MAKALAH
AKSES MENUJU KEADILAN
(ACCESS TO JUSTICE)
Oleh: Dr. J. Djohansjah, S.H., M.H.
Disampaikan pada PELATIHAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK JEJARING KOMISI YUDISIAL RI, diselenggarakan oleh Puham UII, bekerjasama dengan Komisi Yudisial RI dan NCHR, di Bandung, 30 Juni – 3 Juli 2010
PENGANTAR Topik makalah yang diberikan kepada Penulis, adalah:”Akses Menuju Keadilan” atau yang lebih umum dikenal dengan istilah ”Access to Justice”. Pengertian Akses Menuju Keadilan adalah “Kesempatan atau kemampuan setiap warga negara tanpa membedakan
latar
belakangnya
(ras,
agama,
keturunan,
pendidikan, atau tempat lahirnya) untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan.” Termasuk juga akses bagi masyarakat khususnya bagi kelompok miskin, buta hukum, dan tidak berpendidikan terhadap mekanisme yang adil dan akuntabel (bertanggungjawab) untuk memperoleh keadilan dalam sistem hukum positif melalui lembaga peradilan. Latar belakang faktual yang mendasari lahirnya pemikiranpemikiran mengenai “Akses Menuju Keadilan” adalah kenyataan bahwa tidak semua golongan dalam masyarakat memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh keadilan pada saat menghadapi masalah hukum di pengadilan. Seperti yang dikatakan oleh Warren Burger, seorang hakim Pengadilan di Amerika Serikat pernah mengatakan bahwa: “Sistem Pengadilan telah dipenuhi dengan pengacara yang buas, hakim yang ganas dan pegawai dengan beban kesibukan yang tinggi sehingga tidak dapat menyediakan prosedur yang adil”. Padahal, pendekatan historis dan filsafat selalu menginginkan hukum berkaitan dengan keadilan. Dalam kata lain, pengadilan sebagai pelaksana hukum adalah suatu lembaga yang akan memberikan keadilan bagi mereka yang mencari keadilan, tidak peduli siapapun dan bagaimanapun latar belakangnya. Namun, dalam kenyataannya, hukum sejak semula selalu mengandung potensi untuk cenderung memberikan
1
keuntungan kepada mereka dari golongan yang lebih mampu secara finansial.1 Jurang pemisah antara tujuan ideal hukum, yaitu keadilan dengan kenyataan hidup sehari-hari digambarkan oleh George Bernard Shaw2 sebagai berikut: “The law is equal before all of us, but we are not all equal before the law. Virtually there is one law for the rich and another for the poor, one law for the cunning and another for the simple, one law for the forceful and another for the feeble, one law for the ignorant and another for the learned, one law for the brave and another for the timid, and within family limits one law for the parent and no law at all for the child.”
Celah antara cita-cita keadilan dan praktik pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari telah melahirkan suatu pandangan John Rawls mengenai keadilan. Rawls memandang keadilan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Keadilan mengandung prinsip persamaan (equality); di sisi lain, keadilan juga mengandung prinsip perbedaan (difference). Prinsip persamaan termaktub dalam kalimat “setiap warga negara bersamaan haknya di hadapan hukum”. Di sisi lain, prinsip perbedaan memberikan kewajiban kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan dan perlakuan khusus kepada warga negara yang secara ekonomi dan sosial berada dalam posisi kurang beruntung atau lemah.
1
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hlm. 177. 2 George Bernard Shaw adalah penulis drama Inggris. Kalimat tersebut dikutip dari naskah drama berjudul “Millionairess”. Lihat Laurence, Dan H. (ed), The Bodley Bernard Shaw: Collected Plays with their Prefaces, vol. 6, 1973. Lihat juga Kurniawan, “Runtuhnya Tafsir Hukum Monolitik, Sketsa Wacana Hukum di Tengah Masyarakat yang Berubah”, Jurnal Hukum JENTERA, Edisi 01/Agustus 2002, hlm. 71.
2
Apa yang dikemukakan oleh John Rawls sesungguhnya bukan hal baru bagi kita di Indonesia, prinsip persamaan ini dapat dilihat juga dalam sila ke-5 Pancasila3, alinea IV Pembukaan UUD 19454, dan Pasal 27 UUD 1945.5
Dengan kata lain, negara Republik Indonesia
memberikan perlindungan hukum yang sama bagi seluruh warga negara
Indonesia
keturunan,
atau
tanpa tempat
memandang lahirnya,
dan
dasar latar
agama,
ras/suku,
belakang
ekonomis,
pendidikan, dll.6 Dengan demikian, topik mengenai “Akses Menuju Keadilan” dilandasi oleh semangat untuk melindungi hak-hak warga negara yang secara
ekonomis
kurang
beruntung,
bukan
hanya
pada
saat
menghadapi masalah di peradilan, tetapi juga meliputi haknya untuk memperoleh informasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan lembaga pengadilan. Khusus mengenai pembicaraan tentang Akses Menuju Keadilan sebagai “hak untuk memperoleh informasi”, maka pembahasan materi tersebut
berkaitan erat dengan topik mengenai ”Transparansi” yang
merupakan istilah yang sudah lebih dulu dikenal. Sebagai contoh, dalam Cetak
Biru
Pembaruan
Mahkamah
Agung
yang
dikeluarkan
oleh
Mahkamah Agung tahun 2003, hlm. 205, menyebutkan bahwa ”salah satu bentuk dari transparansi bahwa publik diberikan keleluasaan untuk mengakses informasi. Jaminan untuk mengakses informasi ini akan
3
Sila Kelima Pancasila berbunyi: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 berisi 5 dasar negara yang kemudian dikenal dengan nama ”Pancasila”. 5 Pasal 27 UUD 1945 : ”Segala warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; (2) Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; (3) Setiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” 6 Ali, H. Zainuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 101-102. 4
3
memudahkan
masyarakat
dalam
melakukan
kontrol
terhadap
Mahkamah Agung...”7 Memang antara ”Akses Menuju Keadilan” dan ”Transparansi” memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keduanya disebut-sebut dalam pembahasan mengenai Reformasi Peradilan. Keduanya juga saling berkaitan dengan istilah lain yang juga biasa kita dengar, yaitu ”akuntabilitas peradilan” atau judicial accountability. Pembicaraan mengenai Akses Menuju Keadilan dan Transparansi menjadi topik bahasan yang menarik sehubungan dengan makin meningkatnya Indonesia
tekanan
untuk
masyarakat
melakukan
terhadap
reformasi
yang
jajaran
pengadilan
disesuaikan
dengan
reformasi demokrasi di bidang ketatanegaraan. Namun dalam makalah ini kami tidak membahas mengenai Transparansi, oleh karena topik mengenai Transparansi telah dibahas oleh pemateri sebelumnya. Namun
berbeda
dengan
pengertian
“transparansi”
yang
menitikberatkan pada “akuntabilitas” atau “kontrol” masyarakat kepada badan peradilan, pengertian “akses menuju keadilan” meletakkan titik berat
kepada
pelayanan
sistem
peradilan
kepada
masyarakat,
khususnya golongan masyarakat yang tidak mampu secara finansial.
AKSES MENUJU KEADILAN Pembicaraan mengenai Akses Menuju Keadilan dalam makalah ini berpedoman kepada terms of reference yang diberikan oleh Panitia Penyelenggara seminar ini. Permasalahan dalam pembicaraan “Akses 7
Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003, hlm. 205.
4
Menuju Keadilan” adalah hak setiap orang untuk mendapatkan akses memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan yang merupakan Hak Asasi Manusia. Mengenai Akses Menuju Keadilan Joshua Rozenberg berpendapat: “Few of us give it a second thought. We assume justice will somehow be available, on tab, whenever we need it, but when the time comes to enforce our rights many of us will find it very difficult – if not downright impossible – to obtain true justice from the courts”.8 Sebagai negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana bunyi pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan “Negara
Indonesia adalah negara hukum”; maka negara harus menjamin persamaan setiap orang di hadapan hukum serta melindungi hak asasi manusia. Persamaan di hadapan hukum memiliki arti bahwa semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan perlakuan di hadapan hukum bagi setiap
orang
berlaku
dengan
tidak
membeda-bedakan
latar
belakangnya (ras, agama, keturunan, pendidikan atau tempat lahirnya), untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan. Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah dilengkapi dan disempurnakan dengan UU No. 4 Tahun 2003, secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang, yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Secara implisit makna persamaan kedudukan di hadapan 8
Joshua Rozenberg, The Search For Justice An Anotamy od the Law, Hodder and Stoughton Ltd, 194, hlm. 171. Yang terjemahannya kurang lebih adalah “Beberapa dari kita memberikan suatu permikiran bahwa keadilan telah ada dan tersedia apabila kita membutuhkannya, akan tetapi apabila tiba waktunya untuk melaksanakan hak-hak kita, kita akan mendapatkan kesulitan-kesulitan atau tidak mendapatkannya sama sekali, untuk memperoleh keadilan yang benar dari lembaga peradilan”.
5
hukum dapat ditemukan juga dalam Pasal 37 dan Pasal 38 UU No. 4 Tahun 2004 jo. UU No. 4 Tahun 2003 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, baik persamaan kedudukan di hadapan hukum maupun asas praduga tak bersalah tidak secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal, namun hal itu tersirat
baik
dalam
Konsideran
dan
Penjelasan
Umum
KUHAP,
khususnya dalam angka 3 antara lain ditegaskan: “…asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu UU No. 14 Tahun 1970 harus ditegakkan dalam dan dengan undang-undang ini.” Asas-asas yang dimaksud tersebut, antara lain, adalah: a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di hadapan hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. b. Setiap
orang
yang
disangka,
ditangkap,
ditahan,
didakwa
di
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan
yang
menyatakan
kesalahannya
dan
memperoleh
kekuatan hukum tetap (presumption of innocence). c. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. Dalam hubungan ini Solly Lubis9 menjelaskan bahwa: Yang dimaksud dengan “kedudukan yang sama dalam hukum” dalam Pasal 27 ayat (1) itu adalah meliputi baik bidang hukum privat maupun hukum publik, sehingga karenanya setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dengan mempergunakan kedua kelompok hukum tersebut dan jika ditilik selanjutnya, maka tampak bahwa “hukum” yang dimaksud sebagai alat, sudah 9
Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Alumni, Bandung, 1975, hlm. 112.
6
mencakup segi-segi keperdataan dan kepidanaan, serta cabang-cabang hukum publik lainnya, seperti Hukum Tata Negara, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Acara Pidana/Perdata dan sebagainya, di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut telah tercakup semua hak-hak hukum seperti disebutkan di dalam UUD. Bentuk persamaan perlakuan di hadapan hukum adalah bahwa semua orang berhak untuk memperoleh pembelaan dari advokat sesuai dengan ketentuan undang-undang, sehingga tidak hanya orang yang mampu
saja
yang
dapat
memperoleh
pembelaan
dari
advokat/penasihat hukum tetapi juga fakir miskin atau orang yang tidak mampu juga dapat hak yang sama dalam rangka memperoleh keadilan (access to justice). Pada abad ini Askes Menuju Keadilan dapat digambarkan sebagai berikut: “Justice, as so administered, has to be available to all, on an equal footing. This is the ideal, but one which has never been attained, due largely to inequalities of wealth and power and an economic system which maintains and tends to increase the inequalities”.10 Ada banyak kasus di Indonesia di mana orang dengan mudah bisa menyebutkan bagaimana orang-orang yang sederhana dan tidak punya uang mengalami perlakuan hukum yang tidak adil. Kasus “SengkonKarta” pada akhir 1970-an mungkin merupakan kasus yang paling terkenal
di
Indonesia.
Kemudian
perkara
yang
terbaru,
perkara
terdakwa Prita yang sempat ditahan di Rutan atas laporan penghinaan terhadap RS. Omni Internasional. Pada kasus-kasus tersebut, pihak terdakwa atau terhukum adalah orang-orang lemah secara ekonomis, 10 Justice In The Twenty-First Century; Cavendish Publishing (Australia) Pty Limited, 2000. Yang terjemahannya kurang lebih adalah: “Keadilan, sebagaimana dijalankan, harus tersedia untuk semua, sederajat kedudukannya. Inilah sesuatu yang ideal, tetapi hal ini tidak pernah dicapai, karena terdapat ketidaksamaan kemakmuran dan kekuasaan serta sistem ekonomi yang mempertahankan dan cenderung meningkatkan ketidaksamaan.”
7
sehingga mereka tidak mampu menemukan keadilan yang sepantasnya bagi perkara mereka; atau di mana si terlapor atau terdakwa yang kalah ketika berhadapan dengan laporan pihak lain yang memiliki kekuatan ekonomi besar dan dapat mempengaruhi lembaga peradilan. Untuk memudahkan pembahasan pada makalah ini, maka penulis akan membahas Akses Menuju Keadilan dari 2 (dua) sisi, yaitu bagaimana Akses Menuju Keadilan berdasarkan: (1) sistem hukum acara pidana; dan (2) berdasarkan sistem hukum acara perdata. Pembahasan keduanya perlu dibedakan, karena juga menganut tata cara dan sistem yang berbeda, sekalipun tetap juga memiliki titik-titik persamaan. Selain itu, pembicaraan mengenai Akses Menuju Keadilan juga menyangkut kemudahan bagi masyarakat luas untuk memperoleh informasi mengenai hal-hal yang terjadi di pengadilan. Hal ini didasari pada suatu pendapat bahwa pengadilan selain sebagai lembaga yudikatif, juga merupakan lembaga yang memberikan pelayanan publik kepada semua orang atau kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, pelayanan yang diberikan juga harus mudah dipahami dan mudah didapatkan seperti selayaknya lembaga-lembaga pelayanan publik lainnya. Hal ini berarti bahwa Akses Menuju Keadilan bisa dipandang melalui 2 (dua) sudut pandang yang saling melengkapi. Secara privat, berarti “Bantuan Hukum” dan secara publik berarti “Informasi Hukum”.
8
A. BANTUAN HUKUM Mengenai Bantuan Hukum, Joshua Rozenberg mengatakan: “For many people the legal aid scheme will be no more than a cruel deception – apparently available to help them a problem arises, but in practice priced out of their reach”11 Pada dasarnya, usaha-usaha terhadap Akses Menuju Keadilan telah diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1970, di mana dalam TAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)12, mengenai pembangunan di bidang hukum, telah ditetapkan arah pembangunan bidang kepada: 1)
Peningkatan
dan
penyempurnaan
pembinaan
hukum
nasional
dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu; 2)
penertiban badan-badan penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing;
3)
peningkatan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum;
4)
pembinaan penyelenggaraan bantuan hukum untuk golongan masyarakat yang kurang mampu. Melalui GBHN tahun 1978, maka Indonesia mulai secara aktif
membicarakan Akses Menuju Keadilan yang digambarkan sebagai Bantuan Hukum bagi mereka yang tidak mampu. Pelaksanaan atas GBHN tersebut diwujudkan dengan lahirnya UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yang menggantikan hukum acara peninggalan masa kolonial sebagaimana diatur dalam HIR/RIB dan RBG. Ibid, Joshua Rozenberg, hal. 171. Yang terjemahannya kurang lebih adalah “Untuk banyak orang, bantuan hukum tidak lebih dari tipuan kejam - seharusnya ditujukan untuk membantu mereka yang menghadapi masalah hukum, tetapi dalam prakteknya menuntut biaya diluar kemampuannya”. 12 Ketetapan MPR ini merupakan salah satu pertimbangan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. 11
9
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Akses Menuju Keadilan dalam sistem hukum acara pidana diwujudkan dalam bentuk “Bantuan Hukum”.
Oleh
karena
itu,
apabila
orang
membicarakan
tentang
“Bantuan Hukum”, maka pembicaraan adalah mengenai sistem hukum acara pidana itu sendiri. Pengertian ini sedikit berbeda jika kita berbicara dalam konteks sistem hukum acara perdata. Bantuan Hukum tidak mengenai sistem hukum acara perdata, karena di dalam hukum acara perdata, tidak ada kewajiban khusus bagi pemohon atau penggugat untuk menggunakan Penasihat
Hukum.
Setiap
orang
dapat
mengajukan
sendiri
permasalahan hukumnya langsung kepada pengadilan. Masuknya ketentuan mengenai “Bantuan Hukum” dalam Hukum Acara Pidana ini dipandang sebagai suatu tonggak penting dalam perlindungan HAM di Indonesia, selain itu mengingat masalah Bantuan Hukum ini merupakan hal yang esensi dalam setiap sistem hukum di negara-negara modern. Oleh karena itu, kami akan menguraikan mengenai bagaimana sistem hukum acara pidana Indonesia dalam UU No. 8 Tahun 1981 mengatur tentang “Bantuan Hukum” tersebut.
1) Akses Menuju Keadilan Dalam Sistem Hukum Acara Pidana Bantuan hukum merupakan pelaksanaan Pasal 1 ayat (1) KUHP13 yang lazim disebut sebagai asas legalitas. Asas legalitas sendiri adalah asas umum Hukum Pidana yang berlaku universal. Meskipun tidak secara nyata menyebut tentang bantuan hukum, namun pasal 1 KUHP 13
Pasal 1 Ayat (1) KUHP berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
10
ini mempunyai substansi dan tujuan yang sama, yaitu sebagai perlindungan hukum atas hak kebebasan dan jiwa raga seorang tersangka atau terdakwa. Sehingga adalah layak juga apabila bantuan hukum dipandang sebagai wujud nyata atas asas legalitas.14 Bantuan hukum adalah instrumen penting dalam Sistem Peradilan Pidana karena merupakan bagian dari perlindungan HAM, khususnya terhadap
hak
pertanyaan
atas
paling
kebebasan mendasar
dan
adalah
hak
atas
apakah
jiwa-raga.
bantuan
Namun
hukum
itu
bersifat wajib ataukah baru diwajibkan setelah beberapa syarat tertentu dipenuhi. Berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, seseorang yang dituntut untuk kejahatankejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 tahun harus dibantu oleh Penasihat hukum, atau bantuan hukum lain dari Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh Lembaga Swadaya Masyarakat.15 Hak untuk dibela advokat dan perolehan bantuan hukum bagi fakir miskin sudah ada sejak dahulu sebagaimana diatur dalam Reglement op de rechtsvordering (Rv) bagi golongan Eropa (Europeans) dan HIR bagi golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen). Namun tidak ada jaminan serupa bagi masyarakat golongan pribumi. Apabila melihat Pasal 54 KUHAP maka pada prinsipnya hak atas bantuan hukum tersebut diakui, tetapi tidak termasuk ke dalam hak yang bersifat “wajib”. Ada kondisi atau syarat tertentu yang harus dipenuhi sebelum hak atas bantuan hukum tersebut menjadi 14 Merupakan pendapat O.C. Kaligis dalam Disertasinya berjudul: “Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa Dan Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 15 Access to Justice in Indonesia, Special Note on Indonesia’s Transitional Era and Corruption by Maruarar Siahaan, Access to Justice in Asian and European Transitional Countries, Bogor, 27-28 June.
11
“wajib”. Pasal 56 Ayat (1) dan (2) KUHAP menyatakan bahwa syarat khusus tersebut menyangkut: (a) kemampuan (finansial); dan (b) ancaman hukuman bagi tindak pidana yang disangkakan. Apabila ketentuan wajib tersebut diabaikan, akan menimbulkan akibat tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima atau mengakibatkan Penyidikan menjadi tidak sah. Pendirian pengadilan seperti itu dapat dilihat dalam salah satu putusan Mahkamah Agung No. 1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993. Dalam kasus ini, proses pemeriksaan Penyidikan melanggar pasal 56 ayat (1) KUHAP, yakni Penyidikan berlanjut terhadap Tersangka tanpa didampingi oleh penasihat
hukum.
Pelanggaran
ini
dijadikan
alasan
kasasi,
dan
dibenarkan oleh peradilan tingkat kasasi, dengan pertimbangan: “Apabila syarat-syarat penyidikan tidak dipenuhi seperti halnya Penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi Tersangka sejak awal Penyidikan, tuntutan Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima.” Kondisi dan syarat-syarat seperti itu menimbulkan ketidakpastian, khususnya mengenai bagaimana penyidik bisa menilai apakah seorang tersangka mampu secara finansial atau tidak untuk membayar jasa Penasihat Hukum. Tampaknya, syarat ini diadakan karena pada awal terbentuknya, KUHAP mencoba untuk mencari kompromi antara dua keadaan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu, yaitu kondisi
di daerah-daerah terpencil di Indonesia, di mana penegakan
hukum tetap harus berjalan sekalipun tidak ada tenaga penasihat hukum.
12
Contoh lain, dalam kasus “Bom Kuningan” dengan Terdakwa Joko Triharmanto dan Purnama Putra.16 Pada saat dakwaan dibacakan, kedua Terdakwa tersebut tidak didampingi oleh Penasihat Hukum, padahal ancaman hukuman maksimal yang didakwakan kepada mereka adalah hukuman mati sesuai Pasal 9 dan 13 huruf b Perpu No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Juncto UU No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1/2002 menjadi UU. Rencananya kedua terdakwa tersebut didampingi oleh Penasihat Hukum dari Mabes Polri, namun tanpa ada keterangan yang jelas Penasihat Hukum tersebut tidak hadir di persidangan. Terhadap tidak adanya Penasihat Hukum para Terdakwa, maka Majelis Hakim meminta Jaksa Penuntut Umum untuk memastikan kedua terdakwa harus didampingi oleh Penasihat Hukum pada persidangan selanjutnya, mengingat ancaman pidana yang didakwakan adalah pidana mati. Pada masa sekarang mengenai bantuan hukum secara cumacuma diatur dalam pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun
2003
memberikan
tentang bantuan
Advokat hukum
yang
secara
berbunyi: cuma-cuma
“Advokat kepada
wajib pencari
keadilan yang tidak mampu”; dan juga diatur dalam Peraturan pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma; sebagai peraturan pelaksana dari pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam pasal 1 angka (6) PP No. 83 Tahun 2008, disebutkan bahwa “Lembaga Bantuan Hukum adalah lembaga yang memberikan 16
Lihat Harian KORAN TEMPO, tanggal 3 Januari 2006, “Lima Tersangka Bom Kuningan Diadili”, hlm. 6. Lihat ”Diduga Membantu Noordin M. Top, Lima Terdakwa Teroris Mulai Diadili”,
, dikutip pada tanggal 23 Juni 2003. Lihat juga ”Terdakwa Pengebom Kedubes Australia Di Sidang”, , dikutip pada tanggal 23 Juni 2003.
13
bantuan hukum kepada Pencari Keadilan tanpa menerima pembayaran honorarium”. Namun konsep bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka (6) PP No. 83 Tahun 2008 tersebut tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada kenyataannya. Pada kenyataan banyak terdapat kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai organisasi bantuan hukum tapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee, yang menyimpang dari konsep pro bono public yang sebenarnya merupakan kewajiban advokat.17 Hal ini terjadi karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan sanksi bagi advokat yang menolak memberikan bantuan hukum secara cumacuma kepada orang yang tidak mampu membayar. Peraturan yang ada hanya memberikan sanksi oleh Organisasi Advokat kepada advokat yang melanggar ketentuan tersebut berupa sanksi teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap dari profesinya, sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (1) dan (2) PP No. 83 Tahun 2008. Oleh karena itu diperlukan undang-undang bantuan hukum yang mengatur dan memberikan sanksi yang tegas serta mengikat kepada advokat yang menolak memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu dan mempertegas hak konstitusional fakir miskin untuk memperoleh bantuan hukum. Namun
yang
jadi
permasalahan
adalah
bahwa
peraturan
perundang-undangan mengenai bantuan hukum secara cuma-cuma hanya mengatur untuk golongan yang tidak mampu dan fakir miskin, sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka (4) PP No. 83 Tahun 2008 yang berbunyi: “Pencari Keadilan yang tidak mampu yang selanjutnya disebut Pencari Keadilan adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu memerlukan jasa hukum 17
Frans Hendra Winarta, Probono Publico, Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum, hal. 12, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2009
14
Advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum” dan pasal 4 ayat (3) PP No. 83 Tahun 2008 yang berbunyi: “Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pencari Keadilan harus melampirkan keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat yang berwenang”; sehingga bagaimanakah untuk golongan menengah yang tidak dapat digolongankan fakir miskin dan juga tidak dapat dikatakan mampu (kaya) untuk membayar jasa pengaca/advokat, namun ditolak untuk mendapatkan surat keterangan tidak mampu oleh pejabat yang berwenang dengan alasan termasuk golongan yang mampu untuk membayar jasa pengacara/advokat ? Mengenai bantuan hukum Jerold Auerbach berpendapat bahwa: “Throughout the 20th century, as judges and lawyers have monotonously conceded, legal institutions have defaulted on their obligation to provide justice for all. This is surely because the ideal of equal justice is incompatible with the social realities of unequal wealth, power, and opportunity, which no amount of legal formalism can disguise”.18
Dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, aspek terpenting dalam bantuan hukum adalah segi pendanaan. Kondisi financial sangat penting dalam menentukan pengembangan program bantuan hukum. Segi pendanaan untuk bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu seharusnya merupakan tanggung jawab negara. Jika negara mengabaikan tugas konstitusionalnya untuk membiayai gerakan bantuan hukum dan tidak mengalokasikan anggaran tertentu dalam
18
Justice In The Twenty-First Century; Cavendish Publishing (Australia) Pty Limited, 2000. Hal. 82. terjemahannya kurang lebih adalah: ”Sepanjang abad 20, para hakim dan para pengacara terus-menerus mengakui bahwa lembaga-lembaga hukum sudah gagal memenuhi kewajiban mereka untuk menyediakan keadilan untuk semua. Hal ini terjadi karena ide dari keadilan yang sama ternyata tidak sejalan dengan kenyataan-kenyataan sosial dari kemakmuran yang tidak merata, kekuasaan dan kesempatan, di mana tidak ada lagi formalisme hukum yang dapat disembunyikan.”
15
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), itu artinya negara tidak memenuhi kewajibannya untuk melindungi fakir miskin. Namun dalam kenyataannya negara tidak menyediakan dana yang signifikan untuk membiayai bantuan hukum bagi orang fakir miskin dan tidak mampu. Contohnya adalah dukungan financial bagi YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang merupakan lembaga bantuan hukum diperoleh dari sumbangan-sumbangan luar negeri, seperti dari Amerika Serikat, Belanda, Swedia, Belgia, Australia, dan Kanada.19 Di India, bantuan hukum diakui sebagai hak konstitusional yang dinyatakan dalam Konstitusi India pasal 21 dan 22, intinya adalah negara di berikan tanggung jawab untuk menyediakan bantuan hukum bagi fakir miskin. Di Filipina, negara membantu pendanaan bagi bantuan
hukum
untuk
orang
miskin
melalui
kejaksaan
agung,
sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1) mengakui hak sipil, politik, ekonomi, budaya dan sosial fakir miskin tetapi belum menyediakan
dana
Pembelanjaan seharusnya
signifikan
Negara
(APBN)
menyediakan
dana
dalam bagi yang
Anggaran bantuan diambil
Pendapatan hukum.20 dari
dan
Negara
APBN
bagi
terselenggaranya bantuan hukum. Sedangkan dalam perkara pidana, Pasal 56 ayat (1) KUHAP menjamin bahwa untuk perkara-perkara pidana dengan ancaman hukuman mati atau hukuman lebih dari 15 tahun atau ancaman hukuman lebih dari 5 tahun bagi mereka yang tidak mampu, negara melalui pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum. Pada masa lalu, setiap pengadilan dapat menunjuk Penasihat Hukum yang tersedia 19 20
2009
Ibid, Frans Hendra Winarta, hal. 15 Frans Hendra Winarta, “Suara Rakyat Hukum Tertinggi”, PT Kompas Media Nusantara,
16
di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang umumnya ada di setiap pengadilan negeri. Sekarang ini dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma; maka diharapkan orang yang tidak mampu membayar jasa advokat/penasihat hukum dapat meminta bantuan hukum secara cuma-cuma untuk menghadapi perkaranya dan setiap orang yang tidak mampu serta diancam pidana penjara paling sedikit 5 tahun dapat memperoleh penasihat hukum/advokat dalam menghadapi perkaranya di pengadilan. Di Amerika Serikat, setiap proses pidana akan dimulai dengan Miranda Rule yang merupakan hak tersangka sebelum diperiksa oleh penyidik/instansi yang berwenang.21 Hak tersebut antara lain adalah hak untuk diam, karena segala perkataannya dapat digunakan untuk melawannya
di
pengadilan;
hak
untuk
mendapatkan
penasihat
hukum/advokat untuk membela hak-hak hukumnya, dan bila ia tidak mampu maka ia berhak mendapatkan penasihat hukum dari negara, yang
diberikan
oleh
pejabat
yang
bersangkutan.22
Hak tersebut
merupakan bagian dari hak untuk memperoleh keadilan. Miranda Rule hanya merupakan penegasan saja terhadap hak-hak asasi manusia untuk memperoleh keadilan yang telah ada sebelumnya. Keadilan di sini termasuk keadilan atas kepastian hukum dalam tata cara mengadilinya. Disamping hak-hak yang telah diatur dalam Miranda Rule sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). Ternyata ada HAM lain yang berkaitan dengan Miranda Rule yang telah pula diakomodasi dalam peraturan21 M. Sofyan Lubis, ; Prinsip “Miranda Rule”Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan; Hal. 15; Pustaka Yustisia, 2010. Miranda Rule berbunyi: “You have the right to remain silent. You have the right to the pressence of an attorney. If you cannot afford an attorney, one will be appointed for you. (huruf tebal oleh Penulis) Anything you say can and will be used against you.” Terjemahan: “Anda berhak untuk diam. Anda berhak atas kehadiran penasihat hukum. Jika anda tidak mampu menunjuk penasihat hukum, maka negara akan memilihkan. Apapun yang anda katakan dapat dan akan digunakan untuk menuntutmu.” 22 Ibid, M Sofyan Lubis, hal. 22
17
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun prinsip-prinsip yang ada di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah sebagai berikut: •
Hak untuk dianggap sama di depan hukum (pasal 17 UU HAM)
•
Hak untuk mendapat bantuian dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif (pasal 5 ayat (2) UU HAM).
•
Hak memperoleh keadilan dari pengadilan yang jujur dan adil.
•
Hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum diputuskan oleh hakim (pasal 18 ayat (1) UU HAM)
•
Hak untuk dituntut hanya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku
•
Hak
untuk
mendapatkan
ketentuan
hukum
yang
paling
menguntungkan tersangka, jika perubahan aturan hukum (pasal 18 ayat (3) UU HAM) •
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (pasal 18 ayat (4) UU HAM)
•
Hak untuk dituntut pidana hanya berdasar aturan hukum yang telah ada sebelumnya (pasal 18 ayat (2) UU HAM)
•
Hak untuk tidak dituntunt untuk kedua kalinya dalam kasus yang sama (pasal 18 ayat (5) UU HAM)
•
Hak untuk mendapat jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya (pasal 18 ayat (1) UU HAM) Berdasarkan ketentuan pasal 54 dan pasal 114 KUHAP, sebelum
penyidik melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka maka tersangka
wajib
diberitahukan
hak-haknya,
termasuk
untuk
mendapatkan bantuan hukum dengan didampingi oleh penasihat hukum dalam pemeriksaannya. Berdasarkan ketentuan pasal 115 KUHAP penasihat hukum dalam mendampingi tersangka dilakukan dengan cara 18
menyaksikan
dan
mendengar
pemeriksaan
yang
dilakukan
oleh
penyidik, namun dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, penasihat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar
pemeriksaan
terhadap
tersangka.
Adapun
hak-hak
tersangka selama pemeriksaan yang harus dihormati dan diperhatikan oleh penyidik adalah sebagai berikut: •
Hak untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun (pasal 117 ayat (1) KUHAP).
•
Hak untuk dicatat keterangan yang diberikannya dengan setelititelitinya sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri (pasal 117 ayat (2) KUHAP).
•
Hak untuk meneliti dan membaca kembali hasil pemeriksaan sebelum tersangka menandatanganinya (pasal 118 ayat (1) KUHAP). Dari
ketentuan
pasal
114
KUHAP
diatur
bahwa
penyidik
berkewajiban sebelum pemeriksaan dimulai, memberitahukan bahwa tersangka
berhak
mendapatkan
bantuan
hukum
dari
penasihat
hukum/advokat, dan memberitahukan bahwa perkara yang dihadapinya mengharuskan
dirinya
dalam
pemeriksaan
didampingi
penasihat
hukum/advokat. Sesuai dengan prinsip-prinsip Miranda Rule, maka pemberitahuan
tersebut
seharusnya
diberikan
setelah
seseorang
dinyatakan sebagai tersangka, dengan maksud agar tersangka punya waktu untuk menghubungi atau mengupayakan penasihat hukum atau advokat
guna
mengkonsultasikan
permasalahan
yang
sedang
dihadapinya tersebut. Namun yang terjadi selama ini bukanlah demikian, seseorang yang dijadikan tersangka tidak langsung diberitahukan akan hak-hak hukumnya. Pemberitahuan dilakukan pada saat pemeriksaan dimulai, sehingga hal itu mengakibatkan tersangka tidak punya waktu dan
19
kesempatan untuk mencari, menghubungi, dan berkonsultasi dengan penasihat hukum/advokat tentang perkara yang sedang dihadapinya. Pemberitahuan tersebut juga terkesan hanya formalitas. Miranda Rule merupakan aturan yang bersifat universal di hampir semua negara yang berdasarkan hukum mempunyai peraturan hukum yang mirip. Negara Indonesia yang merupakan negara hukum sangat menghormati
Miranda
Rule
yang
dibuktikan
dengan
mengadopsi
Miranda Rule ini ke dalam sistem Hukum Acara Pidana yaitu di dalam pasal 56 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan tindak pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.” Ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP dipandang dari pendekatan strict law atau formalitas legal thinking mengandung beberapa aspek permasalahan hukum, antara lain: •
Mengandung aspek nilai Hak Asasi Manusia (HAM), di mana bagi setiap tersangka atau terdakwa berhak didampingi penasihat hukum pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Hak ini tentu sejalan dan/atau tidak boleh bertentangan dengan “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia” yang menegaskan hadirnya penasihat hukum untuk mendampingi tersangka atau terdakwa merupakan sesuatu yang inhaerent pada diri manusia. dan konsekuensi logisnya bagi penegak hukum yang mengabaikan hak ini adalah bertentangan dengan nilai HAM.
20
•
Pemenuhan hak ini oleh penegak hukum dalam proses peradilan pada semua tingkat pemeriksaan menjadi kewajiban dari pejabat yang bersangkutan apabila tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan diancam pidana mati atau 15 tahun atau lebih, atau bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri. Berdasarkan ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP ini tentu kehadiran dan keberadaan
penasihat
hukum
mendampingi
tersangka
bersifat
imperatif, sehingga kalau mengabaikannya maka mengakibatkan hasil pemeriksaan atau hasil penyidikan tidak sah atau batal demi hukum. •
Pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat menjadi salah satu patokan Miranda Rule di Indonesia. Apabila perkara
pemeriksaan/penyidikan, tersangka/terdakwa
di
penuntutan persidangan
atau tidak
pemeriksaan didampingi
penasihat hukum maka sesuai dengan Miranda Rule, hasil penyidikan tidak sah (illegal) atau batal demi hukum (null and void).23 Kewajiban pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasihat hukum pada suatu tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan tersebut tidak berlaku/gugur atau terdapat pengecualian dalam hal sebagai berikut: a. sebelum
pemeriksaan
dimulai
tersangka/terdakwa
telah
mempunyai penasihat hukum sendiri yang telah ia tunjuk sendiri atau atas tunjukan dari keluarga tersangka tersebut; b. Tersangka atau terdakwa tersebut diancam dengan pidana kurang dari 5 (lima) tahun (sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP).
23
Ibid, M. Sofyan Lubis, hal. 34
21
Namun dalam hal tersangka menolak untuk didampingi oleh penasihat hukum, maka guna terciptanya transparansi penegakan hukum, pihak penyidik seyogyanya membuat berita acara penolakan tersangka
atau
membuat
surat
pernyataan
dari
tersangka
yang
bersangkutan yang isinya menolak adanya penasihat hukum dalam perkara yang dihadapinya, dan mengenai adanya surat pernyataan penolakan
dari
ditandatangani
tersangka pula
oleh
tersebut penasihat
harus hukum
diketahui yang
dan
turut
bersangkutan
tersebut.24
2) Akses Menuju Keadilan Dalam Sistem Hukum Acara Perdata Setiap
orang
mempunyai
persamaan
di
hadapan
hukum,
sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 27 UUD 1945, sebagai ide atau gagasan atau cita-cita hukum. Asas persamaan hak disebut juga sebagai asas “equality before the law”. Dalam praktik sehari-hari dikatakan bahwa pengadilan wajib menjunjung tinggi prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagai bentuk keadilan. Penerapan prinsip equality dapat dipandang sebagai landasan paling hakiki bagi kekuasaan kehakiman. Melalui prinsip ini kekuasaan kehakiman dituntut untuk memberikan berbagai hak (kepentingan) individual yang terlibat pada suatu perkara, dan keseimbangan antara hak-hak individual tersebut dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas cakupannya. Dalam dimensi universal, hakim wajib memperhatikan asas simillia similibus (kasus serupa diperlakukan serupa). Secara kontekstual, hakim justru mendapati kasus-kasus yang seolah-olah serupa, tetapi sesungguhnya tidak mewakili konstelasi hak (kepentingan) yang serupa pula. Setiap kasus memiliki keunikan yang 24
Ibid, M. Sofyan Lubis, hal. 40.
22
pada akhirnya harus diperlakukan secara khusus pula. Jika generalisasi perlakuan terjadi, justru akan melukai rasa keadilan, sebagaimana diungkapkan dalam slogan summun ius summa injuria (hukum yang mutlak adalah ketidakadilan terbesar).25 Dengan demikian penerapan asas equality before the law harus tercermin dalam proses beracara di pengadilan, bukan pada putusan perkaranya. Penerapan asas equality before the law perlu diterapkan sejak pertama kali seorang pencari keadilan mendaftarkan gugatan atau tuntutannya sampai kepada putusan dan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan Pasal 237 -
241 HIR / Pasal 272 – 281 RBg telah
mengatur bahwa orang-orang yang betul-betul tidak mampu membayar bisaya perkara boleh minta izin kepada Ketua Pengadilan Negeri agar berperkara
secara
keterangan
dari
cuma-cuma
kelurahan
(prodeo)
(sekarang
ini
disertai
dengan
surat
dikenal
dengan
“surat
keterangan miskin”). Ketentuan Pasal 118 HIR / 142 RBg mengatur gugatan yang dibuat
dengan
tulisan
tangan
dan
ditandatangani
sendiri
oleh
Penggugat. Ketentuan Pasal 120 HIR / 144 RBg mengatur juga tentang gugatan yang tidak tertulis bagi orang yang tidak bisa baca-tulis. Penggugat dapat datang ke pengadilan dan mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk mengajukan gugatan tidak tertulis. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk hakim atau panitera yang akan membantu pemohon/penggugat untuk membuat gugatannya secara tertulis. Dengan mengajukan sendiri gugatannya, pemohon atau 25
J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Kehakiman, Kesaint Blanc, Jakarta, 2008, hlm. 68.
23
Kepada
Independensi
Kekuasaan
masyarakat tidak wajib menggunakan jasa advokat (kecuali dalam perkara kepailitan). Perkara perdata yang mencerminkan keberpihakan pengadilan terhadap nasib rakyat miskin, dapat dicermati dalam kasus KedungOmbo. Perkara Kedung-Ombo ini merupakan contoh konkrit bagaimana pengadilan menerapkan prinsip equality dan prinsip keadilan dari John Rawls dan Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa memaksimalkan persamaan penghasilan akan tercapai apabila setiap orang dilindungi dalam batas-batas tertentu agar ia dapat leluasa bergabung dalam aktivitas produksi. Bagaimana kesejahteraan itu ditentukan oleh bentuk dan besar-kecilnya masyarakat yang akan menikmati atau terkena akibat dari suatu kebijakan.26 Konsep keadilan sosial dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung RI No. 2263 K/Pdt/1991 tanggal 20 Juli 1991, yang dikenal dengan perkara Kedungombo. Proyek bendungan Kedungombo adalah proyek pemerintah yang berguna untuk meningkatkan padi dalam rangka program swasembada beras. Proyek tersebut menyebabkan beberapa desa yang berada di areal bendungan harus dibebaskan. Pembebasan dan ganti rugi belum lagi selesai ketika bendungan berfungsi dan rumah-rumah penduduk digenangi air. Putusan MARI tersebut memenangkan gugatan para petani dan memberikan ganti rugi lebih daripada tuntutan dalam gugatan mereka. Putusan kasasi MARI tersebut mewakili konsep keadilan sosial. Setiap kesejahteraan berarti persamaan kesejahteraan dan hal itu berarti
juga
perlindungan
terhadap
26
masyarakat
marjinal
agar
Posner, Richard A., the Economics of Justice, Harvard University Press, Cambridge, 1983, hlm. 91
24
merekapun dapat dengan leluasa ikut atau menikmati aktivitas ekonomi tersebut. Proyek bendungan Kedung Ombo adalah proyek yang baik bagi masyarakat petani di Jawa Tengah maupun masyarakat Indonesia secara keseluruhan karena mendukung tujuan swasembada pangan. Tetapi penduduk yang akan kehilangan tanah dan rumahnya tidak boleh menjadi penonton atau “korban” atas proyek tersebut. Penduduk yang terkena proyek juga harus ikut menikmati keberadaan proyek tersebut melalui aktivitas ekonomi berupa ganti rugi atas tanah dan rumah mereka.27 Kasus
Kedung
Ombo
berawal
pada
tahun
dimulainya pembangunan waduk Kedung Ombo yang
1982,
dengan
menyebabkan
6.576 Hektar lahan harus dibebaskan. Proyek tersebut terletak di 3 (tiga) keresidenan: Semarang, Pati dan Surakarta, dan 9 (sembilan) kabupaten: Semarang, Demak, Kudus, Pati, Blora, Grobogan, Jepara, Boyolali dan Sragen. Jumlah seluruh penduduk yang terkena dampak pembebasan tanah akibat proyek meliputi 5.268 kepala keluarga atau sekitar 30.000 jiwa. Pembebasan tidak berjalan lancar. Sampai waduk Kedung Ombo diresmikan pada tanggal 18 Mei 1991, masih sekitar 600 keluarga yang menolak ganti rugi dan tetap bertahan di daerah genangan. 34 orang di antara keluarga yang menolak ganti rugi kemudian mengajukan gugatan ke PN Semarang dengan tuntutan agar diberikan ganti rugi yang wajar sebesar Rp 10.000,- / meter persegi. Pada
tanggal
20
Desember
1990,
melalui
putusan
No.
117/Pdt/G/1990/PN.Smg, gugatan para penggugat dinyatakan ditolak. 27
Menciptakan keseimbangan antara kepentingan umum (algemeen belang) di satu sisi dengan kepentingan individual (individueel belang) di sisi lain bukanlah merupakan persoalan yang mudah. Di masa Orde Baru, kepentingan umum selalu didahulukan atau dikedepankan. Pemerintah atas nama negara memiliki hak untuk mencabut atau mengabaikan hak-hak individu demi kepentingan umum. Perkembangan dewasa ini telah berubah. Seiring keikutsertaan Indonesia dalam berbagai konvensi internasional HAM, maka hak-hak yang dianggap sebagai non-derogable rights tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun, termasuk oleh pemerintah sekalipun.
25
Pada tanggal 9 April 1991, Pengadilan Tinggi Semarang dalam putusan No.
143/Pdt/1991/PT.Smg,
ternyata
menguatkan
putusan
PN
Semarang. Warga kemudian mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung
yang
pada
tanggal
28
Juli
1993,
dalam
putusan
No.
2263K/Pdt.1991, Majelis Hakim Agung (Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja; A.M. Manrapi; dan R.L. Tobing) kasasi para warga Kedung Ombo.
mengabulkan permohonan
Bahkan putusan kasasi Mahkamah
Agung memerintahkan agar pemerintah membayar ganti rugi yang jauh lebih besar (Rp 50.000,- / meter persegi) dari tuntutan yang diminta oleh warga Kedung Ombo. Bahkan Majelis Hakim menetapkan kerugian imaterial sesuai dengan petitum ex aequo et bono sebesar Rp 2 Milyar. Mejelis Hakim Z. Asikin Kusumah Atmadja bependapat bahwa: ”...tanah yang digunakan adalah milik warga berekonomi lemah yang ditempati turun temurun, sehingga setelah mereka rela melepaskan tanahnya seharusnya diberi ganti rugi yang mendekati realitas agar mereka bisa memperoleh tanah pengganti. Perbuatan pemerintah dalam kasus ini adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum, sehingga akibat semua ini, warga telah kehilangan kenikmatan hidup (nilai imaterial) yang seharusnya ditambahkan pada nilai ganti rugi.... uang ganti rugi yang ditetapkan dalam surat keputusan tersebut di atas sangat minim dan tidak manusiawi, sebab uang ganti rugi tersebut di bawah harga umum dan tidak dapat digunakan untuk membeli barang yang sejenis/kualitas/kwantitas yang sama.... uang ganti rugi yang diperoleh dari para Termohon Kasasi tidak dapat/bisa untuk membeli tanah dan rumah sebagaimana yang dimiliki semula.” Berdasarkan ketentuan Hukum Acara Perdata, Hakim dilarang memberikan putusan lebih dari tuntutan yang diminta.28 Risiko atas tindakan tersebut adalah putusan menjadi batal demi hukum.29 Hakim 28
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 178 Ayat (3) HIR: ”Hakim tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih daripada yang digugat” [asas judex non reddit plus quam quod petens ipse requirit atau a judge does not give more than what the complaining party himself demands]. 29 Pada tanggal 30 Juli 1994, Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan Ketua Mahkamah Agung. Presiden meminta secara khusus agar Ketua MA memberikan keputusan
26
dalam perkara ini berpendapat lain. Pelanggaran atas ketentuan hukum acara yang bersifat imperatif adalah berdasarkan pertimbangan tujuan keadilan bagi masyarakat luas. Nilai tanah bagi pegawai di kota besar dan bagi kaum petani di pedesaan tentunya berbeda. Bagi orang kota tanah adalah benda tidak bergerak yang mempunyai harga. Sementara bagi kaum petani, tanah adalah seluruh hidup, nafkah, dan harta turun temurun yang dipelihara. Pendekatan keadilan hukum hanya akan melihat hukum dari sisi legal, tanah sebagai benda tetap yang mempunyai harga. Tetapi pendekatan keadilan sosial akan melihat aspek-aspek sosial dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu putusan hakim pada tingkat kasasi dirasakan lebih memberikan keadilan. Akses kepada keadilan di bidang hukum acara perdata juga mengakomodasikan perkembangan kasus-kasus seperti perkara Kedung Ombo tersebut, di mana suatu tindakan hukum atau kebijakan dapat saja menimbulkan kerugian bagi masyarakat banyak.
yang seadil-adilnya dalam penanganan Peninjauan Kembali perkara ini. Ketua MA tidak menganggap pernyataan Presiden tersebut sebagai bentuk intervensi eksekutif. Purwoto berpendapat, hal ini adalah himbauan yang wajar-wajar saja, sekalipun pemerintah merupakan pihak dalam sengketa tersebut. Lihat Abdul Hakim G. Nusantara dan Budiman Tanuredjo, Dua Kado Hakim Agung buat Kedung Ombo: Tinjauan Putusan-Putusan Mahkamah Agung tentang Kasus Kedung Ombo, Jakarta, Elsam, 1977, hlm. 87. Melalui Putusan tanggal 29 Oktober 1994, No. 650 PK/Pdt.1994, dengan majelis hakim terdiri atas Ketua Mahkamah Agung dan 4 orang ketua muda MA (pimpinan MA) Mahkamah Agung membatalkan putusan kasasi dan menyatakan gugatan warga Kedung Ombo tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Dalam pertimbangannya, Majelis hakim PK berpendapat bahwa hakim pada tingkat kasasi telah menyalahi ketentuan hukum acara Pasal 178 Ayat (3) HIR. Selanjutnya Mejelis Hakim PK mengatakan: ”juga sesuai dengan tertib acara, apabila hakim telah mengabulkan tuntutan primer pemohon, maka tuntutan subsider (nilai imaterial) tidak bisa dipertimbangkan lagi. Jika hakim memutuskan berdasarkan ex aquo et bono, tetapi nilainya tidak boleh melebihi tuntutan primer. Ganti rugi akibat kehilangan kenikmatan hidup, selain tidak diminta oleh pemohon, juga kurang dipertimbangkan oleh hakim. Berdasarkan Pasal 1370, 1371, dan 1372 KUHPerdata, ganti rugi imaterial hanya dapat diberikan untuk kondisi tertentu, seperti kematian, luka berat dan penghinaan.” Majelis Hakim Purwoto menyatakan bahwa oleh karena dalam perkara ini pemohon (warga Kedung Ombo) menggunakan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, sementara Majelis Hakim berpendapat seharusnya dipergunakan ketentuan Keppres No. 55 Tahun 1993 sebagai sumber hukum yang digunakan dalam perkara, maka gugatan tersebut tidak dapat diterima.
27
Ketentuan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok memberikan kesempatan kepada masyarakat luas yang dirugikan akibat tindakan hukum atau kebijakan tertentu, untuk mengajukan gugatannya secara bersama-sama ke pengadilan. Dengan cara ini, maka tiap-tiap orang yang merasa dirugikan oleh suatu tindakan hukum tidak perlu mengajukan gugatan satu per satu atas nama orang per orang. Cukup dengan membentuk satu kelompok dan menunjuk perwakilannya untuk mengajukan gugatan kepada pihak tertentu. Sayangnya saat ini belum semua perbuatan hukum dapat diajukan gugatan kelompok. Saat ini hanya perkara-perkara di bidang tertentu saja yang boleh diajukan secara gugatan kelompok (class action), antara lain perkara-perkara yang berkaitan dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 41 tentang 1999 tentang Kehutanan. Sesungguhnya gugatan kelompok (class action) ini akan sangat memudahkan dan membantu pihak masyarakat kecil yang secara langsung menjadi korban kerugian atas tindakan tindak bertanggung jawab pihak lain. Namun dalam praktiknya gugatan kelompok tidak mudah dilaksanakan karena pengelolaan anggota-anggota kelompok yang juga tidak mudah.
B. INFORMASI HUKUM Seiring dengan berlangsungnya reformasi ketatanegaraan di Indoensia pada tahun 1998, Mahkamah Agung tergerak untuk segera 28
melakukan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan, khususnya Untuk membangun Pengadilan yang fair dan transparan. Mahkamah Agung menyadari bahwa pengadilan yang fair dan transparan
dibentuk
berkualitas.
Untuk
dalam
rangka
mencapainya,
mewujudkan maka
para
peradilan hakim
yang
maupun
penyelenggara peradilan harus memiliki integritas, ilmu pengetahuan dan kemampuan yang memadai. Peradilan yang berkualitas, menurut Mahkamah Agung, terdiri atas 3 (tiga) unsur, yaitu: a)
dipenuhinya pertimbangan Yuridis, Sosiologis dan Filosofis dalam setiap putusan pengadilan;
b)
tercapainya unsur efisiensi, berupa penyelenggaraan peradilan yang dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan.
c)
Adanya efektivitas dalam setiap putusan berupa keseragaman (unifikasi) dan kepastian hukum. Untuk mencapai peradilan yang berkualitas, Mahkamah Agung
telah menetapkan sejumlah langkah kebijaksanaan yang diwujudkan sebagai berikut: 1) Mengupayakan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya yang terjangkau
dilaksanakan
secara
konsisten
dan
konsekwen,
sehingga dapat memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk golongan masyarakat yang tidak mampu; 2) Menyempurnakan
administrasi
peradilan
untuk
mempercepat
proses penyelesaian perkara pada tingkat pertama dan banding dari semua lingkungan peradilan serta meningkatkan proses penyelesaian perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali;
29
3) Melanjutkan
upaya
untuk
lebih
memfungsikan
dan
mendayagunakan tempat sidang tetap (zittingsplaatsen) dalam rangka mendekatkan badan peradilan dengan pencari keadilan serta agar perkara dapat diselesaikan di tempat kasus perkara terjadi. 4) Mendorong penggerak
Badan
Peradilan
masyarakat
agar
dalam
dapat
berfungsi
pembangunan
sebagai
hukum
dan
pembinaan tertib hukum; 5) Mendorong para hakim agar dalam mengambil putusan, di samping senantiasa harus berdasarkan pada hukum yang berlaku, juga berdasarkan atas keyakinan yang seadil-adilnya dan sejujurjujurnya dengan mengingat akan kebebasan yang dimilikinya dalam meriksa dan memutus perkara. Oleh karena itu, dalam menegakkan hukum perlu digunakan metode analisis yuridis komprehensip
untuk
memecahkan
permasalahan
hukum,
khususnya perkara. Analisis ini menggunakan pendekata yuridis, sebagai pendekatan pertama dan utama yaitu sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundanga-undangan
yang
berlaku,
pendekatan filosofis yaitu berintikan rasa keadilan dan kebenaran serta pendekatan sosiologis yaitu sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat. 6) Meningkatkan kualitas serta kemampuan profesional para hakim dari semua lingkungan peradilan melalui pelatihan teknis yustisial berupa
pendalaman
materi
terutama
dalam
menghadapi
perkembangan hukum sebagai dampak dari globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi 7) Meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan. 8) Sikap keterbukaan/transparansi merupakan langkah yang diambil lembaga peradilan sehingga setiap orang terutama para pencari
30
keadilan
dapat
mengetahui
sejauh
mana
penyelesaian
perkaranya, khususnya di Mahkamah Agung. Sikap keterbukaan ini di Mahkamah Agung awalnya dikenal dengan namun ”Akses 121”. Sayangnya kemudian tidak berjalan baik, hingga sekarang diganti menjadi ”SIMARI (Sistem Informasi Mahakamah Agung RI)”, dan kini telah diubah lagi namanya menjadi ”SIAP MARI (Sistem Informasi dan Administrasi Peradilan MARI)”.
Dewasa
ini pun, setiap pengadilan negeri maupun pengadilan agama, utamanya di kota-kota besar Indonesa juga sudah mempunyai situs internet sendiri yang memberikan informasi mengenai pengadilan yang bersangkutan. Tuntutan-tuntutan agar pengadilan lebih transparan ditanggapi oleh
Mahkamah
Agung
dengan
mengeluarkan
Keputusan
Ketua
Mahkamah Agung RI No. 144/KMA/SK/VII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan, tanggal 28 Agustus 2007. Melalui pedoman
keputusan
mengenai
tersebut
Mahkamah
informasi-informasi
apa
Agung saja
memberikan yang
harus
diumumkan kepada publik, yaitu: 1) gambaran umum pengadilan yang antara lain, meliputi: fungsi,
tugas, yuridiksi dan struktur organisasi Pengadilan tersebut serta telepon, faksimili, nama dan jabatan pejabat Pengadilan non Hakim; 2) gambaran umum proses beracara di Pengadilan; 3) hak-hak pencari keadilan dalam proses peradilan; 4) biaya yang berhubungan dengan proses penyelesaian perkara
serta biaya hak-hak kepaniteraan sesuai dengan kewenangan, tugas dan kewajiban Pengadilan; 5) putusan dan penetapan Pengadilan yang telah berkekuatan tetap;
31
6) putusan
dan
penetapan
Pengadilan
Tingkat
Pertama
dan
Pengadilan Tingkat Banding yang belum berkekuatan hukum tetap dalam perkara-perkara tertentu, yakni: a. korupsi; b. terorisme; c. narkotika/psikotropika; d. pencucian uang; atau e. perkara lain yang menarik perhatian publik atas perintah Ketua Pengadilan. 7) agenda sidang pada Pengadilan Tingkat Pertama; 8) agenda
sidang pembacaan putusan, bagi Pengadilan Tingkat
Banding dan Pengadilan Tingkat Kasasi; 9) mekanisme
pengaduan
dugaan
pelanggaran
yang
dilakukan
hakim dan pegawai; 10) hak masyarakat dan tata cara untuk memperoleh informasi di
pengadilan. Khusus untuk Mahkamah Agung30, selain informasi-informasi di atas, juga wajib untuk mengumumkan informasi tentang: 30 Mahkamah Agung telah mengembangkan Sistem Informasi / komputerisasi yang dinamakan ”SIAP MARI” (dahulu namanya “SIMARI”). Sistem Informasi tersebut akan terdiri atas Sistem Inti dan Sistem Pendukung. Sistem Inti akan mengemukakan tentang: (i) Sistem Informasi Adminstrasi Perkara (SIAP); (ii) Sistem Informasi Adminstrasi Hukum (SIAH); (iii) Portal Internet yang dapat diakses oleh umum melalui website . Sedangkan Sistem Pendukung yang bersifat internal akan berisi modul: (i) Sistem Informasi Kepegawaian MA (SIKMA); Sistem Informasi Keuangan (SIKeu); (iii) Sistem Informasi Perencanaan (SIRen); (iv) Sistem Informasi Sarana Prasarana (SILog); dan (v) Sistem Pengawasan (SIWasbin). Pengembangan sistem informasi berbasis komputerisasi (Akses 121) sesungguhnya telah dimulai oleh Mahkamah Agung pada tahun 1998 setelah penulis bersama-sama dengan Ibu Mariana Sutadi dan Bapak Kahardiman ditugaskan oleh Ketua Mahkamah Agung untuk melakukan studi banding mengenai Integrated Court Administration di Amerika Serikat. Menurut Arlene Sheskin dan Charles W. Grau, masuknya teknologi informasi dalam sistem hukum Amerika karena tuntutan “rasionalisasi” penggunaan dana dan sumber daya pengadilan. Penggunaan teknologi informasi menjadi pilihan karena selama bertahun-tahun cara ini telah dipergunakan oleh perusahaan-perusahaan swasta agar tetap memiliki daya saing dan memenuhi tuntutan konsumen. Inti dari penggunaan teknologi informasi adalah integrasi dari seluruh tugas administrasi pengadilan dengan peran profesiprofesi pengadilan yang sudah ada sebelumnya. Integrasi tersebut juga berarti menggabungkan pekerjaan-pekerjaan rutin pengadilan dengan para pekerja profesional yang baru. Lihat tulisan
32
(1)
Peraturan Mahkamah Agung;
(2)
Surat Edaran Mahkamah Agung;
(3)
Yurisprudensi Mahkamah Agung;
(4)
Laporan Tahunan Mahkamah Agung;
(5)
Rencana strategis Mahkamah Agung;
(6)
Pembukaan
pendaftaran
untuk
pengisian
posisi
hakim
atau
pegawai. Selain dari informasi-informasi yang telah dikemukakan di atas, maka bagi negara dengan topografi seperti Indonesia yang terdiri dari banyak kepulauan, maka letak gedung pengadilan yang hanya ada di Ibukota
Kabupaten/Kotamadya
juga
merupakan
salah
satu
permasalahan Akses Menuju Keadilan, yang menyebabkan masyarakat di pedalaman sulit untuk memperjuangkan hak-hak hukumnya melalui lembaga pengadilan. Di masa Hindia Belanda, diadakan tempat-tempat sidang tetap di luar gedung pengadilan yang disebut dengan istilah zittingsplaatsen. Hakim-hakim (dalam perkara pidana) dan jaksa akan datang dan menyidangkan perkara-perkara di tempat tersebut.31 Tempat-tempat zittingsplaatsen seperti masa Hindia Belanda ini sempat dihidupkan di masa Orde Baru. Sayangnya karena tidak ada anggaran
yang
memadai,
maka
tempat-tempat
zittingsplaatsen
tersebut tidak terawat bahkan sering dijadikan kandang hewan ternak oleh masyarakat sekitar. Pada akhirnya gagasan yang mendekatkan pencari keadilan dengan pengadilan ini lenyap dengan sendirinya.
Arlene Sheskin and Charles W. Grau, “Judicial Responses to Technocratic Reform”, terungkap dalam Cramer, James A. (ed.), Courts and Judges, volume 15, Sage Publications, Baverlly Hills, 1981, hlm. 225-227. 31 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004, FH UII Pers, Yogyakarta, 2007, hlm. 59
33
Penulis berpendapat, gagasan mengenai zittingsplaatsen ini perlu dihidupkan
kembali.
Jika
pemerintah
bisa
menyediakan
akses
kesehatan (seperti puskesmas keliling, Kantor Pos Keliling, Kantor Pajak Keliling, bahkan SIM Keliling), maka tentu saja penyediaan pengadilan dengan hakim/jaksa keliling juga dapat dilakukan. Hal ini juga akan sangat membantu dalam mendidik masyarakat mengenai hukum dan bagaimana memperjuangkan hak-hak perorangan atau individu dan hak-hak masyarakat.
Penutup dan Saran Berdasarkan
uraian
kami
tersebut
di
atas,
maka
penulis
berkesimpulan, bahwa: 1. Akses Menuju Keadilan dalam pengertian Bantuan Hukum kepada kaum lemah dan miskin sekalipun telah diatur dalam KUHAP, namun
masih
memerlukan
sinkronisasi
dengan
ketentuan
peraturan hukum lainnya, misalnya dengan UU Kejaksaan atau UU
Kepolisian
atau
UU
Peradilan.
Selain
itu,
juga
perlu
diperhatikan bahwa syarat atau kondisi dalam KUHAP untuk mengakses Bantuan Hukum juga perlu dihilangkan. Hak atas Bantuan Hukum adalah bersifat mutlak dan bukan pilihan, kecuali si tersangka atau terdakwa menolak dengan tegas haknya tersebut. 2. Perlu juga dipertimbangkan dan disiapkan bahwa Bantuan Hukum bukan hanya sekedar hak bagi tersangka atau terdakwa, tetapi juga kewajiban bagi para Advokat. Dengan demikian, hak Advokat untuk menerima honorarium harus ditanggung oleh negara.
34
Dalam
hal
ini,
pemerintah
perlu
membuat
mekanisme
pembayarannya melalui sistem keuangan negara. 3. Akses Menuju Keadilan dalam pengertian Informasi Hukum merupakan pelayanan publik dari lembaga peradilan. Dengan menggunakan teknologi informasi, diharapkan setiap orang di pelosok manapun berada dapat dengan mudah dan murah menerima informasi mengenai tata cara, biaya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses beracara di pengadilan. Demikianlah ceramah kami, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi Jejaring Komisi Yudisial sekalian. Terima kasih atas perhatiannya. Denpasar, 26 Juni 2010 Dr. J. Djohansjah, S.H., M.H.
35
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim G. Nusantara dan Budiman Tanuredjo, Dua Kado Hakim Agung buat Kedung Ombo: Tinjauan Putusan-Putusan Mahkamah Agung tentang Kasus Kedung Ombo, Elsam, Jakarta, 1977. Ali, H. Zainuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Arlene Sheskin and Charles W. Grau, Judicial Responses to Technocratic Reform, Cramer, James A. (ed.), Courts and Judges, volume 15, Sage Publications, Baverlly Hills, 1981. Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004, FH UII Pers, Yogyakarta, 2007. Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003. Frans Hendra Winarta, Probono Publico, Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2009 Frans Hendra Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, PT Kompas Media Nusantara, 2009 J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Kepada Independensi Kekuasaan Kehakiman, Kesaint Blanc, Jakarta, 2008. Joshua Rozenberg, The Search For Justice An Anotamy od the Law, Hodder and Stoughton Ltd, 194, Justice In The Twenty-First Century, Cavendish Publishing (Australia) Pty Limited, 2000. Kurniawan, Runtuhnya Tafsir Hukum Monolitik, Sketsa Wacana Hukum di Tengah Masyarakat yang Berubah, Jurnal Hukum JENTERA, Edisi 01/Agustus 2002. Laurence, Dan H. (ed), The Bodley Bernard Shaw: Collected Plays with their Prefaces, vol. 6, 1973. Posner, Richard A., the Economics of Justice, Harvard University Press, Cambridge, 1983
36
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003. Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Alumni, Bandung, 1975. Sofyan Lubis, Prinsip “Miranda Rule” Hak Pemeriksaan; Pustaka Yustisia, 2010.
Tersangka
Sebelum
Access to Justice in Indonesia, Special Note on Indonesia’s Transitional Era and Corruption by Maruarar Siahaan, Access to Justice in Asian and European Transitional Countries, Bogor, 27-28 June. Harian Koran Tempo, tanggal 3 Januari 2006,
37