AKSES MENUJU KEADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA (ACCESS TO JUSTICE IN THE CRIMINAL JUSTICE SYSTEM) A. Azis Maulana Abstrak Penggunaan sistem peradilan modern sebagai sarana pendistribusi keadilan terbukti menjumpai sangat banyak hambatan. Adapun yang menjadi faktor penyebab adalah karena peradilan modern sarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, serta metodologi yang ketat. Oleh karena itu, keadilan yang didistribusikan melalui lembaga peradilan diberikan melalui keputusan birokrasi bagi kepentingan umum karenanya cenderung berupa keadilan yang rasional. Maka tidak heran jika keadilan yang diperoleh masyarakat modern tidak lain adalah keadilan birokratis. Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan telah terbukti banyak menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak yang bersengketa maupun masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa, menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan. Kalangan masyarakat bisnis yang memerlukan kepastian hukum serta keamanan di dalam investasi maupun aktivitas perdagangannya tatkala erjadi sengketa menyangkut bisnis mereka, sangat kuatir terhadap kondisi badan peradilan yang dianggap telah carut marut semacam itu. Dilatarbelakangi oleh kondisi semacam itulah, muncul keinginan dari komunitas bisnis khususnya, untuk kemudian berpaling dan memilih model lain dalam penyelesaian sengketa. Meskipun bentuk penyelesaian yang dipilih itu tergolong masih serumpun dengan mekanisme pada badan peradilan, namun forum lain yang dipilih itu dianggap dapat memberikan alternatif serta ruang kebebasan kepada pihak-pihak dalam menentukan penyelesaian sengketa bisnis mereka. Pada gilirannya model yang dipilih tersebut diharapkan lebih memberikan peluang untuk mendapatkan rasa keadilan yang lebih manusiawi dan bermartabat. Kata-kata kunci : Pendistribusian Keadilan, Sistem Peradilan, Sistem Peradilan Pidana
PENDAHULUAN : Latar belakang faktual yang mendasari lahirnya pemikiran-pemikiran mengenai “Akses Menuju Keadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana adalah kenyataan bahwa tidak semua golongan dalam masyarakat memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh keadilan pada saat menghadapi masalah dalam proses hukum mulai dari tingkat Penyidikan, Penuntutan dan di tinglkat pengadilan. Seperti yang dikatakan oleh Warren Burger, seorang hakim Pengadilan di Amerika Serikat pernah mengatakan bahwa: “Sistem Pengadilan telah dipenuhi dengan pengacara yang buas, hakim yang ganas dan pegawai dengan beban kesibukan yang tinggi sehingga tidak dapat menyediakan prosedur yang adil”. Sementara itu akses untuk menuju terciptanya keadilan dalam system peradilan pidana banyak digunakan beberapa pendekatan, antara lain dengan pendekatan historis dan filsafat yang selalu menginginkan
hukum berkaitan dengan keadilan. Dalam kata lain, pengadilan sebagai pelaksana hukum adalah suatu lembaga yang akan memberikan keadilan bagi mereka yang mencari keadilan, tidak peduli siapapun dan bagaimanapun latar belakangnya. Namun, dalam kenyataannya, hukum sejak semula selalu mengandung potensi untuk cenderung memberikan keuntungan kepada mereka dari golongan yang lebih mampu secara finansial. Penggunaan sistem peradilan modern sebagai sarana pendistribusi keadilan terbukti menjumpai sangat banyak hambatan. Adapun yang menjadi faktor penyebab adalah karena peradilan modern sarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, serta metodologi yang ketat. Oleh karena itu, keadilan yang didistribusikan melalui lembaga peradilan diberikan melalui keputusan birokrasi bagi kepentingan umum karenanya cenderung berupa keadilan yang rasional. Maka tidak
21 heran jika keadilan yang diperoleh masyarakat modern tidak lain adalah keadilan birokratis. Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan telah terbukti banyak menimbulkan ketidakpuasan pada pihakpihak yang bersengketa maupun masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan karena dianggap tidak memanusiakan pihakpihak yang bersengketa, menjauhkan pihakpihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan. Kalangan masyarakat bisnis yang memerlukan kepastian hukum serta keamanan di dalam investasi maupun aktivitas perdagangannya tatkala erjadi sengketa menyangkut bisnis mereka, sangat kuatir terhadap kondisi badan peradilan yang dianggap telah carut marut semacam itu. Dilatarbelakangi oleh kondisi semacam itulah, muncul keinginan dari komunitas bisnis khususnya, untuk kemudian berpaling dan memilih model lain dalam penyelesaian sengketa. Meskipun bentuk penyelesaian yang dipilih itu tergolong masih serumpun dengan mekanisme pada badan peradilan, namun forum lain yang dipilih itu dianggap dapat memberikan alternatif serta ruang kebebasan kepada pihak-pihak dalam menentukan penyelesaian sengketa bisnis mereka. Pada gilirannya model yang dipilih tersebut diharapkan lebih memberikan peluang untuk mendapatkan rasa keadilan yang lebih manusiawi dan bermartabat. Pada dasarnya, aspek pemidanaan merupakan “puncak” dari Sistem Peradilan Pidana yaitu dengan dijatuhkan putusan hakim. Secara teoritik, dalam kepustakaan baik menurut ruang lingkup sistem AngloSaxon maupun Eropa Kontinental terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif masih diperdebatkan. Konkretnya, secara lebih gradual Sistem Peradilan Pidana dapat dikaji melalui pendekatan dimensi hukum, sosiologi, ekonomi dan menajemen sebagaimana asumsi dan deskripsi Satjipto Rahardjo bahwasanya:
“Ada beberapa pilihan untuk mengkaji suatu lembaga hokum seperti sistem peradilan pidana (criminal justice system-SPP), yaitu dengan pendekatan hukum dan dengan pendekatan yang lebih luas, seperti sosiologi, ekonomi dan manajemen. Dari segi profesional, SPP lazim dibicarakan sebagai suatu lembaga hokum yang berdiri sendiri. Di sini kita memberikan perhatian terhadap asas, doktrin dan perundangundangan yang mengatur SPP tersebut. Dalam ilmu hukum, pendekatan seperti itu disebut positivis-analitis.” Dikaji dari perspektif Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)4 maka di Indonesia dikenal 5 (lima) institusi yang merupakan sub Sistem Peradilan Pidana. Terminologi lima institusi tersebut dikenal sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat.5 Pada Sistem Peradilan Pidana tersebut yang berpuncak adanya “putusan” atau “vonnis” hakim hakekatnya dikaji dari perspektif teoritik dan praktik peradilan acapkali menimbulkan disparitas dalam hal pemidanaan (sentencing of disparity) dan juga berkorelasi dengan “kebijakan pidana” dimana kebijakan formulatif merupakan kebijakan strategis dan menentukan bagi kebijakan aplikatif. Negara dan bangsa Indonesia pun menghendaki adanya tatanan masyarakat yang tertib, tenteram, damai dan seimbang, sehingga setiap konflik, sengketa atau pelanggaran diharapkan untuk dipecahkan atau diselesaikan: hukum harus ditegakkan, setiap pelanggaran hukum harus secara konsisten ditindak, dikenai sanksi. Kalau setiap pelanggaran hukum ditindak secara konsisten maka akan timbul rasa aman dan damai, karena ada jaminan kepastian hukum. Untuk itu diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan
22 bertujuan mencegah "eigenrichting" (Sudikno Mertokusumo 1973). PENDISTIBUSIAN KEADILAN Satjipto Rahardjo berpendapat, untuk menyebarkan fora pendistribusi keadilan tidak semestinya terkonsentrasi hanya pada satu lembaga yang bernama pengadilan. Marc Galanter memberikan tamsil yang sangat bagus, yaitu hendaknya ada justice in many rooms. Gagasan Alternative Dispute Resolution (ADR) sudah tersimpan lama sejak gelombang gerakan Access to Justice Movement (AJM), terutama gelombang ketiga yang menghendaki adanya jalur alternative di luar pengadilan negara. Masalahnya karena masyarakat dapat mengalami keadilan atau ketidakadilan bukan saja melalui forumforum yang disponsori oleh negara, akan tetapi dapat juga melalui lokasi-lokasi kegiatan primer. Lokasi kegiatan primer tersebut dapat berwujud pranata seperti rumah, lingkungan ketetanggaan, tempat bekerja, kesepakatan bisnis, dan sebagainya (termasuk aneka latar penyelesaian khusus yang berakar di lokasi-lokasi tersebut). Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi keadilan tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum modern di Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar. Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang kita pakai tetap merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.” Oleh sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa Indonesia disebabkan menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum modern sebagai kaidah positif menjadi kaidah kultural. Persoalannya, karena sistem hukum modern yang liberal itu tidak dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu. Di samping itu juga, akibat sistem hukum liberal tidak dirancang untuk memberikan keadilan substantif, maka seorang dengan kelebihan materiel akan memperoleh “keadilan” yang lebih daripada yang tidak. Apabila kita terus
menerus berpegang kepada doktrin liberal tersebut, maka kita akan tetap berputarputar dalam pusaran kesulitan untuk mendatangkan atau menciptakan keadilan dalam masyarakat. Dalam rangka melepaskan diri dari doktrin liberal itulah, maka gagasan orang-orang atau pihakpihak untuk mencari dan menemukan keadilan melalui forum alternatif di luar lembaga pengadilan modern sesungguhnya merupakan upaya penolakan terhadap cara berpikir hukum yang tertutup. Hal itu disebabkan para pencari keadilan masih sangat merasakan, betapa pun tidak sekuat seperti pada abad ke-sembilanbelas, filsafat liberal dalam hokum dewasa ini masih sangat besar memberi saham terhadap kesulitan menegakkan keadilan substansial (substantial justice). Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar, yakni melalui kebijakan kolonial di HindiaBelanda. Padahal suatu peralihan dari status sebagai bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka sungguh merupakan suatu momentum yang cukup krusial. Dalam kehidupan hukum di masa Hindia-Belanda, bangsa Indonesia tidak mengambil tanggung jawab sepenuhnya dalam masalah penegakan, pembangunan, dan pemeliharaan hukumnya, melainkan hanya sekadar menjadi penonton dan objek kontrol oleh hukum. Sedangkan sejak hari kemerdekaannya, bangsa Indonesia terlibat secara penuh ke dalam sekalian aspek penyelenggaraan hukum, mulai dari pembuatan sampai kepada pelaksanaannya di lapangan. Akibat berlangsungnya transplantasi sistem hukum asing (Eropa) ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi yang otohton tersebut, maka ada konsekuensi yang mesti dipikul bangsa Indonesia ketika harus terlibat penuh dalam penyelenggaraan hukum. Konsekuensi tersebut berupa keniscayaan untuk membangun dan mengembangkan perilaku hukum (legal behavior) baru dan budaya hukum untuk mendukung
23 perubahan status dari jajahan ke kemerdekaan. Dalam kaitan itu, Satjipto Rahardjo, menyatakan, tidak mudah untuk mengubah perilaku hokum bangsa Indonesia yang pernah dijajah menjadi bangsa yang merdeka, karena waktu lima puluh tahun belum cukup untuk melakukan perubahan secara sempurna. AKSES MENUJU KEADILAN Sebagai negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana bunyi pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”; maka negara harus menjamin persamaan setiap orang di hadapan hukum serta melindungi hak asasi manusia. Persamaan di hadapan hukum memiliki arti bahwa semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hokum (equality before the law). Persamaan perlakuan di hadapan hukum bagi setiap orang berlaku dengan tidak membedabedakan latar belakangnya (ras, agama, keturunan, pendidikan atau tempat lahirnya), untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan. Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah dilengkapi dan disempurnakan dengan UU No. 4 Tahun 2003, secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang, yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hokum yang tetap. Secara implisit makna persamaan kedudukan di hadapan hukum dapat ditemukan juga dalam Pasal 37 dan Pasal 38 UU No. 4 Tahun 2004 jo. UU No. 4 Tahun 2003 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, baik persamaan kedudukan di hadapan hukum maupun asas praduga tak bersalah tidak secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal, namun hal itu tersirat baik dalam Konsideran dan Penjelasan Umum KUHAP, khususnya dalam angka 3 antara lain ditegaskan: “…asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam Undang-undang tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
yaitu UU No. 14 Tahun 1970 harus ditegakkan dalam dan dengan undangundang ini.” Asas-asas yang dimaksud tersebut, antara lain, adalah: 1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di hadapan hokum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. 2. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, didakwa di pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mperoleh kekuatan hukum tetap (presumption of innocence). 3. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. Dalam hubungan ini Solly Lubis menjelaskan bahwa: Yang dimaksud dengan “kedudukan yang sama dalam hukum” dalam Pasal 27 ayat (1) itu adalah meliputi baik bidang hukum privat maupun hukum publik, sehingga karenanya setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dengan mempergunakan kedua kelompok hukum tersebut dan jika ditilik selanjutnya, maka tampak bahwa “hukum” yang dimaksud sebagai alat, sudah mencakup segi-segi keperdataan dan kepidanaan, serta cabangcabang hukum publik lainnya, seperti Hukum Tata Negara, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Acara Pidana/Perdata dan sebagainya, di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut telah tercakup semua hak-hak hukum seperti disebutkan di dalam UUD. Bentuk persamaan perlakuan di hadapan hukum adalah bahwa semua orang berhak untuk memperoleh pembelaan dari advokat sesuai dengan ketentuan undang-undang, sehingga tidak hanya orang yang mampu saja yang dapat memperoleh pembelaan dari advokat/penasihat hukum tetapi juga fakir miskin atau orang yang tidak mampu juga dapat hak yang sama dalam rangka memperoleh keadilan (access to justice).
24 Pada abad ini Askes Menuju Keadilan dapat digambarkan sebagai berikut: “Justice, as so administered, has to be available to all, on an equal footing. This is the ideal, but one which has never been attained, due largely to inequalities of wealth and power and an economic system which maintains and tends to increase the inequalities”. Ada banyak kasus di Indonesia di mana orang dengan mudah bias menyebutkan bagaimana orang-orang yang sederhana dan tidak punya uang mengalami perlakuan hukum yang tidak adil. Kasus “SengkonKarta” pada akhir 1970-an mungkin merupakan kasus yang paling terkenal di Indonesia. Kemudian perkara yang terbaru, perkara terdakwa Prita yang sempat ditahan di Rutan atas laporan penghinaan terhadap RS. Omni Internasional. Pada kasus-kasus tersebut, pihak terdakwa atau terhukum adalah orang-orang lemah secara ekonomis, sehingga mereka tidak mampu menemukan keadilan yang sepantasnya bagi perkara mereka; atau di mana si terlapor atau terdakwa yang kalah ketika berhadapan dengan laporan pihak lain yang memiliki kekuatan ekonomi besar dan dapat mempengaruhi lembaga peradilan. Selain itu, pembicaraan mengenai Akses Menuju Keadilan juga menyangkut kemudahan bagi masyarakat luas untuk memperoleh informasi mengenai hal-hal yang terjadi di pengadilan. Hal ini didasari pada suatu pendapat bahwa pengadilan selain sebagai lembaga yudikatif, juga merupakan lembaga yang memberikan pelayanan public kepada semua orang atau kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, pelayanan yang diberikan juga harus mudah dipahami dan mudah didapatkan seperti selayaknya lembaga-lembaga pelayanan public lainnya. SISTEM PERADILAN DI INDONESIA Di dalam sistem peradilan kita dewasa ini dikenal pula asas kebebasan hakim atau kebebasan peradilan (pasal 1 UU No. 14 th 1970), dalam arti seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa hakim bebas dalam atau bebas untuk mengadili. Bebas dalam arti menurut hati nuraninya tanpa dipengaruhi oleh siapapun: ia bebas dalam
memeriksa, membuktikan dan memutus perkara berdasarkan hati nuraninya. Di samping itu ia bebas pula dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Di dalam pasal 4 ayat 3 Undang-undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa segala campur tangan datam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuati dalam hal-hal yang tersebut dalam UUD. Di dalam kenyataannya ketentuan ini tidak jarang dilanggar, antara lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti, tilpun sakti dan sebagainya. Sayangnya ketentuan mengenai larangan campur tangan ini tidak disertai dengan sanksi. Inilah salah satu diantaranya yang menyebabkan peradilan kita menjadi "kelabu". Ditambahkannya sanksi pada ketentuan tersebut kiranya akan memulihkan citra peradilan, asal dilaksanakan dengan konsisten. Semua peradilan di seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan yang menduduki tempat yang tertinggi dalam sistem peradilan kita adalah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Mahkamah Agung mempunyai beberapa fungsi atau tugas. Pertama, Mahkamah Agung mempunyai fungsi peradilan (yustisiil). Mahkamah Agung sebagai badan kehakiman, yang melakukan kekuasaan kehakiman, menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara (pasal 28, 29, 30 UU no.14 th 1985 jo. pasal 1, 2 ayat 1 UU no.14 th 1970). Dalam fungsi yustisiil ini Mahkamah Agung memutus pada tingkat peradilan pertama dan terakhir, yaitu mengenai semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan dalam lingkungan yang berbeda dan semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan sederajat yang termasuk wewenang
Pengadilan Tinggi yang berlainan. Di samping itu Mahkamah Agung memutus pada peradilan tingkat banding atas putusan-putusan wasit. Dalam tingkat terakhir Mahkamah agung memutus
25 terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan-pengadilan lain selain Mahkamah Agung dalam tingkat terakhir. Kasasi bukanlah merupakan pemeriksaan dalam tingkat ke 3, karena dalam tingkat kasasi tentang peristiwanya tidak diperiksa lagi, melainkan hanya segi hukumnya. Mahkamah Agung wenang pula untuk menyatakan dalam tingkat kasasi tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa Mahkamah Agung melakukan pengujian materiel terhadap peraturan perundangundangan di bawah undang-undang. Kalau tidak ada perkara diajukan ke Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung tidak dapat menyatakan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan. Peninjauan kembali merupakan wewenang yustisiil Mahkamah Agung juga. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap apabila memenuhi syarat dapat dimintakan peninjauan kembali. Selanjutnya Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai funqsi kedua yaitu memimpin peradilan dalam pembinaan dan pengembangan hukum dan sekaligus mengembangkan hukum Indonesia melalui putusan-putusannya kearah kesatuan hukum dan peradilan. Fungsi Mahkamah Agung yang ketiga adalah menqatur. Mahkamah Agung berwenang untuk menentukan penyelesaian suatu persoalan yang belum diatur acaranya (pasal 79 UU no.14 th 1985). Apabila tidak atau belum diatur dalam undang-undang, khususnya mengenai jalannya peradilan, agar peradilan dapat berjalan lancar, Mahkamah Agung wajib menciptakan peraturannya. Peraturan macam apakah yang dapat atau boleh diciptakan oleh Mahkamah Agung? Terutama yang berhubungan dengan prosedur mengadili dan penyelesaian perkara yang belum atau tidak diatur oleh undang-undang. Mengingat akan fungsinya sebagai lembaga yudikatif maka apa yang dapat atau boleh dibuat atau diciptakan oleh Mahkamah Agung bukanlah peraturan yang bersifat umum mengikat setiap orang. Bukan hukum materiil yang harus dibuatnya, melainkan "aturan
permainan" yang hanya berlaku bagi atau mengikat para "pemain" dalam "permainan peradilan" (janqan diartikan negatif!), yaitu hakim. Dalam hal ini jangan sampai Mahkamah Agung melanggar ajaran tentang pembagian kekuasaan. Dalam fungsi mengatur Mahkamah Agung harus membatasi diri untuk tidak memasuki hukum materiel. Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif, informatif dan instruktif. Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif yang berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) seperti misalnya Perma 1/1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang sekaligus merupakan pedoman kerja. Kalau ada hal-hal yang perlu segera diketahui oleh para hakim dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang bersifat informatif dan sering juga instruktif seperti misalnya SEMA 3/1963. Dengan SEMA 3/1963 Mahkamah Agung pada hakekatnya hendak menginstruksikan para hakim menyesuaikan KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi sementara orang (termasuk hakim) berpendapat bahwa SEMA 3/1963 itu mempunyai kekuatan membatalkan KUHPerdata. Tujuan SEMA 3/1963 itu baik, yaitu agar para hakim menyeseuaikan KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Dilihat dari segi yuridis formal SEMA 3/963 sebagi produk Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan untuk membatalkan undangundang mengingat Mahkamah Agung hanya mempunyai wewenang di bidang yudikatif bukan legislatif. Fungsi Mahkamah Agung keempat ialah funqsi sebaqai penasehat. Dalam pasal 25 Undang-undang no. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa semua pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta. Di samping itu TAP MPR No. VI/MPR/1973 pasal 11 ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum
26 kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta, sedangkan TAP MPR No. VII/MPR/1973 pasal 11 ayat 3 menentukan bahwa Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden/Kepala Negara untuk pemberian/penolakan grasi. Sudah tepatlah kiranya kalau Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai fungsi sebagai penasihat mengenai soal-soal hukum. Bukankah hakim dianggap maha tahu akan soal-soal hukum (ius curia novit). Kiranya tidak perlu ditegaskan bahwa persoalan hukum yang dapat dimintakan pertimbangan atau nasihat kepada Mahkamah Agung bukanlah yang semata-mata bersifat abstrak/teoretis, melainkan yang konkret dan praktis tetapi tidak mengandung perkara atau sengketa, karena perkara atau sengketa harus melalui mekhanisme yang sudah tersedia. Fungsi kelima Mahkamah Agung adalah pengawasan. Sudah selayaknya kalau Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi mempunyai fungsi pengawasan terhadap perbuatan pengadilan lainnya (pasal 10 ayat 4 UU no.14 th 1970). Untuk meningkatkan citra peradilan kita dalam hal ini pengawasan oleh Hawas (hakim pengawas) terhadap hakim-hakim perlu lebih ditingkatkan frekuensi serta intensivitasnya. Eksaminasi sebagai sarana untuk mengevaluasi para hakim perlu dihidupkan kembali. Fungsi Mahkamah Agung yang keenam adalah fungsi administratif. Dasar hukum fungsi administratif Mahkamah Agung ini terdapat dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang no.14 tahun 1970 yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai administrasinya sendiri. Ada 4 (empat) lingkungan peradilan negara yang kesemuanya berpuncak pada Mahkamah Agung. Empat lingkungan peradilan itu dapat dibagi menjadi dua, yang bersifat umum, yaitu lingkungan peradilan umum (peradilan dengan general jurisdiction), dan yang bersifat khusus (peradilan dengan special jurisdiction), yaitu lingkungan peradilan agama, Iingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara (pasal10 ayat 1 UU no.14 th 1970). Disebut sebagai peradilan umum karena peradilan
umum ini diperuntukkan bagi semua warga masyarakat tanpa membedakan golongan atau agama; yustisiabele atau pencari keadilannya umum: setiap orang. Di dalam peradilan umum masih dikenal spesialisasi seperti pengadilan ekonomi. Peradilan khusus disediakan untuk yustisiabele atau pencari keadilan yang khusus (beragama Islam, militer) atau yang menggunakan hukum materiil khusus (hukum pidana militer, hukum Islam). Khas bagi peradilan agama terdapat pilihan hukum: orang Indonesia asli yang beragama Islam khususnya dalam pembagian warisan dapat memilih tunduk pada hukum adat yang menjadi wewenang peradilan urn urn atau hukum Islam yang menjadi wewenang peradilan agama. Di samping 4 (empat) lingkungan peradilan negara seperti yang disebutkan dalam pasal 10 ayat 1 Undang-undang No.14 tahun 1970 sistem peradilan kita masih mengenal peradilan sui generis atau peradilan semu yang tidak diatur dalam Undang-undang No. 14 tahun 1970. Dikatakan "semu" karena petugas yang diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan konflik atau pelanggaran bukanlah petugas yang khusus diangkat untuk itu seperti hakim pada pengadilan negeri, akan tetapi mempunyai tugas rangkap. Termasuk peradilan semu ialah peradilan perburuhan (UU No. 22 th 1957), peradilan perumahan (PP No. 55 th 1981 jo. PP No. 49 th 1963), peradilan pelayaran (Skp. Mphbl. No. Kab 4/3/24 jo. S 1949 No.103). Di samping badan-badan peradilan yang telah disebutkan masih dikenal juga arbitrase atau pewasitan. Kalau 4 peradilan negara itu berpuncak pada Mahkamah Agung, maka 3 peradilan semu yang telah dikemukakan di atas tidak berpuncak pada Mahkamah Agung. Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat
27 awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding (peradilan dengan appellate jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada asasnya putusan yang telah dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu cermat, benar serta adil dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan yang lebih tinggi dalam tingkat banding. Semua lingkungan peradilan negara mengenal dua tingkatan perdilan itu, pada asasnya pembagian ini bersifat universal. Di dalam dua tingkatan peradilan itu diperiksa baik peristiwa maupun hukumnya. Jadi peradilan umum mengenal Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, peradilan agama, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, peradilan militer, Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer Tinggi, sedangkan peradilan tata usaha negara atau administrasi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Di dalam sistem peradilan Indonesia, seperti yang telah diketengahkan dimuka masih dikenal pemeriksaan kasasi yang pada umumnya tidak dianggap sebagai peradilan tingkat ketiga karena di tingkat kasasi di Mahkamah Agung tidak dipenksa ulang mengenai peristiwanya, tetapi hanyalah segi hukumnya saja. Pada asasnya putusan banding atau ulang dari peradilan tingkat banding dan semua Iingkungan peradilan negara dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. SISTEM PERADILAN PIDANA Berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, seseorang yang dituntut untuk kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 tahun harus dibantu oleh Penasihat hukum, atau bantuan hukum lain dari Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Hak untuk dibela advokat dan perolehan bantuan hukum bagi fakir miskin sudah ada sejak dahulu sebagaimana diatur dalam Reglement op de rechtsvordering (Rv) bagi golongan Eropa (Europeans) dan HIR bagi golongan Timur Asing (Vreemde
Oosterlingen). Namun tidak ada jaminan serupa bagi masyarakat golongan pribumi. Apabila melihat Pasal 54 KUHAP maka pada prinsipnya hak atas bantuan hukum tersebut diakui, tetapi tidak termasuk ke dalam hak yang bersifat “wajib”. Ada kondisi atau syarat tertentu yang harus dipenuhi sebelum hak atas bantuan hukum tersebut menjadi “wajib”. Pasal 56 Ayat (1) dan (2) KUHAP menyatakan bahwa syarat khusus tersebut menyangkut: (a) kemampuan (finansial); dan (b) ancaman hukuman bagi tindak pidana yang disangkakan. Apabila ketentuan wajib tersebut diabaikan, akan menimbulkan akibat tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima atau mengakibatkan Penyidikan menjadi tidak sah. Pendirian pengadilan seperti itu dapat dilihat dalam salah satu putusan Mahkamah Agung No. 1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993. Dalam kasus ini, proses pemeriksaan Penyidikan melanggar pasal 56 ayat (1) KUHAP, yakni Penyidikan berlanjut terhadap Tersangka tanpa didampingi oleh penasihat hukum. Pelanggaran ini dijadikan alasan kasasi, dan dibenarkan oleh peradilan tingkat kasasi, dengan pertimbangan: “Apabila syarat-syarat penyidikan tidak dipenuhi seperti halnya Penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi Tersangka sejak awal Penyidikan, tuntutan Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima.” Kondisi dan syarat-syarat seperti itu menimbulkan ketidakpastian, khususnya mengenai bagaimana penyidik bisa menilai apakah seorang tersangka mampu secara finansial atau tidak untuk membayar jasa Penasihat Hukum. Tampaknya, syarat ini diadakan karena pada awal terbentuknya, KUHAP mencoba untuk mencari kompromi antara dua keadaan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu, yaitu kondisi di daerah-daerah terpencil di Indonesia, di mana penegakan hukum tetap harus berjalan sekalipun tidak ada tenaga penasihat hukum. Contoh lain, dalam
28 kasus “Bom Kuningan” dengan Terdakwa Joko Triharmanto dan Purnama Putra.16 Pada saat dakwaan dibacakan, kedua Terdakwa tersebut tidak didampingi oleh Penasihat Hukum, padahal ancaman hukuman maksimal yang didakwakan kepada mereka adalah hukuman mati sesuai Pasal 9 dan 13 huruf b Perpu No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Juncto UU No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1/2002 menjadi UU. Rencananya kedua terdakwa tersebut didampingi oleh Penasihat Hukum dari Mabes Polri, namun tanpa ada keterangan yang jelas Penasihat Hukum tersebut tidak hadir di persidangan. Terhadap tidak adanya Penasihat Hukum para Terdakwa, maka Majelis Hakim meminta Jaksa Penuntut Umum untuk memastikan kedua terdakwa harus didampingi oleh Penasihat Hukum pada persidangan selanjutnya, mengingat ancaman pidana yang didakwakan adalah pidana mati. Pada masa sekarang mengenai bantuan hukum secara cuma- cuma diatur dalam pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun2003 tentang Advokat yang berbunyi: “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepadapencar keadilan yang tidak mampu”; dan juga diatur dalam Peraturan pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma; sebagai peraturan pelaksana dari pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam pasal 1 angka (6) PP No. 83 Tahun 2008, disebutkan bahwa “Lembaga Bantuan Hukum adalah lembaga yang memberikan bantuan hukum kepada Pencari Keadilan tanpa menerima pembayaran honorarium”. Namun konsep bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka (6) PP No. 83 Tahun 2008 tersebut tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada kenyataannya. Pada kenyataan banyak terdapat kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai organisasi bantuan hukum tapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee, yang menyimpang dari konsep pro bono public yang sebenarnya merupakan kewajiban advokat. Hal ini terjadi karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang
secara tegas memberikan sanksi bagi advokat yang menolak memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu membayar. Peraturan yang ada hanya memberikan sanksi oleh Organisasi Advokat kepada advokat yang melanggar ketentuan tersebut berupa sanksi teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap dari profesinya, sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (1) dan (2) PP No. 83 Tahun 2008. Oleh karena itu diperlukan undang-undang bantuan hukum yang mengatur dan memberikan sanksi yang tegas serta mengikat kepada advokat yang menolak memberikan bantuan hokum secara cumacuma kepada orang yang tidak mampu dan mempertegas hak konstitusional fakir miskin untuk memperoleh bantuan hukum. Namun yang jadi permasalahan adalah bahwa peraturan perundang-undangan mengenai bantuan hukum secara cumaCuma hanya mengatur untuk golongan yang tidak mampu dan fakir miskin, sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka (4) PP No. 83 Tahun 2008 yang berbunyi: “Pencari Keadilan yang tidak mampu yang selanjutnya disebut Pencari Keadilan adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu memerlukan jasa hokum Advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum” dan pasal 4 ayat (3) PP No. 83 Tahun 2008 yang berbunyi: “Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pencari Keadilan harus melampirkan keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat yang berwenang”; sehingga bagaimanakah untuk golongan menengah yang tidak dapat digolongankan fakir miskin dan juga tidak dapat dikatakan mampu (kaya) untuk membayar jasa pengaca/advokat, namun ditolak untuk mendapatkan surat keterangan tidak mampu oleh pejabat yang berwenang dengan alasan termasuk golongan yang mampu untuk membayar jasa pengacara/advokat ? Mengenai bantuan hukum Jerold Auerbach berpendapat bahwa:
29 “Throughout the 20th century, as judges and lawyers have monotonously conceded, legal institutions have defaulted on their obligation to provide justice for all. This is surely because the ideal of equal justice is incompatible with the social realities of unequal wealth, power, and opportunity, which no amount of legal formalism can disguise”. Dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, aspek terpenting dalam bantuan hukum adalah segi pendanaan. Kondisi financial sangat penting dalam menentukan pengembangan program bantuan hukum. Segi pendanaan untuk bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu seharusnya merupakan tanggung jawab negara. Jika negara mengabaikan tugas konstitusionalnya untuk membiayai gerakan bantuan hukum dan tidak mengalokasikan anggaran tertentu dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), itu artinya Negara tidak memenuhi kewajibannya untuk melindungi fakir miskin. Namun dalam kenyataannya negara tidak menyediakan dana yang signifikan untuk membiayai bantuan hukum bagi orang fakir miskin dan tidak mampu. Contohnya adalah dukungan financial bagi YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang merupakan lembaga bantuan hukum diperoleh dari sumbangan-sumbangan luar negeri, seperti dari Amerika Serikat, Belanda, Swedia, Belgia, Australia, dan Kanada. Di India, bantuan hukum diakui sebagai hak konstitusional yang dinyatakan dalam Konstitusi India pasal 21 dan 22, intinya adalah negara di berikan tanggung jawab untuk menyediakan bantuan hokum bagi fakir miskin. Di Filipina, negara membantu pendanaan bagi bantuan hukum untuk orang miskin melalui kejaksaan agung, sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1) mengakui hak sipil, politik, ekonomi, budaya dan sosial fakir miskin tetapi belum menyediakan dana signifikan dalam Anggaran Pendapatan dan Pembelanjaan Negara(APBN) bagi bantuan hukum. Negara seharusnya menyediakan dana yang diambil dari APBN bagi terselenggaranya bantuan hukum.
Sedangkan dalam perkara pidana, Pasal 56 ayat (1) KUHAP menjamin bahwa untuk perkara-perkara pidana dengan ancaman hukuman mati atau hukuman lebih dari 15 tahun atau ancaman hukuman lebih dari 5 tahun bagi mereka yang tidak mampu, Negara melalui pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum. Pada masa lalu, setiap pengadilan dapat menunjuk Penasihat Hukum yang tersedia di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang umumnya ada di setiap pengadilan negeri. Sekarang ini dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma; maka diharapkan orang yang tidak mampu membayar jasa advokat/penasihat hukum dapat meminta bantuan hukum secara cuma-cuma untuk menghadapi perkaranya dan setiap orang yang tidak mampu serta diancam pidana penjara paling sedikit 5 tahun dapat memperoleh penasihat hukum/advokat dalam menghadapi perkaranya di pengadilan. Di Amerika Serikat, setiap proses pidana akan dimulai dengan Miranda Rule yang merupakan hak tersangka sebelum diperiksa oleh penyidik/instansi yang berwenang. Hak tersebut antara lain adalah hak untuk diam, karena segala perkataannya dapat digunakan untuk melawannya di pengadilan; hak untuk mendapatkan penasihat hukum/advokat untuk membela hak-hak hukumnya, dan bila ia tidak mampu maka ia berhak mendapatkan penasihat hukum dari negara, yang diberikan oleh pejabat yang bersangkutan. Hak tersebut merupakan bagian dari hak untuk memperoleh keadilan. Miranda Rule hanya merupakan penegasan saja terhadap hak-hak asasi manusia untuk memperoleh keadilan yang telah ada sebelumnya. Keadilan di sini termasuk keadilan atas kepastian hukum dalam tata cara mengadilinya. Disamping hak-hak yang telah diatur dalam Miranda Rule sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). Ternyata ada HAM lain yang berkaitan dengan Miranda Rule yang
30 telah pula diakomodasi dalam peraturanperaturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun prinsip-prinsip yang ada di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah sebagai berikut: 1. Hak untuk dianggap sama di depan hukum (pasal 17 UU HAM) 2. Hak untuk mendapat bantuian dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif (pasal 5 ayat (2) UU HAM). 3. Hak memperoleh keadilan dari pengadilan yang jujur dan adil. 4. Hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum diputuskan oleh hakim (pasal 18 ayat (1) UU HAM) 5. Hak untuk dituntut hanya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku 6. Hak untuk mendapatkan ketentuan hukum yang paling menguntungkan tersangka, jika perubahan aturan hukum (pasal 18 ayat (3) UU HAM) 7. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (pasal 18 ayat (4) UU HAM) 8. Hak untuk dituntut pidana hanya berdasar aturan hukum yang telah ada sebelumnya (pasal 18 ayat (2) UU HAM) 9. Hak untuk tidak dituntunt untuk kedua kalinya dalam kasus yang sama (pasal 18 ayat (5) UU HAM) 10. Hak untuk mendapat jaminan hukum yang diperlukan untukpembelaannya (pasal 18 ayat (1) UU HAM) Berdasarkan ketentuan pasal 54 dan pasal 114 KUHAP, sebelum penyidik melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka maka tersangka wajib diberitahukan hak-haknya, termasuk untuk mendapatkan bantuan hukum dengan didampingi oleh penasihat hokum dalam pemeriksaannya. Berdasarkan ketentuan pasal 115 KUHAP penasihat hukum dalam mendampingi tersangka dilakukan dengan cara menyaksikan dan mendengar pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik, namun dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, penasihat hukum dapat hadir dengan cara
melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka. Adapun hak-hak tersangka selama pemeriksaan yang harus dihormati dan diperhatikan oleh penyidik adalah sebagai berikut: 11. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun (pasal 117 ayat (1) KUHAP). 12. Hak untuk dicatat keterangan yang diberikannya dengan seteliti-telitinya sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri (pasal 117 ayat (2) KUHAP). 13. Hak untuk meneliti dan membaca kembali hasil pemeriksaan sebelum tersangka menandatanganinya (pasal 118 ayat (1) KUHAP). Dari ketentuan pasal 114 KUHAP diatur bahwa penyidik berkewajiban sebelum pemeriksaan dimulai, memberitahukan bahwa tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum/advokat, dan memberitahukan bahwa perkara yang dihadapinya mengharuskan dirinya dalam pemeriksaan didampingi penasihat hukum/advokat. Sesuai dengan prinsipprinsip Miranda Rule, maka pemberitahuan tersebut seharusnya diberikan setelah seseorang dinyatakan sebagai tersangka, dengan maksud agar tersangka punya waktu untuk menghubungi atau mengupayakan penasihat hukum atau advokat guna mengkonsultasikan permasalahan yang sedang dihadapinya tersebut. Namun yang terjadi selama ini bukanlah demikian, seseorang yang dijadikan tersangka tidak langsung diberitahukan akan hak-hak hukumnya. Pemberitahuan dilakukan pada saat pemeriksaan dimulai, sehingga hal itu mengakibatkan tersangka tidak punya waktu dan kesempatan untuk mencari, menghubungi, dan berkonsultasi dengan penasihat hukum/advokat tentang perkara yang sedang dihadapinya. Pemberitahuan tersebut juga terkesan hanya formalitas. Miranda Rule merupakan aturan yang bersifat universal di hamper semua
31 negara yang berdasarkan hukum mempunyai peraturan hokum yang mirip. Negara Indonesia yang merupakan negara hukum sangat menghormati Miranda Rule yang dibuktikan dengan mengadopsi Miranda Rule ini ke dalam sistem Hukum Acara Pidana yaitu di dalam pasal 56 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan tindak pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.” Ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP dipandang dari pendekatan strict law atau formalitas legal thinking mengandung beberapa aspek permasalahan hukum, antara lain: 1. Mengandung aspek nilai Hak Asasi Manusia (HAM), di mana bagi setiap tersangka atau terdakwa berhak didampingi penasihat hokum pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Hak ini tentu sejalan dan/atau tidak boleh bertentangan dengan “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia” yang menegaskan hadirnya penasihat hukum untuk mendampingi tersangka atau terdakwa merupakan sesuatu yang inhaerent pada diri manusia. dan konsekuensi logisnya bagi penegak hukum yang mengabaikan hak ini adalah bertentangan dengan nilai HAM. 2. Pemenuhan hak ini oleh penegak hukum dalam proses peradilan pada semua tingkat pemeriksaan menjadi kewajiban dari pejabat yang bersangkutan apabila tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan diancam pidana mati atau 15 tahun atau lebih, atau bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri. Berdasarkan ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP ini tentu kehadiran dan keberadaan penasihat hukum mendampingi tersangka bersifat
imperatif, sehingga kalau mengabaikannya maka mengakibatkan hasil pemeriksaan atau hasil penyidikan tidak sah atau batal demi hukum. 3. Pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat menjadi salah satu patokan Miranda Rule di Indonesia. Apabila pemeriksaan/penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan perkara tersangka/terdakwa di persidangan tidak didampingi penasihat hukum maka sesuai dengan Miranda Rule, hasil penyidikan tidak sah (illegal) atau batal demi hukum (null and void). Kewajiban pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasihat hukum pada suatu tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan tersebut tidak berlaku/gugur atau terdapat pengecualian dalam hal sebagai berikut: 1. sebelum pemeriksaan dimulai tersangka/terdakwa telah mempunyai penasihat hukum sendiri yang telah ia tunjuk sendiri atau atas tunjukan dari keluarga tersangka tersebut; 2. Tersangka atau terdakwa tersebut diancam dengan pidana kurang dari 5 (lima) tahun (sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP). Namun dalam hal tersangka menolak untuk didampingi oleh penasihat hukum, maka guna terciptanya transparansi penegakan hukum, pihak penyidik seyogyanya membuat berita acara penolakan tersangka atau membuat surat pernyataan dari tersangka yang bersangkutan yang isinya menolak adanya penasihat hukum dalam perkara yang dihadapinya, dan mengenai adanya surat pernyataan penolakan dari tersangka tersebut harus diketahui dan turut ditandatangani pula oleh penasihat hukum yang bersangkutan tersebut. KESIMPULAN Berdasarkan telaah dalam uraian di atas disimpukan sebagai berikut: 1. Akses Menuju Keadilan dalam Sistem Peradilan Pidana adalah kenyataan bahwa tidak semua golongan dalam
32 masyarakat memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh keadilan pada saat menghadapi masalah dalam proses hukum mulai dari tingkat Penyidikan, Penuntutan dan di tinglkat pengadilan, terhadap kaum lemah dan miskin sekalipun telah diatur dalam KUHAP, namun masih memerlukan sinkronisasi dengan ketentuan peraturan hukum lainnya, 2. Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi keadilan tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum modern di Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar. Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang kita pakai tetap merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.” Oleh sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa Indonesia disebabkan menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum modern sebagai kaidah positif menjadi kaidah kultural. 3. Akses Menuju Keadilan dalam Sistem Peradilan Pidana dari sudut pandang informasi hukum merupakan pelayanan publik dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan maupun lembaga Peradilan. Dengan menggunakan teknologi informasi, diharapkan setiap orang di pelosok manapun berada dapat dengan mudah dan murah menerima informasi mengenai tata cara, biaya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses beracara di pengadilan
Memperoleh Bantuan Hukum. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2009. Frans Hendra Winarta. Suara Rakyat Hukum Tertinggi. PT Kompas Media Nusantara. 2009. Joshua Rozenberg. The Search For Justice An Anotamy od the Law. Hodder and Stoughton Ltd. 194. Solly Lubis. Pembahasan UUD 1945. Alumni. Bandung. 1975. Sofyan Lubis. Prinsip “Miranda Rule” Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan. Pustaka Yustisia. 2010. Satjipto Rahadjo. Sistem Peradilan Pidana Dalam Wacana Kontrol Sosial. Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi. Vol. I/Nomor I/1998. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1998. Satjipto Rahardjo. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. 2003. ______. Hukum dan Masyarakat. Bandung. Angkasa. 1981. Satjipto Rahardjo. Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan. Bandung. Alumni. 1980. ______. “Membangun Keadilan Alternatif”; Kompas, Rabu, 5 April 1995. ______. “Mengubah Perilaku dan Kultur Polisi”; dalam Kompas, 1 Juli 2002. ______. “Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi”; dalam Makalah Seminar Nasional ‘Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi’, PDIHUndip-Angkatan V, Semarang, Sabtu, 22 Juli 2000. ______. “Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi dari Kajian Sosio Kultural”; dalam Makalah Seminar Nasional – Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Kamis, 27 Juli 2000. ______. “Rekonstruksi Strategi Pembangunan Hukum Menuju Pembangunan Pengadilan yang Independen dan Berwibawa”; Makalah Seminar pada Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 28 Maret 2000.
DAFTAR RUJUKAN Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bina Cipta. Bandung. 1996. Access to Justice in Indonesia, Special Note on Indonesia’s Transitional Era and Corruption by Maruarar Siahaan, Access to Justice in Asian and European Transitional Countries, Bogor, 27-28 June. Frans Hendra Winarta, Probono Publico. Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk
Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennnya (1-4) Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang No. 14 tahun 1970 Jo Undangundang No. 35 tahun 1999 Jo UndangUndang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.