJA DALAM AJARAN BUDDHA MAITREYA kasus di Vihara Maitreyawira Angke Jelambar Jakarta Barat).”
(studi
Shalawat dan
salam semoga Allah SWT selalu curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW. Dalam penulisan skripsi, Penulis menyadari tidak sedikit tentunya kendala, hambatan dan kesulitan yang Penulis hadapi baik yang menyangkut pengaturan waktu pengumpulan bahan-bahan ataupun kondisi objektif di lapangan dan sebagainya. Namun dengan pertolongan Allah SWT serta berkat kesungguhan hati dan kerja keras penulis dapat melewati kesulitan yang dihadapi dan semua ini tidak lepas dari dukungan, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak yang selalu menyertai penulis. Untuk ini penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bpk. DR. M. Amin Nurdin, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. 2. Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA dan Bpk. Maulana, MA, selaku ketua dan sekretaris Jurusan Perbandingan Agama yang telah memberikan banyak pengarahan. 3. Ibu Hj. Siti Nadroh, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing, memberi petunjuk dan nasehat kepada penulis dengan ikhlas demi keberhasilan penulis.
4. Segenap bapak dan ibu dosen Fakultas Ushuluddin dan Filasafat, khususnya pengajar Jurusan Perbandingan Agama yang dengan ikhlas mentranfor ilmu pengetahuan yang tiada ternilai harganya. 5. Pimpinan dan staf perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan perpustakaan PUSDIKLAT Maitreyawira Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan. 6. Ayahanda H. Mahdi Saykhan dan Ibunda Hj. Siti Qomariyah atas pengorbanan dan cinta kasihnya baik berupa moril maupun materil serta doa yang tak pernah putus untuk keberhasilan studiku. 7. Pdt. Citra Surya, Pdt. Nirwan, Pdt. Halim dengan toleransi keterbukaan yang sangat tinggi memberikan informasi dan data yang diperlukan dan juga mengijinkan penulis untuk mengadakan penelitian dan wawancara guna menyelesaikan skripsi ini. 8. Bpk. We Han dan Bpk. Kim Boen, Bpk. Aji yang telah meluangkan waktunya memberikan informasi hingga penulis dapat bertemu dengan pandita yang ingin diwawancara. 9. Keluarga besar, adik-adikku tercinta; Aa ajul, Dede Dadal, Dede Cacah dan Dede Babad yang selalu memberikan doa dan motivasinya kepada kakak pertama. 10. Semua teman-temanku di Jurusan Perbandingan Agama “Angkatan 2002” Dadan terima kasih atas masukannya untuk menyusun skripsi ini, juga Uni Pe’i, Neng Desi, Mhia, Tati, Nunu, Dini, Oland, Ajat, Syamsuddin, Abew, Mba Eni, Uqoh, Endah, Eha, Acun, Hamdan, Sahal. 11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah memberikan bantuannya kepada Penulis, hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT semoga berkenan menerima segala kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya balasan atas amal baik mereka. Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah khazanah keilmuan kita.
Jakarta, 03 Maret 2008
Yoyoh Masruroh
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .........................................................................
i
KATA PENGANTAR .................................................................................
ii
DAFTAR ISI ................................................................................................
v
BAB I
BAB II
BAB III
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ......................................
5
C. Tujuan Penulisan .....................................................................
6
D. Tekhnik dan Metode Penulisan ...............................................
7
E. Sistematika Pembahasan..........................................................
9
: VIHARA MAITREYAWIRA ANGKE JELAMBAR A. Pengertian Vihara, Fungsi dan Maknanya ..............................
11
B. Sejarah Kelahiran Buddha Maitreya dan Ajaran-Nya.............
14
C. Letak dan Sejarah Singkat Vihara Maitreyawira Jakarta ........
29
D. Kegiatan-kegiatan di Vihara Maitreyawira ............................
31
: SEJARAH
BHAKTI-PUJA
DALAM
AJARAN
BUDDHA
MAITREYA
BAB IV
A. Pengertian dan Sejarah Bhakti-puja ........................................
34
B. Tujuan Dilaksanakannya Bhakti-puja .....................................
37
C. Tatacara Bhakti-puja................................................................
39
: TATA CARA BHAKTI - PUJA DI VIHARA
MAITREYAWIRA
BAB V
A. Pelaksanaan Bhakti-puja..........................................................
51
B. Makna Waktu Pelaksanaan Bhakti-puja..................................
52
C. Makna Simbol-simbol di Ruang Pelaksanaan Bhakti-puja .....
55
D. Makna Dari Prosesi Bhakti-puja..............................................
59
E. Analisis ....................................................................................
66
: PENUTUP A. Kesimpulan..............................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
75
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasrkan penelitian sosio kultural, masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius. Hal ini tergambar dalam kehidupan masyarakatnya yang tidak dapat dilepaskan dari kehadiran dan perkembangan agama-agama besar, termasuk munculnya aliran-aliran agama tersebut. Majlis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) merupakan sebuah organisasi besar Agama Buddha yang terhimpun dalam wadah WALUBI, yang lebih terkenal dengan sebutan aliran Buddha Maitreya. Dikatakan aliran Maitreya; karena dalam altar pemujaan di setiap vihara, selain menghormati Hyang Buddha Sakyamuni selaku guru pendiri Agama Buddha, Buddha Maitreya sangat dijunjung tinggi bahkan menjadi sentral sraddha (keyakinan), sila (disiplin diri) dan samadhi (meditasi) dalam segenap perjuangan pembinaan diri para pengikutnya.1 Aliran Buddha Maitreya Indonesia dipelopori oleh Maha Sesepuh Maitreyawira (Alm), seiring dengan didirikannya Vihara Buddha Maiterya perdana di kota Malang (Jawa Timur) tahun 1950. Saat itu vihara yang dirintis hanya sebuah kamar kecil dan hanya memiliki enam alas sujud saja, tetapi tahun demi tahun didirikan cabang vihara di Pasuruan, Semarang, Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya. Kini MAPANBUMI dipimpin oleh M.S.Gautama Hardjono.2 Setelah kurang lebih 50 tahun berkiprah, MAPANBUMI mengalami perkembangan dan pertumbuhan jumlah vihara sebanyak 300-an unit dan hampir
1
Korda IV MAPANBUMI, “Keluhuran Sebuah Vihara,” Cahaya Maitri, no. 26 (Jakarta: September, 2001): h. 10 2 Korda IV MAPANBUMI, “Keluhuran Sebuah Vihara,” h. 10
mencapai sejuta umat. Kemajuan tersebut tentu menggembirakan semua pihak; baik pemerintah, masyarakat dan tentunya umat Buddha Maitreya sendiri, sehingga pembinaan spiritual akan langgeng. Sebagai organisasi keagamaan Buddha, MAPANBUMI memiliki peran dan tanggung jawab yang amat besar terhadap bangsa dan negara di dalam mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Maka itu MAPANBUMI mengemban kewajiban untuk membina umatnya agar beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Buddha dan Bodhisatva serta memiliki budi pekerti yang luhur. Selain mengamalkan dharma agama, umat MAPANBUMI juga senantiasa diarahkan untuk mengamalkan dharma negara dengan memberikan dedikasi dan pengabdian yang setulus-tulusnya kepada bangsa dan negara tanpa membedakan agama, ras, dan suku. Di atas bumi kita ini akan dibangun sebuah tatanan baru yang damai sentosa, rukun, tentram bahagia, makmur sejahtera; serba cukup, tiada duka, tiada gelisah dan sebagainya. Figur yang diharapkan merealisasikan cita-cita agung ini adalah Maitreya. Di China, Maitreya dikenal sebagai Buddha Tertawa. Dalam sutra Buddhis tercatat bahwa Maitreya adalah Manushi-Budddha berikutnya yang akan datang ke dunia kita setelah 5.670.000.000 tahun parinibbananya Buddha Gautama. Kini Maitreya sedang mengamalkan Bodhisatva Dharma di Tusita. Beliau adalah seorang Bodhisatva yang menolak memasuki Nirwana (keadaan transendental bebas dari semua penderitaan).3 Pemujaan Maitreya sebenarnya sudah mulai berkembang sejak abad ke2 dan pratima Maitreya yang terlihat dewasa inipun ada berbagai versi; ada yang duduk bersila (sedang membabarkan Dharma di Tusita), ada yang berkontemplasi (sedang merenungi keadaan umat manusia), ada yang versi Tathagata (mencapai penerangan 3
Korda IV MAPANBUMI, “Keluhuran Sebuah Vihara,” h. 30
sempurna di bawah pohon puspa naga). Pratima-pratima yang dibuat dalam berbagai macam gaya menunjukkan pemujaan yang luas terhadap Maitreya. Rupa Maitreya yang dikenal secara populer adalah yang berperut gendut dan tertawa lebar.4 Sedangkan Maitreya itu sendiri berasal dari bahasa Sanskrit yang berarti cinta kasih, welas asih. Ia juga dimuliakan dengan sebutan Pengasih Agung. Dengan kasih dan kebahagiaan Ia datang menyelamatkan umat manusia, terutama mereka yang belum mencapai keberhasilan dan pembinaan masa lalu. Guru spiritual agung ini datang untuk seluruh umat manusia, Maitreya akan datang di saat dunia mencapai puncak perkembangan material dan spiritual.5 Ia adalah figur yang akan meneruskan kebenaran universal6 serta mendatangkan aspirasi bagi semua makhluk untuk mencapai pencerahan. Maitreya memiliki sumpah yaitu mengubah dunia yang lama ini menjadi dunia baru, menata dunia menjadi surga. Tempat hidup kita selama ini dipenuhi kejahatan, pertikaian, kebencian, ketidakadilan dan seterusnya. Dalam kebesaran kasih-Nya kepada umat manusia Buddha Maitreya senantiasa hidup di antara umat manusia. Kekuatan janji dan ikrar agung-Nya selalu bekerja di dalam hati manusia yang berbhakti-puja kepada-Nya. Hal ini terbukti dari kedatangan-Nya berkali-kali ke dunia ini. Kedatangan Beliau dan wafatnya Sang Buddha atas permohonan Yang Arya Asanga. Demikianlah perjuangan suci Buddha Maitreya menuju kesempurnaan. Dalam Sutra Ikrar Sang Buddha bersabda pada Yang Arya Ananda bahwa Bodhisatva Maitreya telah membina diri dengan metode yang praktis, mudah dan membahagiakan. Beliau berjuang 4
Korda IV MAPANBUMI, “Keluhuran Sebuah Vihara,” h. 31 Korda IV MAPANBUMI, “Keluhuran Sebuah Vihara,” h. 33 6 Kebenaran universal adalah bahwa Maitreya menerima semua manusia, karena semua manusia pasti akan datang kepada Maitreya dan kedatangan Maitreya juga untuk menyatukan semua umat manusia tanpa membedakan suku, bangsa dan agama, (Wawancara pribadi dengan Pandita Nirwan, Jakarta, 20 Januari 2008) 5
siang dan malam dalam tiga waktu dengan sepenuh hati mendisiplinkan badan, dan dengan jubah yang rapi berlutut berbhakti-puja menghadap ke sepuluh alam sambil berikrar suci sebagaimana yang tersebut di atas. Inti dari perjuangan Buddha Maitreya untuk mencapai kebuddhaan adalah;
1. Penyesalan dan bertobat 2. Menghormati dan memuliakan semua makhluk 3. Mengasihi semua makhluk Inilah semangat perjuangan dan kasih Buddha Maitreya yang tiada tara. Penyesalan dan pertobatan semata lahir dari dasar jiwa yang penuh panggilan kasih dan tanggung jawab. Karena kasih-Nya yang besar Beliau senantiasa merasa bersalah dan berdosa. Amat berbeda dengan seorang awam yang kendati penuh kejahatan namun tetap merasa suci dan mulia. Inilah yang menjadi dasar pembinaan bagi umat yang memuja Buddha Maitreya. Samadhi dan pembacaan Parrita diganti dengan bhakti-puja pertobatan sehari tiga kali sama seperti yang dilakukan oleh Buddha Maitreya. Jiwa yang sadar bertobat tak akan ada lagi benci maupun dendam, juga keakuan dan keegoisan. Segala kemelakatan dan noda batin dilenyapkan dengan tobat nurani. Untuk membahas masalah tersebut, Penulis mencoba memaparkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “MAKNA DAN TATACARA BHAKTI-PUJA DALAM AJARAN BUDDHA MAITREYA”
(studi
Vihara Maitreyawira Angke Jelambar Jakarta Barat)
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
kasus
di
Melihat pada latar belakang masalah di atas, permasalahan yang ingin dibahas dalam skripsi ini, Penulis merumuskannya sebagai berikut : 1. Apa pengertian bhakti-puja? 2. Apa Tujuan dari pelaksanaan bhakti-puja? 3. Bagaimana tatacara bhakti-puja dan apa maknanya bagi umat di Vihara Maitreyawira?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan pembahasan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui tatacara pelaksanaan bhakti-puja dalam ajaran Buddha Maitreya. 2. Untuk mengetahui makna dari bhakti-puja bagi umat Buddha Maitreya khususnya di Vihara Maitreyawira. 3. Untuk menumbuhkan pengertian dan keharmonisan serta toleransi antar umat beragama. Tujuan penulisan skripsi ini juga sebagai kontribusi kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk meraih gelar kesarjanaan strata 1 (S1) di jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tekhnik dan Metode Penulisan Untuk mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan maka dalam proses pengumpulan data Penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Study kepustakaan (Library Research), Penulis berusaha mengumpulkan beberapa referensi yang berkaitan dengan penelitian antara lain: buku, majalah, internet, dan artikel. 2. Penelitian lapangan (Field Research). Dalam penelitian ini Penulis menggunakan observasi langsung melalui interview atau wawancara dengan pengurus dan umat Buddha Maitreya yang berlokasi di Angke Jelambar. Dengan tekhnik ini, Penulis berusaha memahami bagaimana tatacara baktipuja dalam Buddha Maitreya khususnya di Vihara Maitreyawira Jakarta. Adapaun metode yang Penulis pergunakan dalam membahas skripsi ini adalah pendekatan Fenomenologis. Istilah Fenomenologis berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang secara harfiah berarti “gejala” atau “apa yang manampakkan diri” sehingga nyata bagi kita. Metode fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938) dengan semboyan: Zuruck zu den sachen selbst (kembali kepada hal-hal itu sendiri).7 Maksudnya, kalau kita ingin memahami sebuah fenomena jangan hanya puas mempelajari pendapat orang tentang hal itu atau memahaminya berdasarkan teori-teori, tetapi kembalikan kepada subjek yang melakukannya secara langsung. Dalam memahami sesuatu, fenomenologi menghendaki keaslian (dasariah), bukan kesemuan dan kepalsuan. Untuk menemukan keaslian (kebenaran dasariah) fenomenologi menyarankan dua langkah atau reduction (penjabaran). Pertama, fenomena diselidiki hanya sejauh disadari secara langsung dan spontan sebagai berlainan dengan kesadaran diri. Kedua, fenomena
7
Dister Ofm, Nico Syukur, Pengalaman dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 25
diselidiki hanya sejauh merupakan bagian dari dunia yang dihayati sebagai keseluruhan (live world), tanpa dijadikan objek ilmu yang terbatas.8 Dalam bekerja, fenomenologi menerapkan metodologi ilmiah dalam meneliti fakta religius yang bersifat subjektif seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, ide-ide, emosiemosi, maksud-maksud, dan sebagainya dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar (perkataan dan perbuatan). Perlu diingat bahwa dalam perspektif fenomenologi, masalah objektivitas berarti membiarkan fakta-fakta bicara untuk dirinya sendiri. Untuk mengungkap fakta yang bersifat subjektif menjadi fenomena objektif, Dhavamony menyarankan dua hal: epoche9 dan eiditik10, atau etik dan emik menurut Pike. Berkaitan dengan tekhnik penulisan, Penulis merujuk pada buku yang dijadikan pedoman di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu judul “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta; CeQDA UIN, 2007).”
E. Sistematika Pembahasan Penulisan skripsi ini terbagi menjadi beberapa bab dan sub bab dengan perincian sebagai berikut :
8
Dister Ofm, Nico Syukur, Pengalaman dan Motivasi Beragama, h. 26. Epoche adalah penilaian yang dikonsepkan sebelumnya harus ditunda sebelum fenomena itu bicara untuk dirinya. Seorang fenomenolog harus mempertanyakan hakikat yang sebenarnya, tanpa harus terlibat untuk merumuskan baik-buruknya. 10 Eiditik adalah pemahaman makna religius yang diperoleh hanya lewat pemahaman ungkapan-ungkapan. Ungkapan-ungkapan ini meliputi kata-kata dan tanda-tanda, apa pun jenisnya. Hanya melalui ekspresilah kita menangkap pikiran-pikiran religius orang lain, dan dengan memikirkan serta mengalaminya kembali, dengan empati atau wawasan imajinatif, kita memasuki pikiran mereka. Pemahaman yang empati berarti memperlihatkan pemahaman terhadap tingkah laku orang lain yang meliputi pengalaman, pikiran, emosi, ide-ide orang lain berdasarkan pengalaman dan tingkah lakunya sendiri. Itulah sebabnya penelitian fenomenologi sangat mengandalkan metode partisipatif agar peneliti dapat memahami tindakan religius dari dalam. (Lihat Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: kanisius, 1995), h. 34-35 9
Bab pertama Penulis akan membahas seputar uraian tentang materi signifikansinya, yang terdapat dalam latar belakang masalah, kemudian secara berurutan akan dibicarakan perumusan masalah, tujuan pembahasan, metode penelitian, tekhnik penulisan, dan sistematika pembahasan, yang semuanya tercakup dalam Bab Pendahuluan. Bab kedua ini Penulis menjelaskan sekilas tentang Vihara Miatreyawira dan Buddha Maitreya karena pelaksanaan bhakti-puja adalah sembahyang yang rutin dilakukan oleh umat Buddha Maitreya dan bhakti-puja merupakan salah satu perjuangan dari Buddha Maitreya yaitu berupa pertobatan dan penyesalan. Dalam pembahasannya, Penulis menguraikan Vihara Maitreyawira yang meliputi pengertian, fungsi, makna, sejarah vihara dan kegiatan Vihara Maitreyawira. Dalam pembahasan berikutnya tentang sejarah dan ajaran-ajaran Buddha Maitreya. Bab ketiga merupakan inti dari pembahasan, di mana Penulis akan menguraikan tentang tatacara pelaksanaan bhakti-puja. Tetapi, sebelumnya Penulis membahas terlebih dahulu pengertian, sejarah, dan tujuan dilaksanakan bhakti-puja. Bab keempat setelah menjelaskan pelaksanaan dari bhakti-puja Penulis manguraikan makna tatacara bhakti-puja di Vihara Maitreyawira. Yang meliputi makna dari simbol-simbol dan makna prosesi bhakti-puja. Bab kelima Merupakan Bab Penutup, yang berisi kesimpulan.
BAB II VIHARA MAITREYAWIRA TAMAN DUTA MAS ANGKE CILEMBER
A. Pengertian Vihara, Fungsi dan Maknanya Vihara atau arama pertama dalam sejarah Buddha terletak di atas tanah yang dinamakan Isipatana Migadaya (taman rusa Isipatana), dekat kota Banarasi. Tempat yang sangat indah ini mengandung makna sejarah yang sangat penting bagi umat Buddha yang tidak mungkin dapat dilupakan.11 Pada awalnya pengertian vihara sangat sederhana yaitu pondok atau tempat tinggal atau tempat penginapan para bhikku dan bhikkuni, samanera, samaneri. Namun kini pengertian vihara mulai berkembang, yaitu: vihara adalah tempat melakukan segala macam bentuk upacara keagamaan menurut keyakinan, kepercayaan, dan tradisi agama Buddha, serta tempat umat awam melakukan ibadah atau sembahyang menurut keyakinan, kepercayaan, dan tradisi masing-masing baik secara perorangan maupun berkelompok. Di dalam vihara terdapat satu atau lebih ruangan untuk penempatan altar.12 Dulu sebelum dikenal vihara, tempat tinggal para bhikku adalah goa-goa, di bawah pohon, di kuburan, di atas bukit, di tumpukan jerami, dan di tempat penduduk yang menyediakan tempat untuk menginap. Setelah banyak orang yang mendengarkan ajaran Sang Buddha dan berlindung kepada Sang Tri Ratna mereka bermaksud untuk menyediakan tempat tinggal bagi para bhikku yang layak. Sang Buddha kemudian memperbolehkan umat berdana di vihara.
11
Bhikku Subalaratano dan Samanera Utamo, Bhakti (puja), (Jakarta: Sangha Theravada Indonesia, tt), h.
12
Suwarno T, Buddha Dharma Mahayana, Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999-2538 B.E., h. 908
16
Pada mulanya umat Buddha belum mempunyai vihara secara khusus. Gagasan untuk membangun sebuah vihara pertama kali dilakukan oleh Raja Bimbisara dari kerajaan Rajagaha. Suatu ketika Raja Bimbisara mendengarkan ajaran Sang Buddha dan mencapai sottapati (tingkat kesucian pertama) maka beliau memberikan persembahan kepada Sang Buddha dan para bhikku. Atas pemberian tersebut, Sang Buddha memberikan persyaratan sebagai berikut: •
Tempat tersebut tidak jauh, dekat dan ada jalan lewat.
•
Tidak terlalu banyak suara di siang hari maupun malam hari.
•
Tempat tersebut tidak banyak gangguan serangga, angin, terik matahari dan pohon menjalar.
•
Orang yang tinggal di situ mudah mendapat jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan sebagai pengobatan bagi orang sakit.
•
Di tempat tersebut ada bhikku yang lebih tua (senior) yang mempunyai pengetahuan tentang kitab suci (Dhamma-Vinaya) Sejak saat itu pengurusnya menerima Dana Vihara. Dengan semakin banyak
penganut ajaran Sang Buddha, maka vihara bukan hanya sebagai tempat singgah para bhikku tetapi juga digunakan oleh para upasaka dan upasika untuk belajar dhamma. Pada saat ini umat Buddha terutama di Indonesia datang ke vihara untuk melakukan puja bhakti bersama-sama pada hari yang telah mereka tentukan. Selain puja bakti umat juga mengadakan berbagai kegiatan lain yang sesuai dengan dhamma dan vihara. Jadi vihara adalah sebagai tempat singgah atau tempat tinggal bagi para bhikku dan sebagai sarana ibadah umat Buddha. Sedangkan jika dilihat dari fungsi vihara, adalah sebagai berikut:
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Tempat tinggal para bhikku dan samanera. Tempat pendidikan putera-puteri bangsa, agar menjadi warga masyarakat yang berguna. Tempat yang memberikan rasa aman bagi semua umat Buddha. Tempat pendidikan moral, sopan santun dan kebudayaan. Tempat untuk berbuat kebajikan dan kebaikan. Tempat menyebarkan dhamma. Tempat yang menunjukkan jalan kebebasan. Tempat latihan meditasi dalam usaha merealisasi cita-cita kehidupan suci. Tempat kegiatan-kegiatan social yang bersifat keagamaan.13
Adapun makna vihara yang keberadaannya sangat dikuduskan adalah sebagai berikut: 1. Vihara adalah tempat memuliakan Tuhan dan para Buddha-Bodhisatva. 2. Vihara adalah tempat diturunkannya Inisiasi Suci pembebas samsara. 3. Vihara adalah tempat berlindung dari bencana dan malapetaka. 4. Vihara adalah tempat kita mendekatkan diri kepada Tuhan. 5. Vihara adalah tempat kita bertobat dan memperbaiki diri. 6. Vihara adalah tempat memohon Ilham kearifan dan lindungan. 7. Vihara sebagai tempat beramal pahala melunasi ikrar. 8. Vihara adalah tempat kita mengemban misi suci Tuhan. 9. Vihara sebagai tempat mengasah kearifan dan welas asih. 10. Vihara adalah tempat kita menemukan kemukjizatan Tuhan.14 B. Sejarah Kelahiran Buddha Maitreya dan Ajaran-Nya Buddha Gautama bukanlah Buddha yang pertama di dalam masa dunia ini (masa dunia atau kalpa; satu kalpa lamanya kurang lebih 4.320.000.000 tahun). Buddha sebelumnya adalah Buddha Kakusandha, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa dan Buddha yang akan datang adalah Buddha Mettaya (Maitreya). Dalam Cakkavatti-Sihanada Sutta, Sutta ke-26 dari Digha Nikaya dikatakan bahwa: “Pada saat itu kota yang sekarang merupakan Varanasi akan menjadi sebuah ibu kota yang bernama Ketumati, kuat dan makmur, dipadati oleh rakyat dan berkecukupan. Di Jambudvipa akan terdapat 84.000 kota yang dipimpin oleh Ketumati sebagai ibu kota. Dan pada saat itu orang akan memiliki usia kehidupan sepanjang 84.000 tahun, di kota Ketumati
13 14
39
Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka jaya, Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka jaya, h. 30 Korda IV MAPANBUMI, “Keluhuran Sebuah Vihara,” Cahaya Maitri, no. 26 (September 2001), h.36-
akan bangkit seorang raja bernama Sankha, seorang Cakkavati (Raja Dunia), seorang raja yang baik, penakluk keempat penjuru. Dan pada saat orang memiliki harapan hidup hingga 84.000 itulah muncul di dunia seorang yang terberkahi, arahat, sammasambuddha bernama Metteya” Di dalam Buddhavacana Maitreya Bodhisattva Sutra disebutkan juga: “O, Arya Sariputra! Pada saat Buddha baru tersebut dilahirkan di dunia Jambudvipa. Situasi dan kondisi dunia Jambudvipa ini jauh lebih baik daripada sekarang. Air laut agak susut dan daratan bertambah. Diameter permukaan laut dari keempat lautan masing-masing akan menyusut kira-kira 3000 yojana, Bumi Jambudvipa dalam 10.000 yojana persegi, persis kaca dibuat dari permata lazuardi dan permukaan buminya demikian rata dan bersih”.15 Secara historis, Buddhisme Maitreya adalah bagian dari Buddha Mahayana sebab Buddha Maitreya merupakan sebuah perkembangan lanjutan dari Buddhisme Zen. Dalam perkembangan hingga terbentuknya yang sekarang, Buddha Maitreya memiliki doktrin dan garis kepatriatan yang langsung dari Buddhisme Zen sedangkan Buddhisme Zen merupakan salah satu mazhab Buddhisme Mahayana yang amat terkenal dan Buddhisme Zen inilah yang kemudian menjadi cikal bakal timbulnya Buddha Maitreya.16 Dengan demikian untuk memahami sejarah Buddha Maitreya perlu diawali pembahasan singkat tentang sejarah Buddhisme Mahayana terutama Buddhisme Zen. Didasari oleh personalitas yang khas inilah maka Buddhisme terus tumbuh dan berkembang hingga terbentuknya berbagai sekte dan aliran. Menurut beberapa catatan sejarah dikatakan telah terdapat 18 aliran di dalam agama Buddha setelah parinibbananya Sang Buddha. 15
Buddha Maitreya, “Ikuanisme,” artikel diakses tanggal 11 November 2007 dari www.Maitreyawira.org DPP MAPANBUMI, “Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddhis Maitreyawira,” (Jakarta: 26 Juni 1994) h. 8-9. 16
Dalam perkembangannya hingga ke Tiongkok, agama Buddha Mahayana dapat dibagi menjadi 8 mazhab sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Yogacara (Vijnanavada) Tri-sastra (Madhyamika) Avatamsaka Tien Thai Tantra Chan (Zen) Sukhavati Vinaya17
Buddhisme adalah kesempurnaan pribadi Sang Buddha itu sendiri, karena semua yang diajarkan Sang Buddha adalah pengalaman langsung diri Beliau. Akan tetapi tidak semua kebenaran dapat disampaikan melalui khotbah, karena segala macam khotbah dan bimbingan mendatangkan pemahaman, namun pemahaman tidak sama dengan pengalaman langsung. Pengalaman langsung akan kebenaran yang hidup dan kebenaran yang hidup itu bukan segala macam doktrin tentang sesuatu kebenaran. Kebenaran yang hidup ada di dalam diri, di depan mata dan dalam waktu itu juga.18 Oleh sebab itu dikisahkan bahwa suatu ketika Sang Buddha sedang berkumpul dengan murid-muridnya di Gunung Gradhrakuta, datanglah seorang Brahmin yang memberikan sekuntum bunga Khumbala kepada Sang Buddha untuk memohon agar Beliau berwelas memberikan dharma. Pada saat itu Sang Buddha hanya menggerak-gerakkan bunga itu dengan pelan tanpa menyampaikan sepatah kata pun.19 Dan semua muridnya merasa bingung karena tidak seorang pun yang dapat menangkap makna yang disampaikan oleh Sang Buddha, kecuali Maha Kasyapa yang tersenyun karena Beliau mampu menangkap sesuatu yang hidup yang ada di balik pribadi Sang Buddha. Dalam hati mereka penuh dengan 17
DPP MAPANBUMI, “Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddhis Maitreyawira,” h. 11 DPP MAPANBUMI, “Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddhis Maitreyawira,” h. 14 19 Peristiwa ini tercatat dalam Sutra tentang dialog antara Sang Buddha dengan Mahapitaka Brahmaraja. 18
kata dharma akan tetapi dharma hanyalah konsep bukan sesuatu yang hidup. Maha Kasyapa mengerti karena Beliau telah melihat Sesutu yang sama yang ada di dalam pribadinya. Sesuatu yang hidup ini begitu luar biasa dan dalam Buddhisme Maitreya Sesuatu yang hidup ini disebut Dharma Hati atau Hakekat Rohani.20 Peristiwa di atas dalam sastra-sastra Zen sering disebut: “Menggoyang Bunga menyampaikan makna (Nien hwe she cung)”21. Dan Buddhisme Maitreya memandang peristiwa tersebut sebagai awal peristiwa transmisi sejati dari Sang Buddha kepada seorang Patriat, yang kemudian diteruskan dari seorang Patriat kepada Patriat penerusnya. Demikianlah garis kepatriatan itu terbentuk dari Sang Buddha sampai pada kedua Guru Suci yang dalam Buddhisme Maitreya dihormati sebagai Bapak Guru Agung dan Ibu Guru Suci. Berawal dari peristiwa inilah lahir sebuah mazhab baru dalam Buddhisme Mahayana yang diberi nama Buddhisme Zen, yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya Buddha Maitreya. Sama seperti Buddhisme Zen, Buddha Maitreya meyakini sepenuhnya ajaran esoteris22 dalam Buddhisme sejak Sang Buddha di India.23 Adapun garis kepatriatan atau lebih sering disebut sebagai 27 Patriat Langit Barat (India) sebagai berikut: 1. Patriat ke-1 Yang Arya Maha Kasyapa 2. Patriat ke-2 Yang Arya Ananda 3. Patriat ke-3 Yang Arya Sanavasa 4. Patriat ke-4 Yang Arya Upagutpa
20 21
DPP MAPANBUMI, “Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddhis Maitreyawira,” h. 14 Menggoyang bunga menyampaikan makna disebut sebagai ajaran dari hati ke hati; berkontak dari jiwa
ke jiwa. 22
Esoteris adalah Transmisi Dharma dari hati ke hati antara satu patriat dengan patriat penerusnya. Yang menjadi tradisi warisan dari peristiwa di Gunung Gradhrakuta. 23 DPP MAPANBUMI, “Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddhis Maitreyawira,” h. 16
5. Patriat ke-5 Yang Arya Dhritaka 6. Patriat ke-6 Yang Arya Micchaka 7. Patriat ke 7 Yang Arya Vasumitra 8. Patriat ke-8 Yang Arya Buddhanandi 9. Patriat ke-9 Yang Arya Buddhamitra 10. Patriat ke-10 Yang arya Parsva 11. Patriat ke-11 Yang Arya Punyayasas 12. Patriat ke-12 Yang Arya Asvaghosa 13. Patriat ke-13 Yang Arya Kapimala 14. Patriat ke-14 Yang Arya Nagarjuna 15. Patriat ke-15 Yang Arya Kanadeva 16. Patriat ke-16 Yang Arya Rahulata 17. Patriat ke-17 Yang Arya Sanghanandi 18. Patriat ke-18 Yang Arya Gayasata 19. Patriat ke-19 Yang Arya Kumarata 20. Patriat ke-20 Yang Arya Jayata 21. Patriat ke-21 Yang Arya Vasubhandu 22. Patriat ke-22 Yang Arya Manorhita 23. Patriat ke-23 Yang Arya Haklena 24. Patriat ke-24 Yang Arya Simha 25. Patriat ke-25 Yang Arya Basiasita 26. Patriat ke-26 Yang Arya Punyamitra 27. Patriat ke-27 Yang Arya Prajnatara
Patriat yang ke-28 yaitu Yang Arya Bodhidharma, Beliaulah yang membawa ajaran esoteris ke Tiongkok dan Beliau juga dihormati sebagai Patriat pertama Bumi Timur. Kehadiran Beliau dipandang sebagai awal penyebaran Buddhisme Zen India di Tiongkok yaitu pada zaman dinasti Liang (502-522 M) di daerah Nanking.24 Saat Yang Arya Bodhidharma berdiam di gunung Sung San di Shau Lim Fu selama 9 tahun kemudian datang seorang Cendikiawan muda yang bernama Hui Khe untuk berguru. Beliau adalah murid pertama dari Yang Arya Bodhidharma dengan sebutan Patriat ke-2. Kemudian berlanjut ke Patriat berikutnya Yaitu: 1. Patriat 1. Bodhidharma 2. Patriat 2. Hui Khe 3. Patriat 3. Sheng Chan 4. Patriat 4. Tao Sin 5. Patriat 5. Hong Ren 6. Patriat 6. Hui Neng Dalam sejarah, Buddhisme Zen benar-benar menunjukkan karakteristiknya pada masa Patriat ke-6 Hui Neng. Beliau sangat menekankan realitas jiwa (Hsing) yaitu Hsing yang menunjuk pada sebuah realitas hidup yang bebas khayalan dan tiada keakuan. Disamping itu Beliau juga amat menekankan metode pertobatan dan penyesalan akan dosa dan karma diri. Metode pertobatan ini amat penting dalam Buddhisme Maitreya. Pada masa Hui Neng praktek Dhyana-samadhi diganti dengan kebangkitan Prajna (Kebijaksanaan Luhur) yang sifatnya aktif. Dalam sutra Beliau “Sutra Altar Mustika Dharma” Dhayana sejati itu ada pada gerak-aktif (samadhi dalam prilaku). Bagi Buddhisme Maitreya Dhayana sejati ada dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pikiran, ucapan dan perbuatan adalah satu kesatuan. 24
DPP MAPANBUMI, “Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddhis Maitreyawira,” h. 17
Semua bentuk pikiran luhur dan ucapan bijaksana harus diikuti dengan perbuatan nyata (prilaku amal). Dalam Buddhisme Maitreya kerja nyata adalah segala-galanya.25 Jadi Patriat Hui Neng adalah pendiri kerangka bangunan agama Buddha Maitreya, dan Patriat Hui Neng juga disebut sebagai Bapak Buddhisme Maitreya. Setelah Patriat Hui Neng meninggalkan gurunya di Huang Mei ada dua periode dalam perjalanan hidup beliau. Periode pertama yaitu periode tertutup atau persembunyian yang berlangsung selama 15 tahun dihitung sejak Hui Neng meninggalkan Huang Mei sampai kemunculannya di Vihara Pao Lin. periode kedua yaitu periode terbuka atau penampakkan diri yang dihitung dari kemunculan beliau di Vihara Pao Lin hingga beliau wafat. Selama periode terbuka inilah Hui Neng mengembangkan Buddhisme Zen (Dhyana-samadhi) sehingga muncul master-master Zen yang gemilang. Sejarah diatas merupakan peristiwa penting bagi Buddhisme Maitreya. Karena perjuangan beliau selama 15 tahun adalah awal garis kepatrian Buddhisme Maitreya. Dan pada masa tertutup ini beliau mengembangkan Buddhisme Dhyana-kebaktian yaitu perpaduan antara unsur dhyana dan keyakinan akan belas kasih Buddha (kekuatan diri sendiri dan kekuatan dari belas kasih Buddha Maitreya). Dalam sebuah kitab tentang Garis Nadi Kepatriatan Buddhisme Maitreya, dijelaskan bahwa patriat ke-7 yaitu dua pemuda yang bertemu beliau ketika beliau meninggalkan Huang Mei. Kedua pemuda itu bernama Pai Ie Can dan Ma Tuan Yang. Dengan Patriat ke-7 inilah Beliau menguraikan dharmanya dan menurunkan ajaran Esoteris Transmisi dari hati ke hati. Sama seperti yang dipesankan oleh gurunya, Patriat pun berpesan kepada dua muridnya ini agar terus menyembunyikan diri, karena misi mereka adalah menjaga Firman Tuhan yang
25
DPP MAPANBUMI, “Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddhis Maitreyawira,” h. 19
telah dipercayakan oleh Patriat kepada mereka
dan terus diturunkan kepada Patriat
penerusnya.26 Mulai dari Patriat ke-7 ini sistem kehidupan kebhiksuan telah ditinggalkan, digantikan dengan sistem kehidupan ke-Anagarikaan. Sebuah bentuk kehidupan yang penuh sila seperti kehidupan seorang bhiksu namun tidak menggundulkan kepala dan mengenakan jubah kuning. Dengan demikian setelah Patriat ke-6 garis kepatriatan terus dilanjutkan oleh Patriat ke-7 walupun tanpa pewaris jubah dan patra. Kedua guru inilah yang mulai meletakkan sistem pengamalan Buddhisme, di samping mempraktekkan dhyana27 dalam kondisi aktif yaitu saat berfikir, berbicara dan bekerja (inilah aspek pembinaan dhyana), dan mereka berdua juga melaksanakan praktek pertobatan, bhakti-puja dan penyerahan diri kepada Maitri-karuna Buddha Maitreya (inilah aspek pembinaan kebaktian). Gabungan kedua aspek ini yang disebut Dhyana-kebaktian. Patriat ke-7 lalu menurunkan ajaran esoteris ini kepada Patriat ke-8 Lo Wei Chin. Patriat ke-8 ini banyak mengembangkan aspek kebaktian (ajaran moral kebajikan dan cinta kasih), pengalaman agama bukan pada samadhi tetapi hendaklah diikuti dengan pengembangan moral kebajikan yang luhur. Patriat ke-8 menurunkan ajaran ini kepada Patriat ke-9 Huang Te Hwi dan Patriat ke9 inilah yang banyak mengembangkan tekhnik pembinaan diri dan pengamalan Ketuhanan melalui aspek kebaktian dalam Buddhisme Maitreya. Dan ajaran terbesar beliau adalah ajaran tentang konsep Tuhan sebagai Maha Penguasa alam semesta, Tuhan dijelaskan secara langsung dengan sebutan Ming Ming Shang
26 27
DPP MAPANBUMI, “Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddhis Maitreyawira,” h. 22-23. Dhyana adalah penginsyafan ke dalam bodhi watak diri sendiri.
Ti (Tuhan Maha Kuasa). Bila sebelumnya Tuhan hanya diajarkan sebagai pribadi pasif artinya Tuhan telah menggariskan hukum kesunyataan, maka hukum kesunyataan itulah yang bekerja, tidak ada kuasa Tuhan. Namun ajaran Patriat ke-9 dalam Buddhisme Dhyanakebaktian, Tuhan itu Maha Kuasa, Kuasa Tuhan ada di atas semua hukum kesunyataanNya. Dan Beliau mengajarkan bahwa Kuasa Tuhan adalah unsur mutlak untuk mencapai kesempurnaan diri. Oleh Patriat ke-9 inilah lahir etika bhakti-puja pengagungan langsung kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang bertahan hingga sekarang sebagai ciri khas Buddhisme Maitreya.28 Beliaulah yang mengungkap rahasia transmisi yang biasa disebut ajaran esoteris yang sesungguhnya yaitu ajaran Dharma Hati dan Kuasa Firman Tuhan. Ajaran Dharma Hati menunjuk pada aspek dhyana sedangkan ajaran tentang Kuasa Firman Tuhan menunjuk pada aspek kebaktian. Adapun perkembangan Buddha Maitreya dibagi menjadi tiga zaman yaitu; Maitreya di zaman pra-Buddha Sakyamuni, Maitreya di zaman Buddha Sakyamuni dan Maitreya di zaman Buddha Sakyamuni.29
1. Maitreya di Zaman Pra-Buddha Sakyamuni Sejak berkalpa-kalpa tahun yang lalu, Buddha Maitreya telah menjalin jodoh Ilahi, jodoh Buddha, jodoh Ketuhanan dengan segenap umat manusia. Di zaman praBuddha Sakyamuni sebagai Sarvajna Prabha Manusya Deva dan dalam Sutra Buddhis beliau berpantang daging. Beliau mengajarkan maîtri (kasih), karuna (belas kasih, kasih sayang), mudita (simpati) dan upekkha (keseimbangan batin) sebagai catur paramita untuk membimbing umat manusia. Karena panggilan cinta kasih terhadap segenap umat
28 29
DPP MAPANBUMI, “Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddhis Maitreyawira,” h. 25-26 DPP MAPANBUMI SUMUT, “Buddha Maitreya,” (Medan: Maha Vihara Maitreya, 2001), h. 14-24
manusia, beliau akhirnya meninggalkan keluarga dan membina di dalam hutan dan orang-orang menyebutnya Manusia Dewa. Suatu waktu saat Sarvajna Prabha Manusya Deva membina di tengah hutan, terjadi bencana banjir yang menyebabkan penduduk gagal panen dan Manusia Dewa tidak mendapatkan sedekah makanan selama 7 hari. Saat itu di atas gunung, tinggalah 500 ekor kelinci. Ketika melihat keadaan pertapa yang memprihatinkan, ratu kelinci akhirnya bertekad mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan pertapa itu dan saat daging kelinci telah siap dihidangkan pertapa itu tidak mau memakan hidangan tersebut dan Beliau berkata bahwa Beliau rela hidup dalam penderitaan asalkan tidak menyakiti makhluk lain.30
2. Maiterya di Zaman Buddha Sakyamuni Pada zamannya Buddha Sakyamuni, Boddhisattva Maitreya merupakan salah satu murid dari Sang Buddha. Beliau tidak membina dengan penegasan cara duduk bermeditasi dan tidak melepaskan kilesa namun mendapat afirmasi dari Buddha Sakyamuni bahwa ia akan mencapai Kebuddhaan. Bodhisatva Maitreya adalah manusia Buddha setelah Buddha Sakyamuni, sehingga disebut Buddha yang akan datang. Masa lalu Buddha Maitreya adalah Bodhisatva Maitreya.
Dan pada masa itu Bodhisatva
Maitreya menegakkan Ikrar Agung, bertekad merubah dunia yang penuh kekacauan menjadi dunia yang damai. Sabda Sang Buddha dalam Sutra Maha Ratna Kuta (Ta Pao Ci Kung) Bab 88 (Pertemuan Maha Kasyapa), Suatu ketika Junjungan Dunia menjalarkan tangan-Nya yang membiaskan cahaya kemilauan, hasil paduan kesucian laksa asamkheya kalpa. Dengan 30
DPP MAPANBUMI SUMUT, “Buddha Maitreya,” h. 14
jari dan telapak tangan-Nya yang bersinar bagaikan bunga teratai, beliau mengusap ubunubun Bodhisatva Maitreya sambil bersabda, “Wahai Maitreya! Demikianlah kupesankan kepadamu nanti masa lima ratus tahun kelima, saat lenyapnya Dharma sejati, engkau harus melindungin Tri Mustika Buddha, Dharma dan Sangha. Jangan sampai lenyap dan terputus”. Seketika itu juga Trisahasra Maha Sahasra lokya dhatu (alam semesta) dipenuhi cahaya terang dan diikuti enam bentuk suara gemuruh yang dahsyat. Semua makhluk suci dan deva serentak menghormati Bodhisatva Maitreya dengan sikap anjali. Saat itu Bodhisatva Maitreya segera berdiri sambil menampakkan bahu kanannya dan berlutut menghormati Sang Buddha dengan sikap anjali: “Junjungan Dunia, demi keselamatan semua makhluk aku telah menerima penderitaan laksaan kalpa yang tak terhitung, apalagi kini Tathagata telah menyampaikan pesan Dharma sejati, bagaimana mungkin tidak diterima? Wahai Junjungan Dunia! Kini aku berjanji pada masa yang akan datang akan kubabarkan Dharma Anuttara Samma Sambodhi yang telah Tathagata capai dalam perjuangan berlaksa-laksa asam-kheya kalpa yang tak terhitung”.
3. Maitreya di Zaman Pasca Buddha Sakyamuni a. Sebagai Bhiksu Berkantong Buddha Maitreya pernah terlahir sebagai Bhiksu Berkantong31, lahir di kabupaten Feng Hua daerah Zhi Jiang Ming Zhou (China), asal-usul keluarganya kurang diketahui.
31
Pada masa dinasti Tang akhir (907-1060) ada seorang bhiksu bernama Qici. Perawakan-Nya tinggi, gendut dan Ia memikul sebuah kantong kain besar dengan tongkat kayu sambil berkelana. Jika ada yang mendermakan barang untuk-Nya ia memasukkannya ke dalam kantong sembari tertawa lebar. Dan orang memanggil-Nya Bhiksu Budai. (Cahaya Maitri, Seri No. 26 Edisi September-Oktober 2001), h.32.
Pada masa akhir pemerintahan Liang Bhiksu berkantong menetap di kuil Yue Lin. Saat detik-detik menghembuskan nafas terakhir. Beliau berkata, “Maitreya oh Maitreya, telah menjelma banyak kali tak terhingga, bertujuan membimbing umat manusia namun umat manusia tidak mengenalnya”. Dan Pratima Buddha Maitreya yang dikenal saat ini sebagai Buddha sukacita adalah bhiksu berkantong.
b. Sebagai Patriat Cin Kung Buddha Maitreya terlahir sebagai Patriat Cin Kung atau disebut dengan Sang Lugu Cin Kung (1853-1925 Masehi), sekaligus sebagai perintis ajaran Maha Tao Maitreya sekarang ini. Patriat Cin Kung mentransmisikan silsilah kepatriatan kepada kedua Guru Agung yaitu Buddha Chang Thien Ran (Bapak Guru Agung) dan Bodhisatva Yue Hui (Ibu Guru Suci) yang selanjutnya mengemban titah untuk menyelamatkan alam semesta. Ketiga Buddha ini merupakan nahkoda penuntun bagi umat manusia untuk menyebrang dari lautan penderitaan menuju pantai bahagia. Ajaran Buddha Maitreya muncul di Indonesia pada tahun 1949 oleh Maha Sesepuh Maitreyawira. Atas cinta kasih dari Ibunda Suci melalui sesepuh Phan Hwa Ling, M.S Maitreyawira menerima Firman Kepanditaan ini. Seiring masa yang semakin mendesak maka Ibunda Suci mengutus M.S Maitreyawira menuju Pulau Jawa di Indonesia untuk merintis Wadah Ketuhanan dan menyelamatkan umat
manusia karena disana banyak umat manusia bajik dan berjodoh Buddha. Dan dalam perjalanan itu Beliau bertemu sesepuh Fuh Ik Chun (Sesepuh Gautama Harjono).32 Setelah tiba di Indonesia M.S Maitreyawira berjuang keras untuk membangun vihara dan pada tahun 1950 diresmikanlah vihara pertama Chiao Kuang di kota Malang, Jawa Timur. Dengan perjuangan yang terus menerus maka Wadah Ketuhanan pun terus berkembang. Pada tahun 1954 Sesepuh Yang Chai Khui mendirikan Vihara Sun Ming di Jakarta. Di vihara ini berhasil dicetak kader-kader yang tulus dan berjodoh kebuddhaan. Misalnya: Sesepuh Yang Sui Yen yang merintis Wadah Ketuhanan di Sumatera Utara dan Riau, kemudian Pandita Lin Cung Lan yang mendirikan vihara di Pontianak – Kaliamantan Barat, Pandita Lin Cin Hong yang mendirikan Vihara Cen Kuang di Tambora – Jakarta. Sejak merintis Wadah Ketuhanan di Indonesia, M.S Maitreyawira berjuang keras ke seluruh penjuru demi menyelamatkan umat manusia hingga terlalu letih dan jatuh sakit. Dan keadaan beliau ini ketahui oleh Ibunda Suci kemudian Ibunda Suci mengutus tiga Maha Sesepuh senior untuk membantu M.S Maitreyawira membentuk Dewan Sesepuh. Kemudian mereka berunding untuk menentukan penerus Wadah Ketuhanan di Indonesia. Mereka sepakat bahwa Sesepuh Fuh Ik Chun yang menjadi sesepuh penerus. Pada tahun 1982 M.S Maitreyawira menulis surat mandat yang mengangkat Sesepuh Fuh Ik Chun (Sesepuh Gautama Harjono) sebagai Pemimpin Wadah Ketuhanan di Indonesia menggantikan Beliau.
32
DPP MAPANBUMI, “Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddhis Maitreyawira,” h. 56
Pada tahun 1983 M.S Maitreyawira kembali ke sisi Tuhan dalam usia 90 tahun. Selama 30 tahu lebih Beliau berjuang merintis dan mengembangkan Wadah Ketuhanan di Indonesia, budi kasihnya menerangi semua umat Maitreya di Indonesia.33
C. Letak dan Sejarah Singkat Vihara Maitreyawira Jakarta Vihara sekaligus Pusdiklat Buddhis Maitreyawira Jakarta diresmikan oleh Wakil Ibunda Suci- Yang Arya Maha Sesepuh Ong Pada Tanggal 26 Juni 1994. Vihara ini terletak di Taman Duta Mas A-8 Jl. Tubagus Angke, Jakarta Barat di atas tanah seluas 5.000 m persegi.34 Pada mulanya Vihara Maitreyawira ini terletak di Kompleks Sandang, KemanggisanPalmerah Jakarta Barat, namun karena letaknya kurang luas dan kurang setrategis sedangkan umat semakin bertambah banyak. Atas inisiatif dari atasan kemudian di carilah lokasi yang lebih besar dan setrategis yaitu di daerah Angke Jelambar yang tepatnya di Taman Duta Mas.35 Bangunan Vihara Maitreyawira Jakarta terdiri dari: 1. Lantai satu sebagai Skayamuni Graha sekaligus aula serbaguna •
Ada gambar Buddha sakyamuni
•
Patung Buddha Maitreya tepatnya di depan gambar Buddha Sakyamuni.
•
Di sebelah kanan Buddha Maitreya ada patung Bodhisatva Satyakalama.36
33
DPP MAPANBUMI, “Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddhis Maitreyawira,” h. 57 Pusdiklat Vihara Maitreyawira, Proposal Perluasan Bangunan Vihara. Jakarta, 26 Juni 2001. 35 Wawancara pribadi dengan Pandita Citra Surya. Pada tanggal 20 Februari 2008, pukul 13:00 – 14:00 34
WIB 36
Bodhisatva Satyakalama adalah Bodhisatva yang tegas dan kesatria dalam membela kebenaran. Dilukiskan dalam bentuk panglima kuno yang bersenjatakan golok naga laras panjang. Beliau dihormati sebagai
•
Di sebelah kiri Buddha Maitreya ada patung Bodhisatva Kwan Im37
•
Tempat sembahyang bagi kalangan umum yang ingin beribadah kapan saja.
•
Pintu masuk dijaga 2 patung singa. Di tengah pintu masuk ada patung besar Buddha Maitreya berkantong yang konon dipercaya membawa mukjizat dan keberuntungan.
2. Lantai dua sebagai Patriat dan Leluhur Graha •
Di tengah ada patung Buddha Maitreya, di sebelah kanan ada patung Bodhisatva Satyakalama dan di sebelah kiri ada patung Bodhisatva Kwan Im.
•
Tempat pemujaan bagi umat Ketuhanan untuk mengenang dan menghormati jasa para Patriat Ketuhanan dan para leluhur.
•
Di balkon depan ditempatkan patung Buddha Maitreya.
3. Lantai tiga sebagai Maitreya Graha •
Tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, Buddha Maitreya, Buddha Thien Jan dan Bodhisatva Yek Hui.
•
Untuk tempat berbhakti-puja bagi umat Ketuhanan.
D. Kegiatan-kegiatan di Vihara Maitreyawira Jakarta Kegiatan yang dilaksanakan di Vihara Maitreyawira ini meliputi program diklat dharma, kegiatan budaya Maireyawira dan program sosial kemasyarakatan. 1. Program Diklat Dharma •
Kelas Dharmaduta
pelindung dharma, penegak keadilan, penakluk kejahatan. Karakter yang satria dan menjadi ciri khas pribadi Bodhisatva Satyakalama. 37 Bodhisatva Kwan Im mulanya dideskripsikan sebagai sosok seorang pria, tetapi sekarang lebih populer dengan figur wanita. Hal ini berhubungan dengan kepedulian Beliau terhadap jeritan dan tangisan dunia. Pada masa sekarang, Bodhisatva Kwan Im berperan sebagai pelindung dunia antara masa transisi sesudah Buddha Sakyamuni dan sebelum kedatangan Buddha Maitreya. (lihat Cahaya Maitri, Keluhuran Sebuah Vihara, Edisi SeptemberOktober 2001), h.24.
Kelas yang dibentuk khusus untuk membimbing para calon dharnaduta. Di sini diajarkan tentang dharma-dharma Ketuhanan, teknik-teknik pembabaran dharma yang baik untuk meningkatkan kualitas diri sebagai seorang dharmaduta •
Kelas Kearifan Intuitif (Miau Ce Sin Te Pan) Kelas yang ditujukan untuk para aktivis Ketuhanan yang bertujuan untuk membuka kearifan nurani, sehingga pengalaman intuisi dapat terpancar sebagai modal untuk menyelamatkan diri sendiri dan umat manusia.
•
Kelas Penataran Cahaya Buddha Diselenggarakan secara periodik dan diikuti oleh seluruh umat Ketuhanan. Penataran berlangsung dari pagi sampai sore hari dan diselingi dengan menyanyikan tembang Ketuhanan.
•
Kelas Remaja/anak-anak Di samping penataran Cahaya Buddha yang bersifat umum juga ada kelas dharma ringan untuk remaja. Sementara anak-anak kecil dididik dalam sekolah Minggu Buddhis Maitreya.
•
Kelas Penataran Pandita Muda/Madya Penataran khusus untuk menggembleng umat yang telah diangkat menjadi pandita muda/madya agar menjalankan kewajibannya dengan baik.
•
Pertemuan Buddha dan Siswa Kelas ini semacam reuni antara sesama Buddha-siswa yang pernah menjalani angkatan yang sama.
•
Kelas KMVI (Keluarga Vegetarian Maitreya Indonesia Kelas ini diadakan untuk memasyarakatkan pola hidup vegetarian dan kelas ini berupa seminar yang mendatangkan pembicara dari kalangan dokter, pakar gizi, dan pandita yang akan membahas tantang vegetarian dari sudut spiritual.
•
Kelas Paduan Suara Dibentuk untuk mempelajari secara mendalam tentang tembang-tembang suci Maitreya.
•
Kelas Etika Ritual Etika Ritual ibarat penghubung antara manusia dengan Tuhan dan para Buddha. Inilah awal pembinaan spiritual bagi setiap umat Ketuhanan. Dalam kelas ini, kita dapat belajar berbagai ritual.
2. Kegiatan Budaya Maitreyawira •
Pagelaran tembang nurani.
•
Kegiatan memperingati hari ibu, ayah dan lansia.
•
Upacara agung Cheng Beng.38Festival bulan purnama Tiong Chiu
3. Program Sosial Kemasyarakat Sebagai makhluk sosial yang perlu hidup bersosialisasi dengan manusia lainnya, maka kegiatan Wadah Ketuhanan juga tidak terlepas dari kegiatan Kemanusiaan seperti program sosial kemasyarakatan. Untuk jangka pendek, beberapa program sosial yang telah digerakkan di antaranya: penyuluhan budi pekerti dan moralitas hidup ke sekolah-sekolah dan penjara,
38
Korda IV MAPANBUMI, “Keluhuran Sebuah Vihara,” h. 15-19.
gerakan peduli lingkungan hidup, penyuluhan vegetarian dan kesehatan, bantuan korban bencana alam, donor darah, kunjungan ke panti jompo. Untuk jangka panjang akan digalakkan poliklinik kesehatan dan sekolah umum.
BAB III SEJARAH BHAKTI-PUJA DALAM AJARAN BUDDHA MAITREYA A. Pengertian dan Sejarah Bhakti-puja Bhakti artinya cinta kasih. Istilah bhakti itu digunakan untuk pernyataan cinta kepada sesuatu yang lebih dihormati, misalnya ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, kepada Negara, ataupun pribadi-pribadi yang dihormati.39 Puja sebenarnya adalah menghormati dan menyembah dengan perbuatan, karena puja merupakan perwujudan dari rasa bhakti dan keyakinan.40 Sedang bhakti-puja sendiri berarti sembah sujud, sembahyang umat Buddha Maitreya untuk mengingat Tuhan dan memuliakan Buddha Maitreya.41 Bhakti-puja pada Buddha Maitreya bukanlah seuatu yang baru dalam sejarah Buddhisme. Tradisi tersebut telah lahir dan menyebar luas di India kurang lebih pada abad 2 SM. Kemunculan tradisi ini erat sekali hubungannya dengan kebangkitan gerakan Buddhisme Mahayana. Sebelumnya dalam kurun waktu kurang lebih 300 tahun setelah parinirwananya Sang Buddha Sakyamuni, namun setelah kemunculan gerakan Mahayana dan berdirinya sekte-sekte yang sejalan dengan tuntunan zaman maka lahirlah ide-ide bhakti-puja pada Buddha dan Bodhisatva selain kepada Buddha Sakyamuni dan pada masa itu lahirlah tradisi bhakti-puja kepada Buddha Maitreya. Bibit sradha (keyakinan) akan
39 40
Wawancara pribadi dengan pandita Nirwan, Jakarta, tanggal 25 November 2007. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h.
318. 41
Wawancara pribadi dengan pandita Citra Surya, Jakarta, tanggal 20 Februari 2008.
pemujaan pada Buddha Maitreya sudah ada jauh sebelum ada tradisi bhakti-puja kepada Buddha Maitreya yaitu pada masa kehidupan Buddha Sakyamuni tepatnya pada saat selesainya khotbah Sang Buddha yang pertama tentang Buddha Maitreya yang berjudul “Sutra tentang Bodhisatva Maitreya mencapai Surga Tusita (Mi Lek Song Cin). Dalam khotbah tersebut Sang Buddha bersabda: “Setelah aku mencapai maha pari-nirwana bila ada bhiksu-bhiksuni, upasaka-upasika, deva, naga, yaksa dan sebagainya hingga kelompok rabulata, yang begitu mendengar nama agung Bodhisatva Maitreya terus timbul rasa gembira maka setelah akhir hidupnya dalam waktu seketika akan mencapai Surga Tusita dan berkesempatan mendengarkan Maha Dharma Bodhisatva Maitreya” Sang Buddha melanjutkan: “Bila ada bhiksu-Bhiksuni, upasaka-upasika, deva, naga bahkan kelompok rabulata bila begitu mendengar nama agung Bodhisatva Maitreya terus bersikap anjali dan memberi hormat yang tulus, maka terbebaslah orang atau makhluk ini dari dosa karma samsara 500 kalpa. Dan kepada mereka yang dapat melaksanakan bhakti-puja menghormati Buddha Maitreya maka orang itu akan terbebas dari ikatan dosa karma samsara puluhan milyar kalpa, sekalipun tidak berhasil mencapai Surga Tusita, namun pasti dapat berjumpa dengan Buddha Maitreya pada masa yang akan datang, mendengar Maha Dharma tak terhingga dan mencapai kesempurnaan” “Aku bertobat atas semua kesalahanku, dan akan berjuang membimbing umat manusia ke dalam kebenaran Dharma. Dengan segala ketulusan aku bersumpah sujud ke hadapan-Mu para Buddha. Semoga dengan ini aku dapat mencapai anuttara prajna (kebijaksanaan tiada tara)” Demikianlah perjuangan suci Buddha Maitreya menuju kesempurnaan. Dalam Sutra Ikrar Semula pertanyaan Bodhisatva Maitreya (Mi Lek Phusak So Wen Pen Yen Cing),
Sang Buddha pada Yang Arya Ananda bahwa Bodhisatva Maitreya telah membina diri dengan metode yang praktis, mudah dan membahagiakan. Beliau berjuang siang dan malam dalam tiga waktu dengan sepenuh hati mendisiplinkan badan, dan dengan jubah yang rapi berlutut berbhakti-puja menghadap ke sepuluh alam sembari berikrar suci sebagaimana yang tersebut di atas. Inti dari perjuangan Buddha Maitreya untuk mencapai kebuddhaan adalah: 1. Penyesalan dan bertobat 2. Menghormati dan memuliakan semua makhluk 3. Mengasihi semua makhluk. Inilah semangat perjuangan seorang Bodhisatva yang agung. Dengan panggilan kasih dan tanggung jawab, Beliau senantiasa penuh penyesalan dan pertobatan yang lahir dari dasar jiwanya. Dan ini menjadi dasar pembinaan bagi umat Ketuhanan yang memuja Buddha Maitreya. Samadhi dan pembacaan Parrita diganti dengan bhakti-puja pertobatan sehari tiga kali sama seperti yang dilakukan Buddha Maitreya. Jiwa yang sadar bertobat tak akan ada lagi benci maupun dendam, juga keakuan dan keegoisan. Segala kemelakatan dan noda batin dilenyapkan dengan tobat nurani. Dialah Buddha penerus, Buddha yang akan datang ke dunia yang penuh dengan kejahatan, kelicikan, kebohongan dan Sang Buddha pula yang menganjurkan bhakti-puja pada Buddha Maitreya. Inilah sebab-musabab lahirnya tradisi bhakti-puja pada Buddha Maitreya.42
B. Tujuan Dilaksanakannya Bhakti-puja Buddha Maitreya mengajarkan bersamadhi dengan cara melaksanakan puja pertobatan sehari tiga kali (sama seperti yang dilaksanakan oleh Maitreya). Mengapa Samadhi dengan pertobatan? Karena dalam jiwa yang sadar bertobat takkan lagi ada 42
DPD MAPANBUMI, Buddha Maitreya (Medan: tpn, 2001), h. 40.
kebencian dan dendam antar sesama. Dan orang yang senantiasa merasa dirinya bersalah takkan ada lagi ke akuan. Buddha Maitreya lebih mementingkan semangat cinta-kasih dari sekedar melaksanakan Samadhi. Kasihnya yang tiada tandingan pada umat manusia sudah merupakan penaklukkan keakuan dan segala kemelakatan. Beliau tidak perlu melaksanakan Samadhi untuk menenangkan hati sebab dalam jiwa yang dipenuhi dengan semangat cintakasih takkan ada lagi segala kebencian, ketakutan, kesedihan, dan kebodohan. Jiwa yang penuh kasih tidak lagi memerlukan segala macam kedamaian. Dan umat maitreya lebih mangutamakan perilaku amal, siap berkorban bagi orang lain dari pada Samadhi. Simak ikrar doa pertobatan (Yen Chan Wen) dalam bhakti-puja kita sehari-hari; Hamba (roh cacat yang tersisa) yang penuh dosa… dengan segala kerendahan hati belutut di bawah duli Tuhan Yang Maha Esa, menyatakan syukur telah mendapatkan Transmisi Sejati. Buddha Maitreya dengan Dharma Agung-Nya yang tak terhingga, melindungi semua makhluk, dengan ini saya bertobat dan memperbaiki diri untuk ikut berjuang dalam Wadah Ketuhanan. Bila terjadi kericuhan di dalam Vihara, sudilah kiranya Yang Maha Suci Buddha Maitreya mengampuninya. Terpujilah Buddha Maitreya. Mohon rahmat kasih Tuhan Yang Maha Esa, berkembang jayalah Wadah Ketuhanan; dengan masa depan yang cemerlang; dan terbebaslah dunia dari bencana dan marabahaya.
Dengan ikrar dan do’a pertobatan dalam bhakti-puja keseharian kita diajak untuk berintrospeksi diri, menginsyafkan diri, menyempurnakan diri, menegakkan dan mengembangkan diri sehingga bisa menyelamatkan Triloka.43 Sementara prinsip perjuangan Maitreya yang memuliakan semua makhluk kita terapkan dalam bhakti-puja keseharian. Manusia diajarkan untuk memuliakan
dan
menghormati Tuhan, semua Buddha, Bodhisatva dan makhluk suci. Dan dengan bhakti-puja kita juga diajarka untuk rendah hati dan menghilangkan sikap egois.44 Sebab orang yang dapat melupakan keegoisannya baru dapat memuliakan semua makhluk. Dan orang yang dapat memuliakan semua makhluk barulah pasti dapat berkorban dan mengasihi semua bentuk kehidupan. Orang yang dapat melupakan diri sendiri dan memuliakan semua makhluk takkan lagi ada rasa takut dan sedih, gelisah dan duka derita.45 Kita akan mampu berkorban dan mengasihi semua bentuk kehidupan. Takkan ada lagi pertikaian. Hatinya senantiasa dipenuhi oleh rasa hormat, tulus dan ikhlas.
C. Tata Cara Bhakti-puja Dalam pelaksanaan bhakti-puja ada aturan-aturan yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Pertama-tama yang harus diperhatikan adalah Nama-nama yang disembah, Waktu dan tempat pelaksanaaannya, dan perlengkapan yang digunakan.
1. Nama-nama Yang Disembah a. Tuhan Maha Esa
43
Korda IV MAPANBUMI, “Keluhuran Sebuah Vihara,” h. 33. Korda IV MAPANBUMI, “Keluhuran Sebuah Vihara,” h. 33. 45 Wawancara pribadi dengan Pandita Nirwan, Jakarta, tanggal 25 November 2007. 44
Umat Ketuhanan menyebut Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta; Induk dari semua Buddha dan Bodhisatva; Lao Mu atau Bunda Abadi, Bunda Ilahi; Pemberi Roh suci kehidupan yang bersemayam di dalam diri kita. Kasih Tuhan tiada batas, atas restu-Nya kita telah diselamatkan-Nya. Dan kini di akhir zaman, di bawah kebesaran kuasa Firman-Nya Tuhan mengutus Guru Suci Dunia untuk menyadarkan hati manusia, bahwa sebenarnya kita semua berasal dari satu sumber yang sama. Kita semua adalah anak-anak-Nya. Hanya dengan nurani menyadari semua ini barulah dunia akan damai dan sentosa. b. Buddha Maitreya Maitreya artinya cinta kasih, murah hati dan pembawa sukacita. Beliau adalah Buddha yang akan datang, Guru yang akan membawa manusia menuju dunia tatanan baru. Ia datang dengan wahyu Ilahi; didampingi para suci, Nabi, Buddha dan Bodhisatva semesta raya.46 c. Buddha Thien Jan Terkenal dengan sebutan Bapak Guru Agung, reinkarnasi dari Buddha hidup Cikung. Beliau dilahirkan pada tahun 1889 di kota Ji Ning, Shan Tong China.47 Momen itu air Sungai Kuning yang berlumpur sepanjang tahun tiba-tiba jadi bening. Orang-orang tua berkata bila air Huang He (Sungai Kuning) jernih, pertanda ada orang suci datang ke dunia. Buddha Thien Jan diekspresikan dalam bentuk seorang ayah berwibawa namun lembut di dalam hati. Bagai cahaya surya menerangi jalan dan memberikan kehangatan hidup. Beliau menyebarluaskan nilai religius Ilahi dalam bentuk yang lebih praktis dan kekeluargaan. Sejak menerima wahyu-Nya di
46 47
Korda IV MAPANBUMI “Keluhuran Sebuah Vihara,” h. 22. Buddha Maitreya, “IKuanisme,” artikel diakses tanggal 11 November 2007 dari www. Maitreyawira.org
tahun 1930, misi penyelamatan di akhir zaman mulai digelar. Buddha Thien Jan mencurahkan seluruh perhatian pada misi membangkitkan kesadaran Ilahi dalam diri setiap manusia. Segala bentuk derita dan hinaan ditanggapi dengan sabar dan kebajikan Beliau mengayomi serta tahun 1947. d. Bodhisatva Yek Hui Juga dikenal sebagai Ibu Guru Suci, Beliau dilahirkan pada tahun 1895 di kabupaten Shan, Shantung China. Diekspresikan dalam bentuk seorang ibu yang penuh kasih sayang. Bagai rembulan yang menyejukkan hati. Demi misi penyelamatan Triloka, Sang Bodhisatva telah banyak mengalami penderitaan dan hidup nestapa. Dalam rangka pembabaran kebenaran Tuhan di berbagai daerah, Beliau sering menapaki jalanan bersalju, beristirahat di tempat tidur keras, menyebrangi sungau demi sungai dan masih banyak lagi penderitaan yang Ia jalani. Setiap prilaku-Nya mencerminkan kehalusan budi dan kecemerlangan Nurani. Jasa kebajikan Beliau yang tiada tara adalah menanggung penderitaan umat manusia agar semakin lancer dalam pembinaan. Bodhisatva Yek Hui wafat pada tahun 1975.48 2. Waktu Dan Tempat Pelaksanaan Adapun waktu pelaksanaan sembahyang sehari tiga kali yaitu pagi sekitar pukul 06.30, kemudian siang hari sekitar pukul 12.00 dan sore hari sekitar jam 18.30. Dalam pemahaman Maitreya pukul 12.00 itu masa transisi baik dari hawa positif maupun hawa negatif. Dari pukul 12.00 malam ke pukul 12.00 siang yaitu hawa positif mulai tumbuh dan puncaknya adalah pukul 12.00 siang, kemudian dari pukul 12.00 siang ke pukul 12.00 malam hawa negatif yang tumbuh.49 Dan tempat untuk sembahyang bisa di vihara
48 49
Korda IV MAPANBUMI, “Keluhuran Sebuah Vihara,” Cahaya Maitri, no: 26 (September 2001): h. 22. Diambil dari CD ceramah agama yang dibawakan oleh Pandita Nirwan, tanggal 2 November 2007.
dan bisa di rumah namun akan lebih baik jika dikerjakan di vihara karena kita akan merasa dapat berkontak langsung dengan Tuhan yaitu melalui sinar lampu suci. Dan hal lain yang dapat kita rasakan jika sembahyang di vihara misalnya: menjalin hubungan dengan sesama sehingga kita dapat bersosialisasi dengan baik, kemudian agar kita dapat menaklukkan sifat malas yang ada dalam diri, dan yang paling penting Vihara adalah sarana untuk mengundang berbagai kalangan untuk bisa beribadah, berbagi, dan harus dijaga bersama-sama.50 3. Perlengkapan yang Digunakan dalam Bhakti-puja Perlengkapan yang harus digunakan dalam pelaksanaan bhakti-puja adalah : • Ada tiga pelita • Ada 12 batang dupa • Ada tiga cangkir yang berisi air Putih, air tea dan cangkir kosong • Ada Bagan Yang berisi 12 batang dupa • Kemudian ada buah-buahan. 4. Prosesi Pelaksanaan Bhakti-puja Adapun prosesi/tata cara pelaksanaan bhakti-puja ada lima urutan atau tahap yang harus dijalankan. Kelima tahap itu adalah pertama-tama melakukan hormat, kedua berlutut, ketiga bersujud, keempat Berdiri, dan kelima diakhiri dengan hormat.51 Adapun penjelasan dari kelima tahap itu, Penulis akan jabarkan satu persatu sebagai berikut :
50
Wawancara pribadi dengan Pandita Nirwan pada tanggal 25 November 2007.
51
Tim Bodhicitta, Panduan Dasar Ritual Kebaktian, h. 3-12
a. Cou Yi / Hormat 1. Mudra maitri diletakkan di depan dada
2. Bungkukkan badan, arahkan mudra maitri ke depan lutut
3. Berdiri tegak, arahkan mudra maitri di depan
4. Mudra maitri kembali diletakkan di depan dada
5. Berdiri dengan tegak, kedua tangan lurus di samping
b. Kuei / Berlutut 1. Kaki kiri melangkah kesamping jok
2. Lutut kanan bersandar di jok
3. Berlutut dan merapatkan kedua kaki, kedua tangan lurus di kedua tangan menarik jubah bagian belakang
4. Merangkul pertanda suci
c. Bersujud 1. Angkat mudra maitri dengan jarak satu kepal dari jok dan satu kepal dari mata
2. Hentakkan mudra maitri pada jok sesuai dengan irama protokol
d. Chi / Berdiri. 1. Dalam posisi berlutut, arahkan mudra maitri kedepan mata
2. Mudra maitri diletakkan di depan dada
3. Luruskan tangan
4. Kaki kiri diletakkan di samping jok, kedua tangan diletakkan di bagian atas lutut, tangan kiri di atas tangan kanan
5. Kaki kanan kembali ke posisi bediri
6. Berdiri tegak
e. Cii Kung / Hormat
Dalam pelaksanaan bhakti-puja antara laki-laki dan perempuan berada dalam satu barisan, di sebelah kanan diisi oleh laki-laki dan sebelah kiri oleh perempuan. Dan dalam proses pelaksanaannya dipimpin oleh Pandita yang bertugas menancapkan hio di altar
dan ada 2 protokol yang berada di depan sebelah kanan dan kiri, adapun yang di sebelah kanan bertugas menyebutkan nama dewa yang bertujuan agar kita dapat berkontak langsung dengan semua dewa yang sudah kita sebutkan nama-Nya dan di sebelah kiri bertugas untuk menghitung jumlah sujud selama proses bhakti-puja berlangsung.
BAB IV TATACARA BAKTIPUJA DI VIHARA MAITREYAWIRA
A. Pelaksanaan Bhakti-puja Baktipuja yang dilaksanakan oleh Umat Maitreya memiliki makna dan hikmah yang terkandung dari setiap gerakan yang dilakukan, waktu pelaksanaannya, dan perlengkapan yang disajikan. Adapun makna bhakti-puja bagi umat Maitreya adalah mengingat Tuhan, mengagung-muliakan dan memuja Buddha Maitreya. Ini merupakan bagian dari iman yang benar yang harus diimani. Mengagung-muliakan Maitreya bukan hanya mempercayai Budha Maitreya tetapi bagaimana menghadirkan Buddha Maitreya dalam hidup, bagaimana mengikuti jejak langkah-Nya, dan bagaimana meneladani pribadi Maitreya dalam hidup dan dalam berkarya. Pribadi Maitreya yang berwajah kasih, berprilaku kasih, berhati kasih dan berbahasa kasih dapat membawakan kedamaian dan ketenangan dalam jiwa, dan ini adalah petunjuk dalam membangun karya Ilahi, berjuang bersama Maitreya dalam mewujudkan sumpah agung-Nya yaitu menjadikan bumi yang penuh dengan suka cita. Namun jika tidak dapat meneladani pribadi Maitreya, adalah hal yang tidak mungkin bisa berjuang dalam misi-Nya, dan hal yang tidak mungkin untuk bisa memasuki bumi yang telah dijanjikan. Meneladani pribadi maitreya bukanlah hal yang mudah, tapi dalam kehidupan seharihari di tuntut untuk berjuang agar dapat meneladani pribadi Beliau, misalnya berprilaku kasih terhadap sesama, mengeluarkan kata-kata kasih yang tidak menyakiti orang lain, belajar untuk memancarkan wajah penuh kasih yang bisa membawa kedamaian bagi orang lain,
barhati kasih yang senantiasa memberikan bantuan kepada orang lain dan kesabaran yang penuh syukur.52 Kemauan belajar untuk meneladani pribadi Maitreya maka dengan bhaktipuja inilah seseorang dapat mengagung-muliakan Maitreya dalam kehidupannya. Bhakti-puja dilakukan dalam rangka meneladani perjuangan Buddha Maitreya dalam hidup, yaitu: penyesalan dan pertobatan, menghormati dan memuliakan semua makhluk, dan mengasihi semua makhluk.
B. Makna Waktu Pelaksanaan Bhakti-puja Bhakti-puja dilaksanakan sehari tiga kali sama seperti yang dilakukan oleh Budha Maitreya. Dalam pandangan umat Maitreya waktu yang 24 jam di bagi dengan 12 masa, yaitu 2 jam. Dua jam inilah yang dipakai dalam pelaksanaan bhakti-puja sehari tiga kali, yaitu: pagi hari, siang hari dan sore hari.53 Adapun waktu dalam pelaksanaan bhakti-puja adalah: 1. Pagi hari antara pukul 06.30 2. Siang hari antara pukul 12.00 3. Sore hari antara pukul 18.30 Pagi hari, dalam pandangan umat Maitreya merupakan masa positif di mana pada masa ini energi positif sangat besar. Pelaksanaan bhakti-puja pada pagi hari mengandung makna: a. Menggunakan energi positif ini dengan sebaik-baiknya dengan melakukan bhaktipuja.
52 53
Wang Che Kuang, Enam Perbuatan Mulia Sang Pengasih (Jakarta: DPP MAPANBUMI, tt), h. 18-19. Wawancara pribadi dengan Pandita Nirwan, Jakarta, tanggal 25 November 2007.
b. Pagi hari adalah waktu pertama di mana kita melakukan kegiatan atau berkarya. Sebelum kita berkarya kita diharuskan untuk menjunjung, berpegang teguh, berlindung dan bernaung pada firman Tuhan, serta untuk mengagung-muliakan Buddha Maitreya. c. Pelaksanaan bhakti-puja di pagi hari dimaksudkan agar dalam melaksanakan tugas sehari-hari kita selalu meneladani Buddha Maitreya. Siang hari, dalam pandangan umat Maitreya merupakan masa positif. Pada masa ini positifnya sangat besar, dikarenakan dari pagi sampai siang hari kita melakukan kegiatan, dimana dalam kegiatan ini perbuatan, sikap, maupun hati kita sering melakukan dosa. Oleh sebab itu masa positif ini harus digunakan untuk berbhakti-puja, dimana tujuannya adalah untuk bertobat dan penyesalan terhadap dosa-dosa yang telah dilakukan. Penyesalan dan pertobatan ini mengikuti dan meneladani semangat perjuangan dari Buddha Maitreya. Penyesalan dan pertobatan semata lahir dari dasar jiwa yang penuh panggilan kasih dan tanggung jawab. Karena kasih-Nya yang besar beliau senantiasa merasa bersalah dan berdosa. Amat berbeda dengan orang awam yang kendati penuh kejahatan namun tetap merasa suci dan mulia. Dengan penyesalan dan pertobatan diharapkan lahir jiwa yang sadar bertobat dan tidak akan ada lagi rasa benci dan dendam, juga rasa keakuan dan keegoisan. Segala kemelakatan dan noda batin dilenyapkan dengan tobat nurani. Dengan ikrar do’a pertobatan dalam bhakti-puja keseharian kita diajak untuk berintrospeksi diri, menginsyafkan diri, menyempurnakan diri, menegakkan dan mengembangkan diri sehingga bisa menyelamatkan Triloka.
Sore hari pukul 17.00-19.00, merupakan masa negatif dan pada masa negatif ini diharuskan untuk kembali melaksanakan bhakti-puja sebagai tanda rasa syukur kita kepada Tuhan dan Buddha Maitreya karena sudah memberi kelancaran dalam mengerjakan tugas hari ini. Adapun menurut umat Buddha Maitreya hawa positif mulai tumbuh yaitu pada pukul 12 malam ke jam 12 siang dan puncaknya pada pukul 12 siang oleh karena itu umat Buddha Maitreya diharuskan sembahyang karena pada waktu inilah masa positif dan negatif bersatu bersama-sama dan kita dapat menerima hawa positif dan negatif dengan baik.
C. Makna Simbol-Simbol di Ruang Pelaksanaan Bhakti-puja 1. Ada gambar
sebagai symbol nama Tuhan “MU”
2. Ada Patung Maitreya sebagai nabi yang sedang ditunggu kedatangannya. 3. Ada gambar
sebagai kesatuan antara alam semesta dan Tuhan. Lingkaran adalah alam
semesta dan titik hitam adalah Tuhan. Jadi antara alam semesta dan Tuhan adalah satu kesatuan. 4. Ada dua macam meja yaitu: meja yang lebih tinggi melambangkan langit dan meja yang lebih rendah melambangkan bumi. 5. Ada tiga macam pelita suci yaitu:
a. Karena meja yang paling tinggi adalah langit maka yang diletakkan adalah pelita Lao Mu yang berarti kosong dan tiada batas. Pelita Lao Mu juga melambangkan kebijaksanaan dan cahaya nurani, dan jika seseorang menyalakan pelita maka dapat menerangi alam semesta, dan menerangi hati kita. b. Di sebelah kiri disebut Bulan yang melambangkan positif c. Di sebelah kanan disebut Matahari yang melambangkan negatif. Adapun inti dari tiga pelita di atas merupakan sebuah ajaran dari Taoisme yang artinya dari kosong melahirkan ada dan dari ada menjadi banyak.54 Pelita penerangan dipersembahkan dihadapan Buddha agar memperoleh pahala penerangan dalam kehidupan dan ini dapat mengundang para makhluk pelindung Dharma lebih banyak lagi, dan juga dapat melindungi kita dari mara bahaya. Api dalam pengertian sakral akan dapat membakar ke kotoran bathin dan menerangi perjalanan hidup ini, dan bagi yang mempersembahkan dengan penuh sujud maka dapat di jauhi dari makhluk jahat. 6. Ada tiga macam cangkir dengan isi yang berbeda yaitu: a. Cangkir berisi air putih melambangkan langit yang artinya suci, yang bening tidak tercemar dengan apapun. Adapun teori dari Tiongkok bahwa langit berasal dari hawa yang ringan kemudian naik ke atas dan terbentuklah langit b. Cangkir berisi teh melambangkan bumi yang keruh. Dan teori Tiongkok bumi berasal dari hawa yang berat, keruh dan membeku maka disebut bumi
54
3 Pelita Suci ini merupakan sebuah filosofi idialisme dari ajaran Taoisme sebagai penjelasan bahwa makhluk hidup yang pertama kali ada di dunia adalah protozoa (sel) yang awalnya hanya satu kemudian berkembang menjadi banyak. (di ambil dari CD ceramah agama yang dipimpin oleh Pandita Nirwan pada tanggal 2 November 2007)
c. Cangkir kosong yang sediakan untuk Maitreya. Dan air merupakan lambang kehidupan sekaligus lambang kekuatan berkah dari pensucian dan kebodhian. 7. Ada dua macam bangku yang posisinya di sebelah kanan dan kiri patung Buddha Maitreya, adapun bangku sebelah kanan disediakan untuk Bapak Guru Agung dan bangku sebelah kiri disediakan untuk Ibu Guru Suci. 8. Menyediakan dupa 12 batang yaitu: 5 batang pertama disediakan untuk Tuhan (1 batang di tengah, kemudian di kanan, di atas, di kiri dan terakhir di bawah), 3 batang berikutnya disediakan untuk para Buddha dan Bodhisatva (1 batang di tengah, lalu di kanan dan kiri), kemudian 3 batang yang lainnya untuk Maitreya (1 batang di tengah, lalu di kanan dan kiri) dan 1 batang terakhir untuk Dewa Dapur. 55 Adapun cara menancapkan dupa harus menggunakan tangan kiri karena tangan kirilah yang paling sedikit melakukan kejahatan dan penancapan dupa dilakukan oleh umat yang paling tinggi tingkatannya (senior).56 Dupa sebagai pernyataan sikap ketulusan, kesucian, kebesaran Tuhan dan para Dewa yang dapat membimbing umat ke arah kemajuan, ketentraman, kebijaksanaan dan dapat mengontak langsung kepada Tuhan, dan para Dewa yang lain
yang dapat
menciptakan suasana hikmat dan sakral. Dupa juga melambangkan jasa dan kebajikan perbuatan baik tanpa pamrih, akan berubah pahala yang berlimpah-limpah, bagaikan asap dupa dapat menyebar luas kemana-mana. Dan asap dupa ini bisa masuk ke dalam syaraf sehingga seseorang dapat menerima hawa positif dan mengusir hawa negatif dan akhirnya bisa tenang.
55 56
Wawancara pribadi dengan Pandita Nirwan, pada tanggal 25 November pukul 14:00 – 15:30 WIB Di ambil dari www. Geocitis. Com, pada tanggal 02 Februari 2008, pukul 11:30 - 12:00 WIB
9. Menyediakan buah-buahan segar dan makanan Buah segar yang tidak berbau dipersembahkan di altar merupakan sikap pengorbanan tulus terhadap yang dipuja. Dan sebagai tekad mengabdi diri kepada semua makhluk dan membagi hasil pahala kepada orang lain, juga sebagai amal dari sebagian hasil yang kita dapatkan. Ada beberapa dari para makhluk suci (para dewa-dewi) yang hidup dari persembahan buah-buahan segar dan makhluk-makhluk suci yang telah menerima persembahan itu akan melindungi kita dari gangguan-gangguan jahat, serta dapat menimbulkan nilai kesakralan. Makanan bergizi dipersembahkan di altar yang mana merupakan wujud tekad yang kuat dari umat untuk mempersembahkan miliknya yang paling berharga untuk menolong makhluk-makhluk lain. 10. Ada berbagai macam bunga Bunga ini sebagai tanda kesabaran dan keindahannya dapat menghibur, dapat memberi kenyamanan saat memandangnya dan kita harus belajar dari bunga agar bisa memberi kebahagiaan kepada semua orang. Dan yang paling penting bunga juga sebagai lambang dari ketidak-kekalan hidup di dunia ini, tumbuh, mekar, layu, dan lenyap.
Oleh karena itu selagi kita ada
kesempatan berbadan sehat, kita harus selalu berbuat kebajikan untuk memupuk hidup yang baik.
D. Makna dari Prosesi Bhakti-puja Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, prosesi pelaksanaan bhakti-puja ada beberapa tahap (rukun dalam agama Islam) yang harus dikerjakan, yaitu: 1. Coi Yi/hormat 2. Ku Ei/berlutut 3. Bersujud 4. Chi/berdiri 5. Cii Kung/hormat Kelima tahap di atas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan oleh yang melaksanakan bhakti-puja. Pada pembahasan kali ini, Penulis akan menguraikan makna dari gerakan-gerakan tersebut di atas yang harus dihayati dan diamalkan dalam kehidupan seharihari, karena gerakan-gerakan ini bukan hanya sebagai simbol saja tetapi di dalamnya terdapat makna-maknanya. Adapun penjelasan dari makna-maknanya penulis menguraikan satupersatu. 1. Cuo Yi/hormat Dalam melakukan bhakti-puja, pertama harus melakukan penghormatan terlebih dahulu. Hormat ini ada lima gerakan yang harus dijalankan. Kelima gerakan ini mengandung makna-makna yaitu: a. Mudra maitri57 diletakkan di depan dada. Ini mengandung makna bahwa kita harus mempunyai hati yang bersih dan ini di umpamakan seperti hati bayi, karena hati bayi masih suci dari segala dosa. Selain hati yang suci, kita harus memiliki sifat-sifat 57
Mudra maitri adalah kedua tangan dilipat, tangan kiri di atas karena berarti kebaikan dan tangan kanan di bawah yang artinya kejahatan. Adapun dalam merangkul tangan, 8 jari tangan dari kanan dan kiri ini mengandung arti 8 budi pekerti(rasa bakti dan rasa malu) dan ke dua jempol mengandung arti langit dan bumi. Oleh karena itu lipatan tangan(pertanda suci) ini menjadi tanda bahwa manusia tidak lepas dari langit dan bumi, artikel diakses tanggal 11 November 2007 dari http//www.Maitreyawira.Org/2007/1205/p01s03-wome. html
mulia yang ada pada diri bayi yaitu: keikhlasan, kesabaran, tidak serakah, tidak pendendam, dan selalu pasrah. Dan sifat-sifat seperti bayi ini semuanya ada dalam diri Buddha Maitreya yaitu: sabar, tabah, lugu, polos, dan jujur, tiada oposisi, tiada persaingan dan selalu mengalah.58 b. Dalam mengambil hasil yang kita laksanakan, kita harus mengawalinya dengan menaburkan benih, bercocok tanam, dan memetik hasil. Dan hasil yang kita peroleh adalah hasil dari apa yang kita usahakan. Jika kita menabur benih kebaikan maka kita akan memperoleh hasil kebaikan, begitu juka sebaliknya. c. Gerakan berdiri tegak, kedua tangan lurus di samping. Ini melambangkan kepasrahan, siap menjalankan suatu pekerjaan dan mengabdi. Kita harus berserah diri terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan atau ditentukan dengan selalu siap menjalankannya.59
2. Berlutut (Ku Ei) Gerakan berlutut ini ada empat gerakan yang harus dijalani sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Adapun makna dari semua gerakan ini adalah: a.
Kekokohan (kuat) dalam beriman Iman yang di maksud adalah bagaimana kita membawa iman yang benar dalam kehidupan keseharian kita. Beriman adalah menghadirkan LAO MU, Buddha Maitreya, dan Dwi Maha Guru Agung dalam jiwa dan prilaku setiap insan Maitreya
58 59
Wawancara pribadi dengan We Han (Biarawan), Jakarta, tanggal 11 Oktober 2007. Wawancara pribadi dengan Pandita Nirwan, Jakarta, tanggal 25 November 2007.
dan beriman adalah meyakini LAO MU, Buddha Maitreya dan Dwi Maha Guru Agung sebagai sandaran kita di dalam membina diri.60 Menurut umat Maitreya, ketulusan berbeda dengan keimanan, dengan memiliki iman yang benar apapun yang ditemui dalam tugas yang sedang dijalankan tidak akan merubah hati. Inilah alasannya kenapa iman yang benar sangat penting untuk dihadirkan, dikembangkan, dan diperjuangkan dalam kehidupan sebagai insan yang membina diri, karena tanpa adanya keimanan yang benar semua ketulusan adalah bersifat sementara.
b.
Lutut kanan bersandar di jok Dalam pandangan umat Maitreya kaki kanan adalah simbol laki-laki dan kaki kiri adalah simbol perempuan. Ini maknanya bahwa seorang laki-laki harus melindungi dan menjaga kehormatan wanita. Dalam ajaran Maitreya wanita sangat di junjung tinggi dengan segala kelebihan dan kekurangannya.61
c.
Siap bertobat (berbhakti-puja)
3. Bersujud Bersujud ini dilakukan sebanyak 600 kali dalam satu waktu sesuai dengan irama protokol dan rinciannya sebagai berikut: untuk Tuhan YME sebanyak 10 kali, untuk Buddha Maitreya sebanyak 10 kali, untuk Bodhisatva sebanyak 9 kali dan untuk
60 61
Wawancara pribadi dengan Pandita Nirwan. Wawancara pribadi dengan Pandita Nirwan
kedamaian, ketentraman negara bersujud sebanyak 300 kali.62 Adapun makna dari gerakan bersujud adalah bahwa dalam kehidupan ini ada jarak dan aturan dan hukum yang harus diperhatikan, dihayati dan dijalankan. Aturan ini yang mengatur jarak antara manusia dan Tuhan, pria dan wanita, atasan dan bawahan, orang tua dan anak, dan seterusnya. Di saat kita sujud alam semesta akan masuk melalui pintu suci oleh karena itu ketika sedang sembayang atau berbhakti-puja harus khusyu dan konsentrasi agar hawa suci ini bisa masuk dengan sangat baik ke dalam diri kita. 4. Chi (berdiri) Tahap keempat dari bhakti-puja adalah chi(berdiri). Gerakan berdiri ini ada 4 tahap yang harus dikerjakan sebagaimana Penulis telah jelaskan. Adapun makna dari gerakan-gerakan berdiri adalah: a. Dalam posisi berlutut, mudra maitri diarahkan di depan mata dan makna dari gerakan ini adalah memberi hormat kepada Tuhan. Sebelum melakukan bhakti-puja dianjurkan untuk memberi hormat terlebih dahulu kepada Tuhan. Sikap hormat ini sebagai rasa syukur yang mendalam terhadap segala nikmat yang telah dianugrahkan, rasa syukur ini dipanjatkan karena dengan percikan Roh Tuhan, manusia bisa hidup, bisa bekerja, dan mencari nafkah. Tanpa percikan Roh Tuhan, manusia tidak bisa hidup, tidak bisa bekerja dan tidak bisa mencari nafkah. Tanpa percikan Roh Tuhan, kita tidak mampu mengamalkan kenyataan nurani untuk mendukung Buddha Maitreya mewujudkan bumi suci. b. Mudra maitri diletakkan di depan dada dan maknanya adalah bahwa hati manusia harus sesuai dengan Tuhan. Ini berarti kita harus menjunjung hati nurani, dan ini 62
Wawancara pribadi dengan Pandita Citra Surya, Jakarta, tanggal 20 Februari 2008.
merupakan salah satu bagian dari iman yang benar, dan inilah yang harus di imani dalam setiap kali kita berkarya. Nurani adalah pengendali dalam hidup kita, nurani adalah hakim dalam hidup manusia. Ketika nurani mulai menghakimi maka dalam diri tiada lagi kedamaian dan ketenangan. Dalam membina diri yang paling penting adalah hanya LAO MU yang memahami dan mengetahui dalam bertugas, hanya Budha Maitreya dan She Chun-She Mu yang memahami dan memaklumi. Inilah dasar pondasi dalam membina diri. c. Kaki kiri diletakkan di samping jok, kedua tangan diletakkan di bagian atas lutut, tangan kiri diatas tangan kanan. Perlu diketahui alasan kenapa tangan kiri di atas dan tangan kanan di bawah, yaitu karena tangan kiri tidak pernah malakukan kejahatan, memukul, memotong. Sedangkan tangan kanan dianggap sangat tidak baik karena tangan kanan sering melakukan kejahatan, memukul, memotong, dan membunuh. Inilah kenapa tangan kiri dianggap lebih baik dari tangan kanan. Makna yang harus diamalkan adalah bahwa manusia harus bekerja keras dan bersatu padu. Dan makna bagi perempuan adalah bahwa kaum perempuan harus setulus hati hormat kepada langit dan bumi, juga ia harus berbakti dan mengabdi kepada suami dan anakanaknya.63 5. Chi Kung (hormat) Gerakan terakhir dari bhakti-puja adalah kembali hormat. Ini maknanya bahwa manusia harus memahami dan menghayati bahwa manusia harus mempunyai hati yang suci seperti bayi dan sikap pasrah dalam menjalankan sesuatu. Budhisme Maitreya menekankan bahwa di dalam diri setiap manusia memiliki hati nurani, aku sejati yang abadi, yang paling bajik dan paling indah. Setiap manusia 63
Wawancara pribadi dengan Pandita Nirwan, Jakarta, tanggal 25 November 2007.
meiliki Buddhata watak diri atau sifat Buddha yang Maha Metta Karuna (cinta kasih), Maha Prajna (kearifan sejati), serta Maha Suci (penuh kedamaian). Badan jasmani bukanlah diriku yang sesungguhnya, melainkan Buddha watak diri atau Rohani yang menempati badan jasmani ini barulah aku yang sesungguhnya.64 Sesungguhnya semua makhluk dengan diriku adalah satu entitas (satu raga). Di dalam diriku terdapat percikan Roh Tuhan, demikian juga semua isi jagad raya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu setelah kita memperoleh Inisiasi Firmani, harus segera menyadari bahwa aku sejati yang sesungguhnya adalah hati nurani, watak Buddha. Dengan kesadaran ini kita menjadikan hati nurani, watak Buddha sebagai pengendali diriku dalam berfikir, bertindak dan berbicara. Seandainya hati nurani tidak menjadi pengendali diriku, maka semua popularitas, kekayaan, kemuliaan dan kemakmuran yang dimiliki menjadi tak bermakna, karena semuanya bersifat semu dan sementara. Hati kita masih tetap penuh dengan kilesa, kegelisahan, ketidak-puasan, konflik dan tidak pernah bisa merasakan kebahagiaan sejati, kedamaian dan kepuasan sejati. Sebaliknya jika hati nurani dapat menjadi penguasa dalam diri maka semua fenomena mulia-hina, kaya-miskin dan lancar-sulit tidak akan menjatuhkan kita, bahkan dapat dijadikan sebagai unsur pendukung dalam pembinaan diri maupun menolong orang lain. Kita menjadi pengendali lingkungan, bukan lingkungan menjadi pengendali jiwaku. Dengan demikian kita akan selalu bahagia dan tegar dengan keadaan apapun. Bila dalam kehidupan ini kita dapat merealisasikan Dharma Hati Maitreya dengan sungguh-sungguh, berupaya terus memberi kepada umat manusia dan membantu misi penyelamatan Buddha Maitreya dengan sikap tanpa pamrih, pasti bisa merubah karma 64
Tim Kasih Lestari, Sejarah MAPANBUMI (Medan: Maha Vihara Maitreya, 2000), h. 21
negatif, mencapai pencerahan watak Buddha, memulihkan fungsi hati nurani secara utuh dan mencapai kesucian Bodhisatva pada kehidupan ini juga.
E. Analisis Dalam menganalisis, Penulis mencoba untuk menguraikan tentang apa yang Penulis lihat selama meneliti dan mempeajari tentang Buddha Maitreya dan bhakti-puja di Vihara Maitreyawira, walaupun sangat terbatas karena ada beberapa hal yang tidak boleh dipublikasikan dengan banyaknya pertimbangan. Dalam ajaran Buddha Maitreya bahwa Maitreya sudah datang berkali-kali sebagai bhiksu baik itu sebelum Buddha Sakyamuni, pada masa Buddha Sakyamuni dan setelah Buddha Sakyamuni. Dan hal ini yang membedakan dengan Buddha-buddha yang lain, karena menurut Buddha Mahayana misalnya, Buddha Maitreya ini baru akan turun 5.670.000.000 tahun setelah parinibbananya Buddha Sakyamuni. Dan ajaran lain, meditasi misalnya. Dalam Buddha-buddha yang lain meditasi artinya suatu proses untuk menenangkan diri tanpa melakukan apa-apa, tetapi bagi Buddha Maitreya meditasi adalah berbuat amal kebajikan kepada semua orang, dengan berucap yang santun, bersikap baik dan berperilaku yang tidak merugikan orang lain. Oleh karena itu umat Buddha Maitreya selalu menyempatkan berbhakti-puja untuk tetap konsisten dengan hal-hal yang baik. Bhakti-puja artinya sembah sujud seorang hamba dengan Tuhan dan ini adalah salah satu bentuk kerinduan hamba untuk bertemu Tuhan YME dan para Buddha. Sebagaimana
orang yang sedang jatuh cinta maka setiap saat rasanya dia ingin mengunjungi kekasihnya, dia rindu untuk bertemu menyampaikan rasa hatinya.65 Dalam agama manapun keinginan untuk bertemu Tuhan itu di wujudkan dengan sembahyang. Demikianlah orang yang sudah tergetar dengan cinta (Bhakti) kepada Tuhan akan melaksanakan sembahyang dengan taat, dan setiap datang waktu sembahyang dia akan merasakan kerinduan yang mendesak. Itulah tandanya orang yang sudah benar-benar merasa dekat dengan Tuhan. Sembahyang tanpa dorongan kerinduan walaupun seratus kali dilakukan, jarang untuk mencapai rasa khusyu dan benar-benar membuat diri kita berserah diri kepada Tuhan. Kesungguhan dan kemantapan adalah dasar utama untuk dapat merealisasikan Tuhan dalam fikiran.66 Rasa cinta dan rasa baktilah yang melahirkan suatu keikhlasan untuk berkorban untuk selalu menyediakan waktu untuk sembahyang atau berbhakti-puja.67 Bhakti-puja dalam ajaran Buddha Maitreya merupakan sembah sujud umat untuk menjalankan apa yang telah diajarkan oleh Buddha Maitreya dan bhakti-puja dilaksanakan sebagai nilai ketulusan, ketaqwaan dan nilai tambah seorang hamba dengan junjungannya.68 Bhaktipuja itu sendiri bertujuan agar kita sebagai umat Buddha Maitreya dapat selalu mengingat dan terus dekat dengan Tuhan YME. Dan yang terpenting adalah dengan bhaktipuja umat diharapkan untuk melenyapkan rasa benci, marah dan diharapkan untuk menyesali segala kesalahan, ketidakbaikannya dalam menjalankan kehidupan. Oleh karena itu kita harus bertobat dan bersujud sebanyak-banyaknya agar dosa kita terhapus. 65
Wawancara pribadi dengan We Han, Jakarta, tanggal 11 Oktober 2007. Wawancara pribadi dengan Pandita Nirwan, Jakarta, tanggal 25 November 2007. 67 Rifa Chairunnisa, “Puja Bhakti dalam Buddha Mahayana: Studi Kasus di Vihara Avalokitesvara,” (skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Jakarta, 2003), h. 26 68 Wawancara pribadi dengan Pandita Citra Surya, Jakarta, tanggal 20 Februari 2008. 66
Dari berbagai macam upacara yang dilakukan oleh umat Buddha dengan cara dan corak yang berbeda tetapi bila diteliti semuanya mempunyai makna yang sama. Dalam ajaran Buddha Maitreya, bhakti-puja bukanlah sesuatu yang dapat memberikan dosa jika umatnya tidak melaksanakan, hanya saja umat tidak akan merasakan nilai ketulusan dan nilai tambah untuk bekal di surga.69 Adapun konsep surga dalam konsep ajaran agama ini yaitu alam para dewa atau tempat lahir kembalinya manusia sesuai dengan amal perbuatannya. Dan posisi surga berada di bawah nirwana, lalu di bawah surga ada dunia (tempat tinggal makhluk hidup) dan neraka (tempat roh jahat). Dan bhakti-puja juga salah satu tanda panggilan sejauh mana kesadaran seseorang terhadap ajaran Buddha Maitreya.70 Dalam ajaran Buddha Maitreya bhakti-puja cara melaksanakanya diawali dengan hormat, kemudian berlutut, bersujud, berdiri dan diakhiri dengan hormat, dan juga telah ditentukan waktunya tiga kali sehari. Setiap gerakan dalam bhakti-puja tentunya mengandung makna yang harus dihayati dan diamalkan, dan maknanya adalah kepasrahan seorang hamba, menghadirkan Tuhan Yang Maha Esa dalam hati dan mengagung-muliakan Buddha Maitreya, dalam sujud artinya manusia merasa tidak berdaya dihadapan Tuhan, sehingga posisi sujud adalah posisi terendah dan ini menandakan bahwa manusia tidak pantas bersifat sombong dan sepantasnya mendekatkan diri kepada Tuhan, para Buddha dan Bodhisatva. Hasil dari wawancara Penulis dengan Pandita dan beberapa orang umat Buddha Maitryea, Penulis sedikit memahami manfaat dari kegiatan bhakti-puja. Merasakan manfaat tentunya tidak sama bagi lain orang. Seperti Pak Kimboen setelah berbhakti-puja Beliau selalu merasa bisa memperbaharui diri dan merasa lebih ringan dalam mengerjakan kegiatan.
69 70
Wawancara pribadi dengan Pandita Citra Surya, Jakarta, 20 Februari 2008. Wawancara pribadi dengan Aji Dharmaputra (biarawan), Jakarta 12 Maret 2008.
Dan beda lagi manfaat bagi Pak Aji setelah berbhakti-puja Beliau merasa semakin merasa lebih sabar, lebih bersyukur terhadap kehidupannya. Adapun dari aspek sosial agar tetap terjaga perdamaian umat Maitreya membiasakan datang untuk bhakti-puja ke vihara agar umat Maitreya bisa saling mengenal antara yang satu dengan yang lain dan terjalin hubungan yang baik, bisa saling menghormati, dan saling memuliakan. Dan dengan kondisi masyarakat dan bangsa yang penuh dengan bencana maka dengan berbhakti-puja umat Maitreya bersama-sama menggalang kekuatan doa untuk keselamatan diri sendiri dan masyarakat lainnya. Dan bhakti-puja juga sebagai sarana untuk membentuk komunitas seiman yang dapat saling memotivasi dalam membina diri.71 Dalam ajaran Buddha Maitreya panduan dasar atau bersumber sama seperti dengan kitab-kitab aliran Buddha lainnya, yaitu Tripitaka. Secara khususnya yaitu bagian dari Tripitaka, diantaranya: Sutra Intan, Sutra Hati, Sutra tentang Bodhisatva Maitreya Mencapai Surga Tusita, Sutra tentang Bodhisatva Maitreya Turun ke Dunia, Sutra tentang Kelahiran Maitreya Untuk Mencapai Kebuddhaan, Maha Ratna Kuta Sutra. Dan semua Sutra ini adalah bagian dari Tripitaka itu sendiri. Dan Konsep Tuhan dalam Buddha Maitreya sama seperti agama pada umumnya, yaitu bahwa Tuhan adalah Sang Maha Kuasa, Sang Pencipta kehidupan dan Sang Pencipta yang tidak mengalami lahir dan mati. Adapun perkembangan Vihara di Jakarta pertama kali didirikan di Palmerah (Vihara Maitreyawira) yang sekarang berada di Duta Mas Angke Jelambar Jakarta Barat , dan ada beberapa Vihara lain yang berkembang di Jakarta yaitu: 1. Vihara Sari Putra Maitreya yang terletak di Kemenangan Jakarta Barat. 2. Vihara Maitreya Jaya yang terletak di Jalan Kramat Soka, Senen, Jakarta. 3. Maitreya Sakti yang terletak di Pluit Sakti IV Jakarata Utara. 4. 71
Wawancara pribadi dengan Aji Dharmaputra (Biarawan), Jakarta 12 Maret 2008.
Permata Maitreya yang terletak di Taman Permata Indah, Jakarta Utara. 5. Citra Maitreya yang terletak di Komplek Citra Garden 2, Jakarta Barat. 6. Vihara Maitreya yang terletak di Komplek Duta Garden, Tanggerang. 7. Jhyhana Maitreya yang terletak di Grogol, Jakarta Barat. 8. Pahala Maitreya yang terletak di Jelambar Jakarta Barat.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah Penulis berusaha memahami pengertian dari bhakti-puja dan apa tujuan dalam melaksananya, bagaimana tatacara dan apa makna dari pelaksanaan bhakti-puja dalam ajaran Buddha Maitreya, Penulis menyimpulkan dalam beberapa poin, sebagai berikut. Bhakti-puja adalah ritual yang dilakukan oleh umat Maitreya dalam
rangka
mengingat Tuhan YME, mengagung-muliakan Buddha Maitreya, dan Bodhisatva dalam segenap kehidupannya. Bhakti-puja adalah sembahyang yang dilakukan untuk meneladani nilai luhur Tuhan YME dan meneladani inti dari perjuangan Buddha Maitreya dalam mencapai kebuddhaan. Adapun tujuannya yaitu agar umat selalu mementingkan cnta-kasih kepada semua makhluk, oleh karena itu Buddha Miatreya rela berjuang siang dan malam dalam melaksanakan bhakti-puja. Bukan hanya itu, tujuan lain dari bhakti-puja umat diajak untuk selalu bertobat, introspeksi diri, menginsyafkan dan menyempurnakan diri dengan selalu rendah hati dan menghilangkan sikap egois agar bias berkorban untuk orang lain. Tatacara pelaksanaan bhakti-puja dilaksanakan sehari tiga kali sama seperti yang dilakukan Buddha Maitreya, yaitu pagi hari pada pukul 06.30, siang hari pada pukul 12.00 dan sore hari pukul 18.30. Adapun tempat pelaksanaannya bisa dilaksanakan di rumah atau di vihara baik sendiri atau berjamaah tetapi lebih utama dilaksanakan di vihara secara berjamaah yang dipandu oleh seorang Pandita dan mengikuti intruksi dari protokol. Dalam pelaksanaan bhakti-puja ada perlengkapan yang dipakai sebagaimana Penulis telah jabarkan
dalam Bab Pembahasan. Prosesi pelaksanaan bhakti-puja dilakukan dalam lima tahap yang dikerjakaan secara berurutan yaitu: pertama melakukan hormat, dilanjutkan berlutut, setelah itu dilanjutkan dengan bersujud, berdiri, dan dikhiri dengan hormat kembali. Makna pelaksanaan bhakti-puja dan persujudan bagi umat Maitreya adalah sebagai tanda bersyukur kepada Tuhan, dewa, nabi-nabi dan leluhur, sebagai kesempatan untuk bertobat kepada Tuhan, memohon pengampunan dan kekhilafan, sekaligus berupaya untuk memperbaiki diri dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama atau membuat dosa baru. Jiwa yang sadar bertobat tidak akan ada lagi benci maupun dendam, juga keegoan dan keakuan, serta bhakti-puja sebagai sarana pembinaan keimanan hati nurani dalam meneladani pribadi Buddha Maitreya dalam kehidupan sehari-hari. Setiap gerakan dalam bhakti-puja mengandung makna yang harus dihayati dan diamalkan. Inti makna dari keseluruhan bhaktipuja adalah satu kebulatan, satu iman, dan satu Tuhan. Demikianlah pembahasan mengenai tatacara dan makna bhakti-puja dalam ajaran umat Maitreya yang dapat Penulis paparkan. Penulis berharap masukan berupa saran dan kritik yang membangun. Akhirnya, Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat khususnya dalam Khazanah ilmu pengetahuan terutama bagi mereka yang memiliki perhatian terhadap perbandingan agama. Selain itu, semoga tulisan ini bemanfaat dalam rangka menimbulkan pengertian serta keharmonisan antar umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Buddha Maitreya. “Makna Baktipuja” Artikel diakses tanggal 2 Desember 2007 dari http://www.Inla Indonesia.org/2007/1205/p01s03-wome.html Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995. DPP Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (DPP MAPANBUMI). DPP Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (DPP MAPANBUMI). Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddhis Maitreyawira. Jakarta: DPP MAPANBUMI, 1994. DPP Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (DPP MAPANBUMI). Sejarah Vihara di Indonesia. Medan: Maha Vihara Maitreya, 2000. Dwiyanti. “Fungsi Vihara Bagi Umat Buddha.” Skripsi S1 Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda Jakarta, 1997. Hamid Nasuhi dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQda UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Kao San Yii Ren. Tiga Panutan Nurani. Jakarta: DPP MAPANBUMI, September 2001. Pandit J. Kaharudin. Kamus Buddha Dharma. Jakarta: Tri Sattva Buddhis Centre, 1994. Panduan Dasar Ritual Kebaktian. Jakarta: DPP MAPANBUMI, tanpa tahun. Pusdiklat Buddhis Maitreyawira. Proposal Perluasan Bangunan Vihara. Jakarta: PBM, 26 Juni 2001. Syahputra. Dkk. Keluhuran Sebuah Vihara. “Cahaya Maitri” no. 26 Jakarta: DPP MAPANBUMI, September 2001. Syahputra. Dkk. Kemuliaan Membangun Karya Illahi Dalam Iman Maitreya. “Maitreyawira” no. 22 Jakarta: DPP MAPANBUMI, Desember 2004. Syahputra. Dkk. Suka Cita Sang Pengasih.” Suara Dharma Maitreya” no. 14 (April 2004). Tim Cahaya Maitri. Buddha Maitreya. Medan: Maha Vihara Maitreya, tanpa tahun. Wang Che Kuang. Enam Perbuatan Mulia Sang Pengasih. Jakarta: DPP MAPANBUMI, 2002. Wang Che Kuang. Maha Dharma Maitreya. Jakarta:DPP MAPANBUMI, Mei 2001.
Wang Che Kuang. Tri Mustika Maitreya. Jakarta: DPP MAPANBUMI, 2001. Wawancara Pribadi dengan Pandita Citra Surya. Jakarta, tanggal 20 Februari 2008. Wawancara Pribadi dengan Pandita Halim Zen Bodhi. Jakarta, tanggal 20 Februari 2008. Wawancara Pribadi dengan Pandita Nirwan. Jakarta, tanggal 25 November 2007.
Lampiran 1
1. Pengertian bhakti-puja menurut Pandita? Bhakti-puja artinya sembah sujud, kontak batin dengan para Buddha, Bodhisatva, memuja, menghormati dan berbakti dengan menjalankan ajaran para Buddha. Dan selain menghormati Tuhan, para Buddha dan Bodhisatva dengan bhakti-puja juga artinya kita menghormati orang tua. 2. Bagaimana dengan sejarah dari bhakti-puja itu sendiri Pandita? Adapun sejarah dari bhakti-puja berawal dari seorang Patriat ke-9 yang membawa dharma dan doktrin dari berbagai aspek agama yang ada di Tiongkok (Konfusius, Tao dan Buddha). Patriat ke-9 ini tidak mengajarkan dharma dengan membaca Parita dan meditasi. Karena menurut Beliau manusia tidak perlu melepaskan kiles (kerisauan). 3. Apa tujuan dari bhakti-puja itu Pandita? Tujuan dari bhakti-puja adalah agar kita selalu bersyukur dan selalu mendekatkan diri dengan Tuhan YME, para Buddha dan Bodhisatva, karena dengan bhakti-puja kita dapat melatih diri untuk meneladani peribadi luhur dan penuh kasih dari Buddha Maitreya. Bhakti-puja juga sebagai tanda bahwa kita manusia beriman, bertaqwa dan sebagai sarana untuk bertobat atas kesalahan dan dosa yang sudah kita lakukan. Dan bhakti-puja juga bisa dijadikan sebagai sarana inrtopeksi diri agar manusia bisa mengenal kekurangan diri sendiri yang tujuannya agar manusia dipenuhi dengan, kasih sayang, cinta kasih dan kedamaian agar tekun dan tidak malas.
4. Apa makna dari prosesi bhakti-puja itu pandita? Adapun makna dari bhakti-puja adalah agar manusia selalu memuliakan Tuhan, para Buddha dan Bodhisatva. Kemudian agar manusia senantiasa bersyukur dan menjadikan Buddha sebagai pengendali diri dalam berfikir, berbicara dan bertindak. Danmanusia juga bisa selalu bertobat dan memohon agar tidak melakukan kesalahan. Karena Hati nurani dalah milik manusia yang paling penting untuk kontak hati dengan Tuhan. Bhakti-puja sehari tiga kali dengan hati nurani dan kontak langsung dengan Tuhan agar kita dapat melepaskan sifat-sifat duniawi, bisa mensucikan sepirit kita untuk mencapai kecemerlangan dan yang paling penting kita merenungkan isi dan hasil perenungan itu hendaknya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. 5. Kalau dalam Islam di wajibkan sholat apakah dalam Buddha Maitreya di wajibkan bhaktipuja? Bhakti-puja dalam ajaran Buddha Maitreya tidak di wajibkan akan tetapi sangat dianjurkan bagi umat, karena dengan bhakti-puja ini dapat mengukur nilai ketulusan seseorang sebagai manusia yang dikasihi oleh Maitreya. 6. Apakah berdosa kalau tidak melaksanakan bhakti-puja? Kalau manusia tidak melaksanakan bhakti-puja maka dia tidak berdosa akan tetapi hanya tidak mendapat nilai tambah dari ketulusan untuk kenirwanaan di surga. 7. Kapan pelaksanaan bhakti-puja dan kenapa dilakukan di waktu itu? Bhakti-puja dilaksanakan sehari tiga kali yaitu pagi hari pada pukul 06:30 WIB, siang hari pada pukul 12:00 WIB dan sore hari pada pukul 18:30 WIB.
Pagi hari adalah adanya masa positif oleh karena itu kita diperintahkan berbhakti-puja agar apa yang hendak kita laksanakan hari ini dapat berjalan dengan lancer dan mendapat kemudahan. Sinag hari adalah masa transisi antara masa positif dan negatif yang puncaknya sekitar pukul 12:00 oleh karena itu kita dianjurkan berbhakti-puja agar kita benar-benar menerima hawa positif dan negatif dengan baik. Sore hari kita dianjurkan berbhakti-puja sebagai tanda rasa syukur karena dalam satu hari ini kita telah diberi kemudahan dan berkarya dengan baik.. 8. Apa yang terpenting dalam ajaran Buddha Maitreya Pandita? Yang terpenting dalam ajaran Buddha Maitreya adalah memperbaiki moral umat, mengimpasi dosa karma kita, perbanyak berbuat bajik, tahan derita, berbuat jasa pahala dan tidak berpaling dari hati nurani. Karena ajaran tertinggi adalah prilakumu.
Lampiran II
1. Pengertian bhakti-puja menurut anda? Bhakti-puja adalah sembah sujud dan penghormatan yang diajarkan oleh Buddha Maitreya agar kita mampu mencontoh nilai luhur seperti yang dilakukan oleh Buddha Maitreya. 2. Apakah anda mengetahui sejarah dilaksanakannya bhakti-puja?
Sang Buddha melihat bahwa dunia saat ini sangat dipenuhi dengan kejahatan oleh karena itu beliau bersumpah untuk lahir di akhir zaman dan rela menderita untuk umat manusia, beliau lahir untuk menebus kesalahn seluruh umat manusia. 3. Apa tujuan dari bhakti-puja menurut anda? Tujuan bhakti-puja agar kita semakin dekat dengan Tuhan, para Buddha dan Bodhisatva. Dengan bhakti-puja orang selalu bisa bercermin terhadap nilai luhur Tuhan, Buddha dan Bodhisatva sebagai sarana bagi umat untuk bertobat dan intropeksi diri. 4. Apa makna dari kegiatan bhakti-puja menurut anda? Makna seluruh dari bhakti-puja yaitu bersatunya hati nurani kita dengan Tuhan, hal ini agar kita sebagai manusia tidak selalu mengutamakan dunia dan kita bisa konsentrasi beribadah dengan untuk mencapai kemuliaan. 5. Apakah bhakti-puja wajib dilaksanakan? Bhakti-puja dalam ajaran Buddha Maitreya hanya dianjurkan dan tidak di wajibkan akan tetapi alangkah baiknya jika dilaksanakan. 6. Apakah berdosa kalau tidak menjalankan bhakti-puja? Seseorang tidak akan berdosa kalau tidak melaksankannya. 7. Kapan pelaksanaan bhakti-puja dan apa maknanya menurut anda? Bhakti-puja dilaksanakan tiga kali dalam sehari yaitu pada pagi hari pukul 06:30, siang hari pukul 12:00 dan malam hari pukul 18:30. Dilaksanakan pagi hari agar seseorang dalam melaksanakan tugas sehari-hari selalu meneladani Buddha Maitreya dan seseorang diberi kemudahan dalam memulai aktifitas.
Dilaksanakan siang hari karena setelah seharian melaksanakn kegiatan yang mungkin telah melakukan kejahatan tanpa disadari, kita berbhakti-puja untuk bertobat. Dilaksankan malam hari sebagai intropeksi diri setelah satu hari beraktifitas dan bersyukur karena telah diberi kemudahaan. 8. Apa ajaran penting dalam Buddha Maitreya? Ajaran Buddha Maitreya yang paling penting yaitu agar manusia selalu berbuat baik kepada sesama, selalu intropeksi diri, dan berpegang teguh pada hati nurani.
lampiran III 1. Pengertian bhakti-puja menurut anda? Salah satu cara berdoa, bersyukur, memuliakan, bertobat dan memohon kekuatan dan lindungan. 2. Bagaimana dengan sejarah bhakti-puja menurut anda? Bhakti-puja sudah ada dari masa leluhur dan ini menjadi turun-temurun untuk saya. 3. Apa tujuan bhakti-puja menurut anda? Tujuan bhakti-puja yaitu kembali ke nurani, bersatu hati dengan Tuhan, Buddha Maitreya dan dan bodhisatva, dan untuk mendoakan orang-orang sekitar dan dunia. 4. Apa makna prosesi bhakti-puja menurut anda? Makna dari prosesi bhakti-puja yaitu memuliakan dan bersyukur, bertobat dan memohon untuk mengkoreksi diri karena manusia sering melakukan dosa. 5. Kalau dalam Islam di wajibkan sholat apakah dalam ajaran Buddha Maitreya di wajibkan berbhakti-puja? Bhakti-puja dalam ajaran Buddha Maitreya tidak di wajibkan akan tetapi sangat dianjurkan. Karena bhakti-puja menjadi tolak ukur sejauh mana kesadaran diri untuk mengikuti ajaran Buddha Maitreya. 6. Apakah berdosa kalau tidak melaksanakan bhakti-puja? Tidak berdosa hanya saja tidak mendapat nilai tambah untuk bekal hidup.
7. Kapan pelaksanaan bhakti-puja dan kenapa dilakukan di waktu itu?
Bhakti-puja dilaksanakan tiga kali sehari yaitu pagi hari pukul 06.30 WIB, siang hari pukul 12.00 WIB dan sore hari pukul 18.30. adapun maknanya agar seseorang tetap mengingat Tuhan, para Buddha dan Bodhisatva pada pagi hari, siang hari dan malam hari. 8. Apa yang terpenting dalam ajaran Buddha Maitreya menurut anda? Yang terpenting dalam ajaran Buddha Maitreya adalah meneladani sifat Maitreya untuk membuat dunia menjadi satu keluarga.