MAKALAH KEGIATAN TEMU KADER & LATIHAN KEPEMIMPINAN SYLVA INDONESIA “Pengaruh Pemberdayaan Lembaga Adat Sebagai Solusi Pengamanan Kawasan Hutan Lindung”
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN PCSI. UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1 2. Rumusan Masalah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .2 3. Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .2 BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Hutan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3 2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3 3. Pemberdayaan Masyarakat. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5 BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 DAFTAR PUSTAKA
BAB I. PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan, bahwa hutan berdasarkan statusnya dikelompokkan menjadi Hutan Negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyaraklah salah satu bagian dari ulayat masyarakat hukum adat, berfungsi sebagai lebensraum dan cadangan penghidupan masa depan adat, sedangkan Hutan Hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik, lazim disebut hutan rakyat (Suharjito, et al., 2002). Kajian pengelolaan hutan dan eksistensi masyarakat lokal dalam perubahan sosial budaya, ekonomi, dan demografi terhadap kelestarian sumberdaya hutan tetap menjadi isu yang menarik di tingkat lokal, nasional, dan global. Secara global isu-isu kehutanan lebih dikaitkan dengan perdagangan karbon, pelestarian kenakaragaman hayati, dan perubahan iklim dan ditingkat nasional lebih menyoroti potensi kemiskinan masyarakat sekitar hutan (Chomitz et al. 2007; Mackinnon 1993). Pada tingkat lokal, antara isu konservasi dengan pemanfaatan lokal sumberdaya hutan lebih mendapat perhatian serius. Hal ini terkait dengan banyaknya konflik-konflik pengelolaan sehingga melahirkan perubahan paradigma pembangunan kehutanan yang mengutamakan masyarakat lokal. Paradigma Negara ke berbasis masyarakat; sentralistik ke desentralisasi; dari gagasan modern, state based ke gagasan tradisional, community based, dan dianggap magis; berbasis kayu ke pengelolaan seluruh ekosistem (Lynch dan Talbott 2001; Suharjito et al. 2000). Dari pembangunan berbasis ekonomi, ekologi, dan sosial budaya yang berbasis kesejahteraan dan kelestarian ekosistem (Darusman 2002; Awang 2004). Hutan adat adalah salah satu bagian dari ulayat masyarakat hukum adat, berfungsi sebagai lebensraum dan cadangan penghidupan masa depan.sebagai sumber penghidupan, masyarakat hukum adat berkewajiban menjaga fungsi dan kelestarian hutan. Kearifan lokal ini terbukti mampu menjaga kelestarian lingkungan sehingga diakui Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, (Moniaga, 2004). Masyarakat adat memiliki prinsip-prinsip atau norma-norma tradisional yang dihormati dan
dipratekkan oleh komunitas masyarakat adat dalam mengelola lingkungan sekitar, yaitu antara lain ketergantungan manusia terhadap alam dan masyarakat. Keberadaan hutan adat sebagai sumberdaya milik komunal masih diakui oleh masyarakat yang dikelola berdasarkan aturan-aturan adat. Namun disisi lain ada isu yang mengatakan bahwa pengakuan hutan adat harus melalui peraturan daerah. Padahal menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan berdasarkan putusan MK tersebut, kawasan hutan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian kehutanan, terdiri atas hutan Negara, hutan hak, dan hutan adat. 2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, makalah ini menjelaskan strategi adaptasi
lembaga adat dalam mengelola kawasan hutan lindung, sehingga mampu menjaga dan mempertahankan kelestarian hutan tersebut. Dengan demikian rumusan masalah makalah ini adalah : a. Bagaimana peranan lembaga adat dalam pengamanan sumberdaya hutan lindung ? b. Bagaimana implikasi pemberdayaan lembaga adat terhadap kelestarian hutan lindung ? 3.
Tujuan Tujuan dari makalah ini adalah :
a. Untuk menjelaskan peranan lembaga adat, mengetahui bagaimana strategi dalam pengelolaan kawasan hutan dan bagaimana implikasi terhadap kelestarian. b. Untuk
menganalisis
pengelolaan hutan.
implikasi
pemberdayaan
lembaga
adat
dalam
BAB II. PEMBAHASAN 1.
Pengertian Hutan Menurut UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, Hutan adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Menurut Soetrisno (2000), hutan adalah suatu asosiasi tumbuhan dimana pohon-pohon atau tumbuhan berkayu lainnya secara predominan menemapati wilayah yang luas dan keberadaannya cukup rapat sedemikian sehingga mampu menciptakan iklim yang berbeda dengan diluarnya. Hutan adat Menurut UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Namun, Kamis 16 Mei 2013 Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian judicial review UU Kehutanan No 41 tahun 1999 yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dengan keputusan ini MK menegaskan hutan adat bukan hutan negara. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Kata ―negara dalam Pasal 1 angka 6 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945,” kata Akil Mochtar, Ketua MK saat membacakan amar putusan, sore itu. Dengan keputusan ini, kata ‘negara’ dalam Pasal 1 angka 6 itu tidak memiliki kekuatan hukum dan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. 2.
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Masyarakat lokal sebagai bagian integral dari ekosistem hutan telah
memanfaatkan hutan sebagai ruang dan sumber kehidupan secara interaktif. Masyarakat membangun sistem nilai yang adaptif selaras ekologi dan system nilai budaya yang berfungsi mengatur kelangsungan ekosistem yang teraktualisais dalam kearifan lokal, yaitu aturan tradisional yang telah berlangsung lama secara lintas generasi dalam mewujudkan keseimbangan social ekonomi dan keberlanjutan fungsi lingkungan dan konservasi hutan (Anshari et al 2005).
Masyarakat desa hutan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan adat istiadat sejak dulu dikenal memiliki kemampuan mengelola hutan secara arif dan bijaksana. Ritual yang telah diturunkan dari generasi ke generasi merupakan salah satu aspek kelestarian dalam pengelolaan sumber daya alam (Gonner 2001). Pengelolaan lokal yang sudah dilakukan secara turun-temurun dapat mendukung pengelolaan hutan lestari sekaligus mengembalikan hak-hak masyarakat yang menjadi salah satu sumber konflik sumberdaya selama ini (Awang 2004). Menurut awang ada beberapa alasan mengapa pengelolaan hutan berbasis masyarakat relevan dikembangkan di Indonesia, antara lain: pertama, laju pertambahan penduduk Indonesia dipedesaan akan terus meningkat di satu sisi dan luas lahan tidak meningkat, sehingga perlu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas hutan. Kedua, kemiskinan dan peluang kerja yang sangat sempit justru banyak terjadi disekitar kawasan hutan karena sebagian sumberdaya hutan merupakan milik Negara. Ketiga, tuntutan demokrasi yang semakin membuka peluang masyarakat mengambil peluang aktif dalam pengelolaan hutan. Keempat, model kehutanan yang dikembangkan pemerintah sejak Orde Lama hingga Orde Baru ternyata tidak membuat hutan semakin baik, namun justru semakin hancur. Kelima, munculnya konflik dikawasan hutan Negara antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan pengusaha, antar masyarakat, akibat kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Alasan lainnya bahwa masyarakat yang bermukim di sekitar hutan mempunyai pengetahuan lokal yang turun-temurun terbukti melestarikan hutan dan secara hokum adat mereka adalah bagian dari ekosistem hutan (Darusman 2002). Pentingya pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat juga dikuatkan oleh Korten (1986) dengan tiga alasan, yaitu: (a) Local Variety, bahwa masyarakat lokal mempunyai karakteristik lingkungan yang beragam baik dalam aspek biofisik, sesial dan ekonomi yang harus ditanggapi secara cepat dan tepat, (b) Local Resource, sunberdaya berada ditengah-tengah masyarakat yang dibutuhkan dan saling ketergantungan, dan (c) Local Accountability, bahwa masyarakat yang mempunyai ketergantungan terhadap sumberdaya akan memiliki
komitmen dan tanggung jawab penuh untuk mengelola sumberdaya tersebut secara bijaksana dengan prinsip kearifan lokal yang dimiliki. Dari pemahaman diatas, sesungguhnya pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan adaptasi, karena terjadinya perubahan lingkungan yang memperngaruhi kehidupan masyarakat. Untuk memelihara pengelolaan lokal yang adaptif dengan konteks kekinian, maka pengelolaan hutan berbasis masyarakat harus diletakkan pada mekanisme pengelolaan melalui kebijakan kelembagaan sosial budaya yang sudah ada turun-temurun. Berbagai studi mengemukakan bahwa pereanan kelembagaan sangat berpengaruh terhadap kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya (Fraser 2002; Adimihardja 1992; Kartodiharjo 2006; Claridge dan O’Callaghan 1995; Sembiring 1999; Budhisantoso 2002; Golar 2007). Peranan tersebut tercermin antara lain dalam pelaksanaan nilai-nilai, norma, hukum, dan sangsi hubungan-hubungan sesial dan perilaku baik secara individu maupun bersama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara lestari. Contohnya adalah modal social masyarakat Banten Kidul yang mampu mengelola hutan secara arif dan lestari (Suharjitodan Saputro 2008). 3.
Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat sebagai terjemahan dari kata empowerment
mulai ramai digunakan dalam bahasa sehari-hari di Indonesia bersama-sama dengan istilah pengentasan kemiskinan (Povertyalleviantion) sejak itu, istilah pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan merupakan “ saudara kembar” yang selalu menjadi topik dari kata kunci dari upaya pembangunan (Mardikanto, 2010). Istilah pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai upaya memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh individu, kelompok dan masyarakat luas agar mereka memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan dan mengontrol lingkungannya
agar
dapat
memenuhi
keinginan-keinginannya,
termasuk
akseisbilitasnnya terhadap sumberdaya terkait dengan aktivitas sosialnya (Mardikanto,2010). Pengelolaan adaptif terhadap kelestarian berkaitan dengan persoalan lingkungan yang semakin kompleks untuk memilih pilihan. Barlett (1980),
mengemukakan pilihan petani dipengaruhi dua aspek, pertama lingkungan alami (curah hujan produksi kakao di Nigeria timur), suhu, tipe tanah, irigasi (India Selatan), arah angin, kemiringan; tidak mengadopsi varietas baru. Kedua, lingkungan manusia (sosial, politik, dan ekonomi) merupakan factor yang menghambat dalam produksi pertanian. Karena itu, World Bank (2001) mengartikan pemberdayaan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kapada kelompok masyarakat miskin untuk mampu dan berani bersuara (voice) atau menyuarakan pendapat, ide dan gagasan-gagasannya serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice) sesuatu (konsep, metode produk, tindakan dll) yang terbaik bagi pribadi, keluarga dan masyarakat, dengan kata lain pemberdayaan masyarakat merupakan roses meningkatkan kemampuan dan sikap kemandirian masyarakat. Pengelolaan adaptif tidak terlepas dari peranan institusi untuk mengatur aktifitas pengelolaan sumberdaya dikemukakan oleh Roy (1998) bahwa salah satu peran institusi itu tidak hanya dapat dilihat pada pertumbuhan hutan, tetapi perubahan sikat masyarakat dan pengguna hutan terhadap pengelolaan dan kepercayaan masyarakat pada kemampuan masyarakat desa yang tergabung dalam program. Ini memudahkan upaya untuk memonitor perubahan yang terjadi dan menyelesaikan konflik-konflik horizontal baik yang berhubungan dengan pengelolaan hutan maupun tidak serta adanya kontrol masyarakat terhadap hutan. Olsson et al. (2004) menjelaskan bahwa Ecomuseum Kristiansdats Vattenrike (EKV) merupakan organisasi fleksibel sebagai jembatan para aktor lokal dengan pemerintah dalam pengelolaan adaptif lahan basah. EKV menopang kondisi social, politik, dan ekonomi untuk meningkatkan daya tahan dari system sosial ekologi baru. Perubahan sosial itu penting untuk peningkatan kapasitas dalam mengatur keberlanjutan ekosistem bagi kesejahteraan manusia. Tekanan lingkungan dapat merubah pengelolaan yang adaptif menjdai mal-adaptif. Tekanan ekonomi dan lemahnya sistem sosial dapat menjadi penyebab terjadinya praktek yang merusak lingkungan (Mardiyanto 1999; Amilda dan Laksono 2004; Nath et al. 2005). Rendahnya kapasitas menyebabkan daya tahan ekologis menjadi terbatas (Lebel et al. 2006; Abel et al. 2006). Tekanan
lingkungan tidak selamanya bersifat mal-adaptif. Seperti yang dilakukan masyarakt sawu menyesuaikan perubahan lingkungan dengan memanfaatkan pohon ontar sebagai sumber kehidupan baru akibat perubahan ekologi (Fox 1996; Sundawati 2001). Perubahan perilaku masyarakat sawu dengan memaksimalkan pohon lontar sebagai sumber ekonomi rumah tangga menyebabkan daya dukung alam meningkat dari 49 per km² menjadi 361 jiwa per km² (Sundawati 2001).
BAB III. PENUTUP 1.
Kesimpulan Berdasarkan dari hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan yaitu
sebagai berikut: a.
Hutan adat merupakan salah satu bagian dari ulayat masyarakat hukum adat, yang dimana memiliki fungsi sebagai lebensraum dan cadangan penghidupan masa depan, sebagai sumber penghidupan.
b.
Masyarakat adat atau lembaga adat umumnya mempunyai kemampuan membagi hutan (leuweung), sesuai dengan fungsinya dan mempunyai batasbatas yang jelas di lapangan baik berupa batas alam maupun berupa tanaman atau lainnya.
c.
Masyarakat adat memiliki prinsip-prinsip atau norma-norma tradisional yang dihormati dan dipratekkan oleh komunitas masyarakat adat dalam mengelola lingkungan sekitar, yaitu antara lain ketergantungan manusia terhadap alam dan masyarakat. Keberadaan hutan adat sebagai sumberdaya milik komunal masih diakui oleh masyarakat yang dikelola berdasarkan aturan-aturan adat.
DAFTAR PUSTAKA Adimihardja K. 1992. Kasepuhan yang Tumbuh di atas yang Luruh. Pengelolaan Lingkungan secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Tarsito. Bandung. Amilda L. 2004. Kuasa waris: eksploitasi kelas untuk memperebutkan sumberdaya alam. Pusat Studi Lingkungan Hidup-UGM. Yogyakarta. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol IX No 1 Maret 47-53. Anshari ZA., Zulkifli, Handayani NW. 2005. Aturan-aturan Tradisional : Basis Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum. Wana Aksara. Tangerang. Awang SA. 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. BIGRAF Publising. Yogyakarta. Budhisantoso 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya. E:\Jurnal\Adaptasi
Sosial
Budaya\Pengelolaan
Lingkungan
Sosial,
Ekonomi dan Budaya.htm Chomitz K., Giacomo, DL., Piet Buys, Timothy ST., Sheila WK., 2007. Perluasan Pertanian, Pengentasan Kemiskinan dan Lingkungan di Hutan Tropis. Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia. Salemba Empat. Jakarta. Claridge, C., O’Callaghan B. 1995 (Ed). Community involvement in wetland management: Lesson from the field. Incorporating the Proceeddings of Workshop 3: Wetland, Lokal People and Development. Kuala Lumpur. Darusman D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Laboratorium Polsosek Kehutanan IPB. Bogor.------------------ 2001. Komparasi Antar Usaha Kehutanan. Di Dalam : Risiliensi Kehutanan Masyarakat Indonesia. Debut Press. Yogyakarta. Fox J. 1996. Panen Lontar. Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Fraser 2002. Making Forest Policy Work. Kluwer Academic. Netherlands. Gonner C. 2001. Pengelolaan Sumberdaya di Sebuah Desa Anak Benuaq: Strategi, Dinamika dan Prospek : Sebuah Studi Kasus dari Kalimantan
Timur, Indonesia. Eschborn. Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit. Kartodihardjo H. 2006. Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan. Telaah Lanjut Analisis Kebijakan Usaha Kehutanan. Bogor: IDEALS. Bogor. Korten DC. 1986. Community Management: Asian Experience and Perpectives. Kumarian Press. Philippines. Lynch OJ., Talbott K. 2001. Keseimbangan Tindakan. Sistem Pengelolaan Hutan Kerakyatan dan Hukum Negara di Asia dan Pasifik (terjemahan ND Sasanti). Elsam. Jakarta. Mackinnon 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mardiyanto 1999. Sasi sebagai sistem pengelolaan sumberdaya perikanan laut secara tradisional di Maluku Tengah. UI. Jakarta. Jurnal PSL Indonesia, Vol.7 (1): 52-60. Mulyana D. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Remaja Rosdakarya. Bandung. Nath TK, Inoue M., Myant H. 2005. Small-scale agroforestry for upland community development: A case study from Chittagong Hill Tracts, Bangladesh. Tokyo. The Japanese Forest Society and Springer-Verlag, No. 10 : 443–452. Roy SB. 1998. Social Indications Towards Institutionalisation of Development Programme. A Case Study from Joint Forest Management dalam Chatterjee, M., Ganesh Y., Raktima M., (Ed), 1998. Policy to Practice of Joint Forest Management. Inter-India Publication. India. Sembiring SN. 1999. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. ICEL-USAID. Jakarta. Sitorus F. 2003. ”Revolusi Cokelat”. pembentukan sosial, struktur agraria, dan kawasan tepian hutan di daratan tinggi Sulawesi, Indonesia. Research Project on Stability of Rain Forest Margins (STORMA)-Deutsche Forschungsgemeinschaft. Ringkasan Naskah Diskusi STORMA No. 1- 11 No. 12 (Desember) hal 20.
Soehartono I. 1999. Metode Penelitian Sosial. Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. PT Remaja Rosda Karya. Bandung. Spradley JP. 1997. Metode Etnografi (Pengantar : Amri Marzali). Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta. Suharjito D., Saputro E. 2008. Modal Sosial Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Pada Masyarakat Kasepuhan, Banten Kidul. Balitbang Kehutanan. Bogor. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 5 N. 4 Desember 2008, hal. 317-335. Suharjito D. 2002. Kebun-talun: strategi adaptasi sosial kultural dan ekologi masyarakat pertanian lahan kering di Desa Buniwangi, Sukabumi Jawa Barat. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta. Sundawati L. 2001. Gottinger beitrage zur land-und forstwirtschaft in den tropen und subtropen: okologie und traditionelle nutzung der lontalpalme (Borassus sundaicus Becc.) auf der Insel Savu, Indonesien. (Abstrak) Dissertation (tidak dipublikasikan). Aus dem Institut fur Waldbau, Abt.II: Waldbau der Tropen der Georg-August-Universitat Gottingen: Federal Republic of Germany. Yin RK 1997. Studi Kasus (Desain dan Metode). Rajawali Pers. Jakarta.