Makalah Seminar Kerja Praktek ANALISIS MODE AKSI LOOP TERTUTUP CASCADE CONTROL SYSTEM PADA OVERHEAD MAIN COLOUM RCC 15-C-101 Suis Dhesta Meinggariyad (L2F607052) Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang Jln. Prof. Soedharto, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, Indonesia e-mail:
[email protected], suis
[email protected] Abstrak PT. PERTAMINA (PERSERO) RU VI BALONGAN merupakan suatu perusahaan pengilangan di Indonesia yang mengolah minyak mentah menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Non Bahan Bakar Minyak (NBM). Untuk mendukung proses pengolahan tersebut, maka diperlukan peralatan produksi yang beraneka ragam dan menggunakan teknologi tinggi, agar target-target produksi yang ditetapkan perusahaan dapat terpenuhi. Kemampuan indera manusia untuk melakukan pengamatan sangat terbatas yaitu kelemahan dalam mengamati dan mengukur suatu keadaan lewat panca inderanya. Oleh sebab itu, diperlukan suatu mekanisme peralatan yang dinamakan instrumentasi. Unit Residue Catalytic Cracker (RCC) berfungsi sebagai kilang minyak tingkat lanjut (secondary processing) untuk mendapatkan nilai tambah dari pengolahan residu. Unit ini berkaitan erat dengan Unsaturated Gas Plant Unit yang akan mengelola produk puncak main column RCC Unit menjadi stabilized gasoline, LPG dan non condensable lean gas. Proses ini menggunakan metode Cascade Control untuk mengontrol flow dan temperature. Pengontrolan secara bertingkat ini bertujuan untuk menghasilkan aksi kontrol yang akurat.Proses dapat berjalan dengan baik jika pemilihan mode aksi proses dan kontrol dilakukan dengan benar.
Kata kunci: cascade control, level control,temperature control, mode aksi
I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Peran instrumen dalam suatu industri modern sangatlah vital. Pada kurun waktu 20 tahun terakhir ini teknologi dalam bidang instrumentasi mengalami perkembangan yang sangat pesat yang bermula dari sistem mekanik yang sederhana berkembang menjadi instrumen - instrumen yang berbasis microprocessor yang canggih. Tergantung dari tingkat kepentingannya dan didasarkan atas beberapa hal seperti faktor ekonomi, lingkungan dan cara penanganan suatu proses maka di lingkungan industri perminyakan instrumen merupakan suatu peralatan yang sangat diperlukan untuk melakukan tugas-tugas pengukuran, pengendalian dan pengamanan jalannya proses. Dengan adanya instrumen yang berfungsi melaksanakan tugas-tugas di atas, diharapkan akan diperoleh peningkatan hasil produk secara kuantitatip, kualitatip, uniform dan kontinue dengan tingkat keamanan dan keselamatan yang tinggi. PT. PERTAMINA (PERSERO) RU VI BALONGAN merupakan suatu perusahaan pengilangan di Indonesia yang mengolah minyak mentah menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Non Bahan Bakar Minyak (NBM). Untuk mendukung proses pengolahan tersebut, maka diperlukan peralatan produksi yang beraneka ragam
1
dan menggunakan teknologi tinggi, agar targettarget produksi yang ditetapkan perusahaan dapat terpenuhi. Unit Residue Catalytic Cracker (RCC) berfungsi sebagai kilang minyak tingkat lanjut (secondary processing) untuk mendapatkan nilai tambah dari pengolahan residu yang merupakan campuran dari DMAR produk ARDHM dan AR produk CDU dengan cara perengkahan memakai katalis. Unit ini berkaitan erat dengan Unsaturated Gas Plant Unit yang akan mengelola produk puncak main column RCC Unit menjadi stabilized gasoline, LPG dan non condensable lean gas. Pada laporan ini akan membahas tentang ”Analisis Mode Aksi Kontrol Loop Tertutup Cascade Control System Pada Overhead Main Coloum” yang berada di 15C-101 pada unit RCC. 1.2 Tujuan Adapun tujuan khusus dari pelaksanaan kerja praktek ini adalah mempelajari mode aksi
kontrol loop tertutup cascade control pada temperature control dan flow control Overhead Main Coloum 15 – C – 101 unit RCC yang terdapat di PT PERTAMINA RU VI BALONGAN.
1.3 Pembatasan Masalah Makalah ini mempelajari secara khusus mode aksi kontrol loop tertutup cascade control pada temperature control dan flow control yang berada Overhead Main Coloum 15 – C – 101 unit RCC di PT PERTAMINA RU VI, tidak mempresentasikan tentang : 1. Respon sistem secara matematika dari output sistem cascade control. 2. Algoritma kontrol yang digunakan dalam pengontrolan sistem cascade control. 3. Proses fisis dan kimia pada kontrol proses cascade control. II. DASAR TEORI 2.1 Sistem Instrumentasi Kemampuan indera manusia untuk melakukan pengamatan sangat terbatas yaitu kelemahan dalam mengamati dan mengukur suatu keadaan lewat panca inderanya. Oleh sebab itu, diperlukan suatu mekanisme peralatan yang dinamakan instrumentasi, dimana fungsi dan peran manusia dengan segala keterbatasannya dalam mengamati, mengukur dan mengendalikan proses variabel dapat tertanggulangi dengan harapan, sasaran dari pengelola industri untuk mendapatkan kualitas hasil produksi yang sesuai dengan spesifikasi tertentu dapat dicapai secara aman, efektif dan efisien. Khusus pada industri perminyakan, dimana hampir semua proses pengolahannya melalui jalur yang tertutup, artinya media / bahan yang diolah tidak dapat dilihat atau diukur langsung tanpa menggunakan alat bantu, maka mutlak diperlukan peralatan instrumentasi yang dapat melakukan fungsi melihat, mengukur, dan mengendalikan variable-variabel proses seperti, suhu, tekanan, jumlah aliran, level dan sebagainya sehingga dapat menghasilkan produk minyak yang sesuai spesifikasi. 2.2 Sistem Pengukuran Instrumen berperan sebagai sistem pengaturan pada dasarnya mempunyai empat elemen pendukung yang dalam prinsip kerjanya elemen yang satu dengan elemen yang lainnya merupakan satu kesatuan sehingga membentuk satu sistem kerja dari keempat elemen tersebut, dan sering disebut “loop” atau “untaian” kempat elemen tersebut adalah: Elemen-elemen tersebut diantaranya adalah: • Sensor (Primary Element) • Transmitter (Secondary Element) • Controller (Control Element) • Actuator (Final Element)
2
Dalam suatu proses, perubahan variabel proses yang terjadi dapat diukur dengan menempatkan elemen sensor atau detektor yang berfungsi mendeteksi besaran fisik/mekanis yang timbul akibat gangguan yang terjadi dalam proses. Kemudian diwujudkan dalam bentuk besaran lain yang menghasilkan data pengukuran. 1. Primary Element atau Sensor Primary Element atau Sensor adalah sebuah transducer yang berfungsi merubah besaran phisis menjadi suatu besaran lain (gerakan, tekanan, arus listrik, harga resistansi, kapasitansi, perubahan volume, dll). 2. Secondary Element Elemen ini berfungsi merubah besaran phisis yang dihasilkan oleh sensor menjadi besaran sinyal standar untuk dikirim atau dapat dibaca pada local indicator. Secara garis besar sinyal standar instrumen ada dua macam yaitu; - Sinyal pneumatic : 3 – 15 psig 0,2 – 1,0 kg/cm2 - Sinyal elektric : 1 – 5 Volt DC 4 – 20 mA DC Dalam aplikasi lapangan elemen ini berfungsi sebagai berikut - Sebagai transmitter dan converter (I/P atau P/I) - Sebagai penerima (receiver) 3. Control Element. Pada sistem otomatis, controller berfungsi untuk menggantikan operator dalam mengendalikan variabel proses. Sebagai alat pengendali kontrol elemen bekerja untuk a. Membandingkan measured value dengan set point b. Menghitung besarnya perbedaan antara set point dengan measured value dimana perbedaan ini disebut error deviasi. c. Melakukan koreksi terhadap variabel proses melalui final elemen ( control value) berdasarkan error deviasi. Untuk mengetahui apakah suatu control system bekerja dengan baik antara lain dapat dilihat dari hasil rekaman sebuah recorder. Keadaan proses yang tidak stabil atau goyang adalah keadaan darurat (emergency) yang tidak boleh dibiarkan. Disini operator harus mengambil tindakan: A-M transfer switch harus lekas dipindahkan posisinya dari posisi A ke posisi M. 4. Final Element Bagian ini berfungsi untuk memanipulasi energi input proses agar proses sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Control valve menerima sinyal standar 3 – 15 psi yang dikirimkan oleh kontroller. Jenis dan ukuran control valve dipilih berdasarkan pertimbangan kebutuhan sistem pengaturan. Dilihat
dari aksinya control valve terdapat dua macam yaitu: a. ATO (Air to Open) : apabila ada sinyal increase dari controller maka control valve akan membuka, dan jika terjadi kegagalan angin instrumen maka control valve akan menutup (failure closed). Artinya Posisi 100% (full open) = 15 psi Posisi 0 % (full closed) = 3 psi b. ATC (Air to Close) : apabila ada sinyal increase dari controller maka control valve akan menutup, dan jika terjadi kegagalan angin instrument maka control valve akan membuka (failure open). Artinya Posisi 100% (full closed) = 15 psi Posisi 0 % (full open) = 0 psi Penggunaan aksi control valve ini sesuai dengan kebutuhan suatu proses dengan pertimbangan keselamatan dari peralatan proses.
Proses dapat didekati oleh model matematis IPDT jika untuk sebuah perubahan tangga input kontrol CO pada keadaan steady atau titik kesetimbangannya, output proses PV tersebut akan terus menerus membesar (bersifat direct) atau terus menerus mengecil (bersifat reserve) tergantung dari sifat prosesnya itu sendiri.
PV1
PV0
Slope 1
∆PV ∆t
CO
L
CO1
CO0 Menit/detik Gambar 2.2 Relasi input-output proses direct
Sistem Kontrol Cascade PV1 Slope 1 ∆t Konfigurasi cascade mempunyai dua buah PV ∆PV 0 loop, yaitu loop primer dan loop sekunder. Dalam control ini ada satu variabel yang dimanipulasi L dengan dua buah variabel yang diukur. Dalam CO CO1 kilang, konfigurasi ini lebih dikenal dengan CO0 systemmasterslave. Untuk contoh adalah kontrol laju aliran yang Menit/detik sering menjadi kontroler sekunder bagi kontroler lainnya. Loop primerrya seperti temperature, level, Gambar 2.3 Relasi input-output proses reverse ataupun pressure. Penerapan di kilang adalah bagian boiler, kolom destilasi, heatexchanger dan III. ANALISIS MODE AKSI LOOP masih bnyak lagi. Di bawah ini contoh gambar TERTUTUP CASCADE CONTROL untuk loopcascade. SYSTEM PADA OVERHEAD MAIN COLOUM 15-C-101 2.3
Gambar 2.1 Struktur CascadeLoopControl
2.4 MODE NON – SELF – REGULATING PROCESS (MODEL IPDT) Sebuah proses dapat dikategorikan sebagai model Non–self–regulating jika hubungan antara input-output proses tersebut bersifat tidak stabil. Salah satu model Non–self–regulating yang umum dijumpai di industry adalah model IPDT (Integrating Plus Dead Time).
3
Proses dapat didekati oleh model matematis IPDT jika untuk sebuah perubahan tangga input kontrol (CO) pada keadaan steady atau titik kesetimbangannya, output proses PV tersebut akan membesar (bersifat direct) atau mengecil (bersifat reserve) tergantung dari sifat prosesnya itu sendiri. Pemilihan mode perlu diperhatikan jenis control valvenya, prosesnya, dan aksi kontrolernya. 3.1 GAMBARAN UMUM PROSES OVERHEADS PADA MAIN COLOUM UNIT 15 : RESIDUE CATALYTIC CRACKER (RCC) Atomized hidrokarbon hasil reaksi cracking dialirkan dari reaktor ke column fraksionator untuk dipisahkan menjadi Decant Oil / Slurry Oil (DCO), Heavy Cycle Oil (HCO), Light Cycle Oil (LCO), naphta, unstabilized gasoline, dan wet gas. Atomized hidrocarbon masuk ke bottom kolom dan didinginkan sebelum pemisahan terjadi.
Produk atas main column lainnya adalah heavy naphta. Heavy naphta tidak diambil menjadi produk sama hal nya dengan HCO. Sirkulasi naphta digunakan dalam preheater umpan atau peralatan penukar panas lain sebelum kembali ke kolom sebagai refluks. Sebelum kembali ke kolom, heavy naphta ditambahkan wild naphta/heavy naphta dari GO HTU dan LCO HTU untuk menambah naphta yang akan dihasilkan RCC pada seksi teratas kolom. Light gas dan gasoline/naphta teruapkan melalui top column (seksi teratas) dan melewati overhead condenser untuk dikondensasikan dan dipisahkan dalam (15-V-106) menjadi fraksi air, fraksi minyak, dan fraksi gas. Sebagian dari unstabilized gasoline (fraksi minyak) dikirim kembali ke main column sebagai refluks. Sebagian fraksi minyak dan fraksi gas dikirim ke Gas Concentration Unit untuk diproses lebih lanjut, dan fraksi air dikirim ke SWS.
Gambar 3.1 Diagram P&ID pada 15 –C – 101 1. Main Coloum Section (C-101) Pada Coloum pada unit 15 ini terdapat 38 tingkat dan terjadi proses pengolahan Atomized hidrokarbon hasil reaksi cracking, kemudian dialirkan dari reaktor ke column fraksionator. 2. Control Valve (FV 505) Control Valve yang digunakan bertipe ATC / Air To Close, Inlet Press Nor : 6.21 kg/cm2 G, Outlet Press Nor : 5.00 kg/cm2 G, Signal input : 0.2 - 1.0 mA DC, Signal Output : 0.4 – 2.0 mA DC, Temp. : 430C, Actuator Form : Diaphragh, Pressure Drop Nor : 1.21 kg/cm2, dan Air Supply : 2.5 kg/cm2 G. 3. Temperature Indicator (TI-505) Temperatur Indicator ini beroperasi pada 1230C, Calibration ANSI MC 96,1 1982 dan thermocoupel type K (chromel/alumel). 4. I/P Converter (FY - 505) I/P Converter berfungsi untuk merubah sinyal electronic yang diberikan oleh kontroler menjadi sinyal pneumatic. Sinyal electronic 4 – 20
4
mA DC, sinyal pneumatic 0.2 – 1.0 Kg / Cm2 G, power supply 24V DC , Accuracy : ± 1.0 % of span, dan membutuhkan air supply press 7.0 Kg/Cm2 G. 5. Flow Transmitter (FT - 505) Flow Transmitter berfungsi mengukur keadaan besaran proses flow dan menghasilkan output yang sebanding dengan range pengukuran. Fluid : HC, Operate Pressure : 6,36 Kg/Cm2 G dan Calibration : 0 - 5000 mm WG. Pengukuran Flow menggunakan pelat orifice. 6. Pelat Orifice (FE - 504) Pelat Orifice mengukur perbedaan tekanan dari penghambat aliran (flow restrictor) yang dipasang pada saluran pipa dimana fluida itu mengalir. Akibat pemasangan flow restriction itu maka akan terjadi pressure drop dan kecepatan aliran sebanding dengan akar kwadrat pressure drop. FE – 505 mempunyai spesifikasi fluid type : HC, Meter max flow : 230000 Kg/Hr, Normal flow : 162000 Kg/Hr, Normal Pressure : 6,36 Kg/Cm2 G, Normal temperature : 430C. 7. Temperature Control (TRC -504) 8. Flow Control (FRC - 505) 9. Jenis Sinyal ---------------= Electric Signal = Pneumatic Sgnal = DCS Signal 3.2 ANALISIS MODE AKSI LOOP TERTUTUP CASCADE CONTROL SYSTEM PADA OVERHEAD MAIN COLOUM 15-C-101 a. Cascade control system pada overhead main coloum 15-C-101
Gambar 3.2 Diagram Blok Sistem Kontrol Cascade Keterangan a. TRC 504 = Temperature Control b. FRC 505 = Flow Control c. FY 505 = I/P Converter d. FV 505 = Control Valve e. FT 505 = Flow Transmitter f. TI 505 = Temperature Indicator Cascade control system pada 15-C-101 ini bertujuan untuk meningkatkan kestabilan pengontrolan temperature. Temperature control mengatur posisi bukaan valve secara langsung untuk menjaga temperature outlet. Secara
instrumentasi terdapat dua transmitter, yaitu temperature indicator (primary input) 15-TI505 yang memberikan sinyal inputan untuk kontroller 15-TRC-504 dan flow transmitter (secondary input) 15-FT-505 yang memberikan sinyal inputan untuk kontroller 15-FRC-505. Pengendalian loop primer proses temperature control cascade overhead main coloum 15-C-101, sinyal kontrol temperature control 15-TC-504 menjadi nilai set point bagi loop secondary proses flow kontrol.
Gambar 3.3 Grafik cascade control proses Loop primer atau master loop adalah pada loop pengontrolan temperature, sedangkan loop sekunder atau slave loop adalah pada loop pengontrolan laju aliran (flow). Pada saat proses berlangsung sering terjadi kenaikan mendadak tekanan reservoir bahan baker (fuel). Karena naiknya tekanan reservoir, laju aliran fuel akan meningkat. Kenaikan fuel flow rate ini untuk beberapa waktu tidak langsung berpengaruh kepada outlet temperature, karena adanya dead time dalam operasi furnace. Dan juga kenaikan temperature outlet adalah secara gradual, karena adanya time constant di furnace. Setelah temperature outlet mulai ada deviasi, controller mulai bereaksi. Tapi pada saat itu, sejumlah besar fuel sudah masuk ke furnace dan temperature outlet terus naik. Sebagai hasilnya, diperlukan waktu untuk mengembalikan temperature outlet mendekati set point. Gambar grafik 3.3 di atas, proses aliran sinyal berawal dari flow controller 15-FRC-505 (warna kuning) mendapat informasi dari flow transmitter 15-FT-505 yang mendeteksi adanya perubahan kenaikan debit fluida secara mendadak. Sehingga sinyal elektrik temperature indicator 15-TI-505 menunjukkan penurunan temperature. Untuk memecahkan masalah ini, aliran fuel dapat dikontrol oleh controller tambahan. Biasanya controller aliran fuel lebih cepat dan dapat mengembalikan aliran fuel mendekati set
5
point dalam waktu yang pendek. Dalam kasus ini, controller fuel rate akan dapat mengontrol aliran fuel dengan sangat baik walaupun tekanan reservoir fuel berubah-ubah tiba-tiba
Gambar 3.4 Diagram P&ID 15–C-101 Sinyal nilai temperature ditunjukkan controller 15-TRC-504 (warna hijau) yang berupa sinyal DCS, kemudian menjadi input informasi set point bagi flow controller 15-FRC-505 (warna ungu). Sinyal informasi ini diolah oleh flow controller 15-FRC-505 menjadi sinyal pneumatic yang akan mengatur bukaan control valve 15-FV-505. Jenis control valve yang digunakan air to close (ATC), pengendalian debit flow transmitter 15-FT-505 (warna kuning) menyebabkan temperature 15-TI-505 (warna hijau) sesuai dengan nilai set point pada temperature controller 15-TRC-504 (warna biru). Dengan cara ini, fluktuasi tekanan di reservoir fuel akan diredam oleh controller pengendali aliran fuel, sehingga tidak ada efeknya terhadap outlet temperature. Jika temperature outlet mengalami deviasi sebagai akibat gangguan-gangguan yang lain, set point fuel control akan dikendalikan oleh temperature controller TC. Control strategy dimana set point sebuah controller didapat dari controller yang lain disebut Cascade control. Nama lainnya adalah Cascade loop control. b. Mode proses dan mode kontrol loop tertutup system pada overhead main coloum 15-C-101 Untuk menentukan mode kontroler yang tepat, terlebih dulu kita harus mengetahui sifat proses tersebut. Control valve yang digunakan bertipe Air To Close (ATC) / Fail Open, apabila ada sinyal increase dari controller maka control valve akan menutup, dan jika terjadi kegagalan angin instrument maka control valve akan membuka (failure open). Temperature indicator akan mendeteksi perubahan temperature unstabilized gasoline (fraksi minyak).
Pada prosesnya bersifat reverse, ketika temperature (PV) terdeteksi kurang dari set point akan menunjukkan sinyal temperature (PV) turun. Maka sinyal kontrol valve (CO) dinaikan sehingga bukaan valve semakin kecil sehingga debit fluida yang mengalir menjadi berkurang. Prosesnya bersifat reverse, dapat dilihat pada kondisi temperature menunjukkan 109,930C dari set point yang diberikan yaitu 1100C. Informasi ini didapat dari sinyal flow transmitter 15-FT-505 yang mendeteksi adanya perubahan kenaikan debit fluida secara mendadak. Proses debit fluida mengalami kenaikan tangga input kontrol 15 – FC – 505 SV dari nilai 15,86 T/H menjadi 86,844 T/H pada titik kesetimbangannya. Sehingga sinyal elektrik temperature indicator 15-TI-505 (warna hijau) pada grafik menunjukkan penurunan temperature. Pengendalian dilakukan dengan menaikkan nilai CO agar debit fluida sesuai dengan set point yang diinginkan. Pada mode aksi kontrolnya bersifat direct, ketika temperature kurang dari set point. Untuk mendapatkan sinyal proses value temperature (PV) sesuai dengan set point maka sinyal ini harus naik, dengan cara sinyal kontrol (CO) pada control valve dinaikan, maka bukaan valve menjadi semakin kecil sehingga fluida yang mengalir menjadi berkurang. Mode aksi kontrolnya bersifat direct, kondisi temperature menunjukkan 109,930C dari set point yang diberikan yaitu 1100C. Pengendalian kontroller dilakukan dengan menaikkan nilai (CO) agar nilai temperature 15TC-504 bertambah kembali sesuai set ponit, proses debit fluida mengalami penurunan tangga input kontrol 15 – FC – 505 SV dari nilai 86,844 T/H menjadi 15,92 T/H pada titik kesetimbangannya. Berkurangnya bukaan valve menyebabkan nilai flow transmitter 15–FT–505 berkurang dan bertambahnya temperature 15TC-504. Sehingga sesuai dengan set point temperature control 15-TC-504 SV yang diberikan. Gambar di bawah ini menunjukkan perubahan temperature dipengaruhi perubahan flow. Untuk kepentingan perancangan dan tuning kontrolernya, hubungan input – output dicirkan hanya oleh dua parameter proses, yaitu process transport delay (L) dan process integrative gain (*K).
6
IV. Kesimpulan 1. Cascade control system pada Overheads Main Coloum 15 - C - 101 mempunyai dua loop pengontrolan yaitu pengontrolan debit fluida dan pengontrolan temperature fluida. 2. Cascade control system pada Overheads Main Coloum 15 - C - 101 mempunyai tujuan untuk mengendalikan temperature dari debit fluida yang mengalami kenaikan mendadak. 3. Untuk menentukan mode aksi direct atau reverse yang tepat, terlebih dulu mengetahui kontrol valve yang digunakan kemudian sifat proses dan kontroler tersebut. 4. Cascade control system pada Overheads Main Coloum 15 - C - 101, prosesnya menggunakan mode reverse dan kontrolernya bersifat direct. 5. Respon loop sekunder atau pengontrolan aliran fluida lebih cepat dibandingkan respon loop primer atau pengontrolan temperature.
BIOGRAFI Suis Dhesta Meinggariyad (L2F 607 052), dilahirkan di Semarang, 13 Mei 1989. Jenjang pendidikan ditempuh dari SD Don Bosko Semarang, SLTP Negeri 21 Semarang, SMA Negeri 4 Semarang dan sekarang sedang menempuh studi S1 di Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Konsentrasi Kontrol. “Teruslah bermimpi dan ada untuk mimpi itu.” adalah motivasinya dan adventure adalah hobinya. Semarang, Maret 2011 Mengetahui dan mengesahkan, Dosen Pembimbing
Iwan Setiawan, ST. MT NIP. 19730926 20001210 01