TALREV
Volume 1 Issue 2, December 2016: pp. 214-227. Copyright ©2016 TALREV. Faculty of Law Tadulako University, Palu, Central Sulawesi, Indonesia. ISSN: 2527-2977 | e-ISSN: 2527-2985. Open acces at: http://jurnal.untad.ac.id/index.php/TLR
PENEMUAN HUKUM PROGRESIF DALAM PROSES PERADILAN PIDANA THE PROGRESIVE RECHTSVINDING IN CRIMINAL JUSTICE PROCESS Wahyu Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam JL. Sultan Adam No. 130 RT. 226 RW. 10, 70122, Banjarmasin, Indonesia Telp./Fax: +62-511-3302963 Email:
[email protected] Submitted: Nov 04, 2016; Reviewed: Dec 31, 2016; Accepted: Dec 31, 2016
Abstrak Hukum positif masih mendominasi dunia hukum di Indonesia. Saat ini dunia hukum harus melakukan suatu terobosan hukum. Proses hukum seringkali tidak mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas, apalagi memberikan keadilan substantif bagi para pihak baik dari sisi pelaku maupun korban. Penemuan hukum progresif dalam proses peradilan pidana sangat diperlukan saat ini. Salah satunya dengan cara menerapkan putusan hakim yang bersifat progresif yaitu putusan hakim yang tidak hanya sematamata bersifat legalistik hanya sekedar menjadi corong undang-undang, putusan hakim tidak boleh hanya sekedar untuk memelihara ketertiban saja tetapi putusan hakim harus berfungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun harmonisasi sosial. Terakhir putusan hakim harus memiliki visi pemikiran ke depan (visioner) yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum (rule breaking) untuk negara yang lebih baik. Kata Kunci: Hukum Positif, Hukum Progresif, Putusan Hakim Abstract The positive law still dominates in Indonesian’s law. Currently the legal institutions must do a new beginning. Legal proceedings not often able to resolve the law issue clearly, even provide the substantive justice for both of the perpetrators and the victims. The discovery of progressive law in the criminal justice process is indispensable today. For example is to implement the progressive judge’s decision that’s mean it is not just legalistic as a depictions of the constitution, judge’s decision not only to maintain order but to deliver improvements in public and to build the social harmonitations. For the last, judge’s decision must be visionary that reborned the courage morality and legal breakthrough for the better nation. Keywords: Judge’s Decision, Positive Law, Progressive Law
PENDAHULUAN Menemukan hukum merupakan sa-
kum pada umumnya menitikberatkan pada posisi hakim dan pembentuk undang-
lah satu karya manusia. Problematika
undang.
Namun
dalam
kenyataannya
yang berhubungan dengan penemuan hu-
problematika penemuan hukum ini tidak □ 214
Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016
hanya menjadi peran sentral dari hakim
pidana di Indonesia pada saat ini jelas ti-
dan pembentuk undang-undang belaka.
dak realistis karena keberadaan paradigma
Berbagai pihak melakukan penemuan hu-
hukum positif masih mendominasi dunia
kum, yang lebih utama boleh dikatakan
hukum di Indonesia. Oleh karenanya, da-
penemuan hukum merupakan problemati-
lam hal ini hukum seyogyanya harus me-
ka setiap pencari keadilan.
lakukan respon dan diharapkan adanya
Secara idealnya dapat dikatakan ti-
suatu terobosan hukum yang dilakukan
dak ada suatu perkara pidana dapat diadili
oleh para penegak hukum tersebut yang
dengan serta merta ketika seseorang di-
mana merupakan respon terhadap proses
anggap melanggar ketentuan hukum pida-
hukum seringkali tidak mampu menyele-
na. Proses peradilan pidana yang dalam
saikan persoalan secara tuntas apalagi
hal ini berujung dalam suatu putusan pen-
memberikan keadilan substantif bagi para
gadilan, yang mana putusan hakim pidana
pihak baik dari sisi pelaku maupun kor-
akan terasa sangat dihargai dan mempu-
ban. Proses hukum lebih tampak sebagai
nyai suatu kewibawaan, ketika putusan
“mesin
tersebut dapat merefleksikan rasa keadilan
hanya berfungsi mengejar target penyele-
hukum masyarakat dan nantinya akan
saian perkara yang efektif dari sisi kuanti-
menjadi sarana bagi masyarakat pencari
tas sesuai dengan tahap-tahap dan “aturan
keadilan untuk mendapatkan kebenaran
main” yang secara formal ditetapkan da-
dan keadilan.
lam peraturan.
peradilan”
yang
semata-mata
Penerapan legal realism 1 dan criti-
Hukum dan proses peradilan sering-
cal legal studies 2 dalam proses peradilan
kali merasa terkendala ketika harus dihadapkan pada kasus-kasus yang semakin
1
Para ahli legal realism meninggalkan pembicaraan hukum yang abstrak dan tidak menyibukkan diri dengan pertanyaan falsafah hukum, tetapi mempergunakan pendekatan sosiologis dengan semboyan “hukum adalah apa yang dibuat oleh para hakim”. Menurut kaum realis, hakim lebih layak disebut “pembuat hukum” daripada “penemu hukum”. Lihat Riduan Syahrani. 2013. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Cetakan Ke-VI. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 53. 2 Dari sudut teoritis aliran critical legal studies lebih merupakan kritikan terhadap objektivisme dan formalisme. Dalam perkembangannya critical legal studies makin menunjukkan identitasnya sebagai sebuah mazab yang menampung berbagai aliran hukum pe-
rumit dan kompleks seiring dengan pernentang formalisme hukum atau positivisme hukum. Dengan kata lain critical legal studies adalah nama generik untuk menyebut realisme hukum, teori hukum marxis, teori hukum feminis, ataupun teori hukum postmodern. Bukan hanya itu pada masingmasing negara critical legal studies hadir dengan watak yang berbeda. critical legal studies di Kanada lebih didominasi oleh filsafat hukum Marxis. Sementara di Amerika Serikat oleh postmodernisme. Lihat Nicholas K. Blomley. 1994. Law, Space, and the Geographies of Power. New York: The Guilford Press, hlm. 11.
□ 215
Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016
kembangan masyarakat yang sangat dipa-
aturan hukum positif, namun disertai den-
cu oleh sistem global.
gan pemaknaan yang luas dan tajam. Ke-
Hukum progresif sebenarnya dimu-
luasan dan ketajaman pemaknaan hukum
lai dari suatu asumsi dasar bahwa hukum
progresif bahkan lebih dari apa yang di-
adalah untuk manusia bukan sebaliknya
kembangkan dalam sociological jurispru-
manusia untuk hukum.3 Hukum progresif
dence, 4 namun mencakup pula aspek psi-
di sini hendaknya mampu mengikuti per-
kologis dan filosofis. Memang menjalan-
kembangan zaman, mampu menjawab pe-
kan hukum progresif berarti meninggalkan
rubahan zaman dengan segala dasar di da-
cara berhukum dengan “kacamata kuda”
lamnya, serta mampu melayani masyara-
(masinal, atomizing, mekanistik, linier)
kat dengan menyadarkan pada aspek mo-
dan merubahnya menjadi cara pandang
ralitas dari sumber daya manusia penegak
yang utuh (holistic) dalam membaca atu-
hukum itu sendiri.
ran dan merekonstruksi fakta. Dengan
Lebih utamanya tujuan daripada hu-
demikian dalam menghadapi situasi yang
kum sebenarnya menghendaki adanya ke-
bersifat extraordinary khususnya dalam
pastian, kemanfaatan, dan keadilan yang
proses peradilan pidana, pekerja hukum
menjadi sebuah kebutuhan yang hakiki
harus menjalankan profesi atau tugas me-
bagi semua orang pencari keadilan terle-
lampaui batas beban tugasnya (Mesubu-
bih ketika bermasalah dengan hukum pi-
di/doing to the utmost).
dana. Berkaitan dengan realitas-realitas
Masalah interpretasi atau penafsiran
tersebut maka konsep penemuan hukum
menjadi sangat urgen dalam pember-
progresif dalam proses peradilan pidana
dayaan hukum progresif dalam rangka
dianggap jalan tengah yang terbaik. Me-
untuk mengatasi kemandegan dan keter-
mang “ajaran” hukum progresif tidak
purukan hukum. Interpretasi dalam hukum
“mengharamkan” hukum positif namun
progresif tidak terbatas pada konvensi-
tidak juga mendewakan ajaran hukum be-
konvensi yang selama ini diunggulkan
bas. Progresivisme tetap berpijak pada
seperti penafsiran gramatikal, sejarah, sis-
3
Asumsi dasar mengenai konsep hukum progresif ini oleh Satjipto Rahardjo dinyatakan bahwa hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia, Lihat Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum Progresif (Sebuah Sintesa Hukum Indonesia). Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 1.
4
Aliran Sosiological Jurisprudence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitikberatkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan yang hidup di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law).
□ 216
Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016
tematik dan sebagainya, namun lebih dari
Hakim memang selalu dihadapkan
itu berupa penafsiran yang bersifat kreatif
pada peristiwa konkrit, konflik atau kasus
dan inovatif sehingga dapat membuat se-
yang harus diselesaikan atau dipecahkan-
buah terobosan dan “lompatan” pemak-
nya dan untuk itu perlu dicarikan hukum-
naan hukum menjadi sebuah konsep yang
nya. Jadi dalam penemuan hukum yang
tepat dalam menjangkau hukum yang
penting adalah bagaimana mencarikan
bermoral kemanusiaan.
atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit.
PEMBAHASAN Selayang pandang mengenai penemuan hukum Perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah berlangsung lama dan ajaran penemuan hukum, ajaran penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad 19 dikenal dengan hermeneutik yuridis (hermeneutika = ilmu penafsiran).
5
Menurut ajaran hukum fungsional dari Ter Heide yang penting adalah pertanyaan bagaimana dalam situasi tertentu dapat diketemukan pemecahannya yang paling baik yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan bersama dan dengan harapan yang hidup diantara para warga masyarakat terhadap “permainan kemasyarakatan” yang dikuasai oleh “aturan permainan”. 6 Menurut pandangan klasik yang di-
Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses kokretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.
kemukakan oleh Montequieu dan Kant, hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang (bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah dan tidak pula dapat menguranginya. Ini disebabkan karena menurut
Montesquieu
undang-undang
adalah satu-satunya sumber hukum posi5
Sudikno Mertokusumo. 2009. Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar). Cetakan Ke-6. Yogyakarta: Liberty, hlm. 37.
6
G. J. Wiarda. 1988. 3 type van rechtsvinding. Zwolle: W. E. J. Tjeenk Willink, hlm. 40, dalam Ibid., hlm. 38.
□ 217
Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016
tif. Oleh karena itu demi kepastian hukum,
Pendapat berbeda juga terlihat da-
kesatuan hukum serta kebebasan warga
lam aliran Freirechtbewegung 9 yang men-
negara yang terancam oleh kebebasan ha-
coba mengarahkan perhatiannya kepada
kim, hakim harus ada di bawah undang-
sifat-sifat yang khusus pada peristiwa
undang. Berdasarkan pandangan ini pera-
konkrit dan kepentingan yang berkaitan.
dilan tidak lain hanyalah bentuk silo-
Rasa hukum hakim harus dipusatkan ke-
gisme. 7
pada hal-hal tersebut dan juga pada tujuan
Di sisi lain menurut aliran Be-
yang tersirat dalam peraturan. Kalau pe-
griffsjurisprudenz 8 yang merupakan pen-
nyelesaian berdasarkan rasa hukum itu
gembangan sistem azas-azas dan penger-
tidak sesuai dengan penyelesaian menurut
tian umum yang digunakan untuk meng-
undang-undang, maka hakim berwenang
kaji undang-undang. Aliran ini lebih
dan wajib untuk menyimpang dari penye-
memberikan kebebasan pada hakim, ha-
lesaian menurut undang-undang. Tidak
kim mudah menjadi abdi dari dogma dan
mengakui undang-undang sebagai satu-
atau undang-undang, hakim tidak perlu
satunya sumber hukum mengarah pada
terikat pada bunyi undang-undang tetapi
subjektivitasi putusan hakim. Dengan de-
dapat mengambil argumentasinya dari pe-
mikian disadari bahwa putusan hakim
raturan hukum yang tersirat dalam un-
mengandung karya yang bersifat mencip-
dang-undang. Kesalahan dari aliran ini
takan. Pelaksanaan hukum bergeser ke
adalah terlalu mendewa-dewakan rasio
arah penemuan hukum atau pembentukan
dan logika dalam meluaskan undang-
hukum.
undang sampai terbentuknya hukum. Me-
Sumber utama dalam penemuan
reka secara terbalik memandang alat se-
yang dilakukan oleh hakim adalah peratu-
bagai tujuan sehingga keadilan dan man-
ran perundang-undangan, hukum kebia-
faat kemasyarakatan tidak tercapai.
saan, yurisprudensi, perjanjian internasional, kemudian doktrin. Dalam ajaran
7
Silogisme adalah proses berfikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal yang umum (premis mayor) dan hal yang khusus (premis minor). Premis mayornya adalah undangundang sedangkan premis minornya adalah peristiwa atau kasusnya, selanjutnya putusannya merupakan kesimpulan yang logis. 8 Begriffsjurisprudenz merupakan aliran penemuan hukum yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-1890) yang menekankan pada sistematika hukum, lihat ibid., hlm. 97
penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan dari sumber-sumber hukum
9
Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar tahun 1900 di Jerman. Rekasi ini dimulai oleh Kantorowicz. Aliran baru ini disebut “freirechtlich” (bebas) dan kemudian dari itulah muncul istilah freirechtbewegung. Lihat Ibid, hlm. 101-103.
□ 218
Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016
yang lain. Kalau hendak mencari hukum-
penemuan hukum oleh hakim menurut
nya, arti sebuah kata, maka dicarilah ter-
juris dari Eropa Kontinental dengan juris
lebih dahulu dalam undang-undang, kare-
yang berasal dari Anglo Saxon. Pada
na undang-undang bersifat otentik dan
umumnya juris Eropa Kontinental tidak
berbentuk tertulis, yang lebih menjamin
memisahkan secara tegas antara metode
kepastian hukum. 10
interpretasi dengan metode konstruksi, hal ini dapat dilihat dalam paparan buku-buku
Teori Penemuan Hukum
Paul Scholten, Pitlo, Sudikno Mertokusu-
Metode penemuan hukum yang dianut dewasa ini, seperti yang dikemukakan oleh J.J.H. Bruggink meliputi metode interpretasi (interpretation methoden) dan metode konstruksi hukum atau penalaran (redeneerweijzen).
Kemudian
metode
mo, dan Yudha Bhakti Adiwisastra. Sebaliknya, para penulis yang condong kepada sistem Anglo Saxon, seperti Curzon, B. Arief Sidharta, dan Achmad Ali, membuat pemisahan secara tegas antara metode interpretasi dengan metode konstruksi. 13
konstruksi hukum ini terdiri atas nalar analogi dan gandengannya (spiegelbeeld) a-contrario, dan ditambah bentuk ketiga yang oleh Paul Scholten disebut penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam Bahasa Indonesia oleh Soedikno Mertokusumo disebut penyempitan hukum. 11 Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi hukum atau penafsiran hukum dan melalui metode konstruksi. 12 Kemudian ada perbedaan pandangan tentang metode atau cara 10
Ibid., hlm. 48. 11 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati. 2005. Argumentasi Hukum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hlm. 26. 12 Achmad Ali. 1993. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: Chandra Pratama, hlm. 167.
Interpretasi hukum terjadi apabila terdapat ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat ditetapkan pada kasus konkrit yang dihadapi, atau metode ini dilakukan dalam hal peraturannya sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkret atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu makna ganda, norma yang kabur (vage normen), konflik antar norma hukum (antinomy normen), dan ketidakpastian dari suatu peraturan perundangundangan. Interpretasi terhadap teks peraturan perundang-undangannya pun masih tetap berpegang pada bunyi teks tersebut. 14 13
Ibid., hlm. 155. Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum (Teori Penemuan Hukum Baru dengan Inter-
14
□ 219
Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016
Konstruksi hukum terjadi apabila ti-
asa digunakan oleh hakim pada saat mela-
diketemukan
undang-
kukan penemuan hukum, yaitu: argumen-
undang yang secara langsung dapat dite-
tum per analogium (analogi), arguentum a
rapkan pada masalah hukum yang dihada-
contrario,
pi, ataupun dalam hal peraturannya me-
hukum, dan fiksi hukum. 17
dak
ketentuan
penyempitan/pengkonkretan
mang tidak ada, jadi terdapat kekosongan hukum (recht vacuum) atau kekosongan undang-undang
(wet
vacuum).
Teori Hukum Progresif Pada awalnya sistem hukum positif
Untuk
mengisi kekosongan undang-undang inilah, biasanya hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. 15 Pada awalnya metode interpretasi oleh J.J.H. Bruggink dikelompokkan da-
dipandang bisa memberikan harapan untuk mengatur berbagai persoalan pada masyarakat modern sehingga (diprediksikan) bisa mencapai ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Namun demikian, pada kenyataannya dan dalam perkembangannya, sifat hukum positif yang netral dan liberal, justru menjadikan hukum modern semakin “terasing” dari realitas-realitas yang terus berkembang semakin pesat. Konsep hukum progresif lahir dan
lam 4 (empat) kelompok, yaitu: interpretasi bahasa (de taalkundige interpretative) atau interpretasi gramatikal, interpretasi historis undang-undang (de wetshistorische interpretatie), interpretasi sistematis (de systematicsche interpretative), dan interpretasi kemasyarakatan (de maatshappelijke interpretatie) atau interpretasi teleologis/sosiologis. 16 Selanjutnya dalam metode konstruksi hukum ada 4 (empat) metode yang bipretasi Teks). Yogyakarta: UII Press, hlm. 52. 15 Ibid. 16 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Loc.Cit., hlm. 26.
berkembang tidak terlepas dari adanya rasa ketidakpuasan dari kalangan hukum terhadap teori dan praktik hukum tradisional yang berkembang dan mengkritisi adanya kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in books) dengan hukum dalam kenyataan (law in action), serta adanya kegagalan dari hukum dalam memberikan respon terhadap masalahmasalah yang terjadi di dalam masyarakat. 18
17
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm. 67-73. Marwan Effendy. 2014. Teori Hukum dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan, dan
18
□ 220
Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016
Dalam hukum progresif, hukum se-
dengan beberapa teori hukum yang telah
lalu berada dalam proses untuk terus men-
mendahuluinya, antara lain: Konsep hu-
jadi atau berkembang. Hukum merupakan
kum responsif (responsive law) yang sela-
institusi yang secara terus-menerus mem-
lu dikaitkan dengan tujuan-tujuan di luar
bangun dan merubah dirinya menuju ke-
narasi tekstual hukum itu sendiri, Legal
pada tingkat kesempurnaan yang lebih
Realism; Freirerechtslehre; Critical Legal
baik. Kualitas kesempurnaan ini bisa dive-
Studies. 19 Meskipun hukum progresif ber-
rifikasikan ke dalam faktor keadilan, kese-
sama
jahteraan, kepedulian kepada rakyat dan
mengkritik doktrin-doktrin hukum positif,
lain sebagainya.
namun hukum progresif sebenarnya tidak
Sebagaimana
telah
dikemukakan
aliran-aliran
hukum
tersebut
santai terhadap keberadaan sistem hukum
bahwa dalam mewujudkan tujuannya hu-
positif.
kum bukanlah merupakan sesuatu yang D. mutlak dan final tetapi selalu “dalam
Penemuan Hukum Progresif dalam
proses menjadi” (law as process, law in
Proses Peradilan Pidana Sebagaimana kita ketahui bahwa tu-
the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan. Dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap rakyat. Bahkan hukum progresif menginisiasi konsep “rule breaking” yakni merobohkan hukum yang dipandang tidak mampu mewujudkan keadilan dan membangun kembali hukum yang lebih baik. Dari sudut teori, hukum progresif meninggalkan tradisi analitical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan mengarah pada tradisi sociological jurisprudence. Jadi sebenarnya konsep hukum progresif bersentuhan, dipengaruhi atau berbagi Harmonisasi Hukum Pidana. Jakarta: Referensi, hlm. 29.
juan hukum dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) aliran, yaitu: 20 1. Aliran etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu semata-mata hanya untuk mencapai keadilan. 2. Aliran utilitis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu hanyalah
menciptakan
kemanfaatan
atau kebahagiaan masyarakat. 3. Aliran normatif / yuridis dogmatis, yang menganggap bahwa pada prinsip19
Shidarta. 2011. Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-Aliran Filsafat Hukum: Sebuah Diagnosis Awal, Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif – Urgensi dan Kritik. Jakarta: Epistema Institute dan HuMA, hlm. 55-58. 20 Achmad Ali. Op.Cit., hlm. 95.
□ 221
Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016
nya tujuan hukum itu adalah untuk
mudian menurut John Raws dengan teo-
menciptakan kepastian hukum.
rinya yang disebut Teori Rawls atau Jus-
Pandangan yang menganggap tujuan
tice as Fairness (keadilan sebagai kejuju-
hukum semata-mata hanyalah keadilan
ran) menyatakan bahwa hukum itu harus-
belaka, diragukan karena keadilan sendiri
lah menciptakan suatu masyarakat yang
sebagai sesuatu yang abstrak. Keadilan
ideal, yaitu masyarakat yang mencoba
dapat berwujud kemauan yang sifatnya
memperbesar kebahagiaan dan memper-
tetap dan terus-menerus untuk memberi-
kecil ketidakbahagiaan (the greatest hap-
kan bagi setiap orang apa yang menjadi
piness of the greatest number people). 23
haknya, dan ada pula yang melihat keadi-
Aliran normatif / yuridis dogmatis
lan itu sebagai pembenaran bagi pelaksa-
yang pemikirannya bersumber pada posi-
naan hukum yang diperlawankan dengan
tivis yang beranggapan bahwa hukum se-
kesewenang-wenangan. 21 Aliran etis dapat
bagai sesuatu otonom dan mandiri, tidak
dianggap sebagai ajaran moral idea atau
lain hanyalah kumpulan aturan yang ter-
ajaran moral teoretis. Penganut aliran ini
dapat dalam ketentuan peraturan perun-
diantaranya adalah Aristoteles, Justinia-
dang-undangan atau hukum yang tertulis
nus, dan Eugen Erlich. 22
saja, dan tujuan pelaksanaan hukum dalam
Aliran utilitis memasukkan ajaran
hal ini untuk sekedar menjamin terwujud-
moral praktis yang menurut penganutnya
nya kepastian hukum. Penganut aliran ini
bertujuan untuk memberikan kemanfaatan
antara lain John Austin dan Van Kan. Van
atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya
Kan berpendapat bahwa tujuan hukum
bagi sebanyak mungkin warga masyara-
adalah menjaga setiap kepentingan manu-
kat, sebagaimana dikemukakan oleh para
sia agar tidak diganggu dan dijamin ke-
penganutnya, yaitu diantaranya adalah
pastiannya.
Jeremy Bentham, James Mill, dan John
Menurut aliran ini selanjutnya, wa-
Stuart Mill. Bahkan Jeremy Bentham ber-
laupun aturan hukum atau penerapan hu-
pendapat bahwa negara dan hukum sema-
kum terasa tidak adil dan tidak memberi-
ta-mata ada hanya untuk manfaat sejati,
kan manfaat yang besar bagi mayoritas
yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Ke-
warga masyarakat, hal tersebut tidaklah
21
Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 129-130. 22 Achmad Ali. Op.Cit., hlm. 85.
23
Ibid., hlm. 85.
□ 222
Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016
menjadi masalah, asalkan kepastian hukum dapat ditegakkan.
24
Kepastian hukum menginginkan hu-
undang-undang, sehingga keadilan menurut hukum belum tentu sama dengan keadilan moral atau keadilan masyarakat.
kum harus dilaksanakan dan ditegakkan
Berdasarkan hal tersebut, proses
secara tegas bagi setiap peristiwa konkret
mengadili suatu perkara pidana, seorang
dan tidak boleh ada penyimpangan (fiat
hakim sebagai aparat penegak hukum
justitia et pereat mundus/hukum harus
yang memeriksa, mengadili dan memutus
ditegakkan meskipun langit runtuh). Ke-
perkara pidana, akan selalu dihadapkan
pastian hukum memberikan perlindungan
pada tugas untuk menilai bukti-bukti yang
kepada yustisiabel dari tindakan sewe-
dihadapkan kepadanya kemudian menda-
nang-wenang pihak lain, dan hal ini ber-
patkan keyakinan dari hati nuraninya. Se-
kaitan dalam usaha ketertiban dalam ma-
telah itu, ia memberikan pertimbangan
syarakat. 25
dan putusan yang tepat bagi seorang ter-
Sebagaimana telah disebutkan di
dakwa. Dalam memutus suatu perkara pi-
atas bahwa masyarakat memiliki kepen-
dana, suatu masalah yang selalu dihadapi
tingan agar dalam proses peradilan pidana
oleh hakim adalah kerap kali suatu hukum
khususnya pelaksanaan atau penegakan
tertulis ternyata tidak mampu menyelesai-
hukum pidana, memperhatikan nilai-nilai
kan masalah yang dihadapi. Dalam kondi-
keadilan. Akan tetapi, harus diingat pula
si seperti ini seorang hakim dituntut untuk
bahwa hukum itu tidak identik dengan
menemukan hukum dan atau menciptakan
keadilan, karena bersifat umum, mengikat
hukum untuk melengkapi hukum yang
setiap orang, dan bersifat menyamarata-
telah ada dalam memutus suatu perkara
kan atau tidak membeda-bedakan kea-
pidana. Hal ini didasarkan pula pada asas
daan, status ataupun perbuatan yang dila-
bahwa hakim tidak boleh menolak suatu
kukan oleh manusia. Bagi hukum, setiap
perkara dengan dalil hukumnnya tidak
kejahatan oleh pelaku tindak pidana atau
jelas.
pelanggaran hukum, maka harus dijatuh-
Proses peradilan pidana yang ber-
kan pidana/hukuman yang sesuai dengan
muara pada putusan pengadilan, menyata-
apa yang tertera dalam bunyi pasal dalam
kan bahwa tugas hakim adalah memeriksa, mengadili dan kemudian menjatuhkan
24
Ibid., hlm. 94. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Jakarta: Citra Aditya Bakti, hlm. 2.
putusan atas suatu perkara pidana yang
25
dihadapkan kepadanya dan yang pertama-
□ 223
Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016
tama menjadi pedoman bagi hakim dalam
hukum yang dihadapi, atau dalam hal pe-
hal ini adalah peraturan perundang-
raturannya memang tidak ada, jadi terda-
undangan. Tugas yustisial tersebut terma-
pat kekosongan hukum (recht vacuum)
suk pula di dalamnya adalah tugas hakim
atau kekosongan undang-undang (wet va-
dalam melakukan penemuan hukum mela-
cuum). Untuk mengisi kekosongan hu-
lui putusan-putusannya. Metode pene-
kum/undang-undang inilah, biasanya ha-
muan hukum umum sebagaimana dije-
kim dalam peradilan pidana menggunakan
laskan di awal adalah metode interpretasi
penalaran logisnya untuk mengembang-
hukum dan konstruksi hukum. Di samping
kan lebih lanjut suatu teks undang-undang
ada metode hermeneutika hukum yang
di mana hakim tidak lagi berpegangan pa-
dianggap sebagai metode baru dalam teori
da bunyi teks tersebut. 26
penemuan hukum.
Jika dipadukan dengan metode fiksi
Metode interpretasi hukum dilaku-
hukum, dalam hal hakim dianggap tahu
kan dalam hal peraturannya sudah ada,
akan hukumnya (ius curia novit), maka
tetapi tidak jelas untuk diterapkan pada
putusan hakim akan merupakan suatu pu-
peristiwa konkret, atau mengandung arti
tusan yang progresif, apabila hakim dalam
pemecahan atau penguraian akan suatu
putusan yang akan dijatuhkannya, ingin
makna ganda, norma yang kabur (vage
keluar dari tawanan undang-undang atau
normen), konflik antar norma (antinomy
melakukan tindakan contra legem. 27 Pintu
normen) dan ketidakpastian dari suatu pe-
masuk yang dapat digunakan oleh hakim
raturan perundang-undangan. Interpretasi
dalam hal ini adalah Pasal 5 ayat (1) Un-
terhadap
perundang-
dang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ten-
undanganpun masih tetap berpegang pada
tang Kekuasaan Kehakiman, yang ber-
bunyi teks tersebut. Tujuannya tidak lain
bunyi : “Hakim dan hakim konstitusi wa-
adalah mencari serta menemukan sesuatu
jib menggali, mengikuti, dan memahami
hal yang menjadi maksud para pembuat-
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
nya.
hidup dalam masyarakat”. Kemudian juga
teks
peraturan
Sedangkan konstruksi hukum dila-
penjelasan dari pasal tersebut menyatakan
kukan apabila tidak diketemukan keten-
bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan agar
tuan undang-undang khususnya perundang-undangan hukum pidana yang secara 26
langsung dapat diterpakan pada masalah
Sudikno Mertokusumo. 2009. Op.Cit., hlm. 52. 27 Ahmad Rifai. 2010. Op.Cit., hlm. 136.
□ 224
Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016
putusan hakim sesuai dengan hukum dan
pidana. Setiap hakim selalu ditantang un-
rasa keadilan masyarakat”.
tuk menemukan hukum yang tepat untuk
Ketentuan, tersebut mem- berikan
mengadili dan memutus suatu perkara se-
makna bahwa hakim sebagai perumus dan
perti diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1)
penggali dari nilai-nilai hukum yang hi-
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
dup dalam masyarakat, harus terjun ke
Secara yuridis formal, diakuinya pene-
tengah-tengah masyarakat untuk mengen-
muan hukum dalam Undang-Undang No-
al, merasakan, dan mampu menyelami
mor 48 Tahun 2009 menegaskan sumber
perasaan hukum dan rasa keadilan yang
hukum Indonesia tidaklah selalu aturan
hidup dalam masyarakat, sehingga dalam
tertulis tetapi juga hukum yang berupa
menghadapi suatu perkara pidana yang
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
masuk pada suatu ketentuan perundang-
Harapan tersebut lebih menekankan tujuan
undangan, dan ternyata hakim mencermati
hukum yang dilaksanakan kekuasaan ke-
ketentuan undang-undang tersebut ternya-
hakiman untuk menegakkan hukum dan
ta tidak sesuai dan tidak sejalan dengan
keadilan bagi masyarakat Indonesia.
nilai-nilai kebenaran, keadilan, maupun
Meskipun demikian hakim pidana
moralitas dan etika, maka hakim dapat
tetap memiliki batasan yang jelas dalam
mengenyampingkan ketentuan dalam un-
melakukan interpretasi, di antaranya 28 :
dang-undang tersebut, dan menjatuhkan
1. Dalam hal kata atau kata-kata dan su-
putusan yang sesuai dengan nilai-nilai hu-
sunan kaidah sudah jelas, hakim wa-
kum dan rasa keadilan yang hidup dalam
jib menerapkan undang-undang me-
masyarakat dalam rangka mencapai keadi-
nurut bunyi dan susunan kaidah kecu-
lan substantif.
ali didapati hal-hal yang inkonsisten-
Terkait dengan penggunaan penafsi-
si,
pertentangan,
atau
ketentuan-
ran hukum sebagai upaya penemuan hu-
ketentuan tidak dapat menjangkau pe-
kum secara progresif, hakim pidana seba-
ristiwa hukum yang diadili;
gaimana hakim pada umumnya juga di-
2. Wajib memperhatikan maksud dan
tuntut untuk menggali nilai-nilai yang me-
tujuan pembentukan undang-undang,
rupakan norma yang berlaku di masyara-
kecuali maksud dan tujuan sudah
kat, artinya tugas penemuan hukum merupakan tugas istimewa bagi seorang hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
28
Hwian Christianto. 2011. Penafsiran Hukum Progresif dalam Perkara Pidana. Mimbar Hukum Volume 23 Nomor 3, Oktober 2011., hlm. 498-499.
□ 225
Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016
usang, terlalu sempit sehingga perlu
PENUTUP Berdasarkan paparan yang telah dis-
ada penafsiran yang lebih longgar; 3. Penafsiran hanya dilakukan demi
ampaikan di atas, dapat ditarik kesimpulan
memberi kepuasan kepada pencari
bahwa penemuan hukum progresif dalam
keadilan. Kepentingan masyarakat di-
proses peradilan pidana dapat dilihat da-
perhatikan sepanjang tidak bertentan-
lam putusan hakim yang sesuai dengan
gan dengan kepentingan pencari kea-
metode penemuan hukum yang bersifat
dilan;
progresif dengan ciri-ciri:
4. Penafsiran hanya dilakukan dalam
a.
Putusan hakim yang tidak hanya
rangka aktualisasi penerapan undang-
semata-mata bersifat legalistik, yaitu
undang bukan untuk mengubah un-
hanya sekedar menjadi corong un-
dang-undang;
dang-undang (la bouche de la loi)
5. Mengingat hakim hanya memutus
meskipun memang seharusnya ha-
menurut hukum, maka penafsiran ha-
kim selalu harus legalistik karena
rus mengikuti metode penafsiran me-
putusannya tetap berpedoman pada
nurut hukum dan memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang
asas-asas hukum umum, ketertiban
berlaku.
umum, kemaslahatan hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan
b.
Putusan hakim yang tidak hanya sekedar memenuhi formalitas hukum
secara
atau sekedar memelihara ketertiban
hukum; dapat
saja, tetapi putusan hakim harus ber-
menggunakan ajaran hukum sepan-
fungsi mendorong perbaikan dalam
jang ajaran tersebut relevan dengan
masyarakat dan membangun harmo-
persoalan hukum yang akan disele-
nisasi sosial dalam pergaulan.
6. Dalam
penafsiran,
hakim
saikan dan tidak merugikan kepentin-
c.
Putusan hakim yang memiliki visi pemikiran ke depan (visioner) yang
gan pencari keadilan; 7. Penafsiran harus bersifat progresif,
mempunyai keberanian moral untuk
yaitu berorientasi ke masa depan (fu-
melakukan terobosan hukum (rule
ture oriented), tidak menarik mundur
breaking).
keadaan hukum di masa lalu yang
d.
Terkait dengan penggunaan penafsi-
bertentangan dengan keadaan yang
ran hukum sebagai upaya penemuan
hidup dan perkembangan hukum.
hukum secara progresif, hakim pi-
□ 226
Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016
dana
sebagaimana
umumnya
juga
hakim
dituntut
pada
Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hu-
untuk
kum (Sebuah Pengantar). Cetakan Ke-6. Yogyakarta: Liberty. 2009.
menggali nilai-nilai yang merupakan norma yang berlaku di masyarakat.
Rahardjo, Satjipto. Hukum Progresif (Se-
Meskipun demikian hakim pidana
buah Sintesa Hukum Indonesia).
tetap memiliki batasan yang jelas
Yogyakarta:
dalam melakukan interpretasi.
2009.
Genta
Publishing.
Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh BIBLIOGRAFI
Hakim dalam Persfektif Hukum
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum
Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
(Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).
Jakarta:
Chandra Pratama.
2010. Shidarta. Posisi Pemikiran Hukum Pro-
1993.
gresif Dalam Konfigurasi Aliran-
Effendy, Marwan. Teori Hukum dari
Aliran Filsafat Hukum: Sebuah Di-
Perspektif Kebijakan, Perbandingan,
agnosis Awal, Satjipto Rahardjo dan
dan Harmonisasi Hukum Pidana.
Hukum Progresif – Urgensi dan Kri-
Jakarta: Referensi. 2014.
tik. Jakarta: Epistema Institute dan
Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum. Yogya-
HuMA. 2011. Syahrani, Riduan. Rangkuman Intisari Il-
karta: Gajah Mada University Press.
mu Hukum. Cetakan Ke-VI. Ban-
2005.
dung: PT. Citra Aditya Bakti. 2013.
Hamidi, Jazim. Hermeneutika Hukum
Wiarda, G. J.. 3 type van rechtsvinding.
(Teori Penemuan Hukum Baru den-
Zwolle: W. E. J. Tjeenk Willink.
gan Interpretasi Teks). Yogyakarta: UII Press. 2005.
1988. Blomley, Nicholas K. Law, Space, and the
Hwian Christianto. Penafsiran Hukum Progresif dalam Perkara Pidana.
Geographies of Power. New York: The
Guilford
Press.
1994.
Mimbar Hukum Volume 23 Nomor 3, Oktober 2011
***
□ 227