TRAINING TINGKAT LANJUT RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Jakarta, 3-6 Juni 2015
MAKALAH PESERTA
HAK WARIS PEREMPUAN DALAM HUKUM KELUARGA SOMALIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Lilik Andaryuni,S.H., M.Kn.
HAK WARIS PEREMPUAN DALAM HUKUM KELUARGA SOMALIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh : Lilik Andaryuni,S.H., M.Kn. 1
A. Pendahuluan Hukum kewarisan 2 secara mendasar merupakan ekspresi langsung dari teks-teks suci. Aspek kewarisan menarik dan penting untuk dikaji bukan semata adanya pengaturan yang kompleksitas tentang peralihan kekayaan antar generasi itu sendiri, tetapi juga menyangkut kedudukan dan hak-hak perempuan di dalamnya vis a vis kedudukan dan hak-hak laki-laki. Kritik terhadap (hukum) Islam dalam soal penghormatan terhadap perempuan diantaranya berangkat dari “ketentuan” pembagian yang (dianggap) tidak adil antara laki-laki dan perempuan. 3 Oleh karena itu, rencana reaktualisasi hukum waris Islam, dengan dimensi konteks historis (maqam), tujuan esensial ajaran (maqashid) dan realitas aktual sebagai acuannya, belakangan kembali mengemuka. Merujuk pada kesadaran akan prinsip fleksibelitas hukum Islam yang menjadikannya sangat akomodatif terhadap perkembangan dan perubahan. Formula yang ditawarkan adalah desakan untuk selalu mengacu kepada substansi ajaran, tanpa harus selalu terpaku kepada ketentuan legal-operasionalnya. Gagasan reaktualisasi inipun berlanjut ke sebuah “gagasan kontroversial” yang menjajagi kemungkinan adanya fleksibelitas dalam hukum waris Islam, dalam artian ketentuannya tidak lagi terpaku pada konsep 2 : 1, tapi bisa jadi berubah menjadi 1 : 1, atau malah sebaliknya menjadi 1 : 2. 4 1
Dosen STAI Samarinda Hukum kewarisan Islam atau faroidh dalam hukum Islam adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum Islam yang mengatur bagaimana peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada orang masih hidup. Hukum kewarisan digali dari ayat al-Qur’an dan penjelasan dari Sunnah Nabi. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 17 3 David S.Power, Studies in Qur’anic and Hadith; The Formatuion of the Law of Inherince, terj. Arifin Maftuhun, Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan; Kritik Historis Hukum Waris, cet. I, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm. v 4 Gagasan semacam ini pernah dilontarkan oleh Munawir sewaktu beliau menjabat sebagai menteri agama. Menurutnya, jika pembagian 2 : 1 berbenturan dengan cita rasa keadilan, maka pembagian 1 : 1 absah untuk dilakukan. Lihat Munawir Sadjali, “Reaktulisasi Ajaran Islam”, dalam Iqbal Abdurrahman Saimia (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, cet. I, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hlm. 3-4 2
Gagasan fleksibelitas hukum waris Islam bukannya melenggang tanpa kritik. Ada yang mengamini, tapi sebagian besar malah menolaknya. Penolakan yang cukup keras, malah kadangkala disertai dengan klaim “pengkafiran” biasanya muncul dari kelompok ortodoksi. Argumentasi mereka adalah, tentang ketentuan prinsip keberlakuan nass. Menurut mereka, ketentuan hukum waris telah diatur sedemikian rinci dalam al-Qur’an, sehingga statusnya sudah pasti (qath’i al-dalalah) dan mengikat secara hukum (wajib al-‘amal bih). Secara mutlak, ia harus diterapkan apa adanya, kapanpun dan di manapun. Meragukan, terlebih–lebih
mencoba
mengubahnya,
adalah
sama
buruknya
dengan
mengingkari kebenaran al-Qur’an itu sendiri. Apapun alasannya, hukum Islam adalah titah Tuhan (khittab Allah) bukan produk manusia, yang harus selalu ditaati dan diterapkan. Masyarakatlah yang harus dibentuk sesuai dengan ajaran Islam, bukan ajaran Islam yang ditarik-tarik supaya sesuai dengan “kemauan” masyarakat. Kemaslahatan apapun, kalau berlawanan dengan ketentuan nass alQur’an dan al-Sunnah termasuk dalam kategori maslaha ghariba atau munasib mulgha (kemaslahatan yang tidak memiliki nilai hukum, karena berlainan dengan kemauan nass). 5 Lebih-lebih “misteri” rahasia angka-angka prosentase bagian waris (semisal ½ dan 1/60) tidak mungkin bisa dipahami oleh manusia. Maka dari itu yang harus dilakukan hanyalah menerapkannya apa adanya, tanpa perlu memahami makna hakiki ataupun mengubahnya. 6 Pembicaraan tentang perempuan dari dulu hingga saat ini selalu menarik. Karena perempuan sudah lama mengalami diskriminasi dan kekerasan dalam berbagai bidang kehidupan. Berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan telah memperburuk kondisi kehidupan perempuan dan menghambat kemajuan perempuan.
Berbagai macam usaha telah lama
diperjuangkan untuk melindungi hak asasi perempuan dan kebebasan bagi perempuan, namun demikian hasilnya belum signifikan. Berbagai instrumen perlindungan terhadap hak asasi perempuan pun bermunculan dari level internasional sampai level nasional.
5
Muhamad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t., hlm. 122 Abu Ishaq Ibrahim al-Shatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Muhamad al-Khudar Husayn al-Tulisi dan Muhamad Hausayahn Makhluf (ed.), t.tp.: dar al-Rasad al-Haditga, t.t., II: 213 6
Pada level internasional ada The Universal Declaration of Human Right (UDHR) yang dirumuskan tahun 1948 dikenal di Indonesia dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang memuat tentang pokok-pokok kebebasan, persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja, dan kebebasan dalam beragama. Hukum ini dinyatakan sebagai hukum yang bersifat universal, untuk seluruh manusia, dan tidak terbatas pada komunitas tertentu termasuk komunitas agama tertentu. 7 Dalam mukadimah DUHAM “menegaskan kembali kepercayaan pada hak dasar manusia, pada martabat dan nilai seorang manusia, dan persamaan hak laki-laki dan perempuan”. 8 Secara umum DUHAM mengandung empat hal pokok. Pertama, hak indiviual atau hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain. Ketiga, hak sipil dan politik. Keempat, hak ekonomi, sosial, dan budaya. Selain dalam DUHAM, hak asasi perempuan terlihat dan tergambar dalam Konvensi Cedaw yang intinya menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan, bagaimanapun posisi dan kedudukannya, seharusnya tidak dibeda-bedakan termasuk pembedaan atas dasar jenis kelamin. Karena bagaimanapun laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama sehingga dalam masalah hak pun memiliki hak yang sama. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 DUHAM berbunyi, “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama.” Sebagaimana
telah
dijelaskan
sebelumnya,
hukum
waris
Islam
mendapatkan kritik di antaranya karena adanya ketentuan pembagian yang dianggap tidak adil antara laki-laki dan perempuan, yakni dua berbanding satu, dalam artian laki-laki mendapatkan bagian lebih banyak dibandingkan perempuan. Apakah formula 2: 1 dalam pembagian warisan tersebut sudah bernilai keadilan ataukah belum, dan apakah konsep ini sejalan dan sesuai 7
Lihat Mohammad Monib, Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan Nurcholis Madjid, Jakarta: Gramedia, 2011, hlm. 8 8
Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk DiskriminasiTerhadap Wanita, Jakarta: Buku Obor, 2006, hlm. 39
dengan ujaran nash-nash yang ada atau sebaliknya. Sebaliknya ketika laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian yang sama dalam kewarisan, yaitu 1: 1, apakah pembagian ini juga sesuai dengan nilai keadilan dan sejalan dengan ujaran nash. Lalu bagaimanakah konsep kewarisan tersebut dalam perspektif hak asasi manusia. Berdasar pemaparan di atas, kiranya menarik untuk melakukan kajian terhadap hak waris perempuan dalam hukum keluarga Somalia, apakah perempuan mempunyai hak sama dengan laki-laki dalam kewarisan ataukah sebaliknya. Lalu bagaimana hak waris perempuan dalam hukum keluarga Somalia dalam perspektif Hak Asasi Manusia? Untuk itulah tulisan ini dihadirkan, dengan pembahasan mencakup posisi perempuan sebelum Islam datang, Kedudukan Perempuan dalam hukum waris Islam, dan sebagainya.
B. Pembahasan 1. Posisi Perempuan Pra Islam Data historis membuktikan bahwa secara umum, kondisi perempuan pada masa pra-Islam kurang menguntungkan. Perjalanan waktu menjadi saksi, bagaimana perempuan diperlakukan secara kasar dan direndahkan martabatnya, sehingga mereka tidak lagi menjadi manusia yang bermartabat dan derajatnya turun menjadi seorang budak. 9 Perempuan dipaksa untuk mengabdi kepada suami yang dapat seenaknya mempertahankan atau menceraikan mereka. Perempuan dipandang sebagai perwujudan dosa, kesialan, aib dan hal-hal yang memalukan. Mereka tidak mempunyai hak dan kedudukan apapun dalam masyarakat. Perempuan tidak diberi kesempatan
untuk
mengembangkan
kepribadian
dan
menggunakan
kemampuannya secara penuh bagi kemaslahatan umat. Dalam masyarakat, hak-hak kewarisan dan kepemilikan yang dimiliki perempuan tidak diakui adanya. Bahkan, diri perempuan itu sendiri dianggap sebagai harta warisan, mereka tidak dianggap sebagai manusia, namun dianggap sebagai barang yang dapat dibagi-bagikan, di samping itu menjadi sasaran cemoohan dan
9
Haifaa A. Jawad, The Rights of Women in Islam, cet. I, London: Macmillan Press Ltd., 1998, hlm. 1
penghinaan. 10 Praktek-praktek yang tidak menyenangkan ini terjadi secara luas dan hampir merata di kalangan masyarakat kuno pada masa itu. 11 Di jazirah Arab, tempat lahirnya Islam, keadaan perempuan praIslam jauh sangat menyedihkan. Mereka benar-benar tunduk, baik kepada suaminya maupun kepada sukunya. Mereka dianggap sebagai benda bergerak yang dapat dimiliki, dijual serta diwariskan. Bahkan, jika telah menjanda, mereka sering diwariskan kepada anaknya. Perempuan Arab pada masa pra-Islam dianggap sebagai beban berat bagi keluarga. Kelahiran anak perempuan adalah hal yang memalukan bagi
10
A.A. Maududi, Purdah and The Status of Women in Islam, Pakistan: Islamic Publication Ltd., 1976, hlm. 2 11 Di India, ketundukan perempuan merupakan sebuah prinsip yang utama. Sepanjang siang dan malam, perempuan harus terus dijaga oleh pelindungnya dan harus berada dalam keadaan ketergantungan. Aturan waris memihak laki-laki, dengan membuat garis keturunan berdasarkan lakilaki dan mengesampingkan perempuan. Dalam kitab suci Hindu, perempuan yang baik adalah “perempuan yang selalu memasrahkan akal, perkataan, dan tubuhnya, maka dia akan mencapai kemuliaan yang tinggi di dunia ini dan akan dapat bersama-sama dengan suaminya di kehidupan berikutya.” Perempuan Athenia selalu dianggap kecil dan harus tunduk kepada laki-laki – kepada ayah, saudara laki-laki, atau laki-laki lain dalam sukunya- dia harus mengikuti segala kemauan orang tuanya, dan mau menerima suami dan tuan mereka, meski ia adalah orang asing baginya. Begitu juga dalam hukum Romawi, bahkan dalam sejarahnya, Perempuan benar-benar tergantung. Bila menikah, maka dia akan menjadi harta perolehan bagi suaminya. Perempuan tidak boleh memegang peranan di bidang sipil atau publik, menjadi saksi, penjamin, wali atau pengampu, tidak boleh diadopsi atau mengadopsi, serta tidak boleh membuat perjanjian apapun. Di Skandinavia, perempuan berada di bawah perwalian yang abadi, tidak perduli apakah untuk kepentingan perkawinan atau yang lainnya. Tidak ada perempuan yang menikah kecuali dengan ijin walinya, bahkan lebih dari itu, kalau mau, sang wali dapat menggunakan kekuasaannya dan harta kekayaan perempuan tersebut sepanjang dia masih hidup. Di Cina, ketika belum menikah, perempuan merupakan anggota keluarga yang melahirkannya, namun ketika sudah menikah, dia masuk ke dalam anggota keluarga suaminya dan mulai saat itu, dia harus tunduk kepada kekuasaan orang tua dan saudara-saudara suaminya. Harta kekayaan yang dibawa, selain perhiasan sendiri dan beberapa barang pribadi lainnya, kepemilikannya pindah ke dalam kekuasaan keluarga suami. Perkawinan diatur melalui persetujuan formal antara kepala keluarga yang bersangkutan, setelah diadakan negosiasi sesuai bentuk-bentuk yang umum dipakai. Lihat Said Abdullah al-Hatimi, Women in Islam: A Comparative Study, Lahore Pakistan: Islamic Publication Ltd., 1993, hlm. 6-8. Dalam hukum Taurat, sebelum menjadi isteri, seorang perempuan telah diikat terlebih dahulu dengan pertunangan. Bagi seorang isteri, ikatan pertunangan itu berarti pemilikan terhadap dirinya yang cukup dilakukan dengan cara membayar sejumlah uang “pembelian”. Seorang gadis akan menjadi terikat dalam pertunangan dengan orang yang telah memberikan uang pembayaran tersebut. Persetujuan seorang gadis dalam pernikahan tidak diperlukan. Perempuan menjadi harta kekayaan bagi laki-laki, sehingga laki-laki mempunyai hak untuk menceraikannya. Hak cerai hanya dikuasai laki-laki, dan perceraian merupakan hak istimewa khusus bagi suami. Menurut hukum gereja lama, perempuan merupakan perwujudan dari pintu neraka, biang dari segala keburukan manusia. Perempuan harus merasa malu jika merasa bahwa dirinya adalah seorang perempuan. Ia harus terus menerus hidup terkurung dalam segala cela yang dibawanya ke dunia ini. Ia harus malu menunjukkan alamatnya, karena ia akan mengingatkan kejatuhan dirinya. Ia terutama harus malu terhadap kecantikannya, karena itu merupakan alat setan yang paling kuat. Lihat J. Badawi, The Status of Women in Islam, Saudi Arabia: Gassim, 1991, hlm. 9-11
seorang ayah, karena hal itu dianggap sebagai aib yang memalukan. Oleh karena itu, orang Arab banyak sekali melakukan praktek tradisi pembunuhan bayi perempuan. Tradisi ini umum terjadi, bahkan dipandang sebagai suatu tindakan bijak. 12 Salah satu alasan sosiologis yang mendasari tradisi tersebut adalah, bahwa pada masa pra-Islam di jazirah Arab sering terjadi peperangan antar suku sehingga membutuhkan banyak tenaga lakilaki untuk mempertahankan sukunya. Dengan demikian dalam banyak hal, laki-laki lebih dibutuhkan daripada perempuan. Di samping itu, bila terjadi konflik antar suku, musuh selalu berusaha menangkap perempuan dan menjadikannya sebagai tawanan, supaya mereka bisa mengumpulkan uang tebusan yang banyak dan selanjutnya menjadikannya seorang budak. Dalam hal ini, perempuan menjadi tanggung jawab bagi suku mereka. Apabila suku mereka membayar uang tebusan, maka suku tersebut kehilangan uang, sebaliknya bila tidak membayar tebusan, maka kesucian dan kehormatan suku tersebut dipertaruhkan. Orang Arab tidak menyambut dengan gembira lahirnya bayi perempuan disebabkan kondisi masyarakat mereka. Peperangan terus terjadi dan usaha balas dendam tidak pernah berhenti, semua dipercayakan kepada laki-laki, sedang perempuan dianggap tidak mampu melakukan tugas-tugas tersebut. Dalam peperangan-peperangan, perempuan selalu menjadi barang rampasan atau dijadikan hiburan. Karena berbagai alasan tersebut, orangorang Arab percaya bahwa anak perempuan hanya akan menambah beban berat bagi mereka, dan cara paling mudah untuk melepaskan diri dari beban tersebut adalah membunuh mereka, segera setelah mereka dilahirkan. 13 Dalam masyarakat jahiliyah, laki-laki menikmati hak mutlak atas perempuan dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian. Ia dapat mengambil isteri sebanyak yang ia mau dan dapat membuangnya
dengan
sesuka
hati.
Gagasan
mengenai
peraturan
perkawinan tidak dapat dijumpai pada masa pra-Islam. Yang ada hanyalah
12
Haifaa A. Jawad, The Rights., hlm. 1-2 Ibid., hlm. 2-3
13
berbagai bentuk hubungan seksual 14 sebagai akibat longgarnya ikatan perkawinan dan kurangnya sistem hukum yang dapat membatasi. Pada masa pra-Islam, tidak ada aturan tentang perceraian. Pada umumnya suami menikmati kekuasaan absolut dalam menentukan perceraian dan ini menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan untuk menceraikan isterinya. Karena tidak adanya aturan juga pengawasan, maka laki-laki Arab sering menceraikan isterinya dengan beragam alasan, bahkan hal-hal yang sepele, misalnya berbicara dengan nada tinggi kepada keluarga sang suami. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa alasan-alasan yang sering digunakan para laki-laki Arab untuk menceraikan isteri mereka adalah; suami tidak bisa menemukan cinta yang diharapkan dari isterinya, pasangan suami isteri tidak mampu membangun persahabatan dan keintiman, atau suami mengira dia menikahi perempuan yang muda dan cantik, namun teryata sebaliknya. 15
2. Kedudukan Perempuan dalam Hukum Kewarisan Islam Menurut teori perubahan Ibnu Khaldun, ada dua bentuk organisasi sosial pada masyarakat Arab pra-Islam, yaitu nomaden (badawah) dan
14
Berbagai bentuk hubungan seksual yang terjadi pada masa pra-Islam antara lain adalah: (1) Perkawinan sebagaimana dilakukan oleh orang masa kini, yaitu seorang laki-laki menjodohkan perempuan yang berada di bawah pengampuannya atau anak perempuannya sendiri, kemudian memberikan mahar kepada perempuan tersebut dan menikahinya, (2) Model kedua, yaitu ada seorang laki-laki mengatakan kepada isterinya yang habis masa haidnya agar datang kepada si N dan menyuruhnya untuk berhubungan seks dengan si N tersebut. Kemudian sang suami menjauhi Perempuan tersebut dan tidak menyentuhnya sampai menjadi jelas apakah dia menjadi hamil. Sang suami melakukan hal tersebut bertujuan agar mempunyai anak. Nikah seperti ini dikenal dengan nikah al- istibda yaitu perkawinan mencari hubungan seksual, (3) Model ketiga, yaitu ada sekelompok orang minimal terdiri dari sepuluh orang laki-laki mendatangi seorang perempuan dan masing-masing dari mereka melakukan hubungan seksual dengannya. Apabila kemudian si perempuan melahirkan anak, maka beberapa malam setelah itu, perempuan tersebut memanggil semua laki-laki yang telah menggaulinya dan dia menunjuk salah satu laki-laki tersebut sebagai ayah dari anaknya dan laki-laki tersebut tidak boleh menolak sama sekali, (4) Model keempat, adalah ada beberapa laki-laki yang sering mengunjungi seorang perempuan dan si perempuan tersebut memang tidak menolak siapapun yang mendatangi drinya. Mereka adalah para pelacur (baghaya). Biasanya mereka memasang bendera tertentu di depan pintu rumahnya dengan maksud sebagai tanda. Ketika para pelacur tersebut ada yang hamil dan melahirkan, maka mereka mendatangi dukun untuk menentukan laki-laki yang paling mirip dengan anaknya untuk menjadikannya ayah. Lalu anak tersebut dinasabkan kepada laki-laki tersebut, dan laki-laki tersebut tidak boleh menolak. Ketika Muhamad datang, beliau memusnahkan semua model hubungan seksual jahiliyah tersebut kecuali model perkawinan sebagaimana dilakukan pada saat ini. Lihat M. Watt, Muhammad at Medina, Oxford: Oxford University Press, 1988, hlm. 378-379 15 Haifaa A. Jawad, The Rights., hlm. 6-7
menetap (hadlarah) 16. Sementara menurut Philip K. Hitti, masyarakat Arab pra-Islam adalah bangsa yang tidak memiliki konsep takdir (no dispensation), tidak memiliki nabi yang terutus (no inspired prophet), dan tidak memiliki kitab suci khusus yang diwahyukan (no revealed book). 17 Merujuk pada pemakaian kata “jahiliya” dalam al-Qur’an, masyarakat Arab pra Islam memiliki ciri khas pada aspek kepercayaan terhadap Tuhan (zann al-jahiliyya) 18, mental dan pola pikir (hukm al-jahiliyya), 19 gaya hidup (tabarruj al jahiliyya),
20
dan karakter kesombongannya (hamiyya al-
jahiliyya). 21 Sistem sosial masyarakat Arab pra-Islam adalah kesukuan (tribal society system), rata-rata beragama animis-paganistik ini memiliki beberapa karakteristik dasar yang khas. Di antaranya adalah, pertama, struktur sosialnya bersifat patrilineal (mujtama’ abawi), di mana garis keturunan dari pihak ayah adalah acuan pokoknya. Nama keluarga (kunya/surname) bagi setiap individu diambil dari nama ayahnya. 22 Konsekuensinya, eksistensi kaum perempuan melebur ke dalam garis tersebut, sehebat apapun dia. Kedua, corak kehidupan sosial mereka bersifat patriarchal 23
16
Biyanto, Teori Siklus Peradaban, Yogyakarta: LPAM, 2004, hlm. 129 Philip K. Hitti, History of Arabs from Earliest Times to the Present, London: The Macmillan Press, 1974, hlm. 87 18 QS. Al-Imran (3): 154… …yang artinya adalah: “…mereka memiliki keyakinan yang tidak benar tentang Allah seperti keyakinan yang dimiliki oleh kalangan Jahiliya..” 19 QS. Al-Maidah (5): 50… ..yang artinya: “apakah pola piker jahiliyyah yang mereka cari…” 20 QS. Al-Ahzab (33): 33, ..yang artinya: “..janganlah kalian bersolek seperti gaya kalangan jahiliyya… 21 QS. Al-Fath (48): 26, …yang artinya:”Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka karakter kesombongan seperti yang dimiliki oleh kalangan jahiliyya..” 22 Halimah Barakat, The Arab Family, hlm. 31 23 Patriarchy adalah prinsip yang mendasari segala subordinasi, tidak hanya subordinasi perempuan pada kaum laki-laki, namun juga dominasi antara tuan dan yang dijajah, dominasi anakanak oleh orang tua, ataupun dominasi dalam bentuk hak monarki. Jadi patriarchy adalah semanat rasisme, kelas, kolonialisme, dericalisme, dan juga sexisme. Secara mendasar, patriarchy adalah struktur kekuasaan/kekuatan kelelakian, di mana semua hubungan dipahami dalam term superioritas dan inferitas. Yang menjadi korban patriarchy tidak hanya kaum Perempuan, tetapi kaum laki-lakipun bisa. Sebagaimana dikutip dari Mansour Fakih, “Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam: Tinjauan Dari Analisis Gender” footnote nomor 5, dalam Mansour Fakih dkk., Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 50 17
kuat. Hal ini disebabkan, hanya laki-laki pada saat itu yang diberi peluang untuk memberikan konstribusi sosial bagi keberlangsungan kehidupan kesukuan mereka, terutama bila dikaitkan dengan suasana penuh konflik dan perang antar suku ketika itu. Orang-orang yang tidak produktif, seperti anak-anak, perempuan dan orang jompo, hanya dianggap sebagai masyarakat kelas dua (the second class) yang tidak memiliki nilai apapun dalam kehidupan sosial. 24 Ketiga, adalah interaksi sosial mereka yang sangat feudalmonopolistik. Roda kehidupan sangat didominasi oleh superioritas kaum bangsawan dan konglomerat. Monopoli dan penindasan ekonomi adalah senjata utama dan kebiasaan sehari-hari mereka. Tiga karakteristik di atas berimbas sangat kuat terhadap sistem pembagian harta warisan. Hanya kaum laki-laki dewasa ( male agnates) saja yang diperkenankan mewarisi harta kekayaan, sebab hanya mereka yang memiliki akses produktivitas dalam kehidupan sosial. Prinsip yang dipegang teguh adalah “senioritas’ (the principle of seniority) dan “keikutsertaan dalam aktivitas militer” (the principle of comradeship in arms), .karena pola Segalanya kehidupannya selalu diwarnai oleh antar suku (war-like terpusat kepada keberadaan dan nuansa peran peperangan laki-laki dalam segala aspek mode of life). Kemampuan dan keikutsertaan dalam aktivitas militer begitu inilah kehidupan, bahkan dalam lingkup domestikpun dominasi laki-laki yang kemudian dijadikan sebagai standar produktivitas seseorang yang memungkinkan untuk memperoleh bagian harta warisan. Akibatnya, kaum perempuan, anak-anak, orang-orang jompo dan orang-orang cacat, sebagai kalangan yang tidak produktif, secara mutlak kehilangan akses untuk menerima hak-hak warisan mereka. 25 Dalam sistem hukum waris masyarakat kesukuan Arab pra-Islam, terdapat tiga bentuk dan cara pewarisan, yaitu; pertama, pewarisan menurut hubungan darah (nasab), di mana hanya laki-laki dewasa dan produktif saja yang diberi hak warisan, kedua, pewarisan kepada seseorang melalui
24
Martha Mundy, “The Family, Inheritance and Islam; A Re-examination of thr Sociology of Fara’id Law”, dalam Aziz Azmeh (ed.), Islamic Law; Social and Historical Contexts, London dan New York: Routledge, 1988, hlm. 2. Sementara menurut Hammudah ‘Abd al-‘Ati beberapa karakteriktik masyarakat Arab pra-Islam antara lain: (1) endogamy; (2) patrilineal; (3) patriarchal; (4) extended; dan (5) polyginy. Lihat Hammudah ‘Abd al-‘Ati, The Family Structure, hlm. 8 25 ‘Abd al-‘Ati, The Family, hlm. 250-251
lembaga adopsi (tabanni), di mana anak angkat memang diperlakukan dan diberi hak-hak yang sama dengan anak kandung, dan ketiga, pewarisan melalui ikatan perjanjian (half wa’ahd), 26 yaitu perjanjian antara dua orang laki-laki atau lebih untuk saling melindungi dan mewarisi harta kekayaan. Akan tetapi, tiga bentuk pewarisan ini, tentu saja tetap tunduk kepada prinsip senioritas, produktivitas dan partisipasi dalam militer. Artinya, hanya laki-laki yang produktif saja yang diuntungkan. Yang paling dirugikan dalam bentuk kewarisan adat seperti ini tentu saja adalah perempuan. Selama hidupnya dia tidak akan pernah mendapatkan peluang untuk menerima warisan. Ini
tentu saja berbeda
dengan laki-laki yang hanya tidak menerima warisan di saat produktif, lebih dari itu, bahkan perempuan pun diperlakukan sama dengan harta warisan. Setelah suaminya meninggal, dia bisa dinikahi oleh anak tirinya. Atau, jika tidak begitu, dia akan dinikahkan dengan orang lain, sementara mahar pernikahannya bisa diambil begitu saja oleh anak tirinya itu. 27 Selain itu, ketika menikah, perempuan tidak menerima mahar dari suaminya, karena telah keburu diambil secara sepihak oleh walinya. Bahkan, lebih parah lagi, semenjak lahir, perempuan sudah dimitoskan sebagai simbol kenistaan (embodiment of sin), “biang” godaan seksual (sexual temptation) dan beban berat (heavy burden) keluarga semata. 28 Ibaratnya, menurut ungkapan Haifaa A. Jawad, perempuan biasa diperlakukan sebagai “sesuatu” (a thing) dibandingkan sebagai “sesorang” (a person). 29 Ketika Islam datang, salah satu perubahan penting yang telah dihasilkan adalah penegakan prinsip adanya hak perempuan untuk 26
Musthafa Khan, Islamic Law of Inheritance: A New Approach, New Dehli: Kitab Bhavan, 1989, hlm. 8; Abdul Aziz Dahlan dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2000, hlm. 309; Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: PT. AlMa’arif, 1975, hlm. 12 27 Kasus ini pernah dialami, misalnya, oleh Kubaysha bint Ma’n al-Ansari, Fakhita bint alAswad dan Malika bint Kharija. Konon, ketika seorang perempuan menjadi janda, maka anak tirinya akan melemparinya dengan baju yang dipakainya, sebagai simbol hasrat untuk menikahinya. Dengan adanya simbol itu, maka orang lain tidak akan ada yang berani bersaing untuk mendapatkannya. Dan konon pula, kaum perempuan Madinah pernah berdemonstrasi di hadapan Rasulullah saw. sambil menuntut penghapusan praktik yang sangat merugikan mereka ini. Abu al-Hasan ‘Ali al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, t.tp.: Dar al-Fikr, t.t. hlm. 97-98 28 Nikki R. Keddie, “Introduction: Deciphering Middle Eastern Women‘s History”, dalam Nikki R. Keddie dan Beth Baron, Women in Middle Eastern History: Shifting Boundaries in Sex and Gender, London: Yale University, 1991, hlm. 2-3; Haifaa A. Jawad, The Rights, hlm. 2 29 Haifaa A. Jawad, The Rights, hlm. 1-3
mendapatkan warisan. Hal ini merupakan penolakan yang radikal terhadap praktek-praktek pra-Islam yang tidak hanya meniadakan hak perempuan untuk mendapatkan warisan, bahkan menganggap mereka sebagai objek warisan. Dalam QS. al-Nisaa’, salah satu ayatnya menegaskan bahwa harta warisan harus diberikan kepada masing-masing individu, baik laki-laki maupun perempuan. Masih menurut ayat tersebut, kaum perempuan tidak hanya dibiarkan begitu saja menjadi objek warisan, tapi perempuan memiliki suatu hak waris yang sah dalam kedudukannya sebagai seorang individu. 30 Lebih lanjut, al-Qur’an melarang dengan tegas
kebiasaan
memperlakukan perempuan sebagai barang warisan serta mengecamnya sebagai praktik yang kejam dan menjijikkan 31. Bahkan, lebih dari itu, alQur’an juga memberikan hak kepada perempuan untuk mendapatkan warisan sebagaimana laki-laki 32, berhak menerima sepenuhnya mahar mereka 33, serta mempergunakan harta kekayaan mereka 34, tanpa boleh diintervensi secara sepihak oleh siapapun, termasuk oleh walinya sekalipun. Namun awalnya, prosentase bagian warisan masih belum dijelaskan secara terperinci, karena semuanya harus dilakukan secara bertahap (al-tadarruj fi al-tashri’). Setelah prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, utamanya dalam hal pembagian harta warisan, telah mengakar dengan kuat dalam kesadaran masyarakat, barulah al-Qur’an memberikan ketentuan operasional mengenai bagian-bagian warisan yang bisa diperoleh oleh ahli waris. 35
30
QS. an-Nisaa’ (4): 7 QS. al-Nisaa’ (4): 19 dan 22 32 QS. al-Nisaa’ (4): 7. Awalnya, prosentase bagian warisan belum dijelaskan secara terperinci, karena semuanya harus dilakukan secara bertahap (al-tadaruj fi al-tasyri’). Setelah prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, dalam hal pembagian warisan, telah tertanam kuat dalam kesadaran masyarakat Arab, barulah al-Qur’an memberikan ketentuan operasional bagianbagian warisan yang bisa diperoleh oleh para ahli waris, yaitu dalam QS. an-Nisaa’ (4): 11-14 dan 176. Lihat Muhammad al-Khatib al-Sharbibi, al-Iqna fi Hakk Alfaz Abi Shuja’, cet. Terakhir, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1940, II: 46 33 QS. al-Baqarah (2): 229 dan QS. al-Nisaa’ (4): 4 34 QS. al-Nisaa’ (4): 19 35 QS. al-Nisaa’ (4): 11-14 dan 176. Muhamad al-Khudlori Bek, Tarikh, hlm. 92 31
Namun demikian, meski perempuan berhak mendapatkan warisan sebagaimana laki-laki, porsi yang diberikan adalah setengah bagian yang diterima oleh laki-laki. Porsi kecil yang diterima oleh perempuan adalah bagian dari “strategi sosial” al-Qur’an yang dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan taraf kapabilitas dan kiprah sosial perempuan kala itu. Strategi tersebut jelas tidak bisa dihindari, selain steriotipe tentang inferioritas perempuan masih mengakar begitu kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat ketika itu, realitas sosial yang ada tidak secara mudah untuk berpihak kepada perempuan. Pemaparan di atas memperlihatkan, bahwa dalam melakukan perubahan, khususnya tentang hukum waris, Islam lebih menggunakan pendekatan kemanusiaan dan sosiologis (humanitarian and sociological approach). Hal ini merupakan bagian dari “strategi” reformasi sosial Islam ketika berhadapan dengan realitas sosial-budaya di saat kemunculannya. 36 Sebagai bukti, Islam tetap mengakomodasi beberapa tradisi pra-Islam, khususnya yang berkenaan dengan hukum kewarisan adalah misalnya, ketentuan tentang ahli waris laki-laki (‘asaba) yang menerima bagian sisa setelah dhawi al-furud (ahli waris yang bagiannya telah ditentukan dalam al-Qur’an) menerima bagian masing-masing. Meskipun hanya berupa sisa, namun jumlahnya seringkali lebih besar daripada
dhawi al-furud.
Ketentuan ini, pada dasarnya, mengakomodasi –meskipun melalui beberapa modifikasi- sistem waris adat Arab pra-Islam, di mana hanya laki-laki yang berhak menerima harta warisan. 37 Sementara itu, reformasi kewarisan yang telah dilakukan oleh Islam terutama berkenaan dengan kedudukan perempuan, pada prinsipnya, lebih mengarah pada terwujudnya keadilan sosial dan kesetaraan, di mana perempuan sebelumnya tidak mendapatkan warisan bahkan menjadi objek warisan, disamakan kedudukannya dengan laki-laki dalam hal warisan. Perubahan kedudukan yang sebelumnya menjadi “objek” warisan,
36
Anis Ahmad, Women and Social Justice: Some Legal and Social Issues in Contemporary Muslim Society, cet. I, Islamabad: Institute of Policy Studies, 1991, hlm. 39 37 John L. Espopsito, Women in Muslim Family Law, cet. I, New York: Syracuse University Press, 1982, hlm. 41
kemudian menjadi subjek warisan jelas merupakan perubahan yang sangat radikal yang telah dilakukan oleh Islam dalam rangka mewujudkan misinya sebagai agama yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan juga kemanusiaan. 3. Hak Waris Perempuan dalam Hukum Keluarga Somalia Republik Somalia merupakan negara demokrasi yang menjalankan sebuah system parlementer multi partai antara 1960-1969. Setelah terjadi pembunuhan atas presidennya, Sayyid Muhamad Abdille Hasan oleh angkatan bersenjata yang dipimpin Jenderal Mohamad Siyad Bare mengambil alih pemerintahan dan mengumumkan sosialisme sebagai ideology resmi dan memihak ke kubu Soviet untuk mendapatkan dukungan. Pemerintah tersebut berusaha menekan afiliasi garis keturunan dan kesukuan, dan menyerukan kerjasama yang bersifat nasionalistik. Tokohtokoh agama Muslim diberi jabatan pada tahun 1975, dan perempuan diberi hak yang sama dengan laki-laki. 38 Dalam masalah hukum keagamaan terutama hukum keluarga dan cabang-cabangnya, kecuali hukum waris, masyarakat Islam Somalia menganut mazhab Syafi’i. Namun demikian pada saat yang sama hukum adat Afrika telah tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat Somalia. 39 Perdebatan mengenai perlu tidaknya pembentukan kembali hukum keluarga Somalia yang sesuai dengan kebijakan-kebijakan partai sosialis baru direspon oleh negara pada tahun 1972. Sejak itulah Pemerintah melalui Dewan Komisi
membuat draft mengenai hukum keluarga. Dengan
beberapa perubahan yang signifikan, akhirnya draft hukum keluarga tersebut selesai dibuat tahun 1975, dan diberi nama The Family Code of Somalia. 40 Salah satu tujuan pembentukan hukum keluarga adalah untuk menghapus kekakuan hukum adat yang tidak sesuai dengan kebijakan negara. 41 The Family Code of Somalia 1975 berisi 173 pasal yang terbagi ke 38
Ira M.Lapidus, Sejarah Sosial..., hlm. 483 Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries; History, Texts, and Analysis, New Dehli: ALR, 1987, hlm. 253 40 Tahir Mahmood, Personal..., hlm. 79 41 Tahir Mahmood, Personal..., hlm. 80; Abdullah Ahmad An Na’im, Islamic, hlm. 79 39
dalam empat bagian yaitu : Bab I: Perkawinan dan Perceraian (pasal 1 s/d 52); Bab II : Pemeliharaan anak dan Nafkah (pasal 53 s/d 81);Bab III: Perwalian (pasal 82 s/d 116);Bab IV: Kewarisan (pasal 117 s/d 173). 42 Walaupun amat komperhensif hukum keluarga tersebut lebih didominasi oleh pendapat dari mazhab Syafii dan prinsip-prinsip umum hukum Islam. Pada bagian perkawinan dan perceraian, hukum keluarga Somalia lebih banyak mengadopsi hukum keluarga Syria, The Code of Personal Status 1953 yang diamandemen tahun 1975 43, sementara pada bagian kewarisan tidak ada kemiripan dengan negara muslim manapun kecuali dengan Turki. 44 Terkait hak waris perempuan dalam hukum keluarga Somalia dirumuskan dalam pasal 158 berikut: “Untuk menyesuaikan prinsip-prinsip Piagam Revolusi pertama dan kedua, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam warisan. 45 Dalam pasal 160 (1) disebutkan: “Pasangan yang masih hidup akan mendapat setengah dari harta peninggalan jika tidak ada anak atau cucu. Jika ada anak atau cucu, maka akan mendapatkan seperempat dari harta peninggalan, jika ada lebih dari satu janda, maka bagian setengah, dan sisanya akan dibagi kepada orang tua dengan sama rata. 46
42
Ibid., hlm. 81 The Code of Personal Status (Qanun al ahwal al-Sykahsiyyah al-Suriya) no. 59 tahun 1953 penetapannya berdasarkan Dekrit Presidenno. 59 tahun 1953 dan merupakan negara muslim kedua setelah Yaman Selatan yang mendasarkan UU Hukum Keluarganya pada Dekrit Presiden. UU Hukum Keluarga Syria disahkan pada tanggal 17 September 1953 dan mulai berlaku tanggal 1 November 1953, kemudian tahun 1975 diperbarui dengan lahirnya UU No. 34 Tahun 1975. Lihat lebih jauh dalam Tahir Mahmood, Family Law In The Muslim World, New Dehli : Tripathi Pvt.Ltd, 1974, hlm. 85; Dawod El Alami dan Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Law of The Arab World, London, the Hague, Boston: Kluwer Law International, 1996, hlm. 215 44 Turki merupakan negara pertama yang melakukan usaha pembaharuan hukum keluarga di dunia muslim pada tahun 1917 dengan lahirnya The Ottoman Law of Family Rights. Karena kurang puas dengan UU tahun 1917, tahun 1923 pemerintah membentuk panitia untuk membuat draf UU baru. Akan tetapi, para ahli hukum yang diserahi tugas memperbarui UU tersebut selama lima tahun tidak berhasil membuat draft UU dimaksud. Akhirnya Turki mengadopsi The Swiss Civil Code tahun 1912 yang dijadikan UU Civil Turki (The Turkish Civil Code of 1926) dengan sedikit perubahan sesuai dengan tuntutan kondisi Turki. Lihat Tahir Mahmood, Family Law, hlm. 17 45 Tahir Mahmoud, Personal Law..., hlm. 253 46 Ketentuan ini berbeda bila dibandingkan dengan ketentuan dalam QS. Al-Nisa’/4: 12 yang menyatakan bahwa suami mendapat separoh bagian apabila tidak ada anak dan jika ada anak, suami mendapat bagian seperempat. Demikian juga istri, mendapat seperempat jika tidak ada anak dan mendapat seperdelapan jika ada anak. Lihat rasyid Ridlo, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt., IV, hlm. 420-421 43
Pasal 161: Jika yang meninggal hanya mempunyai seorang anak lakilaki atau perempuan, maka dia akan mendapat seluruh harta peninggalan. Jika ada dua atau lebih anak laki-laki atau perempuan, maka harta dibagi di antara mereka sama rata tanpa melihat jenis kelamin. Jika tidak ada anak melainkan cucu baik laki-laki atau perempuan, harta akan dibagi di antara mereka dengan bagian yang sama. 47 Pasal 164 : “Jika yang meninggal hanya mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan, dia akan mendapat seluruh harta warisan. Jika ada dua atau lebih saudara laki-laki atau perempuan, maka harta peninggalan akan dibagi di antara mereka dengan sama rata. Jika terdapat juga kakek atau nenek, maka mereka mendapat seperenam dari harta peninggalan dan sisanya dibagi sama rata kepada saudara baik laki-laki atau perempuan. 48 Pemaparan pasal-pasal tentang hak waris perempuan di atas memperlihatkan bahwa perempuan dalam hukum keluarga Somalia mendapatkan hak dan bagian yang sama dengan laki-laki, yaitu 1 berbanding 1. Bagian yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hukum keluarga Somalia tersebut terjadi dalam semua tingkatan ahli waris, baik ahli waris tingkat pertama, kedua maupun tingkat ketiga. 4. Hak Waris Perempuan dalam Hukum Keluarga Somalia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Hak asasi Perempuan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Penegakan hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia.Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal sudah diterima sebagai a moral, political, legal framework as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai, sejahtera bebas dari rasa takut dan perlakuan yang tidak adil. 49
47
Ketentuan ini tentu berbeda dengan QS. Al-Nisa’/4: 11, yang menyatakan bahwa anak lakilaki mendapat dua kali bagian anak perempuan, sementara dalam pasal 161 hukum keluarga Somalia, antara anak laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian yang sama. 48 Lihat Tahir Mahmoud, Personal Law..., hlm. 253. Ketentuan pasal 164 di atas juga terlihat sangat berbeda dengan ketentuan dalam QS al-Nisa’/4: 176 yang berbicara dua hal, pertama, definisi kalalah (orang yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak, kedua, kewarisan saudara yang ditinggalkan oleh si kalalah (1/2 dan 1/3). 49 Jimly Asshiddqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm. 85
Secara
historis,
perempuan
menempati
posisi
yang
tidak
menguntungkan. Perempuan dipandang hanya sebagai kaum kelas dua yang keberadaannya tergantung pada kehadiran laki-laki di sampingnya. Dalam artian, perempuan tidak memiliki kecakapan hukum. Dengan tidak memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, perempuan tidak memperoleh kemerdekaan dan diperlakukan secara diskriminasi dalam pergaulan. Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa perempuan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, karena adanya pemikiran, bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak bebas, sehingga dia dapat diperlakukan seperti apapun oleh orang yang merasa memiliki atas dirinya. 50 Perjuangan dan penegakkan hak perempuan sudah dimulai pada level internasional, di antaranya dimulai pada tahun 1935, di mana wakil-wakil pemerintah di Liga Bangsa-bangsa mulai membahas kedudukan perempuan, dan mempertimbangkannya dari aspek-aspek sipil dan politik. Kemudian tahun 1948, Deklarasi hak Asasi Manusia (DUHAM) diadopsi oleh Majelis Umum PBB, yang
menjunjung tinggi dan melindungi hak kemanusiaan
setiap orang tanpa perkeceualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran, atau kedudukan lain. Setelah DUHAM, lahir berbagai instrumen HAM internasional mengenai aspek-aspek khusus tentang kedudukan perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, antara lain Konvensi tentang Hak Politik Perempuan tahun 1953, Konvensi CEDAW yang diadopsi PBB tahun 1979.
Konvensi
CEDAW
merupakan
konvensi
perempuan
tentang
perlindungan dan penegakan hak-hak perempuan yang paling komperhensif dan sangat penting karena menjadikan segi kemanusiaan perempuan, sebagai fokus dari keprihatinan HAM. Jiwa dari Konvensi Perempuan berakar dalam tujuan dari Piagam PBB, yaitu penegasan kembali kepercayaan pada HAM,
50
Koesparmono Irsan, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Brata Bhakti, 2009,
hlm. 37
harkat dan martabat setiap diri manusia dan persamaan hak laki-laki dan perempuan. 51 Selain itu DUHAM dan Konvensi Perempuan, masih ada lagi konferensi yang membahas tentang perempuan, yaitu Konferensi Dunia tentang Perempuan dan Forum LSM di Copenhagen 1980, di Nairobi tahun 1985 dan tahun 1990. Selanjutnya dalam Deklarasi Wina 1993 yang menegaskan konsepsi tentang hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia yang universal. Kemudian tahun 1995 dalam Konferensi Perempuan menghasilkan 12 area kritis terkait dengan pemenuhan hak perempuan sebagai hak asasi manusia. 52 Dalam penegakan HAM prinsip non diskriminasi menjadi elemen pentingnya. Ini terlihat pada rumusan pasal 1 DUHAM: “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.” Konvensi CEDAW menekankan pada persamaan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki (equality and equity), yaitu persamaan hak dan kesempatan serta penikmatan manfaat di segala bidang kehidupan dan segala kegiatan. 53 Pasal DUHAM 2 menyebutkan: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada kekecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.” Selanjutnya dalam konvensi CEDAW pasal 1, yaitu “setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapus pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang ekonomi, sosial, budaya, sipil atau 51
Achie Sudiarti Luhulima, “Hak Perempuan dalam Konstitusi Indonesia” , dalam Sulistyowati Irianto (ed), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: NZAID bekerja sama dengan The Convention Watch, Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 2006, hlm. 85. 52 Knut D. Asplund dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, Cet. Pertama, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008, hlm. 28-29 53 Achie Sudiarti Luhulima, “Hak Perempuan..., hlm. 86
apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.” Uraian di atas memperlihatkan bahwa sudah banyak instrumen hak asasi manusia yang mengatur dan menyuarakan tentang kesetaraan hak dan kedudukan perempuan. Namun hal itu tidak menjamin bahwa hak-hak perempuan akan terakomodir dengan baik, hal ini antara lain disebabkan salah satunya adalah bahwa para perempuan pada umumnya belum mengetahui bahwa ada perangkat hukum yang bisa membantu mereka dalam perjuangan hak-haknya. Sebagaimana ungkapan Margaret Shuler dan Dorothy Tomas yang dikutip Rosalia “kebanyakan perempuan tidak menyadari bahwa mereka mempunyai hak, tidak mengetahui bahwa di negaranya ada gerakan perempuan dan menganggap system hukum sebagai satu hal yang abstrak. 54 Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, salah satu hukum Islam yang dianggap mendeskreditkan
perempuan adalah hukum kewarisan. 55
Bagian perempuan dalam hukum waris Islam dianggap sebagai hukum yang tidak taat asas kesetaraan dan persamaan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana telah dirumuskan dalam DUHAM. Telah dimaklumi, bahwa salah satu prinsip dalam Hak asasi manusia adalah kesetaraan, yaitu ide meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia. 56 Somalia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, di mana mazhab Syafii menjadi mazhab yang dianut negara tersebut. Kedudukan perempuan mengalami perubahan seiring dengan pergantian 54
Rosalia Sciortio, “Kata Pengantar”, dalam , International Law and the Status of Women, terj. Alex Irwan, Perisai Perempuan; Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan Perempuan, Yogyakarta: Yayasan Galang, 1999, hlm. xviii 55 menurut Coulson, hukum waris mempunyai kedudukan yang sangat penting dikarenakan: Pertama, tidak ada topik dalam hukum Islam yang berciri individu yang lebih tegas daripada topik tentang pewarisan. Kedua, hukum waris merupakan bagian integral dan vital dari hukum keluarga dan dalam beberapa hal dapat dikatakan sebagai titik pusatnya, karena sistem prioritas dan nilai kuanitatif telah ditetapkan hak dari masing-masing sanak famili berasal dari posisi di mana sanak famili itu menempati dalam skema pertalian dan tanggung jawab keluarga. Hak-hak waris merupakan kewajiban-kewajiban yang sudah diberikan kepada almarhum pada waktu dia masih hidup. Karena itu sistem tersebut mencerminkan konsep Islam tentang nilai sosial dan struktur keluarga. Lihat Noel J. Coulson, Konflik Dalam Yurisprudensi Islam, terj. H. Fuad, Yogyakarta: Navila, 2001, hlm. 9-10 56
Knut D. Asplund dkk., Hukum..., hlm. 9
rezim penguasa. Termasuk di antaranya dalam hukum kewarisan, perempuan mendapatkan hak dan bagian yang sama dengan laki-laki. Kewarisan dalam hukum keluarga Somalia diatur dalam bab Bab IV pasal 117 s/d 173. Terkait hak-hak perempuan dalam hal ini diatur dalam pasal 158, 160, 161, dan 164. Dalam pasal 158 Hukum Keluarga Somalia dijelaskan, bahwa lakilaki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam warisan, begitu juga dengan pasal 160, “Pasangan yang masih hidup akan mendapat setengah dari harta peninggalan jika tidak ada anak atau cucu. Jika ada anak atau cucu, maka akan mendapatkan seperempat dari harta peninggalan, jika ada lebih dari satu janda, maka bagian setengah, dan sisanya akan dibagi kepada orang tua dengan sama rata.” Pasal-pasal terkait hak waris perempuan dalam hukum keluarga Somalia tersebut apabila dilihat dari perspektif hak asasi manusia khususnya DUHAM dan Konvensi CEDAW adalah selaras dan sejalan yakni adanya kesetaraan dan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini laki-laki dan perempuan sama-sama mendapatkan bagian yang sama dalam kewarisan. Tidak ada diskriminasi atas nama jenis kelamin. Tidak hanya dalam tingkat pertama laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian yang sama dalam kewarisan, bahkan dalam tingkat kedua dan ketiga pun laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian yang sama sebagaimana tergambar dalam pasal 161 dan 164 hukum Keluarga Somalia di atas. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 DUHAM: “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan, begitu juga dalam pasal DUHAM 2 menyebutkan: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada kekecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.” Begitu juga
dalam konvensi CEDAW pasal 1, yaitu “setiap
pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin,
yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapus pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.” Lalu apakah hak waris perempuan sebagaimana dirumuskan dalam hukum keluarga Somalia tersebut tidak sesuai dengan hukum Islam dan keluar dari ujaran nash, padahal Somalia merupakan negara Islam dengan mazhab Syafii sebagai mazhab negara. Ajaran Islam mempunyai misi yang universal, yakni menegakkan keadilan demi tercapainya kemaslahatan umat manusia yang juga merupakan tujuan dari diterapkannya syari’at Islam (maqashid syari’ah). Pesan universal ini tercantum dengan jelas dalam al-Qur’an, dan pesan inilah yang berlaku sepanjang masa dan di berbagai tempat, sedangkan rasa keadilan itu berbeda dari satu masa ke masa lain dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Pembagian warisan dengan formula 2:1, di mana perempuan mendapatkan setengah bagian laki-laki pada masyarakat ketika al-Qur’an diturunkan, sudah merupakan anugrah yang sangat besar bagi perempuan yang sebelumnya tidak pernah memperoleh warisan. Pembagian seperti ini telah memenuhi rasa keadilan pada masyarakat empat belas abad yang lalu, dikarenakan perempuan tidak produktif dan tidak memainkan peran apapun selain peran domestik. Sementara laki-laki, selain karena memanggul senjata, juga bekerja untuk menafkahi keluarga, sudah selayaknya bila dalam pembagian warisan mendapatkan dua kali lipat bagian perempuan. Tetapi sekarang, ketika perempuan sudah banyak menempati posisi yang dulunya hanya merupakan dominasi pria, sudah banyak memainkan peran di masyarakat, sama-sama mencari nafkah
sebagaimana halnya laki-laki, maka sudah sewajarnya
apabila dalam ketentuan warisan perempuan juga mendapatkan bagian yang sama dengan laki-laki. Di sini berlaku kaidah al-hukm yaduru ma’a ‘illatihii wujudan wa ‘adaman. Berkaitan dengan pembagian yang sama untuk laki-laki dan perempuan dalam kewarisan sebagaimana dirumuskan dalam hukum keluarga
Somalia, bukan berarti ketentuan tersebut keluar dari aturan sebagaimana dituliskan
al-Qur’an,
bukan
pula
merupakan
salah
satu
bentuk
pembangkangan terhadap hukum-hukum Allah, juga bukan disebabkan tipisnya iman. Justru di sini lebih memperlihatkan missi universal Islam sebagai rahmatan lil ‘aalamiin, yang mengandung nilai-nilai persamaan dan keadilan juga kesetaraan. Persamaan dalam artian laki-laki dan perempuan sama mendapatkan bagian warisan. Keadilan, karena standarisasinya adalah manusia, maka harus mempertimbangkan sistem dan struktur sosial di mana hukum tersebut ditetapkan. Bagaimanapun, hukum waris merupakan pranata sosial, di mana konteks sosial dan esensinya bisa dinalar akal budi, jadi yang diutamakan adalah prinsip dasarnya dan bukan bunyi tekstualisnya. Oleh karena itu, keadilan berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain, dan dari satu waktu ke waktu yang
lain. Selain itu, sebagai pranata sosial yang berkaitan dengan
masyarakat, menurut al-Izza ibn ‘Abdi al-Salam, maka semua usaha hendaknya difokuskan pada kepentingan masyarakat, baik kepentingan duniawi maupun ukhrawi. 57 Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah menambahkan, bahwa perbuatan dan perbedaan fatwa atau opini hukum dapat terjadi karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan), situasi, tujuan dan adat istiadat.58 Oleh karena itu, menjadi keniscayaan apabila hukum waris Islam dari satu belahan bumi ke belahan bumi yang lain, dari satu masa ke masa yang lain mengalami perubahan dan perbedaan, disebabkan perbedaan waktu, tempat, sistem dan juga adat istiadat. Karena itu, formula 1: 1 (bagian yang sama ) bagi laki-laki dan perempuan sebagaimana ditetapkan dalam hukum kewarisan Somalia bukanlah menyalahi aturan yang telah ditegaskan alQur’an secara rinci, tetapi karena sistem dan juga adat istiadatnya berubah. Ketika pertama kali al-Qur’an diturunkan, oleh sistem dan adat istiadat yang ada, perempuan memang diposisikan sebagai ibu rumah tangga murni, tidak diberi kesempatan sama sekali untuk berkiprah di ranah publik. Pemberian setengah bagi perempuan adalah bagian dari “strategi sosial” al-Qur’an yang 57
Subhi Mahmasani, Filsafat al-Tasyri’ fi al-Islam, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1980,
hlm. 219 58
Ibid., hlm. 221
dilakukan secara bertahap 59, disesuaikan dengan kiprah dan kapabilitas perempuan kala itu. Terhadap ketentuan bagian setengah ini pun, kaum lakilaki rata-rata masih menampakkan reaksi negatif, apalagi ketika harus diberi bagian warisan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian pemberian warisan kepada perempuan saat itu menunjukkan suatu bentuk nyata ajaran Islam dalam mengangkat kaum perempuan. Islam telah mampu melepaskan kaum perempuan dari kungkungan kezaliman zaman. Islam memberi hak waris kepada kaum perempuan yang sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka sebagai ashab al-furudh 60. Pada dasarnya jiwa waris Islam ingin mengangkat derajat kaum perempuan. Selain itu, kenapa perempuan mendapatkan bagian setengah karena memang pada waktu itu peran perempuan adalah di rumah sebagai ibu rumah tangga. Jadi pembagian 2: 1 pada waktu itu sebagai penghormatan kepada prempuan, bukan diskriminasi, dan juga tidak menunjukkan inferioritas perempuan dibandingkan laki-laki. Karena ketentuan semacam ini berdasarkan azas keseimbangan antara hak dan kewajiban, sehingga akan tercipta suatu keadilan. Hal ini sekaligus untuk meng-counter
berbagai
pendapat yang mengatakan bahwa laki-laki lebih supeririotas dibanding perempuan, salah satunya karena dia mendapatkan bagian dua kali bagian perempuan dalam hal warisan. Namun seiring perkembangan zaman dan banyak kaum perempuan yang berperan aktif di luar rumah untuk mencari 59
Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam penetapan hukum, antara lain: (1) Tidak menyempitkan (‘adam al-haraj); (2) Mengurangi beban (taqlil al-taklif); (3) Penetapan hukum secara bertahap; (4) kemaslahatan; dan (5) Persamaan dan keadilan. Lihat Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2005), hlm. 206-218. Penetapan hukum secara bertahap yang dilakukan al-Qur’an dapat dilihat dari dua segi; pertama, berkaitan dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat tentang dapat atau tidaknya diterima keabsahannya; Kedua, berkaitan dengan kondisi perkembangan jiwa masyarakat tentang, apakah masyarakat bersangkutan sudah mampu menerima suatu rancangan hukum yang ditetapkan. Al-Qur’an menetapkan hukum dengan cara berangsur-angsur melalui tiga cara: (1) mendiamkan, yakni tidak menetapkan hukum kepada sesuatu, karena sementara, pernah diperkenankan, lalu diharamkan; (2) menyinggung sesuatu secara global (belum diterangkan secara jelas), kemudian diberi tafsil (keterangan yang luas dan jelas); dan (3) mengharamkan secara berangsur-angsur. Lihat Ahmad Sjalabi, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Jakarta: Djajamurni, t.th, hlm. 26 60
Muhamad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 23
nafkah, mempunyai peran dan kiprah yang sama dengan kaum laki-laki, maka merupakan suatu hal yang logis apabila hak-haknya dalam bidang kewarisan juga ditingkatkan agar sama dengan kaum laki-laki. Dulu ketika perempuan hanya di rumah mengurus rumah dan keluarga, sudah sewajarnya kalau dia mendapatkan bagian setengah dalam warisan. Namun sekarang, ketika perempuan sudah banyak yang berkiprah dan aktif di luar rumah mencari nafkah, maka sudah sepantasnya juga bila dalam hal warisan dia juga mendapatkan bagian yang sama dengan laki-laki, yakni 1: 1, karena bagaimanapun perubahan sosial dapat mengubah kebutuhan dan tuntutan, dan juga dapat mengubah hukum yang ada, karena itu setiap perubahan pasti menimbulkan masalah dan menuntut redifinisi dan reformulasi dalam ketentuan-ketentuan hukum yang ada, sehingga akhirnya hukum yang ada akan mampu mengakomodir perubahan yang ada dalam masyarakat, dan prinsip-prinsip dasar serta pesan moral ajaran Islam, seperti persamaan, keadilan dan kesetaraan dapat ditegakkan. Oleh karena itu kaidah usul fiqh: la yunkaru taghayur al-ahkam bi taghayur al-azminah wa alamkinah wa al-ahwal (tidak dapat dipungkiri, bahwa perubahan suatu hukum karena adanya perubahan waktu, tempat, dan keadaan)
menjadi suatu
keniscayaan.
C. Penutup Salah satu hukum Islam yang dianggap mendeskreditkan perempuan adalah hukum kewarisan, yakni pembagian warisan dengan formula 2:1. Bagian perempuan dalam hukum waris Islam dianggap sebagai hukum yang tidak taat asas kesetaraan dan persamaan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana telah dirumuskan dalam DUHAM. Telah dimaklumi, bahwa salah satu prinsip dalam Hak asasi manusia adalah kesetaraan, yaitu ide meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia. Namun apabila melihat pada hak waris perempuan dalam hukum keluarga Somalia ternyata formula 2:1 bagi laki-laki dan perempuan tidak berlaku. Pasal 158 hukum keluarga Somalia menyatakan bahwa laki-laki dan
perempuan mendapatkan bagian yang sama, begitu juga pasal 160, 161, dan 164. Ditinjau dari perspektif hak asasi manusia, ketentuan aturan waris tersebut adalah sesuai dan sejalan dengan konsep hak asasi manusia, yaitu tentang konsep kesetaraan, yaitu ide meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA A.A. Maududi, Purdah and The Status of Women in Islam, Pakistan: Islamic Publication Ltd., 1976 Ahmad, Anis, Women and Social Justice: Some Legal and Social Issues in Contemporary Muslim Society, cet. I, Islamabad: Institute of Policy Studies, 1991
Asplund, Knut D. dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, Cet. Pertama, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008 Badawi, J., The Status of Women in Islam, Saudi Arabia: Gassim, 1991 Biyanto, Teori Siklus Peradaban, Yogyakarta: LPAM, 2004 Coulson, Noel J., Konflik Dalam Yurisprudensi Islam, terj. H. Fuad, Yogyakarta: Navila, 2001 Dahlan, Abdul Aziz dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2000 El Alami, Dawod dan Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Law of The Arab World, London, the Hague, Boston: Kluwer Law International, 1996 Espopsito, John L., Women in Muslim Family Law, cet. I, New York: Syracuse University Press, 1982 Fakih, Mansour dkk., Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: PT. AlMa’arif, 1975 Hitti, Philip K., History of Arabs from Earliest Times to the Present, London: The Macmillan Press, 1974 al-Hatimi, Said Abdullah, Women in Islam: A Comparative Study, Lahore Pakistan: Islamic Publication Ltd., 1993 Irsan, Koesparmono, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Brata Bhakti, 2009 Jawad, Haifaa A., The Rights of Women in Islam, cet. I, London: Macmillan Press Ltd., 1998 Keddie, Nikki R., “Introduction: Deciphering Middle Eastern Women‘s History”, dalam Nikki R. Keddie dan Beth Baron, Women in Middle Eastern History: Shifting Boundaries in Sex and Gender, London: Yale University, 1991 Khan, Musthafa, Islamic Law of Inheritance: A New Approach, New Dehli: Kitab Bhavan, 1989 Luhulima, Achie Sudiarti, “Hak Perempuan dalam Konstitusi Indonesia” , dalam Sulistyowati Irianto (ed), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: NZAID bekerja sama dengan The Convention Watch, Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 2006
---------------------------------, Bahan Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk DiskriminasiTerhadap Wanita, Jakarta: Buku Obor, 2006, Mahmasani, Subhi,, Filsafat al-Tasyri’ fi al-Islam, Beirut: Dar al-‘Ilm li alMalayin, 1980 Mahmood, Tahir, Family Law In The Muslim World, New Dehli : Tripathi Pvt.Ltd, 1974 ---------------------, Personal Law In Islamic Countries; History, Texts, and Analysis, New Dehli: ALR, 1987 Monib, Mohammad, Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan Nurcholis Madjid, Jakarta: Gramedia Mundy, Martha, “The Family, Inheritance and Islam; A Re-examination of thr Sociology of Fara’id Law”, dalam Aziz Azmeh (ed.), Islamic Law; Social and Historical Contexts, London dan New York: Routledge, 1988 Power, David S., Studies in Qur’anic and Hadith; The Formatuion of the Law of Inherince, terj. Arifin Maftuhun, Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan; Kritik Historis Hukum Waris, cet. I, Yogyakarta: LKiS, 2001 Ridlo, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt. Sadjali, Munawir, “Reaktulisasi Ajaran Islam”, dalam Iqbal Abdurrahman Saimia (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, cet. I, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988 Sciortio, Rosalia, “Kata Pengantar”, dalam , International Law and the Status of Women, terj. Alex Irwan, Perisai Perempuan; Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan Perempuan, Yogyakarta: Yayasan Galang, 1999 Sjalabi, Ahmad, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Jakarta: Djajamurni, t.th, al-Sharbibi, Muhammad al-Khatib, al-Iqna fi Hakk Alfaz Abi Shuja’, cet. Terakhir, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1940 al-Shatibi, Abu Ishaq Ibrahim, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Muhamad al-Khudar Husayn al-Tulisi dan Muhamad Hausayahn Makhluf (ed.), t.tp.: dar al-Rasad al-Haditga, t.t. Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004 Ash-Shabuni, Muhamad Ali, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1996 Asshiddqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006 al-Wahidi, Abu al-Hasan ‘Ali, Asbab al-Nuzul, t.tp.: Dar al-Fikr, t.t. Watt, M., Muhammad at Medina, Oxford: Oxford University Press, 1988 Zahrah, Muhamad Abu, Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.