MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA (Permasalahan Yang Timbul Dari Pilkada 2011)
NAMA
: Abdul Rahman Rimas Polrianto
NOMOR MAHASISWA
: 11.12.5655
KELOMPOK
:H
PROGRAM STUDI
: Pendidikan Pancasila
JURUSAN
: S1 - SI
DOSEN
: Mohammad Idris .P, Drs, MM
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011
ABSTRAK Demam pilkada kini telah menyebar hampir merata di berbagai daerah. Pertarungan membangun citra kian hingar bingar seiring berbagai publisitas yang dimainkan oleh media. Di era industri komunikasi yang ditandai dengan maju pesatnya industri media massa, hampir mustahil seorang politisi yang hendak berlaga, menafikkan hubungan baik dengan media. Pengaruh media dalam kehidupan politik sangatlah besar. Media mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat. Hal ini menjadi sangat penting dalam kampanye partai politik. Cakupan yang luaas dalam masyarakat membuat media massa dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam mengkomunikasikan program kerja, pesan politik, pembentukan image partai atau individu. Dalam penelitian ini yang akan di bahas adalah permasalahan-permasalahan apa saja yang ada dalam penyelenggaraan pilkada, dan metode penelitian yang di gunakan adalah studi kasus. Studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Namun jika ditinjau dari sifat penelitian, penelitian kasus lebih mendalam.
i
KATA PENGANTAR Assalammualaikum wr. wb. Alhamdulillahirabbilalamin, puji serta syukur kita panjatkan kehadirat Illahi Robbi, karena berkat rahmat, karunia serta hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Permasalahan Yang Timbul Dari Pilkada 2011”. Tak lupa salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjunan Nabi Muhammad SAW, kepada para sahabatnya, dan sampai kepada kita sebagai umatnya. Penyusunan makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila yang merupakan syarat kelulusan mata kuliah tersebut. Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam pembuatan makalah ini. kami sadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena tak ada manusia yang sempurna. Kebenaran hanyalah milik Allah SWT. Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca. Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan bimbingan-Nya serta rahmat-Nya kepada kita semua. Amin. Wassalammualaikum wr. wb.
Yogyakarta, Oktober 2011
ii
DAFTAR ISI ISI ABSTRAK
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang Masalah
1
1.2 Tujuan Penulisan
3
BAB II RUMUSAN MASALAH
4
2.1 Rumusan Masalah
4
2.2 Permasalah Pilkada Dan Isu-isu Pilkada
4
BAB III PENDEKATAN
7
3.1 Pendekatan Historis
7
3.2 Pendekatan Sosiologis
7
3.3 Pendekatan Yuridis
8
3.4 Pertimbangan Penyelenggaraan Pilkada
8
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS
10
4.1 Pembahasan Permasalahan Pilkada
10
4.2 Penyelewengan-Penyelewengan Pilkada
24
4.3 Contoh Kasus
27
BAB V PENUTUP
31
5.1 Kesimpulan
31
5.2 Saran
32
REFERENSI
34
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Pasal 40 UU No. 32/2004) . Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya pilkada adalah koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi
yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Melalui
pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam memilih kepala daerah. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b,
1
calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi.
Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya
sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf otonomi individu .
Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya
pilkada
adalah:
Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk
mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah. Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar , baik dari segi politik (issue perpecahan internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue tentang disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.) maupun financial. Hal ini kita lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel, pemilihan gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena ketidakpuasan salah satu calon atas hasil penghitungan suara akhir. Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang multidimensional. Ada yang bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja
2
ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami, karena “politics is the struggle over
allocation of values in society”.(Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the process of government) . Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise”
seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang
tentang Partai Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan
modal
politik
sang
calon,serta
banyak
Perda-Perda
yang
bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi.
1.2 Tujuan Penulisan 1.
Untuk mengetahui permasalahan-permasalahan dalam pilkada
2.
Untuk mengetahui isu-isu yang ada dalam pilkada
3.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk penyelewengan dalam pilkada
4.
Untuk mengetahui pengaruh Money Politics dalam patisipasi politik masyarakat dalam pilkada serta mengetahui boleh tidaknya melakukan
Money Politics
3
BAB II RUMUSAN MASALAH 2.1 Rumusan Masalah 1. Apa saja Permasalah-permasalahan dari pilkada? 2. Apa saja penyelewengan dari penyelenggaraan pilkada? 3. Apakah Money Politics mempengaruhi akan partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah serta apakah boleh untuk menjalankan Money
Politics dalam acara demokrasi yang ada ? 4. Contoh nyata permasalah pilkada?
2.2 Permasalahan Pilkada Dan IsuIsu-Isu Pilkada 1. Daftar Pemilih tidak akurat; a. Sebagian besar DP4 dari Kab/Kota tidak dapat diandalkan b. Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu tempat c. Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS d. Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal e. Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih ketika sudah ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap atau ketika sudah mendekati hari pemungutan suara f. Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal.
2. Proses pencalonan yang bermasalah a. Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik. b. Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari partai yang sama. c. KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon. d. Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari pasangan calon/Parpol terhadap penetapan pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU. e. Terhambatnya proses penetapan pasangan calon.
4
f. Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU berpihak kepada salah satu pasangan calon/pengurus parpol tertentu sehingga parpol yang sebenarnya memenuhi syarat namun gagal mengajukan pasangan calon. Akibat lebih lanjut, partai politik maupun konstituen kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kepala daerah yang merupakan preferensi mereka.
3. Pemasalahan pada Masa kampanye : a. Pelanggaran ketentuan masa cuti b. Manuver politik incumbent untuk menjegal lawan politik c. Care taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan PILKADA d. Money politics e. Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi f. Kampanye negative g. Pelanggaran etika dalam kampanye h. Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan kampanye di luar waktu yang telah ditetapkan
4. Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan: a. Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara. b. Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara dilakukan oleh PPK, KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi. c. Belum lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas PPK, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi. d. Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan calon. e. Keterbatasan
anggota Panwas mengontrol hasil penghitungan
dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
5
5. Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral a. Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada salah satu pasangan calon. b. Kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan calon. c. Tidak adanya ruang bagi para bakal calon untuk menguji kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon. d. Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan Pilkada oleh KPU di atasnya. e. Keberpihakan anggota Panwaslu kepada salah satu pasangan calon f. Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi pasangan calon yang kalah.
6. Putusan MA dan MK yang menimbulkan kotroversi 7. PutusanPutusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008. 8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih. 9. Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada 10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak). 11. Sistem pemilihan gubernur. 12. 12. Sistem pemilihan wakil kepala daerah.
6
BAB III PENDEKATAN 3.1 Pendekatan Historis Pasal 28 UUD 1945 dengan tegas menyatakan “Kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan fikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dalam UU”. Maksudnya, disana dinyatakan bahwa Pasal 28 ini serta pasal-pasal lain yang mengenai penduduk dan warga negara hasrat Bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat ber-prikemanusiaan. Jadi yang diperlukan untuk memerinci ketentuan Pasal 28 ini adalah sebuah Undang-undang yang mengatur tentang “Kebebasan Berserikat” warga negaranya. Bukan sebuah Undang-undang yang justru akan membatasi warga negaranya untuk menyampaikan aspirasi suaranya.
3.2 Pendekatan Sosiologis 1) Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat. 2) Menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah. Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui
7
perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
3.3 Pendekatan Yuridis 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomer 3 tahun 2005 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2005 Nomer 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomer 4548) 3. Peraturan Pemerintah Nomer 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 17 tahun 2005 tentang perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomer 6 tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 5. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomer : 01 tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil. 6. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomer 41P/HUM/2006
3.4 Pertimabangan Penyelenggaraan Pilkada Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. 1.
Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
8
2.
Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota,
masing-masing
sebagai
kepala
pemerintahan
daerah
provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 3.
Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4.
Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5.
Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.
9
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS 4.1 Pembahasan Permasalahan Pilkada 1. Daftar Pemilih tidak akurat. Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan. Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap. Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.
2. Proses pencalonan yang bermasalah Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada. Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan pasangan calon yang dirugikan.
10
Pasal
59 ayat (5)
huruf a
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun
menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik mendaftarkan pasangan calon, wajib
menyerahkan
2004
pada saat
surat pencalonan
yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai politik. Dalam
permasalahan
ini
karena pimpinan partai politik setempat tidak
melaksanakan rekomendasi DPP partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon. Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan
bahwa penetapan dan pengumuman
pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan untuk
menggugurkan
pasangan calon tertentu tanpa dapat melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui pengadilan. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.
3. Pemasalahan pada Masa kampanye. Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-
11
larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya. Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan. Kampanye
yang
diharapkan
dapat
mendorong
dan
memperkuat
pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.
4. Manipulasi penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara. Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi. Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.
5. Penyelenggara Pemilu yang tidak adil dan netral a. KPU dan KPU Provinsi Keberpihakan KPU atau KPU Provinsi kepada salah satu pasangan calon dilakukan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten dengan memberhentikan atau membekukan para anggota KPU Provinsi atau
12
KPU Kabupaten. dilakukan jika
Padahal
pengambil-alihan
baru
dapat
KPU dibawahnya tidak dapat melaksanakan tahapan
Pilkada. b. KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota Keberpihakan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada salah satu pasangan calon dilakukan pada tahapan proses pencalonan, penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara. c. Panwaslu. Keberpihakan
Panwaslu
kepada salah satu
pasangan
calon
dilakukan khususnya pada tahapan setelah hasil penghitungan suara, dengan menjadi promoter bagi pasangan yang kalah.
Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat
grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan kerusuhan. Hal terjadi karena kurangnya pemahaman para anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam melaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta sistem seleksi para anggota KPU, KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan adanya kebutuhan anggota KPU, KPUD, Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai integritas tinggi, tidak mudah mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman yang baik terhadap ketentuan peraturan perundangundang Pemilu.
6. Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah Agung
13
bersifat final. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik Mahkamah
Agung
maupun
Mahkamah
Konstitusi
menimbulkan
kontroversi di masyarakat, akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut. Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada, seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan Pilkada. Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut.
7. PutusanPutusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan Pilkada.
a. Putusan MK No.072 No.072072-073/PUU073/PUU-ii/2005 menyatakan UndangUndang-Undang Nomor 32 Tahun 2004: Dalam pertlmbangan hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 namun Pilkada langsung adalah pemilu secara materiil untuk mengimplementasikan pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan pemilu yang diatur pasal
14
22E UUD Negara RI Tahun 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada meskipun tetap didasarkan asas pemilu yang berlaku. Pembentuk Undang-Undang No 32 Tahun 2004 telah menetapkan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada yang merupakan wewenang pembentuk undangundang yang terpenting adalah harus dijamin independensinya, terganggunya independensi penyelenggara mengakibatkan bertentangan dengan kepastian, perlakuan yang sama dan keadilan sesuai pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah juga berpendapat bahwa pembentuk undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada karena memang dibentuk untuk itu dan telah membuktikan independensinya dalam pemilu 2004.
b. Putusan MK Nomor No.22/PUUNo.22/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun dalam salah amar putusannya juga menyatakan bahwa masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani selama setengah atau lebih masa jabatan, dengan kata lain dihitung satu kali masa jabatan adalah apabila seorang kepala daerah telah menduduki jabatannya selama 2,5 tahun atau lebih. Penghitungan masa jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau pilkada tidak langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009,
karena
dalam
pertimbangan
hukumnya
majelis
hakim
berpendapat bahwa perbedaan sistem pemilihan kepala daerah antara langsung dan tidak langsung, tidak berarti bahwa sistem Pilkada tidak langsung tidak atau kurang demokratis apabila dibandingkan dengan
15
sistem langsung demikian pula sebaliknya. Dari pertimbangan majejelis ini berarti bahwa menurut majelis, Pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sam demokratishya sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (4) UUDN 1945. Bahkan majelis berpendapat setelah pengalaman dalam pilkada langsung berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sekarang timbul gagasan baru untuk kembali memberlakukan pilkada tidak langsung, dan hal ini sah-sah saja. Perubahan pengertian norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004 yaitu batasannya adalah 2, 5 (dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua setengah tahun, belum dianggap satu kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua) periode sehingga apabila selama 2 (dua) kali masa pencalonannya selalu terpilih, yang bersangkutan bisa menduduki jabatannya maksimal 12, 4 (dua belas koma empat) tahun beberapa hari.
8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
a. Penyesuaian tata cara pemungutan suara. Berdasar Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "pemberian suara untuk Pilkada dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Perhllu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 melalui peraturan KPU pemberian suara dilakukan dengan memberi tanda "centang". Walaupun cara pemberian suara dalam Pemilu 2009 dengan memberi tanda centang masih banyak yang salah sehingga suara tidak sah, namun cara pemberian suara ini telah mulai memasyarakat, sehingga agar tidak membingungkan masyarakat, maka ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait
16
dengan cara pemberian suara perlu diselaraskan dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
b. Penyesuaian penggunaan KTP sebagai kartu pemilih. "Berdasar Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih untuk setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam rangka efisiensi KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan dapat dijadikan kartu pemilih. Untuk itu dalam rangka efisiensi pelaksanaan Pilkada, "ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
9. Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya. Namun melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 tanggal 4 Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketentuan dimaksud karena menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty, rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antar-sesama pejabat negara [vide Pasal 59 ayat (5) huruf i UU 32/2004], sehingga dapat dikatakan
17
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akibatnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah hanya cuti selama kampanye. Mengindahkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan dimaksud ke depan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus diberhentikan sementara sejak pendaftaran sampai dengan dilantiknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru.
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak). Penggabungan pelaksanaan Pilkada diperlukan seiain untuk menghemat biaya
Pilkada juga untuk kejenuhan masyarakat pada Pemilu. Ada
beberapa opsi penggabungan Pilkada.
Optimasi Penggabungan. 1) Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan hanya 1 X , yaitu dimulai Tahun 2015. a) Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 278 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi kurang optimal. b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di seluruh Indonesia. c) Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional. d) Dari segi biaya akan dapat dihemat. 2) Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan 2 X, yaitu dimulai tahun 2013 dan tahun 2015. a) Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 57 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi sedikit kurang optimal. b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di + setengah seluruh Indonesia.
18
c) Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional. d) Dari segi biaya akan dapat dihemat. 3) Pilkada
dilaksanakan
secara
bersamaan
di
masing-masing
wilayah provinsi 1X sesuai jadwalnya. b) Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 225 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi kurang optimal. c) Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda. d) Isu Pilkada merupakan isu lokal. e) Dari segi biaya akan dapat dihemat. 4) Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara bersamaan. a) Jumlah care taker kepala daerah kecil dan dalam waktu singkat, sehingga pemerintah daerah masih berjalan normal. b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda atau Polres. c) Isu Pilkada merupakan isu lokal. d) Dari segi biaya akan dapat dihemat.
11. Sistem pemilihan gubernur. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
19
a. Tinjauan yuridis Berdasar: 1) Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang", 2) Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis", 3) Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan", Bahwa tidak ada perintah pemilihan gubernur dipilih secara langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak bertentangan dengan konstitusi.
b. Tinjauan filosofis 1) Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama. 2) Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama. 3) Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
20
4) Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan
kepentingan
masyarakat
di
daerah
yang
direpresentasikan oleh DPRD. 5) Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran. 6) Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan Politis
1) Perkuatan sistem NKRI. Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan
21
pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2) Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi. Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
22
12. Sistem pemilihan wakil kepala daerah.
UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak
mengganggu
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
dan
dapat
menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah. Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa system demokrasi pada umumnya dan system pilkada pada khususnya harus jujur diakui masih mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang “legal system” sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa sub-sistem hukum terdiri atas substansi hukum (legal substance) berupa pelbagai produk legislative yang mendasari system hukum tersebut; kemudian struktur hukum (legal structure) berupa kelembagaan yang menangani system
23
tersebut dan budaya hukum (legal culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan filosofi yang mendasari system hukum tersebut. Dalam ketiga subsistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih memerlukan konsolidasi. Warna transksional dan pragmatism masih menonjol , belum lagi munculnya mukti tafsir dan sikap mendua (ambiquitas) dalam pelbagai hal. Aapalgi apabila budaya hokum semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai politik yang sering disebut sebagai “legal culture of the insider”.
4.2 Penyelewengan -Penyelewengan Pilkada Dalam
pelaksanaan
pilkada
di
lapangan
banyak
sekali
ditemukan
penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti : 1. Money politik Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis yaitu desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang. Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu. 2. Intimidasi Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
24
3. Pendahuluan start kampanye Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai. 4. Kampanye negatif Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.
Selain itu ternyata pemberian uang tidak pula selalu dilakukan oleh para kandidat secara langsung. Akan tetapi pemberian uang tersebut dapat dilakukan melalui perantara orang lain termasuk teman akrab, keluarga, hubungan bisnis, dan seterusnya. Ada beberapa macam-macam bentuk pemberian uang dari kandidat kepada anggota dewan yang terlibat dengan politik uang (Money Politics). Macammacam itu adalah sebagai berikut: 1.
Sistem ijon
2.
Melalui tim sukses calon
3.
Melalui orang terdekat
4.
Pemberian langsung oleh kandidat
5.
Dalam bentuk cheque
25
Selain dari pembahasan tersebut maka ada pula peraturan yang baku mengenai politik uang (Money Politics) ini, yaitu dilarangnya akan bagi para calon kandidat pemilihan baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah yang akan mencalonkan diri mereka dalam ajang pesta demokrasi yang berlangsung. Peraturan tersebut antara lain: 1. BAB XX Penyelesaian Pelanggaran Pemilu Dan Perselisihan Hasil Pemilu Undang-undang No. 10 Tahun 2008 Pasal 247 Ayat 1 sampai Ayat 10 2. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PELANGGARAN PIDANA PEMILU Pasal 252, Pasal 253 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 254 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 255 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 256 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 257 Ayat 1 sampai Ayat 3. 3. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PERSELISIHAN PEMILU Pasal 258 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 259 Ayat 1 sampai Ayat 3. 4. Undang-undang No. 32 Tahun 2008 mengenai Pemberhentian Kepala Daerah (yang sudah dilantik atau yang akan dilantik) Pasal 29 Ayat 1 sampai 4, Pasal 30 Ayat 1 smapai 2, Pasal 31 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 32 Ayat 1 sampai Ayat 7, Pasal 33 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 34 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 35 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 36 Ayat 1 sampai Ayat 5.
Dari pembahasan data dan aturan yang membahas mengenai pelanggaran pemilu secara umum maupun pemilihan umum kepala daerah (PILKADA), maka selanjutnya sanksi pidana atau sanksi administrative yang akan diberikan oleh KPUD yang dalam hal ini pelanggaran tersebut di laporkan oleh PANWASLU dan di sampaikan pada Pengadilan Negeri yang akan menyidangkan kasus pelanggaran PILKADA yang dilaporkan.
26
4.3 Contoh kasus
:
Harian Jogja Express, 24 september 2011 Halaman 1 dan 11
Di duga lakukan Politik uang, 5 orang di tangkap JOGJAJOGJA-Dua hari menjelang pilkada yang akan di gelar minggu (25/9) situasi jogja kian memanas.Berbagai praktik kotor pun masih saja terjadi Sebanyak lima orang, Jumat (23/5) ditangkap secara terpisah. Empat ditangkap anggota Polsekta Danurejan dan satu orang lain diserahkan warga kepada Mapolsek Wiroborajan karena diduga money politics. Kapolsekta Danurejan, Kompol Irfan S menjelaskan penangkapan empat orang itu dilakukan oleh anggotanya berpakaian preman yang tengah melakukan operasi di wilayah Lempuyangan. Peristiwa terjadi di ruas jalan sekitar wisma Flaminggo, Lempuyangan, Danurejan, Jogja. Menurut Irfan saat ditemui di Mapolsekta danurejan Jumat (23/9) petang, terjadi pengumpulan massa di ruas jalan tersebut. Peristiwa terjadi pada sore hari sekitar pukul 15.30 WIB. Diduga ada aktifitas pembagian uang dalam kerumunan massa itu. “penangkapan itu dilakukan oleh anggota Danurejan karena memang selama masa pilkada termasuk masa tenang ini kami mengintensifkan pemantauan wilayah. Setelah kami dapatkan terduga money politics maka kami amankan di markas,” kata Irfan. Untuk penindakan lebih lanjut keempat orang itu diserahkan ke Penegak Hukum Terpadu (Gakumdu) yang bermarkas di Polresta Jogja. “untuk keterangan detil kami belum bias memaparkan, yang jelas yang diamankan ada empat orang,” Katanya. Kapolresta Kota Jogja Kombespol Mustaqim yang saat itu berada di markas Polsekta Danurejan, enggan memberikan komentar. Dia justru mengelak pertanyaan wartawan. “saya tidak tidak tahu disini ada apa,”katanya.
27
Terpisah, anggota panwaslu kota jogja Suudarmanto menjelaskan pembuktian dugaan adanya money politics tersebut masih dilakukan pendalaman. Dia mengaku belum dapat memberikan keterangan detil mengenai pelaku karena belum memiliki bukti. Belum bias diperoleh keterangan empat orang itu dari pasangan mana. “Kami belum bias memberikan keterangan detil, yang jelas empat orang lakilaki diamankan karena diduga melakiukan politik uang di daerah Lempuyangan. Barang bukti yang disita ialah uang senilai jutaan rupiah yang diduga akan dibagikan kepada warga terkait pilkada. Sementara modus operasi ialah masa bayangan atau perekrutan pendukung dengan imbalan si wilayah setempat,” jelasnya. Salah satu orang yang diduga melakukan politik uang juga ditangkap jajaran Polsek Wirobrajan. Kapolsekta Wirobrajan membenarkan hal tersebut. Berbeda dengan pengamanan di Polsekta Danurejan yang dilakukan oleh aparat polisi, pengamanan terduga money politics di Wirobrajan dilakukan oleh warga. “Tadi baru saja warga yang menyerahkan kemari satu orang yang diduga melakukan money politics, sekarang baru dimintai keterangan, jadi kronologinya saya juga belum tahu secara pasti. Nanti prosesnya dilakukan di Polresta oleh tim Gakumdu,” katanya. Black campaign Masa tenang Pilkada Jogja juga dicemari dengan beredarnya kampanye hitam (black campaign). Salah satunya dengan munculnya selebaran yang memuat bermacam isu negative menyerang pasangan calon peserta Pilkada beredar disejumlah wilayah.
Black campaign tidak hanya menyerang satu pasangan calon (paslon) walikota saja. Selain selebaran gelap, isu serangan fajar atau money politics juga berhembud kuat disejumlah daerah. “Ada empat jenis selebaran gelap yang kami temukan sejak kamis (22/9) lalu. Empat jenis selebaran itu sasarannya rata, mulai dari paslon nomor urut 1,2, dan 3,” ungkap Ketua Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) Umbulharjo, Hery Setyawan saat ditemui Harian Jogja di kantornya, jumat (23/9) siang. Muatan negatif yang diangkat dalam selebaran gelap itu mulai dari isu keistimewaan DIY, dugaan keterlibatan korupsi, hingga soal perpecahan salah satu
28
organisasi Islam. Dari empat jenis selebaran gelap itu, dua diantaranya sekilas seperti selebaran kampanye pada umumnya. Hery menjelsakan, munculnya selebaran gelap ini termasuk salah satu modus
black campaign atau kampanye gelap yang bertujuan mendiskreditkan pasangan calon (paslon) sasarannya. “Kami tidak dapat menyimpulkan siapa pelaku penebar selebaran gelap ini. Sesuai prosedur saja, temuan ini langsung kami sampaikan ke Panwaslu,” kata Hery. Selain langsung ditemukan oleh anggota Panwascam dan Panitia Pengawas Lapangan (PPL), selebaran gelap itu juga terkumpul berkat laporan warga. Menurut Hery, selebaran gelap itu tidak terlalu membawa dampak buruk pada warga. “Kesadaran warga sudah tinggi. Mereka tidak mudah terpengaruh oleh selebaran gelap itu,” jelasnya. Selain itu kabar serangan fajar atau politik uang (money politics) menjelang pelaksanaan pemungutan suara sudah santer terdengar sejak memasuki hari tenang, Kamis (22/9) lalu. Padahal, pelaksanaan pemungutan suara baru akan dilaksanakan besok, minggu (25/90). “Meski belum ada temuan atau laporan yang secara langsung membuktikan adanya serangan fajar, namun isu itu sudah santer hingga hari ini [kemarin],” kata Ketua Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) Umbulharjo, Hery Setyawan kepada
Harian Jogja, jumat (23/9) siang. Kemarin dititik Nol Kilometer sejumlah aksi demo berlangsung terkait Pilkada Kota Jogja. Sejumlah pemuda yang mengaku Koalisi Rakyat Anti Korupsi (Karak) Yogyakarta menuding Ana Haryadi Suyuti istri salah satu calon walikota Haryadi Suyuti terlibat dalam dugaan pengambilan tanah Negara untuk hotel tentram. Selain itu mereka menutup penuntasan kasus korupsi di DIY. Tim sukses Haryadi Suyuti-Imam Priyono (Hati) tadi malam juga menggelar jumpa pers di Posko Hati menanggapi adanya kampanye hitam itu. Divisi Advokasi Hati Chang Wendriyanto menerangkan, timnya menemukan sejumlah selebaran yang dinilai merugikan pasangan Hati.
29
Selebarab tersebut diantaranya berisi fotokopi berita tentang dugaan penjualan tanah Negara oleh Trikirana Muslidatin istri Haryadi Suyuti dan pembeberan pemeriksaan yang pernah dialami Imam Priyono. Dua isu itu dinilai Chang sebagai upaya pemojokan pasangan yang diusungnya. Chang menjelaskan selebaran tersebut dilakukan pada dini hari secara door to
door, di jalanan dan di tempat-tempat umum. Pihaknya menyita empat buah karung dan tumpukan kertas selebaran.
30
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari pembahasan diatas mengenai partisipasi politik yang ada didalam masyarakat dalam pemilu umum maupun pemilu daerah (PILKADA) maka dapat dilihat bahwa partisipasi politik masyarakat sangatlah penting guna keberlangsungan demokrasi di Negara ini. Serta juga memberikan sebuah pencerahan bagi masyarakat umum bagaimana partisipasi tersebut jangan salah digunakan dalam pemilihan umum. Dalam hal ini yaitu dengan adanya sistem yang bernama politik uang yang (Money
Politics) yang memberikan gambaran buruk bagi kesejahteraan demokrasi di Indonesia ini. Ada sebuah slogan yang bagus dalam menyikapi akan pelanggaran dari PILKADA maupun PEMILU secara umum yaitu DEMOKRASI bukanlah DEMOCRAZY. Dan juga bagi masyarakat umum sepatutnyalah untuk ebih cerdas dalam menanggapi semua iming-iming dan janji-janji yang diberikan oleh para calon kandidat Pilkada dalam kampanye-nya. Dan juga lebih selektif dalam memilih apa yang sesuai dengan hati nurani kalian. Serta juga ingat pada para calon kandidat yang akan bertarung dalam ajang pesta demokrasi yang ada di negeri tercinta ini, yaitu ingatlah asas JURDIL dan LUBER dalam melaksanakan acara demokrasi ini, dan juga para calon pemilih juga agar ingat akan slogan tersebut. Janganlah sekali-kali kalian khianati hati kalian demi sesuatu yang belum tentu kalian dapatkan. Serta juga slogan tersebut walau sudah tua umurnya akan tetapi, manfaat dan maknanya sangatlah dalam menentukan masa depan bangsa ini. Dan dengarlah wahai pewaris negeri ini untuk menemani negeri tercinta ini dalam menghadapi permasalahan besar yang sedang kita hadapi bersama. Temani negeri ini, sobat. Hidup kalian adalah masa depan bagi bangsa ini, dan ingat juga salah memilih dalam ajang demokrasi ini maka akan berakibat fatal bagi kemashlahatan bangsa ini. Ingat 5 menit salah memilih maka 5 tahun akan sengsara.
31
5.2 Saran a. Tim kampanye sebagai bagian dari tim pemenangan hendaknya berhati – hati dalam membuat jargon kampanye, slogan ataupun bentuk media lainnya untuk maksud persuasive, sehingga jangan sampai media tersebut menjadi boomerang yang merugikan. b. Tim kampanye harus belajar menggunakan kekuatan industri media bagi kampanye politik sehingga hasil atau tujuan komunikasi politik yang diharapkan akan lebih efektif, mengingat media juga sebagai komunikator politik dan sifatnya yang tidak pasif. c. Perencanaan kampanye melalui media hendaknya disusun berdasarkan analisa internal dan eksternal, sehingga diperoleh rumusan perencanaan yang komprehensif dan dapat diaplikasikan dengan baik. d. Kampanye yang baik tidak harus menghabiskan biaya yang besar, tetapi yang dapat mengalokasikan sumber daya yang tersedia secara efektif untuk menghasilkan hasil yang optimal. e. Penggunaan media yang berlebihan dapat menjadi boomerang yang merugikan bagi kandidat yang bersangkutan. Penggunaan media tidak harus berlebihan, tetapi yang benar – benar efektif dan efisien. f. Dalam hal pemasangan iklan politik di luar ruang, hendaknya untuk memperhatikan nilai estetika lingkungan. Jangan sampai merusak keindahan lingkungan. g. Untuk pemilihan kepala daerah masa mendatang, hendaknya para kandidat melakukan kampanye dengan cara yang sehat, bersih dan sportif.
Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain : 1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat
32
yang merupakan panutan dapat menjadi souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik. 2. Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar. 3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain. 4. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana dengan baik.
33
REFERENSI Dirjen Otda Depdagri, 2009, Evaluasi Pemilu Kepala Daerah Periode 2005-2008. Sentosa Sembiring, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda), Bandung, Nuansa Aulia Nugroho Dewanto, 2006, Pancasila dan UUD 1945, Bandung, Nuansa Aulia. Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Jogjakarta, Gradien Mediatama. Ari Pradhanawati, 2005, Pilkada Langsung, Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Surakarta, KOMPIP. OC.Kaligis, 2009, Perkara-Perkara Politik dan Pilkada di Pengadilan, Bandung, PT. Alumni. Jurnal Intelijen & Kontra Intelijen, 2008, vol.1 No.25, Center For The Study Of Intelligence And Counterintelligence.
Sumber lain: http://google.co.id http://id.wikipedia.org http://zanikhan.multiply.com http://setneg.go.id http://indonesia.go.id http://kpu.go.id
34