Pengantar Ajaran Buddha Nasihat sebelum Memulai Langkah di Jalan Buddha Dr. Alexander Berzin Ajaran Buddha mengajarkan langkah-langkah pencegahan yang berdayaguna untuk menghindari kesulitan-kesulitan dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Ini melihat ke sumber masalah dalam pikiran kita yang bingung dan sikap kita yang tidak makul yang mendorong gangguan-gangguan perasaan dan perilaku kompulsif. Melalui meditasi untuk melawan kebiasaan cara-cara kita berpikir dan bertindak yang tidak benar dan dengan ilham dari orang-orang yang telah menjadi lebih penuh kasih dan positif, kita dapat mengubah cita kita untuk meningkatkan mutu kehidupan kita sehari-hari. Jika kita ingin memahami apa itu ajaran Buddha dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, tempat yang baik untuk kita tinjau adalah konotasi dari istilah tradisional yang digunakan untuk ajaran-ajaran dan laku Buddha: Dharma. "Dharma" adalah kata Sanskerta yang secara harfiah berarti "tindakan pencegahan." Ini adalah sesuatu yang kita lakukan untuk menghindari masalah. Jika kita memahami ini, kita akan memahami maksud di balik semua yang Buddha ajarkan. Untuk memiliki minat dalam mengambil tindakan-tindakan pencegahan, kita perlu melihat bahwa ada masalah-masalah dalam hidup. Ini benar-benar membutuhkan banyak keberanian. Banyak orang tidak bersungguh-sungguh dalam memikirkan diri mereka sendiri atau hidup mereka. Mereka bekerja sangat keras 1
sepanjang hari dan kemudian mengalihkan diri dengan hiburan dan sebagainya di malam hari karena mereka lelah. Mereka tidak benar-benar melihat masalah-masalah dalam hidup mereka secara mendalam. Bahkan meskipun melihat masalah-masalah itu, mereka tidak benar-benar mau mengakui bahwa hidup mereka tidak memuaskan karena itu akan sangat menyedihkan. Butuh keberanian untuk benar-benar memeriksa mutu hidup kita dan mengakui secara jujur ketika kita mendapatinya tidak memuaskan. Keadaan-Keadaan Tak Memuaskan dan Sebab-Sebabnya Tentu, ada beberapa tingkatan keadaan tidak memuaskan. Kita bisa berkata, “Kadang-kadang saya mengalami suasana hati buruk dan kadang-kadang segala sesuatu berjalan baik, tapi itu tak apa. Itulah hidup.” Jika kita puas dengan itu, tak apa-apa. Jika kita punya harapan bahwa kita bisa membuat keadaan sedikit lebih baik, ini membimbing kita mencari jalan untuk melakukan hal itu. Agar menemukan cara-cara untuk meningkatkan mutu hidup, kita perlu mengenali sumber masalah-masalah kita. Kebanyakan orang mencari sumber masalah-masalah mereka secara luar. “Saya mengalami kesulitan dalam hubungan dengan Anda karena Anda! Anda tidak bertindak seperti yang saya inginkan.” Kita mungkin juga menyalahkan keadaan politik atau ekonomi atas kesulitankesulitan kita. Menurut beberapa aliran ilmu jiwa, kita bisa mencari peristiwa-peristiwa traumatis di masa kecil kita sebagai sesuatu yang membawa kita memiliki masalah-masalah yang kita alami. Sangat mudah menyalahkan orang lain atas ketidakbahagiaan kita. Menempatkan kesalahan pada orang lain maupun unsurunsur sosial atau ekonomi tidak benar-benar membawa pada penyelesaian. Jika kita memiliki kerangka bercitra ini, kita mungkin 2
bersabar dan ini mungkin bermanfaat, tapi kebanyakan orang mendapati bahwa melakukan ini saja tidak membebaskan mereka dari masalah-masalah kejiwaan dan ketidakbahagiaan. Ajaran Buddha mengatakan bahwa meskipun orang lain, masyarakat, dan sebagainya memberi andil pada masalahmasalah kita, mereka sebenarnya bukan sumber terdalamnya. Untuk menemukan sumber terdalam dari kesulitan-kesulitan kita, kita perlu melihat ke dalamnya. Lagipula, jika kita merasa tidak bahagia dalam hidup, itu adalah tanggapan atas keadaan kita. Orang yang berbeda menanggapi keadaan yang sama secara berbeda. Bahkan apabila kita melihat diri kita sendiri, kita mendapati bahwa kita menanggapi kesulitan-kesulitan secara berbeda dari hari ke hari. Jika sumber masalah itu hanyalah keadaan luar, kita sebaiknya selalu menanggapi dengan cara yang sama, tapi kita tidak melakukannya. Ada unsur-unsur yang memengaruhi cara kita menanggapi, misalnya mengalami hari baik di tempat kerja, tapi itu hanya unsur-unsur tambahan yang dangkal. Unsur-unsur itu tidak berpengaruh cukup dalam. Jika kita perhatikan, kita mulai melihat bahwa sikap-sikap kita terhadap kehidupan, diri kita, dan keadaan kita memberi andil besar pada bagaimana kita merasakan. Sebagai contoh, kita tidak merasa sedih sepanjang waktu, seperti ketika mengalami hari baik; tapi ketika kita tidak mengalami hari baik, rasa sedih itu muncul lagi. Sikap-sikap dasar yang kita miliki terhadap kehidupan berpengaruh besar dalam membentuk cara kita menjalani kehidupan. Jika memeriksa secara lebih mendalam, kita mendapati bahwa sikap-sikap kita berdasar pada kebingungan. 3
Kebingungan sebagai Sumber Masalah Jika menggali kebingungan, kita melihat bahwa salah satu unsurnya adalah kebingungan tentang sebab dan akibat perilaku. Kita bingung tentang apa yang harus dilakukan atau diucapkan dan tentang apa yang akan terjadi sebagai akibat. Kita bisa menjadi sangat bingung tentang jenis pekerjaan apa yang harus dipilih, memilih menikah atau tidak, memilih punya anak atau tidak, dan sebagainya. Jika kita menjalin hubungan dengan seseorang, apa akibatnya? Kita tidak tahu. Gagasan-gagasan kita tentang apa yang akan terjadi karena pilihan-pilihan kita sebenarnya hanya angan-angan. Kita mungkin berpikir bahwa jika kita menjalin hubungan yang mendalam dengan seseorang, kita akan hidup bahagia selamanya, seperti dalam dongeng. Jika kita kecewa dalam suatu keadaan, kita berpikir bahwa berteriak akan menjadikan keadaan lebih baik. Kita memiliki gagasan yang sangat kacau tentang bagaimana tanggapan orang lain terhadap tindakan kita. Kita berpikir bahwa jika kita berteriak dan mengungkapkan pikiran-pikiran kita, kita akan merasa lebih baik dan segala sesuatu akan menjadi baik, tapi segala sesuatu tidak akan menjadi baik. Kita ingin tahu apa yang akan terjadi. Kita mati-matian mencari pada ilmu perbintangan atau merogoh saku untuk The Book of Change, I Ching. Mengapa kita melakukan hal-hal seperti itu? Kita ingin memegang kendali atas apa yang terjadi. Ajaran Buddha mengatakan bahwa tingkatan lebih mendalam dari kebingungan adalah kebingungan tentang bagaimana kita dan orang lain ada dan tentang bagaimana dunia ini ada. Kita bingung tentang segala persoalan mengenai pengendalian. Kita berpikir bahwa mungkin bagi kita untuk memegang kendali penuh atas apa 4
yang terjadi pada kita. Sebagai contoh, kita mungkin berpikir bahwa jika kita tidak mengizinkan orang lain memakai komputer kita, maka komputer kita tidak akan rusak. Karena hal itu, kita kecewa ketika sesuatu tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Tidak mungkin bagi kita untuk selalu memegang kendali. Itu bukan kenyataan. Kenyataan sangatlah rumit. Banyak hal memengaruhi apa yang terjadi, tidak hanya apa yang kita lakukan. Ini bukan berarti bahwa kita sama sekali tidak memegang kendali maupun dikuasai oleh kekuatan-kekuatan luar. Kita memiliki andil terhadap apa yang terjadi, tapi kita bukan satu-satunya unsur yang menentukan apa yang terjadi. Karena kebingungan dan ketidakamanan kita, kita seringkali bertindak secara merusak tanpa memahami bahwa itu adalah perilaku merusak. Ini karena kita di bawah pengaruh perasaanperasaanyang gelisah, sikap-sikap yang gelisah, dan dorongandorongan gandrung yang muncul dari kebiasaan-kebiasaan kita. Kita tidak hanya bertindak secara merusak terhadap orang lain; kita pada dasarnya bertindak dalam cara-cara yang merusak diri sendiri. Dengan kata lain, kita menciptakan lebih banyak masalah bagi diri kita sendiri. Jika kita menginginkan lebih sedikit masalah atau kebebasan dari masalah-masalah kita, atau bahkan lebih jauh, kemampuan untuk membantu orang lain keluar dari masalahmasalah mereka, kita perlu mengakui sumber keterbatasanketerbatasan kita. Membebaskan Diri Kita dari Kebingungan Mari kita katakan bahwa kita bisa mengakui bahwa sumber masalah-masalah kita adalah kebingungan. Ini tidaklah terlalu sulit. 5
Banyak orang sampai titik tertentu dan berkata, “Saya benar-benar bingung. Saya kacau.” Lalu apa? Sebelum kita pergi dan membelanjakan uang pada kuliah ini dan undur-diri itu, kita perlu mempertimbangkan secara sungguh-sungguh apakah kita benarbenar yakin bahwa adalah mungkin untuk menghilangkan kebingungan kita. Jika kita tidak merasa mungkin untuk menghilangkan kebingungan kita, apa yang akan kita coba lakukan? Jika kita bertindak hanya dengan harapan bahwa adalah mungkin untuk menyingkirkan kebingungan kita, itu tidak cukup kuat. Itu adalah impian belaka. Kita mungkin berpikir bahwa kebebasan bisa datang dalam beberapa cara. Kita mungkin berpikir bahwa seseorang akan menyelamatkan kita. Ini bisa sosok suci yang lebih tinggi, seperti Tuhan, maka kita menjadi penganut yang tercerahkan. Jika tidak, kita mungkin mencari guru rohani, pasangan, atau orang lain untuk menyelamatkan kita dari kebingungan. Dalam keadaan-keadaan semacam itu, mudah untuk menjadi bergantung pada orang lain dan untuk bersikap secara tidak dewasa. Kita seringkali matimatian menemukan seseorang untuk menyelamatkan kita sehingga kita sembarangan memilih orang itu. Kita mungkin memilih seseorang yang tidak bebas dari kebingungannya sendiri dan yang, karena sikap dan perasaan yang gelisah, memanfaatkan ketergantungan kita yang lugu. Ini bukan cara yang mantap untuk dijalani. Kita tidak bisa mencari guru rohani atau suatu hubungan untuk menghilangkan semua kebingungan kita. Kita harus menghilangkan kebingungan kita sendiri. Hubungan dengan guru rohani atau dengan pasangan bisa menyediakan unsur-sebab yang berguna, tapi hanya ketika 6
hubungan itu sehat. Ketika hubungan itu tidak sehat hanya akan menjadikan keadaan lebih buruk. Ini membawa pada kebingungan yang lebih besar. Pada awalnya, kita bisa berada dalam keadaan penyangkalan yang dalam, berpikir bahwa guru kita sempurna, pasangan kita sempurna, tapi akhirnya keluguan kita pudar. Ketika kita mulai melihat kelemahan-kelemahan pada orang lain dan bahwa orang itu tidak akan menyelamatkan kita dari kebingungan kita, kita kecewa. Kita merasa dikhianati. Keyakinan dan kepercayaan kita telah dikhianati. Ini adalah rasa yang sangat buruk! Sangat penting untuk berusaha menghindari hal itu sejak awal. Kita perlu melakukan langkah-langkah pencegahan. Kita perlu memahami apa yang mungkin dan yang tidak. Apa yang bisa dilakukan guru rohani dan apa yang tidak bisa dilakukannya? Kita mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menghindari kekecewaan. Kita perlu mengembangkan keadaan cita yang bebas dari kebingungan. Lawan dari kebingungan, pemahaman, akan mencegah munculnya kebingungan. Upaya kita dalam ajaran Buddha adalah mawas diri dan penuh perhatian dalam sikap, perasaan yang gelisah, dan perilaku mendesak, gandrung, maupun neurotik kita. Itu berarti kita mau melihat hal-hal dalam diri kita yang tidak menyenangkan, hal-hal yang cenderung kita sangkal. Ketika kita memerhatikan hal-hal yang menyebabkan masalah atau gejala dari masalah kita, kita perlu menerapkan lawan untuk menghadapi mereka. Semua ini berdasar pada pembelajaran dan meditasi. Kita harus belajar mengenali sikapsikap dan perasaan-perasaan yang gelisah dan dari mana mereka berasal. 7
Meditasi Meditasi berarti kita berlatih menerapkan berbagai lawan dalam suatu keadaan yang terkendali sehingga kita menjadi terbiasa dengan cara menerapkannya dan selanjutnya bisa melakukan hal itu dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh, jika kita marah dengan orang lain ketika mereka tidak bertindak seperti yang kita inginkan, dalam meditasi kita membayangkan keadaan itu dan berusaha melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Orang itu bertindak dengan cara-cara yang tidak menyenangkan karena berbagai alasan. Ia tidak perlu berbuat buruk karena ia tidak mencintai kita. Dalam meditasi, kita berusaha menghilangkan sikap-sikap semacam ini: “Teman saya tidak mencintai saya lagi karena ia tidak menelepon saya.” Jika kita bisa berlatih melalui jenis keadaan ini dengan tataran cita yang lebih santai, pengertian, dan sabar, maka apabila orang itu tidak menelepon kita selama satu minggu kita tidak akan terganggu. Ketika kita mulai merasa terganggu, kita ingat bahwa orang ini barangkali sangat sibuk dan adalah memusat-diri jika berpikir bahwa kita adalah orang paling penting dalam hidupnya. Ini membantu kita untuk meredakan gangguan perasaan kita. Laku Buddha adalah Pekerjaan Penuh Laku Buddha bukanlah hobi. Ini bukan sesuatu yang kita lakukan sebagai olahraga atau untuk bersantai. Laku Buddha adalah pekerjaan penuh. Kita berbicara tentang memperbaiki sikap-sikap kita terhadap segala sesuatu dalam kehidupan kita. Jika kita berusaha mengembangkan kasih kepada semua makhluk, 8
misalnya, kita perlu menerapkan itu dalam keluarga kita. Banyak orang duduk di kamar mereka bermeditasi tentang kasih, tapi tidak bisa bergaul dengan orang tua atau pasangan mereka. Ini menyedihkan. Menghindari Keekstreman Dalam berusaha menerapkan ajaran-ajaran Buddha pada keadaan-keadaan kehidupan nyata kita di rumah dan di tempat kerja, kita perlu menghindari keekstreman-keekstreman. Salah satu kutub keekstreman itu adalah meletakkan semua kesalahan pada orang lain. Keekstreman lainnya adalah meletakkan seluruh kesalahan pada diri kita sendiri. Apa yang terjadi dalam kehidupan sangatlah berseluk-beluk. Kedua pihak memberi andil: orang lain memberi andil; kita memberi andil. Kita bisa mencoba untuk membuat orang lain mengubah perilaku dan sikap mereka, tapi kita semua tahu dari pengalaman pribadi bahwa itu tidak mudah – terutama apabila kita melakukannya dengan cara yang alim dan merasa paling benar dan mendakwa orang lain sebagai pendosa. Jauh lebih mudah untuk mencoba mengubah diri kita sendiri. Meskipun kita bisa memberi saran kepada orang lain, jika mereka mau menerima dan jika mereka tidak menjadi semakin agresif karena saran kita, tapi usaha utamanya adalah pada diri kita sendiri. Dalam memperbaiki diri, kita harus memerhatikan sepasang keekstreman lain: sepenuhnya dikuasai rasa-rasa kita dan tidak menyadari rasa-rasa itu sama sekali. Yang pertama adalah pendirian narsisitik. Kita hanya mementingkan apa yang kita rasakan. Kita cenderung mengabaikan apa yang orang lain 9
rasakan. Kita cenderung berpikir bahwa yang kita rasakan jauh lebih penting dibanding yang orang lain rasakan. Di sisi lain, kita mungkin tidak tersentuh oleh rasa-rasa kita atau tidak merasakan apa-apa sama sekali, seolah-olah perasaan kita disuntik dengan Novocain. Menghindari keekstreman-keekstreman ini memerlukan keseimbangan yang baik. Ini tidak mudah. Jika kita selalu memerhatikan diri kita sendiri ketika bersama orang lain, ini menciptakan dualitas terbayang – diri kita sendiri dan apa yang kita rasakan atau lakukan – maka kita tidak benar-benar berhubungan dengan seseorang atau bersama seseorang. Seni yang sebenarnya adalah berhubungan dan bertindak dalam cara yang wajar dan tulus, sedangkan bagian dari perhatian kita berada pada dorongan dan sikap kita. Namun, kita perlu mencoba melakukan ini tanpa menjadikannya semacam cara bertindak yang retak sehingga tidak kita perlihatkan pada orang lain. Jika kita mencermati dorongan dan rasa kita selama proses berhubungan dengan seseorang, kadang-kadang mengatakannya kepada orang itu adalah bermanfaat. Namun, sangat narsisitik untuk merasa bahwa kita harusmengatakan pada orang itu. Seringkali, orang lain tidak tertarik pada apa yang kita rasakan. Sangat sombong untuk merasa bahwa mereka ingin tahu. Ketika kita menyadari bahwa kita mulai bertindak secara egoistis, kita bisa menghentikannya. Kita tidak harus memberitahukannya. Pasangan keekstreman lainnya adalah bahwa kita sepenuhnya buruk atau sepenuhnya baik. Jika kita menaruh terlalu banyak penekanan pada kesulitan-kesulitan kita, masalah-masalah kita, dan perasaan-perasaan yang gelisah kita, kita bisa mulai merasa bahwa kita orang yang buruk. Keadaan ini sangat mudah 10
memburuk menjadi rasa bersalah. “Saya harus menjalankan laku. Jika tidak, saya adalah orang jahat.” Ini adalah dasar yang sangat neurotik untuk laku. Kita juga perlu menghindari keekstreman lain, yaitu menaruh terlalu banyak penekanan pada sisi-sisi positif kita. “Kita sempurna. Kita semua adalah Buddha. Semuanya mengagumkan.” Ini sangat berbahaya, karena ini bisa berarti bahwa kita tidak perlu mengorbankan apapun, kita tidak perlu menghentikan keburukankeburukan karena yang perlu kita lakukan hanya melihat mutumutu baik dalam diri kita. “Saya mengagumkan. Saya sempurna. Saya tidak perlu menghentikan perilaku negatif saya. Saya sudah menjadi Buddha.” Kita butuh suatu keseimbangan. Jika kita merasa terlalu kecewa terhadap diri kita, kita perlu mengingatkan diri kita sendiri pada kemampuan kita untuk bebas dari semua kekurangan dan menjadi Buddha; jika kita merasa sedikit terlalu bangga, kita perlu menenekankan sisi-sisi negatif kita. Bertanggung Jawab Pada dasarnya, kita perlu bertanggung jawab: untuk perkembangan kita dan untuk menyingkirkan masalah-masalah kita. Tentu saja, kita butuh bantuan. Tidak mudah bagi kita untuk melakukan ini sendiri. Kita bisa mendapat bantuan dari guru rohani atau perkumpulan rohani kita, orang-orang yang sepemahaman dan yang memperbaiki diri dan tidak menyalahkan orang lain atas masalah-masalah mereka. Inilah mengapa dalam sebuah hubungan berpasangan, penting untuk memiliki jenis sikap yang sama, terutama sikap tidak menyalahkan orang lain atas masalah apapun yang muncul. Jika kedua pasangan itu saling 11
menyalahkan, itu berarti gagal. Jika hanya satu pasangan memperbaiki dirinya dan yang lain hanya menyalahkan, itu berarti juga gagal. Jika kita telah berada dalam suatu hubungan di mana orang lain menyalahkan, tapi kita mencari apa yang telah kita sumbangkan, bukan berarti bahwa kita perlu memutus hubungan ini, tapi ini lebih sulit. Kita harus mencegah agar kita tidak menjadi pihak yang menderita dalam hubungan ini. “Saya menanggung semua ini! Ini sulit!” Semua hal ini bisa menjadi sangat menggelisahkan. Mendapatkan Ilham Jalan Buddha bukan jalan yang mudah. Ini berurusan dengan keburukan hidup. Kita memerlukan suatu kekuatan untuk berjalan; kita memerlukan sumber-sumber ilham yang mantap. Jika sumber ilham kita itu adalah guru-guru yang menceritakan kisah-kisah tentang keajaiban yang luar biasa dan hal-hal semacamnya – tentang diri mereka atau tentang hal-hal lain dalam sejarah Buddha – ini tidak akan menjadi sumber ilham yang mantap. Ini pasti bisa sangat mengasyikkan, tapi kita harus mencermati bagaimana ini berpengaruh pada kita. Pada banyak orang, ini menguatkan dunia khayal tempat kita mengharap keselamatan melalui keajaibankeajaiban. Kita membayangkan bahwa penyihir hebat akan menyelamatkan kita dengan kekuatan-kekuatan ajaibnya, atau bahwa kita akan tiba-tiba bisa menghasilkan kemampuankemampuan ajaib itu. Kita harus sangat berhati-hati terhadap kisah-kisah luar biasa ini. Mereka mungkin mengilhami keyakinan kita dan sebagainya, dan itu bisa bermanfaat, tapi itu bukan dasar ilham yang kukuh. Kita membutuhkan dasar yang mantap. 12
Satu contoh sempurna adalah kehidupan Sang Buddha. Buddha tidak berusaha “mengilhami” orang-orang atau membuat mereka terkesan dengan menceritakan kisah-kisah luar biasa. Ia tidak bangga dengan berkelana dan memberkati orang-orang dan halhal seperti itu. Persamaan yang Buddha gunakan, yang diulangulang dalam ajaran-ajaran Buddha, adalah bahwa Buddha seperti matahari. Matahari tidak berusaha menghangatkan manusia. Pada dasarnya, menurut sifat dasar matahari, ia begitu saja membawa kehangatan pada semua orang. Meskipun kita mungkin senang karena mendengar kisah luar biasa atau karena kepala kita disentuh dengan patung atau leher kita dikalungi tali merah, ini tidak mantap. Sumber ilham yang mantap adalah keadaan guru kita secara spontan dan wajar sebagai manusia – wataknya, keadaan guru kita sebagai hasil pengamalan ajaran-ajaran Buddha. Inilah hal yang mengilhami, bukan tindakan yang dilakukan orang untuk menghibur kita. Meskipun mungkin tidak semenyenangkan kisah luar biasa, ini akan memberi kita pemahaman yang mantap tentang ilham. Ketika mengalami kemajuan, kita bisa mendapat ilham dari kemajuan kita sendiri – bukan dari memperoleh kekuatan-kekuatan ajaib, tapi dari bagaimana watak kita berubah secara perlahan. Ajaran-ajaran Buddha selalu menekankan kegembiraan dalam tindakan-tindakan positif kita. Sangat penting untuk mengingat bahwa kemajuan tidak pernah lurus. Kemajuan tidak bertambah baik begitu saja setiap hari. Salah satu sifat kehidupan adalah bahwa suasana hati kita naik dan turun sampai kita sepenuhnya bebas dari masalah-masalah yang selalu berulang, yang merupakan tataran tingkat lanjut yang luar biasa. Kita harus menyadari bahwa kita kadang-kadang akan merasa bahagia dan 13
tidak bahagia. Kita kadang-kadang mampu bertindak dalam caracara positif dan pada saat-saat lain kebiasaan-kebiasaan gelisah kita akan sangat kuat. Keadaan akan naik dan turun. Biasanya, keajaiban tidak terjadi. Ajaran-ajaran Buddha tentang menghindari kegelisahan pada delapan persoalan duniawi menekankan untuk tidak menjadi besar kepala jika keadaan berjalan baik dan tidak menjadi sedih jika keadaan tidak berjalan baik. Itulah hidup. Kita perlu melihat dampak jangka panjangnya, bukan dampak jangka pendeknya. Jika kita telah menjalankan laku selama lima tahun, misalnya, dibandingkan lima tahun yang lalu kita telah menemukan banyak kemajuan. Meskipun kadang-kadang kita kecewa, apabila kita mendapati diri kita mampu mengendalikan keadaan dengan cita dan hati yang lebih jernih dan lebih tenang, ini menandakan bahwa kita telah membuat kemajuan. Ini mengilhami. Ini tidak dramatis, meskipun kita ingin ini menjadi dramatis dan kita senang dengan tontonan-tontonan dramatis. Ini adalah ilham yang mantap. Menjadi Berdayaguna Kita perlu menjadi berdayaguna dan membumi. Ketika kita melakukan laku-laku penyucian, misalnya, penting untuk tidak membayangkan itu sebagai sosok orang suci mengampuni kita dari dosa-dosa. Dalam agama Buddha, tidak ada orang-orang suci yang akan menyelamatkan dan memberkati kita dengan penyucian. Prosesnya sama sekali bukan ini. Yang menyucikan kita adalah kenyataan bahwa cita kita murni. Cita kita tidak ternoda oleh kebingungan; kebingungan bisa dihilangkan, yakni dengan mengenali kesucian alami cita melalui upaya kita sendiri sehingga 14
kita bisa melepaskan rasa bersalah, kekuatan-kekuatan negatif, dan sebagainya. Ini memungkinkan proses penyucian kita berhasil. Lebih jauh, dalam melakukan semua laku tersebut dan berusaha menerapkan ajaran-ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu mengenali dan mengakui tingkatan tempat kita berada. Penting untuk tidak bersikap bangga atau merasa bahwa kita saat ini harus berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Mendekati Ajaran Buddha dari Latar Belakang Katolik Sebagian orang yang berminat pada agama Buddha mungkin, sebagai contoh, berasal dari latar belakang Katolik. Jika keadaannya demikian, maka ketika kita mendekati ajaran Buddha dan mulai belajar, kita tidak perlu merasa bahwa kita perlu meninggalkan agama Katolik dan berpindah ke agama Buddha. Namun, penting untuk tidak mencampur dua laku itu. Kita tidak melakukan tiga sujud-sembah pada altar sebelum duduk di gereja. Begitu juga ketika kita menjalankan laku Buddha, kita tidak membayangkan Bunda Maria, kita membayangkan sosok Buddha. Kita menjalankan keduanya secara terpisah. Ketika kita pergi ke gereja, kita pergi ke gereja saja; ketika kita melakukan meditasi Buddha, kita melakukan meditasi Buddha. Ada banyak ciri yang sama, misalnya penekanan pada kasih, membantu orang lain, dan seterusnya. Tidak ada pertentangan pada tingkatan dasarnya. Jika kita mengamalkan kasih, derma, dan membantu orang lain, kita adalah penganut Katolik yang baik dan penganut Buddha yang baik. Namun pada akhirnya, kita harus memilih, tapi itu hanya ketika kita siap mengerahkan segenap 15
upaya untuk membuat kemajuan rohani yang hebat. Jika kita hendak naik ke lantai paling atas sebuah gedung, kita tidak menaiki dua tangga pada saat yang bersamaan—itu adalah gambaran yang sangat membantu. Jika kita hanya berjalan pada tingkatan dasar, di lobinya, tak apa. Kita tidak perlu khawatir tentang itu. Kita bisa memperoleh manfaat dari keduanya. Menghindari Ketaatan yang Salah Dalam menerapkan agama Buddha pada kehidupan, kita harus berhati-hati untuk tidak menyangkal agama asli kita sebagai agama yang buruk atau lemah. Itu merupakan kesalahan besar. Maka kita bisa menjadi penganut Buddha fanatik dan anti-Katolik fanatik, misalnya. Orang juga melakukan itu pada komunisme dan demokrasi. Ini berarti kita dikuasai oleh suatu mekanisme kejiwaan yang disebut ketaatan yang salah. Terdapat kecenderungan untuk ingin menjadi taat kepada keluarga kita, latar belakang kita, dan sebagainya, sehingga kita ingin menjadi taat pada agama Katolik meskipun kita telah menyangkalnya. Jika kita tidak taat pada latar belakang kita dan menolaknya dengan menganggap buruk, kita merasa diri kita sepenuhnya buruk. Karena ini sangat tidak nyaman, kita secara bawah sadar merasakan kebutuhan untuk menemukan sesuatu dalam latar belakang kita yang bisa kita taati. Kecenderungan itu secara bawah sadar adalah menjadi taat pada unsur-unsur tertentu dalam latar belakang kita yang kurang bermanfaat. Sebagai contoh, kita mungkin menyangkal agama Katolik, tapi kita membawa ketakutan besar pada neraka ke dalam agama Buddha. Seorang teman perempuan saya dulu adalah penganut Katolik yang sangat taat, berubah menjadi penganut 16
Buddha yang taat, dan kemudian mengalami krisis eksistensi. “Saya meninggalkan agama Katolik maka saya akan masuk ke neraka agama Katolik; tapi jika saya meninggalkan agama Buddha dan kembali ke agama Katolik, saya akan masuk ke neraka agama Buddha!” Meskipun mungkin terdengar lucu, ini adalah masalah yang sangat berat baginya. Kita seringkali secara bawah sadar membawa sikap-sikap tertentu dari agama Katolik ke dalam laku Buddha. Sikap paling umum adalah rasa bersalah dan mencari keajaiban dan orang lain untuk menolong kita. Jika kita tidak mengamalkan, kita merasa bahwa kita seharusnya mengamalkan, dan jika tidak, kita bersalah. Gagasan-gagasan ini tidak bermanfaat sama sekali. Kita perlu menyadari ketika kita melakukan ini. Kita perlu melihat latar belakang kita dan mengakui unsur-unsur positif sehingga kita bisa menjadi taat pada sifat yang positif dan bukan pada sifat yang negatif. Bukannya berpikir, “Saya mewarisi perasaan bersalah dan pencarian keajaiban,” kita bisa berpikir, “Saya mewarisi adat/tradisi Katolik dalam kasih, derma, dan membantu orang-orang yang kurang beruntung.” Kita bisa melakukan hal yang sama mengenai keluarga kita. Kita mungkin menolak mereka dan kemudian secara bawah sadar taat pada tradisi negatif mereka, bukannya taat pada tradisi positif mereka. Sebagai contoh, jika kita mengakui bahwa kita sangat bersyukur atas latar belakang Katolik yang mereka berikan pada kita, maka kita bisa menapaki jalan kita sendiri tanpa pertentangan tentang masa lalu kita dan tanpa rasa-rasa negatif yang terusmenerus mengancam kemajuan kita. 17
Penting bagi kita untuk mencoba memahami kebenaran kejiwaan tentang hal ini. Jika kita berpikir tentang masa lalu kita – keluarga kita, agama kita, atau apapun – sebagai hal-hal negatif, kita cenderung memiliki sikap negatif terhadap diri kita sendiri. Sebaliknya, jika kita bisa mengakui hal-hal positif dalam latar belakang dan masa lalu kita, kita cenderung lebih memiliki sikap positif terhadap diri kita sendiri. Ini membantu kita untuk menjadi jauh lebih mantap dalam jalan rohani kita. Ringkasan Kita perlu maju perlahan, langkah demi langkah. Ketika kita mendengar atau membaca tentang ajaran-ajaran tingkat sangat lanjut, meskipun guru-guru terkemuka di masa lalu mengatakan, “Setelah Anda mendengar sebuah ajaran, segeralah mengamalkannya,” kita perlu menentukan apakah sesuatu itu terlalu tinggi bagi kita atau apakah itu adalah sesuatu yang bisa kita amalkan sekarang. Jika ajaran itu terlalu lanjut, kita harus memahami langkah-langkah yang perlu kita ambil untuk mempersiapkan diri kita agar mampu mengamalkannya, dan kemudian mengikuti langkah-langkah itu. Singkatnya, seperti ucapan salah satu guru saya, Geshe Ngawang Dhargyey, “Jika kita menjalankan cara-cara khayal, kita mendapatkan hasil-hasil terbayang; jika kita menjalankan cara-cara yang berdayaguna, kita akan mendapatkan hasil-hasil yang berdayaguna.”
18
Menggunakan Cara-Cara Buddha untuk Membantu Kita dalam Hidup Sehari-hari Malam ini kita akan membicarakan tentang bagaimana kita menggunakan cara-cara Buddha untuk membantu kita dalam hidup sehari-hari. Ketika kita bicara tentang cara-cara Buddha atau ajaran-ajaran Buddha, kata bahasa Sanskerta yang mengacu pada hal itu adalah “Dharma”. Jika kita perhatikan apa sebenarnya makna kata itu, “Dharma” berarti “sesuatu yang menahan kita”. Dharma adalah sesuatu yang menahan kita atau menghindarkan kita dari penderitaan atau deraan masalah. Empat Kebenaran Mulia “Empat kebenaran mulia” adalah hal pertama yang diajarkan Buddha. Maksudnya ialah bahwa ada empat kenyataan yang, oleh siapapun juga yang memiliki tataran kesadaran tinggi dan yang mampu memahami kenyataan, akan dipahami sebagai kebenaran. Empat hal tersebut adalah:
Permasalahan benar yang kita semua hadapi.
Sebab-sebab yang benar dari permasalahan itu.
Seperti apa jadinya jika permasalahan itu dapat mutlak dihentikan supaya kita tidak mengalaminya lagi.
Cara memahami, bertindak, dan seterusnya, menghentikan segala permasalahan kita.
yang
akan
Ajaran Buddha bicara banyak tentang permasalahan dan cara menanganinya. Malah, seluruh ajaran Buddha diniatkan untuk menolong kita mengatasi kesukaran dalam kehidupan. 19
Pendekatan yang dipakai sebetulnya sangat nalariah dan membumi. Dikatakan bahwa apapun bentuknya, permasalahan datang karena ada sebabnya. Jadi kita harus menelisik dengan jujur dan mendalam ke dalam diri kita untuk melihat kesukarankesukaran yang sedang kita hadapi itu. Bagi banyak dari kita, ini bukanlah jalan yang mudah. Malah sesungguhnya agak menyakitkan rasanya menelisik ke dalam wilayah-wilayah sukar dalam kehidupan kita itu. Banyak orang yang menyangkal. Mereka tidak bersedia mengakui bahwa mereka punya permasalahan – misalnya, hubungan yang tak sehat – tapi bagaimanapun juga mereka mengalami ketakbahagiaan. Namun kita tak bisa membiarkannya pada tataran “Aku tak bahagia” saja. Kita perlu melihat lebih dalam apa sebetulnya yang jadi masalah. Sebab-Sebab yang Benar dari Permasalahan Kita Kemudian kita perlu melihat untuk menemukan apa sebab-sebab dari permasalahan kita. Permasalahan tidak muncul dengan sendirinya, jatuh dari langit. Pasti ada sebabnya, dan tentu saja ada banyak tataran unsur yang terlibat dalam terbentuknya suatu keadaan yang tidak memuaskan. Misalnya, ketika ada perselisihan kepribadian dalam sebuah hubungan, boleh jadi ada juga unsurunsur pengaruh dari ranah ekonomi – masalah tak cukup uang, dll. – masalah dengan anak-anak, atau masalah dengan saudara lainnya. Boleh jadi ada segala jenis keadaan yang ikut membentuk permasalahannya. Akan tetapi Buddha berkata bahwa kita harus masuk lebih dan lebih dan lebih dalam untuk menemukan sebab terdalam dari permasalahan kita; dan sebab terdalam dari permasalahan kita ialah kebingungan kita akan kenyataan. Kita tak bahagia, kita merasa sakit, dan hal itu tentunya terjadi karena suatu jenis sebab. Misalnya, kita bertindak dengan sikap 20
yang amat mengusik – penuh amarah, contohnya. Tak ada orang yang bahagia ketika marah, kan? Jadi kita perlu mengenali bahwa amarah di sini adalah sebab dari ketakbahagiaan kita dan kita dengan suatu cara harus menyingkirkan amarah itu. Masalah yang membuat kita tidak bahagia dapat pula berupa kekhawatiran setiap saat. Kekhawatiran merupakan suatu keadaaan cita yang sangat tak mengenakkan. Tak ada orang yang bahagia ketika khawatir, bukan? Shantidewa, seorang guru Buddha India yang luar biasa, berkata bahwa jika kau berada dalam keadaan sukar dimana kau dapat melakukan sesuatu untuk mengubahnya, mengapa harus khawatir? Ubahlah saja. Kekhawatiran tidak akan ada gunanya. Dan jika tidak ada yang dapat kau lakukan untuk mengubahnya, mengapa harus khawatir? Itu juga tak ada gunanya. Jadi, kita bingung tentang ketakbergunaan kekhawatiran, dan kita jadi terus khawatir. Intinya ialah bahwa kekhawatiran itu tidak ada faedahnya. Lalu kita juga memiliki sebuah tingkat masalah yang lain, yaitu masalah tak pernah puas. Tentu, kita mengalami masa-masa bahagia, tapi sayangnya masa-masa itu tidak berlangsung selamanya, dan kita selalu ingin lebih. Tak pernah memuaskan. Kita tidak puas dengan makan makanan kegemaran kita sekali saja, kan? Kita mau makan makanan itu lagi dan lagi. Dan jika kita makan terlalu banyak sekali waktu, kemudian kebahagiaan yang pada awalnya kita rasakan berubah jadi sakit perut. Dan kita pun sedikit bingung dengan jenis kebahagiaan ini. Alih-alih hanya menikmatinya saja apa adanya dan menyadari bahwa itu memang tidak akan abadi dan tidak akan pernah memuaskan, kita malah bergantung padanya; dan ketika kita kehilangan kebahagiaan itu, kita merasa sangat tidak bahagia. 21
Persis seperti saat kita bersama seorang teman baik atau orang yang kita cintai, dan kemudian mereka meninggalkan kita. Tentu saja mereka nantinya akan pergi juga, jadi kita baiknya menikmati saja waktu semasa masih bersama mereka. Ada satu perumpamaan indah yang kadang kita gunakan untuk hal ini. Ketika orang menakjubkan yang amat kita cintai datang ke dalam kehidupan kita, peristiwa itu seperti burung liar yang hinggap di jendela kita. Ketika burung liar itu hinggap di jendela kita, kita dapat menikmati indahnya kehadiran burung tersebut, namun setelah beberapa saat burung itu akan terbang lagi, tentu saja karena ia bebas. Dan jika kita bersikap lemah-lembut, mungkin burung itu akan kembali. Tapi jika kita menangkapnya dan mengurungnya dalam sangkar, burung itu akan menderita dan mungkin mati. Demikian pula, orang-orang yang datang ke dalam kehidupan kita ini sama seperti burung liar, dan hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah menikmati waktu semasa mereka bersama kita. Jika kita santai dan kalem dengan hal itu, dan tidak menuntut-nuntut – “Jangan pernah tinggalkan aku. Aku tak dapat hidup tanpamu,” atau yang semacam itu – mereka pasti suka untuk kembali. Kalau tidak, cengkeraman dan tuntutan kita hanya akan menghela mereka pergi. Ketika kita bingung tentang sifat dari kebahagiaan dan kenikmatan biasa kita dalam hidup, tentu saja kita jadi mengalami masalah. Kita bahkan tidak dapat menikmati saat-saat bahagia yang kita punya, karena kita khawatir dan takut bahwa kita akan kehilangan saat-saat itu. Kita seperti seekor anjing dengan semangkuk makanan – si anjing makan makanannya, tapi juga nyalang melihat sekeliling sambil menggeram untuk memastikan tak ada yang datang dan merebut makanan itu darinya. Kadangkala kita seperti 22
itu, kan? Kita seperti itu alih-alih menikmati saja apa yang kita punya dan menerima bahwa jika sudah selesai, ya selesai. Tapi tentu saja ini tidak sesederhana kedengarannya – mungkin bahkan tidak terdengar sederhana – tapi ini butuh latihan, supaya terbiasa dengan cara pandang baru terhadap segala hal dalam hidup. Penghentian yang benar dari Permasalahan Kita Buddha berkata bahwa adalah mungkin untuk menghentikan permasalahan kita selamanya, dan cara untuk melakukan hal itu adalah dengan mengenyahkan sebab-sebabnya. Ini adalah pendekatan yang sangat masuk akal, sangat nalariah. Jika Anda menghilangkan bahan bakarnya, maka tidak akan ada lagi api. Dan adalah mungkin, kata Buddha, untuk mengenyahkan permasalahan ini dengan cara yang membuatnya tidak munculmuncul lagi. Kita tidak ingin hanya dipuaskan oleh kebebasan sesaat dari permasalahan ini, kan? Persis seperti tidur – ketika tidur, masalah hubungan retak yang Anda alami seperti hilang. Jadi, bukan itu jalan keluarnya, karena ketika Anda bangun masalah itu masih ada. Persis seperti liburan ke suatu tempat, dan tetap saja Anda harus kembali ke rumah, dan ketika Anda kembali permasalahan masih ada. Jadi, liburan bukanlah jalan keluar terbaik, jalan keluar terdalam yang abadi. Dan juga Buddha tidak berkata agar kita diam dan menerima saja permasalahan kita dan hidup dengan permasalahan itu, karena itu juga bukanlah jalan keluar yang bagus, kan? Karena ketika kita merasa tak berdaya – tak ada lagi yang dapat kita lakukan, kita menyerah dan mencoba saja tak mau. Sangat penting bagi kita untuk mencoba mengatasi permasalahan kita. Bahkan ketika kita 23
tidak membuat banyak kemajuan, setidaknya kita merasa bahwa kita telah mencoba. Cara-Cara Menghentikan Permasalahan Kita Namun jika kita betul-betul ingin meraih penghentian sebenarnya bagi permasalahan ini, akhir yang sebenarnya bagi masalahmasalah kita, maka ada kenyataan keempat yang Buddha ajarkan, yaitu bahwa kita perlu menjalankan semacam cara dan memperoleh semacam pemahaman yang benar agar mampu mengenyahkan sebab terdalam dari permasalahan: kebingungan kita. Tapi memperoleh pemahaman yang baik saja tidak cukup jika kita tidak dapat mengingatnya setiap waktu. Maka kita perlu pula menumbuhkan pemusatan. Tapi agar pemusatan ini mampu untuk mengingat dan tetap terarah pada pemahaman tersebut, kita butuh tertib-diri. Jadi, cara-cara Buddha umum yang kita gunakan untuk mencegah permasalahan kita adalah dengan berjalan di jalur tatatertib, pemusatan, dan pemahaman yang benar (kadang-kadang, jalur tersebut disebut “kebijaksanaan”). Selain itu, salah satu sebab terbesar dari permasalahan kita ialah sikap mementingkan diri sendiri. Sebagian besar dari sikap ini berlandaskan pada kebingungan kita tentang kenyataan, karena entah bagaimana kita tampaknya berpikir bahwa kitalah satusatunya yang ada di dunia ini. Bahkan ketika kita mengakui bahwa yang lain juga ada, kitalah yang jelas-jelas terpenting di semesta ini, pusat dari semesta kita. Karena salah-anggap seperti ini, kita berpikir, “Aku harus selalu mendapatkan jalanku. Aku harus selalu mendapatkan apa yang kumau,” dan jikalau kita tidak mendapatkan jalan kita, kita jadi sangat tidak bahagia.
24
Tapi hal itu merupakan suatu cara pandang kenyataan yang sangat keliru karena tidak ada yang istimewa tentang diriku, dalam pengertian itu. Kita semua sama dalam arti bahwa semua orang ingin bahagia, tidak ada yang ingin tidak bahagia; setiap orang ingin mendapatkan apa yang mereka inginkan dan tidak ada yang ingin tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dan, bagaimanapun, kita harus hidup bersama, karena kita memang hidup bersama. Jadi kita harus menambahkan rasa cinta, dan welas asih, ketenggangan bagi orang lain, dan sikap mementingkan kepentingan orang lain ke dalam cara-cara kita mengatasi atau mencegah permasalahan. Persis seperti kita yang ingin orang lain menolong kita, seperti itu pula mereka ingin kita menolong mereka. Menangani Perasaan-perasaan yang Gelisah Tentu saja tidak setiap orang merupakan orang kudus atau bodhisatwa, dan ini sangat benar adanya. Setiap orang mengalami kebingungan sampai pada suatu tataran tertentu. Karena mengalami kebingungan, kita bertindak di bawah pengaruh perasaan-perasaan yang gelisah. Misalnya, bila saya berpikir bahwa saya adalah pusat semesta dan saya adalah yang terpenting, maka perasaan yang menyertai pikiran itu adalah rasa tak aman, bukan begitu? Ketika Anda mengalami kebingungan, Anda merasa tak aman dan berpikir, “Aku seharusnya yang terpenting, tapi orang-orang selalu memperlakukanku seperti itu.” Jadi ada rasa tak aman di sana. Apa siasat-siasat yang dapat kita gunakan ketika kita merasa tak aman – siasat-siasat untuk mencoba membuat diri kita merasa lebih aman? Salah satunya adalah bahwa: “Jika saja aku mendapatkan cukup hal di sekitarku, maka itu akan membuatku 25
merasa aman. Jika saja aku mendapatkan cukup uang atau perhatian atau cinta, maka itu akan membuatku bahagia.” Tapi kemudian, seperti kita perhatikan, sifat dari kebahagiaan jenis ini adalah bahwa kita tak pernah mendapatkan cukup, kita tak pernah puas, dan kita selalu ingin lebih. Coba pikir. Itu masuk akal. Apa betul kita ingin orang yang kita cintai hanya mengatakan “Aku mencintaimu” sekali saja? Kalau mereka mengatakannya sekali saja, dan itu cukup – mereka tidak akan harus mengatakannya lagi pada kita? Kita tak pernah merasa aman dengan itu. Kita selalu ingin mendengarnya lagi dan lagi dan lagi, kan? Dan kita tak pernah mencapai titik dimana kita berkata, “Nah, kau tak perlu memberitahuku lagi. Aku sudah tahu.” Jadi ketika kita bicara tentang keserakahan, maksudnya itu bukan sekadar keserakahan akan hal-hal bendawi dan uang. Kita juga serakah akan cinta, dan sebagian besar kita serakah akan perhatian. Kita melihat itu terjadi pada anak-anak. Jadi itu satu alurcaranya: jika saja kita mendapatkan cukup hal di sekitar kita, itu akan membuat kita merasa aman. Dan itu tak pernah berhasil. Alur-kerja kedua adalah amarah dan penolakan: “Jika saja aku mengenyahkan hal-hal tertentu yang kurasa mengancamku, itu akan membuatku merasa aman.” Tapi kita tak pernah merasa aman; kita selalu merasa terancam; dan kita selalu was-was, kalau-kalau seseorang melakukan sesuatu yang tidak kita suka – dan kemudian kita marah dan mengusir mereka. Kadangkala hal itu sangat merugikan diri sendiri. Saya beri satu contoh tentang hubungan kita dengan seseorang, dimana kita merasa orang itu tidak memberi cukup perhatian pada kita, tidak meluangkan cukup waktu bagi kita, dan karena itu kita membentaknya. Kita marah dan menjerit, “Kau harusnya lebih memperhatikanku! Kau harusnya 26
menghabiskan lebih banyak waktu denganku!” dan seterusnya. Lalu apa hasilnya? Biasanya mereka malah makin menjauh. Atau mereka mengalah dan tinggal bersama kita sebentar, namun Anda dapat rasakan bahwa mereka tidak merasa nyaman dengan hal itu. Bagaimana mungkin kita bisa berpikir bahwa marah pada seseorang itu dapat membuat orang tersebut jadi lebih suka pada kita? Betul-betul ngawur, bukan? Banyak dari alur-kerja yang kita gunakan dengan harapan membuat kita merasa lebih aman ini sebetulnya hanya memperparah segalanya. Alur-kerja lain yang kita gunakan adalah dengan membangun dinding penghalang. Hal ini didasari oleh keluguan (kenaifan), berpikir bahwa jika kita tidak mengurusi masalah itu, entah bagaimana, masalah itu berarti tidak ada atau ia akan pergi dengan sendirinya. “Aku tak mau mendengarnya” – sikap semacam ini, dan Anda pun membangun dinding penghalang. Namun keluguan macam itu tentu saja tidak akan berhasil. Masalah tidak akan pergi hanya karena kita mengabaikannya dan tidak mengakuinya. Jadi, berdasar pada perasaan-perasaan yang gelisah ini, yang terjadi ialah bahwa kita bertindak dalam segala macam cara yang merusak. Kita membentak. Kita bahkan memukul seseorang. Jika Anda merasa, “Malangnya aku, aku tak punya apa-apa,” Anda mungkin malah mencuri – Anda berpikir, entah bagaimana, hal itu akan menolong Anda. Atau, saya juga bisa beri contoh lain ketika saya hidup di India selama bertahun-tahun. India itu tanahnya bangsa serangga – berjubel-jubel serangga, setiap jenis yang dapat Anda bayangkan ada. Dan Anda tak bisa membunuh mereka semua; tak mungkin Anda menang. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan hidup bersama mereka. Jika Anda tidak suka bermacam serangga ada di kamar Anda, Anda tidur di dalam 27
kelambu – ada jaring penghalang di sekeliling Anda dan berada di dalam kamar Anda yang terlindungi. Itusuatu jalan keluar yang damai, dibanding bersafari dan memburu semua nyamuk di kamar, dan Anda terjaga sepanjang malam karena selalu saja ada lagi nyamuk yang datang. Daun pintu selalu punya kolong, atau jendela tak tertutup dengan baik – selalu saja ada nyamuk yang bisa masuk. Tapi desakan hati akan perilaku merusak itu memaksa untuk muncul: “Aku harus mengenyahkan mereka!” Ada berbagai macam bentuk perilaku merusak. Berbohong, memakai kata-kata kasar, berzinah, memperkosa – semua hal-hal ini termasuk di dalamnya. Dan ketika kita bertindak merusak, pada dasarnya hal itu menghasilkan ketakbahagiaan – ketakbahagiaan yang bukan hanya untuk orang lain, tapi secara khusus untuk diri kita sendiri. Jika Anda pikir, ajaran Buddha dengan sangat lantang menegaskan perihal jangan membunuh, kan? Nah, intinya di sini ialah bahwa kalau Anda sampai terbiasa membunuh hal apapun yang tidak Anda suka – nyamuk, misalnya – maka itu akan menjadi tanggapan pertama yang dengan sendirinya Anda lakukan, kan? Dan bukan hanya tentang membunuh. Kalau ada sesuatu yang tidak kita sukai, kita menghantamnya dengan cara yang amat beringas – bisa jadi lewat kata-kata, secara raga, atau secara rasa – alih-alih belajar menghadapinya dengan keadaan cita yang tenang. Tentu kadang-kadang Anda memang harus membunuh. Misalnya, ada serangga-serangga yang memakan tanaman; bisa jadi ada serangga yang membawa penyakit, dlsb. Ajaran Buddha itu tidak harus diamalkan dengan fanatik. Namun Anda jangan pula lugu tentangnya. Cobalah lakukan tanpa amarah dan kebencian – “Aku benci nyamuk-nyamuk malaria ini!” Dan Anda jangan pula lugu 28
tentang ganjaran-ganjaran negatif yang menjadi hasilnya. Contoh sederhana saja: Jika kita menyiramkan racun-hama ke seluruh sayuran dan buah-buahan yang kita tanam – sama saja kita makan racun itu dan terkena penyakit juga. Jadi memang ada dampak sampingan yang negatif. Intinya di sini, kembali ke titik tolak awal kita tadi, adalah bahwa cara-cara yang kita terapkan adalah tertibdiri, pemusatan, dan pemahaman yang benar yang diasupi dengan cinta dan welas asih. Tertib-Diri Berbudi-pekerti Bagaimana kita menerapkan cara-cara pencegahan ini untuk menghindari permasalahan dalam kehidupan? Tataran pertama, hal pertama yang kita lakukan, adalah menerapkan tertib-diri berbudi-pekerti, yang berarti menjauhkan diri dari tindakan merusak. Tindakan merusak berarti bertindak di bawah pengaruh perasaan-perasaan yang gelisah – amarah, keserakahan, kemelekatan, iri, keluguan, kepongahan, dan seterusnya. Itu berarti bahwa ketika kita merasa hendak bertindak merusak, kita dengan tegas jelas memutuskan, “Tidak, aku tidak ingin berlaku seperti itu.” Ketika saya merasa hendak membentak Anda karena kesalahan yang Anda buat, saya tahu bahwa bentakan itu hanya akan memperkeruh keadaan. Saya mungkin harus memperbaiki atau mengurus kesalahan apapun yang Anda buat, tapi bentakan hanya akan membuatnya jadi lebih buruk, kan? Apalagi kalau saya menyumpahi dan mengutuki Anda – tentu saja itu tidak akan membuat keadaan bertambah baik. Maka, tertib-diri berbudipekerti ini maksudnya ialah mengetahui sesegera mungkin, bahkan sebelum Anda bertindak secara merusak, bahwa Anda akan segera gelap mata hilang kendali. Ada desakan untuk 29
berkelakuan seperti itu dan kita mengenali dengan jernih: “Ini tidak akan membantu sama sekali,” dan kita pun menahan diri untuk tidak bertindak atas dasar desakan itu. Nah, ini tidak berarti bahwa Anda harus menyimpan amarah dalam hati, dan amarah itu menggerogoti Anda, dan Anda hanya menahan dan menahannya sampai Anda meledak. Itu bukan caranya. Dan kalaupun kita belum mampu untuk mengatasinya, dan amarah itu terus saja merajalela di dalam diri – ya, jangan lampiaskan ke orang lain. Dan meninju dinding – yang seperti itu hanya akan melukai tangan Anda, jadi itu tindakan bodoh. Jadi, Anda akan melampiaskannya dengan cara lain, kan? Peserta: Meninju bantal. Alex: Meninju bantal atau mengepel semua lantai di rumah Anda – jenis “cara bijak ibu” dalam mengatasi amarah dan rasa gusar yang seperti itu, dan sesungguhnya mengerjakan tugas-tugas rumahtangga yang berat atau berlari jauh atau latihan berat di pusat kebugaran memang dapat membantu Anda memudarkan gemuruh tenaga amarah Anda. Kewaspadaan dan Pemusatan Jika kita semakin terbiasa dengan cara berperilaku seperti ini, dan kita menahan diri dari tindakan merusak ketika kita merasa hendak berkelakuan seperti itu, yang sedang kita gunakan di sini adalah apa yang disebut dengan “kesadaran pembeda (shes-rab)” kita. Kita membedakan antara apa yang dapat membantu dan yang dapat menjadi bahaya, dan atas dasar bahwa kita mampu tetap tenang dan bukan hanya memendam amarah. Jadi hal utama yang sedang kita tumbuhkan di sini adalah apa yang biasanya 30
diterjemahkan sebagai “kewaspadaan (dran-pa)”, yang maksudnya “mengingat”. Gunanya seperti lem batin yang merekat pada tertib-diri – apa yang ingin aku lakukan, ingin jadi bagaimana aku dalam hidup, bagaimana aku ingin bertindak dalam hidupku – merekat pada hal tersebut dan tidak melupakannya. Itulah kewaspadaan, istilah yang sama dengan “mengingat secara giat”. Jadi yang coba kita lakukan adalah menjadi lebih terjaga. Kata “Buddha” sebenarnya berarti “seseorang yang sepenuhnya terjaga”. Kita mencoba untuk terjaga akan perasaan-perasaan yang kita rasakan, desakan-desakan apa yang secara paksa mencuat di dalam cita kita untuk bertindak seperti ini atau seperti itu, dan kita mencoba untuk tidak menjadi budak dari hal-hal ini, tapi menyadari bahwa, dengan pemahaman, kita dapat memilih cara kita bertindak. Jika aku sedang berada dalam suasana hati yang keruh, itu bisa berubah; aku bisa melakukan sesuatu untuk mengubahnya. Kadang-kadang jalan keluar bagi suasana hati yang keruh itu cukup sederhana. Salah satu cara paling sederhana ialah dengan “menidurkan bayi yang rewel”. Kita merasa seperti bayi yang terbangun terlalu lama dan – “Uwaaahhh” – menangis terusmenerus, dan seterusnya. Kerap kali ketika kita berada dalam suasana hati yang keruh, kita seperti itu. Jadi, berbaringlah, mengaso, tidurlah. Ketika kita bangun biasanya akan terasa jauh lebih baik. Atau ketika Anda sedang berselisih-paham dengan seseorang, dan silang-pendapat sudah mencapai titik terpanasnya – dan, Anda sendiri tahu bahwa dalam keadaan seperti itu lawan bicara Anda tidak lagi benar-benar mendengarkan Anda dan Anda juga 31
sudah tidak benar-benar mendengarkannya. Lebih baik percakapan diakhiri dulu – “Kita bicarakan lagi nanti saja setelah kita berdua tenang” – dan cobalah jalan-jalan sebentar, atau lakukan kegiatan semacam itu, untuk menenangkan diri. Ini cara-cara yang sangat sederhana. Ajaran Buddha sebenarnya mengajarkan cara-cara tindakan yang jauh lebih dalam, tapi cara sederhana itu dapat dipakai sebagai awalan. Kita perlu mulai dengan menerapkan cara-cara yang benar-benar mampu kita terapkan. Tapi yang asasi adalah yang penting, dan yang asasi adalah melihat apa sebab dari masalah dan melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah tersebut. Jangan hanya menjadi korban masalah. Dalam arti, ambil kendali atas apa yang sedang terjadi dalam hidup Anda. Nah, kalau kita mampu menumbuhkan kewaspadaan untuk merekat pada pemahaman kita tentang apa yang membantu dan apa yang berbahaya dalam perilaku kita, kita akan mampu memperhatikan apa yang sedang terjadi dan mengingat seperti apa kita mau bertindak dan kemudian memperbaikinya jika kita tidak bertindak seperti itu – jika kita mampu melakukannya pada cara kita memperlakukan tubuh kita, cara kita bicara, maka kita telah menumbuhkan kekuatan untuk mampu melakukannya pada cita kita, yang kita gunakan untuk berpikir. Jadi ketika kita mulai mengalami rentetan pikiran khawatir ini, atau rentetan pikiran: “Malangnya aku. Tak ada yang mengasihiku,” dsb. dsb., hal-hal semacam itu, kita katakan pada diri kita, “Ayolah! Aku tak mau menjalani wisata mengasihani-diri dan kekhawatiran ini. Ini hanya membuatku tidak bahagia,” dan kita bawa kembali perhatian kita ke sesuatu yang lebih positif. Ada banyak hal positif 32
yang dapat kita lakukan dengan tubuh kita, dengan cita kita, daripada sekadar duduk dan khawatir saja. Ada banyak hal positif yang dapat kita pikirkan daripada berpikir tentang betapa segalanya itu bisa jadi buruk, seperti ketika kita sedang dilanda kekhawatiran. Karena, seperti Anda lihat, yang sedang coba kita tumbuhkan di sini adalah pemusatan agar kita mampu membawa perhatian kita kembali ketika ia melayang-layang tak jelas tujuan. Misalnya, ketika kita berbicara dengan seseorang dan pikiran kita mulai melayang-layang – tidak harus karena khawatir, bisa saja ke arah: “Kapan sih mereka berhenti bicara?” atau “Nanti malam aku makan apa, ya?” Bisa jadi tentang apa saja – dan kita berhenti memperhatikan lawan bicara kita itu, atau kita beranggapan dalam cita kita: “Yang baru saja mereka katakan itu bodoh,” kita membawa kembali perhatian kita dan hanya bersikukuh untuk menyimak kata-kata mereka. Hal ini merupakan penerapan pemusatan yang sangat berguna, namun membutuhkan tertib-diri; dan kita menumbuhkan tertib-diri tersebut dalam hal, pertama-tama, perilaku raga dan kata kita. Ketika Anda mengembangkan keterampilan ini, keterampilan membawa kembali perhatian Anda dan membetulkan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, maka Anda mampu menerapkannya dalam segala macam keadaan. Dan itu amat sangat membantu. Misalnya, Anda mulai jadi waspada tentang sikap tubuh Anda. Jika bahu Anda tegang dan naik karena memperhatikan, dan leher Anda tegang, dan seterusnya – jika Anda waspada dan Anda memperhatikannya, maka Anda akan menurunkan bahu dan mengendurkannya. Ini hanya soal memperhatikan, mengingat, melakukan sesuatu tentangnya. Atau ketika rasa Anda mulai bergejolak, dan hal itu sepenuhnya tidak 33
cocok dengan keadaannya, dan Anda mulai bicara lebih dan lebih keras dan berangasan terhadap seseorang, Anda memperhatikannya dan mengubahnya saja. Anda menenangkan diri, sama saja seperti mengendurkan bahu, tapi Anda melakukannya pada suatu tataran tenaga, tataran perasaan. Inilah rahasia cara Anda menerapkan cara-cara Dharma ini dalam kehidupan. Anda cukup mengingat saja cara-cara itu dan memiliki tertib-diri yang cukup untuk melakukannya, menerapkannya. Dan Anda melakukannya bukan karena Anda ingin jadi baik atau ingin menyenangkan hati guru Anda atau alasan-alasan seperti itu. Anda melakukannya karena Anda ingin menjauhkan diri dari permasalahan – kesukaran-kesukaran – karena Anda tahu kalau Anda tidak melakukan apa-apa untuk hal itu Anda hanya akan membuat diri Anda menderita, dan itu sama sekali tidak asyik, kan? Jadi kita perlu menerapkan tertib-diri kita pada wilayah batin, dalam hal pemusatan – bahkan, dalam hal mengatasi perasaan-perasaan kita. Mengatasi perasaan-perasaan tentunya lebih sulit, jauh lebih susah. Tapi seperti yang saya katakan, kalau rasa Anda terlalu bergejolak, Anda dapat menenangkannya. Pemahaman yang Tepat Begitu Anda mengembangkan sarana pemusatan itu, setidaknya sampai pada tataran tertentu, hal yang sungguh-sungguh ingin Anda jadikan sasaran pemusatan Anda adalah suatu pemahaman yang tepat tentang apa yang sedang terjadi. Kita punya segala macam kebingungan tentang kenyataan – tentang bagaimana kita ada, tentang bagaimana orang lain ada, tentang bagaimana dunia ada – dan karena kebingungan itu, kita jadi membayangkan segala macam hal yang sebetulnya tidak nyata, kan? Kita bisa membayangkan: “Aku tak berguna. Aku pecundang.” Atau kita bisa 34
membayangkan: “Aku hal paling menakjubkan di dunia.” Kita bisa membayangkan: “Malangnya aku. Tak ada yang sayang padaku.” Namun, jika kita acu pembayangan ini pada setiap orang di dalam hidup kita, itu berarti ibuku tak pernah menyayangiku, anjing peliharaanku tak pernah sayang padaku – tak ada yang pernah sayang padaku. Hal ini hampir-hampir mustahil. Jadi, kita membayangkan khayalan-khayalan ini dan kita yakin bahwa semua itu benar: di situlah letak bahayanya. Kita percaya bahwa kita boleh datang terlambat, atau tidak muncul di pertemuan yang dijanjikan, dan itu tidak jadi masalah: “Kau tak punya perasaan,” kan?Dan kemudian kita tidak menganggap orang lain. Tapi setiap orang punya perasaan, persis sepertiku. Tidak ada yang ingin diabaikan. Tidak ada yang suka kalau mereka ada janji temu dan yang ditunggu tidak datang atau terlambat. Tidak ada yang suka itu. Jadi yang perlu kita lakukan adalah menggunakan kemampuan pemusatan kita untuk memutus khayalan-khayalan ini dan menghentikan pembayangan kita tentang semua hal yang tidak masuk akal, misalnya, tentang perilaku ugal kita melukai perasaan orang lain, karena itulah sesungguhnya sebab terdalam dari permasalahan kita: “Akulah pusat semesta ini. Aku harus selalu mendapatkan jalanku. Aku yang paling penting.” Itu jelasjelas sebuah pembayangan khayalan. Tak ada orang yang terpenting. Tapi karena percaya bahwa khayalan kita benar, kita jadi mementingkan diri sendiri. Jadi kalau kita ingin mengatasi sikap mementingkan diri sendiri, kita perlu membongkar khayalan itu dan berhenti membayangkannya. Bahkan ketika terasa seolaholah akulah pusat semesta dan hanya akulah satu-satunya yang ada (karena ketika aku menutup mata terdengar suara itu dalam kepalaku, dan aku tak melihat orang lain, maka tampak seperti 35
akulah satu-satunya yang ada), kita harus ingat bahwa ini semu dan kita harus mencoba untuk tidak mempercayainya: “Tidak seperti itu. Hanya seolah-olah seperti itu.” Buddha berkata bahwa tetap berada pada pemahaman itu setiap saat adalah jalan yang benar untuk mencapai penghentian sebenarnya dari permasalahan kita. Jika kita memiliki pemahaman yang tepat setiap saat, kita tidak akan mengalami kebingungan apapun lagi. Dan jika kita tidak lagi mengalami kebingungan, kita terlepas dari amarah; kita terlepas dari kemelekatan, keserakahan, dsb. Dan jika kita tidak mengalami perasaan-perassan yang gelisah ini, kita tidak akan bertindak merusak. Dan jika kita tidak bertindak merusak, kita tidak akan menyebabkan bermacamragam permasalahan bagi orang lain dan bagi diri kita sendiri. Itulah cara dasar ajaran Buddha untuk menghadapi berbagai kesukaran dalam kehidupan. Jika kita menginginkan hubungan yang lebih bahagia, kita perlu mengenali bahwa:
Aku manusia. Kau manusia. Kita semua memiliki perasaan yang sama, dsb.
Setiap orang punya titik unggul. Setiap orang punya titik lemah. Aku punya, kau juga.
Tidak seorangpun merupakan Pangeran atau Putri Rupawan berkuda putih. Pernahkah Anda membayangkan hal seperti itu? Kita selalu mencari pasangan sempurna, ia yang berkuda putih, tapi itu hanya dongeng. Itu tidak ada, namun kita membayangkannya. Karena 36
percaya pada dongeng, kita berpikir bahwa yang ini pastilah pangeran atau putri, dan ketika orang itu tidak seperti bayangan kita kita marah padanya, dan kadang kita bahkan menolaknya. Dan kemudian kita membayangkan ke calon pasangan kita berikutnya yang kita temui sebagai pangeran atau putri. Tapi kita tak pernah menemukan pangeran atau putri itu, karena hal semacam itu tidak ada. Jadi kalau kita ingin memiliki hubungan yang sehat, kita perlu menerima kenyataan. Kenyataannya adalah, seperti saya katakan, setiap orang punya titik unggul, setiap orang punya titik lemah, dan kita perlu belajar hidup bersama, dan bahwa tidak seorangpun yang merupakan pusat semesta. Dan kemudian ajaran-ajaran umum yang Anda dapati dalam agama atau filsafat kemanusiaan manapun, ajaran agar kita menjadi orang baik, orang peduli, orang penuh kasih, dsb., orang sabar, orang murah hati, orang pemaaf. Setiap agama dan setiap filsafat kemanusiaan mengajarkan hal yang sama, begitu pula Buddha. Asas-asas yang sama juga berlaku dalam hubungan kita di tempat kerja. Jika Anda baik pada orang-orang yang bekerja bersama Anda di kantor (atau jika Anda pemilik usaha, Anda baik pada karyawan Anda), usaha yang dijalankan akan melaju mulus. Jika Anda bekerja di sebuah toko dan Anda baik dan bersikap menyenangkan pada para pelanggan, suasananya jadi jauh lebih menyenangkan, kan? Dan jika orang jujur dalam kesepakatan yang dibuatnya – tidak berlaku curang dan seterusnya – lagi-lagi, segalanya berjalan jauh lebih baik. Itu tidak berarti bahwa kita tidak berusaha memperoleh laba dan mencari nafkah, tapi intinya adalah tidak tamak dalam usaha kita. 37
Dan ketika orang lain curang pada kita – karena tidak semua orang bertindak baik seperti ini – ya, mau bagaimana? Tapi dari sudut pandang Buddha, kita tidak akan mengatakan bahwa mereka itu jahat; kita hanya akan mengatakan bahwa mereka bingung. Mereka bingung. Mereka tidak paham bahwa kelakuan demikian hanya akan mendatangkan lebih banyak permasalahan bagi mereka: tidak akan ada yang menyukai mereka. Jika begitu, mereka menjadi sasaran welas asih dan bukan sasaran kebencian. Jika kita memandang mereka sebagai sasaran welas asih dan kita bersabar terhadap mereka, kita tidak menderita secara emosional ketika mereka curang pada kita, dan kemudian untuk yang berikutnya kita mencoba untuk lebih hati-hati agar tidak dicurangi lagi. Tapi mau bagaimana lagi? Banyak orang seperti itu. Itulah kenyataannya. Bayangannya adalah bahwa setiap orang itu jujur. Tidak semua orang jujur! Akan bagus kalau setiap orang jujur, tapi tidak semua orang begitu. Jadi, setidaknya kitadapat mencoba untuk jujur. Dapatkah Umat Non-Buddha Mengikuti Cara-Cara Ini? Nah, haruskah kita mengikuti jalan kerohanian meditasi, laku upacara keagamaan Buddha yang ketat, dan seterusnya, untuk menerapkan cara-cara ini? Tidak juga. Kita tidak harus mengikuti jalan kerohanian ketat dan baku untuk menerapkan semua hal ini. Yang Mulia Dalai Lama selalu bicara tentang budi pekerti duniawi dan nilai-nilai manusiawi – menjadi baik, lebih berhati-hati, tidak lugu, tidak membayangkan hal-hal semu, dan seterusnya. Ini adalah panduan yang dapat diikuti siapapun. Dan ketika kita bicara tentang meditasi, kita bicara hanya tentang sebuah cara untuk mengakrabkan diri kita dengan suatu cara berpikir yang dilakukan dengan duduk diam dan mencoba berpikir 38
dalam sikap seperti itu, dan ketika perhatian kita melayang, kita membawanya kembali pulang. Anda dapat melakukannya sembari duduk dalam meditasi dan memusatkan perhatian pada sesosok Buddha atau pada nafas Anda, tapi Anda juga bisa melakukannya ketika Anda sedang membaca buku, ketika Anda sedang memasak, ketika Anda sedang mengerjakan apapun. Ketika Anda sedang memasak, pertahankan pusat perhatian pada kegiatan memasak, dan ketika pikiran Anda melayang mengkhayalkan pikiran-pikiran gila, tarik kembali ke kegiatan memasak. Kita tidak harus menjalankan laku meditasi Buddha yang formal. Ada banyak, banyak cara yang bisa kita gunakan untuk mengakrabkan diri dengan cara-cara berpikir, cara bertindak, dsb. yang lebih berfaedah ini, tanpa harus terlibat dalam laku upacara keagamaan atau latar Buddha formal macam apapun. Maka inilah cara kita menjalankan Dharma – alat pencegah – untuk menolong kita menghindari masalah. Apa ada pertanyaan dari kalian? Tanya-Jawab Sadar Akan Apa yang Sedang Terjadi di Dalam dan di Luar Tanya:Untuk menghindari permasalahan, apakah kita harus terpusat setiap waktu? Alex: Untuk menghindari permasalahan, apakah kita harus terpusat setiap waktu? Ya, bisa dibilang begitu. Tapi itu bukan gambaran menyeluruhnya. Kita bisa saja sangat terpusat, misalnya, ketika membentak atau memukul seseorang, jadi itu bukan gambaran menyeluruhnya. Kita juga perlu terjaga dalam pengertian bahwa kita perlu sadar akan apa yang terjadi di dalam – pikiran-pikiran kita, perasaan-perasaaan kita, dsb. – dan pada 39
saat yang sama sadar dan awas pula akan apa yang terjadi dengan orang lain di sekitar kita. Misalnya, ada anggota keluarga Anda, atau orang yang Anda cintai, atau siapapun itu, yang baru pulang ke rumah; Anda melihat, mungkin, orang itu sangat lelah. Anda harus awas dengan keadaan itu. Bukan waktunya untuk membahas hal-hal berat dengannya – dia sedang lelah. Jadi Anda harus tetap awas, tafakur, terpusat pada apa yang sedang terjadi di sekitar Anda. Bagaimana keadaan orang lain, bukan cuma bagaimana keadaanku. Kita tidak terpaku pada satu titik ujung, yang hanya sadar akan diri sendiri dan tidak sadar akan orang lain; atau titik ujung lainnya, yang hanya memperhatikan orang lain dan tidak memperhatikan diri sendiri. Itu juga satu titik ujung yang harus dihindari. Ada banyak orang yang mengidap gejala tak mampu berkata “tidak”, dan mereka selalu mengerjakan segalanya untuk orang lain, untuk keluarga mereka atau untuk siapa saja, dan mereka jadi betul-betul lelah dan capek sehingga mereka tumbang atau jadi marah. Penting kiranya untuk memperhatikan pula perasaan kita dan mempedulikan kebutuhan-kebutuhan kita juga. Ketika kita butuh istirahat, kita istirahat. Ketika kita harus bilang, “Tidak, maaf. Aku tak bisa melakukannya. Ini terlalu berat. Aku tak mampu,” katakan “tidak”. Baiknya, ketika kita bilang “tidak”, kita perlu memberi orang yang meminta bantuan kita beberapa pilihan, kalau bisa. Anda beri mereka saran: “Tapi mungkin orang ini bisa membantumu.” Ringkasnya, perhatikanlah segala hal yang sedang terjadi, di dalam dan di luar, dan kemudian terapkan pemahaman yang benar dan cinta dan welas asih.
40
Mengatasi Amarah Tanya: Anda tadi bicara tentang menyapu lantai sebagai cara menghadapi amarah atau perasaan-perasaan merusak lainnya, tapi Anda juga menerangkan bahwa ajaran Buddha memiliki caracara yang jauh lebih mendalam. Bisakah Anda setidaknya memberi petunjuk tentang cara-cara tersebut? Alex: Pertanyaannya adalah tentang saya yang tadi bicara perihal cara-cara mengatasi amarah yang bersifat permukaan dan sementara – seperti ketika Anda memiliki amarah terpendam yang menumpuk, kerja kasar yang berat bisa membantu, misalnya mengepel semua lantai – dan saya menyiratkan bahwa ada pula cara-cara yang lebih mendalam, jadi apa saya bisa menunjukkan beberapa dari cara mengatasi amarah itu? Baik, agak sedikit lebih dalam, satu tatarandalammenangani amarah ketika kita sedang marah terhadap seseorang adalah dengan menumbuhkan kesabaran. Nah, bagaimana kita menumbuhkan kesabaran? Ada banyak, banyak cara. Tapi ada satu cara yang disebut dengan “kesabaran serupa-sasaran”: “Kalau aku tidak memasang sasarannya, tidak akan ada yang mengenai sasaran itu.” Misalnya, saya meminta Anda melakukan sesuatu untuk saya, dan Anda melakukannya dengan keliru. Kecenderungannya bagi saya ialah marah pada Anda. Atau Anda malah tidak mengerjakannya sama sekali. Jadi salah siapa itu? Itu sebenarnya salah saya karena saya terlalu malas untuk mengerjakannya sendiri dan saya meminta Anda yang melakukannya. Jadi saya mau bagaimana? Ketika Anda meminta seseorang mengerjakan sesuatu, Anda mau bagaimana? Katakanlah Anda meminta seorang anak berumur dua tahun untuk membawakan secangkir teh panas untuk Anda dan ia 41
menumpahkannya. Tentu saja dia menumpahkannya. Jadi, sama halnya – apa yang bisa kita harap ketika kita meminta seseorang mengerjakan sesuatu untuk kita? Jadi saya sadar bahwa kemalasan sayalah yang menyebabkan masalahnya. Anda tidak marah pada orang yang Anda suruh tadi. Dan saya sadar bahwa ketika saya meminta Anda melakukan sesuatu untuk saya, itu karena saya terlalu malas melakukannya sendiri – entah karena terlalu malas, atau karena saya tak punya waktu, bisa apa saja. Tapi intinya ialah bahwa jika saya meminta orang lain melakukannya, saya tidak seharusnya berharap bahwa orang itu akan mengerjakannya dengan sempurna – atau dengan cara yang biasa saya gunakan, yang juga bisa jadi tidak benar pada akhirnya. Saya juga pernah berbuat kesalahan. Dan kalau saya mengerjakannya sendiri dan saya melakukan kesalahan, tidak ada alasan untuk marah pada diri saya sendiri. “Aku tidak sempurna – tidak ada yang sempurna – jadi tentu saja aku bisa berbuat salah.” Jadi Anda menerima kenyataan saja. “Aku manusia; manusia bisa berbuat salah: aku bisa berbuat salah.” Dan kalau saya bisa memperbaikinya, akan saya perbaiki. Saya tidak marah pada diri saya sendiri. Tidak ada gunanya marah pada diri sendiri. Perbaiki saja, kalau saya bisa. Kalau tidak bisa, ya sudah – tinggalkan saja dan cobalah untuk tidak mengulangi kesalahan itu lagi. Tingkat mengatasi amarah yang jauh lebih dalam ialah memahami kenyataan diri kita sendiri. Yang sedang saya bicarakan ini adalah tingkat yang sangat sederhana, namun bahkan tingkat yang sederhana ini saja sudah membantu. “Aku bukanlah pusat semesta. Mengapa aku harus mendapatkan jalanku? Mengapa? Apa yang istimewa dariku sehingga aku harus mendapatkan 42
jalanku sementara yang lain tidak?” Dengan pikiran-pikiran semacam itu, Anda mulai membongkar pandangan kukuh tentang “aku” ini sebagai suatu hal terpenting di dalam semesta. “Aku” yang kukuh. Kemudian tentu Anda dapat membongkar lebih dan lebih dan lebih jauh lagi. Ketika Anda memiliki pandangan “aku” yang kukuh ini dan aku selalu harus mendapatkan jalanku, maka tentu saja Anda jadi marah ketika Anda tidak mendapatkan jalan Anda, kan? Ajaran Buddha memiliki banyak pandangan tentang bagaimana kita ada dan bagaimana setiap orang ada. Kita memang ada, tapi kita tidak ada dalam cara-cara tak mungkin yang kita bayangkan tentang keadaan kita, misalnya sebagai seorang “aku” kecil yang bertengger di kepala dan bicara dan dia inilah pengarang dari suara di kepala kita. Seolah-olah ada seorang “aku” kecil di dalam yang bicara, mengeluh: “Apa yang harus kulakukan sekarang? Oh, aku akan melakukan itu,” dan kemudian Anda seperti menggerakkan tubuh Anda, seakan-akan tubuh bagai mesin. Tapi itu sebuah khayalan. Anda tak bisa menemukan “aku” kecil apapun di dalam Anda, kan? Tapi, bagaimanapun juga, aku memang ada – aku bicara; aku mengerjakan berbagai hal. Jadi kita harus menyingkirkan rasa percaya kita pada bayangan-bayangan ini, karena tampak seperti berhubungan dengan kenyataan. Tampak seperti itu. Ada suara terdengar, jadi pasti ada seseorang yang bicara di dalam sana. Jadi ajaran Buddha punya banyak hal untuk ditawarkan pada wilayah menyeluruh yang kita sebut sebagai “ilmu kejiwaan” (psikologi) ini.
43
Melatih Tubuh Kita Tanya: Saya punya dua pertanyaan. Pertama: Mungkin Anda dapat memberitahu sedikit lebih banyak pada kami tentang melatih tubuh. Anda tadi menyebut bahwa kita perlu membuat tubuh kita santai, tapi mungkin kita juga perlu melakukan lebih banyak lagi. Dan pertanyaan kedua: Apa sumber dari segala bayangan ini? Misalnya, orang yang bicara di dalam kepala kita ini – mengapa itu bisa muncul? Alex: Tentu ada banyak tata-cara yang dapat kita terapkan untuk kesehatan jasmani. Ada, misalnya, pengobatan khas Buddha yang dapat Anda jumpai di aliran Tibet, yang banyak berhubungan dengan penyeimbangan tenaga-tenaga dalam tubuh. Tenagatenaga dan kesehatan kita secara umum sangat dipengaruhi oleh pola makan dan perilaku kita – perilaku seperti Anda pergi keluar dalam cuaca dingin tanpa berpakaian hangat yang cukup, sehingga tubuh jadi sakit. Perilaku semacam itu yang kita maksud. Atau bekerja terlampau keras – perilaku semacam ini akan membuat Anda sakit. Kita juga mencoba untuk memelihara kesadaran tentang keadaan tubuh kita. Semakin tenang Anda di dalam diri, semakin awas Anda bukan hanya pada keadaan cita tapi juga pada keadaan tenaga di tubuh Anda. Ketika Anda perhatikan bahwa tenaga Anda sangat gugup, misalnya – Anda dapat merasakannya dengan mengetahui bahwa denyut nadi Anda begitu cepat, dan seterusnya – ada halhal amat mendasar yang dapat Anda lakukan, bahkan dengan hanya menyesuaikan pola makan Anda saja. Misalnya, kita bisa berhenti minum kopi atau teh kental, dan Anda dapat melahap makanan yang lebih berat yang akan menekan tenaga-tenaga tersebut, seperti makanan berlemak – keju atau sejenisnya. Dan 44
jagalah kehangatan tubuh; jangan terkena angin atau berada di tempat berangin. Dan jangan paparkan diri di bawah mesin listrik berbunyi “Bzzzzrrrr” itu. Itu hanya akan semakin mengganggu tenaganya. Coba tempatkan diri dalam keadaan tenang. Jadi seperti itu tingkat latihannya. Aliran Tibet sendiri tidak menekankan latihan-latihan raga atau jenis latihan tubuh seperti yang ada pada, katakanlah, aliran-aliran Buddha Cina dan Jepang, dengan seni beladirinya. Tapi tentu saja berbagai jenis seni beladiri – taiji, qigong, dan lainnya – bisa sangat membantu. Semua itu juga merupakan cara-cara mengembangkan pemusatan lewat kewaspadaan akan gerakangerakan Anda. Latihan-latihan raga yang dilakukan orang Tibet itu jauh lebih halus, berkenaan dengan melatih tata-tata tenaga dengan cara yang berbeda, bukan dengan cara seni beladiri. Caranya agak berbeda, lebih condong ke arah yoga. Jadi seperti itu cara Anda melatih tubuh. Sumber Suara di Kepala Kita Untuk sumber suara di dalam kepala kita, hal ini melibatkan sifat dari cita dan itu sedikit lebih rumit. Dalam ajaran Buddha, ketika kita bicara tentang cita, kita tidak hanya bicara tentang sesuatu jenis hal. Kita bicara tentang kegiatan batin, dan kegiatan batin tersebut terlibat dengan berpikir, dengan melihat, dengan merasakan perasaan-perasaan. Itu sangat luas sekali. Yang terjadi di dalam kegiatan itu ialah bahwa ada pemunculan sejenis hologram batin. Misalnya, ketika kita melihat sesuatu, cahaya menerpa retina, memicu denyut-denyut listrik dan reaksi-reaksi kimia di benang saraf, dan sebagai hasilnya muncullah sejenis hologram batin: seperti apa tampaknya sesuatu yang kita lihat itu. 45
Tapi itu sebenarnya hologram batin. Munculnya dari semua denyut kimia dan listrik ini. Tapi hologram itu tidak sekedar bersifat netra (visual). Hologram batin ini dapat juga berupa bunyi, seperti kata-kata. Kita tidak mendengar seluruh kalimatnya sekali jalan – Anda mendengar potongan-potongan kecil dari kalimat itu, satu kali setiap waktu – dan kemudian lengkaplah hologram batin yang berisi kalimat penuh ini dan Anda memahami apa artinya. Demikian pula, ada hologram batin dalam bentuk perasaan-perasaan, hologram batin dalam bentuk pikiran-pikiran, dan juga hologram batin dalam bentuk tuturan – suara tadi. Hal-hal ini muncul saja. Ada lakupengetahuan yang terlibat. Jadi seperti itulah melihat, atau berpikir atau merasa. Seperti itulah dia. Dan kegiatan batin itu terjadi tanpa adanya “aku” yang terpisah darinya, yang memperhatikannya atau mengendalikannya dan membuatnya terjadi. Itu terjadi saja. Jadi sebagian dari hologram batin itu berupa pikiran-pikiran tentang “aku” – “Suara itu aku.” Siapa yang berpikir? Aku yang berpikir. Bukan kau yang berpikir – aku yang berpikir. Tapi itu hanya sebagian dari keseluruhan proses hologram ini. Apa sumber dari suara di dalam kepala kita ini? Itu cuma salah satu fitur dari kegiatan batin. Tidak berarti seperti itulah cara kerja semua kegiatan batin. Suara itu tidak muncul setiap waktu, dan saya ragu bahwa cacing tanah berpikir dengan suara semacam itu. Cacing tanah tentu punya otak, punya cita, melihat dan mengerjakan berbagai hal. Sebetulnya mulai jadi sangat menarik ketika kita memikirkannya. Sebuah hologram dari bunyi sebuah suara itu merupakan suatu bentuk sambung-wicara (komunikasi), kan? Sejenis penganggitan 46
yang mengungkapkan atau menyampaikan suatu pikiran dalam bentuk bunyi batin dari kata-kata. Pertanyaan menariknya ialah: Orang yang tuli dan bisu sejak lahir dan sama sekali tidak memahami gagasan tentang bunyi – apa mereka juga punya suara dalam kepala, ataukah mereka berpikir dengan bahasa isyarat? Itu pertanyaan yang sangat menarik. Saya belum pernah menemukan jawabannya. Jadi, entah itu berupa suara, entah itu berupa bahasa isyarat, apapun – atau cara cacing berpikir – yang semuitu ialah bahwa ada “aku” lain di belakang suara itu, yang bicara, duduk di balik meja kendali, dan berbagai maklumat masuk dan tampil di layar dari mata kita, dan “aku” yang lain ini punya mikrofon dan ia bicara, dan kemudian ia menekan tombol yang membuat lengan dan kaki bergerak. Itu semua semu. Tapi “aku” yang duduk di balik meja kendali ini adalah sasaran dari “Oh, apa nanti kata orang tentangku?” dan “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Ia adalah acuan kekhawatiran kita, “aku” di balik meja kendali ini. Ketika kita menyadari bahwa “aku” yang lain ini sebetulnya semu, maka tidak ada yang harus dikhawatirkan. Kita bicara, kita bertindak. Tentu itu aku: aku bicara, aku bertindak. Dan jika orang tidak menyukainya, mereka tidak menyukainya. Jadi apa? Buddha sendiri, tidak semua orang menyenanginya. Tidak semua orang menyukai sang Buddha, jadi apa yang kuharap dari diriku? Kita hanya menggunakan pemahaman, cinta, welas asih, dan kita bertindak. Dan itu saja. Dan tak usah khawatir tentang: “Apa nanti kata orang tentangku?” Memang tidak semudah seperti kedengarannya.
47
Mengendalikan Diri Kita Ketika Orang Lain Marah Tanya:Ketika orang lain marah pada kita, bagaimana cara kita mengendalikan diri? Alex: Pada dasarnya kita lihat mereka seperti anak kecil. Ketika bocah dua tahun marah pada kita ketika kita bilang: “Sudah saatnya tidur” dan dia bilang, “Aku benci ayah/ibu. Ayah/ibu jahat” dan kemudian dia rewel sekali, apa kita marah? Ya, beberapa orang memang marah; tapi anak itu baru umur dua tahun, mau bagaimana? Anda mencoba menenangkannya. Lembutlah, seperti memperlakukan anak umur dua tahun. Coba pikir: Bagaimana Anda mengatasi anak umur dua tahun yang sedang seperti itu? Biasanya ketika anak usia dua tahun sedang rewel setengah mati, jika Anda menggendong dan membuai mereka dengan kasih sayang, mereka jadi tenang, kan? Bentakan hanya akan membuat tangis mereka semakin menjadi-jadi. Jadi orang itu ya seperti itu – bayi yang besar.
48
Memadukan Dharma ke dalam Kehidupan Kita Dharma adalah untuk Menghadapi Masalah-Masalah dalam Kehidupan Petang ini, Saya ingin berbicara mengenai laku Dharma dalam kehidupan sehari-hari. Kata Dharma berarti suatu langkah pencegahan. Ini adalah sesuatu yang kita lakukan untuk menghindari masalah. Hal pertama yang perlu kita lakukan untuk melibatkan diri kita dalam laku Dharma adalah mengenali berbagai jenis masalah atau kesulitan yang kita miliki dalam kehidupan. Yang berikutnya adalah memahami bahwa laku Dharma bertujuan untuk membantu kita menyingkirkan masalah-masalah itu. Laku Dharma tidak hanya agar merasa baik, atau memiliki hobi yang bagus, atau supaya trendi, atau hal-hal semacam itu. Laku Dharma bertujuanuntuk membantu kita menyingkirkan masalahmasalah kita. Itu berarti agar dapat mengamalkan Dharma secara nyata, kita perlu memahami bahwa ini tidak akan menjadi proses yang menyenangkan. Kita harus meninjau dan sebenarnya menghadapi hal-hal tidak menyenangkan dalam hidup kita, kesulitan-kesulitan yang kita miliki – bukan lari dari mereka, tetapi menghadapi mereka dengan sikap bahwa sekarang kita akan mencoba menangani mereka. Masalah-masalah kita dapat mewujud dalam banyak rupa. Kita semua akrab dengan sebagian besar rupa itu – kita merasa tidak aman; kita mengalami kesulitan dalam hubungan dengan orang lain; kita merasa terasing; kita mengalami kesulitan dengan perasaan dan rasa – hal lazim yang kita semua alami. Kita mengalami kesulitan menangani keluarga dan orang tua kita; mereka jatuh sakit dan tua. Kita mengalami kesulitan menghadapi 49
penyakit dan usia tua kita sendiri. Dan jika kita adalah orang muda, kita mengalami kesulitan dalam menentukan apa yang akan kita lakukan dengan hidup kita, bagaimana menata hidup, haluan mana yang akan kita tuju, dan sebagainya. Kita perlu meninjau semua hal semacam itu. Kebingungan Salah satu pokok terpenting dalam ajaran Buddha adalah memahami bahwa masalah-masalah yang kita alami itu muncul karena penyebab. Masalah-masalah itu tidak muncul tanpa sebab. Sumber masalah-masalah ituada di dalam diri kita sendiri. Ini adalah wawasan besar dan tidak mudah bagi kebanyakan orang untuk menerimanya. Ini karena sebagian besar dari kita cenderung meletakkan kesalahan pada orang lain atau keadaan luar atas masalah-masalah kita. Kita merasa, “Aku tidak bahagia karena tindakan kamu – Kamu tidak meneleponku; Kamu mengabaikan aku; Kamu tidak mencintaiku. Ini semua salahmu.” Atau kita meletakkan kesalahan pada orang tua kita – pada apa yang dilakukan dan yang tidak dilakukan oleh orang tua kita kepada kita ketika kita kecil. Atau kita meletakkan kesalahan pada keadaan ekonomi atau keadaan politik, keadaan sosial, dan sebagainya. Memang, semua unsur tersebut memainkan peran dalam pengalaman hidup kita. Ajaran Buddha tidak menyangkal itu. Tetapi penyebab utamanya, penyebab lebih mendalam dari masalah-masalah kita, adalah dalam diri kita sendiri – sikap-sikap kita sendiri, terutama kebingungan kita. Jika kita ingin menemukan satu unsur yang secara jelas menegaskan sikap Buddha mengenai arti mengamalkan ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari, saya akan mengatakan inilah unsur itu. Ketika kita mengalami kesulitan, kita melihat ke 50
dalam diri kita untuk mencoba mencari sumbernya dan, ketika kita menemukannya, kita berusaha mengubah keadaan itu dari dalam diri kita. Ketika kita bicara tentang melihat ke dalam diri kita dan mencari sumber dari masalah kita, ini tidak berdasar padamembuat penilaian moral bahwa saya orang yang buruk dan saya harus berubah dan menjadi baik. Ajaran Buddha tidak membuat penilaian-penilaian moral. Kita berusaha untuk menemukan sumber masalah didalam diri kita semata-mata karena kita menderita dan ingin menyingkirkanmasalah dan ketidakbahagiaan kita, dan sumber utamanya adalah sikap kita sendiri. Secara khusus, Buddha berkata penyebab terdalam dari masalah dan penderitaan kita adalah kebingungan kita. Jadi, yang perlu kita lakukan adalah mengetahui mengapa kita bingung tentang apa yang terjadi dan bagaimana kita dapat memperbaikinya dengan memperoleh pemahaman yang benar. Tentang apa kebingungan kita? Ini tentang beberapa hal. Salah satunya adalah sebab dan akibat perilaku. Kita berpikir bahwa apabila kita bertindak dalam cara tertentu tidak akan memiliki akibat apapun. Sebagai contoh, kita berpikir “Aku bisa terlambat, mengabaikan kamu, dan sebagainya, dan itu tidak apa-apa.” Ini salah; ini membingungkan. Atau kita berpikir bahwa sesuatu yang kita lakukan atau bagaimana kita berperilaku akan memiliki akibat tertentu yang tidak masuk akal dan tidak mungkin terjadi. Misalnya, “Aku bersikap baik padamu maka kamu akan menyukai aku sebagai balasannya. Aku membelikan kamuhadiah yang bagus, lalu mengapa kamu tidak menyukai aku?” Dengan pikiran-pikiran seperti ini, kita membayangkan bahwa tindakan dan perilaku kita akan memiliki akibat yang mustahil atau kita melebih-lebihkannya, berpikir bahwa tindakan dan perilaku kita itu akan menghasilkan 51
akibat yang lebih besar daripada yang dapat terjadi. Juga, kita mungkin berpikir bahwa hal-hal tertentu akan mendatangkan satu jenis akibat; padahal, sebenarnya, mereka mendatangkan yang sebaliknya. Sebagai contoh, kita ingin bahagia maka kita berpikir bahwa cara untuk menjadi bahagia adalah dengan mabuk setiap saat. Tetapi ini hanya menghasilkan lebih banyak masalah dibanding kebahagiaan. Hal lain yang membuat kita bingung adalah bagaimana kita ada, bagaimana orang lain ada, dan bagaimana dunia ada. Sebagai contoh, kita menderita dan menjadi tidak bahagia saat menjadi tua dan jatuh sakit. Tetapi apa lagi yang kita harapkan sebagai manusia? Manusia jatuh sakit dan manusia semakin tua, kecuali kita mati muda – ini bukan sesuatu yang mengherankan. Ketika kita mulai melihat rambut abu-abu di cermin dan kita tidak bahagia dan terkejut karenanya, maka ini adalah bersikap tidak realistis dan bingung tentang bagaimana dunia ada, tentang bagaimana kita ada. Misalnya kita mengalami masalah dengan bertambah tua. Karena kebingungan kita tentang itu – k etidakterimaan kita pada kenyataan itu – kita bertindak dengan cara-cara yang merusak dibawah pengaruh sikap dan perasaaan yang gelisah. Sebagai contoh, dengan dorongan kuat berusaha agartampak muda dan menarik, kita bertindak dengan keinginan kuat untuk berusaha memperoleh hal-hal yang kita harap akan membuat kita aman – misalnya perhatian dan cinta dari orang lain, khususnya orang lebih muda kita anggap menarik. Di balik gejala-gejala ini biasanya terdapat kebingungan bahwa aku adalah orang terpenting di dunia; aku adalah pusat alam semesta. Jadi semua orang harus memerhatikan aku. Tak peduli seperti apa penampilanku, semua 52
orang harus menganggap aku menarik dan menyukaiku. Kita menjadi kalut apabila seseorang tidak menganggap kita menarik atau mereka tidak menyukai kita. Kita bahkan lebih kalut apabila mereka mengabaikan kita – jika mereka tidak memerhatikan kita ketika kita ingin mereka menganggap kita menarik, jika tidak secara fisik, setidaknya dalam hal lain. Tetapi, tidak semua orang menyukai Shakyamuni Buddha; jadi adakah harapan bahwa semua orang akan menyukai kita? Keinginan kita untuk disukai oleh semua orang adalah harapan yang tidak realistis. Ini bukan kenyataan. Ini berdasar pada kebingungan, hasrat yang kuat, dan kemelekatan bahwa semua orang harus menganggap kita menarik dan memerhatikan kita. Yang mendasarinya adalah sikap keluguan yang gelisah. Kita berpikir bahwa kita sangat penting dan memikat sehingga semua orang harus menyukai kita, jadi pasti ada sesuatu yang salah dengan seseorang apabila ia tidak menyukai aku. Atau lebih buruk, kita mulai meragukan diri kita sendiri: “Ada sesuatu yang salah dengan diriku sehingga menyebabkan orang ini tidak menyukaiku,” lalu kita merasa buruk dan bersalah. Ini semua adalah keluguan. Maka, yang utama adalah memperbaiki diri kita sendiri. Inilah intidari laku Dharma. Bagaimanapun keadaannya – jika kita mengalami kesulitan, merasa tidak aman, atau apapun, kita perlu melihat diri kita sendiri untuk memahami apa yang terjadi. Dimana kebingungan di balik perasaan-perasaan yang gelisah yang saya rasakan? Bagaimanapun, jika kita memerhatikan sebuah hubungan di mana kita ada di dalamnya yang menimbulkan masalah, kita juga perlu menyadari bahwa kita bukan satu-satunya yang memiliki kebingungan. Jelas bahwa orang lainnya juga memiliki kebingungan. Intinya adalah kita tidak seharusnya 53
berkata, “Kamu harus berubah; semua yang kulakukan adalah baik dan sempurna; Kamulah yang harus berubah.” Sebaliknya, kita tidak seharusnya berkata bahwa akulah satu-satunya orang yang harus berubah, karena itu bisa memburuk menjadi perilaku penyiksaan diri. Kita mencoba untuk membahas sesuatu secara terbuka dengan orang itu – meskipun, tentu saja, orang itu harus bersedia untuk ini. Kita perlu mengakui bahwa kami berdua mengalami kebingungan. Terdapat masalah dalam diri kami berdua tentang bagaimana kami memahami apa yang terjadi dalam hubungan kami, jadi mari kita coba menghilangkan kebingungan dalam diri kami berdua. Ini adalah cara yang paling realistis dan sesuai laku Dharma untuk dijalankan. Memahami Dharma sebelum Menerapkannya ke dalam Laku Ada banyak jenis laku Buddha. Kita tidak cukup hanya mendapatkan beberapa petunjuk tentang cara menjalankannya seperti mempelajari cara melakukan tipuan sulap. Sangat penting untuk memahami, dengan laku apapun, bagaimana ini akan membantu kita dalam mengatasi kesulitan-kesulitan. Kita perlu mempelajari tidak hanya kapan dan bagaimana menerapkan laku itu, tetapi juga penerimaan-penerimaan di balik itu. Ini berarti bahwa kita tidak memulai dengan laku-laku tingkat lanjut. Kita memulai dari awal dan membangun landasan, sehingga kita tahu, dari urut-urutan bagaimana ajaran-ajaran Dharma meningkat, apa yang terjadi pada setiap laku. Kita tentu pernah membaca ajaran yang mengatakan, “Jika kamu diberi obat, jangan bertanya tentang bagaimana obat itu bekerja, minum saja obatnya!” Meskipun ini adalah sepenggal saran yang baik, kita perlu memahami bahwa ini adalah peringatan terhadap keekstreman. Keekstreman hanyalah untuk belajar dan berusaha 54
memahami ajaran, tapi jangan pernah menerapkan apapun yang kita pelajari ke dalam laku. Kita ingin menghindari keekstreman itu. Namun, ada keekstreman lain, yang juga perlu kita hindari. Yaitu ketika kita mendengar perintah-perintah Dharma mengenai laku, kemudian, dengan ketaatan buta, melakukannya begitu saja tanpa memiliki pemahaman tentang apa yang kita lakukan atau mengapa. Masalah utama yang timbul dari keekstreman itu adalah kita tidak pernah benar-benar memahami cara menerapkan laku tersebut pada kehidupan sehari-hari. Jika kita memahami inti di balik setiap laku – jika kita memahami bagaimana bekerjanya dan apa maksudnya – maka kita tidak perlu orang lain memberitahu bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan sendirinya kita paham dan kita tahu bagaimana menerapkannya. Ketika kita berbicara tentang menyingkirkan masalah, kita tidak hanya berbicara tentang menyingkirkan masalah pribadi kita saja, kita juga berbicara tentang menghilangkan kesulitan-kesulitan yang kita miliki dalam membantu orang lain. “Aku memiliki masalah dalam membantu orang lain karena kemalasan atau keegoistisanku, atau karena aku terlalu sibuk.” Atau, “ Saya tidak paham apa masalah Anda dan saya tidak tahu apa yang bisa saya lakukan untuk membantu Anda.” Itu kesulitan besar yang kita miliki, bukan? Semua kesulitan dalam membantu orang lain juga disebabkan oleh kebingungan kita. Misalnya, kebingungan bahwa saya seharusnya bisa seperti Tuhan Yang Maha Kuasa dan yang harus saya lakukan hanya satu hal dan itu akan memecahkan masalah-masalah Anda; dan jika itu tidak memecahkan semua masalah Anda, ada yang salah dengan Anda. Anda tidak melakukannya dengan benar, jadi Anda merasa bersalah. Atau saya yang bersalah, karena saya seharusnya mampu untuk 55
memecahkan masalah-masalah Anda tapi tidak, maka saya tidak baik. Sekali lagi, ini adalah kebingungan tentang sebab dan akibat. Keyakinan dalam Dharma Inti yang lain adalah untuk dapat berhasil menerapkan Dharma dalam kehidupan sehari-hari dengan tidak gelisah, kita juga perlu memiliki keyakinan bahwa kita sebenarnya bisa menyingkirkan masalah-masalah kita. Kita harus yakinbahwa kita bisa menyingkirkan kebingungan kita dengan menganut pendekatan Buddha dasar: untuk menyingkirkan sesuatu, kita perlu menghilangkan penyebab-penyebabnya. Tetapi, tentu saja, sangat sulit untuk memperoleh keyakinan yang teguh dan mendalam supaya memungkinkan untuk menyingkirkan semua kebingungan kita sehingga ia tidak akan muncul lagi, dan juga keyakinan yang teguh supaya memungkinkan untuk memperoleh pembebasan dan pencerahan. Ini sangat sulit ketika kita tidak memahami arti kebebasan dan pencerahan sebenarnya. Jadi bagaimana kita dapat benar-benar menilai apakah itu mungkin dicapai atau tidak? Jika kita tidak berpikir bahwa itu mungkin, tidakkah sedikit munafik memiliki tujuan untuk mencapai sesuatu yang bahkan kita anggap tidak ada? Maka itu menjadi semacam permainan gila yang kita mainkan; laku Dharma kita tidak sungguh-sungguh. Kita harus benar-benar yakin, dan ini menuntut banyak pembelajaran dan pemahaman, serta pemikiran mendalam dan meditasi. Kita harus yakin bahwa tidak hanya pembebasan dan pencerahan itu ada; tetapi juga bahwa saya mampu mencapainya. Bukan berpikir bahwa hanya Shakyamuni yang mampu mencapainya, tapi saya tidak mampu. Melainkan, saya mampu untuk mencapainya, dan semua orang mampu untuk mencapainya juga. Kita harus paham apa yang kita harus lakukan untuk 56
menyingkirkan kebingungan kita. Apa yang akan benar-benar membebaskan kita dari kebingungan? Apa yang akan benar-benar membebaskan kita dari kebingungan adalah pemahaman yang tepat; sehingga kita harus paham bagaimana pemahaman yang tepat bisa mengalahkan kebingungan dan menyingkirkannya sehingga ia tidak akan kembali lagi. Sebagai hasil dari semua ini, kita tahu bahwa tempat kerja sesungguhnya bagi laku Dharma adalah kehidupan sehari-hari; ini berurusan dengan masalahmasalah kita, kebingungan kita, dan kesulitan-kesulitan kita dalam kehidupan dari waktu ke waktu. Laku Dharma Menuntut Mawas Diri Laku Dharma bukan semata-mata istirahat dari kehidupan, pergi ke sebuah gua meditasi yang sunyi dan nyaman, atau bahkan hanya ke kamar kita, dan duduk di bantal untuk lari dari urusanurusan hidup kita. Melarikan diri bukan inti dari laku Dharma. Ketika kita pergi ke suatu tempat yang tenang untuk bermeditasi, kita melakukan itu untuk membangun kemampuan-kemampuan yang kita perlukan untuk menghadapi masalah-masalah kita dalam kehidupan. Sasaran utamanya adalah kehidupan. Sasarannya bukan memenangkan medali Olimpiade dalam duduk dan bermeditasi! Laku Dharma adalah tentang menerapkan Dharma dalam kehidupan. Selain itu, laku Dharma bersifat mawas diri. Dengan itu, kita mencoba untuk penuh perhatian padakeadaan perasaan kita, semangat kita, sikap kita, pola-pola perilaku kompulsif kita. Kita khususnya perlu waspada terhadap perasaan-perasaan yang gelisah. Ciri-ciri yang menjelaskan sikap atau perasaan yang gelisah adalah ketika ia muncul, ia membuat kita dan/atau orang lain merasa tidak nyaman. Kita kehilangan kedamaian cita dan 57
menjadi tidak terkendali. Ini adalah pengertian yang sangat membantu, karena mengetahui ini membantu kita untuk menyadari ketika kita bertindak di bawah pengaruh keadaan itu. Kita bisatahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu sedang terjadi di dalam cita kita jika kita merasa tidak nyaman. Di saat-saat seperti itu, kita perlu memeriksa apa yang terjadi di dalam diri kita dan menerapkan penangkalnya untuk memperbaiki keadaan itu. Ini menuntut kita untuk menjadi sangat peka terhadap apa yang terjadi dalam diri kita. Dan untuk melakukan sesuatu dalam mengubah keadaan perasaan kita, jika kita mendapatinya gelisah, dituntut kesadaran bahwa jika kita bertindak dengan cara yang gelisah dan mengganggu, akan menciptakan banyak ketidakbahagiaan bagi kita dan orang lain. Kita tidak menginginkan itu; kita sudah cukup mengalaminya. Dan jika kita terganggu, bagaimana kita bisa membantu orang lain? Keluwesan Laku Dharma juga menuntut keakraban dengan banyak kekuatan berlawanan yang berbeda-beda, tidak hanya satu atau dua. Hidup kita sangat rumit dan satu penangkal tertentu tidak akan selalu berhasil. Satu laku tertentu tidak akan menjadi cara paling tepat dalam suatu keadaan. Untuk benar-benar mampu menerapkan beberapa laku dalam kehidupan sehari-hari kita dituntut banyak keluwesan dan banyak cara yang berbeda. Jika cara ini tidak berhasil, maka kita bisa melakukan cara itu; jika itu tetap tidak berhasil, maka kita mencoba cara ini. Guru saya Tsenzhab Serkong Rinpoche sering berkata ketika Anda berusaha melakukan sesuatu dalam hidup, milikilah selalu dua atau tiga rencana lain. Maka, jika rencana A tidak berhasil, 58
Anda tidak menyerah begitu saja. Itu karena Anda punya rencana cadangan, B atau C. Salah satu dari mereka pada akhirnya akan berhasil. Nasihat ini saya dapati sangat bermanfaat. Ini sama dengan Dharma: jika cara A tidak berhasil pada suatu keadaan tertentu, kita selalu memiliki rencana cadangan. Ada cara-cara lain yang bisa kita gunakan. Semua ini jelas berdasar pada pembelajaran, pada mempelajari bermacam cara dan meditasi, yang kemudian kita terapkan dalam persiapan, seperti yang kita lakukan pada latihan fisik. Kita berusaha melatih diri kita supaya akrab dengan cara-cara ini sehingga kita bisa benar-benar menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari ketika kita membutuhkannya. Ini menuntut kita melihat laku Dharma bukan sebagai hobi, tetapi sebagai akad bulat sepanjang waktu. Menghindari Keekstreman-Keekstreman Kita menerapkan laku Dharma di dalam keluarga kita. Kita menerapkannya dalamberhubungan dengan orang tua kita, dengan anak-anak kita, dan dengan orang-orang di tempat kerja. Dalam melakukan ini, kita perlu menghindari berbagai keekstreman. Kita sudah membicarakan sedikit tentang ini. Kita harus menghindari keekstreman tentang menyalahkan orang lain atas masalah-masalah kita atau menyalahkan diri kita sepenuhnya – kita berdua memberi andil. Kita bisa berusaha membuat orang lain berubah, tapi paling mudah adalah mengubah diri kita sendiri. Maka, perbaikan diri adalah sasarannya; tetapi dalam melakukan ini, kita harus berusaha menghindari keekstremantentangkepedulianpada diri sendiri secara narsisitik. Dengan kepedulian pada diri sendiri, kita hanya selalu memandang diri kita sendiri dan tidak menaruh perhatian pada orang lain. Ini bisa menguatkan perasaan bahwa kita adalah pusat alam semesta 59
dan masalah-masalah kita adalah yang paling penting di dunia. Tidak ada masalah orang lain yang penting atau menyakiti. Keekstreman lain adalah berpikir bahwa kita sepenuhnya buruk atau kita sepenuhnya baik. Memang benar bahwa kita perlu mengakui sisi-sisi sulit kita, sisi-sisi yang perlu kita perbaiki. Tapi kita juga perlu mengakui sisi-sisi positif kita, sifat-sifat positif kita, supaya kita bisa mengembangkan mereka lebih dan lebih. Banyak dari kita Kaum Barat memiliki penghargaan diri yang rendah. Jika kita terlalu banyak memusatkan pada masalah dan kebingungan kita, cara ini bisa dengan mudah menguatkan penghargaan diri yang rendah itu. Ini bukan intinya sama sekali. Di waktu yang sama saat mengawasi perasaan-perasan kita yang gelisah, kita perlu mengimbangi ini dengan mengingat mutu-mutu baik kita. Bahkan orang-orang paling kejam pun memiliki pengalaman mutu baik. Tentu mereka pernah punya pengalaman memeluk anak anjing atau anak kucing di pangkuan mereka, membelainya, dan merasakan sedikit hangat terhadapnya. Hampir semua orang setidaknya punya pengalaman itu. Jadi kita mengakui bahwa kita mampu memberi sedikit kehangatan seperti itu dan, dengan cara ini, kita juga melihat sisi-sisi positif kita. Laku Dharma tidak hanya berhasil pada sisi-sisi negatif kita; ia harus seimbang. Kita perlu berupaya menguatkan sisi-sisi positif kita juga. Dalam melakukan ini, ketika berusaha mempertahankan keseimbangan antara melihat kekurangan dan kelebihan kita, kita perlu menghindari pasangan keekstreman lain. Satu keekstreman adalah rasa bersalah, “Aku buruk. Aku harus berlatih dan karena aku tidak berlatih, aku semakin buruk.” Kataharus ini perlu 60
dihilangkan dari cara pandang kita tentang laku Dharma. Ini bukan persoalan “harus.” Jika kita ingin membebaskan diri kita dari masalah-masalah yang kita miliki dan menghindari masalah lebih lanjut di masa depan, sikap paling sehat adalah berpikir, mudah saja, “ Jika aku ingin bebas dari masalahku, laku ini akan melakukan itu.” Jadi, melakukan laku Dharma atau tidak, itu adalah pilihan kita sendiri. Tidak ada yang berkata, “Kamu harus melakukannya dan, jika tidak, kamu buruk.” Tapi, kita juga perlu menghindari keekstreman lainnya, yakni keekstreman tentang, “Kita sempurna; lihatlah sifat-Buddha dalam dirimudan semuanya sempurna.” Ini adalah keekstreman yang sangat berbahaya karena dapat mengarah pada sikap bahwa kita tidak perlu berubah; kita tidak perlu menghentikan atau membuang cara-cara negatif kita karena kita sudah sempurna. Kita perlu menghindari dua keekstreman ini – merasa kita buruk atau merasa kita sempurna. Pada dasarnya, kita perlu bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Itulah kunci utama untuk memadukan Dharma ke dalam kehidupan sehari-hari kita. Kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri, melakukan sesuatu tentang mutu hidup kita. Ilham Ketika memperbaiki diri, kita bisa memperoleh ilham dari guru-guru rohani, dan juga dari kelompok lain yang berlatih dengan kita. Bagaimanapun, bagi kebanyakan orang, kisah-kisah luar biasa tentang para guru berabad-abad lampau yang bisa melayang di udara bukanlah sumber ilham yang kukuh dari para guru. Itu karena hal-hal semacam itu sangat sulit dibayangkan dan mereka cenderung membawa kita ke dalam semua petualangan ajaib itu. Yang terbaik adalah contoh-contoh hidup yang sebenarnya memiliki hubungan dengan kita, meskipun hubungan itu sedikit. 61
Para Buddha atau para guru mumpuni tidak berusaha untuk membuat kita terkesan, mereka juga tidak berusaha mengilhami kita. Contohnya adalah bahwa mereka seperti matahari. Matahari tidak berusaha menghangatkan manusia; matahari pada hakikatnya menghangatkan manusia. Hal yang sama juga berlaku pada guru-guru rohani yang agung. Mereka mengilhami kita secara spontan dan secara alami dari cara mereka menjalani kehidupan, pekerti mereka, dan cara-cara mereka berurusan dengan banyak hal. Ini bukan tipuan sulap. Hal yang paling mengilhami adalah lebih nyata dan membumi. Saya ingat Dudjom Rinpoche. Ia wafat beberapa tahun yang lalu. Ia adalah kepala garis silsilah Nyingma dan salah satu guru saya. Ia memiliki asma yang parah. Saya juga punya asma sehingga saya tahu seperti apa rasanya mengalami kesulitan bernafas. Saya tahu bagaimana sulitnya mengajar ketika Anda tidak bisa bernafas secara normal, karena semua tenaga Anda harus diarahkan ke dalam untuk mendapatkan cukup udara. Tenaga Anda sangat sulit keluar dalam keadaan itu. Akan tetapi, saya melihat Dudjom Rinpoche memiliki asma yang parah dan masih naik ke panggung dan mengajar. Ia tak sedikitpun terganggu oleh asma dan menghadapinya dengan cara yang luar biasa ketika menyampaikan ajaran-ajaran menajubkan. Ini luar biasa mengilhami, sangat membumi, tanpa tipuan sulap. Ini berurusan dengan keadaan-keadaan kehidupan nyata dan itu mengilhami. Ketika kita menyusuri jalan batin dan membuat kemajuan, kita juga bisa mendapatkan ilham dari diri kita sendiri. Ini, juga, merupakan sumber ilham yang penting. Kita memperoleh ilham dari kemajuan kita sendiri. Tapi, kita harus sangat saksama dalam melakukan ini. Kebanyakan orang tidak dapat menghadapi unsur ini dengan 62
perasaan, karena kecenderungannya adalah kita menjadi sombong dan bangga jika membuat kemajuan. Jadi, kita harus mengartikan secara hati-hati apa yang kita maksud dengan kemajuan. Kemajuan dalam Jalan Dharma Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa kemajuan tidak pernah lurus; ia naik dan turun dan naik dan turun. Ini adalah salah satu sifat utama dari samsara, dan ini tidak hanya bicara tentang kelahiran kembali yang lebih tinggi dan lebih rendah. Naik dan turun juga mengacu pada kehidupan sehari-hari. Sekarang saya merasa bahagia; sekarang saya merasa tidak bahagia. Suasana hati kita naik dan turun. Sekarang, saya merasa suka berlatih, sekarang saya merasa tidak suka berlatih – itu naik dan turun setiap saat, jadi jangan terkejut. Kenyataannya, ia akan terus berlanjut seperti itu sampai kita menjadi seorang arhat, makhluk yang terbebaskan, bebas dari samsara. Sebelum mencapai titik itu, yang adalah tingkatan sangat tinggi, samsara akan terus naik dan turun. Jadi jangan berkecil hati ketika, setelah berlatih dalam waktu yang sangat lama, tiba-tiba kita menemui kesulitan dalam hubungan pribadi yang romantis. Tiba-tiba, perasaan kita terganggu – ini terjadi! Tidak berarti bahwa kita adalah pelaku yang buruk. Ini wajar, mengingat kenyataan tentang keadaan samsara kita. Keajaiban tidak biasa terjadi dalam laku Dharma. Jika kita ingin menerapkan Dharma pada kehidupan sehari-hari, jangan mengharap keajaiban, khususnya dalam kemajuan kita. Bagaimana kita mengukur kemajuan secara realistis? Yang Mulia Dalai Lama berkata, jangan hanya melihatlaku Dharma dalam rentang waktu satu atau dua tahun. Lihat dalam rentang waktu lima 63
atau sepuluh tahun laku itu untuk memeriksa, “Apakah aku menjadi orang yang lebih tenang dibandingkan lima atau sepuluh tahun yang lalu? Apakah aku bisa mengatasi keadaan yang lebih sulit dan tidak terlalu sedih atau kalah olehnya?” Jika kita sudah menjadi orang seperti itu, kita telah membuat kemajuan dan itu mengilhami. Kita masih memiliki masalah, tetapi ini memberi kita kekuatan untuk maju. Kita tidak menjadi terlalu bersedih dalam keadaan sulit ketika hal-hal buruk terjadi. Kita mampu pulih secara lebih cepat. Ketika kita bicara tentang diri kita sebagai sumber ilham, inti utamanya adalah bahwa ilham ini memberi kita kekuatan untuk terus menapaki jalan kita. Ini karena kita yakin bahwa kita berjalanke arah yang benar. Dan kita bisa yakin bahwa kita berjalan ke arah yang benar hanya jika kita memiliki gagasan yang realistis tentang apa arti berjalan ke arah itu – yaitu bahwa, ketika berjalan ke arah itu, kita akan terus menerus naik dan turun. Itulah beberapa gagasan umum tentang bagaimana memadukan laku Dharma ke dalam kehidupan sehari-hari. Saya harap mereka bermanfaat. Terima kasih.
64
Tiga Latihan dan Jalan Kehidupan Sehari-Hari
Lipat-Delapan
dalam
Tiga Latihan Menjalankan laku dasar Buddha berarti melatih diri di tiga ranah. Di tiga ranah ini kita bisa berlatih untuk mengatasi permasalahan dan duka kita sendiri, karena kita peduli pada kesejahteraan kita sendiri. Atau kita bisa juga menerapkan kasih dan welas asih saat berlatih di tiga ranah ini agar lebih bermanfaat bagi yang lain. Apa saja tiga latihan itu?
Sila – kemampuan untuk menahan diri dari perilaku merusak. Cara untuk mengembangkan sila adalah dengan memasuki perilaku membangun. Latihan pertama berpusat pada sila diri sendiri – bukan orang lain. Daya Pemusatan – kemampuan untuk memusatkan cita sehingga tidak mengalami batin tidak melanglang buana ke berbagai macam pikiran tidak penting. Kita menajamkan, memusatkan, dan menitik-beratkan cita kita. Di samping kemantapan batin, penting juga untuk mengembangkan kemantapan perasaan, sehingga cita kita tidak dikuasai amarah, kemelekatan, iri, dan seterusnya. Kesadaran pembeda – kemampuan untuk membedakan atau memilah mana yang perlu dianut mana yang perlu ditinggalkan. Mirip seperti saat belanja sayuran, Anda memilah, “Yang ini tampak sudah layu, yang itu masih segar sekali.” Di sini, kita membedakan perilaku – mana yang tida patut dan mana yang patut, tergantung pada unsur-sebabnya, dan dengan siapa kita bersinggungan. Pada tingkat yang lebih dalam, kita 65
membedakan antara mana yang kenyataan sesungguhnya dan mana yang sekadar khayalan belaka. Ilmu Pengetahuan Buddha, Filsafat Buddha, dan Agama Buddha Terlepas dari tujuan kita berlatih, baik itu demi manfaat bagi diri sendiri atau bagi orang lain, kita bisa membaca ketiga ranah latihan ini lewat dua sudut pandang. Dua sudut pandang ini diturunkan dari pembagian yang dibuat Yang Mulia Dalai Lama ketika ia berbicara di hadapan khalayak umum. Di situ, ia memaparkan tiga bagian di dalam Buddhisme: ilmu pengetahuan Buddha, filsafat Buddha, dan agama Buddha. Ilmu pengetahuan Buddha terutama mengacu pada ilmu pengetahuan cita – cara kerja cita, perasaan kita, dan yang suka diistilahkan oleh Dalai Lama sebagai kebersihan batin dan perasaan. Ajaran Buddha memiliki uraian yang sangat terperinci tentang berbagai tataran perasaan, cara kerjanya, dan bagaimana kesemua tataran perasaan tersebut berjalan bersama. Yang termasuk dalam ilmu pengetahuan Buddha:
Ilmu pengetahuan kognitif – bagaimana daya pencerapan kita bekerja, sifat dasar kesadaran, dan berbagai jenis latihan yang membantu kita mengembangkan daya pemusatan. Kosmogoni – uraian rinci tentang bagaimana alam semesta berawal, bertahan dan berakhir. Zat – uraian rinci tentang bagaimana zat, tenaga, partikelpartikel subatom, dsb bekerja. Pengobatan – cara kerja tenaga di dalam tubuh. 66
Siapapun bisa memperoleh pelajaran, keuntungan atau manfaat dari pokok bahasan di atas, dan Dalai Lama mengadakan banyak pembahasan dengan para ilmuwan tentang hal ini. Bagian kedua, filsafat Buddha, meliputi hal-hal seperti:
Budi pekerti – pembahasan tentang nilai-nilai dasar manusia yang tidak selalu berkaitan dengan agama apapun dan siapapun bisa memperoleh manfaat darinya. Mantik dan metafisika – penyajian terperinci tentang teori himpunan, universal, rincian, sifat, ciri, dsb, bagaimana mereka bekerja bersama dan bagaimana kita mengetahuinya. Sebab dan akibat – uraian terperinci tentang hubungan sebabmusabab, tentang kenyataan, dan bagaimana citra-citra kita membelokkan kenyataan.
Sekali lagi, filsafat Buddha tidak hanya terbatas pada umat Buddha tetapi adalah sesuatu yang semua orang bisa memperoleh manfaat darinya. Bagian ketiga, agama Buddha, mencakup ranah sebenarnya dari laku Buddha, yang berkaitan dengan hal-hal seperti karma dan kelahiran kembali, laku-laku upacara, mantra, dsb. Inilah ranah yang dikhususkan bagi mereka yang mengikuti jalan Buddha. Ketiga latihan ini dapat disajikan secara sederhana dalam kerangka ilmu pengetahuan dan filsafat Buddha, yang kemudian bisa mudah diterapkan dan tepat bagi siapapun, atau ketiganya bisa disajikan dalam kerangka kedua hal itu dan agama Buddha. Itu sesuai dengan pola pembagian yang saya sebut “Dharma-sari” dan “Dharma Sejati". 67
Dharma-sari – menjalankan cara-cara dari ilmu pengetahuan dan filsafat Buddha hanya untuk memperbaiki masahidup yang ini saja. Dharma sejati – menggunakan tiga latihan ini untuk tiga tujuan Buddha: kelahiran kembali yang lebih baik, kebebasan dari kelahiran kembali, dan pencerahan.
Ketika saya bicara soal Dharma-sari, saya biasa memaksudkannya sebagai semacam langkah persiapan menuju Dharma Sejati, karena kita perlu menyadari kebutuhan untuk memperbaiki hidup biasa kita untuk kemudian memikirkan tujuantujuan rohani yang lebih jauh. Akan tetapi, ilmu pengetahuan dan filsafat Buddha tidak selalu berlaku sebagai persiapan menuju agama Buddha, jadi kita dapat menggunakan tiga latihan ini untuk memperbaiki kehidupan kita, terlepas dari niat untuk menjadikannya langkah persiapan menuju jalan Buddha, atau untuk kepentingan yang sifatnya umum saja. Empat Kebenaran Mulia Dari filsafat Buddha, ada penyajian umum tentang cara kerja pemikiran Buddha, yang biasanya disebut Empat Kebenaran Mulia. Kita dapat juga memandangnya sebagai empat fakta kehiduan:
Dilihat dari duka dan masalah yang kita hadapi, fakta pertama adalah bahwa hidup itu sulit. Fakta kedua adalah bahwa permasalahan dalam kehidupan kita berasal darisebab-sebab.
68
Fakta ketiga adalah bahwa kita bisa menghentian permasalahan itu; kita tidak harus diam saja dan menerimanya, kita bisa menyelesaikannya. Fakta keempat adalah bahwa kita menyingkirkan permasalahan itu dengan menghilangkan sebab-sebabnya. Kita melakukannya dengan mengikuti jalan pemahaman yang menyediakan saran tentang cara bertindak, berbicara dan sebagainya.
Jadi, jika cara kita bertindak dan berbicara menyebabkan masalah, kita harus mengubahnya. Tiga latihan ini adalah bagian dari hal yang perlu kita lakukan untuk menyingkirkan sebab-sebab masalah kita. Ini adalah cara bagus dalam memahami ketiga latihan itu karena menerangkan mengapa kita perlu melakukannya. Jika kita memiliki kesulitan-kesulitan dalam hidup, maka kita melihat:
Apakah ada masalah dalam silaku, dengan caraku bertindak dan berbicara? Apakah ada masalah dalam daya pemusatanku – citaku mengembara tak menentu, perasaanku kacau? Apakah ada masalah terutama dalam caraku membedakan antara kenyataan dan citra-citra yang tak karuan?
Ini bisa diterapkan pada kehidupan biasa kita di masahidup yang ini saja, atau bisa juga diterapkan dalam kerangka masalahmasalah yang mungkin kita hadapi dalam kehidupan-kehidupan selanjutnya. Pada tingkat awal, kita perlu benar-benar menempatkan latihan-latihan ini hanya dalam kerangka kehidupan sehari-hari: bagaimana tiga latihan ini bisa membantu kita? Apa 69
perbuatan yang menyebabkan masalah bagi kita? Dan apa yang bisa kita lakukan untuk menguranginya? Sebab Duka Dari sudut pandang filsafat Buddha, sebab duka adalah ketaksadaran kita. Kita tidak menyadari, atau bingung dengan, dua hal. Hal pertama yang tidak kita sadari adalah sebab dan akibat, terutama dalam hal perilaku kita. Jika kita didera perasaanperasaan gelisah, seperti amarah, keserakahan, kemelekatan, kepongahan, iri, dst, maka kita bertindak secara merusak. Kita membentak orang karena kita marah, kita melakukan hal-hal yang menyakiti mereka karena kita iri, kita mengekang mereka karena kelemekatan, semua ini menyebabkan masalah. Karena semua perasaan ini menyebabkan kita bertindak secara merusak, atau, lebih tepatnya, merusak diri sendiri, dan hasil akhirnya adalah ketakbahagiaan. Sangatlah berguna jika kita meninjau arti dari perasaan gelisah. Perasaan gelisah adalah tataran cita yang, ketika muncul, membuat kita kehilangan kedamaian cita dan kendali-diri. Ketika kita membentak seseorang karena marah, mungkin itu membuat mereka kesal, tapi mungkin juga tidak. Mereka mungkin tidak mendengar apa yang kita ucapkan; mereka mungkin hanya tertawa dan berpikir bahwa kita bodoh. Tapi kita kehilangan kedamaian cita, perasaan kita benar-benar kesal, yang seringnya lama hilang walau bentakan kita sudah berhenti. Sungguh pengalaman yang tidak menyenangkan. Dan karena kita 70
kehilangan kendali-diri, kita mengatakan hal-hal yang nantinya mungkin kita sesali. Kita bertindak seperti itu karena:
Kita benar-benar tidak memahami sebab dan akibat. Kita sering tidak mengerti bahwa jika kita bertindak di bawah pengaruh perasaan yang gelisah ini, kita tidak bahagia. Atau, kita bingung tentang sebab dan akibat dan memahaminya secara terbalik. Kita berpikir, "Jika aku membentak orang ini, itu akan membuatku merasa lebih baik," yang tentu saja itu tidak akan terjadi. Atau, karena kemelekatan, Anda membentak seseorang – “Mengapa kamu tidak lebih sering menelepon atau mengunjungiku?” – dan tentu saja itu hanya membuat mereka menjauh, bukan? Keinginan kita justru tidak tercapai karena kita bingung tentang sebab dan akibat.
Jenis kedua dari ketaksadaran ini, adalah tentang kenyataan. Karena bingung tentang kenyataan, kita mendapati sikap-sikap gelisah. Satu contohnya adalah keasyikan dengan diri sendiri. Kita selalu berpikir tentang aku dan diriku sendiri. Sifatnya bisa jadi sangat menghakimi. Dan kemudian kita mengalami gejala dimana kita merasa kita harus sempurna. Sekalipun kita bertindak secara membangun, mencoba menjadi sempurna dan merapikan segalanya – semua tindakan kita itu bisa bersifat gandrung. Meskipun kita mungkin bahagia untuk sementara, dengan cepat ia berubah menjadi ketidakpuasan, karena kita masih berpikir "Aku tidak cukup baik," dan kemudian kita harus berusaha lebih dan lebih dan memaksakan diri sendiri.
71
Contohnya adalah orang yang gila bersih-bersih, seorang perfeksionis dalam hal membersihkan rumah. Orang seperti ini berada di bawah pemahaman yang salah: bahwa ia bisa mengendalikan dan menjaga segala sesuatu tetap rapi dan bersih. Itu mustahil! Jadi Anda membersihkan semuanya, berusaha menjadikannya sempurna, dan Anda merasa sangat puas. Kemudian anak-anak pulang dan mereka membuat rumah berantakan, dan kemudian Anda tidak puas dan harus membersihkannya lagi. Ini gandrung namanya. Dan setiap kali Anda akhirnya merasakan sedikit kebahagiaan – “Ahh, sekarang sudah rapi" – itu berlalu dengan sangat cepat. Selalu saja ada yang kurang bersih. Dengan mengulang-ulang tataran cita itu, baik itu perasaan gelisah atau sikap gelisah, dan mengulang-ulang jenis perilaku gandrung ini, Anda mendapati apa yang kita sebut “duka serba-merembes”. Maksudnya, pengulangan tersebut berujung pada kebiasaan, yang kemudian melanggengkan permasalahan. Bukan batin kita saja yang kena pengaruhnya, tubuh kita juga. Kita selalu marah, akibatnya kemudian kita kena tekanan darah tinggi, dan terserang maag akibat khawatir, dan seterusnya. Atau kalau Anda gila bersih-bersih, rasanya sulit untuk santai. Anda selalu tegang karena semuanya harus sempurna, padahal tidak mungkin. Bagaimana Tiga Latihan Membantu Menghilangkan Sebab-Sebab Masalah Kita
72
Yang kita butuhkan adalah tiga latihan berikut ini:
Kita memerlukan kesadaran pembeda untuk menyingkirkan kebingungan kita. Seperti halnya orang yang gila bersih-bersih itu, yang berkhayal bahwa “Segala sesuatu bisa sempurna dan bersih dan aku harus bisa mengendalikan semuanya.” Anganangan itu harus diubah menjadi “tentu saja rumahku akan kotor lagi, tidak ada yang bisa mengendalikan hal itu.” Dengan demikian, Anda lebih santai, karena tentu saja Anda masih membersihkan rumah Anda tapi tidak perlu lagi terobsesi oleh hal itu. Kalau di naskah-naskah Buddha, contoh yang digunakan adalah menebang pohon dengan kapak yang tajam. Untuk menebang pohon dengan kapak ini, Anda perlu mengarahkan ayunan kapak ke tempat yang sama, dan inilah maksud daya pemusatan. Jika cita kita selalu terbagi, maka kita kehilangan kesadaran pembeda itu. Jadi kita memerlukan daya pemusatan untuk selalu menghantam tempat yang sama dengan kapak itu. Begitupun, kita perlu kekuatan untuk bisa mengayunkan kapak – jika tidak, Anda bahkan tidak dapat mengangkatnya – dan kekuatan itu berasal dari sila.
Begitulah cara kita memahami betapa tiga latihan tersebut dapat menolong kita untuk mengatasi sumber masalah. Kita bisa menerapkan semua hal di atas tanpa mengacu pada agama Buddha, sehingga cocok untuk siapa pun. Mari kita sejenak mencerna hal yang telah kita pelajari barusan:
Kita menggunakan kesadaran pembeda untuk melihat perbedaan antara kenyataan dan khayalan sehingga kita dapat 73
melihat sebab dan akibat dalam perilaku kita sendiri. Ketika kita tidak memiliki kesadaran pembeda, perilaku dan sikap kita mencipta ketakbahagiaan, atau jenis kebahagiaan yang tidak pernah benar-benar memuaskan kita. Untuk benar-benar memahami hal di atas, kita perlu daya pemusatan yang kuat agar perhatian tetap terpusat. Untuk mengembangkan daya pemusatan yang kuat, kita memerlukan silasehingga ketika cita kita mengembara, kita kembalikan ia pada tempatnya. Kita ingin menerapkan ketiga latihan ini untuk menolong kita menangani masalah dan meningkatkan mutu hidup kita.
Wawasan pokok untuk kita peroleh dari semua ini adalah bahwa ketakbahagiaan dan ketakpuasan yang kita miliki dalam hidup ini berasal dari kebingungan kita. Alih-alih menyalahkan orang lain atau keadaan sekitar, masyarakat, ekonomi, atau apapun, kita memusatkan perhatian kita pada tingkat yang lebih dalam. Kita perhatikan tataran cita kita saat berhadapan dengan keadaan ini. Kita mungkin menghadapi banyak kesulitan, tapi yang dimaksud di sini adalah rasa tak bahagia secara umum, dan jenis kebahagiaan yang sementara. Kita semestinya berupaya mencapai hal yang lebih baik daripada itu: jenis kebahagiaan yang berkedamaian cita, dan yang lebih langgeng dan lebih mantap. Ketika didera kesulitan, kita bisa saja dirundung tekanan dan menderita. Atau, alih-alih cuma bisa mengasihani diri, kita bisa menghadapinya dengan pikiran yang lebih tenang karena kita melihat keadaan dengan lebih jernih, kita melihat apa saja yang terlibat di dalamnya, dan bahwa ada cara untuk menghadapinya. 74
Sama seperti saat anak Anda keluar pada malam hari, dan Anda benar-benar khawatir "Apakah ia akan pulang dengan selamat?". Sekali lagi, sumber dari kecemasan dan ketakbahagiaan ini adalah sikap bahwa "Aku bisa mengendalikan keselamatan anakku," yang tentu merupakan khayalan. Saat si anak pulang ke rumah dengan selamat dan Anda merasa bahagia, Anda merasa lega, tapi saat lain kali ia pergi keluar, lagi-lagi Anda khawatir. Ini namanya rasa tenteram yang tidak langgeng, bukan? Dan kemudian kita selalu khawatir, sehingga ini terus-menerus terjadi – kekhawatiran kita tentang segala sesuatu kini jadi kebiasaan – dan ini mempengaruhi kesehatan kita. Sungguh keadaan yang sangat tidak menyenangkan. Kunci sejatinya adalah memahami bahwa sebab dari semua ini adalah kebingungan kita. Kita berpikir bahwa cara bertindak tertentu akan membuat kita bahagia, atau bahwa sikap merasa bisa mengendalikan segalanya adalah sikap yang benar, padahal tidak. Kita terabas ini dengan berpikir "ini tidak masuk akal!" dan tetap berpusat pada itu. Ringkasan Ketika kita merenungkan empat fakta kehidupan, kita bersemangat untuk melihat bahwa permasalahan dan perasaan negatif tersebut tidak bersifat tetap. Semua itu bisa diperbaiki dan, lebih jauh lagi, sepenuhnya dihilangkan. Begitu kita bereskan sebab-sebab duka, duka itu jadi tiada. Akan tetapi, sebab-sebab ini tidak hilang dengan sendirinya.
75
Menjalani hidup di dalam lingkung tiga latihan sila, daya pemusatan, dan kesadaran pembeda adalah cara hidup yang luar biasa. Ketiganya bersama-sama menolong kita untuk bisa lebih dekat lagi dengan hal yang selalu kita cari: kebahagiaan.
76
Wicara, Tindakan dan Mata Pencaharian yang Benar Tinjauan Ketiga latihan dalam sila, daya pemusatan dan kesadaran pembeda selalu ditujukan untuk membantu kita dalam mengatasi berbagai masalah dan duka yang kita alami. Caranya dengan mengenali sebab-sebab kesulitan kita, dan menerapkannya ketiga latihan untuk menghilangkan sebab-sebab tersebut. Ketiga latihan ini juga sangat membantu untuk mengembangkan kehidupan kita sehari-hari dalam berhubungan dengan orang lain.
Sila – penting bagi kita untuk memperhatikan cara kita berperilaku dan berbicara kepada orang lain. Kita membutuhkan sila untuk menahan diri dari segala tindakan yang merugikan atau merusak. Daya pemusatan – kita harus mampu memusatkan perhatian ketika berinteraksi dengan orang lain, agar kita tahu apa yang sedang terjadi dengan mereka dan apa kebutuhan mereka. Jika cita kita berkeliaran, terus-terusan melihat ponsel, komunikasi dengan orang lain menjadi sulit. Daya Pembeda – jika kita sudah bisa mendengarkan orang lain dengan baik, kita akan bisa menggunakan kesadaran pembeda untuk menentukan tanggapan apa yang pantas. Hal ini sekali lagi berujung pada pemikiran, tindakan, dan ucapan yang pantas terhadap orang lain.
Ketiga latihan ini saling berdampingan dan memperkuat satu sama lain, itulah mengapa kita perlu menerapkannya secara bersamaan. 77
Saat kita sedang tidak bersama orang lain, ketiga latihan ini juga bagus diterapkan untuk diri kita sendiri juga:
Ketiganya mencegah kita melakukan tindakan yang merusak diri sendiri. Cita kita terpusat, maka kita dapat menyelesaikan apa pun yang kita ingin selesaikan. Kita menggunakan akal kita untuk membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak.
Maka dari itu, ketiganya merupakan asas paling mendasar yang bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari, baik untuk keadaan pribadi maupun saat berhubungan dengan orang lain. Jalan Lipat Delapan Ketika kita berlatih di dalam ketiga latihan itu, salah satu cara melakukannya adalah "jalan lipat delapan". Inilah delapan jenis laku untuk kita latih, yang akan membuat ketiga segi tadi berkembang. Untuk latihan sila kita, ada tiga laku:
Wicara yang benar – cara kita berkomunikasi Batasan-batasan tindakan yang benar – cara kita berperilaku Mata Pencaharian (penghidupan) yang benar – cara kita mencari nafkah
Untuk latihan daya pemusatan kita, juga ada tiga laku:
78
Upaya yang benar – untuk menyingkirkan pikiran merusak dari cita kita dan mengembangkan tataran cita yang nyaman untuk meditasi Kehati-hatian yang benar – untuk menjaga sasaran pemusatan dan dorongan kita Daya Pemusatan yang benar – untuk tetap memusat pada hal yang membangun.
Untuk latihan kesadaran pembeda kita, ada dua laku:
Pandangan yang benar – yang kita yakini sebagai kebenaran, atas dasar pembedaan yang benar antara yang benar dan yang tidak, atau yang merugikan atau yang bermanfaat Niat yang benar (pikiran pendorong yang benar) – tataran cita yang membangun yang dituju pandangan benar kita.
Dalam bentuk yang lebih terperinci, masing-masing dari kedelapan laku ini memiliki cara yang keliru dan yang benar dalam penerapannya. Tentunya kita buang yang salah, dan kita ambil yang benar. Wicara Cara kita berbicara dengan orang lain mencerminkan tataran cita kita sendiri. Cara kita bicara akan mempengaruhi perasaan orang lain tersebut dan cara mereka memandang dan memperlakukan kita dalam tanggapannya. Oleh sebab itu, kita perlu tahu mana cara bicara yang bermanfaat dan mana yang merugikan.
79
Wicara yang Salah Wicara yang salah adalah jenis wicara yang menyebabkan ketakbahagiaan dan masalah:
Berbohong – mengatakan apa pun yang tidak benar dan menipu orang lain. Jika kita dikenal sebagai orang yang suka berbohong atau menipu orang lain dalam hal perkataan kita, maka tak seorang pun akan yakin pada kita, percaya pada kita, atau bahkan mendengarkan perkataan kita. Ini menciptakan keadaan tidak bahagia. Menghasut – mengatakan hal-hal buruk tentang orang kepada teman atau pasangan mereka, untuk mencoba merusak hubungan mereka. Ini membuat orang bertanya-tanya tentang apa yang kita katakan tentang mereka di belakangnya, dan menghancurkan hubungan kita sendiri. Berbicara dengan kasar – berbicara dengan cara yang kejam, atau membentak dan mengumpati orang lain. Ketika kita melecehkan orang lain dengan perkataan kita, mereka akan mulai berbicara seperti itu juga kepada kita, dan kecuali mereka masokis, mereka tak ingin bersama dengan orang yang terusterusan membentak mereka. Obrolan kosong – bicara "bla bla bla bla" sepanjang waktu, menyela orang lain dan bicara tak bermakna, atau bergosip. Akibatnya adalah tak seorang pun menanggapi kita dengan serius, dan orang-orang merasa gerah ketika bersama kita. Kita membuang waktu kita, dan waktu orang lain juga.
Wicara yang Benar Wicara yang membangun adalah wicara yang membantu kita untuk menahan diri dari ke empat jenis wicara yang salah di atas. 80
Tingkat pertama sila adalah bahwa ketika kita merasa seperti ingin mengatakan sesuatu yang tidak benar, membentak orang, atau mengobrol kosong, kita mengenalinya sebagai tindakan yang merusak dan menyebabkan ketakbahagiaan, maka kita berusaha keras untuk tidak melakukannya. Ini sama sekali tidak mudah, karena Anda harus menahan diri Anda sendiri pada saat Anda merasa ingin melakukannya, sebelum Anda secara gandrung mengatakannya. Sama seperti menginginkan sepotong kue. Kadang kita punya kesempatan untuk mendapatkan potongan kedua, tapi sebelum desakan itu membuat kita mengambilnya, kita bisa berpikir, "Sekalipun aku mau, aku tidak perlu melakukannya. Aku tidak membutuhkan kue ini; cuma buat lebih gemuk saja, dan aku ingin mengurangi berat badanku." Inilah yang kita maksudkan mengenai sila. Ketika kita seperti ingin melakukan hal-hal itu, Shantidewa guru India kuno menasihati kita untuk diam seperti balok kayu. Aku merasa ingin membentak atau menyakiti orang dengan kata-kata, tapi aku sadar itu akan membuat kita berdua, aku dan kamu kesal, maka aku tidak mengatakannya. Aku hanya diam seperti balok kayu. Aku merasa ingin melontarkan lelucon atau memberi komentar konyol, tapi aku menyadari bahwa itu hanya obrolan kosong jadi aku tidak diam saja. Hal semacam ini maksudnya. Tingkat kedua sila adalah ketika Anda melakukan sesuatu yang membangun alih-alih yang merusak – maksudnya, berbicara secara membangun. Ini muncul dari menyadari bahwa melakukannya akan mendatangkan kebahagiaan, dan membuat
81
setiap keadaan lebih selaras. Yang perlu kita lakukan adalah berpikir dalam kerangka sebab dan akibat. Membudayakan wicara yang benar sebenarnya membutuhkan usaha teramat sadar dan keputusan yang kuat untuk berbicara secara benar, lembut, baik, pada saat yang tepat, dan dalam takaran yang tepat, dan hal yang berarti saja:
Kita seharusnya berupaya keras untuk tidak terus-terusan menyela orang atau menelepon atau mengirim pesan kepada mereka, khususnya tentang hal-hal sepele seperti "tadi pagi sarapan apa", atau bergosip-ria. Semua itu cuma obrolan tanpa makna yang mengganggu orang lain saja. Takaran yang tepat itu berarti, ketika berbicara dengan orang lain, kita tidak berkata terlalu banyak atau secara berlebihan mencoba meyakinkan orang tentang hal tertentu, apalagi jika mereka sudah sepakat dengan kita.
Tentu saja, kita perlu menggunakan daya pembeda. Contohnya, untuk perkara bicara jujur, jika ada orang mengenakan kaos atau baju jelek dan kita tahu ini akan menyakitinya, jangan blak-blakan bilang, "Wah, bajumu memang jelek betul." Kadang Anda perlu untuk berhati-hati, tapi tergantung pada orangnya juga. Adik perempuan saya baru-baru ini mengunjungi saya, dan waktu itu kami hendak pergi keluar dan dia mengenakan setelan blus. Blusnya sedikit kedodoran dan terlihat tidak pas; tapi karena dia adik saya, saya jadi dapat terang-terangan mengatakan kalau setelannya terlihat jelek. Namun ini sulit dilakukan dengan orang yang bukan keluarga Anda! Anda tidak akan mengatakan kepada
82
pacar baru Anda, "Blus yang kamu kenakan itu jelek. Pakai yang lain!" meski pun memang itu kenyataannya. Untuk bahasa yang kasar, kadang Anda perlu mengatakan sesuatu yang keras. Jika anak Anda sedang bermain dengan korek api atau semacamnya, maka Anda perlu berbicara dengan keras. Itu bukan dianggap sebagai wicara yang kasar, karena dorongan Anda bukanlah amarah. Jadi, doronganya itu yang sangat penting. Contoh-Contoh Lain dari Wicara yang Salah Kita bisa juga luaskan cara-cara bicara yang merusak ini untuk menyertakan tidak hanya yang kita tujukan kepada orang lain, tapi juga yang kita tujukan kepada diri sendiri. Cara-cara bicara yang merusak ini dapat kita pikirkan secara lebih luas lagi. Berbohong dapat juga mencakup berbohong kepada orang lain tentang perasaan kita atau niat kita terhadap mereka. Kita mungkin jadi sangat baik kepada seseorang, dan mengatakan kita mencintainya – bahkan membodohi diri sendiri untuk mempercayainya – padahal yang kita mau adalah uangnya saja atau hal lain. Dalam arti, ini muslihat. Tentu saja kita tidak lantas mengatakan kepada orang itu, "Aku sebenarnya tidak mencintaimu, aku hanya ingin uangmu," karena itu agak tidak patut. Namun kita perlu menelaah diri kita sendiri, apakah kita benar-benar jujur pada perasaan dan niat kita. Wicara menghasut bisa berupa mengatakan hal-hal menjengkelkan yang menyebabkan teman-teman kita sendiri meninggalkan kita. Ada orang selalu mengeluh atau terus-terusan bersikap negatif, dan itu membuat orang pergi menjauh. Jika kita 83
seperti itu, siapa yang mau bersama kita? Atau bicara tanpa henti sehingga orang lain tidak punya kesempatan sama sekali untuk bicara – ini membuat orang menjauhi kita. Kita semua tahu orangorang seperti itu, dan itu membuat kita enggan sering bertemu dengan mereka. Mengatakan hal-hal yang baik mengenai orang lain dan sebisa mungkin selalu positif itu bagus. Bahasa kasar muncul ketika kita melecehkan tidak hanya orang lain, tapi juga diri kita sendiri. Ketika kita bilang kepada orang lain bahwa mereka bodoh atau mengerikan, tentu saja itu kejam namanya. Sama kejamnya ketika itu kita tujukan pada diri sendiri. Hal itu tentu saja tidak membuat kita lebih bahagia, jadi sangatlah penting untuk bersikap baik terhadap diri sendiri dan dalam cara kita memperlakukan diri kita, dan ketika kita bicara kepada diri sendiri di dalam cita kita. Untuk obrolan kosong, tidak seharusnya kita berbicara tanpa pandang bulu tentang masalah pribadi kita, keraguan kita, kekhawatiran kita dan yang lainnya kepada orang lain. Ada hal-hal tertentu yang selayaknya atau seharusnya tidak dibagikan pada orang lain. Contohnya, jika seseorang curhat pada Anda bahwa mereka homoseksual atau sakit kanker, dan meminta Anda merahasiakannya, maka Anda seharusnya merahasiakannya. Mengkhianati kepercayaan orang biasanya bisa muncul lewat obrolan kosong. Wicara yang benar itu berarti berbicara dengan patut, pada waktu dan keadaan yang tepat. Kadang kita perlu berbicara dengan gaya resmi, dan kadang juga dengan gaya santai. Cara bicara kita mestinya membuat orang lain nyaman. Ketika Anda menjelaskan 84
sesuatu kepada seorang anak kecil, Anda perlu menjelaskannya dalam cara yang bisa mereka pahami, tapi ini berlaku pula bagi orang dewasa dan orang-orang dari budaya yang berbeda dan sebagainya. Batas-Batas Tindakan (Perilaku) Yang kedua dari jalan lipat delapan ini adalah mengenai batasanbatasan tindakan yang benar, dalam istilah teknisnya. Yang dimaksud di sini adalah batasan tertentu, seperti "Aku akan bertindak sampai batas ini, tapi tidak melampauinya." Perilaku yang Salah Melanggar batasan itu mengacu pada tiga jenis perilaku merusak:
Mencabut nyawa – membunuh makhluk hidup Mengambil hal yang tidak diberikan untuk kita – mengambil sesuatu yang bukan milik kita, mencuri Terlibat dalam perilaku seksual yang tidak pantas.
Membunuh Pada dasarnya membunuh berarti mencabut nyawa orang lain. Tidak hanya nyaawa manusia saja, tapi juga termasuk semua jenis binatang, ikan, serangga dan sebagainya. Saya pikir, untuk sebagian besar dari kita, berhenti berburu dan memancing tidaklah begitu sulit. Untuk beberapa orang, tidak membunuh serangga mungkin lebih susah. Ada banyak cara untuk mendekati hal ini tanpa melibatkan perihal kehidupan sebelumnya dan kehidupan berikutnya, dengan berpikir, "Lalat ini adalah ibuku 85
di kehidupan sebelumnya." Penekanan utamanya: kalau ada sesuatu yang menjengkelkan kita, jangan sampai "membunuh sesuatu itu" muncul sebagai tanggapan awal dan naluriah kita. Bila demikian, akan terbina kebiasaan untuk menghancurkan apa pun yang tidak kita suka dengan cara kekerasan, dan kebiasaan ini dapat melampaui sekadar tindakan membunuh lalat yang berdengung di depan wajah kita. Alih-alih, kita perlu mencoba mencari cara-cara damai dalam menghadapi sesuatu yang mengganggu. Jadi, untuk lalat atau nyamuk, ketika mereka hinggap di lantai atau di dinding, kita bisa ambil gelas dan menutupnya, lalu sisipkan kertas di bawahnya, dan melepaskannya di luar. Di berbagai macam keadaan, kita bisa mencari cara yang lebih damai dan tanpa kekerasan dalam menghadapi sesuatu yang tidak kita suka. Kalau Anda tinggal di India, seperti saya dulu, Anda belajar untuk hidup dengan serangga. Tidak ada cara untuk menghindar dari segala serangga di India. Saya pernah membayangkan sebuah iklan promosi untuk para agen perjalanan: "Jika Anda suka serangga, Anda akan menyukai India!" Ketika saya pertama kali pindah ke India, saya sama sekali tidak suka serangga, tapi saya penggemar berat fiksi ilmiah. Saya membayangkan bahwa jika saya melakukan perjalanan ke planet yang jauh dan rupa kehidupan di sana berbentuk serangga seperti ini, akan sangat mengerikan jadinya jika, setiap kali bertemu mereka, lalu yang ingin saya lakukan adalah mengencetnya! Jika Anda mulai menempatkan diri Anda sebagai serangga – mereka hanya melakukan kegiatan mereka saja – Anda kemudian mulai menghormatinya sebagai sebuah rupa kehidupan. 86
Tentu saja, ada juga serangga yang berbahaya, seperti halnya ada manusia yang berbahaya, dan kadang memang dianjurkan untuk menggunakan langkah-langkah keras untuk mengendalikan mereka. Namun sebaiknya gunakan cara damai terlebih dahulu, baik itu saat dalam hal pertikaian manusia atau rumah yang dipenuhi oleh semut atau kecoa. Tapi pertimbangkan tentang kasus belalang yang memakan tanaman Anda. Mengatur dorongan yang tepat untuk hal ini akan membutuhkan upaya besar. Contohnya adalah kehidupan Buddha yang sebelumnya, ketika ia bekerja sebagai pengatur arah sebuah kapal. Ada seseorang di kapal yang sedang merencanakan untuk membunuh setiap orang di kapal, dan Buddha melihat bahwa tidak ada cara untuk mencegah pembantaian ini secara damai; satusatunya jalan keluar untuk mencegah itu hanyalah dengan membunuh si calon pembantai itu sendiri. Maka Buddha membunuh orang ini, tapi dengan dorongan dan welas asih – untuk menyelamatkan nyawa para penumpang, dan untuk mencegah orang itu membangun karma negatif dalam jumlah yang besar – bukan dengan dorongan kemarahan atau rasa takut. Tapi Buddha juga mengakui bahwa dia telah membunuh orang, dan terlepas dari dorongannya, itu tetap saja tindakan yang merusak, maka dia memutuskan, "Aku bersedia menerima ganjaran karma dari tindakan ini pada diriku sendiri agar orang lain selamat nyawanya." Jadi, jika memang perlu membunuh pemangsa seperti belalang untuk menyelamatkan tanaman – bukan atas dasar kemarahan, atau rasa takut, atau karena ingin dapat banyak uang dari penjualan tanaman – tapi atas dasar welas asih, maka ganjarannya akan jauh lebih ringan dibanding melakukan atas dasar 87
kemarahan. Akan tetapi, seperti Buddha, tetaplah penting untuk mengakui bahwa ini adalah tindakan negatif dan menerima apa pun ganjaran yang akan muncul dari tindakan itu. Mencuri Kebanyakan orang lebih melekat pada nyawanya daripada hartabenda miliknya, tapi tetap saja, jika Anda mengambil milik orang lain, itu menyebabkan ketakbahagiaan di kedua pihak. Si pencuri, khususnya, akan selalu diliputi rasa cemas "Apakah aku akan tertangkap?" Sekarang, yang ingin kita lakukan adalah menghindari masalah bagi diri sendiri. Tentu saja, jika Anda membunuh seekor ikan atau serangga, itu jadi masalah bagi mereka. Tapi kita juga bermasalah karena jika kita sangat terganggu dengan serangga, maka kita akan selalu cemas tentang nyamuk-nyamuk yang menyerbu tempat kita, lalu bangun di tengah malam untuk memburu mereka. Itu merupakan tataran cita yang resah. Jika kita menggunakan cara damai untuk menghadapi masalah ini, cita kita jadi lebih santai. Sama halnya dengan mencuri, ketika Anda mengendap-endap, maka Anda jadi khawatir kalau-kalau Anda akan tertangkap. Ini berdasarkan pada hasrat yang sangat kuat, di mana Anda juga tidak cukup sabar untuk melakukan upaya yang diperlukan untuk mendapatkan sesuatu, jadi Anda mencurinya saja dari orang lain. Ada juga contoh membunuh dan mencuri dengan dorongan yang berlawanan:
88
Anda dapat membunuh atas dasar kemelekatan dan keserakahan, mungkin karena Anda benar-benar ingin makan seekor hewan atau ikan. Kalau memang tidak ada hal lain untuk dimakan, bisa saja begitu, tapi kalau masih ada pilihan, maka itu lain lagi ceritanya. Anda dapat mencuri karena marah, karena Anda ingin menyakiti seseorang, maka Anda mengambil sesuatu yang menjadi milik mereka.
Perilaku Seksual yang Tidak Pantas Ini pokok bahasan yang sulit karena, bagi sebagian besar dari kita, dorongan kuat di balik perilaku seksual kita adalah hasrat mendamba. Agama Buddha menjelaskan pedoman-pedoman dasar untuk hal yang perlu dihindari, yakni:
Menyebabkan celaka dengan perilaku seksual kita, termasuk memperkosa dan menganiaya orang. Memaksa, meskipun dengan pasangan kita sendiri, untuk melakukan hubungan seksual saat mereka tidak menginginkannya. Berhubungan seksual dengan pasangan orang lain, atau jika kita memiliki pasangan, melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Tidak peduli seberapa berhati-hati kita, selalu saja ujungnya masalah, bukan begitu?
Ada banyak unsur lain pada perilaku seksual yang tidak pantas, tapi gagasan di balik itu adalah bahwa kita jangan bertindak seperti binatang. Binatang akan "menunggangi" binatang lain kapan pun ia mau, tidak peduli siapa pun di dekatnya. Mereka sepenuhnya dikendalikan oleh hasrat dan birahi – inilah yang ingin kita hindari. 89
Maka, yang ingin kita lakukan adalah menetapkan batas-batas tertentu dan memutuskan untuk membatasi perilaku seksual kita di dalam batasan itu, tidak melampauinya. Batas-batas yang kita buat itu dapat berhubungan dengan kekerapan, jenis tindakan seksual, posisi seksual, atau apa pun itu. Intinya adalah menetapkan panduan-panduan tertentu tentang cara kita menjalani kehidupan seksual kita, dan tidak hanya melakukan apa pun yang kita inginkan, kapan pun, di mana pun, dan dengan siapa pun, seperti seekor binatang. Ini benar-benar sangat penting dalam sila. Sila adalah menahan diri untuk tidak melampaui batasan-batasan yang sudah kita tetapkan, karena kita tahu bahwa ini hanya berdasarkan nafsu, dan nafsu merupakan sebab bagi banyak masalah. Madat dan Miras Mengonsumsi madat dan miras tidak disertakan di dalam daftar tindakan merusak ini, tetapi meninggalkan kebiasaan mengonsumsinya merupakan hal penting demi perkembangan kita. Kita ingin mengembangkan daya pemusatan, kita ingin mengembangkan sila. Jadi, kalau kita mabuk, Anda akan kehilangan sila, bukan begitu? Kita pakai obat bius atau menghisap ganja dan kita kehilangan semua daya pemusatan. Cita kita dipenuhi kembara batin dan khayalan. Jika kita lihat pengaruh narkoba, atau alkohol, dan membandingkannya dengan hal yang ingin kita capai dalam kerangka perkembangan pribadi kita, kita melihat bahwa teler atau mabuk itu bertentangan dengannya. Ia mencipta rintangan yang muncul tidak hanya selama saat mabuk saja, tetapi sisanya masih ada – seperti pening setelah mabuk! Jadi 90
sudah pasti baik adanya jika kita membatasi diri dalam hal ini, dan lebih baik lagi kalau kita sama sekali berhenti menggunakannya. Batas-Batas Tindakan yang Benar (Perilaku yang Benar) Satu segi dari sila adalah menahan diri dari jenis-jenis perilaku yang merusak. Segi lainnya adalah memasuki cara-cara perilaku yang membangun, dan inilah yang disebut "perilaku yang benar". Karenanya, alih-alih mencabut nyawa orang lain, Anda giat membantu melestarikan kehidupan. Jika diterapkan dalam lingkung yang lebih luas, tindakan ini dapat berupa upaya untuk tidak menghancurkan lingkungan, tetapi merawatnya, agar hewan dan ikan dapat hidup dengan bebas. Memberi makan babi peliharaan Anda, misalnya, bukan supaya gemuk dan Anda bisa memakannya, tapi agar mereka berkembang biak – itu namanya melestarikan kehidupan. Memberi makan anjing Anda – itu juga satu cara membantu melestarikan kehidupan! Termasuk juga merawat orang sakit, membantu siapa saja yang terluka. Pikirkan lalat atau lebah yang mendengung di kamar Anda. Ia sebenarnya tidak ingin berada di sana. Binatang itu ingin keluar, tapi tidak tahu caranya, jadi jika Anda membunuhnya hanya karena kesalahan kecil masuk ke kamar Anda, rasa-rasanya itu kurang pantas. Anda bisa membantunya keluar dengan membukakan jendela dan berkata "shh" – itu membantu melestarikan kehidupan. Dan lebah ingin hidup! Jika seekor burung terbang masuk ke kamar Anda tanpa sengaja, Anda tidak akan mengambil senapan untuk menembaknya, bukan? Antara lebah dan burung perbedaannya hanyalah ukuran, kenampakan, dan suara yang dihasilkan. Jika 91
Anda tidak ingin lalat-lalat masuk ke kamar Anda – jangan buka jendela, atau pasang tabir! Untuk tindakan tidak mencuri, yang benar adalah melindungi milik orang lain. Jika seseorang meminjamkan sesuatu pada Anda, Anda mencoba sebaik mungkin untuk tidak merusaknya. Anda mencoba membantu orang lain untuk memiliki hal-hal baik. Alih-alih perilaku seksual yang tidak pantas, termasuk di sini bukan hanya hubungan seksual dengan orang lain tapi juga hubungan seksual dengan diri Anda sendiri, hubungan seksual kita harus baik dan lembut, tidak seperti anjing yang sedang berahi. Contoh-Contoh Lain Perilaku yang Benar dan Salah Jika kita lingkung pembahasan kita ini kita perpanjang, di sini kita dapat melihat bahwa ada banyak unsur lain yang terlibat dalam tiga jenis perilaku ini. Contohnya, perpanjangan dari tidak membunuh adalah berhenti memperlakukan orang lain secara kasar. Termasuk di sini bukan hanya tidak hanya memukul orang, tapi juga tidak mempekerjakan orang secara berlebihan atau memaksa mereka terlalu keras untuk melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan bahaya fisik. Kita juga bisa menerapkannya pada diri sendiri – jangan sampai kita menganiaya diri kita dengan bekerja secara berlebihan, terlalu sedikit makan, atau kurang tidur. Perilaku kita ini tidak hanya yang arahnya kepada orang lain, tetapi juga kepada diri kita sendiri. Untuk hal mencuri, bukan hanya mengambil milik orang lain, tapi juga menggunakan barang orang lain tanpa minta ijin terlebih 92
dahulu. Seperti menggunakan telepon orang dan melakukan panggilan telepon yang mahal, atau mengambil makanan orang lain di kulkas tanpa izin. Menyelinap masuk ke bioskop tanpa membayar, atau – dan banyak yang tidak suka mendengar yang ini – tidak membayar pajak! Ini mencuri namanya. Kita bisa saja berpendapat, "Yah, saya tidak mau bayar pajak karena digunakan untuk mendanai perang dan beli senjata." Tapi kenyataannya uang pajak juga digunakan untuk membuat jalan, membangun rumah sakit, sekolah, dan sebagainya. Kalau itu semua mau tersedia, maka Anda harus membayar pajak. Lalu bagaimana dengan mengunduh perangkat lunak atau video tanpa lisensi atau bajakan, apakah itu termasuk mencuri? Saya pikir iya, khususnya jika sudah secara terang dikatakan, "Jangan mengunduh tanpa membayar," maka sudah jelas. Tidak ada cara untuk mengatakan bahwa ini tidak mencuri. Bagaimanapun juga, asasnya adalah menetapkan batasan. Ada rentangnya – yang berkisar dari melakukan sesuatu yang Anda inginkan tanpa memikirkan ganjarannya, dan tidak melakukan apa pun sama sekali. Untuk perkara mencuri, kita bisa bilang, "Saya tidak akan merampok bank atau mencuri di toko, tapi mengunduh tanpa membayar? Saya benar-benar tidak bisa menghindarinya sekarang." Setidaknya ada batasnya, tapi tetap penting untuk mengakui bahwa mengunduh tanpa membayar itu mencuri. Ada juga perbedaan besar antara mengunduh sesuatu ketika Anda punya uang untuk membayar dan ketika tidak. Lebih serius lagi jadinya ketika Anda mampu bayar tapi tidak mau, hanya ingin dapat gratisan atau karena bandel saja. Ini hal yang mesti dihindari.
93
Di titik ini, kita bisa berkaca – kita bisa berhenti menghabiskan uang untuk hal-hal sepele. Berjudi, misalnya, adalah penyalah-gunaan harta benda kita. Kita juga seharusnya tidak pelit terhadap diri sendiri, ketika kita memang mampu. Anda punya uang untuk makan makanan yang baik dan membeli makanan yang sehat, tapi Anda pelit, jadi Anda beli makanan termurah dengan mutu terburuk. Ini hampir sama saja dengan mencuri dari diri sendiri! Mengenai perilaku seksual yang tidak pantas, perluasannya bisa sampai bukan hanya memaksakan diri pada orang lain atau pada pasangan mereka, tapi juga berhenti melibatkan diri ke dalam tindakan seksual yang dapat membahayakan kesehatan jasmani dan rohani kita. Contohnya, Anda bertemu seseorang yang sangat menarik, dan di satu sisi Anda ingin berhubungan badan dengannya. Tapi masalahnya adalah orang itu punya banyak sekali masalah perasaan dan kesulitan-kesulitan yang lain, dan Anda menyadari bahwa jika Anda terlibat dengan orang ini, akan ada masalah ke depannya. Maka untuk kesehatan Anda sendiri, Anda tidak melakukannya. Kita seharusnya tidak digerakkan oleh birahi kita hanya karena seseorang itu cantik! Yang Perlu Dilakukan Saat Melampaui Batas-Batas yang Kita Buat Tak terhindarkan, dari waktu ke waktu, kita melampaui batas-batas yang kita tetapkan untuk perilaku kita, jadi agama Buddha menawarkan seperangkat lawan untuk mengatasi keadaan itu:
Mengakui hal yang telah Anda lakukan. Jujur pada diri Anda sendiri. 94
Menyesali tindakan tersebut, berharap Anda tidak melakukannya. Ini berbeda dari rasa bersalah, ketika pada dasarnya Anda menganggap diri Anda sendiri sebagai orang jahat dan terpaku pada anggapan itu. Buat keputusan untuk tidak mengulangi tindakan itu. Tegaskan kembali dorongan Anda, bahwa Anda tidak ingin melampaui batas karena itu hanya akan membawa ketakbahagiaan dan menyebabkan permasalahan. Terapkan lawannya. Contohnya, jika Anda membentak orang, Anda bisa secara jujur meminta maaf kepada mereka, jelaskan bahwa suasana hati Anda sedang keruh atau alasan lainnya.
Mata Penchaharian (Penghidupan) Ini berkaitan dengan cara kita mencari nafkah, sebagian berbudi pekerti, sebagian tidak. Penghidupan yang Salah Maksudnya di sini adalah tidak mencari nafkah dari semacam industri yang merugikan, atau dapat yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Contohnya:
Pabrik pembuatan atau bisnis yang berhubungan dengan senjata Penyembelihan hewan, berburu, penangkapan ikan, dan pemusnahan serangga Membuat, menjual, atau menyajikan alkohol atau narkoba Mengelola tempat perjudian Menerbitkan atau menyalurkan pornografi. 95
Jenis-jenis mata pencaharian tersebut merugikan orang lain atau, seperti halnya pornografi, menyebabkan birahi dan hasrat meninggi. Sekalipun kita terlibat dalam jenis pekerjaan yang biasa, penting untuk bersikap jujur, dan menghindari ketidakjujuran:
Memasang harga terlalu tinggi kepada pelanggan, untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dari mereka Penggelapan, mengambil uang perusahaan untuk Anda gunakan sendiri Pemerasan, mengancam orang lain untuk mendapatkan uang dari mereka Penyuapan Memanfaatkan orang lain Iklan palsu Memalsukan makanan atau produk untuk mendapatkan uang lebih.
Ada banyak cara tidak jujur lainnya dalam mencari nafkah! Kita perlu menerapkan sila untuk menghindari jenis mata pencaharian ini. Penghidupan yang Benar Kita seharusnya bertujuan agar cara kita mencari nafkah itu jujur dan bisa membawa keuntungan bagi masyarakat, seperti:
Kedokteran Pekerja sosial Perdagangan yang adil Membuat atau menjual produk dan jasa yang memberi manfaat kepada orang lain. 96
Apa pun yang punya sumbangsih bagi masyarakat yang sehat dan kesejahteraan orang lain itu bagus. Di atas kesemuanya ini, kita seharusnya:
Tidak menipu orang lain, tidak memasang harga yang lebih dari yang seharusnya Menetapkan harga yang adil, supaya kita tetap mendapat keuntungan, tapi yang sewajarnya Bayar pekerja Anda dengan baik, supaya kita tidak memperlakukan mereka seperti sapi perahan saja.
Satu pokok yang sering ditanyakan adalah tentang kebutuhan. Suatu ketika saya menjadi penerjemah bagi seorang guru Tibet di Australia. Di sana ada banyak sekali domba, dan seseorang berkata, "Di kota yang saya tinggali, satu-satunya pekerjaan yang ada adalah berternak domba, yang digunakan untuk mendapatkan wol dan dagingnya. Apa yang harus saya lakukan? Saya tidak bisa begitu saja pindah ke kota lain dan mencoba mendapatkan pekerjaan yang lain." Lama Tibet itu lalu menjawab, "Yang terutama adalah jujur pada pekerjaan Anda dan tidak menipu orang lain, dan Anda tidak menganiaya domba Anda, melainkan memperlakukannya dengan sangat baik, memberinya makan dengan baik, dan merawat mereka dengan baik." Jadi, penekanan utamanya ada pada sikap baik dan jujur. Ringkasan Saat kita menilik nasihat yang kita dapat dari jalan lipat delapan, kita seharusnya tidak menganggapnya sebagai suatu aturan yang melarang-larang kita, tapi sebagai batasan yang membebaskan 97
kita dari tindakan negatif, yang hanya berujung pada celaka bagi diri sendiri dan orang lain.
98
Sesi Tiga: Kewaspadaan, Daya Pemusatan, Pandangan, dan Niat yang Benar Ulasan Kita melanjutkan pembahasan tentang tiga latihan ini dalam lingkung bagaimana mereka dapat membantu kita dalam kehidupan sehari-hari, dan ini mengharuskan kita mengamalkan apa yang disebut jalan lipat-delapan. Tiga latihan ini adalah dalam:
tertib-diri yang berbudi pekerti, daya pemusatan, dan kesadaran pembeda. Kita menggunakan atau mencoba menerapkan wicara yang benar, tindakan atau perilaku yang benar, dan cara yang benar dalam mencari nafkah untuk mengembangkan tertib-diri yang berbudi pekerti. Dan sekarang kita mulai pembahasan kita tentang latihan daya pemusatan, dan tiga hal yang diperlukan di sini adalah upaya yang benar, kewaspadaan yang benar, dan daya pemusatan yang benar. Kita telah melihat bahwa upaya yang benar adalah menempatkan upaya untuk:
Berusaha menghindari cara-cara berpikir yang gelisah dan merusak. Berusaha untuk membersihkan diri kita dari kebiasaan-kebiasaan buruk, kekurangan-kekurangan kita dalam kerangka berbagai mutu yang kita miliki, mutu apapun yang mungkin kita miliki – kemalasan, sikap mementingkan diri sendiri, dsb. 99
Mengembangkan mutu-mutu baik, seperti lebih sabar dan lebih murah hati – apapun mutu baik yang tidak kita miliki dan yang perlu kita coba untuk kembangkan – atau jika kita sudah memiliki mereka, untuk lebih mengembangkan mereka. Berusaha untuk membersihkan diri kita dari penghalangpenghalang daya pemusatan. Berusaha untuk membersihkan diri kita dari penghalangpenghalang daya pemusatan – ini cakupannya bisa sangat luas. Kita telah membahas lima jenis penghalang daya pemusatan yang disebutkan dalam naskah-naskah, tapi ada banyak langkah di luar itu yang kita bisa ambil. Saya mengambil contoh ketika kita sedang bekerja, kita bisa mematikan telepon seluler kita atau memutuskan bahwa tiap hari kita hanya akan melihat pesan atau email kita, halhal semacam itu, pada waktu-waktu tertentu saja, tidak membiarkannya selalu terlihat, sehingga kita mampu memusatkan cita dan fokus pada apapun yang kita perlu lakukan. Seperti dokter atau profesor memiliki jam kantor: Anda tidak bisa datang sewaktuwaktu. Ada jam-jam tertentu ketika mereka ada. Sama halnya, kita pun bisa melakukan itu dengan diri kita. Seperti dokter, jika ada keadaan darurat maka tentu saja Anda dapat menghubungi mereka. Tapi selain itu, tetapkan jam-jam atau waktu-waktu tertentu yang kita sediakan untuk jejaring sosial kita atau apapun, dan mematuhi itu dengan ketat. Maka ini akan membantu kita untuk mengembangkan daya pemusatan. Sangatlah menarik jika kita meninjau perkembangan sosial. Pada masa-masa sebelum ini penghalang utama bagi daya pemusatan berkaitan dengan tataran-tataran batin kita – pengembaraan mental, melamun, hal-hal semacam ini. Tapi sekarang ada semakin banyak lagi. Ada begitu banyak penghalang lain datang 100
dari luar, dari pesan teks dan Facebook dan Twitter dan email, segala macam hal ini. Jadi kita benar-benar perlu mencurahkan banyak upaya untuk tidak kewalahan dengan itu. Untuk melakukan itu, kita perlu mengenali sifat-sifat yang merusak dari media-media ini, dan salah satu yang paling merusak adalah bahwa rentang perhatian kita semakin pendek dan semakin pendek dan semakin pendek. Pada Twitter ada jumlah huruf yang terbatas, penyusuran tanpa henti pada pesan-pesan Facebook, dan sebagainya – segala sesuatu sangat cepat, sehingga Anda tidak memasuki apaapa; ia selalu berubah. Itu membangun kebiasaan buruk yang merusak daya pemusatan karena Anda tidak menetap dengan perhatian pada sesuatu; ia terus-menerus berubah. Ini adalah sesuatu yang perlu diwaspadai. Kewaspadaan yang Benar Baik. Sekarang, ciri berikutnya, unsur berikutnya, dari jalan lipatdelapan yang berkaitan dengan daya pemusatan adalah kewaspadaan yang benar:
Kewaspadaan (dran-pa) pada dasarnya adalah lem batin. Ketika Anda memusatkan cita, Anda berpegang pada suatu sasaran. Hal ini mencegah Anda terlepas. Ini disertai dengan kesiagaan (shes-bzhin). Kesiagaan adalah mengetahui jika perhatian Anda mengembara atau jika Anda menjadi majal dan mengantuk. Dan kemudian Anda menggunakan perhatian (yid-la byed-pa) – bagaimana Anda meninjau sasaran itu, bagaimana Anda melihat sasaran itu. Dan yang terlibat di sini adalah bagaimana kita memberi perhatian pada tubuh kita, rasa-rasa kita, cita kita, unsur-unsur batin kita – dengan kata lain, bagaimana kita meninjau mereka atau 101
bagaimana kita memandang mereka? – dan kemudian kewaspadaan yang berpegang pada itu. Jadi yang kita ingin hindari adalah berpegang dan tidak melepaskan cara-cara yang keliru dalam memandang tubuh dan rasa-rasa kita dan seterusnya. Ketika kita tidak melepasnya, ini menyebabkan kita terganggu dan tidak mampu memusatkan cita. Yah, itu sedikit niskala, bukan? Jadi kita perlu menjelaskan itu. Meninjau Tubuh Kita Tubuh kita – ketika kita berbicara tentang tubuh, kita berbicara, secara umum, tentang tubuh kita atau berbagai sensasi ragawi atau unsur-unsur dari tubuh kita. Dan pemikiran yang keliru tentang tubuh kita adalah bahwa tubuh kita pada dasarnya bisa nyaman atau bahwa tubuh kita pada dasarnya bersih dan indah. Kita menghabiskan seluruh waktu kita dan kita amat sangat terganggu dengan kekhawatiran tentang bagaimana penampilan kita, misalnya – menghabiskan satu jam dengan rambut dan riasan Anda dan bagaimana Anda berpakaian, dan sebagainya. Ini adalah gangguan yang sangat besar. Tentu saja kita perlu untuk tetap bersih dan terlihat rapi, tapi ketika Anda pergi ke sebuah keekstreman dan berpikir bahwa penampilan tubuh merupakan sumber kesenangan dan harus mengagumkan, seperti itu – selalu berusaha memikat orang lain dengan penampilan tubuh Anda – Anda tidak memusat pada sesuatu yang lebih bermakna, bukan? Dan jika kita melihat tubuh kita: jika Anda duduk, Anda menjadi tidak nyaman, dan kemudian Anda harus bergerak. Anda berbaring, dan posisi ini tidak nyaman, posisi itu tidak nyaman. Ada masalah, bukan? Kita sakit. Kita menjadi tua. Nah, tentu saja Anda perlu merawat tubuh Anda dan memastikan bahwa Anda sehat, 102
cukup olah raga, dan sebagainya, tapi terlalu fokus pada itu – bahwa ini akan menjadi sumber kesenangan yang kekal – adalah masalah. Jadi kewaspadaan keliru yang kita ingin singkirkan ini, kewaspadaan yang salah ini, adalah berpegan dan tidak melepaskan gagasan bahwa gaya rambut Anda adalah hal paling penting, bahwa Anda warna pakaian Anda harus cocok, dan bahwa segala sesuatu harus teratur, dan sebagainya – bahwa ini begitu penting dan ini adalah sumber kebahagiaan bagi Anda. Berhentilah berpegang pada itu. Dan kewaspadaan yang benar adalah bahwa "Itu bukan sumbernya. Itu hanya masalah, dan itu akan membuang-buang waktuku dan mencegahku untuk memusatkan cita pada sesuatu yang lebih bermakna." Atau "Aku harus selalu bersih. Aku harus selalu membersihkan tanganku setiap waktu." Seandainya Anda menyentuh sesuatu yang kotor, lalu kenapa? Anda bisa mencuci tangan Anda. Jadi jangan menjadi fanatik kebersihan seperti ini dan takut menyentuh sesuatu yang kotor. Saya tidak akan membahas lebih jauh pada hal ini, tapi ada banyak hal yang kita pasti tidak ingin menempel di tangan kita (gunakan daya khayal Anda). Tapi kalau tangan Anda sudah terkena kotoran itu, lalu kenapa? Anda bisa mencuci tangan Anda. Tidak perlu khawatir: "Oooh!" Meninjau Rasa-Rasa Anda Kemudian yang berikutnya adalah mengenai rasa. Dan di sini kita berbicara tentang rasa-rasa ketidakbahagiaan atau kebahagiaan, dan ini pada dasarnya berhubungan dengan sumber duka, sumber masalah. Anda tahu, ketika kita tidak bahagia – istilah yang digunakan di sini adalah dahaga (Skt.trishna), seolah-olah Anda 103
benar-benar dahaga bahwa "Aku harus menyingkirkan ketidakbahagiaan ini." Dan jika kita memiliki sedikit kebahagiaan, ini seperti jika Anda benar-benar dahaga dan Anda minum seteguk air – Anda merasa sedikit bahagia, tapi Anda dahaga dan Anda harus minum lebih banyak. Inilah sumber masalah utamanya. Ketika kita menganggap ketidakbahagiaan ini sebagai hal paling mengerikan di dunia dan "Aku harus menyingkirkannya dengan segala cara," itu menjadikan masalah dengan daya pemusatan. Bagaimana itu menjadikan masalah dengan daya pemusatan? Kita duduk dan "Aku sedikit tidak nyaman" atau "Suasana hatiku sedang tidak baik" atau "Aku tidak bahagia" – Yah, seperti yang sudah saya jelaskan ketika saya di sini, tidak ada yang istimewa. Lalu kenapa? Anda hanya perlu melanjutkan pekerjaan Anda atau apapun yang sedang Anda lakukan. "Kepalaku sakit" atau "Suasana hatiku sedang kurang bagus" atau apapun. Lalu kenapa? Jangan berpegang pada itu sebagai "Ini adalah hal yang paling mengerikan" dan kemudian Anda khawatir tentang itu – "Bagaimana aku menyingkirkannya? Ini sungguh mengerikan" – dan mengeluh pada diri sendiri dalam benak Anda dan mengeluh pada siapapun di dekat Anda. Itu menjadikan hambatan serius bagi daya pemusatan untuk melakukan apapun yang sedang Anda kerjakan – ketika Anda sekadar berbincang-bincang dengan seseorang, apalagi sedang bekerja. Atau jika kita merasa baik-baik saja, kita berada dalam suasana hati yang baik, dan sebagainya, jangan terganggu dengan berpegang pada "Oh, ini sungguh luar biasa. Aku ingin lebih. Aku tidak ingin ini berlalu." Itu dapat terjadi ketika bermeditasi dan Anda merasa sangat nyaman – Anda terganggu dengan berpikir tentang betapa indahnya meditasi Anda. Atau ketika Anda sedang 104
bersama seseorang dan Anda merasa sangat nyaman atau jika Anda makan sesuatu dan Anda menikmatinya. Dengan kewaspadaan yang salah adalah berpegang pada "Ini sungguh luar biasa," dan Anda menjadikan itu hal besar, dan Anda terganggu oleh itu. Nikmatilah hal itu seperti apa adanya, dan jangan menjadikan itu sesuatu yang istimewa. Itu bukan hal besar. Meninjau Cita Kita Kemudian selanjutnya adalah bagaimana kita meninjau cita kita. Jika kita berpegang dan tidak melepaskan gagasan bahwa cita kita pada dasarnya penuh dengan kemarahan atau sikap mementingkan diri sendiri atau "Aku bodoh" atau "Aku malas" dan kita berpegang pada fakta bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya salah dan cacat dengan cita kita, sekali lagi kita tidak akan mampu memusatkan cita. Kita selalu berpikir dalam kerangka diri kita sendiri dan "Oh, aku tidak cukup bagus" – "Aku tidak ini. Aku tidak itu" – "Aku tidak bisa memahami." Anda bahkan tidak mencoba. Jika kita berpegang pada gagasan bahwa "Aku bingung dan aku tidak paham," itu sia-sia, bukan? Sedangkan – kewaspadaan yang benar – jika Anda berpegang pada fakta bahwa "Ya, untuk sementara aku mungkin bingung, untuk sementara aku mungkin tidak mampu memahami sesuatu, tapi tidak berarti itu adalah sifat dasar citaku, bahwa aku bodoh dan seterusnya." Anda hanya perlu menggunakan daya pemusatan untuk mencoba mengatasi itu. Meninjau Unsur-Unsur Batin Kita Dan kemudian yang keempat adalah dalam kerangka unsur-unsur batin kita, seperti kepandaian, kebaikan, kesabaran, dan sebagainya. Ini adalah tidak melepaskan – dengan lem batin – 105
gagasan bahwa "Inilah keadaan yang aku dan semua orang harus menerimanya" dan "Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah atau menumbuhkannya." Itu adalah kewaspadaan yang salah. Sebaliknya, kewaspadaan yang benar adalah bahwa semua unsur itu bisa dikembangkan, mereka tidak beku pada tingkat tertentu, dan kemudian kita bisa menggunakan mereka untuk menumbuhkan, dalam lingkung ini, daya pemusatan. Memegang Kendali atas Diri Kita Sendiri Jika kita menguraikan diri kita sendiri, benar-benar sangat aneh bagaimana kita menghadapi suasana hati yang buruk atau begaimana kita menghadapi keadaan tertekan. Kita memiliki kewaspadaan yang salah. Apa itu maksudnya? Kita hanya berpegang pada itu, kita tidak melepaskannya, dan kemudian kita terjebak di dalamnya, dalam suasana hati yang buruk atau tekanan ini. Atau rasa bersalah. Rasa bersalah juga merupakan kewaspadaan yang salah. Kita membuat kesalahan. Kita melakukan sesuatu yang salah. Yah, tak apa-apa. Semua orang membuat kesalahan. Kita manusia. Tetapi dengan kewaspadaan yang salah kita berpegang pada itu, dan kita tidak melepaskannya. "Aku sungguh buruk. Apa yang kulakukan sunggug buruk," dan kemudian Anda menggenggamnya, dan Anda tidak ingin melepaskannya. Anda menyiksa diri Anda sendiri atas betapa buruknya Anda. Anda harus melepaskannya. Jadi kewaspadaan yang benar adalah bahwa "Suasana hati bisa berubah. Mereka berasal dari banyak sebab dan keadaan, dan mereka akan berubah melalui banyak sebab dan keadaan. Tidak ada yang tetap selamanya." Salah satu nasihat yang amat sangat berguna yang kita temukan dalam ajaran-ajaran Buddha adalah pada dasarnya untuk 106
memegang kendali atas diri Anda sendiri – kedengarannya sedikit dualistik, tapi bagaimanapun juga – lakukan saja. Ini sama seperti bagaimana kita bangun di pagi hari: Anda berbaring di tempat tidur. Anda sebenarnya tidak ingin bangun. Ini sangat nyaman, dan Anda merasa sedikit lesu. Yah, kendalikan diri Anda dan bangunlah. Itulah bagaimana Anda bangun, bukan? Kita memiliki kemampuan untuk melakukan itu – kalau tidak, kita tidak akan pernah bangun di pagi hari – jadi sama halnya ketika kita berada dalam suasana hati buruk atau merasa tidak bersemangat. Kendalikan diri Anda dan – "Ayolah!" – jangan menyerah; majulah dengan apa yang Anda perlu lakukan. Unsur-Unsur Lain dari Kewaspadaan Kewaspadaan amat sangat penting dalam lingkung yang lebih umum. Ini mencegah kita melupakan sesuatu. Jadi jika ada sesuatu yang kita perlu lakukan, kita harus memiliki kewaspadaan yang benar yang membantu kita untuk memusatkan cita dan melakukannya; kalau tidak maka Anda lupa. Anda mungkin ingat – kewaspadaan berhubungan dengan mengingat – Anda mungkin ingat bahwa acara televisi kesukaan Anda diputar malam ini. Jadi Anda berpegang pada sesuatu yang sebenarnya tidak begitu penting, dan kemudian Anda lupa bahwa Anda perlu membeli bahan-bahan makanan untuk memberi makan keluarga Anda. Anda berpikir "Oh, aku lupa pergi ke toko. Aku lupa membeli ini. Aku lupa kalau aku juga harus membeli susu." Jadi Anda tidak berpegang pada hal-hal yang Anda butuhkan untuk berpegang, tapi Anda berpegang pada hal-hal yang sepenuhnya sepele. "Aku ingin pulang agar bisa menonton pertandingan sepak bola." Dan juga jika kita mengikuti suatu latihan, ada kewaspadaan yang benar untuk berpegang pada itu. Maksud saya, itu bisa jenis latihan 107
apapun. Seperti misalnya jika kita berolahraga, berpeganglah pada melakukan olah raga setiap hari. Atau jika Anda sedang berdiet, ingat bahwa Anda sedang berdiet dan tidak mengambil potongan kue itu ketika kue itu ditawarkan pada Anda. Kewaspadaan yang benar. Yang sangat membantu adalah penggambaran binatang (ini banyak digunakan dalam latihan Buddha). Jadi kita sedang bekerja atau kita sedang bermeditasi atau kita sedang melakukan sesuatu yang membangun, membantu seseorang, dan kemudian seseorang berkata "Oh, ada kue." Dan kemudian Anda menjadi seperti anak anjing, dan Anda melompat-lompat naik dan turun – "Ooh! Ooh! Kue!" – seperti itu, sangat bersemangat. Jadi jika Anda berpikir dalam kerangka "Apakah aku bertindak seperti anak anjing yang sangat bersemangat karena mendapatkan tulang atau mendapatkan perlakuan istimewa?" maka ini konyol. Kewaspadaan – berpeganglah pada apa yang sedang kita lakukan dan jangan terganggu oleh semua hal itu. Jadi ini berkaitan dengan bagaimana kita memandang tubuh kita dan rasa-rasa kita (kebahagiaan, ketidakbahagiaan), dsb. Ini adalah pokok yang luas. Pertanyaan dan Jawaban tentang Kewaspadaan Baik, adakah pertanyaan tentang ini? Peserta: Saya mendapati lebih mudah menjaga kewaspadaan ketika Anda bersama orang lain daripada menjaga kewaspadaan ketika Anda berhubungan dengan orang-orang dekat – dengan kerabat Anda, misalnya – dan kemudian mungkin sangat sulit untuk waspada dengan budi pekerti Anda. Mungkin Anda memiliki nasihat tentang apa yang perlu dilakukan jika Anda tahu Anda akan 108
berhubungan dengan seseorang yang membuat kewaspadaan Anda lebih lemah. Alex: Nasihat umum dalam keadaan seperti itu adalah menetapkan niat yang sangat kuat di awal. Jadi, ketika Anda hendak bertemu kerabat Anda atau menghabiskan waktu bersama mereka, niat yang kuat itu adalah "Aku akan berusaha menjaga kesabaranku. Aku akan berusaha mengingat bahwa mereka telah sangat baik padaku. Mereka dekat denganku. Caraku memperlakukan mereka akan memengaruhi rasa mereka," hal-hal seperti ini. Niat yang kuat untuk memulai seperti itu sangatlah penting. Dan untuk memulai, ingatkan diri kita bahwa mereka adalah manusia. Dengan kata lain, jangan hanya mengenali mereka dengan peran ibu, ayah, kakak, adik – siapapun kerabat yang Anda kunjungi atau yang mengunjungi Anda. Karena jika kita melihat mereka dan berpegang pada – kewaspadaan ini – berpegang pada mereka hanya sebagai peran tertentu (ibu, ayah, dll), maka kita cenderung menanggapi itu dengan semua penggambaran kita tentang apa itu ibu, ayah, dan semua sejarah yang kita miliki – banyak harapan dan banyak kekecewaan. Tapi cobalah berhubungan dengan mereka sebagai manusia kepada manusia lain. Dan jika mereka tidak menyadari itu dan mulai memperlakukan kita seolah-olah kita masih berusia dua belas tahun, jangan jatuh ke dalam pola itu kemudian bertindak seperti anak dua belas tahun. Bagaimana caranya? Dengan mengingat bahwa mereka adalah manusia, dan jangan memainkan permainan itu (perlu dua orang untuk berdansa). Kakak perempuan saya mengunjungi saya selama seminggu sebelum saya datang ke sini. Ia pergi tidur di malam hari cukup 109
awal, dan kemudian ia akan menasihati saya, seolah-olah ia ibu saya, "Tidurlah sekarang," hal semacam ini. Jika saya menanggapi seperti anak dua belas tahun dan berkata "Tidak mau, ini terlalu dini. Aku tidak mau tidur. Aku ingin tetap terjaga. Mengapa kamu menyuruhku tidur?" maka itu hanya memainkan permainan yang sama, bukan? Itu sama sekali tidak berguna. Dan kemudian saya hanya menjadi buncah. Jadi apa yang harus saya ingatkan pada diri saya sendiri adalah bahwa ia memberi nasihat ini kepada saya karena ia peduli pada saya. Ia tidak melakukan ini karena ia ingin membuat saya marah. Ia pikir hal ini baik untuk saya. Jadi Anda cobalah memiliki pandangan yang lebih makul terhadap apa yang mereka kerjakan daripada menganggap kakak perempuan Anda adalah ibu dan Anda adalah anak dua belas tahun atau delapan tahun. Jadi niat untuk berusaha tetap waspada tentang hal ini sebelum mereka datang, dan kemudian ketika mereka bersama kita, menegaskan kembali dorongan kita (lakukan itu sebelumnya, tapi juga sepanjang kita bersama mereka). Dorongan berarti:
Tujuan. Apa tujuan yang kita ingin miliki? Tujuan itu adalah interaksi yang menyenangkan dengan orang ini. Mereka peduli kepada saya, saya peduli kepada mereka. Kita memiliki sejarah panjang bersama, sehingga tujuan kita adalah untuk menjalani waktu yang menyenangkan bersama-sama. Dan kemudian perasaan yang menyertai itu. Perasaan itu adalah kepedulian tentang orang ini sebagai manusia. Cara lain yang sangat berguna untuk melihat itu, bukannya "Ini adalah cobaan yang mengerikan. Aku harus berurusan dengan kerabatku," adalah melihatnya sebagai tantangan dan kesempatan untuk tumbuh – seperti Anda bermain permainan komputer – "Ini 110
adalah tantangan. Bisakah aku melakukan ini?" Sehingga ini menjadi menyenangkan. Ini adalah tantangan. "Bisakah aku melalui makan malam bersama orang tuaku tanpa kehilangan kesabaran?" Dan kemudian orang tua Anda mulai mengomeli Anda, seperti seringkali para orang tua lakukan: "Mengapa kamu tidak menikah? Mengapa kamu tidak mencari pekerjaan yang lebih baik? Mengapa kamu belum punya anak?" hal semacam ini. (Hal pertama yang dikatakan oleh kakak perempuah saya ketika ia melihat saya adalah "Kamu perlu potong rambut.") Jadi kenalilah bahwa mereka mengatakan itu karena mereka peduli, dan katakan, "Ya, terima kasih untuk perhatianmu." Sadarilah latar belakang munculnya semua itu. Latar belakang munculnya itu, bagi sebagian besar dari mereka, adalah bahwa semua teman mereka bertanya "Bagaimana kabar anakmu?"dan mereka harus berinteraksi secara sosial dengan teman-teman mereka. Jadi itulah di balik perhatian mereka. Mereka tidak menanyakan ini pada Anda – "Mengapa kamu belum menikah?" – karena kedengkian. Mereka harus berhubungan dengan temanteman mereka. Dan selain itu mereka peduli tentang kebahagiaan Anda. Maka akuilah itu. Itu adalah langkah pertama. Mengakuinya. Katakan ini pada mereka. "Aku tahu kamu mengalami tekanan ini dan teman-temanmu dan seterusnya, dan aku tahu bahwa kamu peduli padaku. Aku menghargai itu." Tenang. Dan Anda menjelaskan – "Ya, itu tidak mudah," atau semacamnya – tapi tetap tenang. Tapi saya pikir sekadar pengakuan bahwa mereka memiliki kesulitan karena ini sangatlah membantu bagi mereka. Ini menunjukkan bahwa Anda menghargai mereka dan Anda memiliki kepedulian terhadap mereka. Itu menjadi jauh lebih manusiawi, 111
hubungan manusia-dengan-manusia, hubungan sebaya-dengansebaya, bukan anak dua belas tahun dengan orang tua. Kewaspadaan ini – apa yang kita pegang dan tidak kita lepas? Seringkali apa yang kita pegang tidaklah produktif sama sekali. Seringkali itu adalah sejarah lama "Ya, kamu melakukan ini sepuluh tahun yang lalu" dan "Kamu mengatakan ini tiga puluh tahun yang lalu," dan kita berpegang pada itu, dan kita tidak memberi kesempatan pada orang lain. Dan ini menghalangi – lingkungnya di sini – ini menghalangi daya pemusatan kita pada keadaan mereka sekarang, bukan? Kita berpegang pada purbasangka-purbasangka – kewaspadaan, lem – kita berpegang pada purbasangka bahwa "Ini akan mengerikan. Orang tuaku datang" atau "Aku harus makan malam dengan orang tuaku, dan ini akan mengerikan." Dengan purbasangka yang kita telah tetapkan bahwa itu akan mengerikan, kita menjadi sangat tegang, bukan? Jadi lepaskan kewaspadaan yang salah itu. Dan yang Anda akan terapkan – kewaspadaan yang benar – adalah bahwa "Di sinilah kesempatan untuk melihat bagaimana keadaan mereka. Dan aku akan menanggapi dalam kerangka keadaan itu seperti apa adanya, tanpa purbasangka." Ada lagi tentang kewaspadaan? Ini adalah pokok yang sangat penting. Peserta: Anda menyebutkan bahwa jenis kewaspadaan yang salah ini adalah ketika, misalnya, kita bisa waspada tentang sepak bola di TV tapi tidak waspada tentang pergi membeli bahan-bahan makanan dan melakukan hal-hal dasar. Tapi ketika kita membaca tentang kisah hidup guru-guru besar di masa lalu, kita dapat melihat contoh dari para guru ini – makhluk-makhluk berkesadaran 112
sangat tinggi dan sangat terlatih – menjadi hampir tidak bisa melakukan apapun kecuali laku. Mereka tidak mampu melakukan semua hal dasar ini. Lalu bagaimana kita menemukan keseimbangan yang halus ini? Alex: Saya tinggal di India selama dua puluh sembilan tahun bersama guru-guru besar Tibet. Saya menghabiskan banyak waktu bersama mereka. Dan jelas ada perbedaan-perbedaan perorangan, tapi saya mendapati bahwa guru-guru yang berkembang sangat tinggi itu sepenuhnya mampu berurusan dengan hal-hal praktis juga. Semuanya tergantung pada kepribadian masing-masing orang. Anda tidak bisa mengatakan bahwa latihan itu sendiri menjadikan Anda tidak mampu berhadapan dengan kehidupan praktis. Pada umumnya, sebagian orang sangat tidak praktis, dan sebagian lain sangat praktis. Jadi iya, saya telah bertemu beberapa guru besar yang sangat tidak praktis, tapi sebagian besar dari mereka yang berinteraksi dengan saya secara pribadi sangatlah membumi, sangat membumi. Geshe Wangyal adalah geshe agung kaum Mongol Kalmykia, orang pertama yang bersama saya di Amerika. Beliau memiliki sejumlah murid yang tinggal bersamanya di Amerika, di New Jersey, dan beliau tidak hanya mengajarkan Dharma Buddha kepada mereka tetapi juga mengajar mereka cara menjahit, cara membuat pakaian mereka, cara memasak, cara membangun rumah. Beliau luar biasa praktis. Atau Serkong Rinpoche, guru utama saya, beliau masyhur dan terkenal mampu memecahkan dan menghadapi masalah-masalah yang sangat berseluk-beluk – misalnya di sebuah desa atau dalam sebuah keluarga atau hal-hal seperti itu – sehingga orang-orang selalu datang kepadanya untuk meminta nasihat-nasihat praktis. Dalai Lama sendiri sangat praktis 113
dalam kerangka jadwalnya, bagaimana berurusan dengan banyak hal, dan sebagainya. Tentu Anda bisa membaca riwayat guru-guru besar yang hanya berdiam di gua-gua, hanya bermeditasi sepanjang waktu, selalu melihat segala jenis sosok – para daka dan dakini dan dewa-dewi – dan hal-hal seperti itu. Sangat tidak praktis, di satu sisi. Tetapi saya tidak akan mengatakan kebanyakan mereka seperti itu, sama sekali tidak. Peserta: Ketika kita berbicara tentang menghentikan niat-niat yang merusak, kita mungkin berpikir tentang menekan rasa-rasa kita dan menjadi gelisah tentang itu, tentang menekan rasa-rasa kita. Lalu bagaimana kita menghadapi itu dalam cara yang lebih seimbang? Alex: Pendekatannya bukan bahwa ketika Anda marah, Anda berusaha menekannya dan memendamnya. Yang kita coba lakukan adalah menyingkirkan sebab kemarahan itu sehingga tidak ada kemarahan lagi. Ini sangat berbeda. Memang benar bahwa tingkat pertama latihan ini, laku pertamanya, adalah pengendalian diri. Itulah inti dari tertib-diri yang berbudi pekerti, pengendalian diri. Jadi misalnya saya marah dan ingin membentak Anda. Saya akan memberikan contoh yang bagus. Anda punya anak kecil berumur dua tahun, dan Anda memintanya untuk membawakan segelas air. Ia membawakannya kepada Anda, dan ia menumpahkannya, dan Anda marah: "Grrr, kamu menumpahkan airnya di karpet (atau kamu menumpahkannya di komputer atau apapun, di kertasku)." Jadi Anda marah, dan Anda ingin membentak anak Anda atau bahkan memukulnya. Sekarang ada dua jalur yang berbeda. Yang pertama 114
perlu Anda lakukan adalah melatih pengendalian diri dan tidak memukul atau membentak anak Anda. Nah, berdasarkan pengendalian diri itu, Anda dapat:
Menekan dan memendam kemarahan itu dan menjadi benarbenar kesal dan biasanya sangat tidak senang dengan anak itu. Atau Anda menguraikan dan berpikir "Yah, sebenarnya kemalasanku yang menyebabkan ini karena aku tidak beranjak dan mengambil sendiri segelas air itu. Dan apa yang kuharapkan ketika aku menyuruh anak dua tahun untuk membawakan segelas air? Anak dua tahun menumpahkan benda-benda. Mereka terpeleset. Mereka tidak berhati-hati. Dan jika aku membentak atau memukul anakku, ia akan menangis – itu akan menjadi keributan besar – dan itu akan menjadi lebih buruk." Jadi, tidak sekadar menekan dan memendam kemarahan itu, kita dapat melarutkan kemarahan itu karena kita melihat sebenarnya tidak ada alasan untuk marah. Dan kemudian kita bisa dengan tenang berkata kepada anak itu "Lebih berhati-hatilah. Lihat apa yang terjadi," dan seterusnya, tanpa menjadikan itu keributan yang mengerikan (anak itu akan menangis dan sebagainya). Ada lagi? Peserta: Adakah saran praktis tentang melatih kewaspadaan ini? Sangat sulit untuk menjaga kewaspadaan pada hal-hal yang berguna ini, dan kita selalu kehilangan itu. Jadi adakah latihanlatihan praktis untuk itu? Alex: Latihan praktis untuk memelihara kewaspadaan adalah, seperti yang sudah saya katakan:
Niat. Niat yang kuat untuk berusaha mengingat. 115
Pembiasaan. Pembiasaan berarti seperti jika Anda membuat catatan-catatan atau Anda membaca ini di situs web saya, Anda membacanya lagi dan lagi. Bagaimana Anda mempelajari sesuatu di sekolah? Enam kali tujuh – bagaimana Anda mengingat itu? Anda mengulang lagi dan lagi sampai Anda mengingatnya. Ini adalah proses yang sama. Atau belajar bahasa. Ini adalah proses yang sama. Ini hanya melalui pengulangan, pembiasaan, dan, dalam kerangka berurusan dengan perilaku kita, niat ini. Kemudian Anda menggunakan kesiagaan – tanda peringatan – untuk menemukan ketika Anda kehilangan kewaspadaan Anda dan mengembalikan kewaspadaan itu – mendapatkan kembali pegangan batin itu. Semua ini berdasarkan pada apa yang saya sebut sikap peduli (bag-yod). Anda peduli tentang bagaimana Anda bertindak dan akibat dari perilaku Anda bagi orang lain dan diri Anda sendiri. Jika Anda tidak peduli – "Aku tidak peduli. Masa bodoh pada apa yang kulakukan atau caraku bertindak" – Anda tidak akan memelihara kewaspadaan; Anda tidak akan memiliki tata tertib. Dan mengapa saya peduli? Karena Anda manusia. Ayah dan ibu saya manusia. Mereka ingin bahagia. Mereka tidak ingin tidak bahagia. Cara saya berbicara kepada mereka, cara saya memperlakukan mereka, akan memengaruhi rasa mereka, seperti halnya cara mereka bertindak kepada saya dan memperlakukan saya memengaruhi perasaan saya. Maka saya peduli tentang mereka. Kemudian Anda dapat memelihara kewaspadaan Anda dan kesiagaan itu untuk menemukan jika Anda kehilangan kewaspadaan. Jadi inilah landasan utama dari seluruh latihan kepekaan yang telah saya kembangkan ini – yang ada di situs web saya – keseluruhan program untuk membantu kita mengatasi 116
ketidakpekaan tentang apa yang orang lain rasa, tentang akibat perilaku saya pada orang lain, atau kepekaan yang berlebih, khawatir terlalu banyak. Jika kita benar-benar peduli dalam cara yang seimbang – tidak terlalu banyak, tidak terlalu sedikit – tentang pengaruh perilaku kita pada orang lain dan diri kita sendiri dan tentang keadaan sebenarnya pada apa yang terjadi dengan orang lain dan apa yang terjadi dengan diri kita sendiri, maka kita akan memelihara kewaspadaan. Anda memiliki alasan untuk itu. Kita benar-benar harus memeriksa diri kita. Apakah dorongan kita? Dan jika dorongan itu adalah "Ya, aku ingin menjadi anak yang baik sehingga ibu dan ayah akan menyukaiku," itu sangat kekanakkanakan, bukan? Saya suka gambaran yang digunakan salah satu guru saya. "Aku hanya ingin menjadi anak yang baik, dan aku akan mendapatkan tepukan di kepala dan aku akan mengibasngibaskan ekorku" – Anda tahu, seperti anjing. Inikah yang Anda inginkan? Ini konyol. Jadi ada kebutuhan untuk memiliki alasan yang tepat untuk bersikap waspada, untuk memiliki tata tertib, dan sebagainya, dan saya pikir sikap peduli ini adalah dasarnya. Inilah cara yang dijelaskan oleh Shantidewa, guru besar Buddha India dari abad kedelapan. Daya Pemusatan yang Benar Baik, mari kita lanjutkan. Unsur ketiga yang kita terapkan di sini dari jalan lipat-delapan dalam kerangka daya pemusatan disebut daya pemusatan yang benar (jadi daya pemusatan itu sendiri). Ini adalah penempatan batin yang sebenarnya pada suatu sasaran. Jadi yang perlu kita mampu lakukan adalah mendapatkan pegangan sebenarnya pada hal apapun yang kita ingin pusatkan. Begitu kita mendapatkan pegangan itu, kewaspadaan menjaganya tetap di sana sehingga kita tidak kehilangan pegangan itu. Tapi untuk lebih 117
dulu mendapat pegangan pada sasaran itulah pokok inti dari daya pemusatan. Ketika kita mengalami kesalahan dengan itu – misalnya, jika kita sedang berbicara dengan seseorang – kita bahkan tidak menempatkan perhatian kita. Anda menggunakan perhatian supaya mendapatkan daya pemusatan, penempatan batin itu. Maka itu bisa berarti saya tidak peduli. Saya tidak tertarik pada apa yang Anda katakan, sehingga saya bahkan sebenarnya tidak mendengarkan; saya tidak memusatkan cita pada apa yang Anda katakan. Atau saya terlalu sibuk. Atau yang sangat sering terjadi dewasa ini dibanding di masa lalu adalah kita membagi perhatian, jadi kita tidak memusatkan cita pada sesuatu secara penuh. Jika Anda melihat berita di televisi – saya tidak tahu apakah Anda memiliki ini di sini (mungkin ada) – Anda melihat orang di tengah layar televisi, atau pada layar komputer Anda, membacakan berita, tapi kemudian di bawahnya ada tulisan yang menampilkan berita lain, dan kemudian mungkin di sudut layar Anda melihat umpan Facebook atau hal lain ditampilkan, dan Anda tidak memberi perhatian atau daya pemusatan penuh pada salah satunya. Jadi meskipun kita dapat mengatakan "Ya, aku bisa melakukan banyak hal sekaligus," tak seorangpun mampu – kecuali Anda seorang Buddha – menempatkan 100% daya pemusatan pada semua hal karena Anda bisa melakukan banyak hal sekaligus. Penempatan batin kita ada pada telepon seluler kita ketika seseorang mencoba berbicara dengan kita. Itu adalah penempatan batin yang salah karena mereka menanyakan sesuatu pada kita dan kita bahkan tidak menaruh perhatian. Kita terganggu, kita 118
terlalu sibuk – "Oh, aku terlalu sibuk" – sehingga kita bahkan tidak memberi perhatian dan memusatkan cita, memiliki penempatan batin, pada apa yang orang lain lakukan atau katakan atau kapan mereka menginginkan suatu interaksi atau tanggapan dari kita. Dan kemudian hal lain yang semakin dan semakin sering terjadi belakangan ini adalah bahkan jika kita memiliki penempatan batin pada sesuatu, sangat sulit untuk mempertahankannya. Kita terbiasa pada hal-hal yang berubah dengan sangat cepat dan melihat satu hal setelah hal lain setelah hal lain, sehingga kita menjadi bosan, dan sulit untuk menjaga perhatian kita dalam rentang waktu yang panjang. Jadi jenis daya pemusatan ini – hanya selama beberapa saat pada ini dan beberapa saat pada itu dan beberapa saat pada itu – adalah penghalang. Itulah daya pemusatan yang salah. Jika kita ingin bisa memusatkan cita secara tepat, kita harus mampu memusatkan cita selama waktu yang diperlukan, tidak menjadi bosan dan beralih pada hal lain karena kita tidak tertarik lagi. Anda lihat, masalahnya adalah kita ingin dihibur. Itu kembali pada kewaspadaan yang salah dengan berpikir bahwa kesenangan sesaat yang kita dapatkan dari dihibur akan memberi kepuasan, tapi kita haus untuk mendapatkan lebih dan lebih dan lebih. Mengapa kita harus dihibur? Para ilmuwan sosial telah menemukan bahwa semakin banyak kemungkinan pada apa yang Anda dapat lakukan, apa yang Anda bisa lihat – dan internet menawarkan kemungkinan tanpa batas kepada kita – Anda akan semakin bosan dan semakin tegang untuk berusaha menemukan sesuatu yang menghibur. Anda melihat sesuatu dan Anda berpikir "Bagus juga, tapi mungkin hal lain lebih menghibur," lalu Anda pergi dan Anda tidak fokus dan memusatkan cita pada apapun. 119
Jadi meskipun sulit dilakukan, ini sangat berguna untuk mencoba menyederhanakan hidup Anda – tidak memiliki begitu banyak hal pada waktu yang sama – dan ketika daya pemusatan Anda terus berkembang, Anda akan mampu memperluas jangkauan pada halhal yang bisa Anda pikirkan dan hadapi. Jika Anda memiliki daya pemusatan dan itu adalah daya pemusatan yang bagus, maka Anda bisa memusatkan cita padaini, dan kemudian Anda bisa memusatkan cita pada itu dan kemudian memusatkan cita pada itu – tapi hanya satu hal pada satu waktu tanpa terganggu. Jika Anda memikirkan sebuah contoh, contoh itu adalah seorang dokter. Seorang dokter menangani pasien satu demi satu. Dokter itu perlu memusatkan cita pada seorang pasien selama jangka waktu tertentu ketika ia bersama pasien itu dan tidak berpikir tentang pasien berikutnya dan pasien sebelumnya. Jadi meskipun seorang dokter bisa menemui banyak pasien dalam satu hari, ia sepenuhnya memusatkan cita pada satu hal pada satu waktu. Ini jauh lebih baik bagi daya pemusatan. Saya harus mengatakan bahwa ini sangat menantang. Karena saya tahu dalam kasus saya sendiri ketika saya menghadapi banyak sekali tugas yang berbeda-beda dengan mengelola situs web ini dan berurusan dengan semua bahasa yang berbeda-beda dan sebagainya, sulit untuk tetap memusat pada satu hal; begitu banyak hal lain datang pada waktu yang sama. Jadi ini adalah tantangan besar, untuk tetap memusat pada satu hal dan tidak terganggu dengan memikirkan hal lain yang perlu dilakukan, namun tetap waspada dan tidak lupa bahwa ada hal-hal lain yang perlu dilakukan. Dan siapapun yang bekerja dalam bisnis yang berseluk-beluk mengalami hal yang sama. 120
Baik. Mari kita lanjutkan agar kita bisa memuat semua pokok pembahasan dalam sesi kita ini. Tapi sekadar ucapan penutup tentang mengembangkan daya pemusatan yang benar: Kita menemukan dalam ajaran-ajaran Buddha bahwa ada tahap-tahap yang jelas untuk mengembangkan daya pemusatan yang lebih baik dan lebih baik, dan saya pikir itu dapat dianggap sebagai bagian dari sains Buddha – bagaimana cara memiliki daya pemusatan yang lebih baik dan semakin baik? Latihan dalam Kesadaran Pembeda Sekarang, kesadaran pembeda untuk membedakan antara apa yang benar dan apa yang salah, apa yang berguna dan apa yang berbahaya. Untuk ini kita memiliki dua hal terakhir dari jalan lipatdelapan:
Pandangan yang benar (yan-dag-pa'i lta-ba). Dan niat yang benar atau pikiran pendorong (yan-dag-pa'i rtogpa). Pandangan yang benar berhubungan dengan apa yang kita yakini sebagai kebenaran berdasar pada membedakan secara tepat antara apa yang benar dan apa yang salah, apa yang berguna dan apa yang berbahaya. Pikiran pendorong atau niat yang benar adalah tataran cita yang membangun yang dituju. Pandangan yang Salah Begitulah tadi pandangan yang benar. Jadi kita bisa memiliki kesadaran pembeda yang benar maupun yang keliru (kita berbicara tentang kemampuan membedakan apa yang berguna dan apa yang berbahaya):
121
Kita bisa membedakan secara tepat dan meyakini itu sebagai kebenaran. Atau kita bisa membedakan secara keliru dan meyakini itu sebagai kebenaran. Jadi jenis pandangan yang salah adalah ketika kita membuat pembedaan yang keliru dan meyakininya, dan jenis pandangan yang benar adalah ketika kita membuat pembedaan yang tepat dan meyakininya sebagai kebenaran. Pandangan yang salah akan, misalnya, menegaskan dan meyakini bahwa tindakan kita tidak memiliki sisi budi pekerti tentang sebagian bersifat merusak dan sebagian bersifat membangun dan meyakini bahwa mereka tidak membawa hasil dalam kerangka apa yang kita alami. Ini ditandai dengan mentalitas yang dimiliki banyak orang, mentalitas "apapun." "Itu tidak masalah. Tidak ada yang jadi masalah. Apapun. Jika aku melakukan ini atau aku tidak melakukan ini, itu tidak masalah. Apapun." Ini adalah pertimbangan yang keliru, bahwa itu tidak masalah. Adalah masalah apakah Anda merokok atau Anda tidak Merokok. "Yah, apapun. Itu tidak masalah." Itu masalah. Jika Anda Merokok, itu akan memiliki akibat negatif dalam kerangka kesehatan Anda. Jika Anda tidak Merokok, itu akan mencegahnya, mudah-mudahan. Atau meyakini bahwa tidak mungkin kita dapat memperbaiki diri dan mengatasi kekurangan-kekurangan kita, dan jadi mengapa repot-repot? Itu menjadi pembedaan yang salah, berpikir bahwa tidak ada yang bisa Anda lakukan untuk mengubah keadaan Anda. Benar? Selalu ada sesuatu yang dapat kita lakukan. Segala sesuatu tidaklah tetap, beku dalam beton.
122
Atau meyakini bahwa tak ada gunanya mencoba bersikap baik kepada orang lain atau membantu orang lain, jadi kita semestinya berusaha memanfaatkan semua orang dan mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin, dan pembedaan yang salah bahwa itu akan membawa kebahagiaan. Itu tidak membawa kebahagiaan. Itu membawa perpecahan, kecemburuan, kekhawatiran bahwa orang lain mencuri barang-barang kita, dan sebagainya. Ada begitu banyak jenis pembedaan yang salah. Ini bisa berhubungan dengan duka dan sebab-sebabnya, misalnya. Sebagai contoh, anak kita berlaku buruk di sekolah atau di tempat kerja, atau anak kita tidak mau menemui kita – ada yang salah dengan anak kita, baik ia anak kecil maupun anak dewasa. Pembedaan yang salah akan berpikir bahwa "Itu semua karena aku. Ini salahku sebagai orang tua." Ini adalah pembedaan yang salah tentang hubungan sebab-akibat. Hal-hal tidak muncul atau terjadi hanya karena satu sebab. Hal-hal terjadi karena perpaduan banyak sebab dan keadaan, tidak hanya satu. Kita mungkin memiliki andil, tapi kita bukan satu-satunya sebab dari masalah itu. Dan kadang-kadang bahkan bukan kita penyebabnya – ini sepenuhnya keliru. Seperti saya berpikir tentang contoh seseorang yang sangat buncah: orang-orang pergi ke pertandingan sepak bola dan tim mereka kalah, dan orang ini yakin bahwa satu-satunya alasan tim mereka kalah adalah karena mereka datang ke pertandingan sepak bola itu, sehingga mereka membawa kesialan: "Timku kalah karena salahku." Ini konyol. Ini adalah pembedaan yang keliru tentang hubungan sebab-akibat.
123
Pandangan yang Benar Jadi pembedaan yang benar amat sangat penting, dan untuk itu kita perlu belajar tentang kenyataan, seperti kenyataan tentang hubungan sebab dan akibat – bahwa begitu banyak sebab dan keadaan yang memengaruhi apa yang terjadi. Seperti cuaca – begitu banyak hal yang memengaruhinya; tidak hanya satu atau dua hal. Jadi jangan salah memahami bahwa "Aku seperti Tuhan, dan aku harus melakukan satu hal dan itu akan mengubah segala sesuatu tentang anak saya atau mengubah segala sesuatu tentang keadaan pekerjaan saya." Bukan seperti ini bagaimana segala sesuatunya terjadi. Itulah kesadaran pembeda yang benar. Itu membutuhkan akal sehat dan kecerdasan. Dan jelas kita perlu tetap fokus dengan pemusatan pada pembedaan yang tepat. Dan untuk mampu melakukan itu, Anda perlu tata tertib. Jadi segala hal ini berpadu. Niat yang Benar Yang terakhir adalah pikiran pendorong yang benar, yaitu mengacu pada niat yang benar. Jadi setelah membuat pembedaan yang benar antara apa yang berguna dan apa yang berbahaya, mana yang kenyataan dan mana yang bukan kenyataan, itu memengaruhi cara kita bertindak dan berbicara dan sikap kita tentang segala sesuatu. Ini dijelaskan sebagai pikiran pendorong yang salah (atau niat yang salah) dan pikiran pendorong yang benar. Mari kita lihat apa saja hal-hal tersebut. Hasrat Indrawi Pikiran pendorong yang salah akan berhubungan dengan hasrat indrawi, hasrat yang mendamba dan kemelekatan pada sasaransasaran indra – baik itu berupa melihat hal-hal yang cantik, musik, 124
makanan enak, pakaian bagus, hal-hal semacam ini – sebagai pikiran pendorong karena kita telah membuat pembedaan yang keliru bahwa ini adalah hal paling penting. Sedangkan jika kita telah membuat pembedaan yang benar, kita akan memiliki ketenangan. Ketenangan di sini berarti cita seimbang yang bebas dari kemelekatan pada sasaran-sasaran indra. Baik, satu contoh. Pembedaan yang keliru adalah "Apa yang kita santap untuk makan malam ini dan di mana kita makan adalah hal yang benar-benar penting. Jika kita memilih tempat dan menu makanan yang tepat, itu akan benar-benar membuatku bahagia.” Dan Anda khawatir tentang itu, sehingga Anda bahkan tidak bisa memusatkan cita karena Anda berpikir "Ke mana kita akan makan malam ini?" Sedangkan jika Anda melakukan pembedaan yang benar – "Ini tidak begitu penting. Ada banyak hal lain dalam hidup yang jauh lebih penting daripada apa yang kita santap untuk makan malam atau apa yang tayang di televisi malam ini" – maka Anda memiliki cita yang seimbang. "Itu tidak masalah. Itu tidak begitu penting. Kita akan menemukan suatu tempat dan kita akan makan." Anda memiliki ketenangan ini, keseimbangan. Kedengkian Kemudian niat atau pikiran pendorong yang salah kedua salah adalah kedengkian – keinginan untuk menyakiti seseorang, mencelakai mereka. Seperti seseorang membuat kesalahan – anak Anda menumpahkan air atau teh pada komputer Anda, dan Anda berkata, "Anak nakal. Kamu nakal" Itulah pembedaan yang salah dengan berpikir dalam kerangka baik dan buruk: "Kamu nakal, dan kamu harus dihukum."
125
Kita telah membuat pembedaan yang salah bahwa anak dua tahun akan bertindak secara sebagai bertanggung jawab seperti orang dewasa, yang adalah tak masuk akal. Ini jelas merupakan pembedaan yang salah. Anak dua tahun akan duduk tenang selama perjalanan kereta api dan berperilaku seperti orang dewasa? Ini mustahil. Tetapi jika kita membuat pembedaan yang salah itu, Anda benar-benar marah, dan Anda mungkin ingin memukul anak itu jika anak itu berlarian kesana-kemari di lorong gerbong dan membuat kebisingan di dalam kereta. Sedangkan jika kita membuat pembedaan yang benar, kita akan mengembangkan kebajikan. Itu adalah keinginan untuk membantu orang lain, untuk membawa kebahagiaan bagi mereka. Jadi Anda melakukan persiapan-persiapan. Jika Anda hendak menempuh perjalanan kereta yang lama dengan anak Anda, Anda membawa sesuatu untuk menghibur anak Anda – buku mewarnai atau sesuatu. Dan kebajikan ini meliputi atau mencakup kekuatan, pengampunan, dan kasih (keinginan agar orang lain bahagia). Jika mereka melakukan kesalahan dan mereka membuat kebisingan, jangan menyimpan dendam. Anda memaafkan, dan Anda memiliki kekuatan sehingga Anda bisa memelihara tataran cita ini. Kekejaman Dan yang ketiga, jenis ketiga dari pikiran pendorong yang salah, adalah cita yang mengandung kekejaman. Dan ada berbagai unsur di sini:
Sikap berandalan, menjadi berandal – ini adalah kekejaman tanpa welas asih sehingga kita ingin orang lain menderita dan tidak bahagia. Kita membedakan bahwa para pengikut tim sepak bola lainnya itu adalah orang-orang yang sangat mengerikan, dan kita bisa bertindak seperti berandal dan memulai perkelahian dengan 126
mereka dan menyakiti mereka karena mereka menyukai tim lain itu. Maksud saya, sungguh pembedaan yang bodoh. Jenis kedua dari kekejaman adalah kebencian-diri. Ini adalah kekejaman tanpa memiliki kasih-diri sehingga kita tidak ingin diri kita bahagia, jadi kita merusak kebahagiaan kita dan menyakiti diri kita sendiri. Kita membedakan secara keliru bahwa "Aku tidak baik. Aku orang yang buruk. Aku tidak layak untuk bahagia," dan kita, sedikit banyak, menghukum diri sendiri dengan memasuki hubungan yang tidak sehat, memiliki kebiasaan-kebiasaan yang tidak sehat. Orang-orang yang makan berlebih dan kemudian menjadi kegemukan – biasanya mereka penuh dengan kebencian-diri. Mereka memiliki sikap yang sangat negatif ini terhadap diri mereka sendiri. Dan meskipun mereka mungkin ingin mendapatkan pasangan, mereka merusak itu dengan makan terus dan terus dan terus sehingga mereka menjadi semakin dan semakin tidak menarik, dan mereka tidak pernah mendapatkan pasangan ketika berat mereka dua ratus atau tiga ratus kilogram. Dan kemudian yang terakhir adalah mengambil kesenangan yang jahat. Ini adalah secara kejam bersukacita ketika melihat atau mendengar tentang duka orang lain. Anda membedakan bahwa "Politisi ini jahat. Mereka adalah orang yang mengerikan," dan kemudian mereka kalah dalam pemilihan, dan kita bersukacita: "Ah, bagus. Mereka kalah." Atau misalnya sesuatu yang buruk terjadi pada orang yang kita tidak suka, dan "Ah, mereka pantas mendapatkannya." Jadi sekali lagi kita membedakan secara keliru bahwa orang-orang tertentu buruk, pantas untuk dihukum dan pantas mengalami hal-hal buruk, dan bahwa orang-orang lainnya, terutama diri kita sendiri, harus mendapati segala sesuatunya berjalan baik. 127
Jadi pikiran pendorong yang benar yang berdasar pada pembedaan yang tepat akan menjadi sikap tanpa kekerasan, sikap tanpa kekejaman. Ini bukan semata-mata tidak adanya kemarahan tapi ini adalah ketenangan. Anda tidak mudah buncah. Ini adalah tataran cita di mana Anda tidak ingin mencelakai orang lain yang menderita atau melukai atau mengganggu mereka. Kita membuat pembedaan yang tepat: "Sebagai manusia, ia ingin bahagia, tidak ingin tidak bahagia. Ia punya hak yang sama untuk bahagia dan tidak ingin tidak bahagia seperti halnya saya." Jadi berdasarkan pembedaan yang benar itu, kita tidak ingin mencelakakan mereka. Kita tidak bahagia ketika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. Kita tidak ingin menyakiti dan mengganggu mereka. Dan, selain itu, ini memiliki welas asih – keinginan agar mereka bebas dari duka dan sebab-sebabnya – karena kita melihat bahwa setiap orang memiliki duka, tak seorangpun ingin berduka, dan tak seorangpun pantas untuk berduka. Ketika orang berbuat kesalahan, ini karena mereka bingung – mereka keliru – ini bukan karena mereka buruk. Jadi dengan pembedaan yang benar dan pikiran pendorong yang benar, niat yang muncul dari itu akan dengan sendirinya membawa kita pada wicara yang benar, tindakan yang benar, kegiatan yang benar. Memadukan Delapan Unsur Jadi semua hal ini berpadu, delapan unsur atau jalan lipat-delapan ini: · Pandangan dan pikiran pendorong yang benar memberi landasan yang tepat bagi laku, dan kemudian kita mengamalkan wicara yang benar, tindakan yang benar, mata pencaharian yang benar. Kita membedakan apa yang benar dalam kerangka akibat perilaku kita dan keadaan orang lain, dan sebagainya. Niat kita adalah 128
membantu mereka, tidak mencelakakan mereka, dan oleh karena itu kita memiliki tata tertib untuk tidak berbicara atau bertindak kepada mereka atau mencoba berbisnis dengan mereka dalam cara yang merusak atau merugikan. Itu masuk akal. Itu sesuai.
Dan atas landasan terbaik itu, kita akan mencoba melakukan upaya untuk memperbaiki diri kita sendiri, untuk mengembangkan lebih banyak mutu-mutu baik, dan tidak terganggu oleh gagasangagasan aneh tentang tubuh dan rasa-rasa kita dan hal-hal semacamnya. Dan kemudian menggunakan daya pemusatan untuk tetap fokus pada sesuatu yang bermanfaat atau berupaya untuk mengembangkan mutu-mutu yang lebih baik, menggunakan daya pemusatan itu dengan kesadaran pembeda yang benar, dan kemudian niat yang muncul dari itu. Jadi semua itu saling berkaitan. Penerjemah: Maaf. Setelah mutu-mutu menguntungkan, saya kurang menyimak. Alex: Ketika Anda tetap fokus dan memusatkan cita pada upaya Anda untuk mengembangkan mutu-mutu yang lebih baik, tentu saja Anda dapat menerapkan itu dalam kesadaran pembeda yang tepat. Anda melihat lebih dalam apa yang menguntungkan, apa yang berbahaya, sehingga niat Anda untuk menjalankannya menjadi lebih kuat. Jadi meskipun orang dapat menyajikan tiga latihan dan jalan lipatdelapan ini secara berurutan – dan mereka bisa disajikan dalam beberapa urutan yang berbeda – tujuan utamanya adalah agar mampu menjalankan mereka semua secara serempak sebagai kesatuan yang padu. 129
Pertanyaan dan Jawaban Kita punya beberapa menit tersisa untuk beberapa pertanyaan terakhir. Peserta: Anda menyebutkan bahwa salah satu pandangan yang keliru adalah kita menganggap bahwa kita tidak bisa mengubah sesuatu. Alex: Tidak bisa mengubah diri kita sendiri. Peserta: Buddha berkata bahwa segala sesuatu saling bergantung. Ada banyak hal berbeda yang saling bergantung, dan kita tidak bisa memahami semuanya dari tata ini, dan mustahil satu keadaan muncul tanpa berkaitan dengan keadaan sebelumnya. Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa keadaan kita saat ini bergantung pada keadaan masa lalu kita, keadaan kita sebelumnya, dan ini juga akan menjadi sebab bagi keadaan masa depan kita. Lalu muncul pertanyaan: Adakah tempat dalam seluruh cara-kerja ini bagi kehendak bebas? Dan dapatkah ajaran Buddha memberi cara untuk menghadapi keadaan ini tanpa keluar dari cara-kerja ini? Alex: Ya, ada banyak sekali unsur yang terlibat di sini. Jika Anda berpikir tentang kehendak bebas, kehendak bebas berarti Anda bisa melakukan apapun tanpa sebab. Itu mustahil. Segala sesuatu muncul dari banyak sebab dan keadaan, itu benar, tapi itu tidak berarti kita tidak bisa berupaya (disebut kekuatan kehendak) untuk benar-benar melakukan sesuatu. Jika kita benar-benar melakukan upaya, tentu saja itu karena suatu sebab. Maksud saya, ada sebab-sebab untuk itu dan keadaan130
keadaan untuk itu, tetapi orang tidak boleh pergi ke keekstreman ini. Ada dua keekstreman:
Anda dapat melakukan sesuatu tanpa sebab apapun untuk itu; atau tidak ada yang dapat Anda lakukan, karena semuanya sudah ditakdirkan sebelumnya. Bukan seperti itu. Kita harus melihat bahwa dalam kerangka mengupayakan sesuatu dan membuat pilihan, dsb., tidak seperti: Inilah aku terpisah dari semua pilihan; dan inilah semua pilihan itu, seperti pada menu, dan aku akan memilih apa yang kulakukan. Cara pandang dualistik ini keliru. Maksud saya, bukan itu cara sesuatu mengada. Orang hanya melakukan hal-hal – Anda hanya melakukannya – dengan upaya. Dan di sana mungkin ada ilham dari guru-guru rohani, dari ajaran-ajaran, dari para Buddha, dsb., yang bisa membantu kita. Dan jika mereka membantu kita dan kita terilhami, itu juga karena sebab-sebab. Jadi masalahnya di sini dalam persoalan ini adalah berpikir pada dua jenis ini yaitu kehendak bebas atau takdir. Itu adalah pembedaan yang keliru. Itu berdasar pada fakta berpikir tentangaku yang benar-benar ada yang bisa memilih sesuatu secara bebas dari menu atau yang terjebak dalam kedudukan yang tetap dan tidak pernah bisa berubah. Semua cara menguraikan dalam dua jenis ini keliru karena tak satupun dari dua jenis itu ada. Tapi pertanyaan Anda adalah pertanyaan yang sangat mendalam dan bukan sesuatu yang bisa dijawab dengan sangat mudah atau yang dapat diberi jawaban senderhana dan "Oh ya, ya. Aku mengerti." Itu adalah sesuatu yang benar-benar membutuhkan pemikiran yang sangat mendalam, dan pemahaman, tentang hubungan sebab-akibat, yang disebut kehampaan sebab dan 131
akibat – bagaimana sebab dan akibat bekerja. Dan kunci untuk itu adalah tidak memandang hubungan sebab-akibat secara dualistik, bahwa ada aku yang terpisah dari seluruh proses ini yang bisa memilih atau dipaksa untuk melakukan sesuatu oleh sesuatu yang lain. Seolah-olah aku hanya pion, sebuah bidak catur, dan aku dimainkan oleh hal-hal penentu dari luar diriku. Itu sekali lagi sangat dualistik, dan itu menjadi masalah dalam persoalan ini, pandangan dualistik. Lalu, ada lagi Pertanyaan terakhir. Peserta: Anda menyebutkan bahwa Anda harus bersikap welas asih tidak hanya kepada orang lain tetapi juga kepada diri Anda sendiri – dan juga dalam kerangka pola makan yang baik, tidur yang cukup, dan olah raga yang cukup. Tapi kita membaca tentang pelaku-pelaku berkesadaran tinggi duduk dalam undur-diri, mereka memiliki tubuh yang kaku karena mereka duduk untuk waktu yang lama, dan mereka tidak makan dengan baik dan tidak cukup tidur. Lalu di mana hubungan antara dua hal ini? Sehingga sebagian murid mencoba melakukan hal yang sama seperti mereka. Alex: Nah, ini adalah kesalahan yang sangat besar. Ini diumpamakan sebagai rubah yang mencoba melompati tempat di mana singa melompat. Berpikir bahwa kita berada di tingkat yang sama dengan Milarepa atau salah satu dari para guru besar itu adalah kesombongan, bukan? Kita tidak di tingkat itu. Jadi berusaha meniru apa yang mereka lakukan – itu hanya akan merusak diri kita sendiri. Jika kita ingin mencapai tataran yang telah mereka capai, ya, secara makul, langkah demi langkah, berlatihlah untuk sampai ke tingkat itu. 132
Ketika Anda sampai pada tingkat pemusatan yang sangat tinggi, Anda mencapai apa yang dikenal sebagai tataran kelenturan dan kebugaran ragawi dan batin. Jadi Anda tidak kaku. Tubuh Anda tidak kaku. Dan mereka memiliki kendali atas tenaga dan sebagainya dari tubuh mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan tidur. Waktu tidur yang sangat sedikit tidaklah merusak bagi mereka. Dan mereka mampu makan amat sangat sedikit dan mendapatkan sejumlah besar tenaga. Sehingga tidak bahwa mereka menderita dan mengabaikan diri mereka sendiri. Sebagai bagian dari pencapaian tataran-tataran yang sangat tinggi ini, mereka memiliki kemampuan-kemampuan itu. Tapi kita tidak berada pada tingkat itu. Dan apa yang para guru besar itu tunjukkan pada orang lain seringkali merupakan suatu sandiwara sehingga orang-orang dapat berhubungan dengan mereka lebih baik. Saya akan menggunakan contoh guru saya sendiri. Serkong Rinpoche, yang sudah tua, sangat tua dan sangat kelebihan berat badan, seperti kebanyakan dari mereka. Saya bersama beliau selama sembilan tahun, hampir setiap hari, dan perlu membantunya ketika beliau bangun dan seterusnya. Tetapi suatu kali saya berada pada suatu upacara di mana semua biksu berkumpul bersama dan mereka membaca kitab-kitab dan setiap orang membaca bagian masingmasing secara nyaring (dan kitab-kitab ini memiliki halaman yang dapat dilepas; tidak terjilid menjadi satu). Yang Mulia Dalai Lama juga duduk di sana, Serkong Rinpoche duduk di sebelahnya, dan saya duduk di belakang. Yang Mulia membaca, dan angin bertiup, dan halaman yang tengah beliau baca jatuh di lantai. Dan Serkong Rinpoche – yang selalu harus saya bantu untuk bangun – melompat seperti masih berusia dua puluh tahun, melompat dan 133
menangkap lembaran kertas itu dan memberikannya kepada Dalai Lama. Jadi jelas bahwa itu hanyalah sebuah sandiwara bahwa ia butuh bantuan untuk bangun. Dia jelas mampu bangun sendiri. Beliau selalu tidur di kamar seorang diri. Tapi suatu kali ketika saya bepergian dengan beliau, pengaturannya menetapkan bahwa tidak ada kamar terpisah bagi pengiring Tibet yang menemani beliau, sehingga ia berbagi kamar dengan Rinpoche. Rinpoche tidur sebelum semua orang lainnya tidur, dan kemudian ketika semua orang tertidur, ia akan bangun – pengiringnya melihat beliau bangun – dan beliau akan melakukan meditasi, dan beliau akan melakukan latihan dari enam yoga Naropa (yang Anda tak dapat membayangkan bahwa orang tua yang gemuk bisa melakukan). Dan kemudian sebelum semua orang bangun di pagi hari, beliau akan berbaring dan berpura-pura bahwa ia tidur sepanjang malam. Jadi Anda memiliki hal semacam ini. Mereka memberi kesan kepada orang lain bahwa mereka orang biasa, tapi mereka menyembunyikan semua mutu mereka. Inilah cara para lama agung itu, setidaknya sebagian dari mereka. Ini sangat mengilhami. Dan kita bisa mengembangkan diri sampai tahap ini melalui tiga latihan dan jalan lipat-delapan. Itu permulaannya. Ini bisa dilakukan pada tingkat sekadar membantu kita untuk memperbaiki masa kehidupan ini. Atau ini dapat dilakukan pada tingkat yang lebih dalam untuk membantu kita mencapai kehidupan masa depan yang lebih baik, pembebasan dari duka dan kelahiran kembali yang berulang tak terkendali, dan pencerahan, kemampuan untuk menjadi bantuan terbaik bagi semua orang.
134
Itu membawa kita pada pengujung sesi ini. Terima kasih banyak, dan saya berharap ini akan bermanfaat.
135
Apa itu Budi Pekerti? Budi pekerti merupakan suatu tata nilai akhlak yang membentuk perilaku kita untuk menciptakan hidup yang lebih bahagia. Dengan budi pekerti, kita hidup jujur, yang berujung pada rasa percaya dan persahabatan dengan orang-orang di sekitar kita. Budi pekerti adalah kunci kebahagiaan. Manusia merupakan makhluk bermasyarakat: kita butuh bantuan orang lain bahkan untuk sekadar bertahan hidup saja. Bukan hanya ketika kita masih jadi bayi tak berdaya atau sudah lansia renta di panti jompo saja, tapi di sepanjang hidup kita ini kita butuh bantuan dan kepedulian orang lain. Akan tetapi, dukungan perasaan yang kita peroleh dari persahabatan penuh kasih itu malah lebih penting lagi. Rasa budi pekerti yang kuat memampukan kita untuk menciptakan hubungan dekat dengan setiap orang yang kita jumpai. Sebagian orang berpikir bahwa hidup yang berhasil itu adalah hidup bergelimang harta benda dan kuasa. Sekalipun kita memperoleh semua itu, kita tidak pernah puas dan selalu bergidik takut kehilangan semua kepunyaan. Semakin banyak yang kita miliki, khususnya bila kita peroleh lewat cara yang merugikan orang lain, semakin banyak musuh yang kita ciptakan sendiri. Tak ada orang yang bilang bahwa hidup berhasil itu adalah hidup di atas ketidaksukaan orang lain terhadap kita. Hidup yang berhasil adalah hidup dimana kita punya banyak teman dan orang lain senang dengan kehadiran kita. Maka tidak peduli berapa banyak uang atau kuasa yang kita punya; kita akan memiliki dukungan perasaan yang memberi kita kekuatan untuk menghadapi segala hal yang dapat terjadi. 136
Panduan budi pekerti menunjukkan jenis-jenis perilaku yang berujung pada kebahagiaan, dan jenis-jenis yang mencipta permasalahan. Bila kita jujur dan ingin mendatangkan kebahagiaan bagi orang lain, orang percaya bahwa kita tidak akan mencurangi, merisak, atau memanfaatkan mereka saja. Rasa percaya ini berlaku sebagai landasan kokoh bagi persahabatan kita dengan setiap orang yang kita temui. Dalam ajaran Buddha, budi pekerti berdasar pada kesadaran pembeda: kita menggunakan kecerdasan kita untuk membedakan mana yang mendatangkan kebahagiaan yang langgeng dan mana yang menciptakan masalah yang berulang-ulang terjadi. Ini bukan soal patuh buta pada sedaftar peraturan, tapi soal yakin bahwa mengikuti panduan budi pekerti itu memang masuk akal. Kalau kita sungguh peduli pada diri kita, maka masuk akallah bila kita membuat keputusan cerdas tentang cara kita berperilaku. Setiap orang ingin dan pantas bahagia, termasuk diri kita juga. Harga-diri yang rendah berujung pada sikap ketidakacuhan akhlak, sementara harga-diri yang baik berujung pada sikap bermartabat. Dengan sikap bermartabat, kita punya rasa hormat yang mendalam bagi diri kita sendiri, bahwa kita tidak akan pernah tunduk pada sikap tidak berbudi: rasanya salah saja. Sikap "terserahlah" hanya berujung pada rasa terkucil, kesepian, dan ketertekanan. Dengan rasa berbudi pekerti, kita mengatasi sikap semacam itu. Kita membina persahabatan yang penuh rasa percaya dan kokoh, yang menjadi landasan bagi hidup yang bahagia dan berhasil.
137
Dasar-Dasar untuk Perilaku Berbudi Pekerti Terima kasih banyak untuk sambutan dan perkenalan yang sangat baik ini. Saya sangat gembira bisa berada di sini. Seperti Anda sebutkan tadi, ini kunjungan keempat saya ke Kalmykia, tapi yang pertama di luar Elista, jadi saya sangat gembira bisa ada di sini di Lagan dan melihat republik Anda ini lebih luas lagi. Geshe Wangyal, Geshe luar biasa yang berasal dari Kalmykia ini, memperkenalkan saya pada aliran ajaran Buddha. Karena itu, selalu menakjubkan rasanya mengunjungi tanah air beliau dan mungkin membawa serta sedikit kebijaksanaannya kembali ke sini. Tiga Wilayah Utama Budi Pekerti: Menahan Diri dari Perilaku Merusak, Tertib-Diri, dan Menolong Orang Lain Pokok pembicaraan hari ini adalah "dasar-dasar bagi budi pekerti", dan ini pokok yang luas sekali. Saat kita bicara tentang budi pekerti atau perilaku berbudi pekerti dalam ajaran Buddha, ada tiga wilayah berbeda yang kita maksud di sini. Pertama, menahan diri dari perilaku merusak, yang berarti tidak bertindak di bawah pengaruh amarah, serakah, atau sikap penting diri sendiri, baik kita berniat mengundang celaka atau tidak. Kadang kita bertindak dengan sikap mementingkan diri sendiri dan kita bahkan tak sadar bahwa kita bertindak seperti itu, dan kita sebetulnya tidak berniat melukai siapapun, tapi sebetulnya hal itu justru menyebabkan celaka dan masalah. Jika kita hanya mau dengan "cara ku" saja dan "Aku harus mendapatkan apapun yang kumau" karena kita mementingkan diri sendiri – kita berpikir hanya tentang diri kita saja – maka kita mengabaikan orang lain dan, sekalipun kita tidak meniatkannya, kita melukai orang lain dengan hebatnya. Dan jika kita marah, kita 138
jadi kehilangan kendali-diri, kan? Kita lalu melakukan dan mengatakan segala macam hal yang nantinya kita sesali karena semua itu telah mendatangkan banyak masalah bagi kita. Jadi itulah dia: wilayah pertama dari budi pekerti adalah menahan diri dari perilaku merusak. Lalu, ketika kita bicara tentang budi pekerti, kita bicara tentang bertertib-diri. Bertertib-diri itu berarti mengambil kendali atas hidup kita dan tak membiarkan diri kita dikukung pengaruh kemalasan atau segala macam tataran cita gelisah yang mencegah kita mencapai satu hal pun dalam hidup kita. Jadi, jenis kedua perilaku berbudi pekerti ialah melakukan sesuatu hal yang bersifat membangun. Contohnya, belajar keras dan menjalani pendidikan yang baik. Hal itu membutuhkan tertib-diri, kan? Tertib-diri untuk mengkaji, untuk belajar. Jika kita ingin mencapai sesuatu yang positif dalam hidup kita, kita butuh kemampuan; kita perlu berlatih, dan ini membutuhkan tertib-diri. Dan, itupun wilayah yang menuntut adanya budi-pekerti. Mengapa demikian? Karena tentu saja kita bisa melatih diri untuk jadi, katakanlah, seorang pencuri yang amat cerdik, seorang penjahat yang amat licik, atau kita bisa melatih diri untuk menjadi seseorang yang memberi sumbangsih positif pada masyarakat kita. Jadi, jika kita ingin berlatih sesuatu, kita perlu sungguhsungguh memutuskan apa yang akan menjadi sumbangan terbaik, atas dasar kecakapanku dan bakat-bakatku. Dan tak lupa pula, atas dasar apa yang kusuka, apa yang kunikmati. Ketika kita pikir tentang apa yang kunikmati, tentu saja yang kunikmati itu bisa jadi menonton televisi dan bermain bersama kawan, tapi kita tak bisa melakukan itu seumur hidup, kan? Jadi ketika kita pikir tentang apa 139
yang kunikmati, bukan hanya apa yang kita nikmati sekarang, tapi apa yang akan memberi kita kebahagiaan jangka-panjang di dalam kehidupan kita. Jenis ketiga dari budi pekerti ialah budi pekerti untuk benar-benar menolong orang lain. Tidak cukup jika hanya melatih diri supaya punya kemampuan yang baik. Kita hidup di dalam masyarakat, dengan orang lain. Penting sekali untuk berbagi semua sifat dan bakat serta kemampuan baik kita dengan sesama. Apapun kemampuan yang kita punya, kita bisa menggunakannya untuk menolong orang lain. Lagipula, hidup di tengah masyarakat, kebahagiaan kita amat bergantung pada kebahagiaan seluruh masyarakat itu. Maka, penting sekali, saat kita membahas budi pekerti, untuk bercita yang amat luas, bukan berpikir sempit dan kecil. Artinya, tidak sekadar berpikir tentang aku atau keluargaku, tapi tentang masyarakat yang lebih luas lagi. Tidak pula berpikir tentang sekarang ini, tapi tentang masa depan dan ganjaranganjaran atas perbuatanku. Dasar bagi Perilaku Berbudi Pekerti: Sikap Peduli Ketika kita bertanya apa itu dasar bagi perilaku berbudi pekerti, titik-berat utamanya adalah "sikap peduli". Sikap peduli ini berarti bahwa aku peduli pada diriku, pada perbuatanku. Aku tidak akan bertindak asal saja, apapun itu desakan atau denyutan yang muncul di pikiranku. Akan tetapi, aku peduli pada dampak dari perbuatan dan caraku menjalani hidupku, apa dampaknya nanti padaku dan apa dampaknya nanti pada orang lain. Bagaimana masa depanku nanti jika, misalnya, aku menghabiskan hidupku sekarang dengan bertindak secara merusak, atau aku begitu malas dan tak mengurus hidupku sama sekali? Khususnya 140
jika kita orang muda, seperti banyak dari Anda yang hadir di sini, bagaimana aku akan mencari nafkah, bagaimana aku akan menghadapi hidup, kalau aku tak melatih diri sekarang? Kalau sikap kita: "Ah, peduli amat. Tak masalah" atau kita merasa bahwa "Tak ada harapan, jadi buat apa susah-susah sekolah tinggi atau belajar terampil atau belajar kerja?" maka nantinya kita amat menyesal bahwa kita telah menyia-nyiakan kesempatan yang kita punya. Jadi, masa depan itu, ganjaran-ganjaran atas caraku menjalani hidupku itu, penting sekali untuk betul-betul diperhatikan. Kita perlu mengembangkan rasa ini, bahwa penting – penting bagiku seperti apa masa depanku nanti. Kalau bukan aku yang pada diriku sendiri, siapa lagi? Memegang Sendiri Cais Kuda Cita Anda Kita punya istilah yang kita pakai di ajaran Buddha yang berarti menggenggam hidup di tangan sendiri; maksudnya, mengendalikan hidup kita. Gagasan itu dilukiskan dengan contoh seekor kuda. Kuda itu ada caisnya, tali kekang yang digunakan si penunggang untuk mengendalikan kudanya. Ibaratnya, kita harus memegang sendiri cais kuda cita kita, bukannya membiarkan saja si kuda lari liar atau dikendalikan oleh orang lain. Penting sekali untuk mencoba mengendalikan apa yang bakal kuperbuat dalam hidupku, jadi orang seperti apa aku nantinya. Apa aku akan cuma jadi pemalas yang tak berbuat apa-apa dalam hidupku? Atau akankah aku menjadi seseorang yang menjalani hidup yang berarti, yang memenuhi? Dan menjalani hidup yang berarti dan memenuhi itu bergantung erat pada caraku berhubungan dengan orang lain. Apa aku akan bertindak layaknya 141
orang yang baik dan penolong, ataukah bertindak layaknya seseorang yang cuma mementingkan diri dan melulu marah pada setiap orang? Tak seorangpun suka dengan orang yang selalu marah dan berang; orang biasanya agak takut dengan orang semacam itu. Mereka sungguh tak ingin bersama orang pemarah karena mereka berpikir mereka bisa jadi sasaran kemarahannya: "Aku tak ingin dekat dengan orang ini." Atau seseorang yang selalu mengeluh dan mengecam, dan seterusnya – tak ada asyikya bersama orang seperti itu, kan? Namun, kalau kita merupakan jenis orang yang memikirkan orang lain, yang peka terhadap orang lain, yang sungguh mengedepankan kepentingan orang lain, dan yang, alihalih mengecam kesalahan atau kekeliruan orang lain, membantu mereka untuk tumbuh dan berkembang, maka setiap orang suka pada kita; setiap orang akan suka bersama kita. Maka, jenis orang seperti apa kita sekarang dan jenis orang seperti apa kita nanti itu bergantung erat pada budi pekerti. Kita peduli pada dampak perilaku kita dan perbuatan kita terhadap diri kita – jenis orang seperti apa kita jadinya nanti – dan kita peduli pada bagaimana itu akan berdampak pada orang lain dalam hubungan kita dengan mereka. Inilah sikap peduli itu. Kata ini (bag-yod, Skt. apramada) yang saya terjemahkan ke dalam "sikap peduli" juga kata yang berarti "berhati-hati". Jadi, kita harus berhati-hati dengan perbuatan kita, perkataan kita, dan pikiran kita. Karena kalau kita terjerumus ke dalam kebiasaan buruk, maka kebiasaan itu menjadi semakin dan semakin dalam dan kita dengan sendirinya bertindak – katakanlah, kalau kebiasaan kita buruk – dengan buruk pula. 142
Saya beri satu contoh: Banyak orang yang, ketika bicara, menggunakan sumpah-serapah – bahasa yang sangat kasar. Dalam bahasa Inggris, sudah pasti, dan saya pikir juga mungkin dalam bahasa Rusia. Saya tak tahu dengan bahasa Anda, tapi saya pikir kebanyakan bahasa punya kata-kata makian, kata-kata kotor. Dan orang-orang muda kerapkali terjerumus ke dalam kebiasaan memakai jenis bahasa kasar ini, dan hal itu begitu merasuk ke dalam cara bicara mereka sehingga nantinya bila mereka mendapat masalah, seperti tanpa pikir panjang, dengan sendirinya bahasa kotor ini yang keluar, dan ini bisa amat memalukan. Untuk mencegah itu, kita harus berhati-hati – kita berhati-hatikini – atas kebiasaan macam apa yang kita bina. Kita harus berhati-hati karena kita peduli tentang apa dampak caraku menjalani hidupku sekarang ini. Maka, dengan tertib-diri kita mencoba mawas diri atau waspada atas caraku bicara, caraku berpikir, caraku bertindak, dan menyadari bahwa jika aku mulai membina pola kebiasaan berperilaku buruk, ini akan sangat sukar diubah nanti. Nah, saat Anda masih muda – seperti banyak dari hadirin yang ada di sini – inilah waktunya menempa kebiasaan Anda. Jadi, penting sekali supaya Anda memegang sendiri cais kuda cita Anda dan perilaku Anda, memegang kendali atas jadi orang seperti apa Anda nantinya. Apa aku mau menuju arah yang negatif atau apa aku mau menuju arah yang positif? Tak bisa kita bilang, "Aku tak mampu mengendalikan hidupku: masyarakat seperti ini dan ekonomi seperti itu," dan keluhan melulu lainnya, karena tak peduli apapun keadaan kita, jadi orang macam apa kita nantinya itu tetaplah terserah pada kita seorang. Sekalipun kita hidup dalam keadaan terparah, kita bisa jadi orang yang baik atau kita bisa 143
menjadi orang yang sangat jahat dan kejam; kita bisa jadi orang yang mementingkan diri sendiri atau kita bisa mencoba hidup dalam keselarasan dengan setiap orang lain. Perilaku Berbudi Pekerti Membutuhkan Kesadaran Pembeda – Tahu Apa yang Berbahaya, Apa yang Berguna Ketika kita bicara tentang budi pekerti dalam ajaran Buddha, kita tidak sedang bicara tentang: "Ini hukumnya, ini aturannya, dan aku tinggal harus patuh dan mengikutnya saja." Bukan seperti itu pendekatan ajaran Buddha. Kita tidak menjalani hidup kita layaknya kita anggota tentara dan: "Siap, pak! Saya patuh pada aturan." Bukan seperti itu. Akan tetapi, budi pekerti dalam ajaran Buddha berdasar pada "kesadaran pembeda". Kita perlu membedakan apa yang berguna, apa yang berbahaya. Karena setiap orang ingin bahagia dan tak ada orang yang ingin tak bahagia, maka jika aku ingin menghindari ketakbahagiaan, aku perlu menghindari apa yang bahaya, hal yang akan menghancurkan kebahagiaanku dan orang lain. Jika aku ingin bahagia, aku perlu mengerjakan apa yang berguna, hal yang akan mendatangkan kebahagiaan. Kenyataannya adalah bahwa kita hidup di tengah masyarakat; kita bukan satu-satunya manusia di planet ini. Maka, ketika kita pikirkan apa lingkup kebahagiaan yang kita bidik, kita perlu membidik lingkup kebahagiaan setiap orang. Kita bisa saja bertanya, "Bagaimana mungkin aku bisa membuat setiap orang bahagia?" Tentu saja, jika cuma lewat usaha kita semata, itu takkan membuat setiap orang bahagia. Namun, seperti dikatakan Buddha, air seember diisi air setetes demi setetes. Kita bisa tambahkan tetes air sumbangan kita ke dalam embernya. Tetes air macam apa yang ingin kutambahkan ke dalam ember itu? Apa setetes masalah yang 144
hanya mendatangkan masalah bagi orang lain? Ataukah setetes pertolongan, apapun bentuknya? Sekalipun pertolongan itu hanya membina keturunan yang juga memiliki nilai-nilai positif dalam kehidupan, itu tetap tetesan yang bermanfaat. Tidak harus hebat, kan? Jadi semua ini ada di tangan kita sendiri. Rasa Nilai-Nilai yang Kita Punya Dasar lain untuk budi pekerti ialah rasa nilai-nilai. Kita perlu memiliki rasa hormat bagi sifat-sifat baik dan positif dan orangorang yang memilikinya. Siapa yang kujadikan panutan? Apakah seorang penjahat besar, atau seorang pemimpin yang sungguh luar biasa, yang suka menolong orang lain? Itu pertanyaan yang amat menarik, bukan? Apakah panutanku itu bintang musikrock? Apakah panutanku itu bintang layar lebar? Seorang olahragawan? Sebagian dari orang-orang ini berbuat baik dalam hidupnya – jadi, boleh saja. Tapi, sebagian lainnya tidak. Atau apakah panutanku seorang pemimpin rohani yang luar biasa – misalnya, Yang Mulia Dalai Lama? Apa nilai-nilai yang kuanggap paling penting dalam kehidupan? Apakah menendang bola ke jala gawang? Atau apakah berbuat sesuatu yang menolong orang lain dalam hidup mereka? Kita bisa belajar menendang bola ke jala gawang. Baik sekali dan itu menghibur banyak orang, tapi Anda mungkin juga bisa melatih seekor binatang untuk menendang bola ke dalam jala gawang. Jadi, meski menjadi olahragawan hebat itu tampak seperti arah yang baik untuk dituju, adakah sesuatu yang lebih yang bisa kupelajari untuk kulakukan, yang mungkin tak bisa dilakukan seekor binatan? Ya, tentu, kita manusia, dan kita bisa melakukan banyak sekali karena kita punya kecerdasan, kita punya perasaan, 145
kita punya kemampuan, untuk benar-benar tidak sekadar menghibur orang lain tapi membantu mereka lebih jauh lagi. Nah, tentunya, menghibur orang lain itu juga satu cara untuk membantu orang santai, tenang, jadi tak ada yang negatif dengan hal itu. Tapi kalau kita punya kemampuan untuk berbuat lebih dari itu, kenapa tidak? Kita bisa jadi seorang penghibur yang baik – seorang olahragawan yang hebat – sekaligus seseorang yang berupaya jadi bermanfaat bagi masyarakat lebih jauh lagi. Ini berkait erat dengan suatu rasa nilai-nilai kita. Apa yang akan membuat orang lain terbantu? Menghibur merupakan satu hal yang akan membantu orang lain. Jika mereka sakit, merawat mereka merupakan satu tingkat lain perbuatan yang membantu orang lain. Mendidik orang lain – satu cara lain untuk membantu orang lain. Kalau aku seorang penghibur atau olahragawan yang berhasil, boleh saja. Tapi untuk apa kugunakan uang dan ketenaranku? Aku bisa menggunakannya untuk membangun istana untuk kutinggali, atau aku bisa menggunakannya untuk membangun rumah sakit dan menggalang dana untuk orang lain. Jadi, rasa nilai-nilai. Apa yang penting, tinggal di istana untuk diriku sendiri atau membantu orang lain? Jika kita lihat diri kita sendiri, kita semua punya banyak sekali kemampuan, dan kemampuan ini semuanya dapat digunakan. Yang penting ialah untuk mencoba mengetahui diri kita sendiri: Apa kemampuanku? Apa bakatku? Betul? Setiap orang punya kemampuan. Bisa jadi aku jurumasak yang lihai; tidak harus sesuatu yang di luar kelaziman. Lalu kita berpikir, "Bagaimana aku bisa menggunakan ini? Manfaat apa yang bisa kumunculkan dari bakat ini, dari kemampuanku ini, supaya orang lain dapat terbantu? Dan bantulah orang lain... ya, kalau kita bisa membantu mereka 146
dengan segera, sekarang juga, di sini ini – seperti memasak hidangan lezat untuk mereka atau menghibur mereka – boleh saja. Tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi jika aku dapat membantu mereka untuk jangka-panjang – bukan hanya sesuatu yang saat ini saja, seperti memasak hidangan lezat tadi – bukankah itu akan jadi lebih baik lagi? Jadi semua itu ada dalam genggaman tangan kita: "Sekarang, tertib-diri macam apa yang akan kuterapkan? Apa aku tak usah bertertib-diri saja? Tertib-diri yang lembek saja? Ataukah aku akan sungguh-sungguh bertertib-diri atas dasar budi pekerti?" Dan semua hal itu, seperti saya utarakan tadi, berdasar pada sikap peduli, lalu tentunya sikap berhati-hati, memegang kendali hidup kita sendiri, mampu membedakan antara "Apa yang akan berguna? Apa yang akan berbahaya?" dan kemudian mengerjakannya: Melatih diri kita sendiri – membina kebiasaan positif; mencoba mengatasi kebiasaan negatif. Cobalah untuk mawas-diri dan waspada mengenai "Bagaimana aku berlaku? Bagaimana aku berhubungan? Bagaimana aku berpikir?" Jangan berpuas diri dengan suatu tingkat tertentu dari semua hal ini yang betul-betul tidak membuat hidupku sangat bahagia; kita senantiasa mampu melakukan yang lebih baik. Menjalani Hidup Berbudi Pekerti Merupakan Cara untuk Jadi Lebih Bahagia Akan tetapi, saat kita bicara tentang melakukan yang lebih baik, itu bukan berarti memukuli diri – “Aku tak berguna” – dan merasa diri amat negatif, sehingga mengikuti hidup yang berbudi pekerti itu jadi seperti hukuman saja. Bukan hukuman. Kita perlu tahu bahwa mengikuti hidup yang berbudi pekerti, atau menjalani hidup yang berbudi pekerti, itu merupakan cara untuk jadi lebih bahagia. Dan 147
itu membantu kita mendatangkan lebih banyak kebahagiaan bagi orang lain, yang kemudian akan memperteguh kebahagiaan kita. Maka, masa depan kita terserah kita. Jadi orang macam apa kita sekarang atau nanti – itu semua terserah kita. Maka, entah itu sekarang ini kita orang muda yang sedang bersekolah, atau kita orang dewasa, atau orang yang sudah tua, kita semua dapat mengikuti jalur ini. Saya pikir mungkin kuliahnya dicukupkan sampai di sini. Supaya kita punya waktu untuk pertanyaan, pembahasan, atau apa saja. Tanya-Jawab Apa yang Membuatmu Jadi Orang Bahagia? Tanya: Dr. Berzin, apa yang membuat Anda jadi orang bahagia? Alex: Apa yang membuat saya jadi orang bahagia? Begini, saya memulai sebuah situsweb, berzinarchives.com, hampir sepuluh tahun yang lalu. Alasan saya memulainya ialah karena, dalam hidup saya, saya telah berkesempatan luar biasa untuk belajar pada para guru yang terbaik dari yang terbaik. Saya mengenyam pendidikan umum yang terbaik di Amerika, di Havard, dengan beberapa guru yang paling ternama. Lalu saya tinggal di India selama dua puluh sembilan tahun dan belajar dan bekerja bersama Yang Mulia Dalai Lama, guru-gurunya – lagi-lagi, yang paling luar biasa dari para guru rohani Buddha yang ada. Lalu di ujung semua itu saya punya sejumlah besar bahan, baik terjemahan maupun naskah dan lain-lain, yang telah saya persiapkan dalam hidup saya, karena inilah semua yang pernah saya kerjakan dalam hidup saya. 148
Saya telah membukukan beberapa dari bahan ini, tapi buku tak terjual cukup laris dan tidak pula tersebar cukup luas, maka hanya mampu menjangkau sejumlah kecil orang saja. Saya tak mau semua bahan menakjubkan yang telah saya kumpulkan dan hasilkan ini jadi sampah saat saya mati. Karena itu saya putuskan untuk pindah dari India ke Jerman, tempat yang lebih mudah untuk membuat situsweb besar yang saya ciptakan, dan untuk membuat bahan ini tersedia sebanyak mungkin, selama saya masih hidup, bagi pirsawan yang lebih luas lagi lewat internet dan tersedia secara gratis, dan untuk menerjemahkannya ke dalam sebanyak mungkin bahasa. Jadi, sekarang sudah tersedia dalam sembilan bahasa, termasuk Rusia, dan sekarang kami sedang giat menyiapkan tiga lagi. Seluruhnya, kami ada sekitar tiga ribu bahan tertulis dan audio di dalamnya. Tahun lalu situsweb itu dikunjungi oleh delapan ratus ribu orang; tahun ini tampaknya bisa sampai sejuta. Ini membuat saya sangat bahagia, bahwa saya mampu menggunakan segala hal yang telah saya pelajari dalam hidup saya, dan meneruskan apa yang saya pelajari dari para guru saya yang luar biasa, sehingga semua itu tidak hilang saat saya mati. Maka, mampu mendatangkan manfaat bagi orang lain, semoga saja, tidak cuma dalam masahidup saya dan tidak cuma bagi orang-orang yang saya kenal saja, tapi juga sejumlah besar orang, jauh setelah saya mati – ini membuat saya sangat bahagia: hidup saya sudah sangat bermakna. Bagaimana Kita Mengembangkan Rasa Nilai-Nilai? Tanya: Apa yang harus kita lakukan untuk mengembangkan rasa nilai-nilai ini? 149
Alex: Untuk mengembangkan rasa nilai-nilai ini, kita perlu tahu di dalam diri kita bahwa kita punya sifat-sifat positif: Kita semua punya tubuh, jadi kita mampu bertindak bersama orang lain, melakukan segala sesuatu. Kita semua punya kemampuan untuk bersambung-wicara. Kita semua punya cita, sehingga kita dapat memahami segala sesuatu; kita bisa mempelajari segala sesuatu. Dan kita semua punya hati – kita punya rasa – kita mampu memunculkan perasaan yang hangat dan baik hati. Jadi, ini semua dimiliki setiap orang, siapapun dia. Dan kita sadari bahwa inilah bahan karyaku. Mau aku apakan bahan-bahan itu, semua terserah padaku. Kalau kita ketahui bahwa kita memiliki bahan karya dasar ini, lalu kita punya rasa nilai diri, harga diri – “Tak ada yang salah denganku. Aku bisa melakukan suatu hal positif dengan bahanbahan karyaku” – itu memberi kita rasa nilai-nilai ini. Bagaimana Kita Menilai Sifat-Sifat Baik Kita? Tanya: Bagaimana kita menilai sifat-sifat baik menerapkannya agar bermanfaat bagi orang lain?
kita
dan
Alex: Cara kita menilai sifat-sifat baik kita itu sesungguhnya merupakan kegiatan melihat ke dalam diri sendiri. Bahan-bahan karya dasar ini... kita tidak perlu melihat jauh-jauh untuk menyadari bahwa kita memilikinya – bahwa kita punya cita, kita punya raga, kita bisa bicara, dsb. Ini semua tak sukar dikenali. Dan kita perlu menelaah: "Sudahkah aku mempelajari sesuatu dalam hidupku?" Dan tak peduli seberapa muda kita ini, kita tentu telah belajar berbagai hal dalam hidup kita: kita telah belajar cara berjalan, kita belajar cara bicara... hal-hal yang amat mendasar itu. Untuk melihat arah mana yang kutuju, dalam hal menggunakan sifat-sifat dasarku, coba Anda lihat: "Apa yang mudah bagiku? Apa yang mudah aku pelajari?" Sebagian dari kita lihai sekali dalam 150
berbahasa tapi agak tertatih dalam ilmu hitung. Sebagian orang pintar menghitung dan ilmu fisika atau ilmu alam, tapi tak fasih menulis. Jadi, kita perlu menelaah diri kita, lihatlah: "Aku bagus dalam hal apa?" Dan juga: "Apa yang kunikmati? "Apa yang kusuka?" Kita harus mengalami hidup kita sendiri. Apa yang aku lakukan dengan hidupku... akulah orang yang akan mengalami hidupku sendiri: Akankah aku bahagia? Akankah aku tak bahagia? Baiknya, kita mencoba berbuat sesuatu yang sungguh suka kita kerjakan dan kita merasa bahwa hal itu berarti. Kalau hal itu dapat menolong orang lain, itu membuatnya jadi berarti. Tidak harus besar dan hebat, secara mendunia. Jadi, menilai sifat-sifat baik kita itu bergantung pada melihat: "Apa yang telah kukerjakan sampai sekarang?" dan "Apa yang mudah bagiku sekarang dan suka kulakukan?" Ya, seperti itulah. Saya beri satu contoh yang mungkin dilewatkan sebagian orang. Beberapa orang, sifat baiknya adalah bahwa mereka suka bicara dengan orang lain: mereka tidak malu, dan mereka mampu bicara lancar dengan siapa saja; mereka merasa nyaman dengan orang lain. Nah, kita mungkin tak berpikir bahwa itu sifat yang tak begitu bagus atau sifat yang menakjubkan, tapi sebetulnya itu sifat yang hebat. Karena, misalnya, katakanlah Anda bekerja di sebuah toko. Anda mungkin berpikir, "Ah, itu bukan pekerjaan yang hebat." Tapi jika Anda mampu bicara manis dengan orang-orang yang datang ke toko Anda dan menghadapi mereka dengan ramah – Anda tidak tampak malu dan kaku (mungkin tampak seperti robot pramuniaga) – orang-orang akan menyukai Anda, mereka suka datang ke toko 151
Anda, dan mereka meninggalkan toko dengan senyum menghias wajah. Ini sifat bagus, patut dipandang bernilai. Sifat itu membantu orang lain. Bagaimana Menghadapi Orang-Orang yang Mementingkan Diri Sendiri? Tanya: Apa yang harus dilakukan ketika kita bersama seseorang yang amat mementingkan diri sendiri? Alex: Apa yang harus dilakukan ketika kita bersama seseorang yang amat mementingkan diri sendiri? Segalanya betul-betul bergantung pada apakah orang ini mau menerima pertolongan atau tidak. Saya contohkan satu orang yang saya kenal di Berlin, tempat tinggal saya, yang selalu berpikir tentang dirinya sendiri – cukup terpaku pada dirinya, bicara terus tentang dirinya, dan sebagian besar isi bicaranya itu keluhan dan kecaman. Anda makan siang dengannya dan dia menghabiskan sebagian besar waktu untuk mengeluh tentang betapa dia tak dapat menemukan kain yang tepat untuk membuat gorden baru di kamarnya. Bagaimana Anda menghadapi orang seperti itu? Kesadaran mendasar yang harus dimiliki ketika menghadapi orang semacam itu ialah bahwa mereka amat sangat tak bahagia dan sangat kesepian. Jadi dia terusmenerus bicara ketika bertemu orang. Pada dasarnya, itu untuk cari perhatian. Niatnya tentu bukan untuk membuat makan siang saya dengannya itu jadi tak menyenangkan dan membosankan, tapi untuk dapat perhatian dan belarasa. Maka, dalam keadaan di mana saya tak betul-betul bisa berkata keras padanya (dia akan jadi tersinggung) – “Berhenti mengeluh, ayo bicara tentang sesuatu yang lebih bermakna dari sekadar gorden” – yang dapat saya 152
lakukan adalah bersabar, dan mendengarkannya dengan cita terbuka, dan sedikit berbelarasa padanya, dan hal itu dapat menenangkannya. Karena sebenarnya, bicara seperti itu dan mengecam-ngecam seperti itu, dia jadi amat tegang. Jadi, saya pikir ini ciri-ciri orang yang paling mementingkan diri sendiri dan terpusat pada diri sendiri. Mereka tak bahagia, mereka amat tegang, dan mereka cuma bicara terus-menerus dan ingin dapat perhatian. Jadi, saya pikir akan sukar sekali untuk melakukan hal yang lebih dari sekadar membantu mereka supaya tenang dan sedikit berbelarasa dan tidak bersikap tak bertepaselira pada mereka. Kemudian, lama-lama mereka menyadari bahwa Anda juga ada di situ, bukan cuma seorang penonton tapi juga peserta dalam percakapan itu. Apakah Ajaran Buddha itu Agama atau Jalan Hidup bagi Anda? Tanya: Ajaran Buddha – bagi Anda itu agama atau jalan hidup? Alex: Bagi saya, Ajaran Buddha itu merupakan agama sekaligus jalan hidup. Saya tidak berpikir bahwa dua segi ini terpisah. Bagi saya, agama ialah – setidaknya dalam kerangka ajaran Buddha – sebuah sumber kebijaksanaan yang mengajarkan kita cara menghadapi hidup, khususnya bagaimana kita menjalani hidup dengan cara yang akan membuat kita dan orang lain lebih bahagia. Yang Mulia Dalai Lama suatu kali pernah ditanya, "Apa agama terbaik di dunia ini?" Ia menjawab, "Agama yang membantu Anda menjadi orang yang lebih baik hati. Itulah agama terbaik." Menjadi orang yang lebih baik hati itu merupakan jalan hidup, kan?
153
Kesimpulan Peserta: Saya pikir anak-anak kami menaruh minat besar pada ajaran Anda. Dan saya juga ingin mengatakan bahwa Alexander Berzin merupakan utusan tak resmi Yang Mulia dalam beberapa proyek antarnegara yang berhubungan dengan budaya Tibet dan Mongolian dan juga dalam program medis bagi orang-orang Chernobyl (mereka yang berusia di atas 25 tahun, tentunya). Alexander Berzin juga ikut serta dalam perundingan Buddha-Islam. Alex: Ya. Benar begitu
154
Peran Budi Pekerti di Jalan Pelayanan Masyarakat Seperti yang Anda sebutkan tadi, Kalmykia merupakan kampung halaman Geshe Wangyal yang luar biasa, yang memperkenalkan saya pada aliran hidup ajaran Buddha. Maka, selalu merupakan kehormatan dan nikmat yang luar biasa bagi saya untuk kembali ke kampung halamannya. Hari ini, saya diminta untuk bicara tentang peran budi pekerti di jalan pelayanan masyarakat, yang tentu merupakan suatu bahasan yang sangat penting bila kita ingin terlibat dalam beragam pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan menolong sesama. Baik itu dalam berbagai pelayanan masyarakat yang sebenarnya, atau dalam pendidikan atau kesehatan, budi pekerti merupakan suatu segi yang sangat penting darinya. Tentu, saat kita mencoba menolong orang lain, kita perlu menahan diri untuk tidak mencelakai siapapun dan mencoba sebaik mungkin untuk membantu mereka dengan cara apapun yang kita mampu, meski kita mungkin tidak sungguh-sungguh tahu cara yang mana yang terbaik. Karena tiap orang yang coba kita tolong itu tentunya khas, dan yang mungkin sesuai untuk satu orang belum tentu pas dengan orang yang lain. Jadi, bekerja di bidang pelayanan masyarakat jenis apapun membutuhkan pengetahuan yang luas, kepekaan terhadap sesama, dan dasar dari semua ini adalah budi pekerti. Tertib-Diri Berbudi Pekerti Ajaran Buddha bicara tentang budi pekerti dalam kerangka tertibdiri berbudi pekerti. Untuk benar-benar menjalankan suatu tata budi pekerti, pastinya kita butuh ketertiban (disiplin). Keduanya amat erat berkaitan. Dan tertib di sini bukan seperti petugas polisi, 155
yang menegakkan ketertiban atau hukum terhadap orang lain, tapi kita mengarahkan ketertiban tersebut pada diri kita sendiri, yang tentu saja mengharuskan kita mengatasi kemalasan, sikap acuh tak acuh, dan segala macam rintangan penghalang ketertiban. Itu berarti bahwa sekalipun kita tahu apa saja asas-asas budi pekerti yang perlu kita ikuti, dan kita punya dorongan untuk betul-betul mengikutinya, tetap saja kita perlu mengatasi kesukaran yang mungkin kita hadapi ketika menerapkan asas-asas tersebut secara nyata. Jadi, pokok bahasan tentang budi pekerti ini sangat luas, dan ada banyak macam segi yang perlu kita latih untuk bisa melaksanakannya dengan sangkil. Ajaran Buddha membedakan tiga jenis tertib-diri berbudi pekerti. Yang pertama adalah ketertiban untuk menahan diri dari perilaku merusak. Perilaku merusak tidak terbatas pada tindakan-tindakan ragawi saja, tapi juga sampai pada wicara kita – cara kita berhubungan dengan orang lain – dan termasuk sikap kita, cara kita berpikir, pula. Kita bisa saja menjalani kerja hari-hari kita menolong orang lain, padahal di dalam cita kita berseliweran pikiran-pikiran jahat tentang mereka. Jadi, kita juga butuh ketertiban berbudi pekerti untuk dapat menahan diri dari hal itu. Ketertiban jenis yang kedua ialah ketertiban untuk berperilaku yang membangun, dan ini utamanya berpusat pada apa yang kita perbuat untuk melatih kemampuan kita menolong orang lain. Ini berarti belajar, berlatih, melakukan segala macam hal yang perlu untuk bisa patut-layak dalam pekerjaan kita. Itu berarti kita perlu terus memperbarui pengetahuan dalam bidang kerja kita dan tidak hanya bersandar pada apa yang telah kita pelajari bertahun-tahun yang lalu. Kita butuh ketertiban yang tidak main-main agar dapat menjaga kajian-kajian yang lebih lanjut terus berjalan dan tetap 156
belajar cara-cara baru yang berkembang di bidang kita. Itu sebenarnya tidak gampang, karena bekerja sepanjang hari menolong orang itu saja sudah melelahkan dan memperbarui pengetahuan kerja ini sendiri harus kita lakukan di luar jam kerja. Tertib-diri berbudi pekerti jenis yang ketiga ialah ketertiban untuk benar-benar menolong orang lain. Jadi, menahan diri dari perilaku merusak, melibatkan diri dalam perilaku membangun dan mendidik, dan benar-benar menolong orang lain. Inilah tiga wilayah tertib-diri berbudi pekerti yang ditekankan oleh ajaran Buddha, dan saya pikir ini menyangkut semua wilayah pelayanan masyarakat. Mari kita lihat ketiganya sedikit lebih dalam. Menahan Diri dari Perilaku Merusak dan Berperilaku Membangun Menahan diri dari perilaku merusak. Apa itu perilaku merusak? Perilaku merusak dijelaskan dalam ajaran Buddha sebagai suatu jenis tindakan – entah itu dengan raga kita, wicara kita, atau cara kita berpikir – yang didorong oleh suatu perasaan gelisah atau sikap gelisah. Tentang seperti apa hal itu berdampak pada orang lain, kita tak bisa bilang dengan pasti, karena kadang-kadang perbuatan yang kita lakukan dengan dorongan yang baik sekalipun dapat mencelakai orang lain – karena kita berbuat salah, misalnya: kita mencoba menolong mereka, tapi mereka tak benar-benar mendengarkan nasihat kita; kira-kira semacam itu. Bertindak di Bawah Pengaruh Amarah Jadi, yang betul-betul bisa kita pastikan ialah suatu hal itu bersifat merusak kalau dorongan kita bersifat merusak pula. Kita bisa saja, contohnya, bertindak di bawah pengaruh amarah. Misalnya, kita 157
jengkel dengan tingkah-polah seseorang atau caranya menjalani hidup, karena itu saat mencoba menolong mereka sebagai seorang pekerja sosial, kita membentak: "Jangan begitu! Jangan pakai narkoba!" atau sejenisnya. Ada amarah di balik cara kita menghadapi mereka. Ini bukan saja menghalangi kita untuk berpikir jernih tentang apa pertolongan terbaik bagi mereka. Orang lain itu peka, mereka bisa merasakan amarah kita, dan mereka biasanya menanggapi dengan buruk sekali kalau kita marah terhadap mereka. Ini tidak gampang, karena kerja sosial itu membutuhkan kesabaran yang panjang. Kita mencoba menolong orang lain. Kita beri mereka nasihat bagus, dan seterusnya, dan mereka tutup telinga. Kita kecewa, tentu saja, karena kita tidak sabar, dan saat kesabaran hilang kita jadi mudah tersulut amarah, lalu menghardik mereka, membentak mereka. Atau, kalau kita bekerja di bidang pelayanan kesehatan: "Kenapa obatnya tidak dimakan? Anda ini kenapa, sih?" Hal yang seperti itu. Mudah sekali kita kehilangan kesabaran. Mengembangkan Welas Asih bagi Sesama Dalam keadaan-keadaan seperti itu kita betul-betul perlu mengembangkan welas asih – bahwa orang yang malang ini bingung; mereka berada pada keadaan yang begitu sulit sehingga mereka sukar menerima nasihat bagus. Kita tak bisa memaksa orang lain melakukan apa yang kita nasihatkan. Satu-satunya hal yang dapat benar-benar kita perbuat adalah berupaya dengan diri kita sendiri, mencari cara yang lebih piawai, mencari cara supaya kita bisa betul-betul meyakinkan orang ini untuk mengubah sikap mereka. Tapi, kalau kita diliputi amarah, rasa kecewa, dan rasa tak sabar, kita menghadapi rintangan berat untuk berpikir jernih tentang apa cara penyampaian yang lebih baik untuk orang ini. 158
Bertindak di Bawah Pengaruh Kemelekatan Perasaan gelisah jenis yang kedua ialah kemelekatan dan hasrat. Kita semua manusia. Kita punya hasrat. Kita tertarik pada orang tertentu. Bisa jadi berupa ketertarikan birahi pada orang yang kita bantu sebagai klien kita, atau bisa jadi berupa ketertarikan seorang ayah atau ibu pada seorang anak: "Oh, manisnya, bagusnya," dan seterusnya. Yang manapun itu, hal itu dapat menghalangi kita bersikap agak tegas dengan orang ini, sikap yang kadang-kadang kita perlukan saat kita mencoba menolong mereka. Atau karena kita begitu tertarik pada orang ini, dalam arti kita secara sadar atau tidak sadar membuat mereka jadi bergantung pada kita supaya kita dapat menghabiskan lebih banyak waktu bersama mereka. Ini hal yang perlu kita hindari. Tentu saja tidak gampang karena, seperti saya katakan tadi, kita ini manusia dan, pasti, persis seperti kita yang hilang sabar, kita juga bisa tertarik pada orang-orang tertentu. Mengembangkan Keseimbangan Batin Yang selalu ditekankan dalam pelatihan cara Buddha ialah pengembangan keseimbangan batin, yang berarti tidak berada di bawah pengaruh ketertarikan atau rasa jijik terhadap siapapun yang sedang kita coba tolong atau mengabaikan sebagian orang yang memang membutuhkan pertolongan (itu ragam ketiga di sini), tapi bersikap terbuka dan setara terhadap siapa saja. Itu berarti sikap terbuka dan setara pada mereka yang mudah ditolong, mereka yang sukar ditolong, orang-orang yang cukup menyenangkan saat kita bersamanya, dan orang-orang yang tidak menyenangkan saat kita bersamanya. Cara untuk mampu mengembangkan hal itu ialah dengan melihat bahwa kita semua setara: Setiap orang ingin bahagia, tidak ada yang ingin tak 159
bahagia, sama sepertiku. Setiap orang ingin diperhatikan, dirawat, sama sepertiku. Tak ada yang ingin diabaikan. Sebenarnya, terlintas di pikiran saya bahwa ada sebagian orang yang ingin dibiarkan sendirian saja. Mereka tak menginginkan pertolongan kita. Ini yang paling sulit. Dan itu jadi tantangan berat, untuk tidak merasa ditolak dan sakit hati Khususnya, saya berpikir tentang para lansia di panti jompo yang tidak mau patuh meminum obat mereka atau melakukan beragam hal yang perlu mereka lakukan. Tapi sekalipun mereka tidak menginginkan pertolongan kita dan mereka ingin ditinggal sendiri, tetap saja kita harus bersikap setara terhadap mereka dan tidak cuma mengabaikannya saja. Bahkan lebih kuat dari sekadar berpikir: "Setiap orang ingin bahagia, tidak ada yang ingin tak bahagia" itu untuk melihat setiap orang seolah mereka adalah saudara dan kawan dekat kita. Ayah dan ibuku bisa saja jadi seperti orang yang ada di panti jompo ini. Aku tak ingin mengabaikan atau memperlakukan mereka dengan buruk. Kita juga bisa berpikir dalam kerangka: "Suatu hari aku akan berada di panti jompo dan aku tak mau orang mengabaikan atau memperlakukanku dengan buruk." Atau jika kita berhadapan dengan anak-anak, "Ini bisa saja anakku." Atau jika orang itu sebaya kita, "Ini bisa saja abang, kakak, atau sahabat karibku." Ini menolong kita untuk mengembangkan sikap yang lebih setara dan terbuka: bahwa setiap orang itu sama-sama penting. Bertindak di Bawah Pengaruh Keluguan Tataran cita gelisah lainnya ialah keluguan. Keluguan berarti, misalnya, kita terlalu sibuk mencaritahu semua rincian tentang seseorang yang jadi rekan kerja kita, dan kemudian, karena 160
ketakwaspadaan kita, keluguan kita akan keadaan mereka, kita jadi tak mampu menangani mereka dengan baik. Ingat, setiap orang adalah khas dan setiap orang punya cerita mereka sendiri, latar belakang sendiri, dan tidaklah gampang, saat kita berhadapan dengan begitu banyak klien selama seharian sampai-sampai kita tidak benar-benar punya waktu untuk memperhatikan satupun dari mereka. Akan tetapi, dalam keadaan kerja seperti apapun, seberapapun waktu yang kita punya untuk berhadapan dengan tiap orang, penting kiranya untuk mencoba belajar sebanyak mungkin tentang orang tersebut. Semakin kita tahu tentang seseorang, semakin baik kemampuan kita untuk menolong mereka. Namun, kalau kita tidak peduli, atau kita terlalu lelah, atau kita malas, maka kemampuan kita untuk menolong seseorang jadi amat sangatlah terbatas. Itu berarti bahwa selagi kita bekerja kita harus senantiasa tidak berpikir dalam kerangka "aku dan permasalahan pribadiku", tapi benar-benar memperhatikan orang lain. Dan untuk itu, kita perlu menahan diri dari pikiran yang akan membuat kerja kita jadi tidak sangkil – maksudnya, pikiran yang merusak, yang bahaya buat kerja kita. Kalau Anda hanya berpikir, "Oh, aku punya masalah di rumah dengan ini dan itu," ujungujungnya Anda tidak memperhatikan klien Anda. Bertindak dengan Perasaan Berlebih dan Kalang-Kabut Ada banyak tataran cita dan tataran perasaan yang dapat membuat kerja kita jadi kurang sangkil. Di samping perasaanperasaan gelisah yang barusan saya sebutkan, ada juga keadaan yang kita alami dimana perasaan kita berlebihan. Jika perasaan kita berlebihan dan kita kalang-kabut dengan perasaan-perasaan yang kuat, katakanlah seperti saat kita menghadapi orang-orang yang terluka dalam suatu kecelakaan, dan kita sendiri mulai 161
menangis, kita tak mungkin dapat menolong orang tersebut. Kita membutuhkan keseimbangan pelik yang memampukan kita untuk tidak terjerumus ke salah satu dari dua ujung kutubnya. Ujung kutub pertama: dingin saja, tak merasakan apa-apa. Dan ujung kutub kedua: kita menanggapi segala sesuatu dengan perasaan berlebih, sehingga kita jadi tidak bisa bekerja. Agar kita tidak terseret ke ujung kutub yang pertama, dingin dan tak merasakan apa-apa, kita perlu ingat bahwa setiap orang itu dengan hangat menanggapi sentuhan manusiawi. Mereka tidak ingin dirawat oleh seseorang yang seperti mesin. Senyuman, genggaman tangan, misalnya, kala mereka terbaring di tempat tidur rumah sakit – hal-hal semacam ini menambahkan sentuhan hangat manusiawi yang amat penting dalam menolong sesama. Di lain pihak, jika perasaan kita berlebih, maka kita perlu menyadari bahwa bersikap seperti itu sebetulnya menunjukkan bahwa kita hanya peduli pada diri kita: "Oh, aku tak sanggup. Sungguh terlalu. Betapa mengerikan." Pada dasarnya, kita berpikir dalam kerangka diri kita sendiri. Kita tidak benar-benar berpikir tentang orang lain. Kita berpikir tentang bagaimana perasaanku saat menanggapinya. Jika anak kita terluka dan kita jadi nanar dan terus-terusan menangis, kita bahkan tak dapat menolong anak itu, dan malah tindakan kita itu membuat si anak takut. Kita perlu tenang agar mampu menenangkan anak kita dan berpikir dengan jernih tentang apa yang perlu kita perbuat untuk menolongnya (katakanlah misalnya tangan anak itu teriris dan mengeluarkan banyak darah). Semua pokok yang saya sebutkan ini cocok dengan kelompok tertib-diri berbudi pekerti untuk berperilaku membangun. Dengan kata lain, kita perlu melatih diri kita atas cara-cara yang akan 162
membantu kita untuk tidak terjerumus ke ujung kutub yang baru saja kita bahas tadi. Perilaku membangun itu bukan hanya tentang melanjutkan pendidikan saja tapi juga berupaya agar diri kita mampu mengembangkan keterampilan perasaan pula, supaya mampu menolong orang lain secara sangkil dan seimbang. Ajaran Buddha menawarkan bermacam-ragam cara yang dapat menolong kita di wilayah ini. Menolong Sesama Mengatasi Kemalasan Untuk melibatkan diri dalam tertib-diri berbudi pekerti yang ketiga, yaitu sungguh-sungguh menolong orang lain, kita tentunya perlu mengatasi kemalasan. Kemalasan punya banyak segi. Satu segi, terusik oleh hal-hal lain. "Siaran televisi kesukaanku sedang diputar, karena aku menyukainya jadi mending aku menontonnya saja daripada bangun dan menolongmu," misalnya. Atau, terusik oleh hal-hal yang sepele itupun merupakan bentuk kemalasan. "Aku lebih suka berbaring lebih lama daripada bangun dan pergi kerja." Ini kemalasan juga, kan? Lalu, bentuk lain dari kemalasan ialah penunda-nundaan, menunda pekerjaan sampai nanti, dan tidak mengerjakannya sekarang. Apapun pekerjaan kita, saya kira Anda tahu bahwa pekerjaan itu cenderung menumpuk. Lebih dan lebih banyak lagi pekerjaan datang. Tidak ada hentinya. Kalau kita tidak langsung mengurus segala sesuatu saat segala sesuatu itu masuk – katakanlah ke komputer kita, atau surel, atau ke meja kerja kita – maka ia akan menumpuk semakin tinggi, dan setelahnya meluber bagai tsunami pekerjaan yang menyapu kita, membuat kita kewalahan karena terlalu banyak yang harus digarap. Kalau kita 163
mau pekerjaan yang sibuk dan banyak tuntutannya, kita tak boleh menunda-nunda. Kita harus mengurus segala sesuatu itu dari hari ke hari. Nah, tentu saja hal ini membutuhkan sikap gigih yang bersemangat. Kegigihan – lanjut terus, sekalipun kita lelah; kita harus selesai. Tapi ada titik tertentu dimana kita sungguh-sungguh harus beristirahat, karena kita tidak lagi mengurus pekerjaan kita atau berhadapan dengan orang lain dengan sangkil; kita sudah terlalu lelah. Salah satu asas penting untuk mampu mempertahankan upaya kita untuk waktu yang lama ialah dengan tahu kapan kita perlu beristirahat dan beristirahat tanpa merasa bersalah. Tapi tentu itu tidak berarti sampai memperlakukan diri seperti bayi dan terlalu banyak beristirahat. Itu namanya kemalasan: beristirahat saja karena lebih menyenangkan daripada kerja. Beristirahat itu juga artinya kita harus mengenal diri kita cukup baik untuk tahu apa yang akan membantu kita santai dan membangkitkan kembali tenaga kita. Bagi sebagian orang, mungkin cukup dengan tidur siang atau tidur saja. Bagi sebagian lainnya, mungkin lebih cocok bila keluar ruangan dan menghirup udara segar, atau sedikit jalan kaki. Bagi yang lainnya, mungkin menonton film atau televisi. Bagi yang lain, mungkin memasak. Ada begitu banyak hal yang mungkin tiap kita anggap dapat membuat santai – membaca, apapun itu. Tak masalah. Pokoknya ialah bahwa kita mengenal diri kita dan tahu kapan kita butuh beristirahat dan apa yang membantu kita untuk santai, dan selain itu, kapan kita rasa istirahat kita cukup, supaya kita tertib untuk bangun dan kembali bekerja. 164
Satu hal yang membuat kita berat untuk kembali bekerja ialah: "Aku merasa tak ingin saja." Untuk yang seperti itu, kita perlu mengupayakan dorongan kita. Kita mencoba menolong orang lain. Yang kita kerjakan memanglah menolong orang lain. Kalau kita butuh pertolongan, kita pasti tak suka kalau orang yang kita andalkan untuk menolong kita terlalu sibuk, atau terlalu capek, atau harus selesai menonton siaran televisi dulu sebelum datang dan menolong kita. Persis seperti kita yang pasti tidak suka kalau orang lain yang kita andalkan untuk menolong kita berkelakuan seperti itu, orang lain yang mengandalkan kitapun akan bersikap yang sama. Ada satu cara Buddha yang amat penting untuk hal ini, yaitu dengan membayangkan diri berada di tempat orang lain dan melihat bagaimana rasanya kalau seseorang memperlakukan kita seperti kita memperlakukan mereka. Kita telah membahas dua bentuk kemalasan, kemalasan karena diusik oleh hal-hal sepele, kemalasan karena sikap suka menundanunda. Kemalasan jenis yang ketiga ialah perasaan kurang-diri: "Aku tak cukup bagus. Aku tak mampu. Ini terlalu berat buatku." Sikap seperti itu merupakan rintangan besar. Nah, mungkin kenyataannya kita tidak tahu apa yang harus kita perbuat untuk menolong orang. Itu terjadi. Malah itu mungkin terjadi cukup sering saat kita bekerja di pelayanan masyarakat, misalnya. Tapi merasa bahwa: "Aku ini tak mumpuni. Aku tak berguna" dan menghantam jiwa dan perasaan kita sendiri, ini sama sekali tidak akan berguna, karena sebetulnya itu pun sebentuk kemalasan. Malas dalam arti bahwa kita tak mencoba lebih keras lagi; kita hanya menyimpulkan: "Aku tak cukup bagus." Kita ini bukan Buddha, setidaknya belum, dan tentu saja kita tak tahu apa yang terbaik untuk orang lain. Kita berbuat salah. Kita ini 165
manusia. Tapi pokok pentingnya ialah terus mencoba, dan tidak menyerah pada kemalasan. Dan tukar pikiranlah dengan orang lain, bilamana ada, untuk mendapat nasihat tentang cara menolong jika kita tak dapat menemukan sendiri cara yang ampuh. Walau kita perlu bertanggung jawab untuk menolong orang yang ada dalam perawatan kita, kita juga perlu menghindari sikap berlebihan, seperti merasa bahwa: "Aku ini juruselamat dan aku akan menyelamatkan setiap orang." Karena hal itu dengan mudah melencengkan kita, untuk secara tak sadar membuat setiap orang bergantung padaku dan bersyukur padaku karena aku telah menyelamatkan mereka. Lebih lagi, kita jadi cemburu dan iri kalau ada orang lain yang menolong mereka dan bukan kita yang melakukannya. Namun, kalau dorongan kita benar-benar bahwa orang lain beroleh manfaat dan ditolong, maka tak masalah siapa yang menolongnya. Pokok utamanya ialah supaya mereka mengatasi masalah mereka. Dan kalau kita dapati bahwa kita tidak – maksud saya secara obyektif kita tidak – betul-betul mampu menolong orang tersebut, penting sekali untuk tidak merasa tinggi hati dan membiarkan gengsi kita mencegah kita menganjurkan orang tersebut untuk menemui orang lain yang kita pikir dapat menolong mereka lebih baik dari yang kita bisa. Jadi, menegaskan kembali dorongan kita itu merupakan cara yang sangat penting yang ditekankan lagi dan lagi dalam ajaran Buddha. Di sini dorongan kita untuk berada dalam jenis pekerjaan sosial apapun adalah supaya orang lain ditolong mengatasi masalah mereka, bebas dari apapun masalah yang mereka hadapi. Dan tidak harus aku, bahwa harus akulah orang yang mengerjakan semua itu, meskipun, seperti kata saya tadi, kita tetap emban
166
tanggung jawab kita: "Aku akan mencoba menolong sebaik yang aku bisa." Mengembangkan Sikap Peduli Budi pekerti amat sangat bergantung pada adanya sikap peduli: "Aku peduli akan akibat dari kelakuanku terhadap orang lain." Kita bukan cuma kerja, dapat gaji, dan selebihnya peduli amat dengan orang lain atau tentang apa perbuatanku itu berguna atau tidak. Dan kita juga harus peduli akan akibat dari perilaku kita terhadap diri kita sendiri. Sikap peduli ini berdasar pada pemahaman penuh dan sungguh-sungguh akan sebab dan akibat. Kita bertindak dengan cara tertentu, dengan sejenis dorongan tertentu – yang berarti di ujungnya akan ada sejenis akibat tertentu pula, dan kita yakin betul akan adanya akibat. Itulah arti bersungguh-sungguh dan peduli terhadap hal itu. Perbuatan kita benar-benar punya akibat bagi orang lain dan bagi diriku juga. Jadi ketika kita melaksanakan ketertiban berbudi pekerti untuk menolong orang lain ini, jenis yang ketiga ini, maka di sini yang paling penting ialah bahwa kita perlu memiliki sikap peduli. Akan tetapi, sikap peduli juga ada di balik pelaksanaan perilaku membangun, ketertiban berbudi pekerti jenis ini. "Aku peduli pada kesangkilanku dalam pekerjaan, karena itu aku akan bertertib-diri untuk meneruskan pendidikan dan pelatihanku," contohnya. Dan sikap peduli ini juga ada di balik ketertiban untuk menjauh dari perilaku merusak. "Karena aku peduli pada akibat dari kelakuanku terhadap orang lain dan diriku sendiri, aku tak ingin jadi penyebab hal-hal celaka." Lebih khusus lagi: "Aku tak ingin menjadi sebab bagi hal-hal celaka dengan bertindak di bawah pengaruh amarah dan gairah dan keluguan dan kecemburuan," dan semua hal 167
sejenisnya. Gengsi: "Meskipun aku tak tahu caranya menolong, aku pura-pura tahu." Untuk memiliki sikap peduli ini, kita perlu mempunyai rasa nilai-nilai dasar, nilai-nilai budi pekerti, dan rasa hormat pada sifat-sifat baik dan mereka yang memilikinya. Dengan kata lain, kita cari orangorang yang piawai di bidang kita, bidang kerja menolong sesama – mungkin Bunda Theresa, atau siapapun yang terlintas dalam pikiran kita – dan kita mengagumi dan menghormati orang semacam itu dengan luar biasa, dan inilah panutan kita. Penting sekali kiranya untuk memiliki tokoh semacam itu yang memberi kita ilham di bidang kerja kita, yang bisa kita pandang dan lakoni sebagai panutan kita. Tidak masalah entah itu kita sudah bertemu orangnya atau belum. Tapi kita contoh orang ini karena kita punya rasa nilai-nilai. Kita anggap cara mereka menjalani hidup mereka merupakan sesuatu yang berharga, yang kuhargai. Selain itu, kita sadari bahwa kita punya semua bahan kerja dasar untuk menjadi seperti itu. Inilah yang diacu sebagai anasir-anasir sifat-Buddha dalam ajaran-ajaran Buddha. "Aku punya raga. Aku punya kemampuan untuk berhubungan. Aku punya hati, perasaan. Aku punya kecerdasan: Aku dapat memahami segala sesuatu, mengetahui segala sesuatu. Aku punya kemampuan. Aku mampu belajar." Kita memiliki semua sifat ini dalam diri kita. Inilah bahanbahan kerja kita. Maka kita sadari bahwa kita sebetulnya bisa menjadi seperti tokoh-tokoh yang mengilhami ini. Kita memiliki rasa hormat bagi diri kita sendiri, rasa nilai-nilai, dan itu memampukan kita untuk betul-betul peduli terhadap akibat dari tindak-tanduk kita dan untuk melaksanakan tertib-diri. Ia berupa perasaan bahwa: "Tentu aku selalu bisa lebih baik. Tentu aku bisa menolong." Dan kita anggap itu sebagai suatu nilai positif. 168
Inilah beberapa pemikiran saya, yang berdasar pada ajaran-ajaran Buddha, mengenai peran budi pekerti di jalan pelayanan sosial. Bila ini jenis bidang kerja yang Anda tuju dalam pendidikan Anda, maka besar kesempatan Anda untuk benar-benar melakukan sesuatu yang positif, memberi sumbangan luar biasa dengan hidup Anda. Bekerja di bidang seperti ini membuat hidup jadi amat berarti dan bernilai karena kita betul-betul membawa manfaat bagi orang lain. Di Berlin, Jerman, tempat saya tinggal, saya punya beberapa murid yang juga bekerja di bidang ini. Salah satu dari murid-murid saya itu bekerja di sebuah rumah, sebuah prasarana untuk orangorang yang berkelainan jiwa – anak-anak penderita down syndrome, dan semacamnya. Murid saya itu merawat anak-anak ini, menolong mereka dalam hidupnya. Satu murid saya yang lain adalah seorang perawat yang merawat orang-orang lansia yang cacat. Ini semua pekerjaan yang luar biasa. Tentu, kita butuh kesabaran yang luar biasa, tertib-diri yang luar biasa, tapi semua itu amat sepadan. Dan, tentu saja, rasa budi pekerti yang kuat pula. Saya begitu mengagumi Anda bila inilah arah yang Anda tuju dalam hidup Anda. Terima kasih. Tanya-Jawab Kita punya waktu untuk pertanyaan bila ada, atau kita bisa berbincang membahas satu dua hal. Profesor Petr Tsedenovich Bitkeev: Para mahasiswa sekalian, hari ini saya berkenan bertemu murid dari Yang Mulia Dalai Lama, guru rohani kita Dr. Alexander Berzin. Alexander Berzin adalah guru rohani kita. Hari ini ia memberikan kita suatu kuliah yang amat tepat-jitu, karena dewasa ini dunia kita begitu menderita karena kita 169
meninggalkan ketertiban berbudi pekerti dalam hidup kita, dalam masyarakat kita, pada teman-teman kita, dan di berbagai ranah lainnya. Karena itu saya amat menyukai kuliah hari ini. Saya pun ingin mengutarakan beberapa patah kata, karena kuliah Anda menunjukkan bahwa di bawah berbagai pertimbangan kita perlu bertindak dengan patut, dan dua hal ini: Pertama, kita semua ini memiliki sifat yang berbeda-beda, seperti dorongan, kemampuan, sikap ramah, kesediaan untuk menolong. Dan sebaliknya: jika satu orang itu mementingkan diri sendiri dan berpikir hanya tentang dirinya sendiri dan tak memikirkan orang lain. Jadi inilah yang kita pikirkan, yang dapat kita lihat di dunia ini. Saat tsunami di Asia Timur terjadi, dan di Rusia... Yang jadi pasal ialah bahwa dalam keadaan-keadaan seperti ini orang kerap hanya berpikir tentang dirinya sendiri dan tak berpikir tentang orang lain. Kalau tidak demikian, maka akan ada lebih sedikit orang yang celaka dalam semua bencana ini. Misalnya, bila bencana alam melanda dan orang-orang masih baik budi pekertinya dan mengenal satu sama lain, maka mereka – seperti di Jepang – mereka tidak mencuri, misalnya. Di TV kita melihat bahwa orangorang kaya pergi dan pintu rumah mereka terbuka tapi tak ada yang mencuri, tak ada yang mencoba mengambil sesuatu apapun, karena mereka sungguh telah menciptakan rasa budi pekerti yang tinggi. Semua ini kita lihat di TV. Sebagian orang, ketika tsunami terjadi, mencoba meloloskan diri, dan ada yang mencoba menolong orang lain, tapi semua mereka ini tewas. Jadi ada macam-macam keadaan seperti itu dalam hidup kita. Saya ingat kata-kata paman saya, Iharamba Bovaev, yang merupakan seorang guru hebat, yang menulis bahwa Tuhan bukanlah seseorang yang kita puja, tapi Tuhan ada ketika Anda 170
menghindari perilaku merusak dan Anda melakukan perbuatan membangun, dan inilah dasarnya. Inilah asas-asas yang dibicarakan guru kita Alexander Berzin hari ini. Saya mengenal Alexander Berzin mungkin 20 tahun yang lalu ketika para mahaguru pertama datang kemari. Yang pertama ialah Bakula Rinpoche, setelah itu Yang Mulia Dalai Lama, dan kemudian Alexander Berzin. Ia memberikan kuliah, dan orangorang mengamati bahwa kuliahnya amat bermakna, amat jitu, tapi juga secara metodologis amat jitu dan dekat sekali dengan keadaan masyarakat kita dan keadaan pribadi tiap orang. Dan itu amat sangat berharga. Waktu dulu itu beliau ini masih muda dan tak ada uban di rambutnya dan banyak orang menyukainya. Banyak orang mengikutinya, layaknya seorang guru agung. Setahun yang lalu, Alexander Berzin diundang ke sini dan datang mengunjungi Kalmykia, dan ia ikut-serta dalam sidang antarnegara tentang ajaran Buddha. Pada sidang ini banyak ilmuwan ambil bagian, dari Moskow, dari Saint Petersburg, dan berbagai kota di Rusia, Mongolia, dan lainnya. Putra saya, Mingyan Bitkeev, yang juga merupakan pengikut Alexander Berzin, memenangkan beasiswa dan dari dana tersebut ia membentuk suatu lembaga. Begitulah, sidang itu diselenggarakan, dan bahan-bahan dari sidang tersebut diterbitkan dalam bentuk buku sidang, dan saya putuskan bersamanya untuk menerbitkan beberapa bahan, termasuk foto-foto Alexander Berzin. Di sini kita dapat melihat foto para peserta sidang, termasuk Alexander Berzin, dan di halaman terakhir kita bisa melihat fotonya sendiri. Dan saya ingin, bila Anda tidak keberatan, memberikan majalah ini kepada Alexander Berzin sebagai tanda rasa hormat saya yang mendalam dan harapan saya agar beliau bersedia bekerjasama lagi di saat yang akan 171
datang agar Anda dan arahan-arahan Anda mengilhami generasi kami dan generasi muda berikutnya. Anda setuju? Di sini Anda bisa lihat fotonya. Yang Mulia Dalai Lama. Dan di sini foto Anda bersama dengan... Alex: Geshe Lhakdor. Profesor Bitkeev: Mungkin akan menarik bagi Anda, guru rohani kami. Saya sungguh menghormati Alexander Berzin dan kepeduliannya pada Kalmykia. Datanglah secepatnya. Alex: Pasti. Profesor Bitkeev: Saya pikir terjemahannya sangat tepat, dan juga sangat mengesankan. Terima kasih. Alex: Terima kasih. Ada pertanyaan? Silakan. Tanya: Saya ingin menghaturkan rasa terima kasih pada guru besar terhormat kami, Alexander Berzin. Saya menghadiri kuliahkuliahnya pada awal tahun 90an, dan terima kasih sekali Anda sudah mau datang. Saya teringat Geshe Wangyal, pembimbing rohani Anda, dan saya tahu bahwa meditasi yang ia sukai adalah meditasi yang berkenaan dengan kematian dan ketaktetapan. Itu salah satu dari laku utama yang dijalankannya. Dan, saya ingin dengar pendapat Anda pada ungkapan dari beliau, bahwa: "Hidup adalah persiapan untuk mati." Anda setuju dengan itu? Alex: Jadi pertanyaannya adalah tentang pokok yang ditekankan oleh Geshe Wangyal, bahwa hidup adalah persiapan untuk mati. Dalam laku Buddha, kita bicara banyak tentang kelahiran kembali yang berharga sebagai manusia, dalam mana kita terbebas dari 172
segala macam keadaan susah yang menghalangi kita untuk berupaya dan memperbaiki diri dalam hal kerohanian. Dan kita belajar untuk menghargai betapa hidup kita ini kaya akan kesempatan untuk mampu belajar dan melakukan ajaran. Ketika kita sadari betapa langkanya hal itu dibanding yang lain – bukan hanya orang, tapi juga binatang – yang tak dapat berbuat banyak untuk memperbaiki diri, maka kita tergerak untuk mencoba membuat hidup kita jadi berarti, memanfaatkan kesempatan yang kita punya, bukan menyia-nyiakannya. Meditasi kematian berpusat pada fakta bahwa kematian pasti mendatangi kita semua. Alasan bagi kematian adalah kenyataan bahwa kita lahir. Penyebab akhir kematian itu sendiri hanyalah syarat belaka, unsur-sebab yang memungkinkannya terjadi; tapi alasan kita mati adalah karena kita telah lahir. Kalau kita tak lahir, kita takkan mati. Tapi tak ada dari kita yang tahu pasti kapan maut menjemput. Kita bisa mati kapan saja. Tak harus sakit. Tak harus menunggu tua. Anda bisa ditabrak truk sewaktu-waktu, pastinya. Dan kita berpikir: "Apa yang bisa membantu pada saat kematianku?" Kalau kita menghabiskan seluruh hidup kita mencoba menumpuk sebanyak mungkin kekayaan bendawi, seperti uang, ini sama sekali tidak akan membantu kita pada saat kematian. Tak peduli seberapa tenar kita, itu juga takkan menolong kita. Bahkan meski orang-orang yang kita cintai ada di sekeliling kita itu juga tidak akan mampu membantu pada saat kematian. Dalam ajaran Buddha ada perkataan, "Engkau lahir sendiri dan mati sendiri." Itulah fakta kehidupan. Satu-satunya hal yang akan membantu kita, menyamankan hati kita, pada saat kematian adalah kalau kita telah menjalani 173
kehidupan yang berarti, kalau kita telah sepenuhnya memanfaatkan kehidupan manusia berharga yang kita miliki ini. Bukan berarti bahwa kita telah jadi pelancong dunia dan kita bisa membuat daftar tempat-tempat yang pernah kita kunjungi, melainkan sifat-sifat positif apa, kebiasaan-kebiasaan positif apa, yang telah kukembangkan dan kuperkuat lebih dan lebih lagi? Maksudnya, dalam hal kehidupan masa mendatang. Agama Buddha percaya pada kelahiran kembali. Dan jenis bakat yang akan kita miliki, ciri-ciri dasar dari kepribadian kita, semua ini berdasar pada kebiasaan-kebiasaan yang kita bina di dalam kehidupan sebelumnya. Misalnya, di kehidupan yang sekarang ini hal itu akan mempengaruhi jenis orang seperti apa kita jadinya nanti di kehidupan berikutnya, jika kita beruntung terlahir kembali sebagai manusia. Jalan kerohanian itu amat panjang. Butuh sejumlah besar waktu dan upaya untuk mengatasi semua perasaan gelisah dan kebingungan dan sikap mementingkan diri sendiri. Dan tidak masuk akal bila kita bayangkan kita akan menyelesaikan tugas tersebut hanya dalam masahidup yang ini saja; akan menyenangkan sekali bila bisa, tapi tampaknya bukan itu yang bakal terjadi. Jadi masahidup yang ini adalah persiapan untuk mampu melanjutkan jalan kerohanian kita. Kita ingin membina lebih dan lebih banyak sifat positif lagi, lebih banyak pemahaman lagi, dan seterusnya, supaya kita punya dasar yang bahkan lebih baik di masahidup berikutnya dalam perkembangan kerohanian kita. Inilah pemahaman Buddha yang cukup tegas atas pernyataan bahwa hidup ini adalah persiapan untuk mati (yang artinya kematian dan segala sesuatu setelahnya). Tapi banyak dari kita 174
yang tidak benar-benar memahami atau percaya pada kelahiran kembali. Tetap saja pernyataan bahwa hidup kita adalah persiapan untuk kematian itu punya makna, karena pertanyaan sesungguhnya yang banyak dari kita hadapi saat menua adalah: Apa yang akan aku tinggalkan? Apa andilku dalam membuat dunia ini jadi lebih baik, tempat yang lebih baik bagi generasi masa depan? Bisa saja bahwa kita telah berketurunan, dan mendidik mereka, dan mereka akan melanjutkan masa depan. Itu satu pencapaian. Tapi kita juga bisa berpikir dalam jangka yang lebih luas dari keluarga kita dan berpikir dalam hal segala macam orang yang mungkin dapat kutolong, entah itu secara langsung atau tidak, lewat hidupku ini. Kalau kita dapat mati dengan kedamaian cita, dengan perasaan bahwa aku telah sungguh-sungguh menjalani kehidupan yang bermakna, aku telah turut andil, andil yang positif, bagi dunia, bagi masa depan, entah itu masa depanku atau masa depan dunia atau dua-duanya, maka kita dapat meninggal dengan kedamaian cita dan tanpa penyesalan. Jadi, dalam pengertian yang lebih lugas, cara kita menjalani hidup akan sangat mempengaruhi tataran cita kita saat mati. Apakah kita akan mati dalam tataran ketakutan, tataran kalang-kabut, atau tataran ketenteraman dan kepuasan bahwa hidupku ini telah bernilai? Ada satu bentuk laku dalam ajaran Buddha: yaitu membayangkan bahwa Anda akan mati dalam beberapa saat lagi. Apa ada penyesalan atas hidup Anda? Anda merasa bahwa Anda telah menghabiskan hidup Anda secara bernilai? Karena kita bisa mati sewaktu-waktu, penting sekali untuk menyiapkan hati atas kedatangan maut kapan saja dan tak ada penyesalan di sana.
175
Tanya: Apakah ajaran Buddha punya cara yang dapat menolong kita untuk menghadapi, misalnya, tataran cita merusak seperti kecurigaan? Alex: Kecurigaan? Coba saya pikir dulu. Penerjemah: Seperti purbasangka. Alex: Kecurigaan yang Anda maksud itu purbasangka? Curiga: "Apa orang ini akan melukai atau mencelakaiku?" Apa yang seperti itu yang Anda maksud dengan curiga? Peserta: Sesuatu seperti terlalu peka. Sesuatu seperti itu. Terlampau peka. Alex: Terlampau peka. Peserta: Seperti firasat. Alex: Betul. Firasat. Terlampau peka. Itu arahnya kepada paranoia, selalu merasa: "Orang-orang menentangku. Sebetulnya apa niat mereka," dan seterusnya. Ada dua segi di sini. Yang pertama ialah rasa tak aman yang mendorong kita untuk selalu khawatir bahwa seseorang akan menentangku, seseorang akan melukaiku. Itu dasarnya rasa tak aman. Dan segi yang kedua ialah terlampau peka, tindakan yang kelewatan. Nah, untuk mengatasi rasa tak aman, kita dapat menghadapinya dalam banyak tingkatan. Satu, percaya diri saja pada kemampuan kita untuk menghadapi apapun yang terjadi dalam hidup ini. Contoh Buddha Shakyamuni amat berguna di sini. "Tidak semua orang menyukai Buddha, jadi aku mau berharap apa? Apa aku berharap setiap orang akan suka padaku?" Itu sama sekali tidak makul 176
(realistis). Menyenangkan hati semua orang itu tidak mungkin. Buddha tak dapat melakukannya, jadi aku tak seharusnya berharap bahwa aku akan mampu menyenangkan setiap orang dan setiap orang akan menyukaiku. Aku coba yang terbaik – niatku baik – dan perkara mereka suka atau tidak, itu masalah mereka. Saya dapati itu berguna sekali. Dan tentu saja semakin banyak kita berlatih, semakin banyak pengalaman yang kita peroleh sembari usia yang semakin tua, secara umum Anda merasa sedikit lebih aman. Ketika Anda masih anak muda, seorang remaja, agaknya memang alamiah saja kalau Anda bahkan merasa lebih tak aman lagi karena seperti selalu butuh persetujuan orang lain, orang suka pada Anda, dan seterusnya. Kita perlu menegaskan kembali sifat-sifat baik yang kita miliki. Itu tidak berarti menyangkal atau mengabaikan kekurangankekurangan yang kita punya, tapi jika kita terlalu menekankan pada kekurangan saja maka kita jadi merasa amat sangat tak aman. Tak ada orang yang isinya hanya kekurangan saja; semua kita punya sifat baik, dan penting sekali bagi kita untuk senantiasa mengingatkan diri kita akan hal itu. Tidak pula berarti jadi sombong dan pongah, tapi maksudnya supaya kita punya rasa percaya diri. Terlalu peka, bertindak kelewatan, kesal sekali tentang ini dan itu – lagi-lagi, kita perlu berpikir: "Ini tak ada gunanya bagi siapapun." Hal itu membuat kita tak mampu menghadapi hidup, dan membuat setiap orang di sekitar kita jadi merasa sangat tak nyaman. Semakin kita berpikir tentang orang lain, dalam jenis keadaan apapun yang kita alami, semakin penuh pertimbanganlah kita jadinya, semakin tenang kita jadinya, dalam hal cara kita menanggapi segala sesuatu secara perasaan. Contoh yang sering digunakan ialah contoh seorang ibu. Seorang ibu bisa saja kesal 177
sekali tentang sesuatu, tapi jika anak-anaknya perlu dijaga – makan malam harus dibuatkan untuk mereka – si ibu tadi mengatasi kekesalannya dan melakukan apa yang perlu dilakukan untuk membantu anak-anaknya. Tanya: Untuk memurnikan kesadaran kita dan mencapai keadaan dalam mana cita kita terbuka, kita harus mengembangkan penyerahan pada tingkat yang halus. Apakah itu penafsiran yang benar atau agak keliru? Alex: Apa kita perlu mengembangkan mengembangkan diri kita? Ya, tentu.
penyerahan
untuk
Penyerahan dalam ajaran Buddha berarti suatu tekad untuk bebas dari permasalahan dan sebab-sebabnya. Tekad tersebut menyiratkan kesediaan untuk menyerahkan Ikhtisar
178
Empat Kebenaran Mulia Malam ini saya diminta untuk memulai rangkaian ceramah ini dengan membahas tentang Empat Kebenaran Mulia. Ini cara memulai yang pas karena seperti itulah cara Buddha mengawalinya ketika ia mulai mengajar. Terdapat banyak tata ajaran, ajaran rohani, entah itu kita sebut agama atau filsafat, ada banyak tata, dan Buddha tentu sadar akan banyaknya tata yang ada pada masa hidupnya dan kini kita bahkan punya lebih banyak tata lagi. Dengan begitu ketika kita mendekati ajaran Buddha, saya pikir cukup penting untuk mencoba mengenali apa yang khas darinya. Ajaran Buddha, tentu saja, mencakup banyak ajaran yang sama-sama dimiliki oleh tata yang lain: jadilah orang baik hati, lemah-lembut, penyayang, jangan lukai siapapun. Ini kita dapati pada hampir setiap agama, bukan? Ada di setiap filsafat. Jadi tentu saja ajaran Buddha mengajarkan itu juga. Namun kita tidak perlu sampai beralih ke ajaran-ajaran Buddha untuk tahu tentang itu, walau ajaran Buddha cukup kaya akan cara untuk mampu mengembangkan kebaikan hati dan cinta dan welas asih dan kita dapat memetik manfaat dari cara-cara tersebut entah kita menerima atau tidak hal-hal lain dalam ajaran Buddha itu sendiri. Tapi, jika kita bertanya, "Apa yang secara khusus khas ajaran Buddha?" maka kita perlu melihat Empat Kebenaran Mulia. Dan bahkan di dalam pembahasan Empat Kebenaran Mulia, kita akan mendapati banyak hal yang sama-sama dimiliki oleh tata-tata lainnya. Nah, saat kita lihat ungkapan "Kebenaran Mulia", harus saya katakan bahwa itu terjemahan yang agak aneh karena sebetulnya maksud ungkapan tersebut ialah bahwa ada empat fakta yang 179
dilihat benar oleh mereka yang telah melihat kenyataan secara nirsekat. Jadi ini berarti bahwa meskipun ini merupakan fakta yang benar, sebagian besar orang tidak benar-benar memahaminya. Mereka bahkan tak sadar akan adanya empat hal tersebut. Jadi kata "Mulia" di situ, seperti saya katakan tadi, bukanlah padanan yang paling jitu karena terdengar seperti keningratan abad pertengahan. Sebetulnya itu mengacu pada mereka yang telah berkesadaran tinggi. Fakta sebenarnya yang pertama biasanya disebut "duka". Buddha berkata bahwa hidup kita diisi oleh duka dan bahkan yang mungkin kita anggap sebagai kebahagiaan biasa kita, itu juga dilumuri banyak masalah. Kalau kita perhatikan kata tersebut – Anda tahu saya ini penerjemah jadi saya suka memperhatikan kata-kata – kalau Anda perhatikan kata "duka" tersebut berasal dari kata Sanskerta duhka. Kha itu sebuah ruang dan duh itu imbuhan. Ada juga kata sukha yang berarti kebahagiaan dan dukha yang berarti ketakbahagiaan; jadi duhsebagai sebuah awalan berarti 'tak memuaskan', 'tidak baik', 'tidak menyenangkan'. Saya tak ingin menggunakan kata yang cenderung menghakimi seperti "buruk", tapi memang ke situ arahnya. Jadi, kata itu menyiratkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan ruang ini, dan "ruang tersebut" maksudnya keseluruhan ruang batin kita, ruang hidup kita. Sungguh sebuah keadaan yang tak menyenangkan. Nah, apa yang tak menyenangkan dari hal itu? Pertama-tama, kita menderita: didera rasa sakit, ketakbahagiaan, kesedihan. Dan ini merupakan hal yang kita semua pahami dan setiap orang ingin menghindarinya, binatang sekalipun. Jadi tak ada yang khas pada ajaran Buddha yang mengatakan bahwa rasa sakit dan ketakbahagiaan merupakan keadaan tak memuaskan, akan baik 180
sekali bila kita keluar dari keadaan itu. Jenis duka yang kedua disebut penderitaan perubahan dan itu maksudnya tentang kebahagiaan biasa yang sehari-hari kita rasakan. Apa masalahnya? Masalahnya ialah bahwa kebahagiaan itu tidak langgeng. Ia berubah. Jika yang kita anggap kebahagiaan biasa itu sebagai kebahagiaan yang sebenarnya, maka semakin sering kita mengalaminya, semakin bahagia pula kita. Jadi, jika kita bahagia karena makan cokelat, maka semakin banyak cokelat yang kita makan selama berjam-jam, semakin bahagialah kita; dan pada kenyataannya tidak demikian. Dan sekalipun orang tercinta yang membelai tangan kita, kalau ia melakukannya selama berjam-jam, tangan kita mulai terasa sakit. Jadi, kebahagiaan itu berubah. Dan tentu saja, kita tak pernah merasa cukup dengan kebahagiaan kita yang biasa; kita tak pernah puas. Kita selalu ingin lebih banyak cokelat, mungkin tidak harus segera, tapi setelah beberapa saat. Menarik sekali kalau Anda pikirkan, "Seberapa banyak makanan kesukaan yang harus Anda makan supaya Anda menikmatinya?" Segigit, secuil cicipan saja sudah cukup, bukan? Tapi kita mau lebih dan lebih dan lebih banyak lagi. Nah, keinginan mengatasi masalah sejenis ini, kebahagiaan duniawi kita yang lumrah biasa, bukan ajaran Buddha saja yang menjadikannya sebagai tujuan. Bukan ajaran Buddha saja yang bertujuan mengatasi kebahagiaan lumrah biasa yang kita miliki dan menemukan kebahagiaan abadi yang lintas-fana. Ada banyak sekali agama yang mengajarkan, "Lampauilah kenikmatan-kenikmatan duniawi; capailah surga dengan sukacita abadi." Jadi, bukan secara khusus di lingkup ajaran Buddha saja, kan? Nah, sekarang ada duka jenis ketiga dan ini yang secara khusus berada di lingkup ajaran Buddha dan yang satu ini disebut 181
"penderitaan serba-merembes" atau "masalah serba-merembes". Ia merembesi segala sesuatu yang kita alami; dan ini maksudnya kelahiran kembali kita yang berulang tanpa terkendali, yang merupakan dasar dari naik-turunnya hidup kita sehari-hari. Dengan kata lain, terlahir kembali, lagi dan lagi, dengan jenis kehidupan yang kita miliki, dengan jenis cita dan raga dan seterusnya yang kita punya, merupakan dasar bagi dua masalah yang pertama. Tentunya, itu masuk dalam pokok bahasan kelahiran kembali, yang akan kita bahas besok, jadi saya tidak ingin masuk terlalu rinci tentang hal itu. Nah, ada banyak tata filsafat India lainnya yang mengajarkan tentang kelahiran kembali, jadi yang diajarkan Buddha bukanlah hal baru. Namun ia menggambarkannya dan memahami alurkerjanya jauh lebih mendalam dan dengan cara yang berbeda dari filsafat dan agama lain pada masa itu. Dan Buddha memberikan penjelasan yang amat purna tentang alur-kerja kelahiran kembali, betapa cita dan raga kita mengalami naik-turun, ketakbahagiaan, dan kebahagiaan biasa. Hal ini membawa kita pada kebenaran kedua, Kebenaran Mulia yang kedua. Tapi, seperti tadi saya katakan, saya tidak akan masuk ke penjelasan lengkap tentang alur-kerja kelahiran kembali, tapi apa penyebabnya? Jika kita lihat sebab sebenarnya, kita akan mampu mulai memahami apa yang dibicarakan Buddha. Jadi kita tidak mesti membahas kelahiran kembali malam ini, tapi kita coba memahami apa yang Buddha jelaskan hanya dengan cara penalaran sederhana. Kita bicara tentang duka dan kebahagiaan biasa – ini semua berasal dari suatu sebab, dan Buddha bicara tentang "sebab-sebab sebenarnya". Kita mungkin berpikir bahwa semua itu kita alami sebagai hadiah dan hukuman dan segala 182
macam hal sejenisnya, tapi Buddha bicara tentang apa sebab sebenarnya, dan ia bicara tentang perilaku merusak dan perilaku membangun. Nah, apa maksudnya perilaku merusak ini? Apa artinya sekadar menimbulkan celaka? Ya, sebetulnya, saat kitab bicara tentang menimbulkan celaka, kita bisa bicara tentang mencelakai orang lain atau mencelakai diri kita sendiri. Jadi, amat sulit untuk menilai apakah perilaku kita betul-betul mencelakai orang lain atau tidak. Kita bisa saja melimpahi seseorang dengan uang dan, alhasil, mereka dibunuh oleh orang lain dalam sebuah perampokan. Kita tidak sungguh-sungguh tahu apa nantinya yang jadi akibat dari perbuatan kita untuk orang lain. Kita ingin menolong mereka, itu tujuan kita, tapi tak ada jaminan. Namun yang pasti ialah bahwa jenis perilaku tertentu itu akan membawa celaka pada diri kita sendiri. Nah, inilah yang dimaksud Buddha sebagai perilaku merusak. Ia bersifat merusak-diri. Dan sifat tersebut mengacu pada tindakan, perkataan, atau pikiran yang diperbuat atas pengaruh perasaan-perasaan gelisah. Perasaan-perasaan gelisah – sifatnya menggelisahkan. Jadi perasaan-perasaan tersebut membuat kita kehilangan kedamaian cita dan kendali-diri. Wujudnya dapat berupa amarah, keserakahan, dan kemelekatan, iri, kepongahan, keluguan, dan plin-plan (ketakmampuan untuk mengambil keputusan mantap). Ada sederet panjang daftarnya dan ketika pikiran kita sepenuhnya terjebak pada semua hal ini dan kita bicara di bawah pengaruhnya atau bertindak di bawah pengaruhnya, ketakbahagiaanlah yang terjadi pada diri kita. Mungkin tidak langsung, tapi dalam jangka panjang, karena ada terbina kecenderungan untuk terus seperti itu. Dan, di sisi lain, arti dari perilaku membangun adalah perilaku yang 183
tidak berada di bawah pengaruh perasaan-perasaan gelisah ini dan, malah, perilaku yang bahkan didorong oleh perasaanperasaan seperti kasih dan welas asih atau kesabaran. Yang jelas, ketika kita bertindak secara membangun, hal itu akan berbuah kebahagiaan. Paham? Cita kita lebih santai, lebih tenang. Kita sedikit lebih mampu untuk mengendalikan diri, dan kita tidak mengutarakan hal-hal bodoh atau bertindak konyol. Dan mungkin tidak langsung juga, tapi dalam jangka panjang, jenis kebahagiaan yang dibawa oleh perilaku membangun pada diri kita ini merupakan sesuatu yang telah melandasinya, pada dasarnya dalam wujud keluguan tentang cara kita mengada, tentang cara yang lain mengada, tentang kenyataan pada umumnya. Nah, kebahagiaan biasa dan ketakbahagiaan kita, kedua hal itu bukanlah hadiah atau hukuman oleh sesosok hakim, seperti sosok lain di luar kita. Keduanya timbul hampir seperti hukum fisika. Dan apa dasarnya? Dasarnya ialah kebingungan kita. Kita bingung, contohnya, tentang aku; bahwa aku harus seperti yang kumau. Paham? Kita pikir, "Aku adalah orang terpenting; aku harus seperti yang kumau dan aku harus mendapat tempat terdepan di antrian di swalayan; aku harus yang pertama," dan lain sebagainya. Dan karena itu kita marah pada orang yang ada di depan kita; kita dorong atau desak dia. Kita tamak akan, seperti yang Anda tahu, tempat pertama. Paham? Kita tak sabar karena ada orang yang terlalu lama dan cita kita diisi dengan segala macam pikiran tak menyenangkan tak membahagiakan tentang orang itu, bukan? Dan sekalipun kita bertindak secara membangun, ada juga banyak kebingungan tentang "aku" di baliknya. Kita kerap kali bersedia menolong orang lain karena kita ingin mereka menyukai kita. Kita ingin mereka mengasihi kita atau setidaknya berterima kasih pada 184
kita; atau kita mungkin menolong mereka karena itu membuat kita merasa dibutuhkan. Banyak orangtua seperti itu terhadap anakanak mereka dan, meski menolong orang itu memang bisa membuat kita merasa bahagia, ada sesuatu yang tidak begitu membuat nyaman di baliknya. Dan begitulah, kebahagiaan yang mungkin kita alami – mungkin tidak secara langsung, tapi dalam jangka panjang – jenis kebahagiaan seperti itu tak pernah langgeng. Ia berubah menjadi sesuatu yang tak memuaskan. Ini berlangsung terus dan terus di sepanjang hidup kita sekarang dan, seperti dalam pandangan ajaran Buddha, hidup kita di masa mendatang pula. Dan jika kita mengamatinya sedikit lebih dalam, kita bingung dengan segala sesuatu. Paham? Kita begitu mengasihi seseorang, kita sepenuhnya melebih-lebihkan sifat baik mereka. Atau kita tidak menyukai seseorang begitu hebatnya, kita sepenuhnya melebihlebihkan sifat buruk mereka. Kita tidak melihat ada satu kebaikan pun dalam diri mereka. Dan semakin kita menyelidikinya, semakin banyak kebingungan yang kita dapati melandasi setiap waktu, setiap pengalaman kita. Dan kini, lebih jauh lagi, lebih dalam lagi, dasar dari hal ini ialah bahwa ada batasan-batasan. Kita memiliki banyak batasan lantaran bercita dan beraga seperti yang kita miliki ini. Jika Anda pikir-pikir, saat kita menutup mata, tampak seolah seisi dunia ini tidak ada dan hanya ada aku; dan ada suara yang gemerisik di kepala kita dan seolah-olah itulah "aku", di dalam apa? Di dalam kepalaku? Di dalam diriku? Aku di dalam aku – itu janggal sekali. Dan kita mengenalinya karena dia itulah yang selalu mengeluh: "Aku harus di depan; aku harus begini." Dia itulah yang selalu khawatir. Dan entah bagaimana tampak seolah-olah "aku" itu, suara di dalam kepala kita itu, istimewa dan ada tersendiri dari 185
setiap orang lain, karena ketika aku menutup mataku, tak ada apaapa. Hanya ada "aku". Jadi ini amat membingungkan karena jelas-jelas kita tidak mengada secara tersendiri dari setiap orang lain; dan sungguh tak ada yang istimewa tentang siapapun. Kita semua orang. Saya pernah punya pandangan seperti ini: ada seratus ribu penguin di Antartika, semua mereka berdiri di atas dataran salju itu. Nah, apa yang membuat yang satu lebih istimewa dari yang lain? Mereka semua sama. Begitu juga kita. Mungkin bagi penguin-penguin itu, semua manusia tampak serupa. Baiklah, jadi, di atas dasar pikiran, "Oh aku begitu istimewa dan aku mandiri dari setiap orang lainnya," kemudian aku harus seperti yang kumau dan aku marah kalau tidak begitu. Karena itu pada dasarnya piranti keras cita kita ini, raga kita dsb. merupakan wadah yang baik untuk tumbuhnya kebingungan ini. Saya melihat – ya, memang agak janggal bila diungkapkan seperti ini, seolah-olah ada seorang "aku" di dalam sini – tapi saya melihat keluar lewat lubang-lubang di depan kepala ini. Saya tak bisa melihat apa di belakang. Saya hanya bisa melihat yang sekarang. Saya tak bisa melihat apa yang terjadi sebelumnya. Saya tak bisa melihat apa yang terjadi setelahnya; amat terbatas. Paham? Saya semakin tua. Saya tak bisa mendengar dengan baik, jadi Anda bilang sesuatu, telinga saya tak menangkapnya dengan tepat. Saya pikir Anda mengatakan hal lain dan kemudian saya jadi marah karena itu. Konyol, kan? Jadi, permasalahan yang serba-merembes ini membuat kita terusmenerus mengalami kelahiran kembali lagi dan lagi dengan jenis raga, jenis cita ini yang hanya akan mengekalkan kebingungan ini. 186
Dan atas dasar kebingungan itu, kita bakal bertindak secara merusak atau bertindak dengan cara-cara membangun yang biasanya, dan hal tersebut berbuah ketakbahagiaan dan duka dan kebahagiaan biasa yang pasti berubah. Dan sebetulnya, jika kita lihat lebih dalam lagi – tapi ini rumit, jadi saya tidak akan ke arah situ – kebingungan itu sendirilah yang menggerakkan kelahiran kembali yang berulang tak terkendali ini. Paham? Karena kita ingin lebih dan lebih dan lebih lagi. Itulah perkara yang sebenarnya dari permasalahan yang sebenarnya dan duka yang sebenarnya. Kebingungan ini; kebingungan itu... saya menggunakan istilah itu sebagai kata yang umum saja. Istilah yang lebih khusus sebetulnya adalah "ketaksadaran". Ketaksadaran, yang biasanya diterjemahkan jadi "kebodohan". Saya tidak suka kata "kebodohan", karena kata ini menyiratkan bahwa kita bodoh. Bukan begitu masalahnya, bukan karena kita bodoh. Bukan itu arti sebenarnya, tapi "ketaksadaran" berarti bahwa kita tidak tahu cara kita mengada atau cara segala sesuatu mengada, maka – dalam pengertian itu – kita tidak waspada "Aku tak tahu menahu" atau "Aku keliru mengetahuinya, terbalik"; seperti misalnya, aku berpikir bahwa akulah satu-satunya orang di dunia ini, akulah yang terpenting dan itulah persisnya kebalikan dari kenyataan. Kenyataannya adalah kita semua di sini bersama. Kita bersinggungan satu sama lain; dan bukan karena aku bodoh, tapi karena raga dan cita ini rasanya seperti itu. Aku menutup mataku dan ada suara di dalam kepalaku, jadi – bagaimana mengatakannya – lumrah saja kalau kita tak waspada, kalau kita bingung. Dan inilah mengapa kita katakan bawa inilah yang disebut dengan "Kebenaran yang Mulia". Mereka yang melihat kenyataan 187
melihatnya dengan cara berbeda dari cara setiap orang lain yang melihatnya, karena kita semua berpikir bahwa kebingungan kita ini dan dugaan-dugaan ini mengacu pada kenyataan. Kita yakin ia benar. Kita tak pernah memikirkannya betul-betul, tapi rasanya seperti itu. "Hoi, aku ini yang terpenting. Harus seperti yang kumau. Yang lain harus menyayangiku," atau kebalikannya, "Yang lain seharusnya membenciku, karena aku tak ada baiknya." Maksud saya, itu ya sama saja, hanya sisi lain dari uang logam yang sama. Baik, jadi itulah Sebab yang Sebenarnya. Nah, Kebenaran Mulia yang Ketiga adalah... saya menyebutnya "penghentian yang sebenarnya". Biasanya diterjemahkan jadi "gencatan yang sebenarnya", tapi itu kata yang sukar dan tak perlu; artinya ya penghentian. Dan arti dari hal ini ialah bahwa mungkin bagi kita untuk mengenyahkan kebingungan ini, menghentikannya, agar ia tak pernah berulang lagi. Dan jika kita mengenyahkan kebingungan ini, sebab yang sebenarnya ini, maka kita akan mengenyahkan pula permasalahan yang sebenarnya: naik dan turun dan kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali yang menjadi dasarnya. Maka, kita akan memperoleh yang disebut "pembebasan". Kalau Anda akrab dengan kata-kata Sanskertanya, kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali itu samsara dalam Sanskerta, dan pembebasan itu nirwana. Baik. Nah, tata-tata India lain pada masa hidup Buddha juga bicara tentang pembebasan dari samsara. Itu hal yang umum di India. Tapi yang dilihat Buddha adalah bahwa tata-tata lain ini tidak cukup mendalam dalam mengenali sebab yang sebenarnya. Dan sekalipun kita mungkin terlepas dari masalah berulang tanpa terkendali ini – Anda bisa saja terlahir di sejenis alam mendalam yang, selama lelaksawarsa, di situ cita Anda kosong – tapi 188
bagaimanapun juga itu pasti ada akhirnya. Jadi Anda tak betulbetul memperoleh pembebasan dengan tata-tata yang lain ini. Nah, penghentian yang sebenarnya. Amat penting untuk memahami dan percaya bahwa mungkin untuk mengenyahkan kebingungan ini, agar ia tak pernah berulang lagi. Kalau tidak, buat apa Anda mencoba mengenyahkannya? Kalau tidak, Anda mungkin akan diam dan menerima saja keadaan sulit ini dan mencoba menjalaninya, seperti wujud tujuan akhir dari rata-rata terapi jiwa. "Belajarlah menjalaninya; atau minum pil ini saja." Jadi untuk memahaminya, kita perlu melihat Kebenaran Mulia yang Keempat. Kebenaran Mulia yang Keempat membantu kita memahami yang Ketiga. Kebenaran Mulia yang Keempat adalah... biasanya diterjemahkan jadi "jalan yang sebenarnya", tapi jalan itu bukan... kita tidak sedang bicara tentang sesuatu yang bisa Anda jalan di atasnya. Bukan begitu maksudnya. Maksud sebenarnya ialah suatu tataran cita yang, jika kita kembangkan, menjadi sebuah jalan menuju pembebasan. Jadi saya menyebutnya "cita jalan-rintis", tapi sukar sekali diterjemahkan kedalam sebagian besar bahasa lain. Pokoknya ialah untuk tidak memahaminya sebagai sebuah jalan (layaknya jalan raya); tapi sebagai sebuah tataran cita. Baik. Nah, kita bayangkan yang sampah benar-benar. Jadi, kalau pembayangan itu ada tingkatannya, yang kita bayangkan ini adalah tingkat yang isinya sampah semua; di tataran paling berlebihannya ada pembayangan paranoia: setiap orang menentangku. atau skizofrenia. Atau, bisa agak halus: "Ini kue cokelat paling menakjubkan yang pernah kulihat. Kalau kumakan, aku akan sangat bahagia. Itu yang benar-benar kuinginkan." 189
Paham? Saya mengalaminya pada penerbangan ke sini. Saya singgah di Vienna; Vienna – strudel apelnya pasti yang terbaik di dunia. Saya pesan sepotong kue strudel apel itu. Ternyata bukan yang terbaik di dunia. Jadi, pembayangan, sampah; tidak mengacu pada kenyataan. Kue strudel apel itu ada. Strudel itu bukan pembayangan di cita saya, tapi caranya mengada – sebagai hal paling mempesona dan bahwa saya akan benar-benar bahagia kalau memakannya – itulah yang terbayangkan oleh cita saya. Sama juga, saya ada, Anda ada. Ajaran Buddha tidak berkata bahwa kita tak ada. Yang kita bayangkan adalah cara mengada yang tidak mengacu pada kenyataan sama sekali. Paham? Bahwa segala sesuatu itu mengada secara mandiri tersendiri – itulah cara mengada yang mustahil. Paham? Segala sesuatu timbul dari sebab dan keadaan. Segalanya berubah setiap waktu, tapi kita tak melihat itu; kita hanya melihat apa yang ada di depan mata. "Temanku harusnya datang; temanku tadi tak datang," bagaimana itu tampak pada saya? "Dasar kau jahat, selalu mengecewakanku; kau tak menyayangiku lagi." Kita marah. Kita pikir hidup mereka itu ada tersendiri, terpisah dari kemungkinan adanya macet, adanya kerja lembur di kantor, adanya... bisa apa saja. Tapi ini timbul dari sebab dan keadaan, jadi tidak mungkin saja kalau dari mereka sendiri, tersendiri dari segala hal lain, mereka itu orang jahat. Tapi cita kita membayangkan hal itu. Kita gandeng erat bayangan itu, tak mau kita lepaskan. Itu membuat amarah, perasaan gelisah, dan kemudian pas kita bertemu orang itu di lain waktu, perilaku merusaklah yang muncul. Kita membentaknya, kita bahkan tak memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Kita hardik, "Ohhh," di sepanjang peristiwa itu kita merasa sengasara dan tak bahagia, kan? 190
Jadi, seperti itu pulalah contoh-contoh lainnya. Aku ada, tapi entah bagaimana tampak bagiku bahwa caraku mengada, terpisah sendiri dari setiap orang lainnya dan istimewa dan seterusnya – itu semua pembayangan semata. Sampah saja. Tidak mengacu pada suatu apapun yang nyata. Ketiadaan sesuatu hal yang nyata yang diacunya itu, ketiadaan itulah yang kita sebut kehampaan dalam ajaran Buddha. Kata dalam bahasa Sanskerta untuk itu sepadan dengan nol; bukan berarti ada kotak dan kotak itu kosong, itu konyol. Itu berarti "tiada": tidak mengacu pada sesuatu hal yang nyata. Tak ada, nol, tiada hal nyata yang diacunya. Anda tahu, kita bisa bayangkan bahwa orang ini, pasanganku ini, adalah pangeran atau putri sempurna di atas pelana kuda putih, orang sempurna seperti dalam dongeng. Itu tak mungkin. Tak ada satu orangpun yang mengada seperti itu, tapi kita selalu saja mencarinya. Paham? Kita selalu saja mencari pangeran atau putri itu dan kita membayangkannya ada pada seseorang dan kemudian ternyata orang itu tidak seperti itu, lalu kita kecewa dan mencari yang lain lagi. Paham? Itu cara mengada yang mustahil. Dan apa yang diacunya? Nol, tiada; itulah kehampaan, ketiadaan. Jadi, jalan cita yang sebenarnya, pemahaman yang sebenarnya merupakan pemahaman bahwa ini sampah. Tak ada yang nyata yang diacunya. Nah, kalau Anda lihat sebab yang sebenarnya, sebab yang sebenarnya dari duka adalah percaya bahwa hal itu memang mengacu pada suatu hal yang nyata. Jalan yang sebenarnya adalah bahwa hal itu tak mengacu pada suatu hal yang nyata. Keduanya saling terpisah satu sama lain. Saya ulangi. Kebingungan itu adalah berpikir bahwa hal ini memang mengacu pada sesuatu yang nyata. Pemahaman yang benar adalah bahwa hal seperti itu tak ada. Ia tidak mengacu pada suatu hal apapun. 191
Jadi, bila dipranatakan secara sederhana, ada dan tak ada, atau bahkan lebih tegas lagi, ada dan tak ada hal seperti itu. Keduanya ini saling terpisah satu sama lain. Ya atau tidak; Anda tak bisa ya sekaligus tidak. Baik, sekarang, kita lihat, sekarang Anda yang telaah. Yang mana yang lebih kuat, "ya" atau "tidak"? Kalau saya telaah dengan mantik, tentu yang "tidak". "Ya" tampak tak sejalan dengan mantik. Apakah setiap orang berhenti mengada saat saya tutup mata? Tidak, tentu tidak. Apakah benar bahwa saya harus dapatkan mau saya, bahwa saya yang terpenting di dunia ini? Tidak, ini konyol namanya. Jadi, semakin kita selidiki, termasuk secara ilmiah, adakah si "aku" kecil yang bicara di dalam kepala saya? Di mana? Jika Anda telaah otak kita ini, di mana terletak proses pembuatan keputusan? Apa yang terjadi? Tak ada hal padat yang dapat ditemukan di sana seperti si "aku" tadi. Tentu, saya bergiat, saya mengerjakan segala sesuatu, saya bicara. Kita tak menyangkal itu, tapi yang kita sangkal ialah sesuatu yang cuma khayalan siang bolong, bahwa ada semacam sosok yang bersarang di kepalaku, "aku" "aku" "aku" itu dan "Harus dengan caraku". Jadi, sisi yang menyatakan bahwa tak ada hal semacam itu didukung oleh mantik, ia didukung oleh nalar, oleh penyelidikan; sementara sisi yang berkata kebingungan ini mengacu pada suatu hal yang nyata tidak didukung oleh apapun juga. Lebih lagi, apa akibat dari pikiran bahwa aku ada dengan cara yang mustahil ini? Aku membuat diriku sengsara, tak bahagia. Apa akibat dari berpikir sebaliknya, bahwa tak ada hal semacam itu? Aku membebaskan diriku dari semua permasalahan ini. Di atas itu, ketika aku memusatkan perhatian pada "tak ada hal semacam itu, ini cuma sampah saja", aku tak bisa sekaligus berpikir bahwa hal 192
ini mengacu pada suatu hal yang nyata. Jadi, pemahaman yang benar ini menggantikan yang salah. Jadi, kalau kita tetap memusatkan perhatian pada pemahaman yang benar setiap waktu, maka kebingungan itu, kesalahpahaman itu, takkan pernah muncul lagi. Maka kemudian Buddha menggunakan ajaran-ajaran yang tidak dimiliki oleh ajaran Buddha semata. Anda mendapatinya ada pada tata India lainnya, tentang cara mendapatkan pemusatan perhatian yang sempurna, hal-hal semacam ini, dan lewat cara-cara, lewat apa yang disebut "meditasi", untuk mengakrabkan diri kita dengan pemahaman yang benar ini. Kemudian kita dapat mencapai penghentian yang sebenarnya dari sebab duka yang sebenarnya, dan itu berarti pula penghentian yang sebenarnya dari duka itu sendiri. Dan hal yang akan menguatkan cita kita untuk mampu tetap bersama semua ini dan memutus habis kebiasaan merusak ini adalah dorongan. Dorongan memberi kita kekuatan cita untuk melakukan semua kerja keras yang dibutuhkan. Nah, di titik itulah masuknya kasih, welas asih, dan hal-hal ini. Karena kita semua saling terhubung, maka tentu, persis seperti saya ingin bahagia, semua orang lain pun demikian adanya. Dan kita semua setara dan kita semua saling terhubung. Dan jika saya sungguh ingin mampu menolong yang lain, maka saya harus mengenyahkan kebingungan ini. Jadi, inilah penyajian dasar dari Empat Kebenaran Mulia. Dan jika kita sungguh ingin memahami sedikit lebih dalam lagi tentang apa yang baru kita bicarakan ini, maka kita perlu belajar sedikit lebih banyak lagi tentang karma dan kelahiran kembali dan itu akan kita lakukan besok. 193
Nah, ada pertanyaan? Ya. Peserta: [tak terdengar] Alex: Biar saya ulangi. Kalau saya tidak keliru memahaminya, yang Anda tanyakan adalah, "Karena kita tidak tahu pasti akibat-akibat dari tindakan kita terhadap orang lain, apakah tak bertanggung jawab namanya jika kita bertindak karena kita tak tahu apa yang akan terjadi?" Ibu itu tadi berkata kalau kita bicara dalam kerangka tanggung jawab, itu berarti bahwa kita tahu terlebih dahulu apa yang akan terjadi maka saya akan bertanggung jawab untuk itu; atau sebaliknya, kita tak tahu maka jadi tak bertanggung jawab namanya, seperti dalam peristiwa orang yang menjual senjata pada siapa saja yang punya uang untuk membelinya, jadi kita tak tahu apa orang yang akan dilakukan dengan sejata itu, jadi kita tak bertanggung jawab dalam hal menjual senjata pada siapa saja yang punya uang untuk membelinya? Saya pikir kita perlu menggunakan akal sehat di sini. Saya bisa berikan contoh tandingan untuk tindakan menjual senjata pada seseorang. Bagaimana dengan membiayai pendidikan seseorang? Misalnya, di banyak negara, saya tak tahu di Rumania ini bagaimana, tapi di banyak negara kuliah itu mahal, jadi katakanlah saya menanggung biaya pendidikan seseorang, memberinya dana yang dibutuhkan untuk kuliah. Saya tidak tahu apa yang akan orang itu lakukan saat kuliah nanti di perguruan tinggi. Dia bisa saja menggunakannya untuk main-main, tipu sanasini, dan berbuat sesuatu yang amat merusak atau dia bisa saja melakukan hal yang amat membangun. Saya tak tahu. Jadi, saya pikir kita menggunakan akal sehat bahwa Anda tahu bahwa 194
menolong seseorang untuk memperoleh pendidikan itu mungkin akan berguna bagi orang itu. Saya tak tahu, menjual senjata pada seseorang... mungkin orang itu akan menggunakannya untuk mempertahankan dirinya kalau ada serangan dari orang barbar atau sejenisnya, tapi kemungkinannya itu jauh lebih berbahaya. Jadi, Anda gunakan akal sehat di sini dan niat Anda baik. Tapi, dalam hal tanggung jawab, saya pikir hal yang sungguh harus kita hindari adalah gejala rasa bersalah dan kepongahan ini. Saya bertanggung jawab atas dorongan saya dan adakah perasaan gelisah menyelimutinya: apakah dorongan itu baik, apakah dorongan itu negatif. Atas hal inilah saya bertanggung jawab dan atas ini pula saya akan mengalami ganjarannya, tapi bukan saya yang pegang kendali. Itu tak mungkin; saya yang pegang kendali atas apa yang terjadi itulah cara mengada yang mustahil. Saya bisa saja menolong seseorang tapi orang itu gagal mutlak. Saya tidak bersalah untuk hal itu. Dorongan saya baik; saya menolongnya. Dia gagal karena berbagai macam alasan dari sisi dia sendiri, dari unsur-sebab lain dan seterusnya; dan jika dia berhasil itupun oleh karena banyak anasir lain, bukan saya saja. Jadi, kita ikut serta dalam alur-kerja sebab-akibat di sini. Kita yang buat keadaan dan seterusnya, tapi inilah yang tak mungkin: bahwa satu hal, satu sebab, menghasilkan satu akibat. Itu tak mungkin. Akibat itu muncul dari sejumlah besar sebab dan keadaan, bukan satu saja. Paham? Dan coba saja pikir tentang keberhasilan dan kegagalan. Tentu saja keduanya terkait dengan ekonomi; terkait dengan masyarakat; terkait dengan sejuta hal, bukan hanya bahwa saya menolong orang ini supaya dia bisa kuliah. Jadi, inilah yang saya pikir jadi contoh tentang cara pikir dan telaah yang sesuai dengan ajaran Buddha yang akan membantu 195
kita keluar dari masalah ini dan menghindari masalah rasa bersalah yang merupakan suatu tataran pikiran yang amat sangat tak membahagiakan. Ya? Peserta: [tak terdengar] Alex: Biar saya ulangi untuk kepentingan rekamannya. Penanya tadi berkata kalau kita memahami bahwa cara berpikir bahwa aku istimewa, aku mengada secara mandiri terpisah dari setiap orang lain dsb. tidak mengacu pada suatu hal yang nyata, tidakkah itu akan menghilangkan kemampuan saya untuk berlaku secara mendasar sebagai orang perorangan dan mengerjakan segala hal yang perlu aku kerjakan? Baik, sisi lain dari pikiran "aku ada secara mandiri" – kita singkirkan hal itu dengan memahami bahwa tak ada yang mengada secara mandiri – jadi sisi lain dari "aku tidak mengada secara mendiri" adalah "aku mengada secara tergantung." Dengan begitu, pemahaman yang kita bicarakan dalam ajaran Buddha ini tidak menidakkan adanya "aku". Tentu saja ada "aku" dan ada "kamu", tapi kita harus memiliki pemahaman yang lebih makul. Jadi, apa itu kenyataan. Kesejahteraan saya sepenuhnya salingterhubung dengan kesejahteraan setiap orang lain. Coba lihat pemanasan global, pencemaran; itu bukan saja masalah saya atau masalah Anda, itu masalah setiap orang. Jadi, tentu dari hari ke hari kita perlu menjaga ada cukup makanan untuk keluarga kita dsb. tapi untuk melakukannya kita perlu bergantung pada setiap orang lainnya. Siapa yang tanam makanan kita? Siapa yang buat jalan? Siapa yang buat toko? Setiap hal datang dari kerja orang lain. Jadi pemahaman ini membuat kita jadi lebih makul dan malah 196
jadi lebih mampu berbuat karena kita bertimbang rasa dengan setiap orang lain, bukan mementingkan diri sendiri saja. Peserta: Ada satu dalil yang menyatakan bahwa kita salingterhubung lewat seutas dawai atau sejenisnya... [tak terdengar] Alex: Baik, ada satu dalil yang mengakui bahwa kita saling terhubung dengan setiap orang, tapi terhubung lewat semacam dawai yang tak dapat kita lihat. Maka, pertanyaannya: "Bagaimana saya memahami bahwa kita saling terhubung?" Baik, jadi, orang tentu bisa melihat semesta ini sebagai medan tenaga yang berkelanjutan. Kita bicara ilmu pengetahuan, fisika, tak ada lubang-lubang... sebenarnya ada lubang-lubang hitam, tapi kita sisihkan dulu itu. Nah, pertama-tama, ajaran Buddha tidak berkata bahwa kita semua ini satu, bahwa kita semua merupakan bagian dari sup semesta yang akbar ini. Paham? Karena kemudian hal itu mempersukar orang bertanggung jawab atas tindakannya sendiri-sendiri. Paham? "Kita semua satu jadi saya bisa melakukan apapun yang saya mau padamu karena kita semua satu." Jadi fakta bahwa kita semua memiliki semacam medan tenaga yang sama, kita ikut serta di dalamnya, itu merupakan satu cara melihat hal tersebut pada tingkat ragawinya. Namun ajaran Buddha melihat lebih dalam hal hubungan sebab-akibatnya, sebab dan keadaan. Saya akan pakai contoh pemanasan global; penambahan karbon dioksida dan gas-gas lainnya ke udara akibat ulah orang-orang dari seluruh dunia, hal itu mempengaruhi saya tentunya; dan perbuatan saya akan hal itu pun akan mempengaruhi orang lain. Tapi, kita tak harus membatasi pemahaman kita atas hubungan sebab-akibat hanya secara ragawi saja. Maksud saya, ada uraian yang amat rumit tentang 197
sebab dan akibat dan bagaimana sebab dan akibat terhubung dan bertalian satu sama lain. Apakah seperti sebatang tongkat di antara dua bola dan satu bola jadi sebab dan bola yang lain jadi akibat? Dalam ajaran Buddha, jawabannya "tidak". Jadi kesalinghubungan kita dengan setiap orang tidak hanya dipahami di atas tataran ragawi atau tenaga saja, tapi juga di atas tataran sebab-akibat, karena bagaimanapun yang kita alami sekarang adalah akibat dari perbuatan setiap orang di masa lalu, jauh ke awal adanya kehidupan di planet ini. Peserta: [tak terdengar] Alex: Baik, biar saya ulangi. Tampaknya ada dua bagian dari yang Anda katakan. Yang pertama ialah bahwa Anda membaca sebuah buku berjudul, Menggugah Buddha di Dalam Diri; tampaknya buku itu menyiratkan bahwa meditasi Buddha berkisar kuat pada pemeriksaan di dalam diri, menengok apa yang ada di dalam diri kita, bukan di luar. Ah, tentu saja banyak dari laku Buddha merupakan upaya mengurai kebingungan di dalam diri kita sendiri, mengurai perasaan gelisah, dari mana datangnya perasaan itu, di mana letaknya kebingungan itu. Tentu memang demikian; tapi begitu kita memahami diri kita dan kita memahami betapa aku menciptakan permasalahanku sendiri dari kebingunganku, maka kita dapat mengerti betapa orang lain menciptakan permasalahan mereka sendiri karena kebingungan mereka. Maka jika mereka berlaku secara celaka, jika mereka marah padaku, ini membuat kita mampu mengatasi kecenderungan untuk berpikir, "Oh, dia ini orang jahat." Kita paham mereka orang-orang yang bingung dan karena itu mereka adalah sasaran bagi welas asih. 198
Dan, saya belum membaca buku itu, tapi "Buddha di dalam diri" biasanya mengacu pada apa yang kita sebut dengan "sifatBuddha". Dan sifat-Buddha ini mengacu pada fakta bahwa kita semua memiliki anasir-anasir di dalam diri kita, sebagai bagian dari sifat cita, yang memampukan kita untuk menjadi seorang Buddha. Bukan sekadar daya; daya untuk menjadi Buddha itu merupakan bagian daripadanya. Daya merupakan bagian darinya, kita memang memiliki daya tersebut. Maksud saya, hati ini punya kemampuan untuk mengasihi setiap orang secara setara. Kita punya daya tersebut, tapi juga lebih dalam lagi, ia mengacu pada fakta-fakta. Fakta bahwa cita ini tidak di dalam dirinya sendiri ternoda oleh kebingungan. Nah, pertanyaan kedua Anda tentang Tuhan. Baik, ada banyak hal yang bisa dikatakan tentang hal itu. Ada segala macam tuhan, tuhan-tuhan Yunani, tuhan-tuhan Hindu, dan Tuhan Barat, dsb. Apakah ajaran Buddha percaya bahwa ada makhluk-makhluk semacam itu? Ya. Tapi ajaran Buddha percaya bahwa ada banyak jenis wujud kehidupan, bukan hanya yang bisa kita lihat. Tapi saya yakin bukan itu yang Anda tanyakan. Nah, jika kita lihat Tuhan seperti dipahami dalam "agama-agama Abraham", seperti agama Yudea, Kristen, dan Islam, maka yang ditolak oleh agama Buddha adalah "pencipta". Semua sifat Tuhan yang lainnya akan diterima oleh agama Buddha dalam satu atau lain bentuk. Adakah tatanan di dalam semesta ini? Ya. Adakah kasih di dalam semesta ini? Ya. Adakah makhluk-makhluk lebih tinggi yang berwelas asih pada kesejahteraan semesta ini? Ya; mungkin tidak disebut "Tuhan", tapi ya ada. Apakah hal ini melampaui kata-kata, melampaui gagasan-gagasan, melampaui nama-nama? Ya. Tapi dengan semua itu, semua sifat ini, dan kemudian ditambah juga gagasan 199
bahwa inilah pencipta yang ada secara terpisah dari semua ciptaannya? Itu tak masuk akal. Ajaran Buddha lebih mengarah ke ketunamulaan, tak ada permulaan. Paham? Big-bang, itu cuma satu semesta saja, yang ini, tempat kita kebetulan hidup di dalamnya, tapi ada banyak bigbang yang lain dan tidak ada permulaan yang mutlak. Paham? Dengan kata lain, kalau segala sesuatu berlaku menurut sebab dan akibat, bagaimana mungkin ada sesuatu sebelum itu? Bagaimana mungkin ia bermula dari ketiadaan? Ia tak bisa bermula dari ketiadaan. Maksud saya, jika Anda terlibat dalam sebuah hubungan sebab-akibat, Anda tidak terpisah daripadanya. Dan, rancangan cerdas, dengan kata lain, ada tatanan di semesta ini maka pasti ada seseorang yang telah merencanakannya, mengapa? Tak ada keperluan nalariahnya. Hanya karena ada tatanan di dalam semesta ini maka pasti ada seseorang yang telah memikirkannya? Ada tatanan di semesta ini karena segala sesuatu berjalan, berlaku. Kalau tidak berjalan dan berlaku, tidak akan ada tatanan di semesta ini. Jadi, mengapa butuh sesuatu dari luar sana untuk merencanakannya dan memutuskan apa jadinya? Maka ajaran Buddha pada dasarnya mengatakan bahwa ciri khusus tersebut, penciptaan itu, tidak ada. Nah, entah itu Anda mau menggunakan kata "Tuhan", entah itu Anda menginginkannya untuk semua sifat yang lainnya, tak jadi masalah. Peserta: [tak terdengar] Alex: Biar saya rangkum pertanyaan Anda untuk kepentingan rekamannya. Anda bilang Anda sedang mengalami sebuah kemelut, diliputi kekhawatiran; orang-orang di sekitar Anda khawatir. Anda tanggung sendiri kekhawatiran itu dan cara Anda 200
menghadapinya adalah menenangkan diri dalam meditasi, dan ketika sudah tenang, Anda kembali dan tenaga Anda telah pulih kembali. "Menurut saya bagaimana?" Ada banyak, banyak cara yang digunakan dalam ajaran Buddha. Yang tampaknya Anda gambarkan itu seperti cara sementara untuk menanganinya; sementara waktu, hal itu membantu menenangkan dan kemudian tenaga Anda pulih untuk menghadapinya kembali, tapi permasalahannya tidak hilang. Ada laku-laku ajaran Buddha dalam mana Anda membayangkan diri mengangkat duka dan permasalahan dari pundak orang lain dan menggantinya dengan kasih. Anda biasanya dengar sebutannya dalam bahasa Tibet: tonglen. Itu laku yang dengan tingkat yang amat lanjut. Nah, Anda bisa saja berpura-pura melakukannya, tapi sungguh-sungguh melakukannya itu lain cerita; sungguh-sungguh melakukannya itu berarti aku angkat dan tanggung sendiri dukamu. Nah, jika masalah orang lain itu adalah bahwa ia bodoh dan aku tanggung sendiri kebodohan setiap orang itu, apa itu berarti aku duduk di sini seperti seorang dungu? Bodohkah aku? Tidak; yang kita lakukan adalah... karena Anda sebetulnya tak bisa menanggung permasalahan orang lain begitu saja. Maksud saya kalau bisa, Buddha pasti telah melakukan hal itu dan tak seorangpun yang masih akan didera masalah atau duka. Yang kita kembangkan adalah semangat untuk menghadapi permasalahan orang lain seolah itu permasalahan kita sendiri. Jadi kita hadapi masalah itu; gunakan contoh "masalah apapun sesungguhnya merupakan masalah yang sama di mana-mana". Tak seorangpun punya masalah yang begitu istimewa, yang seakan terjadi hanya pada diri mereka saja; maksud saya jenis seperti... misalnya mereka bermasalah dengan hubungan mereka; setiap orang 201
punya masalah dalam hubungan-hubungan mereka. Mereka punya masalah dengan anak-anak mereka. Mereka punya masalah dengan pekerjaan mereka; setiap orang sama saja. Rinciannya tak jadi perkara di sini; masalah ekonomi – setiap orang ada di perahu yang sama. Baik, jadi kita hadapi masalah itu. Itu berarti bahwa aku kini akan menghadapi masalah ini. Anda bilang contohnya adalah kemelut ekonomi yang dialami dunia sekarang ini. Nah, sekalipun semua uang yang ada di setiap pemerintahan yang ada di dunia ini milik Anda, Anda tak dapat menyelesaikan masalahnya pada tataran ragawi seperti itu saja. Jadi, cobalah untuk menyelesaikan masalah itu di atas beberapa tataran. Ada tataran batin, tataran perasaan; jadi di satu tataran Anda hadapi rasa sakit perasaan karena kehilangan pekerjaan dan menghadapi kesukaran ekonomi. Itu satu tataran; menghadapi "Aku kehilangan pekerjaanku, bagaimana anak-anakku akan kunafkahi?"; dan tataran lainnya ialah "Pertama-tama, tabiat seperti apa yang menciptakan masalah ini? Apakah keserakahan atau semacamnya?" Baik, jadi kita hadapi masalah itu. Anda biarkan ia melarut, melarut dalam artian bahwa Anda tahu hal itu bukanlah sesuatu hal serupa raksasa mengerikan. Paham? Jadi, bongkarlah. Dan di lain pihak, Anda lihat bagaimana hal itu muncul, mengapa muncul, dan coba pikirkan bila keserakahan itu tidak ada dan bayangkan bahwa ini terjadi pada setiap orang. Sederhananya, keserakahan menyebabkan masalah ini terjadi; jadi Anda bongkar masalah padunya. "Oh, mengerikan" dan masalah itu menerkam Anda dan Anda tak sanggup menghadapinya. Jadi ketika Anda bisa melihat bahwa ia muncul dari keserakahan, maka jalan keluar untuk mencegah hal tersebut terjadi di masa mendatang adalah bahwa 202
orang-orang lebih perhatian terhadap lingkungan, tidak membeli hal-hal di luar kebutuhan, tidak serakah dan ingin lebih, lebih, dan lebih banyak uang lagi. Dalam bayangan kita, kita menjadikan masalah ini suatu hal yang padu; masalah yang mengerikan ini. Karena itu Anda jadi tertekan. Tiada yang mengada seperti itu. Ia muncul karena ada sebab dan keadaan; jadi kalau kita mengubah keadaannya, berubah pulalah ia. Dan kemudian kita hadapi pengharapan orang lain, standar hidup yang lebih renda, dsb. Bagaimana Anda sungguh-sungguh menghadapi hal ini? Orang-orang menggabungkan sumber-daya mereka bersama-sama. Jadi, maksud saya, Anda berpikir dalam kerangka hal yang menjadi cara rasa terbaik bagi orang-orang untuk menghadapinya. Seperti itu. Omong-omong, sekarang sudah semakin larut, jadi mari kita akhiri di sini dan kita akhir dengan sebuah "persembahan". Kita pikirkan apapun pemahaman, apapun tenaga positif yang telah muncul dari hal ini, semoga ia masuk lebih dan lebih dalam dan berlaku sebagai sebuah sebab untuk menggapai... semoga kita semua menggapai tataran seorang Buddha sehingga kita dapat menjadi pertolongan terbaik bagi setiap orang. tak aman dan bertindak kelewat batas tadi, kita perlu untuk menyerahkan semua hal itu: ini hal-hal yang ingin kuperbaiki; ini hal-hal yang ingin kusingkirkan. Nah, hal-hal ini tidak gampang untuk ditinggalkan. Hasrat kita. Kita punya hasrat yang sarat dan rasa ketertarikan: "Oh, aku ingin cari pasangan sempurna," dan seterusnya. Hal-hal semacam ini amat sangat menarik hati, dan kita pikir bahwa inilah yang akan memberi kita kebahagiaan puncak dan bahwa itulah sesuatu yang betul203
betul dapat kucapai. Namun, kita harus makul. Pasangan sempurna – pangeran atau putri berkuda putih – sayangnya itu dongeng dan tak mengacu pada hal nyata; tak ada yang seperti itu. Jadi, walau sedikit menyakitkan, kita harus tusuk balon khayalan kita itu sampai meletus, seperti berhenti percaya pada Sinterklas, dan meninggalkannya. Kita mesti bertekad untuk bebas dari gejala selalu memandang seseorang itu sebagai pangeran dan putri yang sempurna dan kemudian marah pada mereka ketika mereka pada kenyataannya tidak sesempurna itu. Kita serahkan hal-hal ini karena kita paham bahwa semua itu hanya mengundang derita dan masalah. Penyerahan tentu amat sangat penting, dan merupakan pokok pusat dalam pelatihan dengan cara Buddha. Tidak berarti bahwa kita harus berhenti berhubungan cinta atau berhenti makan es krim. Bukan begitu. Ini berarti meninggalkan penderitaan dan sebab-sebab bagi penderitaan itu. Tanya: Pertanyaan saya tidak mengacu persis pada ajaran Buddha, tapi tentang jalan hidup, karena untuk kurun waktu yang amat panjang kami hidup – maksud saya bangsa saya – sebagai bangsa pengembara. Kami tinggal di kibitka, dan tak pernah kenal yang namanya kota. Kini hidup tiba-tiba berubah: kami pindah ke sini, tinggal di rusun biasa. Dan kami lihat bahwa kami telah terputus dari alam, dan kenyataan itu telah mempengaruhi kesadaran kami, mempengaruhi indera kami, perasaan kami, karena kami lihat bahwa hubungan antara keluarga jadi melemah – betapa kami sekonyong-konyong tidak lagi dengan baik memahami satu sama lain karena kami sekarang punya TV. Ada banyak gangguan, dan hal-hal semacamnya. Dapatkah ajaran Buddha menjawab pertanyaan ini? 204
Alex: Pertanyaan yang bagus sekali. Penerjemah: Haruskah saya terjemahkan terlebih dahulu? Alex: Ya. Tolong terjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Dan, misal Anda tidak tahu, kibitka itu sejenis pedati besar yang punya tenda di atasnya. Orang-orang tinggal di dalamnya sebagai pengembara, berkelana ke sekeliling padang rumput yang luas. Saat bangsa pengembara bepergian dari satu padang rumput ke padang rumput lain, tanah berumput, tinggal di dalam kibitkakibitka ini, tenda-tenda di atas pedati yang ditarik lembu jantan ini, seperti yang Anda utarakan tadi, keluarga dan masyarakat yang berkelana bersama jadi punya hubungan yang amat erat – hubungan yang dekat satu sama lain, hubungan yang dekat dengan alam dan hewan-hewan. Dengan begitu, nilai-nilai penting bagi kehidupan semacam itu adalah keselarasan; bahwa setiap orang harus gotong-royong dan memahami tanggung jawab yang perlu bagi kehidupan. Dan sekarang, dengan cara hidup menetap seperti ini, tentu keadaannya jadi berbeda sekali. Akan tetapi, dalam ajaran Buddha, kita punya beragam cara yang berguna untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang dapat muncul bersama jenis-jenis kehidupan yang kita jalani saat ini. Ajaran Buddha menitik-beratkan penegasannya pada penghargaan atas kesaling-tergantungan yang kita miliki satu sama lain. Mungkin tidak sejelas saat kita jadi bangsa pengembara di padang-padang rumput. Namun, ada satu latihan dalam ajaran Buddha dimana kita melihat segala sesuatu yang ada di rumah kita dan memikirkan semua kerja yang terlibat saat menghasilkannya dan semua orang yang terlibat dalam pembuatannya, jauh ditelusuri sampai pada unsur-unsur alam yang jadi bahannya. 205
Bahkan makanan – bukan hanya siapa yang menanamnya, tapi juga siapa yang mengangkutnya? Siapa yang membuat jalannya? Siapa yang membuat truk yang mengangkutnya? Dari mana datangnya logam yang jadi bahan pembuat truk itu? Dari mana datangnya karet, dari mana datangnya minyak bahan bakar? Kalau kita masak dengan gas atau listrik, dari mana datangnya itu? Semua orang yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, kita memahami fakta bahwa kita sepenuhnya bergantung pada hasil kerja dari yang lain, yang jumlahnya hampir tak dapat dipercaya. Dan juga, cara kita bertindak itu mempengaruhi lingkungan. Pemanasan global menunjukkan hal ini telah jadi semakin jelas. Margasatwa pun kena imbasnya. Ikan jadi semakin langka. Satusatunya perbedaan di sini antara pemahaman atas hal ini ketika kita bepergian sebagai suatu kelompok bangsa pengembara dan ketika kita hidup di kota, hidup yang mapan ini, adalah bahwa di padang rumput kesaling-tergantungan ini jauh lebih jelas pasti, jauh lebih mendesak, dan lebih mudah di pahami. Nah, kesalingtergantungan ini tetap... faktanya tetap benar; hanya saja tidak sejelas itu. Kita betul-betul harus menelaahnya dan memikirkannya. Maka, atas dasar telaah itu, pemikiran itu, kita dapat mengembangkan rasa tanggung jawab yang perlu bagi kebertahanan seluruh planet ini dalam keselarasan, bukan hanya sekelompok kecil yang berkeliling padang rumput saja. Saya pikir yang cukup menakjubkan dan berguna ialah bahwa di sini di Kalmykia Anda sekalian punya adat bangsa pengembara di padang rumput, maka fakta bahwa Anda benar-benar bertahan sebagai sebuah bangsa selama kurun sejarah sulit yang panjang menunjukkan bahwa Anda sekalian merupakan sebuah bangsa yang benar-benar tahu caranya bekerja bersama dan hidup 206
bersama untuk kemaslahatan seluruh masyarakat. Ini memberikan suatu rasa nilai-diri dari seluruh masyarakat ini dan dari para anggota masyarkat sejenis itu dengan warisan seperti ini. Ini membawa kita pada segi lain dari tertib-diri berbudi pekerti yang tadi tidak saya sebut, yaitu pertimbangan atas dampak dari perilaku kita pada orang-orang yang kita hormati. Dengan kata lain, kalau kita adalah anggota dari, katakanlah, masyarakat Kalmyk, kemudian kalau aku bertindak jahat, mementingkan diri sendiri, bertindak secara mengerikan, seperti apa itu nanti mencerminkan bangsa Kalmyk secara umum? Tindakan tersebut akan memberi kesan yang sangat buruk bagi orang-orang Kalmyk. Dengan begitu, karena aku mau menghindari hal tersebut, karena aku memiliki perasaan takjub dan bangga terhadap warisanku, maka tentu aku tak ingin berbuat sesuatu hal yang akan menyebabkan bangsaku jadi terimbas kesan buruk. Ini kemudian merupakan suatu hal yang juga dapat membantu kita bekerja bersama dengan lebih selaras dan mencoba berupaya dalam dunia modern dengan lebih berhasil bersama-sama. Dan tentu saja kita dapat luaskan hal ini jauh lebih luas dari sekadar Kalmykia. Saya penggemar berat cerita-cerita fiksi ilmiah, dan saya bayangkan ada jenis lain dari bentuk kehidupan, bentuk kehidupan cerdas, di planet-planet lain di jagad raya ini. Apa yang akan mereka pikirkan tentang umat manusia, bentuk kehidupan ini, kalau kita hancurkan planet kita karena sikap kita yang mementingkan diri sendiri? Mereka akan berpikir bahwa kita ini bentuk kehidupan yang lebih rendah. Karena itu kita perlu menunjukkan bahwa sebagai umat manusia kita mampu untuk tidak menghancurkan dunia kita, dan malah bertahan dengan segala perbedaan yang kita punya dan hidup dalam keselarasan. 207
Jadi, walau fiksi ilmiah, tapi itu dapat menjadi cara berpikir yang berguna. Kita sudahi dulu kebersamaan kita kali ini. Saya berterima kasih sekali untuk perhatian yang Anda berikan.
208
Membawa Ajaran Buddha Membumi Sesi Satu: Meruntuhkan Dinding-Dinding Kita Pendahuluan Akhir pekan ini saya diminta untuk berbicara tentang sebuah pokok yang tidak mudah untuk dijelaskan: “Berhadapan denganAnganAngan tentang Ajaran Buddha” atau “Menghadapi Ajaran Buddha dengan Sikap Makul” atau barangkali “Membawa Ajaran Buddha Membumi.” Saya harus mengakui, sedikit sulit untuk coba menata di benak saya apa tepatnya yang hendaksaya bicarakan dan hendak saya lakukan selama akhir pekan ini. Saya bisa berbicara tentang kesulitan-kesulitan yang saya pernah miliki dalam menjalankan ajaran Buddha dari pengalaman saya sendiri atau tentang kesulitan-kesulitan yang dimilikioleh kawan-kawan dan kenalan-kenalan saya dalam menjalankan ajaran Buddha, tapi mungkin tak satupun dari itu sesuaidengan kesulitan-kesulitan yang barangkali Anda miliki. Itulah masalahnya. Maka, di satu sisi, akan sangat berguna untuk bicara tentang kesulitan-kesulitan umum yang orang-orang miliki; tapi juga akan berguna membentuk kuliah ini dengan mempersilakan Anda mengutarakan hal-hal yang ingin Anda ketahui dan mendengarkankesulitan-kesulitan Anda. Sekarang, saya tidak inginhaluan kuliah ini sekadarmengajukan pertanyaan-pertanyaan teknis tentang pokok ini atau itu dalam ajaran Buddha. Saya pikir akan lebih berguna bagi semua orang jika kita berbicara tentang masalah-masalah umum yang dialami banyak orang dalam berusaha mengikuti pendekatan praktis kepada Dharma, seperti kesulitan-kesulitan dalam menerima guru atau dalam melihat pentingnya guru, kesulitan-kesulitan dalam berhubungan dengan tantra, dan seterusnya. 209
Cara Perkuliahan Izinkan saya memberi Anda sebuah pemikiran – seperti sepotong sampel dari sekotak cokelat, untuk memberi Anda pengertian tentang apa yang ada di benak saya. Misalnya, cara baku untuk memulai tiap-tiap ajaran Buddha adalah menetapkan atau menentukan dorongan kita. Sebenarnya, itu tidak mudah untuk dilakukan. Saya tidak mendapati itu mudah untuk dilakukan, karena kita harus membuat penyeimbangan yang cermat antara mengucapkan kata-kata di dalam kepala kita dan benar-benar merasakan sesuatu di dalam hati dan raga kita. Saya pikir bagi kebanyakan dari kita, sangat sulit untuk benarbenar menjelaskan secara gamblang apa arti merasakan sesuatu, terutama suatu dorongan. Maksud saya, kita bisa merasakan sedih – kita tahu seperti apa itu rasanya. Tapi merasakan sebuah dorongan – tidak mudah untuk tahu ini mengacu pada apa. Itulah persoalan-persoalan yang saya pikir akan sangat menarik untuk kita bahas pada akhir pekan ini. Mereka adalah persoalanpersoalan sulit, tidak mudah. Saya pikir cara itu akan lebih bermafaat daripada “Berapa banyak tanda pencerahan yang dimiliki seorang Buddha?” dan saya memberi Anda sebuah angka – bukan jenis pertanyaan seperti itu. Tapi sekali lagi, seperti yang saya katakan di awal, saya punya banyak kesulitan untuk menata persoalan-persoalan semacam itu dalam urutan yang nalar. Saya suka hal-hal yangtertata dan ini tidak semudah itu. Itu memunculkan pokok yang sangat menarik, yang saya pikir mungkin sesuai bagi banyak orang. Danpokok itu adalah seringkali kita tidak hanya memiliki purbasangka, seperti segala sesuatuharus berada dalam urutan yang nalar, tapi, lebih dalam, kita senang memegang kendali. Ketika kita memegang kendali dan 210
segala sesuatunya “teratur,” atau setidaknya ketika kita pikir kita memegang kendali,entah mengapa kita merasa sedikit lebih aman. Kita pikir kita tahu apa yang akan terjadi. Tapi hidup tidak seperti itu. Kita tidak bisa selalu memegang kendali dansesuatunya tidak bisa selalu “teratur.” Sisi lain dari itu adalah kita senang menyerahkan kendali itu kepada orang lain sehingga mereka mengendalikan kita atau mereka mengendalikan keadaandi mana kita berada. Itu adalah persoalan kendali yang sama. Tapi tak seorang pun – bukan kita maupun orang lain – bisa memegang kendali terhadap apa yang terjadi dalam hidup. Apa yang terjadi dipengaruhi oleh jutaan unsur, tidak hanya oleh satu orang. Oleh karena itu, penting untuk melepaskan,dalam arti melepaskanpenggenggaman kuat pada “aku” yang padu yang ada secara bebas dari semua hal lain dan yang ingin memegang kendali, tak peduli apa yang terjadi di sekitarnya. “Aku” yang padulah yang berpikir bahwa ia akan menetapkan keberadaannya yang aman dengan memegang kendali. Ini seperti berpikir, “Jika aku memegang kendali, aku ada. Jika aku tidak memegang kendali, aku tidak benar-benar ada.” Ketika kita mengikuti rintis Buddha, penting dalam banyak hal untuk membuang gagasan “memegang kendali.” Itu juga berarti membuang sisi lain dari pokok persoalan ini, yaitumenyerahkan kendali itu kepada orang lain, terutama kepada gurunya, sehingga mereka memegang kendali. Ini adalah persoalan yang sama. Dua sisi kendali harus diatasi. Saya pikir apa yang akan sangat penting pada akhir pekan ini, karena kita akan berhadapan dengan persoalan-persoalan yang sangat manusiawi, adalah bicara kepada orang lain sebagai manusia. Jadi saya akan bicara kepada Anda sebagai seorang manusia kepada manusia lainnya. Saya harap saya selalu bicara 211
sebagai seorang manusia kepada manusia lainnya, bukan sebagai seorang ahli berdiri di belakang mimbar seolah-olah saya punya semua jawabannya. Saya pikir daripadaberusaha memegang kendali dan menjalani kuliah ini dalam urutanyang nalar, akan lebih baik membiarkan akhir pekan ini membentang seperti melukis sebuah gambar. Kita membubuhkan goresan kuas kecil di sini dan goresan kuas kecil di sana, daripada berusaha memberikan penyajian yang sangat runtut.Karena sangat banyak pokok yang bisa kita bahas akhir pekan ini akan saling bersinggungan dan saling berkaitan, saya pikir itulah cara paling arif yang bisa kita jalankan.
Dorongan Mari kembali ke potongan cokelat pertama di dalam kotak sampel kita. Saya belum selesai mengunyahnya, sangat banyak dari Anda mungkin juga belum selesai mengunyahnya. Itu adalah pertanyaan bagaimana kita merasakan sebuah dorongan. Saya pikir – karena saya tahu saya sudah melalui ini dalam perkembangan saya sendiri – kita beranggapan bahwa rasa-rasa harus dramatis supaya mereka ada. Jika mereka dramatis, mereka dianggap sebagai rasa, mereka ada; jika mereka tidak dramatis, mereka tidak dianggap dan mereka tidak benar-benar ada. Saya pikir itu sedikit dikondisikan oleh film-film dan televisi. Sebuah film tidaklahmenarik jika sesuatunya hanya sangat halus, bukan? Rasa itu harus dramatis, dengan musik yang mengharukan di latar belakangnya! Kadang-kadang kita membaca naskah Buddha yang mengatakan, “Welas asih kita harus mengharukan hingga semua rambut di 212
tubuh kita berdiri dan air mata keluar dari mata kita.” Tapi saya pikir akan cukup sulit membawa hidup kita senantiasa seperti itu. Ketika kita berpikir untuk membangkitkan sebuah dorongan, kadangkadang kita mendapatkan rasa bahwa “Akusemestinya merasakan sesuatu” – dan itulah pokok yang akan banyak kita ulas kembali akhir pekan ini, kata “semestinya” ini. Kita berpikir bahwa “Aku semestinyamerasakan sesuatu dengan kuat. Sebaliknya, jika itu tidak terjadi maka aku tidak benar-benar membangkitkan dorongan.” Tapi, ketika kita membangkitkan dorongan, biasanya itu hanya sedikit rasa, setidaknya dalam pengalaman saya sendiri. Itu biasanya jauh lebih halus dibandingkan rambut-rambut yang berdiri di lengan kita. Saya pikir barangkali sekadar bicara kepada Anda seperti itu akan lebih bermanfaat – tidak seperti berbicara dari belakang mimbar, melainkan berbagi dengan Anda tentang pengalaman saya sendiri dalam menjalankan berbagai hal ini dalam ajaran Buddha dan bagaimana saya menghadapi masalahmasalah umum ini yang sebagian besar dari kita temui sebagai orang Barat. Jadi mari kita lakukan seperti itu. Kita selalu mendengar dalam ajaran-ajaran bahwa kita perlu berusaha berhubungan dengan orang lain seolah-olah mereka adalah ibu kita sendiri: “Mengakui semua orang sebagai ibumu.” Namun, banyak orang memiliki kesulitan dalam hubungan dengan ibu mereka, sehingga kita bisa menggantikan itu dengan gagasan atau gambaran teman dekat kita. Ini karena intinya bukanlah “ibu”; intinya adalah setiap orang yang dengannya kita memiliki semacam ikatan perasaan yang positif dan kuat. Ketika menetapkan dorongan, misalnya malam ini, yang saya coba lakukan adalah berpikir bahwa semua orangyang hadir di siniseperti Anda adalah teman baik saya. Ketika kita bersama 213
teman baik kita, teman dekat kita, kita tulus. Kita tidak bersandiwara atau bersembunyi di balik topeng atau peran apapun. Bukankah itu benar? Dan ketika kita bersama teman dekat kita, kita sungguh-sungguh merasakan sesuatu untuk orang itu. Ini tidak selalu dramatis, tetapi ada sesuatu di sana. Ketika kita mulai menerapkan ajaran-ajaran seperti, "Lihatlah semua orang sebagai ibumu," dalam arti "Lihatlah semua orang sebagai teman dekatmu," kita memulai untuk benar-benar memiliki suatu dorongan. Kita memiliki dorongan yang tulus. Kita sungguhsungguh ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang ini. Kita ingin waktu kita dengan orang ini bermakna dan berguna untuknya – kecuali kita adalah orang yang sangat mementingkan diri sendiri dan hanya ingin memanfaatkan orang lain demi kesenangan atau keuntungan kita sendiri.
Pentingnya Menjaga Mata Kita Tetap Terbuka Selain itu, saya mendapati bahwa dalam melakukan berbagai laku Buddha tentang menyeimbangkan dan bertukar diri untuk orang lain, hati saya tidak benar-benar tergerak ketika saya menjalani laku-laku itu dalam rupa pembayangan-pembayanganketika mata saya terpejam. Ya, saya bisa memejamkan mata dan membayangkan teman dekat saya; tapi itu tidak sama seperti berhubungandengan orang-orang yang ada di depan saya atau Anda saat ini. Saya mendapatilaku-laku ini jauh lebih bermakna ketika saya melakukannya dengan mata terbuka dan memandang orang-orang. Namun, ketika kita melakukannyaseorang diri, itu tentu berbeda. Kita bisa melihat foto orang-orang jika sulit membayangkan 214
mereka. Saya pikir itu cara sepenuhnya baik-baik saja. Tetapi meskipunkitamembayangkan orang lain, saya mendapati akan lebih membantudengan mencoba membayangkan satu orang tertentu, daripadasemata-mata "semua makhluk berindra" secara niskala. Dan saya mencoba melakukan ini dengan mata terbuka, tidak menutup diri dari dunia di sekitar saya dengan mata terpejam. Ketika kita melihat petunjuk-petunjukmengenaipembayangan dalam laku tantra – misalnya, pada tahap pembangkitan tantra anuttarayoga – pokok yang sangat penting adalah bahwa ini dilakukan dengan kesadaran batin. Ini tidak dilakukan dengan kesadaranindra. Agar mampu membayangkan dengan kesadaran indraadalah sesuatu yang terjadi hanya selama tahap paripurna. Tahap paripurna ini sangat tinggi dan harusbenarbenarbisamenggerakan angin-tenaga pada sel-sel indrawi kita, sehingga mereka menciptakan gambar-gambardari pembayangan itu. Itu berarti bahwa pada tahap pembangkitan, kita tidak mengubah cara kita merasakansesuatu; kita mengubah cara kita mengartikan atau memahami apa yang kita rasakan. Bukannya memahami apa yang kita anggap ada dalam rupa-rupa biasa mereka, kita memahami mereka sebagai dewa-dewi atau sosoksosok Buddha, misalnya. Saya berharap Anda menangkap gagasan bahwa supaya dapatmenjalankan Dharma secara bermakna, kita perlu menggabungkansemuayang telah kita pelajarisejakpermulaan. Itu berarti ketika kita membayangkan seseorang sebagai dewaatau, dalam contoh ini, ketika kita membayangkan semua orang sebagai teman dekat atau ibu kita, kita tidak mengubah pencerapan rasa kita tentang orang itu. Kita hanya mengubah cara kita mengartikan orang itu ketika kita melihatnya. 215
Namun, jika kita melihat orang itu dan bertanya, "Apa yang kita maksud dengan mengartikan orang itu? Apa itu pengetahuanbersekat?"maka kita perlu menengokajaran-ajaran tentang Lorig, cara-carauntuk mengetahui. Di sana, kita belajar bahwa pengetahuanbersekat adalah sesuatu di mana kita mencampur benda di depan kita – anggap saja benda ragawi – dengan gagasan tentang sebuah kelompok. Namun, hanya memikirkan gagasan tentang sebuahkelompok "teman baik" bercampur dengan gambaran batintentang seseorang tidaklahmemilikicukup kekuatan untuk itu dibandingkan dengan, boleh dikatakan, ketika kita memikirkan gagasan ini saat benarbenar melihat seseorang pada saat itu juga. Karena itu, yang memiliki kekuatan adalah melakukan semua lakulaku meditasi ini dengan mata terbuka dan benar-benar melihat orang. Saya tidak bisa memberi penekanan yang cukup untuk itu! Itubenar-benar membuat perbedaan penuh dalam semua ragamlaku itu. Inidikatakan secara sangat jelas dalam ajaranajaran Mahayana Tibet, "Lakukan meditasi-meditasi ini dengan mata terbuka." Banyak orang gagal memahami itu secara sungguh-sungguh karena itu tidak mudah untuk dilakukan. Bagi sebagian orang, bermeditasi seorang diri, dengan mata tertutup, sangatlahmembantu. Terutama jika mereka mudah terganggu, makakeberadaan orang lain di dekat mereka akan mengganggu mereka. Tapi jika kita sedikit lebih teguh, laku-laku ini menjadi sangat bermakna ketika kita menerapkannya kepada orang-orang dalam kehidupan, dalam kenyataan. Apa ini artinya dalam contoh membangkitkandorongan ini adalah – dari contoh saya sendiri, di sini di ruangan ini – saya melihat Anda di depan saya dan saya memahami tentang Anda dan tentang cara 216
saya berhubungan dengan Anda seolah-olah Anda teman dekat saya. Jika Anda benar-benar teman dekat saya, saya tidak bisa membohongi Anda. Saya harus jujur. Dan saya tentu saja memiliki dorongan untuk menguntungkan Anda. Tentu, kita juga bisamengulang beberapa katadi benak kita, seperti "Aku benarbenar berharap ini akan bermakna dan bergunauntukmu." Tapi ini, dalam beberapa hal, hanya membuat kita sedikit lebih menyadari apa yang telah kita tetapkandenganmemandang orang-orang di sekitar kita sebagai teman baik kita. Ketika melakukan itu, saya mendapatirambut-rambut di lengan saya tidak berdiri. Itu benar. Tapi tetap saja, ada sesuatu di sana yang membantu dalam hubungan antara kita. Saya pikir inilah cara umum di mana kita bisamembangkitkansuaturasameskipun hanya untuk hal-hal sangat sederhana yang sudah selayaknya kita dapatkan: "Bla bla bla. Aku menetapkan doronganku." Biasanya kita hanya menyanyikannya dalam bahasa Tibet sehingga, bagi kebanyakan dari kita, kata-kata yang kita daraspun sama sekali tidak berarti. Mungkin kita bisa sedikit mempraktikkan hal-hal ini. Saya tidak ingin akhir pekan ini semata-mata saya berbicara. Karena jumlah kita tidak banyak, mari kita duduk membentuk lingkaran. Ketika kita duduk berjajar, satu di belakang yang lain, kita cenderung mengalami kecanggungan menatap bantalan kursi atau bagian belakang kepala orang di depan kita, yang sebenarnya aneh setelah beberapa waktu. Jika kita duduk membentuk lingkaran, kita bisa melihat wajah semua peserta lain. Hal yang bisa kita coba lakukan sekarang adalah menetapkandorongan kita. Lagi-lagi mengatakan "menetapkan 217
motivasi" terdengar begitu palsu, bukan? Tapi apa yang kita lakukan, jika kita mengatakannya dalam kalimat lain – saya seorang penerjemah, jadi saya senang mengubah kata-kata – adalah "membangun suasana hati" dalam diri kita. Dan suasana hati itu salah satunya adalahbersama teman dekat kita. Seperti apa rasanya bersama teman baik kita? Ketika kita bersama teman baik kita, kita benar-benar merasa santai. Kita tidak "tegang"; kita tidak "bersandiwara"; kita tidak harus berpura-pura menjadi sesuatu. Kita tidak harus memainkan peran apapun, bukan? Kita memiliki cara yang sangat lucu untuk mengatakan itu dalam bahasa-bahasa Barat kita, yang benar-benar sangat tidak-Buddha, tapi kita berkata, "Kita bisa menjadi diri kita sendiri," apapun itu artinya. Meruntuhkan Dinding-Dinding Kita Semua dinding bisa runtuh. Semua pertahanan bisa runtuh ketika kita bersamateman baik kita. Adalah mungkin untuk sepenuhnya terbuka untuk sekadar berbagi dan bersamadengan orang ini tanpa menggenggamnya. Ada suatu sukacita, bukan sukacita yangdramatis, melainkansuatu sukacita yang ada di sana dan kita tidak merasa bahwa kita harus melakukansesuatu. Tapi kita juga memiliki keinginan tulus untuk berguna bagi orang ini. Kitamenyukai orang ini dalam cara manusiawi yang sangat tulus. Apa yang kita coba lakukan, kemudian, adalah memandang semua orang di ruangan ini dengan cara itu. Kitamencampurkangagasan dengan pencerapanpenglihatan. Jangan hanya melakukannya dengan mata tertutup, karena akan ada bahaya di sana tidak ada rasauntukitu. Mata kita harus terbuka; kita perlu benar-benar melihat orang-orang di sekitar kita dengan cara tertentu. Itu tidak berarti bahwa pencerapanpenglihatankita telah berubah sedemikian rupa. Kita menjadi sangat bingung dengan 218
kata penglihatan ini dan berpikir bahwa kita harus mengubah pencerapan indra penglihatan kita. Kita tidak perlu melakukan itu. Itu adalah masalahtentang pengetahuan secara umum. Apa gagasan yang kita miliki atau bagaimana suasana hati kita ketika kita melihat orang lain? Saya pikir rasa untuk memulai adalah santai dan tenang. Dan untuk melakukan itu, dinding-dindingkita harus diruntuhkan, bukan? Ketika dinding-dinding ituruntuh, kita bisa benar-benar tulus. Mari kita coba melakukannya sambil memandang satu sama lain. [jeda] Lalu kita tambahkan sedikit nada dengan rasa, "Semoga aku bisa membantu." Ini adalah rasatentang kesediaan untuk membantu. Itu adalah unsur pentingnya. Itu bukan "Oh, akuharusmembantu, apa yang harus kulakukan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, aku tidak cakap", atau apapun semacamnya. Bukannya sandungan negatif itu, nada ini adalah satu keinginan untuk membantu dan keterbukaan. [jeda] Belajar untuk Santai Saya pikir itulah petunjuknya, pedoman, untuk bagaimana memulai merasakanberbagai halsecara tulus. Pedomannya adalah lebih dulu kita harus meruntuhkan dinding-dinding kita. Kadang-kadang kita takut untuk merasakan sesuatu karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi – seolah-olah kita akan kehilangan kendali. Itulah “aku” besar yang padu di dalam dinding-dindingkita. Kita harus santai. Ini hal mendasar. 219
Bersantai tidak berarti semata-mata mengendurkan otot-otot kita atau mengendurkan ketegangan kita pada tingkat ragawi, meskipun itu jelas adalah bagian darinya. Juga, ini berarti kendurdalam cita kita; dan ini berasal dari pemahaman, setidaknya sampai taraf tertentu, ajaran-ajaran tentang kehampaan atau kekosongan. Kehampaan berarti ketiadaan cara-cara mustahil dari keberadaan diri kita sendiri, semua orang, dan segala sesuatu yang terjadi di sekeliling kita. Tak ada seseorang atau sesuatu ada “secara padu,” pada dirinya sendiri, tak bergantung dari hal lain dan terasing dari apa yang terjadi. Pada tingkat paling sederhana, jika kita bisa mengendurkan kesadaran-diri, ketidakamanan kita, keasyikan-diri kita, ini memberi kita petunjuk tentang seperti apa rasanya memiliki tingkat pemahaman ini. Maka sekali lagi, segala hal harus selalu terangkum dalam ajaran-ajaran itu. Kita bisa memiliki suatu kepekaan pada pokok tentang kehampaan ini meskipun kita tidak mempelajarinya secara mendalam, karena kita benar-benar mengalaminya sampai taraf tertentu bersama teman dekat kita. Jika kita memasuki keadaan-keadaan dalam hidup, menetapkan dorongan dengan cara ini, maka ini berhasil. Itu berarti kita memasuki keadaan-keadaan dengan sangat tulus, tidak bersandiwara. Kita tidak berusaha menjual diri kita, seperti ketika melamar pekerjaan. Kita tidak berpura-pura. Sebaliknya, kita sepenuhnya nyaman dengan semua orang atau siapapun. Ini karena kita pada dasarnya nyaman dengan diri kita sendiri. Ini semua, tentu saja, tergantung pada pemahaman kita tentang diri, itu jelas. Ini berhubungan dengan pemahaman kita tentang bagaimana diri itu ada – dengan kata lain, kehampaan. Diri itu ada 220
tanpa cara-cara yang mustahil. “Aku” ada tanpa cara-cara yang mustahil. Begitu juga dengan Anda. Bantahan bisa muncul, “Tapi, jika aku meruntuhkan semua bentengku, bukankah aku rentan untuk terluka?” Saya pikir bukan itu kasusnya. Jika kita menggunakan contoh dari seni-seni beladiri, maka, jika kita tegang, kita tidak bisa bereaksi dengan cepat apabila seseorang menerjang kita. Tapi jika benteng kesadarandiri itu runtuh, maka kita memiliki perhatian penuh pada apa yang terjadi. Kemudian itu memungkinkan kita untuk bereaksi dengan sangat cepat terhadap apapun yang terjadi. Sekali lagi, ini adalah soalberhadapan dengan unsur ketakutan ini, bukan? Ketakutanlah yang harus kita kalahkan, karena ketakutan mencegah kita meruntuhkanbenteng itu. Kita takut bahwa “Jika aku meruntuhkanbenteng itu, aku akan terluka.” Itu karena kita mempertahankanbenteng kita tetap berdiri, dan, dengan begitu, kita sebenarnya melukai diri kita sendiri. Tapi, kita perlu mempelajari fakta-fakta ini melalui pengalaman dan pemahaman pribadi. Itu membawa kita pada keseluruhan pokok penting lain, yaitu pokok tentang “pemahaman.” Membangkitkan Rasa Berdasar pada Pemahaman Penyimpulan Banyak orang sangat tertutup oleh beberapa pendekatan yang kita temui dalam ajaran Buddha, terutama ajaran Buddha Tibet – dan khususnya ajaran Buddha Tibet Gelugpa. Saya di sini mengacu ke penekanan pada nalar dan pemahaman penyimpulan. Tapi di sini tidak ada yang perlu ditakutkankarena kita hidup dengan jenis pemahaman itu setiap waktu. Pemahaman bukanlah cara cendekia yang berat. Kita mendengar jam beker berhenti berdering di pagi hari dan kita paham bahwa ini waktunya untuk bangun. 221
Mengapa ini waktunya untuk bangun? Ini karena jam beker telah berhenti berdering.Di sana ada sederet pemikiran sadar dan itu juga merupakan cara otak bekerja secara bawah sadar.Deretan pemikiran nalarbagi pemahaman bahwa ini waktunya untuk bangun adalah: “Jika jam beker itu berhenti berdering, ini waktunya untuk bangun. Jam beker itu telah berhenti berdering. Oleh karena itu, ini waktunya untuk bangun.” Kita bisa menempatkan ini ke dalam silogisme nalar seperti itu.Kita tidak perlu melalui latihancendekia yang berat agar bisa melihat dari tanda itu – itulah kata yang kita gunakan dalam bahasa Tibet – itu tanda atau petunjuk bahwa ini waktu untuk bangun. Jam beker berhenti berdering adalah tanda yang kita andalkan untuk memahami bahwa ini waktunya untuk bangun. Sama halnya, memandang seseorang sebagai teman dekat kita adalah tanda atau petunjuk terpercaya yang memungkinkan kita memahami bahwa tidak perlu mempertahankan bentengitu tetap berdiri. Itu karena tidak ada yang perlu ditakutkan dan kita tidak harus bersandiwara terhadap orang ini. Bagaimana kita tahu itu? Itu karena kita melihat tanda dan mengambil kesimpulan secara nalar dari itu. Tanda itu adalah bahwa kita memandang orang ini sebagai teman baik kita. Jadi kita mendapat pemahaman penyimpulan dan kita memperolehnya melalui penyimpulan sederhana, bukan melalui cara penalaran yang berat. Mampu membangkitkan rasa-rasa berkaitan dengan pemahaman. Banyak orang benar-benar bingung tentang bagaimana beralih dari sesuatu yang cendekia ke sesuatu yang dirasa. Itulah masalah besar yang dihadapi oleh banyak dari kita dengan cara pikir Barat yang memisahkan kecendekiaan dan rasa menjadi dua hal yang terpisah, dua hal yang hampir tidak terkait. 222
Cara untuk mengatasi kesulitan itu adalah, pertama-tama, menyadari bahwa merasakan sesuatu memiliki dua unsur – merasakan sesuatu sebagai kebenaran, dengan kata lain meyakini sesuatu sebagai kebenaran, dan kemudian memiliki rasa emosional berdasar pada keyakinan itu. Memahami sesuatu, meyakininya sebagai kebenaran, dan merasakan suatu perasaan tentang itu berjalan secara berurutan. Adalah cara keberadaan yang mustahil bahwa tiga hal itu tidak terkait satu sama lain. Sebagai contoh, kita memperoleh pemahaman tentang sesuatu dengan mengandalkan suatu tanda. Kita bisa mengungkapkan cara itu dalam rupa yang nalar: “Jika aku bersama teman dekatku, aku tidak perlu bersikapbertahan. Orang ini adalah teman dekatku. Oleh karena itu, aku tidak perlu bersikap bertahan.” Karena pemahaman itu berdasar pada silogisme yang nalar, kita barangkali bisa menyebutnya sebuah pemahaman cendekia, tapi itu menghilangkan pokoknya. Pokoknya adalah, berdasar pada pemahaman ini, kita yakin bahwa benar kita tidak perlu bersikap bertahan dengan orang ini. Berdasar pada keyakinan itu, dindingdinding itu bisa mulai runtuh dan kita bisa merasa lebih santai. Jika dinding-dinding itu tidak runtuh dan kita tidak santai, kesalahan biasanya terletak pada pemahaman dan keyakinan kita. Namun, tentu saja di sana bisa ada unsur-unsur luar lain yang memengaruhi kita, misalnya ketegangan dari hal-hal lain yang terjadi dalam hidup pada saat itu. Tapi saya pikir Anda menangkap maksud saya. Hal yang perlu kita mampu untuk kenali adalah apa arti memahami sesuatu. Jika kita bisa mengenali arti memahami sesuatu, maka hubungan di antara itu, merasakan sebuah fakta sebagai kebenaran, dan merasakan sebuah rasa berdasar pada meyakini 223
fakta itu jauh lebih mudah untuk didapat. Mari kita coba memikirkan sebuah contoh. Satu contoh adalah jam beker berhenti berdering. Kita paham “secara cendekia,” dengan cara penyimpulan, bahwa ini berarti sudah waktunya untuk bangun. Sekarang, cobalah untuk memusatkan pada seperti apa rasanya memahami bahwa sudah waktunya untuk bangun. Mutu-mutu apa yang Anda kenali di sini? Peserta: (penerjemah) Ia telah belajar bahwa ia harus bangun jika jam bekernya berhenti berdering dan ia menyadari bahwa jika ia bangun cukup awal, ia pergi bekerja dengan ringan. Sebaliknya, ia akan terlambat. Alex: Benar, tapi sekarang bergeraklah lebih dalam. Ini bukan hanya tentang kesadaran pada tugas atau semacamnya. Itu sekunder. Pada tingkat yang lebih dalam, kita perlu bekerja dengan dua persoalan perasaan utama mengenai keyakinan pada apa yang telah kita pahami ketika kita mendengar dering jam itu berhenti. Yang pertama adalah ketidakrelaan kita untuk menerima apa yang kita dengar, apa yang kita pahami – bahwa kita benarbenar harus bangun. Itu adalah persoalan utama yang pertama. Yang kedua adalah membuat keputusan untuk menerima kebenaran dan benar-benar bangkit dari tempat tidur. Lalu di sana mungkin ada unsur-unsur sekunder tentang mengapa kita membuat keputusan itu – karena kesadaran pada tugas, karena rasa bersalah, atau karena hal lain. Kita bisa membuat keputusan itu untuk banyak alasan dan kemudian pokok yang Anda sebutkan mengikuti. Peserta: (penerjemah) Yang ia rasakan tidak hanya kesadaran pada tugas. Tapi, berdasar pada pengalamannya, ia tahu bahwa 224
jika ia bangun cukup awal, ia tidak akan punya waktu untuk bersantai sejanak dan memulai hari itu dengan lebih ringan. Dengan begitu rasa yang ia miliki ketika bangkit dari tempat tidur lebih positif. Alex: Ini sangat penting, karena apa yang terjadi di sini adalah, berdasar pada sebuah pemahaman, kita menerima penalaran bahwa kita harus bangun ketika jam beker berdering dan kita membuat keputusan untuk bangun. Kita paham bahwa jika kita bangun, maka keluar dari rumah akan lebih santai, bukannya terburu-buru karena kita punya dua menit untuk bersiap-siap dan berlari keluar. Jadi, karena ada keuntungan-keuntungan tertentu untuk bangun sedikit lebih awal dan kita memahami keuntungankeuntungan itu, kita merasa nyaman untuk bangun. Dalam kejadianapapun, kenyataannya adalah kita harus bangun – entah perasaan yang kita rasa tentang itu adalah kesal atau nyaman. Kita merasa kesal ketika kita memikirkan kerugian-kerugian dari bangun – kita tidak bisa berbaring di tempat tidur kita yang nyaman dan hangat lebih lama. Dan kita merasa nyaman ketika kita memikirkan keuntungan-keuntungan dari bangun sekarang. Ketika kita memandang susunan ajaran-ajaran Buddha, mereka selalu memberi keuntungan-keuntungan padatiap-tiap pokok. Ada keuntungan dalam meruntuhkan dinding-dinding kita; ada keuntungan dalam memandang semua orang sebagai ibu seseorang, dalam menyadari bahwa kita memiliki kehidupan manusia yang mulia, dalam menyadari tentang ketidaktetapan, dan seterusnya. Kita perlu memahami keuntungan-keuntungan dalam menerima dan meyakini kebenaran tentang sesuatu. Lagi-lagi, ini menuntut, pemahaman lebih dulu. Namun, begitu kita memahami sesuatu, kita masih harus menghadapi persoalan tentang 225
menerimanya. Perasaan yang kita rasa akan diwarnai oleh apakah kita menerima kebenaran pemahaman kita atau tidak, dan oleh bagaimana kita menerimanya. Menerima Sesuatu yang Kita Pahami Penerimaan sebenarnya adalah persoalan yang sangat sulit. Kita mungkin memiliki kesulitan menerima bahwa kita harus bangun setiap pagi, dengan contoh jam beker kita. Kita juga bisa mengetahui kesulitan ini dari contoh lain dalam hidup kita, misalnya ingin memakan sepotong cokelat. Kita mencari-cari ke seisi rumah dan tidak menemukan cokelat. Oleh karena itu, kesimpulan yang nalar adalah tidak ada coklat di rumah ini.Nah, itu mungkin cukup sulit untuk diterima. Sebagai contoh, jika kita di luar pintu rumah kita yang terkunci dan kita mencari kuncinya di semua kantong dan tas kita, kunci itu seharusnya ada di dalam salah satu barang-barang itu. Tapi jika kunci itu tidak ada di sana, itu adalah tanda yang sahih untuk menyimpulkan secara nalar bahwa kita kehilangan kunci atau kita lupa membawanya. Kita terkunci. Itu sangat sulit untuk diterima, bukan? Kita dengan kalut mencarinya lagi dan lagi. Itu contoh yang cukup sederhana. Tapi, ketika kita harus menerima bahwa tidak ada “aku” yang padu karena kita mencari-cari dan tidak menemukannya – ini tidak semudah itu. Seluruh persoalan tentang berangkat dari memahami sesuatu untuk benar-benar merasakannya secara emosional adalah sangat sulit karena cara kita menyusun rangkaian peristiwa itu. Kita memandang hal itu seolah-olah mengubah sesuatu yang cendekia menjadi sesuatu yang emosional, dan bahwa dua hal itu sama sekali tidak saling terkait. Tapi meskipun menyusun rangkaian 226
peristiwa itu sebagai sesuatu yang berangkat dari pemahaman, yang saya pikir merupakan cara yang lebih membangun untuk melihatnya, menjadi sebuah rasa tidaklah semudah itu, karena persoalan menerima apa yang kita pahami ini. Memperoleh Keberanian untuk Meruntuhkan Dinding-Dinding Kita Jadi, sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kita belajar menerima? Mari kembali lagi ke contoh sederhana kita. Bagaimana Anda menerima untuk meruntuhkan dinding-dinding itu? Siapa yang hendak menjawab? Peserta: Ketika kita memahami bahwa itu berguna, akan lebih mudah untuk menerima. Semakin kita memahami bahwa itu berguna, semakin mudah untuk menerimanya. Alex: Bagus. Kita menerima untuk meruntuhkan dinding-dinding itu dan kita benar-benar mencoba melakukannya ketika kita memahami dan menerima keuntungan-keuntungan dari meruntuhkan itu sebagai kebenaran. Yang lain hendak menjawab? Peserta: Untuk menerima sesuatu, Anda perlu mengalaminya. Jadi Anda hanya perlu mencobanya lebih dulu. Mungkin Anda melompat ke dalam air dan Anda tenggelam, tapi Anda harus memiliki keberanian lebih dulu untuk mencobanya, untuk mengalami pengalaman tenggelam ini. Alex: Itu benar. Untuk benar-benar meruntuhkan dinding-dinding itu, kita perlu memiliki keberanian besar. Tapi untuk tahu bahwa adalah mungkin meruntuhkan dinding-dinding itu pun kita memerlukan suatu pemahaman lebih dulu. Pemahaman itu berasal dari pengalaman pernah terluka dalam hubungan kita ketika kita tidak meruntuhkan dinding-dinding itu. Berdasar pada pengalaman 227
itu, dan kemudian berdasar pada seseorang memberitahu kita dan melihat dari mereka seperti apa ketika dinding-dinding itu runtuh, kita mendapat keberanian untuk mencobanya sendiri. Jadi sekarang kita bisa melukis sedikit goresan pada bagian gambar kita itulah guru di sini, karena kita mendapat ilham dari melihat contoh tentang seseorang yang dinding-dindingnya runtuh, yang akan menjadi guru yang baik – ingat, ada banyak yang bukan guru yang baik. Dengan guru yang baik, kita akan melihat contoh langsung tentang seperti apa memiliki dinding-dinding yang runtuh. Ini memberi kita ilham dan keberanian untuk mencobanya sendiri. Belajar untuk Meruntuhkan Dinding-Dinding Kita Peserta: (penerjemah) Sewaktu kecil ia tidak memiliki dindingdinding ini, tapi karena pengalaman-pengalaman buruk, karena iateraniaya, ia membangun dinding-dinding ini dan oleh karena itu sekarang, jika ia seharusnya meruntuhkan dinding-dinding ini, ketakutan ini masih ada di sana. Tapi kini ketika ia bersentuhan dengan ajaran Buddha, ia mencoba untuk membiarkan dindingdinding itu runtuh, tapi masih ada ketakutan bahwa orang lain bisa menyalahgunakan keterbukannya. Alex: Inilah pokok yang ingin saya angkat. Bagaimana kita tahu bahwa meruntuhkan dinding-dinding itu bermanfaat? Bagaimana kita bisa belajar untuk merasakan atau membangkitkannya? Ini berasal dari fakta bahwa ketika kita mengalami runtuhnya dindingdinding itu, kita memiliki pengalaman langsung akan manfaatmanfaatnya. Itulah cara kita mengetahuinya. Tapi, manfaatmanfaat itu tidak selalu datang seketika itu juga. Jadi, cara pembelajaran pertama ini tidaklah mudah. 228
Cara kedua yang bisa kita pelajari adalah, kadang-kadang kita meruntuhkan dinding-dinding itu dan kita terluka. Itu juga dari pengalaman terdahulu. Kadang-kadang kita terluka; kita dimanfaatkan. Kemudian kita perlu coba memahami apa yang salah. Seringkali jika kita bisa memahami apa yang salah, kita bisa memperbaikinya. Dalam keadaan demikian, apakah masalahnya adalah dindingnya runtuh, atau apakah masalahnya adalah ada sesuatu yang tidak tepat dalam cara kita menghadapi keadaan itu dalam kerangka bagaimana kita memahami diri kita sendiri? Mari menggunakan sebuah contoh. Kita sedang bersama seseorang dan orang itu marah kepada kita. Sekarang, kita bisamenghadapi keadaan itu dengan dua cara, dengan dinding berdiri atau dinding runtuh. Kita bisa berpikir, “Dindingku runtuh, aku rapuh dan mereka mengatakan hal-hal kemarahan ini kepadaku dan aku terluka.” Kita juga bisa berpikir, “Seandainya aku mempertahankan dinding-dinding ini tetap berdiri, aku tidak akan terluka.” Kita harus sangat jelas tentang ini, karena yang baru saja kita rumuskan ini sebenarnya adalah cara yang cukup gila. Bagaimana bisa kita tidak terluka jika dinding-dinding itu berdiri? Akan seperti apa keadaannya? Sebenarnya, kita akan terluka baik dinding itu berdiri maupun runtuh. Semuanya bergantung pada bagaimana kita memahami diri kita sediri? Jika seseorang melempar bongkahan besar lumpur ke arah kita dan jika kita hanya berdiri di sana dan menerimanya dan lumpur itu mengenai wajah kita, itu seperti memandang diri kita dalam cara yang sangat padu. Tapi, jika kita sangat luwes dan seseorang melempar lumpur ke arah kita, kita bergerak sedikit ke 229
samping dan kita tidak membiarkan lumpur itu mengenai wajah kita. Kata-kata kemarahan itu melintas di samping kita. Orang itu berada dalam suasana hati yang buruk, kita tidak menanggapinya secara pribadi. Itulah kuncinya, bersikap luwes dan tidak menanggapi kata-kata kemarahan itu secara pribadi, kita tidak membiarkan mereka mengenai wajah kita. Tapi jika kita memiliki cara yang sangat padu dalam memandang diri kita dan kita kaku dan menanggapi segala hal secara sangat pribadi, maka ketika dinding-dinding itu runtuh, kita sangat rentan dan semuanya menampar wajah kita. Tapi jika kita memiliki rasa padu yang sama tentang AKU yang menanggapi segala hal secara pribadi, maka menjaga dindingdinding itu berdiri sama sekali tidak melindungi kita. Kita tetap menanggapi segala hal secara pribadi. Entah itu atau kita bersembunyi di balik dinding-dinding kita dengan ketakutan dan ketidakamanan. Kita secara bawah sadar terluka atau kita menghalangi diri kita dari rasa terluka, tapi di dalam diri kita terluka. Itu adalah tataran pengingkaran, tapi faktanya kita sangat terluka. Itulah “aku” yang padu menggigil ketakutan di balik dinding. Jadi kita harus sangat jelas tentang apa yang terjadi. Apa sebab luka itu? Sebab dari luka itu bukanlah dinding-dinding yang runtuh. Yang menyebabkan kita terluka adalah kesalahan pemahaman tentang “aku” yang padu. Peserta: (penerjemah) Barangkali ia memahami secara cendekia tentang masalah dan pembicaraan mengenai kehampaan tentang “aku” yang padu ini. Tapi jika keadaan itu ada, jika rasa terluka itu ada, ia tidak bisa menerapkan ini pada rasa itu dan ia tidak bisa menyatukan pemahaman ini ke dalam perasaan-perasaannya. 230
Misalnya, jika ia terluka, ia mungkin tahu, “Baik, tidak ada ego,” tapi semua sama, ia merasa terluka. Maka rasa terluka ini tidak hilang karena ia memikirkan ini dalam kerangka tidak ada ego. Alex: Ini benar. Ada tahapan-tahapan pada rintis ini. Kepedihan dan penderitaan dan hal-hal seperti itu tidak pergi dengan seketika. Bahkan jika kita memiliki pengetahuan nirsekat yang terangtentang kehampaan, itu bukan berarti akhir dari penderitaan kita. Pengetahuan yang terang itu perlu merasuk secara perlahan-lahan ke dalam diri kita; ia harus meresap dalam jangka waktu yang lama, dengan banyak pengalaman, sebelum ia benar-benar menyingkirkan penderitaan. Ada celah besar antara menjadi seorang arya – orang yang memiliki pengetahuan nirsekat tentang kehampaan – dan menjadi seorang arhat, orang yang sepenuhnya terbebas selamanya dari penderitaan. Pokoknya adalah bahwa kita tidak boleh berharap lebih daripada apa yang biasanya berlaku dalam kemajuan tentang bagaimana tiap-tiap perorangan memperoleh pembebasan. Itu berjalan melalui tahapan-tahapan; itu adalah cara yang berjenjang. Di sini, kita perlu mengingat Kebenaran Mulia yang Pertama. Hidup itu berat! Itulah Kebenaran Mulia yang Pertama.Bahkan jika kita memahami kehampaan, masalah-masalah kita tidak akan berakhir seketika. Hidup itu berat! Penderitaan tidak pergi seketika. Itu adalah cara yang berjenjang lama. Pada awalnya, kita akan merasa terluka, tapi perbedaannya adalah kita tidak akan tertahan lama memiliki rasa itu. Jika kita bisa melakukan itu, rasa sakit itu akan berlalu dengan jauh lebih cepat. Itulah perbedaan yang tampak jelas. Kita kemudian semestinya bahagia dengan hasil sebanyak itu dan pada akhirnya, dengan semakin sering, 231
pengaruhnya semakin baik. Kita tidak perlu gentar dengan itu; kita harus berani. Berkata “Tidak” Ada satu pokok lain yang ingin saya angkat mengenai meruntuhkan dinding-dinding ini. Ini adalah pengalaman yang banyak orang miliki bahwa ketika mereka meruntuhkan dindingdinding itu, mereka merasa bahwa mereka selalu harus berkata “ya” dan mereka tidak bisa berkata “tidak” kepada seseorang. Daripada dilukai secara langsung oleh orang lain, mereka lengah tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri karena mereka tidak pernah berkata “tidak.” Mereka terluka secara tidak langsung. Apakah Anda menyadari hal itu? Dalam keadaan itu, kita harus coba mengakui bahwa ketika kita berkata “tidak” dan ketika kita memperhatikan kebutuhankebutuhan kita sendiri, itu tidak sama dengan mendirikan kembali dinding-dinding kita. Jelas, kita bisa mendirikan kembali dindingdinding kita, tapi itu tidak berarti harus mendirikan kembali dindingdinding kita. Kita masih bisa sepenuhnya terbuka, sepenuhnya menerima, dan berkata, “Aku minta maaf, aku tidak bisa melakukan itu” atau “Aku perlu istirahat sekarang” dan kita masih tetap terbuka. Tapi, ketika kita memiliki gagasan tentang “aku” yang padu ini, maka “Malangnya aku, aku dimanfaatkan” mewujud dan kita menjadi sangat gusar. Atau kita merasa, “Seandainya aku berkata ‘tidak,’ maka orang lain itu akan mengabaikan ‘aku,’ oleh karena itu lebih baik aku tutup mulut.” Dan kemudian kita mengarahkan semua kebencian, rasa bersalah dan kemarahan itu kepada diri kita sendiri, kepada “aku” ini. Sekali lagi, ini semua berkutat di seputar gagasan tentang “aku” yang padu – itulah kesalahan pemahaman yang perlu kita tinggalkan. 232
Menanggapi Orang Lain yang Memiliki Dinding-Dinding Berdiri Peserta: Saya melihat hal lain dalam hidup saya yang selalu muncul. Saya punya pengharapan seperti, “Jika aku meruntuhkan dinding-dindingku, maka orang lain semestinya juga meruntuhkan dinding-dinding mereka. Tidak ada yang perlu ditakutkan, lalu mengapa mereka tidak meruntuhkan dinding-dinding mereka?” Dan jika mereka mendirikan dinding-dinding mereka, saya sangat marah. Alex: Dua hal muncul di benaksaya ketika Anda mengatakan itu. Yang pertama adalah percakapan saya di kereta belum lama ini dengan seorang wanita yang, ketika saya berkata bahwa saya mengajar tentang ajaran Buddha dan mengajar tentang cara mengatasi sikap mementingkan diri sendiri, ia berkata, “Apa yang salah dengan mementingkan diri sendiri? Jika semua orang mementingkan diri sendiri, maka jika saya tidak mementingkan diri sendiri, saya hanya menjadi orang bodoh!” Ini sama dengan yang Anda bicarakan di sini; jika semua orang menegakkan dindingdinding mereka, jika saya tidak menegakkan dinding-dinding saya, saya hanya menjadi orang bodoh. Jawaban saya kepadanya adalah, “Ya, dengan penalaran itu, jika semua orang berkeliaran dan menembak orang-orang, dan Anda tidak berkeliaran dan menembak orang-orang, Anda adalah orang bodoh.” Jadi, jelas, kita harus sedikit lebih objektif tentang manfaat dan kesalahan dari menembak orang-orang dan dari menegakkan dinding-dinding Anda. Hal kedua yang muncul di benak adalah contoh ibu saya. Ibu saya dulusangat gusar menonton berita-berita di televisi. Ia akan menonton berita dan mendengar tentang semua pembunuhan, semua perampokan dan pemerkosaan yang terjadi hari itu, dan ia 233
akan menjadi sangat marah, “Mengapa orang-orang bertindak seperti ini?” Sekarang, saya pikir persoalannya di sini adalah persoalan tentang kebajikan-diri. Kita bisa memiliki kebajikan-diri dalam cara yang sangat terus terang. Ibu saya tidak seperti itu. Tapi kita juga bisa memilikinya dalam cara yang jauh lebih halus. Inilah yang saya pikir ia miliki, rupa yang lebih halus dari “Aku sungguh mengagumkan dan semua orang lain sangat jahat.” Lagi-lagi, saya pikir ini semua berkutat di seputar kesalahan pemahaman tentang “aku” yang padu. Dengan kata lain, kita mengenali dengan bertindak dalam cara yang bermanfaat, seperti meruntuhkan dinding-dinding kita atau tidak berkeliaran dan membunuh dan merampok orang-orang. Kita mengenali “aku” yang padu dengan itu. Kita menggunakan itu untuk membentengi jati diri kita dalam upaya untuk membuat “aku” ini aman. Kemudian kita menggunakan seluruh tata cara dari penolakan yang kuat terhadap orang lain yang tidak bertindak seperti yang kita lakukan, mencoba membuat “aku” itu tidak terancam dan lebih aman. Kita dapat memahami bagaimana kita bisa menanggapi secara berbeda dengan contoh berikut ini. Kita meminum air dari sebuah gelas, seperti ini. Anjing kita tidak meminum air seperti itu. Jadi jika ada banyak anjing dan mereka semua meminum air dengan menjilatinya dengan lidah mereka dari mangkuk di lantai, apakah itu membuat kita merasakan kebajikan-diri karena kita minum dengan cara yang benar dan mereka semua buruk karena mereka minum dengan cara yang salah? Tidak. Mengapa itu tidak membuat kita gelisah?
234
Di sisi lain, mengapa kita gelisah jika kita terbuka dan semua orang di sekitar kita tidak terbuka? Apa perbedaan antara itu dan cara minum kita berbeda dari binatang? Saya pikir perbedaan itu adalah dalam kerangka mengenali “aku” yang padu dengan kedudukan tertentu. Tak masalah cara kita munum, itu hal sepele. Jadi kita tidak peduli bagaimana anjing minum. Tapi “aku” yang padu ini – “Aku berusaha keras untuk terbuka dan untuk menjadi ‘baik’.....” Sekarang kita harus melukis goresan kecil lain di bagian lain dari gambar di sini, berkaitan dengan pokok bahwa kita gusar ketika orang lain tidak berperilaku seperti kita. Ini adalah goresan cat mengenai keseluruhan pertanyaan “semestinya” – “Aku semestinya melakukan ini.” Tidak Peduli dengan Perkataan dan Perbuatan Orang Lain Peserta: (penerjemah) Ia berkata ada pendekatan lain. Jika Anda ingin menjadi orang yang dihormati dan seseorang berkata kepada Anda, “Anda bodoh,” maka Anda marah. Tapi jika Anda tidak ingin menjadi orang yang dihormati dan seseorang berkata kepada Anda sepuluh kati, “Anda bodoh,” maka itu tidak masalah bagi Anda. Juga apabila seseorang ingin merebut istri Anda karena suatu alasan dan Anda ingin mempertahankan istri Anda, maka Anda akan mulai bertengkar. Tapi jika Anda berpikir, “Baik, jika istriku ingin pergi, itu tak apa. Aku menerima ini,” maka, karena Anda tidak punya keinginan untuk mempertahankan istri Anda, Anda tidak memulai pertengkaran. Alex: Kita menyebut kebenaran kebenaran
harus membedakan dua kebenaran di sini. Kita mereka kebenaran yang tertinggi dan lazim atau yang terdalam dan lazim. Dari sudut pandang terdalam, ya, kita berusaha untuk tidak melekat pada 235
suatu hal, dengan memandang hal-hal itu tidak memiliki keberadaan yang padu. Tapi, dari sudut pandang kebenaran lazim, ada “hal-hal yang diterima dan hal-hal yang ditolak.” Dari sudut pandang lazim, lebih bermanfaat untuk terbuka daripada tertutup dan lebih bermanfaat untuk melindungi istri kita daripada membiarkan orang lain mengganggunya dan membawanya. Itu tidak bertentangan dengan kebenaran terdalam karena kita tidak melekat. Kita perlu cermat agar tidak merancukan dua kebenaran itu. Latihan Penutup Ini waktunya untuk menutup sesi kita petang ini. Mari mengakhiri dengan sedikit laku yang berdasar pada pengalaman, dan sekali lagi mari lakukan ini dengan memandang sekeliling dan bersikap terbuka. Kita ingin terbuka, bukan dalam arti “aku” yang padu dengan dinding-dinding runtuh dan lumpur yang dilempar ke arahku... whop! tepat di wajahku. Melainkan dengan dindingdinding runtuh dan tidak ada hal padu yang perlu kita khawatirkan akan melukai. Tapi jelas kita berada di sini. Kita tanggap terhadap apapun yang terjadi tanpa bersikap bertahan dalam cara penggenggaman yang kuat, dengan rasa takut. Dari mana rasa takut muncul? Rasa takut datang dari pemikiran bahwa ada “aku” yang padu yang bisa terluka. Kemudian, tentu saja, kita takut. Kebenaran lazim itu adalah, apabila seseorang melempar sesuatu pada kita, kita mengelak. Jika mereka membuat terlalu banyak tuntutan terhadap kita, kita berkata “tidak.” Biasanya, kita menghadapi hal-hal semacam itu dengan kesadaran pembeda atau kemampuan untuk membuat pembedaan yang objektif, bukan dengan penilaian-penilaian kebajikan-diri yang subjektif. 236
Peserta: Jika Anda membiarkan dinding-dinding itu runtuh, apakah ini berhubungan dengan keluwesan, sehingga baik kita mendengar hal-hal baik atau hal-hal buruk, kita tetap ingin membantu? Apakah mampu melakukan ini berarti kita memiliki keluwesan? Alex: Tepat. Hanya ketika dinding-dinding itu runtuh kita bisa benar-benar luwes dan sukarela dan seterusnya. Jika dindingdinding itu berdiri, kita sama sekali tidak bisa menanggapinya secara bebas. Maka, kita sangat kaku. Kita berkutat dengan semua dinding itu di sekeliling kita. Peserta: Meruntuhkan dinding-dinding itu berarti bersikap sangat luwes. Tapi itu tidak hanya berarti keluwesan, bukan? Meruntuhkan dinding-dinding itu tidak hanya berarti bersikap luwes? Alex: Tepat. Itu tidak hanya berarti bersikap luwes. Itu juga berarti mampu untuk benar-benar berhubungan secara patut. Itu berarti banyak hal. Semuanya saling terkait. Kita juga bisa lebih peka ketika kita meruntuhkan dinding-dinding itu. Jika kita lebih peka, kita lebih luwes. Jika kita lebih tulus, ini membuat orang lain merasa lebih nyaman dengan kita. Ada banyak hal. Mereka semua saling terkait. Jika dinding-dinding itu runtuh dan kita benar-benar melihat apa yang terjadi dengan orang lain, jauh lebih mudah memiliki kesadaran pembeda untuk melihat secara jelas apa yang perlu dilakukan. Pembedaan dan upaya-upaya terampil dikatakan muncul dengan sendirinya ketika dinding-dinding itu runtuh. Meskipun kita tidak bisa membangkitkan jenis rasa tentang dinding-dinding itu runtuh berdasar pada pemahaman akan kehampaan, kita bisa membangkitkannya dengan dasar memandang semua orang sebagai teman baik kita. Mengapa? Ini 237
karena berbagai cara tempuh bisa membawa ke tujuan yang sama, berbagai sebab bisa membawa ke hasil yang sama seperti yang ingin kita capai, seperti meruntuhkan dinding-dinding itu. Itu didapat dari ajaran-ajaran tentang kehampaan sebab dan akibat. Jadi, ada banyak cara berbeda untuk mencapai sebuah pemahaman dan ada banyak tingkat pemahaman, yang semuanya bisa berguna. Jadi, mari mencoba membangkitkan keterbukaan ini berdasarkan welas asih; memandang semua orang sebagai teman dekat kita. Dan kemudian jika kita juga bisa membangkitkan keterbukaan ini berdasar pemahaman yang benar tentang kehampaan, itu akan jauh lebih berguna. Dua hal itu selalu berkaitan – welas asih dan kebijaksanaan. Ingat? Inilah gambaran dari dua sayap. Bertanggung Jawab terhadap Orang Lain Peserta: (penerjemah) Tapi jika Anda memandang orang lain sebagai teman baik Anda, ini berarti Anda harus bertanggung jawab penuh terhadap orang lain dan oleh karena itu, dari sudut pandang ini, ia takut. Alex: Mengapa kita takut? Karena “aku” yang padu – “Aku akan gagal.” Jadi itu berarti kita harus melukis goresan lain di gambar kita, juga pada sisi kehampaan sebab dan akibat. Contoh baku yang Buddha gunakan adalah bahwa seember air tidak terisi oleh tetesan air pertama maupun terakhir; ia terisi oleh gabungan dari semua tetesan. Ketika kita berusaha membantu seseorang untuk mengatasi penderitaan mereka, itu tidak 100% bergantung pada apa yang kita lakukan. Itu adalah pembesaran-berlebihan dari “aku.” Hasilnya berasal dari gabungan banyak, banyak, banyak sebab. 238
Di satu sisi, kita tidak mengatakan bahwa kita semata-mata bertanggung jawab dalam arti bahwa jika mereka tidak menjadi lebih baik maka kita bersalah atau gagal. Tapi, di sisi lain, kita juga jangan pergi ke keekstreman lain, yaitu tidak melakukan apapun. Kita membantu sebaik yang kita bisa. Tapi apakah mereka akan mengatasi penderitaan mereka atau tidak, sebagian besar bergantung pada apa yang mereka lakukan. Sekali lagi, ini adalah pokok yang memungkinkan kita untuk menorehkan goresan kuas kecil pada lukisan yang kita buat, tapi kita akan masuk semakin dalam dan semakin dalam – ke dalam gagasan menyeluruh tentang “Aku semestinya” – besok. “Akusemestinya melakukan ini. Aku semestinya membantu mereka. Aku semestinya mampu menyelesaikan semua masalah mereka, dan seterusnya. Dan jika itu tidak berhasil dan aku tidak menyelesaikan masalah mereka, aku bersalah karena melakukan sesuatu yang keliru.” Dan itu tentu saja mengarah pada pembahasan tentang Tuhan, asal dari keseluruhan cara berpikir kita tentang “semestinya.” Kita membayangkan bahwa, seperti Tuhan, kita semestinya mahakuasa dan mampu menyelesaikan apapun yang kita inginkan, dengan kekuatan kita sendiri. Kita akan membahas itu besok. Jadi mari kita akhiri dengan beberapa menit bersikap terbuka, tanpa rasa takut, dan Sesi Dua: Haluan Aman (Perlindungan) Meruntuhkan Dinding-Dinding Kita terhadap Pembelajaran Seperti kita bahas kemarin, yang kita coba lakukan adalah merasa terbuka untuk menjadi bantuan bagi orang lain – berhubungan dengan orang lain secara langsung, dengan dinding-dinding 239
runtuh. Dinding-dinding kita perlu runtuh tidak hanya terhadap orang-orang, tapi juga terhadap pembelajaran sesuatu. Ini adalah jenis cara yang sama. Dinding-dinding itu harus runtuh agar kita terbuka dan mampu menerapkan sesuatu pada diri kita pribadi, bukan mendirikan dinding atau suatu benteng yang berasal dari kecendekiaan kita. Dengan kata lain, kita mungkin mendirikan dinding untuk melindungi “aku” yang tampak padu dalam diri kita, dan kita berpikir, “Aku hanya akan mendengarkan hal-hal sebagai latihan dalam kecendekiaan, supaya aku mengetahui sesuatu yang sulit dipahami atau menarik. Karena jika aku harus mengusik sesuatu di dalam diriku, itu sedikit terlalu mengancam, jadi aku akan mendirikan dinding-dinding ini.” Kita juga perlu meruntuhkan dinding-dinding semacam ini. Kita berusaha terbuka dengan cara ini untuk belajar dan membuat suatu peralihan-diri, sehingga kita bisa menjadi bantuan bagi orang-orang yang terhadap mereka kita terbuka pada tingkat perorangan. Seperti yang kita bahas kemarin, kita bisa mengembangkan jenis rasa-hati ini dengan lebih dulu memandang orang-orang di sekitar kita, baik orang-orang di dalam ruangan ini maupun gambar-gambar para Buddha di tembok, dan kemudian, setelah meruntuhkan dinding-dinding kita, merasakan dorongan untuk terbuka menuju sebuah peralihan, pada tingkat yang lebih dalam, pada diri kita dan hubungan kita dengan orang lain. Mari kita lakukan ini sejenak. Dan mohon lakukan ini dengan niat untuk penuh perhatian dan memusatkan pikiran, bukan hanya duduk dan cita kita kemana-mana. [Jeda] 240
Menggunakan “Laku” Buddha sebagai Dinding Ketika kita mendekati ajaran Buddha, pada dasarnya apa yang kita upayakan adalah suatu tingkat peralihan-diri. Peralihan-diri adalah sesuatu yang bisa menakutkan. Kemarin kita telah membicarakan sedikit tentang rasa takut. Guna menghindari keharusan untuk berubah, kita mendirikan dinding-dinding kita. Kemudian, dengan dinding-dinding berdiri, kita mendekati ajaran Buddha sebagai semacam hiburan, sejenis olahraga atau hobi. Kita memandang laku Buddha sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan kehidupan kita. Sangat menarik ketika kita bertanya kepada orang-orang yang sudah cukup lama terlibat dengan ajaran Buddha, “Apa laku Anda?” sangat sering mereka berkata bahwa laku mereka adalah melakukan semacam upacara tiap hari, yang diperoleh dari pembayatan tantra mereka. Mereka harus mendaras sesuatu tiap hari dan itulah laku mereka. Mungkin mereka bahkan memandang hal itu dalam cara Kristen: “Aku harus mengucapkan doa-doaku tiap hari.” Dan faktanya banyak orang menyebut naskah-naskah upacara ini “doa-doa” mereka. Karena akhir pekan ini kita menggunakan perumpamaan menggambar sebuah lukisan, kita bisa menambahkan di sini beberapa goresan kuas ke sisi lukisan yang berurusan dengan pengartian “semestinya” – “Aku semestinya mengucapkan doa-doaku, karena aku ingin menjadi orang baik, karena aku telah berjanji untuk melakukannya....” Lalu kita terlibat dengan gagasan tentang Tuhan dan guru. Kini kita mulai membubuhkan goresan-goresan kecil pada banyak bagian dari lukisan ini. Meskipun kita tidak melakukan jenis upacara tantra seperti itu, barangkali kita membuat sembah-sujud 241
atau laku lain dalam cara yang sama. Seperti yang pernah saya katakan, sangat mudah melakukan laku-laku itu sebagai olahraga; sesuatu yang terpisah dari kenyataan batin kita. Dengan kata lain, kita melakukan “laku” kita sebagai tugas – “sesuatu yang semestinya kulakukan karena aku berkata akan melakukannya” – maupun sebagai suatu olahraga yang tidak benar-benar berkaitan dengan kehidupan kita – “dan itulah lakuku!” Itu adalah kesalahan besar dalam mendekati ajaran Buddha. Banyak orang terlibat dengan ajaran Buddha selama bertahuntahun pada tingkatan itu namun, karena pandangan keliru tersebut, mereka hanya mendapat sedikit manfaat. Di situ bisa saja ada suatu manfaat; tentu, saya tidak menyangkal hal itu. Tapi itu tidak sebesar yang semestinya bisa didapatkan. Ketika kita atau orang lain – biasanya orang lain – berkata, “Lakuku adalah welas asih, kehampaan, ketidaktetapan, dan seterusnya,” sebagian orang memiliki tanggapan yang sedikit aneh. Jika kita melakukan upacara-upacara sebagai laku kita dan seseorang mengatakan itu pada kita, kita mungkin berpikir bahwa orang ini merasa dirinya hebat dan sangat bangga, dan, sedikit banyak, meremehkan kita dan mengecam kita karena melakukan laku-laku upacara. Sedikit banyak, kita melihat itu hampir sebagai sesuatu yang mengancam. Lagi-lagi, ini kembali pada salah-pengartian tentang AKU yang padu yang ada di dalam dinding-dinding itu, mendaras segala macam rumusan upacara itu, hampir sebagai cara untuk membuat dinding-dinding itu lebih kuat. Kita melakukan itu sehingga, dengan berada di dalam dinding-dinding itu, kita tidak perlu menghadapi diri kita dan hidup kita. Kita sangat-sangat sibuk dengan upacaraupacara sehingga kita tidak benar-benar berhadapan dengan orang lain atau diri kita sendiri. Anda tahu bagaimana sebagian 242
orang menyalakan radio atau musik pada menit pertama mereka bangun tidur di pagi hari dan terus memainkannya sepanjang hari, atau bahkan menyalakan televisi sepanjang hari di rumahnya. Kini banyak orang berjalan sepanjang hari dengan earphone dan Walkman membunyikan musik ke telinga mereka. Meskipun ini tidak disadari, akibatnya adalah mereka tidak pernah benar-benar berpikir atau menyendiri dengan diri mereka sendiri. Berurusan dengan kesendirian memang adalah cara yang aneh, tapi bagaimanapun sebagai orang dengan gaya hidup Barat kita tahu apa artinya itu. Akibatnya, kebiasaan-kebiasaan semacam itu menjauhkan kita dari pandangan yang bersungguh-sungguh pada cita kita dan kehidupan kita. Cukup mudah untuk mengikuti jenis pola seperti itu dengan laku Buddha. Kita melakukan sebuah upacara atau kita mengucapkan sebuah mantra sepanjang hari, yang sama seperti memutar musik sepanjang hari. Itu tidak benar-benar menyentuh bagian terdalam dari kita. Dengan kata lain, kita menggunakan laku itu sebagai dinding lain; itu adalah lapisan lain dari sebuah dinding besar di sekeliling kita. Bahkan jika kita menjadi sangat mahir dalam laku kita – anggaplah kita membayangkan segala macam hal sepanjang hari dalam kerangka mandala-mandala dan dewa-dewi dan hal-hal seperti itu – cukup mudah untuk menggunakan itu sebagai dinding lain sehingga kita tidak benar-benar berhubungan dengan kehidupan. Saya pikir sangat penting agar susunan dasar dari laku kita bukanlah suatu hal tambahan di luar kehidupan kita yang kita lakukan selama satu jam atau seberapapun lamanya kita melakukannya tiap hari. Kehidupan kita harus menjadi laku kita.
243
Kebenaran Mulia yang Pertama – Duka-Duka Sejati Supaya menjadikan kehidupan kita laku kita, kita perlu kembali ke susunan dasar dari ajaran-ajaran Buddha, yaitu Empat Kebenaran Mulia, Empat Fakta Kehidupan. Penting untuk mengikuti mereka dengan sangat bersungguh-sungguh. Yang pertama dari empat kebenaran itu, seperti kita rumuskan tadi malam, adalah “hidup itu sulit.” Anda bisa berkata, “Segala sesuatu adalah duka,” tapi itu adalah cara pengucapan yang sangat tidak nyaman. Jauh lebih cocok mengatakan, “Hidup itu sulit.” Intinya, kita perlu menghadapi fakta itu dan menerima bahwa hidup itu sulit. Kadang-kadang, kita berada dalam tataran penyangkalan tentang itu. Atau, dengan mendirikan dinding-dinding kita, kita hanya berkata dengan kata-kata teoritis, “Ya, semua penderitaan ini ada,” tapi kita tidak benar-benar menerapkan fakta itu pada diri kita sendiri dan melihatnya sebagai kebenaran dalam kehidupan kita sendiri. Kita terlalu sibuk berusaha menemukan kebahagiaan. Nanti atau besok, kita akan membahas seluruh persoalan kebahagiaan ini dan apakah kita pantas berbahagia sebagai pelaku Buddha. Itu adalah pokok yang sangat rawan bagi para pelaku Barat dan sangat sulit untuk diselesaikan. Tapi, sekarang mari kita menundanya dulu. Banyak orang, terutama kaum perempuan, tapi tidak hanya terbatas pada perempuan, mendapati diri mereka berada dalam keadaan-keadaan sulit dalam hidup, misalnya harus mengurus anak-anak, harus mengurus rumah tangga, selain mungkin harus bekerja. Kadang-kadang mereka mendapati banyak kesulitan dengan suami mereka atau laki-laki dalam hidup mereka, karena entah laki-laki itu tidak membantu atau tidak menghargai sulitnya keadaan mereka. Seringkali, laki-laki itu mendapati kesulitan untuk 244
berurusan dengan keadaan si perempuan, karena cara khas kaum lelaki dalam menanggapi adalah berkata, “Katakan padaku, apa masalahnya?” dan kemudian ia ingin memperbaikinya seolah-olah itu adalah pipa yang patah. Bukan itu yang sebenarnya dicari perempuan dalam keadaan ini. Seringkali yang ia cari hanyalah sebuah pemahaman tentang kesulitan itu dan untuk diberi belas kasihan, bukan dalam arti “Oh, kasihan,” melainkan belas kasihan dalam arti suatu dukungan perasaan dan pengertian. Inilah laku sejati tentang kemurahan hati, paramita pertama dari sikap yang menjangkau-jauh. Pokok lain yang cukup sesuai di sini adalah dari guru India Shantidewa, yang berkata, dan saya menyederhanakan ucapannya, “Kamu tidak bisa benar-benar bergantung pada makhluk biasa atas apapun, karena mereka kekanak-kanakan dan belum matang dan selalu mengecewakanmu.” Terima kasih Shantidewa. Ini sesuai untuk keadaan-keadaan di banyak rumah tangga, karena si suami seringkali tidak bisa benar-benar menyediakan jenis dukungan yang diinginkan istrinya. Ini sesuai dengan pembahasan kita di sini tentang Kebenaran Mulia yang Pertama, karena keadaan seorang perempuan mengurus rumah dan anak-anak hanyalah satu contoh dari “hidup itu sulit.” Hidup juga sulit bagi kaum lelaki, merasakan tanggung jawab untuk mewujudkan segala sesuatu dalam kerangka menyediakan jaminan keuangan bagi rumah tangga dan melindungi semua orang dan semua hal. Itu juga sulit. Ketika kita bicara tentang Kebenaran Mulia yang Pertama ini, bagaimana kita bisa membicarakannya sehingga kita tidak dalam tataran penyangkalan dan sehingga ini benar-benar tampak sesuai bagi kita? Saya pikir yang kita butuhkan adalah memuaskan 245
dorongan untuk mendapatkan suatu dukungan perasaan dan pengertian bagi fakta bahwa hidup kita sulit dan bahwa hidup secara umum adalah sulit. Berpaling pada Tiga Permata untuk Mendapat Dukungan Pertanyaannya adalah, kepada siapa kita berpaling untuk dukungan dan pengertian simpatik itu? Jika kita bergantung pada makhluk biasa, mereka memiliki masalah-masalah mereka sendiri dan sulit untuk mendapatkan dukungan dari mereka. Ini membawa kita pada pokok tentang perlindungan. Saya sebenarnya tidak suka “perlindungan” sebagai sebuah istilah karena saya pikir itu terlalu pasif. Saya selalu berpikir tentang itu sebagai cara yang lebih aktif untuk menempatkan haluan yang aman dan positif dalam hidup kita. Jika kita ingin berpaling pada sesuatu yang benar-benar bisa memberi kita dukungan simpatik, lalu sebagai pengikut Buddha, dalam lingkung perlindungan, kita akan berpaling pada Tiga Permata – para Buddha, ajaran-ajaran mereka dan pencapaianpencapaian mereka – yaitu Dharma – dan komunitas Sangha. Di Barat, kita mulai menggunakan kata sangha ini dalam cara nonBuddha sepenuhnya, untuk menjadi sepadan dengan jemaat gereja. Kita menggunakannya untuk menunjuk orang-orang yang pergi ke sanggar Buddha. Itu bukan makna aslinya. Namun, meskipun anggota-anggota lain komunitas Buddha kita bukanlah sasaran perlindungan, tetap saja kita bisa mendapatkan penemanan dan pengakuan dari mereka dalam lingkung hidup ini sulit – hidupKU sulit, bukan hanya hidup secara umum yang sulit. Juga, Kebenaran Mulia yang Kedua, Ketiga dan Keempat tampak seperti cara khas maskulin dalam memecahkan sesuatu: “Kita akan menemukan sebabnya dan memperbaiki masalahnya,” 246
seperti memperbaiki pipa yang patah. Tapi, kita perlu melakukan itu dalam lingkung pendekatan yang lebih feminin ini, yaitu pengakuan dan dukungan bahwa hidup itu sulit. Hidup memang sulit. Entah kita laki-laki atau perempuan, kita memerlukan perpaduan keduanya. Kita tidak boleh berpikir bahwa jenis kelamin menentukan sudut pandang khusus. Bagaimana kita mendapatkan dukungan itu? Berlindung pada anggota-anggota lain komunitas Buddha kita, pada satu tingkat cukup baik. Tapi seringkali kita mendapati bahwa orang-orang dalam komunitas kita tidak dewasa sehingga kita cenderung bersikap menilai; kita cenderung tertutup terhadap yang lain. Pada banyak komunitas Buddha Barat, orang-orang memiliki dindingdinding yang sangat kuat karena mereka pikir mereka perlu menyajikan gambaran untuk terlihat sangat suci dan maju dalam hal kerohanian. Jadi, seringkali, kita bersama-sama menghadiri sebuah kuliah atau melakukan suatu upacara bersama atau bermeditasi bersama dan kemudian semua orang pergi dan kita berpikir bahwa itulah artinya menjalani laku secara berkelompok – sekadar duduk bersama atau mendaras mantra bersama, sama seperti berpikir bahwa itulah artinya menjalani laku secara perorangan. Faktanya, pemusatan sebenarnya untuk menjalankan laku dalam kelompok Buddha adalah untuk saling berteman, membantu satu sama lain, bersikap pengertian, dan terbuka dan mengasihi. Jika kita berpusat pada itu dalam laku kelompok, maka, faktanya, kita bisa mendapatkan suatu dukungan perasaan dari tiap orang dalam menghadapi fakta bahwa hidup itu sulit dan bahwa kita semua mengupayakan diri kita sendiri dalam batasanbatasan kebenaran itu. Tapi tetap saja, kita adalah makhluk biasa
247
dan kadang-kadang sangat sulit untuk benar-benar memberikan tingkatan dukungan itu kepada orang lain. Jika kita menilik ke Perlindungan Sangha sesungguhnya, itu mengacu pada makhluk-makhluk arya, mereka yang telah memiliki pengetahuan nirsekat tentang kehampaan. Itu sangat berbeda, bukan? Meskipun orang-orang seperti itu belum terbebas dari duka, tapi tetap saja mereka akan berada pada perjalanan ego yang jauh lebih lemah, sehingga mereka bisa lebih mudah memberikan suatu dukungan kepada kita. Tapi tidak banyak arya di sekitar kita, bukan? Lalu barangkali kita bisa berpaling ke Perlindungan Buddha untuk memberikan dukungan semacam ini. Kita merasa, “Buddha mengerti aku; Buddha mengerti kesulitan-kesulitanku dalam hidup” Itu memberikan kenyamanan tertentu, pasti. Ini adalah persamaan dari kegunaan dalam agama Kristen yang dimainkan oleh pernyataan, “Yesus mengasihiku.” Jika Yesus mengasihiku, aku tidak mungkin seburuk ini. Semakin kita benar-benar yakin bahwa Yesus mengasihi kita, kita semakin memiliki jenis penguatan akan nilai-nilai kita sebagai manusia, yang kemudian memberi kita kekuatan untuk menghadapi hidup kita. Entah mengapa, ini tidak cukup hanya dengan fakta bahwa anjingku mengasihiku! Kita bisa memindahkan jenis sikap Kristen ini kepada Buddha, “Buddha mengasihiku, Buddha mengerti aku.” Itu memberi kita suatu kenyamanan dan dukungan. Sekarang kita bisa melukis goresan lainnya pada bagian guru rohani dari gambar yang kita lukis di sini – lagi-lagi seorang guru rohani yang baik, bukan sembarang orang. Saya ingat betul guru utama saya, Serkong Rinpoche. Salah satu mutu unggulnya adalah ia menanggapi 248
semua orang dengan sungguh-sungguh. Tak peduli betapa konyol permintaan orang itu baginya – seperti seorang hippi yang sangat aneh menepi dari jalan dan berkata, “Ajari aku Enam Yoga Naropa” – tak peduli betapa aneh orang ini, ia menanggapinya dengan sungguh-sungguh. Ia berkata, “Oh itu bagus! Kau benar-benar tertarik pada ajaran yang mengagumkan ini dan jika kau benarbenar ingin mempelajarinya, kau harus memulai dengan menyiapkan dari dalam dirimu.” Kemudian ia akan mengajarkan pada mereka sesuatu yang sesuai untuk tingkatan mereka. Itu berhasil baik dengan orang itu, karena jika sang guru menanggapi mereka dengan sungguh-sungguh, mereka bisa mulai menanggapi diri mereka sediri dengan sungguh-sungguh. Kita bisa melihat bahwa “guruku mengerti aku dan mengasihiku” akan bekerja dalam cara yang sejajar dengan “Buddha mengerti dan mengasihiku.” Tapi kita tidak selalu memiliki hubungan pribadi yang dekat dengan seorang guru – sama kasusnya dengan Buddha. Selain itu, kadang-kadang guru yang dengannya kita berhubungan tidaklah mumpuni seperti yang diharapkan. Namun, kita memandang mereka karena sepertinya hampir sedikit terlalu teoritis dan jauh untuk berkata, “Buddha mengerti aku” atau “Buddha mengasihiku.” Jadi kita harus berpaling pada tingkat perlindungan lainnya. Kita bisa berhaluan aman tidak hanya pada Buddha, Dharma dan Sangha sebagai suatu ilham yang menyebabkan kita menapaki rintis rohani; kita juga bisa berlindung dan berhaluan aman pada tahap hasil yang akan kita capai sendiri dari mengikuti rintis itu. Itu berarti pada akhirnya kita harus memperoleh kenyamanan dan pengertian ini dari diri kita sendiri, karena kita semua memiliki daya-daya dan kemampuan-kemampuan penuh, dalam lingkung 249
sifat-dasar Buddha, untuk mencapai tataran pembebasan dan pencerahan Buddha, Dharma dan Sangha. Kita juga memiliki semua daya itu untuk memberi pengertian dan dukungan bukan hanya untuk diri kita sendiri, melainkan juga untuk orang lain. Saya pikir itulah pokok yang sebenarnya sangat penting. Saya mendapati itu sangat penting dalam perkembangan saya sendiri. Shantidewa berkata – dan ibu saya juga mengatakannya, “Jika kamu ingin melakukan yang benar, lakukanlah sendiri. Jika kamu meminta orang lain untuk melakukannya, mereka tidak akan melakukan itu seperti cara yang kamu inginkan untuk menyelesaikannya.” Hal yang sama berlaku dalam kerangka mendapatkan pengertian ini, pengakuan dan kenyamanan yang kita butuhkan untuk mendukung diri kita sendiri dalam menghadapi fakta bahwa hidup itu sulit. Yang akan menjadi paling bisa diandalkan adalah memberi dukungan itu kepada diri kita sendiri melalui pengertian terhadap diri kita sendiri, penerimaan kita terhadap keadaan hidup kita, dan kebaikan kita terhadap diri kita sendiri dalam kerangka keadaan-keadaan itu – dan tidak bersikap menghakimi sepanjang penerapan cara ini. Bersikap Tidak-Menghakimi terhadap Diri Kita Sendiri Jika kita bersikap menghakimi, kita hanya menambahkan goresan lain ke gambar dari “Aku semestinya melakukan ini dan aku tidak semestinya melakukan itu dan aku ingin menjadi orang baik, aku tidak ingin menjadi orang jahat.” Jika kita memiliki sikap itu, sebenarnya kita memandang diri kita sendiri dan berkata, “Hidupku sulit. Itu karena aku ‘jahat.’ Ada sesuatu yang salah denganku.” Jika kita memandang hidup kita secara menghakimi; “Aku ingin menjadi orang baik, aku tidak ingin menjadi orang jahat,” maka kita menghakimi diri kita sendiri dalam kerangka hidup kita: “Hidupku 250
sulit. Aku pasti melakukan sesuatu yang salah. Aku jahat.” Alih-alih memberi diri kita suatu dukungan parasaan, kita berakhir dengan mengutuk diri kita sendiri dan menudingkan jari kita secara menghakimi. Itu tidak memberi kita dukungan apapun; itu hanya membuat kita merasa lebih buruk. Namun, mendapat belas kasihan dari diri kita sendiri bukan berarti memperlakukan diri kita sendiri seperti bayi dan kemudian tidak melakukan apapun terhadap keadaan kita. Jelas, ketika seorang perempuan menginginkan belas kasihan dan pengertian dari suaminya, bukan itu yang ia inginkan. Akan menyenangkan apabila si suami mau mencuci piring! Demikian juga, kita mungkin ingin seseorang menepuk kepala kita seperti anjing, tapi kita juga ingin bantuan yang ikhlas. Hal yang sama berlaku dalam berlindung pada diri kita sendiri. Di satu sisi, kita perlu bersikap pengertian dan hangat terhadap diri kita sendiri, tapi kita juga perlu memperbaiki pipa yang patah dan melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita yang lebih dalam. Semua hal ini cukup berseluk-beluk. Ini adalah persoalan yang cukup rawan. Saya memikirkan contoh tentang orang-orang yang tidak memiliki masa kecil yang menyenangkan atau orang tua yang sangat pengertian. Orang-orang seperti itu seringkali mencari pengganti orang tua, entah itu ibu atau ayah. Mereka terlibat dalam suatu hubungan dan kemudian mencerminkan ibunya atau ayahnya kepada orang itu secara bawah sadar dan menuntut orang itu memberi mereka jenis pengertian yang tidak mereka miliki sewaktu kecil. Bagaimana kita memperlakukan seseorang yang memiliki jenis masalah ini? Ini adalah hubungan-hubungan yang cukup neurotik. 251
Kita bisa berkata, “Cobalah untuk melihat pola bawah sadar dari apa yang kamu lakukan dan sadarilah betapa bodohnya kamu dan seberapa besar kamu menyebabkan masalah bagi dirimu sendiri dan hentikan itu!” Ini seperti apabila seekor anjing mengotori lantai, sebagian orang menempelkan hidung anjing mereka ke lantai itu dan berkata, “Lihat kekacauan yang kamu buat! Hentikan!” Tapi itu tidak akan berhasil dengan begitu mudah. Mungkin cara itu akan berhasil dengan anjing, tapi itu tidak akan berhasil dengan diri kita sendiri, karena itu semata-mata menguatkan rasa bahwa aku orang jahat dan itu membangkitkan rasa bersalah dan mendamba, “Aku ingin menjadi anak baik.” Semua sikap menghakimi ini berkutat di seputar gagasan tentang AKU yang padu. Mengakui Wewenang Kita Jika kita menilik cara-cara kejiwaan yang sedikit lebih mutakhir, yang sangat berguna adalah mengakui orang ini bahwa ia berwenang untuk memiliki orang tua yang penuh kasih dan pengertian. Semua orang berwenang untuk itu dan, sungguh perlakuan yang keras bahwa mereka tidak mendapatkan itu. Ahli kejiwaan mengakui itu, sehingga orang-orang itu pun juga bisa mengakui dan menerimanya. Padanannya adalah mengakui dalam diri kita sendiri bahwa hidup itu sulit dan, khususnya, hidup kita sulit dan kita berhak untuk bahagia. Kita berwenang untuk menjadi seorang Buddha, karena kita memiliki sifat-dasar Buddha. Dengan dasar pengakuan itu, yang biasanya kita dapati adalah kebutuhan untuk memiliki orang tua yang baik di masa lalu itu berubah. Ini ditebus dengan ia sendiri menjadi orang tua yang baik bagi orang lain. Saya mendapati dari pengalaman saya sendiri bahwa ini benar-benar berhasil. Dengan mengakui bahwa hidup kita sulit dan dengan memberi diri kita sendiri suatu dukungan 252
perasaan dengan sarana pengakuan itu, maka yang sebenarnya akan menjadi hal paling menyembuhkan dalam keseluruhan cara berhadapan dengan kesulitan-kesulitan dalam hidup kita adalah memberi pengakuan dan pengertian itu kepada orang lain. Semakin banyak kita memberikan itu kepada orang lain secara tulus, kita semakin mampu menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidup kita sendiri dan, bahkan, kita mendapati bahwa kesulitankesulitan itu menjadi semakin ringan. Ini sangat berbeda dari pekerja sosial kompulsif baik hati yang selalu keluar rumah dan berusaha melakukan banyak hal untuk orang lain, tapi tidak pernah menghadapi hidup mereka sendiri. Biasanya kehidupan pribadi mereka sendiri kacau. Pada akhirnya, semua ini berujung pada bagaimana kita memberi perlindungan kepada diri kita sendiri. Mari kita sejenak mengakui kesulitan dalam hidup kita kepada diri kita masing-masing – dan tidak bersikap menghakiminya. Cobalah untuk mengakuinya saja. Untuk mengakui itu jelas artinya adalah menghadapinya. Tidak dengan dinding-dinding berdiri. Tidak dengan sembarang laku dengan berkata, “Inilah ajaran Buddhaku.” Ini juga berarti melakukannya sedemikian rupa sehingga kita tidak menyesali diri kita sendiri. Seperti ketika kita melihat seorang ibu dengan tanggungan terlalu berat yang tidak ingin suaminya pergi, “Oh, kasihan kamu, ck ck ck,” dan merasa iba padanya, kita pun tidak ingin melakukan itu pada diri kita sendiri. Jenis pengakuan yang kita bicarakan di sini adalah sesuatu yang sangat halus. Ini lebih seperti “berada di sana” – jika kita bisa membayangkan cara pengartian yang aneh ini – hanya “berada di sana” dengan diri kita sendiri. Jika kita sakit parah, kita tidak ingin orang datang dan berkata, “Oh, kasihan” dan menyokong kita seperti itu. Yang benar-benar membantu adalah seseorang tidak 253
takut dengan penyakit Anda dan yang memiliki kemampuan untuk duduk di sana dan mungkin memegang tangan Anda dan menemani kita. Meskipun pengartian tentang itu sepenuhnya bertentangan dengan pemahaman tentang kehampaan, pada tingkat perasaan, yang perlu kita lakukan adalah memegang tangan kita sendiri, tanpa rasa takut dan tanpa rasa bahwa kita harus membuat pertunjukan yang dramatis akan belas kasihan atau rasa welas-diri kita. Mari kita mencobanya. [jeda] Memberi Makan Roh Jahat Kita mungkin mendapati sedikit sulit melakukan laku ini secara niskala seperti yang baru saja kita lakukan, sehingga kita bisa menjalankan laku ini dengan cara “memberi makan roh jahat.” Kita bisa memandang masalah-masalah lain yang kita miliki sebagai roh jahat di dalam diri kita. Kita lalu bisa mencoba menangkap suatu rasa seperti apa roh jahat ini dan mutu-mutunya – roh jahat yang menginginkan suatu belas kasihan, misalnya: “Hidupku sangat sulit. Aku punya begitu banyak tanggung jawab. Aku punya banyak hal yang harus kulakukan. Aku tidak punya cukup waktu, aku tidak punya cukup tenaga, aku tidak punya cukup dukungan...” Pertama-tama, kita bertanya pada diri kita sendiri seperti apa rupa roh jahat itu? Ketika kita punya gambaran tentang roh jahat itu, kita keluarkan roh jahat itu dari dalam diri kita dan menyuruhnya duduk di bantalan di hadapan kita. Lalu kita bertanya pada roh jahat itu, “Apa yang kamu inginkan?” Kita bisa berpindah duduk di bantalan itu dan menjawab pertanyaan atau hanya melakukannya dalam angan-angan kita: “Aku ingin pengertian. Aku ingin dukungan. Aku ingin pengakuan tentang kesulitan-kesulitan yang kumiliki dalam 254
hidup.” Kemudian dari kedudukan kita, kita membayangkan memberi makan roh jahat itu. Kita memberi dukungan, kita memberi pengertian, kita memberi pengakuan yang tidak menghakimi kepada roh jahat itu – apapun yang ia inginkan. Dengan melakukan itu, kita mendapati bahwa ini adalah cara yang jauh lebih manjur untuk memberi dukungan pada diri kita sendiri daripada hanya duduk dan berusaha melakukannya secara niskala. Memberi makan roh jahat juga sangat berguna dalam arti bahwa ini mulai melatih kita untuk memberikan pengertian itu kepada orang lain juga. Perlahan-lahan, kita bisa mulai mengerti bahwa dengan memberi pengertian dan penyembuhan kepada orang lain, dengan menjadi orang tua yang baik bagi orang lain, juga merupakan cara penyembuhan bagi kita sendiri. Ini bertindak dengan cara yang sama. Seperti memberi pengertian kepada roh jahat itu adalah menyembuhkan diri kita sendiri, memberi dukungan kepada orang lain juga menyembuhkan diri kita sendiri. Mari sejenak kita memberi pengertian dan pengakuan kepada roh jahat itu – bahwa hidup ini juga berat bagi roh jahat itu dan itulah yang memangsaku di dalam. Lakukan cara ini, mulailah dari awal, dari melihat kebutuhan itu dalam diri kita, dan kemudian mengeluarkannya dan memberinya makan. Berilah roh jahat di dalam diri kita apa yang ia butuhkan dan ia inginkan. [jeda] Sekarang tengoklah sebagian orang dalam hidup Anda dan beri mereka pengertian dan penerimaan serupa tentang kesulitan dalam hidup. Entah mereka sakit atau tua atau punya terlalu banyak pekerjaan, apapun itu, akuilah itu, terimalah itu, dan beri mereka dukungan. Ini termasuk orang-orang yang memiliki 255
kesulitan-kesulitan perasaan – seseorang yang selalu marah atau seseorang yang selalu bertindak buruk dengan orang lain. Akuilah bahwa hidup mereka juga sulit. Beri makan orang itu, seperti kita memberi makan roh jahat itu. Bayangkan kita memiliki persediaan tak terbatas akan apa yang diinginkan orang itu, seperti kita memiliki persediaan tak terbatas akan apa yang diinginkan roh jahat itu. Hanya dengan membiarkan persediaan pengertian dan penerimaan tak terbatas ini melewati kita dan berpindah kepada orang itu, kita bisa menjadi dermawan secara tidak gelisah. Jika kita gelisah dengan itu, kita merasa, “Oh, aku harus melakukan sesuatu terhadap keadaan sulit ini, tapi aku tidak bisa melakukan sesuatu untuk itu. Aku tak berdaya; aku tak punya harapan. Betapa mengerikan keadaan ini...” dan kemudian kita sangat gelisah oleh segala sesuatu. Sebaliknya, kita membiarkan kedermawanan mengalir begitu saja melalui kita seperti arus air segar yang tak habis-habis. Itulah sedikit dari yang dilambangkan ketika kita membayangkan sari-sari dewata itu mengalir kepada kita dari pada Buddha dalam pembayangan-pembayangan itu. Ini jenis hal yang sama, tapi pada tingkat yang lebih sederhana. Kita bisa melepaskan arus ini sebanyak yang kita perlukan. Tak masalah arus itu mengering; ia akan terus mengalir dengan cara yang sangat menyegarkan dan menggugah semangat kepada orang lain. Ia tidak bersusah payah; ia mengalir begitu saja. Bagaimana kita bisa membuatnya mengalir? Runtuhkan dinding-dinding kita! Tidak ada yang perlu ditakutkan dan tidak ada yang dirugikan.
256
Sesi Tiga: Ketidaksadaran tentang Kenyataan Kebenaran Mulia yang Kedua – Sebab-Sebab Sejati dari Duka Seperti yang kita lihat pada Kebenaran Mulia yang Pertama dengan cara yang lebih pribadi dan menerima, kita juga perlu melihat tiga Kebenaran Mulia lainnya dengan cara yang sama, supaya laku Buddha kita dapat menyentuh kita secara pribadi dengan cara yang jauh lebih bermakna dan menghasilkan perubahan. Segera setelah kita mengakui kesulitan-kesulitan kita dalam hidup dan, sedikit banyak, diberi sedikit dukungan perasaan pada diri kita sendiri, kita melihat Kebenaran Mulia yang Kedua, sebab-sebab duka. Kita perlu tahu apa sebab pipa rusak tidak berfungsi, sehingga kita bisa memperbaikinya. Sangatlah penting ketika kita mencari sebab-sebab masalah kita untuk melakukan ini secara pribadi dari sudut pandang rintis tengah. Dengan kata lain, kita tidak ingin meletakkan kesalahan pada unsur-unsur luar saja, “Aku seperti ini karena Ibuku melakukan itu padaku ketika aku berumur tiga tahun dan masyarakat melakukannya dan keadaan ekonomi melakukannya.” Di sisi lain, kita tidak ingin menyangkal unsurunsur itu sepenuhnya dan mengatakan, “Ini semua salahku,” dan meletakkan semua kesalahan pada diri kita sendiri dalam cara yang keras. Ketika kita berbicara tentang bagaimana sebab terdalam dari duka dan masalah kita adalah kebodohan kita, maka cukup mudah untuk memutarbalikan hal itu dan berpikir, “Aku bodoh; aku buruk; aku tidak baik. Akulah yang bersalah.” Itu semua muncul karena berpikir dalam kerangka AKU yang padu selalu menjadi orang bodoh yang melakukan kesalahan-kesalahan – orang yang buruk. 257
Saya lebih suka menggunakan, “Kita tidak menyadari kenyataan” dibanding “Kita bodoh.” Ini mungkin bisa membantu kita mengurangi sedikit sifat menghakimi dari Kebenaran Mulia yang Kedua, sebab-sebab sejati kesulitan hidup kita. Untuk benar-benar masuk semakin dalam dan semakin dalam ke sebuah cara yang lebih menyeluruh dalam melihat sebab-sebab sejati kesulitan hidup kita, kita benar-benar harus menggabungkan Kebenaran Mulia yang Kedua dengan pemahaman tentang kehampaan. Tidak ada AKU yang padu dalam diri kita, yaitu orang bodoh yang mengacaukan segala sesuatu – Aku yang padu yang hanya mengacaukan segala sesuatu dan si dungu yang sebenarnya. Biasanya, kita menggunakan kata-kata yang jauh lebih keras dalam benak kita. Meskipun kita bisa mengusut sumber kesulitan-kesulitan dalam hidup pada kurangnya kesadaran kita, itu tidak meniadakan kemunculan bergantung. Seluruh masalah kita tidak hanya disebabkan oleh satu hal – seperti contoh bahwa sebuah ember tidak penuh oleh tetesan air pertama atau tetesan air terakhir saja. Demikian juga, semua masalah dalam hidup kita tidak hanya disebabkan oleh satu hal saja, dengan garis besar yang padu di sekelilingnya, dan tanpa hal lain yang mempengaruhi keadaaan itu. Tidak seperti itu. Segala sesuatu muncul secara bergantung pada banyak unsur, jadi terdapat gabungan dari kebingungan dan kurangnya pemahaman kita, dengan masyarakat dan keadaan ekonomi dan apa yang dilakukan oleh Ibu kita. Dan semua tetesan ini memenuhi ember kesulitan hidup kita. Ketika kita mengatakan bahwa akar sebab duka adalah kurangnya kesadaran, yang kita maksud adalah ketidaksadaran – baik tidak 258
mengetahui kenyataan maupun mengetahuinya secara keliru – merupakan sebab terdalam dari duka kita dan, jika kita ingin mengubah keadaan, inilah yang sebenarnya perlu kita singkirkan. Ini karena sebab dan keadaan lainnya berasal dari ketidaksadaran itu atau sesuatu yang mustahil untuk kita ubah. Kita tidak dapat mengubah sesuatu yang dilakukan oleh Ibu kita ketika kita berumur tiga tahun. Itu sudah terjadi; itu sejarah. Sangat penting untuk menerapkan Kebenaran Mulia yang Kedua dengan sikap tidak menghakimi, dengan menerapkan ajaran-ajaran tentang kehampaan dan kemunculan bergantung. Apakah Anda menangkap gagasan umumnya? Prosesnya sangat mirip dengan yang telah kita bahas sebelumnya mengenai Kebenaran Mulia yang Pertama. Kita menengok ke dalam diri dan melihat bahwa, “ Ya, aku bingung dan, ya, aku tidak tahu apa yang kulakukan dalam hidup,” tapi kita berusaha mengakui itu tanpa bersikap menghakimi. Ini adalah hal yang rawan. Ini seperti jika jari kita teriris ketika sedang memotong sayuran, kita bisa menerima bahwa kita memotong jari kita tanpa berat mengakuinya – “Oh, bodohnya aku, buruknya aku…” Mungkin kita tidak berhati-hati atau apapun, tetapi itu terjadi. Hal-hal seperti itu terjadi. Kita hanya bisa menerimanya. Selain itu, kita tidak mengiris jari kita hanya karena kita tidak memperhatikan. Ini juga muncul bergantung pada fakta bahwa pisau itu sangat tajam. Jika pisau itu tidak tajam, kita tidak akan mengiris jari kita sendiri. Ini juga bergantung pada fakta bahwa kita lapar dan kita memiliki tubuh yang harus diberi makan setiap hari. Jika kita tidak punya itu, lagi-lagi, kecelakaan itu tidak akan terjadi. Hal yang sama juga berlaku pada semua masalah dalam hidup kita. Mereka muncul dari gabungan semua hal ini dan ini seperti 259
fakta bahwa kita tidak buruk hanya karena kita mengiris jari kita sendiri. Lagi-lagi, kita bisa melakukan ini menggunakan pendekatan memberi makan roh jahat. Ketika kita mampu mendirikan unsur tidak bersikap menghakimi ini pada diri kita sendiri mengenai sebab-sebab masalah kita dalam hidup, kita juga akan bisa melakukan itu pada hal lain. Mari kita mencobanya. [jeda] Kebenaran Mulia yang Ketiga – Penghentian Sejati dari Duka Dengan Kebenaran Mulia yang Ketiga, kita berurusan dengan kemungkinan penghentian sejati dari semua masalah kita. Itu adalah arti dari kata gencatan – kita bisa menghentikan masalahmasalah kita, kita dapat menyingkirkan mereka. Dalam bahasa Inggris, kata gencatan tidak berarti banyak bagi sebagian besar orang. Ini kata yang terlalu luas yang jarang digunakan. Ini bukan kata yang umum, jadi sebagian besar dari kita tidak akan tahu apa artinya. Ibu saya pasti tidak tahu apa arti kata itu, ia pun pasti tidak pernah memakai kata itu dalam hidupnya. Jadi, mari kita sebut Kebenaran Mulia yang Ketiga “penghentian sejati.” Persoalannya di sini adalah kita tidak hanya memiliki penghentian atau akhir dari masalah-masalah kita, tapi jugasebab-sebab dari masalah kita. Dan kita tidak hanya berbicara tentang satu masalah tertentu, karena jelas satu masalah tertentu apapun akan berakhir. Ketika kita memasak makanan dan memakannya, masalah tertentu yakni rasa lapar kita waktu itu akan berakhir. Bagaimanapun, masalah yang lebih besar adalah kita akan lapar lagi. Jadi di sini kita ingin memiliki penghentian dari masalah yang berulang dan sebab-sebab yang berulang dari masalah itu. Sebab rasa lapar saya petang ini, tentu, akan hilang ketika saya makan 260
malam. Namun, rasa lapar saya tidak akan berhenti selamanya meskipun saya menyantap makan malam saya malam ini. Kita tidak berbicara tentang penyingkiran sebab dari satu masalah tertentu, seperti merasa lapar sekarang. Kita berbicara tentang penyingkiran kemunculan berkelanjutan dari sebab itu. Itulah pemusatan utamanya di sini. Persoalannya adalah: “Apakah aku benar-benar yakin bahwa arus berkesinambungan yang berulang tanpa terkendali dari sebab masalah-masalahku ini mungkin disingkirkan? Dan jika aku yakin ini mungkin, bagaimana aku bisa benar-benar menyingkirkannya?” Dengan kata lain, apakah benar-benar mungkin memperoleh pembebasan dan memperoleh pencerahan? Itu adalah pokok-pokok yang sangat sulit. Jika kita tidak yakin, setidaknya sampai taraf tertentu, bahwa memperoleh pembebasan dari masalah-masalah kita selamanya adalah mungkin, lalu apa yang kita lakukan dalam ajaran Buddha? Apa yang kita tuju? Apakah kita hanya menuju pencapaian khayali yang kita tidak benar-benar yakin mungkin diraih? Jika itu perkaranya, maka itu hanyalah khayalan anak-anak – menjadi seorang Buddha dan menjadi terbebaskan. Dan kita menipu diri kita sendiri, hanya membuang waktu dengan berusaha meraih sesuatu yang kita tidak yakin mungkin dicapai. Itu adalah pertanyaan berat. Sayangnya, sederet penalaran untuk memahami bagaimana memperoleh pembebasan dan pencerahan itu sangat sulit. Ini berhubungan dengan seluruh penyajian dalam filsafat Prasangika bahwa penghentian sejati sepadan dengan kehampaan. Ini sangat sulit untuk benar-benar dipahami. Lalu, apa itu artinya untuk kita, sekarang? Dalam lingkung kuliah akhir pekan ini, itu artinya kita 261
tidak akan memahami dalam waktu singkat bagaimana pembebasan adalah mungkin. Ini akan menjadi proses yang panjang; tetapi kecuali kita mengerti bahwa ini mungkin, kita tidak akan menjadi yakin tentang itu. Jika kita tidak yakin tentang itu, kita tidak akan merasakannya, seperti yang kita bahas kemarin – melalui seluruh proses tentang bagaimana kita menerima sesuatu setelah kita memahaminya. Apa yang bisa disarikan dari semua ini adalah bahwa untuk sementara waktu kita harus menerima pokok tentang keyakinan ini – bahwa pembebasan dan pencerahan adalah mungkin. Ini adalah cara sementara untuk mengupayakannya. Jadi apakah itu “keyakinan buta?” “Aku percaya! Haleluya!?” Bagaimana kita mempercayainya? Sebagian orang mungkin menjawab, “Aku bisa mempercayainya, karena guruku adalah seorang Buddha. Aku melihat pencerahan dalam dirinya, jadi hal itu mungkin.” Itu tidak cukup teguh bagi kebanyakan orang, karena kita dapat melihat berbagai kekurangan pada guru-guru rohani yang berkembang tinggi. Kadang-kadang mereka membuat kesalahan. Kita harus membedakan antara – dan kita nanti akan sampai pada bagian ini – keseluruhan pembahasan dari “Apakah guru itu seorang Buddha dari pihaknya sendiri,” atau “Apakah guru itu menjadi seorang Buddha karena sesuatu yang memunculkan kebergantungan pada hubungan antara murid dan guru?” Jelas ini adalah kasus yang kedua. Hal-hal memunculkan kebergantungan pada suatu sudut pandang. Menjadi seorang Buddha tidaklah mutlak, terbentuk dari pihak guru itu sendiri sebagai fakta untuk diterima secara harfiah. Yang terjadi dalam laku adalah kita mendapati banyak guru-guru yang kita pikir sangat hebat ternyata melakukan kesalahan-kesalahan. Dan kemudian kita menjadi 262
kecewa dan tersadar dan kita mungkin berpikir bahwa pencerahan tidaklah mungkin. Menerapkan Pendekatan Tingkat-Bertahap Meyakini bahwa Pembebasan adalah Mungkin
Lam-rim
untuk
Kita dapat menerapkan pranata dasar lam-rim, tingkat bertahap jalan batin, untuk membantu kita berurusan dengan kebimbangan dalam meyakini bahwa pembebasan dan pencerahan adalah mungkin. Tulisan Atisha tentang lam-rim ini menyajikan tiga tingkat dorongan – tiga sasaran, tiga tujuan. Yang tertinggi adalah untuk pencerahan dan yang tengah adalah untuk pembebasan. Ada juga tingkat dorongan awal, yaitu dilahirkan kembali dalam tataran kelahiran kembali yang lebih baik. Jika kita ingin menempatkan sasaran awal itu dalam bahasa yang sedikit lebih sederhana tanpa harus berurusan secara langsung dengan kelahiran kembali, pada dasarnya itu adalah dorongan untuk menjadikan samsara lebih baik – untuk memperbaiki keberadaaan samsara kita. Sebelum kita berpikir untuk memperbaiki kehidupan masa depan kita, kita perlu lebih dahulu berpikir untuk memperbaiki kehidupan ini. Hal yang penting di sini adalah bersikap jujur pada diri kita sendiri dan tidak sombong secara rohani. Saya pikir, sangat sedikit orang di antara pelaku-pelaku Buddha yang benar-benar tulus mengatakan bahwa mereka menuju pembebasan dan pencerahan. Jika kita benar-benar menuju pembebasan, itu berarti kita memiliki penyerahan penuh. Kebanyakan orang bahkan tidak ingin mendengar tentang penyerahan, apalagi benar-benar memilikinya. Yang kita serahkan bukanlah cokelat atau televisi. Yang kita serahkan adalah sebab dari masalah-masalah kita, yang pada 263
dasarnya, pada tingkat awal, adalah ciri-ciri kepribadian negatif kita dan perilaku merusak yang muncul karenanya. Itulah yang kita perlu kita korbankan: kemarahan kita, sikap mementingkan-diri kita, keserakahan kita, dinding-dinding kita. Sebagian besar dari kita tidak bersedia mengorbankan hal-hal seperti itu. Kita ingin menambahkan beberapa hal pada puncak pencapaian hidup kita – kebahagiaan dan semua hal baik lainnya – tapi tanpa harus mengorbankan apapun. Jadi, tanpa penyerahan, ketika kita mengatakan, “Aku menuju pencerahan, aku menuju pembebasan,” ini sangat tidak tulus. Di sinilah kita harus melukis goresan lain pada persoalan “semestinya” ini. Banyak dari kita berpikir bahwa “Aku SEMESTINYA menuju pencerahan, karena jika tidak, aku adalah pelaku yang buruk dan guruku tidak akan menyukaiku.” Itu sedikit kekanak-kanakan, bukan? Yang perlu kita coba lihat di sini adalah bahwa lingkup awal, tingkat pertama dorongan kita dalam menuju perbaikan samsara, diakui secara penuh. Tidak apa-apa berada pada tingkat pertama. Sebenarnya, berada pada tingkat pertama adalah sebuah pencapaian hebat. Kebanyakan orang tidak memiliki pola pikir untuk berusaha memperbaiki hidup ini, apalagi kehidupan masa depan. Dan, di sini, kita tidak berbicara tentang hidup yang meningkat secara ekonomi, tetapi dalam kerangka pengembangan batin kita. Kebanyakan orang di dunia ini tidak tertarik dengan itu. Untuk menuju itu baik-baik saja, dan, atas dasar itu, kita dapat memasuki laku Dharma dan kita dapat mencoba, selama jangka waktu yang panjang, memahami bahwa memperoleh pembebasan dan pencerahan adalah mungkin, karena sulit untuk benar-benar yakin tentang itu.
264
Dengan kata lain, adalah lebih jujur untuk berpikir, “Aku benarbenar tidak dapat mengatakan bahwa aku menuju pembebasan dan pencerahan sekarang, karena aku tidak benar-benar yakin bahwa itu mungkin dicapai dan aku tidak ingin berupayakan sebuah dongengan. Jadi, aku bertujuan untuk mencoba memahami bahwa ini mungkin, karena kemudian aku bisa dengan sungguh-sungguh mengupayakannya. Sementara itu, aku akan bertindak pada tingkat berusaha untuk memperbaiki keadaan samsaraku, keadaan sulitku dalam hidup, dan, sehubungan dengan itu, aku memiliki kepercayaan bahwa adalah mungkin untuk setidaknya melemahkan sebab-sebab masalahku dan menyingkirkan hal-hal tertentu yang sedikit lebih mudah untuk disingkirkan daripada kebingunganku.” Saya pikir, cara berpikir ini memungkinkan kita memasukkan suatu cara yang lebih sehat dengan guru rohani. Sekarang, persoalannya bukan apakah guru itu benar-benar terbebaskan atau tercerahkan. Itu bukan persoalan yang penting lagi. Sebaliknya, persoalannya adalah bahwa orang ini merupakan orang yang lebih berkembang tinggi dibanding kita, orang yang benar-benar telah mengurangi, hingga jangkauan yang luas, kebingungan dan kemarahan mereka dan seterusnya. Kita perlu berpikir, “Meskipun jika kadang-kadang orang ini mungkin membuat kesalahan dan kadang-kadang orang ini mungkin bertindak sedikit buncah secara perasaan, itu tidak apa-apa. Nantinya, ketika aku telah berjalan lebih jauh di rintis ini, aku akan berurusan dengan bagaimana aku memahami itu dalam kerangka ‘Guruku mencoba mengajarkanku sesuatu,’ dan hal-hal semacam itu. Aku akan berurusan dengan persoalan itu nanti. Sekarang pada tingkat ini, cukup bagiku bisa mengakui bahwa inilah mahluk 265
yang berkembang tinggi. Apakah guruku sempurna atau tidak tidaklah masalah untukku sekarang. Mereka bisa mengilhamiku untuk maju dengan cara mereka sendiri. Meskipun hal ini tidak dijelaskan seperti ini dalam ajaran-ajaran Buddha, saya pikir sebagai orang Barat, sangatlah membantu menggunakan ini sebagai sebuah tahap dalam perkembangan rohani kita, karena sebagai orang Barat, sangat sering kita melihat sesuatu dalam kerangka hitam dan putih. Dengan kata lain, entah guru itu seorang Buddha yang sempurna atau kita berpikir, “Lupakan semua rintis rohani ini, karena aku melihat mereka membuat kesalahan.” Supaya menghindari keekstreman itu, dan juga agar menghindari keekstreman dengan mengatakan bahwa kita mengupayakan pembebasan dan pencerahan padahal sebenarnya tidak, saya pikir langkah menengah ini sangat membantu. Saya mendapati dalam laku pribadi saya sendiri bahwa tidak masalah bagi saya apakah guru-guru saya benar-benar Buddha atau tidak dan apakah mereka memiliki semua mutu Buddha atau tidak. Bisakah mereka berjalan menembus tembok dan terbang di udara dan melipatgandakan diri mereka menjadi sepuluh milyar rupa? Saya tidak peduli. Itu tidak ada bedanya bagi saya. Tapi fakta bahwa mereka jauh lebih berkembang tinggi dibanding saya dalam kerangka apa yang bisa saya lihat dan apa yang bisa saya pahami mengenai bagaimana mereka menyikapi orang-orang, bagaimana mereka menyikapi kehidupan, dan sebagainya, menunjukkan pada saya bahwa mereka jauh lebih berkembang tinggi dibanding saya. Itu memberi saya ilham sehingga adalah mungkin untuk mencapai tingkatan yang sama. 266
Ini adalah tingkat yang bisa kita mulai untuk upayakan. Saya pikir ini jauh lebih bisa diterima. Menjadi yakin bahwa tingkat menghentikan sebab-sebab masalah kita ini adalah mungkin – meskipun ini mungkin bukan penghentian sejati untuk memperoleh pembebasan – cukup untuk membuat kita bertindak sebagai seseorang dalam lingkup awal dorongan. Ini adalah sebuah tingkat yang sepenuhnya diakui untuk menjadi laku rohani kita dan sebuah tingkat penting untuk memulai. Dengan kata lain, ketika kita melihat seorang guru pada tingkat seperti ini, kita mulai menjadi yakin bahwa adalah mungkin untuk mencapai setidaknya suatu tingkat penghentian sebab-sebab masalah, meskipun ini mungkin bukan gencatan sejati yang dengannya kita mencapai pembebasan. Hanya dengan memiliki keyakinan terhadap kemungkinan akan tingkat penghentian sebab-sebab masalah ini memberi kita kepercayaan untuk mampu bertindak secara tulus sebagai seseorang dalam tingkatan awal dorongan ini. Itu tahap yang sangat penting. Bukan hanya diperbolehkan, melainkan ini adalah tahap penting yang perlu kita jalani agar memiliki perkembangan rohani yang teguh. Lalu, yang perlu kita hindari adalah melompat ke tingkat dorongan tertinggi dan ketika kita terdasar, maka – brak! – kita kembali jatuh ke dasar. Ini adalah pola Barat yang sangat khas bagi pertemuan seorang murid dengan ajaran Buddha. Kita menghindari itu dengan tidak bersikap sombong dan dengan lebih dulu berupaya untuk memperbaiki samsara kita yang, bagaimanapun, biasanya merupakan alasan bagi orang-orang tulus memasuki ajaran Buddha – kita tidak sekadar melakukan ini sebagai suatu hiburan atau semacam olahraga. Ini adalah tingkat pertama dari keterlibatan yang bersungguh-sungguh dengan ajaran Buddha. 267
Kemudian kita sampai pada Kebenaran Mulia yang Keempat: untuk menghasilkan peralihan-diri ini, kita harus melakukan sesuatu dengan usaha kita sendiri. Kita harus aktif; ini tidak terjadi begitu saja seperti jatuh dari langit tanpa alasan sama sekali, tanpa upaya. Kita harus benar-benar mengubah diri kita.
268
Sesi Empat: Makna-Makna Tersirat dari Berlindung Perlindungan sebagai Pedoman Dasar Hidup Kita Kita telah membicarakan tentang berbagai masalah yang kadangkadang kita hadapi dengan ajaran Buddha, dan kita telah memusatkan pada kesulitan yang banyak dari kita sering miliki dalam menerapkan ajaran-ajaran Buddha ke dalam hidup kita. Wilayah lain yang penting untuk ditinjau dalam menghadapi masalah ini adalah keseluruhan pokok tentang perlindungan. Ada banyak hal dalam tahap-tahap awal rintis Buddha yang seringkali kita sepelekan dan kita lewatkan. Bagi banyak orang, perlindungan adalah salah satu dari banyak hal itu. Ini cukup menyedihkan karena, ketika perlindungan menjadi sesuatu yang sepele dan tidak bermakna bagi kita, kita membuat diri kita kehilangan landasan dari semua laku Buddha. Berlindung bukan hanya mengulang rumusan dan memotong sejumput rambut sebagai tata cara turun-temurun dan mungkin mendapat nama Buddha – bukan itu intisari dari perlindungan. Sebaliknya, itu merupakan perubahan sikap secara mendasar dan menyeluruh terhadap kehidupan. Itu adalah tataran cita yang dengannya kita secara aktif berhaluan aman dalam hidup kita, yaitu haluan untuk memperbaiki diri kita sendiri – berusaha mengembangkan diri kita untuk menjadikan samsara kita sedikit lebih baik, seperti yang telah kita bahas, atau untuk mencapai pembebasan, atau untuk meraih pencerahan sehingga kita akan mampu membantu orang lain sepenuh mungkin. Namun, dengan perlindungan, kita tidak membaktikan diri kita untuk setia pada suatu pemujaan. Dan dengan pemujaan, saya tidak hanya mengartikan pemujaan yang tertata; itu bisa juga pemujaan pada sosok guru. Namun sebaliknya, berlindung mengharuskan seluruh 269
pedoman baru yang kita tempatkan dalam hidup kita sehingga ketika pedoman ini menjadi teguh dalam diri kita, kita tahu apa yang kita lakukan dengan hidup kita, ke mana hidup kita menuju, dan apa tujuan hidup kita. Ini untuk bertumbuh. Ketika kita memiliki gagasan tentang ke mana tujuan kita dalam hidup – apa yang kita lakukan dalam hidup – semua ajaran akan berdasar pada landasan ini. Khususnya, kita mencari ajaran-ajaran Buddha dan teladan Buddha untuk memberi kita haluan yang positif dan aman itu. Kita tidak perlu mendalami ajaran besar yang panjang mengenai perlindungan, tapi saya pikir yang sangat berguna adalah sikap yang kita kembangkan terhadap ajaranajaran yang berdasar pada berhaluan aman perlindungan ini dalam hidup kita. Itu artinya kita melihat semua ajaran itu tepat untuk mengurangi maupun menyingkirkan duka dan tepat untuk menjadi mampu membantu orang lain. Kita menerima ajaran-ajaran itu secara sangat bersungguh-sungguh dan kita memiliki kepercayaan bahwa Buddha mengajarkan itu, atau muridnya mengajarkan itu, semata-mata bertujuan membantu kita untuk menyingkirkan duka dan menjadi bantuan yang lebih baik bagi orang lain. Itulah tujuan bulat dari semua ajaran. Kita berusaha memahami apa yang ada dalam ajaran ini yang membantu kita mencapai tujuan-tujuan itu. Melihat Tujuan yang Lebih Mendalam dari Laku Upacara Mari menggunakan contoh dari berbagai upacara yang kita sering sebut dengan laku Buddha kita. Semua laku dengan dewa-dewi – upacara, puja dan seterusnya – adalah pengajaran Buddha. Itu berarti mereka dimaksudkan untuk mampu membantu kita menyingkirkan masalah-masalah dan membantu orang lain. Bagaimana mereka melakukan itu? Berlindung berarti kita menerima upacaa-upacara itu secara bersungguh-sungguh dan 270
benar-benar menguraikan mereka untuk coba mengetahui bagaimana mereka mencapai tujuan-tujuan itu. Dan kemudian kita menerapkan mereka untuk tujuan itu. Kita berusaha mendekati laku-laku upacara ini dengan cara itu. Jawaban dari bagaimana mereka membantu kita untuk memperoleh pembebasan dan pencerahan mungkin tidak begitu jelas. Namun, itu hanya berarti bahwa ini menantang. Jika kita tidak memiliki sikap ini dari berhaluan aman perlindungan dalam hidup kita, segala macam laku upacara itu tidak berguna bagi hidup kita – mereka tidak benar-benar menyentuh kita sehingga mereka hanya memiliki sedikit pengaruh atau tidak berpengaruh sama sekali. Sebenarnya, memiliki jenis sikap itu terhadap laku-laku ini, berpikir, “Mereka hanyalah upacara-upacara Timur yang eksotis yang mungkin menarik untuk dilakukan, di waktu-waktu senggang kita, tapi di waktu-waktu lain mereka sedikit membebani dan memaksa,” ketika kita memiliki jenis sikap ini, laku-laku itu tidak membawa manfaat apapun. Mereka tidak memiliki pengaruh positif. Dan ini menandakan bahwa yang mendasari kurangnya pengaruh positif ini adalah kita tidak benar-benar menganggap ajaran-ajaran itu secara sangat bersungguh-sungguh. Kita tidak benar-benar memiliki sikap keterbukaan dan rasa hormat kepada Buddha atau kepada fakta bahwa ia mengajarkan laku-laku yang akan berguna bagi kita. Ia tidak semata-mata mengajarkan banyak hal yang entah memesona maupun sangat membosankan, yang kita harus lakukan dengan rasa patuh maupun rasa bersalah supaya menjadi “baik.” Pokok-pokok tersebut tidak hanya dibawa untuk jenis-jenis laku upacara ini, tapi untuk apapun dalam ajaran-ajarannya. Kita mendengar segala macam hal yang sangat aneh dalam ajaran271
ajaran Buddha. Kadang-kadang keanehan ini karena masalahmasalah penerjemahan. Ada banyak contoh untuk itu, di mana kata yang kita gunakan untuk menerjemahkan ke dalam bahasabahasa Barat hanya memberi penafsiran yang sepenuhnya tidak tepat. Contoh kesukaan saya adalah: kebajikan dan ketidakbajikan, pahala, dosa, dan sebagainya. Semua pengistilahan Kristen itu; itu bukan dari ajaran Buddha. Semua yang berkutat di seputar gagasan SEMESTINYA: “Aku semestinya melakukan ini dan aku tidak semestinya melakukan itu; jika aku melakukan itu, aku baik, dan jika aku tidak melakukan itu, aku buruk.” Itu semua terkait dengan jenis latar belakang menghakimi dengan Tuhan sebagai hakim. Itu sama sekali bukan lingkung ajaran Buddha. Ketika kita memiliki kebingungan dan kesulitan-kesulitan dengan ajaran-ajaran itu, yang kita perlu periksa lebih dulu adalah masalah yang mungkin berasal dari penerjemahannya. Ini langkah yang sangat penting. Tapi seperti yang tadi saya katakan, ada banyak hal aneh dalam ajaran-ajaran ini, seperti ajaran-ajaran mengenai kerajaan neraka, misalnya, atau tentang Gunung Meru dan hal-hal semacam itu. Kita bisa melihat mereka dan berkata, “Ini tolol dan aku tidak suka,” atau kita bisa coba mencari tahu apa maksud di balik mereka yang menjadikan alat untuk membantu kita memperoleh kelahiran kembali yang lebih baik, pembebasan atau pencerahan? Jika kita memiliki haluan perlindungan yang kukuh dalam hidup kita, kita akan berusaha memahami semua ajaran itu dan tidak hanya membuangnya. Kisah-Kisah Pengajaran Saya ingat ajaran-ajaran mengenai karma. Serkong Rinpoche biasa mengajarkan karma dengan contoh-contoh klasik, misalnya 272
contoh tentang orang yang memiliki seekor gajah yang bertinja emas. Manakala ia berusaha menyingkirkan gajah ini, karena gajahnya menarik kerumunan besar dan kehebohan, ia tidak bisa menyingkirkannya. Gajah itu selalu kembali. Sebagai orang Barat, kita melihat cerita seperti itu dan berkata, “Ayolah! Ini konyol.” Kita juga menjadi sedikit malu. Kita tidak akan suka menunjukkan buku yang sedang kita pelajari yang memuat sesuatu seperti itu kepada orang tua kita. Mereka akan mengira kita telah melampaui batas kegilaan. Ketika saya menunjukkan itu kepada Serkong Rinpoche, jawabannya cukup menarik. Ia berkata, “Jika Buddha ingin mengarang cerita yang bagus, ia pasti sudah mengarang cerita yang lebih baik daripada itu.” Kita bisa memahami apa yang diucapkan oleh Rinpoche dalam dua cara. Cara pertama adalah menerima cerita itu secara sepenuhnya harfiah, dan saya yakin ada banyak orang dari budaya-budaya Asia tradisional yang memang menerima cerita-cerita itu secara harfiah. Namun, saya pikir itu bukan satu-satunya makna yang bisa kita ambil dari tanggapan Serkong Rinpoche. Cara lainnya untuk memahami itu adalah bahwa cerita itu bukan hanya dimaksudkan untuk hiburan, karena Buddha bisa menghibur kita dengan jauh lebih baik daripada itu. Tapi cerita itu dimaksudkan untuk memberi kita pelajaran. Kita memiliki tata cara lisan seperti juga di Barat; ada jenis-jenis hikayat yang disebut fabel, legenda, mitos dan dongeng yang dikisahkan kepada segala usia. Ada sebuah pelajaran yang didapat dari tiap-tiap hikayat, biasanya tentang sebab dan akibat, dan ini adalah cara pengajaran yang sangat sahih dan ampuh. Kita tidak perlu mengajar hanya dalam kerangka urutan pokok-pokok yang lugas. Kita juga bisa mengajar melalui jenis-jenis kisah seperti ini. 273
Sekali lagi, jika perlindungan kita sangat kuat, ketika kita membaca semua hal menakjubkan ini dalam naskah-naskah, seperti, “Ada berjuta-juta Buddha dalam berjuta-juta medan Buddha, dan dalam setiap pori-pori Buddha itu terdapat berjuta-juta medan Buddha lain,” kita berusaha memahami apa maksudnya. “Ini tak diragukan lagi tentang membantuku, bukan hanya tentang membantu orang bodoh di sana yang mau mempercayai hal ini. Pokoknya adalah untuk membantuku mengatasi masalah-masalahku dalam hidup, untuk membantuku menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain. Bagaimana melakukan ini? Apa pelajaran yang bisa diambil?” Dengan sikap itu, kita bisa mulai menghubungkan semua ajaran itu pada diri kita pribadi, dengan jauh lebih mudah. Menyatukan Kepingan-Kepingan Teka-Teki Sangatlah penting untuk memahami cara pengajaran dasar ajaran Buddha. Cara dasar itu adalah memberi kepingan-kepingan tekateki kepada murid. Kemudian terserah pada murid itu untuk menyatukan mereka. Dan seorang guru yang mahir tidak akan memberi kita semua kepingan teka-teki sekaligus. Kita harus meminta lebih banyak kepingan. Jika kita tidak meminta lagi, itu berarti kita tidak benar-benar tertarik, kita tidak benar-benar terdorong. Jadi apabila sang guru memberi kita kepingan-kepingan lain, itu akan sia-sia. Dengan menyajikan ajaran-ajaran menggunakan cara itu, ini membantu si murid untuk mengembangkan kegairahan, kesabaran, kerja keras – semua hal yang memungkinkan ajaranajaran itu mengakar dalam diri kita. Cara pengajaran Buddha bukan sekadar membuat salinan berkas komputer dan memindahkannya ke disket kosong. Ini bukan hanya memindahkan keterangan dari seorang guru kepada seorang 274
murid. Seluruh cara pengajaran itu adalah dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian kita sebagai murid. Maka, kita perlu mendekati ajaran-ajaran Buddha dalam jenis sikap itu dan tidak tergesa-gesa dan mengeluh, “Anda tidak menjelaskan semuanya,” atau “Ini tidak jelas,” dan seterusnya. Kita perlu mengumpulkan berbagai macam kepingan teka-teki itu dan kemudian mengutak-atiknya – berusaha menyatukannya. Mencari tahu apa arti mereka sebenarnya? Bagaimana mereka berhubungan dengan kehidupan? Perlindungan membantu kita bersikap terbuka untuk mengembangkan sikap itu terhadap cara pengajaran. Itulah satu pokok tentang perlindungan. Sumber-Sumber Perlindungan Sementara dan Hakiki Pokok lainnya tentang perlindungan adalah: kepada siapa kita berlindung ketika hidup ini sulit dan sesuatunya memburuk? Sebagian orang, ketika sesuatu yang buruk terjadi atau mereka mulai merasa gelisah, akan pergi menuju kulkas. Atau mereka mungkin lari ke alkohol atau narkoba, atau hubungan kelamin, atau olahraga. Ada begitu banyak hal yang orang ambil sebagai perlindungan. Unsur perlindungan ini sangat menarik untuk diperiksa dalam diri kita. Ketika sesuatunya benar-benar berat, kepada apa atau kepada siapa kita berlindung? Apakah kita berlindung pada teman? Apakah kita berlindung pada minuman? Kita bisa berkata, “Tapi aku SEMESTINYA berlindung pada Buddha, Dharma dan Sangha.” Tapi itu menjadi sedikit tidak nyaman, karena sikap itu mudah memburuk menjadi “Tuhan tolonglah aku – Buddha tolonglah aku.” Ajaran-ajaran itu berbicara tentang mengambil perlindungan sementara dan perlindungan hakiki. Izinkan saya menggunakan 275
contoh saya sendiri. Ketika saya gelisah atau buncah tentang sesuatu, kecenderungan saya adalah pergi menuju kulkas. Saya makan sesuatu yang benar-benar saya suka, dan itu sedikit membantu saya. Ingat kita pernah membicarakan tentang Kebenaran Mulia yang Pertama: hidup itu sulit. Penting untuk sedikit menerima itu. Saya tahu dari pengalaman saya sendiri bahwa ketika angin-tenaga saya menjadi sedikit gelisah atau hilang keseimbangan, kemudian jika saya makan sesuatu, terutama roti gandum, itu akan menekan angin-angin itu dan memberi saya sedikit tambahan keseimbangan. Seperti menelan aspirin ketika kita merasa tidak enak badan, saya tahu bahwa itu bukan pemecahan utama bagi masalah-masalah saya. Saya tahu itu dengan sangat jelas. Saya berkata pada diri saya sendiri, “Aku tahu itu akan membantuku hanya pada tingkat permukaan, tapi aku punya haluan lebih mendalam tentang apa yang saya datangi untuk benar-benar membantu saya dengan masalah-masalah itu.” Tentu saja, kita harus melatih sejumlah pembedaan di sini, karena jika secara sementara membantu kita untuk berhadapan dengan masalah adalah satu-satunya unsur penentu yang terlibat, kita bisa berkata, “Jika aku menghirup heroin, itu juga aspirin sementaraku, dan aku tahu pemecahan yang lebih mendalam.” Ada perbedaan antara makan sebatang cokelat dan menghirup heroin. Kita perlu memastikan bahwa perlindungan sementara apapun yang kita ambil bukanlah sesuatu yang berbahaya bagi diri kita sendiri maupun orang lain. Itu tidak semestinya seperti, “Aku menjadi merasa senang dengan pergi keluar dan menembak seekor kelinci, jadi jika aku gelisah aku akan keluar dan membunuh sesuatu.” Jadi, kita perlu bekerja sedikit dalam kerangka “Kepada apa aku sebenarnya berlindung ketika membutuhkan? Dan bukan “Aku 276
SEMESTINYA berlindung pada Buddha, Dharma, Sangha, jadi aku akan duduk di sini dan bermeditasi. Dan jika alih-alih aku makan sedikit kue kering itu, atau coklat itu atau apapun itu – mengobrol dengan seseorang di telepon – itu tak apa, sepanjang kita paham bahwa itu bukan pemecahan hakiki. Jika kita melihat itu sebagai pemecahan terdalam, kita akan kecewa ketika itu tidak berhasil. Banyak kenyamanan yang diberikannya mungkin tidak bertahan lama. Itu permukaan. Lagipula, hidup itu sulit. Itulah beberapa unsur tentang perlindungan. Apakah ada pertanyaan? Budi Pekerti Kitabiah Peserta: [penerjemah] Jika ia memiliki keinginan untuk menembak kelinci, maka di sana juga akan muncul gagasan “Aku tidak semestinya menembak kelinci.” Lagi-lagi muncul gagasan tentang “ semestinya” ini. Alex: Mungkin kita perlu berhenti menggambar sapuan-sapuan kecil saja pada bagian lukisan “ semestinya” dan “tidak semestinya,” dan pergi semakin dalam ke pokok itu. Pembahasan tentang “semestinya” dan “tidak semestinya” berkutat di seputar beberapa hal: budi pekerti dan keselurunan pendekatan pada budi pekerti, juga ajaran-ajaran tentang kehampaan. Budi pekerti kitabiah, misalnya, adalah sebuah tata guna yang berdasar pada penguasa lebih tinggi yang menetapkan aturan dan hukum, sehingga budi pekerti dalam tata guna macam ini terutama melibatkan kepatuhan. Seseorang yang berbudi pekerti dalam lingkung ini adalah orang patuh yang menaati aturan-aturan lebih 277
tinggi itu. Jika kita mematuhi mereka, kita baik. Jika kita tidak mematuhi mereka, kita buruk dan kita akan dihukum. Penguasa lebih tinggi ini memiliki tanggapan perasaan dasar tertentu pada kita, jadi jika kita mematuhi penguasa lebih tinggi ini, penguasa lebih tinggi ini akan menyukai kita dan menghargai kita. Jika kita tidak patuh, penguasa lebih tinggi ini tidak akan menyukai kita, tidak akan mengasihi kita lagi dan akan menghukum kita. Itulah mutu perasaan dari jenis budi pekerti ini. Kita bisa berbicara tentang itu dalam kerangka Tuhan, atau kita bisa bicara tentang itu dalam kerangka orang tua kita. Kita mencerminkan itu pada orang tua kita juga, yang selalu berkata kepada kita, “Jadilah anak baik; jangan nakal.” Jika kita tidak patuh, maka kita nakal dan kita merasa mereka tidak mengasihi kita lagi sehingga kita ingin menyenangkan mereka. Tingkah laku budi pekerti kita berdasar pada keinginan untuk menyenangkan penguasa lebih tinggi yang telah menetapkan aturan-aturan ini. Jadi, bagi kebanyakan dari kita yang tumbuh dalam budaya mengikuti Injil, seluruh budi pekerti kita berdasar pada “semestinya” dan “tidak semestinya.” Kita ingin tahu, “Apa yang semestinya kulakukan?” sehingga kita akan disukai, kita akan dihargai, dan segala sesuatu akan berjalan dengan baik. Meskipun, pada satu tingkat, barangkali apa yang saya jelaskan terdengar sedikit terlalu menyederhanakan, tapi sungguh menakjubkan betapa banyak kita bertindak dalam cara ini. Ketika kita memasuki satu keadaan yang baru, kita ingin tahu apa yang SEMESTINYA KULAKUKAN. Kita ingin seseorang memberitahu kita apa aturan-aturannya. Selama kita tahu apa aturan-aturannya, kita tahu apa yang perlu kita patuhi dan kemudian kita merasa 278
senang dan nyaman. Lalu semuanya menjadi tertata dan kita memegang kendali. Persoalan Memegang Kendali Pokok ini menyentuh persoalan “memegang kendali.” Ketika kita mengetahui semua hukum dan tahu apa yang kita butuhkan untuk mengikuti mereka, kita merasa bahwa apabila kita sebenarnya mengikuti mereka, kita akan “memegang kendali” pada keadaan itu. Jika kita merasa tahu apa yang akan terjadi, kita menjadi merasa sedikit lebih aman dengan mengetahui semua aturan itu. Ketika kita mendekati kehidupan dalam kerangka sikap ingin memegang kendali ini, sikap kepatuhan ini, aturan-aturan ini, dan segala sesuatu menjadi teratur, lalu, sedikit banyak, kita mendasarkan tingkah laku kita pada perasaan ingin menjadi baik dan ingin menyenangkan. Jenis pendekatan ini sangat berdasar pada pola pikir tentang AKU yang padu dan KAMU yang padu yang memberi aturan-aturan itu. Dengan cara ini, kita selalu khawatir tentang AKU ini yang akan ditolak atau ditinggalkan – didepak dari Taman Firdaus – jika kita buruk. Karena mendiami AKU yang padu itu, kita memiliki semua rasa takut dan semua persoalan memegang kendali ini muncul – mendiami pikiran memegang kendali ini. Kita merasa bahwa satusatunya pilihan lain adalah kekacauan mutlak dan ini sama dengan rasa takut bahwa jika kita meruntuhkan dinding-dinding kita, keadaan akan kacau dan kita tidak akan memiliki pertahanan. Kita cenderung memiliki ini sebagai warisan budaya yang kuat di Barat, jenis sikap terhadap budi pekerti ini berdasar pada “semestinya” dan “tidak semestinya” dan mengikuti aturan-aturan.
279
Kemudian, jika kita memiliki sikap ini, kita cenderung melihat ajaran-ajaran Buddha dan mendekati mereka dengan cara yang sama. Kita memandang budi pekerti Buddha juga dalam kerangka aturan-aturan tentang apa yang “semestinya” dan “tidak semestinya” dilakukan “Aku tidak semestinya membunuh. Aku semestinya menjalankan laku pendarasan setiap hari. Jika aku tidak melakukan itu, aku buruk dan guru-guruku tidak akan mengasihiku lagi. Mereka akan kecewa dan tidak akan mengasihiku lagi.” Seseorang berkata pada saat rihat makan tadi siang bahwa kadang-kadang sangat sulit untuk benar-benar mengikuti ajaranajaran yang diberikan oleh guru kita. Tapi tetap saja kita ingin menjadi murid yang baik; kita ingin disukai dan menyenangkan guru kita. Jadi, alih-alih mengikuti apa yang diajarkan oleh guru kita, kita mengangkat suatu tabiat pemujaan kepada guru kita, berdasar para pemikiran, “Guruku lebih baik daripada orang lain.” Kita merasa, mungkin secara bawah sadar, bahwa ini akan menyenangkan guru kita. Alih-alih setia kepada guru kita dengan menerapkan ajaran-ajarannya ke dalam laku, kita berpikir bahwa setia berarti mendewakan guru kita. Jadi kita meninggikan gagasan “semestinya” dan “tidak semestinya” ke dalam pendewaan guru kita, seperti dalam pemujaan. Kita melakukan ini karena terlalu sulit mengikuti Dharma yang diajarkan oleh guru kita. Budi Pekerti Buddha Budi pekerti Barat sebenarnya merupakan gabungan dari pendekatan Injil dengan pendekatan Yunani Kuno. Dalam cara Yunani, alih-alih hukum diberikan oleh penguasa tertinggi di surga, hukum dibuat oleh badan legislatif rakyat. Rakyat berkumpul bersama dan membuat hukum-hukum untuk kebaikan masyarakat. 280
Kemudian lagi-lagi ini adalah masalah tentang “Patuhi mereka dan segala sesuatu berjalan baik; langgar mereka dan kamu dijebloskan ke penjara dan dihukum sebagai warga masyarakat yang buruk. Masyarakat Barat, kemudian, menggabungkan budi pekerti Injil dan sipil dalam cara yang menarik, tapi tak ada satu pun yang sesuai dengan budi pekerti Buddha. Dalam budi pekerti Buddha, pokok utamanya adalah tidak mencari tahu apa hukum-hukum itu dan jika kita bisa mengetahui mereka dengan jelas, yang harus kita lakukan adalah mematuhi mereka. Bukan itu pedomannya. Buddha pada dasarnya tidak mengatakan apa yang “semestinya” dan “tidak semestinya” kita lakukan. Buddha berkata, “Jika kamu bertindak seperti itu, hasilnya adalah itu. Jika kamu bertindak seperti itu, hasilnya adalah itu.” Dengan kata lain, apa yang ingin kita lakukan adalah bergantung pada kita. Apa yang kita lakukan adalah pilihan kita. Jika kita terus membenturkan kepala kita di dinding, kita akan terus menyakiti diri kita sendiri. Jika kita berhenti membenturkan kepala kita di dinding, kita akan menjadi lebih bahagia. Buddha tidak berkata, “Kamu semestinya berhenti membenturkan kepalamu dinding.” Ia hanya mengatakan apa yang terjadi ketika Anda membenturkannya dan ketika Anda tidak membenturkannya. Jadi, terserah kita sebagai perorangan untuk membedakan dan membuat pilihan itu. Jika kita ingin menghentikan duka dan berhenti menciptakan masalah-masalah bagi diri kita sendiri, kita akan mengubah perilaku kita dalam cara ini atau cara itu. Jika kita tidak peduli...ya, begitulah. Jangan berubah. Itu bukan pertanyaan tentang baik atau buruk. Itu hanya: “Jika kamu ingin terus menderita, itu pilihanmu – itu hakmu. Jika kamu ingin berhenti 281
menderita, kamu perlu mengubah perilakumu.” Itu tidak memungkiri bahwa dalam masyarakat penting untuk memiliki hukum-hukum tertentu. Kita tetap harus menempatkan para penjahat di penjara sehingga mereka tidak terus berkeliaran membunuh orang. Budi pekerti Buddha tidak menentang itu. Maka, untuk pengembangan pribadi, kita mengembangkan diri kita dengan mengembangkan apa yang disebut “kesadaran pembeda” atau”kebijaksanaan.” Kita perlu membedakan antara apa yang berguna dan apa yang berbahaya bagi diri kita dan orang lain. Lebih sulit untuk mengetahui apa yang akan berbahaya bagi orang lain, sehingga penekanannya adalah pada menghindari apa yang akan berbahaya bagi kita. Sebagai contoh, kita mungkin memberi setangkai mawar kepada seseorang dengan maksud membuatnya bahagia dan ia mengalami serangan alergi. Sangat sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya akan membantu orang lain. Jadi, penekanannya di sini adalah membedakan antara apa yang berbahaya dan apa yang berguna bagi kita – ini lebih mudah untuk membedakannya. Ini bukan persoalan tentang “Aku semestinyamelakukan ini atau aku tidak semestinya melakukan itu.” Alih-alih menyadari ini, kita seringkali mendekati guru kita dalam kerangka “Katakan padaku apa yang semestinya kulakukan. Bagaimana aku semestinya menjalankan laku? Apa yang semestinya kulakukan?” Itu tidak membantu. Berhadapan dengan Rasa Takut terhadap Hukuman Peserta: Tapi ketika saya menemui unsur tentang kebenaran karma sebab dan akibat ini, saya masih punya rasa takut ketika saya melakukan tindakan yang membahayakan – saya punya rasa takut terhadap hukuman. Saya senang bisa memiliki pilihan yang benar-benar bebas tentang apa yang harus saya lakukan, bebas 282
dari rasa takut. Saya senang membuat pilihan dalam cara yang sehat dan tidak berusaha menyingkirkan perilaku berbahaya tanpa rasa takut. Ini kekanak-kanakan dan saya tidak suka itu. Lalu bagaimana saya bisa menggerakkan diri saya, melatih diri saya, untuk menyingkirkan rasa takut dan rasa bersalah ini? Alex: Rasa takut berdasar pada penggenggaman terhadap AKU yang padu. Kita berpikir bahwa ada aku yang padu dan kita ingin persetujuan untuk aku yang padu itu dan kita takut pada celaan dan hukuman. Kita memiliki rasa takut. Kita bisa memiliki kesalahan pengartian itu baik oleh diri kita sendiri, hanya menyangkut “aku,” atau kita bisa memperumitnya lebih jauh dengan memiliki keyakinan pada sosok penguasa yang padu yang ingin disenangkan oleh dan menyetujui aku yang padu ini. Itu hanya memperumitnya lebih jauh, karena kita takut diabaikan oleh sosok penguasa yang padu itu. Saya tahu bahwa saya menjelaskan ini bukanlah cara yang benarbenar adil, karena kita sebenarnya perlu masuk jauh lebih dalam ke pembahasan tentang kehampaan agar tidak menentang ajaran mendalam Buddha ini dengan kembali berpikir, “Aku buruk, aku bodoh karena tidak memahami ini,” atau pergi ke keekstreman lain dengan berkata, “Aku tidak ada.” Jadi, izinkan saya menjelaskan sedikit saja. Wujud-Wujud yang Menipu Pada dasarnya, cita membuat sesuatu tampak dalam cara yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ini terjadi dengan sendirinya. Kita semua mengalami sebuah suara yang berbicara di dalam kepala kita dan cita kita membuat itu tampak seolah-olah ada seseorang di dalam diri kita berbicara. Di dalam sana seolah-olah ada si 283
pemilik suara yang berkata, “Apa yang semestinya kulakukan sekarang? Oh tidak, ini akan terjadi.” Ini tampak seperti itu dan kita berpikir bahwa si pemilik suara itu adalah AKU, AKU yang ada secara padu. Ketika kita bicara tentang apa yang disebut “wujud yang menipu,” kita berbicara tentang jenis wujud biasa yang kita semua miliki, seperti yang satu ini. Cita kita membuatnya tampak seolah-olah ada “aku” kecil di dalam diri kita yang duduk di belakang bilik kendali dalam kepala kita. Semua keterangan ini muncul dari mata dan telinga, dan kemudian aku kecil itu berkata, “Oh, apa yang semestinya kulakukan? Mungkin aku semestinya melakukan ini, mungkin aku semestinya melakukan itu. Oh, aku akan melakukan ini...” dan menekan sebuah tombol yang kemudian membuat tubuh kita berkata ini atau melakukan itu. Pengartian tentang aku yang padu inilah yang kita percaya sebagai kebenaran. Itulah cara cita kita secara menipu membuat sesuatunya tampak dan itulah dasar dari rasa takut dalam keseluruhan gejala “Aku semestinya melakukan ini dan apa yang semestinya kulakukan?” dan “Aku ingin menjadi baik” dan “Aku tidak ingin menjadi buruk.” Tapi, kebenarannya adalah bahwa tidak ada sosok kecil yang padu di dalam kepala kita. Dimanakah ia? – satu yang begitu khawatir tentang apa yang semestinya kulakukan dan yang begitu takut melakukan hal yang keliru. Ketika kita menggenggam diri kita untuk benar-benar ada sebagai suatu “aku” – dan kata menggenggam ini tidaklah semudah itu untuk dipahami – kita mendapatkan rasa takut ini.
284
Menggenggam Mari menjelajahi kata menggenggam ini. Gambaran yang selalu muncul dalam benak saya adalah seekor tikus tenggelam ke dalam kolam dan, apapun yang mengambang di dekatnya, tikus itu hendak menggenggamnya, seperti hendak mendekapnya dan bertahan agar tidak tenggelam. Ketika kita berbicara tentang menggenggam, ada sebuah keadaan putus asa dan kita memiliki sejumlah besar ketidakamanan dan kebingungan. Maka kita akan menggenggam apapun, seperti tikus yang tenggelam itu, agar meneguhkan keadaan. Sebagai contoh, ketika kita berada dalam keadaan sulit dengan seseorang, apapun yang mereka lakukan kita menggenggam dan berpikir, “Ah! Itu berarti kamu tidak benarbenar mengasihiku” atau “Itu berarti kamu sama sekali tidak mengasihiku.” Atau, kita berada dalam hubungan yang sulit dan orang lain itu selalu mencela kita dan selalu melakukan hal-hal konyol, hal-hal yang sangat negatif kepada kita. Tapi kita sebenarnya tidak ingin mengakuinya dan kita takut ditinggalkan, sehingga kita menggenggam sesuatu. Semisal kita melakukan hubungan kelamin, dan meskipun orang itu hanya memanfaatkan kita untuk kepuasan perkelaminannya sendiri, kita menggenggam dan berpikir, “Melakukan hubungan kelamin denganku setidaknya menandakan bahwa orang ini benar-benar mengasihiku.” Dan kita hanya berpegangan erat pada itu, seperti tikus yang tenggelam itu, karena jika kita melepas genggaman itu kita takut kita akan tenggelam, kita akan ditinggalkan. Hidup sama seperti ini. Ini mengerikan. Kita tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ini membingungkan. Kita ingin sesuatu yang teguh sehingga kita menggenggam suatu mitos yang kita 285
bayangkan. Kita menggenggam sesuatu yang kita yakin akan membuat kita merasa lebih teguh dan aman, sesuatu untuk memberi kita rasa keberadaan padu yang sejati. Kita menggenggam suara dalam kepala kita, misalnya, dan berpikir, “Itulah aku!” Atau kita bisa menggenggam apapun: tubuh kita, pekerjaan kita, mobil kita, anjing kita, apapun. Ini adalah proses yang sangat berseluk-beluk; kita tidak benar-benar punya waktu untuk mendalami ini di sini. Namun, rasa yang mendalam itu ada, entah sadar maupun bawah sadar, bahwa jika aku tidak menggenggam sesuatu, aku akan tenggelam. Kita memiliki sikap yang sama terhadap hukum; kita menggenggam pada apa yang semestinya kulakukan dan apa yang tidak semestinya kulakukan, karena kita merasa jika kita tidak memiliki pranata itu dan kita tidak memegang kendali, maka kita akan tenggelam. Kenyataannya adalah kita bisa berenang; pilihannya terbuka untuk berenang dan kita bisaberenang. Kita tidak harus menggapai dan berpegang pada sesuatu. Kita bisa menghadapi hidup dengan cara yang sangat spontan dan terbuka. Tentu saja, ini adalah dengan kebijaksanaan, membedakan antara apa yang berguna dan apa yang berbahaya. Tapi pengetahuan tentang apa yang berguna dan berbahaya itu bukanlah pengetahuan tentang sesuatu seperti seperangkat aturan-aturan padu yang terukir di batu. Pemikiran Bersekat Wicara Cita bekerja secara bersekat bagi sebagian orang dengan suara kata-kata. Memang. Begitulah adanya. Bukan perkara besar. Itu bukan hal yang menggemparkan. Meskipun tampak seolah-olah ada sosok kecil yang di sana mengucapkan kata-kata itu, tidak ada apapun di sana. Suara kata-kata dalam kepala kita ini hanya cara 286
cita kita bekerja. Cita kita bekerja dengan pemikiran-pemikiran bersekat yang biasanya memiliki suara kata-kata yang berkaitan dengan mereka. Kita tetap bisa membuat keputusan, dan bahkan melakukannya pada dasar berpikir dengan kata-kata, tapi tanpa mendasarkan mereka pada gagasan tentang aku yang padu di dalam kepala kita yang berbicara dan khawatir, “Apa yang semestinya kulakukan?” dan begitu takut melakukan hal yang salah. Lakukan saja. Bertindaklah dalam hidup dengan pembedaan antara apa yang berguna dan apa yang berbahaya. Tentu saja, kita tidak ingin melakukan sesuatu yang berbahaya, tapi kita perlu mencoba untuk tidak terlalu membanggakan diri kita dan berpikir bahwa akulah yang bertanggung jawab penuh atas segala sesuatu yang terjadi. Kita bukan itu. Kita bisa memberi andil pada sebuah keadaan, tapi kita bukan satu-satunya sebab. Kita boleh takut membahayakan, tapi jangan khawatir karenanya. Kita bisa kukuh untuk tidak membahayakan dan itu berbeda dengan takut terhadapnya. Ini adalah niat yang kukuh: “Aku tidak ingin membahayakan; aku akan berusaha untuk tidak membahayakan. Aku tidak ingin membahayakan orang lain atau membahayakan diriku sendiri.” Tidak ada aku kecil yang padu di dalam diri kita yang gemetar ketakutan karena semua hal ini. Tapi, dalam menyadari ini, kita harus berhati-hati untuk tidak meniadakan aku yang lazim: “Aku di sini dan aku melakukan ini dan aku tidak ingin melakukan itu” dan seterusnya. “Aku tidak ingin mengalami duka.” Aku yang lazim ini ada semata-mata sebagai apa yang ditunjuk oleh kata aku, dicap dengan dasar kelanjutan saat-saat dari pengalaman perorangan kita. 287
Singkatnya, meskipun tidak mudah, satu-satunya cara untuk mengatasi rasa takut adalah melalui pemahaman tentang kehampaan. Di satu sisi, tidak ada yang perlu ditakutkan dan tidak seorangpun perlu takut. Di sisi lain, kita harus berhati-hati untuk tidak meniadakan diri kita sepenuhnya, seolah-olah kita tidak ada sama sekali. Sangatlah penting untuk memiliki rintis tengah yang tidak membawa kita ke sebuah keekstreman rasa takut atau ke sebuah keekstreman “Apapun yang kulakukan tak jadi soal, karena aku tidak benar-benar ada.” Ketika kita begitu khawatir tentang perihal “Apa yang semestinya kulakukan?” dan “Aku ingin menjadi baik, aku tidak ingin menjadi buruk,” ketika kita mengalami itu, kita perlu berusaha untuk mengenali bahwa itu berasal dari kesalahan pengartian tentang adanya aku kecil yang padu yaitu anak kecil, yang merengek, “Apa yang semestinya kulakukan?”< /p> Cara Pengajaran Buddha Sebuah contoh dari cara pengajaran Buddha yang berdasarkan pada pemahaman tentang “aku” ini adalah ketika suatu hari seorang ibu datang kepada Buddha bersama bayinya yang mati. Ibu itu memohon kepada Buddha, berkata, “Buddha, kumohon hidupkan kembali bayiku.” Buddha menjawab, “Lebih dulu, bawakan aku sebutir biji moster dari rumah keluarga yang belum pernah didatangi kematian dan kemudian kita akan membicarakan hal itu.” Ibu itu mendatangi rumah demi rumah, dan segera ia menyadari bahwa kematian datang kepada semua orang, kepada semua keluarga. Dengan cara ini, ia mampu berdamai dengan kematian anaknya. Ia memahami itu sendiri. Buddha tidak berkata, “Kamu seharusnya tidak memintaku melakukan itu. Itu bodoh, karena semua orang pasti mati. Ingatlah ketidaktetapan dan kematian. Kamu buruk karena mengatakan permintaan itu.” Dan 288
Buddha tidak berkata: “Oh, itu tak apa, karena bayimu telah pergi ke surga atau suatu medan-Buddha.” Sebaliknya, Buddha menciptakan keadaan bagi ibu itu agar bisa memahami sendiri kematian anaknya Demikian juga, ketika kita menyatukan sendiri kepingan-kepingan teka-teki Dharma, itu membuat sebuah kesan yang jauh lebih mendalam. Jika kita menemui guru kita dengan “Apa yang semestinya kulakukan? Beri aku jawabannya, sehingga aku tidak perlu berpikir sendiri atau memutuskan sendiri, karena aku takut membuat keputusan yang salah,” itu membahayakan keseluruhan proses pertumbuhan rohani yang kita cari dengan ajaran Buddha. Alih-alih, seperti yang pernah saya katakan, kita perlu berhati-hati tentang apa yang kita lakukan dan mengira-ngira tanggung jawab atas tindakan-tindakan kita dan atas perolehan pemahaman oleh diri kita sendiri. Berhati-hati dan bersikap saksama bukanlah guna dari rasa takut. Bersikap saksama adalah guna dari perhatian dan kepedulian tentang akibat-akibat tindakan kita terhadap diri kita sendiri dan orang lain. Kepedulian macam itu ada dalam sifat dasar welas asih, keinginan untuk bebas dari duka. Berhati-hati juga merupakan penegasan dari keberadaan “aku” yang lazim – bukan “aku” yang padu – yang akan mengalami hasil-hasil dari tindakan yang kita pilih. Sesi Lima: Membentuk Hubungan yang Sehat dengan Guru Rohani Berhadapan dengan Keadaan-Keadaan Sulit Kita sedang membicarakan persoalan tentang apa yang semestinya kulakukan dan apa yang tidak semestinya kulakukan dan rasa takut yang berasal dari itu, dan seterusnya. Kita melihat 289
bahwa seluruh persoalannya berkutat di seputar kesalahan pengartian tentang diri kita sendiri. Kita perlu membuat pembedaan yang jelas antara keberadaan lazim tentang diri kita dan tentang segala hal di sekitar kita, dengan keberadaan padu, yang sebenarnya sama sekali tidak ada. Ingat, ketika kita berbicara tentang kehampaan, kita berbicara tentang ketiadaan cara-cara mengada yang mustahil, yang sama sekali tidak ada. Tapi, bagaimana sesuatu itu menjadi benar-benar ada? Dalam ajaran Buddha, kita mengatakan bahwa segala sesuatu menjadi ada dalam kerangka kemunculan mereka yang bergantung pada sangat banyak unsur – sebab-sebab, bagian-bagian, cap-cap batin dan wawasan-wawasan tentang mereka, dan seterusnya. Mari kita singgah di tingkat tentang sesuatu itu muncul dan mengada dengan bergantung pada sebab dan keadaan. Dari sudut pandang ini, kita bisa mengatakan bahwa sesuatu itu tidaklah padu – padu dalam arti muncul secara padu dari satu sebab saja – tetapi sebaliknya, segala sesuatu itu berseluk-beluk dan oleh karenanya muncul dari interaksi yang sangat berseluk-beluk. Sebagai contoh, ketika kita menghadapi keadaan, sesuatunya tidaklah hitam dan putih: “Kamu semestinya melakukan ini dan kamu tidak semestinya melakukan itu,” dan, karena itu, hanya ada satu cara bertidak yang benar dan cara lainnya salah. Sebenarnya, keadaan sulit apapun yang kita mungkin ada di dalamnya sangatlah berseluk-beluk dan pemecahan yang kita hasilkan akan bergantung pada banyak unsur. Jadi, memutuskan apa yang akan dilakukan memerlukan sejumlah besar kepekaan dan kesadaran. Ketika kita mulai mengatasi gejala “semestinya” dan “tidak semestinya” dan gejala mengikuti hukum tanpa pandang bulu, itu tidak berarti bahwa apa yang kita putuskan atau yang kita lakukan 290
tidaklah menjadi soal, karena itu semua ada di dalam angan-angan kita. Ini berarti bukannya bersikap kaku dalam kemampuan kita untuk memecahkan keadaan-keadaan sulit: "Inilah buku peraturannya maka biarkan aku mencari aturannya dan mengikutinya" – yang akan menjadi cara yang padu dan kaku dalam bertindak dalam kerangka "semestinya" dan "tidak semestinya" – kita menggunakan pembedaan, kebijaksanaan dan semua pengalaman kita untuk menemukan pemecahan yang tepat untuk keadaan itu. Ini memerlukan sejumlah besar keluwesan. Semakin banyak unsur yang kita ambil sebagai pertimbangan dalam usaha memecahkan suatu masalah, semakin besar peluang kita memecahkan masalah itu secara bijaksana. Ketika kita tidak mempertimbangkan banyak unsur, kita berakhir dengan pemecahan yang tidak benar-benar menyelesaikan masalah itu. Jadi, ketika kita berkata bahwa sesuatu itu tidak hitam atau putih, itu tidak meniadakan fakta bahwa kita bisa memiliki pemecahan yang manjur maupun tidak manjur untuk suatu masalah. Ini penting untuk diingat. Juga, kita harus ingat, kita bukan Tuhan. Kita tidak bisa asal bertindak dan memecahkan setiap masalah dengan menjetikkan jari-jari kita. Apakah ada pertanyaan tentang pokok-pokok ini, sebelum kita melanjutkan? Membangun Kekuatan Positif untuk Memahami Kehampaan Peserta: Apakah mungkin kita memahami sendiri kekosongan atau kehampaan pada waktu sesi meditasi dan bagaimana saya bisa mencapainya? Atau apakah ini hanya mungkin apabila kita diperkenalkan pada kehampaan oleh seorang guru? 291
Alex: Tsongkapa bukan orang yang bodoh. Ia bekerja sangat keras dan jelas memiliki pemahaman tentang kehampaan yang jauh lebih tepat dibanding kita. Namun, ia melihat bahwa untuk memperoleh pemahaman nirsekat yang benar tentang kehampaan, yang ia perlu lakukan adalah membangun daya yang lebih positif, yang biasanya diterjemahkan sebagai “pahala.” Pada tahap sangat akhir dalam rintis ini, ia memutuskan bahwa penting untuk melakukan tiga setengah juta sujud-sembah dan juga, saya lupa angka tepatnya, jutaan persembahan mandala. Setelah melakukan itu semua, ia mampu memahami kehampaan secara tepat dan secara nirsekat. Saya pikir, itu ajaran yang sangat penting. Baik kita duduk sendiri berusaha memahami kehampaan maupun seorang guru datang dan berkata, “Alex ini adalah kehampaan, kehampaan ini adalah Alex, izinkan aku memperkenalkan padamu,” jika kita tidak memiliki daya positif atau “pahala” itu, tidak ada yang akan terjadi. Kita selalu mendengar tentang pentingnya membangun dua rangkaian pahala dan wawasan, atau saya lebih suka menyebut mereka “simpanan” atau “jejaring” dari “daya positif” atau “kekuatan positif” dan “kesadaran mendalam.” Saya pikir, bagaimanapun kita menyebut mereka, membangun dua rangkaian itu amat sangat penting dan sesuatu yang saya tahu sangat benar, dari pengalaman saya sendiri. Ketika kita berusaha memahami sesuatu atau menyelesaikan sesuatu, baik itu dalam meditasi maupun menulis buku atau apapun itu – memecahkan suatu masalah – kadang-kadang kita mencapai sebuah titik di mana kita mengalami suatu penghalang pikiran. Kita tidak bisa pergi lebih jauh. Kita mencapai babak kemandekan atau kita menjadi jenuh. Masalahnya adalah kini tenaga kita terlalu lemah untuk bergerak 292
lebih jauh. Kita membutuhkan suatu tenaga positif, suatu kekuatan atau daya positif untuk bergerak lebih jauh. Itulah yang dibicarakan pahala. Persoalannya bukanlah kita butuh mendapat lebih banyak angka seperti kita butuh lebih banyak angka untuk memenangkan sebuah pertandingan. Dalam keadaan-keadaan di mana kita terhalang seperti itu, yang membantu adalah menghentikan apa yang sedang kita lakukan dan beralih mengerjakan sesuatu yang positif – misalnya, membantu orang lain. Ini bisa dilakukan dalam berbagai cara. Cara paling sederhana, yang selalu saya gunakan ketika saya tidak bisa memahami sesuatu dan saya ingin mampu memahaminya dan menjernihkan pikiran saya dengan cepat – misalnya ketika saya sedang menulis dan saya tidak bisa memikirkan kata yang tepat atau bagaimana mengungkapkan sesuatu dengan jelas – adalah saya berhenti dan mengulang-ulang mantra Manjushri dengan pembayanganpembayangan yang tepat. Saya mendapati itu sangat membantu. Jika kita memaksakan diri – “Aku harus paham; aku harus paham!” – tanpa melakukan sesuatu seperti mengucap mantra, maka maafkan penggambaran saya, tapi itu sedikit seperti sembelit dan menahan diri untuk buang air besar sambil duduk di kakus. Tidak akan ada hasilnya. Itu hanya menjadi sangat tidak nyaman. Maka, yang sebenarnya penting adalah bersantai sehingga kita menjadi jauh lebih jernih, dan jenis laku mantra ini sangat manjur untuk itu. Terutama ketika saya ingin cita saya menjadi sangat tajam dan jernih lalu saya menetapkan keinginan dan niat yang sangat kuat untuk menjadi seperti itu, maka mantra itu menjadi semakin manjur. Dan itu menjadi lebih manjur apabila saya menyertai pendarasan saya dengan pembayangan-pembayangan yang membantu memusatkan cita saya menjadi tajam. Dalam 293
keadaan itu, yang bisa kita lakukan adalah menambahkan sesuatu ke rumusan itu. Kita menambahkan kekuatan dan daya positif dari pendarasan mantra ini untuk membantu kita mengatasi penghalang pikiran. Saya mendapati ini berhasil. Ini sangat manjur dalam banyak kasus. Maka, jika kita sangat terbuka, pemecahannya akan datang, tanpa memaksakannya. Itulah satu keadaan di mana kita membutuhkan suatu pemecahan yang segera, seperti ketika saya tidak bisa menemukan kata yang tepat dalam penerjemahan. Ada beberapa keadaan lain di mana tenaga kita menjadi sedikit tumpul. Yang saya dapati dari pengalaman saya adalah ketika saya bepergian dan mengajar, saya melihat ini sebagai jenis undur-diri bodhicita, dan itu membantu. Saya bisa melihat itu sebagai, “Ini adalah pengalihan yang buruk dari penulisan saya” dan sedikit banyak menyesali waktu yang saya habiskan di meja dan komputer saya. Atau saya bisa melihat itu sebagai hal yang sangat positif yang akan membantu saya menulis secara lebih jernih. Saya hanya menggunakan contoh-contoh dari kehidupan saya sendiri, tapi pendekatannya bisa diterapkan pada kehidupan setiap orang – baik kita bekerja dengan keadaan di rumah, dalam keluarga, atau dalam suatu hubungan dan kita memiliki suatu penghalang. Jika kita pergi keluar dan melakukan pekerjaan sukarela yang positif di rumah sakit atau semacamnya, apapun itu yang sesuai untuk keadaan kita, itu akan membuat perbedaan besar dalam membangun daya dan kekuatan yang positif. Pendekatan untuk membangun simpanan daya positif ini tidak hanya terbatas pada ketika kita memiliki penghalang pikiran. Sebagai contoh, penulisan saya berjalan baik sebelum saya pergi 294
untuk rangkaian perjalanan kuliah ini. Di situ tidak ada penghalang sama sekali. Tapi, saya ingin lebih baik, dalam arti; saya ingin memiliki lebih banyak tenaga. Saya tidak berpikir bahwa Tsongkhapa menemui penghalang dan tidak bisa memahami sesuatu. Sebaliknya, saya pikir ia melihat bahwa untuk benarbenar mengalami sesuatu yang gemilang, untuk benar-benar mendapatkan pengetahuan nirsekat yang benar tentang kehampaan, ia akan memerlukan tenaga positif yang jauh lebih banyak. Pembangunan daya positif kita tidak mengharuskan undur-diri bodhicita di mana kita pergi seperti yang saya lakukan dan meninggalkan penulisan saya ketika saya bepergian dan mengajar. Kita bisa mencampurkan dua cara itu – bermeditasi dan membantu orang lain. Itu tidak berarti kita berhenti bermeditasi pada kehampaan karena kita memiliki penghalang, tapi kita harus menambahkan lebih banyak tenaga positif. Kita bisa melakukan itu di tengah-tengah meditasi kita. Ini, saya pikir benar-benar sangat penting. Itu tidak cukup sekadar duduk dan bermeditasi. Kita juga harus aktif, benar-benar membangun lebih banyak dan lebih banyak kekuatan positif dan melakukan sesuatu untuk membantu orang lain. Pentingnya Memiliki Guru Rohani Itu membawa kita pada keseluruhan pokok tentang guru rohani. Apa peran guru dalam proses ini? Tentu saja, kita memiliki contoh para pratyekabuddha. Kita tidak boleh melupakan para pratyekabuddha. Teladan mereka adalah jenis rintis yang diajarkan oleh sang Buddha. Mereka di sana di atas pohon perlindungan. Pratekyabuddha adalah pelaku-pelaku yang hidup pada zaman kegelapan ketika tidak ada para Buddha dan para guru. Untuk 295
bermeditasi dan membuat kemajuan, mereka harus bersandar sepenuhnya pada naluri mereka mengenai Dharma, yang telah mereka bangun dalam kehidupan-kehidupan terdahulu ketika mereka berjumpa dengan ajaran-ajaran para Buddha. Pratekyabuddha sangat tabah, jika kita berpikir tentang itu. Mereka sangat layak mendapat kehormatan. Kita tidak boleh berpikir, “Oh, mereka orang-orang yang sangat mementingkan diri sendiri yang mengurung diri mereka di gua-gua.” Tapi kini, ketika ada para Buddha dan guru di sekeliling kita, pertanyaannya adalah, “Apakah kita perlu bersandar pada mereka atau tidak, dan apa artinya bersandar pada mereka?” Saya pikir pokok pembicaraan tentang guru rohani ini adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dipahami. [Lihat: Berhubungan dengan Guru Rohani: Membangun Hubungan yang Sehat.] Ada banyak hal yang bisa dikatakan tentang hubungan guru-murid dari banyak sudut pandang yang berbeda dan pada kesempatan ini tidak perlu membahas semuanya. Saya pikir pada tingkat yang sangat teknis, salah satu yang sangat penting tentang guru rohani, dalam lingkung guru merupakan orang yang mumpuni secara layak dan bukan hanya semacam pelawak yang pergi berkeliling dan berkata bahwa mereka guru, adalah bahwa guru menjadikan ajaran-ajaran itu manusiawi – “nyata” adalah kata yang sedikit terlalu berat. Guru menjadikan Dharma manusiawi. Jika kita tidak memiliki guru dan jika kita hanya belajar dari buku-buku, maka gambaran atau gagasan yang kita miliki tentang arti memahami ajaran-ajaran itu dan menerjemahkan mereka ke dalam kehidupan adalah sesuatu yang berdasar sepenuhnya pada daya khayal kita. Dengan kata lain, kita tidak memiliki contoh hidup tentang arti tidak 296
sekadar memahami ajaran-ajaran itu, tapi mengamalkan mereka ke dalam kehidupan. Melihat contoh hidup adalah sesuatu yang akan memberi kita banyak ilham untuk berusaha memahami dan menghayati ajaran-ajaran itu. Ada dua unsur yang terlibat dalam mempelajari ajaran-ajaran itu. Satu adalah mendapatkan pemahaman teknis yang tepat tentang ajaran tertentu, seperti kehampaan. Itu satu hal, dan seorang guru bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan, yang tidak bisa dilakukan oleh buku. Tapi, selain memiliki ketepatan teknis dalam pemahamannya, guru itu memberi kita contoh hidup dari terjemahan pemahaman itu ke dalam kehidupan. Itulah yang saya pikir amat sangat penting. Kita melihat seseorang seperti Yang Mulia Dalai Lama dan kita bisa secara pasti mengatakan bahwa ia memiliki pemahaman yang berkembang sangat tinggi tentang kehampaan dan perwujudan bodhicita. Dari sudut pandang apapun, kita pasti akan setuju dengan itu. Menggunakan kartu nilai untuk coba menguji, “Apakah ia ada pada tahap bodhisattwa ini atau itu?” adalah kekanakkanakan. Siapa peduli? Tapi kita bisa melihat dari cara ia bertindak bahwa pemahaman tentang Dharma itu tidak diterjemahkan dengan menjadi orang sembrono dengan sikap tak acuh yang tidak bisa berperan dalam hidup. Dari contoh Yang Mulia Dalai Lama, sangat jelas apa sebenarnya arti memiliki perpaduan antara kebijaksanaan dan welas asih. Ini jelas merupakan unsur yang sangat penting ketika kita berbicara tentang diperkenalkan pada Dharma atau, khususnya, pada kehampaan.
297
Diperkenalkan pada Dharma Ada banyak tingkat dalam diperkenalkan pada Dharma. Satu tingkat adalah bahwa seorang guru menetapkan suatu keadaan di mana kita tergerak secara perasaan sehingga kita dikejutkan pada babak kemandekan untuk memperoleh perwujudan. Itulah jenis Zen yang dimiliki oleh sebagian guru Tibet, tapi tidak banyak. Geshe Wangyal, yang merupakan guru Mongol Kalmyk di Amerika Serikat, menggunakan cara ini dengan sangat mahir. Ia telah meninggal dunia bertahun-tahun yang lalu, tapi ia biasa menyuruh murid-muridnya membangun sesuatu seperti rumah dan candi untuknya dan untuk mereka sendiri. Suatu ketika, seorang muridnya sedang bekerja keras membangun rumah untuk Geshela dan tengah mengerjakan atapnya. Suatu hari, Geshe-la naik ke atap itu dan menghampirinya lalu berkata, “Apa yang kamu kerjakan?! Kamu mengerjakannya keliru! Kamu mengacaukan semuanya! Pergi dari sini!!” Dan murid itu berkata, “Apa maksud Anda aku melakukannya keliru?! Aku mengerjakan ini persis seperti yang Anda perintahkan padaku dan aku sudah mengerjakannya selama berbulan-bulan!” Geshe Wangyal segera menjawab, “A-ha! Itulah ‘aku’ yang harus disanggah.” Guru bisa membentuk keadaan seperti itu untuk memperkenalkan kita pada kehampaan dalam arti membentuk keadaan di mana kita bisa secara perasaan melihat dan mendapatkan wawasan. Namun, untuk mampu melakukan itu dengan baik memerlukan kecakapan tinggi. Jadi ada tingkat diperkenalkan seperti itu sampai titik tertentu dalam Dharma. Buku tidak bisa melakukan itu. Cara kedua dalam diperkenalkan pada Dharma adalah dengan diberi penjelasan yang sangat gamblang. Buku bisa melakukan itu. Penjelasan yang sangat gamblang dari seorang guru bisa 298
dituliskan dalam buku. Tapi, betapapun gamblangnya sesuatu, jika kita memiliki penghalang pikiran, kita tidak akan mampu memahaminya. Oleh karena itu ada cara lainnya: guru membiarkan kita sendiri memecahkan teka-teki Dharma, dengan memberi kita sekeping demi sekeping, bukan hanya menyuapi kita dengan Dharma seperti bayi. Tapi cara lain diperkenalkan pada Dharma adalah melalui contoh melihat guru yang memahaminya. Dalam kasus apapun, meskipun kita membaca tentang penjelasan yang gamblang dalam sebuah buku, seseorang harus menulis buku itu. Jadi, perlu ada guru di sini, baik kita bertemu dengan guru itu maupun tidak. Bisa dikatakan, kita benar-benar bertemu guru itu, meskipun orang itu telah lama meninggal dunia, karena kita bertemu dengan kata-kata guru itu dengan membaca bukunya. Kecuali kita adalah seorang pratyekabuddha, kita tidak harus menciptakan roda itu lagi; kita tidak perlu menemukan pemahaman ini sendiri. Pemahaman ini datang dari seseorang, seorang guru. Seorang guru sangatlah penting dalam hal ini. Pada hakekatnya, kita memerlukan perpaduan dari semua itu dalam guru itu. Kita membutuhkan seorang guru yang bisa memberi kita keterangan yang tepat dan jelas, dan yang benar-benar merupakan contoh hidup dari apa yang kita coba pelajari dan yang bisa mengilhami kita. Selain itu kita membutuhkan guru yang bisa menciptakan keadaan-keadaan tertentu yang akan membantu kita mendapatkan wawasan-wawasan dan yang memberi kita sekeping teka-teki Dharma, dengan cara yang tepat.
299
Hubungan-Hubungan Perorangan yang Umum Ada banyak hal yang bisa kita bicarakan mengenai hubungan guru rohani-murid, tapi satu persoalan yang selalu muncul pada kaum Barat adalah kita ingin perhatian perorangan. Kita memiliki rasa perseorangan yang sangat kuat. Semua orang berpikir, “Aku istimewa dan aku semestinya mendapat perhatian khusus.” Contoh ini, tentu saja, adalah kita pergi menemui ahli kejiwaan atau semacamnya, kita membayar, dan kita mendapat perlakuan perseorangan. Ya, itu tidak selalu tersedia dalam lingkung Buddha. Ini lucu. Kita mencari “guruKU yang akan menjadi istimewa bagiKU,” namun kita memiliki gambaran Hollywood tentang akan seperti apa hubungan itu. Kita tidak ingin hubungan itu menjadi seperti Milarepa dengan Marpa: kita tidak menginginkan guru yang akan membuat kita bekerja terlalu keras. Saya akan memberi sebuah contoh pada Serkong Rinpoche dan saya sendiri. Saya memiliki hak istimewa yang sangat tinggi untuk dekat dengannya dan untuk melayaninya selama kira-kira sembilan tahun sebagai penerjemah, sekretaris Inggris, pengatur kunjungan luar negeri, dan sebagainya, dan sebagai murid pribadinya. Saya memiliki jenis hubungan itu dengannya sampai ia wafat pada 1983. Namun, saya harus mengatakan bahwa seluruh hubungan itu adalah “hubungan perorangan yang umum.” Ia tidak pernah menanyakan pada saya, satu pertanyaan pun, tentang kehidupan pribadi saya – tak pernah. Ia tidak pernah menanyakan pada saya tentang keluarga saya atau apapun semacamnya. Dan saya tidak pernah merasa perlu menceritakan padanya apapun tentang kehidupan pribadi saya. Tapi, bagaimanapun, kami selalu memiliki hubungan yang sangat akrab dalam kerangka berurusan dengan masa sekarang. 300
Jadi kami bekerja bersama, tapi dalam cara yang sangat istimewa. Itulah yang saya sebut “perorangan yang umum,” dalam arti bahwa itu tidak dengan dua ego besar yang berkata, “Mari bekerja bersama – AKU dan KAMU.” Dan itu bukan sejenis hubungan perorangan yang mari-berbagi-sikat-gigi-kita, di mana aku menceritakan padamu segalanya tentangku dan kamu menceritakan padaku segalanya tentangmu. Itu seperti memamerkan pakaian dalam kotormu kepada seseorang. Dalam pengartian itu, hubungan itu bersifat umum. Tapi itu juga bersifat perorangan dalam arti ia memahami watak dan kepribadian saya, dan kami bekerja bersama pada dasar menghormati hal itu. Saya memahami usianya dan juga kebutuhan-kebutuhan dan tuntutantuntutannya, sehingga dalam arti itu hubungan kami perorangan, tapi umum. Saya pikir salah satu landasan besar bagi keberhasilan hubungan itu adalah hubungan itu adalah suatu rasa hormat tertinggi pada kedua pihak dan dengan masing-masing pihak bekerja bersama sebagai manusia dewasa yang matang. Sebagai manusia dewasa, saya tidak mendekatinya dengan cara kekanak-kanakan dalam menginginkan persetujuan atau menginginkan ia bertanggung jawab atas segala hal dalam hidup saya – mengendalikannya. Tapi itu tidak berarti saya pergi ke keekstreman lain, yang akan menjadi, “Aku ingin memegang kendali dan kamu tidak boleh mengatakan apa yang harus kulakukan.” Saya meminta sarannya tentang pilihan-pilihan sulit dalam hidup saya, tapi saya membuat keputusan sendiri meskipun saya meminta sarannya. Itu seperti, alih-alih bersikap kekanak-kanakan dan bertanya, “Apa yang semestinya kulakukan?” – yang kembali pada persoalan
301
“semestinya” – saya akan bertanya apakah lebih bermanfaat melakukan ini atau melakukan itu. Sebagai contoh, pada akhir lawatan dunia kedua kami bersamasama, saya bertanya padanya, “Apakah lebih baik saya tetap tinggal di Amerika Serikat dan menghabiskan waktu lebih lama dengan keluarga saya, atau lebih baik kembali ke India dengan Anda dan menghadiri Festival Doa Monlam pertama yang diselenggarakan Yang Mulia Dalai Lama di India Selatan? Mana yang akan lebih bermanfaat?” Saya menanyakan padanya pertanyaan semacam itu jika saya tidak bisa membuat keputusan sendiri. Rinpoche menyarankan saya pergi ke Festival Doa itu, karena itu akan menjadi peristiwa bersejarah yang sangat penting, dan saya mengikuti sarannya. Tapi ia tidak memberi saya perintah, itulah yang membuat saya hormat dan berkata, “Ya!” Saya tidak meminta perintah darinya. Ia akan menyajikan keadaan itu dengan lebih jernih dan cara pandang lebih luas, sehingga saya bisa menyusun cita saya dengan kebijaksanaan saya sendiri. Dalam keadaan-keadaan lain, ketika saya memiliki gagasan sendiri tentang apa yang terbaik untuk saya lakukan, saya tetap akan bertanya padanya apakah ia meramalkan adanya masalah apabila saya melakukan itu. Saya pikir, itu sangat penting dalam hubungan dengan seorang guru. Jika kita memiliki pengharapan bahwa hubungan itu akan menjadi sangat perorangan dan sangat pribadi, maka, sedikit banyak, kita memberi diri kita lebih banyak arti penting dibanding yang mungkin sepatutnya kita miliki. Kita memberi diri kita sendiri kepentingan-diri yang sangat besar jika kita membuat tuntutan untuk perhatian perorangan itu. Juga, jika kita membuat tuntutan itu, kita mudah terjebak melihat diri kita sebagai anak kecil dan guru 302
kita sebagai orang tua, atau diri kita sebagai remaja dan guru kita sebagai bintang pop. Suatu khayalan roman juga bisa ada di sana. Perumpamaan Lebah Madu dan Bunga Bagaimana cara mendekati hubungan kita dengan guru rohani dalam cara umum yang perorangan sebenarnya tidaklah mudah. Dan pentingnya melakukan itu tidak hanya terbatas pada hubungan kita dengan guru rohani. Itu akan berguna jika pendekatan ini adalah ciri hubungan kita dengan semua orang. Shantidewa menulis bahwa yang paling membantu, dalam hubungan kita dengan orang lain, adalah menjadi seperti lebah madu yang hinggap dari bunga ke bunga dan hanya berurusan dengan sari bunga itu, tapi tidak melekat pada satu bunga saja. Lagi-lagi, saya melihat contoh dari Serkong Rinpoche. Ia tidak memiliki teman baik. Sebaliknya, siapapun yang bersamanya pada saat itu adalah teman baiknya. Menjadi seperti itu adalah guna dari keterbukaan yang kita bicarakan pada sesi pertama: bersama dengan semua orang seolah-olah mereka adalah teman baikmu. Ketika kita bersama seseorang dengan cara itu, hati kita sepenuhnya terbuka pada orang itu. Kita sepenuhnya bersifat perorangan dengan orang itu dalam arti kita benar-benar berhubungan hati ke hati. Tapi, tidaklah perlu bagi saya untuk memperlihatkan pada Anda pakaian dalam kotor saya dan bagi Anda untuk memperlihatkan pakaian dalam kotor Anda. Tidaklah perlu memasuki segala macam perincian pribadi yang, sedikit banyak, kita ingin seseorang menepuk kepala kita untuk itu. Jika kita memasuki semua perincian itu, kita seperti memaksakan kekacauan kita pada orang lain sehingga mereka pun menjadi terjerat di dalamnya. Kita semua punya kekacauan kecil pribadi 303
yang harus kita hadapi dalam hidup kita, tapi itu tidak semestinya menjadi beban bagi orang lain dan hubungan kita dengan mereka. Kita bisa berhubungan dengan orang itu, bersikap sepenuhnya terbuka; dan mereka seperti teman baik kita. Kita bisa benar-benar menerima ikatan dengan hati orang itu, tapi tanpa menjadi terjerat sehingga kita bisa terbuka seperti ini kepada semua orang, seperti lebah yang hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya – secara akrab terikat dengan hati kita, tapi tidak melekat. Itulah jenis hubungan yang juga perlu kita miliki dengan guru kita. Ketika kita bersama guru kita, ada sebuah keterbukaan yang sangat penuh dalam berkomunikasi, tapi kemudian kita keluar dari sana dan orang berikutnya masuk. Jika kita memiliki jenis sikap “AKU INGIN GURUKU!” kita menjadi sangat cemburu dan berhasrat memiliki, dan itu adalah sebuah siksaan yang mutlak: “Ada kelompok ini di sekitar guruku dan aku bukan bagian dari kelompok ini” dan...oh, sungguh menyakitkan! Tapi kita semua harus mencuci pakaian dalam kotor kita sendiri. Kita harus menghadapi kekacauan kita. Tidak perlu berharap guru kita akan menghadapinya. Menghindari Keekstreman Meniadakan Mutu Pribadi Orang Lain Ketika kita berhadapan atau berhubungan dengan orang lain dengan cara ini, secara perorangan yang umum ini, baik dengan guru atau teman, ada dua tingkat: tingkat terdalam dan tingkat nisbi yang lazim. Pada tingkat terdalam, semua orang sama-rata dan tak seorangpun istimewa, jadi ini mengarah pada unsur umum dari setiap hubungan. Namun, pada tingkat lazim orang-orang adalah tersendiri, sehingga ini mengarah pada unsur perorangan.
304
Sangat penting untuk tidak pergi ke keekstreman berhubungan dengan orang lain hanya dari tingkat terdalam. Kita harus mencoba untuk tidak lalai untuk tetap melihat orang itu sebagai perorangan. Dengan kata lain, jika saya berhubungan dengan Anda dengan cara yang terlalu umum, maka pasti saya tidak berhubungan sama sekali – meskipun hubungan itu hati-ke-hati. Kita perlu menghindari rasa, “Kamu adalah arus-cita nomor 14762 dan orang itu adalah arus-cita nomor 14763, dan aku bisa terbuka secara sama-rata dan akrab secara perasaan dengan arus-cita manapun dari nomor urut berapapun.” Itu keliru. Itu akan menempati pokok dalam Dharma tentang “semua makhluk berindra” pada keekstreman dalam meniadakan mutu pribadi semua orang. Kita perlu selalu ingat bahwa orang lain itu, dari sisi mereka, melihat diri mereka sendiri dengan cara yang sangat pribadi. Kita harus bertindak dengan itu. Izinkan saya memberi contoh ketika ibu saya meninggal dunia tahun lalu. Pada awalnya ketika ia meninggal, saya mengucapkan doa-doa dan menjalankan berbagai laku untuknya, tapi dalam cara yang umum, melihatnya sebagai arus-cita nomor sekian-sekian. Untuk menghindari kepedihan karena kemelekatan, saya melihatnya tidak hanya sebagai ibu saya, tapi sebagai seseorang yang melanjutkan perjalanan dari banyak kehidupan terdahulu menuju kehidupan-kehidupan masa depan, sama seperti semua orang lain. Lagipula, ajaran Buddha mengajarkan bahwa semua orang pada suatu waktu pernah menjadi ibu kita. Jadi, cara saya berhubungan dengannya pada tataran peralihan itu cukup niskala. Kemudian, setelah membahas pengalaman saya dengan seorang teman dekat, saya mengerti bahwa akan jauh lebih berguna untuk melihat keadaan itu dari sudut pandang ibu saya dalam tataran peralihan itu, bukan dari sudut pandang saya sendiri sebagai 305
pelaku Dharma yang memiliki pemahaman tentang kehidupan masa lalu dan masa depan, jati diri nirpadu, dan seterusnya. Dari sudut pandang ibu saya dalam tataran peralihan itu, ia tetap berpegang pada jati diri lamanya sebagai Rose Berzin dan masih melihat saya sebagai anaknya. Saya segera mengubah laku yang saya jalankan untuk berusaha membantunya dalam babak tataran peralihan itu dan saya berkata secara langsung kepadanya. Saya sedang mengajar di Chili dan hendak menuju Tahiti pada waktu itu, maka saya mengundangnya untuk datang ke tiap-tiap sesi dan menemani saya. Saya juga mengucapkan jenis doa-doa dan hal-hal yang ia suka, sehingga ia merasa nyaman. Dengan kata lain, saya mencoba merasakan rasa takut yang mungkin ia miliki dan berusaha menenangkannya dengan sesuatu yang tepat untuknya. Sebagai contoh, ibu saya suka nyanyian mantra-mantra Buddha. Itu membuatnya merasa sangat tenang. Sehingga meskipun itu bukan hal bagi saya yang akan dapat membantu jika saya berada dalam tataran peralihan, saya mulai bernyanyi dengan cara yang saya tahu akan sangat menenangkan baginya. Dan saya merasa bahwa saya terhubung kepadanya dengan melakukan itu. Saya menyesuaikan apa yang saya lakukan agar lebih tepat untuknya. Saya mengambil pengalamannya pada tingkat nisbi tentang kenyataan hidupnya secara bersungguh-sungguh. Itulah pokoknya. Jika ibu saya mendapati nyanyian doa Kristen atau Yahudi itu menenangkan, saya akan melakukan itu. Tapi ibu saya suka mendengarkan mantra-mantra dinyanyikan secara perlahanlahan. Seperti yang saya katakan, saya merasakan perubahan yang sangat besar ketika mulai melakukan itu. 306
Sebelum itu, ketika saya hanya bersikap niskala dan semacam “Semoga Ibu bahagia dan semoga kita terhubung dalam semua masa kehidupan dan semoga Ibu selalu memiliki kehidupan manusia yang mulia dan semoga aku membimbing Ibu menuju pencerahan di semua masa kehidupan” dan segala macam rumusan niskala dan pikiran-pikiran baik itu, saya tidak benarbenar terhubung dengannya sebagai seorang pribadi. Tapi dengan cara lain ini, saya mendapatinya jauh lebih manjur. Saya merasa itu benar-benar berhasil membantunya, meskipun tentu saja saya tetap menjalankan doa-doa saya yang lebih umum. Singkatnya, ketika kita berhubungan dengan seseorang dalam jenis cara perorangan yang umum, seperti yang saya gambarkan, itu tidak berarti kita meniadakan fakta berhubungan dengan orang itu sebagai seorang pribadi dan menghormati pengalaman pribadi mereka tentang siapa mereka. Untuk menyebutnya dalam bahasa yang lebih khusus: “Aku sepenuhnya terbuka untukmu dan bersifat sangat perorangan, tapi tanpa menggenggam erat apapun – tanpa menyelisik kekacauan pribadiku dan kekacauan pribadimu. Tapi dalam lingkung umum itu, aku peka dan seterusnya terhadap pribadimu dan terhadap pandanganmu tentang dirimu sendiri, sehingga aku bisa berhubungan denganmu dalam cara yang menghubungkan.” Maka, itu akan masuk ke dalam keseluruhan pokok tentang menggunakan lima jenis kesadaran mendalam untuk berhubungan dengan orang itu, tapi mari tinggalkan itu untuk lain waktu. Saya mengemukakan semua ini untuk banyak alasan, tapi khususnya untuk satu kesulitan besar yang kita hadapi dalam laku Buddha Mahayana ketika kita menjalankan bodhicita, welas asih, dan segala macam meditasi pada tingkat “Semoga semua makhluk 307
berindra bahagia,” sembari berusaha berpikir secara niskala tentang semua makhluk berindra. Sangat sulit untuk mahir menerjemahkan “semua makhluk berindra” ke dalam lingkung perorangan pada orang secara langsung di depan kita – Anda atau Anda. Jika kita hanya menjalankan laku pada tingkat “semua makhluk berindra,” maka kadang-kadang kita bisa menggunakan itu sebagai permakluman untuk tidak benar-benar terlibat secara pribadi dengan seseorang. Jadi, bisa dikatakan, jika keterlibatan pribadi berarti menggenggam erat dan semua keburukan yang menyertainya, maka kita perlu suatu cara yang membantu kita menghindarinya. Tapi, begitu kita mengatasi setidaknya tingkat kasar kemelekatan dan kemarahan dan semua hal lain itu – yang bukanlah pencapaian mudah – kita perlu memiliki keterlibatan pribadi, tapi jenis keterlibatan yang bersifat perorangan yang umum, dengan kata lain, pribadi tanpa menggenggam erat. Semua yang telah kita bahas dalam kerangka hubungan dengan guru rohani sejauh ini tidak bergantung pada seluruh persoalan tentang apakah kita melihat guru itu sebagai seorang Buddha atau tidak. Meskipun kita tidak melihat guru itu sebagai seorang Buddha, apa yang telah saya jelaskan adalah perlu supaya memiliki jenis hubungan yang berhasil dan bermakna dengan guru itu. Tentu saja dalam lingkung melihat guru itu sebagai seorang Buddha, kita tetap perlu mendekati hubungan itu sebagai orang dewasa dan melihat guru kita sebagai orang dewasa, bukan sebagai ayah maupun sebagai bintang pop dan bukan sebagai hal aneh yang kita cenderung membayangkan mereka sebagai orang yang semestinya memiliki hubungan istimewa denganku karena aku istimewa. 308
Mungkin Anda punya pertanyaan? Rasa Takut terhadap Hubungan Mendalam dengan Guru Peserta: Saya mencoba melihat diri saya sendiri sebagai orang tak bernama dalam kelompok besar murid yang punya banyak guru. Saya lebih suka mengatakan saya punya banyak guru, daripada berada dalam hubungan orang-per-orang dengan satu guru. Alex: Bisa jadi ada beberapa masalah di sini. Salah satu masalah itu mungkin adalah rasa takut pada akad bulat dan keakraban, yang dengan itu kita mungkin berpikir: “Aku tidak ingin benar-benar terbuka pada satu guru, karena aku akan tidak memiliki kendali.” Jelas, agar berhasil mengatasi rasa takut ini, kita memerlukan pemahaman tentang kehampaan. Tidak ada yang perlu kita takutkan dalam membuka diri kepada seorang guru. Karena ketika kita membuka diri, tidak bahwa “aku” yang tak berdaya ini akan terluka. Atau, “Aku akan diabaikan dan dikecewakan.” Juga, tidak bahwa aku membuka diri dan tidak ada apapun sehingga kemudian aku tersesat dan terjadi kekacauan. Membuka diri pada seorang guru memerlukan suatu kehalusan dalam pemahaman kita tentang bagaimana kita ada. Agar hubungan dengan guru bisa berhasil, hubungan itu harus matang, dengan rasa yang benarbenar mapan tentang “aku” yang lazim yang bisa membedakan antara apa yang berguna dan apa yang berbahaya, dan antara apa yang pantas dan apa yang tidak pantas. Sebaliknya, hubungan yang tidak matang bisa menimbulkan malapetaka. Maju Perlahan-Lahan dalam Memantapkan Hubungan dengan Guru Rohani Peserta: [penerjemah] Sebelum Anda berlindung dengan seorang guru, Anda perlu memeriksa guru itu secara layak, tapi ia berpikir 309
bahwa dengan cita yang tidak jernih, bagaimana bisa ia memeriksa guru itu secara layak? Dan bagaimana bisa ia memeriksa apakah guru itu seorang Buddha atau bukan? Alex: Ketika kita berkata bahwa agar hubungan dengan guru rohani benar-benar berjalan baik kita perlu bersikap matang, itu tidak berarti jika kita belum matang, kita jangan berpaling kepada seorang guru. Itu tidak berarti kita harus menunggu sampai kita benar-benar matang sebelum berhubungan dengan seorang guru. Jika itu kejadiannya, kita mungkin harus menunggu sangat lama. Guru yang mahir bisa membantu kita menjadi lebih matang. Guru yang tidak mahir, sebaliknya, mungkin memanfaatkan dan menyalahgunakan ketidakmatangan kita. Jadi, dalam mendekati guru yang berkemampuan, kita perlu mengakui bahwa kita tidak tahu apakah orang ini benar-benar mumpuni atau tidak. Kita perlu maju secara sangat perlahan-lahan dan berhati-hati. Hubungan dengan guru rohani adalah sesuatu yang biasanya perlu berkembang secara perlahan-lahan, sejalan waktu, dan melalui beberapa tahap. Bahkan melihat guru itu sebagai seorang Buddha, yang tidak pernah terjadi pada tahap awal, melewati beberapa tahap dalam perkembangannya. Saya tidak ingin memasuki pokok itu secara terlalu rinci saat ini, karena akan membutuhkan cukup banyak waktu untuk menyajikannya. Tapi jenis hubungan di mana kita melihat guru kita sebagai seorang Buddha sebenarnya hanya sesuai ketika kita berada pada tahaptahap sangat maju dari golongan laku tantra tertinggi, anuttarayoga. Dalam tulisannya Penyajian Agung Tingkat Bertahap Jalan Buddha, Lam-rim chen-mo, Tsongkhapa menulis bahwa hubungan 310
yang tepat dengan guru rohani adalah akar dari jalan Buddha, dan ia menjelaskan hubungan itu dalam kerangka melihat guru sebagai seorang Buddha. Tapi, kita perlu memahami lingkung di mana ia menuliskan itu dan mengapa ia mengatakan itu. Jelas, Tsongkhapa menulis dan menyajikan pokok ini kepada para biksu yang terlibat dalam laku tantra. Kita bisa menyimpulkan itu karena berlindung muncul nanti dalam penyajiannya tentang jalan. Bagaimana kita bisa memiliki hubungan dengan seorang guru, melihat guru itu sebagai seorang Buddha, jika kita belum berlindung dan kita bahkan tidak tahu apakah Buddha itu? Jelas bahwa petunjuk melihat guru sebagai seorang Buddha ini adalah untuk orang yang telah berlindung dan telah terlibat dalam tantra. Ini karena semua kutipan yang Tsongkapa gunakan untuk mendukung pandangan tentang guru sebagai seorang Buddha berasal dari tantra-tantra itu. Jadi jelas bahwa ini utamanya adalah pokok tantra. Itu kemudian memberi kita tanda bahwa bagi kita yang tidak berasal dari latar seorang biksu atau biksuni yang telah terlibat dalam laku tantra tertinggi, kita tidak bisa begitu saja memiliki hal-hal ini, seperti perlindungan. Kita harus mulai pada tahap lebih awal. Ketika kita pada awalnya belajar dengan seorang guru, khususnya sebagai orang Barat, persoalan tentang “Apakah guru ini seorang Buddha atau bukan?” sebenarnya sama sekali tidak perlu. Kita perlu lebih dulu melihat untuk memeriksa apakah ini guru yang baik. Bisakah mereka menerangkan dengan jelas? Apa yang mereka jelaskan? Apakah yang mereka jelaskan cocok seperti dalam naskah-naskah klasik? Apakah itu cocok dengan hidupku? Itu seperti cara kita menguji guru apapun – umpamanya, sebagai
311
contoh, jika kita akan belajar bahasa: apakah mereka mengajar kita secara tepat-guna? Kita juga melihat apa jenis rasa umum yang kita dapat ketika kita bersama orang ini. Kita bisa memiliki kepekaan pada apa jenis hubungan yang bisa kita miliki dengan seseorang dengan rasa yang kita dapatkan ketika kita bersama mereka. Inikah orang yang mengilhami kita atau inikah orang yang hanya membiarkan kita tidak berkembang? Inikah orang yang benar-benar berhubungan dengan kita atau inikah orang yang dengannya kita tidak bisa berhubungan? Itu memungkinkan untuk dirasakan. Itu tidak memerlukan kewaskitaan atau bahkan tingkat kematangan yang sangat tinggi. Kemudian kita mulai memeriksa sedikit lebih saksama pada hal-hal seperti budi pekerti orang ini: apakah ia orang yang berbudi pekerti? Apakah ia orang yang mudah dan sering marah atau sangat mengekang murid-muridnya dan berusaha mengendalikan hidup mereka? Lalu kita bisa bertanya pada orang lain, untuk mengetahui bagaimana guru ini bersikap dengan murid-murid lain. Inilah beberapa cara yang kita gunakan untuk memeriksa guru kita, meskipun hanya untuk memutuskan apakah kita ingin belajar dengan mereka atau tidak. Lalu, apakah kita bersedia memasuki hubungan dengan orang ini di mana kita melihatnya sebagai seorang Buddha adalah sesuatu yang sangat berbeda dan sangat tingkat maju dan tidak benarbenar sesuai pada tingkat permulaan. Jika kita orang yang sudah berlindung dan orang yang telah melewati tahap-tahap dasar jalan Buddha dan telah terlibat dalam golongan tantra tertinggi, jika kita orang seperti itu, dan kita memiliki hubungan yang kuat ini dengan 312
guru kita, maka kita bisa melihat guru itu sebagai seorang Buddha dalam seluruh lingkung arti itu. Lalu, jika kita kembali melalui semua tahap ke awal jalan itu lagi, seperti pada kejadian seorang biksu meninjau-ulang seluruh jalan bertahap, ketika mendengarkan Lam-rim chen-mo karya Tsongkhapa, dalam persiapan untuk menerima pembayatan tantra, maka hubungan dengan guru itu sebagai seorang Buddha akan menjadi akar keberhasilan dalam mengikuti seluruh jalan itu. Maka itu membuat perbedaan besar. Tidak Kehilangan Kecakapan Dasar Kita Kita perlu memahami segala sesuatu dalam lingkung yang tepat. Ini tidak mudah. Tapi, terutama pada permulaan, saya pikir penting untuk tidak kehilangan sikap dasar kita terhadap seorang guru. Nantinya, ketika kita berhubungan dengan seorang guru sebagai seorang Buddha, maka hubungan kita dengan guru ini adalah ikatan khusus dan ini memerlukan kematangan perasaan yang sangat hebat. Yang kita katakan dengan jenis ikatan ini utamanya adalah, “Anda seorang Buddha, yang berarti apapun yang Anda lakukan, aku akan melihat Anda sebagai seorang Buddha yang berusaha mengajarkanku sesuatu.” Ingat, keberadaan sesuatu tidak dibentuk dari sisi mereka sendiri, bebas dari segala hal lain. Jadi keberadaan dari jenis hubungan dengan guru ini dibentuk dalam hubungan dengan keadaan “Anda membantuku untuk bertumbuh.” Maka, utamanya kita berkata pada guru kita, dalam benak kita, “Aku tidak peduli apa dorongan Anda dan aku tidak peduli apakah Anda sebenarnya tercerahkan secara objektif atau tidak. Sebaliknya, aku akan menggunakan peluang dalam hubungan dengan Anda ini untuk terus-menerus bertumbuh dan belajar. Jika 313
Anda menyuruhku melakukan suatu hal bodoh, aku tidak akan membalas ucapan Anda dengan, ‘Anda bodoh’ dan marah kepada Anda. Sebaliknya, aku akan melihat itu sebagai ‘Anda menyuruhku melakukan suatu hal bodoh agar aku mengambil pelajaran untuk menggunakan pembedaan dan otakku sendiri untuk tidak melakukan itu.’” Dengan kata lain, apapun yang mereka lakukan, kita akan menghormati itu sebagai sebuah ajaran dan mencoba belajar sesuatu dari itu. Tak jadi soal apa yang ada di benak mereka. Pasti inilah artinya ketika dikatakan bahwa kita perlu melihat semua orang sebagai Buddha. Kita melihat segala hal sebagai pelajaran. Jadi, kita bisa belajar dari seorang anak. Ketika seorang anak bertindak nakal atau konyol, kita bisa belajar untuk tidak bertindak seperti itu. Anak itu adalah guru kita. Seekor anjing bisa mengajar kita. Siapapun bisa mengajar kita. Namun, itu memerlukan tingkat kematangan perasaan yang sangat tinggi, bukan – untuk tidak marah dan tidak bersikap menghakimi? Itu adalah laku yang sangat lanjut. Itu bukan sesuatu yang kita bisa lakukan sebagai pemula. Jelas, kita harus melakukan banyak sekali pemeriksaan tentang apakah kita bisa memasuki jenis ikatan ini dengan guru itu atau tidak untuk mampu berhubungan pada tingkat itu. Apakah guru itu mumpuni dan apakah kita mumpuni? Kita bahkan bisa memiliki hubungan seperti itu dengan guru yang dengannya kita tidak punya banyak hubungan pribadi. Ketika kita hanya mengejar ajaranajaran umum yang diberikan oleh seorang guru besar pada sekumpulan besar orang, kita bisa melakukan hal yang sama: “Apapun yang Anda katakan atau lakukan, aku akan belajar dari itu.” Tapi ingat, ini bukan hubungan perjurit dengan jenderal dalam 314
ketentaraan: “Ya pak! Apa yang semestinya saya lakukan? Katakan pada saya. Beri saya perintah. Ya, Pak! Saya akan melakukannya” – sama sekali bukan seperti itu. Sesi Enam: Dua Persoalan Lebih Lanjut – Menjadi Pengikut Buddha dan Kebahagiaan Perpindahan ke Agama Buddha Kita telah berbicara tentang sebagian dari berbagai kesulitan yang dimiliki banyak orang dalam menjalankan ajaran Buddha. Kita melihat bahwa sangat penting memiliki sikap yang makul. Dalam kerangka ini, salah satu penggal saran yang berulang-kali diberikan oleh Yang Mulia Dalai Lama kepada kaum Barat adalah agar sangat berhati-hati dalam berganti agama. Saran beliau memunculkan seluruh persoalan mengenai, ketika kita mengikuti jalan Buddha, apakah itu berarti kita telah berganti agama dan pindah agama dan sekarang, alih-alih memakai salib di leher kita, kita memakai tali merah? Saya berpendapat bahwa, dalam banyak hal, berpikir akad bulat kita pada jalan Buddha dalam kerangka perpindahan agama sangatlah tidak berguna. Pasti, jika kita berkata kita telah berpindah ke agama Buddha, itu sangat menjauhkan orang-orang yang berasal dari agama lahir kita, baik itu Kristen atau Yahudi, dan terutama jika itu Islam. Berpindah dari agama lahir kita tidak mendapat kegembiraan besar dari keluarga atau masyarakat kita, bukan? Mereka melihat itu sebagai penolakan pribadi terhadap mereka. Jadi Yang Mulia selalu berkata bahwa kita harus berhatihati dan sangat halus terhadap keseluruhan persoalan ini, dan saya pikir kita bisa memahami ini dari sudut pandang kejiwaan,
315
selain hanya dari sudut pandang sosial dari keluarga dan masyarakat. Sangat penting dalam hidup untuk mampu menyatupadukan seluruh kehidupan kita sehingga semua bagiannya menyatu secara selaras. Dengan cara ini, kita menjadi nyaman dengan seluruh sejarah hidup kita. Memiliki pandangan yang utuh tentang kehidupan kita memungkinkan kita menjadi lebih seimbang dalam hidup. Kadang-kadang, ketika orang-orang berpindah ke agama lain, yang terjadi adalah mereka memiliki sikap yang sangat negatif terhadap apa yang mereka lakukan sebelumnya. Cara kerja tertentu yang dijelaskan dalam ilmu kejiwaan membantu dalam memahami ini. Ini adalah kebutuhan dasar yang orang-orang miliki untuk setia pada leluhur mereka atau keluarga mereka atau latar belakang mereka supaya merasakan arti harga-diri. Kebutuhan atau dorongan untuk setia guna membuktikan harga-diri kita ini seringkali tidak disadari. Yang terjadi adalah apabila kita menyangkal adanya unsur positif tentang masa lalu kita – katakan agama atau keluarga atau kewarganegaraan – maka secara bawah sadar kita tetap memiliki dorongan untuk setia pada hal itu sehingga, secara bawah sadar, kita menjadi setia pada unsurunsur negatifnya. Ini adalah rupa merusak dari kesetiaan. Rupa Merusak dari Kesetiaan Satu contoh baik tentang rupa yang merusak dari kesetiaan adalah pengalaman yang dimiliki sebagian orang dari bekas Jerman Timur. Seluruh keadaan Jerman Timur ketika disatukan dengan Jerman Barat adalah satu keadaan di mana hampir semua budaya politik Jerman Timur ditolak dan dikenali sebagai hal yang “salah” dan negatif. Yang terjadi adalah segala hal dari tata guna sebelumnya itu dibuang ke tempat sampah dan orang-orang 316
dibiarkan memiliki suatu rasa mengerikan bahwa mereka bodoh dan bahwa mereka telah menghabiskan seluruh hidup mereka dalam sesuatu yang negatif – terutama mereka yang pernah aktif secara politik dalam mendukung negara itu. Jelas, itu mengakibatkan keadaan kejiwaan yang sangat sulit. Yang terjadi kemudian adalah bagi sebagian orang dari Jerman Timur, secara bawah sadar, ada kebutuhan untuk setia pada masa lalu mereka agar memiliki suatu rasa harga-diri, sehingga mereka setia pada unsur-unsur negatif seperti paham totaliter. Dari itu, kita mendapatkan gejala kaum skinhead dan neo-Nazi. Paham neoNazi mengandung kebencian yang sangat kuat kepada kaum asing dan pemujaan pada seseorang dan rasnya. Kesetiaan pada sikap tidak tenggang rasa terhadap orang luar macam ini adalah ciri masyarakat Jerman Timur. Di sisi lain, jika orang-orang bisa menyebutkan dan mengakui unsur-unsur positif masa lalu mereka, ini memungkinkan mereka untuk setia pada hal itu, dan ini menghasilkan penyatupaduan seluruh kehidupan mereka yang jauh lebih baik. Dan di dalam masyarakat Jerman Timur terdapat banyak unsur positif. Satu contohnya adalah hubungan hati-ke-hati yang hangat pada sebagian orang yang bisa saling berbelaskasihan dan saling percaya. Karena mereka semua sangat dikendalikan pihak luar, maka ketika berada dalam lingkungan aman teman-teman, mereka bisa membentuk semacam hubungan yang hangat. Itu sangat positif. Masalah yang sama pada rupa merusak dari kesetiaan ini seringkali muncul ketika kita berpindah agama. Jika kita hanya berpikir, “Agama saya sebelumnya ini bodoh dan buruk” dan kemudian terjun ke dalam sesuatu yang baru seperti agama Buddha, maka lagi-lagi secara bawah sadar kita cenderung 317
memiliki dorongan untuk setia pada masa lalu kita. Dalam kejadiankejadian macam ini, kita tetap setia pada hal-hal negatifnya daripada hal-hal positifnya. Sebagai contoh, jika latar belakang kita adalah Kristen, kita mungkin mendapati bahwa kita menjadi sangat dogmatis atau sangat kaku pada rasa takut terhadap neraka dan pada apa yang semestinya kulakukan dan apa yang tidak semestinya kulakukan, dan kadang-kadang kita juga bisa menjadi sangat picik. Untuk menghindari itu, sangat penting untuk mengakui hal-hal positif dari agama lahir kita, agama keluarga kita, juga hal-hal positif dalam kebudayaan kita – unsur-unsur positif menjadi orang Jerman atau Italia atau Amerika atau apapun latar belakang kita. Ada hal-hal yang tentunya luar biasa positif dalam latar belakang Kristen, dengan semua penekanannya pada kasih dan kedermawanan, terutama membantu kaum miskin, orang sakit, dan yang membutuhkan. Ini luar biasa positif. Tidak ada pertentangan antara itu dan laku Buddha. Kita bisa saja menjadi penganut Kristen sekaligus pengikut Buddha, karena di sini kita tidak perlu membuang unsur-unsur positif dari latar belakang Kristen kita. Apakah kita memahami diri kita sebagai pengikut Buddha atau tidak, saya pikir itu tidak menjadi persoalan dalam ajaran Buddha. Itu tidak pernah menjadi persoalan, seperti yang terjadi di Eropa abad pertengahan, tentang “Apa agamamu?” dan kita harus memperkenalkan diri kita di hadapan Dewan Hakim Gereja. Itu bukan cara Buddha. Kedudukan Pengikut Awam Buddha dalam Masyarakat India Tradisional Saya pikir kita bisa melihat ini dari contoh di India kuno. Di India kuno tempat ajaran Buddha berkembang, tidak ada pembedaan 318
yang sangat kentara antara umat Buddha dan Hindu. Kita memiliki pendapat yang salah bahwa ajaran Buddha di India tidak mengenal kasta dan bahwa Buddha menentang sistem kasta. Tapi sebenarnya itu hanya terjadi pada komunitas yang telah ditahbiskan. Bagi para biksu dan biksuni tidak ada kasta, tapi itu tidak terjadi pada para pengikut awam Buddha. Kita melihat dalam sebagian prasasti di reruntuhan dinding-dinding wihara Buddha kuno bahwa “Uang ini disumbangkan kepada wihara oleh brahmana dan seterusnya.” Prasasti-prasasti ini selalu menyebutkan kasta orang awam yang menjadi penyokongnya. Itu adalah petunjuk yang jelas bahwa pengikut awam Buddha tidak membentuk komunitas yang terpisah dari umat Hindu; mereka adalah bagian dari masyarakat Hindu. Itu berarti di India tidak ada upacara perkawinan Buddha tersendiri dan hal-hal semacamnya. Pengikut awam Buddha India benar-benar mengikuti adat-istiadat Hindu untuk itu. Ada beberapa keuntungan dan kerugian pada hal itu. Keuntungannya adalah bahwa pada dasarnya semua orang di India adalah bagian dari masyarakat yang menyatu dan tiap-tiap orang mengikuti aliran dan guru rohani mereka sendiri. Jadi, baik Anda mengikuti satu aliran Buddha maupun mengikuti rupa ajaran Hindu manapun, itu tidak akan jauh berbeda, karena masyarakat itu sendiri menyatukan semua orang secara selaras tanpa ada yang dengan lantang berkata, “Aku penganut Hindu” atau “Aku pengikut Buddha.” Tentu saja, jika Anda menjadi biksu atau biksuni, itu jelas merupakan akad-bulat yang kuat dalam memasuki komunitas yang terpisah. Itu berbeda. Kita sedang berbicara tentang kedudukan orang awam dalam masyarakat India tradisional. 319
Kerugiannya adalah ketika wihara-wihara Buddha itu tidak aktif lagi di India, sebagian besar pengikut Buddha sangat mudah terserap ke ajaran Hindu, terutama sejak ajaran Hindu mengakui Buddha sebagai rupa Wisnu, Dewa mereka. Jadi sangat mudah bagi mereka untuk berbakti kepada Buddha dan menjadi penganut Hindu yang sangat taat. Mengikuti Ajaran Buddha dan Tetap Pergi ke Gereja Jelas kita butuh keseimbangan untuk tidak pergi ke keekstreman sekadar menyepelekan ajaran Buddha atau keekstreman “Aku berpindah ke agama Buddha dan kini aku dilarang pergi ke gereja.” Pertanyaannya sebenarnya menjadi, “Apa arti berlindung sebagai upacara dan apakan itu berarti kini aku menjadi pengikut Buddha dalam arti perpindahan Kristen seperti pembaptisan?” Saya pikir itu tidak sama dengan pembaptisan. Saya pikir tidak berguna melihatnya dengan cara itu. Saya percaya bahwa jalan rohani yang kita ikuti sebaiknya adalah sesuatu yang sangat pribadi. Berjalan-jalan dengan tali merah kotor melingkar di leher kita, terutama jika kita punya 30 buah, membuat kita tampak benar-benar aneh – sedikit seperti kaum Ubangi Afrika dengan lilitan-lilitan logam di leher mereka. Jika kita ingin memiliki tali itu, kita bisa menyimpannya secara pribadi, untuk diri kita sendiri, misalnya di dalam dompet kita atau semacamnya. Kita tidak perlu memperlihatkan apa yang kita lakukan. Tidak ada alasan untuk merasa bahwa kita dilarang pergi ke gereja atau bahwa itu mengancam akad-bulat kita pada ajaran Buddha. Seringkali ketika orang-orang berpaling ke ajaran Buddha, pada awalnya mereka menjadi bersikap membelanya. Itu karena mereka merasa tidak aman dan belum nyaman dengan itu. Jadi, untuk 320
membenarkan pilihan jalan rohani kita, kita secara kejiwaan merasa bahwa “Aku tidak boleh pergi ke gereja dan aku tidak bisa memikirkan hal positif tentang masa laluku.” Itu adalah kesalahan besar. Jelas, jika kita secara tulus mengikuti jalan rohani Buddha, kita perlu mencurahkan semua tenaga kita ke dalamnya. Namun, itu tidak bertentangan dengan menjalankan welas asih Kristen dan diilhami oleh sosok-sosok Kristen seperti Bunda Theresa dan berusaha melayani kaum miskin seperti yang ia lakukan. Itu sama sekali tidak bertentangan dengan jalan Buddha. Bagaimana mungkin ini bertentangan? Jika kita menjalankan laku meditasi dan berbagai jenis latihan Buddha dalam hidup kita, tidak ada alasan itu membuat kita merasa tidak nyaman untuk pergi ke gereja jika itu adalah hal yang memang perlu dilakukan. Itu tak masalah. Dan ketika kita pergi ke gereja dalam keadaan itu, tidaklah berguna duduk di sana dan merasa terancam oleh tindakan kita sehingga kita harus mengucapkan mantra-mantra sepanjang waktu. Jika kita pergi ke gereja sebagai pelaku Buddha, tidak ada salahnya untuk ikut serta. Yang penting adalah sikap kita selama berada di dalam gereja. Sekarang, jelas, dalam rupa agama teratur manapun, kita akan mendapati hal-hal yang menarik dan hal-hal yang tidak terlalu menarik. Jadi jika kita dalam keadaan di mana keluarga kita berkata, “ Ini liburan yang istimewa; pergilah ke gereja – ini Natal” atau apapun itu, maka mengatakan “Aku tidak akan pergi ke gereja bersama kalian, aku pengikut Buddha” benar-benar menyinggung perasaan mereka. Mereka menganggap itu sebagai penolakan. Jadi lebih baik pergi ke kebaktian Natal bersama keluarga kita. Alih-alih memusatkan pada hal-hal yang mungkin menjengkelkan kita dalam agama Kristen dan yang mungkin kita kecam di masa 321
lalu, pusatkan pada hal-hal positif, karena di sana terdapat hal-hal positif. Dengan cara ini, secara batin, secara kejiwaan, hasilnya kita merasa menjadi orang yang jauh lebih utuh. Kita telah berdamai dengan sejarah pribadi kita. Itu benar-benar sangat berguna. Kebahagiaan Menemukan perdamaian dengan diri kita sendiri membawa kita pada pokok tentang “Apa kedudukan kebahagiaan dalam ajaran Buddha?” Saya pikir persoalan yang sangat besar bagi banyak pendatang baru yang mendekati ajaran Buddha, terutama jika mereka berasal dari agama yang menekankan bahwa kita semua pendosa, adalah, “Apakah aku boleh bahagia?” Kita mendengar dalam ajaran-ajaran Buddha bahwa segala sesuatu adalah duka dan bahwa kita bisa mati kapan saja, jadi jangan menyia-nyiakan waktu. Maka, seringkali kita mendapat rasa bahwa kita tidak diperbolehkan pergi ke bioskop atau bersantai atau bersenangsenang. Itu adalah kesalahpahaman besar. Kita harus lebih dulu melihat pengertian kebahagiaan dan memahami apa itu kebahagiaan. Sebagian orang bahkan tidak tahu bahwa mereka bahagia atau apa itu kebahagiaan. Mereka harus bertanya pada orang lain, “Bagaimana pendapatmu, apakah aku tampak seperti orang yang bahagia?” Ada beberapa pengertian kebahagiaan dalam ajaran Buddha. Pengertian utamanya yakni kebahagiaan adalah rasa yang matang dari tindakan-tindakan membangun yang positif. Ini adalah matangnya karma positif. Jika itu pengertian kebahagiaan, maka jelas dalam ajaran Buddha kita ingin bersikap membangun sehingga kita bisa mengalami kebahagiaan sebagai hasilnya. Dengan laku Buddha, kita berusaha untuk bersikap positif dan 322
membangun; oleh karena itu, jelas, kita akan mengalami kebahagiaan sebagai hasil dan kita “diperbolehkan” mengalaminya. Jadi tidak mungkin ajaran Buddha mengatakan bahwa kita tidak boleh bahagia. Jika kebahagiaan tidak diperbolehkan dalam ajaran Buddha, maka umat Buddha akan bersikap merusak sepanjang waktu, karena itu akan memastikan bahwa mereka tidak akan bahagia! Juga, ada pelajaran dasar dalam ajaran Buddha bahwa semua orang ingin bahagia dan tak seorangpun ingin tidak bahagia. Jika itu kejadiannya dan, dengan kasih, kita berharap semua orang bahagia, dan kita juga berupaya untuk membawa kebahagiaan pada semua orang, jelas kita juga berharap diri kita sendiri bahagia dan kita berupaya untuk membawa kebahagiaan pada diri kita. Kebahagiaan juga diartikan sebagai rasa yang ketika ia muncul, kita ingin ia berlanjut; dan ketika ia pergi, kita ingin ia kembali lagi, tapi tidak dalam jenis cara berpegang erat. Intinya, kebahagiaan itu rasanya menyenangkan. Pokok-Pokok Kebingungan Mengenai Kebahagiaan Kebingungan tentang persoalan kebahagiaan tampaknya muncul pada dua pokok. Pertama adalah bahwa kita seringkali berpikir bahwa untuk mengalami kebahagiaan, rasa itu harus hebat. Pokok lainnya adalah kebingungan tentang apa rupa kebahagiaan agar memenuhi syarat sebagai kebahagiaan. Pokok kedua ini berhubungan dengan pertanyaan apa sebenarnya sumber kebahagiaan? Pertama-tama, kebahagiaan tidak harus hebat agar dianggap sebagai kebahagiaan. Seringkali kita berpikir bahwa sebuah rasa 323
perlu benar-benar kuat agar betul-betul ada. Kita punya semacam sikap Hollywood terhadap banyak hal. Jika sebuah perasaan positif ada pada tingkat kekuatan yang rendah, itu tidak menghasilkan film yang bagus; itu tidak menghasilkan pertunjukan yang bagus. Jadi rasa itu harus sangat kuat, mungkin bahkan dengan musik yang hebat di latar belakangnya. Tidak seperti itu. Seperti yang pernah saya katakan, kebahagiaan adalah rasa yang kita alami sebagai sesuatu yang menyenangkan dan kita ingin rasa ini berlanjut – ini sangat menyenangkan. Kebahagiaan tidak harus berupa kegairahan mencolok khas Amerika Latin atau Italia seperti “Whoopie! Wow! Fantastico.” Kebahagiaan juga bisa bergaya Inggris yang lebih lunak. Mengenai pokok kedua, ingat, ketika kita berbicara tentang merasakan tingkat kebahagiaan atau ketidakbahagiaan, itulah cara kita mengalami matangnya karma kita – itulah cara kita mengalami hal-hal dalam hidup kita. Maka pertanyaannya adalah dalam rupa apa kita akan mengalami kebahagiaan itu? Apakah rupa kebahagiaan kita itu berhubungan dengan keadaan ketika kita terhibur, girang, teralih dari kehidupan kita yang membosankan, atau bersenang-senang? Apakah kita harus bersenang-senang agar sebuah rasa memenuhi syarat sebagai kebahagiaan? Dan, pada tingkat yang lebih mendasar, apakah melakukan sesuatu untuk bersenang-senang adalah sumber kebahagiaan yang sebenarnya? Kesenangan “Kesenangan” adalah kata yang sangat menarik. Ini sangat susah diartikan. Pernah saya bersama guru saya Serkong Rinpoche di Belanda, dan orang-orang yang tinggal bersama kami memiliki kapal pribadi yang sangat besar – sebuah yacht. Suatu hari, 324
mereka menawarkan untuk membawa kami ke kapal mereka untuk “ bersenang-senang.” Kapal itu berada di sebuah danau yang sangat kecil – kapal sangat besar di danau yang sangat kecil. Di sana juga terdapat banyak kapal besar dan kapal kecil lain. Kami pergi ke kapal ini dan mengitari danau bersama semua kapal lain, yang mengingatkan saya pada taman ria tempat anak-anak mengendarai mobil-mobil kecil berkeliling dengan jalur melingkar. Seperti itu. Tak lama kemudian, Serkong Rinpoche berpaling kepada saya dan bertanya dalam bahasa Tibet, “Inikah yang mereka sebut ‘kesenangan?’” Maksud saya adalah jika kita melihat kebahagiaan dalam kerangka sebab dan akibat, apa sebab bahagia? Dari sudut pandang Buddha, sebab kebahagiaan adalah perilaku yang membangun. Sebabnya bukan pergi keluar dan melakukan hal tidak penting untuk “bersenang-senang,” yang kemudian akan membuat kita bahagia. Kita bisa pergi keluar dan melakukan sesuatu yang dianggap “menyenangkan” oleh masyarakat, seperti pergi ke kapal ini atau pergi ke bioskop atau pesta atau semacamnya, dan menjadi sepenuhnya sengsara. Di sisi lain, kita bisa duduk menghadapi pekerjaan kita di kantor dan menjadi sangat bahagia dan puas. Jadi, jika kita telah membangun sebab-sebab kebahagiaan, yakni perilaku yang membangun, maka kita akan mengalami kebahagiaan dalam keadaan apapun dan tidak perlu hanya dalam keadaan yang secara turun-temurun disebut “kesenangan.” Ketika kita punya pilihan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana kita akan menggunakan waktu kita, kita mungkin memilih untuk bekerja, atau bersantai, berolahraga, pergi berenang, atau apapun. Tapi saya pikir penting untuk memiliki 325
pemahaman yang jelas di benak kita mengenai apa sumber kebahagiaan yang ada dalam kegiatan itu. Kita bisa memilih untuk pergi berenang atau bekerja sesuai dengan patokan bahwa “Aku ingin melakukan ini agar bahagia,” tapi saya pikir ada patokan lain yang bisa kita gunakan. Patokan lain itu bisa jadi adalah “Aku sudah bekerja sangat keras. Aku sangat lelah dan, agar lebih berguna dalam hidupku untuk diriku dan untuk orang lain, akan jauh lebih berhasil-guna untuk bersantai saat ini. Melanjutkan bekerja tidak akan berhasil-guna lagi.” Jika kita bisa menggunakan perumpamaan, kuda harus pergi ke padang rumput dan merumput; ia tidak bisa berlari terus-menerus. Hidup itu sulit, yang merupakan Kebenaran Mulia Pertama. Sulit memiliki tubuh seperti ini. Tubuh kita tidak mampu bekerja dua puluh empat jam sehari terus-menerus. Kita harus bersantai; kita harus tidur; kita harus makan. Tidak perlu merasa bersalah tentang itu. Kita sudah membahas persoalan rasa bersalah ketika kita berbicara tentang menerima fakta bahwa hidup itu sulit. Ini adalah fakta bahwa hidup berisi segala macam masalah. Jika kita bisa menerima fakta itu, kita tidak perlu merasa bersalah tentang itu. Tapi, jika kita memiliki gagasan bahwa “Sekarang aku harus bersenang-senang,” dan kita memaksakan diri untuk bersenangsenang dan bahagia, itu biasanya tidak berhasil. Jika kita tidak punya pengharapan bahwa pergi ke bioskop atau berenang atau keluar ke restoran akan membuat kita bahagia atau pengharapan bahwa bersenang-senang seperti ini berarti kita bahagia, maka kita tidak akan kecewa. Tapi sangat mungkin bahwa kegiatan-kegiatan ini akan membantu kita untuk mengisi-ulang baterai kita, dalam arti memberi kita lebih banyak tenaga dan sebagainya dengan bersantai. Mereka bisa melakukannya – tapi hanya mungkin, tidak 326
ada jaminan. Apakah kita bahagia atau tidak ketika melakukan kegiatan-kegiatan itu adalah persoalan lain. Dan juga, jika kita mengalami suatu tingkat kebahagiaan saat melakukan kegiatan itu, itu tidak harus berupa pengalaman yang hebat a la orang Latin. Ini berlaku tidak hanya pada pergi ke bioskop atau pergi berenang, tapi ini juga sangat berguna untuk diingat dalam kerangka hubungan kita dengan orang lain – pertemanan dan melewatkan waktu bersantai dengan orang lain. Sebagian orang berpikir bahwa ketika mereka pergi mengunjungi seorang teman, mereka harus pergi “melakukan sesuatu” bersama-sama: mereka harus pergi keluar dan bersenang-senang bersama, melakukan sesuatu. Mereka tidak bisa benar-benar menghargai tingkat rendah kebahagiaan dan kepuasan dengan hanya bersama teman itu, tanpa mempermasalahkan apa yang mereka lakukan. Mereka bahkan bisa pergi ke supermarket bersama dan membeli bahanbahan makanan, atau mencuci pakaian kotor. Saya mendapati pokok ini sangat berguna dan saya pikir secara umum memahami ini sangat berguna agar mampu melepaskan pengharapanpengharapan aneh tentang apa itu kebahagiaan atau memiliki rasa bersalah tentang itu. Mengenali Tingkat Kebahagiaan yang Kita Rasakan Mari melakukan sedikit pengamatan-diri. Mari duduk dan hanya mengalami berada di sini dan mencoba memperhatikan apa rasa yang kita miliki. “Rasa” di sini diartikan menurut pengertian Buddha yang kedua dari lima gugusan – yaitu, rasa adalah cara di mana kita mengalami apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita pikirkan, dan seterusnya, dalam kerangka variabel senang, tidak senang, atau netral. Cobalah untuk menyadari dan mengenali itu. Kita tidak berbicara tentang merasakan panas atau merasakan 327
dingin, atau merasakan suatu sensasi ragawi seperti kenyamanan atau kesakitan. Adalah tingkat kebahagiaan atau ketidakbahagiaan yang menyertai kegiatan ragawi atau batin, dalam arti mengalaminya sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sebagai contoh, saya mendapati bahwa memandangi bungabunga di vas ini menyenangkan. Lihatlah bunga-bunga ini. Apa yang Anda rasakan? Bagaimana Anda mengalami itu? Cobalah mengenali dan menyadari rasa pada suatu tingkat kebahagiaan yang Anda alami ketika Anda memandang bunga-bunga ini atau gambar-gambar di dinding itu, atau Anda memandang keluar dan melihat pepohonan itu – tingkat kebahagiaan apa yang Anda rasakan? Kita mencoba menyadari bahwa, sebenarnya, kita memiliki banyak kebahagiaan. Ini bukan pengalaman yang luar biasa a la Brasil, tapi ia ada. Mari, amati dalam diri Anda apa rasa itu. Dan simpan dalam benak Anda bahwa kebahagiaan adalah rasa yang, ketika ia muncul, kita ingin ia berlanjut, dan jika ia pergi, kita ingin ia kembali. Dan ketidakbahagiaan adalah rasa yang, ketika kita mengalaminya, kita ingin ia berakhir; kita ingin ia pergi. [jeda] Saya pikir berlatih seperti ini tidak perlu menjadi latihan meditasi yang resmi. Sebaliknya, ini adalah hal yang bisa kita lakukan kapan saja, untuk menjadi lebih menyadari bahwa di banyak waktu kita sebenarnya bahagia. Yang terjadi bukanlah “Aku tidak merasakan apa-apa,” yang mungkin ada di benak sebagian dari kita. Apakah ada tanggapan? 328
Peserta: (penerjemah) Sulit untuk beralih dari mula-mula mendengarkan Anda, yang adalah proses aktif, untuk kemudian langsung harus merasakan apa yang terjadi. Ia merasa sedikit bingung dengan pengamatan ini. Pagi tadi ketika ia melintasi sebuah taman, ia mengalami rasa yang sangat terbuka ini; ia mengalami rasa “Ya, segala sesuatunya baik-baik saja dan aku sungguh bahagia” dan ini terjadi secara sangat alami. Alex: Saya pikir hal yang sangat penting adalah mampu menyadari bahwa kita memiliki rasa secara terus-menerus, baik ketika kita sedang melakukan sesuatu yang kita dapati sangat menenangkan maupun ketika kita sedang melakukan sesuatu yang sangat giat. Kadang-kadang kita terlalu banyak pikiran di kepala kita dan kita tidak benar-benar menyadari bahwa, kenyataannya, ada mutu tertentu untuk bagaimana kita mengalami segala hal dan bahwa mutu itu adalah sisi bahagia dan tidak bahagia ini. Ini terjadi sepanjang waktu. Pentingnya hal ini adalah karena kita terlalu sering pergi ke keekstreman “malangnya aku” dan “aku tidak bahagia dan aku ingin bersenang-senang. Aku tidak ingin berada di kantor yang membosankan ini” dan kita memiki segala keluhan macam ini. Tapi, kenyataannya, kita bisa mengalami terjebak dalam kemacetan jalan yang parah dengan rasa kebahagiaan dan kepuasan yang damai dan mendalam. Ingat, kebahagiaan tidak harus hebat. Peserta: Apakah ada perbedaan antara apa yang terjadi di benak Anda dan apa yang terjadi di hati Anda? Orang Tibet selalu menunjuk di sini di hati untuk rasa Anda. Alex: Orang Tibet juga menunjuk di sini untuk berpikir. Dari sudut pandang Tibet, semua unsur kecendekiaan, perasaan, dan rasa 329
dari pengalaman-pengalaman tentang sesuatu berasal dari satu tempat dan mereka menempatkannya di dalam hati. Sebenarnya, tak masalah di mana mereka menempatkannya. Mereka dilihat secara keseluruhan, bukan sebagai percabangan atau pemisahan antara raga dan cita, atau cendekia dan rasa, seperti yang sering berlaku di Barat. Jadi, kita bisa berbahagia pada waktu yang sama ketika secara cendekia terlibat sesuatu. Seperti yang saya katakan, ini sangat penting untuk disadari terutama dalam hubungan dengan orang lain. Kadang-kadang kita berpikir, “Aku harus punya hubungan percintaan agar benar-benar bahagia” – seperti pengalaman remaja belasan tahun. Faktanya, merasakan kebahagiaan ketika berada dalam hubungan percintaan dengan seseorang bisa memiliki tataran kekuatan yang rendah, tapi meskipun begitu tetap sangat memuaskan.
330
Sesi Tujuh: Laku Tantra Tantra adalah Laku Tingkat Lanjut Selama sesi terakhir kita ini, mari berbicara sedikit mengenai tantra. Kita juga perlu membawa tantra membumi. Seringkali, kaum Barat, ketika mendekati ajaran-ajaran tantra dalam aliran Buddha Tibet, jatuh ke dalam satu dari dua keekstreman. Satu keekstreman adalah takut pada tantra dan tidak ingin terlibat sama sekali dengan tantra. Keekstreman lainnya adalah ingin terjun langsung ke dalam tantra seketika itu juga. Kedua keekstreman itu masing-masing memiliki kekurangan. Tantra adalah laku yang sangat lanjut. Ini bukan sesuatu yang perlu ditakutkan maupun sesuatu yang melibatkan diri kita sebelum waktunya. Dalam laku kita pada tingkat sutra ajaran Buddha, tingkat-tingkat awal, apa yang kita lakukan pada dasarnya belajar mengembangkan banyak sekali ragam mutu yang akan membantu kita baik untuk memperbaiki samsara, memperoleh pembebasan, maupun untuk menjadi seorang Buddha sehingga kita bisa membantu orang lain sepenuh mungkin. Mencapai tujuan-tujuan tersebut memerlukan pengembangan pemusatan, kasih dan welas asih, pemahaman yang tepat dan mendalam tentang ketidaktetapan, kehampaan, penyerahan, dan seterusnya. Semua ini sangat penting sebagai sebab untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Meskipun kita bisa menggambarkan tantra dalam berbagai macam cara, satu unsur laku tantra adalah bahwa inilah adalah cara untuk menyatukan semua laku dan menjalankan mereka semua sekaligus. 331
Jelas kita tidak bisa menjalankan semua hal itu secara serempak jika kita belum mengembangkan mereka satu-per-satu lebih dulu. Langsung terjun ke dalam laku tantra tanpa lebih dulu mengembangkan mutu-mutu itu akan memperburuknya menjadi sekadar laku upacara tanpa muatan dan kedalaman. Untuk benarbenar memperoleh manfaat yang mendalam dari sebuah upacara, ia harus dilihat sebagai pranata untuk menyatukan semua mutu yang telah kita kembangkan. Sebagai contoh, kita perlu berhaluan perlindungan yang aman dan positif dalam hidup kita. Apa yang kita lakukan dengan laku upacara tantra? Hanyalah: kita akan berjalan dalam haluan aman ini dengan berusaha mengembangkan diri kita melalui upacara itu. kita tidak melakukan upacara itu sebagai hiburan atau, seperti pergi ke Disneyland, sebagai pengalihan dan pelarian dari hidup sehari-hari kita. Sebaliknya, kita menggunakan laku upacara itu sebagai cara untuk membantu pengembangan-diri kita guna mencapai berbagai tujuan Buddha. Tujuan-tujuan itu adalah Tiga Permata Perlindungan: apa yang Buddha ajarkan, apa yang ia capai secara penuh, dan apa yang dicapai oleh Sangha berpemahaman tinggi secara sebagian. Pentingnya Memiliki Penyerahan Penyerahan adalah bagian lain yang amat sangat penting dari laku tantra sehingga kita juga perlu menekankan pada apa yang diacunya. Penyerahan memiliki dua unsur. Pertama adalah tekad yang kuat untuk bebas dari masalah-masalah kita. Unsur itu memungkinkan kita untuk menggunakan laku tantra sebagai cara untuk membebaskan diri kita dari masalah dengan mencapai pencerahan. Jika kita tidak memiliki unsur penyerahan ini, tekad 332
untuk bebas ini, kita tidak akan mampu menerapkan laku-laku itu pada diri kita sebagai bagian tak terpisahkan dari jalan rohani kita. Unsur penyerahan lainnya adalah kerelaan untuk menyerahkan tidak hanya duka kita, tapi sebab-sebab duka kita. Ini sangat penting. Jika kita tidak rela untuk menyerahkan sebab-sebab duka kita, tidak mungkin kita akan bebas dari duka itu, tak peduli seberapa besar kita ingin terbebas darinya. Sayangnya, sebab duka kita bukan hanya suatu hal sepele seperti pergi ke bioskop atau makan cokelat atau bahkan berhubungan kelamin. Sebab duka kita adalah sesuatu yang mencakup-semua dalam hidup kita. Pada satu tingkat, ini adalah semua sifat kepribadian negatif kita – segala kemarahan, kemelekatan, kecongkakan, kecemburuan kita, dan seterusnya. Jika kita masuk sedikit lebih dalam, ini meliputi ketidakamanan, kecemasan, kekhawatiran kita. Dan jika kita masuk semakin dalam lagi, ini adalah kebingungan kita – ini adalah segenap kesalahan-pengartian yang kita miliki tentang diri kita dan segala sesuatu dalam kehidupan. Bahkan yang lebih dalam daripada itu, apa yang sebenarnya perlu kita singkirkan adalah jenis cita biasa kita yang membuat hal-hal tampak secara tidak sesuai dengan kenyataan. Berdasarkan pada apa yang disebut “kenampakan-kenampakan yang tidak murni” ini, ketidaksadaran kita bahwa mereka bersifat menipu dan palsu membuat kita percaya bahwa mereka benar. Semua masalah kita berasal dari itu. Bukan cita itu sendiri masalahnya; masalahnya adalah tindakan atau kerja penciptaan-kenampakan yang menipu dari cita kita dan keyakinan kita yang keliru bahwa kenampakan-kenampakan ini adalah benar. Maka, sebab dari masalah-masalah kita juga bukan 333
kenampakan-kenampakan yang dihasilkan cita itu sendiri. Adalah kesalahan besar berpikir bahwa masalahnya terletak pada kenampakan-kenampakan itu sendiri. Berpikir seperti itu adalah kesalahan yang muncul akibat salah memahami kata Tibet nangwa, yang bisa berarti “kenampakan” atau “penciptaankenampakan.” Ketika kita berbicara tentang menyingkirkan “kenampakan biasa” atau “kenampakan ganda,” kita tidak berbicara tentang kata benda; kita tidak berbicara tentang kenampakan “di luar sana.” Kita berbicara tentang cara menjadi sadar akan sesuatu; kita berbicara tentang kata kerja. Utamanya, kita berbicara tentang kerja cita yang menyebabkan hal-hal tampak secara tidak sesuai dengan kenyataan. Itulah yang kita coba singkirkan dari diri kita; itulah yang kita coba peroleh penghentian sejatinya. Dan sayangnya, hidup itu sulit – cita kita terus-menerus membuat sesuatu tampak dalam cara-cara yang gila, tanpa awal. Sebagai contoh, meskipun kita memiliki suatu pemahaman tentang ketidaktetapan dan tentang tak ada diri yang padu, tetap saja ketika kita bangun di pagi hari dan memandang diri kita di cermin, cita kita membuatnya tampak seolah-olah kita adalah orang yang sama dengan diri kita tadi malam, sama persis. Seolah-olah kita tak pernah berubah. Atau, kaki kita terluka dan cita kita membuatnya tampak seolah-olah ada “aku” yang terpisah dari kaki: “AKU melukai kakiKU.” Cita bersekat kita, berdasar pada bahasa kita, membuat hal-hal tampak seperti itu. Apa yang perlu kita rela serahkan adalah seluruh kerja cita dalam membuat hal-hal tampak seperti ini – yang, sayangnya, kita sudah sangat akrab dengan itu – dan semua kebingungan, masalah, 334
kekhawatiran dan seterusnya yang berasal dari ini. Jika kita tidak rela untuk menyerahkan itu, bagaimana mungkin kita bisa mencapai peralihan diri kita, citra-diri kita, dan segala macam hal ini dengan tantra? Tanpa rela menyerahkan citra-diri biasa kita, yaitu citra-diri “aku” yang padu dengan suatu jati diri yang padu, untuk kemudian menjadikan diri kita sebagai sesosok dewa, itu jalan menuju skizofrenia daripada jalan menuju pembebasan. Kita akan tetap memiliki gagasan yang gila, sepenuhnya marah, dan melekat tentang diri kita. Kemudian kita akan menambahkan kesombongan bahwa “ Aku adalah dewa.” Kemudian kita bisa dengan mudah mendapati kegilaannya dengan berkata, misalnya, “ Aku marah: itulah unsur murkaku sebagai dewa.” Atau kita pergi dan berhubungan kelamin dengan seseorang yang kita temui karena, “Akulah dewa dengan pendamping, dan inilah laku tantra yang tinggi untuk berhubungan kelamin dengan semua orang.” Semua itu adalah bahaya besar yang bisa terjadi jika kita terjun langsung ke dalam tantra tanpa memiliki landasan pada keteguhan untuk bebas – penyerahan citra-diri biasa kita. Dan untuk menyerahkan citra-diri itu, memang perlu memiliki pemahaman yang tepat tentang kehampaan; karena jika tidak, bagaimana kita bisa membuat peralihan pada pengartian kita tentang diri kita? Tanpa pemahaman yang tepat, kita bisa menjadi sepenuhnya gila, berpikir, “Segala sesuatu di sekelilingku adalah mandala dan sempurna dan semua orang adalah Buddha” dalam cara yang sangat aneh, dan kemudian kita bahkan tidak memperhatikan ketika kita menyeberang jalan dan kita tertabrak mobil. 335
Selain itu, memang penting untuk memiliki kasih, welas asih, dan bodhicita. Kita menjalankan semua laku ini untuk menjadi bantuan bagi orang lain dan tidak membawa masalah bagi orang lain. Bodhicita benar-benar menggerakkan kita untuk menerapkan semua ini sebagai sebuah cara untuk menghadapi dunia dan menghadapi orang lain. Tanpa itu, kita sangat mudah jatuh ke Disneyland Buddha, jatuh seorang diri ke suatu negeri khayali yang aneh. Ketika kita menjalankan laku-laku tantra, kita membayangkan bahwa kita memiliki semua tangan dan kaki ini dan kita dikelilingi oleh cahaya lima warna, dan seterusnya. Tiap-tiap hal ini adalah perlambang dari berbagai pemahaman, berbagai mutu seperti kasih, welas asih, lima jenis kesadaran mendalam, dan sebagainya. Dengan membayangkan hal-hal itu dalam rupa gambar, seperti lengan dan kaki yang banyak, ini membantu kita membangkitkan mereka semua secara serempak. Ini dalam arti bahwa tantra adalah laku yang sangat lanjut dan memerlukan persiapan besar untuk mampu menjalankannya secara tepat. Perlunya Laku-Laku Pendahuluan Ketika kita berbicara tentang jenis-jenis persiapan lain, seperti sujud-sembah dan pengulangan seratus-bunyi Vajrasattwa, itu sebagai tambahan pada apa yang baru saja kita bahas. Mereka membantu kita membangun daya positif untuk berhasil dalam laku tantra kita dan untuk memurnikan kita dari daya negatif yang menghalanginya. Tapi, hanya menjalankan laku-laku pendahuluan ini saja, tanpa memiliki unsur-unsur kasih, welas asih, pemusatan, kehampaan, dan seterusnya yang menyertainya, tidak akan cukup untuk membawa keberhasilan. Sebagai contoh, kita bisa saja melakukan ratusan ribu sujud-sembah untuk suatu alasan neurotik 336
sebagai dorongan kita. Ini bisa saja untuk menyenangkan guru kita; bisa saja untuk bergabung dalam perkumpulan “orang-orang istimewa”; ini bisa saja sebagai hukuman terhadap diri sendiri karena menjadi orang yang “buruk”; atau hal-hal semacamnya. Laku-laku pendahuluan ini perlu dilakukan bukan hanya berdasar pada segala macam unsur Dharma, seperti kasih dan welas asih, tapi mereka perlu ditujukan untuk memajukan perkembangan kita pada unsur-unsur itu. Ini mirip dengan yang telah kita bahas mengenai bagaimana membuat kemajuan dalam pemahaman kita tentang kehampaan atau apapun, dan bagaimana, untuk itu, ini penting untuk membangun banyak daya positif dan membersihkan penghalang-penghalang pikiran. Laku-laku seperti sujud-sembah ini membantu kita membangkitkan tenaga positif agar mampu menyatukan semua unsur Dharma. Jika kita tidak memiliki unsurunsur yang perlu kita satukan ini, tenaga positif dari laku-laku pendahuluan saja tidak akan cukup. Rupa membangun daya positif dan membersihkan penghalang ini bisa saja rupa yang secara turun-temurun tertata, tapi tidak harus seperti itu. Rupa itu bisa saja merawat anak-anak kita; itu bisa saja bekerja di rumah sakit – apapun hal membangun atau positif yang kita lakukan berulang-ulang. Ini contoh lazimnya: Buddha memiliki seorang murid yang sangat sulit yang tidak punya muatan kecendekiaan tinggi. Sebagai laku pendahuluan bagi orang ini, Buddha menyuruhnya membersihkan candi selama beberapa tahun, sambil mendaras, “Kotoran akan hilang; kotoran akan hilang.” Itulah laku pendahuluan orang ini. Buddha tidak menyuruhnya melakukan sujud-sembah. Jadi, Kita perlu sedikit luwes dan memahami bahwa hal pentingnya adalah cara 337
pembangunan dan pemurnian itu sendiri. Pranata untuk cara itu bisa disesuaikan menurut keadaan tiap-tiap orang. Guru Rohani dan Bersumpah Di sisi lain, tidak ada yang perlu ditakutkan dari tantra dan merasa, “Aku tidak ingin terlibat dalam hal ini.” Tapi kita perlu berhati-hati tentang itu dan melakukannya dengan benar. Untuk itu, hubungan dengan guru rohani sangatlah penting karena sekali lagi, seperti yang telah kita bahas, ketika kita melihat guru sebagai salah satu dari dewa-dewi itu, rupa-rupa Buddha itu, ini juga berlaku sebaliknya: ini memungkinkan kita melihat sosok-sosok Buddha itu sebagai manusia. Dengan kata lain, kita belajar apa arti menerjemahkan semua laku tantra ini ke dalam kehidupan manusia. Itu sangat penting. Jika tidak, kita bisa memiliki gagasangagasan yang sangat aneh tentang apa arti membayangkan diri kita dalam rupa-rupa itu sepanjang hari. Hal lain yang sangat penting mengenai tantra adalah mengambil rangkaian-rangkaian sumpah tertentu – sumpah awam, sumpah bodhisattwa, dan, dalam dua golongan tantra tertinggi, sumpah tantra. Tapi kita harus berhati-hati agar tidak bersumpah dari sudut pandang pemikiran bahwa kita ada sebagai “aku” yang padu dan “Aku semestinya melakukan ini dan aku tidak semestinya melakukan itu.” Jadi pemahaman tentang kehampaan sangatlah penting supaya mampu bersumpah dalam cara yang tidak neurotik, sehingga kita tidak membawa rasa bersalah tentang apa yang kita lakukan di masa lalu atau apa yang akan kita lakukan di masa depan, atau rasa bahwa kita kehilangan kendali karena mengambilsumpah-sumpah ini/, atau “Sekarang aku telah memberikan kendali kepada orang lain dan sekarang aku menjadi budak guru ini.” Jika kita berpikir seperti itu, dalam kerangka 338
permasalahan kendali, kita akan menjadi sangat takut bersumpah, sehingga kita tidak mau terlibat sama sekali dengan tantra. Untuk mengatasi semua itu dan agar mampu mengambil dan menjaga sumpah-sumpah dalam cara yang tidak neurotik, sekali lagi kita perlu pemahaman tentang kehampaan. Dan lagi-lagi, untuk menjalankan laku tantra, kita BUTUH penyerahan, bodhicita, dan pemahaman tentang kehampaan. Jika kita telah siap secara tepat, maka tantra sangatlah penting karena ia memungkinkan kita menyatukan semua laku. Sudah selayaknya kita bersikap sangat waspada dan berhati-hati dan tidak terjun ke dalamnya sebelum kita siap, tapi kita juga perlu menghindari berpikir, “Aku tidak akan pernah siap sehingga aku tidak pernah ingin melibatkan diriku dalam laku ini.” Kita perlu suatu jalan tengah dalam pendekatan kita. Kapan Pemahaman Kita Cukup? Kapan kita tahu bahwa “Sekarang aku punya cukup pemahaman tentang kehampaan, cukup bodhicita, dan cukup penyerahan untuk benar-benar terlibat dalam tantra?” Tidak semudah itu. Pertama-tama, kita mengenal diri kita lebih baik daripada orang lain mengenal diri kita. Berkata, “Oh, guruku mengenalku” dan seterusnya, sebenarnya melebih-lebihkan keadaan. Ini menjadi cara untuk menghindar dari tanggung jawab terhadap hidup kita, yang adalah sangat tidak dewasa. Tentu saja, jika kita memiliki hubungan dekat dengan seorang guru rohani, pembahasan dengan guru itu dan seterusnya bisa berguna. Kita perlu menghindari berpikir secara sangat congkak, “Aku tidak perlu berunding dengan guruku.” Tapi tidak semua dari kita memiliki hubungan perorangan yang dekat dengan seorang guru, jadi ini tidak mudah. Saya pikir kita harus melihat dalam diri kita sendiri 339
dan jujur pada diri kita sendiri dan tidak bermain-main dengan permainan muslihat-diri: “Aku sangat mulia,” dan seterusnya. Saya pikir hal utama yang perlu diperhatikan pada diri kita – dan saya pikir inilah satu-satunya cara untuk bisa menilai diri kita sendiri – adalah seberapa kuat welas asih kita, yang kemudian akan menentukan seberapa kuat bodhicita kita. Dengan kata lain, seberapa besar aku benar-benar prihatin dengan orang lain dan mampu membantu mereka? Jika itu sangat kuat, ini bisa mengarah pada memiliki penyerahan dan bodhicita yang kuat. “Aku harus menanggalkan semua sebab yang menghalangiku membantu orang lain, dan aku harus mengembangkan semua mutu baik sehingga aku akan mampu membantu mereka sebanyak mungkin. Satu-satunya cara agar kita bisa menanggalkan sebab-sebab dari semua keterbatasan kita dan mengembangkan semua mutu baik kita adalah dengan memperoleh pemahaman kehampaan yang penuh dan tepat dan tidak menggenggam wawasan yang padu tentang “AKU” – aku sungguh buruk, aku tidak bisa melakukan apa-apa” atau “Aku sungguh mengagumkan, aku adalah karunia Tuhan bagi dunia ini, aku tidak perlu mempelajari apapun.” Sebaliknya, kita perlu memahami sebab dan akibat. Ketika kita memahami kehampaan, kita dengan sendirinya menghargai sebab dan akibat – bagaimana mengembangkan mutu-mutu kita untuk membantu orang lain. Dengan tekad yang betul-betul kuat ini untuk membantu orang lain, “Aku harus menanggalkan sebab-sebab dukaku. Aku menginginkan itu. Ini bukan bahwa aku ‘semestinya’ menanggalkan mereka, tapi aku benar-benar ingin dan perlu melakukan itu,” kita terdorong atau tergerak, berdasar sikap mementingkan orang lain, untuk 340
melakukan itu. Dan kita menyadari bahwa agar mampu benarbenar membantu orang lain, kita perlu mengikuti sebab dan akibat. Kita perlu membangun semua mutu itu untuk menjadi bantuan terbaik bagi orang lain, dan itu hanya bisa dicapai melalui cara sebab dan akibat, yang hanya bisa bekerja dengan dasar kehampaan. Dengan dasar dorongan dan pemahaman itu, kita perlu memeriksa apa yang terjadi pada laku tantra, tentang apa semua itu? Kita perlu memiliki kepercayaan bahwa tantra memberikan cara-cara yang paling kuat untuk menyingkirkan hal-hal yang menghalangi kita untuk membantu orang lain dan untuk mengembangkan mutumutu yang dengannya kita bisa membantu orang lain sebanyak mungkin. Dengan kata lain, kita perlu kepercayaan bahwa menjalankan laku tantra adalah cara paling tepat-guna untuk mencapai tujuan-tujuan pencerahan dan untuk dapat membantu orang lain. Ketika kita memiliki dorongan dan pemahaman yang tepat tentang kehampaan, juga penghargaan dan pemahaman tentang cara laku tantra, sehingga kita memiliki suatu kepercayaan di dalamnya dan suatu gagasan tentang apa yang kita lakukan dengannya, maka kita telah siap untuk melibatkan diri kita dalam laku tantra. Maka kita telah benar-benar masuk ke dalamnya dengan cara yang sangat positif dan membangun dan kita akan menggunakannya dengan cara yang membangun dan positif. Ringkasan Singkatnya, saya pikir kita adalah hakim terbaik bagi diri kita sendiri mengenai seberapa tulus keinginan kita untuk membantu orang lain atau ini hanya kata-kata kosong? Jika kita menjalankan laku 341
tantra sebelum kita siap, ada banyak sekali bahaya besar. Kita bisa benar-benar kacau secara kejiwaan jika kita hanya melakukan upacara yang kosong untuk alasan yang neurotik. Laku yang keliru semacam itu di satu sisi bisa dengan mudah menjadi awal pembanggaan diri yang berlebihan dengan khayalan-khayalan aneh, kecongkakan, dan sebagainya, dan di sisi lain, kekecewaan karena laku upacara itu sebenarnya tidak menghasilkan apapun. Ketika kita semata-mata menjaga akad bulat untuk melakukan laku upacara tertentu setiap hari dan kita menjadi kecewa karena kita tidak tahu bagaimana menerapkannya ke dalam hidup kita, laku sehari-hari kita kemudian menjadi siksaan yang kita rasa sebagai kewajiban, sebuah tugas: “Aku harus melakukannya.” Kita segera jengkel dan laku itu menjadi sangat tidak menyenangkan. Jika kita siap secara tepat dan memiliki sikap yang tepat terhadap tantra, maka laku tantra kita sangat bermanfaat. Tapi ini perlu benar-benar menyatukan segalanya dalam Dharma. Kita juga perlu mengingat bahwa ketika kita terlibat dengan laku tantra, laku kita akan berkembang secara bertahap. Kita perlu menghindari menempatkan garis padu di sekitarnya dan berpikir bahwa laku kita haruslah hal bodoh yang sama setiap hari sepanjang hari, “Aku mendaras upacara ini dan aku bisa mendarasnya secara terbalik.” Laku ini berkembang secara bertahap sejalan waktu. Ini adalah sebuah proses, bukan tugas membosankan mendaras satu hal selamanya. Meskipun memiliki budi pekerti, penyerahan, bodhicita, pemusatan, dan pemahaman tentang kehampaan adalah hal-hal yang kita ingin miliki selamanya, tingkat perwujudan kita atas mereka akan berkembang secara bertahap selama kita menggunakan laku upacara untuk menyatukan mereka. 342
Tapi selalu berhati-hatilah bahwa seperti satu sifat samsara bahwa ia naik dan turun, demikian juga laku tantra kita akan naik dan turun. Ia tidak pernah berkembang menurut garis lurus, selalu lebih baik dari hari ke hari. Kita butuh kesabaran dan ketekunan. Apakah ada pertanyaan? Pembayatan Peserta: (penerjemah) Di Barat, sangat sering terjadi Anda menerima pembayatan dan kemudian Anda harus melakukan upacara-upacara tanpa pemahaman-pemahaman tersebut; dan fakta bahwa Anda perlu memiliki pemahaman-pemahaman itu tidak dijelaskan pada Anda sebelum menerima pembayatan. Alex: Ya, sayangnya itu sering sekali terjadi. Anda tahu, salah satu masalahnya adalah bahwa semua pembayatan itu diberikan dan kita sebagai kaum Barat menerima mereka dalam kerangka, “ Sekarang aku semestinya melakukan ini dan aku tidak semestinya melakukan itu.” Kaum Tibet tidak mendekatinya dengan cara itu. Ketika pembayatan-pembayatan ini diberikan, kebanyakan sikap kaum awam Tibet adalah, “Aku mengikuti supaya memiliki benih atau naluri tertanam pada arus-citaku untuk kehidupan-kehidupan masa depan.” Sebagian besar dari mereka tidak bermaksud menjalankan laku tantra dalam masa kehidupan sekarang. Ingat, saya sedang berbicara tentang kaum awam Tibet. Mereka membawa bayi mereka dan bahkan anjing mereka ke pembayatan. Mereka merasa bahwa siapapun, termasuk bayi dan anjing mereka, memiliki benih-benih masa depan tertanam pada arus-cita mereka dengan menghadiri pembayatan itu. Demikianlah cara 343
mereka memandang pembayatan itu. Tapi kita, sebagai orang Barat, tidak berpikir seperti itu. Kita pergi ke pembayatan dan meskipun kita tidak tahu apa yang terjadi dalam upacara itu dan kita sama sekali tidak sadar dalam kerangka proses selama pembayatan itu, setelah itu kita berkata, “Ya, Tuhan! Aku telah mengambil akad bulat ini dan sekarang aku SEMESTINYA melakukan ini dan jika tidak, aku akan masuk ke Neraka Vajra!!” Itu adalah kesalahan pemahaman tentang kehampaan dan kemunculan yang bergantung. Hal-hal tidak terjadi secara satupihak. Menerima pembayatan bergantung pada apa yang dilakukan oleh orang yang memberi pembayatan dan orang yang menerimanya. Sebagai contoh, untuk benar-benar menerima pembayatan, kita perlu bersumpah secara sangat sadar, dengan pemahaman penuh atas apa yang kita lakukan. Jika kita tidak melakukan itu, maka kita tidak berbeda dengan anjing yang ada di sana. Pertanyaan yang menarik adalah apakah anjing itu mendapatkan naluri-naluri yang tertanam karena berada di sana atau tidak? Dari kepustakaan kuno seolah-olah anjing itu mendapatkannya, karena anjing itu berada di sana. Jadi terdapat suatu kesan pada aruscitanya meskipun ini mungkin sangat lemah. Kita juga bisa hadir dan memiliki kesan tertentu dari kehadiran di sana. Di Barat, kita menyebut penerimaan pembayatan itu sebagai “berkat.” Tapi melakukan itu tidak berarti kita benar-benar menerima pembayatan itu dan kemudian kita memiliki semua akad bulat dan sumpah itu darinya. Kecuali kita secara sangat sadar menerima akab bulat dan sumpah itu, kita tidak memilikinya.
344
Tidak ada yang salah dengan menerima pembayatan seperti cara kaum biasa Tibet menerimanya – s ebagai suatu peristiwa mengilhami untuk membuat kesan bahwa suatu waktu di masa depan akan ada sesuatu yang bisa kita gunakan untuk memberi manfaat pada diri kita dan orang lain. Kita perlu menghindar dari menjadi sombong dan berpikir, “Sekarang aku adalah orang yang mulia. Sekarang aku adalah pelaku tantra sejati,” ketika kehadiran kita pada pembayatan semata-mata pada tingkat dangkal dan kita tidak sungguh-sungguh membaktikan diri kita secara sadar kepada sesuatu. Kita harus rela menerima bahwa “Aku hadir pada tingkatan anjing dan itu tidak apa-apa.” Meskipun begitu, pergi ke pembayatan pada tingkatan anjing tetap saja bisa sangat mengilhami dan berguna – tak masalah. Tapi kesombongan kitalah yang membuat kita tidak rela menerima bahwa hanya tingkat manfaat inilah yang bisa didapat dari pembayatan itu. Jelas, kita bisa menjadi bingung dan berpikir, “Jika aku berkeliling dan mengumpulkan pembayatan sebanyak mungkin, aku akan menjadi orang yang mulia.” Itu juga sedikit konyol bukan? Bahkan jika kita merasa harus mengumpulkan pembayatan karena kita mendapati mereka mengilhami dan berguna, penting untuk tidak memandang diri kita sebagai pelaku tantra yang hebat. Kerendahan hati selalu menjadi hal mendasar pada semua unsur laku Dharma. Mari kita akhiri kuliah ini pada catatan itu. Semoga apapun daya positif dan pemahaman yang muncul dari pembahasan kita bersama tentang pokok-pokok tersebut bertindak sebagai sebab untuk mencapai pencerahan demi kemanfaatan semua.
345
Daya Tarik Agama Buddha di Dunia Modern Pertanyaan: Tahun ini Anda telah melakukan pengajaran keliling di 26 negara. Tolong bagikan pada kami hasil pengamatan Anda tentang bagaimana agama Buddha menyebar ke tempat-tempat baru. Jawaban: Agama Buddha kini menyebar dengan pesat di seluruh dunia. Terdapat pusat-pusat agama Buddha di berbagai negara Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika Selatan, Australasia, dan seterusnya. Kita dapat menemukan penganut agama Buddha di Eropa tidak hanya di negara-negara kapitalis Barat, tapi juga di negara-negara sosialis di Eropa Timur. Contohnya, di Polandia kini terdapat sekitar lima ribu umat Buddha yang aktif. Agama Buddha sangat menarik perhatian dunia modern karena masuk akal dan punya dasar ilmiah. Buddha berkata, “Jangan kamu percaya pada apa pun yang aku katakan hanya karena menghormatiku, tapi ujilah sendiri, uraikanlah, seolah kamu sedang membeli emas.” Masyarakat modern menyukai pendekatan yang non-dogmatis seperti ini. Ada banyak percakapan antara para ilmuwan dan pemimpin agama Buddha, seperti Yang Mulia Dalai Lama. Bersama mereka membahas dan menyelidiki apa itu kenyataan. Buddha berkata bahwa semua masalah berasal dari ketidakpahaman kita akan kenyataan, dari kebingungan kita menghadapi kenyataan. Jika kita menyadari siapa kita dan bagaimana dunia dan kita ada, kita tidak akan menciptakan masalah dari kebingungan kita. Ajaran Buddha memiliki sikap yang amat sangat terbuka dalam menguji 346
kebenaran. Sebagai contoh, Yang Mulia Dalai Lama berkata bahwa jika para ilmuwan dapat membuktikan bahwa sesuatu yang diajarkan Buddha atau para pengikutnya itu keliru atau takhyul belaka, beliau akan dengan senang hati menanggalkan ajaran itu dari agama Buddha. Pendekatan semacam ini sangat menarik bagi masyarakat Barat. Karena para guru terdidik di masa lalu telah menyesuaikan ajaran Buddha dengan kebudayaan tiap masyarakat yang menjadi lahan penyebaran ajaran itu, sesuatu yang alami bahwa para guru di masa kini perlu menyajikan agama Buddha di berbagai negara modern dengan cara yang sedikit berbeda. Secara umum, agama Buddha menekankan pada penjelasan yang dapat diterima akal sehat. Dalam lingkup ini, bagaimanapun juga, berbagai pokok dan pendekatan memerlukan lebih banyak penekanan yang bergantung pada watak-watak budaya yang utama. Buddha mengajar dengan bermacam-ragam cara, tentu saja karena masyarakat itu bermacam-ragam. Tidak semua orang berpikiran sama. Umpamanya saja makanan. Jika hanya ada satu jenis makanan yang tersedia di kota, tentu saja tidak banyak orang yang tertarik. Di lain pihak, jika beragam makanan dapat dinikmati dengan beragam citarasa, setiap orang bisa menemukan sesuatu yang menarik. Demikian juga, Buddha mengajar dengan cara yang beraneka ragam bagi orang-orang dengan selera bermacammacam, supaya ajaran tersebut dapat mereka gunakan untuk mengembangkan dan menumbuhkan diri mereka. Di atas segalanya, tujuan agama Buddha adalah mengatasi segala batasan dan masalah kita serta menyadari segala daya kita agar kita dapat mengembangkan diri sampai pada tataran kita dapat menolong setiap orang sekuat mungkin. 347
Di beberapa negara Barat yang menitikberatkan perhatian pada ilmu kejiwaan seperti Swiss dan Amerika Serikat, para guru biasanya menyajikan agama Buddha dari sudut pandang ilmu kejiwaan. Di negara-negara lain tempat orang lebih menyukai pendekatan kebaktian, seperti di banyak wilayah di Eropa bagian Selatan dan di Amerika Latin, para guru cenderung menyajikan ajaran Buddha dalam sikap kebaktian pula. Orang-orang di sana sangat menyukai lantunan, dan orang dapat melakukan hal itu dalam praktik ajaran Buddha. Akan tetapi, orang-orang di berbagai negara di Eropa bagian Utara tidak begitu menyenangi lantunan. Para guru di sana cenderung menekankan pada pendekatan cendekia untuk ajaran Buddha. Banyak orang di Eropa Timur hidup dalam keadaan yang menyedihkan. Ajaran-ajaran Buddha sangat menarik perhatian mereka karena banyak dari mereka merasakan kehidupan yang kosong. Kerja keras atau tidak tampaknya tak ada bedanya. Tak ada hasil yang kelihatan. Agama Buddha, sebaliknya, mengajarkan pada mereka cara untuk bekerja bagi diri mereka sendiri, yang membawa hasil yang membuat perbedaan dalam mutu kehidupan mereka. Hal ini membuat masyarakat di sana, dan ini hampir sukar dipercaya, sangat menghargai dan bersemangat untuk melibatkan diri secara penuh dalam latihan-latihan seperti melakukan sujud-sembah sebanyak ribuan kali. Dalam cara ini, agama Buddha menyesuaikan dirinya pada kebudayaan dan tabiat orang-orang dalam tiap masyarakat, sekaligus melestarikan ajaran-ajaran Buddha yang utama. Ajaranajaran pokok tidak berubah – tujuannya adalah mengatasi masalah dan batasan kita serta menyadari daya yang kita punya. Apakah para penganut melakukan ini dengan lebih menekankan pada 348
pendekatan dari sisi ilmu kejiwaan, kecendekiawanan, keilmiahan, atau kebaktian, hal itu bergantung pada kebudayaannya. Pertanyaan: Secara umum, bagaimana agama menyesuaikan diri dengan abad keduapuluh ini?
Buddha
Jawaban: Agama Buddha menyesuaikan diri dengan menekankan pada pendekatan yang masuk akal dan ilmiah bagi ajaranajarannya. Agama Buddha memberikan penjelasan yang jernih tentang bagaimana pengalaman-pengalaman hidup itu terjadi dan bagaimana menghadapinya dengan sikap terbaik. Lalu, ajaran ini menyarankan kita untuk tidak menerima apa pun dengan iman yang buta; pikir sendiri, uji sendiri, dan lihat apa benar ajaran itu masuk akal. Ini mirip seperti ilmu pengetahuan, yang meminta kita untuk membuktikan hasil dari sebuah percobaan dengan mengulang percobaan itu sendiri, dan hanya setelah terbukti baru hasil tersebut diterima sebagai fakta. Orang modern tak suka membeli sesuatu tanpa mengujinya terlebih dahulu; mereka tidak akan membeli mobil tanpa mencobanya. Demikian juga, mereka tidak akan berpaling pada agama atau filsafat hidup yang lain tanpa memeriksa terlebih dahulu untuk melihat apakah itu masuk akal atau tidak. Itu yang membuat agama Buddha begitu menarik bagi banyak orang di abad keduapuluh ini. Agama Buddha terbuka bagi penyelidikan ilmiah dan malah mengundang orang untuk mengujinya dengan cara itu.
349
Apa itu Meditasi? Arti meditasi bisa jadi berbeda-beda tergantung kalangan yang memaknainya, tapi dalam ajaran Buddha, meditasi merupakan cara tertata dan langkah-demi-langkah untuk mengalami hidup dengan tataran cita yang lebih bermanfaat dan bahagia. Ketika kita mendengar kata “meditasi,” sering muncul beraneka gagasan tentang apa ia sebenarnya. Bagi sebagian orang, kata ini memunculkan bayangan tentang suatu laku gaib dimana, entah bagaimana, kita memasuki suatu alam lain dari cita kita. Bagi yang lainnya, kata ini barangkali memunculkan gagasan tentang sejenis sila tertentu yang dilakukan oleh kalangan tertentu di Asia. Kalau kita ingin melihat meditasi lebih sungguh-sungguh lagi, kita perlu membahas tiga pertanyaan ini:
Apa itu meditasi? Mengapa saya ingin meditasi? Bagaimana sebenarnya saya melakukannya?
Apa itu Meditasi? Jika “cita” di ajaran Buddha mengacu pada pengalaman pribadi dan subyektif atas segala hal di kehidupan kita, dan “karma” menjelaskan desakan batin yang menggerakkan kita untuk bertindak, berbicara dan berpikir secara gandrung sebagaimana kebiasaan kita, maka “meditasi” mengacu pada cara-cara yang memampukan kita mengubah pola-pola tersebut. Meditasi adalah suatu cara untuk melatih diri kita sendiri untuk mengalami kehidupan dengan tataran cita atau sikap yang lebih bermanfaat. 350
Kita bisa mengubah pola-pola dengan berulang kali membangkitkan tataran batin tertentu supaya kita terbiasa dengannya dan itu menjadi kebiasaan kita. Di tingkat lahir, meditasi mampu membangun jalan saraf yang baru. Ada berbagai tataran cita dan sikap yang bermanfaat:
Lebih santai, dan tidak tertekan serta tegang, Lebih terpusat, dan tidak kuyu atau "melongo", Lebih tentram dan tenang, bebas dari kekhawatiran gandrung dan celoteh batin yang tak kenal henti, Lebih memahami diri, orang lain, hidup kita dan seterusnya, bebas dari kebingungan dan kesalahpahaman Berperasaan lebih positif terhadap orang lain, seperti kasih dan welas asih, bebas dari amarah atau sikap acuh tak acuh.
Mengapa Saya Ingin Meditasi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu bertanya pada diri sendiri: Apa Tujuan Saya dan Mengapa? Satu contoh sederhananya, kita mungkin cuma ingin cita yang lebih tenang dan jernih. Sudah jelas, satu alasan untuk tujuan ini adalah karena cita kita tidak tenang, dan karenanya kita merasa sangat terganggu, tidak bahagia, dan terhambat dalam melakukan yang terbaik dalam hidup ini. Cita yang bermasalah bisa juga berpengaruh buruk terhadap kesehatan kita, atau menyebabkan atau memperkeruh masalah di keluarga kita dan membahayakan hubungan kita dengan yang lain. Dapat juga menimbulkan kesulitan di tempat kerja. 351
Di contoh ini, tujuan kita adalah mengatasi semacam kekurangan atau masalah yang kita miliki, baik secara batin maupun perasaan. Kita memutuskan untuk bertanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut secara tertib lewat laku meditasi. Dari Sudut pandang Perasaan, Apa yang Mendorong Saya untuk Ingin Mencapai Tujuan itu? Apa tataran perasaan yang mendorong kita untuk memulai laku meditasi? Ya, mungkin kita merasa sudah muak dengan peliknya tataran cita kita. Jadi kita membatin, “Cukup sudah. Aku harus keluar dari keadaan ini. Aku harus melakukan sesuatu. Ini membuatku merana.” Jika, lebih dari itu, kita punya tujuan agar bisa lebih membantu orang-orang tercinta, tataran perasaannya juga akan mencakup kasih kita untuk mereka, dan kepedulian betapa tataran cita dan perilaku negatif kita berpengaruh buruk terhadap mereka. Perpaduan dari perasaan-perasaan ini mendorong kita mencari cara yang akan memampukan kita menjadi penolong lebih baik bagi mereka. Tidaklah makul (realistis) jika berfikir bahwa meditasi saja cukup untuk menyelesaikan semua masalah kita. Penting bagi kita untuk memiliki pemahaman yang makul tentang meditasi. Meditasi sebuah alat; sebuah cara. Bila kita ingin mencapai suatu hasil dan kita memiliki alasan dan perasaan positif yang mendorong kita kepadanya, kita perlu menyadari bahwa tidak ada hasil yang dapat dicapai dengan satu sebab saja. Hasil tercipta oleh perpaduan berbagai sebab dan keadaan. Sebagai contoh, kalau saya kena tekanan darah tinggi atau hipertensi, meditasi tentu saja akan membantu. Meditasi harian tentu dapat membantu 352
mengurangi kecemasan kita. Akan tetapi, meditasi saja tidak akan cukup untuk menurunkan tekanan darah. Meditasi mungkin bisa membantu, tapi saya juga perlu mengubah pola makan saya, lebih sering olahraga, dan saya masih butuh minum obat-obatan juga. Penerapan dari perpaduan berbagai anasir ini akan membawa hasil yang diinginkan, yaitu menurunnya tekanan darah saya. Bagaimana Saya Bermeditasi? Ada beragam cara meditasi yang dapat kita gunakan, tergantung pada tataran cita yang hendak kita kembangkan. Satu hal yang selalu ada di dalam semua cara ini adalah perlunya berlatih. “Berlatih meditasi” berarti mengulang latihan batin dan perasaan secara terus-menerus. Bila kita ingin melatih raga kita, kita harus melakukan beberapa macam kegiatan jasmani secara berkala; demikian pula, kita perlu melatih cita kita. Menenang Meditasi dimulai dengan menenang. Tapi, meditasi tidak hanya sebatas cara gaya Asia penyantaian. Menghening hanyalah langkah persiapan, tapi ia merupakan sebuah prasyarat dan landasan tempat kita dapat membangun tataran cita yang lebih positif. Dari berbagai cara mengheningkan cita, satu yang paling umum adalah latihan memusatkan perhatian pada sensasi napas masuk dan keluar lewat lubang hidung. Untuk membantu menjaga perhatian, kita bisa dalam hati menghitung sebelas putaran napas yang masuk dan keluar berulang-ulang. 353
Saat mencoba untuk mengheningkan cita, kita tidak bertujuan menghentikan semua pikiran dan mengosongkan cita, seperti radio yang dimatikan. Itu pemahaman yang keliru. Alih-alih menghentikan semua pikiran, dalam meditasi kita menghentikan semua pikiran yang tidak perlu, seperti pikiran mengusik tentang masa depan (Nanti aku mau makan malam apa?) dan pikiran negatif atau tidak cakap (Kau jahat kepadaku kemarin. Kau orang yang mengerikan.). Dengan kewaspadaan tinggi, kita mencoba mengetahui secepat mungkin ketika cita kita melantur dan dengan seketika mengembalikan perhatian kita untuk menghitung napas. Beberapa perasaan tertentu bisa sangat mengganggu, seperti saat kita gugup, khawatir, atau takut. Kita perlu mengheningkan itu semua. Dengan memusatkan perhatian pada ketenangan kita, pernapasan yang teratur, ketegangan pada otot kita perlahanlahan akan mengendur dan, dengan begitu, tataran perasaan kita menjadi tenang. Akan tetapi, mengheningkan kegiatan batin kita dari pikiran yang gelisah dan perasaan kesal saja tidaklah cukup; ia juga harus jernih dan waspada. Kita perlu meningkatkan kegiatan batin kita agar tidak tumpul atau “melongo.” Jadi persis seperti kita mengembalikan perhatian ke napas saat kita merasakan adanya kelana batin, demikian juga, kita menyegarkannya kembali saat merasakan perhatian kita menumpul. Membangkitkan Perasaan Positif Menenangkan perasaan gelisah dan pikiran yang terusik bukan berarti kita jadi seperti mayat hidup yang tidak merasakan apa-apa. Tidak merasakan apa-apa juga merupakan suatu bentuk 354
hadangan perasaan yang butuh pelepasan dalam masa penenangan. Satu tanda keberhasilan dalam meditasi pengheningan-cita adalah bahwa hati kita terbuka; kita mengalami kedamaian batin dengan kehangatan dan kebahagiaan yang lembut terasa. Bila dipelihara, perasaan tenang dan lembut ini dapat tumbuh, seperti sebuah sel kecil yang berkembang menjadi jajaran perasaan positif. Akan sangat sukar bagi kita untuk menghasilkan perasaan nyata hanya dengan duduk bermeditasi dan berkata pada diri sendiri: “Jadilah orang yang lebih pengasih.” Bukan sebatas kekuatan kehendak saja. Untuk membangkitkan kepedulian tulus terhadap yang lain dan kebaikan penuh rasa kasih, misalnya, kita perlu membina cita yang positif secara tahap demi tahap. Jika kita membinanya dengan sokongan nalar, perasaan positif kita akan menjadi teramat mantap. Satu caranya adalah dengan membayangkan sebuah keadaan sulit dan menggunakan nalar untuk memahami mengapa suatu perasaan tertentu itu pantas, masuk akal, dan diperlukan untuk menghadapi keadaan tersebut. Saat kita memusatkan perhatian pada peristiwa yang kita bayangkan itu dan menelisiknya lewat penalaran, kita lambat-laun merasakan perasaan yang dimaksud, meskipun sangat lemah pada awalnya. Kita lalu memusatkan perhatian pada keadaan itu dengan perasaan dan pemahaman atas kepantasannya, dan menggunakan cara yang sama, seperti saat menenangkan cita, untuk memperbaiki kelana batin dan ketumpulan serta menjaga perhatian. Semakin kuat kita memusatkan perhatian pada keadaan yang kita bayangkan dengan pemahaman yang kokoh, akan semakin terpusat pula 355
perasaan yang kita rasakan terhadapnya. Dengan begitu, perasaan kita tumbuh lebih kuat. Contoh berikut ini mungkin bisa membantu Anda memahaminya. Andaikan Anda berada di sebuah lift dengan sepuluh orang dan, tiba-tiba, liftnya berhenti dan Anda terjebak di sana selama beberapa hari. Bagaimana Anda akan berhubungan dengan orang lain di lift itu? Dengan cita yang tenang dan tertata, kita menilai keadaan ini dalam meditasi kita. “Beginilah. Kita semua samasama terjebak di lift ini, dan kita semua sama-sama sedang berusaha melewati cobaan ini sedamai mungkin, dan keluar dengan selamat. Cara kita bersinggungan dengan yang lainnya akan mempengaruhi setiap kita di sini; jadi jika saya hanya memikirkan diri sendiri dan jengkel dengan yang lainnya dan mulai mengomel, saya hanya memperburuk keadaan bagi semua, termasuk saya sendiri. Oleh karenanya, untuk dapat melewati keadaan sulit ini, saya harus peduli pada kesejahteraan orang lain dan memperlakukan orang lain dengan kebaikan penuh rasa kasih, pengertian, dan kesabaran.” Dengan cara ini, kita mengupayakan perasaan peduli dan kebaikan penuh rasa kasih, yang kita arahkan pada orang-orang di lift khayalan kita tadi. Berangsur-angsur, saat perasaan positif kita menjadi mantap, kita luaskan perasaan ini sampai meliputi setiap makhluk yang terperangkap bersama di lift raksasa ini yang kita sebut sebagai Bumi. Meditasi Meningkatkan Mutu Hidup Kita Sehari-hari Bila dilakukan dengan benar, laku meditasi kita akan mulai mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari di antara sesi-sesi 356
meditasi formal kita. Jika kita sedang melatih tataran cita tertentu selama sesi meditasi kita, baik itu tataran cita yang lebih tenang, lebih terpusat, atau lebih mengasihi, tujuannya bukanlah sekadar mampu membangkitkan tataran cita tersebut sambil duduk hening dalam meditasi. Tujuan besarnya adalah membina tataran positif ini dengan begitu menyeluruh hingga akhirnya menjadi kebiasaan, kebiasaan yang dapat kita terapkan kapan pun kita membutuhkannya, setiap waktu, siang maupun malam. Pada puncaknya, ia menjadi sesuatu yang alamiah; senantiasa ada setiap saat: kita selalu dan tanpa susah-payah jadi orang yang lebih mengasihi, memahami, terpusat perhatiannya, dan tenang. Jika kita mendapati diri kita tidak berada pada tataran batin yang seperti itu, kita cukup mengingatkan diri: “Jadilah orang yang lebih pengasih.” Karena sudah sangat terbiasa dengan tataran cita ini lewat latihan, kita bisa seketika itu juga membangkitkannya. Sebagai contoh, ketika kita mendapati diri hilang sabar terhadap seseorang, kita segera menyadarinya dan mengingatkan diri sendiri, baik secara sadar maupun tidak sadar: “Aku tidak ingin seperti itu!” Lalu, seperti sepetikan jari tangan, kurang-lebih seperti mengulang komputer kita ketika pesan galat muncul, kita tutup “sesi” perangai buruk ini dan membangkitkan kembali sikap sabar dan penuh kasih terhadap orang itu. Ringkasan Tak ada manusia yang sempurna, dan sebagian besar dari kita bisa menemukan atau mengakui adanya semacam kekurangan pada perasaan atau batin kita. Sebagian kita lekas marah; sebagian orang cemburu buta; dan yang lainnya mungkin gampang sekali teralih perhatiannya. Kebiasaan-kebiasaan ini 357
tidak terpahat di batu, tapi dapat diubah, kalau saja diri kita sendiri bersedia mengupayakannya. Perubahan ini tidak membutuhkan apa-apa selain kerja keras dan usaha ajeg dari diri sendiri. Banyak orang menghabiskan berjamjam setiap minggunya berlatih di pusat kebugaran, namun lupa melatih harta yang paling mulia: cita mereka. Meskipun sulit di awal, ketika kita mulai memahami manfaat meditasi bagi kehidupan kita, kita akan dengan sukacita ikut serta di tiap sesinya. Seiring berjalannya waktu, saat kita semakin akrab dengan tataran cita positif, secara alamiah kita akan menjadi orang yang lebih baik hati, lebih mengasihi, dan, akhirnya, lebih bahagia.
358
Pokok-Pokok Utama Mengenai Meditasi Ciri-ciri Utama Meditasi Meditasi merupakan sesuatu yang dijumpai di banyak aliran, bukan hanya dalam agama Buddha; namun, sementara ada banyak segi meditasi yang dijumpai di semua aliran India, di sini kita akan membatasi pembahasan kita pada cara meditasi yang disajikan dalam agama Buddha. Apa Itu Meditasi? Kata meditasi (sgom, Skt. bhavana) bermakna "membiasakan diri". Padanan meditasi dalam bahasa Tibet bermakna membina kebiasaan yang bermanfaat. Kata dalam bahasa Sanskerta-nya lebih condong ke makna 'membuat sesuatu itu benar-benar terjadi'. Ada jenis tertentu tataran cita atau sikap yang bermanfaat, dan kita mau membuatnya terjadi, dengan kata lain, benar-benar membuat tataran cita tersebut berjalan di dalam cara pikir dan cara hidup kita. Tergantung pada aliran yang menggunakannya, arahanarahan meditasi akan merincikan apa-apa saja kebiasaan bermanfaat itu, dan apa alasan dan tujuan dari pewujudannya. Akan tetapi, di dalam semua aliran India jalan menuju meditasi itu ada tiga lapis: pertama, mendengar atau menyimak, lalu berpikir, dan kemudian benar-benar bermeditasi. Menyimak Ajaran-Ajaran Misalkan kita mau membangun kebiasaan bermanfaat berwelas asih. Untuk mengembangkan welas asih, atau meningkatkan rasa welas asih yang sudah ada, pertama-tama kita perlu menyimak 359
beberapa ajaran mengenai pokok tersebut. Di India kuno, tidak ada ajaran yang dituliskan. Semua ajaran diteruskan secara lisan. Karena itu, seseorang yang belajar meditasi haruslah pertamatama mendengarajaran-ajaran itu. Ini mengapa langkah pertama dikenal sebagai "menyimak". Dewasa ini, tentu saja, kita dapat membaca tentang beragam ajaran – kita tidak perlu mendengar terlebih dahulu dari orang yang menjabarkannya langsung pada kita – tapi asas di balik hal ini sebetulnya cukup beralasan. Dahulu kala, segala sesuatu harus dihafal dan si pendengar perlu yakin bahwa yang dilafalkan seseorang itu benar-benar tepat. Orang yang melafalkan ajaran tersebut dari hafalannya mungkin tidak mengingatnya secara tepat benar. Beberapa kesalahan dapat terjadi dan ini akan jadi masalah besar. Kesadaran Pembeda Ketika menyimak ajaran, kita perlu mengembangkan apa yang disebut dengan "kesadaran pembeda yang muncul karena menyimak" (thos-byung shes-rab). Istilah dalam bahasa Tibet sherab (shes-rab, Skt. prajna) kerap diterjemahkan sebagaikebijaksanaan, namun penggunaan kata kebijaksanaan itu terlalu samar; maknanya tidak persis pasti. Kalau sekelompok orang mendengar kata kebijaksanaan, tiap orang akan memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang maknanya, dan karena itu istilah kebijaksanaan tak menolong kita untuk sungguh-sungguh memahami istilah sherab dengan tepat-jitu. Itu mengapa saya lebih suka menerjemahkan sherabsebagai kesadaran pembeda.
360
Kesadaran pembeda itu berdasar pada sebuah anasir batin pendahulu, yang saya terjemahkan "bersifat mencirikan" ('du-shes; Skt. samjna). Kebanyakan orang menerjemahkan istilah ini sebagai pengenalan, namun pengenalan juga bukan padanan jitu. Kata mengenal itu berarti bahwa Anda telah tahu tentang hal itu terlebih dahulu, dan kemudian Anda mengenalinya lagi; ini yang membuat istilah tersebut tidak tepat benar. Mencirikan berarti merincikan sesuatu sebagai "ini" dengan cara membedakannya dari segala hal lain yang "bukan ini". Kita mampu mencirikan "ini" berbeda dari "bukan ini", atau "ini" berbeda dari "itu", karena segala sesuatu itu rinci, anasir ciri tersendiri atau tanda-tanda penentu yang kita ketahui saat kita menyadari sesuatu. Contoh sederhananya: bayi dapat mencirikan mana "lapar" mana "tidak lapar". Bayi tak membutuhkan kata-kata untuk dua sensasi ragawi yang berbeda ini dan mereka tidak betul-betul perlu memahami gagasan mengenai "lapar" dan "tidak lapar" dengan amat mendalam. Akan tetapi, mereka mampu mencirikan perbedaan di antara keduanya karena masing-masing dari kedua hal itu memiliki anasir ciri penentu yang khas, yaitu suatu sensasi ragawi yang jenisnya rinci/khusus. Kesadaran pembeda menambahkan suatu anasir kepastian pada pencirian itu: "Sudah pasti ini dan bukan itu." Kepastian inilah yang kita perlukan saat kita menyimak atau membaca ajaran-ajaran. Kita perlu keyakinan untuk tahu: "Inilah ajaran yang sebenarnya; bukan ajaran palsu." Sukar sekali sebetulnya untuk mengetahui "inilah ajaran yang sebenarnya" karena kitab-kitab itu sendiri tidak mudah dipahami. Biasanya, kita perlu sebuah buku atau guru yang menjelaskannya. Tapi, bagaimana Anda bisa tahu bahwa seorang guru itu merupakan guru yang andal dan asli? Orang bisa saja 361
mengajar tentang agama Buddha, atau mengajar tentang kasih dan welas asih, dan boleh jadi mereka memberikan keterangan yang bertentangan dengan yang sebetulnya dikatakan dalam ajaran Buddha. Kita perlu yakin betul, dengan menggunakan kesadaran pembeda, bahwa ajaran yang kita dengar atau baca sungguh betul tersajikan sebagaimana mestinya; kita perlu yakin bahwa ajaran itu asli. Ada anasir-anasir tertentu yang perlu hadir supaya suatu ajaran itu sahih sebagai ajaran Buddha. Pengarang atau orang yang menanamkannya mestilah orang yang dapat kita pastikan, lewat penyelidikan, sebagai seorang guru yang benar-benar mumpuni. Untuk memastikan ini, kita perlu bertanya pada orang lain, contohnya: "Apakah orang ini berguru pada guru yang sahih dan seperti apa hubungan mereka berdua?" Apakah guru orang ini berasal dari silsilah guru yang sahih di masa lampau? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting untuk diselidiki. Kita jangan asal ambil buku dan, hanya karena penulisnya tenar, berpikir bahwa itu sumber yang andal. Asas yang sama berlaku saat kita mendengarkan ceramah seseorang. Menggunakan Daya Pembeda untuk Menentukan Lingkung dari Ajaran-Ajaran Lebih jauh lagi, setiap ajaran Buddha itu punya lingkungnya, pemikiran filsafati yang menjadi akar dari ajaran tersebut. Penting bagi kita untuk tahu apa lingkung bagi suatu ajaran tertentu. Alasannya ialah karena berbagai tata Buddha memiliki penjelasan yang berbeda-beda untuk istilah yang sama, contohnya "karma". Lebih lagi, ajaran-ajaran tentang karma di dalam suatu tata yang khusus ini saling sesuai dengan penjelasan-penjelasan yang 362
diberikan tata tersebut tentang bahasan-bahasan terkait lainnya di dalam Dharma, contohnya dalil pengetahuan. Jadi kita perlu yakin dari tata apa ajaran-ajaran itu berasal, supaya kita dapat menyesuaikannya dengan ajaran-ajaran lain yang telah kita dengar. Mengetahui lingkung penggungaan kata-kata itu penting bahkan dalam percakapan biasa sekalipun. Contohnya, Anda dengar kata bon. Bon ini nama aliran pra-Buddha di Tibet. Tapi dalam bahasa Prancis, bon artinya 'bagus'. Jadi kalau Anda tidak menyadari lingkung bahasanya, Anda akan bingung saat mendengar kata bon. Apa orang ini bicara tentang bon dalam bahasa Prancis atau lingkung bahasa Tibetnya? Mengandalkan bunyi kata itu saja, tanpa tahu dalam bahasa apa ia diucapkan, bisa jadi menyesatkan. Tahu akan lingkung ini bahkan lebih penting lagi nilainya ketika kita menghadapi istilah-istilah ajaran Buddha. Misalnya, Anda sedang belajar tentang kehampaan (kekosongan), yang dijelaskan dengan cara yang ini di satu pemikiran Buddha India dan dengan cara yang itu di pemikiran yang lain. Bahkan di dalam satu pemikiran filsafat Buddha India saja kehampaan itu ditafsirkan dengan amat berbeda-beda oleh tiap-tiap aliran Buddha Tibet yang beragam itu. Fakta bahwa ada begitu banyak penjelasan untuk bahasan yang sama itu merupakan salah satu segi paling membingungkan bagi orang Barat ketika mempelajari ajaran Buddha. Cukup membingungkan bahwa di zaman modern ini, khususnya dengan adanya Internet, kita punya jalan masuk untuk menjenguk berbagai aliran Asia untuk ajaran Buddha. Tapi bahkan di dalam satu aliran 363
Buddha di suatu negara saja – contohnya, Tibet – terdapat banyak ragam dan penafsiran yang berbeda. Biar saya terangkan. Misalkan kita sedang mempelajari suatu penjelasan terperinci tentang karma dari seorang guru. Supaya tidak bingung tentang apa yang sedang kita pelajari, kita perlu menyendirikan penjelasan tersebut dari penjelasan lain yang ada di semua tata kecuali tata yang digunakan si guru untuk menjelaskannya. Contohnya, kita perlu tahu bahwa kita sedang belajar tentang penafsiran Buddha, bukan Hindu. Dari antara penjelasan-penjelasan Buddha, kita sedang mempelajari yang berasal dari aliran-aliran India berbahasa Sanskerta, bukan yang berasal dari aliran Theravada berbahasa Pali. Dari antara aliranaliran India berbahasa Sanskerta itu kita sedang belajar sudut pandang Vaibhashika, bukan sudut pandang Chittamatra. Lebih lanjut lagi, kita sedang belajar tentang penjelasan Gelug dari penyajian Vaibhashika dan bukan penjelasan Kagyu. Kita perlu tahu lingkung pastinya, karena penjelasan tentang karma yang berbeda-beda itu cukup beragam tergantung pada lingkung filsafatinya. Jika kita mencoba mencocokkan penjelasan Gelug tentang suatu bahasan Dharma ke tata Kagyu, kita bakal bingung sekali. Dan kalau kita mencoba mencampur semua penjelasan itu ke dalam satu adonan yang sama, kita bakal lebih bingung lagi. Salah seorang guru saya pernah menunjukkan sesuatu yang amat menggugah wawasan tentang orang-orang Barat. Ia berkata: "Kalian orang-orang Barat selalu mencoba membandingkan dua hal, yang tak satupun di antaranya kalian pahami dengan baik. Ujung-ujungnya, kalian malah jadi lebih bingung saja." Pelajaran yang perlu kita petik dari hal ini ialah bahwa boleh saja 364
membandingkan berbagai tata, asalkan kita telah lebih dulu memahami dengan amat baik satu jenis tata. Begitu Anda mengetahui satu tata dengan baik, maka Anda dapat melihat tata yang lain dan memahami apa saja perbedaannya. Tapi lakukan itu setelah paham, bukan sebelum. Jadi jika kita ingin meditasi tentang karma, atau kehampaan, atau tentang bahasan lain dalam ajaran Buddha, kita perlu mengembangkan kesadaran pembeda yang didapat dari mendengar. Ini berarti mengetahui dengan tepat-jitu dan dengan yakin bahwa:
Inilah kata-kata yang diucapkan, bukan kata-kata yang lain; Orang yang mengucapkannya adalah sumber keterangan yang tepat sehubungan dengan bahasan ini, dan bukan orang yang tidak dapat dipercaya; Inilah tata filsafati yang menjadi asal penjelasan tersebut, bukan tata yang lain.
Begitu kita memiliki kesadaran pembeda yang muncul atau didapat dari mendengar ini, kita siap pindah ke langkah berikutnya. Memikirkan Hal yang Telah Kita Dengar Langkah berikutnya ialah memperoleh kesadaran pembeda yang muncul dari berpikir (bsam-byung shes-rab). Apa arti "berpikir" (bsam-pa)? Berpikir di sini berarti mencoba memahami makna sesuatu. Tapi kemudian, apa artinya "memahami" sesuatu? Makna dari istilah Tibet (rtogs-pa, menangkap) biasanya diterjemahkan "memahami" adalah: 'mengetahui sesuatu dengan tepat dan pasti'. 365
Kebetulan, banyak dari kata-kata Sanskerta dan Tibet yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan batin dan cita itu memiliki makna-makna yang agak berbeda dalam bahasa aslinya, dibanding dengan kata-kata yang kita pakai dalam bahasa-bahasa Barat. Ini mengapa akan sangat berguna kalau kita mempelajari bahasa-bahasa Asia aslinya dan mempelajari makna-makna dari kata-kata tersebut dalam lingkung bahasa Asia. Ini berarti bukan sekadar membaca terjemahan kamusnya saja, tapi betul-betul menyelami bahasa itu, mempelajari makna-makna, dan seterusnya. Jika Anda lakukan itu, maka Anda akan memperoleh alat telaah yang sangat berdaya untuk memahami ajaran-ajaran Buddha. Memahami Kata-Kata yang Diucapkan Kata memahami ini dapat juga digunakan dalam kaitannya dengan mendengarkan ajaran. Maksudnya, kata tersebut akan muncul dalam kalimat-kalimat seperti: "Saya paham bahwa Anda mengatakan kata-kata itu." Kalau penekanan dalam kalimat itu ada pada kata Anda, maka itu menyiratkan bahwa kita tidak ragu bahwa Anda betul-betul mengatakan kata-kata itu. Kita tidak berpikir bahwa Anda tidak mengatakannya atau bahwa orang lain yang mengatakannya. Kita mendengar Anda mengatakannya dan kita sepenuhnya yakin bahwa tak ada yang salah dengan pendengaran kita. Jika penekanannya ada pada kata-kata itu, maka "Saya paham bahwa Anda mengatakan kata-kata itu" dapat bermakna lain: "Saya paham kata per kata yang Anda utarakan. Saya mungkin tidak sepenuhnya menangkap makna di balik kata dan frasa tersebut – itu ada caranya sendiri; tapi saya dengan benar 366
memahami bahwa Anda mengatakan kata ini dan frasa ini dan kalimat ini." Kita perlu yakin bahwa kita mendengar dengan tepat kata-kata yang diucapkan. Kita bisa bandingkan dengan orang lain supaya yakin bahwa mereka mendengar kata-kata yang sama dengan yang kita dengar. Kalau ada rekamannya, kita bisa dengarkan rekaman itu. Kalau suara si pembicara dan rekamannya jernih, kita yakin bahwa kita mendengar kata-kata itu dengan tepat. Kalau tidak begitu jernih, kita bisa minta bantuan orang lain, mencari tahu apa yang mereka dengarkan, dan membandingkannya dengan yang kita dengarkan. Ini penting betul ketika kita mengandalkan rekaman yang berisi ajaran. Jadi, dengan kesadaran pembeda yang muncul dari mendengar, kita menentukan bahwa kita telah memahami apa kata-kata yang diucapkan, secara tepat dan pasti. Memahami Makna Kata-Kata Sekarang, berpikir – langkah kedua dalam tiga langkah memperoleh pemahaman – berarti memahami makna kata-kata, yang tentunya secara mutlak perlu. Kalau kita hendak membina sesuatu sebagai kebiasaan yang bermanfaat, kita perlu tahu makna kata-kata itu, bukan sekadar kata-katanya saja. Contohnya, ada orang yang mendaraskan ayat-ayat berbahasa Tibet dan tak tahu sama sekali apa maknanya. Bagaimana Anda bisa membina sesuatu sebagai kebiasaan yang bermanfaat kalau Anda bahkan tak mengetahui apa makna kata-katanya? Anda akan dapati bahwa banyak guru Buddha Tibet menganjurkan kita mendaraskan doa-doa dan beragam laku dalam bahasa Tibet. Tentu saja ada manfaat dari ikut serta dalam sebuah upacara yang usianya sudah berabad-abad: Anda merasa bahwa Anda punya 367
tempat di dalam aliran itu, dan nyaman rasanya mengetahui bahwa orang-orang dari berbagai negara dan latar bahasa melantunkan dan mendaraskan hal yang sama. Tapi mendaraskan ayat atau doa dalam bahasa Tibet tidak menolong Anda membina sebuah kebiasaan bermanfaat yang dimaksudkan kata-kata itu, kecuali kalau kita memahami maknanya. Jadi kita perlu memahami maknanya, dan makna tersebut harus tepat dan pasti. Artinya, kita menggunakan kesadaran pembeda untuk memisahkan makna sesuatu itu dari yang bukan makna sesuatu itu. Kita melakukan hal ini melalui sebuah jalan penguraian dan penalaran mantik, untuk sampai pada suatu pemahaman pasti atas makna sebetulnya dari kata-kata itu. Pokok tentang memperoleh pemahaman yang pasti itu memunculkan suatu bahasan yang amat sulit: bagaimana kita benar-benar yakin pasti atas suatu hal? Untuk yakin pasti atas suatu hal yang tidak jelas dan tak dapat diketahui lewat indera kita, kita perlu mengandalkan mantik. Tapi ada orang yang, ketika disajikan dengan suatu alasan yang masuk akal, masih tidak percaya pada apa yang dibuktikan oleh garis penalaran tersebut. Dalam beberapa perkara, mereka tidak mau percaya pada kesimpulannya, meski kesimpulan itu masuk akal. Kalau kita seperti itu, ini dapat menyebabkan munculnya banyak halangan dalam jalan kita mempelajari Dharma. Tapi, anggaplah kita menerima kesimpulan-kesimpulan mantik. Lalu, mari gunakan ketaktetapan sebagai contoh cara penguraian dan penalarannya. Yang ingin kita buktikan, dan kemudian pahami, adalah bahwa segala sesuatu yang diciptakan dan dihasilkan bergantung pada sebab dan keadaan itu pada akhirnya akan 368
menemui titik akhir. Entah itu kita bicara tentang komputer, mobil, raga kita, atau hubungan pribadi, semua hal itu dihasilkan dengan bergantung pada sebab dan keadaan. Dan karena sebab serta keadaan itu tidak diperbarui setiap kali, hal yang dihasilkan dari keduanya dan yang bergantung padanya ujung-ujungnya akan hancur juga. Contohnya saja sesuatu yang Anda beli dan yang pada akhirnya rusak atau mati; misal: mobil baru yang Anda beli yang kemudian rusak, bunga atau buah yang tumbuh akhirnya mati. Tak ada pengecualian dalam aturan itu. Tak ada contoh hal yang dihasilkan atau dibuat yang tak pernah rusak atau yang bertahan selamanya. Jika ia diciptakan – artinya ia tidak ada sebelumnya – maka ia akan rusak. Mengapa? Suatu hal baru dapat muncul hanya dengan bergantung pada sebab dan keadaan. Tapi lepas kemunculan itu terjadi, sebab dan keadaan yang menyokong kemunculan awalnya tadi telah berubah. Keduanya berubah karena kemunculan keduanya pun tergantung pada anasir-anasir sebab-akibat lain. Karena itu, keduanya tidak lagi ada untuk menyokong berlanjutnya kemunculan hal tersebut dalam setiap masa sesudahnya. Dengan kata lain, ketika sebab dan keadaan yang memunculkan suatu hal itu tidak ada lagi, maka apapun yang terjadi atas dasar ketergantungannya pada anasir-anasir penyokong itu akan pecah berantakan. Berantakan karena hilangnya anasir-anasir yang menyokong kelanjutan keberadaannya pada tataran yang sama seperti ketika ia muncul pertama kali. Tatarannya akan berubah karena dipengaruhi oleh sebab dan keadaan lain. Contoh lainnya hubungan pribadi. Sebuah hubungan dengan seseorang itu muncul secara bergantung pada banyak sebab dan 369
keadaan. Misalnya, saya berusia sekian, orang yang satunya berusia sekian, ini terjadi pada hidup saya, itu yang terjadi pada hidup orang tersebut, ini yang terjadi di masyarakat. Semua anasir ini menyokong pertemuan dan berkembangnya hubungan kami berdua. Tapi keadaan-keadaan tersebut tidak langgeng; selalu berubah. Kami tambah tua, berbagai hal terjadi pada hidup kami. Bahkan sekalipun kami tinggal bersama untuk waktu yang amat lama, salah seorang dari kami akan mati mendahului yang lain. Karena ketergantungannya pada sebab dan keadaan, hubungan antara kami berdua akan selalu berubah dan tak dapat bertahan selamanya. Terlepas dari kesimpulan yang kita capai lewat mantik ini, kita tak mau menerima faktanya. Contohn lain, kita beli komputer, dan kita anggap komputer itu akan bertahan selamanya dan tak pernah rusak, tapi tetap saja rusak. Mengapa rusak? Komputer rusak karena komputer dibuat. Apapun hal yang terjadi pada saat komputer itu rusak – itu hanyalah syarat bagi akhir keberadaannya. Sebab yang sebenarnya mengapa komputer itu rusak adalah karena komputer itu dibuat. Itu seperti: "Apa sebab kematian orang ini? Sebab kematiannya adalah kelahirannya." Ada gurauan seperti ini: "Kau tahu arti kehidupan? Penyakit menular seksual dengan tingkat kematian 100%." Malangnya, hal itu benar pula! Meskipun kita menggunakan mantik ketika kita memikirkan suatu pokok, seperti mencoba memahami ketaktetapan, sering kali ada saja penentangan. Kadangkala kita tak mau percaya pada keterangan yang disajikan. Kita tak mau menerima bahwa ketaktetapan adalah sebuah fakta kehidupan. Itu mengapa kita 370
perlu mengulang mantik itu lagi dan lagi, untuk betul-betul berupaya dengan pokok tersebut secara mendalam. Lewat jalan pemikiran, kemudian kita mencapai sebuah "pemahaman" – yaitu "kesadaran pembeda" yang muncul dari berpikir. Kita memahami dengan tepat makna dari kata-kata, dan kita tahu pasti tentang hal itu. Dengan kata lain, kita telah melewati mantik dan menyaringnya dari yang bukan maknanya. "Ketaktetapan tidak berarti bahwa mungkin komputerku akan rusak. Ketaktetapan berarti komputer itupasti akan rusak nantinya." Jadi, entah itu kita sudah yakin betul akan kebenaran bahwa "setiap hal yang diciptakan akan rusak" atau belum, setidaknya kita memahami dengan tepat apa arti "ketaktetapan". Yakin Bahwa Ajaran yang Telah Kita Dengarkan Itu Benar dan Bermanfaat Berikutnya, kita perlu yakin, tidak hanya pada makna kata-kata yang telah kita dengarkan, tapi juga yakin bahwa makna kata-kata tersebut benar adanya. Pada contoh ketaktetapan tadi: kita mungkin paham makna istilah tersebut, tapi apa kita yakin bahwa hal itu benar atau tidak? Apakah kita betul-betul yakin? Kalau kita ulet dalam memikirkan perihal ketaktetapan, dan kita tentu saja tak mendapati adanya pengecualian dalam aturan itu, maka kita akan sungguh-sungguh yakin bahwa ketaktetapan merupakan sebuah hukum yang mendasar sifatnya. Jalan pemikirannya mungkin seperti ini: "Aku pasti akan mati. Setiap orang yang pernah lahir telah mati. Tidak pernah ada contoh seseorang yang pernah lahir dan tidak mati. Karena itu, adakah alasan untuk yakin bahwa aku takkan mati? Tidak, tidak ada." Jika kita yakin bahwa pada suatu titik kita akan mati, maka kita akan mencoba membuat hidup ini 371
sebermakna mungkin. Sering sekali seperti itu, ketika seseorang sudah mengalami lolos dari maut, ia sadar, "Hei, aku masih hidup, dan aku ingin membuat sisa waktuku ini seberarti mungkin." Tapi kita tak perlu menunggu harus lolos dari maut dulu supaya yakin tentang ketakabadian kita dan membentuk keyakinan untuk memanfaatkan sisa waktu hidup kita. Jadi, lewat berpikir, pertama-tama kita memahami makna dengan benar dan tepat. Kemudian, kita yakin bahwa itu benar. Dan ketiga, kita perlu yakin bahwa akan bermanfaat bagiku jika aku menyerap ini dan membuatnya jadi bagian dari caraku menjalani hidup. Semua itu – memahami makna, yakin bahwa itu benar, dan yakin bahwa itu berguna– merupakan bagian dari pengembangan kesadaran pembeda yang muncul dari berpikir tadi. Proses yang amat penting dan butuh waktu yang cukup lama. Kita perlu duduk tenang dan dengan amat mendalam memikirkan ajaran-ajaran apa saja yang telah kita dengar atau baca. Tanpa itu, jika kita mencoba bermeditasi tentang ketaktetapan, misalnya, ujung-ujungnya kita hanya sekadar duduk dan tak tahu-menahu harus berbuat apa. Kita kemudian linglung – biasanya disebut "melongo" – dan menganggap itu meditasi. Itu sama sekali bukan meditasi. Jadi, apa itu meditasi? Tiga Jenis Meditasi Persis seperti lewat mendengarkan ajaran dan memikirkannya kita mengembangkan jenis-jenis kesadaran pembeda yang berhubungan dengan kedua hal ini, meditasi juga mendatangkan "kesadaran pembeda yang muncul dari meditasi" (sgom-byung 372
shes-rab). Dengan kesadaran ini kita mampu membangkitkan, dengan pemusatan penuh, tataran cita yang bermanfaat yang mau kita kembangkan, dan kita dapat membedakannya secara pasti dan tepat dari tataran cita lainnya. Untuk memperoleh kesadaran pembeda ini, kita membiasakan diri kita dengan tataran cita yang diidamkan ini lewat berulang kali membangkitkannya. Ada banyak jenis meditasi yang dapat kita gunakan untuk melakukan hal ini, namun saya akan sebutkan tiga saja yang paling umum. Memusatkan Perhatian pada sebuah Sasaran Jenis meditasi yang pertama mensyaratkan pemusatan perhatian pada sebuah sasaran. Kita dapat memusatkan perhatian pada sasaran apa saja dan yang sedang coba kita kembangkan adalah pemusatan perhatian pada sasaran tersebut. Entah itu kita memusatkan perhatian pada sensasi nafas keluar masuk, atau pada sesosok Buddha terbayang, atau pada sifat cita, tetap saja hal itu merupakan pemusatan perhatian pada sebuah sasaran. Ketiga hal tadi sebetulnya adalah sasaran yang paling kerap digunakan untuk mengembangkan pemusatan perhatian. Satu ragam penting dari jenis meditasi ini adalah memusatkan perhatian pada sebuah sasaran, dan sembari memusatkan perhatian pada hal tersebut, cobalah untuk mencermatinya dengan sikap tertentu, misalnya menganggapnya sebagai hal yang tak tetap. Dengan pemusatan yang disertai pencermatan bahwa sasaran tersebut bersifat tak tetap, maka sasaran yang kita renungkan itu akan meresap ke dalam pikiran kita sebagai hal yang betul-betul bersifat tak tetap. Hal ini amat berguna untuk mengatasi kemelekatan kita pada sesuatu, seolah-olah sesuatu itu akan bertahan selamanya. 373
Contoh bagus lainnya seperti ini: Anda bersahabat atau berhubungan dengan seseorang, dan orang ini tidak menelepon atau mengunjungi Anda, dan Anda jadi kesal sekali karena hal ini. Dalam contoh ini, Anda perlu memahami dan sepenuhnya yakin pada fakta bahwa: "Aku bukanlah satu-satunya orang dalam hidup temanku ini. Ada orang lain dalam hidupnya di samping aku sendiri. Karena itu, amat tak masuk akal bagiku untuk mengharap bahwa ia akan memberikan waktunya secara mutlak untukku dan tidak akan memberikan waktunya untuk siapapun lagi." Di sini Anda sedang menentang sebuah pengarahan yang terkhayalkan dari suatu hal yang mustahil, yaitu: "Aku satu-satunya orang dalam hidup temanku ini." Dengan demikian, ketika Anda kesal karena teman Anda tak menghabiskan waktu bersama Anda, Anda mencoba untuk memusatkan perhatian pada dirinya dengan pencermatan: "Ada orang lain dan hal lain yang berlangsung dalam hidupnya di samping aku sendiri." Jadi, ketika kita bicara tentang meditasi, kita tidak bicara tentang suatu laku sihir atau ajaib, kita tidak berkelana ke tanah khayalan. Alih-alih, meditasi memerlukan cara-cara yang amat praktis untuk menghadapi duka, kesukaran, dan permasalahan dalam hidup kita. Maka, meditasi jenis pertama ini ialah pemusatan perhatian pada suatu sasaran dengan suatu sikap tertentu, entah itu hanya pemusatan perhatian saja atau disertai dengan semacam pemahaman dan pencermatan, seperti contoh teman kita tadi.
374
Membangkitkan suatu Tataran Cita Meditasi jenis kedua adalah pembangkitan suatu tataran cita tertentu, misalnya membangkitkan kasih atau welas asih, dan tetap berpusat pada perasaan itu. Penekanannya bukanlah sisasaran yang menjadi titik tuju kasih dan welas asih ini; tapi, penekanannya di sini adalah mengembangkan sebuah perasaan atau rasa. Membangkitkan sebuah Cita-Cita Meditasi jenis ketiga adalah pemusatan perhatian pada suatu sasaran dengan sebuah cita-cita meraih tujuan yang berkaitan dengannya; contohnya, memusatkan perhatian pada pencerahan kita sendiri yang belum terjadi, dengan cita-cita bahwa "Aku akan memperolehnya." Inilah yang disebut dengan meditasi bodhicita. Ketika kita bermeditasi tentang bodhicita, pusat perhatian kita bukanlah pencerahan secara umum, bukan pula pencerahan sang Buddha; alih-alih, kita memusatkan perhatian kita pada pencerahan kita sendiri. Pencerahan kita belum lagi terjadi, tapi itu bisa terjadi – kita yakin bahwa itu bisa terjadi – atas dasar sifat-sifat Buddha yang kita miliki dan juga kerja keras. Jadi, pada meditasi jenis ketiga ini kita memusatkan perhatian pada suatu tujuan mendatang dengan niat kuat untuk memperolehnya. Tiga Jenis Meditasi dalam Hidup Sehari-Hari Tiga jenis meditasi ini, kemudian, mengembangkan kebiasaankebiasaan bermanfaat yang ingin kita hadirkan dalam hidup kita. Penting sekali bahwa meditasi jangan menjadi semacam kegiatan sampingan yang tak ada hubungannya dengan hidup kita. Meditasi bukan semacam pelarian; bukan permainan, bukan pula 375
kegemaran. Meditasi merupakan suatu cara yang membantu kita mengembangkan sifat-sifat yang ingin kita bawa dalam hidup kita dan gunakan setiap harinya. Saya akan gambarkan bagaimana kita menerapkan tiga cara ini dengan menggunakan contoh-contoh yang saya sebutkan tadi. Ketika kita melakukan meditasi jenis yang pertama, yaitu pemusatan perhatian pada suatu sasaran, kita belajar untuk menenangkan cita kita dan meningkatkan kemampuan kita untuk memusatkan perhatian. Kita belajar bukan hanya memusatkan perhatian pada pekerjaan kita, tapi juga ketika kita sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Kita ingin memusatkan perhatian pada orang tersebut dan pada hal yang dikatakannya, dan bukannya membiarkan cita kita melantur memikirkan hal lainnya. Kita ingin mendengarkan tanpa di dalam hati berceloteh sana-sini, tanpa menghakimi apa yang dikatakannya: "Oh, ini kan bodoh sekali," atau "Tutup saja mulutmu itu." Kita ingin menenangkan semua celotehan dalam hati itu. Kita juga dapat melengkapi pemusatan perhatian kita atas orang ini dan atas katakatanya dengan pencermatan: "Kamu adalah manusia dan punya perasaan, persis seperti aku; kamu ingin diperhatikan ketika bicara, persis seperti aku." Inilah yang kita latih melalui meditasi pemusatan perhatian. Kita dapat gunakan meditasi jenis kedua, yaitu pembangkitan suatu tataran cita, untuk meningkatkan kasih dan welas asih yang kita miliki dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita berupaya membangkitkan kasih – keinginan agar setiap orang bahagia – tidak peduli di mana kita atau dengan siapa kita. Kasih, di sini, sungguh-sungguh berarti kasih terhadap setiap makhluk: setiap 376
orang di dalam bus, setiap orang di dalam kereta, setiap orang di jalan raya, setiap orang di toko, semua serangga – setiap makhluk. Jadi itu artinya mengembangkan rasa hormat bagi setiap makhluk. Setiap makhluk itu setara dalam keinginannya untuk bahagia dan ketakinginannya untuk tak bahagia. Dan setiap makhluk itu memiliki hak yang setara atas kebahagiaan, termasuk lalat sekalipun. Dan akhirnya, kita menggunakan meditasi untuk mengembangkan suatu cita-cita yang kita emban sepanjang hidup kita: "Aku sedang berupaya mencapai sebuah tujuan. Aku sedang mencoba mengurangi kekuranganku. Aku sedang berupaya mengembangkan sifat-sifat baik, dan aku sedang berupaya menuju pembebasan dan pencerahan." Cita-cita itu melekat dalam seluruh hidup kita, tidak hanya pada waktu singkat saat kita duduk di atas bantal. Nasihat Tsongkhapa tentang Pengembangan Tataran Cita yang Bermanfaat Tsongkhapa, guru Tibet yang luar biasa, menjelaskan dengan sangat baik apa yang betul-betul perlu kita ketahui untuk seluruh jenis meditasi ini; dengan kata lain, cara mengembangkan tataran cita yang bermanfaat sebagai landasan untuk meditasi. Ketahui Apa Pusat Perhatian Kita Pertama-tama, kita perlu mengetahui apa yang menjadi pusat perhatian kita. Ambil contoh: welas asih. Dalam memusatkan perhatian pada welas asih, kita memusatkan perhatian pada penderitaan orang lain. Ini agak berbeda dengan bodhicita. Dalam 377
bodhicita kita memusatkan perhatian kita pada pencerahan kita sendiri yang belum lagi terjadi. Sebagian orang berpikir dirinya melakukan meditasi bodhicita padahal sebenarnya mereka hanya melakukan meditasi welas asih; bodhicita dan welas asih itu tidak sama. Ketahui Semua Seginya Setelah kita menentukan sasaran pasti pemusatan perhatian kita, dalam hal ini, welas asih bagi penderitaan sesama, berikutnya kita perlu mengetahui segala segi dari sasaran itu. Jadi, kita jelajahi beragam-macam segi atau jenis penderitaan yang dialami setiap orang: ketakbahagiaan, kebahagiaan yang biasa kita rasakan, keadaan berada di bawah desakan karma, penderitaan dari kelahiran kembali yang berulang tanpa terkendali. Kita tidak begitu saja memusatkan perhatian pada jenis penderitaan segelintir makhluk saja, seperti ketakbahagiaan dan kesukaran dari orangorang yang kehilangan pekerjaannya. Dalam perkara welas asih yang luar biasa, kita memusatkan perhatian pada semua segi penderitaan yang dialami secara universal oleh setiap makhluk, termasuk binatang. Ketahui Bagaimana Cita Anda Menautkan Diri Dengannya Berikutnya kita perlu tahu bagaimana cita kita menautkan diri dengan sasaran tersebut. Pada contoh welas asih, cara cita memusatkan perhatian pada penderitaan adalah dengan keinginan agar setiap yang lain itu terlepas darinya, bahwa penderitaan itu akan lenyap. Jadi sekali lagi, pemikiran ini amat berbeda dengan bodhicita. Pada bodhicita, kita memusatkan perhatian kita pada pencerahan kita yang belum lagi terjadi, dan cara kita menautkan diri dengannya, kegiatan batin kita sehubungan dengannya, adalah 378
dengan niat: "Aku akan memperoleh pencerahan." Ini berbeda sekali dengan cara kita menautkan diri dengan welas asih. Welas asih bukanlah sikap menanggapi penderitaan seperti "Oh, betapa mengerikan!" Welas asih dilakukan dengan keinginan: "Semoga penderitaan mereka tiada." Ketahui Apa yang Akan Membantu Pengembangannya Lalu, kita perlu tahu apa yang akan membantu kita dalam mengembangkan tataran cita ini. Dalam contoh kita tadi, welas asih itu didukung dengan memiliki niat atau rasa yang sama terhadap penderitaan kita sendiri. Itu yang biasanya disebut "penyerahan" – penyerahan itu memusatkan perhatian pada penderitaan kita sendiri, dan membuat tekad-bulat untuk bebas dari penderitaan dan bebas dari sebab-sebab penderitaan. Ingin bebas dari sebabsebab penderitaan itu berarti bersedia untuk meninggalkan perilaku yang menyebabkan diri ini jadi sengsara, seperti sifat gampang marah, misalnya. Kalau kita betul-betul bisa mengembangkan tekad-bulat untuk diri kita sendiri supaya bebas dari penderitaan, maka itu akan mendukung kita untuk mampu mengarahkan sikap itu, keinginan itu, kepada yang lain dengan tingkat kesaratan yang sama seperti yang akan kita pusatkan pada diri kita sendiri. Ketahui Apa yang Akan Merugikan bagi Pengembangannya Kita juga perlu tahu apa yang akan menghambat pengembangan tataran cita ini. Hal yang akan menghambat pengembangan welas asih adalah sikap meremehkan orang lain dan meremehkan penderitaan mereka. Untuk itu kita perlu berpikir, "Setiap makhluk ingin bahagia. Tak ada yang ingin tak bahagia. Tak ada yang berbeda dalam hal hasratnya untuk bebas dari duka. Kita semua 379
sama. Dan setiap makhluk memiliki rasa, sama seperti diriku. Setiap makhluk yang menderita itu terluka seperti penderitaanku melukaiku juga. Mereka ingin bebas dari penderitaan mereka, sama seperti aku ingin bebas dari penderitaanku pula." Jadi kita mengembangkan kepekaan terhadap yang lain, menghormati yang lain. Jika kita tidak memiliki kepekaan dan rasa hormat itu, kita akan terhambat dalam pengembangan welas asih yang tulus. Ketahui Penerapannya Tsongkhapa melanjutkan dengan mengatakan bahwa begitu kita mengembangkan tataran cita ini, apa yang akan kita perbuat dengannya? Dengan kata lain, apa penerapannya? Aku mengembangkan welas asih, terus apa? Welas asih akan membantu dalam hubunganku dengan orang lain; welas asih akan membantuku berupaya jadi manfaat bagi mereka; dan welas asih akan benar-benar mendorongku dan mendesakku untuk mencapai tujuan utamaku, pencerahan, sehingga aku sungguh-sungguh mampu menolong yang lain. Aku paham bahwa yang mencegahku untuk mampu menolong mereka sekarang ini adalah keterbatasan diriku sendiri, dan karena itu aku ingin sekali mengatasi keterbatasanku. Ketahui Apa yang Akan Dihilangkannya Hal berikutnya yang perlu kita ketahui ialah: Apa yang akan dihilangkan atau dilenyapkan oleh tataran cita ini? Welas asih akan menghilangkan rasa beku-hati yang membuat kita mengabaikan yang lain. Welas asih akan menolongku melenyapkan sikap malas menolong yang lain, dan itu akan menolongku mengatasi sikap malas berupaya untuk diriku sendiri. Dengan menghilangkan rasa beku-hati ini, aku bisa menolong yang lain lebih lagi. 380
Jika kita tahu semua unsur untuk mengembangkan dan memeditasikan welas asih ini, maka kita bisa yakin sekali bahwa kita sedang melakukan meditasi ini dengan benar; kita tahu pasti apa yang sedang kita lakukan dan mengapa kita melakukannya. Kita telah bersiap dengan benar untuknya. Kalau tidak, itu ibarat lompat ke air dalam di kolam berenang padahal kita tak tahu cara berenang. Kalau kita cuma berkata, "Nah, duduk saja dan mulailah bermeditasi," dan kita tak tahu apa yang kita lakukan, besar sekali kemungkinan upaya kita itu tidak berbuah hasil yang manis. Sesi Dua: Pendahuluan Menuju Meditasi Lingkungan yang Menunjang Meditasi Untuk benar-benar masuk ke dalam meditasi, kita membutuhkan keadaan-keadaan yang menunjang kelancarannya. Ada banyak daftar anasir yang akan menunjang meditasi, namun kesemua ini biasanya dibahas atau disajikan dalam lingkung meditasi yang dilakukan dalam sebuah undur-diri, padahal sebagian besar dari kita melakukan meditasi di rumah. Di rumah sekalipun, hal yang akan sangat berguna bagi meditasi kita adalah tiadanya gangguan. Lingkungannya mesti setenang mungkin. Banyak dari kita yang tinggal di pinggir jalan raya yang ramai, dan karenanya bermeditasi di pagi buta atau larut malam, saat lalu-lintas lengang, jadi lebih baik. Selain itu, sebaiknya pula tidak ada musik atau televisi di ruang sebelah lingkungan meditasi kita. Hal-hal semacam ini cukup penting. Jika lingkungan yang tenang tidak memungkinkan, maka coba gunakan sumbat telinga. Sumbat telinga mungkin tidak sepenuhnya menghalau masuknya suara bising, tapi tentu akan membuat suara bising itu sedikit reda. 381
Banyak dari kita yang tidak mampu memiliki ruang meditasi tersendiri. Anda dapat gunakan ruang apapun yang tersedia. Meditasi di atas tempat tidur, jika harus, tidak jadi masalah. Sebagian besar orang Tibet di India bermeditasi di atas tempat tidur mereka. Anasir lain yang cukup penting adalah ruangan yang bersih dan rapi. Kalau lingkungannya bersih dan rapi, itu dapat mempengaruhi cita supaya bersih dan rapi pula. Kalau ruangannya urakan, berantakan, atau kotor, cita kita cenderung kacau juga. Karena itu, salah satu pendahuluan yang selalu menjadi syarat sebelum meditasi adalah membersihkan ruang meditasi, dan membuat semacam sesaji, sekalipun hanya secangkir air putih saja. Kita mau menunjukkan rasa hormat atas apa yang sedang kita lakukan, dan jika kita berpikir untuk mengundang hadirnya para Buddha dan bodhisatwa, maka kita mesti mengundang mereka ke sebuah ruang yang bersih, bukan yang berantakan atau kotor. Bahkan pada tataran kejiwaan yang biasa sekalipun, penting sekali untuk memiliki rasa hormat pada apa yang sedang kita lakukan, dan memperlakukannya sebagai suatu hal yang istimewa. "Istimewa" bukan berarti menciptakan sebuah lingkungan yang wah, seperti latar ruang untuk film Hollywood dengan dupa dan lilin, tapi cukup sederhana, biasa, rapi, bersih, dan penuh rasa hormat saja. Sikap Tubuh Di seluruh budaya Asia yang beragam, sikap tubuh yang digunakan orang untuk meditasi itu bermacam-macam. Sikap tubuh meditasi di India/Tibet, Cina/Jepang, dan Thailand semuanya berbeda. Mereka duduk dengan sikap tubuh yang berbeda, jadi kita tidak bisa bilang bahwa satu jenis sikap tubuh itu adalah satu-satunya yang benar. Orang India dan Tibet duduk 382
dengan kaki bersila. Seringnya, orang Jepang, dan sebagian orang Cina, duduk bersimpuh. Orang Thailand duduk dengan kaki mereka ditekuk ke samping. Untuk laku tantra, yang di dalamnya kita berupaya dengan tenaga-tenaga raga, dibutuhkan sikap tubuh padmasana (rdo-rje skyil-krung), tapi sebagian besar dari kita tidak berada di tingkat laku tersebut. Jika Anda bercita-cita untuk mampu melakukan jenis laku tersebut, amat dianjurkan supaya Anda, mulai dari sejak awal sekali, duduk dalam sikap padmasana, karena sukar sekali untuk mulai menggunakan sikap padmasana di waktu lanjut dalam hidup kita. Untuk orang-orang Barat, jika Anda dapat duduk dengan sikap tubuh yang manapun dari sikap tubuh yang dilakukan dalam adat Asia ini, itu bagus sekali; jika tidak, duduk di kursi pun boleh. Pokok terpenting ialah bahwa punggung Anda tegak lurus. Mengarahkan Pandangan Mengenai mata, beberapa meditasi dilakukan dengan mata tertutup, beberapa dengan mata terbuka, beberapa dengan mata melihat ke bawah, beberapa dengan mata menengadah; tergantung pada meditasinya sendiri. Umumnya, orang Tibet tidak bermeditasi dengan mata tertutup. Selain karena akan lebih mudah tertidur ketika mata tertutup, sikap itu juga cenderung akan memunculkan rintangan batin – Anda merasa bahwa untuk bermeditasi, Anda harus menutup mata. Jika Anda merasa bahwa Anda harus menutup mata untuk bermeditasi, akan jadi lebih sulit untuk menyatukan hal yang Anda kembangkan dalam meditasi ke dalam kehidupan nyata. Contohnya, jika saya sedang berbicara dengan seseorang, dan untuk membangkitkan rasa kasih saya harus menutup mata – jadinya aneh. Maka, dalam adat Tibet, untuk 383
sebagian besar meditasi, kita menjaga mata setengah terbuka, dengan bidikan longgar, menatap ke bawah lantai. Alas Duduk Jika Anda duduk bersila, penting untuk memilih alas duduk/bantal yang cocok. Ada orang yang bisa duduk nyaman di lantai, dan kaki mereka tidak kebas. Yang Mulia Dalai Lama, misalnya, duduk seperti itu saat ia mengajar. Tapi untuk kebanyakan kita, jika kita duduk tanpa bantal, kaki kita lebih cepat terasa kebas. Jadi Anda bisa mencoba duduk dengan bantal sebagai alas, supaya paha lebih tinggi dari lutut. Anda perlu memilih jenis bantal yang terbaik untuk Anda: tebal atau tipis, keras atau empuk, dan seterusnya. Tiap orang berbeda-beda. Pokok yang terpenting ialah bahwa Anda merasa nyaman, dan bantal Anda mencegah kaki Anda kebas, karena hal itu akan terasa amat tidak menyenangkan. Banyak pusat-pusat ajaran Buddha yang menggunakan bantal zafu tebal yang bundar atau persegi, tapi bantal zafu Zen tersebut dimaksudkan untuk sikap duduk bersimpuh gaya Jepang. Bantal zafu tebal tidak cocok untuk duduk bersila karena terlalu tinggi. Mungkin sebagian orang bisa duduk bersila dengan nyaman di atas bantal zafu ini. Tapi untuk sebagian besar orang, bantal tersebut terlalu tinggi dan terlalu keras. Jika pusat ajaran Anda hanya menyediakan bantal zafu tebal, dan Anda duduk dengan sikap bersila, Anda mungkin perlu membawa bantal Anda sendiri. Memilih Waktu Bermeditasi Bagi sebagian besar orang, meditasi paling baik dilakukan sebagai kegiatan pertama di pagi hari atau terakhir di malam hari, sehingga gangguan kegiatan harian akan lebih sedikit. Sebagian besar orang merasa lebih terjaga di pagi hari, dan yang lain di malam hari 384
– yang biasa disebut "manusia pagi" dan "kelelawar malam". Anda mengenal diri dan gaya hidup Anda lebih baik dari orang lain, sehingga Anda bisa menentukan mana waktu yang terbaik. Yang sangat tidak dianjurkan adalah bermeditasi ketika mengantuk. Kalau Anda mengantuk di malam hari, tapi Anda mencoba bermeditasi sebelum tidur, Anda bisa tertidur di tengah meditasi, dan itu jadi tak berguna sama sekali. Dan sebaliknya di pagi buta: jika Anda masih setengah bangun, meditasi Anda akan jadi tidak sangkil sama sekali. Jadi silakan Anda nilai sendiri mana yang terbaik. Tidak masalah jika Anda minum kopi atau teh terlebih dahulu sebelum meditasi di pagi hari, meskipun orang Tibet sendiri tidak melakukan kebiasaan itu. Guru saya, Serkong Rinpoche, adalah salah satu guru bagi Yang Mulia Dalai Lama. Ia menggambarkan bagaimana mereka bermeditasi di wihara-wihara perguruan tantra di Tibet tempatnya berlatih. Semua biksu duduk di aula meditasi, dan mereka akan tidur di sana, duduk di tempat mereka, seperti menyandarkan kepala mereka di pangkuan teman sebelahnya. (Orang Tibet tidak risih dengan sentuhan badan.) Lonceng berdentang membangunkan mereka pagi-pagi sekali, dan mereka diminta untuk duduk tegak dan memulai meditasi mereka, pendarasan mereka, dan seterusnya. Kecuali Anda seorang dokter yang terbiasa dibangunkan di tengah malam dan langsung bangkit dan mengerjakan operasi bedah, atau sejenisnya, akan sangat sukar sekali untuk mulai bermeditasi langsung setelah bangun dari tidur. Berapa Lama Kita Bermeditasi Jika Anda baru saja memulai laku meditasi, juga penting bagi Anda untuk melakukannya dengan singkat tapi kerap. Sebagai pemula, mencoba duduk dan bermeditasi selama berjam-jam bisa jadi amat 385
menyiksa. Di beberapa tempat mereka memang melakukannya, tapi secara umum orang Tibet tidak menganjurkannya karena jika meditasi dianggap siksaan, Anda tidak akan mau melakukannya! Anda akan menanti-nanti kapan meditasi itu selesai. Jadi untuk awalan, bermeditasilah selama sekitar lima menit – itu saja sudah cukup. Di wihara-wihara Theravada, mereka mengganti meditasi duduk dengan meditasi berjalan, jadi mereka tidak melakukan kegiatan yang sama untuk waktu yang lama. Perumpamaan yang digunakan orang Tibet itu seperti ini: kalau seorang teman sedang berkunjung, dan ia tinggal terlalu lama, Anda jadi tak sabar menanti kapan ia pergi. Dan setelah ia pergi, Anda jadi tidak penasaran untuk bertemu dengannya lagi. Tapi jika teman tadi pergi justru ketika Anda ingin lanjut menghabiskan waktu bersamanya, maka Anda akan senang sekali untuk segera bertemu dengannya lagi di lain waktu. Demikian juga, sikap tubuh meditasi kita, tempat duduk meditasi, dan waktu meditasi kita sebaiknya menyamankan kita, sehingga kita akan menyukai laku meditasi kita. Mengatur Niat Sebelum bermeditasi, penting bagi Anda untuk mengatur niat Anda. Malah, mengatur niat ini merupakan sesuatu yang dianjurkan untuk dilakukan segera setelah Anda membuka mata pertama sekali di pagi hari. Segera setelah Anda bangun, selagi masih di atas tempat tidur, Anda dapat mengatur niat Anda untuk hari itu. Bisa seperti: "Hari ini aku akan mencoba untuk tidak marah. Aku akan mencoba untuk lebih bertenggang rasa. Aku akan mencoba untuk mengembangkan lebih banyak rasa positif lagi terhadap yang lain. Aku akan mencoba membuat hari ini menjadi hari yang berarti, dan tidak menyia-nyiakannya." 386
Ada satu koan Zen luar biasa yang amat saya sukai: "Kematian bisa datang kapanpun: Santai saja." Kalau Anda renungkan, itu pemikiran yang amat mendalam. Jika Anda tegang, jika Anda sangat gugup dan gusar karena kematian bisa datang sewaktuwaktu, Anda tidak akan mampu menyelesaikan apapun. Anda mungkin berpikir: "Belum cukup yang kulakukan. Aku masih kurang bagus lagi." Tapi jika Anda tahu bahwa maut bisa datang kapan saja, dan Anda santai menyikapinya, maka Anda akan melakukan apapun yang Anda bisa, secara berarti dan makul, tanpa cemas, gugup, atau tegang. Jadi ingatlah bahwa kematian bisa datang kapanpun, dan santai saja! Sebelum bermeditasi, kita mengatur niat kita: "Aku akan mencoba untuk bermeditasi selama sekian menit. Aku akan mencoba memusatkan perhatian. Kalau aku merasa mulai mengantuk, aku akan gugah diriku. Kalau perhatianku melantur, aku akan coba memusatkannya kembali. Anggap hal ini dengan sungguhsungguh, jangan hanya kata-kata di mulut saja – cobalah untuk benar-benar menjaga niat itu dalam cita Anda, dan ikutilah. Menjaga niat itu bisa jadi sulit sekali. Kalau Anda jadi punya kebiasaan buruk menggunakan waktu meditasi Anda untuk memikirkan soalan-soalan lain, sekalipun soalan itu adalah gagasan Dharma yang lain, itu bakal jadi kebiasaan yang sukar dihilangkan. Saya bicara ini berdasarkan pengalaman: hal itu merupakan kebiasaan yang sukar dihilangkan, jadi cobalah untuk mengatur, dan mengikuti, niat yang benar sebelum Anda bermeditasi. Dorongan Berikutnya, dorongan. Dalam lingkung Buddha Tibet, dorongan ada dua bagian. Bagian pertama ialah tujuan: Apa yang kita coba 387
capai? Tujuan-tujuan bakunya digambarkan dalam "tingkat bertahap jalan batin" (lam-rim). Seperti yang digambarkan di dalam lam-rim, tujuan-tujuannya adalah: (a) meningkatkan kehidupan di masa depan, (b) memperoleh pembebasan penuh dari kelahiran kembali, dan (c) mencapai pencerahan sehingga dapat menolong setiap yang lain untuk memperoleh pembebasan dari kelahiran kembali. Saat merenungkan dorongan Anda, jujur pada diri sendiri itu amat penting. Apakah Anda sungguh percaya pada kelahiran kembali? Sebagian besar dari kita tidak. Karena itu, mengatakan bahwa "Aku melakukan ini untuk memastikan bahwa aku memperoleh kelahiran kembali yang berharga sebagai manusia di kehidupanku yang mendatang", atau "Aku melakukan ini supaya bebas sepenuhnya dari kelahiran kembali", atau "Aku melakukan ini supaya tercerahkan sehingga aku dapat menolong setiap yang lain untuk bebas dari kelahiran kembali" – semua itu hanyalah katakata kosong belaka kalau kita tidak percaya pada kelahiran kembali. Jika kita melakukan meditasi sebagai bagian dari yang saya istilahkan dengan "Dharma-sari", itu boleh saja, tapi kita harus jujur pada diri kita. Anda tak perlu memberitahukannya pada orang lain, yang penting jujurlah pada diri sendiri tentang dorongan Anda: "Aku melakukan ini untuk memperbaiki keadaanku di masa hidupku yang sekarang ini." Boleh saja; itu jadi dorongan yang sah, selama Anda jujur tentang hal itu. Di lain pihak, penting pula untuk menaruh rasa hormat pada tujuan-tujuan jangka panjang yang asli dalam ajaran Buddha, dan tidak berpikir bahwa laku ajaran Buddha hanyalah untuk memperbaiki segala sesuatu di masa hidup yang sekarang ini.
388
Bagian pertama dari dorongan tersebut adalah: Apa yang kita tuju? Bagian keduanya ialah perasaan di baliknya, yang mendorong kita ke arah itu. Contohnya: "Aku mau memperoleh kelahiran kembali yang berharga sebagai manusia di kehidupan-kehidupan mendatang (tujuannya) karena betapa mengerikannya bagiku jika harus terlahir kembali sebagai seekor lalat, atau kecoa, atau kelahiran kembali yang lebih rendah (perasaannya). Aku betulbetul mau menghindari kelahiran kembali yang lebih rendah, dan aku yakin bahwa ada cara untuk menghindari hal itu." Ini bukan jenis rasa takut yang melumpuhkan, seperti "Keadaan ini sudah tak bisa diapa-apakan lagi. Aku tak berdaya," tapi justru semacam pemahaman bahwa "Aku benar-benar tak menginginkannya, dan aku tahu ada cara untuk menghindarinya." Mirip dengan rasa takut mengalami kecelakaan saat berkendara – saya akan berhati-hati, tapi saya juga tidak dilumpuhkan oleh rasa takut itu sehingga tak mau mengemudi sama sekali. Contoh dorongan yang lain adalah "Aku jijik, bosan, dan muak betul dengan semua penderitaan yang ada duka kelahiran kembali (perasaannya) dan aku ingin lepas (tujuannya). Hakikat dari perasaan di balik penyerahan adalah "Betapa membosankannya menjadi bayi lagi, belajar segala hal dari awal lagi, harus menjalani pendidikan lagi dan mencari cara memperoleh nafkah lagi. Repot sekali kalau harus sakit dan jadi tua lagi dan lagi. Rasanya seperti nonton film jelek berulang-ulang kali. Betapa membosankan. Cukup sudah!" Dorongan untuk bodhicita, menjadi tercerahkan, adalah bahwa aku tersentuh oleh rasa welas asih: "Aku tak bisa melihat setiap orang menanggung duka yang sarat. Aku harus bisa mencapai tingkat yang memampukanku menolong orang lain mengatasi duka." 389
Jadi dorongan itu mencakup sebuah tujuan, dan suatu alasan perasaan tentang mengapa kita ingin mencapai tujuan tersebut. Dorongan juga meliputi apa yang akan kita perbuat begitu kita mencapai tujuan itu: "Dengan kelahiran kembali yang berharga sebagai manusia yang aku miliki, aku akan berupaya mencapai pencerahan." Ketika kita menjalankan laku dalam aliran Mahayana, tiap-tiap dari tiga tingkat dorongan tersebut berada pada lingkung upaya mencapai pencerahan sebagai tujuan puncak. Tingkat dorongan yang pertama adalah "Aku ingin memperoleh kelahiran kembali yang berharga sebagai manusia untuk melanjutkan jalan menuju pencerahan, karena akan butuh banyak masa hidup untuk meraih tujuanku ini." Tingkat dorongan yang kedua adalah "Aku ingin memperoleh pembebasan dari karma dan perasaan-perasaan gelisah, karena aku tak bisa menolong yang lain kalau aku marah pada mereka, kalau aku melekat pada mereka, atau kalau memiliki berperilaku gandrung. Aku tak bisa benar-benar menolong yang lain kalau aku merasa sombong dan pongah tentang hal itu. Jadi aku mesti memperoleh pembebasanku sendiri." Dan akhirnya, dorongan tertinggi adalah "Aku ingin memperoleh pencerahan sehingga aku memiliki pengetahuan yang lengkap tentang cara terbaik untuk menolong tiap-tiap orang." Dorongan itu amat penting. Tsongkhapa menekankan bahwa dorongan itu merupakan sesuatu yang perlu kita miliki di sepanjang hari, bukan hanya di awal babak meditasi kita. Dan dorongan tersebut jangan hanya berupa kata-kata manis saja; kita harus sungguh-sungguh dengannya. Dan sungguh-sungguhitu artinya apa? Artinya ialah bahwa kita telah menyelami dorongan itu dengan begitu menyeluruh, lewat laku meditasi, sehingga 390
dorongan itu merupakan perasaan alami nan asli, dan menjadi satu kesatuan dengan cara kita menjalani hidup sehari-hari. Menenangkan Diri sebelum Meditasi Begitu kita telah menciptakan lingkungan ragawi yang benar dan mengatur dorongan kita, kita perlu menenangkan diri. Seringnya itu dilakukan dengan semacam meditasi pernapasan, seperti menghitung napas. Selain menghitung napas, ada beragam latihan yang lebih rumit, yang dapat kita lakukan dengan napas kita. Laku Tujuh-Dahan Kerap dianjurkan bahwa kita membina tenaga positif pada awal meditasi, dan untuk hal itu kita gunakan apa yang dikenal sebagai "doa tujuh-dahan", atau "laku tujuh-dahan". Dalam lingkung ini, "dahan" berarti "langkah". (1) Sujud-sembah, dengan Berlindung dan Bodhicita Dahan pertama adalah sujud-sembah, yang berarti menunjukkan rasa hormat pada mereka yang telah mencapai pencerahan; menunjukkan rasa hormat pada pencerahan kita sendiri di masa depan, yang kita tuju dengan bodhicita; dan menunjukkan rasa hormat pada sifat-Buddha kita, yang akan memampukan kita mencapai tujuan itu. (2) Sesaji Langkah kedua adalah membuat sesaji, yang juga berarti menunjukkan rasa hormat. (3) Mengakui Kekurangan
391
Berikutnya adalah secara terbuka mengakui kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan kita. Ini tidak berarti merasa bersalah akan kesalahan-kesalahan kita; rasa bersalah tidak cocok. Rasa bersalah itu artinya berpegang pada perbuatan yang pernah kita lakukan dan mencap tindakan itu sebagai tindakan buruk; berpegang pada diri kita sendiri dan mencap diri kita sebagai diri yang buruk karena pernah melakukan tindakan itu, dan tak mau lepas dari hal itu. Ibarat tak mau membuang sampah, dan malah tetap menyimpannya di rumah sambil berpikir: "Sampah ini gawat sekali. Baunya menyengat." Alih-alih perasaan bersalah, dahan yang ketiga adalahmenyesali kesalahan-kesalahan kita: "Aku menyesali tindakan-tindakanku, dan aku akan berupaya sebaik mungkin untuk tidak mengulanginya. Aku akan berupaya sebaik mungkin untuk mengatasi kekurangan-kekuranganku." (4) Bersukacita Langkah keempat ialah bersukacita atas hal-hal positif yang telah kita dan yang lain lakukan, sehingga kita memiliki sikap yang lebih positif terhadap diri kita sendiri dan terhadap yang lain. (5) Memohon Ajaran Kemudian kita memohon para guru dan para Buddha untuk mengajar kita: "Tolong ajari saya senantiasa. Saya terbuka dan akan menerima." (6) Memohon Para Guru untuk Tidak Berlalu Dahan berikutnya ialah: "Jangan pergi. Jangan berlalu. Saya sungguh betul mau belajar, dan saya mohon Anda tetap bersama saya." 392
(7) Persembahan Terakhir, persembahan. Persembahan itu dapat dipahami sebagai tindakan mengarahkan tenaga sedemikian rupa. Kita berpikir: "Apapun daya positif, apapun pemahaman yang telah terbina, semoga semua itu punya andil dalam upayaku mencapai niatku." Perumpamaan yang suka saya gunakan itu seperti menyimpan pekerjaan kita di sebuah komputer. Kalau kita tidak menyimpannya di sebuah map yang khusus, map "Pembebasan" atau "Pencerahan", maka setelan dasarnya adalah bahwa pekerjaan kita dengan sendirinya akan disimpan di map "Memperbaiki Samsara". Menyimpan pekerjaan kita di dalam map "Memperbaiki Samsara" itu boleh, tapi kalau itu bukan tujuan kita, kalau kita ingin pekerjaan kita masuk hitungan dalam upaya memperoleh pembebasan atau memperoleh pencerahan, maka kita mesti dengan sengaja menyimpannya di dalam map "Pencerahan". Itulah persembahannya. Dan kita sungguh-sungguh; bukan hanya sebatas ucapan saja. Kita mempersembahkan tenaga positif dengan perasaan di baliknya, dengan welas asih, dsb. Setelah doa tujuh-dahan ini selesai, barulah kita memulai meditasi kita, dan di akhir meditasi itu, kita membuat persembahan lain. Kesimpulan Anda bisa lihat bahwa meditasi merupakan suatu jalan yang amat pelik, dan arahan-arahan cara melakukannya pun cukup teliti. Di sini saya baru memberikan arahan-arahan umumnya saja; masingmasing meditasi akan memiliki arahannya tersendiri. Amat sangat penting untuk mengetahui apa yang kita lakukan, bagaimana kita melakukannya, dan mengapa kita melakukannya. 393
Ada beberapa aliran Buddha, seperti aliran Zen, yang bilang, "Duduklah, bermeditasilah, dan Anda akan mengetahuinya sambil jalan." Walau ini mungkin bisa berhasil untuk sebagian orang, bisa juga bagi sebagian yang lain ini cukup sukar. Banyak orang mendapati bahwa pendekatan itu amat sulit. Karena itu, yang saya sajikan ini adalah meditasi yang berasal dari aliran Indo-Tibet. Tanya-Jawab Tanya: Ketika Anda menjelaskan jenis-jenis meditasi tadi, ada tiga jenis. Salah satunya adalah pemusatan perhatian. Dan semuanya, lebih kurang, melibatkan kegiatan batin. Pertanyaan saya: Apakah mungkin mencapai tingkat meditasi tinggi – seperti dari shamatha ke vipashyana ke tantra dan dzogchen – tanpa mengembangkan pemusatan perhatian dengan shamathaterlebih dahulu? Alex: Saya rasa tidak bisa. Saya rasa semua arahan dan panduan meditasi yang beragam yang telah saya baca atau dengar mensyaratkan bahwa kita mesti mengembangkan pemusatan perhatian terlebih dahulu. Nah, perlu tidaknya Anda mengembangkan tingkat shamatha sepenuhnya itu soal lain. Dalam tantra, misalnya, ada cara-cara khusus untuk mampu mengembangkan shamatha dan vipashyana sekaligus. Jadi, dalam tiap tata bisa ada bermacam cara untuk mencapaishamatha dan vipashyana. Shamatha adalah tataran cita yang diam dan mapan, jadi cita itu diam dari segala kelana dan ketumpulan batin, dan ia juga mapan, maksudnya terpusat pada suatu sasaran atau suatu cara memandang berbagai hal. Jadi, 100% seperti itu, terpusat sepenuhnya. Ditambah lagi, dalam shamatha ada perasaan bugar, 394
yang merupakan perasaan menggembirakan (tapi tidak secara mengusik) karena secara raga dan batin mampu memusatkan perhatian pada apapun, selama yang Anda mau. Jadi, seperti tubuh Anda terlatih dengan amat sangat baik, sehingga Anda memiliki perasaan kebugaran ragawi bahwa Anda bisa melakukan hampir setiap hal, apapun itu. Sungguh keadaan yang menggembirakan. Dan kemudian vipashyana yang pasti atau sebenarnya itu merupakan, di atas shamatha, suatu tataran cita yang tanggap secara istimewa yang mampu memandang apapun juga, dan memiliki perasaan tambahan berupa kebugaran. Jadi, baik itu meditasi dzogchen atau meditasi tantra biasa atau apapun, pasti unsur-unsur ini tadi pasti ada. Tanya: Dewasa ini, kerap kali ada guru yang datang ke Ukraina dan Rusia yang memberikan ajaran tentang pokok yang amat mendalam seperti tantra atau atiyoga, dan, misalnya, kursus sepuluh hari tentang vipashyana pun tersedia luas. Pertanyaan saya, pertama, apakah masuk akal untuk menghadiri ajaran-ajaran itu kalau saya belum cukup kuat mengembangkanshamatha? Dan yang kedua: Mengapa para guru itu mengajarkannya, kalau belum ada dasar shamatha yang cukup kuat pada diri para muridnya? Alex: Pertama-tama, mencapai shamatha itu sukar sekali (walau di dalam naskah-naskah ada dikatakan bahwa jika kita kerja keras, kita dapat mencapainya dalam tiga bulan). Saat menghadiri ajaran apapun, pemusatan perhatian tetap perlu. Kalau Anda hanya datang dan tidur di sepanjang ceramah, atau pikiran Anda melantur atau terusik di sepanjang ceramah, apa gunanya. Jadi kita mesti punya setidaknya setingkat tertentu pemusatan perhatian untuk 395
menghadiri ceramah apapun dan merasakan manfaatnya. Tidak harus shamatha yang lengkap. Malah, jika kita menunggu sampai mencapai shamatha yang lengkap, kita mungkin takkan pernah menghadiri ceramah apapun! Orang Tibet itu orang-orang yang yakin sepenuhnya pada kehidupan di masa mendatang. Ketika para guru mengajarkan pokok-pokok yang bersifat lanjutan ini, sering kali mereka bilang bahwa mereka melakukannya untuk menanam benih bagi kehidupan mereka di masa depan; mereka tidak berharap Anda akan memahami atau melakukan keterampilan-keterampilan maju di masa hidup sekarang ini. Dan secara demikian inilah banyak orang awam Tibet (dan bahkan biksu atau biksuni) mengikuti ceramah – untuk menanam benih bagi kehidupan di masa mendatang. Jadi dari sisi Tibet, cara pikir para guru mengenai alasan mereka mengajarkan hal-hal ini berbeda sekali dibandingkan apa yang cara pikir kita, orang Barat. Dan kemudian Anda perlu pertimbangkan dari sisi para penyelenggara di pusat-pusat Dharma pula. Kalau para penyelenggara pusat Dharma menawarkan kursus tantra ataudzogchen atau pokok bahasan yang jarang didengar, pokok bahasan tersebut akan menarik minat lebih banyak orang dibanding kalau mereka menawarkan kursus tentang perlindungan, atau pokok lain yang tampak biasa saja. Para penyelenggara pusat Dharma punya tekanan untuk membayar sewa gedung pusat Dharma itu, dan membiayai kedatangan guru yang akan mengajar, dan seterusnya. Jadi ada alasan-alasan samsara ekonomi juga. Dan lagi, ada sedikit alasan lain jika dilihat dari sisi Tibet, meskipun sebetulnya tidak begitu kuat, yaitu karena, sementara para guru tidak terlalu pilih-pilih dengan apa yang 396
mereka ajarkan (ada juga yang begitu), mereka tetap memiliki tekanan luar biasa untuk membawa pulang uang bagi kelangsungan hidup para biksu di wihara mereka. Itu sungguhsungguh tekanan yang amat nyata yang mereka alami, maka mereka dapat manfaat jika ada banyak khalayak yang menghadiri ajaran mereka. Kita ini, sayangnya, tidak hidup di dunia yang serba-baik. Jadi ketika para guru ini datang, dan mereka mengajarkan pokokpokok bahasan yang amat maju, kalau pilihannya itu hadir atau tidak, maka, dilihat dari banyak sudut, pilihan terbaik tetaplah hadir. Tapi kita jangan sampai berpurbasangka dan berpikir bahwa: "Tingkatku sudah tinggi jadi aku bisa benar-benar melakukan semua ini sekarang, di kehidupan yang ini." Dan kebalikannya juga: kita jangan lesu darah dan berpikir, "Oh, ini sudah terlampau maju, tak mungkin aku mampu melakukannya." Semakin lama seseorang berlatih (dan maksudnya di sini sampai berpuluh-puluh tahun), maka semakin ia menyadari bahwa ia mesti kembali ke awal, dan berupaya pada langkah-langkah awal-mula yang amat sangat penting ini. Tanpa langkah-langkah awal-mula, segala sesuatu di atasnya jadi tak masuk akal, tak punya isian, dan hanya kata-kata kosong melompong. Kita harus teguh berpikir: "Apa yang kuperbuat untuk siap-siap mampu lanjut melangkah di jalan kehidupan-kehidupanku yang mendatang? Seberapa bersungguhsungguh aku terhadap persoalan itu? Dan langkah-langkah nyata apa yang kuambil untuk menuju ke arah itu?" Mencapai tingkat itu, tingkat di mana kita jadi tulus, sudah luar biasa. Tanya: Saya punya pertanyaan tentang kelahiran kembali. Saya rasa gagasan bahwa seorang manusia dapat terlahir kembali sebagai binatang itu aneh, karena kesadaran manusia jauh lebih 397
berkembang. Bagaimana bisa kesadaran manusia terlahir kembali sebagai seekor binatang atau serangga atau sejenisnya? Mungkin ajaran Buddha hanyalah agama untuk khalayak yang lebih luas, untuk orang banyak, dan para guru sebetulnya tidak percaya pada kelahiran kembali? Alex: Pertama-tama, saya berani bilang bahwa para guru sungguhsungguh percaya pada kelahiran kembali. Mereka tidak berpurapura percaya – mereka secara mutlak mempercayainya. Yang kita bicarakan di sini itu kegiatan batin, dan anasir-anasir umum yang mencirikan kegiatan batin kita. Yang mencirikan kegiatan batin manusia adalah kecerdasan, dan kecerdasan tersebut, seperti kita ketahui, bisa dinilai dari rentang "tidak sangat cerdas" ke "sangat cerdas". Namun ada anasir-anasir lain yang merupakan bagian dari kegiatan batin, misalnya amarah, keserakahan, kemelekatan, keterusikan, dan perilaku-perilaku gandrung yang dibawa oleh anasir-anasir batin ini. Pada sebagian orang, anasir-anasir ini melingkupi kegiatan batin mereka sehingga mereka tidak menggunakan kecerdasan manusia mereka, alih-alih mereka hidup utamanya di atas dasar keserakahan, amarah, dan seterusnya. Contohnya, ada orang yang hasrat sanggamanya berlimpah-limpah dan berpesiar dari bar ke bar, bertemu orang lain, dan bercinta dengan hampir setiap orang yang ditemui – orang macam itu berperilaku layaknya seekor anjing, bukan begitu? Seekor anjing akan menaiki anjing lain manapun yang ditemuinya, kapanpun itu; anjing tidak mencoba mengendalikan dirinya. Kalau seorang manusia bertingkah seperti itu, manusia itu membina kebiasaan tabiat binatang. Karena itu tidaklah mengherankan, kalau kita pikirkan kelahiran kembali itu, bahwa tabiat nafsu orang tersebut akan menjadi setelan kegiatan batin yang menonjol yang 398
akan dimilikinya di kehidupan mendatang, dan ia akan menjelma ke dalam suatu raga yang akan menjadi dasar yang cocok bagi kegiatan batin tersebut, yaitu, kelahiran kembali sebagai seekor binatang. Jadi, sangat berguna bagi kita untuk memeriksa perilaku kita: "Apakah aku bertingkah seperti binatang ini atau itu? Coba pikirkan lalat. Batin yang melantur ke mana-mana itu sama dengan tabiat lalat. Seekor lalat tidak bisa tetap di satu tempat untuk beberapa saat sekalipun; ia terus-menerus bergerak dan terus-menerus terusik. Apa seperti itu cita kita, seperti cita seekor lalat? Kalau iya, apa yang kita harapkan di masa hidup berikutnya? Apa kita berharap bahwa kita akan menjadi cerdas dan memiliki pemusatan perhatian yang bagus? Inilah beberapa pemikiran yang menolong kita untuk memahami bahwa kita bisa terlahir kembali ke dalam banyak jenis rupa kehidupan. Ada lebih banyak lagi yang bisa dikatakan tentang pokok ini, dan sayangnya waktu kita tidak cukup untuk hari ini. Tapi penting pula untuk memahami bahwa tak ada suatu ciri bawaan dalam kegiatan batin yang membuatnya menjadi kegiatan batin manusia. Tidak ada suatu apapun yang membuat kegiatan batin itu secara khusus bersifat manusia, atau yang membuatnya laki atau perempuan atau sejenisnya. Sekadar kegiatan batin saja. Karena itu jenis kelahiran kembali yang kita miliki itu bergantung pada karma, pada beragam kebiasaan yang kita bina dengan perilaku gandrung kita, dan di masa hidup mendatang kita akan memiliki raga yang cocok sebagai dasar untuk tingkah kebiasaankebiasaan itu.
399
Mari kita akhiri di sini. Karena ini ceramah ajaran Buddha, kita dapat mengakhirinya dengan sebuah persembahan. Kita pikirkan: "Apapun pemahaman, apapun daya atau tenaga positif yang telah terbina, semoga ia merasuk lebih dan lebih dalam dan berlaku sebagai sebab bagi kita untuk mampu melanjutkan langkah di jalan batin dan untuk semua kita, dan untuk setiap orang, agar mampu mencapai pencerahan demi kebaikan semua." Terima kasih.
400
Apa Itu Kelahiran Kembali? Dr. Alexander Berzin Sama seperti agama lainnya di India, agama Buddha menyatakan adanya kelahiran kembali atau reinkarnasi. Kesinambungan batin seorang insan, dengan naluri, bakat dan seterusnya, berasal dari kehidupan masa lampau dan berlanjut ke kehidupan-kehidupan selanjutnya. Tergantung dari tindakan dan kecenderungan seseorang yang dibangun oleh mereka, seseorang mungkin dilahirkan kembali ke dalam beraneka ragam rupa kehidupan, yang lebih baik atau lebih buruk: manusia, hewan, serangga, dan bahkan hantu atau kehidupan-kehidupan halus lainnya. Semua makhluk hidup mengalami kelahiran kembali yang tak terkendali oleh karena daya dari sikap gelisah yang mereka miliki, seperti kemelekatan, amarah dan keluguan, serta perilaku gandrung yang dipicu oleh hal-hal itu. Jika seseorang mengikuti desakan negatif yang muncul dalam citanya karena pola perilaku masa lampau dan tindakan yang merusak, maka orang itu akan mengalami duka dan ketakbahagiaan. Sebaliknya, jika seseorang melakukan perbuatan yang membangun, maka orang itu akan mengalami kebahagiaan. Setiap kebahagiaan atau ketakbahagiaan setiap insan dalam kelahiran kembali yang berturut-turut, karenanya, bukanlah pahala atau hukuman, melainkan tercipta dari tindakan orang tersebut sebelumnya menurut hukum sebab dan akibat berperilaku. Bagaimana Kita Bisa Memahami Kelahiran Kembali? Bagaimana kita secara sahih mengetahui bahwa semua itu benar? Menurut ajaran Buddha, sesuatu dapat diketahui secara sahih dalam dua cara: pengenalan langsung serta dengan penarikan kesimpulan. Dengan melakukan uji coba di laboratorium, kita bisa 401
mensahihkan keberadaan sesuatu melalui pengenalan langsung. Sebagai contoh, dengan melihat melalui mikroskop, kita tahu, hanya dengan mengandalkan indera kita, bahwa ada banyak sekali mikroba kecil dalam setetes air danau itu benar adanya. Akan tetapi, beberapa hal tidak dapat diketahui melalui pengenalan langsung. Kita harus mengandalkan mantik, nalar dan penarikan kesimpulan, sebagai contoh mengetahui keberadaan daya magnet dengan menyimpulkannya dari perilaku sebuah magnet dan jarum besi. Kelahiran kembali itu sangat sulit dibuktikan dengan pengenalan indera secara langsung. Akan tetapi, ada banyak contoh orang yang ingat akan kehidupan mereka sebelumnya dan yang dapat mengenali benda milik mereka sendiri atau orang yang mereka kenal sebelumnya. Lewat hal itu, kita bisa menarik kesimpulan mengenai keberadaan kelahiran kembali, tapi sebagian orang mungkin akan meragukan kesimpulan ini dan menduga ini hanyalah muslihat saja. Dengan mengesampingkan perihal ingatan kehidupan masa lampau, kita dapat beralih ke mantik untuk memahami kelahiran kembali. Yang Mulia Dalai Lama telah mengatakan bahwa jika pokok-pokok tertentu tidak sesuai dengan kenyataan, ia bersedia jika pokok-pokok tersebut dihilangkan dari ajaran Buddha. Ini juga berlaku untuk kelahiran kembali. Malah, pernyataan ini ia buat memang berkenaan dengan soal kehidupan kembali. Jika para ilmuwan dapat membuktikan bahwa kelahiran kembali itu tidak ada, maka kita harus meninggalkan keyakinan bahwa kelahiran kembali itu benar. Akan tetapi, jika para ilmuwan tidak bisa membuktikan itu keliru, maka oleh karena mereka mengikuti mantik dan cara ilmiah, yang terbuka dalam memahami hal-hal baru, 402
mereka harus menyelidiki apakah kelahiran kembali itu ada. Untuk membuktikan bahwa kelahiran kembali itu tidak ada, mereka harus menemukan ketakberadaannya. Dengan hanya mengatakan, "Kelahiran kembali itu tidak ada karena saya tidak melihatnya dengan mata saya sendiri" itu tidak berarti menemukan ketakberadaan kelahiran kembali. Ada banyak hal yang ada tapi tidak bisa kita lihat dengan mata kita sendiri, seperti gaya magnet dan gaya tarik bumi. Cara-Cara Menalar untuk Menyelidiki Ada atau Tidaknya Kelahiran Kembali Jika para ilmuwan tidak bisa membuktikan ketakberadaan kelahiran kembali, maka penting bagi mereka untuk menyelidiki apakah kelahiran kembali itu memang ada. Cara ilmiah yang bisa diterapkan adalah dengan mengajukan dalil atas dasar data tertentu lalu memeriksa apakah data itu dapat dianggap sahih. Oleh karena itu, kita lihat datanya. Contohnya, kita mengetahui bahwa bayi tidak lahir seperti kaset kosong. Mereka memiliki kebiasaan dan ciri-ciri kepribadian tertentu yang dapat diamati meskipun mereka masih sangat belia. Dari mana datangnya hal itu? Tidak masuk akal jika kita mengatakan bahwa semua itu datang hanya dari kesinambungan senyawa ragawi orangtua mereka, dari sperma dan sel telur. Bukan setiap sperma dan sel telur yang datang bersamaan tertanam di rahim untuk berkembang menjadi janin. Apa yang membedakan antara ketika mereka menjadi bayi dan ketika tidak? Apa sebenarnya yang menyebabkan beragam kebiasaan dan naluri dalam seorang anak? Kita bisa bilang itu 403
karena DNA dan gennya. Ini sisi ragawinya. Tak seorangpun menyangkal bahwa inilah segi ragawi dari terbentuknya bayi. Namun, bagaimana dengan sisi pengalamannya? Bagaimana kita mempertimbangkan cita (mind)? Kata dalam bahasa Inggris, mind, tidak memiliki makna yang sama dengan istilah Sanskerta dan Tibet yang seharusnya ikut serta saat istilah itu diterjemahkan. Dalam bahasa aslinya, mind mengacu pada kegiatan batin atau peristiwa batin, dan bukan sesuatu yang menjalankan kegiatan itu. Kegiatan atau peristiwa tersebut merupakan kemunculan kognitif dari hal-hal tertentu – pikiran, penglihatan, bunyi, perasaan, rasa dan seterusnya – dan sebuah keterlibatan kognitif dengannya – melihat, mendengarkan, memahami, dan bahkan tidak memahami. Dari manakah kegiatan batin dari kemunculan dan keterlibatan dengan sasaran kognitif di dalam makhluk hidup ini berasal? Di sini, kita tidak sedang berbicara soal dari mana raga berasal, yang tentu saja dari orangtua. Kita tidak sedang berbicara soal kecerdasan dan seterusnya, karena kita juga beralasan bahwa ada dasar genetis untuk itu. Akan tetapi, mengatakan bahwa kesukaan seseorang akan es krim cokelat datang dari gen orang itu tarikannya terlalu jauh. Kita bisa bilang bahwa beberapa ketertarikan kita mungkin dipengaruhi oleh keluarga atau oleh keadaan ekonomi atau kemasyarakatan tempat kita berada. Anasir-anasir ini tentu saja punya pengaruh, tapi sulit untuk menjelaskan segala sesuatu yang kita lakukan dengan cara itu. Contohnya, mengapa saya waktu masih kecil sudah tertarik dengan yoga? Tak seorang pun di 404
keluarga atau di masyarakat sekitar saya yang tertarik dengan yoga. Ada beberapa buku yang tersedia di wilayah tempat saya tinggal, jadi Anda bisa bilang berarti ada pengaruh dari masyarakat, tapi mengapa saya secara khusus tertarik dengan buku hatha yoga? Kenapa saya mengambilnya? Itu pertanyaan lainnya. Apakah segala hal terjadi hanya karena kebetulan dan keberuntunganlah yang berperan, atau dapatkah segala sesuatu dijelaskan? Dari Mana Kegiatan Batin seorang Insan itu Berasal? Dengan mengesampingkan semua hal ini, mari kita kembali pada pertanyaan utama: dari manakah datangnya kegiatan kemunculan berbagai sasaran kognitif dan keterlibatan kognitif di dalamnya? Dari mana kemampuan mengenali itu berasal? Dari mana percikan kehidupan itu berasal? Apa yang membuat perpaduan sperma dan sel telur jadi bernyawa? Apa yang membuatnya menjadi seorang manusia? Apakah yang memungkinkan terjadinya kemunculan pikiran dan penglihatan dan apa yang menyebabkan adanya keterlibatan kognitif dengannya, yang merupakan sisi pengalaman dari kegiatan kimiawi dan elektrik dari otak? Sulit dikatakan bahwa kegiatan batin seorang bayi datang dari orangtuanya karena jika memang demikian, bagaimana hal itu bisa datang dari orangtuanya? Pasti ada beberapa cara-kerja yang terlibat di sini. Apakah percikan kehidupan – yang dicirikan oleh kesadaran akan berbagai hal – berasal dari orangtua sama halnya seperti sebuah sperma dan sel telur yang memang berasal dari orangtua? Apakah ia muncul bersama dengan orgasme? Dengan pembuahan? Apakah di dalam sperma? Sel telur? Jika kita tidak 405
dapat memunculkan petunjuk mantik dan ilmiah mengenai kapan hal itu datang dari si orangtua, maka kita harus mencari penyelesaian lain. Jika dicari dengan mantik semata, kita melihat bahwa semua gejala fungsional itu berasal dari keberlanjutannya sendiri, dari saat lampau sesuatu yang berada di dalam kelompok gejala yang sama. Contohnya, sebuah gejala ragawi, baik itu zat atau tenaga, datang dari saat lampau dari zat atau tenaga itu. Ia berupa kesinambungan. Contohnya saja kemarahan. Kita bisa bahas tentang tenaga ragawi yang kita rasakan ketika kita marah, itu salah satunya seginya. Akan tetapi, coba timbang kegiatan batin mengalami kemarahan – mengalami munculnya perasaan dan kesadaran yang sadar atau tidak sadar akan hal itu. Pengalaman seseorang akan kemarahan punya saat lampau kelanjutannya sendiri di masahidup yang sekarang ini, tapi dari mana ia berasal sebelumnya itu? Kalau bukan berasal dari orang tua, dan tampaknya tidak ada cara-kerja untuk menggambarkan cara terjadinya, berarti pasti berasal dari sosok Tuhan pencipta. Akan tetapi, bagi sebagian orang, ketidakajegan mantik dalam menjelaskan bagaimana sesosok makhluk maha kuasa mencipta itu menghadirkan masalah. Untuk menghindari masalah-masalah ini, pilihannya adalah bahwa saat pertama amarah dalam kehidupan siapapun berasal dari saat kelanjutan lampaunya sendiri. Dalil kelahiran kembali menjelaskan ini.
406
Perumpamaan dari sebuah Film Kita bisa mencoba memahami kelahiran kembali dengan perumpamaan dari sebuah film. Persis seperti sebuah film itu merupakan kelanjutan dari bingkai-bingkai film, kesinambungan batin kita atau aliran-cita kita pun merupakan kelanjutan dari saatsaat yang selalu berubah dari kesadaran akan gejalan di dalam masahidup sekarang ini dan dari satu kehidupan ke kehidupan selanjutnya. Tak ada ihwal yang maujud, dapat ditemukan, seperti "aku" atau "citaku," yang terlahir kembali. Kelahiran kembali tidak seperti perumpamaan sebuah patung kecil yang sedang duduk di atas sabuk berjalan, beranjak dari kehidupan yang satu ke yang berikutnya. Alih-alih, kelahiran kembali ibarat sebuah film, sesuatu yang secara terus menerus berubah. Setiap bingkai berbeda, tetapi ada kelanjutan di dalamnya. Bingkai yang satu berhubungan dengan yang berikutnya. Demikian pula, ada kelanjutan yang secara terus menerus berubah dari saat-saat kesadaran akan gejala, sekalipun sebagian dari saat-saat tersebut tidak disadari. Lebih jauh lagi, persis seperti semua film itu bukan film yang sama, meskipun semuanya sama-sama film, semua kesinambungan batin atau "cita" itu pun tidak satu "cita". Aliran kelanjutan kesadaran akan gejala itu tak terhingga jumlahnya dan masingmasing dapat dicap sebagai suatu "aku" dari sudut pandangnya sendiri. Inilah garis-garis penalaran yang jadi titik awal kita untuk menyelidiki pertanyaan mengenai kelahiran kembali. Jika sebuah dalil itu masuk akal secara mantik, maka kita bisa melihat lebih sungguh-sungguh lagi fakta bahwa ada orang yang ingat pada 407
kehidupan mereka sebelumnya. Dengan cara ini, kita menguji keberadaan kelahiran kembali dengan pendekatan yang berdasar. Apa yang Terlahir Kembali? Menurut ajaran Buddha, perumpamaan kelahiran kembali itu bukan bahwa jiwa, seperti sebuah patung atau orang berwujud yang bergeser dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain seperti di atas sabuk berjalan. Sabuk berjalan itu mewakili waktu dan citra yang disiratkannya merupakan benda padat, kepribadian tetap atau jiwa yang disebut "aku" yang berjalan melalui waktu: "Sekarang aku muda, sekarangaku tua; sekarang aku di kehidupan ini, sekarang aku di kehidupan itu." Bukan ini gagasan ajaran Buddha tentang kelahiran kembali. Alih-alih, perumpamaannya seperti sebuah film. Di dalam film ada kelanjutan; bingkaibingkainya membentuk keberlanjutan. Bukan juga ajaran Buddha mengatakan bahwa aku menjadi kamu, atau bahwa kita semua satu. Jika kita semua satu, dan saya adalah Anda, maka jika kita berdua lapar, Anda bisa menunggu di mobil sementara saya makan. Bukan seperti itu. Kita masing-masing memiliki aliran kelanjutan kita sendiri-sendiri. Rangkaian di film saya tidak seperti di film Anda, tetapi hidup kita berjalan seperti film dalam artian ia tidak maujud dan tetap. Hidup berjalan dari satu bingkai ke bingkai yang lain. Ia mengikuti sebuah rangkaian, menurut karma, dan karenanya membentuk kelanjutan. Tiap-tiap kesinambungan merupakan seseorang dan dapat disebut "aku"; bukan berarti tiap-tiap kesinambungan itu bukan siapasiapa. Namun sama seperti judul sebuah film itu mengacu pada 408
keseluruhan film dan tiap bingkai di dalamnya, tapi tidak bisa didapati sebagai sesuatu yang maujud di tiap bingkainya, begitu pula "aku" mengacu pada suatu kesinambungan batin tersendiri dan tiap-tiap saatnya, tapi tidak bisa didapati sebagai sesuatu yang maujud di tiap saatnya juga. Namun demikian, lazimnya, "aku" itu ada, "diri" itu ada. Ajaran Buddha bukan sebuah tata yang nihilistik. Apakah Manusia Selalu Terlahir Kembali sebagai Manusia? Yang sedang kita bicarakan di sini adalah kegiatan batin, dan apa saja anasir umun yang mencirikan kegiatan batin kita. Yang mencirikan kegiatan batin manusia itu ialah kecerdasan, dan seperti yang kita tahu kecerdasan itu direntang dari titik "sangat tidak cerdas" ke "sangat cerdas." Namun ada anasir lainnya yang juga merupakan bagian dari kegiatan batin, seperti amarah, keserakahan, kemelekatan, gangguan, perilaku gandrung yang dimunculkan oleh anasir-anasir batin ini. Dalam diri sebagian orang, anasir-anasir ini menguasai kegiatan batin mereka sehingga mereka tidak menggunakan kecerdasan manusianya, melainkan berlaku utamanya atas dasar keserakahan, atau amarah, dan seterusnya. Contohnya, ada orang yang memiliki nafsu birahi yang menggebu dan berseliweran dari bar ke bar, bertemu orang lain, dan bercinta dengan hampir tiap orang yang ditemuinya – orang itu berperilaku seperti seekor anjing, bukan begitu? Seekor anjing akan "menunggangi" anjing lain yang ditemuinya, kapan pun juga; ia tidak akan mengendalikan dirinya bagaimanapun juga. Kalau seorang manusia berperilaku seperti itu, ia membina kebiasaan tabiat seekor binatang. Maka tidak mengherankan, jika kita berpikir 409
dalam kerangka kelahiran kembali, bahwa tabiat nafsu orang tersebut akan menguasai pola kegiatan batin yang akan dimilikinya di kehidupan selanjutnya dan ia akan reinkarnasi ke dalam raga yang memiliki dasar yang cocok dengan kegiatan batin itu, yakni, kelahiran kembali sebagai seekor binatang. Maka amatlah berguna jika kita memeriksa perilaku kita: "Apakah aku berperilaku seperti binatang ini atau itu?" Coba lihat lalat. Tabiat seekor lalat itu sepenuhnya tabiat kelana batin. Seekor lalat tidak bisa diam di satu titik lebih dari beberapa saat; secara terusmenerus bergerak dan terganggu. Seperti itukah cita kita, seperti cita seekor lalat? Jika demikian, apa yang kita harapkan di masahidup berikutnya? Apakah kita mengharapkan bahwa kita nantinya cerdas dan memiliki daya pemusatan yang bagus? Ini semua merupakan pikiran yang membantu kita memahami bahwa manusia tidak pasti terlahir kembali sebagai manusia juga. Kita bisa terlahir kembali ke dalam berbagai rupa kehidupan yang berbeda, dan itu bisa naik dan turun. Jika kita membina banyak kebiasaan positif sebagai manusia, maka sekalipun kita terlahir kembali sebagai binatang, ketika daya karma perilaku kehewanan kita yang sebelumnya ini habis, maka daya positif kita yang sebelumnya bisa jadi yang utama dan kita bisa terlahir kembali sebagai manusia lagi. Kita tidak dikutuk untuk dilahirkan kembali ke tingkat yang lebih rendah selamanya. Pokoknya adalah memahami bahwa tidak ada hal bawaan di dalam kegiatan batin yang membuatnya menjadi kegiatan batin manusia atau laki-laki atau perempuan atau yang lainnya. Itu hanyalah kegiatan batin saja. Maka itu, jenis kelahiran kembali 410
yang kita miliki bergantung pada karma, pada berbagai kebiasaan yang telah kita bina dengan perilaku gandrung. Di masahidup selanjutnya, kita akan memiliki raga yang akan berdaya-guna sebagai sebuah dasar yang cocok untuk melaksanakan kebiasaan-kebiasaan seperti itu. Ringkasan Ketika kita menelaah dengan nalar penyajian Buddha tentang kelahiran kembali, kita perlu memeriksa proses sebab-akibat yang melanggengkan kesinambungan batin masing-masing: kelanjutan kegiatan batin yang tidak pernah merosot. Kelahiran kembali yang tunamula merupakan kesimpulan kita, dengan kebiasaankebiasaan berperilaku yang terbina sebelumnya yang membentuk tiap masahidup.
411
Apa itu Iba? Matt Lindén Iba (Welas asih) adalah tataran cita yang memberikan manfaat tak terhingga pada diri kita dan orang lain. Berdasarkan penghargaan mendalam pada saling kebergantungan seluruh kehidupan di planet ini dan uraian tentang kenyataan, welas asih menumbuhkan di dalam diri kita rasa keterhubungan dan kepedulian tulus kepada teman, orang asing, dan musuh. Kita dapat melatih welas asih menggunakan meditasi, sampai ia mencakup semua mahkluk hidup di bumi. Welas asih adalah perasaan yang berseluk beluk. Dalam ajaran Buddha, artinya adalah “keinginan agar orang lain bebas dari duka dan sebab-sebab duka,” tetapi ini lebih dari sekadar itu. Welas asih, seperti empati, berisi kemampuan untuk memahami dan memiliki rasa-rasa yang sama dengan mahkluk lain. Ketika kita menjumpai seseorang yang berduka atau tertimpa kemalangan, kita mengenang kembali kejadian serupa yang pernah terjadi pada kita. Jika kita tidak pernah mengalami hal seperti itu, kita menempatkan diri kita dalam keadaan mereka dan membayangkan seperti apa rasanya. Setelah kita merasakan keinginan yang kuat untuk bebas dari keadaan buruk itu, kita dapat memindahkannya ke orang lain, dan dengan sama kuatnya, berharap agar mereka juga bebas. Kasih dan welas asih adalah kebutuhan, bukan kemewahan. Tanpa mereka, manusia tidak bisa hidup. – Dalai Lama Ke-14 Welas asih membuka hati dan cita kita untuk orang lain, membantu kita untuk melepaskan diri dari sekat-sekat kesendirian yang kita 412
ciptakan sendiri akibat hanya memikirkan diri kita sendiri. Kita tidak sendiri dalam menghadapi masalah-masalah dalam hidup, dan karena rasa keterhubungan dan kepedulian pada orang lain, kita mengatasi rasa-rasa keterasingan dan keterpencilan. Welas asih membuat kita merasa lebih bahagia dan aman. Merasakan kepedihan dan duka orang lain dengan bersungguh-sungguh dan igin membantu memberi kita kekuatan dan kepercayaan diri. Welas asih sungguh merupakan sumber terdalam kesejahteraan. Namun, welas asih tidak pasif. Ini harus mendorong kita untuk bertanggung jawab melakukan sesuatu untuk meringankan duka orang lain. Meskipun kemampuan kita untuk membantu terbatas, kita lakukan apapun yang kita bisa, semata-mata karena tidak tahan untuk berpangku tangan ketika orang lain tidak bahagia dan berduka. Tapi tanpa mengetahui apa yang benar-benar membantu, welas asih saja tidak cukup. Untuk melakukan hal yang benar, kita perlu menggabungkan welas asih dengan pengetahuan dan kebijaksanaan. Digabungkan dengan kematangan perasaan untuk tidak buncah, kecil hati atau merasa bersalah ketika kita tidak mampu menolong atau saran kita tidak berhasil, maka welas asih menjadi dorongan terkuat untuk memperbaiki kekuarangankekurangan kita dan mengembangkan diri kita lebih lanjut.
413
Pentingnya Kasih, Welas Asih, dan Bodhicita Penghormatan pada Geshe Wangyal Terima kasih banyak untuk perkenalan Anda yang sangat baik. Saya selalu sangat senang kembali ke Kalmykia, negeri dari tokoh besar Geshe Wangyal, orang yang pertama memperkenalkan saya pada aliran turun-temurun ajaran Buddha, dan yang memainkan, mungkin, peran terbesar dalam perkembangan ajaran Buddha di negara saya, Amerika Serikat. Beliau selalu menekankan bahwa murid-muridnya perlu untuk tidak hanya menjalankan laku Buddha saja, melainkan landasan untuk menjalankan laku Buddha adalah pengetahuan mendalam tentang ajaran-ajaran Buddha, karena banyak orang ingin menjalani laku tapi sebenarnya tidak tahu secara mendalam apa itu ajaran Buddha, sehingga laku mereka cenderung agak dangkal. Dan beliau juga mendorong semua muridnya untuk terus maju – mendapatkan gelar-gelar akademis juga dalam ajaran Buddha, dan mempelajari bahasa-bahasanya. Dan berkat jasa dan upaya beliau, kini ada begitu banyak fakultas ajaran Buddha di berbagai universitas di Amerika Serikat. Karena itu, selalu sangat meyenangkan bagi saya datang ke tanah air beliau dan mengunjungi umat beliau dan berbagi sedikit kebijaksanaan beliau dengan Anda. Kita Semua Memiliki Modal Dasar yang Berdaya-Guna untuk Mengembangkan Bodhicita Pokok yang diminta untuk saya bicarakan hari ini adalah tentang pengembangan bodhicita. “ Bodhicita” adalah kata Sanskerta. Tidak mudah untuk menerjemahkannya. “ Cita,” kata keduanya, 414
berarti “ mind” (cita atau batin). Tapi ketika kita berbicara tentang cita dalam ajaran Buddha, kita berbicara tentang akal dan hati. Ajaran Buddha tidak membedakan dua istilah itu seperti kita membedakannya dalam cara berpikir Barat. Jadi kita tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan kecendekiaan kita – sisi rasional akal kita – dengan daya pemusatan, pemahaman, dsb., tapi selain itu, kita perlu mengembangkan hati kita, yang berarti seluruh sisi perasaan kita juga, sehingga kita bisa mencapai kata pertama dalambodhichita: " bodhi." Dan " bodhi" adalah kata yang menandakan tataran tertinggi dari pertumbuhan dan pemurnian. Pemurnian berarti menyingkirkan semua rintangan dan penghalang yang mungkin kita miliki, baik penghalang pikiran maupun penghalang perasaan, dan juga itu berarti menyingkirkan kebingungan, kurangnya pemahaman, kurangnya daya pemusatan. Selain itu, ini juga berarti pemurnian pada sisi perasaan, menyingkirkan perasaan-perasaan yang gelisah. Perasaan-perasaan yang gelisah meliputi kemarahan, keserakahan, kemelekatan, mementingkan diri sendiri, kesombongan, kecemburuan, keluguan… Ada daftar yang sangat panjang; kita bisa terus dan terus melanjutkannya. Inilah pengacau sebenarnya dalam hidup kita. Maka yang kita tuju, dengan akal dan hati kita, adalah tataran menyingkirkan semua pengacau ini. Unsur lain dari kata " bodhi" ini berarti "pertumbuhan." Dan ini berarti kita memiliki modal dasar yang berdaya-guna – kita semua – dalam diri kita: kita semua memiliki tubuh. Kita memiliki kemampuan untuk berkomunikasi. Dengan tubuh kita, kita memiliki kemampuan untuk bertindak, untuk melakukan banyak hal. Dan kita semua memiliki akal (kemampuan untuk memahami hal-hal) dan hati (rasa, kemampuan untuk merasakan kehangatan 415
terhadap orang lain) dan kecendekiaan (kemampuan untuk membedakan antara apa yang berguna dengan apa yang berbahaya). Jadi kita memiliki semua unsur ini, semua mutu baik ini, dan terserah kita apa yang kita lakukan dengannya. Kita dapat menggunakannya untuk menyebabkan masalah pada diri kita sendiri dan orang lain melalui cara bertindak, cara berbicara, dan cara berpikir kita. Atau kita dapat menggunakannya untuk membawa manfaat dan lebih banyak kebahagiaan untuk diri kita sendiri dan orang lain. Jika cara kita bertindak, berbicara dan berpikir ada di bawah pengaruh kebingungan dan perasaanperasaan yang gelisah, maka tentu saja ini memunculkan masalah. Ketika kita bertindak di bawah pengaruh kemarahan, kita seringkali melakukan hal-hal yang nantinya kita sesali, bukan? Ketika kita bertindak secara mementingkan diri sendiri, seringkali ini memunculkan masalah-masalah besar. Tak seorangpun menyukai orang yang mementingkan diri sendiri. Itu satu sisi. Sisi lainnya adalah jika kita bertindak, berbicara, dan berpikir berdasar pada mutu-mutu positif – seperti kasih, welas asih, memikirkan orang lain – maka kita bisa melihat bahwa ini membawa lebih banyak kebahagiaan bagi kita, lebih banyak kepuasan dalam hidup: orang lain menyukai kita; ini membawa manfaat lebih bagi orang lain. Kita bisa melihat ini secara sangat jelas dalam hubungan kita dengan teman-teman kita, misalnya. Jika kita selalu mengecam mereka dan marah terhadap mereka, tidak ada yang senang bersama kita. Tapi jika kita ramah terhadap mereka dan memperlakukan mereka dengan baik, tentu mereka menikmati kebersamaan dengan kita. Kita bahkan bisa melihat ini pada cara kita memperlakukan kucing dan anjing peliharaan kita: 416
mereka tidak ingin dibentak dan dihardik sepanjang waktu; mereka ingin diperlakukan dengan baik. Sehingga modal-modal dasar yang kita miliki bisa tumbuh. Kita dapat terus dan terus mengembangkan mereka dalam cara yang positif. Jadi bodhicita adalah tataran – keadaan, kondisi – akal dan hati kita yang diarahkan menuju tataran bodhi ini. Ini diarahkan menuju pada tataran ini di mana semua kelemahan, semua pengacau yang kita miliki dalam diri kita, disingkirkan secara tuntas selamanya, dan semua mutu-mutu positif kita berkembang hingga tataran puncak yang adalah mungkin. Maka ini adalah hal yang sangat luar biasa – k eadaan akal dan hati – untuk kita miliki. Dan ini dihasilkan oleh perasaan-perasaan yang sangat positif. Apa saja perasaan-perasaan itu? Pada dasarnya, kita tidak menuju pada tataran ini hanya karena ini adalah tataran tertinggi dan aku ingin menjadi yang tertinggi. Ini bukan hanya karena aku ingin menjadi yang paling bahagia dan inilah keadaan diriku yang paling bahagia. Tetapi sebaliknya, kita memikirkan orang lain, semua makhluk di dunia yang tak terhitung banyaknya: manusia, binatang, apapun. Dan kita memahami bahwa kita semua sama dalam arti semua orang ingin bahagia, tak seorangpun ingin tidak bahagia. Ini bahkan berlaku pada binatang, bukan? Dan semua orang berusaha dengan cara mereka sendiri untuk membawa kebahagiaan bagi diri mereka sendiri dan orang-orang yang mereka kasihi. Tapi, sayangnya, sebagian besar dari kita tidak benar-benar tahu apa yang akan membawa kebahagiaan. Kita mencoba berbagai cara, dan seringkali itu hanya memunculkan lebih banyak masalah daripada kebahagiaan. Kita membelikan sesuatu yang bagus untuk orang lain – kado – dan mereka tidak 417
menyukainya. Jadi, sangat sederhana. Sulit untuk menyenangkan semua orang, bukan? Tapi, bagaimanapun, kita perlu mencoba. Menuju Pencerahan dengan Niat untuk Menjadi Manfaat Terbaik bagi Orang Lain Dan yang paling penting, tentu saja, adalah niat kita; kita inginmembantu orang lain: betapa indahnya jika semua orang bisa bebas dari masalah mereka dan sebab-sebab masalah itu. Itulah welas asih. Welas asih adalah keinginan agar orang lain bebas dari penderitaan dan sebab-sebab penderitaan. Dan betapa indahnya jika semua orang bisa bahagia dan memiliki sebab-sebab kebahagiaan. Itulah pengertian kasih dalam ajaran Buddha. Kasih tidak berdasar pada menginginkan balasan – "Aku akan mengasihimu jika kamu mengasihiku." Tidak seperti itu. Kasih tidak berdasar pada bagaimana orang lain berperilaku – "Aku akan mengasihimu jika kamu jadi anak baik-baik. Jika kamu nakal, aku tidak mengasihimu lagi." Tidak peduli bagaimana orang lain berperilaku. Bukan itu intinya. Intinya adalah “Sungguh luar biasa jika semua orang bisa bahagia. Itulah kasih. Dan sungguh luar biasa jika aku bisa melakukan sesuatu yang berarti untuk membawa kebahagiaan ini bagi semua orang dan membantu mereka untuk menyingkirkan ketidakbahagiaan dan masalah-masalah mereka. Sedangkan aku sangat terbatas: aku memiliki kebingungan, aku memiliki perasaan-perasaan yang gelisah, aku sering malas, dan aku bermasalah dalam mendapatkan pekerjaan, mendapatkan pasangan… segala macam kesulitan yang kita hadapi dalam hidup. Akan tetapi jika aku bisa mencapai tataran ini di mana semua kelemahan ini, semua kesulitan ini, terhapus selamanya dari diriku, dan jika aku 418
bisa meraih kemampuan-kemampuan tertinggiku, maka aku akan berada dalam kedudukan terbaik untuk membantu semua orang. Jadi niatnya di sini, dengan bodhicita, adalah kita menuju tataran masa depan kita yang disebut "pencerahan," dengan niat untuk mencoba sepenuh upaya terbaik kita untuk mencapai tataran itu, dengan niat untuk menjadi manfaat terbaik bagi semua orang semampu kita di sepanjang jalan menuju tataran pencerahan ini, dan menuju tataran puncak yang mungkin begitu kita mencapainya. Tak seorangpun dari kita bisa menjadi Tuhan Yang Maha Kuasa; itu tidak mungkin. Jika itu mungkin, tak akan ada lagi orang yang menderita. Tapi yang dapat kita lakukan adalah berusaha sebaikbaiknya. Tapi orang lain harus bersikap menerima dan terbuka terhadap bantuan. Dan meskipun kita bisa menjelaskan sesuatu secara jelas kepada orang lain, orang lain harus memahaminya sendiri; kita tidak bisa memahaminya untuk mereka, bukan? Kita dapat memberikan nasihat yang baik, tetapi orang lain harus menerimanya. Itulah yang kita tuju, yaitu supaya berada dalam kedudukan terbaik untuk membantu orang lain, tapi dengan gagasan makul – dan pemahaman – bahwa apakah mereka benar-benar terbantu atau tidak bergantung pada usaha mereka. Tetapi jika kita mencapai tataran ini di mana semua kebingungan kita lenyap, maka kita akan memiliki kemungkinan terbaik dalam memahami apa yang akan menjadi cara paling manjur untuk membantu orang lain; kita akan memahami unsur-unsur apa saja yang terlibat dalam keadaan seseorang. 419
Kita semua dipengaruhi oleh begitu banyak hal – keluarga kita, teman-teman kita, masyarakat tempat kita hidup, dan zaman di mana kita hidup: kadang-kadang ada perang, kadang-kadang ada kesulitan ekonomi, kadang-kadang ada kemakmuran. Semua itu memengaruhi kita. Ajaran Buddha berbicara tentang kehidupan terdahulu, kehidupan masa depan. Dan dari sudut pandang itu, kita semua dipengaruhi juga oleh kehidupan-kehidupan kita terdahulu. Jadi jika kita benar-benar ingin membantu seseorang, jika kita benar-benar ingin memberi mereka nasihat yang baik, kita harus mengenal mereka, kita harus memahami mereka – memahami semua hal yang memengaruhi perilaku mereka, cara mereka bertindak, cara mereka merasa – yang berarti benar-benar menanamkan ketertarikan terhadap mereka, dan memberi perhatian, dan peka terhadap keadaan mereka. Saya pikir Anda dapat memahami hal itu dengan cukup mudah dalam kerangka hubungan Anda dengan orang lain. Jika Anda bersama seorang teman dan Anda tidak benar-benar tertarik kepada mereka, Anda hanya berbicara tentang diri Anda sendiri, sehingga sebenarnya Anda hanya tahu sedikit tentang mereka. Dan jika Anda tidak memberi perhatian pada teman Anda – misalnya, ketika Anda bersama orang lain, Anda mengirim pesanpesan teks kepada orang-orang di telepon seluler Anda, maka Anda tidak memberi perhatian kepada teman Anda – Anda bahkan tidak menyadari bahwa mungkin mereka sedikit tidak sabar dan tidak bahagia bersama Anda karena Anda tidak memberi perhatian kepada mereka. Jadi jika kita benar-benar ingin membantu orang lain, Anda harus memberi perhatian kepada mereka, Anda harus memiliki ketertarikan terhadap mereka, memerhatikan apa yang terjadi dan menanggapinya, sama seperti kita menginginkan orang 420
lain menanggapi kita secara bersungguh-sungguh dan memberi perhatian kepada kita. Memahami Kesetaraan Kita dengan Orang Lain Anda lihat, semua ini berdasarkan pada pemahaman tentang kesetaraan kita dengan orang lain. Setiap orang memiliki rasa, seperti saya memiliki rasa. Semua orang ingin ditanggapi secara bersungguh-sungguh, seperti saya ingin ditanggapi secara bersungguh-sungguh. Jika saya mengabaikan orang lain atau memperlakukan mereka dengan buruk maka mereka merasa tidak enak, seperti saya merasa tidak enak ketika orang mengabaikan saya atau tidak memerhatikan saya. Semua orang ingin disukai, seperti saya ingin disukai. Tak seorangpun ingin ditolak dan diabaikan, seperti saya tidak akan suka diperlakukan demikian. Dan kita saling terkait; kita semua di sini bersama-sama. Kadang-kadang sebuah contoh kecil yang lucu digunakan untuk menggambarkan hal ini: Bayangkan Anda berada di dalam sebuah lift dengan sepuluh orang lain, dan lift itu macet. Anda terhenti di sana, terjebak dalam lift sepanjang hari dengan orang-orang ini. Bagaimana Anda akan berhadapan dengan semua orang itu? Jika Anda hanya berpikir tentang aku, aku, aku, dan tidak memikirkan orang lain di ruang kecil itu, akan menjadi banyak percekcokan dan pertengkaran dan itu akan menjadi waktu yang sangat tidak menyenangkan. Tapi jika Anda menyadari bahwa: "kita semua terjebak bersama-sama dalam keadaan yang sama dan kita harus memikirkan satu sama lain dan berpikir bagaimana kita bisa saling bekerja sama untuk bertahan dan keluar dari keadaan sulit ini," kemudian, meskipun tentu saja tidak menyenangkan terjebak di lift, kita bisa mengelola keadaan. 421
Jika kita memperluas contoh ini: jika kita semua terjebak di planet ini, seperti terjebak dalam lift yang sangat besar, dan jika kita tidak saling bekerja sama, ini akan menjadi saat yang menyedihkan karena semua orang berada dalam situasi yang sama. Dan cara kita bertindak satu sama lain, entah itu hanya sepuluh orang dalam lift atau semua orang di planet ini, tetap saja ini memengaruhi orang lain. Oleh karena itu, adalah masuk akal untuk mencoba bekerja sama dengan semua orang daripada hanya berpikir hanya dalam kerangka: "Bagaimana aku bisa keluar dari keadaan mengerikan terjebak dalam lift ini?" kita berpikir dalam kerangka: "Bagaimana kita semua bisa keluar dari keadaan mengerikan ini?" Sama halnya dengan kehidupan, tidak hanya lift. Bagaimana bisa saya berpikir hanya dalam kerangka menghadapi masalah-masalah saya sendiri (karena sebenarnya tidak ada yang istimewa tentang saya; saya hanya salah satu dari orang-orang yang terjebak dalam lift)? Dan sebenarnya masalah ini bukan hanya masalah pribadi saya saja: ini adalah masalah semua orang. Ingat, kita berbicara tentang masalah-masalah kemarahan, sikap mementingkan diri sendiri, keserakahan, kebodohan… masalahmasalah macam ini. Ini masalah semua orang; tak seorang pun memiliki masalah-masalah itu secara perorangan. Melapangkan Akal dan Hati Kita untuk Mencakup Semua Makhluk, Semua Kehidupan Karena inilah ketika membicarakan bodhicita, kita berbicara tentang jenis umum akal dan hati. Kita berpikir tentang semua orang, tanpa ada yang paling disukai, dan tanpa ada makhluk yang kita tinggalkan. Jadi ini adalah sikap tataran cita yang luar biasa mulia. Ketika kita berbicara tentang melapangkan cita kita, inilah yang terbesar yang dapat kita wujudkan. Kita berpikir tentang 422
semua orang, dan bukan hanya manusia di planet ini, misalnya, tapi semua kehidupan di planet ini, semua kehidupan di alam semesta. Sebagai contoh, jika kita berpikir tentang kerusakan lingkungan – ini tidak hanya memengaruhi orang-orang yang tinggal di lingkungan itu; ini memengaruhi kehidupan semua binatang juga, bukan? Jadi kita memiliki lingkup luas mengenai siapa yang perlu kita prihatinkan. Kita memiliki lingkup luas dalam kerangka memikirkan pemecahan-pemecahan jangka panjang, bukan sekadar perbaikan singkat yang hanya akan membantu untuk sementara. Dan ketika kita berpikir dalam kerangka kemampuan-kemampuan kita sendiri, kita memikirkan lingkup terluas dari perwujudan kemampuan kita; ini tidak hanya sedikit, tapi seluas mungkin. Dan, seperti pernah saya katakan, ini didasarkan pada rasa hormat pada diri kita sendiri. Kita menyadari bahwa kita semua memiliki modal yang berdaya-guna untuk benar-benar mampu mencapai tataran ini, dan begitu juga semua orang. Jadi kita menanggapi diri kita secara bersungguh-sungguh, kita menanggapi orang lain secara bersungguh-sungguh, dan kita menghormati diri kita sendiri dan orang lain – kita semua adalah manusia, kita semua ingin bahagia, tak seorangpun yang ingin tidak bahagia. Dan ini semua berada pada kerangka apa yang kita lakukan, bagaimana kita menjalani hidup kita. Mengembangkan Tataran Cita dan Kebiasaan yang Bermanfaat melalui Meditasi Ajaran Buddha sangat kaya dalam menawarkan banyak cara yang berbeda untuk mengembangkan tataran-tataran pikiran ini. Ajaran Buddha tidak hanya mengatakan, "Kasihilah semua orang,” dan 423
tidak ada kelanjutannya. Itu sangat bagus, sekadar mengatakan kita perlu mengasihi semua orang, tapi bagaimana cara kita benarbenar melakukanya? Untuk ini kita memiliki meditasi. Dan meditasi berarti membangun kebiasaan yang bermanfaat. Seperti jika kita ingin memainkan olahraga, atau kita ingin memainkan alat musik, kita harus berlatih. Kita melakukannya berulang-ulang sampai kita menjadi mahir. Dan dengan berlatih kita belajar, sehingga setelah beberapa waktu kita bahkan tidak perlu untuk berpikir untuk itu; kita bisa memainkan olahraga dengan sangat baik atau memainkan musik dengan sangat mudah. Demikian juga, kita melakukan hal yang sama dalam kerangka melatih sikap kita. Inilah yang kita lakukan dengan meditasi. Kita mencoba membangkitkan rasa tertentu, tataran cita tertentu, dengan mengupayakan diri kita untuk mencapainya. Seperti ketika Anda berlatih olahraga: pertama-tama Anda harus melakukan latihan-latihan pemanasan, dan kemudian Anda baru dapat melakukan olahraga itu. Jadi kita melakukan latihan-latihan pemanasan dengan tataran cita kita. Agar mampu membangkitkan tataran cita yang positif, kita lebih dahulu perlu tenang, mengheningkan cita dan perasaan kita, jika pikiran kita kemana-mana atau rasa kita bercampur-aduk. Kita biasanya melakukan itu dengan hanya memusatkan secara diam pada napas kita. Napas kita ada sepanjang waktu, dan jika kita memusatkan padanya, maka ini membantu kita untuk tenang pada irama napas yang ajek, dan itu menghubungkan kita dengan tubuh kita apabila pikiran kita "terbang ke awan." Inilah latihan pemanasan dasar.
424
Dan kita berpikir dalam kerangka dorongan kita. Mengapa kita ingin bermeditasi? Ini juga merupakan bagian dari pemanasan. Seperti ketika kita berlatih olahraga atau belajar bermain musik, sangat penting untuk benar-benar memahami dan memeriksa-ulang: "Mengapa aku melakukan ini?" Bahkan jika kita melakukannya semata-mata karena kita menikmatinya dan ini menyenangkan, kita perlu mengingatkan diri kita tentang dorongan ini karena, jelas, latihan adalah kerja keras. Maka kita menegaskan kembali mengapa kita ingin membangun kebiasaan positif melalui meditasi. Dan alasannya adalah karena itu akan membantu kita menghadapi masalah-masalah hidup secara lebih baik – jika, misalnya, kita tidak mudah marah. Dan jika kita selalu marah, kita tidak mungkin bisa membantu orang lain. Jika perasaan kita buncah, kita tidak akan bisa membantu siapapun. Jadi kita melakukan semua latihan pemanasan ini. Dan kemudian meditasi sebenarnya: kita menggunakan suatu garis pemikiran untuk membangkitkan tataran cita yang kita inginkan. Dan ini sangat penting ketika kita melakukan ini untuk menghubungkannya dengan kehidupan perorangan kita. Kita tidak hanya memikirkan teori niskala: kita memikirkan langkah-langkah yang bisa kita ambil untuk membantu kita dalam kehidupan kita sendiri. Sebuah Contoh Mari memisalkan salah seorang teman kita bertindak dalam cara yang sangat tidak menyenangkan kepada kita – mereka mengatakan sesuatu yang kejam, atau mereka tidak menyapa kita, mereka mengabaikan kita, atau orang-orang mengolok-olok kita. Ini adalah hal-hal buruk yang terjadi pada semua orang. Dan kita menanggapi itu dengan rasa yang benar-benar buruk dan menjadi 425
sangat kesal dengan orang-orang ini, terutama jika kita menganggap mereka adalah teman kita. Jadi kita memeriksa hal itu dalam meditasi, ketika cita kita sedikit lebih tenang setelah memusatkan pada napas. Dan kita menegaskan kembali bahwa teman-teman kita, teman sekelas kita – m ereka orang-orang seperti kita: mereka ingin bahagia dan tidak ingin tidak bahagia. Dan pasti ada sesuatu yang benar-benar membuncahkan mereka sehingga menyebabkan mereka memperlakukan kita dalam cara yang tidak menyenangkan, atau mereka hanya menjadi bingung tentang kita – mereka tidak benarbenar menghargai mutu-mutu baik kita – sehingga mereka mengolok-olok kita. Marah terhadap mereka, menjadi tertekan – itu sama sekali tidak akan berguna. Sebaliknya, kita berharap mereka bisa bebas dari apapun hal yang membuat mereka buncah, sehingga mereka akan memperlakukan kita dengan baik, karena dengan begitu kita semua akan bahagia, kita dan mereka. Maka daripada merasakan kemarahan terhadap mereka, kita merasakan kasih dan welas asih: "Akan luar biasa jika mereka bebas dari apapun yang membuat mereka buncah. Semoga mereka bahagia. Jika mereka bahagia, mereka tidak akan berperilaku dalam cara yang tidak menyenangkan." Dengan cara ini kita membangun diri kita untuk merasakan kasih terhadap mereka, bukannya kemarahan. Itu membantu kita untuk lebih sabar terhadap keadaan mereka. Dan jika kita bertindak secara lebih tenang dan penuh kasih dan memaafkan, ini juga membantu mereka untuk tenang, dan keadaan menjadi jauh lebih mudah untuk diatasi.
426
Tidak Menanggapi secara Pribadi terhadap Perkataan Buruk yang Orang Lontarkan pada Kita Buddha pernah ditanya seorang murid, "Jika seseorang mencoba memberimu sesuatu dan kamu tidak menerimanya, milik siapa sesuatu itu?" Jelas, itu milik orang yang mencoba memberikannya kepada Anda jika Anda tidak menerimanya. Jadi jika seseorang mencoba memberi Anda suasana buruk, dan rasa-rasa negatif, dan sebagainya, kecaman, dll., penting untuk tidak menerimanya dan menanggapinya secara pribadi – dengan kata lain, melihatnya [alih-alih] sebagai sesuatu yang benar-benar membuncahkan orang itu. Tentu saja, jika seseorang mengecam kita, ini bisa berguna untuk memeriksa diri kita untuk melihat barangkali mereka menunjukkan sesuatu yang perlu kita perbaiki. Jadi kita jangan mengabaikan itu, tapi penting untuk tidak seperti penjaga gawang yang selalu siap menangkap setiap bola perkataan dan pikiranpikiran buruk yang orang lontarkan pada kita. Adakalanya kita bertindak seperti itu, bukan, bahwa kita ingin menangkap setiap sampah yang orang lempar pada kita – katakata buruk, pandangan-pandangan kotor, apapun itu. Meskipun itu tidak mudah dilakukan, kita berusaha untuk tidak menanggapi segala hal yang terjadi pada kita secara pribadi, sebagai sebuah penolakan terhadap keakuan kita, melainkan sebagai suatu masalah yang dimiliki orang itu. Dengan kata lain, daripada memiliki sikap yang memandang orang itu buruk, kita memandang mereka: "Ooh, ada sesuatu yang membuncahkan mereka. Ada sesuatu yang salah dengan mereka." Ini seperti jika kita mengurusi anak dua atau tiga tahun, dan anak itu sangat kelelahan dan tidak mau tidur. Kita berkata, “Sudah waktunya tidur,” dan anak itu berkata, “Aku benci kamu!” Apakah 427
kita menanggapinya secara pribadi? Anak itu kelelahan, maka kita jangan menanggapi kata-kata buruk yang dilontarkan anak itu kepada kita secara pribadi, sebaliknya kita lebih bersabar dan lebih mengasihi anak itu dan berusaha menenangkannya. Dalam meditasi kita berusaha memandang orang lain yang telah menyebabkan masalah bagi kita dalam cara yang lebih membangun, dan berlatih untuk memiliki lebih banyak kesabaran, kasih, sikap positif terhadap orang itu dalam situasi sulit ini, sehingga ketika kita benar-benar menemui hal-hal macam ini dalam hidup kita, kita mampu menanganinya dengan lebih baik. Singkatnya, tataran cita bodhicita yang luar biasa ini adalah sesuatu yang perlu kita upayakan untuk diraih dan dicapai, yang dengan itu kita mengambil tanggung jawab untuk membantu orang lain sebaik mungkin dengan upaya, melalui meditasi dan cara-cara lain, untuk menyingkirkan semua kekurangan kita dan mewujudkan semua kemampuan kita. Karena jika kita berupaya membantu semua orang untuk memperoleh kebahagiaan, maka tentu saja kita juga yang akan menjadi yang paling bahagia. Tetapi jika aku berupaya hanya demi kebahagiaan kita sendiri, dan melakukannya dengan mengabaikan orang lain atau mengorbankan orang lain, kita semua akan menderita. Waktu Anda masih muda, masih pelajar, ini adalah waktu yang sempurna untuk benar-benar belajar menghargai kemampuankemampuan Anda, kecakapan-kecakapan Anda, dan menyadari bahwa Anda memiliki semua modal yang berdaya-guna untuk berkembang, dan untuk berkembang ke haluan positif, bukan haluan negatif atau tanpa arah. Kita tidak sendirian di dunia ini; di zaman informasi, media sosial, dll ini, kita semua terhubung. Dan 428
kita dapat berkembang dalam cara-cara lebih positif yang akan memengaruhi setiap orang secara membangun. Itulah sedikit tentang bodhicita. Sekarang waktunya untuk pertanyaan. Pertanyaan tentang Geshe Wangyal Pertanyaan: Terima kasih banyak, Dr. Berzin. Pertanyaan saya adalah tentang Geshe Wangyal, karena Anda pernah bertemu dengannya. Pertanyaan pertama adalah apakah beliau menceritakan pada Anda tentang lama-lama agung Kalmykia lain. Dan pertanyaan lain adalah tentang kelahiran-kembali beliau berikutnya. Mungkin beliau mengatakan pada Anda ia akan terlahir kembali sebagai siapa. Alex: Sebenarnya, saya belum pernah mendengar beliau berbicara tentang lama-lama agung Kalmykia lain. Sebenarnya, saya tidak berhubungan sebanyak itu dengan beliau. Ada beberapa murid Barat yang tinggal bersama beliau selama beberapa tahun, seperti Robert Thurman dan Jeffrey Hopkins. Mereka meninggalkan universitas selama beberapa tahun untuk tinggal bersama Geshe Wangyal dan kemudian, setelah beberapa waktu, kembali ke universitas dan menjadi doktor dan kemudian menjadi profesor. Tapi saya hanya mengunjungi Geshe Wangyal pada saat liburan saya dari universitas; saya tidak pernah meninggalkan universitas untuk tinggal bersama beliau. Kemudian saya pindah ke India, dan saya hanya bertemu Geshe Wangyal ketika beliau datang berkunjung di India. Jadi mungkin beliau berbicara tentang lamalama Kalmykia lainnya kepada orang lain, tapi secara pribadi saya belum pernah mendengar apapun tentang itu. 429
Sama halnya dalam kerangka reinkarnasi-reinkarnasi beliau. Beliau meninggal dunia pada 1983. Dan seperti semua orang, tentu saja, setelah empat puluh sembilan hari, beliau lahir kembali, tapi saya pikir beliau tidak pernah menganjurkan untuk mencari beliau. Saya yakin beliau sekarang… pasti berumur dua puluh tujuh, hampir dua puluh delapan tahun. Dan karena semua karya gemilang beliau pada masa kehidupan terakhir beliau, saya yakin beliau terus berjalan di jalan ini. Dan apakah beliau dikenal sebagai reinkarnasi Geshe Wangyal atau tidak, tidak membuat perbedaan dalam kerangka upaya-upaya baik yang bisa beliau lakukan. Ada lagi yang bertanya? Harap jangan malu-malu. Atau adakah permintaan tentang suatu hal untuk saya jelaskan? Adakah hal yang Anda ingin ketahui? Apa Pengertian Kasih dari Sudut Pandang Buddha? Pertanyaan: Saya pikir pada usia itu Anda lebih tertarik pada apa itu kasih. Dan mungkin Anda dapat mengatakan apa itu hubungan antara laki-laki dan perempuan, dari sudut pandang Buddha atau dari sudut pandang Anda. Alex: Ketika kita berbicara tentang kasih dari sudut pandang Buddha, kasih adalah, seperti yang saya sebutkan dalam pembahasan kita, keinginan agar seseorang menjadi bahagia dan memiliki sebab-sebab kebahagiaan. Ini berarti sepenuhnya menerima orang lain, baik titik-titik kuat maupun titik-titik lemah mereka. Dan harapan kita agar mereka bahagia tidak bergantung pada bagaimana mereka memperlakukan kita atau bagaimana mereka berperilaku. Lepas dari apapun, kita ingin mereka bahagia, bahkan jika itu berarti memberi mereka sedikit ruang. 430
Seringkali, kasih bercampur dengan hasrat (hasrat adalah ketika kita tidak memiliki sesuatu dan kita harus mendapatkannya). Ini bisa bercampur dengan kemelekatan (yang bahkan jika kita memiliki sesuatu, kita tidak ingin melepaskannya) dan keserakahan (bahkan jika kita memiliki seseorang sebagai teman kita, seseorang yang kita kasihi, kita ingin lebih dan lebih dan lebih dari mereka). Semua ini berdasar pada hanya melihat mutu-baik mereka dan melebih-lebihkannya, menjadikan itu persoalan besar, dan mengabaikan semua kekurangan yang mungkin mereka miliki. Dan mutu-mutu baik yang mereka miliki mungkin hanya bahwa mereka menyukai kita, kita merasa senang ketika kita bersama orang ini, penampilannya menarik, ia seksi, apapun. Kita hanya melihat bagian yang sangat kecil dari orang itu, yang kita jadikan lebih penting daripada apapun. Ini adalah sikap yang tidak makul. Dan ini sangat bergantung pada bagaimana orang ini memperlakukan kita: jika ia memperlakukan kita dengan baik, maka kita mengasihinya; jika ia tidak memperlakukan kita dengan baik, maka kita tidak mengasihinya lagi. Ini bukan jenis kasih yang teguh. Dongeng dan Harapan-Harapan yang Tidak Makul Seperti yang sudah saya katakan, jenis kasih yang teguh – yang kita bicarakan dalam ajaran Buddha – a dalah jenis di mana kita mengakui sisi baik dan sisi negatif seseorang, karena semua orang memiliki titik-titik kuat dan titik-titik lemah; tidak ada orang yang ideal atau sempurna. Anda lihat, masalahnya adalah banyak dari kita masih percaya pada dongeng. Dalam dongeng ada Pangeran Rupawan atau Putri Rupawan di atas kuda putih yang akan menjadi benar-benar sempurna. Kita selalu mencari pangeran atau putri, dan kita membayangkan pangeran atauputri pada orang431
orang yang kita kasihi. Tapi sayangnya itu hanya dongeng dan, seperti Sinterklas, tidak mengacu pada sesuatu yang nyata. Itu bukanlah hal yang sangat menyenangkan untuk disadari; ini sangat sulit untuk diterima. Dan kita tidak pernah menyerah: "Kekasihku yang ini tidak menjadi pangeran atau putri, tapi mungkin kekasihku berikutnya." Selama kita terus membayangkan dan mencari pangeran atau putri di atas kuda putih, hubungan kita, hubungan percintaan kita, akan bermasalah, karena tak seorangpun dapat mencapai hal ideal untuk menjadi pasangan sempurna bagi kita. Kita menjadi marah ketika mereka tidak berlaku seperti pangeran atau putri. Ya, itu berarti kita tidak menerima kenyataan bahwa mereka manusia biasa seperti kita dan memiliki titik-titik kuat dan titik-titik lemah. Jadi kasih yang sejati, kasih yang teguh, berdasar pada menerima kenyataan orang lain. Unsur lain dari kenyataan orang yang kita kasihi, yang seringkali kita lupa, adalah bahwa kita bukan satu-satunya hal dalam hidup mereka. Seringkali, kita tidak bisa melihat kenyataan bahwa mereka punya kehidupan selain hanya denganku – mereka punya teman-teman lain, mereka punya keluarga, mereka punya tanggung jawab lain. Hal-hal lain yang merupakan bagian dari hidup mereka; aku bukan satu-satunya. Jadi sangat tidak masuk akal bagi kita untuk cemburu dan marah ketika mereka menghabiskan waktu dengan orang lain, hal-hal lain dalam hidup mereka. Dan ketika mereka berada dalam suasana hati yang buruk, misalnya, atau tidak merasa suka bersama kita, itu bukan hanya karena kita. Kita bukan sebab dari segala sesuatu yang orang lain rasakan dan lakukan. Jika mereka berada dalam suasana hati yang buruk, itu bisa saja dipengaruhi oleh sesuatu 432
yang terjadi dalam keluarga mereka; itu bisa saja dipengaruhi oleh teman-teman mereka; itu bisa dipengaruhi oleh sakit, merasa kurang sehat; itu bisa saja dipengaruhi oleh begitu banyak hal. Mengapa kita harus berpikir bahwa kitalah satu-satunya sebab atas segala sesuatu yang orang lain rasakan? Begitu pula jika kita memiliki hubungan jangka panjang dengannya kemudian banyak hal terjadi hari demi hari selama interaksi kita, seringkali yang terjadi adalah, "Ia tidak meneleponku hari ini. Ia tidak menjawab pesan teksku," dan kita melebih-lebihkan pentingnya satu kejadian ini; kita tidak melihatnya dalam lingkung jangka panjang dari hubungan kita dari waktu ke waktu. Dan karena satu kejadian ini, kita menyimpulkan bahwa mereka tidak mengasihi kita lagi. Ini berarti kita berpandangan sangat sempit – hanya melihat satu hal kecil dan memisahkannya dari seluruh hubungan itu. Kenyataannya adalah kehidupan setiap orang, suasana hati setiap orang, dan seterusnya, berjalan naik-turun. Itu berlaku bagi kita; itu berlaku bagi semua orang. Jadi wajar apabila kadang-kadang orang yang kita kasihi merasa senang bersama kita; kadangkadang tidak. Kadang-kadang mereka berada dalam suasana hati yang baik; kadang-kadang mereka berada dalam suasana hati yang buruk. Dan jika mereka berada dalam suasana hati yang buruk – atau jika mereka terlalu sibuk dengan hal-hal lain sehingga tidak bisa menjawab pesan teks kita, atau apapun, seketika itu juga – itu bukan berarti mereka tidak mengasihi kita lagi; itu hanya bagian dari kehidupan.
433
Itulah beberapa hal yang sangat penting untuk dipelajari dan untuk dipahami jika kita ingin menjadikan hubungan kasih kita teguh; jika tidak, banyak gejolak perasaan. Melepas dan Membiarkan Ada sebuah contoh sangat bagus yang diberikan oleh guru besar Buddha India, yaitu bahwa hubungan kita dengan orang lain bagai daun-daun yang ditiup angin, jatuh dari pohon di musim gugur. Kadang-kadang daun-daun itu akan terbang mengikuti angin bersama-sama; kadang-kadang mereka terbang terpisah. Itu hanya bagian dari kehidupan. Demikian juga hubungan dengan seseorang – mungkin itu akan bertahan sepanjang hayat kita, tapi mungkin juga tidak. Adalah penting untuk mencoba melihat orang lain seperti burung liar yang datang ke jendela kita. Seekor burung liar yang elok datang ke jendela kita, dan betapa mengagumkan burung itu. Betapa indah, betapa bahagianya kita bisa bersama burung liar ini selama beberapa saat. Tapi tentu saja burung ini akan terbang: burung ini bebas. Dan jika burung itu datang lagi ke jendela saya, betapa indahnya hal itu, betapa beruntungnya saya. Tapi jika saya mencoba menangkap burung dan memasukkannya ke dalam sangkar, maka burung akan sangat tidak bahagia dan bahkan mungkin mati. Sama halnya dengan seseorang yang datang ke dalam hidup kita dan kita kasihi. Ia seperti burung liar yang elok itu. Ia datang ke dalam hidup kita, membawa banyak sekali sukacita dan keindahan. Tetapi ia adalah orang bebas, seperti burung liar itu. Jika kita mencoba menggenggam dan menahannya seolah-olah ia milik kita, dan kita terus-menerus memarahinya – "Mengapa kamu 434
tidak meneleponku? Mengapa kamu tidak datang menemuiku? Mengapa kamu tidak meluangkan lebih banyak waktu bersamaku?" – i tu seperti berusaha memasukkan burung liar ke dalam sangkar. Burung liar itu akan berusaha melepaskan diri sebisa mungkin. Dan jika burung liar itu tetap bersama kita, seperti orang ini tetap bersama kita karena rasa bersalah, mereka akan sangat tidak bahagia. Ini adalah pemikiran yang amat sangat berguna – menganggap orang yang kita kasihi, yang datang ke dalam hidup kita, menganggap mereka seperti burung liar yang indah itu. Semakin kita bersikap kendur – tidak menggenggam – burung liar itu akan semakin senang untuk singgah lagi ke jendela kita. Baik. Ada lagi? Bagaimana Menghadapi Perilaku Kasar Orang Lain Pertanyaan: Selamat sore. Saya ingin mengajukan satu pertanyaan tentang… Bagaimana penjelasan Anda tentang sebuah keadaan ketika seseorang selalu kasar terhadap Anda, ketika ia selalu mengganggu Anda? Dan haruskah saya mengabaikannya, atau haruskah saya melakukan sesuatu untuk memperbaiki perilaku itu? Alex: Ketika seseorang selalu mengganggu kita dan bersikap kasar terhadap kita, maka saya pikir tidak ada gunanya menerima perilaku kasarnya begitu saja; ini sama sekali tidak membantu orang itu. Dan marah kepadanya juga tidak akan membantu karena kita hanya menyebabkan pertengkaran besar. Yang berguna adalah melihat bahwa orang ini memiliki masalah. Masalahnya adalah ia hanya memikirkan dirinya sendiri, dan ia hanya berpikir 435
bahwa apa yang ia katakan adalah penting. Jadi kita harus memberitahu orang itu dalam cara yang sangat tenang, "Hei, aku juga ingin mengatakan sesuatu. Dan jika kamu ingin bersamaku, kamu harus memberiku waktu untuk mengatakan apa yang ada di benakku" – seperti mengatakan,"Maaf, aku belum selesai mengatakan apa yang ingin kukatakan" – tapi melakukan ini tanpa menjadi marah, tetap bersikap tenang. Dan mudah-mudahan ia pada akhirnya akan memahami maksud kita. Ada lagi? Peserta: Tidak. Penerjemah: Mereka sudah lelah. Alex: Baiklah kalau begitu, mungkin kita bisa mengakhiri sesi ini.
436
Mendekati Agama Buddha Secara Seimbang Dr. Alexander Berzin Sebagian orang mengandalkan akalnya, sebagian mengandalkan perasaannya, dan ada juga yang mengandalkan imannya. Tetapi siapa pun kita, kita butuh keseimbangan dari ketiga pendekatan ini di dalam laku Buddha kita agar dapat menarik manfaat terbesar darinya. Tiga Pendekatan Sebagian orang di Barat mencari Dharma
untuk memenuhi keinginan mereka akan hal-hal eksotis, untuk penyembuhan-penyembuhan mukjizat, supaya trendi, agar menjadi terpesona dengan kharisma seorang guru yang menghibur, seperti "pecandu Dharma," karena ketertarikan tulus pada apa yang ada dalam Dharma, meskipun mereka bermula dengan salah satu alasan di atas.
Meskipun pada awalnya kita semata-mata ingin memperoleh informasi, ada tiga pendekatan yang berbeda menuju Dharma: 1. kecendekiaan, 2. perasaan, 3. kebaktian. Satu atau beberapa pendekatan yang kita gunakan tergantung pada 437
guru rohaninya, apa yang ia ajarkan dan bagaimana ia mengajar, kebudayaan, kecenderungan perorangan.
Masing-masing pendekatan tersebut bisa matang atau tidak matang dari sudut pandang Dharma. Kecendekiaan Orang-orang yang memiliki pendekatan kecendekiaan tidak matang seringkali terpesona oleh keindahan tata-tata Buddha. Mereka ingin mempelajari fakta-fakta dan seluk-beluk filsafat dan psikologi agama Buddha, dalam arti, agar bisa “terpesona,” tapi mereka tidak memadukan ajaran-ajaran itu ke dalam diri mereka atau merasakan apapun. Orang-orang semacam ini seringkali memiliki sifat tak acuh atau mengalami hambatan-hambatan perasaan. Orang-orang dengan pendekatan kecendekiaan matang mempelajari seluk-beluk dan rincian Dharma sehingga mereka bisa lebih memahami ajaran-ajaran itu secara utuh serta bisa memadukan dan menerapkannya secara tepat. Perasaan Dengan pendekatan perasaan tidak matang, orang-orang ingin bermeditasi semata-mata agar tenang atau merasa nyaman, seperti bermeditasi tentang cinta terhadap semua orang. Orangorang semacam ini pada umumnya hanya melihat pada bagianbagian Dharma yang “menyenangkan,” bukan pada penderitaan, 438
kelahiran kembali yang lebih buruk, kotornya bagian-bagian dalam tubuh kita, dan seterusnya. Mereka tidak ingin mengenali maupun menghadapi segala sikap dan perasaan gelisah yang mereka miliki, dan mereka memiliki sedikit pemahaman tentang ajaranajaran Buddha. Orang-orang semacam ini cenderung berjenis terlalu peka dan terlalu perasa. Orang-orang dengan pendekatan perasaan matang bergumul dengan perasaan-perasaan mereka untuk membebaskan diri dari perasaan yang gelisah dan meningkatkan perasaan positif. Kebaktian Pendekatan kebaktian tidak matang berpendapat betapa mengagumkannya sosok-sosok Buddha dan para guru, dan betapa hina dirinya. Sehingga, orang-orang dengan pendekatan ini berdoa memohon pertolongan dari mereka, seolah-olah pada “santo-santo” Buddha, dan tidak ingin bertanggung jawab atas perkembangan diri mereka sendiri. Orang-orang dengan pendekatan kebaktian matang menghadiri dan menjalankan upacara-upacara keagamaan agar memperoleh pencerahan untuk diterapkan pada diri mereka. Menyeimbangkan Tiga Pendekatan Kita perlu menyeimbangkan ketiga pendekatan itu, sehingga kita bisa memahami Dharma, merasakan sesuatu pada tingkat perasa, dan memperoleh ilham.
439
Sebagai contoh, orang-orang perasa perlu mempelajari pendekatan kecendekiaan. Untuk melakukan ini, mereka harus menyadari bahwa ketika, misalnya, mereka tidak suka menyayangi orang lain, mereka bisa mengembangkan diri mereka untuk merasakan kasih sayang dengan cara memahami dan meyakini sederet pertimbangan. Orang-orang cendekia perlu mempelajari pendekatan perasaan. Untuk melakukan ini, mereka harus menyadari bahwa ketegangan jiwa membuat mereka dingin dan ini membuat tidak hanya orang lain, tapi bahkan diri mereka sendiri tidak nyaman. Maka, mereka perlu menenangkan jiwa untuk memperoleh kehangatan alami mereka. Orang-orang tidak berbakti perlu mempelajari pendekatan kebaktian. Untuk melakukan ini, mereka perlu menyadari bahwa mereka harus bisa membangun tenaga ketika mereka merasa lelah. Orang-orang berbakti, sebaliknya, perlu berkembang secara kecendekiaan. Untuk melakukan ini, mereka harus menyadari bahwa ketika mereka tidak dapat memahami apa yang terjadi dalam hidup, mereka butuh lebih dari sekedar kenyamanan dan semangat dari upacara keagamaan. Tiga Pendekatan dan Upacara Keagamaan Untuk orang-orang perasa, upacara keagamaan memberi ekspresi dan bentuk pada perasaan.
440
Untuk orang-orang cendekia, upacara keagamaan memberi keteraturan dan perasaan mapan. Selain itu, melaksanakan upacara keagamaan sebelum memperoleh pemahaman, seperti ketika mengucapkan laku sadhana tantra dalam bahasa Tibet meskipun tidak mengerti bahasa itu, mengurangi keangkuhan. Kengkuhan itu seringkali mewujud dengan “Saya tidak akan belajar apapun, kecuali Anda menjelaskannya pada saya dan saya memahaminya.” Dalam Berhubungan dengan Guru Rohani Kita mungkin menjalankan tiap-tiap pendekatan itu dengan guru rohani kita dalam cara yang matang maupun tidak matang. Dalam cara tidak matang, jenis cendekia akan berdebat dengan guru mereka; jenis perasa akan jatuh cinta dengan guru mereka; dan jenis berbakti akan menjadi hamba yang bebal, membutuhkan guru mereka untuk memberitahu apa yang harus mereka lakukan dan pikirkan. Dalam cara matang, jenis cendekia akan mendapati guru mereka menggairahkan dan menantang secara kecendekiaan; jenis perasa akan mendapati guru mereka menggugah secara perasaan; dan jenis berbakti akan mendapati guru mereka memberikan ilham. Orang-orang yang matang mungkin memiliki keseimbangan pada tiga pendekatan itu,baik itu menjalankan “Dharma-Sari” (Dharma sementara yang lunak) untuk kehidupan saat ini saja, maupun Dharma “Sejati” (Dharma kuno asli) untuk pembebasan dari kelahiran kembali dan pencerahan. 441
Dharma-Sari Lawan Dharma Sejati Dr. Alexander Berzin Sebagian besar orang Barat mendekati agama Buddha tanpa keyakinan terhadap kelahiran kembali; akan tetapi agama Buddha adati meyakini adanya kelahiran kembali tanpa awal. "DharmaSari" adalah cara menjalankan laku Buddha murni untuk memperbaiki masa hidup yang sekarang ini saja, tanpa gagasan kelahiran kembali. Ketika dijalankan sebagai batu loncatan untuk Dharma "Sejati" (agama Buddha adati lengkap dengan keyakinan akan kelahiran kembali), Dharma-Sari merupakan tingkat yang paling sesuai untuk langkah awal bagi sebagian besar orang Barat. Pentingnya Kelahiran Kembali Ajaran Buddha Tibet mengikuti aliran keagamaan India dan semua aliran keagamaan India menganut keyakinan bahwa kelahiran kembali itu benar adanya. Bahkan meski para penganut Buddha tidak memiliki pemahaman mendalam tentang apa penyebab kelahiran kembali atau bagaimana kelahiran kembali itu terjadi, tapi mereka telah tumbuh besar dengan gagasan kelahiran kembali sebagai suatu pengetahuan yang terberi secara budayawi. Mereka hanya butuh memperhalus pemahaman mereka, tapi tidak perlu diyakinkan tentang keberadaan kelahiran kembali. Oleh karena itu, naskah-naskah yang terdapat dalam tahap-tahap jalan bertahap (lam-rim) bahkan tidak menyebutkan pokok bahasan tentang memperoleh keyakinan atas kelahiran kembali. Tanpa kelahiran kembali, pembahasan cita yang tiada berawal dan tiada berakhir menjadi tak bermakna. Tanpa cita yang tanpa-awal 442
dan tanpa-akhir, segala penyajian karma berantakan. Ini karena akibat-akibat karma dari tindakan-tindakan kita sering kali tidak matang di masa hidup ketika kita melakukan tindakan-tindakan itu. Tanpa penyajian sebab dan akibat karma di sepanjang rentang berbagai masa hidup, demikian pula, pembahasan tentang kehampaan sebab dan akibat dan tentang kemunculanbergantung pun akan berantakan. Lebih lagi, dalam hal tiga cakupan dorongan lam-rim, bagaimana mungkin dengan tulus kita mampu menuju kehidupan masa mendatang yang lebih bermanfaat tanpa yakin akan adanya kehidupan masa mendatang itu? Bagaimana kita dengan tulus mampu menuju pemerolehan pembebasan dari kelahiran kembali yang berulang secara tak terkendali (samsara) tanpa yakin akan adanya kelahiran kembali itu? Bagaimana mungkin dengan tulus kita mampu mencapai pencerahan dan beroleh kemampuan untuk menolong sesama memperoleh pembebasan dari kelahiran kembali tanpa keyakinan bahwa kelahiran kembali itu nyata? Dalam hal meditasi bodhicita, bagaimana mungkin kita mampu dengan tulus mengakui semua makhluk pernah menjadi ibu kita di kehidupan sebelumnya tanpa percaya kehidupan sebelumnya itu ada? Dalam hal tantra anuttarayoga, bagaimana mungkin kita dengan tulus bermeditasi dalam perumpamaan dengan kematian, bardo, dan kelahiran kembali untuk menghindarkan diri dari mengalami hal-hal tersebut jika kita tidak percaya bahwa bardo dan kelahiran kembali itu betul terjadi?
443
Maka dari itu, terbukti jelaslah bahwa kelahiran kembali merupakan sebuah tiang-patok bagi satu bagian besar dan penting ajaranajaran Dharma. “Dharma-Sari” dan Dharma “Sejati” Kebanyakan orang Barat memasuki Dharma tanpa terlebih dahulu percaya tentang kelahiran kembali. Banyak yang mendekati kajian dan laku Dharma sebagai cara untuk memperbaiki mutu masa hidup yang sekarang, khususnya dalam hal mengatasi permasalahan kejiwaan dan perasaan. Sikap ini menggerus Dharma menjadi bentuk terapi jiwa gaya Asia saja. Saya menciptakan istilah Dharma-Sari untuk pendekatan Dharma Buddha model ini (Ing. Dharma-Lite , dikiaskan dari CocaCola Lite/Light , minuman berkarbonasi tanpa-gula yang merupakan bentuk ‘lemah’ atau ‘ringan’ dari produk CocaColaasli/biasa. Istilah Dharma-Sari dikiaskan dari Nutrisari , sebuah merek produk minuman serbuk rasa jeruk, yang dapat dianggap sebagai bentuk ‘lemah’ dari jeruk peras yang asli – penerj. ). Maksudnya: sebuah bentuk hasil pelemahan yang tidak sekuat “Sejati”. Untuk pendekatan tradisional terhadap Dharma – yang bukan hanya mencakup pembahasan kelahiran kembali, tapi juga penyajian neraka-neraka dan enam alam ke-ada-an sisanya – saya istilahkan dengan ungkapan Dharma Sejati.
444
Dua Cara Melaksanakan Dharma-Sari Ada dua cara untuk melaksanakan Dharma-Sari. 1. Kita melaksanakannya dengan pengakuan atas pentingnya kelahiran kembali dalam ajaran Buddha dan niat tulus untuk mempelajari ajaran-ajaran yang tepat tentangnya. Oleh karena itu, kita bertujuan untuk memperbaiki masa hidup sekarang dengan cara-cara Dharma hanya sebagai batu pijakan untuk menuju perbaikan kelahiran kembali kita di masa mendatang dan untuk memperoleh pembebasan dan pencerahan. Oleh karena itu, Dharma-Sari menjadi suatu langkah awal dalam jalan bertahap menuju pencerahan, suatu langkah sebelum cakupan awalnya. Pendekatan seperti itu dianggap sah di dalam aliran Buddha. Pendekatan itu tidak menyebut Dharma-Sari sebagai “Sejati”. 2. Kita melaksanakannya dengan mengakui bahwa Dharma-Sari bukan hanya Dharma sebetulnya, tapi juga bentuk yang paling sesuai dan cakap untuk digunakan dalam ajaran Buddha Barat. Pendekatan seperti itu curang dan sangat culas terhadap aliran Buddha. Pendekatan itu dengan mudah mengarah pada sikap kepongahan budaya. Oleh karena itu, kita perlu melangkah dengan sungguh hati-hati jika kita mendapati bahwa, pada tingkat perkembangan dan pemahaman kerohanian kita yang sekarang, Dharma-Sari adalah minuman kita.
445
Rangkuman Skematis Dharma-Sari Ajaran Buddha menjadi Dharma-Sari ketika. tujuannya ialah untuk memperbaiki kehidupan sekarang;
murid tidak atau hanya sedikit memiliki pemahaman atas ajaranajaran Buddha tentang kelahiran kembali; alhasil, murid tidak mem iliki keyakinan akan atau minat pada kehidupan masa mendatang; bahkan jika murid yakin akan kelahiran kembali, ia tidak dapat menerima keberadaan enam alam kelahiran kembali; guru Dharma menghindari pembahasan kelahiran kembali atau, meskipun ia membahas kelahiran kembali, ia menghindari pembahasan tentang neraka-neraka. Guru menggerus anggitan enam alam kelahiran kembali ke dalam pengalamanpengalaman kejiwaan manusia.
Rangkuman Skematis Dharma Sejati Dharma Sejati merupakan laku ajaran Buddha turun-temurun yang asli, yang di dalamnya
murid setidaknya mengakui pentingnya kelahiran kembali pada jalan kerohanian dan memiliki kehendak tulus untuk memperoleh pemahaman yang tepat tentang hal itu; murid mengarahkan diri menuju pembebasan dari kelahiran kembali yang berulang dan tak terkendali atau menuju pencerahan dan kemampuan untuk menolong semua orang lain untuk memperoleh pembebasan; bahkan jika murid bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masa mendatang, ini hanyalah suatu langkah sementara yang 446
diambil di jalan kerohanian untuk memperoleh pembebasan dan atau pencerahan; bahkan jika murid bertujuan untuk memperbaiki kehidupan sekarang, ini hanyalah sebagai suatu langkah sementara yang diambil di jalan kerohanian untuk memperbaiki kehidupan masa mendatang dan memperoleh pembebasan atau pencerahan.
Ringkasan Selama agama Buddha tidak direduksi menjadi Dharma-Sari atau semacam terapi semata, Dharma-Sari merupakan batu loncatan yang amat sangat berguna untuk masuk ke dalam Dharma Sejati, yang lengkap dengan keyakinan akan kelahiran kembali.
447
Kesalahpahaman Umum tentang Agama Buddha Dr. Alexander Berzin Ada banyak ragam kesalahpahaman tentang ajaran Buddha dan semua itu muncul karena berbagai alasan. Sebagian khas secara budaya, baik bagi budaya Barat, atau kebudayaan Asia dan budaya-budaya lain yang dipengaruhi oleh pemikiran Barat modern. Sebagian lagi berasal dari wilayah-wilayah budaya lain, misalnya pemikiran Cina kuno. Ada juga kesalahpahaman yang muncul lebih secara umum, karena perasaan-perasaan gelisah yang dimiliki orang-orang. Ada kesalahpahaman yang muncul semata-mata dari fakta bahwa bahan-bahannya sulit dipahami. Kesalahpahaman juga bisa muncul karena guru tidak menjelaskan hal-hal secara jelas atau sama sekali tidak menjelaskannya, sehingga kita membayangkan apa arti hal-hal tersebut. Juga, bisa jadi guru itu salah memahami ajaran-ajaran tersebut, karena tidak semua guru benar-benar mumpuni; banyak guru dikirim atau diminta untuk mengajar sebelum mereka memenuhi syarat. Selain itu, jika guru itu menjelaskan ajaran secara jelas, kita mungkin tidak menyimaknya dengan baik atau, setelahnya, kita mungkin tidak mengingatnya dengan benar. Atau kita kurang mencatat dan bahkan tak pernah membacanya lagi. Meskipun ada begitu banyak kesalahpahaman yang muncul karena hal-hal di atas, mari kita coba menjernihkan beberapa kesalahpahaman yang paling lazim mengenai beberapa pokok umum, meskipun lebih banyak lagi yang bisa dibahas.
448
Kesalahpahaman Umum tentang Agama Buddha Kesalahpahaman Umum tentang Ajaran Buddha itu Sendiri Berpikir bahwa Ajaran Buddha Bersifat Pesimistis Pelajaran pertama yang diberikan oleh Buddha adalah mengenai Empat Kebenaran Mulia, dan pokok pertamanya adalah "duka sejati." Baik kita berbicara tentang ketidakbahagiaan, rupa-rupa biasa kebahagiaan kita, atau pengalaman yang serba-merembes dari kelahiran kembali yang berulang tak terkendali, mereka semua adalah duka. Namun, "duka" (suffering)adalah kata yang agak kasar dalam bahasa Inggris. Maksudnya di sini adalah bahwa semua tataran tersebut tak memuaskan dan mendatangkan masalah, maka karena semua orang ingin bahagia dan tak seorangpun ingin tidak bahagia, kita perlu mengatasi masalahmasalah dalam hidup. Adalah sebuah kesalahpahaman bahwa ajaran Buddha mengatakan ada yang salah dengan menjadi bahagia. Tapi rupa lazim kebahagiaan kita memiliki kekurangan—kebahagiaan itu tidak bertahan, tidak memuaskan dan ketika itu berakhir, kita selalu ingin lebih. Jika kita punya terlalu banyak hal yang kita sukai, seperti makanan kegemaran, kita menjadi bosan dengan itu dan tidak bahagia untuk menyantapnya lagi. Jadi ajaran Buddha mengajarkan pada kita untuk berjuang mencapai kebahagiaan yang berasal dari bebas dari semua keadaan tak memuaskan itu. Ini bukan berarti bahwa tujuan tertingginya adalah tidak merasakan apapun. Ini mengandung arti bahwa ada banyak jenis kebahagiaan, dan yang kita biasa alami, meskipun lebih baik daripada ketidakbahagiaan, bukanlah tingkat paripurna dari kebahagiaan yang kita bisa alami. 449
Berpikir bahwa Ketaktetapan Hanya Memiliki Konotasi Negatif Adalah sebuah kesalahpahaman ketika berpikir bahwa ketidaktetapan berlaku hanya bagi kebahagiaan lazim kita: yang akan berakhir dan berubah menjadi ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan. Ketidaktetapan juga menyiratkan bahwa masa tidak bahagia dalam hidup kita juga akan berakhir. Ini membuka kemungkinan untuk menyembuhkan dan memanfaatkan peluangpeluang baru untuk memperbaiki keadaan kita. Oleh karena itu, ajaran Buddha menawarkan banyak sekali cara untuk mengubah sikap dan pandangan kita tentang hidup dan, pada akhirnya, untuk memperoleh kebebasan dan pencerahan. Semua perubahan tersebut juga mengikuti asas dasar ketaktetapan. Berpikir bahwa Ajaran Buddha adalah Rupa Nihilisme Buddha mengajarkan bahwa sebab sejati dari masalah setiap orang dalam hidup adalah ketidaksadaran (kebodohan) tentang kenyataan—bagaimana mereka, orang lain dan segala sesuatu ada. Ia mengajarkan sunyata (kekosongan) sebagai penangkal bagi kebingungan ini. Adalah kesalahpahaman ketika berpikir bahwa sunyata adalah rupa dari nihilisme dan bahwa Buddha mengatakan tak ada satu hal pun yang ada—Anda tidak ada, orang lain tidak ada, masalah Anda tidak ada, jadi pemecahan untuk masalah Anda adalah menyadari bahwa tak ada satu hal pun yang ada. Arti sunyata sama sekali bukan itu. Kita mencitrakan pada kenyataan segala macam cara yang mustahil tentang bagaimana sesuatu itu ada—misalnya, terpencil dan terlepas dari semua hal lain. Kita tidak sadar bahwa segala sesuatu saling terkait dan saling bergantung pada semua hal lain secara menyeluruh dan teratur. 450
Kebingungan kita tentang ini menyebabkan cita kita membuat halhal tampak ada dalam cara yang mustahil, seperti situsweb ini muncul mengada sebagaimana adanya, berdiri sendiri, terlepas dari puluhan ribu jam kerja dari seratus orang yang menghasilkannya. Cara mengada yang mustahil ini tidak sesuai dengan kenyataan. Sunyata adalah ketiadaan mutlak dari rujukan nyata yang sesuai dengan pencitraan kita tentang cara mengada yang mustahil. Tidak ada hal yang ada dengan dirinya sendiri; itu tidak berarti bahwa tak ada yang ada. Kesalahpahaman tentang Sila dan Sumpah Berpikir bahwa Sila Buddha Didasarkan pada Penilaian Moral Baik dan Buruk Dalam kerangka sila, juga dalam banyak kejadian lain, kesalahpahaman sering muncul karena istilah-istilah penerjemahan yang keliru. Karena hal itu kita mencerminkan wawasan-wawasan non-Buddha ke dalam ajaran. Misalnya, kita mungkin menggunakan istilah yang memiliki konotasi dari aliran Injil, seperti kata bajik, tak-bajik, pahala, dan dosa. Kata-kata macam ini yang mencerminkan gagasan mengenai penilaian susila dan rasa bersalah ke dalam ajaran tentang sila dalam ajaran Buddha: bahwa beberapa hal adalah bajik, yang berarti baik dan patut. Jika kita melakukannya, kita adalah orang baik, dan dengan perbuatan itu, kita membangun pahala, semacam imbalan. Tetapi jika kita bertindak secara tak-bajik, tidak dalam cara yang "suci," maka kita buruk dan kita membangun dosa, yang karenanya kita harus menderita. Ini jelas cerminan budi pekerti Injil ke dalam sila Buddha.
451
Sila Buddha utamanya berdasarkan pada mengembangkan kesadaran pembeda. Kita perlu belajar untuk membedakan antara apa yang membangun dan apa yang merusak, apa yang akan bermanfaat dan apa yang akan merugikan dan kemudian, melalui pemahaman, menahan diri dari perilaku yang merusak dan merugikan. Berpikir bahwa Sila Buddha Didasarkan pada Ketaatan terhadap Hukum Berikutnya adalah kesalahpahaman menganggap sila Buddha sebagai suatu hal yang didasarkan pada ketaatan terhadap hukum, bukan didasarkan pada kesadaran pembeda. Di sebagian budaya, orang menanggapi hukum dengan amat sangat bersungguh-sungguh, dan kemudian mereka menjadi sangat kaku: mereka tidak mau melanggar hukum. Sedangkan kaum Tibet sangat santai dalam kerangka pedoman sila. Ini bukan berarti mereka ceroboh, tapi ini berarti bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu orang harus menggunakan kesadaran pembeda dalam kerangka bagaimana Anda menerapkan pedoman itu. Yang kita coba bedakan di sini adalah apakah kita bertindak di bawah pengaruh perasaan yang gelisah atau apakah ada alasan yang membangun bagi cara kita berperilaku. Berpikir bahwa Sumpah Sama Seperti Hukum dengan CelahCelah yang Memungkinkan untuk Dilanggar Pada keekstreman yang lain, kita bisa memandang sumpah seperti seorang pengacara. Sehingga kita mencari celah-celah dalam penyajian mengenai karma agar menemukan alasan untuk bertindak secara merusak atau untuk menodai dan melemahkan sumpah. Saya akan memberikan contoh. Misalnya, kita 452
bersumpah untuk menghindari perilaku seksual yang tidak pantas, dan kemudian kita menyatakan bahwa melakukan seks mulut tidak apa-apa karena itu adalah suatu ungkapan kasih. Kita memaafkan diri kita sendiri karena kita menyukai gaya perilaku seksual ini. Atau, setelah bersumpah untuk berhenti minum alkohol, kita berkata bahwa tidak apa-apa minum anggur saat bersantap dengan orang tua kita supaya tidak menyinggung perasaan mereka, atau tidak apa-apa minum kadang-kadang selama kita tidak mabuk. Kita membuat alasan-alasan semacam itu untuk menghindari sumpah. Intinya adalah jika Anda bersumpah, Anda mengambil sumpah itu secara utuh. Anda tidak mengambil sebagian dari sumpah itu. Seperti inilah sumpah itu ditentukan. Jika kita tidak dapat menjaga semua rincian sumpah, atau dari sumpah tertentu, sebagaimana ditentukan dalam naskahnya, maka jangan bersumpah. Tidak ada kewajiban untuk bersumpah. Ada jalan lain. Dalam pembahasan abhidharma mengenai sumpah, ada tiga golongan: Ada sumpah di mana Anda bersumpah utamanya untuk menahan diri dari sesuatu yang merusak. Dan kemudian ada sesuatu yang sangat sulit diterjemahkan—ini secara harfiah adalah anti-sumpah. Ini adalah sumpah bukan untuk menahan diri dari sesuatu yag merusak, misalnya, membunuh. Jika Anda bergabung dengan tentara, misalnya, Anda mungkin bersumpah untuk tidak menahan diri untuk menembak ketika musuh menyerang. Dan kemudian adalah golongan di antaranya: menahan diri dari sebagian yang ditentukan dalam sumpah. 453
Golongan di-antara inilah yang dapat kita terapkan. Misalnya, dalam kerangka sumpah awam untuk menghindari perilaku seksual yang tidak pantas, jika ada bagian dari sumpah yang kita rasa tidak bisa kita jaga, kita bisa berjanji hanya untuk tidak berhubungan seksual dengan pasangan orang lain dan tidak menggunakan kekerasan dalam berhubungan seksual, seperti memperkosa atau memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual. Berjanji seperti itu bukanlah sumpah sebagaimana ditentukan dalam naskah. Tapi ini jauh lebih positif, membangun lebih banyak daya positif—saya pilih menggunakan istilah daya positif daripada pahala, dan daya negatif daripada dosa—sehingga ini membangun lebih banyak daya positif pada kesinambungan batin kita daripada hanya menahan diri dari jenis perilaku itu. Ini tidak menodai sumpah dan menjadi rupa yang sangat kuat dari laku sila. Berpikir bahwa Sila Buddha bersifat Manusiawi – Hanya Mencegah agar tidak Merugikan Orang Lain Kesalahan lain tentang sila adalah kesalahpahaman bahwa sila Buddha bersifat manusiawi. "Manusiawi" berarti kita hanya menghindari melakukan hal-hal yang akan merugikan orang lain. Selama itu tidak menyakiti orang lain, tidak apa-apa. Ini adalah sila yang manusiawi, atau setidaknya pemahaman saya tentang sila yang manusiawi. Meskipun sangat bagus, sangat baik, itu bukan dasar dari sila Buddha. Dasar sila Buddha adalah penekanan pada menghindari apa yang merusak diri sendiri, karena kita tidak tahu apa yang akan menyakiti orang lain: Anda bisa saja memberi satu juta Euro kepada seseorang dengan berpikir bahwa kita akan menguntungkan mereka. Dan di hari berikutnya, karena ia memiliki uang itu, ia dirampok dan dibunuh. Jadi kita tidak tahu apa yang 454
akan bermanfaat bagi orang lain. Kita tidak bisa melihat masa depan. Yang ditentukan dalam ajaran-ajaran Buddha adalah jika kita bertindak secara merusak, berdasarkan perasaan-perasaan yang gelisah–kemarahan, keserakahan, berahi, kecemburuan, keluguan, dan sebagainya – ini merusak diri sendiri. Mengulangi perilaku ini berarti membangun kebiasaan negatif dan akan menyebabkan diri kita sendiri mengalami duka. Inilah dasar sila Buddha. Kesalahpahaman tentang Kelahiran Kembali Karena Melewatkan Kelahiran Kembali, Tidak Memperbaiki Perilaku Merusak dan Perasaan-Perasaan Gelisah Kita Kesalahpahaman bahwa sila Buddha bersifat manusiawi ini– sekadar jangan menyakiti orang lain–seringkali dipandang berasal dari penekanan gegabah pada laku Mahayana, berpikir bahwa kita dapat melewatkan tahap-tahap lam-rim awal dan menengah. “Lam-rim” mengacu pada tingkat-tingkat bertahap dari jalan menuju pencerahan. Tingkat dorongan awal adalah menghindari kelahiran kembali yang lebih buruk. Ya, kita bahkan tidak percaya pada kelahiran kembali. Tingkat menengah adalah menghindari kelahiran kembali yang berulang tak terkendali. Ya, kita masih tidak percaya pada kelahiran kembali, jadi tidak ada dari itu yang benarbenar kita anggap penting; kita berpikir “Kita lewati saja hal itu.” Tapi kita tertarik pada ajaran-ajaran Mahayana karena, dalam banyak hal, itu terdengar sangat mirip seperti aliran-aliran Barat kita mengenai kasih, welas asih, murah hati, melakukan amal, dan sebagainya. Ini kedengarannya sangat bagus, sehingga kita tertarik pada ajaran itu, dengan melewati atau mengecilkan arti penting dari dua lingkup awal tersebut. 455
Dalam melakukan itu, kita juga melewatkan bagian penting dari muatannya, yaitu berupaya mengatasi perilaku merusak serta perasaan dan sikap yang gelisah karena itu merusak diri kita sendiri. Kita langsung terjun untuk mencoba membantu orang lain. Itu keliru. Meskipun penting untuk menekankan Mahayana, tapi ini berdasarkan pada lingkup awal dan menengah. Kita harus lebih dulu berupaya mengatasi perilaku merusak dan perasaanperasaan yang gelisah, karena ini sangat mengganggu kita dalam membantu orang lain. Tidak Bersungguh-Sungguh dalam Meyakini Kelahiran Kembali Alasan kuat mengapa banyak dari kita akan lebih suka melewatkan ajaran-ajaran lingkup awal adalah karena kita berpikir bahwa kelahiran kembali tidak ada. Lagipula, penekanan dalam lingkup awal adalah untuk menghindari kelahiran kembali yang lebih buruk; oleh karena itu kita berlindung (menempatkan haluan yang positif dalam hidup kita) dan mematuhi hukum-hukum karma untuk menghindari perilaku merusak karena itu akan membawa kelahiran kembali yang lebih buruk bagi kita. Kita melewatkan atau menekankan-ulang tahap itu karena kita tidak percaya pada kelahiran kembali. Dan terutama kita tentu tidak percaya pada alam neraka dan alam hantu mencengkeram (hantu lapar), dan dewadewi dan penentang dewa-dewi. Kita berpikir bahwa mereka tidak benar-benar ada dan bahwa penggambarannya dalam naskahnaskah Dharma sebenarnya hanya mengacu pada tataran-tataran kejiwaan manusia. Itu sungguh merupakan aniaya terhadap ajaran dan suatu kesalahpahaman besar.
456
Tidak Bersungguh-Sungguh dalam Meyakini Kelahiran Kembali dalam Rupa-Rupa Kehidupan Selain-Manusia dan Selain-Binatang Saya tidak ingin membahas secara sangat rinci di sini, tapi jika kita berpikir tentang cita, kesinambungan batin, baik itu milik kita maupun orang lain, tak ada alasan mengapa semua itu tidak dapat mengalami seluruh jangkauan kebahagiaan dan ketidakbahagiaan, kesenangan dan kesakitan, dan tidak sedikit dari jangkauan itu yang ditetapkan oleh patokan-patokan raga dan cita kita sebagai manusia. Lagipula, inilah yang dialami oleh berbagai jenis pencerapan indrawi. Sebagian hewan dapat melihat lebih jauh dibandingkan manusia; sebagian pendengarannya lebih baik, dan seterusnya. Jadi mengapa tidak batas-batas dalam kerangka kebahagiaan, ketidakbahagiaan, kesenangan dan kesakitan yang kita dapat alami juga dapat diperpanjang dan ada rupa ragawi yang layak sebagai dasarnya, seperti raga neraka atau raga dewata. Mempersempit Rupa-Rupa Kejiwaan Manusia Semata
Kehidupan
Lain
pada
Tataran
Meskipun dalam penyajian tentang karma disebutkan bahwa dalam kehidupan manusia, kita memiliki suatu akibat-lanjutan, sisa-sisa dari masa kehidupan terdahulu di alam-alam lainnya itu— kita mengalami hal-hal yang mirip dengan yang pernah kita alama di masa-masa itu; meskipun demikian, itu tidak berarti bahwa kita dapat mempersempit pembahasan tentang rupa-rupa kehidupan lain yang kita dapat ambil semata-mata pada tataran kejiwaan manusia. Itu mengebiri ajaran.
457
Berpikir bahwa Karma tidak Masuk Akal, Karena Membatasinya Hanya untuk Satu Masa Kehidupan Karena tidak menerima kelahiran kembali dan tataran-tataran keberadaan lain itu, kita keliru memahami karma sebagai sematamata akibat atas tindakan-tindakan kita yang akan terjadi dalam masa kehidupan ini. Pembatasan ini menyebabkan banyak keraguan terhadap ajaran-ajaran mengenai karma. Lagipula, banyak penjahat besar yang tak pernah tertangkap dan lolos dari kejahatan mereka. Dan kita dapat mengalami segala macam halhal mengerikan dalam kehidupan kita, seperti mati karena kanker, ketika kita tidak pernah benar-benar melakukan sesuatu yang sangat merusak. Karma tampak tidak masuk akal jika kita membatasi pembahasan kita atau pandangan kita hanya pada masa kehidupan ini saja. Kesalahpahaman tentang Dharma Menyaring Bagian-Bagian dari Ajaran Buddha yang Tidak Kita Sukai Semua ini menggarisbawahi masalah yang jauh lebih besar, kesalahpahaman yang jauh lebih besar tentang Dharma, yaitu berpikir bahwa kita bisa memilih hanya ajaran-ajaran yang kita suka, dan kita bisa membuang atau mengabaikan ajaran-ajaran yang sulit kita terima: disebut ajaran Buddha yang "disaring.” Kita menyaring atau membersihkannya dari segala hal yang sulit. Ketika kita mendengar kisah-kisah tentang karma dengan gajah yang masuk ke dalam bumi dan yang mengeluarkan tinja emas, dan semua hal lain, kita berpikir, "Oh ayolah! Semua itu adalah dongeng untuk anak-anak!" Kita tidak melihat bahwa ada suatu pelajaran di sana. Apakah kita menerima atau tidak semua itu 458
secara harfiah seperti yang dilakukan sebagian orang Tibet bukanlah intinya. Intinya adalah untuk tidak meniadakannya; semua itu adalah bagian dari ajaran. Contoh lain ada dalam sutrasutra Mahayana, di mana para Buddha mengajar ratusan juta makhluk; dan ada ratusan juta Buddha menghadiri; dan di dalam setiap pori-pori seorang Buddha, ada ratusan juta lainnya; dan seterusnya. Seringkali kita malu tentang hal itu dan berkata, "Ini terlalu aneh." Kita tidak menerimanya sebagai bagian dari Dharma. Masalahnya di sini adalah mengambil dan memilih bagian-bagian dari ajaran Buddha yang kita sukai. Ada tantra dan sumpah bodhisattwa khusus yang melarang penghilangan ajaran-ajaran Buddha tertentu atau menyatakan bahwa ajaran-ajaran itu tidak asli; dengan kata lain, hanya mengambil sebagian dari ajaran itu dan mengabaikan sebagian lain, hanya mengambil yang kita sukai. Jika kita hendak menerima ajaran Buddha sebagai jalan rohani kita, setidaknya kita harus cukup terbuka untuk mengatakan, "Aku tidak memahami ajaran ini," meskipun itu terdengar sangat aneh bagi kita, dan "Aku tidak akan menilainya sampai aku mendapat penjelasan yang lebih mendalam dan pemahaman yang lebih baik." Penting untuk tidak menutup cita kita dan meniadakan ajaran-ajaran itu. Berpikir bahwa Akan Mudah untuk Memperoleh Lagi Kelahiran Kembali Manusia yang Mulia Kesalahpahaman lainnya adalah, bahkan jika kita menerima kelahiran kembali, berpikir bahwa akan sangat mudah memiliki kelahiran kembali manusia yang mulia lagi. Kita sering berpikir, "Ya, ya, aku percaya pada kelahiran kembali. Dan tentu saja aku akan menjadi manusia lagi dan tentu saja aku akan memiliki 459
kesempatan untuk melanjutkan laku," dan seterusnya. Itu sangatlah lugu, amat sangat lugu. Terutama jika kita memikirkan tentang banyaknya perilaku merusak yang telah kita perbuat, banyaknya waktu yang telah kita habiskan di bawah pengaruh perasaan-perasaan yang gelisah—kemarahan, keserakahan, mementingkan diri sendiri, dst.—dibandingkan dengan banyaknya waktu yang telah kita gunakan untuk bertindak atas dasar kasih dan welas asih yang murni, maka sangat jelas bahwa akan sangat sulit untuk mendapatkan lagi kelahiran kembali manusia yang mulia. Berjuang untuk Mendapatkan Kelahiran Kembali Manusia yang Mulia agar Bisa Terus Bersama Orang-Orang Terkasih Kita Kekeliruan lainnya adalah berjuang untuk memiliki kelahiran kembali manusia yang mulia sehingga kita bisa terus bersama teman dan keluarga kita, karena kemelekatan pada mereka. Atau bahkan berpikir bahwa jika aku mencapai kelahiran kembali manusia yang mulia lagi, tentu aku akan bertemu dengan semua teman dan kerabat dan orang-orang tercinta lagi. Itu juga merupakan kesalahpahaman. Ada begitu banyak makhluk hidup dan rupa kehidupan yang tak terhitung. Menurut masing-masing sejarah karmanya, kita semua akan lahir kembali dalam keadaan yang berbeda-beda. Sehingga sama sekali tidak ada jaminan kita akan terlahir kembali sebagai apa atau siapa yang akan kita temui dalam kehidupan-kehidupan berikutnya. Bahkan, kemungkinan besar akan memerlukan waktu yang sangat lama sebelum kita bertemu seseorang dari masa kehidupan ini lagi. Hal ini mungkin; ini bukan hal mustahil. Tapi adalah suatu kesalahpahaman jika kita berpikir bahwa itu mudah atau terjamin. 460
Kesalahpahaman tentang Karma Berpikir bahwa Kita Jahat dan Layak Mendapat Kematangan Daya-Daya Karma Negatif Pokok lain mengenai karma dan kelahiran kembali adalah bahkan jika kita menerima bahwa duka dalam masa kehidupan ini adalah kematangan daya-daya karma negatif yang dibangun pada masa kehidupan terdahulu, kita mungkin berpikir, "Jika aku menganggung duka, jika sesuatu yang buruk terjadi padaku, aku pantas mendapatkannya." Atau Anda pantas mendapatkannya, jika itu terjadi pada Anda. Kesalahpahamannya di sini adalah bahwa ini menyiratkan "aku" padu yang melanggar hukum, bersalah dan jahat, dan kini mendapatkan hukuman sepantasnya. Kemudian, kita meletakkan kesalahan pada “aku”—"aku" padu yang begitu jahat dan kini sedang dihukum—karena keliru dalam memahami hukum-hukum karma, sebab dan akibat perilaku. Berpikir bahwa Kita Bertanggung Jawab atas Matangnya Karma Orang Lain Kita kemudian memperluas wawasan tentang rasa bersalah ini ke peran kita dalam mematangkan karma orang lain. Kita tidak melihat bahwa ada banyak unsur dan unsur-sebab yang terlibat dalam mengalami kematangan karma dan masing-masing dari itu memiliki sebab-sebabnya sendiri. Adalah suatu kesalahpahaman untuk berpikir bahwa akulah sebab bagi kematangan karma orang lain. Apa yang mereka alami muncul secara bergantung pada semua unsur tersebut, tidak hanya pada aku. Saya akan memberikan sebuah contoh. Misalnya kita tertabrak mobil. Ini bukan karena hal yang kita lakukan dalam masa kehidupan terdahulu sehingga menyebabkan orang lain menabrak 461
kita. Kita berpikir, "Aku punya tanggung jawab karma atas kejadian ia menabrak." Tidak. Tanggung jawab karma kita adalah mengalami ditabrak. Karma orang itu bertanggung jawab atas mereka menabrak kita dengan mobil. Maka apa yang terjadi pada kita adalah hasil interaksi dari banyak sekali unsur karma yang berbeda, dan perasaan-perasaan yang gelisah dan unsur-unsur umum—seperti cuaca: waktu itu hujan, jalannya licin; dst., dst. Semua unsur itu berpaut untuk menghasilkan unsur-sebab di mana kita mengalami duka atau masalah. Kesalahpamahan tentang Guru Mengabaikan Fakta bahwa Guru Harus Mumpuni dan Harus Mengilhami Kita Sekarang mengenai guru, saya pikir ini adalah wilayah kesalahpahaman yang luas, tidak hanya di kalangan kaum Barat. Pertama-tama, karena penekanan pada pentingnya guru, kita melalikan fakta bahwa guru harus mumpuni—dan ada daftar persyaratan untuk itu. Dan bahkan jika guru itu mumpuni, kita harus merasa terilhami olehnya. Salah satu alasan utama pentingnya guru rohani adalah guru itu memberikan ilham, semangat bagi kita untuk menjalankan laku, teladan yang ingin kita anut. Kita bisa mendapatkan informasi dari buku, dari Internet, dan sebagainya. Tentu saja guru harus menjawab pertanyaan-pertanyaan kita, dan ia juga harus bisa membenarkan kita ketika kita membuat kesalahan dalam laku meditasi. Tapi jika ia tidak mengilhami kita, kita tidak akan berkembang.
462
Menerima Seseorang sebagai Guru Kita tanpa Lebih Dulu Memeriksa secara Layak Karena kesalahpahaman tentang bahwa mereka harus mumpuni dan mereka harus mengilhami kita, kita terburu-buru untuk menerima seseorang sebagai guru kita tanpa lebih dulu memeriksanya secara menyeluruh atau secara layak. Kita merasa didesak karena penekanan ini: "Kamu harus punya guru; kamu harus punya guru." Kemudian kita mempertaruhkan kemungkinan mengalami kekecewaan ketika nantinya kita melihat secara objektif bahwa guru kita memiliki kesalahan. Kita tidak memeriksa secara cermat. Ini masalah besar, karena banyak gunjingan muncul terhadap guru-guru rohani yang entah benar atau salah dituduh berperilaku tidak pantas. Kadang-kadang tuduhan itu benar; mereka tidak benar-benar mumpuni dan kita mungkin merasa didesak oleh penekanan tentang guru untuk menerima orang itu sebagai guru kita. Kemudian ketika kita mengetahui gunjingan tentang guru kita, hati kita hancur. Berpikir bahwa Semua Orang Tibet, Terutama Biarawan dan Orang-Orang dengan Gelar adalah Pengikut Buddha yang Sempurna Sebagai tambahan, adalah kesalahpahaman berpikir bahwa semua orang Tibet; atau, lebih sempit, semua bhiku dan bhikuni; atau, lebih sempit lagi, semua Rinpoche, Geshe dan Kenpo adalah contoh sempurna untuk laku Buddha. Itu adalah kesalahpahaman yang sangat umum. Kita berpikir, "Mereka pasti pengikut Buddha yang sempurna: mereka orang Tibet," atau "Pengikut Buddha yang sempurna: mereka mengenakan jubah." "Pengikut Buddha yang sempurna: mereka bergelar Rinpoche. Mereka pasti seorang 463
makhluk yang tercerahkan." Ini sangat lugu. Kebanyakan dari mereka hanyalah manusia biasa. Mungkin terdapat pelaku Buddha dengan jumlah yang lebih besar di kalangan kaum Tibet dibandingkan dengan masyarakatmasyarakat lain, dan mungkin ada nilai-nilai Buddha tertentu yang merupakan bagian dari kebudayaan mereka; tapi itu tidak berarti bahwa mereka semua sempurna, tentunya. Dan jika seseorang menjadi bhiku atau bhikuni, ada banyak alasan. Di kalangan kaum Tibet, bisa jadi keluarga memasukkan Anda ke wihara sejak anakanak karena mereka tidak bisa memberi Anda makan, dan Anda akan mendapatkan makanan dan pendidikan. Atau bisa juga karena alasan yang lebih berupa dorongan-diri—bahwa aku punya masalah dan aku membutuhkan tata tertib kehidupan wihara supaya dapat mengatasi masalah-masalah ini. Sebagaimana dikatakan seorang teman Rinpoche saya, "Mengenakan jubah adalah tanda bahwa saya benar-benar membutuhkan tata tertib ini, karena saya adalah orang yang sangat tidak tertib dan punya banyak perasaan yang gelisah dan saya benar-benar berupaya keras untuk mengatasinya." Itu tidak berarti mereka telah mengatasinya. Sehingga kita tidak boleh secara lugu berpikir bahwa mereka semua tercerahkan, terutama para Rinpoche. Seperti yang selalu dikatakan oleh Yang Mulia Dalai Lama: Hanya mengandalkan nama besar seorang pendahulu sungguh suatu kesalahan besar. Ia menekankan bahwa para Rinpoche itu dalam masa kehidupan ini harus menunjukkan dan membuktikan kecakapan mereka, tidak hanya mengandalkan nama baik mereka. 464
Tidak Menghormati Bhiku dan Bhikuni, Membuat Mereka Melayani Kaum Awam Di sisi lain, adalah kesalahpahaman untuk tidak menghormati dan mendukung bhiku dan bhikuni, melainkan menjadikan mereka pelayan orang awam di sanggar-sanggar Dharma. Sering terjadi bahwa di sanggar Dharma mereka memiliki bhiku atau bhikuni pemukim. Bhiku dan bhikuni ini harus membersihkan sanggar, mengatur dan membereskan segala sesuatunya untuk pelajaran, mengumpulkan upah dan seterusnya. Dan jika itu adalah sanggar kediaman, mereka harus mengurus akomodasi dan segala sesuatunya ketika ada pengajaran akhir pekan dan bahkan tidak bisa menghadiri pelajaran karena mereka sangat sibuk. Dan seolah-olah orang-orang awam berpikir bahwa mereka adalah pelayannya. Padahal itu terbalik. Sebagai bhiku atau bhikuni, mereka layak untuk dihormati, lepas dari di tingkat apa sila mereka. Ini adalah bagian dari ajaran mengenai berhaluan aman atau berlindung pada Sangha: orang harus menghargai bahkan jubahnya sekalipun. Itu tidak berarti Anda berpikir bahwa mereka sempurna dan Anda lugu tentang itu. Tapi rasa hormat tertentu harus ditunjukkan. Membayangkan bahwa Guru secara Harfiah adalah seorang Buddha Tanpa Cela dan Menyerahkan Sepenuhnya Tanggung Jawab Hidup Kita Juga ada kesalahpahaman besar tentang istilah “bakti guru.” Saya pikir itu bukan terjemahan yang membantu, karena tampak menyiratkan hampir pemujaan buta kepada guru, seperti dalam sebuah kultus. Itu adalah kesalahpahaman besar. Istilah yang 465
digunakan di sini untuk hubungan dengan guru rohani berarti mengandalkan dan memercayai seseorang seperti kita mengandalkan dan memercayai dokter yang mumpuni. Istilah yang sama digunakan untuk hubungan dengan dokter kita sebagaimana dengan guru kita. Tapi karena perintah untuk memandang guru kita sebagai seorang Buddha, kita salah memahaminya dengan berpikir bahwa guru kita tanpa cela sehingga kita harus memiliki kepatuhan tanpa keraguan pada guru kita, seperti dalam kultus. Itu keliru. Dan karena itu, kita menghentikan semua kemampuan kritis dan tanggung jawab terhadap diri kita sendiri, dan kita menjadi bergantung dengan bertanya pada mo (mo, ramalan dadu)— lemparkan dadu dan buat keputusan untuk kita. Kita bertujuan untuk menjadi Buddha, untuk mengembangkan kesadaran pembeda agar kita sendiri mampu membuat keputusankeputusan cerdas yang penuh welas asih. Jadi jika seorang guru hanya bertujuan untuk membuat kita bergantung padanya, seperti dalam olah kekuatan, ada sesuatu yang salah di sini. Dan adalah kesalahpahaman ketika kita berpikir bahwa ini tidak apa-apa dan mengikutinya. Memainkan jenis sindrom kekuatan dan kendali ini dengan seorang guru berarti tidak mengikuti pedoman dengan benar. Mencitrakan Peran pada Guru sebagai Dokter atau Pastor Selain itu, adalah kesalahpahaman mencitrakan pada guru Buddha peran pendeta atau terapis yang dengannya kita membahas masalah-masalah pribadi dan meminta nasihat. Itu bukan peran guru rohani Buddha. Guru rohani Buddha pada dasarnya memberikan ajaran, dan terserah pada kita untuk mencari tahu bagaimana menerapkannya. Sebenarnya kita hanya 466
pantas untuk bertanya mengenai pemahaman tentang ajaranajaran dan tentang laku meditasi. Jika Anda memiliki masalah kejiwaan, Anda pergi ke terapis; jangan pergi ke guru rohani Anda. Dan terutama yang tidak pantas adalah membahas masalah perkawinan atau hubungan atau masalah seksual dengan bhiku atau bhikuni. Mereka melajang. Mereka tidak terlibat dalam hal itu. Mereka bukan orang untuk ditanya tentang masalah semacam itu. Tapi, berasal dari aliran yang memiliki pastor, pendeta, dan rabi, kita berharap bahwa mereka akan mengambil peran untuk membimbing kita dalam melewati masa-masa sulit dalam kehidupan pribadi kita. Saya akan memberi contoh. Saya dan guru rohani saya Tsenzhab Serkong Rinpoche bersama-sama selama sembilan tahun, sangat dekat; sebagian besar waktu, setiap hari. Tak pernah dalam sembilan tahun itu ia menanyakan pada saya pertanyaan pribadi. Tidak pernah. Tentang kehidupan pribadi saya. Tentang keluarga saya. Tentang latar belakang saya. Tidak. Sembilan tahun itu adalah hari-demi-hari dalam kerangka ia mengajar saya, atau saya bekerja dengannya untuk bermanfaat bagi orang lain— menerjemahkan untuknya, atau mengatur perjalananperjalanannya, atau apapun. Jadi ini adalah jenis hubungan yang sangat berbeda dengan yang biasa kita miliki di Barat, yang tidak mudah bagi kita untuk memahaminya. Menyepelekan Berlindung – Berhaluan Aman dalam Hidup Kita Dalam kerangka bekerja dengan guru, ini membawa kita ke pokok bahasan tentang perlindungan, yang saya sebut "haluan aman." Ini adalah berhaluan aman dalam hidup kita, sebagaimana 467
ditunjukkan oleh Buddha, Dharma, dan Sangha. Adalah kesalahpahaman tentang perlindungan untuk menyepelekannya sebagai semata-mata bergabung dengan suatu kelompok. Anda memangkas sedikit rambut Anda, mengenakan tali merah di leher, mendapatkan nama Tibet, dan kemudian Anda telah bergabung dengan kelompok. Ini terutama jadi masalah ketika, karena gurunya berasal dari silsilah Tibet tertentu, kita menganggap kelompok yang kita masuki adalah silsilah tertentu dari ajaran Buddha Tibet, bukan ajaran Buddha secara umum: "Sekarang aku telah menjadi Gelugpa." "Sekarang aku telah menjadi Karma Kagyu." "Sekarang aku telah menjadi Nyingma." "Sekarang aku telah menjadi Sakya." Bukannya: "Sekarang aku mengikuti jalan Buddha." Karena kesalahpahaman ini, kita menjadi picik, tertutup, dan tidak pernah pergi ke sanggar Dharma lainnya. Sungguh sangat mencengangkan betapa sebagian besar pelaku Buddha di Barat hanya pergi ke satu sanggar Dharma dan tidak pernah menginjakkan kaki ke sanggar Dharma lainnya. Setiap Guru yang Datang ke Barat Harus Mendirikan Sanggar Dharma dan Oganisasinya Sendiri. Yang lebih membingungkan adalah setiap guru tradisional yang datang ke Barat sepertinya ingin mendirikan sanggar Dharma dan orgarnisasinya sendiri. Ini merupakan kesalahan besar, saya pikir, karena kemudian keadaannya menjadi tak dapat dipertahankan. Anda tidak bisa mempertahankan empat ratus jenis ajaran Buddha yang berbeda-beda kelak di masa mendatang, ini sangat membingungkan bagi murid-murid baru. Ini juga merupakan pengeluaran dan beban keuangan yang besar untuk menyokong semua tempat itu dengan altar dan perpustakaannya, membayar sewa, dan seterusnya, dan seterusnya. Di Tibet, meskipun guru468
guru berdatangan dari India dan Nepal dan berbagai macam wihara didirikan, akhirnya mereka bersatu dan Anda membentuk kelompok yang berbeda-beda. Mereka bukan kelompok yang sama seperti yang ada di India—di India tidak ada Kagyu atau Sakya—tapi mereka bergabung menjadi kelompok-kelompok yang kemudian dapat berkelanjutan dan menyatukan berbagai macam silsilah. Jadi meskipun kita memiliki organisasi-organisasi besar di Dharma Barat, seperti yang telah diprakarsai oleh Trungpa Rinpoche, Sogyal Rinpoche, Lama Yeshe dan Lama Zopa, dst., kita perlu pikirkan tentang kelompok-kelompok yang bersatu untuk membentuk silsilah yang lebih besar, seperti yang terjadi di Tibet. Namun dalam melakukan hal ini, ada dua keekstreman yang kita perlu hindari. Pertama adalah jika ajaran Buddha Barat terlalu terpecah, ini tidak berhasil. Di sisi lain, jika ini terlalu diatur, ini pun tidak berhasil. Jadi kita harus amat sangat berhati-hati. Tapi saya pikir keberlanjutan adalah persoalan besar. Berpikir bahwa Jika Kita Punya Guru, Kita tidak bisa Belajar dengan Guru Lain Dalam kerangka tidak pergi ke sanggar Dharma lain, ini pun merupakan kesalahpahaman dengan berpikir bahwa kita tidak bisa belajar dengan guru-guru lain, bahkan dari silsilah guru kita sendiri. Sebagian besar orang Tibet memiliki beberapa guru, tidak hanya satu. Tercatat bahwa Atisha, misalnya, punya 155 guru. Tiap-tiap guru memiliki keahlian khusus yang berbeda-beda. Satu guru bagus dalam menjelaskan ini; guru lain bagus dalam menjelaskan itu. Yang satu memiliki silsilah ini; yang lain memiliki silsilah itu. Memiliki banyak guru bukan berarti tidak setia pada guru Anda. 469
Seperti Yang Mulia Dalai Lama katakan: kita bisa memandang guru-guru kita bagai Avalokiteshvara kepala-sebelas, tiap-tiap guru ibarat wajah-wajah itu, dan semuanya bersama-sama membentuk satu tubuh sebagai pembimbing rohani kita. Memiliki Beberapa Guru yang Tidak Rukun Satu Sama Lain Maka, sangatlah penting untuk tidak mengikuti beberapa guru yang bertentangan satu sama lain. Itu tidak berhasil. Anda harus menemukan guru-guru yang memiliki ikatan erat—yang disebut dam-tshig dalam bahasa Tibet—satu sama lain; rukun satu sama lain. Karena, sayangnya, terjadi sesuatu yang kadangkadang kami sebut "perang rohani" antara berbagai guru rohani yang saling berseberangan keras mengenai persoalan-persoalan tertentu—baik itu pengayomnya, atau siapakah Karmapa sejati, atau apapun. Jadi jika hendak memiliki lebih dari satu guru, pilihlah guru-guru yang rukun satu sama lain. Berpikir bahwa Mendengarkan suatu Pengajaran Menjadikan Penceramah itu Guru Rohani Anda Dan hal yang penting di sini adalah menyadari bahwa sekadar mendengarkan ceramah seorang guru Buddha tidak serta-merta menjadikan orang itu guru rohani kita dengan semua pengartian bakti-guru, meskipun tentu saja kita harus menunjukkan rasa hormat kepada mereka. Seperti Yang Mulia katakan, "Kau boleh datang ke pengajaran siapapun dan menghadirinya sebagai kuliah, seperti yang kamu lakukan pada kuliah di perguruan tinggi." Ini tidak bermakna lebih dari itu.
470
Kesalahpahaman tentang Laku Tidak Menggabungkan Kajian dan Laku Sedangkan untuk laku, ada kesalahpahaman dengan berpikir bahwa aliran Gelug adalah silsilah kajian semata, dan Kagyu dan Nyingma adalah silsilah laku semata. Karena keluguan itu, kita mungkin membayangkan bahwa jika kita mengikuti salah satunya, kita mengabaikan unsur lain—kita mengabaikan kajian kita atau mengabaikan meditasi kita. Ketika guru menekankan salah satu dari itu—kajian atau meditasi—bukan berarti kita hanya melakukan salah satunya dan mengabaikan yang lain. Sangat jelas bahwa kita membutuhkan keduanya. Baru-baru ini, dalam sebuah khalayak sekelompok kaum Barat yang belajar di perpustakaan di Dharamsala pada 1970-an dan 1980-an, Yang Mulia Dalai Lama menggunakan contoh yang sangat bagus. Dia mengatakan bahwa tantra, mahamudra, dzogchen, dan laku-laku lanjutan semacam ini ibarat jari-jari tangan. Telapak tangan, dasarnya, adalah ajaran-ajaran aliran India dari Wihara Nalanda, ajaran-ajaran para guru Nalanda India mengenai sutra. Kesalahpahamannya adalah memberi terlalu banyak penekanan pada jari-jarinya. Kadang-kadang para guru melakukan itu, kata Yang Mulia, mereka memberi terlalu banyak penekanan pada jari-jarinya. Mereka memerintahkan murid-murid mereka belajar dan menjalankan laku hanya pada jari-jari dan melupakan telapak tangannya. Jari-jari itu berjuntai keluar dari telapaknya dan tidak bekerja secara terpisah. Ini adalah gambarannya, perumpamaan yang digunakan oleh Yang Mulia, dan saya pikir itu adalah saran yang sangat membantu. Adalah kesalahpahaman dengan berpikir, "Yang harus kulakukan hanyalah laku dzogchen; duduk dan bersikap wajar.” Melakukan 471
hal semacam itu adalah terlalu menyederhanakan jenis-jenis ajaran itu tanpa memiliki landasannya. Berpikir bahwa Kita adalah Milarepa dan Perlu Memasuki Undur Diri Meditasi Seumur Hidup Demikian pula, merupakan suatu kesalahpahaman dengan berpikir bahwa kita adalah Milarepa dan bahwa semua orang—khususnya kita sendiri—perlu pergi undur-diri seumur hidup, atau setidaknya melakukan tiga tahun undur-diri. Hanya sedikit orang yang cocok untuk kehidupan dengan meditasi penuh; kebanyakan orang perlu melibatkan diri dalam kesejahteraan sosial. Ini adalah saran langsung dari Yang Mulia Dalai Lama. Amat sangat jarang kita benar-benar cocok untuk undur-diri meditasi seumur hidup atau kita dapat benar-benar memperoleh manfaat dari undur-diri tiga tahun tanpa hanya duduk di sana dan mengulang-ulang mantra selama tiga tahun, tapi tidak benar-benar mengupayakan diri kita pada tingkat mendalam. Berpikir bahwa Kita bisa Tercerahkan hanya dengan Bermeditasi di Waktu Senggang Tentu saja laku Dharma purna-waktu yang giat diperlukan untuk menjadi terbebaskan atau tercerahkan, dan adalah kesalahan ketika menilai terlalu tinggi bahwa kita dapat mencapai kebebasan dan pencerahan tanpa laku purna-waktu itu. Kita berpikir, "Ya, aku bisa menjalankan laku di waktu luang dan aku akan terbebaskan dan tercerahkan." Itu juga merupakan kesalahpahaman. Tapi adalah juga kesalahan ketika tidak bersikap objektif pada diri kita sendiri dan tentang kecakapan kita untuk mampu menjalankan laku yang giat itu. Ini karena yang terjadi adalah, jika kita memaksakan diri dan kita sebenarnya tidak mampu menjalankan 472
jenis laku ini, kita menjadi sangat kecewa. Kita mendapati apa yang orang Tibet sebut lung, tenaga yang gelisah dan gagal, dan ini benar-benar mengacaukan kita secara kejiwaan, perasaan, dan ragawi. Tidak Berpikir Secara Makul bahwa Perlu Waktu Ribuan Tahun untuk Mencapai Pencerahan Dan ini juga sedikit bertalian dengan tidak percaya pada kelahiran kembali, karena jika tidak percaya pada kelahiran kembali, kita tidak bersungguh-sungguh memandang tujuan jangka panjang setelah beribu-ribu tahun menjalankan laku. Ada ajaran yang mengatakan bahwa orang dapat mencapai pencerahan dalam masa kehidupan saat ini, tapi itu tidak boleh menjadi alasan untuk berpikir, "Kita hanya memiliki masa kehidupan ini, karena tidak ada kelahiran kembali,” dan oleh karena itu kita memaksakan diri di luar kemampuan kita saat ini. Meremehkan Pentingnya Laku Sehari-Hari yang Terus-Menerus Selain itu, melihat sisi lain dari ini, adalah keliru untuk mengecilkan arti penting laku meditasi sehari-hari. Ini sangat penting jika kita hendak mempertahankan keberlangsungan laku Dharma kita, menjalankan rutinitas meditasi sehari-hari. Ada banyak sekali manfaat dari itu dalam kerangka tata tertib, akad bulat, kemantapan dalam hidup kita dan keandalan: apapun yang terjadi, kita akan bermeditasi setiap hari. Jika kita bersungguh-sungguh untuk membangun kebiasaan-kebiasaan yang lebih bermanfaat, yang merupakan inti dari meditasi, maka kita harus menjalankan laku.
473
Apa arti "laku?” Ini berarti membangun kebiasaan yang bermanfaat melalui telaah dan pengulangan. Sebagai contoh, dalam sebuah lingkungan yang terkendali, kita mungkin membayangkan keadaan yang lebih berat di mana kita biasanya menjadi marah dan kemudian menguraikan sebab-sebab dari kegundahan kita. Kita akan menyelisik, "Mengapa aku marah pada keadaan ini atau itu? Mengapa ketika sakit aku menjadi mudah marah? Ini karena... " Lalu kita masuk lebih dalam dan lebih dalam, dan melihat, "Ya. Aku memusat pada diriku. 'Aku menderita. malangnya diriku.'" Bahkan jika kita tidak secara sadar berpikir "malangnya diriku" ketika sakit, tetapi jika kita jujur, kita harus mengakui bahwa pusat perhatian kita adalah pada "aku," yang kita jadikan paling penting dalam pertimbangan kita. Lalu, karena kita tidak suka pada apa yang kita alami, kita menjadi tersinggung dan kemudian melampiaskannya pada orang lain. Jadi, dalam meditasi, kita menguraikan keadaan seperti itu, yang berasal dari pengalaman pribadi kita, dan kemudian membangkitkan sikap yang lebih bermanfaat—dalam hal ini adalah kesabaran—terhadap keadaan sulit itu. Laku sehari-hari di mana kita mencermati hal-hal semacam ini dan berupaya melatih kebiasaan bermanfaat sangatlah bermanfaat. Adalah kesalahpahaman besar jika berpikir bahwa kita bisa melakukannya tanpa itu. Berpikir bahwa Laku Buddha Berarti Semata-Mata Melakukan Ritual Juga adalah kesalahpahaman ketika berpikir bahwa laku Buddha semata-mata melakukan upacara dan tidak secara khusus mengupayakan diri kita. Banyak orang pada waktu-waktu tertentu, baik berkelompok maupun seorang diri, 474
mendarassadhana, naskah pembayangan tantra. Dan kadangkadang mendarasnya dalam bahasa Tibet—bahasa yang mereka bahkan tidak memahaminya—dan berpikir bahwa itulah “laku.” Dzongsar Khyentse Rinpoche memberikan perumpamaan yang mengagumkan untuk hal ini. Ia berkata bahwa jika orang Tibet harus mendaras doa-doa dan berbagai naskah setiap hari dalam bahasa Jerman yang ditulis secara fonetis dalam aksara Tibet, tanpa sedikitpun memahami apa yang mereka katakan, ia sangsi banyak orang Tibet akan benar-benar melakukannya. Namun kita orang Barat melakukan itu dan menganggapnya sebagai laku dan melakukan itu sudah cukup untuk medatangkan pencerahan. Namun laku sebenarnya berarti mengupayakan diri kita sendiri, berupaya mengubah sikap kita, mengatasi perasaan-perasaan gelisah kita melalui penguraian dan pemahaman, dan dengan semua itu, membangun lebih banyak kebiasaan yang bermanfaat seperti kasih, welas asih, dan pemahaman yang tepat, dan seterusnya. Berpikir bahwa untuk Menjalankan Laku Dharma dengan Benar Kita Harus Mengikuti Adat Tibet Kesalahpahaman lainnya adalah berpikir bahwa untuk menjalankan laku Dharma secara benar kita perlu mengikuti adat Tibet atau rupa-rupa lain adat Asia, seperti memiliki altar bergaya Tibet yang semarak di “ruang pusaka” pribadi di rumah kita atau bahkan di sanggar Dharma. Banyak guru Tibet yang datang ke Barat, tentunya, ingin mendirikan sanggar Dharma dan menghiasnya seperti kuil Tibet dengan dinding yang dicat serupa dan dihias dengan lukisan-lukisan gulung dan sebagainya.
475
Seperti kata kawan-kawan Tibet saya, “Jika Anda orang Barat menyukainya, mengapa tidak? tidak ada ruginya.” Tapi berpikir bahwa menghias seperti itu mutlak diperlukan adalah kesalahan besar. Terutama ketika itu memakan biaya yang sangat besar, di mana uangnya bisa digunakan secara jauh lebih bermanfaat untuk hal-hal lain. Jadi baik di sanggar Dharma atau di rumah, kita tidak perlu hiasan yang semarak, bergaya Tibet, untuk menjalankan laku ajaran Buddha Tibet. Selama ruangan tempat kita bermeditasi itu rapi, bersih dan, sehingga, hormat pada apa yang kita lakukan, ini sudah cukup. Berpikir bahwa Membersihkan Diri Kita dari Perasaan-Perasaan yang Gelisah hanya Butuh Waktu Singkat Meskipun penekanan utama dalam Dharma adalah menyingkirkan selamanya sebab-sebab duka—yakni kebodohan adau ketidaksadaran kita tentang kenyataan dan perasaan-perasaan yang gelisah—kesalahpahamannya adalah berpikir bahwa mengatasi perasaan-perasaan yang gelisah akan terjadi dengan cepat. Kita mudah lupa bahwa hanya ketika kita menjadi seorang arhat, makhluk terbebaskan, kita akan bebas sepenuhnya dari kemarahan, kemelekatan dan seterusnya, meskipun dalam perjalanannya kita akan memilikinya pada kadar yang kecil. Jika kita melupakan hal ini, kita jadi berkecil hati ketika kita masih marah setelah bertahun-tahun menjalankan laku. Ini sangat biasa terjadi. Maka, adalah kesalahan jika kita tidak memiliki kesabaran terhadap diri kita sendiri. Kita harus menyadari bahwa laku Dharma berjalan naik dan turun, sama seperti samsara yang berjalan naik dan turun. Dalam jangka panjang, kita berharap untuk kemajuan, tapi ini tidak akan mudah. Jadi adalah kesalahan jika kita tidak 476
memiliki kesabaran terhadap diri kita sendiri ketika kita mengalami masa-masa surut. Tapi di sisi lain, kita perlu menghindari keekstreman dengan terlalu memaklumi kebiasaan-kebiasaan negatif kita dan menjadi lalai atau malas untuk mengupayakan diri kita. Jalan tengahnya di sini adalah tidak menghukum diri sendiri ketika kita masih mengalami marah, tapi di sisi lain tidak hanya berkata, "Aku merasa marah," atau "Suasana hatiku sedang buruk," dan tidak berusaha menerapkan suatu cara Dharma untuk mengatasinya. Sangat menarik melihat ke mana kita berpaling mencari kelegaan ketika kita berada dalam suasana hati yang buruk. Apakah aku berpaling pada bermeditasi? Apakah aku berpaling pada perlindungan? Atau apakah aku berpaling pada cokelat, atau hubungan seksual, atau televisi, atau mengobrol dengan temanteman atau berselancar di Internet? Ke mana aku berpaling? Saya pikir itulah yang sangat mencerahkan dari laku Dharma kita— bagaimana kita menghadapi suasana hati yang buruk. Ringkasan Itulah beberapa kesalahpahaman yang muncul di benak saya ketika duduk dan berpikir tentang itu. Saya yakin ada banyak sekali kesalahpahaman lain yang kita dapat sebutkan. Seperti yang saya katakan, ada banyak kesalahpahaman yang muncul hanya karena sulitnya memahami bahan ajaran; terutama mengenai sunyata, tentang tata-tata ajaran yang berbeda, dan seterusnya. Salah satu pokok tentang Dharma adalah: apapun yang Buddha ajarkan adalah untuk kebaikan orang lain. Jadi, jika kita menerimanya secara bersungguh-sungguh, kita coba mencari tahu apa tujuan 477
dari semua pokok dalam ajaran yang membingungkan ini. Jika kita tidak memahami sesuatu, cobalah untuk mencari tahu menggunakan cara-cara Dharma dan mantik, dan jika kita tidak bisa mengetahuinya, mintalah seseorang yang Anda percayai sebagai narasumber. Jika kita terbuka dan bersedia untuk menerima bahwa kebingungan itu berasal dari kesalahpahaman kita, kita akan terbuka untuk menerima perbaikan sehingga memperoleh manfaat terbaik dari ajaran itu.
478