PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PADA PROSES PERADILAN PIDANA
LAW PROTECTION ON WITNESSES IN CRIMUNAL JUSTICE PROCESS
Muh. yusuf syahrir, Syukri akub, Said karim Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi: Kompleks Bumi Pallangga Mas I Blok A3/16 Kecamatan Pallangga Kab.Gowa Hp. 081341928998 Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui wujud perlindungan hukum terhadap saksi pada proses peradilan pidana dan (2) mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum terhadap saksi pada proses peradilan pidana.Penelitian ini dilakukan di Kejaksaan Negeri Sungguminasa dan Pengadilan Negeri Sungguminasa dengan responden terdiri atas Kepala Kejaksaan Negeri Sungguminasa beserta anggota para jaksa, Ketua Pengadilan Negeri Sungguminasa beserta anggota para hakim dan saksi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif melalui fokus grup diskusi dan wawancara secara mendalam untuk memberikan gambaran tentang perlindungan hukum terhadap saksi pada proses peradilan pidana.Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum substansi hukum perlindungan terhadap saksi sudah tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksana, tetapi penerapannya belum terlaksana secara optimal. Faktor-faktor penyebab belum optimalnya perlindungan saksi adalah Sosialisasi peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan perlindungan saksi kurang optimal dikalangan penegak hukum, keberadaan LPSK belum merata di wilayah Indonesia, dan pengetahuan serta kesadaran saksi terhadap hak-haknya yang masih rendah.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Saksi, Peradilan Pidana
ABSTRACT This study aimed to find out (1) the form of law protection on witnesses in the criminal justice process and (2) the implementation of the protection. The research was conducted in Sungguminasa District Attorney and District Court. The respondents were the Chief of Sungguminasa District Attorney and the prosecutors members; and the head of Sungguminasa District Court, the judges and witnesses. The study was conducted as qualitative research by using focus group discussions and deep interviews to provide a description about the law protection. The results reveal that in general, the substance of law protection on witnesses has been mentioned in the legislation and implementing regulations, but it is not optimally implemented. The happens because of some causal factors. First, the legislation socialization and witnesses protection implementation are not optimal among law officers. Second, the presence of LPSK has not been equally distributed across Indonesia. Finally, the knowledge and awareness about their rights are still low. Keywords: law protection, witnesses, criminal justice
PENDAHULUAN Dimasa sekarang ini, tindak kriminal sudah menjadi salah satu masalah penting yang perlu segera ditanggulangi oleh pihak-pihak / aparat-aparat hukum di Indonesia. Tingkat kriminalitas yang tinggi di Indonesia merupakan salah satu bukti bahwa begitu banyak terjadi kejahatan dan pelanggaran. Tindak kriminal tersebut dilakukan oleh masyarakat yang tentu saja belum mengerti tentang aturan-aturan yang berlaku di Indonesia yang semestinya mereka patuhi. Selain itu, mungkin juga faktor ekonomi, kelalaian, karena masalah pribadi dan masih banyak alasan lainnya untuk berbuat jahat dan melakukan perbuatan melawan hukum. Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan atau korban. Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapatkan perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi saksi dan atau korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana. Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti utama dalam proses penyelesaian perkara pidana. Reny Rawasita P (2005:I) mengatakan bahwa keberadaan saksi memegang peranan penting dan dalam banyak kesempatan sangat menentukan hasil akhir dari berbagai kasus, baik perdata maupun pidana. Hal tersebut terlihat juga dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana saksi sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara pidana tidak diperoleh saksi. Keterangan saksi yang diberikan di hadapan pengadilan merupakan salah satu bukti yang penting yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan sebuah perkara.(Harahap, 2009) Posisi saksi yang demikian penting nampaknya sangat jauh dari perhatian masyarakat maupun penegak hukum. Ternyata sikap ini sejalan dengan sikap pembentuk undang-undang, yang tidak secara khusus memberikan perlindungan, kepada saksi dan korban berupa pemberian sejumlah hak, seperti yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa. (Harahap,hal 285, 2009) Selama ini, saksi hanya dibebani kewajiban dan tidak mempunyai hak. Dalam Pasal 224 KUHP : barang siapa dipanggil saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, dalam perkara pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. (
Seorang saksi memerlukan perlindungan hukum karena :(1) Bagi saksi ( apalagi yang awam hukum), memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah, (2) Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana baginya karena dianggap bersumpah palsu, (3) Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan, (4) Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya, (5) Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi sebagai seorang tersangka/terdakwa. Dalam uraian diatas, tentu muncul dilema bagi saksi, kenyataannya perangkat hukum di Indonesia khususnya KUHAP, belum mampu memberikan suatu bentuk pengaturan bantuan hukum yang dapat memberikan perlindungan bagi pihak saksi. Karena hal tersebut maka peneliti tertarik meneliti tentang Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pada Proses Peradilan pidana.
METODE PENELITIAN Lokasi Peneltian Penelitian ini dilaksanakan di Kejaksaan Negeri Sungguminasa dan Pengadilan Negeri Sungguminasa dengan pertimbangan : pada tempat tersebut rata-rata kasus yang ditangani setiap bulan sekitar 30 kasus, yang terdiri dari kasus korupsi, pembunuhan, penganiyaan, pencabulan, penipuan dll. Sumber Data Dalam penelitian ini jenis dan sumber data yang digunakan adalah sebagai berikut; a. Data Primer yaitu wawancara mendalam dengan jaksa, hakim dan saksi. b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dengan cara penelusuran dan studi kepustakaan berupa buku-buku, jurnal, majalah dan peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik Pengumpulan data Keseluruhan data yang diperoleh dalam penelitian ini, baik data primer maupun data sekunder menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : 1.
Wawancara yaitu dilakukan melalui tatap muka secara langsung dengan cara tanya jawab kepada responden yang dipandang kompoten dengan penelitian yang dilakukan.
2. Dokumetasi yaitu mengumpulkan data dengan mempelajari dokumen yang penting dan berhubungan dengan penelitian ini.
Analisa Data Keseluruhan data yang berhasil diidentifikasi dan dikumpulkan baik data primer maupun sekunder dianalisis secara kualitatif kemudian dideskripsikan. Penelitian deskriptif kualitatif melalui fokus grup diskusi dan wawancara secara mendalam dengan pendekatan sosiologi yuridis dengan tipe Normatif dan Empiris. Penelitian di laksanakan di Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri Sungguminasa dengan Unit observasi jaksa, hakim dan saksi. Sumber data meliputi data primer dan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif kemudian dideskripsikan.
PEMBAHASAN Wujud perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses peradilan pidana Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) memiliki sejarah panjang yang dimulai dari martabat alamiah dan hak-hak kemanusiaan yang sama dan tidak dapat dicabut. Pengakuan martabat dan hak-hak tersebut merupakan dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia. Indonesia telah meratifikasi konvenan hak-hak sipil dan politik (International convenant on Civil dan Political Right-ICCPR) . Konsekwensinya beberapa ketentuan dalam sistem peradilan pidana harus mengalami perubahan. Saksi memainkan peranan kunci utama dalam sistem pembuktian hukum pidana sekalipun saksi bukan satu-satunya alat bukti dimana KUHAP menganut pendekatan pembuktian negatif berdasarkan perundang-undangan atau “Negative Wettelijk Overtuiging”. Peranan saksi yang sangat penting terutama dalam kejahatan dikelompokkan extra ordinary crime dan sebagai salah satu alat bukti dalam KUHAP sangat kontras dengan bentuk perhatian atau perlindungan yang diberikan oleh negara. Perlindungan disini berupa perlindungan hukum dan atau perlindungan khusus lainnya. Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Saksi, merupakan suatu hal yang membahagiakan bagi saksi,mengingat masih banyaknya keluhan masyarakat mengenai perlu dan pentingnya perlindungan saksi. Perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana merupakan fenomena hukum acara pidana Indonesia, dimana dalam penegakannya akan selalu bersinggungan dengan para penegak hukum itu sendiri. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 dinilai sebagai suatu terobosan yang
diharapkan mampu menutupi kelemahan-kelemahan sistem hukum kita berkaitan dengan terabaikannya elemen saksi dan korban dalam sistim peradilan pidana. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan bukti nyata bagi masyarakat akan kesungguhan DPR untuk melaksanakan pembangunan hukum nasional melalui pembentukan peraturan perundang-undangan baru yakni untuk mempercepat reformasi, mendukung pemulihan ekonomi, perlindungan hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kejahatan internasional, dan sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemajuan zaman. Peranan saksi dalam setiap persidangan perkara pidana sangat penting karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan keputusan hakim. Hal ini memberikan efek kepada setiap keterangan saksi selalu mendapat perhatian yang sangat besar baik oleh pelaku hukum yang terlibat di dalam persidangan maupun oleh masyarakat pemerhati hukum. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses peradilan pidana Perlindungan saksi sangat diperlukan, banyak kejadian yang telah terjadi beberapa tahun belakangan ini yang menjadi contoh bagaimana seorang saksi sangat dibutuhkan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Melihat pentingnya kedudukan saksi dalam pengungkapan kasus pidana, sudah saatnya para saksi dan pelapor diberi perlindungan secara hukum, fisik maupun psikis. Uraian diatas menunjukkan bahwa begitu pentingnya hukum perlindungan saksi yang dituangkan dalam undang-undang, sehingga Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban merupakan salah satu payung hukum untuk memberikan perlindungan saksi. Hal yang sama dikemukakan oleh beberapa pendapat responden yang diwawancarai dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut: “ Melihat banyaknya kesulitan dalam menghadirkan saksi dalam persidangan dan salah satu alasan ketidakhadiran saksi karena rasa takut akan adanya ancaman dari pihak tersangka saat memberi kesaksian di persidangan maka diperlukan suatu aturan dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur hal tersebut”. Gagasan untuk menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan korban dimulai pada tahun 1999, dimana beberapa elemen masyarakat mulai mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi. Hal ini kemudian disusul dengan adanya naskah akademis tentang undang-undang perlindungan saksi dalam proses peradilan.Pada 11 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengesahkan UU ini.
Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang suatu kasus seringkali mengalami kesulitan antara lain karena tidak dapat menghadirkan saksi dan atau korban, karena adanya ancaman baik fisik maupun psikis yang dialami oleh saksi dari pihak tertentu. Melihat fenomena tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi saksi dan atau korban yang keberadaannya dalam proses peradilan sangat penting. Hal ini diperkuat dengan pendapat Kepala Kejaksaan Negeri Sungguminasa yang mengemukakan : “ Ditemukan sebagian saksi yang takut memberikan keterangan di Pengadilan terkait adanya ancaman atau tekanan dari pihak terdakwa, padahal keberadaanya dalam proses persidangan sangat penting karena yang bersangkutan merupakan saksi kunci”. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu jawaban dari persoalan diatas. Perlindungan terhadap saksi dan korban harus diberikan bila menginginkan hukum berjalan benar dan keadilan ditegakkan. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bentuk perlindungan saksi adalah sebagai berikut: 1. Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan datang, sedang atau telah diberikan. 2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan serta dukungan keamanan. 3. Memberikan keterangan tanpa tekanan. 4. Mendapat penerjemah. 5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat. 6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasusnya. 7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan. 8. Diberitahu ketika terpidana dibebaskan. 9. Mendapatkan identitas baru. 10.Mendapatkan tempat kediaman baru. 11.Penggantian biaya transportasi. 12.Mendapatkan penasehat hukum. 13.Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu pelindungan berakhir.
Beberapa pendapat responden yang diwawancarai tentang bentuk perlindungan yang didapatkan saksi selama ini sebagai berikut: “ Perlindungan hukum yang diterima saksi selama ini belum sepenuhnya sesuai dengan UU No.13 tahun 2006, dimana selama ini perlindungan yang mereka dapatkan meliputi: memberi keterangan tanpa tekanan, bebas dari pertanyaan yang menjerat, mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan dan mendapatkan penasehat hukum. Perlindungan hukum yang diberikan sebaiknya berdasarkan urgensi dari kasus itu dalam pengertian tidak semua saksi mendapat perlindungan hukum tergantung dari kasusnya”. Menurut Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa perjanjian perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terhadap saksi dan atau korban tindak pidana diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut: 1.
Sifat pentingnya keterangan saksi dan atau korban;
2.
Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan atau korban.
3.
Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan atau korban
4.
Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan atau korban.
Tata cara untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan dari lembaga perlindungan saksi dan korban sejauh mungkin diusahakan untuk memberi ruang yang memadai bagi saksi maupun korban. Masalah-masalah yang sering dialami saksi/korban adalah perasaan tidak aman, tidak ada dukungan dari masyarakat, tidak ada perlindungan hukum, dominasi penegak hukum, masalah finansial dan tidak adanya informasi tentang prosedur peradilan. Beberapa responden (saksi) mengemukakan pendapat mereka sebagai berikut: “ Kami sebagai saksi memerlukan perlindungan hukum, tapi selama menjadi saksi kami tidak mendapat suatu perlindungan dari suatu lembaga khusus, kalaupun ada biasanya diberikan oleh pihak jaksa penuntut umum yang memanggil kami tapi itupun saat persidangan saja”. Mengutip pendapat dari Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam catatan awal tahun 2012 LPSK : “Permohonan bantuan yang diajukan oleh pihak berwenang tidak semuanya disetujui, Tahun 2011 LPSK menolak 167 permohonan bantuan. Permohonan yang ditolak umumnya berhubungan dengan kasus pidana umum, sebagian ditolak karena tidak adanya ancaman yang diterima oleh pelapor, Seharusnya kasus mereka dilindungi oleh pengacara. Perlindungan hukum diberikan hanya pada kasus-kasus tertentu yang dianggap memerlukan suatu perlindungan hukum dan Tahun 2012, LPSK akan
memprioritaskan perlindungan terkait kasus korupsi, karena dampak yang ditimbulkan ke masyarakat relatif lebih luas dan berdampak pada bangsa”. Pada Pasal 29 Undang-Undang Perlindungan saksi dan Korban menyatakan bahwa tata cara memperoleh perlindungan sebagai berikut: 1.Saksi dan atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). 2.Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan. 3.Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diberikan secara tertulis paling lambat 7 hari sejak permohonan perlindungan diajukan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai kewajiban memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan atau korban termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan mengikuti persyaratan tersebut dalam Pasal 30. Perlindungan atas keamanan saksi dan atau korban hanya dapat diberhentikan berdasarkan alasan-alasan seperti yang tercantum dalam Pasal 32 yaitu: Saksi
dan atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal
permohonan diajukan atas inisiatif sendiri. 1.Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap saksi dan atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan . 2.Saksi dan atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian atau, 3.Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berpendapat bahwa saksi dan atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan. Lembaga Perlindungan Saksi dapat menghentikan perlindungan bagi saksi yang dilindungi berdasarkan alasan: 1.Saksi atau orang lain yang dilindungi meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan; Saksi atau orang lain yang dilindungi melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; 2.Saksi atau orang lain yang dilindungi telah melanggar suatu syarat yang bisa mengakhiri perlindungan tanpa alasan yang masuk akal dan pelanggaran itu bersifat mendasar; 3.Saksi atau orang lain yang dilindungi telah menghentikan atau menolak bantuan yang diberikan kepadanya; 4.Saksi atau orang lain yang dilindungi tidak selayaknya lagi diikutsertakan dalam program perlindungan;
5.Lembaga Perlindungan Saksi berpendapat bahwa saksi atau orang lain yang dilindungi tidak lagi memerlukan perlidungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan; 6.Saksi atau orang lain yang dilindungi meninggal dunia; 7.Ada cara lain yang cukup memuaskan untuk melindungi orang tersebut sudah ada; dan atau; 8.Saksi atau orang lain yang dilindungi tersebut dengan sadar telah menyebabkan kerusakan serius di tempat aman dimana ia dilindungi atau terhadap suatu barang ditempat itu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah lembaga yang mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden. UU Nomor 13 Tahun 2006 memprioritaskan kedudukan LPSK berada di ibukota negara Republik Indonesia, namun UU juga memberikan keleluasaan untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya sesuai kebutuhan. Beberapa responden mengemukakan pendapat tentang keberadaan LPSK sebagai berikut: “ LPSK sebaiknya berada di tiap ibukota propinsi seperti di Sulawesi Selatan, kami mengharapkan lembaga ini bisa dibentuk karena di daerah saja jumlah kasus setiap bulan begitu banyak, apalagi di ibukota propinsi lebih banyak lagi sehingga untuk kelancaran persidangan dalam hal menghadirkan saksi pada kasus-kasus tertentu dimana seringkali saksi susah dihadirkan karena alasan ketakutan dan rasa tidak aman maka dibutuhkan suatu lembaga perlindungan hukum”.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Perlindungan hak azasi manusia bagi saksi dan korban sangat diutamakan, agar terjamin perlindungan saksi dan korban pada proses peradilan pidana dibentuklah UndangUndang Perlindungan Saksi dan Korban. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap saksi sudah tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksana, tetapi penerapannya belum terlaksana secara optimal. Faktor-faktor penyebab belum optimalnya perlindungan saksi adalah Sosialisasi peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan perlindungan saksi kurang optimal dikalangan penegak hukum, keberadaan LPSK belum merata di wilayah Indonesia, dan pengetahuan serta kesadaran saksi terhadap hak-haknya yang masih rendah. Saran Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan hal yang baru dalam sistim peradilan pidana di Indonesia yang mengedepankan perlindungan hukum bagi saksi dan korban. Undang-undang tersebut menjadi sebuah bahan pembicaraan atau diskusi karena masih banyak kekurangan, dan pelaksanaanya belum optimal. Perlindungan hukum
terhadap saksi, hendaknya dijadikan satu dalam sebuah undang-undang yang mencakup semua perlindungan hukum dan keberadaan lembaga perlindungan hukum hendaknya disosialisasikan keberadaannya sehingga mudah dipahami dan diketahui oleh masyarakat sampai di tingkat desa tentang apa yang dilindungi oleh hukum kaitannya dengan perlindungan hak-hak azasi manusia itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia ( Edisi revisi), Sinar Grafika,Jakarta. Hal 10-37 Ashshofa Burhan. 2007. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. Hal 103-153. Eddyono,SW, dkk. 2009. Perlindungan saksi dan Korban, Perlindungan Saksi 1,ELSAM. Lembaga Studi dan Advokasi Hukum. Jakarta. Hal 1-19 _________, Perlindungan saksi dan Korban, Perlindungan Saksi 2,ELSAM. Lembaga Studi dan Advokasi Hukum. Jakarta, Hal 1-17 __________, Perlindungan saksi dan Korban, Perlindungan Saksi 3,ELSAM. Lembaga Studi dan Advokasi Hukum. Jakarta. Hal 1-16 Harahap yahya.2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. Hal 13-20, 342-347 ____________.2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. Hal 273-318 Muhadar, Abdullah E dan Thamrin H. 2010. Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana. ITS Press.surabaya. Hal 13-40, 169-187, 206-220 Muladi. 2009. hak Azasi Manusia, Politik, Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.Semarang. Hal 99-119 Nyoman Serikat Putra. 2006. Sistem Peradilan Pidana, Bahan kuliah Ilmu Hukum UNDIP dan UNTAG, Semarang. Hal 34-58 Supranto, J. 2003. Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta. Jakarta. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban: Laporan Perkembangan satu Tahun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta. 2009 Media Hukum; Peraturan Pemerintah RI No.2 Tahun 2002 Tentang cara Perlindungan Saksi dan Korban.Jakarta.2002. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007 tentang Susunan Panitia Seleksi, Tata cara Pelaksanaan Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban RUU Perlindungan Saksi dan Korban Undang Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban