M E N TJARI KETETAPAN BAKU PRO SA D AN SAD JAK D A LA M B A IIA SA IN DO N ESIA DIKUMPULKAN : OLEH
D r. G . W . J. D R E W E S
TJETAKAN JA N G KETIGA. .
I B,
W O L T E R S ■ D J A K A R T A - G R O N IN G E N
D R EW ES / M ENTJARI KETETAPAN BARU % *
»
1* '
.
MENTJARI KETETAPAN BARU PROSA DAN SAD JAK DALAM BAH ASA INDONESIA #
DIKUMPULKAN
OLEH
Dr. G. W . J. D REW ES G u r u besar di Leiden
TJETAKAN JANG KETIGA
perpustakAM
C afl N um ber g fS .x e ?
4
f 7,90 J. B. W O LTERS - DJAKARTA, G RO N IN G EN - 1953
FAK. SASTRA Tangqal
^
P E R T J E T A K A N J . B. W O L T E R S
KATA P E M B IM B IN G Buku ini, walaupun namanja diganti baru, merupakan tjetakan jang ketiga dari ,,M aleise Bloemlezing uit hedendaagse schrijvers” , ialah bunga rampai jan g saja petik dari kesusasteraan Indonesia baru dan jang diterbitkan pada th. 1947 lagi diulang mentjetaknja pada th. 1949 itu. Isinja tidak berapa diubah. D isani-sini ada tjeritera jan g ditjabut atau fragmen jang diperpendek, akan tetapi beberapa fragm en dan sadjak baru dimuatkan, kadar akan menjempurnakan pemandangan perihal berkembangnja kesusasteraan Indonesia baru. Edjaannja disesuaikan dengan aturan jan g berlaku sekarang in i; daftar kata-kata disingkatkan serta keterangannja diindonesiakan.
G. W . J. DREW ES.
TANAH AIR Diatas batasan Bukit Barisan Memandang beta kebawah memandang: Tampaklah hutan rimba dan ngarai Lagipun sawah, telaga nan permai; Serta gerangan lihatlah pula Langit jang hidjau bertukar warna Oleh putjuk daun kelapa; Itulah tanah, tanah airku Sumatera namanja tumpah-darahku. Rindu digunung duduk bermenung Terkenangkan masa jang sudah lindang; Sesudah melihat pandang dan tilik Tim ur dan Barat, hilir dan mudik, Teringatlah pulau tempat terdidik Dilumuri darah bertitik-titik, Semasa pulai berpangkat naik: O Bangsaku, selagi tenaga Nan dipintanja berkenan djuga. Hilang bangsa bergantikan bangsa Luput masa timbullah m asa. . . . Demikianlah pulauku mengikutkan sedjarah Sedjak dunia mula tersimbah Sampai kezaman bagus dan indah, Atau tenggelam bersama kelembah Menjerikan tjahaja penuh dan limpah. Tetapi Andalas dizaman nan tiba Itu bergantung ketuan dan hamba. Hari nan datang sudah gemilang Tertera bagus ditabir Sumatera Sebagai bulan kilat kalmantang Putih purnama berpagarkan bintang: Inilah djasanja pemuda sekarang Menurut Darma kilau benderang Membawa tanahnja ketempat nan terang; Ketumpah-darah hatiku setia Karena Sumatera bagiku mulia.
TANAH A IR
Hiasan mulia dikatistiwa Ialah Pertja alangkah bagusnja; 0 Disanalah berkubur dilembah dan lurah Diteduhi kembodja ditanah nan merah, Ditanam bangsaku seasal sedarah Ditengah pesara dikelilingi daerah, Tempat berdjuang kedjadian sedjarah Seperti jang dibajangkan dengan gairah Oleh ibuku, bapa pitarah. Rindu dan rawan dipuntjak Barisan Mata menindjau kesebelah danau: Belit-berbelit beberapa sungai Mengalir kepantai jang amat landai Sepantun langit hidjau-hidjauan Bertepikan tjahaja permata intan Berseri-seri silau kelihatan. . . . Ditanah demikian aku terlahir Tempat bangsaku bertanah air. Sesajup mata, hutan semata Bergunung bukit lembah sedikit; Djauh disana disebelah situ Dipagari gunung satu persatu Adalah gerangan sebuah surga Bukannja djanat bumi kedua — Firdaus Andalas diatas dunia! Itulah tanah jang kusajangi Sumatera namanja nan kudjundjungi. Aku pintakan kepada Tuhan Bagi Sumatera diturunkan tjinta, Supaja pulauku tanah dan ladang Sertakan sawah, kebun berbidang Diturunkan rahmat bersedang-sedang, Sehingga jang lemah, ketjil dan gedang Dapat berteduh dikaju nan rindang. O Tuhan jang mahamulia Limpahilah tanahku dengan Tjahaja. Dipetik
d a rt
Tanah Air, karangan
M u h a m m a d J a m in
(19 2 2 ).
SUTAN BARINGIN KALAH BEPERKARA <2
Lim a tahun genaplah sudah waktunja jang telah lewat, sedjak dari pada pertjakapan Sutan Baringin dengan Marah Sait. Apa jang sudah dikerdjakan itu tentu tinggal begitu, tiada dapat diulangulang, sebab sudah lewat, lewat dan Ialu sebagai hari dan tahun jang silih berganti. Hari semalam itu tak gima ditunggukan lagi. ^ar^na * hari besok dapat disongsoncr Demikian djuga perbuatan Tata. Apa jang kita telah perbuat, buruk atau baik, tak dapat diulangi lagi. Perbuatan jang baik menjenangkan hati. Kesenangan itu tiada hilang, meskipun bagaimana lamanja; kalau kita ingat, terasa pula dihati kita. Perbuatan jang djahat mendatangkan sesal, karena tiada pernah lepas dari pikiran kita, sungguhpun telah bertahun-tahun. Tetapi apa lagi akan dibuat, jang sudah tinggal sudah, dan sesal kudian tak berguna. Oleh sebab itu insaflah tuan, hai saudara-saudaraku jang membatja buku ini, haruslah kita hati-hati melakukan pekerdjaan waktu kita hidup didunia ini: ,,Radjin bekerdja dan sangkakan jang tuan hidup selama-Iamanja, tetapi kuat berbuat ibadat dan sangkakan esoklah adjalmu sampai” , kata orang ulama. Tjukuplah sudah lima tahun, sedjak Sutan Baringin menghardik isterinja akan balas nasihat jang diterimanja. Apakah hasilnja sekarang. Sesal jang tiada berkeputusan sampai hari matinja. Itulah dia. ,.Bagaimana keadaannja sekarang?’ * tanja saudara pembatja. Dengan ringkas saja tjeriterakan. Setelah Baginda Mulia datang dari Deli, tiadalah pernah Sutan Baringin melawan dia bertjakap, menjapa dengan sepatah katapun tidak. Betapa herannja Baginda Mulia, tak usah saja katakan lagi; tiadalah mengerti ia akan sebabnja itu. Akan tetapi dibelakang hari baharulah diketahuinja maksud saudaranja jang tak baik hati itu. Ia seorang jang tenang dan penjabar, tak sukalah ia menurut nafsu marah dan asutan orang luaran. Ia mengumpulkan kaum keluarga mereka itu akan memberi nasihat kepada Sutan Baringin dan memperdamaikan mereka itu. Diantara kaum keluarganja itu bapak Am inu’ddinlah jang tertua dan ialah jang lebih kuat berusaha mendamaikan perselisihan itu. Lagipun ia seorang kepala kampung, lebih berderadjat, tentu perkataannja lebih dihargai orang.
Sutan Baringin orang jang telah rusak binasa dari ketjilnja, tiada mempunjai hati jang baik, sedikitpun tidak. Loba dan tamak, dengki / dan chianat, itu sahadjalah jang memenuhi pikirannja. Herankah lagi kita, kalau segala djerih pajah bapak Aminu’ddin itu sia-sia belaka? Sutan Baringin tinggal Eersitegang urat leher sahadja, perkataan siapapun tiada diindahkannja, lain dari pada pokrol bambu jang pintar itu. Setelah dilihat Baginda Mulia saudaranja itu tiada terpudjuk oleh kaum-kaum mereka itu lagi, maka iapun memikirkan djalan jang lain
akan menawari hati Sutan Baringin. Pada suatu malam sedang hari amat dingin karena hudjan datang rintik-rintik, pergilah Baginda M ulia kerumah kakaknja itu. „Untung baik” , pikirnja, „karena seorangpun tiada kawan dia disini” . Adapun maksudnja datang itu hendak melawan Sutan Baringin bermupakat. Dengan taklimnja ia duduk bersila dihadapan kakaknja itu, tiadalah ditunggunja Sutan Baringin menegur dia dengan sepatah kata. D engan suara jang lemah lembut serta perlahan-lahan iapun berkata: „Adapun adinda ini datang berdjumpa dengan kakanda, jakni hendak menjerahkan badan diri adinda. Kakandalah jang mendjadi ibu dan bapa bagi adinda jang sebatang kara ini. Kalau sekiranja ada kesalahan adinda, atau disebabkan adinda kurang hormat dan kurang bahasa kepada kakanda, besarlah harapan adinda, jang kakanda mengampuni kesalahanku itu semuanja. Tentang pusaka mendiang nenek kita tiadalah berapa adinda pikirkan, tjuma adinda mengharap dapat bagian barang sedikit, sebagai tanda persaudaraan kita. Sekali-kali tiadalah niat dan maksud adinda beperkara, sebagai asutan orang. Tentang banjaknja bahagian adinda kakandalah jang maklum akan dia, bukanlah adinda minta seperdua. O, sekali-kali tidak, karena adindapun maklum djuga, bahasa kakandalah jang sulung. Apalah gunanja kita berselisih karena harta peninggalan nenek kita. Bukankah kebaikan antara orang bersaudara itu lebih b e r h a r g a dari pada emas dan perak? Itu haraplah adinda ini akan kemurahan kakanda, eloklah kita berdamai, supaja semangat mendiang nenek kita djangan gusar atas perbuatan kita itu” . Setelah itu maka iapun diam menantikan djawab Sutan Baringin. Matanja tiada lepas dari muka saudaranja itu. Sutan Baringin dudu termenung, tiada berkata-kata. Entah disebabkan ia terkedjut a an kedatangan adiknja itu, atau karena kekuatan perkataan Baginda M u la itu. Maka tiada berapa lama antaranja, iapun berkata: ,,Saja sudah mengerti tadjamnja akalmu. Orang sedunia ini kau um pulkan, kemudian engkau sendiri datang kemari, akan tetapi aku ta an pertjaja akan orang jang bermulut manis” . . , , Demikianlah didjawabnja akan perkataan saudaranja jang e uar dari hati jang ichlas itu. Akan tetapi apa boleh buat, siapa jan g e a dimasuki setan itu tentu membentji kebaikan. „Sampai hatikah kakanda melalui permintaan adinda itu;^ lebih sukakah kakanda akan orang dari pada kaum sedarah kakanda? sahut Baginda Mulia jang putus asa itu. „Diam, tak kukenal kau, engkau datang disini sebagai pentjuri tengah malara, ajuh, pegil" kata Sutan Baringin dengan suara kasar. „ Sarung jang bengkok dimakan pisau,,) sahut Baginda M ulia, sambil bercfci meninggalkan tempat itu. Sjahdan maka setelah lewat sebulan, sampailah perkara itu ketangan landraad di Padang Sidempuan, ibu negeri afdeling Angkola dengan Sipirok. Maka pada masa itu Assistent-Residentlah jang mendjadi
kepala (presiden) landraad itu. Hal itu atjap kali kelihatan dinegeri jang sunji: Sjabatan pengadilan biasa ditempelkan kepada pegawai Pemerintah. Tentu kuranglah baiknja itu. Sjukurlah pada waktu ini sudah banjak jang diubah, dan pemerintahan serta djalan-djalan keadilanpun tentu djauh lebih baik. Pada hari jang ditentukan dibukalah perkara Sutan Baringin dan Baginda Mulia itu. Amatlah banjaknja orang menonton, dan pokrol bambupun datanglah dari segenap pihak. Adalah hal itu sebagai kebiasaan kepada penduduk orang Sipirok. (Barangkali dinegeri ketjil-ketjil begitu djuga lakunja.) Bila tiada pekerdjaannja jang perlu umpamanja habis menjabit padi, datanglah mereka itu berkumpul-kumpul sekeliling pesanggerahan Sipirokx). Disitulah ia mendengar bagaimana kesudahan perkara-perkara orang jang bermatjam-matjam. Pokrol-pokrol bambu mendengarkan orang bersoal djawab itu tentu dengan maksud beladjar, supaja tahu ia nanti akan putar-putar bitjara. Adapun perbuatan itu amat djahatnja kepada orang banjak. Perkara Sutan Baringin itu telah kebilangan kemana-mana, oleh sebab itu amatlah banjaknja orang menonton. Sebagaimana kebiasaan, setelah orang jang beperkara sudah naik, maka tuan Assistent-Resident jang mendjadi kepala rapat itu, memberi nasihat kepada mereka itu berdua, Sutan Baringin dengan Baginda Mulia, supaja mereka itu suka berdamai. ,,Tiadakah ada famili kamu jang menjelesaikan perselisihan kamu ini? Bukankah lebih baik kamu berdamai? Berapa besarnja kerugianmu, kalau perkara diperiksa oleh hakim? Ongkos rapat, wang borong pasti dibajar, mana lagi waktu kamu jang terbuang; perseteruan makin dalam pula diantara kamu jang bersaudara” . Begitulah udjar kepala rapat itu, tetapi sebagaimana sangkaan kita, tiadalah Sutan Baringin suka berdamai dengan Baginda Mulia. Djawabnja ringkas sahadja: ,,Tiada apa saja orang ini, tuan besar” . ,,Kalau demikian, kamu djangan menjesal, rapat tentu melalukan keadilan, karena itulah kewadjibannja. Dan ingat-ingatlah kamu, orang jang beperkara itu amat susah: Jang menang dapat bara, jang kalah mendjadi abu. — Sekarang pemeriksaan dimulai” , kata tuan presiden. Jang busuk itu ketahuan djuga. Sarung jang bengkok itu dimakan mata pisau, kata peri bahasa orang tua-tua. Begitu djuga halnja dengan perkara ini. Setelah tiga hari lamanja memeriksa perkara itu, keputusanpun dibatja oleh garipir. „Sebab sudah terang bahasa Baginda Mulia saudara Sutan Baringin, jakni kawan seneneknja, maka rapat menentukan, bahasa Baginda Mulia menerima separuh dari pada harta pusaka nenek itu. Ongkos rapat dan wang borong harus dibajar oleh Sutan Baringin” .
i) Pesanggerahan jang di Sipirok itu dipergunakan djuga sebagian tempat persidangan rapat, karena kantor pengadilan tak ada.
Keputusan sudah terdjadi, kebenaran telah keluar, jang bengkok sudah njata, akan tetapi Sutan Baringin mendengar petua pokrolnja lagi. Iapun banding lagi kerapat Justitie di Padang. Berapa ratus kerugian jang sudah-sudah tidak dipedulikannja. Pokrol bambupun telah menerima bagiannja, mana lagi upah saksi palsu. ,,Akan tetapi tidak mengapa, asal menang djuga kesudahannja. Bukankah di Padang pengadilan jang sebenarnja, disana diperiksa sekalian perkara dengan teliti dan tenang” , begitulah perkataan Marah Sait, jang mentjelakakan Sutan Baringin jang bodoh itu. Hati masih panas, pudjukan Marah Sait amat manis. Pendek kissah Sutan Baringin banding lagi. Akan tetapi sekali ini haruslah mereka bersungguh-sungguh, jakni mereka itu berdua akan pergi sendiri ke Padang, supaja dapat menghadiri persidangan rapat Justitie; boleh djadi ia beroleh advocaat jang pandai disana. Akan belandja dalam perdjalanan jang sedjauh itu sudah tentu berguna wang beratus-ratus pula, ja beribu lagi, asal ada; sudah tentu pokrol harus bergadji, didjalanpun naik kereta sahadja. Disini harus pula kukatakan bagi pembatja, bahwa perdjalanan ke Padang pada waktu itu djauh lebih susah dari pada sekarang. D jadi sudah tentu ongkospun djauh lebih banjak. Itu semua tiada dipikirkan Sutan Baringin; ja, kerbau di Padang Lawas masih banjak. Sekarang haruslah sekaliannja itu didjual, supaja ada penutup ongkos-ongkos perkara dan perdjalanan. Belandja didjalan, belandja di Padang, ongkos surat-surat, untuk ini itu lagi, semuanja mengosongkan kantung Sutan Baringin. Belandja pulangpun hampir tiada lagi, sedang jang dimaksud tiada dapat. Adakah manusia itu dapat membuat jang bengkok itu mendjadi lurus, sungguhpun bagaimana kuatnja wang itu? Ibu Mariamin jang duduk dirumah dengan masgulnja, beroleh surat kawat, supaja ia mendjual sawah lima piring dan wangnja dikirim detigan segera, supaja ada belandja pulang. Perempuan jang setia dan penjabar itupun berbuat sebagai perkataan suaminja itu. Betapa kedatangan Sutan Baringin kembali ke Sipirok, tak usahlah saja tjeriterakan, tjuma ini sahadja: Dari Padang ia membuat rekes lagi ke Betawi kepada pengadilan tinggi.,,Semua ichtiar haruslah kita perbuat, supaja kita djangan menjesal dibelakang hari” , kata pokrol jang baik hati itu. Akan tetapi ia berkata demikian itu akan mentjahari untung jang lebih banjak: membuat rekes tentu mendatangkan upah baginja. Dan Sutan Baringin masih ada harapan lagi, sebagai orang jang berpenjakit tering menaruh harapan akan kesehatan, bila ia mendengar orang mentjeriterakan kemudjarraban suatu obat. Ja, baharulah tahu ia sekarang kebenaran perkataan isterinja jang baik hati itu, kebenaran nasihat kaumnja, kebetulan perkataan tuan Assistent-Resident itu. Akan tetapi sudahlah djandjinja, bahwa jang kalah itu harus mendjadi abu. Sekarang tiadalah terhingga sesalnja,
karena ia menolak permintaan saudaranja dan mengusir dia malammalam itu. Totapi apalah gunanja sesalnja itu, karena sudah terlampau. Sekarang pulanglah ia kekampung seorang diri, membawa malu, kehinaan, mendukung kemiskinan dan kemelaratan, karena harta telah habis musnah dalam waktu jang sekian pendek itu. Tjum a seorang diri kata saja, karena Marah Sait telah mengambil djalan jang lain, akan menjisihkan Sutan Baringin. Ja, apakah jang dipedulikannja lagi; habis manis sepah dibuang, bukan?
M
erari
S ir e g a r , 1Azab dan Sengsara.
DUA DJALAN Besar hatiku ketika berapa handai taulanku mengadjak supaja terus bekerdja bersama-sama memuliakan bahasa kita. Adalah dua djalan jang dapat ditempuhi: pertama mempeladjari djalan bahasa dengan sedalam-dalamnja dan memperhatikan segala pengetahuan jang bertali dengannja. Pekerdjaan ini sekarang terbengkalai, karena kurang orang jang mengerdjakannja. Apabila anak-negeri sendiri datang menolong atau meneruskan pekerdjaan jang semata-mata dimulai orang Barat itu, tentulah bermula ketika jang lebih mulia dan penuh kegiatan. Djalan jang kedua jaitu mengarang dalam bahasa itu sendiri. Suatu bahasa baru tinggi tempatnja, kalau sudah masuk kedalam rumah tangga dan mendjadi bahasa jang dipakai dalam Iingkungan kaum keluarga. Sebenarnja pada beberapa tempat bahasa Indonesia sudah demikian lakunja; tetapi harganja jang tertinggi ialah seperti bahasa persatuan. Sekarang bermulailah bagi pustaka bahasa Indonesia zaman jang baru; bukan karena pustaka baru sudah lahir, melainkan karena pustaka jang lama tiada memadai lagi dan tiada menurut kemauan zaman. Dalam pada itu mulailah terdengar suara baru, walaupun belum berapa keras. Suara ini sekira-kira tiada akan padam, karena didalamnja terkandung tjita-tjita dan perasaan anak sekarang. Semakin keras tjinta kepada tanah air dan bangsa kita, semakin keras pula suara itu. Bekerdja memuliakan bahasa bukannja pekerdjaan jang membawa keuntungan dan kemuliaan; barangsiapa masuk kepadang pustaka patutlah mengingati, pekerdjaan ini pekerdjaan orang jang berhati tenang. Tenang hatinja membuang segala jang tiada berguna lagi, mengemukakan segala jang perlu dan jang dapat dipakai, serta mengambil jang baru-baru dimana bergunanja. Inilah djalan supaja dapat mentjotjokkan bahasa Indonesia dengan kemauan zaman atau sebaliknja. Apabila perasaan baru sudah mendirikan pustaka baru dalam bahasa tumpah-darah kita, maka lahirlah zaman jang mulia, sebagai pertandaan peradabanbaru, jaitu peradaban Indonesia-Raja. M . J am in (1928).
AJAH SITTI NURBAJA DITIMPA MALAPETAKA ,,Supaja dapat engkau mengetahui bagaimana asal mula ketjelakaanku ini, kutulislah djuga surat ini; dengan demikian dapatlah engkau menimbang berapa besar kesalahanku dalam perkara ini. Sebagai telah aku tjeriterakan kepadamu, toko ajahku telah terbakar sekaliannja. Itulah permulaan sengsaraku, dari situlah asalnja azabku. Seperti tjeritera jang aku dengar dari ajahmu pada pemeriksaan jang didjalankan kemudian dari pada itu, ada tanda-tanda jang menjatakan pembakaran itu perbuatan orang, karena dekat disana ada bekas tempat minjak tanah dan puntung suluh. Sungguhpun demikian, Sam, sampai sekarang ini belumlah dapat keterangan siapa jang berbuat itu. Bertambahtambah sjak hati ajahmu, kebakaran itu perbuatan chianat, sebab jang mula-mula terbakar, dari ketiga toko itu, ialah kedua toko jang disisi hampir sama-sama dimakan api. Bila toko-toko itu tiada dibakar orang, bagaimanakah api itu dapat melompat dari toko jang pertama keto o jang ketiga dengan melampaui toko jang ditengah-tengah, dan djika dapatpun melompat, tentulah toko jang pertama itu terlebih da u u terbakar benar-benar, barulah api dapat melompat ketoko jang tetapi sebagai kukatakan, kedua toko jang disisi itu sama-sama terbakar. Oleh sebab kebakaran itu perbuatan orang dan api makan sangat tjepat, tiadalah dapat sepotong barangpun ketolongan, karena tatkala diketahui orang api itu, kedua toko itu telah hampir habis terbakar. Karena panas, seorangpun tak ada jang berani mendekati toko-toko itu, itulah jua sebabnja maka sehelai benangpun tak ada jang keluar, sekaliannja habis dimusnahkan api. Oleh sebab ketiga toko itu belum dimasu an asuransi, rugilah ajahku pada malam itu kira-kira lima puluh n u rupiah. Suatu lagi jang mengherankan ajahmu, jaitu pendjaga toko itu rupanj tidur njenjak, sehingga mati kebakaran. Hanja pendjaga toko jang ditengahlah jang terlepas dari pada bahaja maut, akan tetapi djika *a ditolong, tentulah ia mati pula, karena tatkala api telah m e m a k a n jang ditengah itu belumlah djuga ia terbangun, sehingga ia , serdadu keluar. Diluar kelihatan rupanja sebagai orang ma u , . , , insaf akan dirinja. Sebagai telah aku tjeriterakan kepadamu, aj malam itu tiada ada dirumah, pergi ke Padang Pandjang, niengurus perniagaan pada beberapa toko langganannja disana, jang rupa j hendak mungkir membajar utangnja dan tak mau mengambil baxang barang lagi kepada ajahku. Itulah jang mendjadikan pikiran da am hatiku. Sesungguhnjakah sekahan itu perbuatan orang? D jika benar, apakah maksudnja dan siapakah musuh jang tersembunji itu? Setelah pulanglah ajahku esok harinja, sebab dikirimi surat kawa oleh ajahmu, aku tjeriterakanlah ketjelakaan itu kepadanja dan aku kabarkanlah pula sjak hatiku kepada orang jang telah kaumimpikan itu. Akan tetapi ajahku tiada hendak mendengar perkataanku itu, karena sangat pertjaja rupanja ia kepada orang itu. ,,Bukannja ia jang berbua
djahat , kata ajahku, ,,melainkan nasib kitalah jang sedemikian. Sungguhpun begitu, djanganlah kaususahkan hal itu” , kata ajahku pula, „karena kebun kelapaku masih ada dan, barang-barang hutan jang akan aku terima bulan ini adalah pula lima perahu banjaknja, tjukup bagiku akan memulai berniaga sebagai dahulu dan djika dengan tolong Allah, tentulah akan kembali segala jang telah hilang itu” . Ajahku, karena sabarnja rupanja, dengan sepenuh-penuhnja hatinja menjerahkan untungnja kepada Tuhan jang mahakuasa dan memohonkan kurniaNja. Itulah pula jang menimbulkan adjaib hatiku, karena kelak akan njata kepadamu, bahwa Tuhan itu telah meninggalkan kami dan tiada menolong kami lagi, walaupun tiada aku ketahui apakah dosa dan kesalahan jang telah kami perbuat. Segala kesengsaraan dan ketjelakaan datangnja bertimpa-timpa sebagai adalah kutuk jang telah djatuh keatas kepala kami, karena dua hari kemudian dari pada itu datanglah anak perahu ajahku jang biasa membawa dan mengambil barang perniagaan dari Tarusan dan Painan mengabarkan, kelima perahu ajahku telah karam dilaut dilanggar topan jang berembus tatkala malam kebakaran itu. Suatupun dari muatannja tiada jang ketolongan, sedang sekalian anak perahu itu tentulah akan mati dilaut djika tiada ditolong perahu lain, katanja. Bagaimana ajahku ketika mendengar kabar itu, tak dapatlah aku tjeriterakan disini, melainkan Allahlah jang mengetahuinja. Sungguhpun air mukanja tetap, tiada berubah, dan rupanja menjerah dan tawakkal kepada Tuhan, tetapi aku tahu hatinja didalam remuk redam sebagai katja djatuh kebatu. Sedjak waktu itu mulailah kami hidup berhemat-hemat. Tiada lama kemudian dari pada itu rupanja ajahku memindjam duit kepada Datuk Meringgih, banjaknja sepuluh ribu, dengan djandji uang itu dalam tiga bulan akan dikembalikan. Apa gunanja uang itu bagi ajahku tidaklah aku ketahui. Barangkali akan pembajar utang atau akan didjalankan pula membangunkan perniagaannja jang telah djatuh itu. Tetapi rupanja didalam tiga bulan itu selalu ia rugi, sehingga habislah uang itu. Sekalian orangnja di Tarusan dan Painanpun lari meninggalkan ajahku dengan membawa uang jang ada padanja, dan segala toko langganan ajahku di Padang Darat itupun mungkir, tiada hendak membajar utangnja. Satu tinggal lagi harapan ajahku, jaitu kebun kelapa di Udjung Karang, tetapi pengharapan itupun diputuskan pula, karena kami harus djatuh kelumpur, tak boleh ditolong lagi. Iblis jang mendatangkan segala mara bahaja itu rupanja belum puas melihat kami telah djadi sedemikian. Bukannja harta kami sadja jang akan dilenjapkannja, tetapi djiwa kamipun akan ditjabutnja pula dan bila nasib jang malang ini tiada hendak meninggalkan kami, nistjajalah maksud djahanam itu tiada lama lagi akan sampai. Pohon kelapa jang diharapkan ajahku itu tiadalah hendak berbuah lagi, sedang buah jang adapun tua muda djadi busuk, gugur ketanah, batangnjapun mati semuanja. Bagaimanakah boleh ketjelakaan datang bertimpa-timpa sedemikian itu, tak habis aku pikirkan. Petjah otakku mengenangkan apakah dosa ajahku maka sampai mendapat hukuman
serupa itu. Aku tak pertjaja ajahku ada berbuat sesuatu jang tak baik atau kesalahan jang besar sampai disiksa begitu. Akan tetapi apa hendak dikata, djika nasib akan djatuh, sekaliannja boleh mendjadi sebab. Bagiku adalah untung itu sebagai kata pepatah: disangka panas sampai petang, kiranja hudjan tengah hari. Disitulah njata kebesaran Tuhan jang boleh mendjadi tamsil kepada segala hartawan. Djika dengan kehendakNja harta jang sebagaimana banjaknjapun dapat lenjap dengan sekedjap mata” . Baharu hingga itu terbatja oleh Samsu, bertjutjuranlan air matanja, jang sedjak tadi ditahan-tahannja itu. „Inilah rupanja bahaja jan g kutakutkan itu", pikimja dalam hatinja. ,,Bagaimanakah achirnja kekasihku itu?” Setelah disapunja air matanja, lalu diteruskannja membatja surat itu. ,,Setelah sampailah tiga bulan, datanglah Datuk M eringgih meminta uangnja kembali, katanja sebab perlu dipakai, tetapi ajahku tiada beruang lagi. Walaupun berapa ajahku minta djandji, tiadalah diperkenankannja. Waktu itulah baru ta.hu ajahku betapa hati D atuk M eringgih se enarbenarnja kepadanja. Waktu itu barulah ia merasa, Datuk M eringgih bukan sahabatnja melainkan musuhnja, boleh djadi musuh jang sebesarbesarnja. Sekalian sangkaku jang telah aku katakan kepadanja itu mulailah dipertjajainja. Akan tetapi apa boleh buat, Sam, gadai telah telandjur ke Tjina tak dapat diubah lagi. Siapa tahu barangkali Datuk M erm ggih itulah jang empunja sekalian perbuatan itu, sehingga ajahku sampai djatuh itu. Sudah itu dengan sengadja dipindjaminja ajahku uang, supaja djatuh kedalam tangannja. Djika demikian, sesungguhnjalah Datuk Meringgih itu pendjahat jang sebesar-besarnja, jang mengai dalam belanga, meneeuntins dalam lipatan. ^ , Setelah dipinta dengan susah pajah barulah diberinja tangguh sepe an lagi, akan tetapi dengan perdjandjian, apabila dalam sepekan itu ia a djuga dibajar uang itu, tentulah akan disitanja rumah dan barang- _arf-^§ ajahku dan ajahku akan dimasukkannja kedalam pendjara. *a aku diberikan kepadanja, raksasa jang buas itu, bolehlah aja u bajar uang itu bila ada uang” . , carnci Membatja jang demikian merah padamlah warna rnuka , matanja sebagai berapi, urat jang dikeningnja membengkak dan seKuajur badannja gemetar. Tangannja dikepalkannja sebagai hendak menerkam Datuk Meringgih jang pada penglihatannja barangkali ada dimukanja. „Djahanam!” demikianlah perkataan jang keluar dari mulutnja, ,,andjing tua jang tiada berbudi. Ingat rupa dan umurmu, hendak meminta Nurbaja; dengan hantu patut engkau kawin” . Setelah disabarkannja hatinja lalu dibatjanjalah pula surat itu, karena bertambah-tambah sangat ingin ia hendak mengetahui apakah djadinja kekasihnja itu. „Didalam sepekan itu” , demikianlah sambungan surat Nurbaja, „pergilah ajahku kesana kemari akan mentjari uang itu, tetapi tiadalah seorang djuga jang pertjaja lagi kepadanja karena ia telah djatuh sengsara PERPUSTAKAA.W o - ............ - • - ’
itu. Sedangkan sahabat karibnja jang atjap kali ditolongnja tatkala dalam kesena^gan, telah meninggalkan ia pula. Rupanja begitulah adat dunia ini, patut dikiaskan oleh orang Betawi dengan sindiran ,,ada uang abang sajang, tak ada uang abang melajang” . J a ! Lawan gelak jang banjak, tetapi lawan menangis djarang bersua. Rupanja uang itulah jang dipandang, ditakuti, dihormati dan ditjintai, uang itulah sahabat kerabat, ibu bapa dan sanak saudara; jang tak beruang akan jatim piatulah, sunji dari pada sekalian itu, hidup sebatang kara. Djika demikian, alangkah lantjungnja dunia ini, alangkah djahatnja manusia itu ! Dan sesungguhnjakah tak ada orang tiada memandang uang didalam dunia ini? Hormat karena hormat, takut karena takut, sajang karena sajang dan tjinta karena tjinta? Walaupun aku pertjaja tentulah ada djuga orang jang tiada memandang uang, orang jang sebenarnja orang, tetapi sebab ketjelakaan jang bertimpa-timpa ini mendjadilah sjak hatiku dan kurang kepertjajaanku. Sekarang marilah aku teruskan tjeriteraku, supaja djangan terlalu pandjang surat ini. Kebun kelapa jang di Udjung Karang itu, harta ajahku jang penghabisan, tak laku didjual karena kelapanja sekalian telah mati” . Ketika itu hati Samsu makin bertambah-tambah tak enak. ,,0 1eh sebab itu tatkala akan sampai djandji ajahku itu, pada malamnja itu datanglah ia kepadaku bertanjakan pikiranku tentang hal itu, karena besoknja tentulah akan datang Datuk Meringgih mendengar keputusan itu. Aku tiada terkata-kata lagi, — sedjak terbakar toko ajahku itu hatiku tak dapat kusenangkan. Atjap kali menangislah aku pada malam hari mengenangkan nasibku jang malang ini. Mimpimupun selalu terbajang-bajang dimataku. Setelah datang Datuk Meringgih menagih piutangnja itu, tiadalah aku dapat tidur semalam-malaman, melainkan selalu menangis bersedih hati. Kerap kali aku terkedjut, karena sebagai kelihatan olehku Datuk Meringgih datang menguasai aku. Badanku mendjadilah kurus kering, tinggal kulit pemalut tulang. Djika engkau lihat aku sekarang ini, tentulah tak kenal lagi engkau kepadaku, demikianlah perubahan badanku karena sedih, susah, takut dan makan hati. ,,Sesungguhnja aku tahu, Nur, jang engkau tiada suka kepada Datuk Meringgih” , kata ajahku pada malam itu kepadaku, ,,pertama karena umurnja telah tua, kedua karena rupanja tak elok, ketiga karena tabiatnja kedji, itulah sebabnja ia bukan djodohmu, dan aku tahu pula bagaimana hatimu kepada Samsu dan hatinja kepadamu. Akupun tiada lain, me lainkan itulah jang kutjinta dan kuharap siang dan malam, jakni akan melihat engkau duduk bersama-sama dengan Samsu kelak, — ialah djodohmu jang sebanding dengan engkau. Aku pertjaja pula orang tuanja jang waktu ini sangat bersedih hati melihat aku ini dan terlalu ingin hendak menolong, tetapi karena tak dapat, hanja berawan hati mendjauhkan diri; Sutan Mahmud itupun tiada akan mengalangi maksud itu, hanja tentulah akan serta menjukai perdjodohan itu. Sungguhpun aku tahu akan sekalian itu, tapi hendak djuga aku bertanjakan D r e w e s , M entjari ketetapan baru.
2
pikiranmu supaja djangan sampai mendjadi sesal kemudian hari, karena engkau sendirilah jang dapat memutuskan perkara ini. Djika sudi engkau mendjadi isteri Datuk Meringgih, selamatlah aku, tak masuk kedalam pendjara dan tentulah tiada akan terdjual rumah dan tanah kita ini, akan tetapi djika tak sudi engkau, nistjajalah aku dan sekalian harta kita jang masih ada ini akan djatuh kedalam tangannja” . Mendengar perkataan ajahku itu tiadalah dapat kutahan hatiku, hantjur luluh djantungku, dan menangislah aku tersedu-sedu didada ajahku, sehingga basahlah badju dan kainnja karena air mataku jang bertjutjuran itu. Tiadalah dapat aku mendjawab sepatahpun, — dadaku bagaikan penuh, kepalaku bagaikan petjah dan leherku bagai terkuntji. Tatkala ajahku melihat haiku sedemikian itu, air matanja tak dapatlah ditahannja, keluar berlinang-linang djatuh kepipinja, Ialu ditjiumnja kepalaku sambil berkata: „Nurbaja, sekali-kali tiada aku berniat akan memaksa engkau. Djika tak sudi engkau, sudahlah, tak mengapa, biarlah harta jang masih ada ini hilang ataupun aku masuk pendjara, asal djangan bertambah-tambah pula dukatjitamu. Pada pikiranku tiadalah akan sampai dipendjarakannja aku; barangkali masih boleh ia dibudjuk. Sesungguhnja aku terlebih suka mati dari pada memaksa engkau kawin dengan orang jang tiada kausukai dan djika aku tiada ingat akan engkau dan takut akan Tuhanku, pastilah telah lama aku tiada ada dalam dunia ini lagi. Tetapi engkaulah jang mendjadi alangan bagiku, bagaimanakah halmu kelak bila aku tiada ada lagi, siapakah jang akan memelihara engkau” . Ketika itu berlinang-linanglah pula air mata ajahku. ,.Sesungguhnja harta benda itu tiadalah berguna bagiku, djika engkau tiada ada. Apa jang akan aku bela, tanggunganku jang lain tak ada dan ibumupun telah lama meninggalkan dunia. Pikiran kepadamulah jang membangkitkan hatiku hendak berniaga, mentjari keuntungan, supaja engkau kelak djangan susah dalam kehidupanmu. T iada lain jang aku ingini dan amalkan serta aku pohonkan kepada rabbu’l ‘alamin, melainkan kesenangan dan kesentosaanmulah kelak, bila aku telah berpulang. Sekarang kau tak suka pada orang itu, sudahlah, kewadjibanku telah aku djalankan supaja djangan engkau menjesali aku pula kelak. Sekarang marilah kita nanti segala kehendak Tuhan” . Mendengar budjukan ajahku itu barulah dapat aku mengeluarkan suara, lalu bertanja: ,,Tidakkah sampai kalau sekalian barang hamba didjual dengan rumah ini dan tanah ajah, karena hamba lebih suka miskin dari pada djadi isteri Datuk Meringgih?” ,.Tanah tak laku, sebab tak ada orang jang hendak membelinja dan harga barang-barangmu dengan rumah ini tentulah tak lebih dari enam tudjuh ribu rupiah; dimanakah ditjari jang lain dengan bunga uang itu. Tetapi sudahlah, djangan kaupikirkan lagi perkara itu, senangkanlah hatimu dan kita tunggulah apa jang akan datang” . Semalam-malaman itu tak dapat aku memedjamkan mataku barang sekedjap, menangispun tak dapat lagi sebagai kehabisan air mata.
Sungguhpun mataku terbuka, tetapi tak dapat aku berpikir apa-apa sebagai otakku telah lelah. Oleh sebab itu berbaring-baringlah aku semalam-malaman itu dengan mata jang terbuka dan pikiran jang berkatjau bilau. Haiku itu adalah seperti orang jang tiada chabarkan dirinja antara bangun dengan tidur, antara hidup dengan mati. Berbagai-bagai penglihatan dan perasaan jang memberi takut dan dahsjat hatiku datang menggoda aku. Dikatakan bermimpi, tetapi mataku terbuka, dan akan dikatakan aku djaga, tetapi pikiranku tiada hendak menurut kemauanku. Itulah agaknja bermimpi tatkala bangun. Setelah menjingsinglah fadjar disebelah timur dan berkokoklah ajam berbalas-balasan, barulah sadar aku akan diriku dan njatalah kepadaku hari telah subuh, lalu keluarlah aku membasahi kepalaku jang masih panas sebagai besi menjala itu dan mandi akan menjegarkan tubuhku. Sesudah mandi itu barulah dapat aku berpikir dengan benar. Tatkala ingatlah pula aku akan haiku itu, ketjutlah hatiku dan berdebar-debar darahku, serta gemetar sendi tulangku, karena sebentar lagi akan djatuhlah hukumanku atau hukuman ajahku. Bila aku tiada diterkamnja, nistjajalah ajahku disiksanja binatang buas itu. Tiada berapa lamanja kemudian dari pada itu, sesungguhnja datanglah Datuk Meringgih dengan dua orang Belanda. Setelah naik kerumahku dengan tiada duduk lagi ia bertanja kepada ajahku: ,,Bagaimana?” „T a k dapat aku bajar utang itu” , djawab ajahku, ,,dan anakku tak dapat pula aku berikan kepadamu". Tatkala mendengar perkataan ajahku itu, merentaklah ia dengan marahnja, lalu berkata: ,,Djika demikian, tanggunglah olehm u". Lalu diserahkannja perkara itu kepada tuan-tuan Belanda jang datang bersama-sama dengan dia itu. Seorang dari pada tuan itu berkata sambil mendekati ajahku: ,,Walaupun dengan sedih hati, tetapi terpaksa hamba akan membawa tuan kedalam pendjara atas kemauan Datuk M eringgih’ '. ,,Dan hamba terpaksa pula menjita rumah dan sekalian harta tuanhamba” , kata tuan jang lain pula. Ajahku tiada dapat menjahut apa-apa lain dari pada: ,,Kerdjakan sebagaimana kewadjiban tuan-tuan” . Tatkala aku melihat ajahku akan dibawa kedalam pendjara sebagai seorang pendjahat jang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada aku ketahui keluarlah aku, lalu berteriak: ,,Djanganlah dipendjarakan ajahku, biarlah aku djadi isteri Datuk Meringgih” . M h . R u s l i , Sitti Nurbaja.
c Pukat seorang jang suka mengena, tak suka terkena. Siapa sadja jang bersinggung dengan dia, seboleh-boleh disadapnja ibarat hevea. Mulutnja jang manis, lakunja jang ramah-tamah, itulah topengnja akan mengorek dompet kawan. Dapat-dapat sadja djalan kepadanja. Sekali ia makan dilepau dengan dua orang teman. ,,Makanlah ikannja oi! Djangan tahan-tahan selera. Lihat aku” , katanja memberi tjontoh, sambil menuangkan gulai jang seenak-enaknja kepiringnja. ,,Meleset tinggal meleset, untuk perut tidak boleh ada besenegeng. Tjoba pikir, perut hanja satu, rusak dia, tidak ada djualannja ditoko, betul tidak?” Selesai makan, dengan lagu seorang jang pemurah ia bertanja: ,,Berapa sama sekali, kami bertiga?” katanja sambil membuka dompet. ,,Astaga---- aku tidak membawa uang ketjil rupanja. Ini sadjalah tukar!” katanja serta melemparkan sehelai uang kertas harga f 2 $t • ,,Tidak ada penukar sebanjak itu” , mendjawab orang kedai. Mendengar itu Pukat kelihatan bemapas lega, sebab pukatnja mengena. Mau tak mau temannjalah jang membajar. ,,Oi, makan perdeo sekali ini!” katanja pura-pura sebagai menjesal, ,,tetapi tidak mengapa, sekali lagi akulah membajar; berganti-ganti kita seperti mandi dipantjuran” , katanja. _ . . Dengan djalan begitu banjaklah kawan jang disadapnja, sebab itu berdjalan dengan dia dihindarkan orang. Senggulung Batu terkenal seorang jang tjerdik lagi djenaka. ,,Kepekan mamak? Bersama-sama kita” , katanja sekali kepada Pukat, jang berdjalan sendirian pergi kepekan. „Putjuk ditjinta ulam tiba, awak rindu kekasih datangV’ mendjawab Pukat dengan girang. Mereka itu sampai kepada sebuah kedai. ,,Ajo kita mengisi bensin dahulu disini!” kata Pukat dengan lagu seolah-olah akan menamu Senggulung Batu. „Baik mamak, awak mengantuk disorong bantal, perut lapar panggilan tiba!” djawab Senggulung. . , ,,Ambil nasi oi! Hidangkan segala matjam lauk pauknja. berseru Pukat kepada orang kedai. ,,Makanlah kenjang-kenjang, djangan segan-segan” , katanja kepada Senggulung. ,,Tidak segan-segan, mamak! sedikit dan banjak, makan djuga namanja. Buat saja biarpun 100 kali musim meleset, perkara makan tidak pernah saja tahan-tahan. Uang ada sajapnja, sebab itu ketika ia sesat hinggap ketangan saja, saja pergunakan. Apabila sudah lepas, susah kembalinja” . „Pikiran kita tjotjok benar___kalau aku masih ada anak perempuan, hari ini djuga engkau kuangkat djadi menantu!” kata Pukat mengangkatangkat Senggulung.
,,Sajapun tidak berkeberatan djadi menantu mamak, tetapi sajang___ anak jang buagsu tak akan beradik lagi” . Sekarang Pukat melakukan akal kantjilnja. ,,Berapa kami berdua?” katanja kepada orang kedai. ,,53 sen!” Pukatpun melontarkan uang kertasnja. ,,Tidak ada penukar!” kata jang empunja kedai. ,,A h, susah kalau begitu, uang 53 sen, kepalang berutang rasanja” . ,,Djangan susah, mamak, biar saja tukar” , kata Senggulung sambil mengeluarkan uang perak 25 rupiah. ,,A h, siapa mau uang perak semua, berat amat” , si Pukat mentjari helah, supaja uangnja tak djadi ditukar. ,tDjangan susah, mamak, saja beri uang kertas harga f 10 ,— dua helai” . Dengan muka merengut Pukat terpaksa membajar buat mereka berdua. ,,Saja lihat engkau ada uang, ajo kita berkongsi membeli kopi, modal f 25 >— seorang” , kata Pukat, setelah berpikir hendak mentjari balas. „B a ik !” ,,A ku tukang timbang dan menuliskan, engkau tukang bajar” , kata Pukat. ,,Baik!” Orang-orang kampung jang tak tahu mata timbangan semuanja diperbodoh-bodoh oleh Pukat. Berat kopi jang sebenamja dikuranginja tiap-tiap menimbang. Betul orang-orang kampung tidak tahu, tetapi Senggulung ada melihat itu dan tahu ia apa maksudnja. ,,B a ja r .... 4 kati!” kata Pukat, pada hal berat kopi jang sebenamja 4V2 kati. Senggulungpun membajar harga 4 kati kepada jang empunja dan harga jang 1j 2 kati lagi dikeluarkannja djuga, tetapi untuknja sendiri. Begitulah dibuatnja berulang-ulang. Waktu pekan hampir usai, Pukat berkata, setelah melihat buku peringatannja: 2 13 kati semuanja! Tjoba tjotjokkan dengan uang jang engkau bajarkan” . Uang kongsipun dihitung, kedapatan jang sudah dibajarkan harga 230 kati. ,,Mana boleh?” bertanja Pukat dengan hati tjuriga. Tidak tahu, tetapi saja tak ada jang salah membajar r a s a n ja .... tetapi tjoba timbang kopinja!” kata Senggulung, pura-pura seperti susah. Kebetulan kopi itu tjukup 230 kati. Tentu sadja uang harga jang 17 kati telah masuk kekantung Senggulung Batu. ,,Tetapi tidak boleh djadi — sebab. . . . ” kata Pukat bersungut-sungut. ,,Sebab apa, mamak?” bertanja Senggulung. t,S e b a b .... kita tidak tjotjok, tjukuplah sekali ini kita berkongsi” . Senggulung tersenjum, Pukat menggigit djari. M . K asim .
ORANG JA N G SUDAH BERUM UR DALAM PUASA
Sutan Paduka, seorang kepala kuria, jang sudah mulai beruban, gandjil adatnja dalam puasa. Baharu sadja lepas lohor, ia tidak bangkitbangkit lagi dari kursi pandjangnja dan siapa sadja jang lalu, ia menanjakan pukul berapa hari. Pada suatu petang Sutan Paduka terbadai dikursi pandjangnja. Dimuka rumah lalu seorang laki-laki jang berkopiah putih. „ Pukul berapa sekarang, Lebai Sjukur?” bertanja Sutan Paduka. Orang itu menengok kelangit, lalu mendjawab: ,,Saja rasa pukul tengah tiga, engku” . ,,A p a----? pukul tengah tiga___ ? Lebai kepa----- kepujuk kamu ini. Adakah patut pukul tengah tiga sekarang? Barangkali engkau tidak puasa. Djangan lalu-lalu kalau begitu dimuka rumahku". Lebai Sjukur meneruskan perdjalanannja sambil tersenjum-senjum. Tiada berapa djauh ia bertemu dengan Pak Djamali. ,,Mengapa engkau tertawa-tawa in i?” bertanja Pak Djamali. ,,Radja kita telah mabuk puasa agaknja. Beliau marah-marah kepa daku” , kata Lebai Sjukur, lalu mentjeriterakan hainja. ,,Biar aku lalu pula dimuka rumahnja, aku tahu akal” , kata Pak Djamali, lalu pergi. ,,Pukul berapa sekarang, Pak D jam ali?” bertanja Sutan Paduka. ,,Saja rasa sudah lewat pukul 5, engku!” djawab Pak Djam ali sambil menengok kebarat. „Itu bagus— kata Sutan Paduka dengan amat riang, sambil berdiri dari kursinja. „Berbuka puasa disini sadja petang im, Pak Djam ali, aku baru dapat kiriman seterup dan kurma nomor satu dari M e ^ ,,Terima kasih banjak engku, biarlah saja berbuka dirumah sa^ja . „Ah, mengapa begitu___? Djika begitu rokok ini sadja am 1 » a■au tak suka berbuka disini” , kata Sutan Paduka, sambil memberi an j u tiga batang. . » ,,Makan tangan___, mengisap tjerutu si bangsat petang mi , a a Pak Djamali dengan tersenjum, lalu menjambut tjerutu itu. T JE R A I DALAM PUASA
Si Lengkong, lebih hebat pula kelakuannja djika puasa. Baharu sadja ia bangun pagi — biasanja pukul 8 atau 9 — isterinja terns diganggunja dengan bermatjam-matjam pertanjaan: Apa gulai kita nanti? A pa pebukaan? Apa gulai rebusnja dan apa sambalnja? Baharu sadja lepas lohor, kerdjanja tak lain lagi, melainkan pulang balik sadja kedapur. Periksa periuk ini, tengok periuk itu dan sebentarsebentar mengomel mengatakan gulai ini kurang kuahnja, sambal itu kurang mersik d.1.1.
Sekali ia mengomel perkara pengat: „Pengat ini kurang manis” ,katanja sambil mengatjau-ngatjau pengat itu. ,,Bagaimana awak tahu kurang manis, 'kan belum ditjoba?” djawab isterinja, jang sudah mulai merasa bising melihat kelakuan suaminja. ,,Biarpun belum kutjoba, aku tahu kurang manis, sebab kuahnja kurang merah rupanja” . ,,Dasar gulanja demikian” , djawab isterinja. ,,Dimana pula ada gula Djawa jang putih, gula Djawa selamanja merah. Kausangka aku bodoh, tidak mengenal gula?” Isterinja, jang selalu ditjomeli itu, mulai meradang, lebih-Iebih karena dilitak puasa. ,,Kalau tak manis, tak usah makan nanti. Enak makan, tidak tinggalkan” , katanja. ,,Adakah patut kau berkata begitu, bukankah aku jang pajah mentjari ? Kulemparkan nanti periuk pengat ini k e k e k a t a si Lengkong dengan menghardik-hardik. ,,He, kalau tak kuasa, djangan puasa” , djawab isterinja sambil meludah-ludah. ,,Apa tak kuasa? Menerdjangkankau aku lagi kuasa” , kata si Leng kong dengan sikap jang mengantjam. ,,Aku tak suka diterdjang-terdjang, aku ini bukan budak belian; kalau tak senang melihat aku, tjeraikan aku ___kata isterinja.
18
NELAJAN SANGIHE
„A ku tidak hendak mengambil harta orang” , djawab si Lengkong. ,,Kalau ba’ itu inda’ dap&’ kito tjerei” J), kata isterinjd dengan logat tjara negerinja. „Itu dio kato jang sajo kendakkan___tu” 2), djawab si Lengkong dengan kemalu-maluan, tetapi dengan hati jang amat riang. M . K a s im .
NELAJAN SANGIHE Dilengkungi langit berhias bintang, Tjaja bulan diombak menitik, Embun berdikit turun merintik, Engkau menantikan ikan datang. Mengapa termenung, Apatah direnung? Mengapa lagumu tersajup-sajup ? Mengapa mata sesekali kaututup? Ah, mengapa termenung, Mengapa kaupandang kekaki gunung? O, kumengerti! Kulihat disana setitik api! Itukah menarik matamu ketepi, Mengharu hati? O, kulihat tali, Jang tak terpandang oleh mata, Menghubung hati Kalbu nelajan dilaut bertjinta. . . .
J. E . T
atengkeng.
*
22) Itulah iK a!au kata jang sajadapat kita bertjerai. nanti-nanti. tid3k-
PINGKAN DAN MATINDAS ,,Pingkan” , kata Matindas, ,,biarlah saja sendiri kekebun, tinggallah engkau menunggu rumah kita!” ,,Ah, M a t in d a s .../ ’ , sahut Pingkan dengan suara jang memilukan hati, ,,biarlah saja mengikut sadja, supaja kita bekerdja bersama-sama. Djanganlah dipaksa saja tinggal seorang diri dirumah; tiada tertahan olehku bertjerai dengan engkau sekian lama. Sunji senjap benar rasanja disitu kalau engkau tiada ada pada sisiku” . ,,Sesungguhnja engkau sangat tjinta akan saja” , kata Matindas lagi; ,,sajapun demikian pula. Memang hati saja sebenamja tiada mau meninggalkan dikau, Pingkan---- ; tetapi apakah hendak kita buat supaja kehidupan kita djangan susah?” „Biarlah kita bekerdja bersama-sama dikebun setiap hari” , djawab Pingkan dengan pendek. „Baiklah” . Maka bekerdjalah keduanja setiap hari membanting tulang mentjaharikan nafakahnja. Semua orang jang melihat keradjinan keduanja, terlebih lagi melihat kerdja Pingkan, berkata: ,,Bidadari Tanahwangko bekerdja berhudjan dan berpanas, nistjaja segera djuga lenjap keelokannja” . Apabila Pingkan mendengar bisikan orang demikian, djawabnja: ,,Inilah kewadjibanku jang terutama, jakni membantu laki mentjahari nafakah. Tentu tiada patut bagiku membiarkan laki bekerdja sendiri mati-matian sepandjang hari, sedang aku tinggal bersenang-senang sadja dirumah. Bagaimanakah pikiranmu?” Berapa banjaknja laki-laki jang memudji-mudji akan dia, seraja katanja dalam hati: „Alangkah berbahagianja mempunjai isteri jang demikian. Berapa banjak pemuda jang sudah meminang perempuan ini dahulu, tetapi semuanja ketjewa. Matindas dan Pingkan sebagai aur dengan tebing. tolong-menolong dan sama-sama radjin” . A da pula jang ta'adjub melihat mereka tiada bertjerai-tjerai itu, sehingga mengeluarkan pertanjaan: „A p a sebabnja mereka itu selalu bersama-sama sadja; belum pernah saja lihat bertjerai? Barangkali Matindas takut isterinja dilarikan orang; pada hal, dinegeri kita ini tidak boleh djadi tak ada orang perampas; orang Mindanau ada!” ,,Hal itu saja kurang mengerti; boleh djadi sebaliknja: Pingkan tak mau membiarkan Matindas pergi kemana-mana seorang diri” , sahut jang lain itu. J(Tidak heran keduanja sangat kasih-mengasihi. Sedjak muda keduanja sudah berkenalan, bahkan Matindas sudah beberapa kali menolong pingkan dalam bahaja jang besar. Pendeknja Pingkan hidup karena Matindas, dan kini Pingkan menjatakan terima kasihnja kepada Matindas” . ,,Tjoba pikir! Hitunglah pemuda disini sana, jang sudah meminang dia. Orang jang mengehendaki dia, bukan sadja karena keelokannja,
pun karena keradjinannja jang luar biasa. Diantara pemuda-pemuda itu saja jang terutama sudah___meminta kawin padanja; tetapi tiada berhasil. Matindas punja untung. Memang patut! Tak gunanja lagi kita memperbintjangkan dial” Demikianlah dimana-mana kedengaran orang mempertjakapkan Pingkan, baik orang tua, baikpun orang muda; teruna-teruna djangan dikata lagi. Ada jang tjemburu hatinja, ada jang memudji Pingkan karena ia tahu berterima kasih kepada Matindas. Lama kelamaan, maka Matindas beringin pula hendak pergi kelaut menangkap ikan. Keinginannja itu makin lama makin keras, sehingga tak dapat ditahannja lagi; rupa-rupanja ada sesuatu kekuatan jang menarik-narik dia kelaut. Maka maksudnja itu disampaikannjalah kepada isterinja, katanja: ,,Ja isteriku jang kukasihi, saja tak dapat lagi menahan keinginan saja akan mentjahari penghidupan dilaut. Bagaimanakah pikiranmu?” Mendengar perkataan suaminja demikian, maka sahut Pingkan: „Djanganlah pergi! Tiadakah tjukup penghidupan kita sekarang?” ,,Saja tiada mendapat kesenangan badan, kalau tak turun kelaut", kata Matindas pula. ,,Biarlah saja bekerdja lipat ganda lagi dari pada sekarang, tak mengapa, asal engkau tidak pergi ketempat jang berbahaja itu” . ,,Berbahajakah pentjaharian dilaut?” „Ja, apalagi sekarang musim barat, gelombangnja besar-besar, setinggi-setinggi rumah” . ,,Kalau saja tiada pergi, isteriku jang kukasihi. . . . berani saja mempestikan, bahwa saja akan ditimpa penjakit. Kebiasaan saja mentjahari ikan dilaut rupanja sudah mendjadi darah daging bagi saja; djadi tak boleh dihilangkan lagi. Izinkanlah lakimu kesana dalam beberapa hari ini djuga!" kata Matindas membudjuk isterinja. „M atindas---- tiadakah engkau kasih akan isterim u---- ?” tanja Pingkan dengan suara jang amat lemah lembut, dan tubuhnja telah lemah lunglai, lalu direbahkannja dihadapan lakinja. A ir matanjapun turunlah membasahi pipinja jang telah sui^m karena kesedihan itu. Matindas terns mengambil akan dia, dipangkunja, dipeluknja, ditjiumnja dan dibudjuknja dengan pelbagai tiumbu-tjumbuan, katanja: ,,Aduhai isteriku. . . . tjahaja mata kakanda! Mengapa engkau membawa pertanjaan jang demikian kepada kakanda ? Ataukah saja tiada kasih
akan dikau? Pingkan___ kepadamulah bergantung njawa kakanda, tiada suatu apa jang kakanda kasihi didalam dunia ini terlebih-lebih, hanja engkaulah. Kakanda menurut akan katamu, djanganlah lagi menangis!” Pingkan bangunlah perlahan-lahan, seraja ia membalas tjium suammja dengan tjium jang manis-manis pula, seraja katanja: „D jiw aku telah selamat pula sekali ini!" ,.Mengapa?” ,,Ja ----karena engkau kasih djuga rupanja a k a n ....”
, , ---- Pingkan!” ,,Sudah saja katakan tadi, biarlah saja bekerdja lebih berat lagi, asal engkau djangan pergi membawa dirimu kekubur. Tiadakah engkau dengar hal beberapa orang nelajan kemarin dulu, perahunja terbalik dibantingkan gelombang? Untung benar kesemuanja pandai berenang; djadi sampai djuga mereka kedarat, meskipun dengan beribu-ribu kesukaran. Saja akan bersukatjita sekali, apabila engkau mau menurut perkataan isterimu jang bebal ini” . ,,Djangan pula menurut perkataanmu jang semudah ini, walau kausuruh memindahkan gunung Lokon, Kelabat dan Soputan kesebelah barat negeri Tanahwangko ini sekalipun, saja kerdjakan djuga” . Beberapa hari kemudian dari pada itu, maka Matindas merasa dirinja kurang segar; tetapi tiada dikabarkannja kepada isterinja. Isterinja amatlah heran melihat hal lakinja demikian. Makannja kurang sedikit dari biasa; bitjaranja tiada kuat, sikapnja tiada gagah lagi dan mukanja makin lama makin kurus. , .Matindas, apakah jang kurang padamu?” tanja Pingkan kepada Matindas. „Seluruh badan saja lemah” . ,,Apa sebabnja?” „ Tidak tahu” . ,,Tak adakah bangsa tumbuh-tumbuhan jang boleh dibuat obat minum akan mengelakkan penjakitmu itu?” tanja Pingkan pula dengan chawatirnja. ,,Saja kurang periksa pula, matjam rumput mana jang boleh diambil” , djawab Matindas. Sementara itu dapatlah pikiran kepada Matindas akan membuat dua patung. Mula-mula diambilnja kaju jang lembut untuk pertjobaan. Setelah ditjobakannja beberapa kali, dilihatnja makin lama makin halus dan makin bagus djuga buatannja; maka pikim ja: ,,Baiklah aku membuat patung Pingkan dan patung itu kubawa kemana-mana aku pergi. Kalau patung itu djadi, kubuat pula sebuah patung jang mukanja sama benar dengan mukaku; mudah-mudahan ada djuga gunanja bagi isteriku kelak’ ’ . Maka ditjarinjalah suatu matjam kaju jang baik, lalu dimulainjalah mengerdjakannja. Makin lambat dikerdjakannja, makin elok patung itu dan kira-kira tiga belas hari kemudian, sedialah patung Pingkan itu. Semua orang jang melihat patung Pingkan heran sebesar-besar heran, karena keelokannja jang tiada berbanding itu. >fW ah !!” kata orang sambil menggeleng-gelengkan kepalanja; ,,pandai sekali Matindas ini. Dari mana ia mendapat ilmu itu ?” ,, Itulah suatu karunia Ilah kepadanja” , djawab orang jang lain. ,,Memang Matindas seorang jang sabar, baik dalam berpikir, baik dalam pekerdjaan. Hal itu sudah banjak kali dilihat dalam pergaulan hidup kita dengan dia. Pergilah lihat dibawah rumahnja, berapa banjak pula patung jang dibuatnja untuk pertjobaan!”
Maka Matindaspun mulailah pula membuat patungnja sendiri. Setelah hampir sedia maka katanja kepada isterinja: „Lihatlah olehmu baik-baik, sudahkah sama muka patung ini dengan m ukaku?” ,,Belum!” djawab isterinja; ,,ada lagi perbedaannja, jaitu hidung dan mata. Hidung patung ini rupanja tinggi sedikit dari pada hidungmu dan matanja terlalu ketjil” . Maka bimbanglah Matindas memikirkan, bagaimana hendaknja mengubah muka patung itu, sehingga sama betul dengan mukanja, sedang ia sendiri tiada mengenal betul akan mukanja. Ditjaharinja rupa-rupa akal akan mengetahui bentuk muka dan hidungnja, tetapi sia-sia sahadja. Maka timbullah dalam hatinja akan membiarkan patung nja, sebagaimana adanja sadja. Pada suatu pagi, ketika ia tunduk hendak menjiangi tanaman jang dikeliling pondok dalam kebunnja, maka terlihatlah. olehnja bajangbajang mukanja pada air embun jang terkumpul pada seheiai daun. Maka diselidildnjalah baik-baik akan mukanja, meskipun kurang terang sedikit, lalu pergilah ia meneruskan pekerdjaannja jang telah terbengkelai itu. Tiada lama kemudian maka selesailah patung itu. Betapa besar hati kedua laki isteri itu tiada dapat dikatakan lagi, hanja jang kita ketahui, ialah selama dunia ini ditempati oleh manusia, barangkali belum ada sebuah rumah tangga djua jang kesenangannja dapat menjamai udjung kesenangan rumah tangga Pingkan dan Matindas itu. ,,Miskin badan, kaja hati” , itulah peribahasa jang selalu dikatakan oleh kedua laki isteri jang rendah hati itu. ,,P in g k a n ....” kata Matindas, „saja tiada dapat bertjerai dengan engkau, demikian djuga sebaliknja, engkau tiada mau djauh dari pada saja; tetapi dengarlah dahulu olehmu: penjakit saja ini tidak lain dari pada keinginan jang telah sampai kepuntjaknja hendak menempuh lautan, Dari ketjil saja hidup diair, sekarang telah tertahan, bukan oleh siapa, melainkan oleh ketjintaan saja kepadamu. Sekarang saja telah membuat dua buah patung, sebuah untuk engkau dan sebuah pula untuk saja, selama kita bertjerai. Saja bermaksud akan pergi djuga kelaut; biarlah patungmu saja bawa serta, supaja engkau selalu serasa ada disisi saja, dan patung saja saja tinggalkan padamu akan mendjadi temanmu sepeninggal sa j a . . . . Senangkah hatimu?” Maka Pingkanpun berpikirlah sedjurus, lalu djawabnja: ,,Baiklah” . Mendengar perkataan itu, maka Matindaspun melompat dari tempat duduknja, datang kepada Pingkan, lalu ditjiumnja seraja katanja: „Pingkan___nafas kakanda! Kasih kakanda telah bertambah berlipat ganda pula, karena adinda mengabulkan permintaan kakanda” . ,,Tetapi djanganlah dahulu pada hari ini, karena hari ini rupanja tiada baik” , kata Pingkan. ,,Tidak mengapa” , djawab Matindas sambil mentjium bidadarinja pula; ,,asal adinda izinkan” . Maka kata Pingkan pula: ,,Haruslah hati-hati dan tangkas dalam sebarang pekerdjaan, supaja selamat pada achimja” .
,,Djangan takut! sahut Matindas sambil tertawa-tawa. ,,Baiklah!” djawab Pingkan. Pada keesokan harinja, sebelum matahari terbenam, Matindaspun menjediakanlah suluh dan memperbaiki perahunja. Setelah sedia semuanja maka katanja kepada isterinja: ,,Tinggallah engkau baik-baik, djangan chawatir, persenang sadjalah hatimu!” ,, Kalau kaulihat suatu tanda hari buruk akan tiba, baiklah lekas-lekas pulang!” ,,Tentu sekali; siapa mau bertentangan dengan musuh jang tidak teralahkan” . ,,Nah, kalau begitu berangkatlah!” Setelah diambilnja patung Pingkan, lalu iapun pergilah. Sementara berkajuh, maka hatinja berdebar-debar matjam merasa ketakutan; oleh sebab itu ia menengok kekiri, kekanan dan keatas, memeriksa kalaukalau angin ribut hendak turun, tetapi dilihatnja langit bersih sadja sebagai disapu, sedikitpun tidak berawan; apalagi segala bintangbintang jang berdjuta-djuta banjaknja, rupanja tiada sebuah djuga jang bersembunji, tak ada jang tiada memantjarkan tjahajanja jang gilanggemilang itu. Perasaan ketakutan didalam hatinjapun hilanglah, setelah melihat dan memeriksa keadaan alam pada ketika itu. ,,Djalan terus! perintahnja kepada dirinja sendiri, sambil ia ber kajuh sekuat-kuatnja menudju tempat jang dirindukannja. „M ustahil turun ribut pada malam ini” , katanja pula dalam hati; ,,malam terang tjuatja, belum pernah kudapati begini, sedjak aku tahu menempuh lautan". Pada seketika itu djuga terbajanglah muka isterinja diruangan matanja; dilihatnja sedang menangis, tidak tahu apa sebabnja. Dalam pemandangan itu tampak olehnja Pingkan memberi isjarat kepadanja, djangan ia meneruskan pelajaran itu. ,,Apakah gerangan maksudnja i n i . . . . ? " pikimja didalam hati. Ia termenung memikirkan alamat penglihatannja itu, sehingga tiada diketahuinja pengajuhnja telah terlepas dari tangannja. Baik benar pangkal kedua pendajungnja terikat pada pinggir perahu itu. Achirnja sadarlah pula ia dari pada kebimbangannja, lalu katanja: ,,Sia-sia aku memikirkan dia lebih djauh. . . . Terus sadja!” Maka sampailah ia ketempat jang ditudjunja. Baru kira-kira seper- t tanak nasi lamanja ia disana, tiba-tiba turunlah angin ribut jang amat* kentjang. Ditjaharinja rupa-rupa akal akan mengelakkan bahaja itu, sedikitpun tiada berguna; perahunja djadilah laksana sabut njiur permainan gelombang. Maka hantjurlah perahu itu dipukul gelombang. Matindas memeluk akan buluh bekas semah-semah (tjadik) perahunja, lalu membiarkan dirinja kesana kemari dilemparkan gelombang. Ia mengedjamkan matanja, tetapi pikirannja tiada bimbang; katanja: f,Biar bagaimana sekalipun, tiada mau aku melepaskan buluh ini'*. Kemudian maka datanglah sebuah gelombang jang besar melemparkan dia kedarat. ,,A duh!” serunja karena ia merasa tubuhnja amat kesakitan, lalu iapun pingsanlah.
Maka tersebutlah beberapa orang Mindanau pergi mengintai tawanan kedaerah tempat itu. Waktu angin ribut hendak turun tadi perahu mereka itu dikandaskannja kedarat, supaja djangan dibawa gelombang. Setelah angin ribut itu redalah, maka pergilah mereka itu mendapatkan perahunja hendak pulang kenegerinja. ,,Sial benar kita kali ini, tiada mendapat tawanan barang seorang djuapun” , kata seorang. ,,Tadi pagi saja melihat orang berdjalan melalui hutan; tetapi banjak benar mereka sekawan; djadi amat sulit diserang” , kata jang seorang pula. ,,Sedjak beberapa tahun ini, makin awaslah orang disini, tiada mau lagi berdjalan berdua bertiga, apalagi seorang diri” , sahut jang lain pula, sambil menggeleng-gelengkan kepalanja. „Baiklah kita ke Uwuran (sekarang dinamai „A m uran g") la g i!" ,,Tidak usah, nanti, kali lain sadja!” ,,Ah, saja telah bertaruh dengan kepala-kepala kampung kita, bahwa saja dengan pesti akan mengantarkan kepada mereka itu seorang lakilaki jang kuat. Ini kosong sadja, tentulah saja kalah” . ,,Kemana lagi engkau hendak m engintai?" Manusia, manusia!" teriak jang seorang, sambil ia berlari-lan menudju seorang laki-laki jang terbaring dipasir. M aka berkerumunlah mereka itu sekalian kepada orang jang terbaring itu. ,,Majat barangkali". ,,Belum mati, lihatlah perutnja turun naik” . ,,Periksa nafasnja". Maka seorang melekapkan djarinja kemuka hidung orang itu, lalu katanja: ,,Masih hidup! Masih hidup!" „M udjur!” . ,,Tentu ia pingsan dilemparkan oleh gelombang; lihatlah ia memeluK. buluh, bekas semah-semah perahu". ,,Kalau begitu, baiklah kita lekas sadja berangkat membawa dia. Kalau ia nanti sedar, kita sudah ditengah laut. Seret sadja perahu kita kemari” , perintah kepala mereka itu. Maka bertolaklah mereka itu. Setelah sedjurus lamanja dipelajaran, maka mereka itupun menjauk air laut, lalu dititiskannja kemuka orang jang pingsan itu. ,,Pingkan.. . . ! P in gk an. .. .! " kata orang itu tiba-tiba dengan suara jang amat lemah lembut, sambil ia bergerak hendak memutar badannja. ,,Dengarlah oleh kamu” , bisik seorang; memanggil ibunja, atau saudaranja barangkali” . ,,Biarkan sadja ia bermimpi! Pada sangkanja ia ada ditempat tidur didalam rumahnja” , kata penghulu orang Mindanau itu sambil tertawatawa; ,,mustahil dapat ia melarikan diri lagi” . Tiada lama kemudian maka orang itupun membuka mata, lalu melihat kekiri dan kekanan, memperhatikan dimanakah ia pada ketika itu. Setelah itu dipedjamkannja pula matanja, karena pada sangkanja ia bermimpi sadja, djadi bimbanglah ia. Sementara itu didengamja orang
berbisik-bisik, tetapi tiada ia mengerti apakah jang dibisikkannja. Sebab itu terperandjatlah ia lalu hendak bangun. „Aduuuuh! teriaknja, sebab ia merasa punggungnja amat sakit. memaiiciang kepada orang jang ada dimuka dan dibelakangnja: »Wahai, djiwaku! A ku telah terserah kedalam tangan musuh jang bengis , katanja dalam hati. ,,Atau bermimpikah aku ini? Mudahmudahan benarlah persangkaanku” , sambil ia mengangkat kepalanja pula, dan dilihatnja sebagai tahadi djuga. Dan lagi terasa olehnja, bahwa ia dalam perahu, ditengah lautan besar. Maka terkenanglah ia akan bahaja jang menimpa dia tadi malam. ,.Sesungguhnja aku ini si Lebai Malang. Lepas dari terkaman harimau, djatuh kedalam mulut buaja. Apakah akalku sekarang akan melepaskan diriku dan tangan perompak m i? Bere na ng ... . tak mungkin. Lebih baik aku menjerahkan njawaku sadja dalam tangan Empoing Walian jang mendjadikan langit dan b u m i . . . . Aduh isteriku jang kukasihil' katanja pula dalam hati; „djikalau kiranja lakimu mengetahui lebih dahulu apa maksud penglihatan lakimu kemarin, nistjaja tiadalah ia meneruskan pekerdjaannja jang sial itu". Maka iapun merebahkan dirinja jang amat lemah itu keatas barang orang rampasan; setelah itu ia tiada bergerak-gerak lagi, sebagai orang mati. & Berapa lamanj'a berlajar, maka orang Mindanau itupun membangunkan dia, mengadjak makan ubi, sagu dan lain-lainnja; tetapi tiada ia mau makan, karena pada pikimja, lebih baik ia mati sadja dari pada hidup dalam sengsara. Penghulu orang perompak itupun bangunlah datang mendekati dia, lalu mengadjak dia bertjakap-tjakap. Akan tetapi keduanja tiada dapat mengerti akan bahasa masing-masing; maka penghulu itupun memberi isjarat kepadanja akan mengatakan namanja. Orang itu menundjuk kepada dirinja seraja berkata: ..M atindas!” Matindaspun teradjaklah pula hatinja hendak bertjakap-tjakap dengan penghulu itu. Maka pikirnja: ,,Pada suatu masa kamu semua akan kutipu djuga. Baiklah aku menaklukkan diri benar-benar dahulu ke padamu, aku tundjukkan bahwa aku ini perompak jang sebenar-benarnja. Apabila kamu telah pertjaja benar akan daku, tentu pada ketika itulah waktu jang baik bagiku akan melarikan diri. M esti d jad i___!” lalu 1a pura-pura menggosok perutnja. memberi isjarat meminta makanan. a P?n§ . l u itupun menj uruh mengeluarkan sisa mereka itu, lalu diberikannja kepada Matindas. Meskipun Matindas tiada biasa akan makanan jang dimasak demikian, dipaksanja djuga kerongkongannja menelan ia, agar supaja ia selalu kuat, sehingga boleh meneruskan niatnja. Dnsjaratkannja djuga meminta obat akan pengurut belakangnia jang sakit itu. Kira-kira enam hari enam malam mereka itu berlajar, maka sampailah kenegeri orang Mindanau itu. Disana selalu Matindas menundjukkan setianja, baik dalam merompak kepulau-pulau Sangihe dan Talaude (Sangi dan Talaut), baikpun kemana-mana. Terlebih pula dalam per-
kelahian, sehingga selalu ia dipudji orang, karena selalu mengalahkan musuhnja. Disana orang-orang tawanan diadu sebagai ajam sabung, dengan memakai pisau atau keris. Dari kiri kanan datanglah orang menawar Matindas, tetapi tuannja sama sekali tiada mau mendjual dia, karena ia telah mendjadi kaja oleh taruh jang diperoleh M atindas itu. Maka bertambah-tambahlah kasihnja akan Matindas dan sudah banjak kali dibiarkannja ia bekerdja seorang diri, tiada didjaga lagi atau dimasukkan kedalam kandang sebagai babi. Orang jang gemuk tetapi malas disembelih oleh mereka untuk dimakan. ^ Pada suatu hari tuannja dipanggil orang, hendak didjamunja. Ham pir sekalian orang tua-tua didalam kampung itu dipanggil keperdjamuan itu. Maka tinggallah Matindas dipondok bersama-sama dengan seorang perempuan tua. Maka tanja Matindas kepada perempuan tua itu: ,,Kemanakah mereka itu pergi?” ,,Pergi keperdjamuan dikampung jang lain” , djawab perempuan tua. ,,Djauhkah kampung itu dari sini?” ,,Perdjalanan sehari dua malam” . ,,Sudah djadi!” katanja dalam hati; ,,waktu inilah jang sangat kurindui itu” . , ,,Nenek!” serunja kepada perempuan tua itu; ,,saja ingm hendak msngikut kcsEii3^ Djawab perempuan it u :,,Djangan, lebih baik engkau pergi mengambil kaju api!” • 1 i Matindas tiada berpikir pandjang lagi, karena kesukaannja la u sahutnja: ..Baiklah!” Maka bekerdjalah ia sekuat-kuatnja sehari itu, sehingga perempuan itu sangat bersukatjita melihat halnja. ra d a ma am itu, setelah tidur perempuan tua itu, keluarlah Matindas per a an lahan, lalu dibisikkannja kepada dua orang Siauw jang dikurung an didalam kandang: ,,Marilah kamu keluar ikutlah akan daku. sam 1 ia membuka pintu kandang itu. ,,Kami takut!” , _. . , „Bodohl Ikut sadja, tak usah takut! Sekarang kita lari , kata M atm das dengan pandak, seraja memaksa mereka itu. ,,Kemana?” ,,Pulang kenegeri” . ,,Perahu kita tidak ada” . .A d a !” ,,Djangan-djangan kita disusul oleh mereka itu . .. . ,,Omong kosong. Kalau kamu suka disembelih, tinggallah disim l ,,Kami ikut” . Maka berdjalanlah ketiganja buru-buru menudju kepantai, ketempat tuan mereka itu mengandaskan perahunja. Dengan tiada mengeluarkan kata sepatahpun, ketiganja menjeret perahu itu keair, lalu naik. _ ,,Kamu mengajuh, saja pegang kemudi, sebab saja jang mengetahui djalan jang harus kita ambil, supaja kita djangan bertemu pula dengan musuh jang lain. Makanan hanja tjukup bagi kita bertiga tiga hari,
djadi harus kentjang” , perintah Matindas sambil ia menengadah kelangit memperhatikan tempat bintang-bintang. ,,Kita harus kebarat-daja dahulu!” Untung benar tiada lupa ia akan perdjalanan bintang-bintang jang diadjarkan oleh neneknja dahulu kepadanja, dan jang diadjarkan oleh penghulu perompak itu kepadanja selama ia mengikut merompak kemana-mana. Sementara berlajar itu tiada berhenti-hentinja Matindas menghibur-hiburkan temannja, katanja: ,,MustahiI dapat mereka itu menjusul, kalau kiranja mereka itu menjusul kita. Sampai kini sudah empat hari lima malam kita dalam pelajaran, belum ada lagi tandatanda, bahwa pelajaran kita boleh terganggu. Hanja kita harus menghematkan makanan; bagi saja tak perlu makan dua hari ini". ,,M engapa?” „Saja merasa kuat, saja boleh dipakai lagi dua hari". ,,Biar tidak makan lagi, asal sudah dekat” , kata seorang. ,,Bagaimanakah hal kita in i?" tanja Matindas kepada kedua temannja. ,,Kamu orang Siauw, djadi tidak djauh lagi, sedang saja orang Tanahwangko, masih djauh” . Maka berunding-rundinglah mereka itu; achimja kata kedua orang Siauw itu: ,,Kami tidak mau lagi pulang kenegeri kami; kami akan mengikut engkau sadja” . , ,Tidak lagi kamu beribu-bapa ?” ,,Ibu bapa saja meninggal selagi saja ketjil, djadi tiada saja mengenal bagaimana rupa mereka itu” , kata seorang dengan suara jang mengibakan hati. ,,Ibu saja sudah lama meninggal, tetapi bapa belum lama” , kata seorang pula. ,,Sanak saudara kamu?” ,,Nanti lain kali kami mengundjungi mereka itu, sekarang belum; baiklah kita meneruskan pelajaran kita ke Tanahwangko sadja!” ,,Baiklah!” djawab Matindas. ,,Makin kentjang kita berkajuh makin baik, dan makin tjepat tertjapai maksud kita” . Pada hari jang kedelapan waktu pagi-pagi sekali, tampaklah puntjak gunung Kelabat disebelah tenggara, putih diliputi awan; makin lama makin dekat. Maka terkenanglah pula Matindas akan Pingkan, djantung hatinja; karena rindunja itu, maka berkajuhlah ia sekuat-kuatnja menudju tanah tumpah darahnja, jang tumbuh-tumbuhannja telah njata kelihatan, seolah-olah melambai-lambaikan tangannja memberi s e l a j n a t d a t a n g kepadanja. H e r s e v ie n M . T a u l u , Bintang Minahasa.
D r ew es,
Mentjari ketetapan baru.
3
IN D O N E S IA , T U M P A H - D A R A H K U Duduk dipantai tanah jang permai Tempat gelombang petjah berderai Berbuih putih dipasir terderai, Tampaklah pulau dilautan hidjau Gunung-gemunung bagus rupanja, Dilingkari air mulia tampaknja Tumpah-darahku Indonesia namanja. Memandang alam demikian indahnja Ditutupi langit dengan awannja Berbilaikan buih putih rupanja Rindulah badan ingin dan rewan, Terkenangkan negeri dengan bangsanja Berumah tangga selama-lamanja Penuh peruntungan berbagai sedjarahnja. Adalah zaman ketika dahulu Tinggi gerangan semarai bangsaku Menggembirakan djantung serta kalbuku, Karena bangsaku semasa itu Menempuh gelombang segala lautan Mendjadjah pesisir seluruh daratan Sedjakkan utara sampai selatan.
O Indonesia, tanahku sajang Semuanja ini sudahlah hilang Menurutkan zaman berselang-selang; Tapi dihatiku petang dan pagi Selalu disinari bukan sembarang Oleh pelita sendja dan siang Menerangi Indonesia terang-temerang. Tumpah-darahku berlangit hidjau Semuanja ini sudahlah lampau Hilang dizaman waktu nan silau Djatuh tenggelam kekala nan kelam; Hanjalah djedjak serta bekasnja Tinggal terakam dengan djelasnja Ditanah airku segenap segalanja.
Buat kami anak sekarang Sedjarah demikian tanda nan terang Kami berpojang asal nan gedang Bertenaga tinggi petang dan pagi; Serta kami dinusa Hindia Turunan bangsa bertanah mulia Kepada darahnja berdjandji setia. Peliharai pelita pusaka pojangku Sepantun permata harga beribu Serta turunkan k’anak dan tjutju; Karena muram tjahaja padam Alamat bangsaku hampirkan laju Tiada bertempat di alam nan baru Tiada berteduh dilangit jang biru. Kami dibimbing tjinta nan baru Kuat bersendi sedjarah dahulu Hendak seia mendjadi satu; Karena selama kami didunia Sedjak bunda penuh idaman sampai berbalik ketanah nan aman D i Indonesia gerangan tempat kediaman. Sekarang bangsaku semua segala Sedialah siap bersama-sama Zaman jang mulia datang kalanja; Ditepi pantai laut nan permai Kudengar gelombang merdu suara Memudjikan tuan tanah Hindia Menebusi djandji tinggi harganja. Dipetik dari Indonesia Tumpah Darahku karangan M u h a m m a d J a m in (1928).
GUNA-GUNA Adapun kedatangan Sutan Sja'ir Alam dan anaknja itu kembali keTandjungpinang amat menggirangkan hati handai-tolannja jang dahulu. Sutan Sja'ir Alam adalah seorang jang ramah dan baik hati, karena itu banjak orang jang sajang kepadanja. Bukan orang jang setua dengan dia sadja jang kenal kepadanja, tetapi jang muda-mudapun banjak sahabatnja. Apalagi sekarang anak-anak muda itu makin baik budi basanja kepadanja. Djika bertemu didjalan, tegur sapanja bertambah manis dan hormatnja bertambah-tambah, lebih-lebih kalau ia bersama-sama dengan anak gadisnja. M ulanja Sutan Sja'ir Alam agak heran djuga melihat kehormatan mereka jang berlebih-lebihan itu, tetapi kemudian maklum djugalah ia apa sebabnja. Bunga jang ditaruhnja telah kembang dan baunja jang harum sudah semerbak berkeliling. Maka beterbanganlah kumbang berdengungdengung mengelilinginja, sebagai hendak menawarkan diri. Memang kepindahan Rusmala Dewi kesana menggemparkan dalam kalangan anak-anak muda Tandjungpinang. Pertama-tama ialah karena masa itu masih djarang terdjadi kaum perempuan duduk bekerdja dikantor-kantor seperti di Minangkabau djuga. Djadi kedatangan Rusmala Dewi sebagai pegawai kantor pos itu adalah kedjadian jang masih luar biasa. Kedua ialah karena ketjantikan Rusmala D ew i dan tegur sapanja jang manis. Siapa-siapa jang datang keloket tempatnja bekerdja akan membeli ini dan itu, atau urusan pos jang lain, diterimanja dengan muka jang djernih dan tutur kata jang manis. Kadang-kadang diiringi pula dengan senjum jang menggojangkan iman. Karena itu banjak anak-anak muda jang tak tahu diri, djadi salah mengerti. Dikatakannja Rusmala Dewi tersenjum itu sebab kena hati kepadanja. Dimana mereka duduk berkumpul-kumpul atjap kali terdengar itulah jang mendjadi pokok pembitjaraan. . Seorang diantara anak-anak muda itu ialah Mahmud, anak muda jang putus asa dahulu, karena niatnja hendak meminta Rusmala D ewi djadi isterinja, dilarang oleh sahabatnja sebab pekerdjaan itu akan sia-sia sadja. Dia atjap kali benar tampak dimuka loket tempat Rusmala D ew i bekerdja. Ada-ada sadja keperluannja datang kekantor pos itu. Kadangkadang akan membeli sampul suratpun dia sendiri djuga datang kesana, meskipun ada budjangnja empat-lima orang jang tangkas akan disuruh. Keperluan anak muda itu selalu dilajani oleh Rusmala D ewi sebagai biasa, dengan manis dan sopan-santun. Sekali-sekali, djika perlu, dilawannja bertjakap sepatah dua. Karena itu didalam hati Mahmud berkobarkobarlah kembali tjinta jang sudah lama tersimpan, makin sehari makin hebat menjerang budi pekertinja. Diapun pertjaja bahwa tjintanja itu bukan tidak dibalas oleh Rusmala Dewi, karena tiap-tiap kali ia datang kesana, tentu akan disambut oleh senjum manis pada bibir jang merah delima itu. Kepertjajaan hatinja itu achimja mendjadi kejakinan. Kepada kawan-kawannja atjap kali disindir-sindirkannja, bahwa burung nuri
jang tjantik itu tidaklah akan terbang-terbang lagi, melainkan akan tetap bersarang di Tandjungpinang; sangkar emas, tenggeran suasa sudah sedia. Banjak diantara kawan-kawannja itu jang membesarbesarkan hati dan memberi harapan kepadanja serta menjuruh melakukan pekerdjaan itu. Sebab itu dari sehari kesehari makin tetaplah hatinja hendak memulai pekerdjaan itu. Maka ditjarinjalah dua orang jang akan djadi kaki-tangannja untuk menjampaikan maksudnja itu, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Jang laki-laki ditjarinja orang jang bersahabat baik dengan Sutan Sja'ir Alam dan jang perempuan orang jang pintar berbitjara akan membudjuk-budjuk Rusmala Dewi. Untuk itu tentu sadja M ahm ud telah mengeluarkan uang sebagai air. Akan tetapi alangkah ketjewa hati Mahmud melihat hasil pekerdjaan itu. Dari pihak bapak dan anak, kedua utusannja terpukul mundur. Rusmala Dewi berkata, bahwa ia belum temiat hendak bersuami. Dari pihak bapanja menolak karena adat mereka tiada mengizinkan. Sungguh hal itu merusakkan hati Mahmud. Rupanja persangkaannja, bahwa Rusmala Dewi ada tjinta pula kepadanja, tiadalah benar. Senjum manis jang selalu bermain dibibimja itu palsu belaka. Pandai benar ia mempermainkan hati anak muda itu. Tjinta Mahmud jang lemah-lembut dahulu telah bertukar dengan tjinta kemarahan, malahan kemarahan djugalah jang lebih. ,,Rupanja dia djinak djinak merpati” , pikir Mahmud dengan geram. ,,T api biarlah, supaja dirasanja pula asin garam tanah rantau ini. Meski akan habis semua peninggalan nenek-mojangku ini, biarlah, asal malu akan tertuntut. Sebelum menjembah kekakiku, belum senang hatiku” . Sedjak itu tiadalah mau lagi ia bertemu-temu muka dengan Rusmala Dewi, meskipun dukunnja melarang, djangan diperlihatkan hati marah itu, melainkan buat sebagai biasa sadja. Akan tetapi Mahmud segan sadja menentang muka Rusmala Dewi. Mahmud telah mentjari seorang dukun tua jang telah masjhur kepandaiannja tentang ilmu guna-guna. Pada suatu malam Ghatib pergi berdjalan-djalan kewarung kopi. Sedang ia duduk minum-minum datang seorang muda berpakaian bagus-bagus, dibelakangnja mengiring seorang tua dan dua orang muda pula. Kedua orang muda jang kemudian itu tinggal diluar sadja, sedang orang muda jang berpakaian bagus-bagus dan orang tua itu masuk kedalam, lalu duduk ditempat jang agak terpentjil. Sesudah terhidang dihadapan mereka dua mangkuk kopi susu dan bermatjam-matjam djuadah, mulailah mereka bertjakap-tjakap dengan perlahan-lahan. Sungguhpun demikian pertjakapan mereka terdengar djuga oleh Ghatib dengan njata: ,,Saja tak sempat datang kerumah bapak!" kata orang muda itu, sambil membakar tjerutunja, ,,sebab saja dalam beberapa hari ini banjak urusan benar. Karena itulah saja suruh sadja kedua kepertjajaan saja
itu kerumah bapak akan menjampaikan maksud saja. Sudah mengerti benarkah bapak akan maksud saja itu?” ,,Sudah engku” , djawab orang tua itu dengan hormatnja. ,,Namanja Rusmala Dewi, bukan?” ,, Benar, pak! Tetapi agak perlahan-lahan sedikit, nanti terdengar oleh orang” . Demi Chatib mendengar nama tuannja disebut-sebut orang itu, bukan main herannja. Didalam hatinja timbullah bermatjam-matjam pikiran. Apakah orang itu bermaksud baik kepada tuannja, ataukah bermaksud djahat? Maka makin inginlah ia hendak mendengar pertjay kapan orang itu. Telinganja dipasangnja benar-benar. ,,Untuk mentjukupkan sjaratnja, dapatkah engku mentjarikan ram but; selembarpun tjukuplah! Kalau tidak dapat rambut itu, hari kelahirannja boleh djuga. Tetapi kalau dapat keduanja, itu lebih baik lagi” . ,,Wah, kedua benda itu amat susah didapat, pak. Kalau rambutnja barangkali dapat djuga diakal-akalkan, tetapi hari lahimja itu memang susah benar, sebab dia bukan orang disini. Tetapi kalau tak dapat benda itu, bagaimana pak, tak dapatkah bapak menolong saja?” tanja orang muda itu dengan agak tjemas. ,,Ja” , keluh pak dukun sambil menarik napas pandjang.,,Perkara dapat tentu dapat, tetapi patik mesti bekerdja luar biasa. Patik mesti bertapa pada air terdjun beberapa hari lamanja” . ,,Kalau tentang susah pajah bapak itu djanganlah kuatir, pak!” djawab orang muda itu sambil mengurut-urut mukanja dan mengerdjapngerdjapkan matanja. ,,Tahu beres sadja bapak nanti. Nah, ini terima dahulu sepuluhringgit! Kalau berhasil, saja lipat lima kali, pak! Sekarang minumlah kopi! Bapak suka tjerutu? Ini, tjobalah!” kata orang muda itu pula sambil memberikan sebuah tjerutu besar kepada orang tua itu dan dibakamja sekali. ,,Terima kasih engku muda” , kata pak dukun, sambil menerima tjerutu. Setelah dihirupnja dua-tiga kali, lalu katanja: ,,Engku muda lihatkanlah dalam sepekan ini. Insja A llah berkat keramat guruku rasanja takkan mungkir! Sekarang patik hendak permisi pulang dulu hendak menjediakan mana-mana jang kurang! ,,Baiklah pak, selamat berkajuh!” Sambil berdiri diambilnja uang itu, lalu dimasukkannja kedalam kantungnja dan iapun berangkat. Tiada lama kemudian orang muda itu berangkat pula, dengan muka berseri-seri. Dibelakangnja mengikut kedua orang pengiringnja tadi. Setelah mereka itu habis pulang, Chatibpun pulang. Dengan segera dichabarkannja segala jang didengamja dikedai kopi kepada kedua tuannja. Rupanja Rusmala Dewi tidak gentar sedikit djuga mendengar chabar itu. Tetapi Sutan Sja'ir Alam tjemas benar hatinja. Sebab itu bertanjalah ia kepada anaknja: ,,Siapakah orang muda itu pada sangkamu?” MSiapa lagi kalau bukan engku Mahmud, bangsawan dipulau Penjengat,
jang telah menjuruh orang kemari dahulu” , djawab Rusmala Dewi. ,,Biarlah dia buat sesuka hatinja, asal kita tidak bersalah” . ,,Djangan begitu, Rusm a!” kata Sutan Sja'ir Alam dengan hati jang tjemas. ,,Orang jang putus asa, kadang-kadang hilang kebenarannja, rusak budi-pekertinja. Salah tak salah, kalau tidak menurut kehendaknja, j a . . . . banjak djalan olehnja akan mentjelakakan kita. Apalagi dia seorang jang kaja-raja dan berpengaruh pula” . ,,Djadi maksud ajah saja terima hendaknja permintaannja itu?” ,,Bukan begitu, nak! Kita harus ingat-ingat, djangan sampai kita dapat bahaja atau aib karena perbuatannja itu” . ,,Kalau begitu baiklah! A jah perbuatlah mana-mana jang perlu. Saja sendiri hendak mendjaga badan saja dari bentjana itu. Kalau ia berani mengganggu saja, tentu ia berkenalan dengan hakim” . Beberapa hari telah lalu, tetapi tiadalah terdjadi apa-apa. Mahmudpun tiada kelihatan mata-hidungnja. Sutan Sja*ir Alam sudah merasa senang pula hatinja. Pada suatu petang Kamis malam Djum'at, sedang Rusmala Dewi dengan ajahnja duduk-duduk membatja koran, tiba-tiba mereka terperandjat, karena^ mendengar bunji suatu benda djatuh diatas atap. ,,Apakah itu, ajah?” tanja Rusmala Dewi dengan heran. ,,Bambu kasau agaknja, petjah karena panas matahari jang terik sehari tadi” , djawab Sutan Sja'ir Alam. Keesokan harinja pagi-pagi ketika Chatib membuka pintu depan hendak menjapu, dilihatnja dihadapan pintu itu sebuah ,,antjak” tergantung. Ia amat heran melihat benda itu.. Siapakah gerangan jang menggantungkan ? Maka diambilnja antjak- itu, lalu diperiksanja isinja. Didalamnja terdapat bermatjam-matjam barang, ada telur ajam, ada rambut, ada kemenjan, sirih dan pinang dll. ,,Hai, apakah in i?” kata Chatib didalam hatinja. ,,Agaknja ini perbuatan orang!” Ketika itu teringatlah olehnja pertjakapan Mahmud dengan orang tua itu dikedai kopi. ,,Tak salah lagi tentu perbuatannja” , pikir Chatib pula. Dengan segera benda itu dibawanja kepada tuannja Sutan Sja'ir Alam dan ditjeriterakannja perasaan hatinja. Demi Sutan Sja'ir Alam melihat itu, putjat warna mukanja. ,,Benar Chatib, benar!” katanja dengan berbisik. ,,Tentulah ini per buatannja. Tetapi diam-diam sadjalah engkau, djangan Rusma diberi tahu pula. Lekas buangkan olehmu kelaut! Disana engkau berkata kepadanja begini: ,,Engkau sudah sesat! Bukan itu rumah orang jang engkau tjari, tetapi disana, diseberang lautan ini! Pergilah engkau kesana!" Sesudah berkata begitu, tjampakkanlah dia ketengah djauhdjauh!" „Tetapi telumja masih baru, engku, tak bolehkah diam bil?” kata Chatib sambil menimang-nimang telur itu. ,,Djangan Chatib” , kata Sutan Sja'ir Alam. ,,Siapa tahu telur itu sudah diisi dengan ramuan dan sudah dimenterakan. Pergilah engkau lekas, djangan berlalai-lalai djuga!”
Maka pergilah Chatib dengan segera mengerdjakan perintah tuannja itu. Dua hari sesudah kedjadian itu, kapal mail datang dari Betawi. Banjak benar membawa pakket dan surat-surat. Sebab itu tiga hari berturutturut Rusmala D ewi berdua dengan chefnja terpaksa bekerdja dari pagi sampai petang. Hari keempat pekerdjaan itu masih banjak. Tetapi badan Rusmala Dewi sudah merasa ta sedap. Malamnja ia djatuh sakit. Keesokan harinja tak dapat masuk lagi. Tuan dokter dipanggil dan memberi pertolongan setjukupnja. Rusmala Dewi disuruh tinggal dirumah seminggu lamanja. Melihat itu Sutan Sja'ir Alam sangat tjemas hatinja. Pikirannja katjau. Kesusahan tiga-empat tahun jang lalu datang menggoda pikirannj^ kembali. Kadang-kadang terpikir olehnja kalau-kalau ramuan jang dibuang Chatib itulah jang menjakitkan anaknja. M aka dengan diam-diam mendo'alah ia kepada Tuhan, meminta supaja anaknja terhindar dari pada segala perbuatan orang chianat itu. S. H a r d j o s u m a r t o dan A .
D t. M a d jo in d o ,
Rusmala D ewi.
SEPANTUN LAUT Duduk dipantai waktu sendja, Naik dirakit buaian ombak, Sambil betjermin diair-katja. Lagi diajunkan lagu ombak. Lautan besar bagai bermimpi, Tidak gerak, tetap berbaring.......... Tapi pandang karang ditepi, Disana ombak memetjah njaring. . . . Diam dalam gerak, Gerak dalam diam, Menangis dalam gelak, Gelak dalam bermuram, Demikian sukma menerima alam, Bertjinta, meratap, merindu-dendam. J. E. T a t e n g k e n g .
TARI GADIS DI ULUAN Penduduk*dusun Penanggiran amat sibuk, sebab peralatan kawin adik pesirah akan mulai, lima hari lima malam lamanja. Sudah beberapa hari tak lain jang dipertjakapkan orang melainkan perdjamuan jang besar itu sadja. Ditengah dusun tiada berhenti-henti orang bekerdja mendirikan sebuah balai jang besar lagi lapang. Setelah selesai didirikan balai itu, lalu dihiasi dengan daun kelapa jang muda, jang diiris-iris hingga amat permai rupanja. Dibalai itulah orang akan menjambut pengantin perempuan dari dusun Muaraenim dan disanalah orang akan bersukasukaan, menari-nari dan berpantun-pantun, lima hari lima malam. Sekalian rumah didusun itu sudah dibersihkan belaka, sebab akan dipakai kelak djadi tempat memberi makan djamu jang beratus-ratus, bahkan beribu-ribu banjaknja. Dirumah pesirah Talib sendiri tak terperikan ramai orang bekerdja. Ada jang menghiasi rumah, ada jang menjediakan barang-barang jang berguna dalam peralatan itu. Masing-masing ada kerdjanja, sebab banjak orang jang harus diselesaikan. Peralatan jang akan diadakan itu ialah peralatan besar dan persediaannja tentulah besar pula. Gadis dan budjang dusun seakan-akan tak tahan lagi hatinja menantikan keramaian itu; sehari seolah-olah seminggu rasanja. M asingmasing telah menjediakan pakaian jang seindah-indahnja, sebab lima hari lima malam mereka akan menari-nari, bermain-main dan bersendagurau. Lim a hari lima malam pula lamanja masing-masing dapat memilih *dan berkenal-kenalan dengan bakal djodohnja. Sesungguhnja keramaian jang serupa itu ialah masa jang seindahindahnja bagi muda teruna dusun. Ketika itulah masa mereka bertemu, masa berkenal-kenalan jang sebaik-baiknja. Dari segenap dusun jang berdekat-dekatan berdujun-dujunlah gadis dengan pendjaganja pergi mengundjungi perdjamuan itu. Budjang-budjangpun tiada kurang, masing-masing riang dan gembira akan mentjahari kekasihnja. Keesokan harinja pagi-pagi orang menjembelih sapi dan sehari-harian itu orang memasak-masak akan mendjamu sekalian alat. Kira-kira tengah hari amat gemuruh suara dari djauh dan orangpun banjak kelihatan menudju ke Penanggiran. Dibalai ramai orang berkerumun, sebab sedjurus lagi akan tiba pengantin dari Muaraenim, diantarkan oleh sanak saudaranja dan penduduk dusun. Beberapa orang jang tua dari Penanggiran telah lama pergi mengelu-elukan mereka membawa segala sendjata adat. Setelah tiba anak dara itu, dibawa oranglah kebalai dengan segala pengiringnja, gadis-gadis dan tua muda. Maka dihidangkanlah makanan dan tiada berapa lama antaranja makanlah sekaliannja. Habis makan itu mulailah keramaian jang sebenamja. Anak dara dibawa orang kemuka rumah mempelai laki-laki dengan segala pengi ringnja. Disana iapun mulailah menari dikelilingi oleh manusia jang tiada terhitung banjaknja.
Ketika itu ramailah orang memudji-mudji ketjantikan pengantin perempuan itu. Kain benang emas jang dipakainja, berkilau-kilauan dan amat permai rupanja melekat dibadannja jang kuning langsat itu. Kakinja dan lengannja, penuh gelang emas jang besar-besar dan mahal harganja, sedang dilehernja tiada terkira banjaknja kalung perhiasan jang indah-indah buatannja. Rambutnja seakan-akan sarat bermuat bermatjam-matjam tusuk kundai gilang-gemilang. Dalam pada itu iapun menari dengan lemah gemulai, seolah-olah hendak memperlihatkan, bahwa tiap-tiap geraknja tiada terhisab nilainja. Gadis-gadis lainpun menari pula berganti-ganti, demikian pula beberapa budjang, masing-masing dengan tjermat dan hematnja. Setelah hari petang, mereka itupun duduk makan sekali lagi. Kemudian barulah dimulai permainan dibalai. Dibalai itu sudah dipasang lampu „stormking,, empat buah, terang benderang tjahajanja. Diudjung sekali ialah tempat mempelai perempuan dengan pengiringnja. Pun disanalah tempat perawan-perawan lain merebahkan diri, kalau mereka sudah penat oleh menari. Kadang-kadang datanglah budjang-budjang kesana akan bersenda gurau dengan kekasihnja. Ditengah balai itu ialah tempat orang tua-tua laki-laki dan perempuan jang bidjak-bidjak bersenda-gurau. Dalam keramaian jang serupa itu, jang djarang bersua sekali dalam lima tahun, merekapun tiada hendak ketinggalan dari muda teruna, bahkan kerap kali pula mereka lebih asjik, gembira bersindir-sindiran dan berpantun-pantun dari pada orang muda-muda. Diudjung balai sebelah lagi ialah tempat budjang dan gadis m enarinari. Pakaian mereka jang indah-indah dan mahal-mahal harganja itu bertjahaja-tjahaja kena sinar stormking jang terang tjuatja itu. Bunji mungmung, gendang dan kelentungan tiada berhenti-henti, riang dan gembira mengatasi suara manusia jang seakan-akan lebah sekawan itu. Tiap-tiap gadis duduk dekat kumpulannja dan dengan muka jang berseri-seri mereka mendjeling dan menengok kekiri kekanan, mentjahari-tjahari kekasihnja. Tetapi perbuatan mereka itu hampir-hampir tiada kelihatan, sebab sekaliannja terdjadi dengan lemah lembut dan sopan. Tidak, rindu dendam jang bernjala-njala dalam hati sanubari gadisgadis remadja djuita itu sedikitpun tiada membekas keluar, sedikitpun tiada tampak pada gerak dan pekertinja. Sekaliannja tersimpan dalam K kalbu, tak keluar sedikit djua laksana ap.i didalam sekam. Hanja muka If* bertjahaja-tjahaja, mata jang lena gemerlapan jang sekali-sekali lekas ^ ^ dan djelas ditundukkan kebawah dan bibir merah delima jang sebentarsebentar menggelung tersenjum simpul itulah jang seolah-olah membajangkan nur tjinta berahi jang berkobar-kobar dikalbu mereka. Dalam segala kerdja dan geraknja, sekar-sekar dusun janq semerbak itu lemah lembut, tak terdorong dan tergesa-^esa. Semuanja berlaku
dengan tiada diketahui, tersembunji, sepantun lubuk dalam jang tiada beriak, djangankan berombak. Berganti-ganti gadis-gadis itu berdiri menari menurutkan lagu bunjibunjian jang dipalu orang. Seketika lekas dan gembira kaki jang kuningkuning langsat itu bergerak-gerak dan tangan dan djari jang halus itupun melengkung dan melentik dengan indahnja. Tetapi tak lama sesudah itu berubah pula tari jang tjepat itu mendjadi tenang. Perawanperawan itupun mengembangkan tangannja dengan lemah gemulai, laksana seorang dewi jang mengembangkan songsong baratnjo. perlahanlahan akan terbang pulang kekajangan. Sementara itupun lagu bunjibunjian berubah, dari tjepat dan gembira mendjadi lemah dan Iena. Dihadapan berdiri budjang-budjang dengan ta'adjubnja memandang kepada gadis-gadis jang tjantik itu, jang lemah lembut menggerakkan badan, kaki dan tangannja menurut lagu jang merindukan, sambil kemalu-maluan menundukkan mata, seakan-akan puteri-puteri mahligai jang tahu akan harga dirinja, jang tak hendak dipermudahkan. Dalam pada itu beberapa mereka itupun madju kemuka dengan tiada berkeputusan, lalu menari dengan lemas menurutkan lagu bunjibunjian itu. Sebenamja adjaib melihat laki-laki menggerakkan badannja selena dan selembut itu, hampir-hampir tiada berbeda dengan perempuan. Tetapi meskipun demikian, dalam kelemasan gaja badannja itu njata djua terbajang sifat laki-laki: pasti dan tangkas. Pemandangan dalam balai ketika itu sesungguhnja amat indah. Lagu bunji-bunjian tenang dan merdu, seakan-akan suatu tjermin jang njata memperlihatkan kehidupan dan pekerti orang dusun jang sentosa dan sedjahtera itu. Tak ada suatu suara atau bunji jang salah bahasanja, jang djanggal terdengar pada telinga. Sekaliannja seakanakan selaras dan tak bertjatjat. Bunji lagu, gerak tari gadis dan budjang, semuanja menjinarkan tjahaja daradjat kebatinan jang tinggi, jang sedap rasanja meresap kedalam kalbu. Dalam keramaian besar itu tak ada jang berlebih-lebihan, seakan-akan sekaliannja telah diukur menurut ukuran jang sempuma. Tak ada jang menjinggung perasaan kesopanan, tak ada jang melanggar ketertiban adat! Dari jang besar sampai pada jang ketjil teratur dengan rapi semuanja. Peralatan dusun jang serupa itu ialah peralatan jang gemuruh lagi gembira, tetapi diatas kegemuruhan dan kegembiraan itu terbentang keteduhan dan ketenangan tasik jang dilindungi gunung. Helat itu gemuruh dan gem bira___ Helat itu teduh dan tenang___ Sesungguhnja! hanja pendjagaan dan penjelenggaraan turun-temurun jang awas dan teliti, jang dapat kekal menahan perlawanan sifat jang serupa itu. Bukantah besar bedanja kegemuruhan jang tertib itu dengan kegumuruhan keramaian dinegeri besar-besar, jang tiada ditahan-tahan,
jang kerap kali hilang pagar dan watasnja karena minuman ? Penduduk dusun jang bersahadja itu tak tahu akan hal jang serupa itu, sekaliannja teratur dan terbatas padanja, bukan oleh pengetahuan dan kepandaian, melainkan oleh perasaan turun-temurun jang asli dan halus. Ditengah-tengah balai itu duduklah diatas kursi djati jang indah tuan kemendur dengan isterinja memandangi perawan dan budjang jan g . menari itu. Kiri kanan mereka itu diapit oleh demang, asisten-demang dan beberapa pesirah. Orang besar-besar itupun ta'adjub rupanja melihat keindahan tari itu. Sekali-sekali, kalau budjang-budjang dan gadis-gadis itu telah lesu dan penat menari, merekapun berhentilah beberapa lamanja. Ketika itulah tiap-tiap budjang mentjahari „tem pat” hatinja dan merekapun berkirim-kiriman surat, berpantun-pantunan penuh tjumbuan dan sindiran jang sedap-sedap. Kerap kali budjang dan gadis itu, terutama jang telah padu rasanja, bermain-main, bertaruh-taruh sekalian perhiasan jang ada padanja, laksana anak-anak radja zaman dahulu kala. Sekaliannja itu berlaku dengan tertib serta riang dan gembira dan kalau telah selesai permainan itu maka benda-benda itupun dikembalikan semuanja. Keramaian itu terus sampai pagi, tetapi dalam pada itu gadis-gadis jang tak dapat menahan kantuknja pergilah ketempat tidur dekat anak dara diudjung balai dengan diam-diam. Budjang-budjang jang hendak tidur haruslah pergi puiang kerumahnja atau ketempat lain. Tetapi siapakah jang akan mengantuk dalam keramaian jang serupa itu, dekat kekasihnja? Keesokan harinja kira-kira pukul delapan keramaian itupun dimulai pula. Taklah putus orang tari menari, mementjak dsb. Peralatan jang besar seraatjam itu sesungguhnja tiada berhenti-henti siang malam. Sekalian isi dusun, sekalian penduduk dusun jang berdekatan turut belaka, tak ada jang ketinggalan. Peralatan itu bukan urusan seorang dengan seorang, bukan pula urusan sekaum dengan kaum jang lain, segala penduduk suatu daerah tertarik menjertainja. Wang jang keluar bukan buatan banjaknja, beratus-ratus, bahkan beribu-ribu. Bukan djarang terdjadi suatu kaum kerabat mendjadi miskin, penuh dililit utang, jang bertahun-tahun baru dapat diselesaikan.
St . T a k d i r A l i s j a h b a n a ,
Dian jang tak kundjung padam.
D I B A W A H L I N D U N G A N K A 'B A H Harga getah di Djambi, dan diseluruh tanah ini sedang naik, negeri Mekah baru sadja pindah dari tangan Sjarif Husin ketangan Ibn Sa‘ud, radja Hedjaz dan Nedjd dan daerah takluknja, jang kemudian ditukar namanja mendjadi keradjaan ,,Arabijah Sa'udijah” . Setahun sebelum itu telah naik hadji pula dua orang jang kenamaan dari negeri kita. Maka tersiarlah keamanan negeri Hedjaz. Karena itu banjak orang jang berniat mentjukupkan rukun Islam jang kelima itu. Tiap-tiap kapal hadji jang berangkat menudju ke Djudah penuh sesak membawa djema'ah hadji. Konon kabamja, belumlah pemah orang naik hadji seramai tahun 1927 itu, baik sebelum itu ataupun sesudahnja. W aktu itulah saja naik hadji. Dari pelabuhan Belawan saja telah berlajar ke Djudah, menumpang kapal „Karim ataM. Empat belas hari lamanja saja terkatung-katung didalam lautan besar. Pada hari kelima belas sampailah saja kepelabuhan Djudah, pantai Laut M erah itu. Dua hari kemudian sajapun sampai di Mekah, Tanah Sutji kaum M uslimin sedunia. Alangkah besar hati saja ketika melihat Ka'bah tidaklah dapat saja perikan; karena dari ketjilku, sebagai kebiasaan tiap-tiap orang Islam, Ka'bah dan menara Mesdjidil-Haram jang tudjuh itu telah mendjadi kenang-kenanganku. Saja indjak Tanah Sutji dengan persangkaan jang baik, saja hadapi tiap-tiap orang jang mengerdjakan ibadat dengan penuh kepertjajaan, bahwa merekapun merasai gembira jang sebagai saja rasai itu. M ulamula saja menjangka, bahwa dinegeri jang sutji itu saja tiada akan bertemu dengan kedjadian jang gandjil atau hikajat jang sedih dari penghidupan manusia. Sebab sangka saja, tentu sadja selain dari diri saja sendiri, orang-orang jang datang kesana itu adalah orang-orang jang gembira dan mampu, jang banjak tertawanja dari pada tangisnja. Tetapi rupanja, dimana djuapun diatas dunia ini, asal ditempati oleh manusia, kita akan bertemu dengan jang tinggi dan jang rendah, kita akan bertemu dengan kekajaan dan kemiskinan, kesukaan dan kedukaan, tertawa dan ratap tangis. Saja telah mendengar, diantara azan (bang) jang sajup-sajup sampai dipuntjak menara jang tudjuh, diantara gemuruh do‘a manusia jang sedang berkeliling (tawaf) disekitar Ka'bah, diantara takbir umat jang sedang berlari pergi-balik diantara bukit Safa dan Marawah, ratap dan rintih seorang machluk Tuhan, sajup-sajup sampai, antara ada dengan tiada, hilang-hilang timbul didalam gemuruh jang hebat itu. Sebagai kebiasaan djema'ah dari tanah Djawa, saja menumpang dirumah seorang sjech, jang pekerdjaan dan pentjahariannja sematamata dari pada memberi tumpangan bagi orang hadji. Dihadapan kamar jang telah ditentukan sjech untuk saja, ada pula sebuah kamar ketjil jang muat dua orang. Disana tinggal seorang anak muda jang
baru berusia kira-kira 23 tahun, badannja kurus lampai, rambutnja hitam berminjak, sipatnja pendiam, suka bermenung seorang diri dalam kamamja itu. Biasanja sebelum kedengaran azan subuh, ia telah lebih dahulu bangun pergi kemesdjid seorang dirinja. Menurut keterangan sjech kami, anak muda itu berasal dari Sumatera, datang pada tahun jang lalu, djadi adalah dia seorang jang telah mukim ( = tinggal di Mekah lebih dari sekali hadji) di Mekah. Melihat kebiasaannja jang demikian dan sipatnja jang saleh, saja menaruh hormat jang besar atas dirinja dan saja ingin hendak berkenalan. Maka dalam dua hari sadja hasillah maksud saja itu; saja telah beroleh seorang sahabat jang mulia dan patut ditjontoh. Hidupnja amat sederhana, tiada lalai dari pada beribadat, tiada suka membuangbuang waktu kepada jang tiada berfaedah, lagi amat suka memperhatikan buku-buku agama, terutama kitab-kitab jang menerangkan kehidupan orang-orang jang sutji, ahii-ahli tasawuf jang tinggi. Bila saja terlandjur membitjarakan dunia dan hal-ihwalnja, dengan amat halus dan tiada terasa pembitjaraan itu dibelokkannja kepada kehalusan budi pekerti dan ketinggian kesopanan agama, sehingga achimja saja terpaksa tunduk dan memandangnja lebih mulia dari pada biasa. Baharu dua bulan sadja, semendjak awal Ramadan sampai Sjawal, pergaulan saja dengan dia, telah banjak saja tertarik olehnja didalam menudju kesutjian, terutama dinegeri jang semata-mata untuk beribadat itu. Tetapi pergaulan jang baik itu tiba-tiba telah terusik, sebab dengan kapal jang paling achir telah tiba seorang teman baru dari Padang. Entah karena kebetulan sadja, atau disengadja lebih dahulu, ia telah mendjadi djema*ah sjech kami pula. Sahabat saja jang baru itu amat terkedjut melihat, bahwa sahabat saja ada di Mekah. Rupanja tidak disangka-sangkanja mereka akan bertemu disana dan sahabat sajapun rupanja tidak pula menjangka akan bertemu dengan saudara baru itu. Nama sahabat saja ialah Hamid dan nama saudara baru itu Saleh. Saleh, menurut keterangannja, hanja dua atau tiga hari sadja sebelum naik hadji akan tinggal di Mekah, dia akan pergi ke M edinah lebih dahulu; dua tiga hari pula sebelum djema'ah hadji ke A rafah ia kembali ke Mekah. Setelah selesai mengerdjakan hadji, dia akan meneruskan perdjalanannja ke Mesir, menjambung peladjarannja. Setelah musta'id, Saleh lalu berangkat ke Medinah. Kedatangan sahabat baru itu mengubah keadaan dan sipat-sipat Hamid. Entah kabar apa agaknja jang baru dibawanja dari kam pung jang mengganggu ketenteraman pikiran Hamid. Ia bertambah sungguh membatja kitab-kitab, terutama tasawuf karangan Imam Ghazali. Kadang-kadang kelihatan ia bermenung seorang diri diatas sutuh ( = atap rumah jang datar seperti rumah-rumah dinegeri A rab) rumah tempatnja tinggal, melihat tenang-tenang kepada „gela‘ah” (bentengbenteng) tua diatas puntjak Djabal Hindi. Saja seakan-akan tiada dipedulikannja lagi. Satu kali kelihatan oleh saja sedang saja mengerdjakan
tawaf keliling K a bah, ia bergantung kepada kiswah ( = kain tabir jang melingkungi K a bah), menengadahkan mukanja kelangit, air matanja titik amat derasnja membasahi serban jang memalut dadanja, kedengaran pula 1a berdo a: , ,0 Allah! kuatkanlah hati hambamu ini!” Sebenamja saja inipun seorang jang lemah hati; kesedihannja itu telah pmdah kedada saja, meskipun saja tak tahu apa jang disedihkannja. Kabar apakah agaknja jang telah dibawa Saleh dari kampung ? Apakah sebab Hamid bersedih hati demikian rupa ? Dunia jang manakah jang telah memutuskan harapannja? T ip u daja siapakah jang telah melukai hatinja, hmgga ia berhal demikian itu? Itu senantiasa mendjadi soal kepada saja. Pada suatu malam, sedang ia duduk seorang dirinja diatas sutuh diatas sebuah bangku jang berhamparkan daun kurma berdjalin, memandang kepada bintang-bintang jang memantjarkan tjahajanja jang indah dihalaman langit, saja beranikan hati saja dan dia saja dekati. Maksud saja kalau dapat hendak membagi kedukaan itu, atau merintangrintang barang sedikit kedukaan hatinja. ,,Saudara Hamid!” kata saja. ,,Oh, saudara, duduklah kemari!” katanja pula sambil memperbaiki duduknja dan mempersilakan saja. Setelah sama-sama duduk, iapun menanjakan keramaian orang hadji dan kamipun memperkatakan keadaan pada tahun itu. Tiap-tiap per kataan terhadap kepada tanah air, pembitjaraan diputamja kepada jang lain, serupa ia tak suka. Maka achimja hati saja tiada tahan lagi, sajapun berkata: ,,Sudah lama saja perhatikan hal-ihwalmu, saudara; rupanja engkau dalam dukatjita jang amat sangat. Agaknja engkau kurang pertjaja kepada saja, sehingga engkau tak mau membagi -bagi kedukaan itu dengan saja. Sebagai seorang kawan, jang wadjib berat sama memikul dan ringan sama mendjindjing, apalagi djauh dari tanah air, sewadjibnja saja engkau beri tahu, apakah jang menjusahkan hati engkau sekarang, sehingga banjak perubahanmu dari pada jang biasa” . Ia melihat kepada saja tenang-tenang. ,,Katakanlah kepada saja, wahai sahabat!” udjar saja pula. ,,Saja akan menolong engkau sekadar tenaga jang ada pada saja. Karena meskipun kita belum lama bergaul, saja telah tahu, bahwa engkau ada seorang budiman; saja tidak akan menjia-njiakan kepertjajaan engkau kepada diri saja . ,,Ini ada satu rahasia, tuan!” katanja. ,,Akan saja pikul rahasia itu djika engkau pertjajakan kepadaku, akan saja masukkan kedalam perbendaharaan hati saja, setelah itu saja kuntji pintunja erat-erat, kuntji itu akan saja lemparkan djauh-djauh, sehingga seorangpun tak dapat mengambilnja kedalam lagi” . Mendengar utjapan saja itu mukanja kembali tenang dan ia berkata: ,,Djika telah demikian tuan berdjandji, tentu tuan tidak akan menjianjiakan djandji itu dan saja telah pertjaja penuh kepada tuan, karena
42
G ELA P G E L IT A
kebaikan budi tuan dalam pergaulan kita selama ini. Saja akan menerangkan kepada tuan sebab-sebab saja bersedih hati, akan saja paparkan satu persatu, sebagaimana berkata-kata dengan hati saja sendiri. Memang, saja harap tuan simpan tjeritera perasaian saja ini selama saja hidup, tetapi djika saja lebih dahulu meninggal dari pada tuan, siapa taliu adjal didalam tangan Allah, saja izinkan tuan menjusun hikajat ini baik-baik, mudah-mudahan ada orang jang akan suka meratap memikirkan kemalangan nasib saja, meskipun mereka tak tahu siapa saja. Moga-moga air matanja akan mendjadi hudjan jang dingin memberi rahmat kepada saja ditanah pekuburan” . A ir mata saja tepertjik mendengarkan perkataannja itu. Ia bermenung kira-kira dua atau tiga menit; diantara gemuruh suara manusia jang hampir sunji didalam Mesdjidil-Haram itu, diantara do a beribu-ribu machluk jang sedang berangkat kelangit kehadrat Tuhan, sahabatku itu mengumpulkan ingatannja. Awan gelap jang menutup keningnja hilanglah dari sedikit kesedikit; setelah itu ia menarik iiafas pandjang, seakan-akan mengumpulkan ingatan jang bertjerai-tjerai dan iapun memulai perkataannja.
H . A. M . K. A mrullah ,
Dibawah lindungan K a'bah.
GELAP GELITA Gelap gelita keliling beta, Mati rupanja tjahaja mata, Sunji senjap beta derita, Gunung lautan kulihat rata. Sukma melajang keawang-awang, Hatiku lulus kedalam rawang. Tanganku terpegang alang merintang, Ditengah djeladri aku berenang. Mataku mentjari jang tiada dapat, Tangan meraba kian tersesat, Seperti si buta kehilangan tungkat.
D em ikianlah aku m enem puh djalan, Penuh diduri ditabur dendam, Melapari tjepua rahsia Alam. R . E f f e n d i.
TJERITERA NASIB Ajah ibuku menurut tjerita jang kudengar mempunjai sifat-sifat dan perbuatan jang djarang tersua pada orang kebanjakan. Dari ketjil beliau tak suka hidup dalam berlebih-lebihan. Kaja dan hidup kemewahan itulah jang tak sekali-kali beliau sukai. Makanan dan pakaian beliau terlalu sangat bersahadja. Sedjak beliau berumur lima belas tahun tak pemah lagi beliau memakan daging. Lim a puluh tahun lamanja beliau memantangkan makan daging, jakni sampai waktu beliau meninggal, dalam umur enam puluh lima tahun. Tatkala beliau berumur empat puluh lima tahun, baru beliau kawin dengan bunda ibuku, jang ketika itu telah djanda. Lama benar beliau maka kawin, sebab tak ada perempuan jang beliau rasa akan dapat hidup seperti beliau. Karena bunda ibuku seorang perempuan jang amat miskin dan tiada berkarib ba'id lagi, maka beliau kawinilah bunda ibuku itu. Dari mulanja beliau kawin, beliau adjarlah bunda ibuku itu hidup dengan makanan jang berasal dari tumbuh-tumbuhan sadja. Tentu sadja bunda ibuku lekas terbiasa dengan penghidupan jang demikian, sebab beliaupun amat djarang memakan daging berhubung dengan kemiskinannja. Sesudahnja mereka itu kawin, beliau buatlah sebuah pondok ketjil dekat sungai, terpentjil dari orang banjak. Itulah pondok ibuku sekarang. Dalam umur tiga puluh tahun, pergilah ajah ibuku jang tersebut ke Mekah sebagai seorang kaja dikampungku. Sekembalinja beliau dari Mekah beliau bergelar Hadji Sajuti. Mulai sedjak itu beliau telah mengasingkan diri beliau djuga dari orang banjak. Lim a tahun lamanja beliau bersuluk dan mendalami ilmu tasawuf. Sedjak itu kurang benarlah perindahan beliau kepada keduniaan ini. Dichabarkan orang djuga kepadaku, bahwa makan beliau hanja semangkuk ketjil sadja dan tak perlu beliau makan dua atau tiga kali sehari. Sebelumnja beliau mendalami tasawuf, makan beliau seperti makan orang biasa djuga, tetapi tidak dengan daging. Kemudian dapat beliau mengurangi makan beliau dengan peraturan jang beliau dapat sendiri. Mula-mula beliau tanak beras semangkuk, dua kali sehari, sepekan lamanja. Biasalah beliau makan sebanjak itu. Sesudah sepekan itu beliau masukkan sebutir kemiri kedalam mangkuk tempat beras tadi, Beliau biasakan jang serupa ini sepekan pula lamanja. Pekan jang ketiga beliau masukkan dua butir buah kemiri kedalam mangkuk itu dan beliau biasakan pula jang begini sepekan lamanja. Demikianlah beliau berbuat beberapa bulan lamanja, sehingga biasalah beliau mengenjangkan keiaparan beliau dengan nasi, jang berasal hanja dari beras segenggam sadja. Tidak lebih nasinja dari semangkuk ketjil; ini sudah tjukup untuk makan beliau sehari lamanja. Kalau beliau dipanggil orang mendo'a, lebih suka beliau mendatangi orang miskin, sebab orang kaja itu digemari orang segala makanannja, kata beliau. Diatas telah kutjeriterakan, bahwa ajah ibuku kawin dengan bunda ibuku, tatkala beliau telah berumur empat puluh lima tahun. Dua puluh
D rew e s,
Mentjari ketetapan baru.
4
tahun lamanja beliau hidup damai, sehaluan setudjuan dengan bunda ibuku dan dalam perkawinanitu lahirlah ibuku kedunia, jakni sesudah delapan tahun kedua orang jang tawakkal itu bertjampur dengan rukun damai. Patut djuga kutjeritakan disini akan pekerdjaan ajah bunda ibuku dalam pertjampuran beliau jang dua puluh tahun itu. Kedua mereka itu sangat tawakkal dan tulus ichlas kepada Tuhan. Kalau beliau berbuat ibadat dan berbakti kepada Allah, ialah karena kejakinan beliau kepada Tuhan dengan tidak terselip suatu maksud lain didalamnja, seumpama mengharapkan surga djannah. Berbakti kepada A llah dan berbuat kebaikan kepada sesama manusia beliau djalankan seperti mengerdjakan kewadjiban jang utama. Pekerdjaan beliau tiap-tiap hari, dari pagi sampai malam, selainnja dari pada mengerdjakan kewadjiban kepada AUah ‘azza wadjalla, ialah menulis surat-surat agama Islam. Surat Kur’an, Saraf, Nahu, Kalam, Pakihi dan T afsir beliau tulis dengan tangan. Surat-siurat itu beliau djual, tetapi tentangan harganja tiadalah beliau tentukan, melainkan beliau serahkan sadja kepada orang jang membeli. Kalau wang jang beliau terima lebih banjak dari keperluan hidup beliau hari-hari, maka lebihnja itu beliau sedekahkan kepada fakir miskin, orang sakit dan kepada mesdjid. Telah kusebutkan diatas, bahwa makanan dan pakaian beliau sangat sederhana. Sebab itu tak perlulah beliau beruang banjak dan tidak pulalah beliau ingin hendak mempunjai wang lebih dari keperluan beliau sehari-hari. Orang kampung memandang beliau sebagai waU; sebab itu beliau sangat dihormati orang, walaupun beliau sekali-kali tak suka dihormati. T iada seorang djuga jang berani berdusta kepada beliau. Kalau ada orang jang kemalingan dan mengadu kepada beliau, biasa benar barang jang hilang itu dikembalikan si pentjuri sendiri kepada beliau. Banjaklah pentjuri jang tobat karena nasihat beliau dan amanlah negeri selama beliau hidup. Adalah pula paham nenekku itu jang tak bersesuaian dengan paham kebanjakan orang 'alim, jakni tentangan beristeri banjak dan tentang mendjudjur laki-laki untuk suami. Beliau bertentangan dengan perbuatan-perbuatan seperti itu, sebab prakteknj a tak bersesuaian dengan jang dikehendaki agama Islam. Seorang laki-laki jang beristeri lebih dari seorang tak kan dapat berlaku seadil-adilnja kepada isteri-isterinja itu. D an tiada pula disuruh dalam agama Islam, laki-laki itu beristeri karena mengutamakan ,,uang djemputan” itu. Laki-laki jang demikian beliau n am ai,,laki-laki jang diperbudak oleh hawa nafsunja dan tama akan harta dunia . Ajah ibukupun semendjak dari mudanja sampai kepada hari tuanja selalu diminta orang. Tetapi tak seorang djuga jang sampai maksudnja, sebab semuanja beliau tolak dengan mengatakan, bahwa beliau belum sanggup mentjontoh perbuatan nabi Muhammad s. ‘a.w., jan g beristeri empat orang. Beliau berpendirian: kalau hendak meniru perbuatan nabinabi, djanganlah ditiru teladan segala perbuatan jang menguntungkan kepada diri sadja, tetapi tjontohlah jang lebih utama perbuatan-perbuatan beliau jang suka djuga merugi, sampai mengurbankan kesenangan dan keperluan beliau sendiri.
Adapun akan bunda ibuku sedjak beliau bersuamikan ajah ibuku itu, bertambah tawakkal pulalah beliau kepada Allah. Pekerdjaan beliau tiap-tiap hari ialah menganjam tikar sembahjang. Tentangan harganjapun tak pula beliau tentukan, hanja sesuka orang jang membeli sendiri sadja. Tiap-tiap hari Djum 'at mereka jang tawakkal kepada Allah itu berhenti bekerdja. Sebelum D jum ‘at dimesdjid dimulai, berdjalanlah beliau dikampung-kampung memberi sedekah kepada orang miskin dan orang sakit. Tiap-tiap bulan Puasa beliau berbuka dimesdjid dengan segala orang miskin dikampung itu. Makan-makanan jang disedekahkan orang-orang kepada beliau untuk berbuka puasa itu beliau makan bersama-sama dengan fakir miskin. Sebelumnja makanan itu dimakan bersama-sama, lebih dahulu sekalian makanan itu ditjampur aduk, supaja adil. Kemudian dibagi-bagi kepada jang akan makan, sedangkan bahagian beliau hanja sedikit sadja dan tidak pula berdaging. Ketika aku telah berumur 12 tahun, ibuku kawin kembali dengan seorang penghulu, bergelar Datuk Mantiko Alam. Bagaimana peng hidupan ibuku dengan ajah tiriku ini tak dapat kutjeriterakan, karena ibuku telah enam bulan kutinggalkan sebelumnja perkawinan itu. Karena kasihan melihat aku, jang dihidupi ibuku dengan membanting tulang, diambillah aku oleh engku guru Atin, pamili djauhku djuga. Beliau kuikut, tatkala aku berumur tengah 12 tahun. Pada ketika. itu beliau djadi guru di Palembajan. Disitu aku beliau masukkan kesekolah, meskipun beban beliau telah amat berat, sebab anak-anak dan kemanakan beliau, jang beliau asuh ketika itu, ada enam orang banjaknja. Atjap kali aku berpikir dalam hatiku: ,,Dengan apalah akan aku balas kebaikan nenekku kedua ini (engku A tin laki isteri) ?” Kadang-kadang kutjutji piring atau periuk belanga dan kadang-kadang kubelah kaju api, tetapi beliau larang djuga. Atjap kali aku duduk termenung seorang diri, sebab aku banjak berutang budi kepada nenekku kedua itu. Pakaianku dan makananku tak beliau perubahkan dengan anak-anak dan kemanakan kandung beliau. Pada suatu hari aku lihat kaju api telah habis. Dengan diam-diam pergilah aku petang hari kerimba Ampang mentjari kaju api. Setelah pukul enam petang, sedang aku asjik mengumpulkan ranting-ranting kaju, datanglah hudjan jang amat lebat, sebagai ditjurahkan dari langit. Sebab takut akan basah, memandjatlah aku keatas pohon kaju angsana, lalu ^kutidurkan badanku diatas dahannja jang besar itu, menantikan hudjan teduh. Tiada berapa lama antaranja gelap-gulitalah berkelilingku Ja n tumbuhlah takutku. Teringatlah olehku, bahwa dirimba Ampang itu amat banjak ular. Melajang pula pikiranku kepada pemberontakan di Palembajan, ketika belasting dimasukkan. Pohon angsana itulah jang djadi saksi, sebab didekatnjalah kaum pemberontak berkumpul melawan Kompeni. Berpuluh djiwa manusia melajang disitu, sebab kebodohannja. Banjak majat jang dikuburkan dekat pohon angsana itu; inilah jang menjebabkan ketakutanku bertambah-tambah, rasa tampaktampak olehku majat-majat itu berdjalan-djalan berputihan.
Setelah hudjan teduh, turunlah aku perlahan-lahan dari atas pohon angsana itu, lalu berlari-larilah aku pulang kerumahku. Kulihat orang. sedang bersedia hendak mentjariku, sebab orang chawatir, kalau-kalau aku dilarikan hantu haru-haru. Ketika mereka itu melihat aku telah datang, semuanja berkata dengan terkedjut sambil menundjuk kepadaku: ,,L a ilaha illallah, ini dia si Nasib telah p ulang---- ” ..Kemana engkau tadi, Nasib, maka malam-malam ini baru p u lan g ?” tanja nenekku engku guru Atin. ,,Kam i semuanja menjangka, bahwa engkau telah dilarikan hantu haru-haru, sebab disini banjak benar hantu haru-haru itu” . Kudjawablah, bahwa aku tadinja pukul setengah enam pergi mentjari kaju kerimba Ampang dan menantikan hudjan teduh, memandjatlah aku keatas pohon angsana. Kaju api jang kukumpulkan tak dapat aku bawa pulang, karena aku berlari-lari, sebab ketakutan. ,,Untung benar engkau dilepaskan hantu orang mati perang” , kata si Tahir, kemanakan nenekku engku guru A tin menakuti aku. ,,Tidaklah engkau lihat lubang-lubang bekas tembusan peluru senapang dibatang angsana itu?” tanja si Dullah pula. Semalam-malaman itu, sesudah nenekku keduanja memberi nasihat, supaja djangan suka berdjalan-djalan sendja hari keluar kampung, bertjerita-tjeritalah kami tentangan pemberontakan di Palem bajan tahun 1908, jang dinamakan anak negeri disana ,,perang Palembajan” . Chabamja keributan di Palembajan itu telah mengurbankan berpuluhpuluh djiwa anak negeri, karena kepertjajaannja jang tiada berhingga kepada seorang ‘alim, sjech Beringin namanja. Beliau bawa m uridmurid beliau melakukan , .perang sabil” , jang tak kena pada tempatnja. Pada suatu hari Ahad beliau bertablik dipasar A had M eram bung, mengatakan, bahwa mereka jang tak suka turut perang dengan beliau akan keluar dari agama Islam. Beliau perintahkan pengikut-pengikut beliau memakai pakaian serba putih dan hari Rabu perang akan dimulai. Beliau gembirakan hati pengikut-pengikut beliau dengan perkataan, bahwa malaekat akan datang membantu. Pada hari A had itu boleh dikata pendjual-pendjual kain putih sangat laku barang pemiagaannja. Banjak benar pengikut-pengikut beliau jang mengulang silat lama, sebab akan dipergunakan dimedan peperangan. Tetapi apa kesudahannja ? Penjesalan kaum kerabat jang mati tak putus-putusnja kepada beliau. Chabamja diantara jang djadi kurban keributan itu ada dua orang anak-anak bersaudara beserta ajahnja, jang beliau suruh berlindung didalam djubah beliau. Bersama-sama dengan anak-anak muda jang malang itu beliau sjech Beringin itu telah tewas dimakan pelor. A pakah hasil do'a tak dimakan sendjata, dan apakah hasil silat ? Berpuluh kanakkanak jang kehilangan ajahnja, berpuluh-puluh perempuan jang djadi randa. Do'a tahan sendjata dan silat jang termasjhur itu rupanja tak dapat bertanding dengan senapang karabijn dan repeteer. H a b ib S t . M a h a r a d ja ,
N a sib.
PERMAINANMU Kaukeraskan kalbunja Bagai batu membesi benar. Tim bul telangkaimu bertongkat urat, Ditundjang pengatjara petah pasih. Dihadapan lawanmu Tongkatnja meiingkar merupa ular. Tangannja putih, putih penjakit, Kekajaanmu njata, terlihat terang. Kekasihmu ditindasnja terus. Tangan, tapi tersembunji Menguntji bagi pateri Kalbu ratu rat rapat. Kaupukul radjadewa, Sembilan tjambuk meletjut dada. Putera-mula pengganti diri Pergi kembali keasal asli. — Bertanja aku kekasihku: Permainan engkau permainkan, Kautulis kaupaparkan, Kausampaikan dengan lisan? Bagaimana aku menimbang Kaul ipu- lipat kan, Kaukelam-kabutkan, Kalbu ratu dalam genggammu, Kauhampar badan D itubir bibir pantai permai, Radja Ramses penaka durdjana Djadi tanda dihari muka? Bagaimana aku menimbang Kekasihku astana sajang, Ratu restu telaga sempana? Kekasihku menguntji hati Bagai tali disimpul mati. A m ir H a m z a h .
KASIH TAK TERLARAI ,,Bagaimana dihatimu, begitu pula dihatiku” . Perkataan itu masih mendengung ditelinga si Taram. Itu sesungguhnjalah. Pertem uan si Taram dengan Sitti Nurhaida jang achir sekali, jaitu pada suatu petang ditempat jang amat lengang, membangkitkan api berahi, jang memang sudah menjala didalam hati kedua anak muda itu. Betapa tidak, karena Nurhaida berikrar dengan lidahnja, berkata dengan kata hati, mengharamkan laki-laki jang lain akan djadi suaminja selain dari pada si Taram, anak angkat batin kampung it u . . . . Si Taram tiadalah bertepuk sebelah tangan. Tjinta hati anak gadis itu kepadanja sudah berurat berakar pula. Rupanja jang manis dan kelakuannja jang tak hendak menjakitkan hati orang itulah jang terutama memikat menggetah hati ketjil anak gadis itu. Sitti Nurhaida kasihkan anak muda itu diketahui oleh sanak saudara nja. Si Taram tjintakan anak gadis itu dimaklumi oleh seluruh isi kampung itu. - Menurut adat dalam kampung itu, anak-anak gadis terlarang keras bertjampur gaul dengan anak muda-muda. Ja, djangankan seiring didjalan, bertemu mukapun tiada boleh. Atjap kali anak-anak gadis itu menangis, karena ditjubit dan dikatai oleh ibunja, sebab ia telah berani keluar rumah ketika seorang laki-laki lalu disitu, biarpun laki-laki itu sudah setengah umur, sedang gadis itu keluar karena sesuatu hal jang perlu pula. Demikian kerasnja larangan dalam kampung itu. A dakah larangan itu mendjadikan bersihnja bangsa itu dari pada hal-hal jan g tiada senonoh ? Pertanjaan itu pulang maklum kepada sidang pembatja. Pendjagaan kepada Nurhaida dikeraskan. Kini berdjalan mesti berkawan. Mandi tak boleh kesungai lagi. Semua hal itu tak mendjadi alangan kepada si Taram. Ia tahu kerbau sekandang dapat didjaga, tetapi manusia seorang belum tentu. Perdjandjian anak muda itu dengan si gadis pada pertemuannja baru-baru ini, erat amat. Erat tak dapat diungkai lagi. Kedua pemuda itu telah sekata akan lari meninggalkan kampung halamannja, pergi kenegeri asing, kawin dirantau orang. Keras sungguh perdjandjian itu. Dengarlah! Sang matahari jang tadinja sangat menundjukkan kekuasaannja, sekarang telah terbenam disebelah barat. Sana sini dikaki langit, kelihatan tumpuk-tumpuk awan jang masih merah, makin lama makin hitam djua. Ketika itu haripun malam. Puteri malam telah keluar dari peraduannja. Rupanja sangat bersih, gilang-gemilang. Tiap-tiap orang tentulah akan menatap bulan pumama raja itu, karena selain dari pada keindahannja, banjaklah lagi kenang-kenangan jang ditimbulkannja. Bukankah puteri malam itu seolah-olah pusat djala pumpunan ikan dari mata segala machluk jang memandangnja? Djika orang tuapun tertarik hatinja memandang bulan jang membangkitkan kenang-kenangan itu, betapakah pula bagi seorang anak muda jang dalam pertjintaan? T en tu hatinja
berkata:,,Djika aku peri, tak dapat tiada melajanglah aku mendapatkan bulan d an ---- dari sana aku menindjau arah kebumi” . Sekaliannja itu djangan kita hiraukan amat. Tengoklah seberapa tertengok dan pandanglah seberapa terpandang. Ketika itu kedengaran bunji ratap tangis dan hiruk-pikuk dirumah entjik Abas. Laki-laki perempuan berlarian kesana. Mereka terkedjut dan ingin mengetahui hal jang terdjadi. ,,Anakku hilang! anakku hilang, aduhai buah hatiku", demikian kedengaran buah ratap tangis dirumah anak gadis itu. Sesungguhnja Nurhaida tak ada lagi. Selang setengah djam ini anak gadis itu baru menutup pintu kandang ajamnja. Kini tak tampak' lagi. Heran sungguh kemqna perginja ? Beberapa orang tua-tua masuk kedalam kamar anak gadis itu, menjelongkar tempat tidur, mentjahari Sitti Nurhaida, kalau-kalau ia bersembunji---- Nurhaida tak bersua. Peti anak gadis itu dibuka, ditengok pakaian tak ada lagi. Sekalian perhiasan emas intannja sebuahpun tak tinggal. Masja Allah, Sitti Nurhaida lari membawa sekalian barangbarangnja jang berharga. Isi kampung itu gemparlah. Bulat mufakat membagi-bagi isi kampung itu atas beberapa tumpuk, masing-masing disuruh mentjahari anak gadis jang hilang itu. Dalam sa‘at itu kedengaran pula gaduh dirumah batin kampung itu. Ratap tangis sebagai dirumah Nurhaida itu tak kedengaran, hanja gaduh itulah sadja. Ketika adik si Taram masuk kebiliknja, dilihatnja peti terbuka, sedang pakaian si Taram sepotongpun tak ada lagi. Demikian pula uang simpanannja jang dua ratus dollar itu, seduitpun tak ada tinggal lagi. Si Taram dan Nurhaida telah lari. Hiruk-pikuk dalam kampung itu pada malam jang tersebut bukan kepalang. Tiap-tiap simpang dan lorong kelihatan isi kampung itu hilir mudik. Laki-laki perempuan sama keluar. Mereka itu tak dapat tidak akan mengintai-intai dan mentjahari kedua pemuda itu. Orang tua si Taram disegani oleh isi kampung itu, karena ia tua kampung. Entjik Abas dimalui orang, karena hartanja banjak. Taklah heran djika semalam-malaman itu orang kampung itu tiada menghentikan tangan sebelum keduanja tertangkap. Apalagi malam itu tjerah amat. Langit tiada berawan, hingga bumi seolah-olah mandi dalam tjahaja bulan pumama itu. Tiap-tiap orang jang lalu diperiksa, batang kaju dikelilingi, sekalian pangkalan dimata-matai, tetapi dua sedjoli itu tiada tertangkap. Hari bertambah larut malam djua. Sjahdan orang tua si Taram bersama-sama dengan entjik Abas hilir mudik sepandjang djalan, menjusur pantai, menempuh lorong-lorong dengan hati jang gelabah amat. Berbagai-bagai perkataan kedengaranlah. Ada orang bersangka si Taram telah sama-sama lari kedalam hutan dengan anak gadis itu dan boleh djadi sama-sama membunuh diri. Ada jang mengatakan hal itu sekali-kali tak mungkin. Pada pendapatnja
kedua anak muda itu telah berlajar meninggalkan kampung itu. Persangkaan itu dibantah orang pula. T ak boleh djadi sudah berlajar, karena orang-orang jang dipangkalkan tak ada bersua dengan mereka itu. Perempuan jang tua-tua bersangka si Taram itu keturunan W ali A llah. Ia dapat menghilangkan diri. Dapat berlindung dibalik daun lalang sehelai. Siapa tahu bapanja seorang keramat. Bimbanglah kita m en dengar tjeritera orang banjak itu. Mana-mana jang benar taklah dapat ditentukan. Ada pula jang berkata: ,,Itulah balasan orang jan g tinggi hati. Anak awak dipinang orang tak diberikan. T jih , memilih amat! Sekarang ini tanggungkanlah! Itulah tanggungan orang jang membatalkan tjinta hati jang bersih. Aku ini hanja segan kepada batin sehadja; kalau tidak, taklah aku sudi mundar mandir sampai djauh malam in i". Seorangpun tak ada jang bersua dengan dua sedjoli itu, m endengar chabarpun tidak. Embun telah turun, sekalian mereka telah kedinginan, m asing-m asing berselubungkan kain sarungnja. Sekali lagi kelihatan mereka itu m enjusur pantai mengintai kalau-kalau si Taram turun kesana mentjari sampan akan tempatnja menjeberang. Tiba-tiba perdjalanan mereka itu terhenti. Setengahnja duduk, setengahnja berlindung dibalik sesap didalam semak. Dekat pangkalan lama jang sudah tidak terpakai lagi kelihatan dua orang memakai serba hitam. Berhampiran dengan tebing pantai itu tertambat sebuah sampan kotak perahu Tjina. ,,T ak dapat tidak itulah si Taram, siapa lagi!” demikianlah pikiran orang jan g banjak itu. Lelah mereka itu akan berupah, kegembiraan hati kedua orang tua itu akan timbul kembali. Ditempat itu sunji ,senjap. Sekalian mereka itu berbagai-bagai mengelilingi tempat itu dari djauh. Sebagai askar mengintai musuh, merangkaklah mereka perlahan-lahan, makin lama makin dekat djua. Selain dari pada terdjun kedalam sungai, taklah ada djalan akan melepaskan dirinja dari kepungan orang banjak itu. Perburuan hampir tertangkap. Tatkala sekalian mereka itu telah berantara kira-kira tiga puluh langkah lagi, sekaliannja tegak dan berdiri lurus. Mereka takut djuga kalau-kalau si Taram bersendjata tadjam. Siapa tahu ia djadi gelap mata, mengamuk, tak boleh tidak mara jan g akan datang. Kedatangan orang banjak itu diketahui oleh orang jang berbadju hitam itu. Njata djuga dalam kabut itu ia menoleh kekiri dan kekanan m e mandang orang-orang jang datang itu. Tetapi sekali-kali tiadalah ia gentar dan takut. Kerdjanja bertambah tekun. Seorang diantara orang jang berbadju hitam itu masuk kedalam sampan. D ari dalam sampan itu dilemparkannja sepotong tali kedarat. Kemudian ia m engam bil timba upih, lalu menimba air sampan itu dengan radjinnja. Sekalian orang banjak itu heran melihat perbuatan kedua orang itu. M ereka bertambah dekat djuga. Dihadapan orang jang berbadju hitam itu terguling seekor babi hutan, jang amat besar. Sungguhpun kabut mulai turun, njata djuga kelihatan babi itu masih hidup. Rupanja ikatan babi itu kurang kuat,
itulah maka ditambahnja tali pengikat itu sebuah lagi. Karena terik ikatannja, babi itu memekik kesakitan. Sekalian orang jang berkeliling itu mundur selangkah. Berat sungguh kerdja orang jang berbadju hitam itu. Pakaiannja berlumur dengan lumpur, badannja bersimbah peluh. Ketika orang banjak itu berantara dua puluh langkah lagi, babi itu memekik sekali lagi. Orang jang berbadju hitam itu datang menghampiri babi itu, sambil mengeluh. Babi jang separuh mati itu dimaki-makinja tjara Tjina. Karena lelahnja perkataan jang keluar dari mulutnja tak terang lagi. Apabila orang banjak itu melihat Tjina itu dengan senangnja meng•hadapi babi itu, maka masing-masing menjumpah sambil berludah ketanah. Tjina itu amat marah, karena orang banjak itu sangat menda'ifkannja. Ia bersungut-sungut dengan amat garangnja. Akan melawan orang jang sebanjak itu tiada ia kuasa. Seorang diantara orang banjak itu mengambil tanah, lalu dilemparkannja kepada orang Tjina itu sambil ia berkata: ,,T jih, keparat, makan muntahkanlah babimu itu. T jih, haram! haram!” Dengan pandang jang sangat menda'ifkan, sekalian mereka itu meninggalkan tempat itu, sambil meludah-ludah djua. Ketika orang banjak itu agak djauh, maka orang Tjina itu naik keatas perahunja. T ali tambatan perahu itu diungkainja. Setelah sampan itu renggang, kelihatan Tjina itu menarik lajar sampannja. Oleh karena angin pagi mulai turun, maka perahu itu melantjar perlahan-lahan menudju ketengah. Tatkala daratan sudah sajup dipandang mata, maka Tjina dua bersaudara itu mengganti pakaiannja. Kedua orang Tjina itu telah berubah rupa. Tjina jang memegang kemudi sampan itu ialah si Taram jang djadi buruan isi kampung itu. Dan Tjina jang duduk bersandar pada tiang lajar itu, ialah Nurhaida, anak entjik Abas, bintang dalam kampungnja. Kedua asjik dan ma'sjuk itu berlajar meninggalkan kampung halamannja, bertjerai dengan ajah bunda kaum kerabatnja, karena menurutkan tjinta hatinja. . . . Sakit sungguh menanggung rindu jang demikian. Sjahdan setelah sampailah tengah dua bulan lamanja Sjech W ahab tinggal mendjadi guru mengadji itu, petjahlah chabar memberitakan bahasa pada pertengahan bulan Sja'ban jang akan datang ini, langsunglah perkawinan tuan guru mengadji itu dengan Sitti Nurhaida djanda si Taram. Chabar itu bagi kampung jang demikian bukanlah chabar biasa jang lazim didengar orang, karena sebagai jang sudah kita ketahui, Sitti Nurhaida itu memang tak hilang dari perhatian dan fikiran orang kampung itu; baik tentang tingkah lakunja, baik tentang keras hatinja. Djadi tidaklah heran pada ketika itu, jang mendjadi buah tutur orang tak lain dari pada chabar perkawinan jang akan datang ini. Setengah orang mengatakan perkawinan itu elok sangat. Inilah baharu entjik Abas
mendapat menantu jang dihatinja. Sama tahulah kita bahasa pada dewasa tjeritera ini terdjadi dan dalam kampung jang ketjil pula, maka seseorang keturunan Arab itu sangat mulia dimata orang banjak, bahkan orang berdangka ialah bangsa jang semulia-mulianja dalam dunia ini. Pada zaman itu siapa jang bermenantukan orang A rab ataupun ke turunan Arab, merasa dirinja sangat tinggi, meskipun menantunja itu tiada sepadan lagi dengan anaknja itu. Dalam hal jang demikian orang tua jang akan bermenantu itu tiada takut rugi, tiada sajang harta tergadai, asal anak bersuamikan orang Arab, jang oleh orang-orang kam pung semuanja digelarkannja said, jaitu keturunan nabi. Anak muda-muda dalam kampung itu merasa dan berpendapat perkawinan Sitti Nurhaida dengan orang Arab itu kelak kurang elok sudahnja. Mereka tahu guru mengadji itu seorang negeri djauh, berlajar berpuluh hari mengarung lautan mendjalang tempat diamnja. Setinggi-tinggi terbang bangau, surutnja kebubungan djuga. D jadi mustahil Sjech Wahab itu akan tinggal selama-lamanja dikampung jang sunji itu. Meskipun pentjahariannja tjukup, hidupnja senang, tentulah ia ingin djuga akan pulang ketempat tumpah darahnja jaitu tanah Arab. Djika hal itu kedjadian, tak dapat tiada Sitti N urhaida akan ditinggalkannja meranda pula dikampung itu, karena barang mustahil ia mau membawa perempuan itu ketanah Arab. Lagipun tak pula mungkin Sitti Nurhaida suka mengikut suaminja itu kelak ketempat jang sedjauh itu. Ada pula setengahnja orang-orang kampung itu sangat menjesali Sitti Nurhaida. Mereka memandang perempuan itu seorang perempuan jang lantjung, tiada teguh setianja, bertabi'at putjuk eru, kemana angin bertiup, kesitu arah tjondongnja. Perempuan jang demikian fi ilnja tiada harus dibuat isteri. Djika kita dengarkan pertjakapan orang disini, kemudian kita dengarkan pula perkataan sekumpulan orang disana, ragulah pula hati kita, ragu bertjampur geli. Ragu hati, karena lain orang lain pendapat; geli hati sebab tak lain jang djadi buah tjakap orang selain dari pada per kawinan guru mengadji jang akan dilangsungkan itu. Rupanja dalam dusun jang terkurung itu perkara jang demikian mendjadi perhatian orang berbulan-bulan, karena taklah ada hal-hal pengganti pem andangan dan pengubah pendengaran, berlainan benar halnja dengan kota jang ramai dan besar. Hari jang dinanti-nantikan tibalah. Dirumah batin orang sedang sibuk bekerdja. Sana-sini berpantjangan tungku batang pisang. Tukang masak bekerdja dengan radjinnja. Beberapa buah kawah telah terdjerang. H al jang terdjadi itu memberi alamat dirumah batin itu ada peralatan besar, mendjamu isi kampung makan dan minum. Hal itu pastilah, karena pukul empat petang nanti akan turun mempelai laki-laki dari rumah batin itu. Mempelainja ialah Sjech W ahab guru mengadji. Sekalian ongkos peralatan tentulah ditanggung oleh batin itu, karena
memanglah ia sangat sajang akan Sjech W ahab itu, sebab selain dari pada dia guru dalam kampung itu, banjak pula budinja kepada orang tua itu. Sjech W ahab berlepas tangan. Dirumah entjik Abaspun orang ramai pula. Dibawah-bawah pohon kaju kelihatan asap mengepul keudara. Disana terdjerang periuk, disini terdjerang kawah, lebih ramai dari rumah batin tadi. Itu tak heran, karena adatlah bagi tanah- tanah M elaju pesisir, bahasa disebelah pihak perempuan memang lebih besar alatnja dari pihak laki-laki. Apalagi entjik A bas itu orang hartawan, jang tak mau kalah, berpantang kerendahan, lagi pula mendapat menantu jang dihatinja benar. Angan-angannja sudah sampai, tjita-tjitanja sudah berlaku. W aktu inilah dipergunakan akan menundjukkan kekajaannja jang banjak itu. Didalam rumah sudah terpasang sebuah pelaminan bertingkat tiga, bertatahkan perada, bertabirkan sutera berbagai wama. Dalam pela minan itu terletak beberapa buah bantal jang bertekatkan benang emas, bertjampur benang perak. Pelaminan jang demikian belum pernah diperbuat oleh orang kampung itu. Sesungguhnja jang dilazimkan pelaminan jang demikian perbuatannja teruntuk bagi anak dara, jaitu perawan jang belum kawin; djadi berubah halnja dengan Sitti Nurhaida jang sudah djanda itu. Akan tetapi per buatan entjik Abas itu bukanlah melanggar adat, sekali-kali tidak. Hal itu boleh dilakukan asal orang itu mampu, jaitu sanggup berbuat demikian. Maka djanda jang kelak akan dipersandingkan dan berpakaian sebagai pakaian pengantin jang masih perawan itu, disebut orang ,,d ja n d a b e r h i a s ” , artinja perempuan djanda jang dipakaikan menurut pakaian pengantin jang masih anak dara. Bagi entjik Abas orang jang banjak hartanja itu tiada akan menghangat mendingin baginja. Apalagi selama hidupnja belumlah pernah ia mengawinkan anaknja. Tatkala sang matahari itu telah tergelintjir dari pertengahan perdjalanannja, kedengaranlah dari kedua belah pihak bunji gendang dan gung bersahut-sahutan menggembirakan hati kedua belah pihak sadja sehari itu. Dipekarangan batin orang telah banjak laki-laki dan perem puan. Sekalian mereka itu diundang oleh tua kampung dan diperdjamunja makan minum akan mengarak mempelai laki-laki kerumah pengantin perempuan. Pukul empat hampir berbunji. Seorang anak muda diutus oleh batin itu kerumah entjik Abas, menanjakan kalau-kalau persediaan sudah lengkap, karena pengantin laki-laki akan datang. Sebentar kemudian suruhan itu datang kembali mengabarkan, jang pihak perempuan telah siap sekadar menanti kedatangan mempelai laki-laki sahadja. Ketika djam telah berbunji empat kali, kedengaran bunji bedil jang diiringi oleh bunji gendang dan rebana serta zikir, hingga gemuruh bunjinja. Perarakan itu pandjang djua. Bendera selendang berkibaran ditiup angin. Sorak sorai anak-anak djangan dikata lagi. Bunji mertjun gemertup. Perarakan itu mengelilingi kampung itu. Setengah lima sampailah perarakan itu kerumah pengantin perempuan. Sjech W ahab
disambut orang, lalu dibawa masuk kedalam rumah, didudukkan diatas pelaminan bersanding dua dengan Sitti Nurhaida. Anak muda-muda jang melihat pengantin bersanding itu kebanjakan tersenjum simpul, setengahnja bersungut-sungut dalam hatinja. K ebentjian hati terbajang sampai kemukanja. Persandingan kedua mempelai itu menjakitkan matanja. Bisik-bisik mereka itu kedengaran mengatakan kedua pengantin itu tiada sepadan. Tiada tampan guru mengadji itu duduk dengan Sitti Nurhaida. Misainja jang sangat lebat dan djanggutnja jang tak pemah ditjukur itu, serta matanja jang selalu diketjengketjengkannja itu, sekali-kali tak sepadan dengan paras Sitti N urhaida jang laksana bulan pumama raja itu. Mukanja jang budjur sirih sepadan benar dengan pakaian pengantinnja itu. Sungguhpun ia , , d j a n d a b e r h i a s ” , tetapi djuga ia mendjadi bintang kampungnja. Setelah selesai kedua pengantin itu bersanding dua dan bersuapsuapan nasi, menurut kadar adatnja, maka didjamulah sekalian orang jang datang dengan sepertinja. Sesudah perdjamuan itu selesai, sekalian djamu bermohon pulang masing-masing kerumahnja. Sepandjang djalan tiadalah lain jang dipertjakapkan oleh anak-anak muda dalam kampung itu selain dari pada mempelai laki-laki jang sepandjang hematnja tiada sekali-kali berpadanan dengan Sitti Nurhaida. Kebanjakan anak budjangbudjang sangat sakit hatinja melihat tingkah entjik A bas itu. Apabila anak muda-muda itu bersua sesamanja, kerap kalilah mereka meraba bibimja dan dagunja, sambil pura-pura memutar misai dan mengurut djanggut. Dalam pada itu gemuruhlah bunji gelak mereka itu. Maksudnja berbuat demikian tiadalah lain dari pada mengedjekedjek entjik Abas jang gila bermenantukan orang A rab berdjanggut pandjang itu. Mulai dari pada waktu itu djadi sebut-sebutanlah misai dan djanggut Sjech Wanab dan mendjadi edjek-edjekanlah oleh anakanak muda dalam kampung itu. Sjahdan maka Sjech Wahabpun pindahlah ia kerumah mentuanja itu. Kedua suami isteri itu tampak hidup dengan rukun dan damai. L im a belas hari kemudian dari pada hari perkawinan itu, maka pada pukul lima petang kedengaranlah bunji tabuh bertalu-talu. Orang kam pung kelihatan sibuk pula. Hari itu achir bulan Sja'ban. Petangnja orang akan berlimau dan berlangir, karena esok harinja mulailah satu hari bulan Ramadan, jakni hari puasa tua. Dalam kampung ketjil sebagai tempat guru mengadji itu, permulaan puasa itu suatu perubahan jang besar djua. Bulan Ramadan jang mulia itu tetap disambut oleh anak negeri dengan kegembiraan dan keriangan hati. Satu-satu hari mendjelang bulan Ramadan itu mendjadi perhitungan dan selalu keluar dari m ulut mereka itu: ,,Dua puluh satu, dua puluh dua, dua puluh tiga, tudjuh hari lagi, enam hari lagi, lima hari lagi” ; sampai kepada petang berlimau tiada pernah dilupakan oleh mereka, lebih-lebih oleh perempuan tuatua jang kuat kepada ibadat. Pada tiga hari bulan Ramadan kelihatanlah dirumah entjik A b as
orang sedang berkemas-kemas. Beberapa buah peti dan bungkusan sudah terikat erat. Tak dapat tidak adalah isi rumah itu akan pergi berlajar. Hal itu sebenamjalah. Sjech W ahab dengan Sitti Nurhaida pada esok harinja akan pergi tamasja ke Singapura; sebagai jang sudah kita ketahui Sjech W ahab itu datang dari sana. T ak dapat tidak dinegeri besar itu ada kaum kerabatnja, sekurang-kurangnja handai tolannja. Djadi patutlah rasanja guru mengadji itu membawa isterinja itu kenegeri itu bertemu muka dengan mereka itu sekalian. Dalam hal ini entjik Abas harus dipudji. Sekali-kali tiada ia hendak menahan langkah anaknja dan menantunja itu. T ahu ia rupanja jang anaknja itu sudah milik orang. Lagi pula tiada terbajang pada mukanja kesedihan, bahkan enggan hatinja melepas anaknja jang hanja seorang itu pergi berlajar dengan suaminja jang baru setengah bulan bertjampur gaul dengan anak kandungnja itu. Kepertjajaannja kepada menantu barunja itu sempuma penuh. Berlainan halnja dengan kebanjakan isi kampung itu, jang kerapkali tiada mengizinkan anaknja dibawa oleh suaminja pergi kenegeri asing; apalagi sebagai hal guru mengadji itu, orang lagi baharu kawin, dalam seratus pajah seorang. Sepandjang kata Sjech Wahab pada 27 hari bulan puasa ini ia dengan isterinja itu akan tiba kembali. Pada esok harinja diturunkanlah sekalian barang-barang dan perbekalan itu semuanja kedalam sebuah peraih besar. Tatkala matahari sedang naik, turunlah guru mengadji itu dengan Sitti Nurhaida, diiringkan oleh berpuluh-puluh orang dari rumah entjik Abas. Dengan ini dua kalilah Sitti Nurhaida meninggalkan kampungnja. Awal bermula ketika ia dahulu berlajar dengan kekasihnja si Taram waktu fadjar hampir menjingsing. Ini sekali pula. Dahulu ia mening galkan kampung dibuat orang sebagai binatang buruan, sekarang ini diantar-antar sebagai anak radja. Alangkah besar bedanja itu. Setelah sekalian orang jang mengantarkan itu turun kembali kedarat, dibukalah tali tambatan peraih itu. Dengan perlahan-lahan rengganglah peraih itu dari djambatan tambatannja. Lajar ditarik, djib dipasang, maka sebagai diembus melantjarlah peraih itu meninggalkan pelabuan. Dihaluan peraih itu, diatas geladak, kelihatan Sjech W ahab dengan Sitti Nurhaida berdiri berdekat-dekatan sambil melambai-lambaikan sapu tangannja arah kedarat. Didaratan tampak entjik Abas dengan isterinja serta sekalian orang mengantar itu melambai-lambaikan kainnja kepada kedua orang jang dalam peraih itu. Sungguhpun pertjeraian itu takkan lama, tampak djuga ibu Nurhaida bermuram durdja, karena berpisah dengan anak kesajangannja itu. Pada 27 hari bulan Ramadan pagi-pagi hari, kelihatanlah dari djauh sebuah peraih datang menudju kampung kesajangan si Taram dahulu, makin lama makin dekat djua. Dari djauh anak-anak sudah bersoraksorak mengatakan: ,.Peraih tuan guru sudah datangP’ Dipangkalan orang telah ramai pula akan menjongsong guru mengadji dengan isterinja
itu. Sedang beberapa sa'at kemudian rapatlah peraih itu kepangkalan lalu bertambat. Entjik Abas dengan isterinja melompat masuk kedalam peraih pergi mendapatkan anak dan menantunja, jang sudah bersedia akan menjongsong orang tuanja itu. Peraih itu penuh pula dengan orang. Bisik-bisik anak muda-muda belumlah hilang rupanja, karena selalu djuga kedengaran perkataan: ,,Si lebat misai dan si pandjang djanggut” . Bisik-bisik itu diiringi pula oleh senjum jang asam. Kemudian sekali-sekali kedengaran gelak terbahak-bahak. Boleh djadi Sjech Wahab tiada tahu akan dirinja mendjadi gamit-gamitan orang muda-muda dalam kampung itu, karena djika diketahuinja tak dapat tiada ia akan menghias dirinja, menggunting misainja dan memperpandak djanggutnja jang amat lebat itu. M aka djika sekiranja misainja itu diperpandak dan djanggutnja itu didandan sedikit, tak dapat tiada tampan djuga rupanja guru mengadji jang rendah itu dan tiadalah agaknja djadi edjek-edjekan amat bagi anak-anak muda dalam kampung itu. Djika sekiranja Sjech W ahab itu orang lasak, artinja suka bertandang kesana kemari, tak boleh tidak lebih lagi halnja. Untunglah sebagai orang ‘alim tiada ia suka jang demikian. Ia mau bersunji-sunji, djarang keluar dari rumahnja djika tiada perlu amat. Tiga hari kemudian dari pada kedatangan peraih tuan Sjech itu kedengaran pula bunji tabuh berdebur-debur. Anak-anak tampak pula berkeliaran kesana kemari dengan riangnja. Serombong-serombongan orang tampak berdjalan-djalan kesana kemari. Hari itu 30 Ramadan. Esok harinja orang akan berhari raja pula. Pekarangan Entjik Abas, orang hartawan itu, demikian pula rumahnja telah dihiasi dengan sepertinja. Kiri-kanan djalan masuk kerumah itu diberi bergaba-gaba daun kelapa jang masih muda. Dalam kamar besar diruang tengah telah terbentang tabir aneka wama. Tikar permadani jang mahal-mahal harganja sudah terhampar. Dalam dusun itu rumah entjik Abas masuk kelas satu. Sekalian itu diperbuatnja berlebih-lebihan, karena ia tahu djamunja akan banjak datang mendjelang menantunja itu. Apalagi mertabatnja rasa bertambah karena sinar menantunja itu sampai djuga kepadanja. Semalam-malaman itu kedengaran bunji petasan berdentum-dentum. Tiap-tiap rumah terpasang tanglung dan lampu, hingga terang benderang rupanja kampung jang terpisah itu, Malam itulah suatu masa jang djarang dapat dilupakan oleh orang kampung, lebih-lebih oleh anak-anak. Waktu fadjar siddik baharu menjingsing, tiap-tiap rumah telah terbuka pintunja. Asap didapur telah mengepul. Sekalian ahli rumah bergagapgagap mendjerangkan tjerek dengan periuknja. Radja siang telah keluar dari peraduarmja, keluar dengan kekerasannja, keseluruh dunia ia memantjarkan sinamja. Rupanja sangat indah, kuning bertjampur merah, sedikitpun tiada bemoda, seakan-akan ia turut bergirang hati menjambut kedatangan saudaranja aidilfitri, jang hanja sekali setahun berdjabat tangan dengan maharadja siang itu. Orang tua-tua, anak muda-muda sampai-sampai kepada anak-anak
ketjil telah ^tampak beriring-iring menudju mesdjid. Disana tampak berbadju biru, disini kelihatan berkain kuning, satu-satunja gemerlapan rupanja kena sinar matahari itu. Sedjurus kemudian tampak pula serombongan orang tua-tua, kebanjakan berdjubah pandjang dan beserban aneka wama, Ditengah-tengah orang banjak itu tampak Sjech Wahab memakai djubah kain Anggore jang merah tua. Diketiaknja terselit sebuah kitab chotbah, terbungkus dengan kain putih, Sungguhpun hari masih pagi, tetapi tuan guru itu telah menudungi kepalanja dengan serban kurung. Djalannja tunduk sahadja, djarang ia menoleh kekiri dan kekanan. Begitulah tertib orang alim. Setelah sekalian orang hadir dalam mesdjid, lebih kurang pukul delapan pagi, mulailah orang sembahjang hari raja. Sjech W ahab mendjadi imam. Sekali ini mesdjid itu penuh sesak, tak pemah seramai ini. Lepas sem bahjang naiklah Sjech W ahab keatas mimbar. Tuan guru mengadji itu mendjadi chatib pula. Dengan kain putih pembalut kitab chotbah itu ia menudungi kepalanja dan membalut lehemja. Ketika chatib itu telah berdiri diatas mimbar, jang tampak hanja mukanja sadja. Kain pembungkus itu tampak menggelembung tentang dagunja karena ditongkat oleh djanggutnja. Melihat hal itu setengah anak muda-muda jang hadir disitu tersenjum. Setengahnja mentjubiti kawannja jang hampir padanja. Rupanja darah muda jang mengalir diseluruh tubuh mereka lebih kuasa dari iman jang ada didadanja. Demikianlah kebanjakan orang didunia ini. Ketika Sjech Wahab menjerukan Allahu akbar, sunji senjaplah dalam mesdjid itu; Sjech Wahab terus berchotbah. Bermatjam-matjam pengadjaran dan nasihat diperdengarkannja kepada madjelis itu. Sekalian jang mendengar tunduk berdiam diri, agaknja masing-masing insaf akan dirinja. Satu-satu tampak orang tua jang mendengarkan chotbah itu menjapu air matanja dengan serban jang dipakainja. Tak boleh tidak timbullah kesedihan dan ketakutan hatinja mengenang-ngenangkan apakah bahagian jang dideritanja kelak di Jaumilmahsjar, karena sebagai jang telah diketahuinja iapun sudah tua benar, maka pada adatnja tiada lama lagi sampailah ia kepada djandjinja. Hal itu taklah mendjadikan keheranan, karena dihari baik dan bulan baik itu, perasaan duka dan suka mudah berganti-ganti, sebentar gelak sebentar menangis. Sa'at itu makin sunji. Batuk dan dehem tak kedengaran. Chotbah hampir habis. D o'a chotbah sudah dibatja. Sekalian orang menadahkan tangan memohonkan rahmat Tuhannja. Ketika Sjech Wahab telah habis membatja chotbah, ia melangkah naik ketingkat atas mimbar itu. Perbuatan chatib itu mengherankan madjelis. Seorangpun tak ada jang berdiri, semuanja memandang tuan Sjech itu. Dimata masing-masing terbajang tanda keheranan. Sjech Wahab membukakan penutup kepalanja. Kain penudung itu dibentangkannja, kemudian digantungkannja diperbuatnja tabir dihadapannja. Sjech Wahab terlindung dari mata orang banjak. Sekalian jang hadir tampak menganga. Keta'adjuban dan keheranan tertulis dimuka mereka itu. Perbuatan chatib ini belum pemah dilihat oleh mereka selama
hajatnja. Semuanja rasa bermimpi. Lim a menit kemudian dari pada itu Sjech W ahab merenggutkan kain pengempang ta d i---- O rang banjak memekik dan berteriak. Mesdjid itu bagaikan petjah bunjinja. T uan Sjech itu tak berdjanggut lagi. Dagunja litjin tiada beram but barang sehelai. Diatas bibimja tiada tumbuh sehelai misaipun. R upanja bertukar sekali, djauh bertambah muda. Dahulu ia Sjech W ahab, sekarang in i___si Taram, anak angkat batin kampung itu, jang djadi buruan beberapa tahun lamanja. Sebagai anak panah jang lepas dari busurnja, sekalian anak muda-muda itu menderu mendapatkan Sjech samaran itu, masing-masing berebut-rebutan dahulu mendahului berdjabat tangan dengan orang jang baharu mendjelma itu. Enam bulan kemudian dari pada hal jang terdjadi ini, kelihatan orang ramai-ramai pada sebuah perumahan baru dekat mesdjid dalam kam pung jang tersebut. Masing-masing mereka itu sedang asjik mengerdjakan pekerdjaannja. Ada jang menarah balok, ada jang mengetam papan, masing-masing dengan ragamnja. Dalam orang banjak itu tampak entjik Abas mendjadi tua pekerdjaan itu. . . ,,Djika tetap kita sebanjak ini, tak dapat tiada dalam sebulan ini dapatlah anakku si Taram itu diam disini” , demikian perkataan jang keluar dari mulut entjik Abas. ,,Mudah-mudahan, bertambah lekas, bertambah baik , djawab orang banjak itu. Atas semupakat orang kampung itu si T aram didjadikan guru mengadji dan imam dalam kampung itu. Sum an
H .S., Kasih tak terlarai.
DIAMLAH Meski duka datang menimpah tiap hari, Meski susah datang berlimpah, Hai diri, Kau diam, diam, djangan tangis, Hai hati Djangan djemu bermuka manis. Senjum dan sedih Suka dan pedih Bukankah itu hiasan hidup, Semula lahir — keliang tertutup? J.
E.
T aten gken g.
ANAK PELESIT Buat dikampung djadilah rupanja. W alaupun baru berumur kirakira 15 tahun, tetapi rupanja sudah menarik hati. Berhias, jang telah ditjobanja sekali-sekali, sudah pandai. Lenggangnja jang berbawaan dengan pinggangnja jang ramping dan badannja jang sederhana, mungkin akan menggilakan orang, apabila dia sudah memakai kebaja pendek dan berkain batik Pekalongan. Tetapi untunglah! Gadis kampung tak ada jang berpakaian demikian. Nah, itu dia didjalan ketjil jang menudju kekolam Gundjo. Leng gangnja sadja sudah ketahuan. Kolam Gundjo 1 Ja, air kolam itu bening, bening laksana katja. Ditepi sana dibawah tebing batu jang tjuram, tampak air membual-bual. Patut aimja sedjemih itu. Dipinggir kiri ada sebatang pohon beringin. Batangnja dan tundjangnja jang sudah sebagai pohon pula, sudah tjukup mendjadi saksi akan menjatakan umumja sudah landjut. Daunnja jang sangat rimbun, membajang njata didalam air. Akar tundjangnja jang berdjurai-djurai, dalam bertjabang beranting pula, tergantung diatas air, bagai tak puas-puasnja mengisap air jang sedjuk njaman itu. Ditengah dan ditepi sebelah sana, tumbuh mensiang bertumpuk-tumpuk diselasela bunga teratai, tempat ikan bermain-main. Ditempat jang dalam mengalimantang daun beringin jang baru gugur. Terang senjatanjatanja ikan emas berenang-renang, berdujun hilir berdujun mudik. Dekat itulah terletak sebuah surau ketjil. Ketika Sainah sampai kesana kedengaran olehnja orang melagukan lagu Na'am Saidi. ,,Siapa pula lagi selain dari si Simian” , katanja dalam hatinja, seraja menjangkutkan telekung sembahjang dikepala tangga. Ja, betul djuga, tak salah terkanja itu. Disudut sana kelihatan seorang anak muda tidur menelentang. Kakinja jang kiri terundjur, sedang jang kanan ditegakkannja, Ia melentang berkalang tangan. Begitulah sikapnja sedang melagu itu. Beberapa lama kemudian barulah dia memiringkan kepalanja, karena tampak olehnja tabir kain jang membatasi tempat laki-laki dengan tempat perempuan diangkat orang. Ketika tabir itu turun kembali, senjum ketjil bermain dibibimja. Sambil duduk diapun menoleh kekiri dan kekanan. Kiranja sudah ada orang jang akan sembahjang. ,,Sudah mengambil air sembahjang, M an?” kata orang itu. ,,Belum” , sahutnja seraja berdiri. 9 Didalam galapx) dia melagu pula. Rupanja amat tertarik hatinja kepada lagu Arab itu. Waktu terdengar olehnja bunji orang azan, barulah dia mulai membasuh muka. Setelah selesai makan minum, sekembali dari sembahjang lohor itu, pergilah ia kesawah. Telah lebih dari dua minggu lamanja dia selalu pergi menggera pipit. Beruntunglah waktu itu ia tiada bersekolah lagi. Kalau masih bersekolah, siapalah jang akan mengganti-gantikan ibunja ? x) kam ar m andi jan g berpantjuran. D r e w e s , M entjari ketetapan baru.
5
Akan membiarkan ajahnja jang telah tua selalu bekerdja berat tak sampai hati pula ia rasanja. Tiada djauh dari rumahnja, diseberang bendar, terbentanglah berbidang-bidang sawah jang sedang menguning, seakanakan tikar emas jang sedang terhampar lajaknja. Daun padi jan g berombak-ombak diembus-embus angin jang lemah lembut, beralun-alun, kedjar-mengedjar sebagai riak didalam tasik. Diatasnja terbang pipit parit, pipit pinang dengan pipit hadji dan tempua, menengok-nengok pendjaga padi jang terlengah. Bunjinja jang tiada berhenti-henti itu, bertjampur dengan sorak sorai orang menggera, bagai gema-bergema ditengah sawah jang Iuas itu. Disana, dipematang jang kelok berliku, kelihatan Djajusm an m enudju sawahnja jang tak berapa luas. Disudutada sebuah gulang-gulang beratap djerami. Dari sana terbentanglah tali bersimpang siur berpusat pada gulang-gulang itu. Itulah ,,sendjatanja" penggera pipit. Setelah sampai, dikelilinginja sawahnja itu akan menengok kalaukalau ada padi jang rebah kepematang. Sambil lalu diambilnjalah padi pulut setangkai. Padi itu ditanam ibunja kira-kira ,,setampang b enih " (segenggam, setjekak), untuk dibuat lemang atau ketan, kalau tiba hari baik bulan baik nanti. Sedang dia asjik mengubik-ngubik pulut itu diatas gulang-gulang, tibatiba kedengaran olehnja suara orang dari belakang. W aktu dia berpaling dan melihat kebawah, agak terperandjat dia sedikit, karena Sainah sudah ada dekat gulang-gulangnja. ,,Boleh saja minta padi pulut barang setangkai?” katanja. Djajusman lama maka menjahut. Ketika dia bergerak hendak turun, Sainah berkata lagi: ,,Biarlah saja sadja mengambilnja” . ,,Ambillah!" sahut Djajusman, seraja duduk kembali. T etapi sementara itu diturutkannja dengan matanja. ,,Sudah banjak benar saja mengambil padimu. Semalam sudah saja minta pula kepada ,,biai" (ibu)." ,.Ditanam memang untuk dimakan", sahut Djajusman. Gadis itupun kembalilah kegulang-gulangnja. Djajusman asjik pula mengubik. Suatu kali terlajang matanja kegulang-gulang anak gadis itu. ,,Suka benar dia rupanja makan padi pulut", pikirnja seorang diri. ,,Biarlah, nanti kubawakan pula barang setangkai lagi". Petang hari ia agak lambat pulang. Dinantikannja dulu Sainah pergi. Kemudian dipetiknja padi pulut tiga tangkai, lalu diletakkannja diatas gulang-gulang anak gadis itu. Sudah itu barulah dia pulang. Keesokan harinja waktu dia meniti titian menjeberang bendar, dilihatnja ibu Sainah sudah dahulu sedikit daripadanja. Tetapi Sainah tak tampak. D ibelakangnjapun tidak. ,,Ah, awak hendak memberikan untuk Sainah, dia pula jang datang", katanja seorang diri ketika teringat olehnja padi pulut jang semalam. Dengan agak memberungut Djajusman terus djuga kesawahnja. Padi sudah berangsur masak djuga. Jang bemas sudah m enguning, jang kumng hampirlah masak. M usim menjabit bertambah dekat.
Pada suatu hari, hari amat panas. Matahari memantjarkan tjahajanja dengan amat terik. Setumpuk awanpun tak ada jang melindungi. Burungpun tiada berapa tampak, barangkali karena tak tertahan pula olehnja panas jang terik itu. W aktu itu tampaklah Sainah menuruni gulanggulangnja. Ia berdjalan berundung-undung kain tengkoloknja, menudju sawah Djajusman. Semendjak tadi dia hendak kesana, tetapi Djajusman senantiasa ada digulang-gulangnja. K ini tak tampak lagi. Pagi tadi ketika dia tiba, didapatinja padi pulut sudah ada digulang-gulangnja. Tangkainja masih baru. W aktu itu belum ada orang tampak disawah selain dari Djajusman seorang. Siapakah orang jang akan meletakkannja disitu selain dari dia. Sebab itu pikirannja sudah tetap menerka, Djajusman sudah datang ketempatnja tadi pagi. Ketika dia sudah dekat kegulang-gulang Djajusman, tiba-tiba dia teraduh. Dari hadapan ada orang melemparkan tanah berderai. Matanja kemasukan tanah. Sedang dia terduduk sambil menggosok-gosok mata nja, Djajusman datang. ,,Hai, engkau N ah ?” katanja dengan terperandjat. ,,Mengapa, mengapa engkau?” ,,Mataku kemasukan tanah” , katanja seraja menggosok-gosok matanja djuga. Dengan tak sadar Djajusman sudah memegang tangan gadis itu. ,,Tjoba saja lihatl” katanja. Dilihatnja mata Sainah sudah merah sebelah. Sementara itu Sainah menarik tangannja lambat-lambat. Sebab kemalu-maluan ditutupinjalah mukanja dengan kain tengkoloknja. ,(Hendak kemana kau tadi, N ah?” tanja Djajusman pula. Gadis itu tiada menjahut. ,,Pedjamkan sadjalah dulu!” udjamja pula. D ia tak hendak bertanja lagi, karena dilihatnja Sainah ada membawa ,,oleh-oleh” . Maksudnja sudah diketahuinja. ,,Sukalah engkau makan pisang ini?” katanja setelah matanja mulai baik. Sambil berkata itu diundjukkannjalah empat buah pisang radja serai jang telah kurik-kurik rupanja. ,,Terima kasih, Nah, kalau engkau suka memberi” . Sedjurus sudah itu keduanja sama-sama terdiam. ,,Tapi padaku tak ada jang akan kuberikan, Nah” . ,,Padi pulut jang engkau letakkan tadi belum habis” . ,,Siapa jang mengatakan bahasa saja jang meletakkan?” ,,Tak ada” .
»Tap i . . v "
„Ja?” udjamja ketika didengamja suara Djajusman tak djadi keluar. .
.
.
,,Marahkah engkau padaku?” ,,Sebab?” ,,Engkau telah terlempar olehku. Tak saja lihat engkau datang kemari” . Sainah tiada mendjawab. Sambil berpaling hendak kembali, disekanjalah matanja sekali lagi. ,,Kamu sengadja tadi, M an?” katanja kemudian. „Tidak, Nah, tidak kusengadja sedikit djuga” .
Sainahpun kembalilah kegulang-gulangnja. Pukul 2 Djajusman pulang. Ia akan pergi mengadji; Dalam tiga minggu jang lalu ini ia sudah berganti hari sadja pergi kesurau. Kalau tak begitu, barangkali pajah benarlah ibunja menggera. W aktu itu hatinja berasa amat riang. D engan Sainah dia sudah berkenalan baik semendjak ketjil. Bahkan disekolahpun mereka duduk hampir berdekatan pula. Tetapi pemberian Sainah jang sangat menjukakan hatinja, baru sekali tadilah. Pada suatu kali Djajusman tak dapat pula pergi mengadji. Seharusnja hari itu ia tak tempoh, tetapi karena ibunja pergi membeli anak itik kepekan Kamis, terpaksa pulalah ia menunggui padi. K alau musim menjabit nanti sudah lampau, tentulah akan tiba paksa jang baik bagi orang jang memelihara itik. Tetapi hari itu hatinja agak susah sedikit memikirkan, apalah jang akan diberikannja pembalas pemberian Sainah. Dahulu hanja padi pulut, sudah itu padi pulut pula, ja, tak ada jang lebih dari padi pulut. D an sekarang? Ah, apa boleh buat! Ia tak dapat memberikan lebih daripada itu. Hanja itu jang ada padanja. W alaupun pemberian Sainah sudah berbagai-bagai, tapi ia hanja dapat menerima sadja. Sambil menghabiskan lepat djagung pemberian Sainah tadi pagi, memandang djugalah ia arah kesana. A ir mukanja djadi berseri-seri. Gadis itu tak tampak digulang-gulangnja. Dengan tak berpikir pandjang lagi turunlah ia dari atas gulang-gulangnja. Berbetulan pada waktu itu hari sedang panas pula. Djadi tak adalah orang jang tahan berdjem ur sadja, semuanja sudah pergi berlindung. ,,Barangkali dia sudah pulang” , pikir Djajusman, sambil pergi kesana membawa ,,oleh-olehnja jang dipetiknja disudut sawah. Dengan hati jang agak berdebar-debar m e mandang djugalah dia kegulang-gulang anak gadis itu. D ia memang tak tampak. Akan tetapi setelah dekat, dia tertegun. Sainah jang disangkanja sudah pulang itu, ada dibawah gulang-gulangnja. Ia duduk diatas pematang sambil memegang seserpih padi kuning. W aktu dilihatnja Djajusman datang, dia berdiri. Takut dan gentamja selama ini sudah berkurang-kurang, entah apa sebabnja.dia sendiri tiada tahu. Ja, boleh djadi djuga karena kedua mereka itu masih terlalu muda-muda, belum mengetahui akan keadaan hidup, belum mengetjap akan perubahan rasa. Sambil menjambut pemberian Djajusman, dia berkata: ,,T erim a kasih, Man. Tapi salahnja engkau selalu sadja memberi saja padi pulut” . ,,Hanja itu jang ada pada saja, Nah” , sahut Djajusman setelah sedjurus berdiam diri, bagai orang beriba hati rupanja. „Bukan begitu, engkau salahterima. maksud saja; kalau selalu sadja, tentu ibu marah kelak” . Djajusman terdiam pula. Ia berpaling hendak kembali. ,,Man! Mengapa engkau meradjuk (berketjil hati)?” ,,Tidak, saja tidak meradjuk, saja hendak balik” . ,,Ja, djanganlah engkau sebagai anak ketjil itu! Adik saja jang begitu” . Djajusman memandang sedjurus kepadanja. Keduanja djadi samasama berdiam diri. Dalam hal jang demikian .tiadalah diketahuinja,
bahwa ibu Sainah datang dari belakang. Ketika dilihatnja anaknja sedang bertjakap-tjakap dengan Djajusman, mukanja mendjadi merah. Dengan mata jang bersinar-sinar kedengaranlah suaranja menjembur, bertalitali tiada berkeputusan. Bibim ja tampak gementar karena marah. ,,Kurang adjar, anak pelesit tak bermalu!” katanja. ,,D ia hanja memberi saja padi pulut, 'bu’ \ kata Sainah menjela perkataan ibunja. ,,Untuk apa padi pulut itu bagim u?” ,,Akan saja kubik-kubik, ’ bu !” ,,Kurang penganan kau?” Sainah tiada mendjawab. ,,Itu anak pelesit jang tak tahu untung, berani pula menggangguganggu anak awak; tjerminilah bangkai dulu!” ,,Djanganlah begitu benar, mak! Sudah salah benarkah laku saja, pada hal saja hanja memberikan padi pulut untuk dia ?” sahut Djajusman. ,,T ak usah dia kauberi!” katanja seraja direbutnja padi jang ada ditangan Sainah, lalu dilemparkannja kedalam sawah. „K am i tak perlu engkau beri, kami bukan orang kekurangan, penganan tjukup untuk dia” . „Ja , mak orang kaja, saja sudah tahu. Dan saja tidak pula hendak memberi mamak, karena pada saja tak ada jang akan saja berikan” , sahut Djajusman pula. • ,,Djangan kau banjak tjakap djuga, ajoh pergi! Anak pelesit tak tahu untung! Lihat-lihatlah dulu anak orang jang akan dilawan bertjakap! Tjerminilah bangkai sedikit! Pandang-pandangi orang dahulu, djangan disamakan sadja dengan awak!” Mendengar itu Djajusman tiada mendjawab lagi. Dengan kepala jang penuh pikiran, diapun kembalilah kegulang-gulangnja. Sekalian perkataan dan penghinaan ibu Sainah itu tersisip dalam hatinja. Padi telah pulang semuanja. Djerami telah ada pula jang dipotong orang. Ada jang bermaksud akan melepaskan anak ikan dan ada pula jang berniat hendak bersawah lagi, bersawah diruang tahun namanja, jaitu sementara menanti musim sekali lagi. Disana sini orang asjik bekerdja. Djajusman hendak melepaskan anak ikan. Pada suatu hari, waktu Djajusman pulang dari melihat ,,genangan” anak ikannja, hari telah mulai sendja. Dari djauh kedengaran olehnja sajup-sajup bunji orang memanggil itik. Ragu-ragu nian rasa hatinja mendengar suara itu. Rasa-rasa ada dikenalnja, tetapi agak bimbang kalau-kalau salah terkanja itu. Sedjurus kemudian suara itu hilang lenjap, tak kedengaran lagi. Sementara itu hari sudah bertambah samar djuga. Sedang dia berdjalan melalui pematang jang masih litjin karena baru dibaiki, tiba-tiba dia terkedjut. Tiada berapa djauh daripadanja ada orang djatuh masuk genangan. Dengan tiada berpikir pandjang lagi diapun terdjun kedalam sawah mengedjar orang itu. Demi dilihatnja,
hatinja djadi bimbang sedjurus, sebab orang jang djatuh itu ialah seorang perempuan. Mukanja sudah berlumur lumpur. Tetapi dia tak boleh ragu-ragu, orang itu tak mungkin dibiarkan sadja. Dengan tak mengindahkan malu dan segan, diangkatnjalah perempuan itu keatas pematang. Setelah muka orang itu njata olehnja____ ia undur selangkah. ,,Engkau Sainah?” tanjanja dengan tjemas. ,,Ja ” , sahutnja lambat-lambat. ,,Mengapa engkau tadi?” „Saja mentjari itik, itik saja hilang seekor” . ,,Ah, mengapa tidak ibumu jang mentjari? T idak takutkah engkau ditempat jang sunji in i?” ,,Saja telah sedjak siang tadi pergi mentjarinja” . ,,Sekarang baliklah pulang, tak kan mungkin dapat lagi. Perlukah sarung ini bagimu?” ,,Inaaah!” Mendengar suara itu segeralah dia menjahut. H ari bertambah gelap djuga. Ketika ajah Sainah sampai ketempat mereka, Djajusm an undur sedikit. ,,Mengapa engkau?” tanjanja dengan sangat tjemas, demi tampak olehnja seorang laki-laki berdiri dibelakang anaknja. „M engapa engkau basah-basah?” ,,Dia djatuh, pak” . ,,Hai, siapa itu?” ,.Djajusman” , sahut Sainah. ,,Alaaa! Mengapa kalian (kamu) disini?” Pada suaranja jang gementar itu njata bagaimana tjemas dan takutnja. Sainah lekas-lekas dibawanja pulang. Setelah sampai dirumah barulah njata benar bagaimana rupa orang tua itu. Ia tegak berdiam diri dengan muka jang amat putjat. Mulutnja bergerak-gerak, tetapi sepatah perkataanpun tiada keluar. ,,Mengapa engkau tadi?” tanja ibunja ketika dilihatnja pakaian anaknja basah-basah. ,.Itulah kedjahilan engkau!” sahut suaminja dengan memberansang. ,,Sudah semalam ini hari, dia djuga jang engkau suruh. Kalau tidak akan terdjaga oleh engkau itik itu, djuallah semua!” ,,Mengapa engkau tadi, N ah ?” „Saja terdjatuh, 'bu” . ,,Entah! Entah benar dia terdjatuh entah tidak, saja dapati dia berdua dengan Djajusman” . „Astaga!” kata ibunja dengan terperandjat, ,,mengapa engkau ta d i? " »>Ja, saja terdjatuh, ’bu!” ,,Apa sebab dia ada pula disitu?” ,,Untung dia ada, ’bu, kalau tidak___; saja terdjatuh dari pematang sawah Sawiah jang tinggi itu kedalam genangan” . ,,Itulah” , kata suaminja pula seraja duduk, ketika Sainah telah pergi membersihkan badannja. ,,Tidak engkau pikir apa jang akan engkau suruhkan kepadanja. Kalau dia sudah dibentjanai orang ditempat jang
sunji itu nanti, barulah engkau tahu! A pa akan kata kita? Agaknja baru engkau sadar apabila sudah tertjoreng arang dikeningmu. Sampai kepada anak tjutjumu kelak, pertjajalah, tak kan berharga lagi Idta dimata orang. Lebih-lebih, j a . . . . engkau tahu siapa Djajusman itu. Kalau dia anak orang baik-baik, boleh djugalah. Tapi, ah, kalau engkau sudah menerima selepah kosong (tanda rumah gedang tidak berisi lagi) nanti dari menantumu, barulah engkau akan in saf” . Mendengar itu isterinja menggeleng lambat. ,,Anak djahanam! anak tjelaka! Biarlah saja turut dia kerumah orang tuanja sekarang. Anak pelesit kurang adjar, anak awak diganggu-ganggunja” , katanja sambil berdiri hendak berangkat. ,,A da engkau tahu rupanja anak siapa dia” , udjar suaminja pula seraja mengangguk-angguk ketjil. ,,Elok ’tu, pergilah, petjahlah kabar itu, boleh tahu orang senegerinja! H m !” Isterinja tertegun, lalu duduk kembali. ,.Mengapa engkau namanja itu? Betullah engkau ini perempuan! T ak engkau pikirkan lebih dahulu apa jang akan engkau kerdjakan. Tjobalah engkau katakan kepada saja dulu, apa jang akan engkau katakan nanti disana?” Isterinja tak menjahut. Ia duduk bersimpuh dimuka suaminja dengan mulut tertutup. ,,Sekarang, malam-malam ini engkau hendak pergi menjerang orang. Baik kalau diterimanja sadja, tetapi kalau anak engkau dikatakannja sudah ,tgatal” nanti, apa akan djawab engkau? Tak kan engkau seorang sadja menanggung malu. Ninik mamak kau akan terbawa-bawa semua nja. Lebih tjelaka lagi nanti, kalau hal ini disiar-siarkannja kepada orang lain, sehingga tahu orang sepenuh kampung ini. Bagi dia. tidak akan mendjadi apa, sebab dia tahu dia sudah tak berharga djuga dimata orang. Orang kampung ini telah tahu semuanja, bahasa dia bangsa pedjalan malam, orang jang bertelinga lebar, bangsa pelesit jang sehina-hinanja. Kalau terdjadi jang demikian, nah, apa akan kata kau? Pertjajalah, orang lain tak kan mau lagi pada anak kau, biar kaurebahkan kerbau agak tiga dan kaupanggil sekalian isi negeri ini, kita tak kan berharga lagi dimata mereka. Nah, mau tak mau nanti, tentulah anak pelesit itu jang akan engkau ambil djadi menantu” . Keesokan harinja ketika ajahnja tiada dirumah, pergilah Sainah kepada ibunja jang sedang bekerdja didapur. Sebahagian pertjakapan orang tuanja tadi malam terdengar olehnja. Sungguh heran ia memikirkan akan kepertjajaan orang tuanja itu. Ia ada djuga mendengar tjerita dari gurunja, ketika dia masih bersekolah, bahwa pelesit itu hanja kepertjajaan sadja; sebab, siapa pula jang akan mau memakan daging anak ketjil jang baru meninggal? Djangankan akan memakan, mendengar tjeritanja sadja sudah djidjik rasanja. Sekarang orang tuanja pertjaja benar akan hal itu. All, sungguh terlalu kepertjajaan itu! Tetapi apa boleh buat, kedua orang tuanja telah lama hidup, orang jang telah lama melihat dunia, orang jang telah banjak pengalamannja, sedang dia baru lima belas
tahun lebih. Karena itu perasaan hatinja tiadalah dikeluarkannja kepada ibunja. Pun akan menanjakan tjeritera tentang keadaan D jajusm an itu berat rasa lidahnja, kuatir dia kalau-kalau ibunja salah penerimaan nanti. Lebih-lebih lagi timbul sedih dan iba dalam hatinja mengenangkan anak muda jang tulus ichlas itu. Sungguh malang nasibnja, karena sudah terlahir dalam golongan jang tak berharga dimata orang banjak. Sedang ia memikir-mikirkan hal itu, tiba-tiba ibunja bertanja kepadanja, menjiasat keadaannja semalam. ,,Tidak, 'bu, tidak dipengapakannja saja; dia datang hanja akan menolong” , djawab Sainah. ,,Tidak ada orang lain jang menampak?” ,,Tidak, hanja kami berdua sadja jang ada disitu. Barangkali kalau tak ada pula dia, entah bagaimanalah saja, 'b u ” . , J a , ajahmu tak bersenang hati sedikit djuga melihat kelakuan anak itu. Dan bukan sekali dua dia berlaku jang kurang patut kepadamu. Jang kedjadian ketika menggera dahulu, untung tiada diketahui oleh ajahmu; kalau dia tahu, entah bagaimana pulalah akan katanja. Sebab itu ingat-ingatlah engkau sedikit, djagalah nama kita jang baik, djanganlah engkau menjapa-njapa dia lagi, pun anak-anak muda jang lain djangan sekali-kali engkau tegur. Tak baik anak gadis menjapa laki-laki” . >Ja> tapi dia datang bukan bemiat djahat, ’ bu, dia hanja menolong saja” . „Sebab itulah maka engkau harus ingat-ingat. Djajusman itu tak baik engkau lawan bertjakap-tjakap, dia berlain dengan kita” . ,,Apa lainnja, 'b u ?” ,,Dia pelesit, kita orang berasal. Nah, itulah lainnja” . ,,Pelesit? Belum ada terdengar orang menjebut-njebut, ’bu” . ,,Ja, engkau dimana tahu” . ,,Tak mungkin, 'b u!” Ibunja memandang kepada anaknja. Tetapi Sainah segera menekur. Terbit malunja memikirkan perkataannja itu. ,,Engkau belum tahu” , kata ibunja pula. ,,Djajusman itu memang tidak, tetapi neneknja, nenek kandungnja; tak ada orang jang tak tahu. Semua orang takut kepadanja, lebih-lebih kalau orang jang baru beranak atau jang sedang hamil. Sudah pemah dia kedapatan oleh orang, ah, tidak seorang dua lagi jang telah melihat” . ,,Sedang mengapa dia kedapatan oleh orang, ’b u ?” ,,Sedang membawa jang akan dimakannja, apa lagi! A jah si M ani jang dibelakang rumah kita ini jang melihat dan dialah jang mentjeriterakan, banjak kami jang mendengar waktu itu. A jah si M ani itu dahulu selalu pulang larut-larut malam. Pada suatu kali ketika dia akan pulang hari hudjan-hudjan ketjil. Sebab itu dia memintas sadja lalu keParak Tjongkak. Ketika dia sedang ditempat jang gelap tiba-tiba hari kilat. Waktu itu tampak olehnja suatu bajangan hitam dihadapannja. Ketika datang kilat sekali lagi, njatalah kepadanja, bahwa jang dihadapannja itu seorang orang tua, membawa suatu barang jang diselimutinja.
W aktu berselisih lalu, ajah si M ani menjapa, tetapi tidak disahutinja. Setelah dua kali disapanja, tetapi tidak djuga beroleh djawaban, diapun djadi takut. Bulu romanja djadi berdiri, tengkuknja berasa tebal dan darahnja gedebak .gedebur. Dengan memberanikan diri dia tegak, lalu diulangnja menjapa: ,,Hai mengapa diam sadja? A pa jang dibawa itu?” Mendengar itu orang itupun berbalik. Hari kilat pula. ,,Ini jang saja bawa” , sahutnja seraja dilemparkannja majat seorang anak ketjil jang masih berbungkus kain kapan” . „ A i!” teriak Sainah dengan mata terbelalak, ,,sudah itu bagaimana, ’b u ?” ,,M ajat itu termasuk kedalam kain sarungnja. Allahu Rabbi busuknja. Sebab sangat takut dan terperandjat, ajah si Mani membuangkan kain sarungnja itu, lalu dia lari dengan segera. Sampai dirumah ia tak dapat berkata apa-apa. Mukanja putjat, lidahnja telor. Kira-kira seperempat djam barulah dia ingat akan orang” . ,,Djadi ada majat itu bertemu oleh orang kem bali?” ,,Tidak, rupanja diambilnja lagi, sebab pada keesokan harinja kain sarung itu didapati orang di Lubuk Sombe. Rupanja disitulah dimandikannja” . ,,Hii, takut awak, ’bu” , kata Sainah seraja menggerakkan kedua bahunja dan bulu romanjapun kelihatan berdiri. ,,T api Djajusman itu kan tak ada mengerdjakan jang demikian itu, ’b u ?” Sekarang memang belum, sebab dia masih muda, tetapi sedikit hari lagi kau dengarlah nanti!” ,,T api tidakkah itu hanja tjeritera ajah si Mani sadja, ’ b u ?” ,,Mana boleh! Bapak si Mani itu bukan orang pembual, dia sudah tua dan tentu dia tak kan mau berbohong” . Mendengar itu Sainah tiada berkata lagi. Terbajang dimatanja nenek Djajusman jang ditjeriterakan ibunja itu. Ia kenal kepada orang tua itu, tetapi semendjak dahulu dia belum pernah mendengar tjeriteranja jang sebagai itu. Pelesit dia tahu, dan ibunjapun pernah menjebutnjebut. Sekarang, ah, hatinja ketjut, dia lama berdiam diri. T a p i. . . . ! A ir mukanja tiba-tiba berubah. Djajusman teringat olehnja.^ D ia orang jang baik hati, lurus, dan hal itu sudah lama diketahuinja. Malang benar dia, sudah terlahir didalam golongan orang jang tak berharga dimata orang banjak. ,,Ah, Djajusman!” keluhnja dalam hatinja. A rd i
S om a,
Tjintjin setempel.
SAWAH Sawah tersusun dilereng gunung Berpagar dengan bukit barisan, Sajup-sajup udjung keudjung Padi mudanja hidjau berdandan. Didangau perawan duduk menjulam, Matanja memandang padi huma; Sekali-kali ia bemalam Dipetik dari hati mudanja. Kalau turun pipit berkawan Merajap hinggap dimajang padi, Terdengar teriak suara perawan Menjuruh pipit mendjauhkan diri. Kalau pipit sudah terbang Melajang hilang pulang kerimba, Perawan bemjanji menembang tembang, Menjesali pipit tak tahu iba: Mengapa engkau ajuhai pipit Tak tahu diarti iba kasihan? Badanku pajah menanggung sakit, Mentjutjur keringat sepandjang zaman. Padi kupupuk sedjak semula; Engkau tahu memakan sadja!
A.
H a s jm y .
MIMPI JANG BURUK Keretapun berangkatlah dan M asri terus djuga berdjalan menudju rumah orang tuanja. Sarungnjapun dibukanjalah, lalu ia berselubung dengan kain sarungnja itu. Sedang ia berdjalan ditepi djalan jang ditumbuhi rumput akan mengelakkan panas kersik jang ditimpa tjahaja matahari, teringatlah olehnja akan pertemuannja dengan perempuan tadi, Senang hatinja, karena ia telah menolong orang jang dalam kesusahan. M inta sjukur ia kepada Tuhan, karena Tuhan telah membukakan hatinja, jang mau menolong sesama manusia. Pada suatu tempat jang mulia dalam hatinja, sudah tertulis diatas pelinggam jang berseri-seri suatu kalimat jang bunjinja: ,,Senangkanlah hatimu dengan menjenangkan hati orang lain’ '. Sebentar lagi, terpikir pula oleh M asri, apalah jang akan dikatakan bapanja kepadanja nanti. Ditjobanja menerka-nerka, tetapi walaupun bagaimana didjalankannja pikirannja, tak dapatlah ia mengarifi maksud orang tuanja itu. Ketika ia menoleh kekanan, melihat andjing mengedjar tupai jang masuk semak ditepi djalan, tiba-tiba terkenang olehnja mimpinja malam kemarin dahulu. Rasanja ia ketika itu pergi berdjalandjalan dengan anak-anak kelas lima, murid-murid Sekolah Peripat (Leerschool pada Kweekschool dewasa itu) keair mantjur, dilereng gunung Merapi. Sedang murid-muridnja bermain-main dekat air mantjur itu, pergilah ia seorang dirinja mendaki gunung itu, maksudnja hendak melihat-Iihat keatas sedikit lagi, dan akan memandangi kalaukalau tampak Fort de Kock dari sana. Bukan main susahnja djalan keatas! Daun lalang jang tadjam-tadjam pinggimja, batang resam piai kait-berkait, dan duri onak jang runtjing-runtjing, itulah jang menjusahkan perdjalanan Masri. Kendatipun begitu, Masripun mentjoba djuga hendak menjampaikan maksudnja. Merambah kekiri, memukul kekanan dengan tongkat semambunja, membuangkan apa jang mengalanginja, serta bergantung pada batang-batang belukar, begitulah ia naik mendaki tempat itu. Kembang kempis dadanja menarik nafas, karena lelahnja. Letih lesu badannja ketika itu, keringatnja mengalir membasahi badannja, dan berputar-putarlah pemandangannja. Tiada mungkin dalam pikirannja lagi akan mendaki keatas. Akan melepaskan lelahnja, duduklah ia ditanah, bersandar pada sepohon kaju. Dipedjamkannja matanja dan sebab letih, tertidurlah ia. Entah berapa lamanja ia tertidur disitu, tak tahulah ia ---- tiba-tiba ia terbangun, terkedjut mendengar bunji seperti orang berdjalan dalam semak-semak tiada djauh dibelakangnja. Masripun berdirilah dengan segeranja serta menoleh melihat kepada jang berbunji itu. Seketika itu djuga berdebarlah hatinja, bulu romanja berdiri, mukanja putjat sebagai majat, dan gementarlah badannja. Apakah jang tampak olehnja? Seekor harimau jang besar, matanja menjala seperti bintang timur dua buah, sedang berdjalan dengan perlahan-lahan dalam semak-semak itu serta nafasnja serupa nafas orang jang terlalu lelah dan kepanasan. Tiada
berapa langkah djauhnja dari M asri, harimau itupun meniarap dengan kedua kakinja jang dimuka, lakunja sebagai kutjing hendak menangkap tikus, dan kelihatanlah kukunja jang amat besar dan tadjam itu. Sekedjap itu djuga, teringatlah oleh Masri akan petua gurunja, ketika ia beladjar bersilat dahulu: musuh tidak ditjari-tjari, bersua pantang diindarkan. Berani karena benar, takut karena salah. Berani mati tak mati, tunggang hilang tak hilang. Oleh sebab itu pikirnja: ,,T ak usah aku takut lagi! Djikalau aku lari sekalipun, sebab ketakutan, nistjajalah aku ditangkapnja djuga dari belakang. Baiklah aku lawan djuga sebolehbolehnja. Karena bukan salahku, tentulah djuga Tuhan m enolongku". Dengan pikiran demikian itu, berdirilah ia dengan beraninja menantikan harimau itu datang, dan tongkatnja dipegangnja, disediakannja akan memukul. Sedjurus itu djuga harimau itupun membantingkan ekomja kebumi, menderam suaranja seperti guruh bunjinja, lalu me lompat hendak menerkam Masri. Terpelanting tongkat semambunja, jang dipukulkannja sekuat-kuatnja kepada harimau itu. Sungguhpun ditangkisnja djuga sedapat-dapat, tetapi sia-sia sadja, ia digonggong dibawa lari oleh radja hutan itu dan ketika ia berteriak minta tolong, iapun___terbangunlah dari tidurnja. (,Astagfirullah!” utjapan M asri ketika itu. (JBenm m pi aku kiranja . Lama djuga Masri memikirkan ta'bir mimpinja itu. A tjap kali ia mendengar orang menerangkan ta'bir mimpi ,,ditangkap harimau itu ialah ,,kawin” dan arti mimpi ,,mendaki gunung tidak sampai kepuntjaknja” itu, jakni tanda maksud takkan sampai. ,,A h hh ___!” keluh Masri, sambil ia menjimpang masuk pintu gerbang rumah orang tuanja. ,,Kalau betul begitu ta'bir mimpiku itu, j a ____ tentulah aku ini orang jang semalang-malangnja---Rumah lima ruang tiga leret, bergondjong seperti tanduk kerbau, jang seakan-akan djadi tanda peringatan kemenangan keradjaan M m angkabau dari keradjaan Madjapahit dahulu kala, ketika kedua keradjaan itu memperlagakan kerbaunja akan ganti berperang, menjabung njawa hamba rakjatnja — beratap idjuk, berdinding papan, dan berdjandjang batu, terdiri tidak djauh dari djalan raja. Pinggir atapnja jang terikat dengan timah putih diantara sedjari-sedjari, dinding papannja jang berukir, dan dua buah lumbung jang berdiri dihalamannja, menjatakan kepada jang melihatnja, bahasa orang jang tinggal dalam rumah itu ialah orang jang hartawan. Dekat tangganja ada sebuah kolam ketjil berisi air, tempat orang membasuh kakinja sebelum naik rumah. Inilah rumah tangga orang tua Masri. Diruang tengah dekat djendela, duduklah Datuk Perpatih, bapa M asri, sedang bertjakap dengan ibu dan mamaknja. Nasi sudah terhidang dengan gulai serta lauk pauknja. ,,Apakah sebabnja Masri belum tiba djuga?” tanja bapa M asri kepada ibunja. „Boleh djadi tidak diterimanja surat kita jang semalam atau sudah habis pula wang belandjanja. Maklumlah di Fort de Kock banjak tempat menghabiskan uang; gambar hidup bermain setiap malam,
apalagi sekarang chabarnja sudah datang pula komidi bangsawan kesana” . ,,Barangkali kereta terlambat” , sahut ibuM asri, akanmempertahankan anaknja. ,,Kata si Karim, kusir tempat kita mengirimkan surat itu, si M asri sendiri jang menerima surat itu. W angnja tentu ada, karena hamba tahu, anak kita bukanlah anak jang pemboros. Segala pengadjaran dan nasihat kita, menurut pemandangan dan pendengaran hamba, adalah selalu dipegangnja erat, digenggamnja teguh, sekali-kali tidak diabaikannja. Lagipun semalam ada djuga hamba kirimkan belandjanja, untuk pengisi sakunja sedikit” . Paman Masri, Datuk Temenggung, penghulu suku jang berhenti dikampung itu, menjertai pertjakapan itu, katanja: ,,Kalau sudah dengan keras dia datuk suruh pulang, tak boleh tidak mesti dia pulang. Kalau sekiranja dia tidak datang hari ini, biarlah hari Rabu dimuka kita pergi ke Bukittinggi, akan melakukan rundingan kita kepadanja". ,,Baiklah!" sahut Datuk Perpatih, sambil menggulung rokok daun nipahnja. ,;Saja rasa, dia pulang djuga sekarang” , lalu iapun mengisaplah. ,,Lebih baik kita makan sadja dahulu” , udjar ibu Masri. ,,Nasi sudah dingin terletak. Lagi pula tentu Masri boleh djadi sudah makan dirumah induk semangnja, sebelum dia berangkat kemari” . ,,Baik djuga” , djawab suaminja, ,,perutkupun telah berbunji-bunji, karena lapar. Marilah kita makan, datuk!” katanja lagi kepada ipamja. Lalu makanlah orang itu bertiga. Sedang makan, ibu M asri sebentar-sebentar menengok djuga keluar, melihat kalau-kalau M asri sudah datang. ,,A ! itu dia sudah datang!” katanja dengan tiba-tiba, sambil menundjuk kedjalan besar. Bapa dan mamak Masri melihat keluar dan tampaklah olehnja Masri menjimpang kerumah itu. ..Tjobalah datuk lihat!” kata Datuk Temenggung. „Bukankah dia sudah besar, sudah tinggi pula dari kita, telah patut dia memakai adat” . ,J a ! ” sahut Datuk Perpatih; ,,sabarlah datuk menanti lepas puasa ini! Kalau sudah tammat sekolahnja, kemana akan perginja, ikan dalam belanga, tentu datuk djuga akan mendapat. Biar lambat asal selamat, takkan lari gunung dikedjar” . ,,Itu benar djuga” , meningkah Datuk Temenggung, ,,tetapi seperti kata datuk djuga, kerdja baik dilekas-lekaskan, supaja djangan ditimpa kerdja buruk. Nantilah kita ulang-ulang djuga, sebab M asri sudah naik ^. ,,Langkah kanan betul sekali ini!” udjar Masri, ketika dilihatnja orang tuanja sedang makan dengan mamaknja, lalu duduklah ia dekat ibunja. ,,Makanlah kamu sekali!” kata ibunja sambil menjorongkan pinng kepadanja. Masri menuangkan kopi kedalam tjangkir serta diminumnja sekali, lalu sahutnja: ,,Tidak, ibu, hamba tak makan lagi, sebab hamba sudah makan kenjang tadi di Bukittinggi. Biarlah hamba minum sadja” . Sedjurus lamanja sudahlah orang ketiganja itu makan. ,,Untung benar!” kata bapa Masri kepada anaknja, sesudah makanan
diangkat kebelakang. ,,Saja sangka kamu tak dapat pulang sekali ini. Kalau kamu tidak pulang hari ini, saja marah benar kepadamu, karena ada rundingan jang sulit jang akan saja bitjarakan dengan kam u!” Gedebak gedebur hati Masri, mendengarkan perkataan bapanja jang sedemikian. ,,Ja, bapak!” sahut Masri dengan hormatnja. ,,Kalau bapak dan ibu memesankan hamba dengan keras seperti sekali ini, tentu hamba pulang, walaupun bagaimana banjaknja pengadjaran hamba. L agi pula, sebetulnja, hambapun bermaksud hendak pulang djuga hari ini, karena ada pula jang akan hamba perundingkan sedikit dengan bapak, djika bapak izinkan” . ,,0 , bagus!” djawab ajahnja. ,,Sekali merengkuh dajung dua tiga pulau terlampau, sekali membuka pura dua tiga utang terbajar. Kam u keluarkanlah apa-apa jang terkalang dimata dan terasa dihatimu, supaja kami, ibu bapamu dan mamakmu memakluminja pula, dan agar supaja dapat kami timbang buruk baiknja. Jang baik boleh kamu pakai, jang buruk boleh kamu buang. Sebab betul kamu sudah terpeladjar, kata orang, tetapi timbang-menimbang dalam sesuatu bitjara, mengadji melarat dan manfa'atnja tentu kamu belum faham. Benar djuga kamu sudah besar, tetapi besarmu karena daging, tinggimu karena ruas, umurmu baru setahun djagung, darahmu baru setampuk pinang, pendengaranmu belum banjak dan penglihatanmu belum djauh. Kam i ini sudah tua, sudah lama makan buah djerami; sedangkan kepala kamipun telah beratap seng, tidak beratap idjuk sebagai kepalamu lagi. Sudah banjak nan kami lihat, sudah banjak nan kami rasai. Banjaklah sudah gelombang kehidupan jang kami tanggung. Oleh sebab itu, sungguhpun kamu pandai dalam ilmu sekolah, patut djuga kamu hendaknja menurut pengadjaran kami, supaja sentosa kehidupanmu. Sekarang katakanlah hadjatmu itu!” Termenung M asri mendengarkan perkataan bapanja itu. Terang terang kain olehnja akan maksud bapanja. Berkarut pikirannja, karena bapanja seolah-olah telah mengeluarhan kuntji mati, akan penguntji pintu tjita-tjita dan kehendaknja. Mengertilah ia, bahasa bapanja hendak mengikat dia lahir dan batin, serta akan mengeluarkan perintah atau paksaan, jang mau tak mau mesti diturutnja. „ Bapak!” udjar Masri dengan chidmatnja, sambil menarik nafas pandjang. ,,Benarlah seperti kata bapak itu. Sebagai kewadjiban seorang anak harus menurut kata orang tuanja, segala nasihat bapa itu, djika siang hamba pertongkat, bila malam hamba perkalang. Bapapun sudah tahu djuga, semendjak ketjil hamba sampai sekarang, belumlah pernah hamba bersutan dimata, beradja dihati, hanja senantiasa bapa, ibu dan mamak djugalah, djika pergi akan tempat bertanja, pulang tempat berberita bagi hamba” . ,,Senanglah hati kami mendengarkan perkataanmu itu” , kata Datuk Temenggung menjela perkataan kemanakannja, ,,dan sjukurlah, djika ada begitu pikiranmu” .
,,Sungguhpun begitu” , M asri menjambung bitjaranja, ,,kemanakan seperintah mamak, mamak seperintah alur dan patut (kebenaran) djuga. Sekarang, bapak, baiklah hamba katakan maksud hamba tadi. Hamba berbitjara ini, bukanlah kepada bapak sadja, meiainkan kepada ibu dan mamak djuga. Jang akan hamba katakan ini, ialah jang berguna dan berfaedah bagi hamba, djadi tentu begitu djuga bagi bapak, ibu dan mamak, karena kalau senang kehidupan hamba dibelakang hari, tentu hati bapak, mamak dan ibu senang pula melihatnja. Bila sentosa kehidup an hamba, tentu hamba dapat djuga menolong ibu, bapak dan mamak, akan ganti terima kasih hamba. Seperti bapak sudah maklum djuga, tiga bulan lagi tammatlah pengadjaran hamba di Sekolah Radja. Insja A llah berkat do‘a bapak, ibu dan mamak, pengadjaran hamba disekolah adalah madju sadja. Adalah djuga terturutkan oleh hamba sekalian kawan-kawan hamba. Bapapun boleh djadi ada ingat lagi, hamba naik kekelas enam ini dengan nomor tiga. Selisih kepandaian hamba dengan teman-teman hamba jang nomor satu dan nomor dua itu, tidaklah berapa. Setahun ini hamba berusaha betul-betul. Tidak adalah sedikit djuga hamba membuang-buang waktu. Sekalian pengadjaran sudah hamba apal semuanja, sehingga walaupun besok diadakan udjian, hamba tidak gentar lagi. Bukanlah seperti tahun dahulu, hari pagi dibuang-buang, hari petang dikedjar-kedjar, hanja hamba menghafal sebulan akan diudji sadja. Djadi menurut pikiran hamba dan melihat kepandaian hamba tiap-tiap hari, serta kalau ditolong Tuhan pula, tentu hamba akan madju dalam udjian penghabisan dimuka puasa ini dengan nomor jang lebih tinggi, sekurang-kurangnja nomor dua tentu akan dapat djuga. Menurut kata tuan guru kepala (Directeur) Sekolah Radja, lepas puasa ini akan dibuka sebuah Sekolah Radja Tinggi (Hogere Kweekschool) di Purworedjo, ditanah Djawa; jang akan diterima mendjadi murid-murid sekolah itu, jaitu murid-murid Sekolah Radja jang pandaipandai sadja, jang telah tammat peladjarannja. Gadji kalau sudah keluar dari sekolah itu seratus rupiah sebulan, djadi dua kali lipat gadji lepasan Sekolah Radja disini. Beladjar disana tjuma tiga tahun sadja. Djika hamba dapat nomor tinggi djuga, tentu hamba boleh masuk kesekolah itu. Oleh sebab itu, dari sekarang hamba minta kepada bapa, ibu dan mamak, izinkanlah hamba meneruskan peladjaran hamba kesekolah itu, supaja boleh hamba berusaha dengan sekuat-kuat tenaga hamba dari kini. Kalau hamba dapat masuk sekolah itu, hamba akan berusaha diri pula disana sedapat-dapat, dan alangkah senangnja kehidupan hamba kelak, bila hamba mendjadi guru jang bergadji besar. Selama hamba bersekolah disitu, hamba akan berhemat sebolehbolehnja, supaja djangan pajah benar bapa membelandjai hamba. Lim a rupiah sadja bapa bantu sebulan sudah tjukup, sebab murid-murid disana dapat bantuan djuga dari Gubememen setiap bulan. Bapa izinkanlah hamba pergi bersekolah kesana!”
Sehabis perkataannja itu, M asri memandang kepada bapanja dengan air muka jang mengandung pengharapan. Ibu bapa dan mamaknja termenung sadja sedjurus lamanja, ketiganja menekur sadja, tidak menjahut sepatah kata djuapun. Sebentar lagi kelihatanlah muka bapanja berubah sedikit, mendjadi kemerah-merahan dan ibunja melihatlah kepadanja dengan masgulnja serta mamaknjapun bingung seperti orang kehilangan akal. T ertumbuk biduk dikelokkan, tertumbuk kata dipikiri. Datuk Perpatihpun berpikirlah seketika, sambil membakar rokoknja jang telah padam semendjak tadi. Sedang ia mengirup dan mengembuskan asap rokoknja, pikirannja didjalankannja djuga, memikirkan niat dan maksud anaknja itu. Akal datang, pendapat tiba, dibuangkannjalah rokoknja keluar, jang sudah padam pula, lalu katanja: ,,Beginilah M asri! Maksudmu itu baik djuga. Tetapi tjobalah kamu pikirkan dengan hati jang hening. Tjobalah kamu telungkup telentangkan, kamu ukur pandjang lebam ja, kamu pikirkan surut lalunja dan kamu balik-balik bagai memanggang. Saja dan ibumu sudah tua, hampir-hampir tidak kuat lagi bekerdja, mengerdjakan sawah ladang kita. Kami berusaha untuk mentjaharikan belandjamu dalam enam tahun ini, sudah mengalir peluh ketumit. Selama kamu masuk Sekolah Radja, tak air telang dipantjung, tak kaju djandjang dikeping, kami penuhi segala keperluanmu. Sekarang, karena kamu sudah besar, supaja kamu tahu bagaimana kehidupan orang tuamu, biarlah saja berbitjara dengan terus terang, buka kulit ambil isi sadja. Kehidupan manusia diatas dunia ini, ialah sebagai roda peda.ti, sekali keatas, sekali kebawah, tidaklah tetap adanja. Atau boleh djuga dikatakan, sematjam hari, sekali panas, sekali hudjan. Baik berganti dengan buruk, mudjur bertukar dengan malang. Kita dahulu masuk orang jang berada, tetapi sekarang___hartakita telah susut djuga, sawah ladang kita sudah banjak jang tergadai untuk pembuat rumah ibumu ini. Sebetulnja kita kini sudah sakit seperti betik, diluamja kelihatan masih baik djuga, tetapi didalam sudah hantjur luluh. Kita sudah djatuh miskin. Sekalian keperluan kita, didapat dengan hasil sawah ladang kita sadja. Padi kita sekarang tjuma tjukup akan dimakan sadja lagi. Kami sudah tua pula, bekerdja banjak seperti dahulu tidak kuat lagi, djadi setengahnja sawah kita diperduakan kepada orang lain. Untunglah ada mamakmu ini jang membantu kami bekerdja; kalau tidak, tentu pekerdjaan kami tiada keruan. Untuk membelandjaimu tiga tahun lagi, tidak sanggup kami rasanja. Lagi pula, melepaskan kamu pergi beladjar sedjauh itu, tak sampai rasanja hati kami. Siapa tahu nanti, malang disebut, mudjur hendaknja jang akan datang, sakit senang, hidup mati tidak bertjerai; kalau pendek permintaanmu d isa n a .... apalah akan djadinja kami kamu tinggalkan? Kamupun tahu' djuga, kami beranak hanja kamu seorang. Kam ulah si upik si bujung bagi kami, jang kami harapkan untuk menjenangkan hatikami. Djika singkat pula umur kami, ketika kamu dirantau orang, sampai adjal kami disini, siapalah jang akan mengantarkan kami sampai keliang lahad. O, Masri, sakit sukmaku rasanja memikirkan hal jang sedemikian” .
Datuk Perpatih memperhentikan tutumja seketika, sambil memandang kepada Masri, jang sedang menundukkan kepalanja. Dimukanja tampaklah kerusuhan hatinja. Ibu M asri tidak keruan pada pikirannja, tak tentu jang mana jang akan diturutnja. Segala perkataan suaminja itu benar pula pada pikirannja; tak dapat ia membiarkan anaknja, buah hati pengarang djantungnja, pergi bersekolah sedjauh itu. M asri selalu disajangi dan dimandjakannja. T ak mau ia merusakkan hati anaknja, didjaganja selalu, ditatangnja seperti menatang minjak penuh. Belum pemah permintaan M asri jang tidak diperkenankannja. Tjita-tjita Masri senantiasa dibenarkannja, karena walaupun ia seorang orang perempuan kampung jang tidak terpeladjar, tetapi mengerti djuga ia sedikit-sedikit, bahasa dari pada mematahkan hati atau mengalangi tjita-tjita anak itu, lebih baik patahkan sadja tangannja. Maklum djuga ia, bahwa anak itu dilahirkan dengan berisi ,,tjita-tjita” dan „kemauan” , dan kalau ibu bapanja pandai mendidik dan memimpin kedua mestika jang tersisip dalam hati anak itu, tentu anak itu akan mendjadi manusia jang berarti diwaktu besarnja, bukan manusia jang menjempitkan dunia dan memahalkan beras sadja. Itulah sebabnja ibu Masri selalu berichtiar hendak menjampaikan sekalian tjita-tjita anaknja. Dalam hal jang sekarang ini, apa jang akan dibuatnja; hanja ia menanti keputusan rundingan suaminja dengan anaknja itu sadja. t Datuk Temenggung, paman Masri, melihat sadja kepada ipamja dengan pandang jang berarti, seolah-olah hendak mengatakan: ..Djangan diperlakukan permintaannja, supaja maksud kita djangan teralang. Bapa M asri membalas pandangnja itu dengan kedjap mata, lalu iapun meneruskan bitjaranja pula, katanja: „Tam bahan lagi, Masri, waktu iane tiga tahun itu bukan sebentar, matjam-matjam dapat kedjadian dalam selama itu. Kalau sampai adjal kami, djika pendek umur kami, tentu kami tak dapat melihat kamu lagi. Pengharapan kami setiap hari, terlihat djuga oleh kami hendaknja kamu djadi guru terketjap djuga hendaknja buah pentjaharianmu oleh kami, sebelum karrn beipindah dari dunia jang fana ini keachirat jang baka. Pengharapan kami itu tiga bulan lagi tentu berhasil. Sekarang, pengharapan kami J ^ g telah dekat hendak kamu perdjauh pula, jang tiga bulan hendak kamu dJadlkan tahun. Tjukuplah itu, Masri, sampai Sekolah R adJa ™ sadja sudahlah. Hendak tinggi terlalu patah. Lagi pula, sudah sebelas tahun lamanja kamu beladjar, lima tahun di Sekolah Peripat dan enam tahun pula di Sekolah Radja, sekarang akan ditambah pula tiga tahun lagi, tentu kamu tua dalam sekolah sadja. . . . ah, tak mungkin M asri. . . . tak baik begitu.. tidak dapat dan tidak mau saja memberi lzinmu pergi bersekolah ketanah D^ n t j u r luluh, laksana katja terempas dibatu hati M asri mendengarkan perkataan bapanja itu. Bermatjam-matjam pikiran datang menggodanja. Terpikir olehnja, bagaimana malang untungnja diatas dunia 1m. Sudah tetap hatinja hendak melandjutkan pengadjarannja keSekolah Radja Tinggi itu. Siang malam maksudnja itu tidak hilang-hilangnja, sehmgga D r e w e s , M entjari ketetapan baru.
6
setiap waktu ia beladjar dengan radjin, mengapal segala peladjarannja, dengan pengharapan jang tak putus-putusnja, supaja ia dapat djuga masuk kesekolah jang tersebut. Tetapi apa boleh buat, segala tjita-tjita dan pengharapannja itu rupanja tidaklah akan sampai. Dipikirkannja pula ibu bapanja jang telah tua, dan jang sudah miskin seperti kata bapanja tadi, ja, hilang-hilang timbullah M asri dalam pikirannja, sebagai sebuah mumbang kelapa dilamun ombak. Hati hendak melawan perintah ibu bapa tak ada terkandung dalam dada Masri. ,,Bagaimana sekarang, M a sri?" kata bapanja, seakan-akan menghelanja ketepi pantai, dari dalam lautan pikiran jang mengganggunja itu. ,,Sudahkah kamu pikirkan habis-habis, sudahkah kamu timbang putusputus ? Tetapkanlah hatimu! Djanganlah kamu pikirkan djuga akan terus beladjar itu! Pikirkanlah hal kami, orang tuamu jang telah tua dan tidak berdaja lagi ini!” ,,Bapak!” sahut Masri dengan terbit air matanja. ,,Segala nasihat dan perkataan bapak itu betul djuga. Tetapi sungguhpun begitu, susahlah hamba memikirkan akan maksud hamba itu. Hati hamba keras benar hendak terus beladjar. Tentangan umur pandjang dan singkat, jang bapak sebutkan tadi, tentu tak dapat kita ketahui. Mumbang djatuh, kelapa djatuh, jang tua mati, jang muda mati. Kalau akan mati, dimana-manapun mati djuga. Seperti petua bapak djuga, jang setjupak tidak akan djadi sesukat, jang sedjengkal tidak akan sehasta. Djadi apalah jang akan bapa rusuhkan tentang hidup dan mati itu? Segala perintah bapak, tentu hamba ikut, tetapi jang benar hamba ketengahkan djuga; kalau benar bapak bawa lalu, kalau salah bapa bawa surut. Kalau hamba keluar dari Sekolah Radja disini, hamba hanja dapat gadji lima puluh rupiah; djika hamba terus beladjar, bila selamat sadja disekolah itu, pengadjaran hamba bertambah tinggi serta lepas disana hamba bergadji seratus. Kehidupan hamba tentu akan senang kelak dan dapatlah hamba membantu bapa dan ibu. Menurut pikiran hamba, biarlah lambat laga, asal akan menang. Bapa katakan, hamba sudah besar, tetapi hamba rasa, belumlah besar amat. Umur hamba, sepandjang peringatan bapak, baharu dua puluh tahun. Ada djuga kawan-kawan hamba, jang hendak terus beladjar itu, jang berumur dua puluh tiga tahun. Apalah salahnja djika hamba beladjar tiga tahun lagi? Insja Allah akan terlihat djuga oleh bapa dan ibu nanti hamba mendjadi guru. Tentang belandja hamba disekolah itu, kalau tak sanggup bapa m em bantu lagi, apa boleh buat, biarlah. Hanja hamba minta, pakaian sadja bapa belikan tiga pasang setahun; itu sudah tjukup. A sal bapa izinkan hamba terus beladjar” . ,,A h !” sahut bapanja agak keras sedikit, jang menandakan kekurangan senang hatinja. ,,Kamu ini tidak berpikiran, tidak memikirkan awal
dengan achir. Kam u kenang lalunja sadja, surutnja tidak kamu hitung. Perkara gadji besar itu sama djuga berkatnja dengan gadji jang ketjil. A sal kamu pandai hidup, bajang-bajang sepandjang badan, djangan besar pasak dari tiang, tentu akan senang djuga kehidupanmu. Kalau kamu berbelandja dengan kira-kira, besar kaju besar bahannja, ketjil kaju ketjil bahannja, nistjajalah kamu tidak akan kekurangan dan dapat djuga menolong kami barang kadamja. Djanganlah kamu pikirkan maksudmu sadja, kamu pikirkan pulalah hendaknja niat dan kehendak orang tuamu. A da pula kehendak kami kepadamu jang mesti kamu turut, djika sekiranja kamu ada bermaksud akan menjenangkan hati kami. Kalau tidak, ja, sudahlah, pulang maklum kepadamu sendiri. Akan memberi tahukan maksud kami itulah, kamu kami suruh pulang hari ini". Tiba disini bapanja berhenti berbitjara, lalu minum menghabiskan kopinja jang tinggal sedikit lagi. M asri termenung, dimabuk agak-agak. Sekali-sekali dia menghela nafas pandjang dan dimukanja kelihatanlah dukatjita dan kekusutan hatinja. Sambil menggigit bibir diangkatnjalah kepalanja, lalu melihat keluar, arah kekebun pisang jang dimuka rumah orang tuanja. Dalam hatinja terbentanglah sebuah medan peperangan, tempat berdjuang dua pasukan asjkar pikirannja, memperlihatkan gagah perkasanja masing-masing. Jang sebuah mengatakan, bahasa Masri mesti meneruskan maksudnja, tak usah menurut kata orang tuanja; dan jang sebuah lagi menjuruh M asri berbuat kebaktian kepada ibu bapanja. Tampur-menampur, tolakmenolak dan tangkis-menangkis kedua belah pihak laskar it u ---- dan achirnja menanglah bala tentara kebaktian. , J a ! " pikir Masri. ,,Sudahlah, apa boleh buat, nasi sudah djadi bubur, tak dapat dikedang lagi". Dikeraskannja hatinja, lalu ia berkata beriba hati kepada bapanja: f,Bapa, ampuni hamba akan segala perkataan hamba tadi. Djika ada tutur kata hamba, jang menjakiti hati bapa, haraplah bapa ma afkan. Sekarang sudahlah, hamba putuskanlah pengharapan^ hamba itu Disini terpikir Masri sepintas lalu akan arti mimpinja, mendaki bukit jang tak sampai kepuntjaknja itu. ,,Apa boleh buat", katanja lagi, ,,sehingga Sekolah Radja ini sadjalah rupanja bahagian hamba. Hamba senangkanlah hati hamba nanti dengan gadji lima puluh rupiah itu. Dalam pada itupun hamba minta sjukur djuga kepada Allah, atas usaha dan djerih pajah bapa dan ibu selama ini kepada hamba. Bapa sebutkan pulalah maksud bapa itu, supaja terang oleh hamba senang susahnja". ,,Itulah jang sebaik-baiknja, M asri,,J udjar bapanja dengan senang hati. „Besar hati kami mendengarkan rundinganmu itu. Sudah serasa berobat djerih pajah kami, haus sebagai dapat air, lapar seperti beroleh nasi. Sekarang kamu dengarkanlah niat dan hasrat kami. Saja tidak dapat berunding dengan pandjang lebar, biarlah saja tuturkan dengan pendek sadja kepadamu.
M asri! Seperti katamu tadi djuga, tiga bulan lagi lepaslah kamu dari sekolah. Kami mendo'a, moga-moga madju sadja kamu dalam udjianmu dan lekas pula hendaknja djadi guru. Kewadjiban kami sudah hampir habis kami penuhi. Ketjil kamu, kami besarkan, besar kamu, kami serahkan menuntut peladjaran jang berguna bagimu dalam kehidupanmu kelak. Hanja sekarang sedikit sadja lagi kewadjiban kami, ibu bapa dan mamakmu, jang belum kami isi. Sungguhpun begitu, sudah djuga kami reka-reka, telah kami menung kami pikirkan, pandang djauh sudah kami lajangkan, pandang hampir sudah kami tukikkan dan dengan tolong Allah, rasa-rasa akan sampailah maksud kami itu. Boleh djadi kamu sudah tahu djuga, mendjadi malu besar bagi orang Minangkabau ialah tiga farakn']a: i ° rumah gedang ketirisan, z° majat terhantar berhari tengah rumah, dan 30 anak jang berumur dewasa tidak dikawinkan. Jang ketiga inilah kewadjiban kami jang tinggal” . ,, 0 , inilah pula ta'bir mimpiku jang kedua” , pikir M asri pula, ,,aduh nasib, bagaimanakah untungku ini!” ,,Segala kawan-kawanmu” , kata bapanja lagi, ,,jang sebaja dengan kamu dikampung kita ini, sudah memakai adat semuanja, artinja sudah beristeri, dan ada djuga jang telah beranak. M alu kami rasanja melihatkan kamu jang sudah besar, belum djuga berumah. Sudah djadi adat sebenar adat bagi kita, kalau hari petang, burung pulang kesarangnja, orang pulang kerumahnja, kerbau pulang kekandangnja. Itulah maksud kami jang sebesar-besarnja, jaitu hendak memperumahkan kamu. Tjobalah kamu pikir, djika kamu pulang sekali-sekali kesini, dimanakah kamu akan bermalam, tentu disurau sadja, karena menurut adat kita dikampung ini, malu benar kalau anak budjang tidur dirum ah ibunja, lebih-lebih jang bersaudara perempuan pula. Untunglah kamu sedang bersekolah, djarang tinggal dikampung; kalau tidak, pesti kamu djadi buah mulut orang” . Mendengarkan perkataan itu, M asri tunduk kemalu-maluan, hatinja kusut laksana benang, karena hal jang tadi belum lagi lipur dalam hati sanubarinja, sekarang sudah tiba pula suatu perkara jang lain, jang menambah kekusutan hatinja semata-mata. Betul ia sudah berum ur dewasa, tetapi hendak beristeri belumlah ada terniat olehnja, sedangkan teringat sadjapun tidak. Sedang ia diliputi awan pikiran jang tak keruan, bapanja menjambung perkataannja: ,, 01 eh sebab itu, M asri, sudah kami perhitungkan dirumah, djalan mana jang akan kami djalani, hutan mana jang akan kami lalui, dan lautan mana jang hendak kami lajari, untuk menghilangkan malu jang saja katakan tadi. Sudah kami kadji buruk baiknja, telah kami pikirkan pula melarat manfa'atnja, bulat boleh digolekkan, petjak boleh ditajangkan, sudah putus permupakatan kami, saja dengan ibu dan mamakmu, siapa jang akan djadi djodohmu. Telah seajun kami seperti berbuai, sudah setjiap bagai anak ajam, sedentjing bagai besi, sekebat bagai sirih, sudah putus hitungan kami, diasak lajur ditjabut mati, jang akan mendjadi isterimu, ialah Chamisah,
anak Datuk Temenggung, mamakmu ini. Betul banjak djuga orang jang lain, dikampung kita ini, jang memintamu untuk djadi menantunja, tetapi kamu dengan Chamisah sudah bertemu ruas dengan buku, sudah bagai sirih pulang kegagangnja, seperti pinang pulang ketampuknja dan bagai ajam pulang kepautan. L agi pula, awak sama awak, kuah tertunggang ( = tertuang) kenasi, nasi akan dimakan djuga. Djika disampaikan Tuhan, kalau diberkati A llah sadja maksud kami itu, segala pentjaharianmu tentulah tidak akan tersia-sia, tidak akan djatuh ketangan orang lain, hanja kita sekaum keluarga djuga jang akan beruntung. Maksud kami itu, akan kami langsungkan sesudah puasa dimuka ini, sebelum kamu berangkat. Tetapi supaja kamu djangan tahu dengan sekonjong-konjong sadja nanti, itulah sebabnja hari ini kami maklumkan niat kami itu kepadamu. Tentangan hal itu djanganlah kamu pikir pandjang lagi, hanja turutlah kata kami, orang tuamu dan mamakmu, supaja sentosa kehidupanmu kemudian. Lagi pula, betul anak mamakmu, Chamisah itu, tidak bersekolah, tetapi dalam hal pekerdjaan perempuan, pekerdjaan dapur dan rendamerenda serta menjulam mengerawang, sudah tjukuplah rasanja. Tentang rupanjapun sudah setara dengan kamu, tak kan malu kamu membawanja kemana-mana. Tentu kami tak sia~sia pula memberikan barang jang tak sepadan dengan kamu. Itulah sadja pengharapan kami jang akan kamu Gelap gulita pikiran M asri ketika itu. Semendjak ketjilnja belumlah pemah ia melalui kata orang tuanja. Apa-apa sadja perintah ibu bapanja diturutnja belaka, berat dirasanja ringan, jang djauh dirasanja^ dekat. Tetapi bagaimanakah pikirannja tentang maksud orang tuanja m i. Diruang mata terbajanglah laut jang besar, jang bergelombang setmggi tinggi gunung. Laut itulah jang disuruh renangi oleh orang tuanja. Lemah rasa anggotanja memikirkan akan menjeberangi lautan itu. Tak dapatlah apa jang akan dikatakannja, pikirannja kusut, akalnja hilang, serasa gelap pemandangannja, tak tentu kemana tudjuannja. Akan di turutnja kata bapanja itu, rasa melarat jang akan datang; tidak akan diturutnja, rasa sengsara jang akan tiba. D ia tahu betul, bagaimana kelakuan dan budi pekerti anak mamaknja itu. Chamisah, ialah seorang anak gadis, remadja puteri, rupanja tjantik bukan kepalang; usianja baharu lima belas tahun. Mukanja jang bulat seperti bulan purnama raja, warna kulitnja jang kuning langsat, perawakannja sederhana, rambutnja pandjang dan hitam laksana dawat serta lenggangnja jang memutus rangkai itu, sudah banjak kali menawan hati anak muda-muda. Kasih sajang ibu bapanja kepadanja tidaklah berhingga berbatas. Maklum!ah, orang tuanja beranak seorang itu sadja, djadi diaiah tambatan larat ajahnja, dan djerat semata bunda kandung. Itulah sebabnja pham isah sangat dimandjakan ibu bapanja. Apa sadja jang dimintanja tetap berlaku dan segala perbuatannja, jang banjak kali tidak baik, tidaklah pemah dimarahi orang tuanja.
M asa ketjil terandja-andja, sudah besar terbawa-bawa, lalu tua terubah tidak, begitulah sampai sekarang, tingkah perangainja gadis jan g telah perawan dara itu, djangankan berubah, hanja bertambah buruk jang ada. Ia lekas marah bila kehendaknja tidak berlaku. D alam segala hal hanja ia tahu ada sadja dan kalau tidak dapat sebagaimana kemauannja, dia sudah meradjuk, berusak hati, bermuram durdja. Hati pengasih penjajang, jang menaruh belas kasihan kepada sesamanja manusia, tak ada dalam dadanja. Parasnja jang tjantik molek dan manis itu, berlawanan benar, seperti siang dengan malam, dengan sifat dan tabi'atnja. N iat dan kehendaknja setiap waktu, hendak bersolek dengan pakaian jang bagus-bagus sadja. D ia pantang kerendahan, hanja selalu hendak lebih dan tjantik dari orang lain. Kawin dengan gadis jang berkelakuan seperti itu, tidak adalah terniat oleh Masri. Tidak akan diturutnja kehendak orang tuanja, tentulah ibu bapanja akan marah kepadanja. Djadi keadaan Masri, adalah seperti orang makan buah semalakama (simalakamo, bahasa Minangkabau): akan dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Serba salah: diturut salah, tak diturut salah. Segala perangai dan kelakuannja tidaklah sesuai sedikit djuga dengan gadis Chamisah itu. Pertemuannja dengan anak perempuan itu, tentulah tidak bertemu ruas dengan buku, danterang sadjalahtak kan selamat pertjampurannja kelak, karena masakan dapat bertjampur air dengan minjak.
Akan diikutinja perkataan. ibu bapanja, pesti melarat kehidupannja dibelakang hari, dan akan dibantahinja, tak boleh tidak tentu orang tuanja berketjil hati dan murka kepadanja, serta menjangka, bahasa ia seorang anak jang tekebur dan tidak tahu membalas guna.
Pening rasanja kepala M asri memikirkan halnja itu. Lagi pula belum adalah niatnja hendak kawin dengan segera dan gesa-gesa. Maksudnja, djika ia djadi guru, akan membudjang sadja dahulu sementara mentjahari uang setjukupnja untuk beristeri. N iat dan maksudnja setiap hari, djika diizinkan Tuhan, ialah kalau sudah tiba waktunja, hendak kawin dengan perempuan jang ditjintainja dengan mata dan hatinja. Tidaklah dia memandang ketjantikan, kekajaan dan kebangsaan seorang perempuan, hanja jang dikehendakinja perempuan jang tjantik, kaja dan bangsawan pikiran. Perempuan jang sedemikian, kalau rupawan pula, tentu besi baik diringgiti. Begitulah pedoman pikirannja. ,, 0 , nasibku!” pikir M asri sambil mengeluh. ,,Rupanja segala niat dan tjita-tjitaku tidaklah akan bersua sebuah djuga. A ku hendak m e neruskan peladjaranku tidak dapat, hendak beristerikan seorang perem puan jang setudju dengan hatiku, tidak boleh pula. Bagaimanalah untungku ini! Tetapi biarlah kutjoba djuga memperlunak hati bapaku; dapat tak dapat, apa boleh buat, asal ichtiar kudjalankan, tentu untungku djuga jang akan menjudahi” . ,,Bapak!" udjar Masri dengan sajup-sajup kedengaran suaranja
,, M aksud bapak sudah hamba ketahui. Sekarang hamba harapj bapa dengarkan pulalah bagaimana pikiran hamba jang singkat ini, tentang niat bapa itu. Niat bapa itu tentu sebaik-baiknja. Maksud bapa jang tentu hendak menjenangkan hamba djuga. Bapa! Semendjak ketjil hamba, bapapun tahu, belum sekali djuga hamba melampaui kata bapa, apa kata bapa selalu hamba turut. Tetapi sekali ini bapa ampunilah hamba lebih dahulu, tidak dapatlah hamba rasanja menurut. Tetapi djanganlah kiranja bapa salah sangka, bahasa hamba, karena sudah besar, sudah hendak melawan bapa, atau tidak mempedulikan bapa dan ibu lagi. Itu sekali-kali tidak, hanja___bapa dengarlah buah pikiran hamba dahulu. Maksud bapa itu tentu baik menurut pikiran bapa, tetapi hamba pikir hal itu lebih banjaic melaratnja dari manfa'atnja. Tjobalah bapa timbang dengan neratja bapa jang t ic palingan, bungkal jang piawai. Hasrat hamba tidak ada hendak beristeri lekas, sebab menurut peladjaran jang hamba tuntut, umur dua puluh lima tahun baharu baik laki-laki beristeri. Lagi pula hamba tidak akan beristeri sebelum hamba beruang sedikit, karena orang jang telah beristeri tentu banjak keperluannja. Beristeri seperti kebanjakan orang dikampung kita ini, hamba tak hendak. Kebanjakan orang kita, tjuma dia tahu pulang kerumah isterinja sadja, pulang sendja pergi pagi. Belandja dan keperluan isterinja tak ada diingatnja. Harap djangan bapa sela kata hamba dahulu , kata M asri, ketika dilihatnja muka bapanja berubah warnanja serta bibirnja bergerak hendak bitjara. ,,Tjobalah bapa lihatkan tiap-tiap hari Sabtu dan Rabu, ketika pasar di Bukittinggi; berapa banjaknja perempuan berbeban berat pergi kesana hendak mendjual hasil perhumaannja untuk keperluan rumah tangganja, sedang laki-laki kebanjakan melenggang sadja atau mendjindjing sangkar balamnja. Djadi suami jang serupa itu, hamba tidak mau. Niat dan kemauan hamba, isteri hamba itu hendaknja hidup senang diatas tangan hamba, hanja kewadjibannja mengurus rumah tangga. Untuk menjampaikan niat hamba itu, hamba perlu beruang dahulu, djadi kalau sudah agak besar gadji hamba, baharulah hamba hendak beristeri. Karena djika pendapatan hamba belum sampai-menjampai, dimanakah dapat hamba menjenangkan isteri hamba. Djika sekiranja dia akan menanggung kesusahan dan kemelaratan sadja sepandjang hari dengan hamba, apalah gunanja dia bersuamikan hamba. Pada hemat hamba, dua orang laki isteri itu, mestilah terikat erat dan tersimpai teguh dengan tali kasih sajang, jakni pertjintaan jang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hudjan. Sebab seperti kata bapa tadi, senang dan susah silih berganti. Djika tiba kesusahan jang tidak dimintaminta, tentulah laki dan isteri itu, terapung sama hanjut, terendam sama basah, menjuruk sama bungkuk dan melompat sama patah, tidak mendua hati lagi, sama-sama rela menanggung kesusahan. Suami dan isteri itu hendaklah sesuai pikirannja, dan tingkah laku serta kemauannja, supaja pergaulannja berhasil baik dan kekal selama-
lamanja. Kalau dua orang laki isteri tidak sama pikirannja, seiring bertuhar djalan, seia bertukar sebut, seorang hendak kehilir, seorang hendak kehulu, tentu segala pekerdjaannja tak mendjadi, pestilah sekalian maksudnja karam ditengah d an ___ bertjerai djuga kesudahannja. Itulah sebabnja, maka perempuan orang kita banjak kali bertjerai dengan suaminja, sampai bersuami dua tiga kali. Setelah bersua jang berkesesuaian, baharulah aman hidupnja. Demikian djuga laki-laki. Ditjoba-tjoba bagai gulai, begitulah perkawinan orang awak. Akan kata bapa tadi, kuah tertunggang kenasi, nasi akan dimakan djuga, betul djuga, tetapi kadang-kadang kuah itulah jang membasikan nasi, sehingga nasi itu terbuang sadja, tak dapat dimakan lagi. Seperti bapa sudah maklum djuga, pertalian dua orang laki isteri, buruk dengan baik tidak bertjerai, kalau baik sadja tentu berbaur djuga, dan kalau buruk jang tumbuh, pastilah tjerai berai, seorang ketimur, seorang kebarat. Djika misalnja hamba dikawinkan dengan anak mamak hamba itu, kalau untung baik sadja, ja, besi baik diringgiti, tetapi bila m udjur diseru, malang jang tiba, datang pertjeraian kami, tentu kaum famili kita putus pula pertaliannja seperti pepatah Mmangkabau: ,,tertjentjang puar tergerak endilau” . Djelang-mendjelang, djenguk-mendjenguk, datang-mendatangi, bila ada buruk baik, tentu sudah sukar.
Tetapi kalau Chamisah dikawinkan dengan orang lain, tentu karib kita bertambah banjak dan senanglah kehidupan kita dikampung ini.
Lagi pula, ma‘a f bapa djuga jang hamba harap, kelakuan dan tabi at hamba dengan Chamisah tidak sesuai. Djika kami dipertemukan djuga, tentulah perbuatan dan kemauan kami seorang kelaut seorang kedarat, pastilah kami tidak dapat tjinta-mentjintai dan bertjerai djuga achimja. Jang hamba sukai ialah: pahit dahulu, manis kemudian. Biarlah bapa, ibu dan mamak mengumpat dan marah hamba sekarang, asal kemudian tidak menjesali hamba. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, itu baik djadi pedoman. Lebih baik biarlah sama-sama kita tjaharikan tunangan Chamisah. Dalam melangsungkan pekerdjaan itu, kalau hamba sudah bekerdja nanti, berat sama kita pikul, ringan sama kita djindjing. Hamba memandang Chamisah sebagai adik kandung hamba sendiri. Bila ia dapat kesusahan, tentu hamba dengan segala suka hati akan menolongnja. Tentangan hal diri hamba, djanganlah bapa susahkan benar. Biarlah hamba mentjari rezeki lebih dahulu, akan penolong diri hamba dan kaum keluarga kita. Kalau sudah senang kehidupan hamba, isteri apa jang tak kan dapat. Malu bapa itu, karena hamba sudah besar belum beristeri djuga, tentu tidak pada tempatnja. Sekarang hamba, walaupun sudah besar, masih anak sekolah djuga. Meskipun nanti, tentu tak mengapa, sebab hamba baru djadi guru dan akan beladjar hidup sendiri dahulu. Oleh sebab itu akan maksud bapa itu, djanganlah bapa madjukan djuga, supaja kita djangan menjesal kemudian hari. Untuk suami Chamisah, baiklah bapa dan mamak tjari jang lain".
Mendengar perkataan M asri itu, ibu, bapak dan mamaknja tertjenung sadja sebagai orang mabuk tjendawan. Lebih-lebih ibu Masri, jang sangat kasih mesra kepada anaknja, tak tentulah jang akan dibuatnja. Akan memaksa anaknja, buah hati tangkai kalbunja, kawin dengan Chamisah itu, rasa tak sangguplah ia. T ak tjukup pula tenaganja akan mengalangi kehendak suami dan saudaranja itu. Hanja dalam hal ini ia berserah diri sadja, mana jang akan baik dia menurut sadja. Sedang ibu bapa M asri termenung memikirkan penjahutan M asri itu, tiba-tiba mamaknja berkata, katanja: ,,M asri! Segala perkataanmu sudah saja dengar. Djawabmu itu semuanja tidaklah beralasan kebenaran. Masakan baik Chamisah dikawinkan dengan orang lain, pada hal kamu kemanakan saja ada, jang belum beristeri. Kalau saja buat begitu, tentu saja dikatakan orang membuang batu keluar. Djika kamu dikatakan, gemuk membuang lemak, tjerdik membuang kawan, entahlah. Tetapi saja tidak. Tentang kelakuan Chamisah tak usah kamu gusarkan benar, karena dia masih ketjil, belum berakal. Siapa lagi jang akan menundjuk mengadjarnja, selain dari kamu. Sebab itu saja berharap djuga djanganlah kamu batalkan maksud kami ini” . Belum habis Datuk Temenggung bertjakap, bapa M asri berkata pula: ,,Itu betul! Masri, tak usah kamu bantahi permupakatan kami ini. Akan pertjampuranmu dengan Chamisah tak guna kita kadji sekarang; mana jang tumbuli itulah jang akan disiangi. Saja pertjaja, asal kamu bemiat baik, tentu baik jang datang; kalau kamu bermaksud buruk, pasti buruk pula jang akan tiba. Perkara gadjimu nanti asal tjukup untukmu dua laki isteri, sudah senang hati kami. Turutlah kehendak bapa, M asri! Kalau sebetulnja Masri sajang dan kasih kepada ibu dan bapa, turutlah kata bapa sekali ini. Kamupun sudah mengadji djuga dahulu, ingatlah bagaimana dosanja orang jang tidak menurut kata ibu bapanja. Segala pekerdjaannja tidak selamat, sekalian maksudnja tidak sampai dan diachirat ia akan disiksa pula kelak. Lagi pula maksud ibu bapamu sekali-kali tidak akan mentjelakakanmu, melamkan kehendak kami selalu akan menjelamatkanmu djuga. . Djadi sudahlah tentangan itu, tak usahlah direntang pandjang lagi, baik dikumpar supaja singkat. Beladjarlah kamu dengan radjm, agar kamu madju sadja nanti dalam udjianmu, dan sesudah puasa mi, se belum kamu mendjabat pekerdjaanmu, kita langsungkan perkawmanmu dengan Chamisah. t . Sekarang saja dengan mamakmu akan pergi kesawah menengok padi, kalau-kalau sudah patut disabit. Pukul satu nanti kami pulang . Sehabis perkataan itu tegaklah bapanja dan mamaknja, lalu turun. Masri tinggallah dengan ibunja dirumah, keduanja termenung sadja, seperti tak ada lagi jang akan dipertjakapkannja. Putuslah pengharapan M asri akan melepaskan dirinja, karena kata tidak boleh berdjawab, gajung tidak boleh bersambut lagi oleh bapanja dan tahulah ia sekarang akan kebenaran ta'bir mimpinja ditangkap harimau itu. A. S u t a n P a m u n t j a k n . S . , Pertemuan.
RATNA BEKERDJA DITOKO TJITA Ratna mendapat pekerdjaan disuatu toko di Bandung dengan gadji f 5 °>— sebulan. Pukul 7 pagi-pagi masuk, pukul 1 pulang makan, pukul 4 ketoko pula, pulangnja baharu pukul 8 malam. Pada mulanja Ratna berasa hampir-hampir tidak kuat, karena dari pagi sampai malam tidaklah ia dapat duduk, melainkan tegak atau berdjalan sekeliling toko sahadja, melajani pembeli jang datang berdujundujun, ditarik oleh pendjualan ,,o b r a l ” jang sedang berlaku ditempat itu. Pendjualan ..obral” itu dilakukan oleh kongsi toko sebagai suatu aturan jang darurat. Suatu ichtiar jang penghabisan buat memelihara dan mendjaga supaja toko djangan djatuh. Didalam musim kesukaran, jang disebutkan orang ,,malaise” didunia perniagaan, maka salah satu diantara penjakit jang banjak dari kaum saudagar, ialah pasal , ,g i l a n j a p a s a r ” , artinja turun-turunnja harga barang jang diterima dari saudagar-saudagar jang mendatangkan barang itu dari negeri luar, terutama Eropah, Am erika dan Djepang. Ketika negeri itu sedang bersaingan keras, lalu turun-menurunkan harga barangnja dengan tidak menaruh gentar sedikit djua. Saudagar ..im p o r t ” , jaitu jang mendatangkan barang dari luar itu, sudah tentu tak dapat pula menetapkan harga, melainkan turut pula menurun-nurunkan harga itu dari sehari kesehari. Jang tertindih dari pada pertjaturan itu terutama ialah tuan toko, jang menjambut barang dari saudagar import, biasanja dengan utang diatas aksep jang tidak dapat ditangguhkan membajar barang sehari lewat dari djandjinja. Djika tuan toko umpamanja menerima surat pengiriman barang (factuur) berharga seratus rupiah sepeti, maka esok harinja, sebelum barang dibuka, atau sedang barang itu masih didjalan, harga telah turun sampai sepuluh dua puluh persen. T ap i utang tetap setjara jang sudah didjandjikan, karena utang itu lebih dahulu telah ada diatas aksep. Menetapkan harga pendjualan sebanjak pokok, istimewa djika mengharap untung, berarti hendak membiarkan barang mumuk didalam toko, karena tidak akan ada orang jang hendak membeli. Sementara itu waktu membajar aksep sudah sampai, terlambat sehari berarti ,,bangkrut” , djadi sebudi akal tuan toko terpaksa mengumpulngumpulkan uang kontan buat pembajar aksep itu. Akal jang penghabisan ialah „mendjual obral” , kebanjakan dengan merugi. Oleh karena aksep itu bukan selubang sadja, melainkan ada dua tiga pula dalam sebulan, adalah laku tuan toko bagaikan duduk dibara hangat. Djika barang kurang laku, berkisarlah ia pada aturan mendjual „obrar\ Sementara itu pendjualan ,,obral” ada pula mengandung rupa-rupa akal dan tipu-muslihat buat memikat pembeli. A d a jang memasang merk harga pendjualan lebih dahulu pada tiap-tiap barang, tapi harga
itu diletakkan diatas harga jang semestinja. Setelah sepekan dua pekan menetapkan harga diatas itu, maka sekalian merk diubah dengan tinta merah, diganti dengan harga jang kurang dari itu. Lalu diumumkan disurat-surat kabar dan dipasang merk dimuka toko, menjatakan bahwa toko itu hendak mendjual ,,obral” . Atau, djika jang terlekat pada barang tidak diubah dengan tinta merah, lalu diumumkan sadja bahwa toko hendak mendjual barang dengan mengurangi harga dari sepuluh sampai lima puluh persen. Sudah tentu ada pula diantara barang-barang, jang sebenamja didjual dengan merugikan. Gunanja ialah buat „um pan” , memikat pembeli. Guna reclame, jang akan menjatakan bahwa toko itu benar-benar sedang mendjual „obral” . Kerugian pada segala barang jang dimurahkan itu akan ditimbulkan oleh barang-barang lain, jang sedia buat „m enjembelih” pembeli. Itulah akal toko, buat melakukan barangnja, dan buat menutup -utangnja. Perkataan ,,obral” itu selamanja menarik pembeli. Orang jang tak ada empunja barang suatu keperluan buat membeli, tertarik masuk toko, dan dengan tidak diketahui lagi, pulangnja telah membawa pelbagai barang jang disangka terbeli murah, atau ,,harga jang bukanbukan” , dan sebagainja. Terbuka matanja ialah djika ia pergi kepasar, dan melihat barang serupa itu pula di ,,obralkan” oleh orang Benggala dengan harga jang djauh pula dibawah harga toko itu. T uan toko tempat Ratna bekerdja telah menjampaikan pengharapan kepada sekalian pegawainja, supaja mereka itu bekerdja keras dan dengan sesungguh-sungguh hati. Djika datang ,,musim baik", demikian katanja, nistjaja pegawai sekalian akan menerima anugerah jang luar biasa. Boekhouder telah membisikkan pada sekalian kawan sekerdja, apa artinja ,,musim baik” itu. Toko sedang ,,tjondong” , djika ia tidak sampai roboh, itulah artinja musim ,,baik” , pegawai toko tidak akan hilang kehidupan, tapi djika toko sampai roboh. . . . Ratna bekerdja dengan sebenar-benarnja membanting tulang. Mulai dari hari pertama makan gadji, sudahlah ia berasa bahwa pekerdjaan mendjadi pendjual itu bukan djabatannja. Tuan toko mengadjar dia supaja pandai mengambil hati orang banjak; hendaklah ia ,,senjum sepandjang hari” , harus ,,tebal telinga” , ,,bersabar hati” , dan sebagainja. Sekali-kali djanganlah ia melupakan, bahwa ia ,,diadakan guna orang banjak” dan bukanlah orang banjak itu buat Ratna adanja! Semasgulmasgul hati, bila berhadapan dengan jang dipertuan ,,orang banjak itu” , haruslah Ratna berlaku tertib dan manis kepada segala orang jang datang ketoko. Diantara ,,jang dipertuan” itu tidak semuanja tahu adat dan tertib. Meskipun Ratna sedang melajani seseorang pembeli jang datang terdahulu, tidak kurang pula orang lain jang datang kemudian menjesaknjesakkan hendak melihat barang jang terletak dibawah-bawah lipatan barang lain, atau diatas-atas lemari. Tidak dapat berkata nanti, si pembeli
tjepat benar berlantjang mulut, mengatakan barang sesuatu jang patut menjakitkan hati. A da pula jang menjuruh membongkar almari sampai kosong. Sekalian barang jang dikeluarkan disuruhnja buka lipatannja. Sedang tangannja meraba-raba lipatan ini, matanja mengamat-amati lipatan Iain — ia ingin tahu harganja: tidak ketudju — buka lipatan lain. Dem ikian seterusnja ia berlaku, lalu indar dari tempat itu, melihat-lihat barang lain sekeliling toko, dengan tidak membeli saelo djua. Tidak kurang jang sampai kepada menjuruh eloi sesuatu barang, setelah ia menjuruh bongkar almari, dan memilih-milih sampai setengah djam lamanja. Setelah barang itu digunting, ia berkata kurang setudju, berkehendak barang jang lain. Sudah tentu timbul perselisihan. Ratna mengatupkan bibir, menahan air mata, sambil mengulang-ulang ber kata dengan menjabarkan hati, bahwa barang jang telah tergunting itu tidak dapat dikembalikan. Si pembeli berkata dengan suara keras. Ia b e lu m menjuruh gunting, ia baharu menanjakan harga, apa sebab digunting? salah siapa? Keluarkanlah seisi almari, seisi toko guntinglah, bukan perkaranja. . . . ! Tuan toko datang memisahkan — jang salah tentulah R atna! Banjak pula jang bolak-balik menaiki harga penawarannja dengan seketip dan seketip, meskipun Ratna telah berkata bahwa harga itu ,,harga mati". Tiap-tiap menaiki tawaran, barang itu minta dilihatnja kesekian kali. Keluarkanlah pula dari almari, buka pula gulungannja, dan — sesudah itu gulunglah pula dan masukkan kedalam almari. Beberapa menit sesudah itu, sedang Ratna berkisar melajani orang lain, si penawar telah datang pula hendak meraba-raba barang jan g la in ! Hal jang serupa itu dirasai oleh Ratna hampir setiap hari. D jika toko sudah kosong, Ratna mengempas duduk buat melepaskan lelah, adakalanja tuan toko datang menghampiri, lalu berkata bahwa ia tak usah mengambil hati atas umpat-sesalan tadi — tuan toko pertjaja bahwa Ratna tidak bersalah, tapi, buat memelihara hati ,,orang banjak , tuan toko harus berpihak kepada si pembeli itu. M aklu m lah . . . . ! Ratna tidak dapat „maklum” atas perkara jang serupa itu. Pudjian tidak diharap-harapnja, tapi djika ia tidak bersalah tak suka pula ia diumpat. Maka jakinlah ia, bahwa tabiatnja dan perasaannja sekalikali tidak dapat disetudjukan dengan djabatan itu. A . M uis, Pertemuan djodoh.
ISTERI PEMBERIAN IBUNJA Dirumah Hanafi, di Solok, sunji senjap keadaannja. Siang malam pintu dimuka tidak dibuka, sedang lampu diberanda mukapun tidaklah pernah menjala. D ari djalan raja kelihatan rumah itu sebagai rumah tinggal; seolah-olah bukan Hanafi sadja jang keluar, melainkan seisi rumahlah rupanja jang pergi temasa. Hanja kereta ketjil berisi Sjafe’i, jang ditolak oleh si Bujung setiap pagi dan petang kelihatan ditepi-tepi djalan, ada menandakan bahwa kaum keluarga Hanafi masih ada di Solok. Rapiah dan mentuanja tidak pernah keluar rumah. Sekalian orang jang datang bertandang, sudah mengetahui bahwa mereka tak usah lagi mengetuk pintu diluar atau berseru-seru diberanda muka, melainkan bolehlah terus kebelakang sadja buat menemui orang rumah. Seorangpun diantara segala sahabat Hanafi tak datang kerumahnja, karena selama ini jang ditjari oleh mereka hanjalah Hanafi sadja, sedang ahli rumahnja jang lain hanjalah berguna buat menjediakan hidangan belaka. Kedua perempuan, mentua dengan menantu, sedang asjik bekerdja didapur. Sjafe’i tidur njenjak dalam buaian diberanda belakang, diajunajunkan oleh si Bujung. ,,Sebanjak itu ibu menggulai, serupa ada tamu jang dinanti makan” , kata Rapiah dengan tersenjum. — ,,Buat orang berpuasa, masih sedikit hidangan sebegini, Rapiah! Lihatlah jang baru siap: anjang lauk sapi, hurabu bunga kelikih, bobotok tjara Padang, sedang jang hendak ibu siapkan tinggal lagi besengek dan kari Menggala . _ ,,Ibu sendiri hanja gemar pada daun-daun kaju sadja, tapi ibu me njediakan daging sekian banjaknja. Siapakah jang hendak memakannja. ,,Sebab engkau berpuasa, Rapiah, tidak puas hati ibu djika makananmu kurang sepertinja. Meskipun akan kaumakan atau tidak, asal makanan tjukup sedia, hati ibupun senang” . ,,Sudah kedelapan kali Kamis ini aku berpuasa sunat, ibu, dan selama itu pula ajah Sjafe'i meninggalkan kita. Selama ia masih didalam perdjalanan, tak akan rumpangnja. aku berpuasa sunat setiap hari Semn dan Kam is” . . , .Berpuasa sunat itu besar manfa’atnja, Rapiah. Tapi sementara itu wadjib benar bagimu memelihara kewarasan tubuhmu. Djangan rupamu setjara ini, tinggal kulit pemalut tulang sadja . t,Benar sekali badanku mendjadi kurus, ibu. Tapi bukanlah kurus itu disebabkan oleh berpuasa. Dan meskipun kurus, tetapi pada perasaanku kesehatan tubuh tiadalah terganggu” . „Sebab engkau tidak suka merasakan, djadi pada sangkamu tiadalah kesehatan tubuhmu terganggu, Rapiah! Tetapi djanganlah engkau lupa, bahwa kesehatanmu itu bukanlah berguna buat tubuhmu sendiri, melainkan haruslah kaubagi dua dengan Sjafe'i. Lihatlah pula keadaan anakmu, sudah kuning putjat wama kulitnja” .
- -!»
,,Sudah beberapa hari kupikirkan hendak mentjeraikan dia menjusu, bu! Anak-anak orang lain sudah lama ditjeraikan, bila ia sudah berum ur satu tahun. T api Sjafe’i masih menjusu sadja. Hendak kutjeraikan menjusu, sungguh tak sampai hatiku, bu! Adjaib, tangisnja makin lama makin sedih” . ,,Sebab tubuhnja kurang waras” . „Bukan karena itu sadja, bu. Atjap kali kutilik perangainja tengahtengah malam. Dengan tidak sadar, melainkan didalam tidur njenjak, biasa benar ia tersedu-sedu, sambil mentjutjurkan air matanja. Dengan seketika pula ia berhenti menghisak, air matanja keringlah, lalu tidur pulalah ia dengan njenjak” . ,,Biasa djua kanak-kanak berlaku demikian didalam tidum ja, Rapiah” . ,,Boleh djadi kebiasaan kanak-kanak serupa itu. Tetapi hatiku tjemastjemas sadja. Rupanja atas diri ajah Sjafe'i sudah timbul sesuatu bentjana, bu. Hampir setiap malam aku bermimpi jang buruk-buruk sadja. Djangan-djangan ajah Sjafe’i . . . . ” „M im pi asalnja dari kenang-kenangan, Piahl Setiap hari engkau mengenangkan Hanafi sadja, sampai tubuhmu mendjadi kurus, sedang anakmupun turut pula menanggungkannja. Sesungguhnja hidupm u lebih aman, djika Hanafi tidak dirumah” . Rapiah tidak menjahut. Hanja darahnja menjesak naik kekepala, hingga daun-daun telinga dan kedua belah pipinja berwam a merah. Maka air santan jang diperahkannja dari tapisan kedalam sebuah belanga> dengan tidak sengadja sudah ditjutjurkannja kedalam sebuah pasu bekas pentjutji-tjutji. Ibu Hanafi melihatkan perangai menantunja jang sebagai tidak sedarkan diri itu dengan amat belas kasihan. ,.Rapiah, Rapiah!” katanja. ..Sekiranja Hanafi bukan anak kandungku, tentu kunasihati engkau, lebih baik kauminta talak tiga sadja, dari pada menghilang-hilangkan pikiran karena merindukannja. Insaflah kemanakah air santan itu engkau perah?” Dengan terkedjut Rapiah melihat perbuatannja itu. Seketika itu tapisan santanpun sudah ditahankannja diatas belanga jang sudah berisi daging jang hendak dimasak. Tetapi dengan tidak dapat ditahantahannja lagi, menghilir dan berderai-derailah air matanja djatuh ketanah. ,,Akan batal puasamu, djika hatimu engkau peturutkan, Rapiah! Sudahlah — apatah jang engkau tangiskan? Sudah sebulan ia didjalan, sebentar lagi tentu ia kembali pulang” . „Bukan sadja pertjeraian ini jang aku rusuhkan, ibu” , sahut Rapiah dengan sesak napas dan menghisak-hisak. ,,Entah apalah sebabnja, tetapi dalam seminggu ini hatiku sudah tak senang-senang lagi. Entah alamat apa jang sudah datang pada diriku, aku tak dapat mengatakannja; tetapi perasaanku sudah lain. Kata orang, kita tidak boleh pertjaja akan tachjul, tapi banjak pula orang berkata, djika sanggul rambut terlepas sedang makan, alamat suami hendak direbut orang. Benarkah demikian, b u ? ”
,,U ah! Semata-mata tachjul! Djika kita mesti memberi arti kepada segala pertandaan jang mendjadi kepertjajaan orang dahulu, nistjaja kita tak kan dapat bersenang hati. Karena sepandjang hari ada sahadjalah pertandaan jang timbuh Lihat, belanga didjilat api, kata orang hendak kedatangan tamu; marilah kita nantikan benar tidaknja. Perkara sanggul terlepas itu djanganlah engkau tjemaskan. Sebab engkau m erinddbn suamimu, segala fiilm u sudah berubah. Selama ini kauperlukan benar berhias dan bersisir, sanggulmu selesai sadja dari pagi sampai m al,™ T api dimasa-masa jang achir im rupanja kauharamkan benar tjermin dan sisir i u Bersisir dan bermmjaklah, pasak sanggul rambutmu setjara mestmja, tentu rambut itu . tak akan memberi tanda-tanda buruk lagi kepadamu, Rapiah! s ,,Sudah tiga kali kangkung masuk kedalam rumah, bu!” ,,A pa pula artinja kangkung masuk mmah itu ?” ,,Tanda ada orang jang sedang melepas kebadji, supaja bertjerai orang bersuami-isteri! „O h , anakku! Kalau semua kaujakini buruknja, tentu tubuhmu akan semakin kurus!” Ibu Hanafi berkata demikian sambil tersenjum. Tetapi didalam tersenjum itu iapun tidak kuasa melindungi kebimbangan, jang sedang tergambar pada wadjahnja. Karena sebenamja orang tua itupun tidak pula luput dari pada tachjul. Sebagai seorang perempuan kampung ia sangat pula mempergantungi segala pertandaan itu. Hanja sekadar hendak menjenangkan hati menantunja, diselimut-selimutinja sadja segala gerak dan rasa jang telah beberapa hari lamanja datang merusakkan kesenangannja. Dari segala mimpinja iapun jakin, bahwa atas diri Hanafi sudah timbul sesuatu bentjana jang menjedihkan. Dari pagipun hatinja sudah tidak senang. Bukankah hari itu hari Kamis, hari datangnja surat-surat dari Betawi? Selama Hanafi mening galkan Solok, belum pemah ia mengirim surat kepada isteri atau ibunja. Hanja dari orang lain ada terdengar, bahwa Hanafi telah mengirimkan kartu-kartu pos jang bergambar kepada sekalian sahabatnja, menjatakan selamatnja sampai ke Betawi. Sepatah katapun tak ada berita, kadar menjampaikan salam kepada ahli rumahnja, atau buat menitipkan ibu, isteri dan anaknja kepada mereka jang disebutnja ,,sahabat karib” itu dan sekali seminggu minum makan dirumahnja, dihidangkan oleh ahli rumah jang dilupa-lupakan itu. D ari pagi ibu Hanafi sudah menerima gerak, bahwa ia akan mendapat kabar buruk dari Hanafi. Dalam ia menghibur-hiburkan hati dan memberi nasihat menantunja itu, darahnja sendiripun tidak senang. Itulah sebabnja maka ia memasak sebanjak itu. Supaja boleh merintangnntang hati didapur. Dan — kalau hari Kamis surat-surat Betawi biasa datang, apa salah kalau anaknja sendiri jang pulang hari itu? ,,Sabarlah, Rapiah!” katanja, setelah kedua perempuan itu berdiam diri sedjurus lamanja. ,,Tenangkanlah hatimu. Hari ini hari Kamis, hari datangnja surat-surat dari Betawi. Siapa tahu, barangkali ada surat dari Hanafi, atau ia sendiri pulang kembali” .
Sudah tiga Kamis kita menanti-nanti, bu. Pada hari ini besar sungguh kejakinanku, bahwa surat itu akan datang. Tetapi terlebih besar pula kejakinanku, bahwa kabar buruk jang akan kita terima” . ^ Rapiah tidak meneruskan kata-katanja, karena Sjafe 1 terdengar menangis dalam buaian. Dengan tidak mengindahkan buatannja lagi, bangkitlah ia dari duduknja, lalu melompat mendapatkan anaknja, jang seketika djuga sudah dipangku lalu ditjiumnja. M aka berhamouran pulalah air matanja keluar dengan tak dapat ditahan-tahannja. Sambil menimang-nimang anak, melangkahlah ia keberanda tengah, lalu bernjanji dan berpantun-pantun: Djangan menggulai bajam djuga, Djangan anak menangis djuga,
gulai gelinggang dibelanga. bapak merantau tak kan lama.
Rumah gedang bersendi perak, Senang rupa badan terkutjak,
beri bertonggak kaju djati. menaruh rusak dalam hati.
Bukannja puntung nan berkelok, Bukannja untung nan tak elok,
medang d i l u r a h patah dahan. mintak suratan bersalahan.
Sungaipagu air bertumbuk, Angan lalu paham tertumbuk,
simpangan djalan keLubukabai. dimana kusut kan selesai.
Berpetik sambil berbedil, Memekik kami memanggil,
berburu sepandjang djalan. meragu tuan nan berdjalan.
Badju genggang tjelana genggang, kembang melati di Semarang. Duduk bimbang berdiri bimbang, rusuh hati makin berserang. Manindjau padilah masak, Hati risau dibawa gelak,
batang kapas bertimbal djalan. ba panas mengandung hu jan.
Matahari sudah lama turun, siang sedang berdjawat dengan s e n d j a . Rapiah dengan mentuanja duduk diberanda muka. Sekali itu pm u dimuka dibukalah, dan lampu dipasang, karena kedua perempuan itu menanti-nantikan tukang pos. . ,,Biasanja pukul enam tukang pos sudah melintas , demikian a ibu Hanafi. ,,Sekarang sudah setengah tudjuh. Sudah djauh terlampau waktu berbuka, Piah! Sebaik-baiknja hendaklak engkau pergi makan dahulu” . „ Kalau ada surat-surat dari tanah Djawa, memang pos itu terlamba keluarnja dari biasa, bu. Tetapi sekarang sudah waktunja datang. Tidakkan lalu air sereguk atau nasi sekepal dari rongkonganku, sebelum kuketahui benar, ada tak adanja surat H a n a fi...o , itulah tukang pos! Ah, bagai disengadjanja benar berdjalan gontai — tapi matanja me mandang sahadja kerumah kita, . . . ah, ia masuk kehalaman bu, dan ada surat ditangannja — surat H anafi---- - lekaslah pos, adakah surat dari Betaw i. . . . ?” , Dengan perkataan demikian Rapiah sudah menghambur turun ketanah, menemui tukang pos, lalu menerima sehelai kertas dari tangannja.
„Panggilan surat aangetekend, bu, dan — adres ibu !" demikian ia berkata dengan mengeluh, sambil menjerahkan kertas itu ketangan mentuanja. Bukan buatan sedih hatinja, waktu ia mengundjukkan surat panggilan itu kepada mentuanja. Pertama karena sudah njata benar, bahwa Hanafi tidak menjangka dia ada lagi. Sekali itu ia berkirim surat, itupun tidak pula kepada isterinja, melainkan kepada ibunja! Kedua, surat itu baharu keesokan boleh diambil dari pos! ,,Apakah katanja, P iah ?" ,,Entahlah, bu. Surat ini belumlah surat ajah Sjafe’i, melainkan surat dari kantor pos, menjatakan bahwa ada surat Hanafi tersedia disitu. Ibu harus menanda-tangani surat ini, baharu esok boleh diambil surat Hanafi itu dari kantor pos". ,,Banjak benar tjengtjongnja, Rapiah! Dan bagaimana pula ibu hendak menanda-tanganinja, ibu tak bisa. Engkau sahadjalah menolong". ,,Tidak boleh aku menanda-tanganinja, bu, karena adres surat ialah kepada ibu. Surat itu dikirimnja dengan aangetekend, djadi rupanja. penting benar". Maka mengeluhlah Rapiah. Makin jakinlah ia, bahwa kabar buruk jang dibawa oleh surat itu. Ibu Hanafipun turut mengeluh. Iapun sedang memenungkan segala sesuatu jang menjedihkan hati menantunja. Apakah sebabnja maka Hanafi tidak menepatkan surat kepada isterinja, melainkan kepada ibunja? ,A pakah daja kita karena ibu tidak bisa menulis, Piah? „Baiklah kita pergi esok pagi bersama-sama kekantor pos, bu. Ibu pandai membubuh tanda-tangan dengan huruf Arab. Nanti dimuka pegawai kantor pos sadja ibu lakukan . „A h , banjak tjengtjong benar!" . . . . . „ ,,Ja, dan baharu esok hari kita boleh mengetahui is m ja .... ..Sabarlah kita, Piah! Sabar-sabarkan hatimu. Dari pada mejakmjakini sesuatu hal jang buruk, lebih utama djika mengambil kej^m an pada jang baik djuga. Allah ta'ala bersifat murah tidak kan ada takdir turun atas hambanja, jang tidak memben manfa at jua e , m kipun pada awalnja turun bentjana’ • Sesungguhnja orang tua itu berkata demikian, sekadar hendak menjenangkan hati Rapiah sadja. Kertas jang gementar tergenggam dalam tangannja, adalah memberi alamat, bahwa segala urat sarafoja sedang tCTgMari!ah kita makan, Piah! Pikirkanlah kesehatan tubuhtnu, karena anakmupun menumpang hidup pada kewaxasan tubuhmu itu . Dengan tidak berkata-kata lagi keduanjapun masuk kedalam, lalu mendapatkan medja makan; disitu sudah lama tersedia makanan. Keduanja mentjoba-tjoba makan, tetapi masing-masing berasa, bahwa rongkongannja bagai terkuntji, dan tidak akan dapat melalukan sebutir nasi. Dengan tidak berkata-kata, bangkitlah keduanja dari tempat duduknja, lalu menjimpan segala makanan kedalam lemari. D r e w e s , M entjari ketetapan baru.
7
Semalam-malaman itu keduanja tidak tidur sekedjap mata. Rapiah mendengar mentuanja antara sebentar mengeluh, sedang didalam dadanja sendiri menjergap sadja apa jang sedang dirasainja. Antara sebentar dihiburkannja hatinja dengan pikiran jang njaman, jaitu dibantahnja segala gerak-gerakan jang memberi alamat akan datang bentjana itu. Bukankah semua itu tachjul belaka, demikian kata Rapiah dalam hatinja. Suatupun tak ada bukti jang boleh dipergantungi buat mengekalkan kejakinan kepada jang buruk-buruk itu. Hanafi baharu sebulan meninggalkan rumah. Ia keBetawi hendak berobat, bukan mustahil bila waktu berobat itu dilambatkan dari aturan, karena sembuh penjakit itu tidak dapat dipastikan waktunja---Sekonjong-konjong terdengar Sjafe’i mendjerit dengan tidak tentu apa sebabnja. Seketika itu djua ibu Hanafi sudah menghambur dari kamar sebelah, lalu berdiri dimuka tempat tidur Rapiah. Sjafe’i sedang menggapai-gapaikan tangannja, sedang djeritnja semakin seni. Rapiah memangku anaknja, sambil menimang-nimang dan mentjium kedua belah pipinja. Sementara itu mentuanja sedang membalik-balik bantal serta mengirap-ngirapkan seperai dan memeriksai selimut, lalu didamari tempat tidur itu sampai keselat-selat kasumja. ,,Tentu ada jang menggigitnja, Piah! T api heran, seekorpun tak ada binatang jang kedapatan” . Maka dilulusi pakaian Sjafe’ i, dan ditilik kulit seluruh badannja. Tidak kedapatan bekas gigit sedikit djua. Sementara itu Sjafe’i memeluk leher ibunja dengan kedua belah tangannja, sedang pekiknja jang semseni tadi telah berubah mendjadi tangis sedih jang tersedu-sedu, bagaikan orang menjadari untungnja. ,,Meskipun ia masih belum berpengetahuan, tapi jang sedang di rasainja takkan djauh ubahnja dari jang sama kita rasai, bu” , demikian kata Rapiah sambil menangis. Ibu Hanafi tidak menjahut, melainkan iapun menangis pula, mengeluarkan air mata jang sudah tak dapat ditahan-tahannja lagi. Hanja sebab teguh imannja sadja, maka kedua perempuan itu kuat menahan air matanja, jang dari siang tadi sudah timbul-timbul surut, dan tergenang-genang diruangan matanja. Tetapi anak itu, dengan tidak disengadjanja, sudah membuka djalan bagi kedua perempuan itu buat menumpahkan isi dada mereka, jang sekian lamanja dapat ditahan. Entah berapa lamanja ketiga mereka itu bertangis-tangisan, tiadalah diketahuinja. Haripun sudah larut malam. Setelah Sjafe’i letih dari pada menangis, maka terlajang pulalah ia diatas pangkuan ibunja. Baharu sadja diletakkan, ia sudah menangis pula. Demikianlah berlaku beberapa kali hingga hampir dekat waktu subuh, setelah neneknja mengawani tidur, baharulah anak itu dapat tidur njenjak. Setelah Rapiah membersihkan medja makan pada keesokan harinja, maka berhiaslah ia, dan mengadjak mentuanja kekantor pos.
" Perlulah • •„ . surat mi ,,
b ib ik
p“ -! - “ h »'-■ * «» * w beserta, karena b ib ik Jdns iancr mesti menanda-tangani j 5 ^
karena surat dralamatkan kepada brbrk. Lakaslah, bik, bari ^ d S r delapan .
Sambil berkata demikian itu Rapiah memandang dengan sudut matanja kepada djam, jang baharu menundjukkan setengah delapan
kurang lima menit. ,,Sia-sia engkau berlaku dengan tergesa-gesa setjara itu, Piah” kata mentuanja dengan tersenjum. „H ari belum setengah delapan, kantor pos belum dibuka". „T u an chef sudah lalu dari tadi, bik, nanti aku hendak minta tolong kepadanja buat memberikan surat itu, meskipun belum waktunja membuka pos. Mustahil ia tidak suka menolong, tuan itu orang baik” . Dengan enggan ibu^ Hanafi mengganti kain dan badjunja, maka katanja: ,,A h sebenamja orang tua djanganlah dibawa-bawa ketempat serupa itu” . „ Apakah jang ibu segankan kekantor pos itu ?" ,,Ja — s e b e n a m j a k a m i o r a n g k a m p u n g t a k u t b e r d ju m p a d e n g a n orang Belanda. K a l a u - k a l a u a d a k e la k u a n k it a j a n g b e r s a l a h a n n a m p a k olehnja, l a l u „dip^adam nja” sadja" Rapiah mentjoba-tjoba tertawa didalam sedihnja. MTidak semua orang Belanda tukang ,,paradam” f bik! Perkataan jang kasar itu akan lebih banjak kita mendengar dari ajah Sjafe’ i, dari pada keluar dari mulut tuan kantor pos itu". ,,Benar, Piah, kalau Hanafi sudah mengerutkan keningnja, dan katakata ,,paradam-parodom” itu sudah bertali-tali keluar dari mulutnja, gelaplah bumi Allah rasanja bagi ibu. Orang Belanda demikian sadjalah lakunja sepandjang h ari?" _ })Djauh dari itu, bu. Orang Belanda jang sopan memantangkan benar perkataan itu, apalagi dimuka-muka orang perempuan tak boleh sekalikali dikeluarkan". ,,Heran, Hanafi hanja gemar mengeluarkan perkataan itu dimuka ahli rumahnja sadja, tapi djika kepada tamunja tidak pemah terdengar oleh ibu. Dari manakah anak itu beladjar berkata-kata sekasar itu? Benarbenar tuan kantor pos tidak akan menghardik bibik nanti, Piah?” ,,Tidak, bu, tjobalah bibik dekati orang Belanda itu, nanti bibik akan jakin, bahwa ia tidak pemakan orang". ,,Ah, alangkah mudahnja, bila surat itu dialamatkannja kepada engkau sadja, Piah!" Dengan berungut diturutkannja djuga menantunja kekantor pos. Sesampai disana ibu Hanafi sudah menjesal pula menurutkan Rapiah itu. Dengan tersenjum tuan chef kantor menjorongkan tempat dawat
dan kalam kepadanja, lalu berkata: ,,Tekanlah ditempat ini, rangkaja!” Dengan kaku tangannja digenggamnjalah kalam itu, lalu ditjelupkannja berulang-ulang kedalam tempat dawat, dan dipandanginja njatanjata, kalau-kalau dawat itu tidak melekat kepada kalam. ,,Sudah basah, bik! Disinilah bibik mesti tekan. H u ru f K u r’an, dan sebunji nama bibik sahadja” . W aktu kalam itu hendak tertjatjah pada kertas, maka gementarlah tangannja sedjurus, hingga kalam itu berlaku seolah-olah palu ketjil, jang sedang dipergunakan oleh seorang tukang emas dalam pekerdjaannja. „Edjakanlah, Rapiah!” katanja dengan berbisik, „ib u sudah lupa-lupa ingat akan susunan huruf itu. Zaman dahulu belum banjak sekolah” . Rapiah lalu mengedjakan: ,,M im ” . . . . ,,a lif” . . . . ,,ra” . . . . ,,ja ” . . . . ,,alif ” ___ „m im ” ___nah, Mariam, tjukuplah, bik!” „N ah bagus, bagus!” demikian kata tuan kantor chef dengan tertawa, ,,rangkaja mengaku bodoh, tapi sesungguhnja — saja sendiri tidak bisa menulis serupa itu. Sekarang Rapiah, tekan d is in i,---- nah! saja sendiri tekan pula, bagus, dan — inilah surat Hanafi. Berat sekali, barangkali banjak uang dalamnja! Tabik rangkaja, tabik R apiah!” „A h , baik benar budi tuan itu, Rapiah” , demikian kata ibu Hanafi, setelah sampai keluar dan ia sudah menarik napas pandjang. ,,Benar, bu, semua orang Belanda demikian adatnja, asal kita tidak bersalah” . „ J a — tapi djika dilihat pula perangai Hanafi, jang berkata menurut tarekat Belanda, ragu pulalah hati. D ari ketjil ia diasuh oleh Belanda, tapi rupanja banjak jang buruk dari pada jang baik sudah diperolehnja . Rapiah tidak menjahut, melainkan dipertjepatnjalah djalannja. ,,Sesak napas ibu menurutkan engkau, Piah. Lakum u sebagai orang jang hendak ketinggalan kereta api” . Rapiah tersenjum, sambil berhenti sebentar, menantikan mentuanja. „Sjafe’i ___” Perkataan itu tidak diteruskannja. Ia hendak berkata bahwa tjemas hatinja meninggalkan Sjafe’i, buat melindungi keinginan hatinja akan membatja surat itu selekas-lekasnja, tapi sedjurus pula telah teringat olehnja, bahwa pada djam itu Sjafe’ i biasa didorong-dorong dalam kereta oleh si Bujung didjalan besar, buat ,,makan-makan panas” . Achirnja sampailah mereka kerumah, lalu Rapiah menjuruh men tuanja membuka surat itu. „Bukalah, Piah, tolonglah batjakan. T api teguhkanlah imanmu. Buruk baiknja kabar jang dibawa oleh surat itu, hendaklah kauterima dengan utjapan sukur kepada Tuhan, jang senantiasa akan menurunkan rahim bagi hambanja” . Setelah surat itu keluar dari bungkusannja, maka termenunglah Rapiah memandanginja sedjurus. ,,Batjakanlah, Rapiah! Buruk atau baiknja hendak sama-sama kita dengar” .
Rapiah membatja: ,,Ibu jang tertjinta! ,,Sesungguhnja surat ini haruslah kualamatkan kepada Rapiah, tapi karena perempuan itu kuperoleh dari ibu, kepada ibu pulalah ia hendak kupulangkan” . Rapiah menekankan pinggangnja jang sebelah kiri, karena sekonjongkonjong terasalah sakit olehnja ditempat itu. A ir matanjapun berhamburan keluar, waktu ia meneruskan membatja: Baiklah kunjatakan dengan ringkas apa jang sudah terdjadi. ,,Sesampai di Betawi, bertemulah anakanda dengan seorang tuan, bekas chef anakanda dahulu, jang sekarang berpangkat besar di Departement van Binnenlands Bestuur. Tuan itu berkata, bahwa ada tempat Commies jang terbuka dikantomja, dan sekiranja anak anda harap akan pangkat itu, haruslah anakanda meminta seketika itu djuga. Sebab kantor B.B . tidak dapat menanti lama, sedang jang meminta djabatan itu bukan seorang dua orang. ,,Dengan pangkat ini djalan keatas seolah-olah sudah terbuka bagi anakanda, karena lambat launnja anakanda akan dapat mentjapai djabatan Referendaris, asal sabar. ,,Djadi dengan tidak berpikir pandjang, anakanda sudah memasukkan surat berhenti bersama ini, sedang sementara menanti angkatan, sudah empat belas hari lamanja anakanda bekerdja sebagai maandgelder dikantor B.B. ,,Gadji permulaan hanja lebih sedikit dari di Solok, tapi harapan sangat besar, karena anakanda sudah pula memasukkan surat permohonan buat dipersamakan dengan bangsa Belanda. „ Bunda! Dengan persamaan kepada bangsa Belanda itu ^anak anda seolah-olah sudah keluar dari bangsa dan dari „pajung kita. Katakanlah kepada orang-orang dikampung, bahwa gelarku „butan Pamenan” sudah kuletakkan, dan hendaklah mereka mengisarkannja kepada jang lain. Didalam segala ,,hitungan dikampung ^ anakanda tak usah dibawa-bawanja lagi, karena dengan re la h a ti anakanda sudah keluar dari adat dan keluar dari bangsa. Hanja satulah jang tidak akan putus, jaitu antara anakanda dengan ibu, tentu tidaklah akan berubah-ubah keadaannja. ^ ,,Hanja dengan Rapiah akan lain halnja. Sebenamja hal Rapiah itu mangkin mendjadi kebimbangan bagi anakanda. Rapiah memang orang kampung benar. Deradjat dan martabat laki-laki akan naik atau turun dengan keadaan isterinja. D i Solok, dengan orang-orang Belanda jang hanja empat lima orang sadja, jang belum boleh disebutkan masuk lapisan atas, Rapiah sudah kaku dan ketakutan, „K ota Betawi tidak boleh disamakan dengan Solok. Disini jang mendjadi perempuan rumah itu haruslah orang terpeladjar, boleh
dibawa ketengah dan keseg'ala medan pertandingan. Koki-koki Betawi sadja sudah patut njonja rupanja, bila ia diperbandingkan dengan orang kampung kita. Apalagi djika anakanda sudah tentu mendjadi orang Belanda, isteri anakanda itu haruslah jang berpatutan benar dengan keadaan dan pergaulan anakanda. ,,Djanganlah anakanda mengumpat-umpat djuga kepada Rapiah, sebab sebenamja bukan salahnja maka ia serupa itu. T ap i sebaliknja djanganlah pula anakanda diberi djalan terus-menerus mendurhaka kepada ibu. Segala bentjana dan ,,perasaan” jang anakanda tanggung selama mengikatkan diri kepada seorang isteri pemberian ibu itu, tidaklah akan anakanda bangkit-bangkit lagi, melainkan ibu sahadjalah jang akan memakluminja. Oleh karena itu ibu izinkanlah anakanda, buat memulangkan barang jang ibu berikan itu ketangan ibu sendiri. ,,Sia-sia bagi Rapiah, buat menanti-nantikan pulangku, dan sekali-kali djanganlah ia bertjita-tjita hendak datang ke Betaw i” . Sementara itu si Bujung sudah datang mendorong kereta, sedang Sjafe’i menangis mendjerit-djerit didalamnja. „Bawalah ia berkeliling-keliling didalam kebun, B u ju n g ", kata ibu Hanafi dengan gementar suaranja. „SabarIah, Piah, tammatkan membatjanja” . „Sabar sebentar, nak” , kata Rapiah pula dengan sesak napas, hingga suaranja hampir-hampir tidak keluar. ,,Sebentar lagi mak ambil engkau” . Maka diteruskannjalah membatja sambil menghudjankan air m atanja: , , ---- Selagi Rapiah masih muda, tentu akan besar pengharapannja akan bersuami lagi. Anakanda tidak sampai hati buat mengalangi maksudnja jang demikian, bahkan anakanda sertailah mengharapharap, supaja ia segera mendapat suami jang sepadan dengan keadaannja. Dengan anakanda njatalah ia sebagai kata pepatah orang M elaju: Seiring bertukar djalan, sekandang tidak sebau. ,,0 1eh karena itu ibu serahkanlah ketangannja surat anakanda, jang dibungkus bersama ini. ,,Bilamanakah ibu dapat kusuruh datang ke Betaw i? Entahlah — karena setjara keadaan sekarang, dengan gadji seketjil ini, tentu kehidupan anakanda harus berdikit-dikit. „D o ‘akanIah, bu, agar anakanda lekas sampai kepada jang ditjita-tjita. Akan Rapiah djanganlah ibu alang-alangi, bila ia hendak kembali kepada ajahnja. Hendaklah ibu batjakan surat ini kepada ibu-bapanja, karena anakanda amat sempit pekerdjaan buat menulis-nulis surat banjak. ,,Akan pakaian-pakaian anakanda jang masih ketinggalan hen daklah ibu kirimkan ke Betawi, barang-barang isi rumah baiklah dibawa ke Koto Anau, atau didjual, sekehendak ibulah. ,,Demikianlah supaja bunda maklum. Sembah sudjud anakanda, Hanafi” .
Dengan tidak berkata sepatah djua, Rapiah lalu membuka bungkusan surat jang „terselip” didalam surat itu, dan dimaksud buat Rapiah oleh Hanafi. ,,Surat keputusan” , katanja dengan mengeluh. A . M uis, Salah asuhan.
DARIMANAKAH D A TA N G N JA .... Darimanakah datangnja keluh jang pilu ’tu, seperti suara sisakit mengadu dan mengeluh, ditengah malam? Bagai bisikan biola rebab perinduku mengurut telinga jang lembut, mentjitjit dan menjunu, mendalam dalam. Wahai marilah berlagu hati jang bersunji! Berilah berlidah djantungku supaja no,’ bemjanji, merentang nalam. Rebab memetjah biola belah ba’ dikojak, rasanja hatiku jang penuh karena lah menjesak rindu didalam. R. E
f f e n d i.
KALAU TAK UNTUNG Sesudah M asrul beristeri, ditjobalah oleh Rasmani akan melupakan orang jang ditjintainja itu, akan menghapuskan dari ingatannja. Tetapi alangkah sukamja, karena M asrul ditjintainja sepenuh hati. Dikuranginja membuat surat, dielakkannja pertjakapan tentangan M asrul, dan dihindarkannja sesuatu jang boleh mengingatkan dia kepada Masrul. Karena ia seorang jang bekerdja, dan tjukup urusan jang akan merintang hatinja, dapatlah djuga menghilangkan wadjah M asrul jang selalu terbajang-bajang dimatanja, lebih-lebih selama ia tinggal di Bukittinggi, negeri jang djauh lebih besar dari kampungnja. Ditjarinja sahabat, disatukannja hatinia kepada pekerdjaannja, dipeladjarinja bahasa Belanda, ditambahnja pengetahuannja tentang mendjahit dan peladjaran agama, dibatjanja buku dan surat chabar dan lain-lainnja. Dengan demikian lupalah ia kepada M asrul, dan hilanglah kemauannja akan bersuami. Tetapi alangkah tertjengangnja menerima surat M asrul mengatakan ia tak beruntung dan menundjukkan tjintanja. Api jang telah hampir padam itu, mulailah kembali memperlihatkan tjahajanja, menjala makin lama, makin besar. Dengan susah pajah ia menghilangkan dan memerangi kata-kata hatinja, supaja menurut pikirannja, menurut kemauan akal dan adabnja. ,,Masakan saja dapat ditewaskan hawa nafsu, masakan saja akan lemah; biarlah 'kak M asrul lemah, saja takkan mau memperturutkan kehendaknja. Saja akan memperlihatkan kekuatan saja, akan menun djukkan saja lebih kuat daripadanja!” Tetapi amat susahnja ia menahan tjinta jang meresap kehati djantungnja, sehingga hampir lalai ia akan kerdja dan kewadjibannja seharihari. Ia tahu bahasa dengan sepatah kata ia akan mendapat M asrul kembali. Tetapi hal itulah jang tak disukainja. Ia, seorang perempuan jang telah mengetjap pengetahuan, meskipun amat sedikit, tak mau berbuat seperti itu, tak mau merampas suami orang, merampas bapa anak orang. Ia tak suka namanja dan M asrul akan buruk. Bukankah orang melihat jang diluar sadja, siapa jang tahu batinnja, siapa jang tahu bahasa Masrul menderita, dan bahasa ia mau kepada M asrul, karena kasihan dan sebab tjintanja jang amat besar? Sebab itu dimatikannja hatinja, dibuatnja surat mengatakan M asrul tak boleh meninggalkan isterinja dan lain-lain. . . . Tetapi ketjewa dan kesal djuga hatinja ketika suratnja jang kedua tak dibalas M asrul. Kadangkadang menjesal ia. karena telah berlaku sekeras itu kepada dirinja sendiri, kepada Masrul. Enam bulan sudah lalu, sesudah ia membuat surat itu, suatupun tak ada jang terdjadi diatas dirinja, ketjuali hatinja jang bertambah hantjur dan pikirannja jang bertambah banjak memikirkan Masrul. D an alang-
kah terkedjutnja ia pada suatu petang, ketika ia melihat keluar rumah dan menampak seorang muda menudju kerumahnja. Dengan tak diketahuinja ia telah berdiri diambang pintu, dan ketika M asrul berdiri ditangga terlompatlah mulutnja: ,,’ Kak M asrul” . ,,Ja 'dik, kakanda in i", kata M asrul sambil melompat kerumah dan mengambil tangan Rasmani dengan kedua tangannja. Sebentar mereka berpandang-pandangan, dengan tak berkata-kata sepatahpun djuga. Kemudian dihelanja tangannja lambat-lambat oleh Rasmani dari genggaman Masrul, dan dihapusnja air matanja jang telah membasahi pipinja. Dengan kata-kata menahan tangis disilakannja Masrul duduk, kemudian pergilah ia kebelakang akan memberi tahu ibunja tentang kedatangan Masrul. Ibunjapun terkedjut, dan berlari kemuka akan menemui Masrul. Pertemuan inipun amat membesarkan hati kedua belah pihak, se hingga ibu Rasmani tak dapat pula menahan air matanja, lebih-lebih melihat air mata Masrul berlinang-linang. Lam a Rasmani dibelakang akan menghilangkan tangisnja. Dadanja sesak dan hatinja pedih rasa diiris-iris. Pertemuannja itu amat me* ngedjutkan dia, dan melukai hatinja jang telah rusak itu. Ketika dipanggil ibunja baharulah ia keluar kembali dan amat kesal hatinja, karena air matanja tak hendak kering-keringnja, meskipun telah pajah ia mentjoba akan tertawa. Sesudah ia melihat kepada Masrul kembali, sesaklah pula dadanja dan dengan tak tertahan-tahan berhamburanlah pula air matanja. Diletakkannja tangannja diatas medja, ditekurkannja kepalanja kesitu, dan dengan tak malu-malu kepada ibunja dan Masrul, menangislah ia tersedu-sedu. Ibunja dan Masrul menghapus air matanja pula, dan melihat kepada Rasmani dengan tak berkata sepatah djuga. Belum pernah Rasmani merasai dan mengetahui berapa besar tjintanja kepada M asrul lebih dari diwaktu itu. Belum pernah ia tahu diarti tjinta jang sebenamja. Ketika itu terasa benar olehnja, dan meresap kehati djantungnja, lebih-lebih melihat muka Masrul jang kurus dan putjat itu, amat sedih hatinja. Pedih bagai diiris dengan sembilu. Masrulpun demikian. Ketika itu terasa benar olehnja berapa besar tjintanja kepada sahabatnja dari ketjil itu. Dan menjesal ia dengan sesal jang tak berkeputusan atas kesalahannja jang telah lalu, atas perbuatannja jang tak dengan pertimbangan dahulu itu. Belum pernah ia merasai sesal jang sebesar waktu itu, meskipun telah lama terasa olehnja bahasa ia telah sesat. Belum pemah ia menderita seperti ketika itu, walaupun telah bertahun ia tak mengetjap kesenangan dan bahagia. Tetapi harapan jang besar menimbulkan kekuatannja dan dengan gugup menahan hati berkatalah ia: ,,Sudahlah, Mani, djangan menangis lagi, kakak haus benar, tjarilah air semangkuk". Besar hati Rasmani boleh meninggalkan tempat itu, karena ia telah merasa malu memperlihatkan kelemahannja. Dengan tak mendjawab
sepatah djua berdirilah ia dan pergi kebelakang sekali. Sementara menghidupkan api dan memasak air itu, melajanglah pikirannja kemanamana. Kemasa dahulu ketika ia masih ketjil, masih dibangku sekolah, kepada empat tahun jang lalu, ketika Masrul akan berangkat, kewaktu M asrul beristeri dan lain-lain. Sudah itu teringat pula olehnja isi suratsurat M asrul dari mula sampai jang penghabisan. Bermatjam-matjam pertanjaan memenuhi kepalanja. „Mengapakah ia kemari? Tempohkah ia? Karena sakit? A langkah kurusnja! Putjat sebagai majat. Dimanakah anak isterinja? Ja, A llah, apakah kiranja melihat aku menangis ? Akan kembalikah ia ? A h , apakah sebabnja maka ia tak dapat menahan hatinja?" Sangat marah Rasmani kepada dirinja, karena berlaku lemah itu dan malu ia kepada Masrul dan ibunja, karena ia telah memperlihatkan hatinja. Setelah sedia teh tiga mangkuk, diangkatlah keluar oleh Rasmani, diambilnja kue-kue dan ditjobanja tersenjum sambil mempersilakan Masrul dan ibunja minum. Dalam pada itu ibu Rasmani bertanjalah apa sebabnja M asrul berada di Bukittinggi, dimana anak isterinja, dan lain-lain. Am at besar hati Rasmani mendengar pertanjaan itu, karena sekarang akan berdjawab sekalian pertanjaan jang dikeluarkannja didapur tadi.^ Amat sukar rupanja kepada M asrul akan mendjawabnja, karena lama ia termenung dan tunduk tengadah, baharu keluar beberapa perkataan dari mulutnja. ,,Saja telah berhenti, ’ t&h, dan anak isteri saja di Painan. Saja sekarang akan pulang kekampung". Mendengar itu Rasmani terkedjut^ dan melihat kepada Masrul. M asrul berkata-kata sambil menekur, sehingga tak dapat Rasmani melihat air mukanja. ,,Isteri saja telah saja tjeraikan", kata M asrul bata-bata, ,,dan ia sekarang dengan orang tuanja di Painan". Sesudah ia berkata itu melihat ia kepada Rasmani, dan tampaklah olehnja air mata Rasmani telah berlinang-linang pula. Sebab itu M asrul tak dapat menjambung perkataannja lagi. ,,Apa sebabnja engkau berhenti dan mengapa isterimu engkau tje raikan?" tanja ibu Rasmani lagi. ,,Saja minta sendiri, ’t£k, dan Muslina saja tjeraikan karena beberapa perkara jang penting". Ia mengeluarkan perkataan itu amat lambat dan gugup. Ibu Rasmani jang arif itu mengertilah bahasa Masrul tak suka bertjeriterakan hal itu kepadanja dan ia tahu bahasa hal itu lebih perlu untuk Rasm ani dari untuk dia sendiri. Karena itu berdirilah ia dan pergi kebelakang akan sembahjang asar. Baharu sadja ibunja berdiri bertanjalah Rasmani: ,,Apa sebabnja kakak minta berhenti? Dan mengapa isteri kakak kakak tjeraikan? Bukankah kakak telah berdjandji? D an bukankah bapanja telah pensiun?"
Masrul memandang sedjurus kemuka Rasmani, kemudian baharu ia berkata: ,,Banjak benar pertanjaanmu, Rasmani, biarlah satu-satu kakanda djawab. Memang kakanda telah berdjandji dengan kau, tak akan mening galkan Muslina. Besar Singgalang dan Aderapi, lebih besar penderitaan kakanda, karena akan menepati djandji itu; tetapi kakanda turut, kakanda tepati, karena itu kehendak kau. Engkau suka kakanda melarat, engkau suka kakanda menanggung, sebab itu kakanda serahkanlah nasib kakanda kepada keadaan itu. Berat, Rasmani, amat berat, rasa akan runtuh bahu kakanda karena memikul penderitaan itu. Sekalian nasihatmu jang baik itu, sekalian tanda ketjintaan jang engkau tundjukkan itu, bukanlah menguatkan kakanda membersihkan diri kakak, mendjadi setaioar pengobat kakanda, melainkan sebaliknja. Ia telah mendjadi ratjun jang bisa, jang telah membinasakan darah, benak dan hati kakanda. Kehidupan kakanda bertambah buruk, penderitaan kakanda bertam bah besar. Isteri kakanda bertambah tjerewet. T jatji makinja bertambah banjak. Sekaliannja kakanda tanggung, karena itulah jang kausukai. Pekerdjaan kakanda dikantor tak berketentuan lagi. Badan selalu tak senang, perasaan tak enak, kepala pusing pikiran berkatjau, makan dan tidur amat kurang. Ja, apa boleh buat, itu kehendak adik saja, jang sangat kasih dan tjinta pada saja". Masrul berhenti dan melihat kepada Rasmani sedjurus. Rasmani menekurkan kepalanja kemedja dan menopang kepala itu dengan kedua tangannja. Karena Rasmani tak berkata apa-apa, diteruskan Masrullah tjeriteranja. „D alam pada itu kakanda mendapat seorang sahabat jang sebenarnja tulus dan ichlas. Ia guru kepala di Padang, naik dari guru bantu di Painan. Engku Muhammad Rasad mentjoba memberi nasihat isteri kakanda, dan mendekatkan diri kepada kakanda, sehingga berkuranglah buruknja kehidupan kakanda. Kakanda telah banjak pula dirumah dan tak berapa lagi pergi kekomidi gambar, rumah kopi dan lain-lain. Dua bulan jang lalu kami dapat surat mengatakan bapa Muslina dapat pensiun, karena sakit-sakit dan ibunja penjakitan pula. Dengan taktik engku Rasad dapatlah ia menggerakkan hati Muslina, supaja pulang ke Painan akan mengurus orang tuanja jang sakit-sakit itu. Sesudah Muslina pulang, kakanda pindah kerumah engku Rasad. Meskipun kehidupan kakanda telah berubah benar, tetapi karena badan kakanda sangat sakit-sakit dan pikiran tak tetap djua, pekerdjaan kakandapun tak baik djalannja. Kakanda takut nama kakanda akan buruk, karena selama ini boleh kakanda katakan, sekalian pekerdjaan kakanda baik dan sekalian induk semang kakanda bersenang hati atas diri kakanda. Sebab itulah kakanda minta berhenti, dan lima hari jang lalu kakanda terima surat berhenti kakanda itu. Ini dia! Kakanda diperhentikan dengan hormat. Ketika surat permintaan itu kakanda buat, kakanda buat pula surat kepada Muslina mentjeriterakan maksud kakanda itu. Mula-mula kakanda dapat
surat mengatakan ia sesuai akan maksud kakanda itu, katanja baik untuk kesehatan kakanda, dan tiga hari jang lalu kakanda terima lagi surat dari orang tuanja meminta Muslina ditinggalkan, karena tak mungkin ia akan menurut kakanda keBondjol, karena mentua kakanda suami isteri sakit-sakit. Kemarin kakanda buatlah surat tjerai untuk M uslina dan kakanda kirimkan ke Painan dan hari ini engkau lihat kakanda dihadapanmu. Engkau lihat, Rasmani, bahasa kakanda ada menepati djandji dengan adinda itu. Besok akan kakanda ulang tjeritera ini dihadapan seseorang jang djuga mengaku kasih akan kakanda dan berlaku keras seperti engkau, jaitu ibuku. Rasmani, sekarang telah kaudengar semuanja, dan katakanlah kepada kakanda apa pertimbanganmu tentang perbuatan kakanda itu” . Rasmani tak mendjawab sepatahpun, dadanja sesak, hatinja penuh menahan tangis jang tak hendak berhenti-hentinja keluar. Amat ingin Masrul akan meminta Rasmani ketika itu akan djadi isterinja, akan tetapi ditahannja hatinja, malu ia kepada Rasm ani dan kepada dirinja sendiri, karena ia tak bepekerdjaan, sedang Rasmani sendiri makan gadji. Terasa olehnja bahasa permintaannja tak akan ditolak Rasmani, tetapi itulah jang hendak dielakkannja. Sebentar kemudian keluarlah ibu Rasmani. Pertjakapan mulai baik djalannja. Rasmani dan M asrul mulai tertawa mendengar olok-olok ibu jang peramah itu. Ibu itu menanjakan dimana M asrul akan bermalam, karena M asrul tentu tahu bahasa ibu Rasmani tak dapat meminta M asrul bermalam dirumahnja. Pukul tengah sembilan malam sesudah sembahjang dan makan malam, keluarlah Masrul dari rumah Rasmani dengan hati lapang, harapan baru. Harapan akan bahagia jang menantinja. Ia pergi kerumah kenalannja orang Bondjol djuga akan menumpang bermalam. Pagi-pagi benar sebelum Rasmani pergi kesekolah, M asrul sudah datang pula akan memberi selamat tinggal. Pertjeraian itu biasa sadja, karena keduanja merasa bahasa tak berapa lama lagi mereka akan bertemu pula dan barangkali. . . . Tetapi Rasmani amat heran, mengapakah Masrul tak membuka sedikit djua tentangan tjintanja dan tak sedikit djua memperlihatkan bahasa ada pertalian mereka lain dari persahabatan dan persaudaraan. Karena ia seorang perempuan, didjaganja benar supaja mulut dan perbuatannja djangan telandjur. S e l a s ih , Kalau tak untung.
KEHILANGAN MESTIKA Perusahaan kami di Palembang djauh lebih madju dari pada di Betawi. Betawi, negeri jang terdesak oleh segala mata pentjaharian, sedang •Palembang negeri dagang jang kaja. Dalam pada itu mertuaku sudah berkali-kali mengadjak supaja kami pindah, tinggal serumah dengan beliau, ipar-ipar dan biras. Mulamula aku tak mau. Akan tetapi, sebab perkataan jang manis dan lemahlembut itu anak kuntji hati segala manusia, hatiku jang memang tak kuat kuntjinja mendjadi terbuka. Setelah mendapat izin dari saudaraku sendiri, pindahlah kami. Permulaannja, sekalian kaum kerabat suamiku baik dan manis laku kepadaku. Lama-kelamaan, sebab maksud mereka hendak mendjadikan aku budak mereka tak kesampaian, musnalah sekalian perkataan dan perbuatan jang manis itu. Hanja mertuaku sadja jang tak berubah. Rupanja kehidupan suami isteri tidak akan beruntung, apabila mereka tinggal berkumpul bersama-sama ipar dan biras. Meskipun hatiku pedih bukan buatan, sekaliannja itu tak mau aku bajangkan. Aku tahankan semuanja. Aku tertawa, bersuka, dengan hati jang hantjur luluh. Telah beberapa kali kukatakan kami akan pindah, tetapi mertuaku meminta dengan sangat supaja diurungkan. Untunglah tak lama kemudian bapa mertuaku meninggal dunia. Karena pusaka akan dibagi, tjerai-berailah anaknja dan aku dapat menjampaikan maksudku. Bersama dengan ibu mertuaku, pindahlah kami kesebuah rumah jang hanja tjukup untuk kami bertiga sadja. Pada masa itulah aku merasa beruntung sedikit, sebab aku berumah tangga sendiri. Aku seolah-olah mendjadi ratu keradjaan rumah tanggaku itu. Aku jang mesti mendjaga tertib damai didalamnja. Impianku setjara seorang perempuan telah sampai. Untuk menambah pendapatan, aku bekerdja pada sebuah perguruan partikulir. Beberapa lamanja kami hidup begitu didalam kerukunan dan kesenangan, musim malaise bertambah hebat djuga. Bukan sedikit perusahaan jang djatuh. Ribuan kaum buruh djadi menganggur. Per usahaan ipar dan suamiku tak luput pula. Pendapatan makin sehari makin berkurang. Reclame disebarkan, propaganda diluaskan, tetapi hasilnja tak djuga ada. Achir-achimja terpaksa ditutup sadja. Suamiku mendjadi seorang penganggur. Mertuaku selalu sadja sakit-sakit hingga ongkos dokter dan obat amat besar. Sebab suamiku ada djuga mempunjai surat idjazah untuk mengadjar, kuminta kepada pengurus perguruan tempatku bekerdja, supaja aku digantikan sadja oleh suamiku. Permintaanku itu diperkenankan. Suamiku bekerdjalah sebagai seorang guru dengan gadji lima puluh rupiah. Uang ini tentu sadja djauh dari pada tjukup. Setiap bulan terpaksa kami mengeluarkan uang simpanan untuk menutup kekurangan itu. Mula-mula aku bermaksud akan kembali sadja ketempat kelahiranku, sebab ongkos dan keperluan hidup disitu djauh lebih sedikit dari
pada di Palembang. Tetapi mertuaku tak mau. Katanja ia terlahir, hidup sampai tua terus di Palembang. Matinja djuga mau disitu. Kam i minta supaja ia tinggal sadja pada salah seorang anaknja jang lain, sedang ongkos hidupnja tiap-tiap bulan kami kirimkan. Inipun tak disetudjuinja. Katanja ia mau sehidup semati dengan kami. Ja, alangkah sukamja kami pada waktu itu. Tetapi, seperti telah mendjadi undang-undang alam, sesudah hudjan datang panas, setelah dukatjita tiba sukatjita, begitulah pula halnja dengan kami. Dengan kehendak Tuhan jang pengasih dan penjajang, meninggallah ibu mertuaku dan kami terlepas dari sekalian ikatan. T ak berapa lama kemudian dari pada itu aku mendapat kawat dari paman Ridhan meminta aku datang kepadanja, sebab ia sakit keras dan ada sesuatu perkara jang amat penting akan dikatakannja kepadaku. Aku pergi, kudapati ia dalam keadaan jang menguatirkan. Ketika ia tahu, bahasa aku telah tiba, dibukakannja matanja dan dimintanja aku dekat-dekat kepadanja. Orang lain dimintanja keluar semuanja. Kami tinggal berdua sadja. Pada sa'at itulah ia mengaku kesalahannja. Ialah jang seolah-olah membunuh Ridhan, sebab karena perbuatannjalah maka Ridhan meninggal. Sekarang ia menjesal benar dan sebab barangkali ia takkan lama lagi hidup, dimintanja supaja aku suka mema'afkan kesalahannja. Kemudian dikeluarkannja dari dalam badjunja seputjuk surat, diberikannja kepadaku. Didalamnja tersebut, bahwa sekalian peninggalan Ridhan diserahkannja kepadaku. Pusaka jang kudapat itu berupa uang kontan beberapa ribu rupiah dan rumah beberapa buah. Tentulah kami amat girang. Kam i jang didalam kesempitan, tiba-tiba mendapat kekajaan jang sebanjak itu. J a ---- alangkah beruntungnja. Dengan uang itu, kami tjoba lagi membuka perusahaan baru. Rupanja bintang kanii masih terang. Perusahaan itu madju. Didalam waktu beberapa tahun sadja, kami sudah boleh dikatakan mendjadi orang jang berada. Bahagia suami isteri tidak akan sempurna, apabila mereka didalam perkawinan tidak mendapat anak. Anak jang akan mendjadi benih keturunan, jang akan menggantikan hak orang tua didalam segala hal. Telah lebih dari sepuluh tahun kami hidup setjara suami isteri, tetapi biar bagaimanapun keinginan kami akan mendapat keturunan, tidak djuga disampaikan Tuhan. Suamiku sudah pula mulai tjemas. Apakah guna sekalian kekajaan kita, djikalau tak ada darah daging kita jang akan mewarisinja nanti. Rumah sunji, sebab. tak ada kedengaran suara anak ketjil jang bergirang dan menangis. Makin sehari kurasa bahagia kami makin berkurang. Tali jang akan mengekalkan kesenangan kami tak ada. Muka suamiku tak penuh lagi bertjahaja. Bukankah ia ingin mempunjai anak? T e t a p i.... ja, apa boleh buat! Aku tak dapat mengadakan keinginannja itu. Pada suatu hari ia datang kepadaku. Ditjeriterakannja bagaimana susahnja nanti, apabila kita tak ada berketurunan. Sebab itu ia meminta
kepadaku akan kawin sekali lagi dengan maksud akan mendapat anak. Setelah kupikir benar-benar kuizinkan permintaannja itu, asal sadja ia berdjandji anak itu nanti diserahkannja kepada djagaanku sedari lahirnja. Dua belah pihak setudju dan tak lama kemudian kawinlah suamiku sekali lagi, dengan seorang gadis jang baru sadja berumur tudjuh belas tahun. Permmtaan suamiku akan membawa maduku itu sama serumah, kuperkenankan. Dengan demikian seminggu sesudah perkawinan itu pindahlah ia kerumahku. Kawan-kawanku keheranan melihat perbuatanku. A da pula jang menanjakan bagaimana rasanja bermadu. Bagiku tak sebuah djuga. Maduku itu kupandang sebagai saudara bungsuku. Iapun pandai pula membawakan dirinja sehingga aku tak sedikitpun menaruh hati bentji atau tjemburu kepadanja. Lebih kurang setahun sesudah perkawinannja, ia melahirkan seorang anak laki-laki jang amat sehat. Atas perdjandjian kami dahulu, akulah mengurus baji itu. Suamiku bukan buatan girangnja. Tampak olehku seolah-olah ia mendjadi bertambah muda. Tetapi sekarang keadaan kami sudah mulai berubah. Suamiku mulai tak memperdulikan daku. Madukupun sudah pula mau mengatasi. Aku merasai sekaliannja itu, tetapi aku tak peduli. Kupikir aku sudah tua. Ia masih muda. Dengan begini perhubungan kami makin sehari makin genting. Jang menggirangkan daku, hanjalah anak tiriku itu sadja. Badannja makin sehari makin besar. Pergaulannja lebih banjak dengan daku dari pada dengan ibunja sendiri. Tiap-tiap ibunja dan suamiku pergi pesiar kesana kemari, kami tinggal berdua sadja dirumah. Setelah ia pandai berkatakata, manakala ditanjakan orang mana ibunja, akulah jang ditundjukkannja, sehingga sekali-sekali, apabila ibunja sendiri mendengar pula, ia memandang kepadaku dengan pandang jang dapat menaikkan darah. Sekali-sekali aku sudah pemah mulai bergaduh. Makin lama makin kerap, dan kesudahannja, sebab maduku tak tahan lagi, ia pindah berumah lain. Waktu itu anak tiri jang seakan-akan mendjadi anak kandungku sendiri itu telah berumur kira-kira empat tahun. Ia tak mau menurut ibunja tetapi lebih suka mengikut aku. Ibunjapun tak pula memaksa. J a ____ boleh djadi ia tahu. Aku tak dapat berkuasa atas anak itu. Sedang ia dimana perlu, boleh menggunakan kekuasaannja. Suamiku, meskipun ia berumah dua, tetapi ia bersifat adil. Penghargaan dan hormatnja kepadaku masih tetap sebagai semula. Entah aku mempunjai sifat tjemburu atau tidak, tak lah kuketahui benar. Tetapi sekali-sekali, manakala ia pergi kerumah maduku, aku merasai sedih jang amat sangat. Lama-kelamaan, sebab suamiku sudah mulai tak mem perdulikan daku lagi, kupandang maduku itu sebagai perempuan jang bengis, tak tahu akan keadilan, tamak, suka merampas hak orang lain. Hampir tiap-tiap hari ada orang datang kerumahku mentjeriterakan keadaannja. Hal itu amat menjakitkan hatiku. Tak pula kurang jang mengandjurkan, supaja aku meminta ditjeraikan. Karena aku sudah tjinta kepada suamiku, sekalian perkataan itu tak kupusingkan. Meskipun beberapa tahun pada permulaan perkawinan
kami aku tak sedikitpun sajang kepadanja, tetapi dalam waktu jang achir ini aku sudah dapat membinasakan tjintaku kepada Idrus, dan pindah mengasihi dia. Sekarang, sesudah kasih-sajang itu lekat, selekat-lekatnja, datang pula bidadari dunia itu merampasnja. Kadang-kadang aku menjesali diriku amat sangat. W aktu itu pula kedengaran olehku suatu suara mengatakan: ,,Itu salahmu sendiri. Mengapa suamimu dahulu engkau izinkan beristeri lagi? Engkau jang memberikan kesempatan kepadanja untuk beristeri pula. Betul maksudnja dan maksudmu pada ketika itu amat mulia, jaitu akan mendapat keturunan, tetapi engkau lupa, manusia itu tinggal manusia djuga. Ia dikuasai oleh hawa nafsu dan kemauan dunia. Dengan sekedjap sadja hati dan pikirannja dapat bertukar. Sebab itu djangan engkau menjesal. Jang telah kedjadian tinggal kedjadian. D jaga sadja waktu jang akan datang” . Mendengar suara ini kutetapkanlah hatiku. A ku tak mau lagi berhubungan dengan suamiku. Sebentar itu djuga kutulis surat kepadanja, supaja ia pada malam itu datang kepadaku, sebab ada suatu perkara penting jang akan diputuskan pada malam itu djuga. Kusuruh seorang gadjianku mengantarkan surat itu kepadanja. Kebetulan sadja pada malamnja ia datang. Kuadjak ia masuk kekamar tetamu dan disitulah kami berbitjara. Beberapa lamanja kami berdiam diri sadja, tetapi kemudian kuberanikan hatiku, lalu berkata: „Rusli, sekarang aku akan mengeluarkan pikiranku. Engkau setudjui atau tidak aku tak peduli. A ku merasa bahasa kita tak dapat lagi hidup bersama-sama sebagai suami-isteri. Sebab itu apa gunanja kita masingmasing membiarkan diri kita dikebati oleh tali perkawinan? M arilah kita berdamai, melepaskan diri kita dari ikatan jang telah kita buat belasan tahun jang lalu. Kita sama-sama menanggung. Kesenangan dirimu tak sempuma. Akupun begitu pula. Oleh karena itu kuminta sekali lagi kepadamu, supaja kita membebaskan diri kita dengan damai . Sedjurus lamanja masing-masing kami berdiam diri, kemudian berkatalah suamiku: ,,Mengapa engkau berkata begitu? Sesungguhnjakah itu jang kaukehendaki daripadaku? Ja, aku memang telah membuat suatu kesalahan. Dan sekarang, tak pula aku mau mengikati engkau lagi. Sedjak dari sekarang engkau bebas dari kekuasaanku. Engkau boleh berbuat sekehendak hatimu, kalau sekiranja ini jang kaukehendaki. Segala jang ada dirumah ini, hakmulah. Uangmu jang dahulu kita pakai untuk modal, kukembalikan dua kali lipat. Dengan begini, aku pertjaja kehidupanmu tidak akan terlantar. Esok pagi aku pergi kepada penghulu mentjeriterakan hal ini. Bagaimana? Setudjukah engkau?" ,,Ja, kusetudjui sekaliannja", djawabku. ,,A ku mengutjapkan banjak terima kasih atas sekalian jang boleh kuterima” . ,,Tak perlu engkau meminta terima kasih, aku jang banjak berutang budi kepadamu” , katanja pula. ,.Sekarang aku minta permisi pulang” . Ia turun, akupun masuk tidur. Keesokan harinja sesudah surat
•tjeraiku kuterima, berkemaslah aku, sebab aku mengambil keputusan akan kembali sadja kenegeriku. Sekalian barang-barangku kulelang. Setelah sekalian urusan selesai, berangkatlah aku pada suatu petang Sabtu dengan kapal Thedens k e . . . . Muntok, negeri tempat kedjadianku. Besoknja, pagi-pagi Minggu, sampailah. Karena aku telah lebih dahulu berkirim surat kepada seorang saudaraku mentjeriterakan haiku, maka banjak keluargaku jang datang mendjemputku kepelabuhan. Masingmasing memandang kepadaku dengan pandang jang mengandung keheranan. Akan daku, kubesarkan hatiku. Kutjoba mendjemihkan mukaku. Aku tersenjum, membalas senjum siapa sadja dengan tak memperhatikan mukanja. A ku bersuka dengan hati didalam jang amat pedih, diiris oleh pertjeraian dengan suami jang telah ditjinta dan anak tiri jang dikasihi. Ketika kami sampai dirumah, bermatjam-matjamlah pertanjaan orang kepadaku, akan tetapi sekaliannja aku elakkan dengan alasan aku masih penat dan mengantuk, ingin hendak tidur dahulu sebentar. A ku berdjandji, bahwa nanti akan kutjeriterakan semuanja. Tetapi biar bagaimanapun kutjoba hendak tidur, tidak djuga dapat. Mataku terpedjam, hati dan pikiranku terbang melajang, menjeberangi lautan, mendaki gunung. Matjam-matjam sadja jang terlihat olehku. Kesudah-sudahannja, kira-kira pukul empat petang, berangkatlah aku, berlagak pura-pura seperti bangun dari tidur, terus mandi bertukar pakaian jang bersih. Orang jang datang akan melihat dan mendengar tjeriteraku bukan sedikit. Ketika aku keluar dari bilikku, kulihat Aniah datang bersama suami dan anaknja laki-laki jang hampir seumur dengan anak tiriku jang kusajangi. Melihat itu dengan tak sengadja terkenang dan terlihat-lihat olehku akan dia. A ir matakupun mengalir dengan tak diketahui. Aku kembali lagi kebilikku. A ir mataku kukeringkan baik-baik supaja djangan kelihatan bekas menangis. Kemudian aku keluar pula dengan senjum jang dibuat-buat. Delapan belas tahun aku meninggalkan negeriku dengan tak pemah berkirim surat kepada siapapun. Menerima djuga tak pemah. Rupanja dalam waktu itu banjak benar jang telah kedjadian. Anak-anak jang dahulu kutinggalkan masih ketjil-ketjil banjak jang sudah mendjadi ibu. Si Aniah jang ketika aku berangkat dahulu baru duduk dikelas tiga H.C.S., sekarang telah beranak dua. Gadis-gadis baru bukan sedikit tak kukenal, sebab dahulu, ketika aku dinegeriku, mereka belum terlahir. Dengan begini terasalah kepadaku senjatanjatanja, bahasa aku telah berum ur. . . . sudah masuk orang tua.
H
D re w e s,
Mentjari ketetapan baru.
a m id a h , Kehilangan mestika.
8
KEHILANGAN MESTIKA Sepoi berhembus angin menjedjuk diri Kelana termenung Merenung air Lintjah bermain ditimpa sinar. Hanja sebuah bintang Kelip kemilau, T ertjapak dilangit Tidak berteman. Hatiku, hatiku, Belumkah djuga sedjuk dibuai baju, Girang beriak mentjontoh air, A tau laksana bintang biarpun sunji, Tetap bersinar berbinar-binar, Petundjuk nelajan disemodera lautan? A . K a r t a h a d im a d j a .
B A G I K E K A S IH Aku memetik bunga melati, Untuk sunting dalam sanggulmu. A ku menggubah kesuma hati, Untuk asri pada djiwamu. Dalam Untuk Dalam Untuk
kebun kutanam selasih, penglipur rama-rama. hati kutanam kasih, dewi badan dan njawa.
Sa n u si P a n e .
HANJUT Gelanggang akan diteruskan sampai tiba waktu kaw in. . . . Akan tetapi sorak-sorai orang tiada riuh-rendah benar lagi. Sabung karena bersuka-ria, karena pelesir dan beriang-riang, makin lama makin berkurang-kurang. Jang tinggal di gelanggang lagi hanjalah djuara main sadja, — orang berdjudi berhabis-habisan. Radja-radja dan orang besarbesar sudah banjak jang bermohon diri pulang kenegeri masing-masing. Jang ketjewa, jang ditolak permintaannja, berdjalan dengan sakit hati. Jang berasa disukai oleh puteri Ambun Suri, tetapi enggan membalas suka atau tjinta itu, berlaku kurang peduli sadja. Enggan, — sesungguh nja takut, karena ia telah mendengar kabar angin lebih dahulu, bahwa sultan tua sudah menjuruh Muhammad Sjah meminang puteri jang kaja itu. Hawa nafsu! Demi didengar puteri Kemala Sari, isteri Muhammad Sjah, kabar pertunangan itu, bukan buatan sakit hatinja. Ia sangat kasih kepada suaminja. Tiba-tiba ia — suami itu — direbut oleh perempuan la in . . . . Pada pikirannja, tiada patut sekali-kali puteri Am bun Suri berbuat demikian. Baik karena terpaksa, karena keras kehendak laki-laki, baik karena apa djuapun, pada perasaan dan pemandangannja Am bun Suri bersalah dalam hal itu: merebut suami orang! Apalagi puteri Am bun Suri bukan tiada kenal kepadanja. Semasa ketjil mereka sepermainan. Sudah sehina semalu, — tiba-tiba Ambun Suri berlaku bagai menggunting dalam Upatan akan dia! Djika ia tahu akan terdjadi serupa itu, nistjaja ia tiada mau kawin dengan sultan dahulu, walau ia takkan bersuami selama-lamanja! ,,Sekarang apa dajaku?” pikir Kemala Sari dengan masgul bertjampur geram. ,,Akan bermadu dengan dia? Tak mungkin! Ia lebih kaja dari pada aku, lebih berkuasa; ajahnja radja dalam negeri. Tentu ia dilebihkan sultan dari aku, — meskipun aku isteri tua! Lama-kelamaan tentu aku dibuangkan, ditjampakkan oleh sultan. Wahai, apa dajaku, karena orang tuaku tiada berada, tiada kaja seperti ajah-bundanja ?" Ia termenung sebentar. ,,Aku akan bertjerai dengan djundjunganku?” katanja pula dengan terperandjat dan berang. ,,Tidak, tak ada malu sebesar ini — suami direbut orang! Takkan terderita olehku. Akan tetapi apa akalku akan menghapuskan malu itu ?" Sekonjong-konjong ia tersenjum, tetapi amat buruk kerenjut bibim ja dan masam mukanja. Rupanja ada timbul suatu pikiran jang tak baik didalam kalbunja. Dengan segera ia tegak berdiri, pergi membuka lemari besar, akan mengambil pakaian dan perhiasannja jang indah-indah. Ia berpakai-pakai dan berhias. Setelah selesai semuanja, iapun turun dengan sembunji-sembunji kehalaman dan berdjalan menudju keKampung Hulu beserta seorang dajang kepertjajaan. Ia pergi kerumah puteri Ambun Suri, akan memperlihatkan hati jang
HO
H A N JU T
sutji dan muka jang djemih. Seakan-akan suka-rela ia bermadu dengan sahabat lama itu. M aka iapun diterima oleh Am bun Suri dengan sukatjita dan manis. D an karena baik tutur kata Kemala Sari, karena ia amat pandai berminjak air dan menjimpan rahsia hatinja, sedikitpun Am bun Suri tiada menaruh sjak wasangka kepadanja, sedikitpun tiada berubah rasa persahabatannja. Adjakan Kemala Sari akan pergi mandi berlangir diterimanja dengan besar hati dan riang. Sepeninggal djamu itu, dengan segera puteri Am bun Suri menjuruh Kembang Manis memanggil dajang-dajang empat puluh empat orang, akan mengiringkan dia ketepian pada keesokan harinja. Semalam-malaman sekalian dajang itu asjik dengan kerdja masingmasing. Ada jang mengerat limau, ada jang memipis kasai. Setengah bersuka-suka ramai, bunji gelaknja berderai-derai; setengah berpantun berbalas-balasan, sedang bunji tjelempung Djawa beragam-ragam dan bunji gung berdengut-dengut. Tengah malam puteri Am bun Suri memberi ingat kepada Kembang Manis akan mendjagakan dia pagi-pagi benar, supaja ia djangan mungkirkan djandji dengan puteri Kemala S a ri: hendak berlangir dan berlimau ketepian Ulak Damar. Tiada beberapa lama antaranja ajampun berkokok bersahut-sahutan, — makin lama makin ramai. Fadjar telah menjingsing disebelah timur. Baharu sekali murai berkitjau, berserulah Kembang M anis kepada tuannja, jang tengah tidur njenjak diatas andjung kemuliaan: „ 0 , mak atjik hamba, djagalah; hari telah siang” . Seketika Ambun Suri berbangkit dari peraduannja, lalu dibukanja pintu andjung. Ia memandang kehalaman. Atap lumbung katja kilaukilauan kena sinar bintang timur jang telah mulai pudar. Hawa pagi jang sedjuk-segar bertiup kebadan lampai, jang berdiri laksana bidadari kajangan dimuka pintu itu. Lapang dada Am bun Suri rasanja, hilang sama sekali kantuk jang masih bergantung dikelopak matanja. Dengan tjepat, sehingga terdajuk pinggang jang lemah, puteri djelita itupun berpaling kepada dajangnja. ,.Kembang, o adikku” , katanja dengan senjumnja, ,,ambil pakaian, sediakan kain badju dan tjintjin-gelangku. Kita berdjalan sekarang ini, sebelum orang banjak datang. Kita akan lalu kegelanggang, terus ketengah balai". Sementara Ambun Suri mengenakan kain dan badjunja, maka manik dan tjintjin, gelang dan subangpun sudah diletakkan oleh dajang jang tjekatan itu dihadapannja. Setelah sempuma lekat pula perhiasan jang indah-indah itu, turunlah ia ketengah rumah. Dajang-dajang jang empat puluh empat mengiring semuanja. Langkah diandjur kepangkal, lalu dimulai perdjalanan. Melenggang ia kekiri dan kekanan, menderinglah tjintjin didjari, tingkah bertingkah genta gelang dan menjambar elang ditjutjuran. Panas antara ada dengan tiada, hawa masih sedjuk rasanja, maka puteri djelita itupun terus berdjalan dalam lingkungan gadis-gadis jang bersuka-sukaan dengan tiada berkeputusan. M akin lama makin djauh perdjalanannja, hampir sampai pada suatu tempat perhentian.
P E P P U S T \ K 4 A If
Ketika tiba di A ra Ketunggalan, bertanja-tanjalah dajang-dajang sama sendirinja: ,,Siapakah jang duduk disitu? Belum patut ia duduk seorang diri, berduapun belum lajak djuga; salah roman dipandang orang” . Sesungguhnja ketika itu adalah kelihatan seorang perempuan muda jang indah parasnja duduk dibawah sebatang pohon ara, seakan-akan bermenung rupanja. Kata puteri Ambun Suri: „H ai dajang-dajang, djangan kalian banjak sebut; itulah puteri Kemala Sari, dengan dia kita akan berdjalan” . Sesa'at antaranja sampailah mereka kedekat puteri itu. Am bun Suri bersalam dengan dia, sedang dajang-dajang menjembah dengan ta'zim. Mereka makan sirih sekapur seorang, akan obat haus kelaparan. Setelah itu berkatalah puteri Kemala Sari, udjamja: ,,Wahai puteri Ambun Suri, dengarkan pantun dengan ibarat: Mengapa matahari tak kundjung petang, mengapa kita berdjandji, adik tak kundjung datang?” Djawab puteri Ambun Suri: ,,Bukannja hari tiada petang, panggalan tidak kundjung pantai. Bukannja berdjandji tiada datang, berdjalan tidak kundjung sampai” . Dengarkan sebuah lagi, Kak Sari, supaja dua pantun seiring: ,,A ra nan empat puluh batang, balam diatas telang danta. Hamba dinanti telah datang, elok berdjalan kita djua” . Sahut Kemala Sari pula dengan tjerdiknja: ,,Kalau begitu kata adik, dengarkanlah hamba katakan. Ada sebuah jang merasa dalam hati: salah angkuh dan salah periksa, salah roman dipandang orang: adik berdjalan dengan pengiring, lengkap dengan dajang-dajang, tetapi hamba seorang diri sadja. Oleh sebab itu nantikanlah hamba disini; hamba pulang dahulu mendjemput si Kembang hamba pula” . Ambun Suri: ,,Tak usah kak Sari berbalik pulang. Tentang pengiring itu, ambillah pengiringku ini seperdua” . Puteri Kemala Sari berdiam diri sedjurus. Ia mentjari daja-upaja rupanja. ,,Adat dilaut jang seperti itu: hidup perdua-memperduai. Akan kita ini orang daratan, tiada berpakai adat sedemikian” , katanja dengan agak tadjam. Ambun Suri berpaling kepada dajang-dajangnja, seraja berkata: „Pulanglah kamu sekalian; hingga ini sadja aku diiringkan” . Sekalian dajang itu berbalik pulang dengan patihnja, ketjuali si Kembang Manis. Maka kata Ambun Suri pula: ,,Hari bertambah tinggi djua, kak Sari, marilah berangkat” .
,,Pikir pendapatan hamba, Am bun Suri” , kata Kemala Sari seraja melajangkan pandang kepada Kembang Manis, jang tinggal tak berteman lagi, },si Kembangpun tak guna mengikut. Baik djuga dia berbalik pulang; dia penanti alat datang. Djika ia pergi djuga, datang djamu djauh dan dekat, siapakah jang akan membelahkan pinang, siapakah jang akan membawakan sirih?” Dajang jang setia itu terkedjut, lalu memandang kepada tuannja dengan mata jang membajangkan perasaan kalbunja. Berat hatinja akan membiarkan Ambun Suri pergi berdua sadja dengan puteri jang tak lurus itu. Akan tetapi Ambun Suri berbuat seolah-olah tiada mengetahui perasaan dan kekuatiran h ati‘ dajang jang arif itu, sebab ia berkata dengan pendek: ,,Ja, lebih baik engkau pulang djuga” . ,,Ampun hamba, atjik” , sembah Kembang Manis, ,,tak senang hati hamba berbalik, hamba hendak mengikut djuga dengan atjik” . ,,Kembang” , kata Ambun Suri dengan berang, ,,sekali aku berkata, elok kauturutkan sadja. Djangan engkau berpandjang bitjara, melambatkan kami berdjalan” . ,,Ampun atjik” , udjar si Kembang pula dengan sesungguh-sungguh hatinja, „hamba bermimpi malam tadi, mimpi hamba buruk benar. Rasanja andjung kemuliaan tenggelam, djundjungan sirih rebah, lumbung tertangkup dan kerbau besar mati” . Ambun Suri tersenjum. ,,Pentjemas benar engkau ini, Kem bang” , katanja. ,,Mimpi baik kaukatakan buruk. Pada hal mimpimu itu lurus benar; ta'bim ja: Andjung kemuliaan ha' rasa tenggelam, alamat anak buah kita akan naik, kembang biak; djundjungan sirih rebah dan lumbung tertangkup, tandanja padi akan mendjadi; kerbau besar mati, alamat kebesaran ada pada kita. Sebab itu pulanglah engkau; usah merintang aku berangkat” . ,,Wahai atjik, dengarkan djua kata hamba: Selindit mati tertatal, mati terpulut dalam padi. Sedikit tuan akan menjesal, djika tak dimulut dalam hati. Hilir orang kegedung madat, padi bermanik-manik djua. Orang 'lah njata berVtikat atjik berbaik budi djua. Berbawal berpunting tidak, berpepat udjung penggalan. Asal ditentang achir tidak, mudarat djua pekerdjaan. Dari Rum kebenua Tjina, kebarat djalan kebandar Padang. Seukur mata dengan telinga mudarat tidak atjik kenang” .
Puteri Ambun Suri merentak dan berkata dengan berang: ,,Djangan meragu engkau disini; ajuh, pulang!" mDjika begitu titah atjik, masakan hamba akan ingkar! Apa boleh buat” . Maka iapun menjembah, lalu berbalik pulang dengan hati kuatir dan tjemas. ,,Sekarang” , kata Ambun Suri kepada temannja, ,,mari kita berangkat, kak Sari” . Kedua puteri jang indah molek itupun berdjalan dari A ra Ketunggalan, sambil bertjakap-tjakap dengan suka dan riang. Bagaimana perasaan jang sebenar-benamja didalam hati masing-masing, sedikitpun tiada terbajang pada air mukanja jang tenang dan djemih. M ula-mula dilaluinja kaju jang besar, sudah itu aur jang kuning dan setelah lampau pula dari gelapung tjondong, mereka itupun sampai ketempat jang ditudjunja: tepian Ulak Damar sudah terbentang dihadapannja. Dipinggim ja kelihatan batu kerang mendjodjol, ditengahnja kerang melintang. A im ja keruh bagai air kerak, warnanja senam alamat dalam. Setiba disitu, mereka itupun mulai meramas limau, lalu berlimau keduanja. ,,Ambun Suri” , kata puteri Kemala Sari kepada temannja, ,,lebih baik berganti-ganti kita mandi. Gelanggang sedang ramai, bangsat banjak sekarang ini. Supaja kita djangan binasa disini, biarlah hamba mandi dahulu; pandangi oleh tuan bangsat lalu” . Iapun masuk kedalam air, mandi, serta berketjimpung kehilir dan kehulu dengan kaki tangannja. Amat deras dan ramai bunjinja, sehingga kedengaran sampai kegelanggang. Memang, djuara dan djenangpun berbisik-bisik dengan senjumnja: ,,Hm, kalau si tjongkak sedang mandi, kedengaran ketjimpung ditepian” . Dan setelah puas Kemala Sari mandi, iapun keluar dan berkata kepada kawannja: ,,Taruhlah padi dalam puan, sedang hamba berkain muri. Mandi pula malah tuan, supaja hamba bermain budi” . Sahut puteri Ambun Suri: ,,Orang menjirat ditepian, surat terletak dalam padi. Ingat-ingat merintang ikan, sementara hamba mandi” . Dengan segera dilurutnja tjintjin dari djarinja, dilipatnja kain dan badju, lalu disusunnja didalam mundam semuanja. Maka iapun turun ketepian, mandi berketjimpung pula. Lebih hebat bunjinja dan lebih banjak ragamnja dari pada ketjimpung puteri Kemala Sari tadi. Ia ber ketjimpung tjara Bangkinang, jang disela-sela dengan ketjimpung Batanghari. Ada dua matjamnja, turun-naiknja: Kehilir ketjimpung kaki, terkedjut lari ikan besar; kehulu ketjimpung tangan, berkeliaran lari garing, tertegun renang ikan kulari, mendudu-dudu anak pantau, hanjut dibawa alun keseberang.
Sedang Ambun Suri mandi sedemikian, sedang ia lalai-Iengah diaju dibuaikan bunji ketjimpungnja jang beragam-ragam itu, puteri Kemala Sari mendjalankan akal-budi dan tipu-muslihatnja. Ia hendak membinasakan bakal madunja. Lambat-lambat ia berdjalan ketepi pasir, kedekat mundam Ambun Suri terletak. Sekonjong-konjong ia berbuat seakan-akan tersandung: disepakkannja mundam itu sekuat-kuat tulangnja, lalu terlajang kedalam air. H anjut___ Setelah itu iapun segera beralih tegak ketempat lain, keatas batu kerang jang terdjodjol. Tiba-tiba darah Ambun Suri tersirap, berdebar-debar hatinja. Dengan tjepat ia berlari keluar; maka dilihatnja mundam tidak ada lagi. Ia putjat, sendi tulangnja gemetar, lalu berkata kawannja, atau lebih baik dikatakan: musuh dalam selimut itu: ,,Hai, Kak Sari! Kita sekampung sehalaman, kita sama besar sepermainan, mengapa kakak berlaku seperti itu ? Kemana mundamku tadi ? Kalau tidak karena olah perangai kakak, tak mungkin mundamku hilanglenjap. Kita hanja berdua disini". >»Ha, ha” , gelak Kemala Sari dengan kerenjut bibimja, sehingga hilang rupa katjantikannja: ,,Lurus-lurus gunting tjelana, bukan ha* gunting sibar badju. Lurus-lurus mata dakwa, hamba mendjawab boleh tentu” . Djawab Ambun Suri dengan geram: ,,T ak tali ketaja lagi, bakau diladang rebah tegak. Tak kami pertjaja lagi, kakak bersumpah sambil gelak” . Kemala Sari: ,,Anak buaja didalam paja, mandi kelubuk batang air. Kalau adik tidak pertjaja, mari kelubuk berselam air” . Ambun Suri: ,,Betung serumpun dihalaman, titian anak orang Djudah. Kita sekampung sehalaman, menaruh dendam tidak sudah” . ,,Tepat benar” , udjar Kemala Sari m enjeringai,,,menaruh d en d am .. . . Tetapi siapa jang salah? Putih pinangnja orang Lumpa, sepat dirumah radja tua. Putih tulang hamba tak lupa. sakit didunia telah bersua.
Sungguh! Hendak mengapa engkau sekarang?” katanja pula seraja menempuh selangkah kemuka. ,,Engkau pandai, aku tjerdik. Engkau mengail dalam belanga, menohok kawan seiring. T ak bermalu! Tetapi takkan lalu djarum engkau: Mendjala keBukit Putus, kena udang didjala rapat. Ditjentjang air takkan putus, Didjaring angin takkan dapat” . „K ak Sari, mengapa kakak begitu benar? Mundamku, kak Sari, kembalikan mundamku, sudah dingin aku rasanja” , kata Am bun Suri selaku hendak menangis karena menahan sakit hati. ,,Sudah gila engkau gerangan, mendakwa orang tak keruan” . „Mundamku” , kata Ambun Suri pula. ,,Tak usah lama berhandaihandai, kak Sari: Ditjentjang daging tiga tjentjang, ditingkat tangga tiga tingkat. Direntang runding ‘kan pandjang, elok dipuntal supaja singkat. Wahai kak Sari, malang tjelaka badan k a m i... Tundjukkan dimana mundamku tadi, kakak! Kusembah tapak kaki kak Sari, tolong tun djukkan!” ,,Hanjut” , kata Kemala Sari dengan tenang. ,,Hanjut?” udjar Ambun Suri dengan sangat terkedjut dan terperandjat, sehingga putjat-pasi warna mukanja. ,,Mengapa tidak sedjak tadi kakak katakan___” Iapun bergerak hendak kehilir. ,,Dengarkan kataku dahulu” , kata Kemala Sari dengan tenang djuga; ,,bukan aku tak mau mengatakan! Tatkala engkau berketjimpung tadi, aku meningkah dengan njanjian. Tiba-tiba turun angin puntja beliung, angin bertepuk kiri kanan, maka mundam itupun melajang masuk air. Aku berseru tidak sampai” . ,,Apa dajaku sekarang?” Kemala Sari mengangkat bahu. ,,Biar kutjari kehilir” , kata Ambun Suri pula dengan suara tetap. ,,Hanja sebuah permintaanku kepada kak Sari: sampaikan pesanku kepada kak tua Sutan A li Akbar, suruh turuti hamba kehilir” . Sambil berkata demikian iapun berlari tjepat-tjepat kehilir menepi sungai, sebagai orang gila lakunja: berkain basahan sehelai sahadja, sedang rambutnja jang pandjang tergerai sampai ketumitnja. ,,Rasakan!” kata Kemala Sari dengan besar hatinja. ,,Buaja boleh engkau persuami, namun tuan Muhammad Sjah tak kan dapat olehmu” . Ketika Ambun Suri sudah djauh kehilir, iapun berbalik pulang dengan rasa kemenangan. N . St. I s k a n d a r , Hulubalang Radja.
BUKAN BETA BIDJAK BERPERI Bukan beta bidjak berperi, pandai menggubah madahan sja’ir, Bukan beta budak negeri musti menurut undangan mair. Sarat saraf saja mungkiri, Untai rangkaian seloka lama, beta buang beta singkiri, sebab laguku menurut sukma. Susah sungguh saja sampaikan degup degupan didalam kalbu. Lemah laun lagu dengungan Trwtnja digamat rasaian waktu. Sering saja susah sesa’at, sebab madahan tida na’ datang. Sering saja sulit menekat, sebab terkurang lukisan mamang. Bukan beta bidjak berlagu, dapat melemah bingkaian pantun. Bukan beta berbuat baru, hanja mendengar bisikan alun. R.
E f f e n d i.
BELADJAR SILAT Setelah M idun akil balig, timbullah dalam pikiran Pak Midun hendak menjerahkan anaknja itu beladjar silat. Ia amat ingin supaja Midun mendjadi seorang jang tangkas dan tjekatan. Pak M idun merasa, bahwa silat itu berguna benar untuk membela diri dalam bahaja dan perkelahian. Lain dari pada itu amat besar pula paedah silat itu untuk kesehatan badan. Karena Pak M idun sendiri dahulu seorang pandai silat, insaf benarlah ia bagaimana kebaikan pergerakan badan itu untuk mendjaga kesehatan tubuh. Ketika Pak Midun dahulu hendak menjerahkan anaknja, ditjarinjalah seorang guru jang telah termasjhur kepandaiannja dalam ilmu silat. Maka demikian, menurut pikiran Pak Midun, djika tanggung-tanggung kepandaian guru itu, lebih baik tak usah lagi anaknja beladjar silat. Seorangpun tak ada jang tampak oleh Pak M idun guru jang bersesuaian dengan pikirannja dinegeri itu. Lain dari pada Hadji Abbas, guru Midun mengadji dan saudara sebapak dengan dia, tak ada jang berkenan pada pikirannja. Tetapi sajang, sudah dua tiga kali maksudnja itu dikatakannja, selalu ditolak sadja oleh Hadji Abbas. Hadji Abbas memberi nasihat: supaja Midun diserahkan kepada Pendekar Sutan, adik kandungnja sendiri. Dikatakannja, bahwa ia sudah tua, tidak kuat lagi. Dan kepan daiannja bersilatpun boleh dikatakan hampir bersamaan dengan Pen dekar Sutan. Maka diserahkanlah Midun beladjar silat oleh ajahnja kepada Pendekar Sutan. Karena Pak Midun seorang jang tahu dan arif, tiadalah ditinggalkannja sjarat-sjarat aturan berguru, meskipun tempat anaknja berguru itu adik sebapak dengan dia. Pendekar Sutan dipersinggah (dibawa, didjamu) oleh Pak Midun dengan murid-muridnja kerumahnja. Sesudah makan minum, maka diketengahkanlah oleh Pak Midun sjarat-sjarat berguru ilmu silat, sebagaim.ana jang sudah dilazimkan orang di Minangkabau. Sjarat berguru silat itu ialah: beras sesukat, kain putih sekabung, besi sekerat (pisau sebuah), uang serupiah, pendjahit (djarum) tudjuh dan sirih pinang selengkapnja. Segala barang-barang itu sebenamja kiasan sadja semuanja. Arti dan udjudnja: B e r a s s e s u k a t , gunanja akan dimakan guru selama mengadjari anak muda jang hendak beladjar itu; seolah-olah mengatakan: perlukanlah mengadjarnja, djanganlah dilalaikan sebab hendak mentjahari penghidupan lain. K a i n p u t i h s e k a b u n g , ,,alastobat” namanja; maksudnja dengan segala putih hati dan tulus anak muda itu menerima pengadjaran; samalah dengan kain itu putih dan bersih hati anak muda itu menerima barang apa jang diadjarkan guru. Ia akan menurut suruh dan metighentikan tegah. Dan lagi mudjur tak boleh diraih, malang tak boleh di tolak, kalau sekiranja ia kena pisau atau apa sadja sedang beladjar, kain itulah akan kapannja kalau ia mati.
B e s i s e k e r a t (pisau sebuah) itu maksudnja, seperti sendjata itulah tadjamnja pengadjaran jang diterimanja dan lagi djanganlah ia aikenai sendjata, apabila telah tammat pengadjarannja. U a n g s e r u p i a h , ialah untuk pembeli tembakau jang diisap guru waktu melepaskan lelah dalam mengadjar anak muda itu, hampir searti djuga dengan beras sesukat tadi. P e n d j a h i t t u d j u h , artinja sepekan tudjuh hari; hendaklah guru itu terus mengadjamja, dengan pengadjaran jang tadjam seperti djarum itu. Dan meski tudjuh matjamnja mara bahaja jang tadjam-tadjam menimpa dia, mudah-mudahan terelakkan olehnja, berkat pengadjaran guru itu. Pengadjaran guru itu mendjadi darah daging hendaknja ke padanja, djangan ada jang mengalangi, terus sadja seperti djarum jang didjahitkan. S i r i h p i n a n g s e l e n g k a p n j a , artinja ialah akan dikunjah guru waktu ia menghentikan lelah tiap-tiap sesudah mengadjar anak muda itu, dan lagi sirih pinang itu telah mendjadi adat jang biasa ditanah M inangkabau. Setelah beberapa lamanja M idun beladjar silat kepada Pendekar Sutan, maka tammatlah. Sungguhpun demikian Pak M idun belum lagi bersenang hati. Pada pikirannja kepandaian M idun bersilat itu belum lagi mentjukupi. Jang dikehendaki Pak M idun: berlajar sampai kepulau, berdjalan sampai kebatas. Artinja silat M idun seboleh-bolehnja haruslah berkesudahan atau mendapat keputusan dari pada seorang ahli silat jang sudah termasjhur. Oleh sebab itu ingin benar ia hendak menjuruh menambah pengadjaran M idun kepada Hadji Abbas. Didalam hal ilmu silat, memang H adji Abbas sudah termasjhur kemana-mana diseluruh tanah Minangkabau. Sebelum ia pergi ke Mekah, amat banjak muridnja bersilat. Diantara muridnja itu kebanjakan orang datang dari negeri lain. Tidak sedikit guru-guru silat jang datang mentjoba ketangkasan Hadji Abbas bersilat, semuanja kalah dan mengaku, bahwa silat Hadji Abbas sukar didapat, mahal ditjari ditanah M inang kabau. Karena keahliannja didalam ilmu silat itu, kendatipun ia tidur njenjak, djika dilempar dengan puntung api-api sadja, tak dapat tiada barang itu dapat ditangkapnja. Tidak hal jang demikian itu sadja jang memasjhurkan nama Hadji Abbas perkara silat, tetapi ada lagi beberapa hal jang lain. Semasa muda, ketika Hadji Abbas dan Pak M idun berdagang mendjadjah tanah M inang kabau, tidak sedikit tjobaan jang telah dirasainja. Atjap kali ia disamun orang ditengah perdjalanan, diperkelahikan orang beramai-ramai. Tetapi karena ketangkasannja, segala bahaja itu dapat dielakkan Hadji Abbas. Lebih-lebih lagi jang makin menambah harum nama Hadji A bbas, ketika ia disamun orang Badui antara Djudah dan Mekah waktu dalam perdjalanan keTanah Sutji. Lebih dari sepuluh orang orang Badui jang memakai sendjata tadjam hendak merampuknja; dengan berteman hanja tiga orang sadja dapat ditewaskannja. Sungguhpun berteman boleh di-
katakan Hadji Abbas seoranglah jang berkelahi dengan Badui itu. Tak dibiarkannja sedikit djua segala Badui itu menjerang kawannja. Dalam ilmu achiratpun Hadji Abbas adalah seorang ulama besar. Memang sudah mendjadi sifat pada Hadji Abbas, djika menuntut sesuatu ilmu berpantang patah ditengah. Sebelum diketahuinja sampai keurat-uratnja, belumlah ia bersenang hati. M uridnja mengadji amat banjak. Baik anak-anak, baikpun orang tua, semuanja kesurau Hadji Abbas beladjar agama. Tidak orang kampung itu sadja, bahkan banjak orang jang datang dari negeri lain beladjar mengadji kepada Hadji Abbas. Oleh karena Hadji Abbas adalah seorang tua jang lubuk akal gudang bitjara, laut pikiran tarnbunan budi, maka iapun dimalui dan ditakuti orang dikampung itu. Keadaan jang demikian itu diketahui Pak M idun belaka. Itulah sebabnja maka besar benar keinginannja hendak menambah pengadjaran Midun bersilat kepada Hadji Abbas. Karena Hadji Abbas selalu menolak permintaan Pak Midun, dengan tipu muslihat dapat djuga diichtiarkannja Midun beladjar silat dengan dia. Demikianlah ichtiar Pak M idun: Mula-mula Pak M idun bermupakat dengan Pendekar Sutan. D ikatakannjalah kepada Pendekar Sutan, bahwa ia hendak menipu Hadji Abbas. Sebabnja ialah karena M idun ingin hendak mendapat sesuatu dari Hadji Abbas, tetapi selalu ditolaknja sadja. Maka ditjeriterakanlah oleh Pak Midun bagaimana tipu jang hendak disuruh lakukannja kepada Midun. ,,Biarlah Pendekar Sutan!" udjar Pak Midun, ,,bukanlah silat Midun sekarang sudah boleh dibawa ketengah. Tidak akan gampang lagi orang dapat mengenainja. Meskipun dua tiga orang mempersama-samakan dia, belum tentu lagi ia akan roboh. Oleh sebab itu, ketika Hadji Abbas sedang tidur njenjak disurau, kita suruh lempar oleh Midun dengan ranting kaju itu; sa‘at itulah Midun harus menjerang Hadji A bbas". ,,Sajapun sesuai dengan pikiran Pak M idun itu !" djawab Pendekar Sutan. ,,Tetapi hal ini tidak boleh kita permudah-mudah sadja. Boleh djadi Midun dapat dikenainja, karena Hadji Abbas guru besar dan sudah termasjhur silatnja. Sungguh, sebenamja saja agak kuatir memikirkannja". ,,Tak usah dikuatirkan. Hal itupun sudah saja pikirkan dalam-dalam. Tentu tidak akan kita biarkan Midun seorang diri sadja. Kita harus serta pula menemaninja, akan mengamat-amati kalau-kalau ada bahaja. Tetapi hendaklah kita bersembunji melihat kedjadian itu". ,,Kalau demikian, baiklah", kata Pendekar Sutan pula sambil ter senjum. ,,Sajapun ingin benar hendak melihat ketangkasan Hadji Abbas. Sebab dari dahulu saja hendak beladjar kepadanja, selalu ditolaknja pula, hingga terpaksa saja berdjalan kian kemari mentjari guru silat". Pada suatu hari, sesudah sembahjang lohor, kelihatanlah Pak Midun, Pendekar Sutan dan Midun disurau Hadji Abbas. Pak M idun dan
Pendekar Sutan bersembunji disurau ketjil disebelah. W aktu itu Hadji A bbas sedang tidur njenjak dimihrab, karena sudah larut malam pulang dari mendo'a semalam. Midunpun bersiaplah, lalu melempar Hadji A bbas dengan ranting kaju. Hadji Abbas terkedjut dan menangkap ranting kaju itu. Ketika itu M idun melompat dan dengan tangkas diserangnja Hadji Abbas. Maka terdjadilah pada ketika i t u . . . . ja, perkelahian bapak dengan anak. Tangkap-menangkap, empas-mengempaskan, tak ubahnja sebagai orang jang berkelahi benar-benar. Setelah beberapa lamanja dengan hal jang demikian itu, sekonjongkonjong Midun terempas agak djauh. Djika orang lain jang tak pandai bersilat terempas demikian itu, tak dapat tiada petjah kepalanja. Tetapi karena Midun pandai silat pula, tak ada ubahnja sebagai kutjing diempaskan sadja. Ketika Hadji Abbas bersiap akan menanti serangan, tampak olehnja Midun. Hadji Abbas menggosok matanja, seolah-olah ia tidak pertjaja kepada matanja. Ia sebagai orang bermimpi, dan amat heran karena kedjadian itu. Setelah beberapa lamanja, njatalah kepadanja bahwa sebenamjalah M idun jang menjerang dia. ,,Sudah bertukarkah pikiranmu, M idun ?” udjar H adji A bbas tibatiba dengan marah. „H endak membunuh bapamukah en gk au ?---,,Tidak bapak!” djawab M idun dengan ketakutan. ,,Pikiran saja masih sehat; ajah dan bapak Pendekar ada disurau ketjil disebelah". „ 0 , djadi mereka itukah jang menjuruh engkau meiakukan pekerdjaan ini?” kata Hadji Abbas pula dengan sangat marah. ,,A pa maksudnja berbuat demikian ini ? Bosankah ia kepadamu atau bentjikah kepadaku, supaja kita salah seorang binasa? Panggil dia, suruh datang keduanja kemari! Terlalu, sungguh terlalu!” Tidak lama antaranja Pak M idun dan Pendekar Sutan naiklah kesurau. Baru sadja ia sampai, Hadji Abbas berkata dengan marahnja: ,,Per buatan apa ini jang Pak M idun suruhkan kepada anak saja? Apakah dendam kamu kedua jang tidak lepas, maka menjuruh lakukan perbuatan ini kepada M idun? Sungguh terlalu!” ,,Djanganlah terburunafsu sadja, Hadji Abbas” , udjar Pak M idun den gan agak ketakutan.,,Kedjadian ini ialah karena kesalahan H adji sendiri” . ,.Kesalahan saja?” djawab Hadji Abbas dengan heran. „A p a pula sebabnja saja jang Pak Midun salahkan? Bukankah perbuatan Pak M idun ini sia-sia benar?” Ketika itu tampaklah kepada Pak Midun, marah Hadji Abbas sudah agak surut. Pak Midun berkata sambil bersenda gurau: ,,Selalu saja diusik anak Hadji, supaja ia dapat menambah kepandaiannja dengan Hadji. Beberapa kali saja disuruhnja mengatakan kepada Hadji, karena ia ingin benar hendak mendapat sesuatu tentang ilmu silat dari pada Hadji. Tetapi tiap-tiap permintaannja itu saja sampaikan, selalu sadja Hadji tolak. Kesudahannja terdjadilah jang demikian ini. Sekarang kami jang Hadji salahkan. Hadji katakan, apa dendam kami jang tak lepas. Kalau Hadji ingin hendak mentjoba, berdirilah! Memang saja sudah ingin hendak bersilat dengan Hadji!”
Pak M idun berdiri, lalu mengedangkan tangan dan melangkahkan kaki. Sambil menari ia berkata pula dengan tertawa, katanja: „Bangunlah Hadji, mengapa duduk djuga? Ah, djadi muda lagi perasaan saja” . Melihat kelakuan Pak M idun jang djenaka itu, marah Hadji Abbaspun surutlah. Hatinja tenang bagai semula, dan tertawa karena geli hatinja. Pak Midun duduk kembali, lalu bermupakatlah ketiga bapa M idun itu. Maka dikabulkanlah oleh Hadji Abbas permintaan M idun hendak beladjar dengan dia. Hadji Abbas mengadjar M idun amat berlainan dengan Pendekar Sutan. M idun diadjar Hadji Abbas tidak pada suatu tempat atau sasaran. Melainkan, tiap-tiap^ pulang dari mendo'a atau pulang dari berdjalandjalan, pada tempat jang sunji, M idun sekonjong-konjong diserang oleh Hadji Abbas. Maka bersilatlah mereka itu disana beberapa lamanja. Demikianlah diperbuat Hadji Abbas ada enam bulan lamanja. Setelah itu barulah Midun diberi keputusan silat oleh Hadji Abbas. Pertama, Midun dibawa Hadji Abbas bersilat pada sebidang tanah jang djendul dan berbonggol. Disitu sama-sama berichtiar mereka akan mengenai masing-masing. Maksud Hadji Abbas membawa M idun ber silat pada tanah jang demikian, ialah supaja kukuh ia berdiri, djangan tangkas pada tanah jang datar sadja. Kedua, diatas papan, misalnja dirumah jang berlantaikan papan. Bersilat ditempat itu sekali-kali tidak boleh berbunji langkah kaki. Sekalipun terempas, hendaklah sebagai kutjing diempaskan sadja, tidak keras bunjinja dan tidak boleh tertelentang. Ketiga, bersilat didalam bentjah atau pada sebidang tanah jang sudah dilitjinkan. Midun tidak boleh djatuh, tetapi harus menangkis serangan guru. Keempat, pada sebidang tanah jang diberi bergaris buntaran. Midun harus bersilat dengan guru tidak boleh melewati garis, tetapi guru berusaha, supaja Midun melewati garis itu. Kelima, bersilat didalam gelap dan hendaklah dapat menjalahkan serangan orang jang memakai sendjata tadjam. Bagian jang kelima inilah jang sukar. Bagi Midun belum sempuma benar dapatnja. Sebabnja, karena pada bagian ini, haruslah tahu lebih dahulu gerak, angin dan rasa. Hal itu tidak dipeladjari, melainkan timbul sendiri, setelah be berapa lamanja pandai bersilat. Sekali peristiwa pada suatu petang Midun pergi kesungai hendak mandi. Tidak djauh kesebelah hulu, tepian mandi perempuan. Pada masa itu amat banjak orang mandi, baik ditepian perempuan, baikpun ditepian laki-laki. Mereka mandi sambil bersenda gurau. A da jang berketimbung sambil tertawa gelak-gelak. Bermatjam-matjam tingkahnja, menurut kesukaan masing-masing. Sekonjong-konjong datang lah air besar dari hulu. Sangat deras air mengalir, karena hudjan lebat dimudik. Batu jang besar-besar, pohon-pohon kaju dan lain-lain banjak dihanjutkan air. Mereka jang mandi pada kedua tepian itu berlompatan kedarat. Sangat ketakutan mereka itu rupanja. Masing-masing menolong
diri sendiri-sendiri. A da jang djauh djuga dibawa air, tetapi dapat melepaskan diri. Tetapi jang mandi djauh ketengah, apalagi tak pandai berenang, tak dapat tiada binasalah. Sibuk orang ditepian, ada jang memekik sebab ngeri, ada pula jang berteriak menjuruh kawan segera kedarat. Bunji air jang deras itu sangat menakutkan. Tiba-tiba kedengaran teriak orang mengatakan: „Tolong, tolong, Katidjah hanjut, Katidjah hanjut!’ Tidak lama kelihatan rambut seorang perempuan didalam air. Tim bul tenggelam dibawa air. Midun ketika itu ada pula disana, tetapi ia sudah mandi dan hendak berangkat pulang. Banjak orang lari kehilir akan menolong jang hanjut itu. Segala orang dipasar berlarian, dahulumendahului akan melihat atau menolong jang hanjut. M ereka tanjabertanja siapa jang hanjut itu. Katidjah, jaitu nama perempuan jang hanjut itu, ialah isteri Katjak jang baru dua bulan dikawinnja. Banjak sungguh orang berdiri ditepi sungai. Orang itu semuanja hanja kadar melihat jang hanjut sadja. Seorangpun tak ada jang berani menolong. Mereka takut dirinja akan binasa, sebab air terlalu deras. Didalam orang banjak itu Midun serta pula melihat. Kasihan benar ia melihat djiwa perempuan jang terantjam itu. Karena dilihatnja tidak seorang djuga jang hendak menolong, M idun bersiap hendak terdjun. Pakaiannja ditanggalkannja, hingga tinggal tjelana pendek sadja lagi. Dengan tidak berpikir lagi, Midun lari kehilir dan melompat kedalam sungai. Am at sukar ia akan mentjapai perempuan itu, karena air makin deras. Kajukaju besar jang hanjut sangat mengalangi M idun akan mentjapai Katidjah. Setelah ia dekat kepada perempuan jang hendak ditolongnja itu, terpaksa pula M idun menjelam, karena beberapa alangan. Dengan susah pajah dapat djuga ditangkapnja pinggang Katidjah, lalu berhanjuthanjut kehilir sambil menepi sungai. Dengan tjara demikian dapatlah Midun mentjapai daratan. Sampai didarat dipegangnja kaki perempuan itu lalu dipertunggangnja, agar supaja keluar air jang terminum oleh perempuan itu. Katidjah sudah pingsan, tidak tahu akan diri lagi. Kain . dibadan tak ada, telandjang bulat. Maka datanglah orang berlari-lari membawakan kain untuk Katidjah. Bersama orang itu ada pula Katjak dengan dua orang kawannja. D ibelakang itu orang banjak jang ingin melihat kedjadian itu, bagaimana kesudahannja. Midun berusaha sedapat-dapatnja, supaja Katidjah jang pingsan itu siuman akan dirinja. Setelah orang banjak datang, maka Katidjah diserahkan oleh M idun kepada perempuan, supaja dibela dan diberi pakaian. Katjak masam sadja mukanja melihat M idun. Djangankan minta terima kasih, melainkan panas hatinja kepada M idun. Benar, sepatutnja ia minta sjukur isterinja telah ditolong. Tetapi apakah sebab nja maka si Midun, orang jang sangat dibentjinja itu pula jang menolongnja. Lebih panas lagi hatinja ketika diketahuinja isterinja itu dalam bertelandjang pula. Maka tidak tertahan panas hatinja lagi, lalu iapun berkata: „ Midun, adakah dihalalkan dalam agama, bahwa orang lakilaki itu boleh menjentuh kulit perempuan orang lain?” Orang banjak sangat heran dan amat sakit hatinja mendengar per-
kataan Katjak itu. Djangankan ia minta terima kasih atas kebaktian Midun, malahan perkataannja sangat melukai hati orang. M idun sendiri ta'adjub dan tertjengang, karena tidak disangkanja perkataan matjam itu akan keluar dari mulut Katjak. M aka M idun mendjawab, katanja: ,,Engku muda, saja menolong karena Allah. Djika engku muda hendak bertanjakan terlarang atau tidaknja dalam agama, memang hal ini tersuruh, tak ada larangannja. Djika tidak ada saja, barangkali isteri engku berkubur didalam sungai ini” . ,,Kurang adjar, berani engkau berkata begitu kepadaku?” udjar Katjak dengan marah. ,,Engkau kira saja ini patung sadja, tidak tahu menolong isteri dalam bahaja ? Lantjang benar mulutmu menghinakandaku, seorang kemanakan Tuanku Laras, dimuka chalajak sebanjak ini. Hendak engkau rasai pulakah tanganku sekali lagi?” ,,Saja maklum engku muda kemanakan Tuanku Laras” , udjar M idun dengan sabar. ,,Sajapun tidak menghinakan engku muda, karena per kataan saja itu sebenar-benarnja. Tahadi, setelah saja lihat tidak seorang djua jang akan menolong, saja terus sadja terdjun keair akan membela isteri engku. Saja harap djanganlah engku terlalu benar mengatakan orang ,,kurang adjar” sebelum dipikirkan lebih dahulu” . ,,Djika benar engkau saja katakan kurang adjar, apa pikiranmu, andjingl” udjar Katjak dengan sangat marah. ,,Akan saja sembahkan engkau hendaknja, binatang!” Katjak melompat hendak menjerang Midun, tetapi ditahan orang, lalu disabarkan. Makin disabarkan, makin djadi, diperkitar-kitarkannja, orang jang memegang dia. Orang banjak berkerumun melihat pertengkaran Katjak dengan Midun. Midun tidak dapat lagi menahan hati. Apalagi mendengar perkataan ,,binatang” dan ,,andjing” itu dimuka orang banjak. Ada djuga ia hendak menjabarkan hatinja, tetapi tiada dapat. Maka iapun berkata: ,,Lepaskanlah saudara-saudara, tak usah disabarkanlagil Sanaksaudara sekalianlah jang akan mendjadi saksiku kelak, bahwa saja dalam hal ini tidak bersalah. Terlalu benar, sementang kemanakan Tuanku Laras. Datangilah Katjak, lepaskan dendammu! Menanti atau mendatangi?” Orang banjak rupanja menanti perkataan M idun sadja lagi. Memang orang sangat bentji kepada Katjak jang sombong itu. Mereka telah berdjandji dengan dirinja masing-masing, apapun akan terdjadi lamun ia tetap akan mendjadi saksi Midun kelak. Katjak segera dilepaskan orang dan melapangkan tempat untuk berkelahi. Dalam perkelahian itu sekalipun tidak dapat Katjak mengenai Midun. Tiap-tiap Katjak menjerang, selalu djatuh tersungkur. Katjak hanja berani membabi buta sadja; mukanja berlumur darah. Midun sekalipun tidak mengenai Katjak. Katjak tersungkur karena deras datang, jang selalu dielakkan Midun. Sedapat-dapatnja Midun menahan hatinja akan melekatkan tangan kepada Katjak. Katjak pajah, akan lari malu, orang satupun tiada jang menolong. Akan minta ampun lebih malu lagi, namanja anak laki-laki. Ia hampir tidak bergaja lagi. Maka katanja:
D rew e s,
Mentjari ketetapan baru.
9
„Tolonglah saja, kawan! Djasamu tidak akan saja lupakan. Engkau biarkan sadjakah saja seorang?” Tem an Katjak jang dua orang tadi madju ketengah, lalu berkata: ,,Ini dia lawanmu Midun, tahanlah!” M aun melompat, lalu berkata: ,,Satu lawan satu. Engkau berdua, kami berdua. Sama menolong teman, disini djuga begitu” . ,,Engkau djangan tjampur, M aun!” udjar M id u n .,,Biarkan saja sendiri, biarpun sepuluh orang. Kalau saja kena atau mati, baru engkau tuntutkan balas. Adat laki-laki berpantang minta tolong. Tjobakanlah beranimu!” M aun mengundurkan diri mendengar perkataan sahabatnja itu. Ia tiada berani membantah, sebab M aun sudah tahu sedjak dari ketjil akan tabi'at Midun. Midun sekarang melepas kekuatannja. Dalam sesa'at sadja kedua orang itu djatuh. Mereka kedua tak dapat bangun lagi, karena tepat benar kenanja. Melihat hal itu, Katjak melompat menjerang dengan pisau. Katjak terdjatuh pula, tidak dapat bangun lagi. Ketika ia mentjoba hendak bangkit pula, dubalang Lingkik datang dan menangkap pisau ditangan Katjak, lalu berkata: ,,Sabar engku muda, malu kita kepada orang” . Dubalang Lingkik datang itu bersama dengan Penghulu Kepala. Midun, Katjak dan dua orang temannja dibawa kekantor Tuanku Laras. Katjak dipapah orang sebab sudah pajah dan kesakitan, dan mukanja sudah bersimbah darah. Orang banjak jang melihat perkelahian itu dibawa semuanja sebagai saksi. Dimuka Tuanku Laras, dubalang menerangkan dengan sebenamja. Dikatakannja, bahwa pisau itu ditangkapnja ditangan Katjak. Dan dikatakannja pula Katjak melawan M idun tiga orang dengan temannja. Kemudian M idun dan Katjak ditanjai pula oleh Tuanku Laras. Saksi-saksi dipanggil semuanja, lalu ditanjai. Dengan berani mereka itu menerangkan dari awal sampai keachir peristiwa itu. Meskipun Katjak kemanakan Tuanku Laras, tetapi semua berpihak kepada Midun. Setelah sudah pemeriksaan itu, M idun disuruh pulang. Begitu pula segala saksi-saksi semuanja pulang. Tuanku Laras me ngatakan, bahwa bila nanti dipanggil mesti datang sekaliannja. Tuanku Laras berkata kepada Penghulu Kepala, katanja: ,,Perkara ini saja pulangkan kepada Penghulu Kepala dan kerapatan penghulu. Kurang pantas dan tidak laik rupanja, kalau saja jang me meriksa. Sungguhpun demikian, Penghulu Kepala tentu maklum” . ,,Baiklah Tuanku” , djawab Penghulu Kepala. „Insja A llah akan saja periksa dengan sepatutnja, hingga menjenangkan hati Tuanku” . Tiga hari kemudian dari pada itu M d u n dipanggil Penghulu Kepala. Katjak dan saksi-saksipun dipanggil semua. Pak Midun, Hadji Abbas dan Pendekar Sutan pergi pula akan mendengarkan putusan itu. Orang banjak pula datang akan mendengarkan. Perkara M idun itu diperiksa oleh kerapatan dikampung itu, jang dikepalai oleh Penghulu Kepala sebagai ketuanja. Mula-mula M idun ditanja, setelah itu Katjak. K e mudian segala saksi-saksi jang hadir dalam perkelahian itu. Setelah diperbintjangkan pandjang lebar, maka perkara itu diputuskan oleh
Penghulu Kepala. M idun harus ronda kampung setiap malam, lamanja enam hari. M idun dipersalahkan membalas dendam kepada Katjak, karena kedua orang itu telah lama bertjedera. Setelah perkara itu diputuskan, Hadji Abbaspun berdatang kata, katanja: ,,Penghulu Kepala dan kerapatan jang hadir! Karena perkara ini sudah diputuskan, saja sebagai guru dan bapa Midun, mohon bitjara sepatah kata. Saja amat bersenang hati atas putusan itu: karena Midun membela djiwa seorang perempuan, sekarang ia dihukum harus ronda malam enam hari. Hukuman jang diputuskan itu memang seadiladilnja dan telah pada tempatnja pula. Saja mengutjapkan banjakbanjak terima kasih kepada Kerapatan dan kepada Penghulu Kepala". Kerapatan itu diam, seorangpun tak ada jang mendjawab perkataan Hadji Abbas jang amat dalam artinja itu. M ereka berpandang-pandangan seorang akan seorang, tetapi tak ada jang berani mendjawab. Demikianlah halnja sampai kerapatan itu disudahi dan orang pulang semua. Sampai dirumah Midun, Hadji Abbas berkata: ,,Pak Midun, orang rupanja hendak mentjelakakan anak kita. Kita jang tua harus ingat-ingat dalam hal ini. Hal ini tidak boleh kita permudahmudah sadja lagi. Orang lain sudah tjampur dalam perkara M idun dengan Katjak. Asal kita ichtiarkan, kalau M idun akan binasa djuga apa boleh buat. Maklumkah Pak M id un ?" i,Saja kurang mengerti akan udjud perkataan Hadji itu", djawab Pak M idun dengan heran. ,,Sudah setua ini Pak Midun, belum tahu djua akan udjud putusan itu” , udjar Hadji Abbas. Kilat beliung sudah kekaki, kilat tjermin sudah kemuka. Anak kita masa ini dalam bahaja. Kita harus beringat-ingat benar” . ,,Bahaja apa pula jang akan datang kepada Midun” , djawab Pak Midun. ,,Bukankah perkaranja sudah diputuskan?” Dengan perlahan-lahan Hadji Abbas berkata: ,,Rapat itu tidak dapat menghukum Midun dengan hukuman jang lebih berat, karena saksi semua berpihak dan mempertahankan Midun. Sebab itu M idun disuruh ronda malam sadja. Didalam Midun ronda itu, tentu orang dapat mentje lakakan Midun, supaja ia mendapat hukuman jang berat; mengerti Pak M idun?” ,,Am boi", kata Pak M idun sambil menarik nafas. Ia insaf dan tahu sekarang, bahwa Midun dalam bahaja. ,,Pendekar Sutan” , kata Hadji Abbas pula, ,,dalam enam malam ini hendaklah engkau dengan murid-muridmu dan temanmu semua menemani Midun ronda malam dikampung ini. Hati-hati engkau, djangan orang dapat membinasakan anak kita. Saja harap dalam enam hari ini djangan ada terdjadi apa-apa dikampung” . „Kam u Midun” , kata Hadji Abbas menghadapkan perkataannja kepada Midun, ,,kalau ada temanmu jang sehati dengan engkau, bawalah ia akan kawan pergi ronda. Saja sendiri dengan ajahmu akan menolong engkau sedapat-dapatnja".
Setelah mereka itu berteguh-teguhan djandji, maka pulanglah kerumah masing-masing. M idunpun pergi mentjari kawan, akan teman pergi ronda. Pendekar Sutan dengan teman dan muridnja ada 20 orang dan M idun dengan kawan-kawannja ada pula 12 orang. Mereka itu mupakat bagaimana harus mendjalankan ronda itu, dan menetapkan tanda-tanda kalau ada sesuatu bahaja bertemu. Setelah sudah, mereka itu semuanja mulailah mendjalankan ronda. Lim a malam telah lalu adalah selamat sadja, tidak kurang suatu apaapa. Ketiga bapa Midun dengan temannja ingat benar mendjaga keselamatan dikampung itu dalam lima malam jang sudah. M idun sendiri sebagai ketua dari kawan-kawannja membagi-bagi ronda itu berempatempat. Sekarang tinggal lagi malam jang penghabisan. Mereka sekarang harus ingat-ingat benar, karena ia merasa bahwa malam itu seakan-akan ada bahaja jang akan datang. M idun mengatur dengan baik bagaimana harus melakukan ronda malam itu. Demikian pula Pendekar Sutan dengan anak muridnja. M idun dan M aun malam itu tidak bertjerai. Keduanja lengkap dengan sendjata mana jang perlu. Kira-kira pukul tiga malam M idun ronda melalui rumah isteri Katjak. Tiba-tiba berhenti, karena mendengar sesuatu bunji dirumah Katjak. Midun terkenang akan nasihat bapanja, bagaimana melihat orang dalam malam jang gelap. Maka iapun merebahkan diri dan menangkup, lalu melihat arah kerumah Katjak. Dihalaman rumah kelihatan oleh M idun suatu sosok tubuh, dan ada pula seorang sedang membuka pintu rumah. T ak djauh dihalaman tampak pula seorang lagi. Dengan perlahan-lahan Midun berkata kepada M aun: ,,M aling; pergilah panggil bapak Pendekar dan kawan-kawan, supaja dapat kita mengepung. M asih ada waktu, dia baru mulai membuka pintu. Ingatlah, segala pekerdjaan ini harus dilakukan dengan perlahan-lahan benar, supaja kita djangan diketahuinja” . Dengan tidak menjahut sepatah djua, M aun pergilah. T idak lama antaranja datanglah Pendekar Sutan dengan Maun. Pekerdjaan itu dilakukan dengan diam-diam dan hati-hati benar. M idun bertanja dengan berbisik: ,,Sudahkah siap bapak?” ,,Sudah” , udjar Pendekar Sutan, ,,pada keliling rumah ini, agak djauh sedikit, orang sudah bersiap. Sudah saja perintahkan mengepung rumah, tak kan dapat maling melarikan diri. M ereka itu hanja menanti perintah kita sadja. Sudah saja katakan kepadanja, siapa jang lari, pukul sadja". Dengan sabar Midun dan kawan-kawannja menantikan maling itu keluar, supaja dapat tanda bitinja apabila ditangkap. Sudah dimupakati bahwa jang akan menjerang ialah M idun dan Pendekar Sutan. M aun siap akan membela, manakala diantara mereka kedua ada jang kena dalam perkelahian itu. A da sedjam kemudian keluarlah maling itu, sambil memikul barang tjuriannja. Ketika hendak turun djandjang kakinja tergelintjir, lalu ia djatuh, pukulan Midun tiba dikepalanja. Dengan segera maling itu
bangun sambil mentjabut pisau hendak membalas. Tetapi M idun segera mendahului, memukul dengan gada sekali lagi. Pukulan itu tepat kena pada kening maling itu, lalu terdjatuh tidak bergerak lagi. Ketika itu M aun telah ada pada sisinja, lalu berkata: ,,Biarkanlah orang ini saja ikat dengan tali. Jang seorang lagi dapat saja pukul, tetapi karena kurang tepat, masih kuat ia melarikan diri. Pergilah tolong mamak Pendekar, beliau sudah bergumul dengan maling itu. Njata kedengaran pada saja, bahwa orang itu belum tertangkap” . Dengan tidak berkata sepatah djua M idun melompat pergi mendapatkan Pendekar Sutan. Didapatinja maling itu sudah pingsan terhantar ditanah. Pendekar Sutan kena pisau pada pangkal lengannja. Untung tidak berat lukanja. „D alam luka bapak?” udjar M idun dengan tjemas. ,,Tidak” , djawab Pendekar Sutan. ,,W aktu saja menangkapnja, kaki saja terperosok kedalam lubang tempat orang memeram pisang. Ketika itulah saja kena ditikamnja. Untung dapat djuga saja menangkis; kalau tidak, tentu tepat kena saja, dan hanja bangkai jang akan engkau dapati disini. Engkau bagaimana?” ,,Selamat” , udjar Midun, ,,Orang itu sudah diikat Maun. Marilah kita ikat pula orang ini” . ,Ja n g satu lagi kemana?” udjar Pendekar Sutan. ,,Bukankah engkau mengatakan mereka tiga orang banjaknja?” ,,Biarlah bapak” , kata M idun pula. ,,A sal jang dua ini dapat, sudahlah. Tentu ia sudah melarikan diri. Ia ada djuga kena dipukul oleh Maun. Besok tak dapat tiada jang lari itu akan tertangkap djuga, asal jang dua ini dipaksa menjuruh menundjukkan temannja jang seorang itu. Sungguh pun demikian, boleh djadi ia sudah ditangkap kawan-kawan” . Hadji Abbas karena suraunja berdekatan dengan rumah isteri Katjak, mendengar perkelahian itu. Memang Hadji Abbas tidak tidur semalammalaman itu, mendengar kalau-kalau ada jang terdjadi atau orang memanggil dia. Ia segera turun dengan melalui djendela surau. Tibatiba terasa olehnja seakan-akan ada orang jang hendak bertumbuk dengan dia. Dengan tidak berpikir lagi, Hadji Abbas memainkan kakinja. Orang itu berteriak: ,,Saja Katjak, mengapa dipukul, a d u h . . . . ! ” Mendengar suara itu Hadji Abbas menghilang didalam gelap. Akan kedua maling itu sudah diikat, lalu diiringkan mereka beramai-ramai kerumah Penghulu Kepala. Barang-barang tjurian itu dibawa Maun semuanja. Maklumlah anak muda-muda, tentu mereka tak kurang melekatkan tangan kepada maling itu, hingga sampai kerumah Penghulu Kepala. Ketika itu hari sudah lewat pukul empat pagi. Karena Penghulu Kepala dirumah isterinja jang seorang lagi, lalu dibawa kedua maling itu kerumah Tuanku Laras. Biasanja pada tiap-tiap kampung jang dibawah pemerintahan Tuanku Laras itu diadakan orang tongtong. Tongtong itu digantungkan pada tiap-tiap rumah djaga, dan didjagai oleh dua orang sekurang-kurangnja.
M anakala ada bahaja, baru tongtong itu boleh dibunjikan, misainja kebakaran, kemalingan dan lain-lain jang sematjam itu. Pada tiap-tiap bahaja, berlain-lainan tjara orang membunjikannja. Jang lazim, djika kebakaran terus-menerus sadja bunji tongtong itu. Kalau kemalingan, lain lagi matjam bunjinja. Pada malam kemalingan dirumah Katjak itu amat sibuk bunji tong-tong. Bersahut-sahutan kampung jang sebuah dengan kampung lain, akan memberi tahukan bahwa ada bahaja. M en dengar bunji tongtong itu orang maklum sudah, bahaja apa jang terdjadi. M asa itu mana jang berani berlompatan turun kehalaman dengan sendjatanja. Mereka itu terus lari kerumah djaga menanjakan dimana kemalingan. Tetapi si penakut memperbaiki selimutnja, ada pula jang bangun memeriksa palang pintu, dan ada pula jang duduk sadja ketakutan didalam rumahnja. Demikian pula halnja Tuanku Laras. Ketika ia mendengar bunji tongtong itu ia terkedjut lalu bangun. Tuanku Laras amat heran men dengar bunji tongtong, karena sudah hampir 5 tahun sampai waktu itu, belum pernah ada bahaja jang terdjadi dikampung itu. Pada pikirannja: ,,Tak dapat tiada ada orang maling mendjarah dari negeri lain kekampung ini. Atau boleh djadi___ tetapi mengapa Penghulu Kepala pulang kerumah isterinja dikampung lain” . Maka iapun segara memakai badju malam, diambilnja terkul. Ia terdjun kehalaman, diiringkan oleh dua orang dubalang. T iada djauh Tuanku Laras berdjalan, sudah kelihatan olehnja suluh berpuluh-puluh buah. Dimuka tampak dua orang jang sudah terikat, dan dibelakang amat banjak orang mengiringkannja. Mereka itu semua menudju kerumah Tuanku Laras. Dengan segera seorang dubalang disuruh Tuanku Laras membawa maling itu kekantomja. Kedua maling itu tidak dapat ditanjai malam itu, karena berlumur darah dan letih. Baru sadja sampai diberanda kantor, mereka pingsan tidak kabarkan diri lagi. Tiap-tiap orang sepandjang djalan mengirimkan sepak teradjang kepada maling itu. Orang banjak itu disuruh pulang oleh Tuanku Laras semua. Pendekar Sutan, Maun dan M idun dipanggil kedalam oleh Tuanku Laras. ,.Dimana kamu tangkap maling ini?” udjar Tuanku Laras. Midun lalu menerangkan, bahwa kemalingan itu dirumah engku muda Katjak. Segala tanda biti diperlihatkannja semua. Kemudian ditjeriterakannja, bagaimana tjaranja menangkap maling itu sedjak dari bermula sampai tertangkap. Pendekar Sutan luka tidak dikatakan Midun. M en dengar tjeritera Midun Tuanku Laras mengangguk-anggukkan kepala sadja. Tetapi pada mukanja njata ada sesuatu hal jang terpikir dalam hatinja. Setelah habis M idun bertjeritera, Tuanku Laras bertanja: „ Katjak ada dirumah isterinja?” ,,Tidak tuanku!” djawab Midun. ,,Menurut keterangan isterinja, ia pulang kerumah isterinja jang lain. Tetapi kerumah isteri beliau jang mana tidaklah hamba tahu” . Baru sadja habis M idun berkata, Penghulu Kepala datang dengan
terengah-engah. Rupanja Penghulu Kepala berlari dari rumah isterinja dikampung lain, karena mendengar bunji tongtong. Setelah lepas lelahnja, maka Tuanku Laras dibawa Penghulu Kepala bertjakap kedalam sebuah bilik kantor itu. Kira-kira setengah djam, baru keduanja keluar dengan muka masam. M aka Tuanku Laras berkata: ,,M idun! karena kedua orang maling ini masih pingsan, belum boleh ditanjai, kamu boleh pulang sadja dahulu. Nanti bilamana saja panggil, hendaklah segera engkau datang” . ,,Baiklah Tuanku, kami mohon minta izin” , udjar M idun dengan hormatnja. Sampai dirumah M idun mentjeriterakan kepada ajah-bundanja kedjadian pada malam itu. Ibu bapa M idun berbesar hati dan meminta sjukur kepada Tuhan seru sekalian alam, karena anaknja ada selamat sadja, terhindar dari pada bahaja. Tetapi dalam hati M idun timbul suatu perasaan jang gandjil, ketika ia mengenangkan perkataan Tuanku Laras menanjakan Katjak dan ketika Penghulu Kepala membawa Tuanku Laras bertjakap kedalam bilik. Sebab itu ia ingin hendak mengetahui bagaimana kesudahan pemeriksaan perkara itu. Pak M idun menganggukanggukkan kepala sadja. Ia telah maklum seluk-beluk perbuatan orang hendak mentjelakakan anaknja. Apalagi kabar jang dikatakan Hadji Abbas dengan rahsia kepadanja, tentang kedjadian malam itu, makin meneguhkan kepertjajaannja. Ngeri Pak M idun memikirkan, djika anaknja dapat bahaja pula. Tetapi senang pula hatinja, karena hal jang sangat mengerikan itu sekarang sudah terlepas. Ketika Midun, ajah-bunda dan adik-adiknja sudah makan pagi itu, kedengaran orang batuk dihalaman. Orang jang batuk itu ialah Hadji Abbas; ia naik kerumah. Setelah Hadji Abbas duduk, kopi dan pengananpun dihidangkan oleh ibu Midun. Tidak lama kemudian Hadji Abbas berkata: (,Maklumkah Pak Midun sekarang, apa udjud orang menghukum M idun enam hari itu?” • , i Sedang Pak Midun mengangguk-anggukkan kepala, menjatakan kebenaran perkataan Hadji Abbas, Pendekar Sutan dan Maun naik pula kerumah. Baru sadja Pendekar Sutan duduk, Hadji Abbas berkata sambil tersenjum dan menjindir: ,,Midun, saja dengar kabar bapakmu kena tikam semalam. Hampir sadja kita berkabung hari ini. W aktu saja mendengar kabar itu, saja menjangka tentu Midun terburai perutnja kena pisau. Sedang bapaknja jang sudah termasjhur pendekar lagi kena, bahkan pula anaknja. Kiranja terbalik, anak selamat, tetapi bapak. . . . ah, sungguh tak ada pendekar jang tidak bulus „Benar” , udjar Pak Midun pula sambil tersenjum menjela perkataan Hadji Abbas akan mengganggu Pendekar Sutan. ,,Agaknja langkah Pendekar Sutan sumbang malam tadi. Jang patut langkah madju, mundur kebelakang. Dan boleh djadi djuga terlampau tinggi membuang tangan, ketika itu pisau bersarang kerusuk Pendekar Sutan” . Seisi rumah riuh tertawa, tetapi Pendekar Sutan merah mukanja mendengar sindiran mereka kedua. Iapun berkata:
,,Mengatakan sadja memang gampang. Djika Hadji atau Pak M idun sebagai saja semalam, barangkali berbunji tjatjing gelang-gelang dipen it ketakutan, setidak-tidaknja putih tapak melarikan diri. Sebabnja, per* tama orang jang bertentangan dengan saja itu tidak sembarang orang, saja kenal benar akan dia. Kedua, kaki saja terperosok masuk lubang, dalam pada itu tikaman bertubi-tubi pula datangnja. Ketiga, hari gelap amat sangat, sedikit sadja salah menangkis, tjelaka diri. Keempat, pikiran tak pula senang, memikirkan anak sedang berkelahi. Biarpun M idun pendekar, begitu pula Maun, keduanja masih muda-muda, belum tahu tipu muslihat perkelahian. L agi pula maling itu siap dengan alat sendjatanja, tetapi kita tidak demikian benar” . Mendengar perkataan Pendekar Sutan mereka keduanjapun berdiam diri, lalu Hadji Abbas berkata: ,,Berbahaja djuga kalau begitu! Tjobalah tjeriterakan, supaja kami dengar. Siapa dan bagaimana orang jang berkelahi dengan Pendekar itu” ? ,,Untung dia dengan saja bertentangan” , udjar Pendekar Sutan memulai tjeriteranja. ,,Orang itu ialah Mak Atang, seorang perampok, penjamun, pemaling, ja, seorang pembatak jang amat djahat. Nama Mak Atang telah dikenali orang dimana-mana sebab kedjahatannja. Keberanian dan ketangkasan M ak Atangpun sudah termasjhur. Ia sudah tiga kali dibuang mendjadi orang rantai. Ketiga kali pembuangannja itu ialah perkara pembunuhan dan perampokan di Palembajan dahulu. Sungguhpun demikian, perangainja jang djahat itu tidak djuga berubah. Matjam-matjam kata orang tentang keberanian M ak Atang. A da jang mengatakan ia kebal, tidak lut oleh sendjata. A d a jang mengatakan, kepandaiannja bersilat sebagai terbang diudara. Bahkan ada pula orang jang mengatakan, bahwa ia tahu halimunan. Hati siapa takkan ketjut, siapa jang takkan gentar berhadapan dengan orang matjam itu. Apalagi hatinja hati binatang, tidak menaruh kasih mesra kepada sesamanja manusia. Asal akan beroleh uang, apa sadja mau ia mengerdjakannja. Njawa orang dipandangnja sebagai njawa ajam sadja. Untung djuga saja mengetahui Mak Atang itu setelah hadir dikantor Tuanku Laras. Djika sebelum itu saja mengetahui M ak Atang, boleh djadi bergojang iman saja, dan saja binasa olehnja. Semalam, ketika saja mendekati akanm em ukul kepala Mak Atang itu, terindjak olehku ranting kaju. Bunji itu didengamja, lalu ia berbalik. Sa'at itu saja pergunakan, saja gada mukanja. Dengan tangkas ia mengelak, ditjabutnja pisau dari pingganggnja. Hal itu tampak terbajang kepadaku. Saja tangkis pisau itu, lalu kamipun bergumul. Dalam perkelahian itu saja selalu madju dan merapatkan diri, sebab ia berpisau dan hari gelap. Sedikitpun tak saja beri kesempatan ia menikam. M ak Atang dapat saja tangkap, dan saja empaskan kepohon kaju. Djangankan ia terempas, melainkan seakanakan tak mendjedjak^ tanah ia rupanja. Sebagai kilat tjepat M ak Atang berbalik menikam saja. Ketika saja menjalahkan tikaman itu, kaki saja terperosok masuk lubang pemeram pisang---- pangkal lengan sajapun kena. W aktu itu belum terasa apa-apa oleh saja kena pisau, Saja tarik
kaki saja kuat-kuat, lalu saja menidurkan diri, tetapi siap menanti. Dengan muslihat itu, pada pikiran M ak Atang tepat saja kena tikamannja. Dengan amuk sambil lari, diulangnja menikam saja sekali lagi. M asa itulah ia dapat saja kenai; tepat benar kaki saja mengenai. . . . — ma'af ibu M idun — kemaluannja. Iapun djatuh pingsan, M idun sudah datang mengikatnja” . Segala isi rumah ngeri mendengar tjeritera Pendekar Sutan. Lebihlebih ibu Midun, sebentar-sebentar ia mendjerit. Maklumlah seisi rumah itu sekarang, bagaimana keadaan Pendekar Sutan malam itu. Sebab itu Hadji Abbas dan Pak M idun tidak lagi memperolok-olokkan adiknja. Kemudian Hadji Abbas bertanja pula: „ Engkau bagaimana pula lagi dengan musuhmu, M id un ?” ,,Bagi saja mudah sadja bapak” , udjar M id u n .,,Ketika bapak Pendekar dan Maun datang, kami mupakat lalu berbagai-bagai. Jang didjalan bagian Maun, jang dipintu gapura bagian bapak Pendekar Sutan, dan jang masuk rumah bagian saja. Maun kami larang menjerang, supaja dapat menolong kami, kalau ada jang kena. Sungguhpun demikian, ia selalu siap. Saja tahu, bahwa djarak maling itu dengan temannja berdjauhan. Sajapun merangkak ketangga, dipintu tempat ia masuk. Karena anak tangga itu betung, dengan mudah saja buka anaknja sebuah. Sajapun berdiam diri dekat tangga itu menantikan dia turun. Tidak lama maling itu turun sambil memikul barang tjuriannja. W aktu ia turun semata anak tangga kakinja tergelintjir, djatuh kebawah. Ketika itulah saja gada kepalanja sekuat-kuat tenaga saja. Saja sangka tentu ia terus pingsan. Tetapi tidak, ia bergerak lagi hendak menjerang saja. Saja pukul lagi mukanja, iapun pingsan tak kabarkan dirinja” . Setelah tammat pula tjeritera Midun, Hadji Abbas bertanja pula: ,,Engkau bagaimana pula dengan musuhmu, M aun?” „Saja tidak menjerang, melainkan berdiam diri sadja dekat djalan” , udjar Maun. ,,Waktu saja mendengar mamak Pendekar Sutan berkelahi, tiba-tiba saja bertumbuk dengan seseorang jang rupanja hendak melari kan diri. Dengan segera saja pukul akan dia. Entah kepala, entah punggungnja jang kena, saja tidak tahu. Tetapi dia terus djuga lari. Kalau saja kedjar tentu dapat, tetapi saja tidak menepati djandji. Lagi pula saja takut akan digada teman-teman jang sudah berkeliling mengepung rumah itu. Saja segera mendapatkan Midun, dan dia saja suruh menolong mamak Pendekar. Maling jang dipukul Midun itu lalu saja ikat” . ^ Hadji Abbas mengangguk-anggukkan kepala, terkenang kepada Katjak jang mengaduh kena kakinja semalam itu. Menurut pikiran Hadji Abbas, tak dapat tiada orang jang lari dipukul M aun dan jang kena sepaknja itu, ialah Katjak. Setelah adik-adik Midun disuruh pergi bermain, lalu Hadji Abbas berkata: ,,Midun dan Maun, tjeritera bapakmu tadi, banjak jang patut engkau ambil djadi teladan. Demikianlah hendaknja muslihat djika berkelahi dengan orang jang memegang pisau. Dalam perkelahian jang tidak memakai pisaupun, ada djuga tipunja. Misalnja mengumpan orang dengan pura-pura menjumbangkan langkah. Tetapi manakala dalam
perkelahian banjak, artinja engkau seorang dipersama-samakan orang, djangan sekali-kali madju. Hendaklah engkau selalu mengundurkan diri, sambil menangkis serangan orang. Dan kalau dapat tjarilah tempat jang tiga persegi, jang dinamakan orang: kandang sudut. Ditempat itu, sukarlah orang mengenai kita” . M aka Hadji Abbas menerangkan dengan pandjang lebar bagaimana tipu muslihat dalam perkelahian kepada Midun dan Maun. Untuk mendjadi misai Hadji Abbas mentjeriterakan keadaannja dengan Pak M idun semasa muda. Kemudian Hadji Abbas menjambung perkataannja: ,,Rupanja waktu Mak Atang berkelahi dengan Pendekar Sutan, njata bahwa Mak Atang hendak membunuh lawannja benar. Djika saja tidak salah tampa, tak dapat tiada Pendekar Sutan disangkanja Midun. Orang jang dipukul Maun itu pada hemat saja tentu Katjak. Sudah dapat pukulan dari Maun dapat bagian pula dari saja. Tetapi Katjak sekalikali tidak tahu, bahwa sajalah jang bertemu dengan dia. Ingatlah, hal ini harus dirahsiakan benar-benar. Tjukuplah kita jang enam orang ini sadja mengetahuinja. Perkara M idun ini rupanja sudah ditjampuri orang tua-tua. Sebab itu, djika kurang hati-hati, tentu kita tjelaka. Kita ini hanja orang biasa sadja, tetapi Katjak kemanakan Tuanku Laras. Jang akan datang hendaklah engkau ingat-ingat benar dalam hal apa djuapun, Midun. Ingat sebelum kena, hemat sebelum habis, djerat serupa dengan djerami” . ,,Baiklah bapak” , udjar Midun, ,,hingga ini keatas saja akan berhatihati benar. Dalam pada itu djika sudah saja ichtiarkan, tetapi datang djuga bentjana atas diri saja, apa boleh buat, bapa” . Dari sehari kesehari M idun menanti panggilan tidak djuga datang. Habis hari berganti pekan, habis pekan berganti bulan. M idun tidak djuga dipanggil akan diperiksa tentang maling jang ditangkapnja itu. Ada jang mengatakan, bahwa maling itu sudah dikirim ke Bukittinggi. Setengahnja pula berkata: ,,Sungguh amat adjaib perkara ini. Semalam kemalingan dirumah isteri Katjak, besoknja Katjak djatuh sakit. Pada hal Katjak tidak ada dirumah isterinja malam kemalingan itu. D an lagi perkara itu didiamkan sadja, seolah-olah ada berudang dibalik batu. Djangan-djangan pentjurian itu ada bertali dengan sesuatu hal jang muskil, jang tidak diketahui orang” . Demikianlah perkara itu: terapung tak hanjut, terendam tak basah, hingga sampai Katjak sembuh, M idun belum djuga terpanggil.
T
u l is
S u t a n S a t i , Sengsara membawa nikmat.
NI RAWIT TJETI PENDJUAL ORANG ,,Engkau lihat” , kata I Kerta kepada isterinja, seraja menurunkan anaknja dari atas bahunja, ,,tidak ketjil-ketjil benar ikan ini. Kalau X Tjekeg di Kuta menjalahkan aku djuga kelak, mengatakan ikan jang kukirim kepadanja terlalu ketjil-ketjil, tak tahu aku lagi” . ,,Sangkanja, engkau dapat sadja memilih ikan dilaut” , sahut N i Anis, sambil duduk disebelah bapa Ragia akan menolong membersihkan dan membelah-belah ikan itu. ,,Djika panas sudah mulai kurang, kita turun kelaut pula, ja, pak?” kata I Kerta kepada orang tua itu. ,,Baik. Sudah engkau panggil I Kenjed, anak Perebekel itu? Ia hendak mengikut kelaut petang ini” . ,,Biar ia tinggal dirumah sadja. Tempoh hari ia dimarahi oleh bapanja, karena ia suka melompat kedalam air dan berenang mengikutkan perahu. Tentu sadja ikan lari semuanja. Tambahan pula berbahaja perbuatannja itu; kalau ia ditangkap ikan j u ___Lebih baik kita berdua sadja mendjala sekali ini” . Ikan jang sudah dibelah-belah itu didjemur dalam panas; setelah terdjemur sekaliannja, kedua laki-laki itupun pergi keperahu jang tertambat ditepi pasir dan N i Anis naik keatas rumah dengan anaknja. Tiada selang berapa lamanja datanglah seorang laki-laki kerumah itu. Badannja tinggi besar dan wama kulitnja kehitam-hitaman. Matanja merah, bersinar-sinar dan liar, misainja tebal dan pandjang. N i Anis tidak kenal kepadanja. Sebelum duduk, ia menoleh kekiri dan kekanan dengan matanja jang liar itu. ,,Siapa djero?” tanja Ni Anis, sambil duduk dihadapan tamu itu dengan tertibnja. ,,Nama saja I Bela” , djawab orang itu. ,,Saja datang dari Kelungkung hendak bertemu dengan I Kerta” . ,,Ia pergi mendjala, belum lama lagi berangkat. Tetapi perkara apa?” ,,Perlu, perkara pertukangan” . ,,Oh” , kata N i Anis dengan tjepat, ..kalau begitu perlu benar, boleh saja suruh panggil dia sebentar; barangkali belum djauh lagi, masih nampak dari daratan” . Dengan segera N i Anis berangkat dari kedudukannja, akan memanggil ibunja. „B aik benar hati djero” , kata orang itu dengan senjumnja. Tak apa, saja rasa ia belum djauh lagi” , kata perempuan muda itu seraja berdjalan kedapur. Sedjurus kemudian ia duduk kembali kedekat tamunja dengan memangku anaknja, sedang M en Anis kelihatan bergesagesa pergi kepantai. ,,Sudah lama djero tinggal disini?” kata I Bela, demi dilihatnja perempuan tua itu sudah keluar dari pintu pekarangan. ,,Sudah hampir dua tahun” , sahut Anis, sambil memeluk I Nesa jang takut melihat rupa laki-laki itu.
,,Dahulu djero tinggal di Kasumba, bukan?” ,,Ja , tetapi mengapa d jero___” ,,Saja kenal kepada laki djero disana dahulu. Ia tukang___ dan sekarang saja hendak mendirikan rumah” . ,,O h” , kata N i Anis. Tiba-tiba berdebar-debar hatinja, seolah-olah menaruh sjak. ,,Djadi djero sudah kenal kepada laki saja sedjak dari K asum ba?” ,,D an kepada djeropun djuga” , kata orang itu dengan tjepat, ,,Saja heran, apa sebab djero pindah dari sana, suka tinggal ditempat jang kering ini. Djauh pula dari desa!” ,,Kesukaan masing-masing. Saja lebih suka disini dari pada ditempat lam-lain, djero” , kata N i Anis, seraja memandang arah kepantai. ,.M e ngapa ibu lama betul?” "Barangkali I Kerta sudah turun kelaut, tetapi lebih baik begitu” , akMaki itu seraja bangkit berdiri dengan tjepat. terke4jut, tetapi sebelum ia beroleh kesempatan akan mempertahankan diri, pinggangnja sudah dipeluk oleh laki-laki itu dengan erat. Anaknja terlepas dari pengkuannja, djatuh terguling kelantai. N i l t M 7^n.^a^ mendjerit, tetapi tak dapat, sebab mulutnja ditutup oleh i . 1 *tu dengan lekas seraja katanja dengan bengis: ^D jangan mendjerit, Anis, sia-sia! Seorangpun tak ada didekat ini, am dan pada---- Kawan, datang kemari, ikat perempuan ini! Sudah ama aku intaikan, baru sekarang___” ebentar itu djuga dua orang laki-laki melompat dari balik pagar, a u masuk kerumah itu. Seorang menolong I Bela dan seorang lagi menghardik I Nesa, jang mendierit keras-keras sebab ketakutan dan ngen mehhat ibunja diikat orang itu. mend k -T analc *tu’ kalau berteriak djuga” , kata I Bela, serta n ukung N i Anis dengan kawannja. „ Sekarang baru engkau rasai, £ ag * P^mbalasan I Lempod, jang telah difitnahkan oleh lakimu di binik 1 * ku*u- Sekarang baru engkau rasai dendam-kasemat N i Rawit, anak engkau edjekkan di M engw itani---- Pukul kepala j j J u’ kita berangkat, sebelum bangsat itu datang” . dipuk T \ ^ ^ - k a n a k ketjil jang tiada berdosa sedikit djua itupun kena]*1 • ^ bangsat itu dengan sekerat kaju. Bertjutjuran darah dari KetiaJa KSe^ ngga *a re^a^ pingsan. manesa * ? gsat *tu keluar dari rumah itu dengan tjepat membawa dalam er,eka tiada lalu didjalan biasa, melainkan menjelinap Disitu sud^V* ^an menuc^ju ketepi pantai jang lengang dan sunji. dajungnia N 'tArS-ed-ia sebuah Peraku ketjil, siap dengan pengajuh dan I Bela -I.' k -*an§ berdaja sedikit djua lagi, dimasukkan ol£h Ia duduk ^ enarnj a 1 Lem pod jang ganas itu — kedalam perahu itu. cian Perernpuan itu, seraja memeluk pinggangnja. Setelah
se k e n tja n g -k e n tj^ faa itupun berkajuh arah ketenSah laut denSan Beberapa lama kemudian kelihatanlah oleh mereka itu sebuah perahu besar terkatung-katung.
..B agu s", kata I Lem pod dengan senang hati, ,,perlahan-lahan sedikit. Lihat, orang sedang memasang lajar; rupanja sudah tampak kita oleh mereka itu ". Sampan itu merapat kepinggir perahu besar jang menanti ditengah laut itu. Dengan segera ,,dagangan hidup” itu diangkat orang kedalamnja dan perahu besar itupun berlajar dengan ladju menudju kesebelah barat daja, kepulau Bali, jang kelihatan menghidjau dengan indahnja. M en Anis mundar-mandir ditepi pasir serta memanggil-manggil I Kerta dengan tiada berkeputusan. Akan tetapi menantunja tiada ke lihatan, djangankan hendak menjahut. Oleh karena tak tahan panas, perempuan tua itupun berteduh kebawah pohon kelapa, sambil berseruseru djuga. Tiada djuga terdengar sahutan. ,,A h, lebih baik aku berbalik pulang” , pikimja, seraja berdjalan mendaki bukit ketjil itu. ,,T ak baik N i Anis ditinggalkan lama-lama dengan laki-laki itu. Siapa t a h u . . . . ” Patut tiada kedengaran kepada I Kerta dan I Ragia seru itu, sebab mereka telah djauh dan terlindung disebelah utara sebuah tandjung. Apalagi mereka sudah mulai asjik menebarkan djalanja, sedang perahunja tertambat dibatang pohon ketapang. Hanja ketika I Kerta melajangkan pandang kelaut dan melihat orang memuatkan suatu barang dari sampan keatas perahu besar itu, tertjenganglah ia beberapa lamanja. ,,Ha, ikan besar agaknja” , kata I Ragia sambil menarik djalanja; ,,Kerta, tolong aku, djangan-djangan robek djalaku” . I Kerta berpaling kepada orang tua itu. Sambil menolong I Ragia, iapun berkata dengan gelisah: ,,Tiada tampaklah oleh bapa perahu besar ditengah laut itu?” ,,Tampak, tapi apa guna kita hiraukan, seakan-akan engkau belum pemah melihat perahu! Ha, benar besar ikan ini, Kerta; pegang baikbaik, bawa keperahu” . Mereka itu pergi kebawah pohon ketapang, ketempat perahu ter tambat itu. Setelah ikan itu dimasukkannja kedalam tempatnja, I Kerta berkata pula, seraja memandang kelaut tenang-tenang: ,,Lihat, bapa, apa jang dimuat mereka itu? Bunji orang berteriak---M asuk keperahu, bapa, kita lihat kesana” . Sambil berkata demikian, I Kerta masuk kedalam perahu jang telah dilepaskannja dari ikatannja. Ia bersiap hendak berkajuh, dan orang tua itupun masuk kedalamnja dengan berdiam diri sadja. Baharu sedjurus berkajuh ketengah, kedengaranlah teriak sekali lagi. Sudah agak njaring, tetapi masih tiada djelas artinja dan maksudnja. ,,Apa itu ? " kata I Kerta dengan tjemas, seraja mendindingkan tangan kiri diatas matanja, mengelakkan panas, supaja dapat memandang djauh-djauh” . ,,Bunji suara perempuan---- ” ,,Ja ” , kata orang tua itu dengan ragu-ragu, ,,tetapi sia-sia pekerdjaan kita pergi kesitu. Perahu besar itu sudah berangkat, masakan dapat
kita susul. M eskipun dapat, hendak kita apakan? Sebab boleh djadi perahu it u ___ ” ,,Perahu perompak, kata bapa?” ,,Benar! Kalau bapa tak salah, perahu itu perahu Bugis rupanja. L eb ih baik engkau putar haluan kita mendjala kembali” . Sementara bertjakap-tjakap itu I Kerta berhenti berkajuh; oleh sebab itu sampannja tiada madju lagi, sedang perahu besar itu bertambah djauh djua. M au tak mau I Kerta mesti menudjukan sampan ketepi pula. „K em ana?” katanja serta mulai berkajuh. ,,Ketempat tadi d juga?” ,,Lebih baik agak kesebelah selatan sedikit, barangkali disana lebih banjak ikan” . I Kerta menghadapkan haluan ketempat jang ditundjukkan itu, sedang I Ragia berkata pula: ,,Pada masa ini perompak amat banjak sekeliling pulau Bali, berbagaibagai bangsanja. Tahun dahulu saja dengar perompak Ilanun banjak mendapat hamba-sahaja diselat Bali, beratus-ratus. D an baru-baru ini perompak Bugis diselat Lombok. Banjak bangsa kita didjual orang kepada bangsa asing” . ,,Lain tidak, karena kesalahan radja-radja kita djuga” , kata I Kerta, seraja melajangkan pandang pula kepada perahu jang telah djauh itu, ,,sebab mereka berperang-perangan sadja. Rakjat kehilangan akal, dan karena itu tentu mereka mudah diperdajakan orang” . ,,Benar” , kata I Ragia, ,,dan sekeliling Nusa Panida jang ketjil inipun tiada aman. Kerap kali djuga kapal perompak singgah kemari” . ,,Tetapi selama saja tinggal disini belum ada la g i___ K ita sudah tentang pangkalan, bapa, eh, siapa jang berteriak-teriak dipasir itu?” Diam! Keduanja memasang telinga, seraja memandang ketepi pantai. ,,Ja, Dewa! Mentuaku, bapa, benar suaranja itu. A pa gerangan terdjadi dirumah?” Dengan hati berdebar-debar iapun berkajuh kepangkalan dengan sekuat-kuatnja. Sesampai ditepi, ia melompat kepasir dan berlari kedekat mentuanja. ,,Ada apa, mak? Mengapa mak menangis?” ,,Lekas pulang, sedjak tadi engkau kupanggil---- ” I Ragia tertjengang, lupa menambatkan perahu. ,,Ada apa?” kata I Kerta pula dengan gelisah. ,,Isterimu tidak ada dirumah, anakmu, w a h a i . . . . ” I Kerta berlari menudju kerumahnja. Maka didapatinja I Nesa terhantar diatas balai-balai, tiada bergerak-gerak dan kepalanja jang luka itu masih berlumur darah. Amat terharu pikirannja melihat keadaan itu, gemetar anggotanja dan putjat mukanja. Apa jang akan dibuatnja? Anak itu dipeluknja, digojang-gojangkannja___ Seperti orang gila lakunja. Dalam pada itu I Ragia datang dengan M en Anis, jang masih menangis djua. ,,Takkan sembuh anak itu diperbuat demikian” , kata orang tua itu,
, ,berikan kepadaku. Kursemangat, masih hidu p. . . . Am bil air, M en Anis, supaja boleh aku bersihkan dan aku obati lukanja". Setelah anak itu diserahkannja ketangan orang tua itu, I Kerta bangkit berdiri dan memandang berkeliling. M aka tampak olehnja sebuah tiang telah beralih dari sendinja, alamat ditarik orang jang sedang bergumul. Pintu pagar rusak, dilanda orang dengan keras. Ia berlari keluar, tetapi hampir sebentar itu djuga ia berbalik kedalam kembali. Terdengar suara anaknja menangis, sedang dibersihkan lukanja oleh I Ragia jang mengerti djuga perkara obat-obatan. I Nesa sudah siuman pula. ,,T ak berbahaja benar lukanja", katanja, ,,dan N i A n is ___" , ,Tjeriterakan m ak", kata I Kerta dengan suara gemetar kepada mentuanja jang berdiri memegang tempat air dekat tjutjunja, ,,bagai mana asal mula kedjadian itu? Dengan siapa N i A nis emak tinggalkan?" Dengan pendek rupa orang laki-laki itu diterangkan oleh perempuan tua itu. ,,Besar tinggi badannja, hitam, dan matanja liar bersinar-sinar___" kata I Kerta mengulang keterangan mentuanja sambil berpikir-pikir. ,,T ak lain, tentu dia itu. Dan perahu ta d i___Ja, bapa, djaga anakku, aku susul perahu jang berlajar putih itu. Sudah sja l djuga hatiku". Ia bergerak hendak berlari keluar pula. ,,K erta", kata I Ragia, sambil meletakkan anak ketjil itu diatas balaibalai baik-baik, ,,engkau sendiri hendak pergi menjusul? Sia-sia___" ,,Saja sedia hendak menjabung njawa, akan membela isteriku. Orang djahat. . . . pembalasan sakit hati. Tak lain mesti dia itu, djahanam itu", kata I Kerta sambil berlari kepantai dengan kentjang. Ia melompat kedalam perahunja dan berkajuh ketengah laut menurutkan arah perahu besar, jang masih kelihatan sebesar kumbang putih. I Ragia pergi keWatas, akan memukul tongtong. Demi didengar orang desa bunji tongtong bertalu-talu, mereka itu pun berlompatan keluar dengan sendjatanja. Mereka bertanja kepada I Ragia, apa jang telah terdjadi. Dan setelah perkara itu ditjeriterakan orang tua itu dengan pendek, berlarilah orang banjak itu ketepi pantai. Dua puluh orang masuk kedalam empat buah perahu besar, lalu ber kajuh kelaut, akan menjusul dan menemani I Kerta jang dirundung malang dengan tak disangka-sangka itu. Hari petang sudah, matahari hampir terbenam. Dengan kentjang mereka berkajuh ketengah laut, sambil melajangkan pemandangan kemuka djauh-djauh. Akan tetapi baik perahu perompak, baikpun sampan kail I Kerta tiada kelihatan. Hari makin lama makin gelap djuga, dan angin mulai berkisar. Ketika itu baru terpikir oleh mereka itu, bahwa pekerdjaan jang terburu-buru itu takkan berhasil. Keempat perahu itu tak dapat sehaluan lagi, sudah bertjerai-tjerai. Makin ketengah ombak makin besar, sedang pedoman tak tentu lagi. Gelap. Mereka itupun berdajung barang kemana ditudjukan djurumudi masing-masing sadja.
Pada malam itu M en Anis tiada dapat memitjingkan matanja. Lain dari pada memikirkan anak jang hilang, menantu jang tak kembali dan tjutju jang selalu menangis kesakitan, iapun berasa takut seorang diri sadja. Pagi-pagi I Ragia datang membawakan dia daun kelapa muda akan didjadikan daksina, alat memudja disanggah. ,,Pergi kesanggah” , katanja, ,,pohonkan selamat kepada dewa, bagi engkau dan anak dan tjutjumu! Belum dapat kabar la g i?" ,,Belum” , djawab perempuan itu dengan sedih. I Ragia berdiri ketepi tebing, lalu memandang kelaut. ,,Ja, itu perahu sudah kembali sebuah", katanja, seraja berdjalan kedekat M en Anis pula. ,,Mudah-mudahan ada kabar baik dibawa mereka itu. Sedjurus antaranja datanglah lima orang kedekat mereka itu. Seorang berkata dengan sedih: ,,Kami telah sampai ke Tojapakeh, tetapi pertjuma sadja. Perahu perompak itu tiada singgah disitu dan I Kertapun tiada kelihatan". ,,Mana kawan jang lain-lain?" tanja I Ragia dengan terharu hatinja. ,,Kami bertjerai-tjerai ditengah laut, hari gelap", djawab kelian desa W atas; ,,barangkali mereka terus ke T jarangsari". ,,Kalau begitu, lebih baik kita tunggu mereka itu dahulu", kata I Ragia, seraja memandang kepada M en Anis dengan tjutjunja. ,,Apa maksud djero?" ,,Kalau I Kerta tiada datang hari ini, maksud saja hendak memindahkan Men Anis ketempat lain. Sia-sia tinggal seorang diri disini". ,.Lebih baik dibawa dia ke Sekartadji, tumpangkan dirumah Perebekel dahulu” . Dalam pada itu datang pula orang perahu jang lain-lain dengan hampa tangannja. Mereka itupun semupakat hendak meninggalkan rumah I Kerta itu. Pada hari itu djua M en Anis dipindahkan ke Sekartadji beserta dengan sekalian barang-barangnja dan temaknja. Keesokan harinja sebuah perahu besar berangkat kepulau Bali dari Sekartadji, bermuatan sebelas orang laki-laki jang tjukup lengkap dengan sendjatanja. Mereka hendak mentjari I Kerta dan isterinja sampaisampai ke Sanur dan Padang atau ketempat lain-lain; sebelum bertemu pula, mereka takkan kembali pulang. Rumah I Kerta, tempat ia tinggal anak beranak dengan senang sentosa hampir dua tahun lamanja, telah kosong. Sunji-senjap, tak kedengaran lagi orang memanggil-manggil, anak menangis atau tertawa-tawa, ja, tak kedengaran lagi suara ajam dan itik dibawah pohon ketapang jang besar dan rindang itu. Sehari semalam I Kerta berkajuh dilaut menurutkan arah perahu besar itu dengan sekuat-kuat tenaganja. Arah, sebab memang perahu itu hanja sebentar sadja kelihatan olehnja.
Petang hari jang kedua sampailah ia ke Kuta dengan lapar dan lelahnja. Ditepi pantai ketika itu sunji sudah. Perahu kail ada dua tiga buah terikat dipangkalan, tetapi perahu besar tidak ada kelihatan. Sungguhpun demikian ia bersegera djuga menaikkan sampannja kedaratan, lalu berdjalan kedesa. Ia hendak pergi menghadap sjahbandar, akan bertanja, adakah masuk perahu jang ditjarinja itu malam dahulu atau pada hari itu. Akan tetapi baharu dua tiga ratus langkah perdjalanan iapun terkedjut, sebab tiba-tiba kedengaran bunji tongtong ingar-bingar dan suara orang berteriak berkatjau-bilau. Ia mengangkatkan kepala, maka kelihatan olehnja api berkobar-kobar didesa itu. Ia berlari dengan tjepat arah kerumah sjahbandar djuga. D ari djauh sudah tampak olehnja orang banjak berkerumun disitu, entah menolong rumah jang terbakar itu, entah---- dan sekedjap itu djuga kelihatan pula mereka berlari kesanakemari seolah-olah ketakutan. Beberapa orang sampai kedekatnja. Ia heran tertjengang-tjengang, dan dengan tidak diketahuinja iapun serta pula berlari dengan mereka itu. Akan tetapi sedjurus kemudian mereka ditangkap oleh langlang, demikian djuga ia sendiri, dan diseret kesebuah rumah besar, jaitu rumah tuan Dubois wakil pemerintah Belanda disitu. Akan tetapi sebelum sampai kesana, orang gaduh pula. Banjak orang berlarian dari pasar, tempat api berkobar-kobar lebih hebat memakan toko dan kedai. Beberapa orang Tjina mengedjar dari belakang, sambil berteriak-teriak dengan keras: ,,tangkap, tangkap, barang-barang kami ditjurinja” . Huru-hara, sekalian orang tangkapan itupun meluluskan diri dari tangan langlang, lalu berlari bersama-sama dengan orang banjak jang dikedjar Tjina itu. I Kertapun lari pula, tak tentu kemana tudjuannja. Oleh karena ia teramat lelah dan lapar, sedikit sadja tersinggung oleh seseorang jang melarikan sebuah peti, iapun djatuh tersungkur ketanah. Sedjurus antaranja sampailah tiga orang Tjina kedekatnja. ,,Ini seorang” , kata mereka itu sambil menarik tangan I Kerta supaja berdiri. ,,Kembalikan, mana peti tadi?” I Kerta tegak, lalu mendjawab dengan heran: ,,Peti apa?” ,,Peti uangku, jang kaularikan tadi. Bangsat, sesudah engkau bakar rumahku..., Ajuh, pulangkan peti uangku” . ,,Aku tak tahu, aku baru datang” , kata I Kerta dengan sungguhsungguh. Ketiga orang Tjina itu mamandang kepadanja dengan tenang. ,,Benar” , kata seorang, seraja melepaskan tangan I Kerta, ,,aku kenal rupa orang itu, bukan ini” , dan iapun berlari pula dengan kedua kawannja mengedjar orang banjak itu. ,,Malang aku ini” , kata I Kerta, ketika ia telah tinggal seorang diri, ,,isteriku belum bersua lagi, aku pula berhal seperti ini. Kemana dia akan kutjari, dalam huru-hara ini?” Dengan susah pajah ia berbalik keperahunja. Lama-kelamaan api bertambah ketjil djuga, berangsur-angsur padam, dan huru-hara hampir berhenti. Desa Kuta telah sunji pula. Hanja
D re w e s,
Mentjari ketetapan baru.
10
dimuka rumah dan kedai jang terbakar itu masih kelihatan orang duduk bertumpuk-tumpuk dengan anak isterinja, dekat barang-barangnja jang dapat ketolongan; dan dihadapan rumah sjahbandar dan wakil orang Belanda itu ada pula beberapa orang kawal berdjalan mundar-mandir dengan ingat-ingat. M akin larut malam makin sunji senjap desa jang ketjil itu. Hawapun bertambah sedjuk, sehingga kebanjakan orang bertambah njenjak tidurnja. Akan tetapi I Kerta jang terbaring dalam perahu berselimutkan embun itu tiada dapat memedjamkan matanja, sebab pikirannja diharu dan dikatjau oleh kemalangan jang menimpa dirinja. Pagi-pagi benar ia sudah bangkit berdiri dan pergi mentjari kedai nasi. Tengah makan ia disapa oleh seorang laki-laki, jang telah lama duduk memperhatikan dia dari rusuknja. ,,Saja kira, djero bukan orang sini” , udjar orang itu dengan lemahlembut. ,,Bukan” , sahut I Kerta sambil menganggukkan kepala dan memalingkan muka kepada orang itu, ,,saja datang dari djauh” . „B ila ? ” ,,Kemarin petang. Silakan makan bersama-sama, djero” . ,,Terimah kasih, saja baru habis makan” , kata orang itu seraja menggulung rokok. ,,Djadi djero ada melihat huru-hara semalam?” ,,Ada, dan hampir saja tertangkap pertjuma sadja. Saja hendak pergi kerumah sjahbandar, tiba-tiba saja lihat orang berlari dari san a---- dan saja dipegang oleh langlang” . ,,Nistjaja djero disangkanja kawan bangsat-bangsat itu” . »Jang membakar rumah itu?” ,,Bukan sadja membakar, tetapi merampas tjandu djuga” . ,,Merampas tjandu?” tanja I Kerta dengan heran dan berhenti makan. , J a , tetapi tjandu tak didapati oleh mereka itu, hanja kain dan sutera. Mengapa djero pergi kerumah sjahbandar?” Maka ditjeriterakan oleh I Kerta hal isterinja hilang dan apa sebab ia pergi mentjari dia kesitu. Orang itu termenung dan memandang kepada I Kerta dengan tenang. ,,Siapa nama isteri djero itu?” tanjanja kemudian dengan minatnja. ,,Semasa gadis N i Anis, sekarang M en Nesa” . ,,N i Anis, N i Anis” , kata orang itu dua tiga kali seraja berpikirpikir. Pada air mukanja kelihatan oleh I Kerta, seakan-akan ia kenal akan isterinja. Iapun bertanja dengan bimbang: ,,Djero kenal kepadanja?” „Bagaimana rupa orang jang melarikan dia?” kata orang itu mengelakkan pertanjaan itu. Dengan segera I Kerta menerangkan penglihatan mentuanja dan betapa persangkaannja. Orang itu terperandjat sebagai disengat tabuhan dan berkata dengan gembira: ,,Djadi sangka djero, I Lempod jang berbuat djahat itu?” ,,I Lempod, jang telah kawin dengan N i Rawit rupanja. Akan tetapi
menurut keterangan jang saja peroleh di Mengwitani dahulu, lakinja orang baik-baik, bemama I Pugeg. ,,Kenalkah djero kepadanja?” ,,Tidak, saja belum pernah bertemu dengan dia. Tetapi dengan Ni Rawit sudah kerap kali. Kami laki isteri sudah tahu benar akan tingkablakunja dan perbuatannja. Kepada isteri saja ia menaruh dendam benarbenar, sebab dialang-alanginja kedjahatannja. Dan kepada saja begitu pula, lebih-lebih I Lem pod bukan buatan sakit hatinja, karena ia terdenda. . . . sebab perbuatan saja. Itu sebabnja, djero, maka saja sjak betul, bahwa mereka itulah jang mentjuri isteri saja” . ,,Boleh djadi” , kata orang itu seraja bangkit berdiri. ,,Bangsat. . . . Ikut saja, djero, saja berdjandji akan menolong djero. M ari kita pergi kerumah saudara saja dahulu, disitu djero tinggal beberapa lamanja” . ,,Baik benar hati djero” , djawab I Kerta sambil berdiri pula. ,,Kasihan, djero teraniaja. Dan saja belum pula lama tinggal disini. A d a . . . . namaku Nang Ram e” , kata orang itu dengan tergagap-gagap, entah apa sebabnja, sambil berdjalan dari kedai itu. Ditengah djalan ia berhenti sedjurus dan berkata dengan sungguhsungguh: „ Sebelum kita pulang kerumah saudara saja itu, lebih baik kita pergi kepura dahulu. Sekalian isi desa ini mesti berkumpul disitu hari ini, akan diperiksa, siapa jang mentjuri dan membakar rumah semalam. Kalau I Lempod ada didesa ini, nistjaja ia akan hadir djuga disitu” . Kedua mereka itu menudju kepura, sambil melajangkan mata kekiri dan kekanan, akan melihat kalau-kalau ada orang jang ditjarinja diantara oran lalu-lintas. Sesampai disitu, mereka berdiri ditempat jang kelindungan. Makin tinggi hari, makin banjak orang datang kesana. Anak Agung Made Pametjutan telah hadir, dan setelah berkumpul orang sekaliannja, iapun mulai menanjai mereka itu. Akan tetapi tak seorang djua jang mengaku telah membakar rumah dan mentjuri barang-barang sjahbandar dan peti uang Tjina itu. Anak Agung murka, lalu disuruhnja segala orang jang berumur diatas sepuluh tahun meminum tjor, air sumpah, akan menjatakan bahwa mereka benar-benar tiada bersalah. Seorang pedanda, pendeta, berkata dengan gusar bahwa desa Kuta sudah kotor dan bernadjis. Dewa-dewa tidak ada lagi. Itu sebabnja maka selalu huru-hara, selalu terdjadi samun-rampas dan tikam-bunuh. Oleh karena itu Kuta mesti dibersihkan, disutjikan dari pada setan dan djin. t . . Sekalian orang jang minum tjor itu — dengan daun beringin — diamat-amati oleh I Kerta dengan kawannja, tetapi I Lempod tiada kelihatan. Kemudian mereka minum pula, lalu duduk berdekat-dekatan disebelah tongtong desa, tiada djauh dari Anak Agung Badung dan tuan Dubois. , Seorang demi seorang penduduk desa sudah minum air sumpah itu. Dan seorang demi seorang pula mereka berbalik kerumah masing-
masing. Setelah selesai upatjara itu, Nang Rame member! isjarat kepada I Kerta pulang pula, sebab orang jang ditjarinja tidak datang kesitu rupanja. ,,Kalau sudah sampai kerumah saudara saja kelak” , kata Nang Rame ditengah djalan, ,,djero harus berlepas lelah dahulu; tidur sadja sehariharian ini, sebab siapa tahu, barangkali kekuatan badan djero akan berguna kelak. Biar saja sadja menjelidiki perkara itu dahulu” . ,,Baik benar hati djero” , kata I Kerta dengan sopan. ,,Perkara djero itu sudah saja pandang seperti perkara saja sendiri. Siapa kata djero nama isteri bangsat itu?” ,,N i Rawit” . ,,Ja, N i Rawit. . . . dan I Lempod, kedua-duanja nanti saja tjari sampai dapat” . I. G u s t i N jo m a n P. T i s n o , N i Rawit, tjeti pendjual orang.
M ELATI Kau datang dengan menari, tersenjum simpul, Seperti dewi, putih-kuning, ramping-halus, Menundjukkan diri, seperti bunga jang bagus, Dalam sinar matahari, membuat timbul Didalam hati berahi jang sutji-permai. Djiwa termenung, terlena dalam samadi, O Melati, memandang kau seperti Pamade, Kebakaan kurasa, luas, tenang dan damai. Engkau tinggal sebagai bunga dalam taman Kenang-kenangan: dipetik tidak ’kan dapat, Biar warna dan wangi engkau berikan. Engkau seperti bintang dibalik awan, Terkadang-kadang sedjurus berkilat-kilat Tapi djauh, tak 'kan pernah tertjapai tangan.
Sa n u si P a n e .
DARI GOA KESAWAHLUNTO Kira-kira dua bulan sesudah Bapa Pulando mengundjungi DaEng Manrangka kesarangnja itu, negeri Goa sangat sepi rupanja. Bukan sadja karena orang dewasa itu baru selesai dari pada memotong padi, tetapi jang sangat melengangkan tiap-tiap kampung ialah sebab serdadu patroli sudah mulai bertambah keras mendjalankan kewadjibannja, jaitu mentjari orang djahat menangkapi orang jang masih giat mengadakan pendjudian. Anak negeri tiada berani keluar dari dalam rumah masing masing, takut akan tersangka masuk bilangan orang djahat itu. Dinegeri Goa sudah didudukkan oleh gubernemen seorang kepala pemerintahan, jaitu seorang kapitan. Ketika sang radja siang baru pergi ketempat peraduannja, nampaklah I Marabintang duduk didalam biliknja. Ia sedang ramai bertjengkerma dan mempermain-mainkan adiknja. I Mappabangka sedang dipermandjanja. Berbagai-bagai katanja akan menjenangkan hati anak itu; kadang-kadang mereka sama tertawa, kadang-kadang tjubit-menjubit. Kalau agak keras tjubitnja, I Mappabangka mentjibir hendak menangis, tetapi karena lekas dibudjuknja pula, adiknja itupun tertawa terkekehkekeh kembali. Demikian riang kedua beradik itu, mandja mereka rupanja. Akan tetapi dimandja-mandjakan, diriang-riangkan, akan merintang-rintang susah dan penghilang-hilangkan sedih jang tiada terperikan! Sungguh rusuh, sungguh sedih hati I Marabintang mengenangkan nasibnja jang makin lama makin buruk rupanja. Lain dari rindu dan teringat selalu hari kepada ajah-bundanja jang telah dahulu meninggal kan dia, mendjadikan dia dua beradik tiada berkaum keluarga lagi, perangai dan perbuatan I Badollahi setiap sa'atpun tiada pula terderitakan olehnja. Meskipun orang muda itu belum ada lagi berkata salah kepadanja, bahkan seakan-akan malu dan tak berani mendekati dia, tetapi dari djauh dan dengan sembunji-sembunji senantiasa dia diintai-intaikannja dan dimata-matainja. Langkahnjapun dihitungnja. Dalam pada itu kepada hamba-sahajanja jang masih tinggal, jang belum dienjahkannja, selalu I Badollahi marah-marah tak keruan. I Badollahi sudah meradjalela didalam rumah itu dan Bapa Pulando sudah berbuat sesuka-suka hatinja atas harta-pusaka bapanja. Urusan rumah tangganja tiada berketentuan lagi, katjau-bilau dan kelam-kabut. Hati siapa jang akan senang melihat keadaan sematjam itu? Penjakit lainpun sudah meretas-retas hatinja. Andi Manurung, jang telah berdjandji akan mengasihi dia dan akan melepaskan dia dari siksaan Bapa Pulando dua beranak itu, rupanja tiada tjakap menebus mulutnja jang terdorong. Ia tiada dapat menunang dia dengan setjara adatnja, sebab katanja, orang tuanja tiada memberi izin. Hal itu sudah dari dahulu diramalkan I Marabintang, akan tetapi Andi Manurung ber djandji akan menguruskan perkara itu dengan baik. Hasilnja? Tjuma
A n d i Manurung meminta dengan keras kepadanja, mendesak dia, supaja lari! I Marabintang belum mau lari, belum mau lagi mentjemarkan namanja, walau bagaimana djuapun tjintanja kepada orang muda itu. Sedapatdapatnja ia hendak mempertahankan kehormatan dirinja. Istimewa pula, kalau ia lari, dengan siapa tinggal adiknja? Perasaan kemanusiaannja berperang hebat dengan penderitaannja. Akibat peperangan itu menjebabkan dia tak dapat menelan nasi, tak dapat meneguk air. Nasi dimakan rasa sekam, air diminum rasa duri, sehingga badannja telah mendjadi lemah dan mukanja jang selama ini bersinar berseri-seri telah mendjadi putjat dan suram. ,,Bunga kebona Lakiung belum dipetik sudah laju” , kata setengah orang kampung dengan sedih dan setengah pula dengan edjekan. Akan tetapi pada sendja itu I Marabintang bermandja-mandja dengan adiknja, gelaknja berderai-derai, sehingga rumah besar jang telah sunji senjap itu mulai ramai bunjinja. Gadis itu beriang-riang, menghiburkan hati jang selalu gundah-gulana. Akan tetapi tengah gelak kesukaan itu, tiba-tiba dipelulmjalah adiknja dan ditangisinja. Sampai tengah malam ia meratap, menangis tersedu-sedu, dan achimja dengan tiada diketahuinja iapun tertidur dengan njenjak. Kampung Lakiung sudah sunji-senjap. Seorang manusiapun tak ada lagi didjalan besar, tak kedengaran suaranja, bahkan seekor andjingpun tiada kedengaran menjalak atau meraung. Hanja tjatjing tanah jang selalu meniup sulingnja, sangat merdu bunjinja, akan menambah menjenjakkan tidur orang kampung itu. Dibelakang rumah I Marabintang sangat gelap, sebab disitu banjak tumbuh pohon buluh dan semak-belukar. Tem pat itu baik benar untuk orang bersembunji, walau dalam bulan terang sekalipun, sebab terlindung dari tempat orang lalu-lintas. Rupanja sedjak sendja sudah ada orang bersembunji disana, dengan berpakaian serba hitam. Pukau telah ditaburkannja, sangkanja itulah sebabnja maka didalam rumah itu telah sunji. Ja, tangis I M arabintangpun tiada kedengaran lagi. Kedua orang itu keluarlah dari dalam belukar itu. ,,Dari mana jang baik naik, T ib i? ” kata seorang kepada kawannja. ,,D ari pintu dapur” , djawab orang jang bemama T ib i itu. ,,Lebih baik seorang sadja naik keatas rumah itu; seorang menanti didekat tangga, akan menjambut dia” . ,,Tidak begitu” , kata jang lain. ,,Lebih baik kita naik berdua, seorang mengangkat dia dan seorang lagi mendjaga orang jang akan bangun. Kalau ada jang bangun, tusuk sadja dengan keris, biar mati” . ,,Baik, tetapi awas! djangan saudaranja jang perempuan. Djangan kamu tusuk dia, sebab DaEng Manrangka mengingatkan benar-benar, supaja dia terpelihara dan hidup selamat” . Setelah selesai berunding demikian, mereka itupun mulai bekerdja. Dengan mudah dinding dapur itu dilubangnja, sebesar tubuhnja.
Mereka masuk kedalam seorang demi seorang, lalu terus berdjalan kepintu muka. Pintu itupun dibukakannja selebar-lebamja. Kemudian mereka berdjalan didalam rumah itu dengan hati-hati, menudju ketempat tidur I Marabintang dua bersaudara. Mereka melangkah sekalisekali, lambat-lambat dan kadang-kadang tegak berdiri lurus sedjurus akan memperhatikan gerak orang didalam rumah itu. Kadang-kadang mereka mendjongkok, menengok kekiri dan kekanan, kalau-kalau ada orang bangun dan mengintai-intai. Bediknja jang pandjang, lebar dan tadjam berkilat-kilat, selalu dipegangnja kuat-kuat. ,,U st", kata salah seorang maling itu kepada temannia dengan berbisikbisik, ,,nanti sebentar. Ia sedang dipeluk oleh kakaknja". ,,Ganti dengan bantal", kata jang lain, ,,hari sudah hampir siang” . Seorang mengangkat tangan I Marabintang jang memeluk adiknja itu dengan perlahan-lahan, dan seorang lagi mengandjak I Mappabangka sedikit dari sisinja, lalu digantinja dengan bantal guling. Setelah itu diletakkannja kembali tangan I Marabintang diatas bantal itu. Gadis itu terus sadja mendengkur, tak sedikit djua terasa olehnja bahwa ia diperbuat maling sedemikian. Bantalnja basah, rupanja kena air matanja. Saju djua hati kedua orang djahat itu melihat rupa gadis jang tjantik, tetapi sedih rawan itu. Dan lakunja tidur memeluk adiknja itupun menimbulkan perasaan didalam hatinja, bahwa I Marabintang sangat kasih kepada I Mappabangka. Kalau anak itu ditjurinja, alangkah hantjur luluh hatinja! Ragu-bimbang menggoda mereka sebentar, tetapi tiba-tiba perintah jang sudah diterimanja dari pada tuannja menetapkan hatinja pula akan bersegera melarikan anak itu. Keduanjapun bekerdja pula. Dibungkusnja selurah badan I Mappabangka dengan kain selimutnja, tjuma mukanja sadja jang dibiarkannja terbuka, dan sesudah itu ia didukung oleh seorang keluar dengan ingat-ingat, sedang kawannja berdjaga-djaga mengiring dibelakang. . Sebentar antaranja mereka sudah sampai kehalaman, dan terus berdjalan menudju arah kesebelah selatan dengan sendjata terhunus ditangan masing-masing, sedang mangsa jang dibawanja itu tiada sadar sedikit djua akan dirinja. _ . Dua djam kemudian mereka sudah lewat dari negeri Limbung, dan ketika fadjar menjingsing Polongbangkengpun terlampau sudah. Kedua nja selalu mengambil djalan ditepi rimba, arah keLengkese, supaja tjepat tiba di Bangkala dan berhenti disitu.
Kira-kira pukul 7 pagi I M appabangka djaga dari pada^ tidum ja. D engan perlahan-lahan dibukanja sedikit kedua belah matanja, sam bil m eraba-rabakan tangan dan berseru kepada kakaknja:
O, DaEng Pudjil Dimana kam u?" Dua tiga kali ia berseru sedemikian, tetapi tak terdengar olehnja sahut kakaknja. Maka dinjalangkannjalah. matanja sebesar-besarnja. Ia heran, sebab pemandangannja berlain dan perasaannja berubah. W aktu ia akan tidur, ia berbaring diatas kasur didalam kamar kakaknja, tetapi ketika itu ia merasa m.w. didalam buaian, dan dimana?
Bukan main ketjut hatinja, ketika diketahuinja, bahwa ia ada didalam pangkuan orang laki-laki jang hitam mukanja, pandjang kumisnja dan merah berapi-api matanja. Ia mendjerit dan menggerak-gerakkan badan, supaja terlepas dari pangkuan maling itu. ,,Tolong, tolong” , teriaknja. ,,A m bil saja lekas, D aEng Pudji, setan, setan, aku dilarikan setan. Tolong, tolong___” uD iam !" gertak maling itu dengan marah, seraja membelalakkan matanja jang merah itu. t)Diam, nanti kupotong lehermu” . D an kerisnjapun diangkatnja keatas. Tetapi djangankan I Mappabangka diam, malah bertambah keras pekiknja, karena ketakutan dan ngeri melihat sendjata itu. ,,Pudji, tolong, tolong, setan___” Dan pangkuan maling itupun bertambah erat pula, dikempanja anak itu, sedang gertaknja makin mendjadi dan makin bengis. Oleh sebab itu achimja I Mappabangka tak dapat berteriak berteriak lagi. Peluh dingin merengat dari rongga bulunja, dan iapun pingsan. ,,Bagus” , kata kawan maling jang mendukung itu, ,,pertjepat langkah sedikit, di Bangkala ada kuda tunggang menanti. Demikian djandji Dg. Manrangka kepada saja” . Mereka berdjalan bergegas-gegas, seolah-olah tak berasa pajah sedikit djuga, sedang I Mappabangka didukungnja berganti-ganti. Sesa'at kemudian I Mappabangka sadar pula dari pada pingsannja. Ia mulai menangis meraung pandjang, sambil memanggil-manggil kakaknja djuga. Tangannja digerak-gerakkannja, kakinja diajun-ajunkannja, supaja terlepas dari tangan setan hitam itu. Tetapi kempa orang itu bertambah keras, dan anak itupun diangkatnja agak keatas, sedang ia membungkukkan kepala sedikit. T ap, dagunja kena tepat oleh tumit anak itu, sangat keras, sehingga berdarah giginja. ,,Aduh” , katanja. Dan karena kesakitan, terlepaslah anak itu dari tangannja. I Mappabangka terempas ketanah, bagai tjempedak djatuh. ,,Bangsat” , kata orang itu, sambil menghunus kerisnja hendak menikam anak ketjil itu. ,,Sabar” , kata kawannja sambil memegang tangannja. ,,Ingat pesan D g. Manrangka! Anak itu mesti hidup dan selamat sampai ketangannja” . ,,Apa guna ia dihidupi, gigiku tanggal olehnja” . ^Ia meludah, kebetulan ada terbuang giginja sebuah. Ia menjumpahnjumpah, tetapi tak berani melakukan niatnja. Mula-mula I Mappabangka tak dapat bernapas, sebab kesakitan djatuh itu. Tetapi ''‘sedjurus kemudian ia bangkit berdiri dan bersedia hendak lari. Dengan tjepat tangannja dipegang oleh maling jang seorang lagi. , .Djangan engkau takut, 'nak” , katanja dengan lemah-lembut. ,,Nanti kuantarkan engkau kepada kakakmu. M ari dengan daku” . I Mappabangka menangis pula, serta meronta-ronta. Sudah purau bunji suaranja. Iapun dibudjuk-budjuk djuga ol6h Tibi, jang ada menaruh belas-kasihan rupanja. ..Apa guna engkau budjuk dia” , kata maling jang telah kehilangan
sebuah gigi itu, ,,biar dia mampus. Ikat kaki tangannja dan sumbat mulutnja” . ,,Ssst", kata kawannja, seraja menoleh kebelakang dengan berdebardebar hatinja. Didalam semak kedengaran bunji berderak-derik. ,,Kerbau djalang terkedjut, karena pekik bangsat ini", kata maling jang seorang lagi seraja meludahkan darah dari mulutnja. ,,Tetapi angkat dia lekas, T ib i, mari kita berangkat pula” . Oleh karena kuatir, kalau-kalau ada orang mengintai-intai, dengan segera I Mappabangka diangkat oleh T ibi, sesudah diperlakukannja kehendak kawannja itu. Mereka berdjalan pula dengan tjepat, beringin supaja segera tiba ditempat perhentian. Sementara itu mereka menoleh djuga kebelakang, sebab derak-derik jang didengamja tadi seolah-olah mengikut bunjinja. Sebenamja mereka sudah diikutkan oleh sepasukan serdadu patroli, sedjak mulai turun tangga rumah besar di Lakiung. Tetapi dari djauh sadja. Lain dari pada hendak menolong anak itu, sersan patroli itu bermaksud pula hendak mengetahui dimana sarang maling itu. Djika telah sampai kesana, baru diserkapnja bangsat-bangsat itu. Dengan demikian anak itu tertolong dan segala orang djahat itupun dapat pula ditangkap, atau kalau perlu dibinasakan. Setiba di Bangka, dilihatnja sungguh ada dua ekor kuda tunggang menanti disitu. Dengan segera mereka naik kepunggung masing-masing kuda itu, lalu berpatju sedapat-dapatnja. Mereka menudju keTaroang. Setelah sampai disitu, barulah agak senang hatinja. Sebab sangkanja, takkan mungkin ada lagi orang jang berani menurut-nurutkan mereka sampai kesana. Akan tetapi ketika melalui rimba ketjil jang melindungi bukit tempat kedudukan DaEng Manrangka itu, sedang I Mappabangka tak bergerakgerak didalam pangkuan Tibi, pasukan patroli sudah ada mengintai disitu dengan hati-hati. Mereka menangkup ketanah, merangkak bersambung-sambung kebelakang, tak ubah sebagai seekor ular pandjang jang mendjalar mengintaikan mangsanja. Kedua bangsat itu sampai ketanah lapang. Mereka disambut oleh DaEng Manrangka sendiri, seraja katanja: ,,Selamat datang. T ibi dan Mai. Mana anak itu . . . . Kasihan, mengapa kamu ikat kakinja dan kamu sumbat mulutnja?” I Mappabangka diambilnja dari pangkuan I Tibi. Dan maling itupun turun dari atas kudanja, seraja menarik napas pandjang. „ Lekas, M ai", kata Dg. Manrangka kepada maling jang seorang lagi, jang telah lebih dahulu melompat dari atas kendaraannja, ,,buka ikat kakinja dan sumbat mulutnja, djangan ia ---- Kasihan! Anak ini tiada berdosa sedikit djuga” . ,,M ana boleh tak berdosa” , kata Malle sedang bekerdja melakukan perintah tuannja dengan bersungut-sungut. ,,Lihat, daguku bengkak dan gigiku tanggal disepakkannja". ,,Ha, ha", kata suara ramai jaitu suara kawan-kawannja jang datang
dari sarangnja mendapatkan mereka itu, ,,berlawan dengan kanak-kanak engkau sudah kalah, Malle. Tidak m alu ___?” M ereka itu ada kira-kira enam puluh orang banjaknja, tertawa pula bersama-sama. Bagai batu runtuh bunjinja. ,,M ana boleh aku kalah oleh kanak-kanak bangsat ini” , kata M alle pula denga kemalu-maluan. ,,Kalau tidak ditahan I T ib i, sudah saja lajangkan njawanja ditengah djalan” . ,,Untung tidak kamu bunuh dia” , kata D g. Manrangka dengan sungguh-sungguh. ,,Ia keturunan orang gagah berani, turunan kepala perang. Masih ketjil ia sudah kuat, sehingga dengan sekali tendang sadja tanggal gerahammu olehnja. Ha, ha, h a ___” Dan orang banjakpun tertawa terbahak-bahak pula dengan geli hatinja. Sedang bangsat-bangsat itu lalai dan lengah sematjam itu, kedengaranlah suara sersan dengan njaring memberi perintah kepada serdadunja, supaja mereka madju menjerang dan menembakkan bedilnja. „T am , tam, tam” , bunji bedil dan anak pelurupun djatuh mengenai penjamun-penjamun itu. Sibuk, kelam kabut! Mereka itu melontjat kekanan dan kekiri, berteriak mentjari tempat lari; tetapi beberapa orang sudah rebah ditanah. Kemana hendak lari? Rupanja mereka telah dikepung oleh patroli, sehingga mereka terpaksa berkumpul pula. D aEng Manrangka mengerahkan supaja mereka melawan; tetapi ia sendiri berlari masuk rumah dahulu, akan menjembunjikan anak itu. Sebentar itu djuga segala bangsat itupun menjerbukan diri ketengahtengah musuhnja, jang menjerang dengan tiba-tiba itu. M aka terdjadilah peperangan ketjil, tetapi hebat, antara anak buah D g. Manrangka dengan pasukan patroli itu. Ramai djuga perkelahian itu. Bedil berdentam-dentam, tempik sorak membubung tinggi keudara, bergema didalam hutan itu. Darah mengalir ditanah, bangkai bergelimpangan dan berguling-guling masuk ngarai jang dalam. Patroli mendesak djuga, achimja sampai ketempat bangsatbangsat itu. Sorak makin lama makin sunji, berganti dengan djerit kesakitan dan erang orang jang meregang badan. Kawan Dg. Manrangka itu kalah. Jang mati terhantar ditanah, jang luka mengerang dan jang masih dapat lari, larilah dengan setjepattjepatnja akan memeliharakan njawanja. ,,T jari anak itu", perintah sersan. Serdadu berlari-larian kedalam rumah; maka diperiksanja segenap liku dan pendjurunja, tetapi seorang manusiapun tiada terdapat disitu. Hanja jang banjak bersua ialah pelbagai matjam barang, terutama barangbarang dari pada emas. Pada lahimja rugi djuga patroli itu; anak jang akan dibelanja itu luput dari tangannja. Dg. Manrangkapun tiada kedapatan, agaknja dia sudah menghilangkan diri dengan I Mappabangka. Sersan dan seorang kawan nja, jaitu penundjuk djalan, merasa ketjewa, sebab niatnja hendak membela anak itu tiada tertjapai. Tetapi pada hakekatnja ada djuga keme-
nangan patroli itu, ada djuga ia beruntung, sebab telah dapat merobohkan sebuah benteng sarang penjamun jang sangat meradjalela, sehingga sedjak waktu itu amanlah tempat itu serta sekelilingnja. Telah ditjoba oleh Pua Nuhung menusuk I Soreang dengan tombak dari bawah rumahnja, tetapi sia-sia, sebab rumah orang itu berlantai papan jang tebal dan rapat. Oleh sebab itu dimupakatinja dengan Bapa Pulando akan membinasakan dia dengan djalan lain. Kira-kira lima belas hari kemudian orang gempar dikampung Bonto Tangah, jaitu dalam suatu keramaian. Huru-hara, berkatjau-bilau! Orang banjak berlari-lari kesana kemari, berdesak-desak dan berimpit-impit, sambil berteriak-teriak minta tolong dan memanggil teman-temannja. Orang jang berkedai meninggalkan kedainja, sama-sama berlari ketakutan dengan orang banjak itu. A sal berlari sadja, tak tentu tudjuannja. ,,Tolong, tolong! Orang mengamuk, tu si poke___Pua Nuhung mati, dibunuh orang! T o lo n g ---- ” Pada ketika itu di Bonto Tangah seorang bangsawan mengawinkan anaknja. Akan meramaikan peralatan kawin itu dimintanja izin kepada kepala negeri akan mengadakan djoget dan djudi. Segala djuara datang kesana, I Soreang dan Pua Nuhungpun tiada ketinggalan. Baharu tiba ditempat keramaian itu, Pua Nuhung melajangkan mata kesegenap permainan, seolah-olah hendak mengetahui mana jang baik ditjampurinja. Tiba-tiba suram warna mukanja, tetapi sebentar itu djuga iapun tersenjum. Dengan langkah jang tetap ia berdjalan ketempat orang bermain dobolo, kartu dua puluh satu. Ia tjampur main. Mula-mula sekali ia menang, besar hatinja. Tetapi sedjak itu ia kalah sadja, kartunja selalu mati. Sudah banjak, bahkan sudah hampir habis sekalian uangnja. Ingatannja tak sempuma lagi, hatinja berdebar-debar dan ia selalu memandang kepada seorang lawan jang duduk dihadapannja. Ia hampir nekat. , • , Achir sekali, ketika uangnja tak ada tinggal sesen djua lagi, kartupun dibagi-bagi pula. Dengan tangan gemetar kartu itu diterimanja djuga, maka dilihatnja ada tudjuh belas mata. Ketika giliran mentjabut sampai kepadanja, ditelentangkannjalah kedua helai kartu itu dihadapan orang banjak, seraja katanja: ,,Siapa berani melawan? Saja tjabut kartu lagi, kenalah aku kalau dua puluh. Ajuh, siapa mau berlawan sepuluh ringgit?” „Saja” , kata I Soreang, „tjabutlah” . ,,Saja djuga” , kata orang lain. ,,Baik'\ djawab Pua Nuhung, ,,semuanja saja lawan, masing sepuluh ringgit___M ari selembar” . Sehelai kartu diberikan oleh tukang bagi kepada Pua Nuhung, lalu dilekapkannja kepada kartu jang ada ditangannja. Dengan hati-hati, perlahan-lahan, sedikit-sedikit kartu itupun diurutnja dan dilihatnja
udjungnja. ,,N ah, ini dia” , katanja, ,,telah datang pangka, — berisi keempat pendjurunja. Lihat” , katanja pula sambil memperlihatkan udjung kartu itu kepada orang banjak, jang berdebar-debar hatinja. ,,Djangan harap sekali” , kata lawannja, ,,tjoba buka, kalau tidak si enam atau si lima” . ,,T ak boleh djadi” , kata Pua Nuhung dengan suram. ,,M esti mata empat” . Kartu itu ditihknja dari pinggir sebelah rusuk, seraja katanja: ,,Kosong! D an betul kosong ditengah sisi itu. ,,Kalau mata empat, kartu saja dua puluh satu” . Hati orang banjak bertambah berdebar-debar, ingin hendak mengetahui kesudahannja. ,,Djangan takut, teman” , kata I Soreang. ,,Dengan mata lima kartunja mati djuga. Ajuh, berisi ditengah-tengah!” ,,Mana boleh berisi ditengah” , sahut Pua Nuhung pula, ,,saja embus sekali sadja, lenjaplah isinja jang ditengah itu” . »»Ja, boleh djadi lenjap kalau ini bukan permainan” . ,,Apa, bukan permainan?” ,,Siapa tahu, sekongkol. . . ,,Sekongkol?” ,,Kalau tidak, masa engkau berani menaruhi kartu tudjuh belas sebanjak itu ?” ,,Djadi engkau kira aku sekongkol dengan d ia?” tanja bandar (tukang bagi) dengan keras, bangkit marahnja, kepada I Soreang. ,,Tak usah dibitjarakan hal itu dahulu” , djawab I Soreang, ,,buka sadja, supaja kita lihat kedjadiannja” . ,,Kalau kamu sangka kami sekongkol” , kata Pua Nuhung, ,,lebih baik kita tjari pemisah dahulu” . ,,Dimana kita dapat pemisah disini?” ,,Kalau tak dapat, udjung tombak bukankah boleh didjadikan hakim diantara kita?” Dan sehabis berkata demikian, iapun tegak berdiri, sambil mengempaskan kartu itu ketanah. I Soreang berdiri pula, dan belum lurus lagi tegaknja iapun dilompati oleh Pua Nuhung dengan bengis. Mereka berkelahi, tindju-menindju dan teradjang-meneradjangkan. Achirnja bergumul, empas-mengempaskan. Mula-mula dilihatkan orang sadja mereka berkelahi demikian, seorang lawan seorang. Tetapi ke mudian kawan I Soreang datang membantu. Pua Nuhung pajah, sebab tak ada orang jang datang menolong dia. Bapa Pulando, jang hadir djua disitu, sudah putih tapaknja lari. Ia pergi mengambil muka kepada polisi, memberi tahukan perkelahian itu. Orang ribut, kelam kabut, seraja berteriak-teriak menjebutkan per kelahian itu. Dan ketika polisi sampai ketempat itu, Pua Nuhung telah mati. Ia tersungkur ketanah; lukanja lebih dari pada sepuluh liang dan perut pandjangnja terhambur keluar. ,.Tolong, tolong! Orang mengamuk! Pua Nuhung m ati!”
Pada sa at itu djuga I Soreang ditangkap oleh polisi, lalu dimasukkan kedalam pendjara. Tangsi besar di Sawahlunto sangat ramai, penuh sesak, sebab ditempati oleh beribu-ribu orang buangan dari segala golongan bangsa: Bugis, Mengkasar, Djawa, Atjeh, M adura dan lain-lain. Djika ditilik dengan selajang pandangan sadja, tak ubah mereka sebagai bersaudara semuanja. Mereka serumah, seperiuk dan sekerdja. Tetapi kalau diperhatikan tingkah lakunja, perbuatannja dan tutur katanja, baru njata bahwa mereka datang kesitu dari pelbagai tempat atau negeri, dengan pelbagai sebab dan tiada dengan kehendak masingmasing. Lamanja mereka tinggal setempat demikian itupun tiada sama. Ada jang berbulan, ada jang bertahun dan ada pula jang selama hidupnja. Setiap hari mereka bekerdja dalam lubang Ombilin, lubang batu arang. Hanja hari Minggu mereka perai, bukan boleh tinggal ditangsi sadja, tetapi boleh djuga berdjalan-djalan kedalam kota. Oleh sebab itu hari Ahad itu hari jang teramat ramai di Sawahlunto. Dari pagi sampai petang ramai ditiap-tiap lorong dan djalan, lebih-lebih dipasar, sehingga barang dagangan banjak laku. Itupun tidak sekalian orang buangan mempergunakan hari itu untuk berdjalan-djalan. Banjak pula jang tinggal berkumpul-kumpul dikeliling tangsi, bertjakap-tjakap dan bertjengkerma dengan kawan-kawannja. Dan ada jang bermain dadu, domino, tjeki dan lain-lain. Ada jang pergi mentjari batu jang elok-elok kian kemari, akan digosoknja mendjadi permata tjintjin, jang akan didjualnja kepada orang pereman dengan harga mahal, sebab biasanja batu gosokan itu indah-indah djua rupanja. Bukan dipasar sadja, dikeliling tangsi besar itupun boleh djuga orang buangan membeli-beli apa jang diingininja. Terutama barang makanan, jang akan dimasaknja sendiri penukar-nukar air selera, sebab bosan pula selalu memakan ransum. Tiap-tiap hari Ahad keliling tangsi itu ramai seperti dipasar, bahkan lebih dari itu. Beratus-ratus anak negeri pergi berdjualan kesitu, dan djualannjapun amat laris. Orang jang membeli bukan sadja orang buangan atau orang rantai, — masing-masing mendapat premie — tetapi banjak pula orang kontrak, jang bekerdja ditambang Ombilin djuga. Disudut djalan disebelah selatan tangsi itu ada beberapa orang perempuan kontrak berdiri menghadapi orang berdjual kain. Dan tiada djauh dari pada mereka itu kelihatan pula tegak empat lima orang rantai, jaitu orang Bugis dan orang Madura. ,,Belilah kain ini, 'mpok" , kata orang dagang itu, sambil mengem bangkan sehelai kain batik. ,,Halus betul, kepada 'mpok saja djual dengan murah, hanja tudjuh rupiah. Sedikit sadja saja mengambil untung". ,,Enggak ada uang, kak", kata perempuan itu. „M ana boleh tak ada uang, orang baru gadjian” .
,,Betul, aku enggak djusta. A ku punja gadji kuangsurkan pindjaman kontrak, biar lekas habis. A ku ingin mau lekas lepas, lekas pulang kenegeri. Kangen sama saudara dan orang tua, jang sudah lama kutinggalkan. M ereka tak tahu aku pergi kesini, dan aku sendiripun tak tahu djuga, melainkan sesudah ada diatas kapal” . ,,Kalau mau ambil sadja, ju ” , kata orang rantai bangsa M adura dengan tiba-tiba, ,,aku jang bajar, asal suka kenalan sama aku” . Perempuan itu mengerlingkan matanja kepada orang itu. Ia tersenjum manis dan berkata: ,,K alu kenalan adje, tak apa, bang, asal djangan nagih utang” . Dalam pada itu orang dagang bertambah gembira menawarkan kainnja. „N ah, ambil sadja, ’ mpok, kain dapat, uang tak keluar dan kenalan dapat pula” . ,,Kasikan, kak” , kata orang rantai bangsa Bugis jang sedang meng gosok-gosok batu, kepada orang dagang itu. ,,K asikan ---- A m bil, ju, aku bajar, asal mau berkenalan sama aku. Lihat, ikat pinggangku gembung berisi uang, aku baru menang main” . „K urang adjar” , kata orang Madura. ,,T idak tahu aturan, lantas tjampur-tjampur sadja” . „A p a kowe bilang?” sahut orang Bugis dengan marah. ,,Kurang adjar ? Kowe jang kurang adjar, tahu ? Berani maki saja. Kow e bitjara, ja, saja bitjara djuga. Kowe ada mulut, saja ada mulut. D an kowe tidak pamili sama dia, sajapun tidak djuga. Kalu saja bitjara, apa kowe m au?” ,,M au ini” , kata orang M adura itu sambil mentjabut pisau belati dari pinggangnja. Dan tjepat bagai kilat pisau jang tadjam itupun ditusukkannja kepada orang Bugis itu; kebetulan kena dadanja. ,,Tolong, tolong” , teriak perempuan kontrak itu sambil berlari ketakutan. Dan orang dagang itupun sudah menarik langkah seribu pula, meninggalkan barang-barangnja. Seketika itu djuga orang ribut di Sawahlunto. Orang jang berkedai sudah sama-sama menutup kedainja. Disana-sini orang berteriak: ,,Orang rantai mengamuk, orang rantai mengamuk!” Dan mereka itupun berlari kesana-sini, kehilir dan kemudik, hampir tak tentu jang ditudjunja, karena ketakutan. Apabila sampai kerumah masing-masing, dikuntjinjalah pintu dari dalam. Lontjeng ditangsi sudah berbunji, tongtong disegenap gardu telah gegap-gempita bersahut-sahutan. Serdadu keluar menjandang bedil, akan melihat kemana pergi orang mengamuk itu. Dalam pada itu si pengamuk itu bertambah menggarang. Setelah rebah orang Bugis itu, disapunjalah barang siapa jang bertemu olehnja. Sudah banjak orang jang dilukainja. Tuan sipir pendjara sudah berlari kian-kemari mentjari orang jang akan menangkap si pengamuk itu. Tetapi tak seorang djua jang berani mendekati dia, sebab ia bersendjata tadjam. ,,Panggil uak Sore” , perintah sipir kemudian kepada seorang mandur.
Maka mandur itupun berlari menudju sebuah pondok jang terdiri dibelakang pendjara. ,,A da orang mengamuk, wak” , katanja pada orang tua dipondok itu. ,,Tuan sipir memanggil, lekas” . ,,Amuk lagi” , kata orang itu sambil berbangkit dari kedudukannja. ,,Orang m ana?” ,,Orang Madura” . Orang tua itu berdjalan, diiringkan oleh mandur. Ditengah djalan ia bertanja pula: ,,Siapa jang diamuknja?” ,,Mula-mula orang rantai bangsa Bugis, sudah itu beberapa orang lagi. Banjak jang luka” . ,,Sial benar tahun ini, ja tuan muda? Hampir setiap bulan orang mengamuk. Tiga bulan jang lalu orang Atjeh dengan orang Batak; bulan dahulu orang Djawa dengan orang Mengkasar; sekarang orang Bugis dengan orang Madura. N an ti. . . . ,,Djangan ditembak, tuan” , serunja ketika ia sampai ketempat orang mengamuk itu dan dilihatnja sersan sudah membedekkan bedilnja. ,,Bisa tangkap hidup?” tanja sersan. ,,Kalau bisa, nanti saja mintakan kamu ampun kepada tuan besar, supaja kamu dilepaskan” . ,,Biar saja tjoba, tuan” . Dan uak Sore itupun madju menjongsong si pengamuk, jang hendak menjerang militer itu. Demi dilihatnja uak Sore itu, dilompatinjalah dengan keras dan tjepat. Orang tua itu menarik langkah sedikit kesebelah kanan, sambil memasang kaki kiri pengempang kaki si pengamuk itu. Kena, dan iapun tersungkur ketanah. Sebentar itu djuga semambu uak Sore lekat dikodoknja, dan sekali lagi dipangkal lengannja, sehingga pisau jang digenggamnja terpelanting djatuh ketanah. Serta dilihat orang banjak hal itu, mereka itupun berlompatan mendekati si pengamuk itu. Ia ditangkap orang, dan dimasukkan kedalam pendjara. Sawahlunto aman kembali; teriak ketakutan sudah berganti dengan bisik-desus gembira memperbintjangkan orang tua jang berani dan pendekar itu. Beberapa lama kemudian, jaitu pada hari Minggu pula, datanglah mandur mengundjungi orang rantai tua itu. Setelah bersalam-salaman, keduanja bertjakap-tjakap dengan ramah. Achim ja sampai pertjakapan kepada pengamukan dahulu. Kata mandur: ,,Kalau tak ada uak ketika itu, agaknja banjak orang jang mati dibunuhnja” . . ,,Belum tentu lagi, tuan muda” , sahutnja, ,,sebab ketika itu tuan sersan sudah siap hendak menembak, bukan?” Untung, uak. Kabamja sudah tiba keputusan dari atas: uak diberi ampun. Tanda terima kasih dari tuan besar akan pertolongan uak, telah memeliharakan njawa prang. Uak lepas, bebas dari hukuman. Senang, bukan?”
T ak sedikit djua pembahan tampak pada air muka orang tua itu, ketika mendengar kabar jang penting bagi dirinja itu. Tenang, sebagai tak ada apa-apa. D an katanja: ,,B agi saja, tuan muda, terpendjara atau bebas, hidup atau mati tak ada bedanja lagi. Apalagi karena selama ini, dengan kebaikan hati tuan sipir, sajapun sudah boleh tinggal berpondok diluar. Saja dapat bertanam pisang dan sajur-sajuran. Kebun saja sudah mengeluarkan hasil sedikitsedikit. Djadi kalau benar seperti kata tuan muda tadi: saja telah mendapat ampunan, pulang kekampung atau tidak sama sadja bagi saja” . ,,A pa sebab uak boleh tinggal diluar pendjara?” tanja mandur muda itu. ,,Kalau tidak ada alasan jang penting benar, jang luar biasa, mustahil orang rantai boleh berpondok diluar pendjara” . Uak Sore tersenjum. ,,Alasan jang penting tidak ada” , katanja. ,,Apa pulalah pentingnja nasib orang rantai tua buruk ini. Hanja boleh djadi tuan sipir menaruh belas kasihan kepada saja, karena dengan takdir Allah saja sudah kerap kali menangkap orang mengamuk, seperti baru-baru ini” . ,,Kata orang uak berilmu, dan sudah memberi guna-guna tuan sipir” , kata mandur dengan ragu-ragu akan meneruskan perkataannja. Orang tua itu tersenjum pula, geli hatinja. „K etjek orang hukuman berbagai-bagai” , katanja. ,,A da jang me ngatakan saja sudah memberi tuan sipir dan sekaut obat petunduk, sehingga mereka tunduk kepada saja; dan ada pula jang menjangka, bahwa mereka telah saja beri obat guna-guna” . ,,Djadi sekalian itu tidak benar?” ,,Tidak” . ,,M asa! Kalau uak tidak berilmu, masa dapat uak menarik hati orang dan ---- seberani itu benar! Dan umumnja, saja lihat, memang orang rantai berani-berani. Tak takut mati. Sebentar berkelahi, sebentar mengamuk, berbunuh-bunuhan! Kalau tak ada ilmu keberanian, masa mereka suka berlaku sia-sia sedemikian. D an ilmu uak tebal sekali” . ,.Berani itu banjak matjamnja, tuan muda. Berani karena benar, takut karena salah. Tentu sadja kita mesti berani mempertahankan kebenaran, supaja djangan teraniaja. Ada berani karena tersesak. Si penakut, kalau sudah tersesak, atau kalau tak tahan lagi menderita aniaja orang, kadangkadang djadi berani djuga. Dan berani orang rantai, orang buangan seperti saja ini, lain pula matjamnja. Keberanian mereka itu timbul karena putus asa. Oleh karena berat hukumannja, banjak siksa jang dideritanja, mereka itupun nekat. Mereka mengamuk bukan karena hendak membunuh sadja, tetapi supaja mati terbunuh djuga. Kerap kali hal jang demikian terdapat pada orang jang dihukum seumur hidup. Seumur hidup didalam pendjara, selama hidup bekerdja berat, bekerdja paksa, — orang jang demikian biasanja sudah pendek pikirannja: dari pada lama hidup begitu, lebih baik mati. ,,Kedjadian jang demikian sudah kerap kali saja lihat, tuan muda, selama saja dalam pembuangan. Saja sudah sebelas tahun terbuang,
terpendjara, dan sudah lima buah tangsi besar saja tempati. Didalam t.iap-tiap tangsi itu: di Surabaja, Tjilatjap, Tjipinang, Padang dan disini tiada kurang pembunuhan itu saja hadiri, saja serbukan diri saja kedalamnja, dengan maksud supaja saja lekas terlepas dari siksa dunia. Akan tetapi takdir Tuhan, hampir dalam tiap-tiap perkelahian itu saja dipandang orang berbuat djasa dan kebaikan, melepaskan njawa orang dari bahaja maut, sehingga hukuman saja dikurang-kurangi. Ada jang setahun, setengah tahun, dan ada pula jang setahun lebih. Dan kalau ditambah lagi dengan ampunan jang tuan muda katakan tadi, sudah empat tahun saja mendapat ampunan. Saja bebas dari hukuman, tetapi seperti kata saja tadi, bebas atau terpendjara, hidup atau mati sudah sama sadja bagi saja” . ,,Tetapi sebaik-baiknja bebas” , kata mandur, ,,supaja boleh uak melihat anak bini atau kampung halaman jang sudah selama itu uak tineealkan. Dan kalau uak pulang keMengkasar, dimana uak tinggal?” ,,D i Goa” . Demi didengar mandur itu nama negeri itu, iapun putjat. ,,Mengapa berubah air muka tuan muda mendengar nama negeri saja itu ?” ,,Uak berasal dari sana benar?” Dengan segera tangan orang tua itu dipegang oleh mandur itu, seraja katanja: „Senegeri kita kiranja, uak. Mudjur, mudah-mudahan saja mendapat keterangan dari uak hal-ihwal negeri itu . Mengapa begitu? Tentu tuan muda jang akan lebih tahu hal-ihwal Goa sekarang ini. Saja sudah sebelas tahun tak melihat negeri itu dan tak mendengar-dengar kabamja . , Tetapi uak sudah besar djuga berangkat dari sana. Uambaran Goa 1 1 tahun dahulu masih lekat dalam ingatan uak, tetapi s a ja ....” A ir mata orang muda itu berlinang-linang, karena sedih hatinja. ,,Djadi tuan muda sudah lama tinggal disini? ,,Disini baru enam bulan. Tetapi menmggalkan Goa kata bapa angkat saja, sedjak berumur delapan tahun. Tentu uak maklum, ingatan anak umur 8 tahun tentang keadaan sesuatu negeri belum terang benar. Apalagi saja ini dirundung malang senantiasa, tak dapat memikirkan apa-apa. Tjoba tjeriterakan, uak, bagaimana hal-ihwal tanah tumpah darah saja itu” . Uak Sore memandang tenang-tenang kepada orang muda itu. ,, Siapa orang tua tuan muda?” tanjanja sedjurus kemudian dengan ,,Orang tua saja tidak ada lagi keduanja; telah meninggal sementara saja masih ketjil. Hanja saja masih ingat, bahwa saja ada bersaudara perempuan” . ,,Tentu tuan muda masih ingat nama bapa tuan muda . ,,Ja, DaEng M apata?”
Drewes,
Mentjari ketetapan baru.
11
,,D aEng M apata?” tanja orang tua itu dengan terkedjut, seraja memegang kedua bahu orang muda itu dan memandang mukanja tenangtenang. „K alau begitu tuan I Mappabangka, jang ditjuri orang? W a h a i. ” Ia tak dapat meneruskan perkataannja, karena terharu hatinja. Ia teringat akan masa dahulu. ,,Karena engkau, I Mappabangka, maka aku terbuang” , katanja dengan tangisnja. ,,Akan tetapi apa sebab anakku sampai kemari, pada hal sepandjang dugaan orang banjak kamu sudah mati dibunuh orans djahat?" A ir mata I Mappabangka bertjutjuran pula, tak dapat ditahannja. ,,Karena aku bagaimana, uak?” katanja dengan hati terharu. ,,Bagaimana benar nasib saja in i?” ,,Tjoba tjeriterakan dahulu, apa sebab anak sampai kem ari?" ,,Ajah angkat saja dahulu mendjadi sersan patroli di Goa. Pada suatu hari ia mendapat kabar dari seorang anak negeri, ada sekawan penjamun bermaksud hendak mentjuri seorang anak. Tem pat penjamun itupun ditundjukkan djuga oleh orang itu. ,,Patroli bersiap, mengintai-intai. ,,Pada suatu malam sesungguhnja penjamun datang kerumah anak itu. Dengan mudah anak itu dapat ditjurinja, lalu dibawanja. Tidak dialangi oleh ajah angkat saja itu, sebab ia bermaksud hendak menurut kan penjamun itu sampai kesarangnja. Sesampai disitu, diatas sebuah bukit, barulah patroli menjerang. Banjak penjamun jang mati kena tembak. Tetapi anak itu tidak bersua. Rupanja kepala penjamun itu dapat melarikan dia, sementara kawan-kawannja melawan patroli dengan sehebat-hebatnja. ,,Beberapa bulan kemudian sersan patroli itu dipindahkan kedaerah Bonthain. Ketika ia pergi patroli masuk hutan disana, ia bertemu dengan kepala penjamun itu. Kebetulan anak itupun ada bersamasama dengan dia; maka penjamun itu dibunuhnja, dan anak itu diambilnja dan diserahkannja kepada Controleur Bonthain. Kemudian anak itu diberikan oleh Controleur kepada sersan itu, supaja dipeliharanja seperti anaknja. ,,Anak piara atau anak pungut itu tiada lain melainkan saja ini, dan bapa angkat saja itu sersan Djawa jang baik hati. Ketika ia dipindahkan ke Atjeh, saja dibawanja kesana. Saja dimasukkannja kesekolah M elaju di Kutaradja. ,,Ketika saja telah duduk dikelas empat, ibu angkat saja meninggal dunia. Hati saja mulai tak senang lagi, sebab lain daripada baru kehilangan ibu, bapa angkat saja itupun tiada pula tetap ditangsi lagi. Ia kerap kali pergi patroli kepegunungan, sebab orang A tjeh sebentarsebentar berontak disitu. ,,Dan belum hilang lagi dukatjita kematian ibu jang pengasih dan penjajang itu, dapat pula saja kabar dari letnan, bahwa bapa angkat saja itu telah mati dipantjung orang Atjeh” .
Mandur muda itu berhenti bertjeritera sebentar, akan menahan sedih hatinja. Dan uak Sore itupun terharu pula pikirannja. „Saja tinggal sebatang kara, dan tidak pula berkampung bemegeri! Sudah nasib saja akan berpindah dari sebuah tangan ketangan lain, akan berutang budi kepada segala orang, maka saja dipelihara oleh letnan itu. Tetapi tak lama, sebab ia lekas pergi verlof kenegeri Belanda. Dan sebelum ia berangkat, saja diserahkannja kepada sipir pendjara di Kutaradja, supaja diadjar-adjamja bekerdja membantu-bantu tukang kuntji. ,,Kemudian saja diangkat djadi mandur, tetapi tidak beberapa bulan saja mendjalankan pekerdjaan itu disana, saja dipindahkan ketangsi disini” . Uak Sore menggeleng-gelengkan kepalanja, termenung. ,,Benar” , katanja kemudian seraja menarik napas pandjang, ,,tak salah lagi, engkau anak punggawaku Dg. Mapata, jang amat sajang kepadaku. Tiga tahun, 'nak, saja mengembara didalam hutan, dipegunungan, mentjari engkau, tetapi sia-sia sadja. Dan ketika aku balik kekampung kembali, aku difitnahkan oleh orang jang menganiaja engkau” . ,,Siapa orang itu, uak?” ,,Dengar kutjeriterakan. Saja ini bemama I Soreang. Ketika ajahmu. masih hidup, saja dan Bapa Pulando mendjadi kepertjajaannja. Ketika ia telah berpulang, Bapa Pulando berbuat chianat kepadamu, sebab ia ingin hendak memiliki hartamu. Engkau disuruhnja bunuh kepada seorang penjamun, supaja saudaramu I Marabintang. . . . MJa, demikian nama saudara saja itu, uak, dimana dia sekarang? Wahai, rindu amat saja kepadanja” . „W a’ llahu a'lam . Rupanja kakakmu I Marabintang itu hendak dikawinkannja dengan anaknja . ,,Kalau begitu maksudnja, apa perlunja aku disuruhnja bunuh lebih dahulu?” tanja mandur muda itu dengan heran. , .Supaja harta pusaka ajahmu djatuh ketangan kakakmu semuanja, artinja ketangan Bapa Pulando sendiri, apabila I ^/larabintang telah mendjadi isteri anaknja” . „O h, terus, uak” . ,,Untung ketika Bapa Pulando hendak pergi keTaroang mendapatkan Dg. Manrangka, kepala penjamun itu, ia masih pertjaja kepada saja, sehingga saja diadjaknja pergi kesana. ,,Itu sebabnja saja tahu rahsianja. Kembali dari sana, dengan segera saja kabarkan hal itu kepada sersan bapa angkatmu itu. Ketika penjamun itu diserang, saja ada bersama-sama dengan patroli, sebab saja didjadikannja penundjuk djalan. ,,Bukan main sesal dan sedih hati saja, ketika kami ketahui, bahwa engkau sudah dilarikan bangsat itu. Saja tjari kemana-mana, bertahuntahun lamanja, dan achimja karena sudah putus asa, sajapun balik keGoa kembali akan mentjeriterakan segala kedjahatan Bapa Pulando kepada wakil pemerintah Belanda. Akan tetapi malang bagi saja, rupanja
Bapa Pulando tjemburuan kepada saja. Ia takut, kalau saja masih hidup, rahsianja akan terbuka. Maka ditjarinja akal akan membinasakan saja. Rupanja, karena tak dapat djalan lain, achir sekali diumpannja saja dengan perkelahian. Lawan saja mati saja bunuh, itu sebabnja maka saja dibuang” . ,,Bangsat, masih hidupkah Bapa Pulando itu?” kata I Mappabangka dengan geram. ,,Dan bagaimanakah nasib kakak saja itu, uak?” Orang muda itu menangis kepangkuan uak Sore, sebab tak tertahantahan lagi pilu hatinja. ,,Sabar, ’nak” , kata orang tua itu. ,.Bagaimana saja akan mengetahui hal-ihwalnja, sebab sudah sepuluh tahun lebih lamanja putus pertalian saja dengan negeri kita. Hanja bila saja pulang kelak, akan saja periksa dan selidiki pula perkara itu” . ,,Saja djuga hendak pulang, bersama-sama dengan uak. Putus rangkai hati saja rindukan kakak saja, uak. Dan harta milik saja itupun mesti saja tuntut kembali” . ,,Baik, saja djadi saksimu kelak” . Sebulan kemudian dari pada itu, kira-kira pukul lima petang, uak Sore pergi kerumah tuan sipir, sebab ia hendak mengutjapkan selamat tinggal kepada tuan dan njonja anak beranak. Ia hendak meninggalkan Sawahlunto keesokan harinja. , .Selamat djalan, uak Sore” , kata njonja sipir. ,,Pukul berapa uak berangkat?” ,,Pukul lima pagi-pagi, dengan kereta api jang pertama. Tetapi belum tentu lagi saja akan selamat, njonja. Pelajaran dari Padang ke Mengkasar terlalu djauh. Siapa tahu, kalau-kalau saja djatuh mabuk laut". ,,Saja tidak mengadimkan uak selamat, melainkan berharap supaja uak selamat tiba dikampung, dan bergirang hati” . ..Girangpun belum tentu lagi, njonja. Djikalau sekiranja isteri saja tak ada lagi saja dapati, bagaimana saja akan bergirang hati?” ,,Ha, ha” , tertawa sipir dari dalam mendengar otjehan uak Sore berkelakar itu, ,,pandai djuga uak berdjuang udjung lidah. Bukannja pandai menangkap orang mengamuk sadja! Kalau begitu, tak usah uak pulang. Tinggal sadja disini, nanti saja beri modal buat membuka kebun” ,,Terim a kasih, tuan. Tetapi biar saja pulang djua dahulu menentui anak bini saja” . ,,Kalau uak telah sampai ke Mengkasar, kidjang lepas rimba tak ingat lagi kepada kam i". ,,Budi baik dibawa mati, tuan” , ,,Mandur I Mappabangka mau pulang djuga, dan sama-sama dengan uak, bukan? Tolong benar dia. Kasihan, harta bendanja jang sebanjak itu dirampas orang sadja. Begitu sampai hati orang menganiaja dia” . ,,Saja, tuan” .
Dan ketika ia hendak turun dari rumah itu, ia diberi pakaian pereman sepasang oleh njonja sipir itu. Kira-kira pukul dua lohor keesokan harinja uak Sore dan I Mappa bangka telah sampai ke Telukbajar. Kapal jang akan ditumpanginja dua hari lagi akan berangkat ke Betawi. Maka mereka itupun berdjalan-djalan disana dahulu, sampaisampai kedjalan jang baru dibuat orang antara Padang dengan Terusan, diatas bukit si Kabau jang melindungi Bungus dan Telukkabung. Dikampung Gaung mereka berhenti sebentar, singgah kerumah seorang radja Mengkasar jang dibuang gubememen Belanda. Setelah bertjakap-tjakap sedjurus lamanja, radja itu berkata dengan ramah: ,,Djadi tuan-tuan hendak pulang keMengkasar, akan melihat tanah air kembali, sesudah terbuang beberapa lamanja. Tentu banjak perubahan disana kamu dapat i” . ,,Boleh djadi, tuan” . ,,Akan tetapi saja heran sekali, Soreang, melihat gajamu. T ak ada saja lihat bekas perantaian pada dirimu. A ir mukamu djemih, badanmu sehat dan pakaianmu bagus-bagus. Dimana kamu peroleh uang pembeli pakaian itu?” „O rang rantai di Sawahlunto, tuan, terutama jang bekerdja dalam lubang batu bara, mendapat premie semuanja. Uang premie itulah jang saja kumpul-kumpulkan” . ,,Berapa benarkah banjaknja premie itu! Takkan tjukup untuk pembeli rokokmu, sedang pakaianmu bagus-bagus dan mainan rantai arlodjimu sadja dari pada ringgit emas” . „A d a djua rezeki saja sedikit-sedikit dari luar, tuan” . ,,Itu boleh djadi. Apa misainja?” ,,Saja mengadjar” . „A p a jang kamu adjarkan?” ,,Ilm u” . Radja terkedjut. ,,Ilmu apa jang kamu adjarkan?” tanjanja sedjurus kemudian. ,,Ilm u guna-guna atau pekasih” . ,,Oh, berisi djuga rupanja orang tua ini” , kata radja dengan senjumnja. „Sekali-kali tidak, tuan. Tetapi karena terpaksa, sebab orang hukuman disana pertjaja bahwa tiap-tiap orang Mengkasar pandai ilmu sematjam itu, tidak ilmu, saja pedjadi ilmu djuga” . ,,M udjarrab?” ,,Bergantung kepada keadaan. Tetapi memang orang bawahlunto pertjaja kepada saja. Hampir sekalian orang mengatakan saja kebal, sebab berani menangkap orang mengamuk dan menjelesaikan per kelahian ketjil-ketjil. Pada hal sekalian saja lakukan karena putus asa---tak betah hidup lagi. Tetapi takdir Allah berlain dengan kehendak saja.
Orang tunduk kepada saja; walau saja katakan saja tak pandai, kata orang saja pandai djuga pelbagai matjam ilmu. ,,Pada suatu hari datang seorang mandur muda kepada saja, jaitu mandur jang digantikan I Mappabangka ini. Ia meminang seorang gadis, anak seorang saudagar kain dipasar Sawahlunto. Permintaannja ditolak oleh saudagar itu, sebab ia beringin supaja anaknja kawin dengan orang jang sedaradjat dengan dia djuga. Oleh karena mandur itu sangat suka kepada gadis itu, ditjarinjalah akal akan memperoleh dia. Gunag u n a .... Ia datang kepada saja minta ilmu pekasih itu. Saja katakan saja tidak pandai, tetapi katan ja:,,Orang Mengkasar selamanja kampioen ilmu guna-guna. Masakan uak tak kan tahu! Tolonglah saja, uak. Saja beri uak uang berapa djuga uak kehendaki” . ,,Kalau mau memberi saja uang lima puluh rupiah” , kata saja dengan maksud berolok-olok, sebab tak lantas angan saja, ia akan berani mengeluarkan uang sebanjak itu, ,,boleh saja tolong” . ,,Djadi” . ,.Sebentar itu djuga dibukanja dompet uangnja, dikeluarkannja uang kertas dua puluh lima rupiah dua helai dan diberikannja kepada saja” . „Engkau terim a?” ,,Tak dapat mengelak lagi. Saja nekat sudah. Saja senangkan hatinja dengan perkataan, mudah-mudahan dalam tudjuh hari akan diperolehnja kabar baik tentang gadis itu. ,,Ketika orang muda itu sudah pergi dengan pengharapan, saja pergi kepada seorang perampuan tua jang biasa berdjual nasi dekat tangsi. Kebetulan ia kenal kepada pamili saudagar kain itu. M aka saja pesankan kepadanja, bahwa kalau gadis itu tidak dipertunangkan dengan mandur muda itu, uak Sore akan datang mengamuk kerumahnja. ,,Rupanja antjaman saja itu disampaikan oleh perempuan itu dengan segera, sebab enam hari kemudian dari pada itu mandur itu datang mengabarkan kepada saja, bahwa ia telah diterima oleh saudagar itu mendjadi menantunja” . ,,Hm, ada-ada sadja” . ,,Dan semendjak itu saja sudah mashur pandai guna-guna, tuan. Berpuluh-puluh orang muda datang kepada saja minta ilmu itu. Mereka itupun saja adjar, apa boleh buat, dan masing-masing memberi kepada saja banjak sedikitnja” . ,,A pa jang kamu adjarkan?” ,,Ilm u kelong-kelong Mengkasar. Mereka pertjaja sadja, sebab mereka tak tahu artinja” . ,,Ha, ha, ha, penipu djua kamu rupanja” , kata radja dengan geli hatinja. ,,Karena terpaksa, tuan” . ,,Mudjarrab ?” ,,Entah, tetapi lain dari pada ilmu itu, banjak pula ilmu lain diminta orang. Rupanja karena mereka pertjaja dan asjik melakukan adjaran saja, seperti tachjul, memberi berkat djua kelong-kelong itu” .
,,Lain tidak karena bodoh___” ,,Itu sebabnja maka saja ada beruang keluar dari perantaian. Tetapi tak guna dipandjangkan perkara itu lagi. Karena kami hendak pulang, kami mohon diri kepada tuan” . ,,Tunggu sebentar lagi” , kata radja itu. ,,Senang hatiku bersua pula dengan anak Mengkasar. Dan engkau Mappabangka, tentu sudah tebal pula ilmu engkau, diadjar oleh uak ini” . Mappabangka tersenjum. Kemudian ia bertanja: ,.Sekalian ilmu Mengkasar ada dalam bahasa M engkasar?” ,,Tidak” , kata radja. ,,Ada djuga jang dalam bahasa lain, jang tidak diketahui oleh orang Mengkasar” . ,,Kalau demikian, tidak menaruh sjakkah tuan, kalau-kalau orang kita sudah terketjoh sebagai orang Sawahlunto ditipu oleh uak Sore itu? Siapa tahu, barangkali ada pula dahulu orang asing datang keMengkasar, lalu mengembangkan ilmu pula dengan bahasanja” . ,,Boleh djadi” , kata radja. ,,Sebab orang bodoh lekas tertipu oleh orang tjerdik” . ,,Saja tidak menipu” , kata uak Sore sambil tertawa. ,.Melainkan orang pertjaja kepada saja, dan karena itu diberinja saja uang dengan suka hatinja” . ,,Ha, ha, ha” . ,,Sekarang hari sudah petang, tuan” , kata uak Sore dengan sukatjita. ,,Kami mohon d iri___Selamat tinggal” . ,,Selamat djalan. Dan kalau tuan-tuan sudah sampai keMengkasar, saja harap, supaja ilmu kelong-kelong itu kamu adjarkan kepada bangsa kita. Dengan demikian moga-moga mereka insaf, djangan lekas pertjaja sadja akan tachjul atau ilmu buat-buatan orang, batja-batjaan jang tak diketahuinja artinja. Selamat djalan” . H. S. D. M u n t u , Pembalasan.
Tim bul niat dalam kalbunja; Terban hudjan, ungkai badai Terendam karam Runtuh ripuk tamanmu rampak. Manusia ketjil lintang pukang L ari terbang djatuh duduk A ir naik tetap terus Tumbang bungkar pokok purba. Teriak riuh redam terbelam Dalam gagap gempita guruh Kilau kilat membelah gelap Lidah api mendjulang tinggi. Terapung naik djung bertudung Tempat berteduh Nuh kekasihmu Bebas lepas lelang lapang Ditengah gelisah, swara sentosa. * * * Bersemajam sempana didjemala gembala Zuriat djelita bapaku Iberahim Keturunan intan dua tjahaja Pantjaran putera berlainan bunda. Kini kami bertikai pangkai Diantara dua, mana mutiara Djauhari ahli lalai menilai Lengah langsung melewat abad. Aduh kekasihku Padaku semua tiada berguna Hanja satu kutunggu hasrat: Merasa dikau dekat rapat Serupa M usa dipuntjak Tursina. A m ir H a m z a h .
PENGHULU W IJK X Djika diturutkan djalan kota Padang jang menjisi pantai arah keutara, maka dilaluilah beberapa buah kampung jang mempertali-talikan kota itu. Kampung jang penghabisan sekali ialah kampung Purus namanja. Lepas dari situ djalan terentang dengan lurus dan sunjinja. Kiri kanan tak ada rumah dan gedung-gedung lagi, hanjalah belukar dan rimba rumbia sadja. Tiada djauh disebelah kiri djelas terdengar ombak memetjah diatas pantainja jang landai. Bunjinja berdebur-debur diiringi desau aimja. Ombak Purus itu memang temama sekeliling kota Padang; bahkan seluruh Minangkabau banjak disebut-sebut orang, sehingga apaapa jang sangat gemuruh dibandingkanlah dengan bunji ombak Purus. Kata orang, waktu malam, waktu sunji-senjap, ombak jang mendeburdebur itu bagai bunji orang memanggil. Kira-kira tiga kilometer djalan jang sunji itu, sampailah kesebuah kampung, Ulakkarang namanja. Kampung ini tiadalah ramai dan rumahrumahnjapun tiada banjak. Menilik keadaan rumah-rumah itu njatalah penduduknja tiada susah benar penghidupannja, tetapi kaja-kajapun tidak. Pentjaharian mereka jang terutama ialah berkebun kelapa dan menangkap ikan. Diantara rumah-rumah jang sederhana itu adalah sebuah rumah jang agak besar dan indah, terdiri ditengah-tengah kebun kelapa jang lebar. Tiangnja besar-besar, njata tampak dari djalan dan dihalamannja terdiri sebuah rumah tabuh jang besar. Djauh dibelakang tampak dua leret kandang sapi jang berpetak-petak dan tiap-tiap petak itu ada seekor sapi didalamnja. Setiap pagi kelihatan dua orang budjang memerah susunja. Pada pagi jang ditjeritakan ini keduanja asik pula memerah, selesai jang seekor pindah kepada jang seekor. Dekat kandang itu kelihatan seorang anak gadis sedang memberi makan ajam. Tangan kirinja memegang sebuah bakul, sedang tangan kanannja sebentarsebentar menaburkan padi bertjampur djagung. Maka berebut-rebutanlah ajam jang banjak itu, ganti alah-mengalahkan, ganti usir-mengusir. Anaknja bertjiap-tjiapan kesana-kemari, dan induknja berkeokan diburu oleh jang lain. Gadis itu girang benar rupanja melihat perbuatan piaraannja itu. Mukanja merah berseri-seri dan sebentar-sebentar kelihatan senjumnja bermain pada bibir jang merah delima itu. Alangkah manisnja gadis itu berdiri disela-sela tjahaja matahari pagi jang melalui daundaun kelapa jang banjak itu. Bertelau-telau panas itu tiba ditubuhnja jang lampai. Ketika itu datang seorang laki-laki separuh baja; badan orang itu ketjil tetapi berisi, hidungnja pesek, matanja sipit dan kepalanja ketjil. Pakaiannja segala hitam. Dengan hormat ditegumja gadis itu: ,,Pagi-pagi sudah memberi makan ajam, Fatim ah!" ,,Pagi-pagi apa djuga lagi ini? Lihatlah matahari sudah tinggi! djawab gadis itu dengan tidak memandang kepada orang jang menegurnja itu.
,,Sudah banjak jang bertelur, Fatim ah?” tanja orang itu pula, sambil memperhatikan gadis itu dari sisi. ,,Sudah lima ekor, dan jang burik tiga ekor itu sudah mentjari-tjari sangkak pula. Tolong udo buatkan sangkaknja nanti; sebab sangkak jang lain sudah berisi semua!” ,,Baik, Fatimah! Nanti hamba buatkan. Hamba sekarang hendak meli hat si Abolo dan siAh'omemerah. Sudah begini hari belum djuga selesai!” Maka pergilah ia kekandang sapi. Dari djauh dia sudah bersorak menegur kedua orang jang memerah itu, sehingga suaranja njata terdengar kepada Fatimah: ,,Hai, hai, belum djuga selesai? Sudah begini tinggi hari? Bila djuga akan diantarkan kepada langganan-langganan?” ,,Kalau kaki kami dapat pula bekerdja, tentu tadi-tadi sudah selesai” , djawab seorang diantara mereka itu. ,,T api dua puluh ekor sapi tak dapat disudahkan berdua sadja dalam sepetanak. Engkau pandai membentak-bentak sadja, menolong tak mau. Kalau kedengaran teriakmu kepada engku Pandeka, tentu dia pikir betul-betul kami berlalai-lalai. Pada hal sudah rasakan tanggal pangkal lengan sedjak dari waktu subuh. Engkau benar-benar pandai mengambil muka sadja. Kalau kami kena marah pula, awas engkau! Sekali ini tak peduli lagi, kami adjar mulutmu jang lantjang itu, biarpun kami akan diusir dari sini. Sudah tjukup kami menanggung karena perbuatanmu” . jjHai, hai, kenapa engkau merengut sadja sepagi in i?” kata jang datang dengan senjum agak tjemas, melihat sikap kedua budjang itu. ,,Bekerdja sadjalah baik-baik, supaja senang hati induk semang kita” . ,,Biar kepala kami turut bekerdja, engkau djuga jang akan dapat pudji, kami akan djadi landasan kata djuga. Karena engkau pandai mengambil muka, engkau pandai menjandjung-njandjung, engkau pandai berminjak air. Lagi telingamu tebal, djantung hatimu tak ada. Tapi kami tak dapat begitu” . >»Jang kemudian itu tak ada padaku, sobat! Tetapi menjandjungnjandjung, berminjak air, apa pula salahnja? Siapa jang tak pandai menjandjung-njandjung, siapa jang tak tahu berminjak air, siapa jang tak pmtar menenggang hati, pajahlah hidupnja. Bukankah ada gurindam 0rai^T ^alau pandai berinduk semang, lebih seelok ibu kandung?” . ’ ’| aP‘ Perbuatanmu sama dengan menipu induk semang” , kata si . n§an tadjam. ,,Karena hendak disajanginja, tidak peduli dusta, 1 ak peduli bohong, tidak peduli kawan jang akan kena tjatji maki, semuanja enak sadja keluar dari mulutmu” . >,Hai, hai, engkau matjam orang iri hati rupanja; karena aku senang ari padamu? Ingatlah, orang jang suka mengiri, selalu akan makan a 1. Lagi apa jang engkau irikan kepadaku? Busukkah hatiku padamu? a u aku pudji-pudjikan pekerdjaan kawan-kawan kepada induk semang,iSupaja induk semang kita senang hatinja. Misalnja saja katakan: Si A lio 1) tjepat kerdjanja sebagai namanja, si Abolo 2) kuat bekerdja
*) A1" artjnja tjepat.
2) Abolo, kuat.
P EN G H U LU W IJK X
#
165
sebagai namanja pula; begitu djuga kawan-kawan jang lain, seperti tukang menjabit rumput, tukang memandjat kelapa, tukang masak dan sebagainja". ,,0 , ja, sebentar ini engkau pudjikan pula kami kepada induk semang", kata A lio dengan g eram .,,Engkau sorakkan matjam suara hantu pemburu. Sebentar lagi tentu beliau datang mentjatji maid kami dan engkau boleh bergendang paha". ,,M asalah begitu, aku tak suka membusuk-busukkan kawan. Tadi aku hanja berolok-olok sadja. Lagi induk semang kita dari kemarin terang benar harinja, tak kelihatan gabak sedikit djua. Semalam aku dipanggilnja akan melihat pakaian-pakaian jang baru dibelinja dikota. Ah, kalau engkau ada, tentu titik air liurmu melihat. A ku disirihinja rokok Manila. Dengan hati-hati aku ambillah sebuah dari dalam kotaknja, lalu aku urutkan kehidungku akan membaui. ,,A h , ini ajahnja benar, tentu bertambah mudaku setahun", kataku tersenjum-senjum. ,,A m billah sebuah lagi untuk nanti!" kata beliau. ,,T api bukan sebuah aku ambil; ini lihat, dua aku kantungkan, aku ingat kepadamu. A ku tak mau memakan jang enak-enak sendiri sadja. Nah, ambillah sebuah seorang. Bukan main enaknja, rasakan gugur bulu hidung olehnja". A lio dan Abolo berhenti bekerdja, lalu memandang dengan mata berkilat-kilat kepada tjerutu jang sebesar besar djari itu. Maka diambillah bagiannja masing-masing sambil tersenjum-senjum. Hati mereka jang kesal tadi, hilang lenjap dibawa asap tjerutu itu. ,,Betul engkau orang baik, Badu'', kata Alio. ,,Djika tiap-tiap engkau mendapat rezeki begini engkau tenggang djuga kami, alangkah baiknja. Salahnja kalau berlebih dari perutmu baru engkau ingat. Rokok ini tak mungkin dua engkau tjuri, sekurang-kurangnja lima. Sesudah bosan engkau merokok, baru sisa-sisanja kaubagi kepada kami. Tjoba bersumpah kalau tidak!" ,,Banjaknja betul lima, tetapi bukan aku tju n ", kata si Badu dengan tidak malu-malu. ,,Nah, apa kataku! Tentu engkau ambil waktu mduk semang terlengah". . ,,Tidak, ada beliau melihat; tapi hanja sebuah jang tampak oleh beliau, jang empat mendjslunut masuk lengan badjuku . „H a, ha, ha, rokok Manila tjurian jang diberikannja kepada awak. Karena ia takut akan berdosa seorang, dibawa-bawanja pula awak serta. T api biarlah, barang ini hasil tjutjur peluh kita djuga, hasil tenaga tulang jang delapan kerat ini. Kalau akan berdosa djuga, biarlah dipikul oleh si Badu seorang. Dia jang tiada berdjerih berpajah sedikit djuga, tetapi selalu dapat jang enak, karena tak malu menipu kawan dan pandai
mengambil muka .
^
,,Hai, clok benar perangaimu, Alio! Sudah orang beri rokok Manila sebuah,' masih engkau katakan aku tukang menipu kawan. Betul-betul engkau tak tahu adat. Heran, sudah begini lamanja tinggal dikota, masih terbawakan adat d i___Ah, aku rasa namamu itu jang tak baik;
elok ditukar, djangan si Alio, si Abolo djuga. Itu bukan nama orang sini. Lain tidak membukakan punggung buruk tak berbadju sadja". ,,T jis, tak malu! engkau orang mana?” kata si A lio sambil mengemjitngemjitkan hidungnja. ,,Orang sini? Ehm ? Biarpun namamu tidak si Barota atau si Balugu, tetapi pada mukamu, pada ketjekmu, pada tingkahmu, terang oleh orang sebagai bersuluh matahari, engkau orang sana djuga sebagai kami. Induk semang kitapu n... .” ,,T api kami sudah___” ,,Badu! Badu!” terdengar orang memanggil dari rumah jang besar itu. ,,Ja, engku!” djawab si Badu dengan hormat.
,,Mana engkau? Mari lekas!”
,,Hamba menolong anak-anak memerah!” ,,Setan, lihatlah pengambil mukanja” , kata Alio bersungut.,.Menolong anak-anak, katanja, pada hal dia membual sadja disini” . ,,Ajoh, tinggalkan itu dahulu! M ari lekas, kalau aku memanggil!” ,,Ja, engku, hamba datang!” kata si Badu sambil berlari-lari naik kerumah. Didalam sebuah bilik jang besar, berdiri seorang laki-laki setengah baja, kira-kira umur 45 tahun, menghadapi sebuah tjermin besar. Dari dalam tjermin itu njata terbajanglah bentuk badan dan mukanja. Badannja gemuk dan rendah, hampir-hampir empat segi, kepalanja besar dan lehemja pendek. Tulang rahangnja kembang, mendjulur keluar, mukanja lebar; hidungnja besar dan penjek, matanja agak sipit dan mulutnja lebar. Kakinja pengkar, dan tapaknja datar sadja, hampirhampir tak ada lekungnja. Dengan gagah ia memandang kedalam tjermin, sambil mematutmatut lekat destar seluk ,,tjiling menururi* jang baru disuruh buatkannja, jaitu sematjam destar bangsawan-bangsawan kota Padang. Karena destar itu agak ketjil buatannja, sedang kepalanja besar, maka tiada padat terletak diatas kepalanja. ,,Bagaimana pendapatmu, Badu?” tanjanja setelah si Badu masuk kedalam.
>»Tentang apa, engku?” .,Tentang destar ini, pandir!” hardik orang itu. ^ Si Badu tersurut, karena terkedjut mendengar hardik induk semangnja jang keras itu. ,,Wah, tjelaka!” pikimja dalam hati. ,,Alamat tak baik ini!” ,,Kenapa engkau membisu sadja? Tjoba keluarkan timbangan kepalamu jang kosong itu!” .(Menurut tilik hamba, engku, agak___!”
,,Agak ketjil?" kata induk semangnja dengan hardik pula. »Ja, agak ketjil sedikit, engku!” djawab si Badu perlahan-lahan. "Engkau pandir!” ,,Boleh djadi, engku!” »>Engkau dungu!” ,,Boleh djadi, engku!”
,,Engkau bebal!” Si Badu berdiam diri, tetapi mulutnja tampak bergerak-gerak. ,,Masalah destar dibuat longgar? Tentu dilulumja kepala. Kalau kopiah boleh djadi. Destar mesti tertonggok, baru tampan! Mengerti engkau?" ,,Benar, engku, benar! Hamba kira kopiah djuga. — Kekirikan sedikit lagi, engku! Tundukkan sedikit, engku!" „Begitu, B adu ?" ,,Sedikit lagi, engku! Naah, begitu baru kena gi/mja” . ,,Apa katamu?" „B aru kena raginja, engku. Baru tampan!" Induk semang si Badu tersenjum-senjum dapat pudjian itu. Kemudian katanja pula: ,,Apa pasangannja lagi, Badu?” ,,TjeIana batik, sarung Bugis, engku! Badjunja sebarang sadja; lakan djadi, lenanpun djadi. Lain dari itu tongkat gading, terompah kulit". ,,Betul, Badu, betul! Sudah terang kembali pikiranmu. Mengapa engkau tadi matjam orang tak siuman?" ,,Perut hamba kosong, engku!" ,,Kenapa? Belum makan?" ,,Benar engku! Dari semalam hamba belum makan. Tahulah, entah apa sebabnja mak si Bujung dari kemarin marah-marah sadja; dia tak mau memasak, tak mau kedapur, tak mau disuruh, duduk merengut sadja. Sampai tadi pagi masih begitu djuga!” ,,Ha, ha, ha, pandir! Engkau tak tahu adat perempuan. Itulah, tak mau beladjar djadi orang! Ajoh, pergi kedapur lekas! Minta nasi sama koki Minah. Goreng ajam jang semalam masih ada!" Si Badu terbang kepintu. Tetapi sampai dibalik pintu ia berhenti. lalu menungging dan menggaru-garu mukanja, mengedjekkan induk semangnja itu dan kemudian lenjaplah ia masuk dapur. Tetapi dipintu dapur, ia dipukul oleh Mak Minah dengan tangkai senduk. ,,Kurang adjar, induk semang diperolok-olokkannja” , kata Mak Minah dengan belalak mata. ,,Nanti aku katakan pada beliau, supaja diusimja engkau dari sini” . ,,Ampun mak, ampun! Lain kali tidak lagi!" kata si Badu dengan takut. ,,Aku disuruh beliau kemari akan minta nasi dengan goreng ajam. Tolonglah ambilkan mak, aku lapar amat". „N ah, akan disuruhnja memadat perutmu engkau tadi. Mengapa beliau engkau sungging-sunggingi begitu? Kalau lain kali---- !" „L ain kali tidak, mak! Sekali ini ampun!" kata si Badu memutus tjakap orang tua itu. ,,Lekas nasi, mak! Aku mau pergi dengan beliau” . ,,Katakan sadjalah perutmu lapar!" kata M ak Minah, sambil menjendukkan nasi. Si Badu makanlah, matjam kera lepas keladang. Sementara itu induk semang si Badu mengenakan dan mematutmatut pakaian jang dinasihatkan si Badu tadi. Bertjelana batik halus,
bersarung Bugis hingga lutut, berbadju djas gunting Keling dan dikepala tertonggok destar seluk ,,tjiling menurun” . Sedang ia mematut-matut itu si Badu sudah selesai makan, lalu masuk. Ia agak terkedjut sedikit, tertegak dipintu tengah beberapa lama. ,,Astagfirullah, hampir lupa hamba!" katanja perlahan-lahan, tetapi terdengar djuga kepada tuannja. ,,Bagaimana, Badu? Kenapa engkau m engutjap?" tanja tuannja dengan muka berseri-seri. ,,Hamba kira bukan engku". ,,Engkau kira siapa, B ad u ?" ,,Hamba kira M ak A tjik Sutan Berahim !" ,,M ak Atjik Sutan Berahim? Penghulu wijk IV itu? A h, jang benarbenarlah, Badu? Engkau hendak menjandjung-njandjungkan sadja barangkali!" „Sungguh mati, engku, tak salah sedikit djuga! Rendah rendah engku, gemuk gemuk engku, serupa benar dengan beliau. Apalagi kalau pakai katja mata pula". ,,Rupanja sesudah perutmu padat, matamu djadi terbuka dan pikiranmu djadi terang. Nah, itu rokok Manila dalam almari masih ada, ambillah sebuah supaja pentjiumanmu djadi tadjam pula! Pengiring seorang ,,bangsawan" lagi kaja tak patut dungu matjam kerbau! Ha, ha,ha! Matjam-matjam sadja si Badu ini; dikatakannja awak serupa Mak Atjik Sutan Berahim ". Ia tertawa terbahak-bahak, sebagai menertawakan kebodohan si Badu, tetapi pada matanja jang berkilat-kilat itu njata benar kesenangan hatinja dibanding-bandingkan oleh anak semangnja dengan Sutan Berahim, bangsawan tinggi kota Padang itu. ,,Katja matanja lagi, engku!" kata si Badu sesudah menghirup rokok tjerutunja. ,,Biar ragu orang se-Ulakkarangnja melihat engku I Kalau tak orang sangkakan engku M ak Atjik Sutan Berahim, djangan hamba dipanggilkan anak si Loh o". Sesudah berpakai-pakai berkata pula induk semangnja: ,,Marilah kita sekarang keperalatan engku Sutan Putih itu, Badu! Baik kini-kini kita berangkat sementara hari belum panas benar, djadi boleh bermain-main didjalan. T ak guna kita naik bendi, karena hari masih pagi". Iapun turun dari rumah diiringkan oleh si Badu dari belakang. Bunji tongkat semambunja jang berkepalakan gading itu berdentam-dentam tiba ditanah. Kepalanja berdiri tegak dengan gagah; tetapi bukanlah semata-mata dengan maksud hendak menggagah sadja, hanja karena terpaksa djuga berbuat demikian, sebab takut destamja akan djatuh; maklumlah lekatnja tiada erat, lagi belum biasa terletak diatas kepala ,,bangsawan baru" itu. Mereka menudju kekampung Purus, kerumah Sutan Putih, karena disana orang berhelat menurun mandikan anak. Segala orang jang bertemu didjalan dari djauh sudah menepi-nepi akan menjatakan hormatnja kepada ,,bangsawan tinggi" itu. Akan tetapi setelah dekat, semuanja terbelalak matanja dan temganga mulutnja,
sehingga tegur sapa jang biasa diutjapkan djika bertemu, tiada keluar lagi dari mulut. Setelah terbelakang, berbagai-bagailah perangai mereka itu, ada jang mentjubit bibimja, ada jang mentjabut rambutnja dan ada pula jang menekankan perutnja akan menahan gelak. Tetapi gelak mereka bersemburan djuga, terkakah-kakah: ,,M asja Allah! Betul dunia sudah tua!” kata mereka dengan tertawatawa. ,,Aku kira bukan si Amat Pendek jang melagak matjam penghulu kota Padang itu. Sudah gila rupanja dunia ini!” Mereka tertawa-tawa pula. Adapun si Amat Pendek jang bergelar engku Pandeka dan induk semang si Badu itu tiada mempedulikan tertawa mereka, ia terus djuga berdjalan dengan gagah. Si Badupun berbuat sebagai tuannja pula, tetapi sekali-sekali ada djuga ia menoleh kebelakang, kepada kawan jang tertawa-tawa itu, sambil tersenjum-senjum. Achim ja induk semang dengan anak semang itu sampai kerumah Suleman, tukang pukat jang banjak olok-olok. Suleman duduk dihalaman dengan beberapa orang kawannja sedang menjirat dan mendjemur pukatnja. Waktu tampak olehnja orang kaja itu hendak lalu diiringkan budjangnja, melagak sebagai penghulu-penghulu kota Padang, hampir sadja ia bersorak memberi tahu kawan-kawannja. Tetapi achimja dapat olehnja suatu pikiran. Gelaknja jang telah sepenuh perut itu ditahannja sedapat-dapat, lalu berkata perlahan-lahan kepada kawan-kawannja: ,,Hai, kawan, ketepi duduk sedikit, engku penghulu wijk sepuluh mau lalu!” Kawan-kawannja tertjengang mendengar seru Suleman itu, karena dimana pula ada wijk sepuluh; kota Padang hanja dibagi sembilan wijk dan tiap-tiap wijk dipegang seorang penghulu. Diatas penghulu jang sembilan itu, adalah tuanku Regen. Sebagai sama digerakkan mereka itu menengok kebelakang. Ketika itu tampak oleh mereka seorang pendek berdjalan dengan gagahnja; beberapa lamanja mereka ternganga sadja sebab keheranan. ,,Ssst, pura-pura tak tahu sadjalah!” kata Suleman pula. ,,Djangan gelak-gelak! Kalau dia lalu, tegangi sedikit tali pukat itu!” Maksud Suleman lekas dimaklumi kawan-kawannja, dan merekapun tak menoleh-noleh lagi, tunduk asjik menambal pukatnja jang robekrobek. Sementara itu keduanja sampailah kesana, berdjalan dengan kotjaknja, tiada menoleh kepada Suleman dan kawan-kawannja, seolah-olah ia hendak melagak tukang pukat jang miskin-miskin itu. „M aukemana, Mak A tjik? Singgahlah dahulu!” tegur Suleman dengan hormatnja. Engku Pandeka tidak mendjawab; ia memandang dengan sudut matanja sadja, sedang mukanja -kelihatan amat asam, karena ia tahu bahwa tukang pukat itu memperolok-olokkannja. Ketika itu kawankawan Suleman menegangi tali pukat jang terdjemur ditengah djalan. Penghulu wijk X jang tiada melihat tanah itu, tiba-tiba kakinja ter-
sandung pada tali pukat, lalu djatuh tersungkur ketanah. Si Badu jang hendak menolong tuannja, tersangkut pula kakinja, iapun djatuh menimpa tuannja, sehingga terdengar bunji napas tuannja itu mentjitjit dikerongkongan. Destar ,,tjiling menurun” telah djatuh berguling-guling. Badju lakan gunting Keling sudah bergemilang dengan pasir bertjampur tanah. Dengan sangat marah berdirilah engku Pandeka dari djatuhnja, sambil membelalang kepada Suleman. ,,Anak babi kamu” , hardiknja, ,,Akan membunuh orang engkau tengah djalan ini? Engkau pasang djerat supaja orang djatuh?” ,,Bukan djerat, Mak A tjik!” djawab Suleman dengan hormat, tetapi tjemooh. ,,T ali pukat!” ,,Ja, tali pukat engkau buat pendjerat orang, binatang? Memang engkau kurang-kurang adjar!” ,,Setiap hari pukat terdjemur disini, M ak Atjik, sebilang waktu orang lalu lintas, tak seorang djuga jang ditegumja matjam M ak Atjik. Barang kali karena Mak Atjik dilihatnja sudah agak lain dari biasa! ,,Setan! Apakah saja ini mak atjikmu, m a k a e n g k a u panggil-panggilkan Mak Atjik? Anak kurang pengadjar! Ajoh, adjar mulutnjajang kotor itu! Si Badu madju kedepan sambil membelalak pula kepada Suleman. Tetapi ketika dilihatnja kawan-kawan Suleman bergerak hendak berdiri, dengan tjepat si Badu undur, lalu berbisik kepada tuannja: ,,Apa gunanja kita lawan sampah dunia itu, engku! Biarpun kita menang, nama engku djuga jang akan aib. Orang makan masak mentah itu akan dilawan?” ,,Kalau hatimu gentar, katakan sadja terus-terang! Djangan banjak ketjek-ketjek lagi!” kata tuannja dengan mempergesek-gesekkan geraham dan membelalang kepada anak semangnja. Maka dipungutnja destar tjiling menurunnja jang penuh berlumur pasir, lalu berangkat dari sana. Baharu sadja ia terkebelakang, Suleman sudah berseru kepada kawankawannja: ,,Hai, sampah dunia, lapangkan djalan, penghulu Lahewa mau lalu! Suleman berdjalan membusungkan dada, memandang tinggi kelangit, dikepalanja terletak sebuah bakul ikan jang ditelengkannja kemuka. Melihat olok-olok Suleman itu kawan-kawannja riuh tertawa. ,fHai, penghulu Lahewa Pendek, terus sadjalah masuk laut itu! kata jang seorang. , n ,,Hai, penghulu Lahewa pondik, ini ada tali putih untuk berkudjut! kata jang seorang pula. ,,Hai, penghulu Lahewa pongah, ini ada arit untuk djadi kudamu! kata jang lain lagi. Tiba-tiba penghulu Lahewa djatuh terguling-guling dan menjumpahnjumpah. Gelak kawannja semakin riuh, sambil memukul-mukul kaleng kosong. Orang kaja itu terpaksa djuga menengok kebelakang melihat olok-olok jang menusuk-nusuk hatinja itu. Ia memandang dengan geram,
matanja berapi-api, mukanja merah padam. Tetapi apa hendak dikata, si Badu sudah basah tjelananja ketakutan, tak dapat dibawa ketengah, terbulang pada induk itik. ,,Hai, kawan, engkau sudah terlampau amat ini!” tegur kawan-kawan Suleman. ,,Tjelaka engkau nanti dibalaskannja. Hatinja tak sama dengan hati kita. Kalau ia sudah mata gelap, ganasnja matjam babi luka!” ,,Biar disigainja langit, biar disiarnja tebatV' djawab Suleman dengan angkuh. ,,Mengutuk hati saja melihat pongahnja. Mentang-mentang ia kaja, semua kita ini hendak diindjaknja sadja. Baru kemarin dia turun kemari, sudah mau melagak-lagak. Awak ini sampah sadja tampak olehnja. Lebih-lebih padaku sangat benar bentjinja! Entah apa sebabnja aku tak tahu. Agaknja berbulu matanja memandangku!” ,,Sebab tiap-tiap bertemu, dia selalu engkau olok-olokkan” , kata kawannja. ,,Tentu sadja menjangkak hatinja melihat engkau. Tetapi kalau engkau pandai mengambil-ambil hatinja, aku kira mau ia meng ambil engkau djadi menantu. Apalagi rupamupun ada tjakap diantara kami semua ini” . ,,Benar, Suleman, anaknja matjam si Bungsu, berdarah tumitnja dipidjakkan” , kata jang lain. ,,Ha, ha, ha! matjam-matjam sadja pendapatmu!” kata Suleman tertawa-tawa. ,.Tetapi benar djuga seonggok; anaknja memang kinantan, dalam kampung kita ini tak berkakak lagi. Apa katamu tadi ? M au dia mengambil orang matjam kita ini djadi menantu ? Tukang pukat makan kerawat, si miskin tak tahu diri, si hina tak tahu malu? Puah! Sedangkan si Didong tunangan si Fatimah sekarang, tunangan sedjak dari ketjil, orangnja tjakap, putih bersih, bergadji, ibunja orang tjukup pula, lagi dibentjinja. Apalagi kita matjam sempelah orang ini, sebagai katanja itu! Untuk pembasuh kaki anaknja sadja barangkali tak patut” . ,,Djadi si Fatimah sudah bertunangan dengan si Didong?” kata seorang kawan. „T a k kutahu! Patutlah anak muda itu atjap kali tampak olehku disana. Aku kira dia pergi bertandang-tandang sadja. Maklumlah orang sama-sama dia” . Tapi si Didong sudah djauh” , kata Suleman. „K ata orang neneknja dahulu jang datang dari sana. Aku rasa sekurang-kurangnja sudah tiga angkat meminum air disini . , , 0 1 1 Si Amat Pendek djuga sudah bergelar , kata kawannja pula. „Sebab itu engkau mesti ingat-ingat, djangan dnmbau-imbau djuga Amat Pendek, nanti engkau didakwanja” . ,,Siapa gelam ja?” ”Waah, kalau begitu, rupanja engkau belum tahu; gelamjaPandeka” . Pandeka apa?” ” ltu aku tak tahu, entah Pandeka Langit, entah Pandeka Bumi, entah Pandeka Kulun-kulun” . Masja Allah, betul baharu aku mendengar! kata Suleman dengan gelak terbahak-bahak. „ Siapa jang memberi dia gelar ?” „ Boleh engkau tanjakan padanja, aku tak tahu, tapi boleh djadi dia
Drewes,
Mentjari ketetapan baru.
12
sendiri jang mentjari gelar itu. Tjum a aku dengar orang-orang memanggilkan dia demikian” . ,,Kalau begitu baiklah! Dari sini keatas tahulah aku. Nanti aku panggilkan Pandeka Samik atau Pandeka Pendek” . Suleman tertawatawa dan kawan-kawannjapun tertawa-tawa pula. ,,T adi engkau katakan, engku Pandeka bentji akan bakal menantunja itu, bagaimana pula djalannja?” tanja kawannja. „A k u dengar, semendjak ia berkenalan dengan Sutan Adjis, engku kelerek dikantor Tuan Besar, dia tak peduli lagi pada si Didong” . ,,Hendak mengambil Sutan itukah ia djadi menantunja?” ,,Siapa tahu, dia hendak memandjat langit pula” . ,,Kalau benar begitu, betul gila si Am at Pendek!” Sementara itu Pandeka dan budjangnja sampailah tentang sebuah kebun kelapa jang lebar. Itulah sebuah diantara kebun-kebun kelapanja, jang ditunggui oleh seorang budjangnja bemama A li. Hati orang kaja itu masih bemjala-njala karena marahnja tiada lepas. Maka memandanglah ia kekiri dan kekanan dengan mata berapi-api, mentjari apa-apa tempat melepaskan marahnja itu. Untung akan mudjur tampak olehnja seperinduan kambing sedang makan daun-daunan didalam kebun. Melihat itu sebagai disengat kaladjengking Pandeka melompat menghentam tanah, menghardik mendamik dada: ,,Binatang keparat! binatang akan disepah harimau! A pa dikiranja ini tjentjang latih ninik mojangnja? Hiis, musnakanlah harimau!” Sementara tuannja merentak-rentak dan mendamik-damik dada, si Badu berdiri dibelakang, sambil menguap-uap, mengangakan mulutnja lebar-lebar sebagai orang jang sangat djemu menonton suatu permainan, jang tidak sedikit djuga menarik hati. Tiba-tiba Pandeka berhenti menjumpah-njumpah; ia menudungkan tangan kematanja, sambil memandang dengan tadjam kesuatu pendjuru. ,,Ada orang aku lihat dikebun, Badu!” serunja dengan bengis. ,.Tentu pentjuri pula jang telah masuk memalingi kelapaku. Boleh djadi si Ali tak dirumah sekarang. Tapi nantilah.. . . ! ” Si Badu memberani-beranikan hatinja lalu berkata: ,,Lebih baik kita terus dahulu keperalatan itu, engku! Nanti kita terlambat, orang selesai kita datang” . ,,Bodoh, pandir, bingung, itu djuga jang teringat olehmu? Hartaku sudah lindang tandas oleh orang tak engkau pikir! Lagi engkau kira aku tak bermalu, pergi dengan pakaian jang sudah begini? Ajoh, kedjarlah orang itu!” „Ajohlah engku dahulu!” kata si Badu dengan muka jang kelihatan amat sebal, karena harapannja akan makan kari Benggala ditempat peralatan itu sudah putus. ,,Ajoh, engkau jang saja perintah, binatang!” ,,Bertua-tua djugalah kita ba' indajang, engku! Karena engku jang tua, engku dahulu! Ketulahan hamba kalau mendahului engku” . ,,Tiis, andjing betina! Betul dikandang sadja engkau menjalak. Diluar
melihat tikus engkau takut. Jang tampak olehku itu bukan bangsa sempelah dunia tadi, hanja perempuan tua” . Sambil berkata itu Pandeka berlari memburu orang itu. Karena ia takut destamja akan djatuh, maka sebelah tangannja menekankan destar itu dikepala dan jang sebelah memegang tongkat sambil mengangkat sarung. Tak ada ubahnja dari perempuan berlari sedang mendjungjung beban. Si Badu mengiring dibelakang dengan mementjak-mentjak dan sebentar-sebentar ditekankannja perutnja menahan gelak. Tak tahan hatinja melihat induk semangnja itu berlari dengan matjam itik pulang petang. Tiba-tiba kaki Pandeka tersaur pada akar, lalu berdembam bunji tjempedak djatuh. Untunglah si Badu dapat mengelak kepinggir; kalau tidak, tentu sudah dua kali pisang berbuah. Tetapi karena mengelak itu ia dapat nista sekenjang-kenjangnja. ,,Anak akan ditjekik hantu! Awak djatuh dia lari. Tidak ditolongnja menegakkan. Tadi dilunjahnja. punggung awak, sekarang dia menghindar. Kalau awak djatuh masuk lubang, barangkali ditimbuninja sadja dengan tanah! Tapi kalau melihat nasi dipiring, tak diimbau ia melompat datang menolong menghabiskan; kalau melihat awak dalam bahaja, ia meng hindar djauh-djauh. Do'anja matjam do'a andjing kurus: ,,M ati djugalah tuanku, supaja orang bersedekah dan perutku selalu kenjang memakan sisa-sisa” . Sambil berdiri ia bersungut-sungut djuga; marah hatinja makin mendjadi-djadi. Tiada djauh dari tempatnja djatuh itu dilihatnja seorang perempuan dengan anaknja sedang mengikat-ikat daun kelapa kering jang dipungutnja dalam kebun itu. Biasanja daun-daun kelapa jang demikian dibiarkan sadja oleh si A li dipungut oleh siapa jang suka. Akan tetapi oleh Pandeka perbuatan jang demikian dipandangnja suatu perbuatan jang amat salah. Entah karena ia sedang dalam marah dan kesakitan, entah karena jang berbuat salah itu seorang perempuan tua jang tiada berdaja. Sambil melompat sebagai pahlawan dimedan perang, tangan perempuan itu ditangkapnja, lalu dihardik dibelalaknja. Hai, pentjuri jang tak bermalu! Kausangka disini wilajat nenekmojangmu? Kausangka disini hak milik ibu-bapakmu? Tidak engkau tahu ini bukan hutan rimba, ini kebun jang dipelihara dan ada jang punja? Ajoh djalan! ikut aku kekantor polisi! Aku masukkan engkau dalam tutupan. Begini djugalah kerdjamu setiap hari, mengambil hak milik orang” . . . Perempuan itu menangis dengan ketakutan. Bibirnja putjat pesi, kakinja gemetar. Daun kelapa jang diambilnja djatuh berserak-serak dari tangannja. Anaknja menangis memekik-mekik mempergantungi kain ibunja. Sudah bertahun-tahun ia memunguti daun-daun kelapa kering disana, tidaklah seorang djuga jang marah; malahan si Ali, penunggu kebun* itu, atjap kali menjuruh dia mengambil daun-daun itu seberapa suka. Tetapi sekarang ia akan dimasukkan orang kedalam pendjara, karena dituduh mentjuri daun kelapa kering itu. Maka dengan tangis dimintanja amat sangat, supaja ia djangan dibawa kepada polisi.
A dapun si Badu biasanja tak peduli ia akan hal orang lain. Baik orang itu sengsara, maupun orang itu melarat, apalagi kalau orang dalam kesenangan. Jang dihiraukannja hanja keperluannja sendiri dan keper luan induk semangnja, lain dari itu ,,masa bodo". Akan tetapi sekali ini, berlain benar ia dari biasa. Pada air mukanja tampak kesedihan hati, teristimewa melihat anak jang sangat ketakutan itu. , ,Ajoh, Badu! kenapa engkau diam sadja? Seret perempuan pentjuri ini kekantor polisi!" kata Pandeka dengan mempergesek-gesekkan geraham. Tiba-tiba si Badu melompat, lalu dipegangnja tangan perempuan itu. Matanja berputar-putar dan gerahamnja berderik-derik, sebagai orang jang sangat marah. Akan tetapi ketika Pandeka terlengah, dibisikkannja ketelinga perempuan miskin itu: ,,Menjembah, minta ampun! panggilkan tuanku kepadanja!” Perempuan itu lekas maklum maksud si Badu. Dengan segera didjatuhkannja dirinja ketanah, lalu berlutut dihadapan Pandeka. ,,iVnpun, tuanku, jang pengasih dan penjajang!" sembahnja dengan tangis. ,,Ampun tuanku jang arif bidjaksana! Kasihanilah jang d a'if lagi hina dena ini! Kalau tidak tuanku, siapa lagi jang akan mengurniai ampun kepada hamba". Pandeka terdiam, matanja terkedip-kedip sudut bibim ja bergerakgerak, sebagai hendak tersenjum, sedang air mukanja djadi berseri-seri. Perempuan itu dibiarkannja sadja duduk bersimpuh diudjung kakinja. Orang menjembah dikakinja, meminta belas lcasihannja, sambil memanggilkan dia tuanku, Amboi, amboi, siapakah dia ? Penghulu wijkkah atau famili-famili tuanku Regen? Beberapa lamanja ia berdiam diri sadja, kemudian katanja kepada perempuan itu dengan rarnah: ,,Kakak djangan berketjil hati! T ad i aku sudah terandjur-andjur, mengeluarkan perkataan jang tiada patut bagi orang baik-baik. Itu bukanlah karena didorong hati marah semata-mata, tetapi hanja sebagai gertak kepada orang-orang jang suka masuk kemari, tetapi tak tahu adat. Bagi kakak tidaklah begitu, karena kakak seorang jang tahu adat istiadat, pandai bersopan-santun. M ulai dari sekarang aku izinkan kakak mentjari kaju atau daun-daun kelapa kering dalam kebunku ini. Djika bertemu kelapa satu dua jang djatuh, boleh kakak bawa pulang. Tak seorang djuga jang akan melarang, karena kebun ini hak milikku sendiri, tak berserikat dengan siapapun". Perempuan itu berdiri dengan hormatnja, lalu undur perlahan-lahan. Dipandangnja kedua laki-laki itu dengan amat heran. Alangkah gandjilnja perubahan itu. Hudjan badai jang tadi sebagai akan memusnakan bumi ini, tiba-tiba mendjadi angin lemah-lembut jang membawa harumharuman, jang menjegarkan badan dan perasaan. Sambil memunguti bebannja jang djatuh berserak-serak tadi, berkata pulalah ia perlahanlahan : ,,Mudah-mudahan Tuhan jang mahakuasa membalas kebaikan tuanku itu!"
M enggigil tubuh Pandeka mendengar utjapan perempuan miskin itu. Mukanja berseri-seri sebagai seorang jang sangat beruntung. ,,Kak! A pa kata kakak?” katanja. ,,Tjoba ulang sekali lagi, kurang terang kepadaku!” ,,Hamba mohon terima kasih beribu-ribu akan kebaikan tuanku kepada hamba dua beranak” , kata perempuan itu dengan menundukkan kepala. ,,Hamba berdo'a, mudah-mudahan Tuhan jang mahamurah membalas kebadjikan tuanku atas diri hamba jang hina dan melarat ini dengan rahmat jang berlimpah-limpah” . Mendengar itu air mata Pandeka berlinang-linang karena sukatjita, kembang-kempis lubang hidungnja jang pesek itu. Maka dirabanja dompetnja, diambilnja uang satu rupiah, lalu diberikannja kepada perempuan itu. ,,Nah, ini ada satu rupiah, kak, sedekahku!” katanja dengan manis. ,,Djika kakak kekurangan apa-apa, datang sadjalah kerumahku, nanti kutolong sedapat-dapat. Sekarang pulanglah dahulu; tetapi djika kakak hendak mentjari kaju djuga, tjarilah kemana kakak suka!" Pandeka berdjalan meninggalkan perempuan itu, jang sedang menjapunjapu air matanja karena kegirangan. ,,Heran, Badu! tabi'atku dari dahulu begitu djuga", kata Pandeka dengan muka berseri-seri. ,,Lekas sekali kasihku tertjurah melihat orang melarat seperti itu". ,.Hamba djuga sebagai engku itu", djawab budjangnja memudji dirinja. ,,Tak engkau dengar tadi perempuan itu memanggilkan tuanku kepadaku?” ,,Hamba dengar, engku! Sudah sepatutnja dia berkata begitu. Sudah sepatutnja engku dipanggilkannja demikian. Apa benar kekurangan engku dari orang-orang besar kota Padang ini ? Kaja ada, pemurah ada, gagah ada, semua tjukup pada engku . Semakin kembang lubang hidung Pandeka mendengar pudjian itu; diapun tertawa terbahak-bahak. Kemudian keduanja terus berdjalan menudju kerumah si Ali. A . D t.
M a d jo in d o ,
Si tjebol rindukan bulan.
NGARAI SI ANOK Berat himpitan gunung Singgalang A tas dataran dibawahnja Hingga rengkah tak alang-alang: Ngarai lebar dengan dalamnja. Bumi runtuh runtuh djua Seperti berabad-abad jang lepas. Debunja kirap dalam angkasa, Derumnja lenjap disawang luas. Dan penduduk didalam ngarai Mentjangkul diladang satu-satu, Menjabit disawah bersorak-sorai, Ramai kerdja sedjak dahulu. Bumi runtuh runtuh djua, Mereka hidup bergiat terus, Seperti Si Anok depan rumahnja Diam diam mengalir terus. R if a i A l i .
INJIK UTIH „Isah ” , kedengaran suara dari luar memanggil namanja. Diapun masuk. ,,Isah, rupanja pertunanganmu dengan si Salim tak djadi dilangsungkan. Orang telah mengantarkan kata putus, dan segala tandatanda telah dikembalikan” . Demikianlah perkataan Sidi Nasir, paman tempat Isah menumpang itu, memberi tahu kepadanja bahwa pertunangannja putus sudah. Dengan termenung Isah tegak dan diam: pada wadjahnja terbajang bahwa dia masih menunggu-nunggu udjung perkataan itu; tetapi tidak ada udjungnja lagi, tak ada keterangan tentang putus bertunangan itu. Apakah akan djawabnja tentang keputusan itu, dan apakah udjung perkataan jang diharapkannja, pada hal sudah njata pertunangannja putus. D ia tegak sebentar, kemudian iapun kembali kebelakang, diturutkan oleh maktjiknja denga mata belas kasihan. Putus atau ber tunangan djuga baginja sama sadja, dan pikirannja dalam perkara itu tak pernah diminta orang; dia tidak pernah dibawa musjawarat dalam hal menentukan siapa jang akan djadi djodohnja. Dan iapun tidak merasa perlu akan musjawarat itu; asal dapat sadja dia hidup dalam rumah itu, sudah tjukuplah baginja, sebab dia seorang anak jatim-piatu, jang sudah lama kematian ajah dan ibu. Hanja belas-kasihan oranglah jang menjebabkan dia masih hidup menumpang didalam rumah itu. Meskipun sudah demikian nasibnja, dari sebulan kesebulan, timbul djugalah arigan-angan dalam hatinja, tjita-tjita, jang mesti timbul dalam hati tiap-tiap anak gadis jang telah akil balig, jaitu tentang hal bersuami. Bagaimana gerangan rasa hatinja djadi pengantin, bagaimana perasaan pada hari nikah itu, ketika ia dikelilingi oleh gadis-gadis jang tjantik molek sedang dikepalanja masih lekat sunting mas, bertutup dengan kain kasa halus, berselendang kain berlambak benang mas, duduk bersanding dengan pengantin laki-laki? Bagaimana gerangan rasa hatinja kalau kemudian mereka itu telah hidup berdua mengemudikan rumah* tangga jang ketjil dan beroleh permainan, — anak? D ia tegak kemuka tjermin besar jang telah tua didalam kamarnja; diperhatikannja mukanja jang laksana bulan penuh itu; iapun tersenjum simpul melihat ketjantikannja sendiri, seraja berkata mdalam hatinja: A h tentu aku akan berbahagia, djika telah kawin!” Tetapi pertunangannja dengan Halim telah diputuskan. Sajang. kepada siapakah dia hendak mengadukan halnja? Sedangkan dapat nasi sesuap pagi sesuap petang, disediakan kamar tempat menumpang, sudah sangat besar djasa orang jang memberi dia tempat menumpang itu. Sebab itu sedih hatinja disimpannja sadja. D ia berdukatjita bukan karena tunangannja itu ditjintainja, bukan karena telah berkenalan. jang didukakannja hanja sebuah, jaitu tak djadi datang hari jang diharap-harapkannja, hari kawin, hari ,,kain berlambak mas , pakaian anak dara; akan ditutupkan kepunggungnja. Apakah sebabnja tak djadi Halim bertunangan dengan dia? Ah,
tentu ada gadis jang lebih kaja dari padanja, jang masih hidup orang tuanja. Tentu Halim lebih suka kepada gadis itu dari pada akan dirinja, gadis jatim-piatu jang hanja menumpang dirumah orang. Tentu gadis lain itulah jang akan duduk disisi Halim, memakai kain berlambak mas, pakaian anak dara, diatas puadai pada malam perkawinan. ,,A h, nasib . . . . ! T ig a tahun kemudian. Anak sulung Sidi Nasir, bernama Habibah, telah dipinang orang. Pinangan itu diterima, karena wang antaran telah tjukup, mahar telah sedia dan peralatan akan segera dilangsungkan. Maka tibalah hari kawin jang ditunggu-tunggu itu. Sehabis nikah dimuka tuan Kadi, dan tamu2 telah pulang ketempat masing2, tinggallah pengantin laki-laki duduk seorang dirinja menunggu akan dipersandingkan menurut adat jang terpakai dengan kekasihnja. Dan pengantin perempuan telah dikerumuni oleh tukang hias dan anak-anak gadis; semuanja tertawa beriang-riang. Setelah sampai waktunja, dan berhiaspun telah selesai, tangan pengantin laki-laki itupun dibimbing keatas puadai, didudukkan bersanding dengan pengantin perempuan; kipas bersabung kiri-kanan, beras kunjit diserakkan ditentang tjerpu kaki masing-masing. Perempuan tua jang gembira selalu memudjimudji kedua pengantin itu: ,,Bagai bulan dengan m atahari. . . . ” Isah bersama-sama beberapa orang temannja, anak-anak perawan jang telah besar-besar, duduk pula berkeliling puadai itu, sambil menentang wadjah kedua pengantin jang beruntung itu. Habibah sendiri menekurkan mukanja, malu tersipu-sipu, dan kain berlembak mas tersandang dipunggungnja. Kain itulah jang senantiasa dilihat oleh Isah. „A h , bila gerangan kain itu akan tersandang pula dipunggungku?” katanja didalam hatinja. Sudah larut tengah malam, dan orang masih bertjumbu-tjumbuan djuga didekat puadai, terutama anak-anak gadis itu. Maka datanglah seorang perempuan tua dari dapur; dengan suara marah tetapi berisi gurau iapun berkata: ,,Hai gadis-gadis djangan duduk djuga disana, pergilah ketempat tidur masing-masing, nanti tuan-tuan akan dikelamin pula” . Dengan tersenjum simpul kemalu-maluan gadis-gadis itupun ber angkatlah seorang demi seorang dari tempat itu. Gandjil benar hari dalam kehidupan; masa jang akan ditempuh terasa lambat, tetapi masa jang telah didjalani tjepat sadja rasanja. Akan hal Isah sendiri, telah bertahun-tahun ia hidup sedemikian. Tetapi perangainja jang keanak-anakan itu, telah dapat meringankan tanggungan batinnja. Pada hal orang lain agaknja tidak akan sanggup menanggungnja. D ia bersenda-gurau, bermain-main, berlari-lari, berkutjing-kutjing didalam kebun rumah pamannja dengan anak-anak ketjil, laki-laki dan perempuan. Pada hal 10 tahun jang lalu dia bermain
dengan ibu2 mereka itu. Kalau teman-temannja bermain itu telah kawin pula kelak, ketika itu hidup pulalah kenang-kenangannja kembali: bila gerangan kain berlambak mas itu akan disandangkan orang kepunggungnja? Itulah jang sangat dirindukannja! Hubaja2 selama hidupnja, agak sekali dapat djugalah dia berinai berhitam kuku, berhias bulu mata, berkain berlambak mas, bersunting emas dikepala dan . . . . djadi pe ngantin. Bilakah? . . . . M usim beralih djuga, keadaan tambah lama tambah berubah. Sidi Nasir sudah lama meninggal karena penjakit tua. Jang tua-tua telah diantarkan kekubur, seorang demi seorang. Jang djadi kepala didalam rumah itu tinggal lagi M ak Habibah, jang telah beranak 7 orang. Anak nja jang tua sekali perempuan telah bersuami pula, dan Mak Habibah telah bertjutju laki-laki seorang. Pada suatu hari Isah berlari-lari dengan anak itu didalam kebun, berkedjar-kedjaran. Maka marahlah Mak Habibah dan memaki-maki: ,,Hai gadis tua jang tak bermalu, tjobalah tjermini rambutmu, telah beruban, engkau masih berlari-lari seperti anak-anak! Tidakkah engkau tahu bahwa umurmu telah 45 tahun? Engkau sangka, engkau masih anak-anak djuga?” Waktu itulah baru dia insaf akan dirinja, barulah segala kegirangannja hilang laksana disapu awan. Rupanja bukan tempat anak-anak itu lagi tempatnja, maka dengan muka jang tertunduk kebumi, dengan langkah jang tertahan-tahan dia naik kerumah, terus kedapur rnengerdjakan pekerdjaannja sehari-hari, mentjutji kain anak2, membasuh piring dan lain2. . . Sekarang dia telah sunji. Maka didalam kesunjiannja itu siapakah lagi akan temannja? Anak-anak ketjil itu djugakah? Pada hal umurnja telah 45 tahun? Akan berteman dengan gadis-gadis pulakah? Pada hal dia orang tua? Akan berkawan dengan perempuan jang telah ber suami? Mustahil mereka akan sudi berteman dengan dia. D ia pergi kedapur, ditjutjinja pinggan, periuk dan sebagainja. Setelah itu dia mengeluh, dia teringat akan ibunja. . . . Dan iapun menarik nafas pandjang, karena terpikir pula olehnja, bilakah dia akan menjandang kain berlambak mas itu? Setelah selesai pekerdjaannja, dan anak-anak telah selesai pula makan tengah hari pulang dari sekolah, Isah masuk kedalam kamarnja; dilihatnja pula mukanja tenang-tenang dalam tjermin jang telah tergantung disana semendjak 40 tahun dahulu. Masih tampak sisa-sisa ketjantikannja semasa muda, bibirnja masih agak merah, keningnja masih litjin dan baru sedikit sadja kerenjut pada pipinja. Tetapi, ah, rambutnja telah banjak jang putih, rambut dalam umur 45 tahun---,,Masih adakah harapan saja akan memakai kain berlambak mas?” Sedjak hari itu bertambah sunjilah dia dalam rumah, tidak ada teman nja lagi. Ahlil bait telah pergi dan telah datang gantinja, dari nenek
turun keanak, dari anak turun ketjutju. Anak-anak jang datang kemudian telah mendapati djuga „ orang tua” itu didalam rumah. Mereka itupun tak berani menjuruh dia pindah kerumah lain, karena dia telah di pandang orang tua penghunji rumah. Kadang-kadang ia djadi pendjaga anak2, kadang2 mengerdjakan pekerdjaan dapur. Dan dia sangat kasih kepada anak2 itu. Kasihnja kepada anak2, tegasnja kepada jang empunja rumah, telah dibalas pula oleh mereka itu dengan kasihan. Tiap-tiap hari raja dia dibelikan pakaian baru. Mana-mana jang pulang dari pekerdjaan memberi dia wang setali, lima puluh sen dan kadang-kadang sampai satu rupiah. Wang itu dimasukkannja kedalam tjelengan bambu jang digantungkannja didekat tempat tidurnja. Rambutnja telah mulai putih semuanja, — putih dan bersih sekali. Salah seorang anak-anak itu telah melihat pada suatu hari rambutnja sedang terbuka, sebab dia sedang bersisir. ,,Ah, putih benar rambut injikku ini” . — Sedjak hari itu, karena namanja tidak dikenal betul oleh anak-anak, dan jang dewasapun merasa kurang hormat memanggil namanja sadja, tetaplah dia digelarkan: ,,Injik Utih” . Semendjak ia berusia 50 tahun, dia tidak kerap lagi keluar dari rumah, kalau tidak ada keperluan jang penting. Kalau ahlil bait pergi kenduri, atau kerumah orang kematian, dialah jang disuruh menghunjikan rumah. Tetapi heran, pada suatu hari, pagi-pagi benar, ,,Injik Utih” tak ada lagi didalam rumah. Anak-anak tidak tahu kemana ia pergi. Dilihat nja tjelengan bambunja telah petjah.
,,Kemana Injuk Utih?” tanja jang seorang kepada jang lain. ..Kemana Injik Utih??”
Mereka menunggu-nunggu sampai pukul 1 1 tengah hari; ketika itu barulah kelihatan ,,Injik Utih” turun dari atas bendi; tangannja memegang sebuah bungkusan ketjil. Anak2 itu berlari-larian kedekatnja, mempergantungi dia: ,,Kemana Injik Utih tadi? Dari mana Injik U tih?” Dengan lemah-lembut tangan anak-anak itu dilepaskannja dari badjunja dan dari badannja; dengan segera dia masuk kedalam rumah dan terus kekamarnja. Ketika anak-anak akan masuk pula, lalu ditahannja, dan kamar itupun dikuntjinja dari dalam. ,,Ai, apa jang dibawa Injik Utih?” kata seorang anak laki-laki.
,,Entahlah, agaknja dia membeli roti kismis, kita tak diberinja”, kata jang seorang pula. „Ajoh, kita pergi melihat keloteng dengan diam-diam, kita lihat dari lubang katja, apa jang dimakan Injik U tih” . Dengan perlahan-lahan anak-anak itupun naiklah keatas loteng, akan melihat apakah pekerdjaan „In jik Utih” didalam kamarnja itu. „Injik Utih” tak ada didalam kamar; jang kelihatan hanjalah seorang pengantin perempuan jang sedang duduk dimuka tjermin, memakai kain sarung berlambak mas dan berselendang kain jang serupa itu
pula. Dikepalanja ada bunga sanggul dari pada perak bersepuh emas. Injik U tih sedang asjik mengatur pakaiannja, sehingga ketika anakanak masuk dengan diam-diam kedalam kamar itu, dia tidak tahu. Ketika anak-anak itu tahu apa jang dikerdjakan ,,Injik U tih", mereka itu tak tahan lagi hendak tertawa; lalu mereka itupun tertawa terbahakbahak semuanja, sehingga riuh rendah bunjinja dikamar itu. Orang dewasa jang ada dalam rumah itu terkedjut, dan dalam sebentar sadja ramailah kamar ,,Injik U tih " oleh orang tua dan muda, laki-laki dan perempuan, orang besar dan anak-anak. Tjita-tjita ,,Injik U tih " hendak memakai pakaian pengantin kain sutera berlambak mas, sampai sudah! Kain pengantin itu sudah tersandang dipunggungnja; bulu matanja jang tebal putih sudah diperhalusnja dan kuku-kukunja sudah m erah. . . . dengan in a i! Rupanja ,,memperhalus alis mata" dan ,,berinai" itu sudah lebih dahulu dilakukannja! Tjita-tjitanja telah sampai, ia telah djadi ,,pengantin". Tetapi apa-apa jang telah dirasainja itu rupanja tidaklah seindah jang dikenang-kenangkannja selama ini. Sebab pakaian itu dipakainja sesudah lepas zaman jang indah itu. Mula-mula ia berkata kepada orang jang berkeliling dia itu, bahwa dia hanja main-main sadja. Tetapi lehernja bengkak berkata demikian, karena beberapa orang jang tegak berkeliling dia itu telah menitikkan air mata, karena belas kasihan melihat nasib ,,Injik Utih itu. Tertawa anak-anakpun berhenti dengan sendirinja, demi dilihatnja orang tua-tua itu menangis dengan sedihnja. W aktu itulah baru „Injik U tih " insaf benar-benar apa artinja „kain berlambak m as" jang disandangkan pada punggung pengantin perempuan. Sekarang ia tengah menunggu-nunggu, bilakah pula masanja kain berlambak mas jang dibelinja dengan wang pemberian ahlil bait jang dikumpulkannja dalam tjelengannja itu, akan dipergunakan orang penutup usungannja kekubur, sebab telah dirasainja, ketika kain itu disandangnja, tidak seenak jang disangka-sangkanja. . . . H. A . M . K . A m ru lla h , Didalam lembah kehidupan.
KALAU PIPIT HENDAK DJADI ENGGANG. ,, Akang, belum djuga mandi lagi? Hari sudah tinggi, nanti akang terlambat tiba dikantor” . ,,Pukul berapa hari?” djawab Suria, seraja beringsut sedikit dari kursinja. ,,Sudah hampir pukul tudjuh, anak-anak sudah___Atjap kali benar akang berlalai-lalai, tidak marahkah djuragan patih?” ,,Anak emas! — Dalam segala hal djuragan patih menjerah sadja kepada akang. Dikantor boleh dikatakan akang jang berkuasa, djuragan patih tahu beres sadja” . ,,Sjukur, tetapi___” Benar, dia tahu beres sadja. Dia baru disini, tapi akang sudah lama, sudah paham benar seluk-beluk pekerdjaan kantor dan lain-lain” . Sambil berkata demikian, iapun bangkit berdiri dari kursi malas dan melangkah kekamar mandi. Kira-kira setengah djam kemudian kelihatan ia sudah berpakaian dengan sepatutnja. Ia berdiri dikamar makan, seraja melajangkan mata berkeliling, terutama keatas medja. Ketika ia hendak duduk minum kopi jang tersedia diatas medja itu, iapun berseru dengan suara jang agak njaring: ,,Babul” ,,Saja, djuragan” , kedengaran suara dari beranda muka. Seketika itu djuga kelihatanlah seorang perempuan jang sudah agak tua berdiri dihadapan Suria dengan hormatnja. „A p a, djuragan?” tanjanja seraja membungkukkan dirinja. ,,Ini apa?” kata Suria dengan belalak mata kepada perempuan itu, seraja menundjuk dengan telundjuk kiri keatas medja makan. , , 0 ” , sahut babu dengan ketakutan, sambil menjeka-njekakan be berapa butir remah dari atas medja itu. ,,Agan A leh dan Enah makan disini ta d i___” „A d a apa, Itjih ?” kata Zubaidah tiba-tiba dari belakang dengan agak tjemas, tetapi manis djuga bunji suaranja. ,,A da apa?” ,.Kotor, remah bertaburan diatas medja” , sahut suaminja sambil makan bebika dengan sambal goreng sedikit. ,,Anak-anak ta d i___Tapi sudah bersih, Itjih? Bagus, teruskanlah kerdjamu tadi. Biar saja disini” . Setelah babu itu pergi keluar, iapun berkata dengan lemah-lembut kepada suaminja, jang telah berdiri dari kursinja: ,.Sedikit sadja akang makan! Kopipun tidak habis akang minum. Barangkali kurang manis?” ,,Manis, — tjukup” , kata Suria sambil meraba-raba saku badjunja. ,,Rokok akang? Saputangan sudah ada?” ,,Sudah” , dan Suria mulai merokok sigaretnja, sambil berdjalan dua tiga langkah kebelakang. Dibawah udjung atap gang tergantung sebuah sangkar. Suria berdiri dekat sangkar itu, seraja bertekan pinggang dengan
tangan kirinja. Dengan djari tengah dan ibu djari tangan kanan iapun memetik-metik beberapa kali, dan tiap-tiap petik itu diiringinja dengan suara ,,ak, ak” serta angguk kepala. Burung ketitiran jang ada didalam sangkar itu berbunji, dan makin deras bunji petik-petik itu makin deras pula suaranja; angguk kepala Suriapun bertambah tjepat. ,,Sudah mengerti benar burung itu ", kata Zubaidah, sambil berdiri disisi suaminja, ,,tahu benar ia akan bunji petik dan suara akang” . ,,T u r ketutut. . . . ” ,,Sudah kauganti airnja, E d ah ?” ,,Sudah, makanannjapun telah saja tambah pula” . ,,T u r ketutut. . . ,,Riang benar ia pagi ini” , kata Suria dengan senang hatinja, sehingga ia lupa akan perkara lain-lain. ,,Lebih-lebih kalau digantungkan ditiang bambu jang tinggi itu” , kata Zubaidah, sambil memandang ketanah lapang disisi rumahnja. ,,Benar, nanti pindahkan kesana” . ,,Neng, n en g ---- ” Zubaidah terkedjut, lalu berkata dengan gelisah: „ Sudah pukul delapan, kang” . „Sepedaku sudah dibawa keluar?” kata Suria dengan tenang, sambil mengudut sigaretnja jang sudah hampir habis terbakar sadja. Zubaidah berdjalan dengan langkah jang tjepat kemuka rumah, diturutkan oleh suaminja, jang menoleh djua beberapa kali kepada burungnja. Sesampai dihalaman dilihatnja kereta angin sudah tersandar disisi pintu pagar; diatas tempat barang-barang telah terikat dua tiga buku tebal dan pandjang dengan erat. Suria menolak sepeda itu keluar pekarangan. Ketika ia hendak melompat keatasnja, iapun berkata kepada isterinja: ,,Djangan lupa, Edah, burung itu; gantungkan dipanas sebentar; sudah itu bawa kembali ketempat jang teduh . „ Tentu sadja” , djawab Zubaidah dengan manis. Suria merokok dahulu sebatang lagi. Setelah mengembuskan asap keudara dua tiga kali, barulah ia menaiki kereta anginnja. Ia berangkat kekantor dengan perlahan-lahan dan tenang, tiada kelihatan ia bergesagesa, walau hari sudah tinggi sekalipun. ,,Mengapa sampai djadi begitu tadi, Itjih? sampai djuraganmu marah seperti itu?” kata Zubaidah kepada babunja, ketika Suria tiada kelihatan lagi, sambil mendekati Itjih jang sedang bekerdja menjeka-njeka serta mengaturkan letak keempat kursi berkeliling medja bundar diruang tengah. ,,Saja, djuragan. Ada saja periksa medja makan sesudah agan Aleh dan Enah berangkat, tak ada apa-apa saja lihat — bersih” , djawab babu itu mempertahankan dirinja. ,,Bersih, tetapi ada kedapatan remah” . ,,Hanja dua tiga butir, djuragan! Remah sekian saja p ikir---- Dan tiada kelihatan oleh mata saja” .
„Sekian — remah djuga. Kotoran djuga, Itjih. Engkau tahu, djuraganm u___Siapa jang akan enak makan ditcmpat jang kotor? Jang akan datang ini hendaklah didjaga benar-benar, — segala kerdja harus bersih” . Itjih berdiam diri. ,.Sekarang” , kata Zubaidah pula sambil memandang berkeliling ,,D jika sudah beres dalam rumah semuanja, pergilah kedapur. Periksa apa-apa jang kurang untuk hari ini” . Sepeninggal babu, jang berdjalan kebelakang dengan agak bersungutsungut, duduklah Zubaidah diatas kursi. Pada air mukanja jang tak dapat dikatakan bulat penuh lagi karena sudah agak landjut umumja, tetapi masih elok dan manis parasnja, terbajang suatu perasaan jang terkandung didalam hatinja. Rupanja perasaan itu sangat menjesakkan dadanja. Dua tiga kali ia menarik napas pandjang, mengeluh perlahanlahan. ,,Suria! Hal jang seketjil itu sudah menerbitkan marahnja, remah anaknja telah menjempitkan merihnja! Akan tetapi hal lain-lain, jang patut dan mesti diperhatikan, hampir tiada pemah dipedulikannja. Rumah tangga! Begini sulitnja urusan rumah tangga, begini susahnja hidup sekarang ini, Suria berlaku bagai atjuh tak atjuh djuga. Jang dipentingkannja hanjalah kesenangan dirinja. Burungnja lebih perlu kepadanja dari pada anak-anaknja. Hampir tak pemah ia bertanja, bagaimana sekolah A leh dan E n a h ___” Zubaidah berdiam diri sedjurus, menarik napas pandjang pula, sedang air mukanja bertambah keruh djuga. ,,Rupa senang, nampak diluar sentosa, selesai, tetapi didalam kusut sebagai benang dilanda ajam. Bagaimana hati akan senang, kalau hidup tiada berketjukupan ? Dan bagaimana pula hidup akan dapat berketjukupan, kalau bajang-bajang tidak sepandjang badan, kalau belandja tiada diukur dengan pendapatan? Gadji Suria ketjil, pintu rezeki kami sangat sempit; aku tahu. Suriapun lebih tahu lagi! Tetapi i a ---- priaji, amtenar B .B ., mesti hidup lebih dari pada orang kebanjakan; londjaknja, gajanja, djika tidak akan lebih mesti sama dengan amtenar lain-lain. Ia harus mulia dimata orang! Akan mentjapai ketegakan serupa itu dan akan memelihara daradjat djangan sampai turun, walau pasak besar dari pada tiang sekalipun, ia tiada peduli apa-apa rupanja. A ku — jang memegang rumah tangga, jang selalu mesti mengetahui peri keadaan didalam rumah sampai kesudut-sudut bilik, sampai kebalik-balik tungku, — aku senantiasa menanggungkan sekalian akibat perbuatannja. Aku jang selalu berhadapan dengan orang warung, aku jang bertentangan dengan si penagih utang! ,,Gadji ketjil, dari bulan kebulan tiada sampai-menjampai! Akan tetapi kalau Suria mau bermupakat dengandaku lebih dahulu tentang apa-apa jang akan dibeli atau diadakan, rasanja akan dapat djuga aku mempertenggangkan pendapatan jang seketjil itu. W alau tak berketjukupan benar, kesempitan sangat tentu tidak pula. Betapa djuapun ketjil kehasilan, asal
didjalankan dengan hemat dan tjermat, dengan perhitungan jang betul, tentu akan dapat djuga bertahan-tahan larat. Berapa banjaknja orang jang tiada berpentjaharian tetap, tak tentu pintu rezekinja, tetapi ia tiada melarat! Orang desa tiada bergadji, tapi hatinja berlipat ganda lebih sentosa dari pada aku ini. Tidum ja njenjak, makannja kenjang, langkahnja lepas. Aku — waswas sebesar bukit. Angan lalu, paham tertumbuk. ,,Kalau terus-menerus begini tjara kehidupan kami, nistjaja tjelaka achir kelaknja. Berutang kian-kem ari___terdjerat leher, terkongkong badan. Anak-anakku. . . . ” Terbang semangat Zubaidah, ibu jang berhati lemah-lembut itu, demi terpikir olehnja nasib anak-anaknja dalam masa jang akan datang. Kalau ia tiada ingat-ingat mengemudikan rumah-tangganja, bagaimana ia akan tjakap mendidik mereka itu dengan sepatutnja? Masa sekarang dan terutama masa jang akan datang, ialah masa kepandaian, masa ilmu pengetahuan. Dengan kepandaian orang berdjuang dalam penghidupan sekarang ini, dengan ilmu pengetahuan orang merebut kedudukan jang berarti dalam pergaulan hidup. Bukan sebagai dalam dua puluh atau dua puluh lima tahun dahulu. Ketika itu hidup orang senang, pentjaharian murah, segala ada, pangkat dan daradjat boleh dibeli dengan uang dan harta, dengan gelar atau keturunan jang baik. Bahkan kadangkadang dionjok-onjokkan sesuatu pangkat kepada seseorang jang bergelar dan berharta; pada hal ia tiada berhadjatkan pangkat itu! Dewasa ini, pengetahuanlah jang diutamakan orang. Hilang rona karena penjakit, hilang bangsa tak beruang, — tak ada salahnja dan djanggalnja djika pepatah itu ditambah sekarang dengan: hilang bangsa dan negeri karena tiada berpengetahuan. Pendeknja, ilmu pengetahuan itu terpandang didalam segala perkara. Kemiskinan dilipur oleh pengetahuan, paras jang kurang bagus dipupur dibedaki oleh pengetahuan. ,,Anak-anakku” , udjar Zubaidah dengan berwaswas djua, ,,tentu akan telantar. Takkan sampai sekolahnja! Dengan apa uang sekolah akan dibajar, dengan apa keperluannja akan ditjukupkan, sedang belandja sehari-hari sadja berkurang-kurang ? Bapaku — ja, untung djuga bapaku sampai kepada sa'at ketika ini masih sanggup menolong-nolong kami. Akan tetapi tiap-tiap sesuatu ada batasnja. Kalau beliau tak tjakap lagi, kalau baik dipinta buruk datang----” Dalam tjemas memikirkan kehendak Allah jang tak dapat ditentukan, kalau-kalau ajahnja jang telah tua terdahulu dari padanja, bertambah pedihlah hatinja mengira-ngirakan nasib peruntungannja dan bertambah sempit pula alamnja mengenangkan tingkah-laku suaminja. Sudah hampir dua puluh tahun ia djadi isteri Suria, selama itu boleh dikatakan belum ada lagi ia jang lepas dari tanggungan orang tuanja. Zubaidah sudah berumah-tangga sendiri, bahkan sudah mendjadi ibu tiga orang anak, bersuami jang ada berpentjarian tetap, tetapi ia masih menjusahkan orang lain, masih mendjadi beban orang jang seharusnja sudah lama disenangkannja. W aktu berdjalan djua dengan tiada berhentinja, umur manusia dari sedetik kesedetik, dari semenit kesemenit bertambah landjut
djua; apabila lagi ia akan bersedia-sedia untuk hari tuanja ? Usia Zubaidah sudah 35 tahun, Suria sudah hampir 40, sedang selama-lama hidup manusia zaman ini hanja kira-kira 60 tahun lebih. Dan sekuat-kuat orang mentjari, berusaha, biasanja tjuma hingga berumur 50 tahun! D jadi bila lagi ia akan menjediakan tahanan untuk masa tiada tjakap bekerdja lagi? Tahanan! Anaknja jang sulung bukantah ada disekolah menak ? Kalau sekolah Abdulhalim tammat tahun depan, nistjaja ia diangkat djadi amtenar — dengan gadji jang tjukup. Bukantah anak itu sudah boleh djadi tahanan baginja? Bukantah anak harus, wadjib memelihara ibubapa dalam masa tuanja? Pertanjaan itu menambah mengatjau-bilaukan pikiran ibu, jang tengah bermenung seorang diri itu. Anak memelihara bapa, tapi ia sendiri — sudah setua itu — anak beranak masih djadi beban ajahnja! T erb alik. . . . Makin lama makin djelas dan terang terbentang dihadapan ingatannja peri keadaan selama ia bertjampur dengan suaminja. Kira-kira 20 tahun dahulu Suria mendjadi magang dikantor assistentresident Tasikmalaja. Ketika itu ia masih muda remadja, parasnja elok dan manis. Kulitnja kuning langsat, badannja sedang, tiada besar dan tiada pula ketjil, dimakan pakaian benar-benar. Bapanja, Hadji Zakaria, masuk bilangan orang jang berada dinegeri itu. Ia tiada beranak seorang djua lain dari pada Suria. Sebagaimana kebiasaan pada anak tunggal, Hadji Zakarija selalu memperkenankan permintaan anaknja. Tiada heran, djika karena itu Suria djadi kemandja-mandjaan, pesolek dan tinggi hati. Meskipun ia hanja magang, pegawai kantor jang tiada bergadji, tetapi gaja dan lagaknja lebih dari pada djurutulis; angkuhnja serupa djaksa. Maksud Hadji Zakarija memintakan dia kerdja dikantor itu bukan karena mengharapkan pentjahariannja, melainkan untuk kesenangan anaknja, dan terutama sekali untuk kemuliaan dirinja. Ia berada, disegani dan dimalui orang desa; tentu akan bertambah mulia ia lagi dimata orang, kalau anaknja jang tunggal itu mendjadi orang berpangkat kelak. Tjita-tjita Suria sendiripun demikian pula. Ia tiada berangan-angan hendak menurutkan djedjak ajahnja, hendak mendjadi orang tani. Tidak, sekali-kali tidak! Ia lebih suka, lebih senang duduk dikantor negeri dengan memegang tangkai pena, walau belum mendatangkan hasil sesen djuapun. Hasil, — bukantah belandjanja tjukup setiap hari, bukantah segala keperluannja diadakan oleh ajahnja? Hadji Zakaria bersahabat karib dengan Hadji Hasbullah, chatib di Tasikmalaja, jakni ajah Zubaidah. Semendjak ketjil boleh dikatakan mereka sepermainan, seperdjalanan dan sama-sama pula pergi naik hadji ke Tanah Sutji. Senasib, sama-sama beranak tunggal. Tjum a lainnja, Hadji Hasbullah beranak perempuan dan lebih berbahagia dari pada dia. Hadji Hasbullah lebih kaja, lebih beruntung. Ia djadi chatib dan temama ramah dan lurus dinegerinja. Zubaidah, setelah tammat beladjar disekolah rendah, dididiknja dirumah dengan budi bahasa jang halus, baik tentang perkara adat sopan-santun baikpun tentang perkara agama.
Sebagai menatang minjak penuh ia berlaku kepada Zubaidah. Sebolehbolehnja anaknja jang hanja seorang itu dapatlah memelihara namanja jang baik itu. Demikian tjita-tjitanja. Lain dari pada itu ia berharap, moga-moga Zubaidah mendapat suami dari pada orang baik-baik dan berpangkat, supaja boleh bertambah semarak rumahnja, boleh menggantikan dia dalam hal mendjagai harta-benda jang akan ditinggaikannja — kalau ia berpulang — kepada Zubaidah kelak. Ketika gadis itu telah berumur 14 tahun lebih, sudah ditjari beberapa akal, sudah didjalankan pelbagai ichtiar dengan halus oleh Hadji Hasbullah, supaja Zubaidah dipinang oleh hoofddjaksa akan djadi menantunja. Dewasa itu Raden Prawira, anak hoofddjaksa itu, telah mendjadi menteri polisi. Bukan main besar hatinja, djika ia dapat djadi djundjungan anaknja. M ereka akan disenangkannja, akan ditambaktambaknja dengan emas. Akan tetapi asing maksud asing sampai! Tibatiba Hadji Zakaria datang meminta Zubaidah akan djadi isteri Suria, jang telah hampir diangkat djadi hulpschrijver. Permintaan sahabat karib, jang berkata dengan sungguh-sungguh bahwa sedjak dari ketjil Zubaidah sudah diangan-angannja akan djadi menantunja, supaja persahabatannja bertambah akrab dan kekal selama-lamanja, dapatkah ditolak? Bagaimana djalan akan menampik permintaan jang demikian? Apalagi Hadji Hasbullah sendiripun bukan pula tiada berkenan kepada anak muda, jang indah rupa dan paras itu. Rasa akan sedjodoh dengan Zubaidah, baik tentang rupa dan umur, baikpun tentang bangsa dan daradjatnja. Jang dikedjar pada Raden Prawira ialah pangkatnja. Suria bukantah akan berpangkat pula? Prawira bergelar Raden, anak hoofd djaksa pula, djadi ada kelebihannja. Sungguh, tetapi kehendak dan desakan sahabat, bagaimana akan menolak dia? ^ Apa boleh buat” , kata Hadji Hasbullah achimja. ,,Benar, akan lebih selamat Zubaidah ditangan anak sahabatku sendiri jang samasama keturunan orang kebanjakan dengandaku, dan pada ditangan orang lain jang lebih tinggi pangkat dan daradjatnja. Pertxkaian^aradjat itu kerap kali mendjadi pokok perselisihan dalam pertjampuran laki-bmi, dan kerap kali merugikan pihak perempuan. Suria - betul pul perangai Suria kurang berkenan kepadaku, tapi 1a masih muda; ada harapan perangainja akan berubah kepada jang baik kelak Muka jang tak boleh diubah-ubah, tetapi laku-perangai dapat berubah senantiasa ■ Densan pikiran demikian diperkenankannjalah permintaan sahabatnja. Belum beberapa pekan Zubaidah bertunangan dengan Suria, iapun diangkat mendjadi hulpschrijver di Kabupaten Dan beberapa bulan kemudian, jakni ketika gadis itu sudah akil balig, sudah tjukup lima belas tahun umurnja, kedua muda remadja itupun dikawinkan dengan upatiaranja, dengan keramaian dan perdjamuan besar beberapa hari lamanja. Maklum, kedua-duanja anak orang berada, anak tunggal pula, dan istimewa lagi kerdja itu ada dua maksud tudjuannja: beralat kawin dan menjukuri keangkatan mempelai laki-laki djadi hulpschrijver! Akan tetapi perkawinan itu boleh dikatakan tak beruntung. Tiada
Drewes,
Mentjari ketetapan baru.
x3
bersua sebagaimana pengharapan Hadji Hasbullah, jaitu kalau Suria telah kawin, perangainja akan berubah djadi baik. Tidak, malah kebalikannja. Sepeninggal Hadji Zakaria, jang mati dengan sekonjongkonjong, tabi'at Suria sudah bertambah terandja-andja, bertambah tjongkak dan sombong. Harta banjak, awak elok, berpangkat, disegani dan ditakuti orang, nistjaja ia dapat berlaku sekehendak hatinja. Hawa nafsu tak dapat ditahan-tahannja, selalu dilepasi dan dipuaskannja. Kasih sajangnja kepada Zubaidah makin lama makin berkurang-kurang. Dan ketika perempuan itu melahirkan seorang anak laki-laki, jakni Abdulhalim, tiba-tiba iapun ditinggalkannja. Tiga tahun lamanja perempuan muda itu meranda, dengan memelihara anak ketjil. Sekian lama pula ia menahan hati, dengan sabar dan tawakkal kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Dalam pada itu hak alam berlaku djuga. Panas tiada sampai petang. A ir lautpun, djika senantiasa ditimba, lambat-laun akan kering djua. Istimewa pula harta benda! Memang, harta pusaka jang dikemudikan oleh Suria jang boros itu, habis sudah. Litjin tandas! Ketika itu baru teringat kebenaran, baru timbul sesal. Dengan tiada malu-malu iapun datang menjembah-njembah kepada Hadji Hasbullah laki-isteri, minta belas kasihan. . . . dan memkenar-benar serta mengaku kesalahan kepada Zubaidah, berdjandji, sesat surut terlangkah kembali, sehingga ketiga mereka jang berhati lemah-lembut itu tiada kuasa akan menolak ,,sembahsimpuh” sedemikian. Suria pulang kembali kerumah Zubaidah. Dua tahun kemudian iapun diangkat djadi djurutulis dan dipindahkan kekantor patih di Sumedang. Akan tetapi Abdulhalim tinggal di Tasikmalaja dengan neneknja. Setelah anak itu berumur 6 tahun, lalu dimasukkan oleh Hadji Hasbullah kesekolah Belanda dan kemudian kesekolah menak di Bandung, dengan ongkos chatib itu sendiri. Dan ketika Suria telah diangkat djadi menteri kabupaten, telah bertambah gadjinja, pun tidak djuga Abdulhalim dibelandjai oleh ajahnja. Sekadar membantu-bantu mentuapun tidak! Malah kebalikannja, Hadji Hasbullah djuga jang senantiasa memberi sokongan kepada mereka itu. Sekali-sekali ia datang ke Sumedang, bukan sedikit pembawaannja. Beras, kelapa, ikan___ Pendeknja pelbagai matjam jang patut didjadikan oleh-olehan, buah tangan dari Tasik kepada menantu kesajangan. Dalam pada itu tiada pula ia chali membantu Zubaidah sewaktu-sewaktu. Sebab pikirnja, siapa lagi jang akan memakan hasil kekajaannja lain dari pada mereka itu, anak dan tjutjunja? Tambahan pula ia insaf, bahwa gadji Suria masih ketjil dan ia tinggal dinegeri orang! Dengan gadji sekian, seketjil itu, takkan mungkin dapat ia hidup setjara patut bagi seorang pegawai negeri, jang mesti dihormati orang. Sungguh, selalu Zubaidah mentjeriterakan kesempitan hidupnja kepadanja. Kerap kali ia berkirim surat beriba-iba, mengabarkan: uang sekolah Saleh dan Aminah belum berbajar, belandja dapur tak berketjukupan dll. Bapa mana pula jang akan sampai hati mendengar keluh-kesah anak kesajangan sematjam itu?
,,'Tidak, tak mungkin begini selamanja, selalu menjusahkan orang tua” , kata Zubaidah dengan suara jang agak keras dan tetap; ,,kalau hendak selamat, mulai dari sekarang aku mesti beladjar hidup sekuat tenaga sendiri, djangan mengharapkan bantuan dari ajah djuga. Aku mesti berhem at. . . . ” ,,Segala tak ada untuk hari ini, djuragan” , tiba-tiba terdengar suara dari sebelah kedapur. Zubaidah menoleh kebelakang, lalu kelihatan olehnja babu berdiri lurus-Iurus. ,,Apa, Itjih? Segala tak ada, apa maksudmu?” ,,Susu habis, djuragan; mentega tak ada lagi” . ,, 0 , — pergi ambil kewarung---- Tidak, Itjih, tiada minum susu sekali ini tak djadi apa. Mentega — beli sadja minjak kelapa setengah botol. Apa jang akan engkau goreng, Itjih?” ,,Tetapi, d ju r a g a n ....” ,,A p a?” kata Zubaidah sambil bangkit dari kedudukannja akan pergi mengambil uang kedalam kamar. ,,A pa katamu?” ,,Djuragan pameget lekas marah, kalau goreng ikan salam berbau minjak kelapa” . ,,Biar aku menggoreng ikan itu, pergilah engkau kewarung. Terus kepasar sekali, akan membeli sajur-sajuran” . Ketika babu itu telah kelihatan keluar dari pekarangan, Zubaidah duduk kembali kekursi tadi. ,,Bagus” , katanja dengan agak lapang dadanja, ,,sudah aku mulai. Suria tak kan mati, kalau tidak minum susu dan makan mentega. Ikan salami Ikan sungai, ikan tebat lebih enak dari pada ikan dalam blik itu. Harganjapun murah. Kalau makanan dalam blik itu dapat kusingkirkan, kuganti dengan makanan biasa, sudah banjak tertolong rumah-tanggaku. Utang kewarung tentu banjak ber^ I^ te rm e n u n g pula sebentar. „R oti — kalau mentega tidak dipesan lagi, nistjaia langganan roti dihentikan pula. Tetapi, besar benar pertengkaran dengan Suria n a n ti.... „ Punten” , sekonjong-konjong terdengar suara diluar. Dengan segera Zubaidah berbangkit dari kursinja, pergi keserambi muka, lalu berkata dengan senjumnja: t ,,Mangga, djuragan. A i, djuragan isteri guru, silakan masuk, atjeuk ,
udiar Zubaidah pula dengan m anis dan riang.
Akan tetapi tamu itu, Chadidjah namanja — sudah agak tua sedikit dari Zubaidah — seakan-akan tak mendengar perkataan njonja rumah itu la berdiri dan memandangi berkeliling serambi itu. Rupanja segala perkakas jang ada disitu, kursi dan medja, pot-pot bunga dan pada kuningan diatas kakinja jang indah-indah, gambar-gambaran jang bergantungan didinding dengan beraturan serta disela-sela dengan piring jang mahal-mahal harganja, sangat menarik pemandangannja. Laku Chadidjah melihat barang-barang itu diperhatikan oleh Zubaidah dengan sudut matanja. Dengan senjum kemalu-maluan iapun ber kata pula:
„Silakan, atjeuk. M ari kita duduk kedalam” . -Sebagai terbangun dari pada mimpi isteri guru itu menoleh kepada Zubaidah dengan senjum-simpul, lalu masuk keruang tengah dengan tiada berkata sepatah djua. Disitu ia bertambah heran, bertambah tertjengang, sebab keadaan disitu lebih mengikat matanja, bahkan lebih dari pada jang telah terkira didalam hatinja. Iapun duduk diatas sebuah bangku besar dan luas, tetapi agak rendah, jang dihampari dengan sehelai permadani halus dan berbunga-bunga, dengan ingat-ingat dan perlahan-lahan, seolah-olah ia berasa sajang akan menduduki hamparan jang indah-permai itu. ,,M a‘af, — makan sirih, atjeuk. Tapi barangkali tak tjukup lagi” , kata Zubaidah seraja menjorongkan sebuah tempat sirih dari pada kuningan jang berkilat-kilat dan duduk pula dihadapan djamunja. Chadidjah memandang kepada tempat sirih jang indah itu dan kepa danja, lalu mulai berkata dengan perlahan-lahan dan senjumnja: ,,Saja tiada makan sirih, adik” . „O h, sajapun tidak pula. Hanja saja taruh djuga sirih, kalau ada orang datang” . ,,Sedjak mula-mula pindah kekampung ini saja sudah bemiat hendak bertandang kemari, tetapi selalu ada rintangan” . ,,Baik benar hati atjeuk. Sepatutnja saja jang lebih dahulu datang kerumah atjeuk. Sebab atjeuk jang tua dan baru pula tinggal disini!” ,,Tidak, jang baru datang jang mesti berkundjung lebih dahulu. Akan tetapi seperti kata saja tadi, saja tiada lepas pada buatan. Sekaliannja tertanggung atas diri saja sendiri. Mendjaga anak, mentjutji pakaian, memasak. . . M a'af — saja sudah mentjeriterakan hal rumah tangga saja” . ,,Berapa orang anak atjeuk?” ,,Empat orang, nakal Allahu rabbi!” ,,Tiada memelihara budjang? ,,Allah, budjang pula jang akan terpelihara dalam musim sekarang ini, 'dik. Tjukup sadja jang akan dimakan petang pagi, terbajar uang sekolah anak setiap bulan sudah untung. Maka saja pindah kekampung Regol ini dari kampung Tjangkuduk, tempat menak-menak itu, karena hendak mengurangi ongkos. Anak adik berapa orang?” ,,T iga orang” . ,,Bersekolah dimana?” Zubaidah mentjeriterakan sekolah ketiga anaknja. ,,Berbahagia benar, adik” , kata Chadidjah dengan perlahan-lahan, rupanja saju hatinja, ,,sanggup menjerahkan anak kesekolah menak. Anak saja jang tua hanja di Normaal; betul adik-adiknja sekarang ada di H .J.S. djuga, tetapi bukan main berat uang sekolahnja. Kalau tidak dipertenggangkan belandja sehari-hari: mana jang boleh dikurangi, dikurangi, mana jang tak perlu benar, tak diadakan, barangkali takkan terus sekolah anak-anak itu” . ,,M asa, gadji djuragan guru ’kan besar?” ,,Besar, kata adik! Kalau besar gadjinja, takkan semelarat ini kami.
Untung adik belum bertandang kerumah kami. Memberi malu! Rumah buruk, perkakas tak ada: tiada berbangku seperti tempat duduk ini, tiada berbopet, djangan kata___gramofoon". Sambil berkata demikian ia memandang kepada bopet berkatja dan gramofoon berlemari jang terdiri disudut ruang itu. Besar dan bagus keduanja, berkilat-kilat wam a tjatnja. W am a muka Zubaidah djadi muram, seakan-akan langit disaputi awan. Perkataan Chadidjah jang achir itu menjinggung hatinja jang luka. Bahkan, melukiskan rupa Hadji Hasbullah diruangan matanja. Sebab sekalian barang itu bukan tjarinja, melainkan beli ajahnja. Ia tunduk menjembunjikan rasa hati jang terbajang dimukanja. Ketika ia mengangkatkan kepala pula, iapun berkata dengan tenang: ,,Apa guna barang, kalau hati tiada senang?" ,,Benar, adik. Bagi kami kesenangan hati itulah jang perlu, jang diutamakan. Meskipun saja pajah bekerdja, tiada menghentikan tangan dari pagi sampai petang, berbarang hanja sekadar perlu sadja, tapi betul-betul hati saja senang rasanja. Sebab dengan demikian saja dapat mengukurkan belandja hingga batas pendapatan bapa anak-anak, H ai", katanja tiba-tiba seraja beringsut dari kedudukannja, setelah menengok kedjam besar didinding, „sudah tinggi hari, adik, kewadjiban banjak menanti dirumah. Ini betul-betul karena ingin hendak bertemu dengan adik sadja maka saja bertandang kemari. M a 'a f .. . . " ,,Astaga! Sudah saja bawa bertjakap-tjakap sadja atjeuk dari tadi. Tunggu sebentar, atjeuk. Babu saja, oh, tunggu sebentar, saja ambil air teh ". Dengan tiada mengindahkan perbasaan tamunja, iapun bergesagesa kebelakang. Akan tetapi sesampai didapur, ia tertegun. Apa jang akan diambilnja, apa jang hendak disadjikannja? Segala tak ada. Kopi habis, tempat tjokelat kosong! Hanja ada air teh dingm, lebih dia dan anaknia tadi. Babu — alangkah lamanja si Itjih dipasar, akan disuruh kewarung. Hampir tak tentu jang akan dibuatnja M alu benar ia akan memberi air teh sadja kepada djamunja. Ia berbalik kegang putjat mukanja. Tiba-tiba ia berdiri, dan air mukanja merah pula. Senjum bermain dibibimja. „A h , apa jang akan kumalukan , katanja dengan tetap. ..Inilah paksa jang baik bagiku akan berlaku seada-adanja . Tiada berapa lama antaranja iapun masuk kedalam kembali dengan menatang sebuah baki jang berisi dua tjangkir teh dan dua peles kue. Sambil meletakkan penganan itu dihadapan djamunja, berkatalah ia dengan manis: Tium a ini jang ada, atjeuk. Minumlah teh dingm ini . ” Kalau adik datang kerumah saja, takkan bersua kue-kue seperti 1m. Barangkali hanja air dingin sadja". Keduanja minum dan makan kue-kue dengan tertibnja, sambil bertjakap-tjakap djua dengan tiada berkeputusan. Achim ja Chadidjah pulang kerumahnja. Zubaidah tinggal seorang diri pula, seraja memikir-mikirkan sekalian perkataan tamu tadi. ..Sedangkan dia, isteri guru, suka rela bekerdja sendiri! Pada hal gadji
suaminja djauh lebih besar dari pada gadji seorang menteri kabupaten. Benar, kalau hendak selamat, mesti berbuat demikian. A ku — berbabu! Seketjil ini rumah tanggaku, hanja beranak dua orang, pun sudah besarbesar pula, — mandja benar aku ini! Banjak jang dapat aku hematkan, kalau aku hendak berhemat. Djadi susu mesti hilang, mentega lenjap, roti enjah; babu diperhentikan. . . . aku bekerdja sendiri. ,,A kan tetapi Suria, — adakah akan diterimanja dengan baik tjitatjitaku itu ?'’ Ia tepekur pula. ,,Dahulu sudah djuga aku bitjarakan perkara itu dengan dia, tetapi katanja: priaji mesti lebih dari pada orang kebanjakan, Edah. Isteri priaji mesti empunja budjang. Kalau tidak, m alu___” ' Tertumbuk pula paham Zubaidah memikirkan hal itu. A pa jang akan dilakukannja ? Dalam pada itu datanglah Itjih dari pasar, membawa pembeliannja. Dengan segera Zubaidah pergi kedapur, seraja berkata dalam hatinja: ,,Apa djuapun jang akan terdjadi, tjita-tjitaku jang baik itu akan kuperhatikan djua dihadapan suamiku” . Matahari makin lama makin naik dari sebelah timur menudju kepuntjak langit, ketempat jang setinggi-tingginja, sedang sinar tjahajanja ber tambah terik djuga. Udara jang tenang telah mulai bergetar, beriak-riak, silau mata memandangi dia. Dimuka kantor patih, jang tiada seberapa besamja dan tiada banjak pula pegawainja, bertumpuk-tumpuk orang duduk; masing-masing dengan lakunja. A d a jang duduk berdjuntai diatas bangku, ada pula jang bersila dirumput dibawah bajang-bajang pohon-pohonan dihalaman. Tak seorang djua jang riang rupanja, tak seorang djua jang bertjakap-tjakap dengan nafsu; sekaliannja hampir bermenungan sadja, seolah-olah menantikan sesuatu jang ditakuti. Memang, mereka itu dipanggil datang kesitu akan menghadap patih, karena bersangkut dengan perkara masing-masing. Patih tidak ada, menteri Suria menjuruh mereka menanti diluar — menantikan pemeriksaan. Tiba-tiba kedengaran suara gemuruh didjalan raja, sebuah auto berhenti dimuka pintu pagar. Sekalian jang hadir didalam pekarangan terkedjut, berdiri dari kedudukannja dan memandang kepada kendaraan itu. Sangkanja, patih datang. Opas-opaspun tegak berdiri, sambil membetul-betulkan pakaiannja. Akan tetapi setelah dilihatnja auto itu, mereka duduk kembali dan berkata dengan perlahan-lahan: ,,Oh, bukan djuragan___” ,,Siapa itu, Surmnta?” tanja suatu suara dari dalam kantor, ,.djuragan patih?” ,,Bukan, djuragan” . Seorang hadji jang berpakaian patut dan bersih: berbadju lakan hitam halus, berkain sarung sutera tenunan Bodjongdjati, bertjenela dari pada kulit berlapih dan beserban sutera kekuningan jang terdjumbai udjungnja sedikit kebahu kirinja, keluarlah dari dalam kendaraan itu. Dengan
langkah jang tetap dan gaja jang tampan, sedang katja mata emasnja terkilat-kilat kena sinar matahari, iapun berdjalan masuk pekarangan. ,,Djuragan Hadji” , demikian keluar perkataan dari mulut Suminta. Ia berbangkit dari kedudukannja, lalu pergi mendapatkan orang itu. ,,Assalamu ‘alaikum, djuragan H a d ji.... hendak bertemu dengan djuragan patih?” ,,Saja, Suminta” , djawab Hadji Djunaedi dengan senjumnja, ,,ada dia dikantor?” ,,Pergi tadi pagi ke Situradja, djuragan, dengan assisten-wedana tebe” . Hadji Djunaedi agak ketjewa rupanja. Suminta dibawanja berdiri ketempat jang teduh. ,,Pukul berapa dia kembali?” tanjanja. ,,Tidak tentu, tidak dikabarkannja. Akan tetapi kalau djuragan ada keperluan apa-apa, urusan tanah umpamanja, boleh bitjara dengan djuragan menteri sadja. Ia ada dikantor, akan saja kabarkan?” Hadji itu mengemjitkan alis matanja, air mukanja agak suram. Raguragu hatinja. ,,T ak tentu bila ia kembali” , katanja dengan perlahanlahan, seraja melihat arlodjinja.' ,,Tapi saja sudah berkirim surat kepada nja, mengabarkan hendak datang menghadap hari ini” . ,,Surat? Tadi pagi betul ada djuragan patih menjuruh saja memberikan seputjuk surat kepada djuragan menteri, barangkali surat itu?” ,,Benar?” kata Hadji Djunaedi dengan tjepat. ,,Kalau begitu, tolonglah katakan kepada djuragan Suria . ,,Saja, djuragan” . ,Suminta” , kedengaran suara keluar dari dalam kantor dengan njanng. ” Alamat langkah baik, djuragan Hadji, baru bemiat dalam hati sudah terpanggil. Tinggal djuragan disini dahulu, saja pergi. — Saja, djuragan” , katanja dengan keras, seraja berlari kepintu dan terus masuk ketempat .................... _p datang panggilan itu. ,,K opi” , kata Suria kepadanja, ketika ia telah berdiri dihadapan medja tulis menteri itu. ,,Dengan es, djuragan?” kata Suminta, sambil mengambil sebuah gelas besar dari atas medja itu. . ,,Tentu sadja, hari sepanas mi! Suria mengangkatkan kepala dari daftar besar dan lebar jang sedang dikerdjakannja, lalu memandang kehalaman. „Siapa itu, jang berdiri diluar itu?” katanja kepada opas, jang telah berpaling kepintu. . Hadji Djunaedi, djuragan. Ia hendak menghadap djuragan patih, tapi karena djuragan patih tidak dikantor, ia hendak bertemu dengan .. 9} Hadji Djunaedi dari Rantjapurut ?” kata Suria, sambil berpikir-pikir. Benar, tapi pergilah lekas, ambil kopi” . „Saja suruh dia masuk?” ,,Kopi kataku, lekas!” Suminta mendekati medja pula. ,,A pa lagi?” kata Suria dengan membelalakkan matanja.
,,Bon, djuragan” . Suria menulis kertas setjarik ketjil. ,,Ini” , katanja sambil mengundjukkan ,,bon” itu ketangan opas, ,,lekas, sudah kering rongkonganku” . Suminta berdjalan keluar membawa gelas dan ,,bon” dengan tjepat. Didekat Hadji Djunaedi ia berkata dengan perlahan-lahan: ,,tunggu sebentar” , lalu terus menudju kewarung minum-minuman jang tiada djauh dari situ. Sedjurus antaranja iapun datang kembali, masuk kekamar menteri. Setelah keluar pula, lalu ia bertjakap-tjakap dengan Hadji tadi. Kira-kira seperempat djam kemudian kedengaran pula suara njaring memanggil dia, dan iapun hadir dihadapan menteri Suria. „Suruh masuk orang itu” , kata Suria kepadanja, sambil minum s ereguk. Hadji Djunaedi berdiri dihadapan medja Suria. Ia memandang dengan ragu-ragu kepada sebuah kursi dekat medja itu. ,,Hadji Djunaedi” , kata Suria, seraja memandang kepada orang itu dengan tenang. Ketika dilihatnja Hadji itu masih berdiri djua dan menurut gerak badan dan matanja hendak duduk diatas kursi kosong itu ia rupanja, disambungnjalah perkataannja dengan angkuh: ,,Itu kursi, duduklah” . Setelah itu ia menekur kemedjanja, berbuat pura-pura asjik bekerdja. Sepuluh kerut feeningnja, seolah-olah ia tengah memikirkan suatu perkara jang sukar-sulit. Djalan penanjapun sangat lambat rupanja. Dari pada sikap jang demikian njata kepada Hadji Djunaedi, bahwa menteri kabupaten itu tak suka melihat dia duduk dikursi. Orang desa mesti duduk dilantai, djika berhadapan dengan amtenar---- M alu amat ia akan dirinja, sebab dihinakan orang. Dari pada duduk dikursi dengan silaan sematjam itu, lebih suka ia bersila dilantai dengan kain suteranja jang indah dan mahal itu. Tengah ia berdiri bimbang, Suria mengangkatkan kepala pula, duduk lurus-lurus serta berimpitkan kaki diatas kursinja. ,,Duduklah” , katanja pula, seraja meminum kopinja. Hadji Djunaedi duduk dengan rupa kemalu-maluan, lalu merukuk dan memandang kepada menteri itu dengan hormat. A pa maksud Hadji datang kemari?” tanja Suria dengan selesai, senang benar hatinja. ,,Besar hadjat saja datang kesini, djuragan menteri” , djawab Hadji itu dengan lemah-lembut, tapi sungguhpun demikian terbajang djuga pada air mukanja, jang bertukar-tukar putjat dan merah, perasaan hati jang sangat ditahan dan ditekan. ,,Lebih dahulu saja sudah berkirim surat kepada djuragan patih, tetapi. . . . Saja hendak membeli sebidang tanah” . ,,Membeli tanah, mengapa datang kemari? Mengapa tidak diuruskan dengan lurah sadja?” >»Jang akan saja beli itu ialah tanah lurah, djuragan. Lebih dahulu saja hendak mengetahui watas-watasnja. Saja minta, supaja djuragan
tolong melihat dalam register, entah tanah itu sudah tergadai kepada orang la in ___” ,,T anah m ana?” ,,Jang dibelakang rumah lurah, sebagaimana saja tundjukkan dalam surat saja itu” . ,,Padjak Hadji tahun ini sudah dibajar?” tanja menteri mengelakkan permintaan H adji itu. ,,Sudah, djuragan” , djawab Hadji Djunaedi dengan tersenjum. ,,Berapa Hadji dikenakan padjak tahun in i?” ,,T iga ratus lima puluh------ ” ,,T iga ratus lima puluh rupiah, masih ketjil buat Hadji. Sekarang hendak membeli tanah lagi. — Sekalian harta orang Rantjapurut hendak Hadji borong. Eh, banjak ajam didesa H adji?” kata Suria dengan tibatiba manis seperti madu. ,,A da djuga, djuragan. Kalau djuragan suka membuang-buang langkah kepondok s a ja . . .. ” ,,Kerap kali saja pergi ke Rantjapurut, kerumah Raden Suwita. Empangnja luas-luas, besar-besar ikan didalamnja. Senang benar hatiku memantjing disitu. Tetapi — ja, saja suka benar betemak ajam” . ,,Nanti saja tjarikan biangnja jang besar, djuragan” . ,,Ketitiran — burung ketitiran ada disana?” ,,A da djuga, djuragan. Kalau djuragan suka, boleh saja tjarikan jang bagus, jang merdu bunjinja’ . „N an ti saja datang kesana — Kosim” , seru Suria kepada magang Hii'amar sebelah. ,.Tunggu sadja diluar, Hadji, nanti kupanggil lagi” . Hadji Djunaedi bangkit berdiri dan pergi keluar, sedang Suria memberi perintah kepada Kosim akan mengambil register Landrente dionderdistrict Rantjapurut. . Tengah Suria memeriksa perkara dua tiga orang lam, jang duduk merukuk dilantai dengan ta'zim dihadapannja, sebuah auto masuk ke dalam pekarangan dengan tjepat dan berhenti dimuka kantor itu. Patih dan asisten-wedana tebe melompat keluar dan dalam kendaraan itu. Ketika R . Atma di Nata hendak melangkahi ambang, tampaklah olehnja Hadji Djunaedi datang kedekatnja. Akang Hadji” , katanja dengan riang, seraja mendjabat tangan Hadji Djunaedi. ,,Sudah lama akang datang? Saja tak dapat menantikanakang, perlu pergi1 komisi. Tapi — ada saja bertinggal kata kepada menteri — mari kita masuk” . Saja, djuragan” , djawab Hadji Djunaedi dengan hormat, sambil berdjalan mengiringkan patih kedalam kantor. Berlainan benar, sebagai siang dengan malam, penjambutan patih dengan menteri Suria atas kedatangan orang itu. Raden Atma di Nata menjilakan dia duduk diatas kursi besar, jang sengadja disediakan penerima djamu patut-patut, didalam kamar kantomja. Bukan dengan angkuh, bukan karena terpaksa, hanja semata-mata dengan rela hati tjara menerima tamu sesama manusia. Ia disuguhi tjerutu jang enak
rasanja, dilawan bertjakap-tjakap dan berhandai-handai dengan riang, dengan senjum dan tertawa, diperbasakan dengan halus dan sopan oleh patih itu. Hadji Djunaedi seorang jang temama didesanja. Dari pada angka belasting jang wadjib dibajarnja sudah dapat dikira-kirakan berapa besar kekajaannja. Kehasilan sawah ladangnja, empang ikannja dan lain-lain dalam sebulan tiada kurang dari pada empat lima ratus rupiah. Rumahnja besar dan indah; perkakas didalamnja teratur dengan baik, sehingga pantas didiami orang jang berpangkat tinggi dan bangsawan. Patih R . Atma di Nata djika pergi komisi ke Rantjapurut, selalu singgah disitu. Budi bahasanja baik, pemurah dan dermawan. Pendeknja, ia seorang tua kaja suka dimakan. Tua! Benar, umumja sudah lebih dari empat puluh lima tahun, djadi sudah lebih tua dari pada menteri Suria. Tiada kenalkah Suria kepada Hadji Djunaedi jang kaja itu? Kenal — tetapi pikirnja, kaja tinggal kaja, tua tinggal tua, dikantor dia jang kuasa. Menteri kabupaten lebih mulia, lebih utama dari pada orang desa jang kaja bagaimana sekalipun! Demikian anggapan Suria, tetapi tidak begitu sangka Raden Atma di Nata, patih, induk semangnja. ,,Djadi permintaan akang sudah diuruskan oleh menteri” , kata patih sambil mengembuskan asap tjerutunja. ,,Sudah, djuragan, sudah disuruhnja magang memeriksa register, tetapi___” ,,Tetapi keterangan belum akang peroleh lagi, bukan?” Patih membunjikan lontjeng sekali. Sebentar itu djuga menteri Suria kelihatan berdiri diambang pintu. ,,Menteri” , kata patih kepadanja, ,,sudah dilihat dalam register apa jang diminta akang Hadji ini dengan suratnja, jang saja tinggalkan tadi pagi? Lekas, tolonglah dia” . Suria hilang dari pintu, pergi kekamar Kosim dengan tjepat. Disitu terdjadi pertengkaran mulut antara menteri dengan magang. Register itu belum bersua lagi. Entah ada ditjari Kosim dirak-rak entah tidak: pendeknja, tak ada register diatas medja magang itu. Hanja dari mulutnja ada keluar perkataan: ,,Saja tidak tahu tempatnja, saja baru disini” . Dengan bersungut-sungut Suria terpaksa mentjari serta mentjatat sendiri apa jang dikehendaki itu. Merengat peluh dikeningnja dan merah padam mukanja. Demikian ia masuk kekamar patih kembali. ,,Bagus” , kata patih, seraja menjambut seputjuk surat dari tangannja. Setelah dibatjanja sebentar, surat keterangan itupun diserahkannja kepada hadji Djunaedi. ,,Alhamdulillah, djuragan” , katanja. ,,Dalam tiga empat hari ini sudah boleh dilangsungkan djual-beli itu; nanti saja datang kemari bersamasama dengan lurah. Dan terima kasih banjak-banjak, djuragan menteri; rupanja djuragan sudah bersusah-pajah benar karena saja” . Ia me mandang dengan muka manis kepada Suria, jang sedang menghapus peluh dikeningnja, serta menjambung perkataan dengan senjum jang
banjak artinja: „M udah-m udahan, sungguh djuragan datang kepondok saja kelak. Banjak ajam biang didesa saja, djuragan” . ,.M enteri hendak betemak ajam ?” tanja patih seraja tertawa sedikit dan memandang kepada Suria dengan riang. ,,Baik, tetapi awas, djangan terlalu banjak makan telur mentah” . Suria menekur kemalu-maluan. A kan tetapi demi dilihatnja patih suka berkelakar rupanja, tiba-tiba ia mengangkatkan kepala pula dan berkata dengan senjum masam: ,,Ja, kabamja, air didesa ,,djuragan” Hadji Djunaedi djemih, ikannja djinak-djinak” . Hadji Djunaedi tertawa sedikit: ,,M oga-m oga” , katanja, ,,djuragan menteri tiada ketjewa” . Suria balik kembali kekamamja dengan perasaan jang tak dapat ditentukan. Adakah ia berasa malu melihat beda penjambutannja dengan penjambutan patih atas diri Hadji itu, atau tidak, sedikitpun tiada terbajang pada air mukanja. Ia memakai perkataan ,,djuragan” kepada orang itu, bukan ,,berhadji” sadja seperti bermula tadi, adakah dengan tulus hatinja ? Atau hanja karena terpaksa sebab dihadapan chefnja, jang selalu memperbasakan dia dengan pantas? Entah, hal itu tak dapat diketahui dan dikira-kirakan. Baharu sedjurus Suria bekerdja pula, Hadji Djunaedi bermohon diri hendak pulang. Ia diantarkan oleh patih sampai kepintu. Ketika ia lalu dihadapan medja Suria, tiada lupa ia membungkukkan badan kemuka, hampir berlipat dua, seraja berkata dengan hormat dan chidm at:,,Mohon diri, djuragan menteri, dan saja harap benar-benar kedatangan djuragan menteri kepondok saja” . _ . „A sa l djansan lupa menjediakan ajam biang , kata patih sambil mengerlingkan mata kepada Suria dengan senjumnja. Hadii Djunaedi berdjalan keluar, patih kembali kedalam kamar kantornja, sedang Suria duduk bekerdja dengan senjum masam. M eskipun niat Suria hendak berdjalan-djalan ke Rantjapurut sudah agak masuk angin, seolah-olah telah mendjadi olok-olok balk dan pihak p ltih baikpun dari pihak Hadji Djunaedi sendiri tetapi tiga empat pekan kemudian, jakni pada hari Ahad, menteri kabupaten itu pergi ^ ir s a n e T d ip e rb a s a k a n oleh Hadji jang kaja itu. Barang kemana Suria berdialan-djalan dalam desa, diiringkannja, dan kemudian diadjaknja melihat-lihat ikan dalam tebatnja jang amat luas. Banjak ikan jang besarbesar didalam tebat itu, terutama ikan emas; semuanja djmak-djinak, seakan-akan dapat ditangkap dengan tangan sadja. Kalau dilompatkan salah suatu barang kedalam tebat itu. ikan itupun berkedjaran ketempat djatuh barang itu dengan berkerumun dan berebut-rebutan. Senang hati melihat tingkah lakunja, hilang segala waswas dan kenang-kenangan; segenap pikiran terhadap kepada ikan jang bergalau dan berkilatan itu. D ari situ Suria berdjalan pula dengan Hadji Djunaedi ketempat lain-lain.
ketempat jang lebih menjenangkan hati dan melapangkan dada bernapas, karena baik dan sedap hawanja. Besar dan riang benar hati Suria disitu. Bukan karena pemandangan jang indah dan permai sadja, tetapi lebih-lebih lagi karena barang dimana ia bertemu dengan orang, sekaliannja memberi hormat kepadanja, memuliakan dia dengan sepatutnja, Sehingga ketika akan berbalik kerumah Hadji Djunaedi, keluarlah perkataan dari mulutnja dengan tjongkak dan gembira: ,,Besar benar artinja hari sehari ini bagiku, Hadji. Aku selalu duduk dikantor, bertekun menghadapi medja tulis, memeriksa dan memutuskan perkara ini dan itu, sekarang dapat melengah-lengah pikiran dalam hawa jang amat sedap rasanja” . ,,Sjukur, djuragan! Tetapi apa benarlah kelebihan desa jang ketjil dan buruk ini” , djawab Hadji Djunaedi dengan merendahkan diri. ,.Itupun, djika boleh disebutkan ada kelebihannja, lain tidak karena berkat do'a djuragan djuga” . ,,Dan beruntung benar Hadji membeli tanah itu. Tanah dan sawah jang kita lalui tadi, bukan ? Murah harganja, tanah jang seluas itu. Akan tetapi lurah kemana? Tak ada kelihatan” , kata Suria sambil menoleh kepada orang jang berdjalan mengiringkan dia dibelakang. ,,Ada saja beritahukan kemarin kepadanja, bahwa djuragan menteri kabupaten akan datang kemari. Sajang, ia tiada dapat mengelu-elukan djuragan, sebab kemarin djuga, sore, ia terburu-buru berangkat kekota akan menghadap djuragan patih” . ,,Sekarang belum pulang?” ,yRupanja belum lagi, djuragan” . ,,Perkara apa?” ,,Tentu sadja djuragan menteri tahu, perkara uang padjak Landrente” . Suria berpikir sedjurus. Ia menggosok peluh dikeningnja dengan sapu tangan. Tiba-tiba sebagai laku orang jang baru ingat akan sesuatu jang sudah lama lupa, iapun berkata pula: ,,Benar, tentu sadja aku tahu. Aku jang memeriksa buku-bukunja, aku jang mengingatkan djuragan patih akan memanggil dia dan aku pula jang membuat surat panggilan. Akan tetapi, karena banjak kerdja, aku sudah lupa bahwa kemarin ia mesti menghadap” . ,,M a‘a f — kusutkah buku-bukunja?” tanja Hadji Djunaedi dengan agak gelisah. ,,Tidak. Kusut benar tidak, tetapi ada mendatangkan sjak sangka sedikit, lebih-lebih sesudah ia mendjual harta kepada Hadji” . „H arta itu didjualnja, karena ia hendak mengawinkan anaknja, djuragan. Ia seorang lurah jang lurus___” ,,Mudah-mudahan. Akan tetapi kita sudah sampai rupanja” , kata Suria sambil berhenti dimuka pintu pagar sebuah rumah jang besar dan indah. Rumah batu jang terdiri ditengah-tengah pekarangan luas ialah rumah Hadji jang kaja itu. Kalau dilihat dari djaian besar, jang terentang
dihadapannja, hampir tiada kelihatan, sebab dimuka dan dikiri-kanan serta dibelakangnja banjak tumbuh pohon buah-buahan jang rindang daunnja. Pada ketika itu sekalian pohon-pohonan itu sedang berbuah lebat: ada mangga, ada djeruk, djambu mawar dan lain-lain, tetapi dibawahnja amat bersih. Sehelai daun keringpun tiada kedapatan disana, alamat pekarangan itu didjaga dan diselenggarakan dengan sebaikbaiknja. Sedang Suria berdiri memandangi kebersihan dan keindahan disitu, Hadji Djunaedi bermohon masuk dahulu akan melihat kalaukalau didalam rumah sudah siap sekaliannja. Diserambi ada berdiri seorang laki-laki, jang berpakaian dengan patut dan pantas. Hadji Djunaedi bertjakap-tjakap dengan orang itu sebentar. Setelah itu iapun bersegera mendapatkan Suria pula, akan menjilakan dia masuk kedalam. ,,Bagus rumah ini. Sedjuk — meskipun hari panas, dingin segar disini rasanja” , kata Suria, seraja memandang berkeliling dengan tjongkak dalam serambi jang luas, teratur baik-baik sekalian perkakasnja. ,,Rumah didesa, dalam kebun, djuragan” , kata Hadji Djunaedi dengan hormat sambil menjilakan menteri itu duduk diatas sebuah kursi gojang. Suria duduk diatas kursi jang ditundjukkan itu. Dua tiga orang jang berdiri dekat dinding, lalu bersila ditempat itu dan menekur kelantai dengan ta'zimnja. Sedjurus antaranja datanglah seorang budjang jang berpakaian bersih menjadjikan sebuah gelas besar dan dua buah botol dengan baki porselin diatas medja dihadapan menteri kabupaten. Ketika budjang itu hendak membuka tutup botol itu, Hadji Djunaedi madju kemuka serta berkata dengan lemah-lembut: ,,Biar saja menuang gelas". Dengan segera dipegangnja sebuah botol, hendak dibukanja. Tiba-tiba Suria berkata: ,,A ir apa itu ? " „ A ir Belanda, djuragan". ,,Oh, aku kira lim o n ad e.... Baik, bukalah". ,,Atau barangkali djuragan hendak minuman lain? Dikota banjak minuman seperti ini, tentu djuragan sudah bosan. Kalau djuragan hendak mengubah-ubah air selera dengan minuman desa, ada saja sediakan air djeruk dan air kelapa muda". ,,A ir djeruk lebih baik. Hari panas” , kata Suria dengan senjumnja. Dengan segera minuman itu dibawa orang kelangkan segelas besar. Suria minum dengan lazatnja. Ia mengampai kesandaran kursi, jang bergojang terangguk-angguk kemuka dan kebelakang dengan perlahanlahan. Sepatah dua patah kata ia bertanja kepada orang-orang jang bersila dilantai itu, tentang perkara kehidupan didesa dan lain-lain. Tentu sadja, sebagai seorang amtenar jang selalu mengegahkan diri dengan anggapan bahwa ia senantiasa mengetahui hal-ihwal pemerintahan negeri, tiada lupa ia membawa-bawa perkara padjak dan tjukai dalam pertjakapan, sehingga mereka bertambah segan dan takut kepadanja. Pukul tengah dua berbunji. Rupanja panas badan Suria telah hilang, perasaannja telah segar kembali, karena meminum air djeruk segelas penuh. Hadji Djunaedi menjilakan dia masuk keruang tengah.
Sesungguhnja menteri Suria diperbasakan, dimuliakan benar-benar oleh orang seisi rumah. Diruang tengah jang Iuas, dihampari dengan permadani tebal dan berbunga-bunga jang ditutup pula dengan kain putih bersih, sudah terhidang dengan sempuma makanan jang lazat tjitarasanja dalam barang-barang porselin jang halus dan mahal harganja. ,,Rupanja Hadji hendak bersedekah” , kata Suria dengan senjumsimpul, ketika akan duduk ditempat jang disediakan baginja. ,,Bukan, djuragan", djawab Hadji Djunaedi, sambil menjilakan orang lain-lain duduk pula berkeliling hidangan itu, ,,hanja sekadar hendak menjukuri djuragan menteri sudah sudi melangkahkan kaki kepondok saja ini. Tjara desa, tidak makan dimedja. Saja harap djuragan santap dengan senang apa-apa jang ada ini. Seada-adanja sadja. Bismillah, djuragan". Mereka itupun mulai makan. Ragu pikiran memandangi hidangan itu. Semuanja sama sedap rupanja. Ikan goreng berekor-ekor, ajam b u lat. . . . mana jang akan dipatahkan? Sekaliannja sengadja disadjikan akan disantap, bukan akan djadi perhiasan hidangan sadja. Dengan tak malumalu Suria makan dengan lahapnja. Setelah selesai dari pada makan itu, djamu lain-lain bermohon diri pulang kerumah masing-masing. Suria berpindah duduk keserambi pula. ,,Kesini duduk, Hadji, dikursi dihadapanku ini. Ah, djangan disitu — kita tiada dikantor, bukan?" kata Suria, demi dilihatnja Hadji Djunaedi segan hendak duduk didekatnja. Rupanja ada djuga terasa malu dalam hatinja, sebab tuan rumah itu sangat memuliakan dia, seolah-olah berlebih-lebihan. Hadji Djunaedi jang arif itu, sangat tahu menenggang hati djamunja, lalu duduk disebelah medja, berhadapan dengan menteri itu. Suria mulai bertjakap-tjakap dengan senang, sekali-sekali mengembuskan asap tjerutu keudara dengan selesai, sedang menggojang-gojangkan kursinja. Sebentar antaranja kopipun disadjikan oleh seorang anak gadis remadja dua tjangkir beserta dengan dua peles kue-kue. Suria memandang kepada gadis itu dengan tenang, tetapi lekas ia menundukkan kepalanja. Ketika anak itu sudah masuk kedalam pula sambil menutupkan pintu dibelakangnja, bertanjalab ia kepada tuan rumah: ,,Itu anak H ad ji?" ,,Saja, djuragan". ,,Ada djua Hadji beranak gadis, sudah berapa um urnja?" ,,Bulan dimuka ini tjukup 16 tahun, djuragan” . ,,Sudah besar dan parasnja tjantik, tentu sudah ada tunangannja” . A ir muka Hadji Djunaedi berubah sedikit, agak kemalu-maluan rupanja. Sambil membawa tjangkir kopi kemulutnja, iapun berkata dengan senjum: ,,Silakan minum, djuragan, makan kue-kue ini. Buatan anak desa. . . Menteri Suria mengambil sekerat kue dari dalam peles, lalu diletakkannja dipinggir piring tadah tjangkimja. Ia minum sereguk dan berkata pula:
„ Siapa tunangannja, H adji?” ,,Belum ada, djuragan” , djawab Hadji Djunaedi dengan tjepat. (,Siapa jang akan suka kepada anak sebodoh itu ?" ,,Tidak bersekolah?" ,,A da, dan mengadjipun ada djuga, tapi anak desa___Anak djuragan ada berapa orang?” »>Tiga. Seorang, jang sulung, sekarang ada disekolah menak di Bandung. Beberapa bulan lagi ia akan djadi amtenar B .B .” kata Suria dengan tjongkaknja. ,,Tidak, bakal tunangannja sudah ada, anak wedana di Tasikmalaja, sekarang masih duduk dikelas tinggi Kweekschool untuk anak-anak perempuan di Djokjakarta". Hadji Djunaedi termenung. Menjesal ia bertanjakan anak Suria sesudah memperkatakan anaknja. Seolah-olah ia mengehendaki anak menteri itu! Pada hal, sebetulnja ia hendak memutar pertjakapan sadja — djangan anak gadisnja dibawa-bawa dalam pertjakapan sedemikian. Walau benar anak Suria akan bertunangan atau sudah bertunangan dengan murid sekolah guru, anak wedana itu, walau tidak, apakah peduli Hadji D ju naedi ? Bukan perkaranja. Akan tetapi sebagai seorang jang berbudi, ia tak mau menampakkan perasaan jang tiada enak kepada djamunja. Melainkan kemana keiok lilin kesana kelok lojang, pikirnja. Dengan rupa bersungguh-sungguh serta mengandjung-andjungkan iapun ber kata pula: ,,Berbahagia benar, djuragan, ada beranak laki-laki jang bersekolah menak. Djarang amtenar jang seperti djuragan. Sedangkan patih kita sekarang ini, katanja, tak sanggup menjerahkan anak-anak kesekolah tin gg i. . . . " ,,Aku lain", djawab Suria dengan tjepat dan bertambah sombong, sehingga mengipas-ngipas tjuping hidungnja. ,,Aku hidup, aku makan gadji untuk keperluan anak. Anak-anakku mesti lebih dari pada aku kelak. Sekarang anakku jang dua orang lagi, ada di H. I. S. Sumedang” . ,,Tentu besar ongkosnja, belandjanja” . ,,Tentu sadja, tetapi kewadjiban bapa kepada anak tidak memandang ongkos. Badan diri kitapun, kalau terpaksa, mesti kita kurbankan untuk didikan anak-anak". ,,Sungguh djarang orang jang seperti djuragan menteri, berpikiran sedalam itu !" _ ,,Kalau tidak begitu, sia-sia kita hidup diduma ini . ,,Saja, djuragan". Uangku boleh dikatakan habis buat anak-anak sadja". "T entu kemudian ada balasnja, djuragan. Ibarat bemiaga: rugi ada menentang laba Benar, — tetapi itu tjuma pengharapan. Jang sebenamja: anak-anak sekarang, terutama anak laki-laki, mesti bersekolah jang sempuma” . ,,Raden Muhammad Kosim, magang dikantor djuragan, lepasan sekolah a p a?" tanja Hadji Djunaedi dengan sekonjong-konjong.
Suria menentang muka tuan nimab itu. Terpikir olehnja, apakah sebabnja Hadji Djunaedi tiba-tiba menjebut nama anak itu? Adakah pertaliannja dengan dia? Ah, benarkah? Boleh djadikah ada niatnja? Anak gadis jang menating kopi tadi terbajang pula dalam ingatan menteri itu. Seraja tersenjum simpul pertanjaan Hadji Djunaedi itupun didjawabnja dengan pertanjaan pula: ,,Mengapa Hadji bertanjakan sekolah anak itu?” „T idak, bukan karena apa-apa” , djawab Hadji Djunaedi dengan tenang. ,,Hanja, karena pada suatu hari saja diperkenalkan djuragan patih dengan dia. Elok benar tingkah lakunja, saja lihat. Dan pada air mukanja tampak terbajang, bahwa ia seorang anak jang masak peladjaran, pandai, tangkas dan sopan” . ,,Oh” , kata Suria dengan tjemooh dan mengerenjutkan bibirnja. ,,Aku tak mengerti, mengapa anak serupa itu diterima patih mendjadi magang. Tinggalpun dirumah dia pula! Kalau ia pandai, takkan sampai ia kemari, takkan sampai setahun lebih mentjari kerdja kian-kemari. Dan dikantorku___ kelihatan njata kebodohannja. Sebuahpun tak ada kepandaiannja. Pertjuma sadja bertahun-tahun duduk di M u lo . . . . membuat surat perintah sadjapun ia tidak tjakap. Karangannja tiada beraturan, berkatjau-bilau, dan bahasa Belandanja banjak jang salah. Selalu mesti aku perbaiki djuga; djadi tak berulas, tak bersambung sedikit djuga tanganku olehnja. Lagi pula ia malas dan keras kepala. Tidak, djika Hadji bertanjakan anak itu dengan suatu niat jang tersembunji” , udjar Suria dengan agak lunak, sambil menentang muka tuan rumah itu, ,,aku ingatkan, lebih baik niat itu djangan disampaikan. Banjak jang lain lagi, jang lebih patut, asal Hadji suka---Naik darah kekepala Hadji jang kaja itu, merah warna mukanja, seakan-. akan tersinggung hatinja. Dalam pada itu ia heran pula, apa sebabnja Suria sangat merendahkan Kosim sematjam itu ? Kosim keluaran Mulo, benarkah menteri kabupaten tjap lama itu dapat membetuli bahasa Belandanja? Tahukah, mengertikah Suria bahasa itu? Hm, dan apa maksudnja dengan perkataan: ada jang lebih patut, asal Hadji suka itu? Hadji Djunaedi menundukkan kepalanja. ,,Mengapa Hadji termenung?” kata Suria dengan senjumnja. ,,Sungguh, kepada orang jang sekaja Hadji ini takkan kurang orang datang. Djangan dipermurah-murah harga anak. Aku, kalau Abdulhalim belum bersangkutan kata dengan anak wedana T a s i k . . . . Eh, ada burung disini, Hadji ?” katanja dengan tiba-tiba mengalih pertjakapannja, demi terdengar olehnja bunji burung ketitiran. Ia berbangkit dari kursinja dan melangkah dua langkah kemuka. Sambil bertelekan pada bendul terali, iapun menoleh kepohon djambu mawar dihadapan rumah itu, jakni ketempat datang bunji burung tadi. Maka kelihatan olehnja sebuah sangkar jang indah tergantung didahan tengah pohon itu. Dengan muka jang berseri-seri Suria berpaling kepada tuan rumah, lalu berkata dengan riang: ,,Ada djuga rupanja Hadji memelihara burung! Bagus, memang burung
sematjam itu dapat menjenangkan hati, dapat merintang-rintang hati susah". Hadji Djunaedi tersenjum .,,Sebenamja saja tiada memelihara burung", katanja. „Itu ?” ,,Saja sediakan untuk djuragan” . ,,Terim a kasih, Hadji. Terim a kasih banjak-banjak", djawab Suria dengan suka hatinja. „T etapi berapa harganja?" ,,Takkan berdjual", djawab Hadji Djunaedi dengan senjum jang berarti. Suria tersenjum pula. Kedua tjuping hidungnja mengipas-ngipas. Rupanja suka benar hatinja. Kalau sudah tergilir pertjakapan kepada burung, lupalah ia akan perkara lain-lain. Kebaikan burung, tuah burung, bunji burung, pendeknja segala peristiwa burung itu — sampai-sampai kepada bulu dan sisiknja — mendjadi pertjakapan jang mahapenting baginja. Baik perkataanja didengarkan orang, baikpun tidak, tiadalah dipedulikannja. Ia tiada tahu, bahwa Hadji Djunaedi sudah penat dan bosan mengiakan tuturnja, sehingga ,,ia" itu sudah digantinja dengan angguk kepala sadja; itupun sudah djarang-djarang pula. Ia tiada insaf, apa arti laku Hadji Djunaedi meraba-raba rantai arlodjinja beberapa kali, seakan-akan hendak mengeluarkan arlodji dari dalam sakunja. Melainkan ia asjik mentjeriterakan burung djuga. Untung sesudah ia mengatakan bahwa burungnja jang ada dirumah sekarang itu bertuah — sudah kerap kali ia bermimpi terbang dengan dia — kedengaran bunji djam diruang tengah empat kali. ,,Eh, sudah pukul empat", kata Hadji Djunaedi, sambil menarik • arlodji, jang sedjak dari tadi sudah diagak-agaknja hendak mengeluarkan. ,,Betul? Pendek benar hari rasanja dirumah H adji", kata Suria ,,Akan tetapi, sungguh, sudah sehari-harian saja disini. Sudah patut saja angsurangsur kekota sekarang". Ia mendekatt medja, lalu mengambil sebuah tjerutu dari tempatnja. Api-apipun digoreskannja. Ketika hendak membakar udjung rokok itu, iapun berkata pula dengan manis: ,,Terim a kasih, Hadji. Sampaikan salamku kepada seisi rumah, aku bermohon diri hendak pulang . I a m e m an d a n g a ra h kep in tu .
Lekas amat", kata tuan rumah. ,,Tetapi tunggu dahulu". Dan iapun membuka pintu, lalu masuk kedalam. Sedjurus antaranja ia balik keserambi kembali, lalu turun kehalaman mengiringkan menteri kabupaten. Dan Suria berdjalan lambat-lambat, sekali-sekali menoleh djuga kebelakang dan memandang kerumah itu dengan tadjam dan tenang, seakan-akan amat berat hatinja hendak beringsut dari situ. Dan tjakapnjapun tiada berkeputusan, ada-ada sadja jang akan ditanjakannja kepada orang jang menurutkan tumitnja, seolah-olah apa jang tumbuh dihalaman itu mendatangkan minat kepadanja. Akan tetapi matanja___ melajang djuga kepintu, kedjendela, bahkan kesegenap bahagian rumah D r e w e s , M entjari ketetapan baru.
14
jang indah itu. Sementara itu seorang budjang sudah berlari-lari kedjalan raja, akan mentjari kendaraan. Sesampai dimuka pintu gerbang, Suria tegak berdiri dan berpaling kebelakang, seraja mengembuskan asap tjerutunja lambat-lambat dengan mengerontjongkan kedua bibimja. Tiba-tiba mukanja berseri-seri dan matanja bersinar-sinar kegirangan. Ia tersenjum manis, sambil me mandang djauh-djauh___arah kesudut rumah itu. ,,Djangan lupa pesanku tadi, Hadji” , katanja seraja tegak menampan. ,,A pa gerangan?” tanja Hadji Djunaedi dengan agak terkedjut; ,,pesan apa, djuragan?” ,,Peiupa benar, Hadji. Tjoba pikirkan benar-benar” . Ia tersenjum pula, tetapi lebih dimaniskan dari tadi dan pandang djauh itupun bertambah gairat rupanja. Mau tak mau Hadji Djunaedi menoleh pula kebelakang, kearah pandang menteri itu. Maka kelihatan olehnja Fatimah, anaknja, berdiri dekat ibunja dibalik batang pohon djambu mawar. Darah Hadji Djunaedi tersirap dan iapun menundukkan kepalanja. Rrr, sebuah auto berhenti didjalan raja dekat mereka itu. „N ah, selamat tinggal” , kata Suria seraja melangkah kedekat pintu kendaraan itu. „D an masih lupa, H adji? Burung ta d i---- ” Dan iapun menoleh kebelakang pula. ,,Burung” , kata Hadji Djunaedi seraja mengangkat pula, sebagai bangun dari pada mimpi. ,,Nanti saja suruh antarkan kekota, bersamasama dengan barang lain-lain, — oleh-olehan bagi anak-anak djuragan” . ,,Terima kasih” , kata Suria, lalu masuk kedalam auto. ,,Dan sekali lagi, sampaikan salam dan terima kasihku kepada djuragan isteri d an . . . . ,.kekota” , udjamja kepada sopir dengan tjepat. • Auto itupun berlari dengan kentjang. Sepekan, dua pekan, bahkan sudah lebih dari sebulan Suria menantimenantikan angkatan itu, tetapi belum djuga datang lagi. Ia sudah mulai gelisah, tetapi sekali-kali tidak putus pengharapan. Ia tahu, bahwa djalan surat-surat dikantor kadang-kadang agak lambat. Timbangmenimbang bukan sedikit memakan tempohl Dan meskipun agak lama, tentu timbangan jang baik akan djatuh djua kepadanja. Takkan lari gunung dikedjar! Maksudnja nistjaja akan sampai djuga. Sekonjong-konjong, sebelum tentu hitam putih perkara itu, assistentresident dipindahkan ketempat lain. Ia harus berangkat dengan lekas. Barang-barangnja sepotongpun takkan dibawanja, sebab tempatnja jang baru itu djauh. Akan diperlelangkan semuanja. Pada suatu hari, sedjak dari pagi bunji gung sudah mendengungdengung dihadapan rumah amtenar jang pindah itu. Sekalian prijaji dalam afdeling Sumedang, sedjak dari pangkat jang rendah sampai kepada jang setinggi-tingginja, demikian pula lurah, chatib dan peng hulu sudah berkumpul dirumah itu. Orang kaja-kaja, saudagar-saudagar dalam kotapun sama hadir belaka. Sekaliannja melihat-lihat barang-
barang jang disukainja, sekaliannja berniat hendak membeli barang jang bagus-bagus dan terpelihara baik-baik itu. Sedjak dari perabot dapur sampai kepada perkakas diberanda muka: periuk, senduk, tjawan pinggan, medja, lemari, kursi, gambar-gambar dll. menarik hati semuanja. Pukul sembilan lewat lelang dimulai. Mula-mula diperlelangkan seperangkat kursi diserambi muka. Tukang lelang menjebutkan suatu harga, orang banjak berebut-rebut menaiki harga itu. Atas-mengatasi, sampai kepada harga jang tertinggi, tiada diatasi orang lagi. Maka barang itupun diberikan kepada orang jang menawar penghabisan sekali itu. Demikian djuga halnja dengan barang jang lain-lain. Ketika memperlelangkan barang-barang dalam kamar tulis assistentresident, orang bertambah-tambah gembira, suara bertambah gemuruh. Nafsu orang hendak membeli sudah bertambah besar. Tukang lelang berteriak dengan keras: ,,H a, ini dia! Tangkai pena tuan assistent-resident. Emas tulen, masih bagus, tuan-tuan. Buat tanda mata, tuan-tuan, barang jang selalu dipegang oleh chef kita. Tangkai pena bertinta, tinggal menuliskan sadja la g i---- ” ,,Seringgit” . ,,Setali!” kata suara bergalau. ,,D ua rupiah tiga tali” . ,,T iga setengah” , kata suatu suara dari tengah-tengah orang banjak. ,,M asa barang jang sebagus itu ditawar setali-setali. Tiga setengah— ” Tukang lelang tertegun, dan bersama-sama dengan orang lain-lain ia memandang ketempat datang suara itu. ,,H a , katanja dengan tertawa, „itu betul, djurangan menteri kabupaten. ,,T iga setengah buat djuragan Suria, „tiga rupiah setengah sekali, tiga ru p ia h ....” „Setali” , kata orang lain. ,,T iga rupiah tiga tali” . ,,Empat rupiah” , kata Suria pula. ,,Empat rupiah” . ,,Seten gah .. . . ” ,,Empat setengah, lima, enam, tudjuh’ , kata tukang lelang dengan tjepat, sebab banjak orang jang mengedjapkan mata dan menganggukkan kepala kepadanja, alamat naik-menaiki harga itu. ,,D elapan---- ” ,,Sembilan” . .• , Sembilan sekali” , kata tukang lelang sambil mentjoba menjepitkan tangkai pena itu pada pinggir anak sakunja. „Bagus, tuan-tuan, sembilan sekali, sembilan dua kali, tak lebih lagi ? sembilan rupiah tiga tali, buat djuragan Suria, menteri kabupaten Sumedang. Murah sekali, tanda mata dari chef, djuragan” , udjarnja pula, sambil memberikan tangkai pena emas jang telah usang kepada Suria dengan senjumnja. Orang banjak tertawa bergumam. ,,Ini temannja, djuragan! Tempat t in t a .... Satu setengah” . ,,D ua rupiah” .
206
kalau
p ip it
h end ak
d ja d i
en ggan g
....
,,Setali'\ ,,D ua rupiah setali, orang banjak. Seringgit___Demikian naik-naik, sehingga achirnja djatuh ketang Suria djuga. Lelang terus. Orang bertambah gembira, hawa bertambah panas. Mereka menawar berebut-rebutan, amtenar berlumba-lumba membeli barang-barang induk semangnja. Menolong! Takkan senang sedikit djua hatinja, takkan termakan nasi olehnja sesampai dirumah kelak, djika mereka tiada membawa salah sebuah barang dari lelang itu. Berapa harganja mesti dibeli, malah kadang-kadang disengadja menawar mahal, dinaikkan tinggi-tinggi harganja, tanda tjinta kepada chef jang berdjalan. Menolong induk semang! Utang? Ketika itu tiada teringat bahwa tiap-tiap tawaran menambah besar utang. Sandjung-sandjungan dari teman sedjawat melupakan kebenaran! Tambahan pula, bukantah utang itu boleh dibajar dalam tiga bulan? Perlu tak perlunja barang-barang itupun tiada pula dipikirkan, tiada diindahkan benar, sebab maksud sengadja melelang itu bukan hendak barang, melainkan hendak menolong induk semang! Kalau hendak barang bukantah dipasar banjak barang jang lebih bagus dari pada itu, baru-baru belaka, dan harganja djauh lebih murah? Hanja saudagar jang arif dan insaf djuga jang menawar barangbarang seharganja, sepantasnja. Hanja orang jang demikian djuga jang tiada membeli barang jang tak perlu baginja. Pendjualan barang-barang itu tjepat sekali, kira-kira pukul dua belas orang sudah mulai berpindah kebawah akan melelang pot bunga dll., dan kebelakang melelang ternak: ajam, itik, angsa dan sebagainja. Pukul tiga lewat baru orang berangkat kerumah masing-masing, membawa pembeliannja. Suriapun pulang pula. Dibelakangnja ada mengiring sebuah gerobak, jang ditarik oleh dua orang kuli. Dimuka rumahnja gerobak itu berhenti, dari dalamnja dikeluarkan orang lemari katja, sepasang kursi besar, pot-pot bunga dan kandang merpati dengan burungnja. Sekaliannja barang pembelian Suria pada lelang dirumah assistentresident itu. Bertambah risau pikiran Zubaidah melihat barang-barang itu. Sesak napasnja. Tak disangka-sangkanja Suria akan melelang, sebab sedikitpun tak ada ia berkata lebih dahulu kepadanja. Apalagi kebanjakan barangbarang itu tiada perlu baginja. A pa gunanja pot bunga? Sedangkan jang sudah ada sadjapun hampir tak terpelihara. Apa gunanja lemari dan kursi, sedang rumah sudah sesak oleh perkakas? Burung, siapa jang akan mendjaga dan memberi makan binatang itu? Zubaidah mengeluh, menarik napas pandjang. Tetapi tjuma keluh djua jang keluar dari mulut perempuan itu. Dimukanja tiada ditampakkannja perasaan hatinja. Dengan senjum simpul djua barang-barang itu diterimanja. Apa dajanja? Akan ditolak? Tak mungkin, mustahil barang jang sudah dibeli pada lelang akan dapat dikembalikan! Ketika Suria menghitung utangnja pada lelang itu, lebih dari pada
tengah dua kali ganda djumlah gadjinja sebulan. Zubaidah tak dapat menahan hati lagi. Dengan tiada berkata sepatah kata djua iapun pergi kedalam bilik, lalu menangis dengan amat kesal dan sedih. Sedangkan utang jang telah ada sadja sudah mengurangkan tidurnja, istimewa ditambah pula! Suria djuga jang lapang dadanja, ia djuga jang selalu tenang dan sabar. Bahkan senang benar hatinja, karena ia sudah dapat menolong induk semang jang berangkat, chef jang telah berdjandji akan menjokong permintaannja! Dan apa jang akan dirisaukannja? Bukantah gadjinja akan bertambah? Kalau ia sudah djadi klerk, dua kali terima gadji sadja utang itu sudah boleh dilunaskannja. „A p a?” ,,Bapa ada?” ,,Tidak, pergi” . „M a m a ?” ,,T id u r” . ,,Tidak, baru sebentar ini ibu ada dibelakang. Enah panggil?” ,,Ssst, sekarang dia sudah tidur” , kata Saleh kepada adiknja, jang bergerak hendak berlari keruang tengah. ,,Djangan, Enah, ibu tidur” ., ,,O h, tidur!” , J a — ada apa, tauke?” , ,I ni . . . Orang jang dipanggilkan tauke itu meraba sakunja, seakanakan hendak mengeluarkan suatu barang. Tetapi tak djadi dikeluarkannja, melainkan ia bertanja pula: ,,Pukul berapa mama bangun?” ,,Saja tak tahu” . sahut Saleh dengan pendek. Ia berpaling kepada adiknja, mengadjak dia bermain-main kehalaman. ,,Kalau mama bangun kelak, katakan kepadanja, bahwa saja sudah datang kemari, D e n ’, udjar tauke itu sambil mengikutkan Saleh dan Aminah dari belakang. „N anti saja balik kemari kembali” . Setelah berkata demikian, iapun keluar dari pekarangan dengan kesal hatinja. . ,,Setiap saja datang kemari dia tidak dirumah. Isterinja tidur! Tjih, kata ’nden tidak tidur, ada dibelakang. Rupanja saja sudah dipermainmainkannja! Kalau saja bawa rekening kekantor, ia marah. Urusan rekening dirumah, katanja. Akan tetapi, sudah dua bulan utangnja tidak dibajarnja sesen djuga” . Demikian omelan tauke — orang kedai minum-minuman dan rokok — itu sementara berdjalan balik ketem^ Kalau tak bisa bajar, djangan minum dan djangan merokok” , katanja pula dengan marah, sambil menoleh kerumah menteri kabupaten. ,,Lagak seperti tuan besar!” ^ Lain dari pada Tjina kedai minum-minuman itu, ada lagi dua tiga orang tukang rekening datang kerumah Suria, tetapi semuanja berbalik dengan tangan hampa, sebab: tuan tak ada dirumah dan njonja tidur! Baru empat hari bulan! Aneh, gandjil djika bulan muda atau baru
seperti itu, sesudah terima gadji, pintu rumah seseorang tertutup? Dalam dunia kehidupan orang makan gadji ada kelihatan dua perkara jang berlawan-lawanan: sebagai hitam dengan putih. Sedang seseorang bersukatjita menentang hari terima gadji, berbesar hati akan memperoleh uang jang diharap-harapnja dari bulan kebulan, seorang nan lain lagi tersirap-sirap darahnja. Gelisah tidak keruan menanti kedatangan waktu itu! A pa sebabnja? Ia sudah tahu, bahwa uang jang akan diterimanja tiada tjukup buat pembajar utang jang telah diperbuatnja didalam bulan itu. Dan ia sudah tahu pula, bahwa si penagih utang kebanjakan tiada sabar, kasar. Kalau rekening jang diundjukkannja tiada dibajar, kerap kali ia mengeluarkan perkataan jang tiada sedap didengar telinga orang baik-baik; kerap kali ia membuat ribut dihadapan rumah, sehingga menarik pemandangan orang setangga. Siapa jang akan tahan mendengar umpat-tjertjaan berhampiran, jang memang selalu mengintai-intaikan tjela jang akan timbul ? Tjela, jang akan direntangnja pandjang-pandjang kepada orang lain, supaja sampai tersebar disepenuhan kampung! Dengan demikian dalam sekedjap mata sadja nama baik seseorang boleh mendjadi tjemar, gundjinggudjirak mendjalar kian-kemari. Djadi tiada heran, djika si berutang lebih aman dan sentosa djalan darahnja dalam pertengahan sampai penghabisan bulan dari pada permulaan bulan. Dalam bulan „tua” ia tiada seberapa diganggu dan dikedjut-kedjuti si penagih utang, dan dalam waktu itu ia sudah dapat pula membuat utang baru, tetapi dalam bulan „m uda” dari segenap pihak ia diserkap oleh segala langganan jang bersangkutan dengan dia. _ Apa akal akan mengelakkan gangguan itu, kalau pendapatan tak tjukup buat pemenuhi kewadjiban? A pa sadja akan mendjauhi pertengkaran dengan tukang rekening, dengan si penagih? Menghilang-hilang! Atau dikuntji pintu, berbuat pura-pura tid u r---Zubaidah sangat lemah semangat. Selama ini didjaganja benar supaja kehormatan dirinja, suaminja dan rumah tangganja djangan sampai mendjadi otjehan dan edjekan orang. Sedapat-dapatnja uang jang di terimanja dari Suria setiap bulan dibelandjakannja dengan hemat dan tjermat. Lebihnja pembajar utang. Meskipun tiada terpenuhi sekalian nja, tetapi karena elok angsurannja, pembagiannja: sedikit dibagi bertjetjah, banjak dibagi berumpuk, orang tempat ia berutang tiada berketjil hati kepadanja. Atau kalau sudah tersesak benar, kerap kali pula dilulusnja subang dan gelangnja, dipertaruhkannja kerumah batu___ Dengan uang tukaran petaruh itu dapatlah dilunaskannja utang jang masih tinggal. Oleh karena itu, betapa djuapun sempit hidupnja, lamun namanja tersebut baik djuga dalam kampung. Djandjinja djarang jang mungkir, djadi orang pertjaja memperutangi dia. Tentang barang jang dipertaruhkan dengan terpaksa itu, sekali-kali ia tak kuatir tiada akan bertebus. Kalau djandji hampir sampai, kalau gadaian rasa-rasa akan lalu, ia dapat beriba-iba meminta uang kepada ajahnja. Selalu berkenan,
dan karena itu tak ada salahnja djika barang itu selalu pula berulangulang ,,kerumah batu” itu. Akan tetapi waktu jang achir ini seakan-akan tak sanggup lagi ia mempertahankan bentengnja. Lubang selalu digali, tetapi tanah penimbun kembali sudah berkurang-kurang. Gadji djangankan bertambah, malah susut, sedang bantuan dari Tasik tak dapat diharapkan benar lagi. Permintaan Zubaidah sudah kerap kali dibalas Hadji Hasbullah dengan beriba-iba pula. Katanja, Zubaidah djangan terlalu mengharapkan kiriman ajah djuga, sebab ia sendiri tengah dalam susah pula. Ia sudah tua, sudah berangsur-angsur tak kuat lagi berusaha, sedang hasil perusahaan dari sehari kesehari bertambah tak berharga djuga hampir tak mendatangkan uang lagi. Dalam pada itu Abdulhalim, jang hampir tammat sekolahnja, perlu pula ditenggang dan dipikirkan. Kalau ia sudah keluar dari sekolah dan diangkat djadi kandidat amtenar, bukantah banjak keperluannja? Banjak jang mesti diadakan baginja: pakaian jang bagus berpasang-pasang, perkakas rumah setjukupnja, dan lain-lain. Sekaliannja memakan uang, mesti dibeli, — dari mana djua uang akan dikorek, sebab matanja sudah mulai kering? Demikian bunji surat chatib dari Tasikmalaja, demikian kata ajah Zubaidah dengan sedih serta memberi nasihat, supaja Zubaidah berhatihati hidup hingga ini keatas. Berhati-hati, berhemat! D ari dahulu bukantah Zubaidah sudah berichtiar hendak berbuat sedemikian? Bukantah ia selalu tjemas menentang masa jang akan datang? Tetapi sebuahpun tak ada hasilnja. Bagaimana ichtiamja akan berlaku, akan dapat tertjapai, djika Suria berselisih paham dengan dia ? Suria kepala rumah-tangga. Suria jang menanggung djawab dalam segala perkara. Suami jang djadi kepala, isteri hanja sebagai ekor — menurut sadja dibelakang! . Akan tetapi sampai kemana dapat menurut? T ak adakah hingga batasnja? Kalau sukatan sudah p e n u h .... _ Pada petang hari itu Zubaidah bertengkar dengan suaminja. bebab tak dapat bertenggang, ia terpaksa mengaku dengan terus-terang kepada Suria bahwa ia tiada sanggup lagi mendjalankan uang belandja bulan :tu. ,,Lebih baik akang sendiri berhadapan dengan tukang rekening , katanja dengan sedih. . . „A p a ? A ku akan melajam mereka itu? Terima kasih. Bukantah segala gadii sudah kuserahkan kepadamu?” _ Tetapi tak tjukup buat pembajar rekening akang. Seada-adanja sudah saja bajarkan kepada jang perlu benar. Banjak lagi jang belum diangsur sedikit djua. Sebentar lagi mereka datang” . .Djandjikan sadja bulan depan” , kata Suna dengan mudah. 1 [Bulan depan tentu rekening sudah bertumpuk-tumpuk pula. . . . Dan uang sekolah anak-anak sudah dua bulan tidak terbajar” . ,Tunggu sadja kiriman dari Tasik! Itu bukan tang---- ” Hampir telandjur mulutnja mengatakan bahwa uang sekolah anaknjapun bukan tanggungannja. Meskipun selama ini sungguh-sungguh bukan dia jang membajar uang sekolah anak-anak itu, tetapi rupanja
tergigit djua lidahnja akan mengaku berterang-terang; malu djua ia menentang muka Zubaidah, jang tiba-tiba amat sedih melihat lakunja sedemikian. Dengan tjepat iapun bangkit dari kedudukannja. ,,Selesaikan sadja olehmu", katanja, seraja berdjalan turun kehalaman dan terus kedjalan raja. A pa daja Zubaidah Jagi? Dengan terhujung-hujung sebagai orang mabuk sebab risau dan pakau, ia pergi kebelakang. Bermenung mengenangkan nasib! Kemudian ia masuk kedalam kamar, berbaring, berbuat pura-pura tidur, sedang segala pertjakapan Saleh dengan sekalian orang jang datang bertanjakan dia tiada sedikit djua luput dari telinganja. Sedih hatinja bukan kepalang mengingat orang berbalik dengan hampa tangan. Pada hal orang itu datang mendjemput haknja! Serasa mau ia berlari keluar menemui si penagih utang itu, meminta djandji dengan menjembah-njembah kepadanja. Tetapi malu menahan dia ditempat tidur, mengikat kakinja akan bergerak. . . . Djadi seorangpun tiada didjumpainja. Ia berkubur sadja ditempat tidur. Seada-adanja ia pergi duduk bermenung keruang tengah. Tetapi kalau terdengar bunji kaki orang dihalaman, iapun terkedjut, darahnja tersirap. Dengan tjepat ia bangkit berdiri, mengintai dari tepi katja djendela dan djika njata kepadanja bahwa jang hendak masuk itu orang tempat dia berutang, atau tukang rekening jang dikenalnja, iapun lari masuk bilik pula. Babu dan anak-anak sudah dipesaninja: djika ada orang menanjakan dia, katakan sadja dia tidak ada dirumah, atau tidur! Demikian laku Zubaidah beberapa hari dalam bulan baru: ia sudah takut melihat muka orang. Tentu sadja perubahan itu sangat mengherankan kedua anaknja. Selama ini teman mereka bergurau-senda, beriang hati didalam rumah, hanjalah ibunja. Dengan Suria mereka seolah-olah tidak serasi. Tak ada mandjanja, tak ada terbuka sedikit djua hatinja dihadapan ajahnja. Ketjut, ketakutan sebagai kutjing dibawakan lidi! Sekonjong-konjong ibunja berhal seperti itu. Hati siapa takkan rusuh? Dengan siapa lagi mereka akan bermain-main ? Sepuluh hari bulan! Zubaidah berbaring seorang diri diatas bangku, sambil merenda lambat-Iambat. W am a mukanja putjat rupanja, seperti paras orang sakit. Dengan perlahan-lahan, bersedjingkat, Aminah datang menghampiri dia. Ia duduk dipinggir bangku itu, lalu berkata dengan mams: „Enah! Zubaidah berpaling kepadanja. ,,Apa, ’n ak?" katanja. ,,Ibu sakit?" ,,Tidak, nak. Mengapa engkau bertanja dem ikian?" udjar ibunja dengan tersenjum, seraja meletakkan djahitannja. 1, Enah tak mau sekolah. Enah hendak mendjaga ibu". ,,Tidak, nak, ibu tidak sakit", kata Zubaidah seraja memeluk dan mentjium anaknja jang halus perasaan itu dengan kasih mesra bertjampur puu, sehingga air mata meleleh dipipinja. ,,Saja djuga, bu; saja tak boleh kesekolah lagi", kata Saleh dengan agak keras, sambil datang dan belakang.
Ibunja terkedjut; mukanja jang putjat bertambah putjat, djadi pasi. Sambil melepaskan Aminah dari pangkuannja dengan perlahan-lahan, iapun duduk lurus-lurus. ,,A pa sebabnja?” tanjanja dengan heran. Saleh duduk dekat adiknja, lalu berkata dengan terus-terang: ,,M eneer marah-marah sadja. Uang sekolah kami selalu terlambat dibajar, katanja. Sekarang sudah dua bulan belum dibajar. Kalau tidak dibawa besok, kami tak boleh datang kesekoiah lagi” . Zubaidah mengeluh, tak dapat mengeluarkan perkataan. ,,Mengapa selalu terlambat, 'bu? M alu kami kepada teman-teman, dimarahi meneer senantiasa. Katanja: ajahmu priaji, terima gadji tanggal satu, tetapi uang sekolahmu selalu terlambat. Mengapa begitu, ibu?” A pa akan djawab Zubaidah? Akan dikatakannjakah kepada anaknja jang masih ketjil-ketjil itu peri kesempitan hidupnja? Bahwa gadji ajahnja tiada sampai-menjampai buat kehidupan sehari-hari, karena pasak besar dari tiang? Tidak! Pada pikiran Zubaidah: anak-anak belum boleh mengetahui perkara itu. Dengan air muka jang didjernihkan iapun berkata kepada mereka itu: ,,Tidak, besok mesti engkau kesekoiah djuga” . ,,U ang sekolah?” ,,Ada, lupa ibu memberikan kepadamu kemarin” . Zubaidah berdusta. Sesungguhnja ia tiada beruang sesen djua; tetapi ketika didengamja antjaman guru kepada kedua anak buah hatinja itu, sampailah tangannja ketelinganja: „A p a guna barang” , katanja dalam hatinja, seraja meraba-raba anting-antingnja, ,,kalau anak tiada dapat bersekolah ? Meskipun gelang belum ditebus, apa boleh buat, antinganting ini mesti masuk pula. . . . Bukan main besar hati kedua anak itu! Saleh dan Aminah melondjaklondjak kegirangan, karena ia takkan diusir dari sekolah. Tengah ia bertjakap-tjakap dengan ibunja, sekonjong-konjong kedengaranlah seru ,,pos” diluar. t Hening! Ketiganja berdiam diri sedjurus. Hampir sebentar itu djuga Saleh berpaling kepintu, akan membukakan dia sekali. Diberanda ia berdiri dihadapan seorang tukang pos, jang memberikan sehelai poswesel kepadanja. Dengan tenang surat ketjil itu dibatjanja: angkanja, alamatnja dan tulisan dipinggirnja. Ia berlari-lari masuk kedalam dan berkata kepada ibunja: ,Uang dari nenek, 'bu, pembajar uang sekolah Aleh dan Enah. Begitu kata nenek. Lihat, ibu, ada tertulis disudutnja” . S a m b il b e rk a ta d em ik ian , w e se l itu p u n d iu n d ju k k a n n ja k ep ad a Z u b a id a h , ja n g b e rg a n ti-g a n ti p u tja t m e ra h w a rn a m uk an ja. S e k a ra n g A l e h tah u , ap a seb a b n ja u a n g sek o lah kam i se la lu te r la m b a t. M e n a n tik a n u a n g d a ri n en ek d a h u lu !”
Djadi bukan ajah jang menanggung uang sekolah kami, ibu” , tanja Aminah pula dengan lantjang. ,,Pantas ajah kurang peduli pada kami” , kata Saleh pula, ,,bukan dia jang menjekolahkan kami” .
„S sst” , kata Zubaidah serta memandang tenang-tenang kepada Saleh dengan pilu hatinja. ,,Siapa pula lagi jang mengasuh mendidik engkau, djika bukan ajahmu, bukan orang tuamu ? Ajah, nenekmu, hanja membantu sekali-sekali. Ketika kami dalam tersesak benar” . ,,A pa itu ?” kedengaran suara dengan tiba-tiba. Ketiga-tiganja mengangkatkan kepala, menoleh arah kepintu; maka pandangnjapun bertemu dengan pandang Suria, jang masuk dengan diam-diam. ,,Apa itu, w esel?” Suria duduk keatas kursi, jang terletak tiada djauh dari tempat duduk isterinja. Ia memandang kepada Saleh dan Aminah dengan tenang. Rupanja kedua anak itu tahu akan arti pandang itu. Setelah menoleh sebentar kepada ibunja, mereka itupun berdjalan kebelakang dengan perlahan-lahan. „W esel dari ajah?” kata Suria, ketika kedua anak itu tiada kelihatan lagi. ,,Mengapa kauperlihatkan kepada anak-anak?” ,,Tidak saja perlihatkan. D ia sendiri jang menerima dari tangan tukang pos” , djawab Zubaidah dengan terus-terang. ,,Apa kata ajah?” ,,Uang ini pembajar uang sekolah anak-anak” . ,,Begitu katanja?” kata Suria dengan agak keras. ,,Dan tentu surat itu sudah dibatja oleh Saleh. A h, engkau tak ingat sedikit djuga. Oleh karena itu nistjaja bertambah djarak dia dari pada ajah nja... .** Sesak napas Zubaidah mendengar perkataan itu. Dengan tiada diketahuinja keluarlah perkataan jang kasar dari mulutnja: ,,Bukan karena itu anak-anak djarak dari awak. Melainkan akang sendiri jang mendjauhi anak-anak, tak mempedulikan mereka itu. Tak pernah akang bermanis muka kepadanja” . „H m , perempuan! Betul lain sekali didikan perempuan dari didikan laki-laki kepada anaknja! Aku tak pernah mengadjar anak-anak mandja. Tetapi sudahlah. — Berapa ajah berkirim ?” ,,Dua bulan uang sekolah anak-anak” . ,,Tak ada lebihnja? Heran! Dengan apa rekening tukang djahit akan kubajar? Dinantikannja aku ditengah djalan tadi, hampir aku tendang perutnja---- Memberi malu. Ja, bawa kemari wesel itu, pembajar utang itu. Uang sekolah nanti sadja dibajar” . Sesabar-sabar Zubaidah, setulus-tulus hatinja kepada suaminja, tetapi permintaan Suria sekali itu tak dapat diluluskannja. Sikatan penuh sudah! Dengan sedih bertjampur marah ditentangnjalah muka suaminja, dibangkit-bangkitnja dan diumpat-umpatnja kelakuan Suria jang tak mengindahkan kepentingan anaknja. Tidak, biarpun dipenggal batang lehemja, uang itu takkan diberikannja buat keperluan lain-lain. Pada pikirannja, tak berguna ia hidup didalam dunia lagi kalau didikan anaknja takkan dapat diteruskannja, akan dibiarkannja sadja terganggu dengan tjara jang dikehendaki Suria itu. Perselisihan timbul pula! Sekali itu lebih hebat dari pada jang sudahsudah! Selama ini Zubaidah boleh dikatakan selalu mengalah sadja,
supaja djangan terdengar pertengkaran kepada orang lain; tetapi sekali itu ditampakkannja benar giginja. Sekalian perkara jang lama-lama dibongkamja, segala jang membuku-buku dalam dadanja dikeluarkannja belaka, sebab tak tertahan-tahan lagi. Kalau Suria tiada lekas berdjalan meninggalkan rumah, entah bagaimana djadinja pertalian mereka itu. Bisik-desus orang sebelah-menjebelah sudah mulai kedengaran: ,,Bertaras keluar rupanja!” kata seorang dengan tjemooh. ,,Kalau pipit hendak djadi enggang, begitu djadinja” , kata jang lain. N . S t. I s k a n d a r , Katak hendak djadi lembu.
BERDIRI AKU Berdiri aku disendja senjap Tjam ar melajang menepis buih Melajah bakau mengurai puntjak Berdjulang datang ubur terkembang. Angin pulang menjedjuk bumi Menepuk teluk mengempas emas L ari kegunung memuntjak sunji Berajun alun diatas alas. Benang radja mentjelup udjung Naik marak menjerak tjorak Elang leka sajap tergulung Dimabuk warna berarak-arak. Dalam rupa mahasempurna Rindu sendu mengharu kalbu Ingin datang merasa sentosa Menjetjap hidup bertentu tudju.
A m ir H a m z a h .
PERTJAKAPAN WAKTU SENDJA T u ti duduk membatja buku diatas kursi kaju jang lebar dibawah pohon mangga dihadapan rumah sebelah Tjidengweg. Tiap-tiap petang apabila ia sudah menjelesaikan rumah dan sudah pula mandi dan berdandan, biasanja benar duduk ditempat itu menanti-nanti hari sendja. D an sesungguhnja nikmat duduk berangin-angin di hadapan rumah memandang ke Tjidengweg jang sepi itu. Kehadapan lantang mata melihat keseberang kali, kepada rumah-rumah batu jang indah. Dilangit djauh dibelakang rumah itu bersusun awan sendja berbagai-bagai warnanja, mengantarkan matahari jang akan terbenam. Kedua kursi dikiri kanan medja jang dihadapi Tuti masih kosong, sebab Maria lagi asjik memeriksa tanaman kembang-kembangnja. Dari pot kepot, dari perdu keperdu ia berdjalan membawa gunting, lamalama ia berhenti pada tiap-tiap tanaman. Segala kembang jang amat indah tumbuhnja dihalaman jang ketjil itu ialah hasil pekerdjaannja: 1a amat gemar akan bunga-bungaan. Dimana ia masih dapat bertanam, tak ada halaman rumah itu jang dibiarkannja terluang. Tiada berapa djauh dari pintu masuk bermegah dua rumpun bunga mawar jang sarat berbunga, putih kemerah-merahan. Disamping rumah, disudut dekat pagar kelihatan batang-batang mawar jang tak kurang saratnja berbunga, berbagai-bagai warnanja. Dibawah djendela kamar hadapan, jaitu kamar Tuti, amat indah naiknja rumpun bunga melati, daunnja hidjau lebarlebar dan disana sini memutih kuntjupnja jang besar-besar. Ditengahtengah halaman, djauh sedikit dari pohon mangga, sebuah petak sematamata ditanaminja dengan kembang chebra jang merah. Dihadapan tangga hendak masuk kerumah melengkung andjungan bougainville jang lebat berbunga merah lembajung. Disisi sebelah kiri kanannja tumbuh amat suburnja beberapa batang begonia. Dan kesukaan Maria akan kembang dan tumbuh-tumbuhan itu sampai berpengaruh kedalam rumah. Dalam pot kuningan diberanda senantiasa segar tumbuh chevelure, tak pemah kelihatan ranting jang mati. Diatas medja, diatas lemari dan bupet tiap hari bertukar kembang dalam djembangan: sedap malam jang putih djermh, chebra jang merah marak dan sekali-sekali bunga mawar jang bulat besar. Sesungguhnja didalam penjelenggaraan rumah itulah jang kentara benar perbedaan pekerti dan sifat gadis dua bersaudara itu. Tetapi, sfbaliknja ^ar* Pa^a menimbulkan kekatjauan, perbedaan pekerti dan sifat itu membawa kesetimbangan dirumah Wiriaatmadja dipertemuan Gang Hauber dengan Tjidengweg itu. Dengan kemauannja jang tetap dan keras, dapat T uti mengatur rumah, djauh lebih rapi dari ketika bundanja masih hidup dahulu. Tiap-tiap perabot mempunjai tempat jang tentu menurut susunan jang njata. Segala sesuatu terlangsung pada waktu jang tetap, sebab Tuti ialah orang jang teliti akan waktu. Tetapi meskipun demikian kerapian itu akan mendjadi kerapian jang
mati dan suram belaka, apabila tiada ada Maria. Ialah jang memberi wama, jang membawa kegirangan kepada rumah itu, oleh kegemarannja akan kembang, akan wam a jang indah-indah. Dan karena kesukaannja akan musik, sebentar-sebentar bernjanji atau memutar mesin njanji, tiadalah mati sepi rumah itu sepandjang hari. Didjalan Gang Hauber turun seorang anak muda dari sepeda, ialah Jusuf. Dalam sepuluh hari ini telah kelima kalinja ia datang kerumah R . Wiriaatmadja itu. Tiap-tiap pagi ia menantikan Maria dihadapan Alaidruslaan dan dari sana sama-samalah mereka pergi kesekoiah. Tuti dan ajahnja telah merasa, bahwa antara anak muda berdua itu sedang tumbuh tali perhubungan jang halus. Apabila Ju su f datang, selalulah diterima mereka dengan lemah-lembut dan hormat. Biasanja merekapun turut duduk sama-sama bertjakap-tjakap. Tetapi ada kalanja ditinggalkan mereka orang berdua itu diserambi hadapan atau kursi dihalaman rumah. Ju su f menolak sepeda masuk pintu pagar seraja memberi tabik kepada T u ti jang mengangkat kepalanja dari buku melihat kepadanja. Dan kepada Maria, jang oleh asjiknja tiada mengetahui ia datang itu, serunja: ,,Radjin benar tukang kebun bekerdja petang ini!” Sambil tersenjum Maria melihat kepadanja dan dipersilakannja Jusu f duduk dikursi dengan perdjandjian. bahwa ia segera akan sudah dan datang duduk bersama-sama. Setelah meletakkan sepedanja pergilah Ju su f duduk bersama-sama Tuti dikursi sebelah kiri medja. Belum berapa lama mereka berbitjara datang pula Maria duduk disisi kakaknja. Maka teruslah Tuti membatja bukunja dan hanja sekali-sekali ia menjertai pertjakapan anak muda berdua itu. D ari rumah turun Djuhro membawa baki dengan tiga buah tjangkir teh dan dua buah stoples dengan kaasstengel dan kattetong. Tuti menjambut tjangkir teh dan stoples itu dan sekaliannja diletakkannja diatas medja. Baru ia membuka stoples dan mengaturkan Ju su f mengambil isinja, kedengaran deleman datang dari Tjidengweg sebelah Selatan. Dihadapan rumah deleman itu berhenti. Melihat laki-laki jang duduk didalamnja serempak M aria dan Tuti berteriak: ,, 0 , emang Parta dari Mester” . Dari djalan telah kedengaran suara jang girang: ,,Senang benar engkau duduk berangin disini. Saja hendak serta djuga” . Seorang laki-laki jang kira-kira tiga puluh lima tahun usianja turun dari deleman masuk pekarangan menudju kemedja tempat ketiga anak muda itu. ,Kebetulan benar masih ada sebuah kursi” , kata Tuti, ,,duduklah emang disini, boleh saja suruh ambilkan teh setjangkir lagi” . ,Apa kabar embik dan adik jang baru lahir. Mengapa emang tidak membawa embik dan adik-adik kemari? Ah, tidak enak benar emang datang sendiri sadja” , kata Maria seperti orang jang mengupat. ,,Nanti kami datang benar sehari kemari” , djawab Parta. ,,Saja datang ini kebetulan sadja. Pergi bertemu kenalan di Petodjo Sabangan, bangkit
ingin hati saja hendak melihat-lihat kemari---- Engkau Maria, apabila udjianmu. Sudah mulaikah?” ,,Belum” , kata Maria, ,,eksamen schriftelijknja hari Senen---- ” Belum habis katanja, dari belakang kedengaran suara Wiriaatmadja: ,,H a, engkau Parta, dari mana engkau tadi maka datang tiba-tiba serupa ♦ • ini r Parta melihat keatas kepada Wiriaatmadja jang baru keluar dari pintu dan iapun berdiri pergi mendapatkannja dengan chidmatnja. Wiriaatmadja girang melihat ipamja itu; disuruhnja ia duduk dahulu sebentar: ,,Tunggulah engkau disana. Sebentar lagi saja datang. Enak duduk dekat anak-anak mengambil angin” . Lalu iapun masuk kedalam. Tiada berapa lama antaranja keluar Djuhro membawa sebuah kursi diiringkan oleh Wiriaatmadja. Setelah iapun duduk pula bersama-sama, disuruh T uti Djuhro mendjeput dua tjangkir teh lagi. Maka ramailah pertjakapan orang berlima itu. Partadihardja teristimewa sekali mengeluh tentang adiknja, jang bekerdja pada kantor Djustisi sebagai adjunct-commies. Sebaik itu gadjinja dan sebesar itu pengharapannja sebagai orang jang tammat sekolah A .M .S., tetapi entah apa sebabnja ia telah minta lepas dari pekerdjaannja. ,,Saja tidak mengerti sekali-kali bagaimana pikiran Saleh, maka ia minta berhenti dengan tiada berbitjara lagi dengan pamili. Anak-anak muda sekarang sangat memudahkan segala sesuatu. Seratus dua puluh rupiah sebulan! Tjoba pikirkan bagaimana senangnja penghidupan anak muda jang baru dua puluh dua tahun dengan pendapatan sebesar itu. Tetapi itu dibuangnja sadja dengan utjapan jang bukan-bukan: hendak bekerdja sebagai manusia bebas, hendak mentjahari pekerdjaan jang sesuai dengan kata hatinja; pekerdjaan kantor jang senang itu dikatakannja pekerdjaan mesin jang mematikan semangat---- ” ,.Sudah berapa lama ia minta keluar, emang?” tanja T uti menjela kata Parta. ,,Saja kenal akan pekerti Saleh, ia seorang jang gembira, seorang jang tadjam pikirannja dan hidup hatinja. Pertjaja saja, bahwa ia tiada senang akan pekerdjaan tenang dalam kantor, mengisi staat ini, menjalin surat anu, mengantuk-ngantuk menanti pukul dua” . „A p a katamu?” udjar Parta dengan suara jang agak keras sedikit mendengar utjapan keponakannja jang menjangkal katanja itu. ,,M e ngantuk-ngantuk menanti pukul dua? Apa jang dikantuk-kantukkan? Adakah pekerdjaan jang lebih baik dari bekerdja dikantor? Habis bulan terang kita mendapat sekian? Kalau berhati-hati bekerdja orang jang setjakap dia dan sebaik itu diplomanja, tentu lekas naik pangkat mendjadi komis. Sekarang hanja menanti ada lowongan terbuka. Dan sekalian harapan jang baik itu disia-siakannja, dibuangkannja. Kegembiraan apa ada padanja, itukah tandanja, bahwa semangatnja hidup ? Ia melepaskan pekerdjaan jang sebaik itu sadja menandakan, bahwa pikirannja tiada beres, tiada dapat membedakan mana jang baik dan mana jang buruk. . . . Tiada dapat berbahagia dengan pekerdjaan jang sebagai pekerdjaan
mesin, apakah itu lain dari pada omong kosong. Tidak ada suatu djuga pekerdjaan mesin apabila pekerdjaan itu dilakukan bersungguh-sungguh. Kalau sudah beberapa lama tidak mempunjai pekerdjaan, kalau sudah sengsara hidupnja, baru tahu ia akan arti berbahagia, akan arti pe kerdjaan mesin. . Betul engkang, anak-anak muda sekarang suka benar menjebut perkataan berbahagia. Pada hal apa jang dinamakan ber bahagia itu tiada diketahuinja. Tiada berbahagiakah kita dengan pe kerdjaan kita selama ini?” Wiriaatmadja menggelengkan kepalanja: „Anak-anak sekarang pajah kita hendak mengertinja, pendapatannja selalu berlainan dengan kita; apa jang kita katakan baik, katanja tidak baik” . ,,Bukan begitu, bapa!” kata Tuti pula menjambung kata ajahnja. „Bukan mereka sengadja selalu hendak bertentangan dengan orangorang tua. Jang bertentangan itu hanjalah pendapatannja tentang bahagia, tentang arti hidup kita sebagai manusia. Emang berkata, bahwa ber bahagia itu ialah pekerdjaan jang mudah, pendapatan jang besar, harapan jang baik dikemudian hari, pendeknja hidup jang senang. Saleh menganggap bahagia itu lain artinja. Bahagia itu baginja tidak sama dengan hidup jang senang. Baginja jang dinamakannja bahagia itu ialah dapat menurutkan desakan hatinja, dapat mengembangkan tenaga dan ketjakapannja sepenuh-penuhnja dan menjerahkannja kepada jang terasa kepadanja jang terbesar dan termulia dalam hidup ini” . ,,Ah, engkau Tuti saja tahu engkau sudah sebangsa pula dengan Saleh. Tetapi engkau djangan marah, kalau saja katakan, bahwa bahagia jang engkau sebut itu omong kosong. Berbahagia ialah berbahagia, senang ialah senang, dan jang lain dari itu bukan berbahagia dan bukan senang •namanja. Tjoba lihat bapamu sendiri, tiadakah senang hidupnja. Tiadakah engkang berbahagia bertahun-tahun bekerdja dari menteri polisi kesudahannja sampai kepada wedana. Tidakkah senang engkang sekarang sudah bekerdja selama itu mendapat pensiun jang tetap, sehingga sesentosa-sentosanja dapat menjerahkan dirinja untuk mempeladjari agama dan menurut suruhan agama? Dalam segala pekerdjaan orang jang hendak bersungguh-sungguh dapat mengembangkan dan menjerahkan segala tenaga dan ketjakapannja---- Tidak Tuti, djanganlah engkau h e n d a k m em p erm ain -m ain k an sa ja ” .
Muka T uti njata berubah mendengar perkataan pamannja itu. Matanja bertjahaja-tjahaja, pipinja agak kemerah-merahan. Bibimja bergerak-gerak, selaku orang jang hendak berkata, tetapi dengan segala daja upaja menahan dirinja. Tidak, ia tiada hendak meneruskan pertentangan itu. Ia sudah tahu, bahwa pertjakapan serupa itu tiada akan mendatangkan hasil. Pamannja dan ajahnja akan mendjadi marah sadja kepadanja kelak. Tetapi sementara itu ia tiada hendak diam, sebelum dinjatakannja, bahwa pertentangan pendirian itu telah selajaknja timbui; lalu udjarnja pula: ,,Kalau pendapatan Saleh itu paman anggap omong kosong semata-mata, kalau paman tidak dapat merasakan perasaan dan perdjuangan didalam hatinja, tentulah paman tidak dapat mengerti akan perbuatannja. . .
Belum habis lagi perkataan T uti itu Parta sudah m enim pa:, J a , engkau mudah berkata sadja, tetapi engkau tiada tahu, berapa kesalnja hati saja. D ari sekolah rendah pajah-pajah kita menjekolahkannja. Ia masuk ke Mulo, ia meneruskan peladjarannja ke A.M .S.. Sudah selama itu kita mengongkosinja dengan menjempitkan hidup sendiri, kita tjaharikan pula baginja dengan susah pajah pekerdjaan jang lajak. Bukan sekali-kali saja minta kepadanja mengembalikan ongkos jang sudah saja keluarkan. Saja sudah senang melihat hidupnja senang. Tetapi sekarang segala wang dan susah pajah kita itu tiada pula dihargainja. Pekerdjaan jang senang dan lajak baginja itu dibuangkannja dengan tiada semena-mena. Apa gantinja jang diperolehnja ? Kalau hidupnja susah kelak, kalau ia menderita sengsara, balik-baliknja kepada kita djuga datangnja. Bukan saja takut memikul beban pula, tetapi kesal hati kita anak ajam hendak lebih tahu pula dari induknja” . ,,Tetapi sekarang, apa hendak dikata lagi. Bukankah ia sudah minta keluar? Sedjak pabila ia tiada bekerdja lagi dikantor D justisi?” , kata Wiriaatmadja jang selama itu tiada banjak berkata mendengarkan ipamja itu mengeluh. ,,Ia sudah dua hari lepas dari pekerdjaannja. Kemarin ia sudah berang kat kerumah temannja di Sindanglaja. Rupa-rupanja temannja itulah jang merusakkan hatinja. Menurut katanja mereka berdua hendak berkebun dan bersawah dekat Sindanglaja. Saja tahu, bahwa Saleh dalam dua tahun bekerdja itu ada menjimpan wang barang enam tudjuh ratus rupiah. Tetapi kalau itu sadja mendjadi pokok, apakah jang dapat ditjapainja. Mereka tiada biasa mengerdjakan pekerdjaan serupa itu” . Selama pertjakapan tentang Saleh itu Ju su f tiada mengeluarkan sepatah djuapun, terutama sekali sebab orang jang dipertjakapkan itu tiada dikenalnja dan kedua segan ia mengeluarkan pikirannja kepada Partadihardja jang baharu dikenalnja pada petang itulah. Tetapi sementara itu telinganja dipasangnja seterang-terangnja, hal jang dipertjakapkan itu sangat menarik hatinja. Telah sering ia mendengar keluh serupa itu dari orang tua jang ketjewa akan anaknja jang tiada menurut kehendak hatinja. Dimana-mana sama sadja: Orang tua membanting tulang mengumpulkan wang untuk menjekolahkan anaknja. Segala keperluan dirumah dihematkan. Penghidupan diketjil-ketjilkan. Belandja seorang anak sering lebih besar dari suatu keluarga. Sekalian kurban itu dipikul oleh orang tua dengan sabar, sebab didalam hatinja ia berharap melihat anaknja dikemudian hari mendjadi orang jang berpangkat tinggi, jang akan mengharumkan namanja. Tetapi apabila telah tiba waktunja anak itu tammat peladjarannja, waktu itulah orang tua jang selama itu berharap-harap dan berkurban untuk tjita-tjitanja itu mendjadi ketjewa. Ada anak jang tiada hendak kawin dengan gadis jang sudah disediakan oleh orang tuanja baginja. Ada orang tua jang merasa dirinja tiada diatjuhkan oleh anaknja jang telah berpangkat tinggi dan ada pula anak jang tiada menghargai segala sesuatu jang selama itu mendjadi tjita-tjita dan anganangan orang tuanja.
Senantiasa dimana-mana pertentangan jang serupa itu. Dalam hatinja dibenarkannja utjapan T u ti dan dapat ia mengerti apa sebabnja Saleh meninggalkan djabatannja itu akan mentjahari pekerdjaan jang lain, jang \ebih sesuai dengan ketjakapan dan pekertinja, jang lebih menghidupkan semangatnja. Sebab itu mendengar perkataan Partadihardja jang terachir itu dengan tiada sengadja terlompat dari mulutnja utjapan: ,,Kalau hatinja telah keras benar kepada pekerdjaan itu, menurut biasanja tentulah berhasil pula usahanja” . Tetapi Partadihardja jang masih kesal hatinja, segera mendjawab: „M enurut kebiasaannja, saja sering melihat orang jang tiada menurut nasehat orang tua itulah jang achimja terdjerumus. Dan kemudian hari ia akan menjesal. Tjoba kita lihat nanti” . ,,A h , djangan kita berharap seburuk itu” , kata Maria jang selama itu duduk antara mendengar dengan tiada akan pertjakapan orang itu. Dan sambil ia mengambil tjangkir tehnja ia berkata: ,,M arilah kita minum dahulu, air teh sudah dingin” . Diambilnja stoples kaasstengel dan disilakannja berganti-ganti mengambil isinja. ,»Ja» pajah benar kita dengan anak-anak muda sekarang” , kata Wiriaatmadja sebagai orang jang menerima sadja akan nasibnja. ,,M e reka hendak menurut kehendak hatinja sadja, sering tambah dikerasi tambah pajah. Kita orang tua-tua tiada diatjuhkannja lagi” . ,,Tetapi kalau kita terlampau lemah, terlampau senang mereka berbuat sekehendak hatinja, sebab itu baik djuga kita menjatakan pendirian kita jang tegas. Kepada Saleh sudah saja katakan: Engkau sudah minta keluar dengan sekehendak hatimu, itu tahu engkau sendirilah. Tetapi kalau ada sesuatu terdjadi dikemudian hari, djangan engkau datang menjusahkan saja. Saja sudah tjukup berupaja hendak mendjadikan engkau orang baik, orang jang senang hidupnja. Engkau sendiri rupanja tiada hendak menghargainja, apa boleh b u a t . . . . ” ,,Tetapi bagaimanakah kata tunangannja Ratna” , udjar Maria setelah beberapa lamanja Parta diam. E n ta h ia h ” , d ja w a b P a rta , ,,k ita lih atla h n an ti b e ra p a lam a la tah an tin g g a l d id e sa , ia ja n g d a ri k etjil h id u p d ik o ta” .
Tetapi kalau ia benar tjinta kepada Saleh, ia mesti mengikut” , kata M aria pula dengan pasti. > Saja ingin melihat engkau diam didesa, hanja berteman dengan ajam dan sapi” , sahut Parta agak mengedjek, ,,tanggung setengah bulan engkau sudah tergila-gila hendak pulang kemari. Engkau la lagi ” Dalam pada itu hari perlahan-lahan bertambah gelap. Matahari telah terbenam dibalik rumah-rumah diseberang sungai. Awan jang merah dan kuning bersusun-susun seperti hamparan sutera jang halus-halus. Sedjurus lagi mereka bertjakap-tjakap dalam sendja, Partadihardjapun hendak pulanglah. Dan ketika berbunji beduk magrib sajup-sajup dibawa angin dari kampung djauh disebelah Timur, Wiriaatmadja
D re w e s ,
Mentjari ketetapan baru.
15
masuk pula meninggalkan anak-anak muda bertiga itu dihalaman, akan pergi sembahjang. Baru Wiriaatmadja masuk kerumah, Maria bertanja kepada Jusuf: ,,Sembahjang djugakah tuan?” ,,Saja? A h, bukankah tadi kata tuan Parta, bahwa agama itu pe kerdjaan orang jang telah pensiun. Sajapun menanti saja pensiun dahulu, baharu akan sembahjang___” Utjapannja itu keluar dari mulutnja dengan senjum. Tetapi Tuti jang dari tadi rupanja menahan perasaannja, segera menjambung dengan mentjebil, menjatakan rendah pemandangannja: ,fJa, itulah hakekat jang sebenamja pada kebanjakan kaum priaji atau kaum terpeladjar. Agama itu dikerdjakan, apabila tak ada suatu apa lagi jang diharapkan dari hidup ini. Djika sudah berputus asa akan hidup, barulah mentjahari agama. Pada agama diredakannja perasaan takutnja akan mati, jang datang mendekat tiada terelakkan lagi. Tidak peduli ia tiada tahu apa jang disebut dan diutjapkannja, tapi dalam perbuatan jang tiada diketahuinja, jang oleh karena itu baginja mengandung rahsia itu, diredakannja perasaan takutnja akan rahsia mati jang njata kelihatan kepadanja mengantjamnja. Agama jang serupa itu, masakah ia akan dapat menarik pemuda-pemuda jang belum merasa ketjemasan akan mati, jang masih penuh harapan menghadapi hidup?” ,,Ja, bapa sekarang radjin benar mempeladjari agama” , kata Maria. ,,Setiap petang Senin dan petang Kamis datang kemari hadji guru agamanja. Kami disuruhnja djuga beladjar agama. Kalau bagi saja, apa salahnja kita menurut kata orang tua, menjenangkan hatinja” . „B agi engkau, segala apa salahnja” , udjar Tuti. ,,Bagi saja mengerdja kan sesuatu jang tiada berguna, terang salah. Apa jang saja kerdjakan hendaknja termakan oleh akal saja. Saja tidak mengerti apa gunanja agama jang dipakai golongan terpeladjar, golongan priaji bangsa kita sekarang. Lihat sendiri dirumah paman Parta ketika ia selamatan di Mester baru ini. Diluar berkumpul priaji jang djempol-djempol dan perlente-perlente duduk dikursi menghadapi hidangan jang rapi dan mkmat. Dari sudut rumah masuk kebelakang beberapa orang hadji dari kampung untuk membatja do‘a diatas tikar. Patut benar paman Parta berkata, bahwa agama itu untuk dipeladjari kalau sudah pensiun, kalau tidak ada jang penting lagi jang dapat dikerdjakan didunia ini. Kalau mata sudah kabur, kalau tenaga sudah habis, kalau hati sudah tertutup. Djika tidak demikian, tidak serupa itu ia menghinakan agama jang purapura dipudjinja itu. Dalam hal serupa ini saja lebih hormat lagi kepada orang kampung jang terus terang memegang upatjara jang dianggapnja bersangkutan dengan agama. Dirumah orang kampung mereka jang mendo'a itu tidak usah masuk dari belakang rumah. Mereka diterima masuk dari depan, malahan mereka diberi duduk ditempat jang terpandang sekali antara segala tetamu jang hadir. Sedikit banjaknja dalam perbuatan jang serupa itu ada djuga perasaan penghormatan terhadap kepada agama” .
,,T etapi” , kata Ju su f tiba-tiba menjela perkataan T uti jang diutjapkan dengan amarah dan bentji itu, „oleh hormatnja orang kampung kepada mereka jang dianggapnja ahli agama itu, maka mereka tiba dibawah pengaruhnja dan oleh itu sering mereka mendjadi permainannja” . ,,Bagi saja sendiri, sajapun sebenarnja tiada tertarik kepada agama serupa dipakai orang dikampung-kampung. Kehormatan orang kampung itu kehormatan membabi buta, oleh sebab mereka sendiri tiada dapat dan tiada sanggup mendalami hakekat agama jang sebenarnja. Sekaliannja diserahkan mereka sadja kepada kiai jang mereka djundjung itu. Tetapi djika dibandingkan tjara kedua golongan itu memandang dan mendjundjung agama jang disebut mereka sutji itu, maka saja akan memilih tjara orang kampung. Pada kaum priaji agama serta upatjara jang dianggap bersangkutan dengan agama itu seolah-olah dipandang sesuatu jang memalukan, jang tiada berani dibawa ditengah chalajak jang terhormat. Tetapi untuk melepaskannja sama sekali mereka tiada berani pula, sebab pada waktu kematian, pada waktu manusia itu perlu perhubungan akan kekuasaan jang gaib jang mengatasi kekuasaannja, ia merasa dirinja terpentjil, tiada kuasa. Oleh karena kesangsian pendirian itu, dipakai malu dibuang tiada berani, maka agama mendapat kedudukan dibelakang, dekat tempat budjang dalam rumah mereka jang menganggap dirinja terpeladjar” . Mendengar pikiran jang setegas dan sedjelas itu susunannja, Ju su f terdiam kekaguman sedjurus. Tetapi T uti segera menjambung pula: ,,Selama kedua pihaknja, orang dikampung ataupun kaum terpeladjar masih menganggap agama de mikian, selama itu agama itu tiada akan menarik golongan pemuda---- ” Ja ” , kata Ju su f perlahan-lahan melepaskan dirinja dari pesona kekaguman mendengar utjapan Tuti, ,,tetapi engkau lihat sendiri, bahwa baik dikalangan orang kampung maupun dikalangan kaum terpeladjar dalam waktu jang achir ini sikap orang mulai berubah. Adakah engkau perhatikan berapa banjaknja terbit terdjemahan Kur’an dalam dua tiga tahun ini ? Dimana-mana orang tiada senang lagi menjebut dengan tiada mengerti. Orang berdaja upaja hendak menjelami hakekat agama jang sebenarnja---- ” w • ■ • , i Tetapi belum habis lagi kata Jusuf itu, Maria jang rupanja belum mengerti benar akan sikap kakaknja itu, bertanja agak kekanak-kanakan: ,,Djadi agama jang bagaimana jang Tuti m au?” Kalau saja akan memegang agama, maka agama itu ialah jang sesuai dengan akal saja, jang terasa oleh hati saja. Agama jang lain dari itu saja anggap seperti bedak jang tipis sadja, jang luntur dimuka kena keringat” . . . . Djadi sekarang bagaimana agamamur tanja Maria lagi. Sekarang saja belum berpegangan suatu apa, sampai dapat jang saja kehendaki” . Suara itu tetap dan penuh kejakinan bunjinja. ,,Djadi tidak beragama?” sambung M a ria .,,Tetapi kalau kita menanti-
nanti, kita mentjahari-tjahari, sampai dunia kiamat kita belum mendapat suatu agama djuga” . ,,A h , engkau telah kena tular, alasan bapa itu telah mendjadi alasanmu pula. Tanja kepada bapa, pabila ia baru mulai memegang agama, seperti dimaksudinja itu. Saja tahu, bahwa sedjak'dari lahirnja bapa menamakan dirinja orang Islam, tetapi nama itu baginja hanja nama pusaka. Sebagai pusaka boleh djuga ia menempel kepada saja, tetapi saja tiada akan menjebut-njebutnja sebelum ia berdebur sebenar-benarnja dalam hati saja. Sebab bagi saja rupa jang lahir itu harus sesuai dengan isinja didalam” . Dari rumah kedengaran bunji langkah orang. Tuti melihat kebelakangnja dan ketika nampak kepadanja bahwa bapanja jang datang itu, berkatalah ia perlahan-lahan: ,,Sudahlah, baiklah kita bertjakap tentang pasal jang lain sadja. Nanti bertengkar pula denga bapa, tak ada gunanja. Ia akan marah sadja kepada kita___” St. T a k d ir A l is ja h b a n a , Lajar terkembang.
D O ‘A P O JA N G K U Pojangku rata meminta sama Semoga sekali aku diberi Memetik ketjapi, ketjapi firdusi Menampar rebana, rebana swarga. Pojangku rata semua semata Penabuh bunjian turun-temurun Leka mereka karena swara Suara sunji suling keramat. Kini rebana ditjelah djariku Tari tamparku membangkit rindu Kutjoba serentak genta genderang Memudji kekasihku dimertju lagu. Aduh, kasihan hatiku sajang Alahai hatiku tiada bahagia Djari menari do‘a semata Tapi hatiku bertjabang dua.
A m ir H a m z a h .
PUTERI SEDAR Palu berbunji berdegar beberapa kali diatas medja. Orang banjak jang kusut katjau bersesak dalam Gedung Permupakatan selaku tiba-tiba dikuasai oleh suatu tenaga jang gaib. Suara orang bertjakap jang tiada tentu tiba-tiba berhenti. M asing-masing mentjahari tempat duduknja. Sebentar masih kedengaran kursi terseret dilantai, tetapi bertambah lama bertambah sunji. M ata orang jang beribu-ribu menudju kehadapan kearah Sukamti, perempuan ketjil ramping, jang memegang palu dalam tangan kanannja. Tiap-tiap orang selaku terkuasa oleh sikap badan ketjil jang lurus dan tetap itu, oleh mata jang tadjam jang menjinarkan tenaga ^ ^ dan kepertjajaan jang tiada berhingga akan tenaga itu. Beberapa lamanja ia melihat kepada rapat, seolah-olah hendak mempersaksikan kesaktian bunji palu dalam tangannja jang ketjil dan halus itu. M aka berbunjilah suaranja, halus sebagai badannja, tetapi njaring dan njata, sehingga terdengar sampai keleretan jang penghabisan sekali dalam gedung kongres jang besar itu. Tiap-tiap perkataan diutjapkannja seterang-terangnja lambat satu persatu, tetapi njata membawa kejakinan jang pasti dan dalam, jang berdebur didalam badannja jang ramping: Bahwa pause sudah habis dan rapat kongres sudah dibuka lagi, bahwa sekarang tiba kepada pasal jang penghabisan, jaitu pidato saudara Tuti tentang sikap perempuan baru. Bahwa pidato itu sangat penting, sebab akan menggambarkan dengan njata, bagaimana tjita-tjita Puteri Sedar tentang kedudukan perempuan dalam masjarakat, bagaimana harusnja perempuan dimasa jang akan datang seperti ditjita-tjitakan Puteri Sedar. Kepada rapat dimintanja, supaja memperhatikan pidato itu baik-baik, supaja djangan ragu-ragu tentang tudjuan dan tjita-tjita jang dikedjar oleh Puteri Sedar. M aka dipersilakannja pembitjara tampil kemuka. Baru habis utjapan ketua itu, memetjahlah ditengah-tengah kesunjian itu tepuk orang amat riuhnja, sehingga gedung jang besar itu selaku bergegar. Diantara tepuk jang hebat itu kedengaran pula teriak orang: „ Hidup Tuti, hidup T u ti", tiada berhenti-henti. Dalam ribut gemuruh-gembira itu, kelihatan berdiri seorang per empuan dari sebuah kursi dibelakang medja bestaur. Pakaiannja kebaja putih bersih, amat bersahadja, sehingga agak mengerikan rupanja berhadapan dengan kebaja pelbagai warna jang dipakai perempuan jang lain, jang mengelilingi medja bestuur serta jang hadir dirapat itu. Perlahan-lahan ia menudju kemimbar, tempat berpidato, membawa kumpulan kertas dalam tangan kanannja. Ketika ia berdiri diatas mimbar dan membalik-balik kertas jang diletakkannja dihadapannja dan sesudah itu memandang kepada rapat, maka tepuk jang telah berhenti itu mulai pula dari semula, tiada kurang riuh dan gembiranja. Sukamti berdiri dan dua ketokan jang kuat memetjahkan bunji tepukan itu, sehingga dalam sekedjap gedung jang gemuruh itu sepi mati. M
- $ 1*
Dalam sepi jang sesepi-sepinja itulah kedengaran suara Tuti membelah: ,,Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat jang terhormat! Berbitjara tentang sikap perempuan baru sebahagian jang besar ialah berbitjara tentang tjita-tjita bagaimanakah harusnja kedudukan perempuan dalam masjarakat jang akan datang. Djanganlah sekali-kali disangka, bahwa berunding tentang tjita-tjita jang demikian semata-mata berarti berunding tentang angan-angan dan pengelamunan jang tiada mempunjai gunajang praktis sedikit djuapun. Saudara-saudara, dalam tiap-tiap usaha hanjalah kita mungkin mendapat hasil jang baik, apabila terang kepada kita, apa jang hendak kita kerdjakan, apa jang hendak kita kedjar dan kita tjapai. Atau dengan perkataan jang lain: dalam segala hal hendaklah kita mempunjai gambaran jang senjata-njatanja tentang apa jang kita tjita-tjitakan. Demikianlah menetapkan bagaimana harusnja sikap perempuan baru dalam masjarakat jang akan datang, berarti djuga menetapkan pedoman jang harus diturut waktu mendidik kanak-kanak perempuan waktu sekarang. Untuk sedjelas-djelasnja melukiskan perempuan baru seperti ditjitatjitakan Puteri Sedar, bagaimana sikapnja dan bagaimana kedudukannja dalam segala tjabang masjarakat, haruslah kita lebih dahulu menggambarkan seterang-terangnja sikap dan kedudukan perempuan bangsa kita dimasa jang silam” . Tiap-tiap perkataan jang diutjapkannja dengan penuh kegembiraan, penuh semangat itu, meresap kepada segala jang hadir. T uti telah terkenal seorang pendekar jang pandai memilih kata, jang dapat mengutjapkan katanja dengan kegembiraan seluruh hatinja, sehingga tertarik dan terhanjut segala orang jang mendengar. Kegembiraannja, meluapluap perasaannja itulah bedanja jang terbesar dengan Sukamti ketua rapat, jang mengutjapkan perkataannja satu persatu, perlahan-lahan. A pa jang pada seorang berupa ketenangan orang jang pertjaja akan tenaga dirinja dan berhasilnja buah pekerdjaannja, pada jang lain mendjelma sebagai kegumuruhan aliran anak air dipegunungan, gemuruh gembira menudju kelautan. ^^ ,,Hitam, hitam sekali penghidupan perempuan bangsa kita di masa jang silam, lebih hitam, lebih kelam dari malam jang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki jang mempunjai pikiran dan pemandangan sendiri, jang mempunjai hidup sendiri, perempuan hanja hamba sahaja, perempuan hanja budak jang harus bekerdja dan melahirkan anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunjai hak. Setinggi-tingginja ia mendjadi perhiasan, mendjadi permainan, jang dimulia-muliakan selagi disukai, tetapi dibuang dan ditukar, apabila telah kabur tjahajanja, telah hilang serinja. Kemauan sendiri ? Adakah sesuatu jang bernama serupa itu pada perempuan? Tidak, saudara-saudara! Perempuan bangsa kita tidak boleh mempunjai kemauan sendiri. Perempuan jang sebaik-baiknja, jang semulia-mulianja ialah perempuan jang paling sedikit mempunjai kemauan sendiri, perempuan
jang dalam segala hal menurut sadja. Maksud hidup perempuan ialah untuk mengabdi, untuk mendjadi sahaja. Dan telah selajaknja budak atau sahaja tidak mempunjai kemauan sendiri, tetapi semata-mata menurut kemauan orang jang diabdinja. Mangkunegara IV, radja dan penja'ir abad jang sudah jang termasjhur itu memberi nasihat kepada perempuan untuk mengikat hati suaminja sebagai berikut: ,,Bukanlah guna-guna, bukanlah mentera, bukanlah jang gaibgaib, jang dapat dipakai untuk melajani laki-laki. Tetapi perempuan jang menurut, selalu akan ditjintai oleh suaminja. Sifat penurut pada perempuan membangkitkan kasihan laki-laki. Sifat penurut itu ialah djalan menudju tjinta, kesungguhan hati menudju kasih sajang dan setia membangkitkan kepertjajaan. Bukan keturunan, bukan kekajaan dan ketjantikan jang mendjadi tiang perkawinan. Hanjalah semata-mata sifat penurut, menjesuaikan diri akan kemauan suami, kepandaian mendjaga dan merahsiakan segala jang tak usah diketahui orang lain, hanja itulah jang harus engkau peladjari. Sifat penurut berarti teliti menurut perintah suami. Kerdjakanlah segala pekerdjaan dengan tiada berkata suatu apa, dengan tiada mentjeritakannja kepada orang lain dan dengan hati jang riang. Kerdjakan segala sesuatu setjepat-tjepatnja dan sebaik-baiknja. T eliti mendjaga, berarti bahwa engkau harus tahu segala harta dan milik suamimu, berapa harganja, berapa djumlahnja dan mana jang harus engkau pelihara. Usahakanlah mengetahui dari mana asalnja barang-barang itu. Djagalah sekaliannja itu dengan teliti dan hati-hati. Hendaklah engkau membelandjakan pendapatan suamimu sebaik-baiknja mungkin” . Dalam sja'ir Melaju Siti Zawijah kedudukan perempuan bangsa kita dalam perkawinan tergambar dalam nasihat seorang nenek kepada seorang perawan jang hendak bersuami. Baik djuga nasihat itu saja batjakan kepada saudara-saudara sekalian. A dat bersuami supaja njata, Dengarlah tuan nenek berkata:
cf
Pertama-tama bersua djangan dilawan, Dibuat seperti laksana tuan, Dan kedua napsu djangan ditahan, Barang kehendaknja ia turutkan. Ketiga jang patut tuan kerdjakan, Keempat djangan tuan menduakan, Itulah sempuma nama perempuan, Minta izin barang pekerdjaan.
^
Hendak tuan berbuat bakti, Kepada suami bersungguh hati, Djangan tuan berdua hati, Kasih sajang sampaikan mati. Barang kerdjanja djangan dilarang, Itulah tandanja jang kita sajang, Pada suami bersama timbang, Serta djangan lupakan sembahjang. Melainkan ini ilmunja nenek, Djikalau boleh tuan memakai, Akal jang pandjang djanganlah pendek, Mahkota djangan tiada baik. Inilah ilmu nenek jang njata, Dengar baik-baik pengadjar beta, Kendati bersuami orang jang buta, Djangan sekali tuan membuat kata. Meskipun djahat laku suaminja, Terima baik pada hatinja, Pudji djua barang lakunja, Jakni tiada sjak pada hatinja. Kendati djahat kita punja laki, Djangan dikata djangan dimaki, Hati djua kita bakti, Djangan disebut dikata lagi. Meskipun suami tiada peduli, Tiada mendapat sekali-kali, Atau lain ia beristeri, Djahat baik djangan peduli.
^
Djikalau suami tiada pulang, Djangan dichabarkan kepada orang, Apa lakunja djangan dilarang, Kita djalankan akal jang terang. Demikian kias orang bestari, Tanda berkasih laki dan isteri, Kendati djahat laki sendiri, Kepada orang djangan dichabari.
7
Saudara-saudara, agaknja telah sangat djemu saudara-saudara men dengarkan saja membatja nasihat-nasihat jang sangat manis untuk kaum perempuan ini. Tetapi, saudara-saudara, sekali-sekali baik kita menginsafkan jang serupa itu. Ia menjatakan dengan seterang-terangnja kepada kita anggapan bangsa kita terhadap kepada perempuan. Dan mentaliteit demikian djangan sekali-kali kita sangkakan sudah lenjap. D ari Sabang sampai ke Merauke, dari pulau Tambelan sampai kelautan kidul, setiap hari masih diutjapkan nasihat serupa itu. Sampai sekarang, sampai sa'at ini dalam anggapan bangsa kita perempuan itu bukanlah manusia jang mempunjai hidup sendiri. Hidupnja ialah sebahagian dari pada hidup laki-laki. Kegirangannja ialah mendjaga kegirangan laki-laki. Kepentingannja ialah mendjaga kepentingan laki-laki. Dalam segala hal ialah harus menjesuaikan dirinja kepada suaminja. Kepentingan dirinja sendiri, sedih dan senangnja, keinginan dan kebentjiannja sendiri sebagai manusia, itu tiada diindahkan, itu tiada pernah dipikirkan. Dan sesungguhnjalah bagi perempuan dalam lingkungan bangsa kita, tudjuan hidup tidak lain dari pada mendjadi isteri, mendjadi hamba laki-laki. Disisi itu tidak mungkin ada tudjuan hidup jang lain. Segala sifat, segala ketjakapan diarahkan menudju perkawinan, menudju pekerdjaan mengabdi pada laki-laki. D an untuk mendjaga, supaja perempuan itu djangan insaf akan kedudukannja, akan nasibnja jang nista itu, maka diikat oranglah ia dengan bermatjam-matjam ikatan: bermatjam-matjam adat, bermatjammatjam kebiasaan, bermatjam-matjam nasihat. Perempuan dikurung orang dalam rumah sampai bersuami, perempuan tiada boleh berdjalan kemana kehendaknja. Segalanja itu namanja untuk melindungi perempuan dari kedjahatan dan aib, tetapi pada hakekatnja segalanja itu melemahkan perempuan. Ia terpentjil dari dunia, pengalamannja kurang dan seluk beluk dunia tiada diketahuinja. Dimanakah pula dahulu orang tua berdaja-upaja hendak mengadjar anaknja pengetahuan jang lain dari pada jang perlu untuk perkawinan, seperti masak dan mendjahit? Sampai sekarang masih sering kita mendengar orang tua berkata: Apa gunanja anak masuk sekolah ini sekolah anu ? Sekaliannja itu akan pertjuma sadja, sebab kesudahannja 3 6 • ia masuk kedapur djuga. Demikian perempuan tinggal bodoh dan oleh bodohnja lebih bergantunglah ia kepada kaum laki-laki, makin mudahlah laki-laki mendjadikannja hambanja dan permainannja. Pendidikan budi pekerti perempuan semata-mata ditudjukan untuk keperluan laki-laki. Segala sifat lemah itulah didjadikan sifat perempuan jang termulia: perempuan mesti sabar, perempuan mesti lemah-lembut, perempuan mesti pendiam, Berdjalan perempuan tiada boleh lekas-lekas, berbitjara dan tertawa tiada boleh keras-keras. Dalam segala hal ia harus halus. Dengan djalan demikianlah, maka perempuan kita sekarang tidak berharga sedikit djuapun. Segala sifat-sifatnja sebagai manusia men djadi lajuh, oleh didikan masjarakat dan orang tua jang semata-mata menudju kearah perkawinan".
Disini T uti berhenti sebentar, sebab suaranja hampir keparau-parau mengutjapkan pidato jang berapi-api itu. Sekedjap ia minum air jang tersedia dalam gelas dihadapannja. Maka dengan suara jang njaring keluar dari mulutnja selaku perotes: ,,Dan dari perempuan jang telah dimatikan semangatnja serupa itu orang masih berani berharap lahirnja suatu keturunan jang kuat. Adakah, saudara-saudara, permintaan jang lebih gila dari pada itu?” Pandjang lebar Tuti menerangkan pengaruh seorang ibu dalam didikan anak jang dikemudian hari akan mendjadi orang besar. Bahwa perempuanlah jang pertama sekali memimpin anak dan menetapkan sifat-sifat jang mulia jang seumur hidup tidak berubah lagi dalam djiwa anak. Bahwa ibu jang sekarang tidak bedanja dengan mesin pengeram, tiada mungkin dapat menjerahkan keturunan jang berharga kepada dunia. Bahwa segala usaha untuk memperbaiki keadaan bangsa jang tiada melingkungi perbaikan keadaan perempuan, tiada akan berhasil, selaku hanja menjirami daun dan dahan tanam-tanaman, sedangkan uratnja dibiarkan kekurangan air. ,,Sesungguhnjalah hanja kalau perempuan dikembalikan daradjatnja sebagai manusia barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Djadi perubahan kedudukan perempuan dalam masjarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan perempuan. Kaum laki-laki jang insaf akan kepentingan jang lebih mulia dari kepentingan hatinja jang loba sendiri, tentu akan harus mengakui itu. Tetapi lebih-lebih dari segalanja haruslah kaum perempuan sendiri insaf akan dirinja dan berdjuang untuk mendapat penghargaan dan kedudukan jang lebih lajak. la tiada boleh menjerahkan nasibnja kepada golongan jang lain, apalagi golongan laki-laki jang merasa akan kerugian, apabila ia harus melepaskan kekuasaannja jang telah berabad-abad dipertahankannja. Kita harus membanting tulang sendiri untuk mendapat hak kita sebagai manusia. Kita harus merintis djalan untuk lahirnja perempuan jang baru, jang bebas berdiri menghadapi dunia, jang berani membentangkan matanja melihat kepada siapa djuapun. Jang pertjaja akan tenaga dirinja dan dalam segala soal pandai berdiri sendiri dan berpikir sendiri. Jang berani menanggung djawab atas segala perbuatan dan buah pikirannja. Malahan jang hanja akan melangsungkan sesuatu pekerdjaan jang sesuai dengan kata hatinja. Jang berterus terang mengata kan apa jang terasa dan terpikir kepadanja dengan suara jang tegas dan kejakinan jang pasti. Pendeknja manusia jang sesungguhnja manusia. Jang hidup semangat dan hatinja dan kesegala pendjuru mengembangkan ketjakapan dan kesanggupannja untuk keselamatan dirinja dan untuk keselamatan pergaulan. Tiadalah mungkin lagi ia terkurung dalam lingkungan rumah, seluruh dunia jang lebar mendjadi gelanggangnja. Bukanlah semata-mata perkawinan jang mendjadi tudjuan hidupnja. Dalam bermatjam-matjam pekerdjaan djiwanja jang gelisah dan pentjari akan mendapat kepuasan.
Ia akan menjerbukan dirinja dalam dunia pengetahuan, ia akan turut menjusun dan mengemudikan negeri, ia akan mendjelmakan djiwanja dalam seni, ia akan turut bekerdja dan memimpin dalam bermatjammatjam pekerdjaan dan perusahaan. Demikianlah perempuan jang ditjita-tjitakan oleh Puteri Sedar bukanlah perempuan jang berdiri dalam masjarakat sebagai hamba dan sahaja, tetapi sebagai manusia jang sedjadjar dengan laki-laki, jang tidak usah takut dan minta dikasihani. Jang tiada suka melakukan sesuatu jang berlawanan dengan kata hatinja, malahan jang tiada hendak kawin apabila perkawinan itu baginja berarti melepaskan hak-haknja sebagai manusia jang mempunjai hidup sendiri dan berupa mentjahari perlindungan dan meminta kasihan. Jang, pendeknja seratus persen manusia bebas dalam segala hal” . Dan ketika kalimat jang penghabisan, jang dikatakan dengan tekanan jang keras dan tegas itu, lenjap mengalun, sekedjap jang pendek sepi mati dalam gedung jang penuh sesak dan amat panasnja itu. Berat kedengaran kesepian dalam sesa'at itu, selaku manusia jang banjak itu masih ta'adjub, tiada tergerakkan dirinja kena pesona perkataan jang indah tersusun dan diutjapkan dengan sepenuh djiwa. Tetapi baru sadja T uti bergerak hendak meninggalkan mimbar menudju ketempat duduknja, meletuslah sebagai petir jang telah lama terkurung dalam mega jang hitam berat, bunji tepuk beribu gegar rupanja. Tetapi ketua segera berdiri dan dengan palunja jang sakti itu tiada berapa lamanja reda pulalah orang banjak itu. Diulangnja utjapan jang menggambarkan perempuan jang bebas, jang mempunjai persoonlijkheid sendiri, jang dikehendaki oleh Puteri Senar, dimintanja supaja sekalian perkataan T u ti itu dipikirkan dan diandjurkannja sekalian perempuan jang hadir untuk berdjuang bagi kepentingan kaum perempuan. Achim ja ditutupnja kongres itu dengan utjapan, mudah-mudahan lebih tjepat berhasil. Dan setelah djatuh bunji palu ketua jang achir, maka orang banjak itu bergeraklah, bersesak-sesak, amat katjau balau menudju kepintu. 5 ^ S t. T a k d ir A l is ja h b a n a , Lajar terkembang.
SANDHYAKALANING MAJAPAHIT Dinding Gedung Permupakatan berat berhias daun kelapa dan daun beringin, disela-sela kertas merah putih. Didinding sebelah kanan njata dan djelas tersusun huruf perkataan Pemuda Baru; didinding sebelah ^ kiri terbatja Kongres Kelima. Bau daun jang segar memenuhi seluruh o' ruang jang girang gembira nampaknja oleh tjahaja lampu listrik jang terang benderang. Disebelah hadapan ruang itu terlabuh lajar ungu berombak-ombak. Diantara susunan kursi dan bangku jang rapat tiada berhenti-henti berdjalan pemuda laki-laki dan perempuan jang berpakaian indahindah. Masing-masing riang dan suka, girang suara mereka bergurau, senjum dan gelak timbul tenggelam diwadjah masing-masing. Ke banjakan pemuda jang sibuk itu memakai kokarde merah putih tersemat didadanja, ialah mereka jang turut mengurus malam keramaian penutup kongres Pemuda Baru jang kelima itu. Dari pintu jang lebar terbuka tiada berhenti-henti mengalir masuk laki-laki perempuan, kebanjakan muda remadja antara lima belas dan dua puluh lima tahun. Kebaja jang pelbagai matjam warna dan modelnja disilih oleh djas pantalon jang keras berseterika dan bermatjam-matjam pula tjoraknja, menambah kegembiraan dan kegirangan pemandangan dalam ruang pertemuan jang bertambah lama bertambah penuh djua itu. Makin banjak orang duduk dikursi dan bangku jang bersusun itu, diluar masih senantiasa djuga manusia berdujun-dujun datang dari djalan besar. Auto jang indah-indah disisi deleman jang bersahadja berhenti dihadapan. Tiada berapa djauh dari gerbang masuk kepekarangan susunan sepeda makin lama makin rapat djua. Orang jang datang berdjalan kaki djangan dikata lagi. Dari pintu dibawah sebelah kanan masuklah Maria kedalam ruang. Naik ia dianak tangga dan berdirilah ia menghadapi penonton jang banjak. Berkilat-kilat rupa badjunja sutera putih dalam sinar listrik jang terang benderang. Mata sekalian orang melihat kepadanja, sebab dalam gedung jang sarat berhias pantja wama itu, badjunja jang putih bersih berkuau-kilauan itu tiadalah membangkitkan perasaan bersahadja, malahan sebaliknja memantjarkan sinar penarik jang menantang. Kokarde merah putih didadanja hanja kelihatan merahnja sadja ditengah-tengah keputihan semata-mata, tetapi oleh itu kemerahannja itu lebih gembira rupanja, bersorak menarik mata. Agak mengedjap-ngedjap matanja melihat kepada orang banjak, me mandang suatu pendjuru kependjuru jang lain, seolah-olah ada jang ditjaharinja. Bibirnja mengorak tersenjum dan iapun terus berdjalan menudju kearah pintu masuk, kepada Ju su f dengan T uti jang berdiri bertjakap-tjakap dengan beberapa orang lain. ,(Sudah lamakah engkau berdua datang?” tanjanja kepada kakaknja, sebab 1a sendiri datang lebih dahulu karena harus serta mengatur malam keramaian itu.
,,Kam i baru masuk benar” , djawab Tuti. ,,Ramai benar orang datang malam ini” . ,,Sebab itu lekaslah engkau mentjahari tempat duduk! Rasanja didepan masih ada sebuah kursi lagi jang kosong. Sebentar lagi orang akan • m ulai” . t X T u ti pergi kehadapan bersama-sama Maria mentjahari tempat dan 8 S’ setelah ia duduk, kembalilah M aria kepada Jusuf, jang masih terus djuga berbitjara dengan temannja. , Ju su f, lekaslah engkau bersiap. Orang telah hampir mulai” , udjar M aria mengingatkan tunangannja itu, sebab mereka berdua akan serta main dalam tonil Sandhyakalaning Majapahit jang akan dipertundjukkan kelak. Ju su f melihat arlodjinja. ,,Lim a menit lagi pukul delapan” , keluar dari mulutnja agak bergumam dan kepada kawannja katanja: „N ah, nantilah lagi!” L alu iapun mengikut M aria melalui kursi jang banjak itu menudju pintu dibawah disebelah kanan. Bertambah lama bertambah penuh djua ruang jang besar itu. Dikursi dihadapan tak ada lagi tempat jang terluang, dibelakangpun telah bersesak-sesak orang duduk diatas bangku. Sementara itu masih tiada berhenti-henti djuga orang datang. Kursi dan bangku ditambah sedapatdapatnja, tetapi itupun belum tjukup. Pukul delapafi betul tampil seorang anak muda keluar dari belakang lajar. Dengan suara njaring jang makin lama makin djelas membelah kegemuruhan dalam gedung jang penuh manusia itu diutjapkannja selamat datang kepada jang hadir dan dimintanja terima kasih atas minat kepada pertemuan malam penutup kongres itu. Sudah itu dibatjakannja beberapa putusan kongres dan achimja diharapkannja mudah-mudahan pertundjukan jang akan diperlihatkan malam ini akan memberi kenang-kenangan jang indah dan tiada terlupakan bagi segala jang hadir. Tiada berapa lama setelah ia undur kembali kebalik lajar jang tertutup, diiringi oleh tepuk jang ramai, maka terkuaklah pula lajar jang ungu berombak-ombak itu seluas-luasnja. Ketika itu djuga padamlah lampu dalam gedung itu dan diatas podium terpasanglah tjahaja biru, amat dahsjat rupanja menjinari pemandangan jang kelihatan diatas podium: beberapa pasang pemuda jang berasal dari seluruh kepulauan ini, memakai pakaian negerinja masing-masing, menghadapi sebuah pedupaan jang besar memasukkan persembahannja masing-masing. Seluruh gedung itu sunji senjap, ta'adjub melihat pemandangan jang permai dan dalam meresap itu. Ketika tiba-tiba lajar itu tertutup kembali dan diruang dipasang orang pula lampu, sekalian penonton selaku terbangun dari mimpi. Sekedjap seperti hendak runtuh bunji orang bertepuk, disela oleh teriak bis-bis tiada putus-putusnja. Tetapi meskipun sebanjak itu suara meminta supaja pertundjukan itu diulang kembali, permintaan itu tiada diperkenankan. Dan waktu
lajar ungu jang berombak-ombak itu terkuak pula, mulailah pertundjukan tonil: Sandhyakalaning Majapahit. 8 5 t qa Proloog jang diutjapkan biksu berbadju kuning, meminta rahniat Sjiwa-buda bagi pertundjukan itu dan berharap supaja pekerdjaan pudjangga jang merasa dirinja kurang kuasa, diulas oleh darah muda, dapat sekali mengikat minat jang hadir. Segera sepi mati pulalah dalam ruang jang luas itu. Segala mata tertudju kehadapan, sebab orang hendak mendengar tiap-tiap kata pertjakapan Maharesi dengan kesateria Damar W ulan jang belum damai dan berbahagia hatinja, sebelum terdjawab baginja soal-soal dunia dan hidup manusia: Apa gunanja Berahma mendjadikan dunia? Apa ada sebelum Berahma mendjelma? Siapa mendjadikan Berahma? Apa guna manusia hidup? Mengapa ia harus mati? Sia-sialah Maharesi menerangkan kepadanja, bahwa soal kedjadian dan tudjuan kehidupan tidak dapat diketahui manusia dengan sempurna. Bahwa bagi Damar W ulan tidak patut sedalam itu mengadji agama, sebab ia teruntuk mendjadi kesateria. Damar Wulan mengeluh, bahwa siang malam soal-soal itu mengelilinginja sebagai hantu jang menjiksa. Perasaannja sebagai orang J an2 memikul beban jang dipikulkan beratus-ratus zaman. 'Tidak ada jang tetap, jang dapat dibuat tempat berpegang, jang dapat ditudjui. T e ta p i ketika b u n d a n ja m e n ju ru h n ja p e rg i k e M a d ja p a h it u n tu m en d jad i k esateria, ia tia d a ta n g g u h la g i, m e sk ip u n h a tin ja b e lu m reC*a m em ik irk an so a l-so a l ja n g su lit itu . t .
Damar W ulan samadi beberapa lamanja dan dalam samadinja itj1 serasa bersualah ia dengan W isjnu jang berkata kepadanja: ,,A kulaa W isjnu jang engkau tjari, aku bertachta dalam hatimu sendiri. Du*113 tidak pemah terdjadi, sebab tidak pemah tidak ada. Kata, nama, siia j sekaliannja tjuma buatan manusia belaka. Sekaliannja tidak ada keti 3 manusia belum ada diduma. W aktu tjuma maja, tjuma perbandin§aI* jang dibuat oleh manusia antara suatu kedjadian dengan kedjadian lain. Keluasan atau tempat pun hanja mimpi belaka, W isjnu a a dalam hati segala benda. Dunia tidak bersifat dan tidak tidak-berstffDjalan manusia kehatinja sendiri ialah joga, menghentikan berpip1^' melenjapkan dunia maja dan menjatukan diri dengan djiwa segala benda _* Bahagian kedua ialah pertemuan Damar W ulan dengan kekasihA]^ Andjasmara, puteri patih Madjapahit. Andjasmara menjuruh kekasibAj pergi berdjuang menaklukkan Wirabumi jang mendurhaka kepada Perahu Dewi Suhita. Beberapa lamanja Damar W ulan sangsi. Ia mikirkan kedjamnja membunuh manusia, membangkitkan ratap tangis perempuan dan kanak-kanak. Lagi pula apa gunanja M a d ja p ^ 1 ditolong, agama sudah rusak, pendeta dan kesateria tiada melakukafl * kewadjibannja lagi terhadap kepada rakjat. Tetapi meskipun d e m ik i^ & dalam hatinja la insaf, bahwa ia tidak boleh tidak akan menurut darmanja>\ la akan pergi memerangi Wirabumi. ■ s e b a b
Dalam samadi disisi kekasihnja nampak pula kePad“^ ^ SS UpTn berkata kepadanja: Dalam dunia djasmarupun Selama hidup kehidupan djasmaiupun tidak bo eh rangi Wirabumi bukan membunuh artmja, tetapi membantu rakjat S0 L?eniap W isinu datang Dewa Kamawidjaja dan Dewi Ratih. ™ e“ S.a‘ takan keoada Damar Wulan, bahwa rahsia alam telah ter^ a ba^ J * T e'api tahu b S a h bahagia. Bahagia masuk ke,M am :^ sudah satu dengan Berahma, kalau tjmta kepada dunia sudah tumb Halam hati Sebab itu hendaklah ia melmdungi jang lemah. dalam hati. b Damar Wulan sudah selesai. Meskipun bundanja Perdjuangan batm Damar W tgrus memerangl S
M a d ja p a h it t
o
d
S
a
Harus’ leb ih diu tam akan d ari perkara
dat ang keP rob olinggo m em persem -
JSS
«T
k e S X p ^ D t o a n g k a n n j a bahwa rakjat tiada senang, sebab mereka
kelaparan dan ^ P ^ ^ T - ^ b a h a g k n ketiga, maka diadakan pause Setelah habis pertundjuka pulalah: ada jang berdiri setengah pada bupet. Gemuruh bunji berdjalan-djalan, ada jang y orang bertjakap-tjakap. oertundjukkan sesudah pause melukiskan Bahagian keempat jang P pembesar bergirang hati
w » -D“ ,j r ia S i »”<*»p.-™5 menjambut Damar w kan Wirabumi. Dalam bahagian kelima k
m en d jatu h k an D a m a r W u an { P e ra b u D e w i S u h ita ach irn ja t d ih u k u m m ati. L e n ja p la h M a d ja p a h it tiad a d apat tidak.
kesaceria dan kepala agama^bersekongkol berdaja-upaja menjedarkan rakjat. gdjuk oleh m ereka dan ^ r W u l a n ^ ja n g penghab isan dan nunah. P asukan Islam sudah siap pen ghabisan kepada keradjaan.
“
.5 „
p, „ «
E “ ’ “ Wul"
w z r J s x
ag am a serta M a d j a p a h i t & * e n t
^
p diat ja
ti® ggal bekasnja sa^ a dan k ^ , ria jang penghabisan, runtuh
Pertundjukan selesailah! S ^ „ , Maka gemuruhlah bunji tepuk orang, menjatakan puasnja akan jang dilihatnja itu. Dari balik lajar keluar pula sebentar anak muda tadi. menjatakan bahwa sudah tertutuplah kongres Pemuda Baru jang kelima. Sekali lagi diutjapkannja terima kasih kepada segala orang jang menjokong dan memperlihatkan minatnja kepada kongres itu dan diharapnja mudah-mudahan tahun sekali lagi akan bersua pula pada kongres jang keenam. Sekalian orang didalam ruang jang besar itu bergeraklah. Berdegardegar bunji orang memindahkan kursi dan berdiri. Orang berdujundujun keluar, bersesak-sesak diantara kursi-kursi dan bangku-bangku jang tjentang perenang letaknja. Tuti telah berdiri djuga dari kursinja, tetapi sebaliknja dari orang banjak menudju kepintu keluar, ia mendekat kearah pintu disebelah kanan dibawah, sebab ia masih harus menantikan Ju su f dengan Maria. Lamalah baru orang berdua bertunangan itu keluar. Tetapi Tuti tidak terasa menanti itu, sebab ia masih ta'adjub mengenangkan pertundjukan jang baru dilihatnja. Sesering itu ia menghadiri keramaian penutup kongres, tetapi hatinja belum pemah sekali djuapun terharu seperti melihat tonil Sandhyakalaning Majapahit ini. Telah kosong benar ruang jang besar itu ketika orang berdua jang ditunggunja itu datang. M aria menjandang sjaal sutera jang lebar jang menutup seluruh belakangnja sampai keatas lengannja. Ditangan kanan nja dipegangnja tas. Dari djauh telah tersenjum ia melihat saudaranja dan bertanjalah ia, seperti kanak-kanak jang ingin tahu, bagaimana pikiran orang tentang perbuatannja: ,,Bagaimanakah Andjasmara tadi?” ,,Indah benar, belum pemah saja melihat pertundjukan jang seindah ini” , keluar dengan tulus dari mulut T uti jang djarang memudji itu. ,.Engkau berdua baik benar bermain. Terutama pertjakapan Damar W ulan dengan W isjnu sangat meresap kedalam hati saja. Bagus benar pertjakapan-pertjakapan tonil itu tadi” . Ju su f memandang kepada Tuti, agak keheran-heranan sedikit, sebab belum pemah nampak kepadanja T uti terharu serupa itu melihat sesuatu pertundjukan. Malahan biasanja ia agak rendah memandang seni, jang menurut katanja hanja pekerdjaan bagi orang jang tiada mempunjai pekerdjaan jang lain. Maria amat besar hatinja mendengar pudjian saudaranja itu, sebab jang demikian djarang benar terdjadi atas perbuatannja. T uti biasanja mentjela sadja. Dalam pada itu perlahan-lahan mereka berdjalan menudju keluar. Dipekarangan gedung itu masih kelihatan beberapa orang jang masih ada rupanja jang dinantikannja. Didjalan besar hanja ada sebuah deleman. Beberapa lamanja mereka melihat-lihat, kalau-kalau ada taksi, tetapi tiada nampak sebuah djuapun. Achim ja berkatalah T u ti: ,,Sudahlah, marilah kita naik deleman ini, biarlah berlambat-lambat tidak mengapal” Maka naiklah mereka keatas deleman itu.
M aria amat gembira dan tiada berhenti-henti ia bertjerita tentang pertundjukan tonil itu, tentang persediaannja, tentang kedjadian sebelum dan sedang pertundjukan itu; lain dari pada serta bermain, ia seorang jang turut memimpin dan mengatur. Dan berhasilnja pertundjukan jang berhari-hari memenuhi minatnja itu sangatlah membesarkan hatinja. T u ti kelihatannja masih terharu djuga; katanja tak banjak, sebab perasaan dan pemandangannja jang baru diperolehnja malam itu hendak ditjerenahnja benar-benar dalam hatinja. Pemandangannja tentang seni mendapat pukulan jang hebat. Per tundjukan Sandhyakalaning Majapahit jang lain benar dari pada per tundjukan jang biasa diperlihatkan pada waktu keramaian jang lain-lain, amat dalam mengguris kalbunja. Djaranglah sesuatu perasaan semesra itu memenuhi hatinja, menjamai kemesraan perasaannja jang sehebathebatnja selama penghidupannja sebagai perempuan pergerakan jang melakukan pekerdjaannja dengan seluruh djiwanja. M au tak mau ia harus mengakui, betapa besamja pengaruh seni jang dahulu sering diedjekkannja itu, atas djiwa manusia. Sementara itu keta'adjubannja itu bukanlah keta'adjuban sematamata. D isisi keta'adjuban akan keindahan tonil itu sedjak dari semula ada memberat sesuatu perasaan jang kabur dalam hatinja jang tiada dapat dikadjinja benar. Dan makin lepas ia dari pesona kenikmatan melihat tonil itu, perasaan jang kabur itu makin terang, makin njata berupa, sehingga lambat-laun insaflah ia, bahwa kenikmatan pertun djukan jang dilihatnja itu tiada sesuai dengan irama djiwanja sebagai perempuan jang gelisah dan suka bekerdja dan tiada sesuai dengan pikirannja jang biasa menimbang baik dan buruk, berguna atau tiada berguna segala sesuatu. Mula-mula sehabis pertundjukan tadi ia semata-mata dikuasai oleh perasaan keindahannja jang lama terpendam dan terdesak, tetapi seketika memantjar keluar tiada tertahan-tahan melihat tonil jang indah itu. Tetapi makin tertjerenah oleh kalbunja perasaan keindahan jang tiada biasa dirasakannja itu, makin insaflah ia bahwa ia tiada dapat menjetudjuinja dan menerimanja. Achim ja tiada dapat lagi ia menahan hatinja menjatakan pikirannja, lalu katanja: „ Pertundjukan engkau berdua tadi sesungguhnja indah. Indah benar, belum pemah saja terharu seperti malam ini. Tetapi meskipun demikian hati saja tidak puas” . Tidak puas?” djawab Maria sekali, jang masih gembira akan hasil pekerdjaannja itu. „Apanja jang engkau tidak puas. Tadi katamu bagus” . Ja, bagus, sebenamja bagus, tetapi meskipun demikian hati saja tiada puas benar. Bagaimana engkau, Jusuf? Tidak begitu djugakah perasaanmu?” ^ ,,Saja tidak mengerti apa maksudmu” , kata Jusuf. w / Orang berdua itu melihat kepada Tuti, jang berpikir sebentar rupanja, ^ ^ tetapi lalu berkata: Tonil tadi bagus, sebenamja bagus. Tetapi kebagusannja itu pada pikiran saja melemahkan hati dan tenaga___” Berhenti pula ia sebentar, selaku hendak mentjahari perkataan
D re w e s ,
Mentjari ketetapan baru.
16
jan g sebaik-baiknja untuk menjatakan jang terpikir kepadanja itu. T etapi M aria, jang dalam kegirangannja akan hasil pekerdjaannja malam itu segera menjangka, bahwa kakaknja itu mentjahari-tjahari sadja hendak mentjela pertundjukan itu, segera berkata: ,,Melemahkan hati? Ada-ada sadja pikiranmu. T ak pemah engkau melihat perbuatan orang jang tiada bertjela. Tjoba engkau sendiri menjusun tonil, supaja engkau puas benar___” Dalam gelap dideleman itu mata T uti mendelik melihat adiknja selaku hendak diterkamnja, tetapi ditahannja hatinja, lalu berkata dengan pendek: „K alau engkau tiada mengerti, baiklah engkau diam sadia, M a ria ___” Tetapi Maria tiada gentar dan mendjawab: ,,Bagiku bagus, ja bagus, tidak banjak tjentjong seperti engkau!” T uti tidak mempedulikan kata adiknja jang tadjam itu. D an seraja melihat kepada Jusuf, jang telah biasa mempersaksikan perselisihan orang berdua saudara jang amat berbeda pekertinja itu, katanja: „In i jang saja maksudi dengan melemahkan itu, Jusuf! Engkau sendiri jang bermain Damar W ulan, djadi engkau tahu benar akan sifat Damar W u la n . . . . Bagaimana pikiranmu tentang Damar W ulan, pertjakapannja jang indah itu misalnja dengan W isjnu. Sekarang, kalau saja pikirkan itu, ngeri rasanja hati saja. Penjelesaian soal kedjadian dunia, soal hidup dan mati seperti diutjapkan W isjnu itu, melepaskan segala tempat berpegang, mendjatuhkan tempat kaki berdjedjak. Sebab kalau segalanja maja, habis arti segala hidup didunia ini” . . J a , tetapi engkau lupa” , udjar Jusuf, ,,bahwa kemudian W isjnu berkata, bahwa selama masih ada hajat dikandung badan, tiada boleh kita meninggalkan dunia maja, sebab hal artinja itu lari dari dunia. Manusia tiada boleh menolak kewadjiban” . ,,Benar katamu demikian” , djawab Tuti, ,,tetapi tambahan kemudian jang menundjukkan, bahwa maja inipun tiada tertjerai dari kehidupan, bahwa maja inipun tiada boleh disia-siakan, menurut paham saja datang nja sebagai tampalan dari belakang. Sesudah utjapan jang pertama jang memadakan dunia dan penghidupan didunia ini, utjapan jang kedua jang membawa kembali kedunia, hilanglah kekuatannja” , ,,Hilang kekuatannja?” , J a , hilang kekuatannja, lihatlah bagaimana sangsi Damar W ulan melakukan kewadjibannja. Pada pikiran saja, meskipun tiada sengadja pengarangnja bermaksud demikian, tetapi djatuhnja Damar W ulan pada achir tonil itu telah selajaknja benar, sebab sangsinja sendiri. Bukankah waktu ia mendjabat pangkat ratu angabaja ia mendapat kesempatan jang sebaik-baiknja membersihkan negeri dari segala mereka jang tiada pada tempatnja dalam negeri. Sebaliknja dari pada itu ia sendiri jang mendjadi kurban. Salahnja pada pikiran saja: Damar W ulan bukan lagi orang dunia ini” . ,,Saja mengerti, apa jang engkau maksudi, tetapi djika demikian, pemandanganmu itu bukan semata-mata tertudju kepada pertundjukan
ini. Sebab keberatan jang serupa itu boleh dihadapkan kepada seluruh filsafat Buda, atau lebih luas filsafat India". ,,Kalau filsafat India demikian sifatnja, maka tentulah terhadap kepada seluruh filsafat India. Keberatan saja itupun terutama oleh karena filsafat jang demikian membuat manusia merasa dirinja asing dari dunia ini, sebab segala sesuatu dianggapnja bajang-bajang dan penghidupannja tiadalah terasa kepadanja sebagai penghidupan jang sebenar-benarnja. Didunia terasa kepadanja bukan pada tempatnja lagi, djiwanja sudah ditempat jang lain. Telah sepatutnja mereka jang demikian didunia ini tiada dapat berarti, tiada dapat membangunkan sesuatu jang berarti bagi hidup didunia. D an meskipun ada suruhan, supaja menjertai hidup didunia ini, tetapi suruhan itu tiada menolong lagi. A dalah seperti orang jang sudah dibenamkan kedalam air selutjup-lutjupnja, tetapi sesudah itu ditarikkan kepalanja keatas air sedikit. Ia sudah terlampau lemas untuk dapat merapung dan bernapas lagi” . ,,Tentang hal itu saja setudju dengan engkau. Umumnja filsafat India melompat sekali menjelesaikan segala soal hidup sedalam-dalamnja. Dapat ia memberi bahagia kepada mereka jang sesuai djiwanja dengan itu, tetapi oleh karena telah terselesaikan segala soal hidup, tiadalah ada lagi bagi mereka jang demikian soal dunia. Dan didunia tertutuplah djalan kem adjuan---- ” ,,Apalagi bagi bangsa kita hal ini harus diperhatikan benar-benar", kata T uti tegas menambah utjapan Ju su f jang belum habis itu. ,,Sedjak dari dahulu bangsa kita gemar akan sikap menganggap dunia ini sebagai jang tiada berarti, jang fana. Dunia hanja tempat perhentian sebentar. A pa guna mengumpulkan harta? A pa guna kebesaran dan kemuliaan? Sikap jang demikian menjebabkan bangsa kita tiada berdaja, lemah berusaha dan nista kedudukannja dalam dunia. Kemiskinannja terasa kepadanja sebagai sesuatu jang lajak, malahan kadang-kadang jang sebaik-baiknja. Sebab ia berharap akan kesenangan dan kemuliaan didunia jang la in ___Bangsa kita harus mendapat sikap jang lain. Dunia bukan maja, bukan tempat perhentian sebentar, jang tak usah diindahkan. Sebaliknja dari pada menempuh djalan joga menjuruh menghentikan berpikir, bangsa kita harus lebih banjak berpikir. D jiwa jang sempuma, ialah djiwa jang didunia ini dapat kesempurnaan pula. Segala sifat dan perbuatan bukan maja dan manusia harus berdaja-upaja mengembangkan segala ketjakapannja, sebab itulah djalan menudju kesempurnaan lahir dan batin. Dari kesempurnaan hidup didunia ini baru kita melangkah kepada kehidupan jang abadi” . ,,Ja, saja mengerti, saja mengerti akan keberatanmu dan maksudmu. Tetapi apakah salahnja, kalau pertundjukan jang seindah itu sekali-sekali dilihat orang?” MSekali-sekali tiada ada salahnja” , kata Tuti, ,,sajapun akan merasa nigi djika saja tiada dapat melihat tonil jang seindah ini dan sedalam ini perasaan jang dikandungnja. Tetapi sementara itu kesangsian akan makna hidup didunia ini, tiada boleh terlampau banjak pengaruhnja.
/ ''k
D an tentang pertundjukan ini, keberatan saja jang sebenar-benamja ialah sebab ia dipertundjukkan kepada pemuda-pemuda. Kedalam hati pemuda ditanamnja kesangsian akan hidup. Pada hal pemuda itu hendaknja gembira dan riang dan penuh kepertjajaan. Irama darah pemuda mengalir tiada sesuai dengan irama jang seberat itu memi kirkan soal hidup dan mati". ,,Ja , itu telah terasa djuga kepada saja. Dari semula saja sebenarnja tiada setudju orang mempertundjukkan tonil Sandhyakalaning Majapahit pada pesta kongres ini. Tetapi tonil lain jang lebih sesuai tidak a d a . . . .** ,,Ja, suruh T uti membuatnja” , kata M aria jang sebenarnja agak mulai mengerti mendengar maksud kakaknja itu, tetapi masih djuga hendak melepaskan panas hatinja akan tjelaan saudaranja itu. ^ . St .
T a k d ir A lis ja h b a n a ,
L a ja r
terkembang.
MENUDJU KELAUT ANGKATAN BARU Kam i telah meninggalkan engkau, tasik jang tenang, tiada beriak, diteduhi gunung jang rimbun dari angin dan topan. Sebab sekali kami terbangun dari mimpi jang nikmat: ,,Ombak ria berkedjar-kedjaran digelanggang biru bertepi langit. Pasir rata berulang diketjup, tebing tjuram ditantang diserang, dalam bergurau bersama angin, dalam berlomba bersama mega” , Sedjak itu djiwa gelisah, Selalu berdjuang, tiada reda. Ketenangan lama rasa beku, gunung pelindung rasa pengalang. Berontak hati hendak bebas, menjerang segala apa mengadang. Gemuruh berderau kami djatuh, terhempas berderai mutiara bertjahja. Gegap gempita suara mengerang, dahsjat bahna suara menang. Keluh dan gelak silih berganti, pekik dan tempik sambut menjambut. Tetapi betapa sukarnja djalan, badan terhempas, kepala tertumbuk, hati hantjur, pikiran kusut, namun kembali tiadalah ingin, ketenangan lama tiada diratap. Kami telah meninggalkan engkau, tasik jang tenang, tiada beriak, diteduhi gunung jang rimbun dari angin dan topan. Sebab sekali kami terbangun dari mimpi jang nikmat. St . T.
A lis ja h b a n a .
DAFTAR KATA-KATA abolo (bah. Nias), kuat; disini dipakai sebagai nama. ad a, berada, mampu, kaja; tinggal. Kalau tidak berada-ada, masa tempua bersarang rendah, artinja: sesuatu jang luarbiasa sudah tentu dilakukan dengan alasan jang tidak kita ketahui, atau mempunjai sesuatu tudjuan (peribahasa ini berasal dari bah. Minangkabau). adje (bah. Djak.), sadja. agak, kira; sedikit; agak tiga, barang tiga; mengagak-agak, mengira-ngirakan, bermaksud. agan (bah. Sund,), sebutan jang dipakai kalau berbitjara dengan anak regen dan _pemuda golongan orang baik2. air, air selera: mengubah-ubah —, menukarnukar —, lih. tukar. ajah, ajahnja, disini dipakai sebagai dalam bah. Min. ajahi-. paling baik!, nomor satu! ajahnja benar!, betul paling baik* akang (bah. Sund.), abang. akrab (bah. Arab.), (jg pemahnja) lebih dekat; (lebih) rapat. alat (bah. Min.), djamu; djuga: pesta, peralatan, perhelatan, perdjamuan. A leh, kependekan dari Saleh, alio (bah. Nias), tjepat; disini dipakai sebagai nama, seperti Abolo djuga. Di Padang pelajan biasanja berasal dari Nias; Borota, Balugu dan Badu djuga nama Nias. Allah, nama Tuhan jang M aha Esa oleh orang Muslimin selamanja disebut dengan pudjian2, misalnja: Allahu 'azza wadjalla, Allah jang tinggi lagi mulia!; Allahu rabbi! arti sebenamja: Allah, Tuan kita! dipakai dalam seruan untuk menundjukkan kehebatan, upamanja: nakal __ ! alur (bah. M in.), djuga: adat jang lazim, jang sebenamja. am p u n , ampunan, keringanan hukuman. am ten ar B.B., pegawai pangreh pradja. gemt neAMlddelbare Sch°°l> Seko lah Menengah Atas. anak, anak'. saku, saku ketjil (pada pakaian). andjung (bah. Min.), bilik sebelah udjung jang lantamja lebih tinggi dari ruangan rum ah jang lain*; mengandjung-andjungkan, mengangkat-angkat, mexnudji-mudji (bandingkan dengan sandjung); andjungan, tundjangan pendjalaran (untuk tanaman jang didjalarkan); tanaman itu sendiri. andjur, langkah diandjur ke . . langkah ditudjukan k e . . . ; mengandjurkan, memadjukan, mengusulkan. angan (bah M in.), djuga: niat, maksud; angan lalu dsb. hh. paham A nggore, Anggore kain jang ditenun dan wol Anggore (mohair), angkat, disini: generasi.
anjang, sadjian dari daging mentah dibumbui dengan matjam2 rempah. api, api-api (Min.), gores api, korek api. asak (bah. Min.), pindah tempat; diasak lajur, ditjabut mati, tak dapat diubah lagi. a sri (bah. Djawa), hiasan. atjeuk (bah. Sund.), kakak perempuan (di pakai sebagai panggilan). atjik, lih. m ak atjik. B.B. (kependekan Binnenlands Bestuur), Pangreh Pradja. ba’ (bah. Min.), bagai, seperti. badji (bah. M in.), bentji; kebadji, perbuatan gaib jang pada persangkaan orang merusakkan perhubungen baik antara suami isteri; dilakukan misalnja oleh seorang laki2 jang sakit hati karena tjintanja tidak dibalas. Upamanja makanan perempuan jg ditjintainja itu ditjampur dengan debu dari kain bekas pembungkus majat atau dengan tjatjing ditumbuk halus, atau dibawah tempat tidurnja ditanam telur jang tidak menetas. bagai, berbagai-bagai; pada hal. 53 dan 131 bukan: „bermatjam-matjam” , tetapi: berbagi-bagi. Antara bagi dengan bagai adakalanja tak dibedakan orang. bajang, bajang-bajang tidak sepandjang badan dikatakan djika jang diichtiarkan seseorang melebihi kekuatannja, ataupun kalau se seorang mengeluarkan uang lebih banjak dari pada pendapatannja. Dikatakan djuga: lebih besar pasak dari tiang. bajar, berbajar; ber- disini dipakai sebagai ba- dalam bahasa Minangkabau, misalnja: pitih babilang i ° uang dihitung (ialah barang jang biasanja dihitung); 20 uang itu telah dihitung. barang, barang pentjaharian, barang jang diperoleh selama perkawinan. basa, tiada tahu di basa-basi, tidak tahu adat sopan-santun, tidak tahu aturan; berbasa, beradab; memperbasakan, bertindak dengan tjara hormat terhadap seseorang; perbasaan, penghormatan jang agak berlebih-lebihan, keberatan karena hormat. bau, membaui (bah. M in.), mentjiumi. bawal, berbawal, bersarung. belalang, membelalang (bah. Min.), membuka mata besar2 karena marah (membelalakkan). belam , terbelam, kabur, tidak terang. benar, membenar-benar (bah. M in.), mengaku terus terang. bendar, parit, serokan. B erah m a, nama dewa orang India, besenegeng (bah. Belanda: bezuiniging), penghematan. besi baik, wadja. beslit (bah. Belanda besfuit), penetapan. bestuur (bah. Belanda), badan pengurus.
bibir, djuga: tepi. biksu (bah. Skr., bah. Djaw. kuno bhifefu), rahib (dim agama Buda). bilai (bah. M in.), sambung. bilang, sebilang, setiap. b inar, ber— , berkelip-kelip. B intara, kemudian mendjadi Demak. M enu rut babad (kitab sedjarah) orang Djawa Adipati Bintara ialah kepala persekutuan orang Djawa Muslimin jang mendjatuhkan Madjapahit. bising, Iengar karena ribut. buah, tentu sudah dua kali pisang berbuah, tentu sekali lagi bertumbuklah ia dengan induk semangnja. M enurut peribasa, tak kan pisang berbuah dua kali, ertinja: orang jang sudah terkena sekali, tak mudah akan terkena sekali lagi. Djika ia, tandanja ia bodoh benar. b ud ju r, membudjurkan, meletakkan. Bugis, sarung — , sarung untuk orang laki2, biasanja bertjorak merah-hitam. bujung (bah, M in.), (panggilan terhadap seorang) anak laki2; kamulah si upik si bujung bagi kami, hanja kamu seoranglah jang kami punjai; mak si —, isteri saja (bandingkanlah dalam bah. Djawa: embokne told). buku, membuku-buku, bergumpal-gumpal, berkepal-kepal; segala jang — dalam dadanja, segala jang disimpannja dalam kalbunja. bulang, membulang (bah. Min.), mengikat, istimewa mengikat susuh pada ajam djago; terbulang pada induk itik, seakan-akan diikat susuh pada induk itik. bulu, agaknja berbulu matanja memandangku, rupanja ia sudah marah kalau melihatku sadja. bulus, bolos, kena (djika bersilat), dipukul (dengan tidak disangka). bunga, bunga kebona Lakiung (bah. Makas), ,,bunga putih” (melati) dari L. bungsu, si —, anak bungsu jang dipermandja; sering bersua dalam tjeritera^ Minangkabau, misalnja dalam ,,Kaba Sabaj nan Aluih” , dikarang dalam bah. Indon. oleh Tulis Sutan Sati dan diterbitkan Balai Pustaka, Djakarta, Serie No. 855buru, hantu pemburu, seorang pemburu dan zaman purbakala jang menurut kepertjajaan orang di Sumatera Barat sekarang tetap mengembara sebagai hantu. d a'if (bah. Arab, d a 'if, lemah), menda'ifkan menghinakan. dajuk, terdajuk (bah. .Min.), terbentur; dalam hubungan sematjam ini dalam bah. Min. biasanja talajue' ( talajue’ pinggang nan lamah, tadodong bau nan kambang; malajue" dipakai terhadap dahan jang ‘ berajun, terhadap gerak pinggang perem puan sedang berdjalan; bah. Min. tado dong = terdorong).
daksina (bah. Bali), bakul untuk membawa korban kekuil. d am ar, suluh, ketaja; mendamari, menerangi dengan lampu. dam ik (bah. Min.), mendamik, memukul dengan telapak tangan; — dada, memukul dada (tanda berani atau marah). dangka, berdangka, menjangka. d arm a (bah. Skr. dan Djaw. kuno dharma) kewadjiban, terutama kewadjiban karena keturunan atau karena pangkat, upamanja radjadarma, kewadjiban radja. delik (bah. Djawa), tnendelik, membelalak. d em b am (bah. M in.), suara bila sesuatu benda jang berat djatuh ditanah (dentam); berdembam, djatuh berdentam. den, 'n d en (bah. Sund.), kependekan dari raden. dengut, berdengut-dengut, disebut terhadap suara gong dan pujuh. derai, berderai (bah. Min.), gembur. D jabal H indi, bukit dekat kota Mekah; disitulah terdapat sebuah benteng jang dahulu kala diperbuat orang untuk mempertahankan lembah kota M ekah itu. Dekat benteng ini terdapat kuburan W ali Djauhar, seorang keramat jang berasal dari India. djahil (bah. Arab, djahil, bodoh, tidak tahu apa2); kedjahilan, kebodohan. djalang (bah. M in.), djelang; mendjalang, mengundjungi. djatuh, djatuh bangun, sipat kuping, tunggang langgang. djeladri, laut. djelunut (bah. M in.), kental, pekat; mendjeIunut, melekat. djem put, uang djemputan, uang jang dibajar keluarga seorang anak perempuan kepada bakal penganten laki2. Dalam masjarakat Minangkabau orang laki-lakilah jang tinggi „harganja” , terutama bila mereka ketu runan orang jang terkemuka atau berpang kat tinggi. djenang (bah. M in.), djuara. djerat, djerat semata (bah. M in.), buah hati. djero (bah. Bal.), sebutan jang dipakai ter hadap orang jang tidak dikenali. djinak, djinak djinak merpati, djinak seperti burung dara, ertinja: kelihatan djinak, tapi tak dapat ditangkap. djingkat (bah. M in.), djengket; bersedjingkat, berdjengket. djundjung, djundjungan (bah. M in.), tundjang; djuga: tuan jang dihormati (misal nja disebut terhadap nabi M uhammad); djuga: suami. djuragan (bah. Sund.), dipakai sebagai bah. Ind. tuan, untuk laki2 dan perempuan; (djuragan isteri, njonja; djuragan pameget, tuan). djustisi (bah. Bel. justitie), kantor Djustisi, departemen kehakiman.
dobolo (bah. Makas., dari bah. Port, dobro, dobol), main dua puluh satu, main selikur (bah. Djawa selikuran). d ua, memperduakan, memberi tanah dengan hasil dibagi dua. d ub alang (bah. M in.), polisi kampung. d u d u (bah. M in.), mendudu-dudu, lari dengan tidak menoleh kekiri kekanan. E d a h , kependekan dari Zubaidah. egah, gah, nama jang termashur, kemashuran; m engegahkan diri, memegahkan diri, berbesar hati karena sesuatu hal. E n ah , kependekan dari Aminah. eksam en (bah. Bel. examen), udjian. em ang (bah. Sund), paman. em bik (bah. Sund.), bibik. endilau, nama sebangsa pohon jang besar; tertjentjang puar tergerak endilau (peribahasa Min.), kalau seseorang dibentjanai orang, maka semua kaumnja merasa gusar; seorang ditjetjak (ditjubit), semuanja me rasa pedih. enggak (bah. Djak.), tidak. engkang (bah. Sund.), abang. farak (bah. Arab, fark), beda; faraknja tiga, dibedakan mendjadi tiga bagian. gabak (bah. Min.), redup; mendung. gaduh, bergaduh (bah. Min.), berbantah. gajung, tum buk; gajung bersambut kata berdjawab (peribah. M in.), tum buk dielakkan, kata didjawab, artinja: terhadap tiap2 keterangan diadakan perbantahan. galau (bah. M in.), bergalau, sibuk; beramairamai. gam at, galomat (bah. M in.), gaduh, harubiru. gantung, mempergantungi, bergantung pada, berpegang pada, memegang pada, pertjaja akan. garing (bah. M in.), nama ikan sungai, diusa disebut samah. gelapung, nama pohon. gem uk, gemuk membuang lemah, tjerdik membuang kawan (peribah. M in.), dikata kan tentang orang jang tiada suka menolong kaum keluarganja ataupun lebih suka memberi keuntungan kepada orang Iain danpada kepada kaumnja. Orang jang budiman tentu tidak akan berbuat begitu gera, menggera, menghalau burung dimusim masak padi. gili (bah. M in.). gelitik; baru kena gilinja, sekarang baru kelihatan hasilnja. gontai (bah. M in.), perlahan-lahan. gubah, menggubah, mengarang. ^ k e la h i^ 1 M in^ ' guIing: PerS^atan, pergulang2 (bah. M in.), dangau. • , M inm ulut; )’, kemam; tertahan%didalam ketawa bergumam,
gundjing (bah. Ivlin.), fitnah; — gudjirak, fitnah dan umpatan. gunting, menggunting dalam lipatan, menohok kawan seiring. H .C .S ., Hollands-Chinese School, sekolah rendah untuk anak2 Tionghoa; ' Hollands-Inlandse School, sekolah rendah untuk anak2 Indonesia. Pada kedua sekolah tadi bahasa pengadjaran ialah bahasa Belanda. h adrat (bah. Arab, hadrat), hadirat, adanja paduka jang mulia; seringkali dipakai dimuka perkataan Tuhan dan Baginda, upamanja: pulang kehadirat Tuhan = meninggal; mempersembahkan kehadirat Baginda. h am b u r, menghambur atjap kali ertinja bukan menjerakkan, melainkan seperti dalam bah. M in.: melompat, terdjun; berhamburanlah air matanja, air matanja keluarlah dengan sekonjong-konjong; menghambur turun ketanah, melompat turun kebawah. h aru, hantu haru-haru, hantu jang menjesatkan orang dan meletakkannja ditempat jang sunji. helah (bah. Arab, hilah), muslihat, akal; dalih. helat, lih. alat. hentam , menghentam tanah (bah. Min.), mengentakkan kaki. henti, menghentikan tegah, tidak membuat apa jang dilarang. h in d ar (bah. M in.), menghindar, mengelak. hulpschrijver (bah. Belanda), djurutulis pembantu. ibarat (bah. Arab, ‘ibarah, keterangan, tjara), djuga: m enurut tjara sebagai. Hah (bah, Arab.), Tuhan. H anun, L an un , nama bangsa dipulau M indanau di Pilipina, djaman dahulu ditakuti orang karena merompak. im an (bah. Arab, iman) kepertjajaan; ketetapan hati. im b au (bah. M in.), panggil; sebut. indajang (bah. M in.), pelepah njiur. induk, induk semang, orang jang memberi tum pangan; madjikan. iring, seiring bertukar djalan, sekandang tidak sebau (seia bertukar sebut), peribah. jg, ertinja: maksud kedua pihak sama, tetapi masing3 salah pengertian. i'tikat (bah. Arab i'tikdd) pendapat, akidah; beri'tikat, bermaksud sesuatu jang djahat. jaum ilm ah sjar (bah. Ar. jaw m al-mahshar) hari kiamat. ju (bah. Djaw.), kependekan dari (mbak)aju, kakak (perempuan). joga (Skr. dan Djawa kuno yoga), usaha kekuatan djiwa manusia, ditudjukan kepada kebenaran jang utama.
kadim (bah. Ar. kadim, kekal); mengadimkan (bah. M in.), memastikan; meramalkan. kakah (bah. M in.), kekeh; ketawa terkakahkakah, terkekeh-kekeh, gelak2. kalam atau: ilm u — (bah. Ar. ilmu ’ l-kalam), ilmu tawhid. kalang, jang terkalang di mata dan terasa di hati, jang terpikir dalam hati. kalian, kamu sekalian. kalu (bah. Djak.), kalau. K am aw idjaja, nama Kama, dewa pertjintaan. kangen (bah. Djawa), rindu. karabijn (bah. Bel.), terkul. kasai, bedak dingin jang harum. kasem at (bah. Ar. kJiuswmah), per'selisihan; perm usuhan; dendam-kasemat, dendam dan permusuhan (bah. M in. bakasam, bermusuh dengan; malapehkan kasam = melepaskan dendam). kelentungan, genta kaju. kelian (bah. Bali), nama pegawai desa, dibawah perbekel. kelikih (bah. M in.), betik, pepaja. kelok (bah. Min.), kemana — lilin, kesana — lojang, orang pematih dengan tiada membantah sedikit djua akan menurut kemauan orang jang diatasnja. kelong (bah. Makas.), sematjam pantun. k em en d u r (bah. Bel. commandeur), dibanjak tempat dipulau Sumatera nama untuk kontelir B.B. dahulu. kening (bah. Min.), dahi. kentara (bah. Djawa ketara), ternjata. keponakan (bah. Djawa), kemanakan. kepujuk (bah. Min.), lipas; disini dipakai untuk menjingkirkan keparat. keraw at (bah. Min.), tali kulit; jnakan , sangat miskin. kerdja (bah. Min.), djuga: pesta, peralatan. kerdjap (bah. Min.), kedjap. kerontjong, mengerontjongkan, membuat djadi lingkaran. kesateria (bah. Skr. dan Djaw. kuno ksatnya, bah, Djaw. satrija), pahlawan jang berbangsa. ketjek (bah. Min.), pertjakapan, omong. ketjim pung (bah. Min.), berketjimpung, berketimbung. ketjut, — hati, takut; pengetjut, penakut. ketjoh (bah. Djaw. kdtjok), terketjoh, tertipu. kilat, — beliung sudah ke kaki, —_ tjermin sudah kemuka (peribah. Min.), kias per kataan dikenali oleh orang jang bidjaksana. kinantan (bah. Min.), putih belaka, tentang ajam dan lembu; anaknja memang , anaknja betul luar biasa. kira, kiranja (129), tetapi; sedangkan (se bagai bah. Min. kironjo), kitar, memperkitar-kitarkan (bah. Min.), menolakkan orang jang berdiri dikeliling kita dengan lengan; menjikukan. kodok, kuduk (bah. Min.), tengkuk.
korek, mengorek dompet kawan, mengosongkan kantung orang. kotak, sampan kotak, asalnja sampan Tjonghoa, banjak dipakai di Sumatera T im ur, dimuka runtjing, dibelakang lebar dan tinggi dan dibagi mendjadi beberapa kotak untuk menjimpan barang kepunjaan orang penumpang. kotjak, dengan kotjaknja, dengan gagahnja; melihat dengan tjongkak (bah. Djawa kotjak-kotjakan). kudjut, ber—, menggantung diri. kulari (bah. M in.), sebangsa ikan sungai. kulun-kulun (bah. M in.), lipah, senggulung. k undjung (bah. M in.), segera, tjepat; tak kundjung, tak kan. k u rab u (bah. M in.), sajur jang ditjintjang atau ketimun jang dipotong-potong dsb., ditjam pur dengan rempah-rempah. kutjak, kotjak, gojang; badan terkutjak (bah. M in,), kurus. lajuh (bah. M in.), lumpuh, tepok. lajur (bah. M in.), laju. lalu, tentang gadaian: telah sampai djandjinja; sebab itu tak dapat ditebus lagi dan sudah mendjadi kepunjaan jang memegang. lam un, namun, tetapi. landa, sebagai benang dilanda ajam, sangat katjau. Ianglang (bah. Bali), polisi desa. lantas, tak lantas angan saja (bah. M in.), tak berani saja memikir; tak masuk akal saja. lapar, melapari, kepingin (mengetahui). lapih (bah. M in.), berlapih, teranjam. laras (bah. Djawa: tinggi rendah bunji); selaras, sesuai, berkenaan. larat (1), melajang-lajang (pikiran); tambatan larat, pusat pikiran. larat (2), dari melarat (bah, Ar. madarrat) kemiskinan, susah; bertahan-tahan larat, memperlama persediaan (uang, makanan dsb.) jang ada, sehingga tak lekas ditimpa kemelaratan. lauk (bah. M in.), daging; kadang2: ikan. lebai, Lebai M alang, orang jang beruntung malang dari tjeritera jang terkenal. lekang (bah. Min.), retak (seperti tanah jang kena panas). lelang (1), melelang, djuga: membeli dilelang. lelang (2), hilang. lem ah, — semangat, merana; tawar hati. lepas, melepaskan sekuat-kuat suaranja, ber teriak sekuat-kuatnja. lepau, kedai kopi (bah. Djawa warung). letak, meletakkan nasi (bah. M in.), menghidangkan nasi, lindang (bah. Min.), habis; lindang tandas, litjin tandas. lipur (bah. M in.), dihilangkan tandanja. londjak, melondjak-londjak, melompat-lompat.
lu lu s, melulusi (bah. M in. maluluih), membuka pakaian. lunjah, dalam bah. Min. balunjah djuga = bertindju. lu ru t, melurut tjintjin, menanggalkan tjintjin. lutju p (bah. M in.), lenjap. m a k atjik, mak ketjil, bibi; di Padang mak tjik panggilan terhadap orang baik-baik. m ab u k , di— agak-agak, mabuk berpikir; — tjendawan, bingung; — puasa, bingung karena puasa. m aharesi (bah. Skr. maharSi, bah. Djaw. maharesi), ulama besar. m ahk ota, kata jang manis terhadap perem puan. m ain , bermain budi, memakai akal. m aja (bah. Skr. maya), silap, chajal, keadaan jang bukan sesungguhnja. m akan, dimakan pakaian benar-benar, ke lihatan tjantik bila mengenakan pakaian. m alu, memalui, menghormati. m am ang, pematah, peribahasa. m andja, beramahan dengan; bermandjamandja, bersenda (gurau) m angga (bah. Sund.), silakan m antel (bah. Belanda), badju hudjan. m antjur, lih. pantjur. m a'sjuk (bah. Arab, ma'shuk), (jang)
m ungkir, djuga: tidak menghasilkan apa8, berlaku menampik (bah. Min. inda’ mungkie lai, tak dapat tiada); jnungkir akan djandji, tidak menepati djandji; sarat saraf saja mungkiri, sarat saraf tidak saja ikuti. m u ri, mori, nama sebangsa kain. n a' (bah. Min.), hendak. nagih (bah. Djak. dan bah. pas.), menagih. nalam (bah. Ar. nazm, susunan), karangan bersadjak; sja'ir; merentang — , mengarang sja'ir; bersja'ir. ’nden, lih. den. njalang (bah. Min.), tjelik; menjalangkan, membuka besar2. N orm aal, kependekan dari Sekolah Normaal (bah. Bel. Normaalschool), ialah sekolah tempat mendidik guru bantu. olah (bah. Min.), Iaku, perangai; olah perangai, tingkah Iaku. onggok (bah. M in.), longgok, tum puk; seonggok, selonggok, setumpuk; sedjenis. orang, di Djak. dan dalam bah. pas. djuga dipakai sebagai kata sambung, seperti dalam bah. Djawa wong, dengan arti: bukankah, ialah untuk menerangkan ke heranan atau untuk menjangkal keheranan; orang kaja, orang besar; lih. rangkaja. b e rtj£ ^ (Bah' AraB' <Sshik^ Jan§ otjeh (bah. Djawa), otjehan, pertjakapan, omong. m ati, mengeluarkan kuntji mati, mengeluarkan kuntji dan lubangnja sesudah mengun- pakai, memakai adat (bah. M in.), beristeri. i mf1?e§askan (dikuntji mati, dikuntji pakau (bah. M in.), bingung. sedemikian sehingga tak dapat begitu pakihi, ilmu — , ilmu hukum agama Islam. sadja dibuka; dtsimpul mati, disimpul D i Minangkabau jang teristimewa disebut sehingga tak gampang dibuka). Kitab Pakihi ialah M inhadj al-Tdlibin m elarat (bah. Ar. madarrat), dalam kata karangan Nawawi. madjemuk melarat manfa'at masih dalam paksa, sakit — , sakit pajah, sakit keras. arti jang ash, ialah: kerugian. P am ade (bah. Djawa), Ardjuna. m eleset (bah. Bel. malaise), keadaan jang panas, peribah. disangka panas sampai buruk, masa jang serba susah; dalam etipetang, kiranja hudjan tengah hari, djangan lah disangka keadaan jang baik akan tetap Stergelintjir r ^ f 1 ™kJa* dlhu>?ungkan dengan meleset, (bah. Djawa mlisid). selamanja, karena mungkin terdjadi ke adaan jang baik itu tiba2 akan berubah Sunda) periai; sek°lah ™ ™ k> sekolahi pamong pradja mendjadi buruk. panggalan, penggalan, galah. sebangsa kertjut atau kumbuh (scirpus) pangka (bah. Makas.), bila bermain kartu: m entang-m entang, pasti karena___ harten. m entera, djampi; mementerakan, mengutjap- pantai (bah. M in.), landai, miring, kan djampi diatas. pantang, pemali; berpantang kerendahan, m ersik, kering; getas, rangup. tidak mau mengalah. M ester, M r. Comelis, sekarang Djatinegara. p antau (bah. M in.), nama sebangsa ikan m injak, hitam bermmjak, hitam berkilat diair tawar. m p ok (bah. Djak. dan bah. pas.) kakak; pantjar, pantjaran, anak-tjutju. panggilan terhadap perempuan jang lebih pantjur, air ( me)mantjur (bah. M in.), djeram, tua dan pada kita. air terdjun. m u d arat, biasanja mularat, melarat (bah Ar p antu n, sepantun, seperti, sama dengan. mag.arrat) miskin, sengsara; disini dengan p arad am (bah. M in. dari bah. Bel. verdomd, arti ash: kerugian, penderitaan; mudarat verdomme); memparadam, menjumpah. pasi. lih. putjat. Pekerdjaan. M ulo (bah. Bel rugl M eerdiu§a Uitgebreid Lager patah, bunji peribah. begini: hendak tinggi ter Onderwijs), Sekolah Menengah Pertama. lalu djatuh, hendak pandjang terlalu patah.
patih (bah. Djawa), pegawai pangreh pradja dibawah regen (bupati). patroli (bah. Bel. patrouille), ronda, meronda untuk mendjaga keamanan. pelesit (bah. Min. palasi’ ), nama orang jang memakan majat kanak2 jang mati karena sakit merana. Penjakit itu didjangkitkan pelesit dengan ilmu sihimja. Sebab itu ditaruh duri diatas kuburan kanak2 dan didjaga kuburan itu beberapa lama, untuk mentjegah palasi' itu menghidupkan kem bali anak jang mati itu dengan memukul kuburannja itu dengan lidi enau. Maksud palasi’ itu ialah hendak menambunkan dan menjembelih anak itu. Darahnja diisap dari ubun-ubunnja, dagingnja dimakan, dan tulangnja ditumbuk untuk dimasukkan kedalam kopi. P en gh ulu K epala, gelar penghulu2 jang diangkat mendjadi kepala nagari oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu. Pang kat penghulu kepala ialah dibawah tuanku laras. Pada tahun 1913 pangkat jang terachir ini dihapuskan dan diganti dengan pangkat demang. Penjengat, nama pulau dekat Tandjung Pinang (Riau), tempat kediaman „radja muda” dan sebahagian dari orang2 besar negeri Riau. perabu (bah. Skr. dan bah. Djawa kuno prabhu, bah. Djawa prabu), radja atau ratu. peristiw a, segala — burung, segala jang berkenaan dengan burung. perlente, pesolek lagi berlagak sedikit (bah. Djawa: besus). persoonlijkheid (bah. Bel.), kepribadian. pesi, lih. putjat. pesirah, nama kepala marga (daerah) di Sumatera Selatan. petjak (bah. M in.), petjak (pipih) boleh dtlajangkan, bulat boleh digolekkan, kita setudju, pertikaian tidak ada lagi. pindjam , pindjaman kontrak, uang muka jang diterima bila membuat atau memperbarui perdjandjian, dan jang akan dipotong pada gadji jang diterima menurut konterak. pinta, permintaan (bah. Min.), nasib; pendek permintaan, jang nasibnja pendek umur. pintas, pintas-memintasi maksud, dikatakan tentang orang jang dalam pertjakapan berlainan maksud, pada hal mereka tidak insaf akan hal itu. pondik (bah. Min.), sombong. post, — polisi, kantor polisi. puntal, memuntal (bah. Min.), memka-mka; menjingkatkan. p un ten (bah. Sunda), ma'af! (dikatakan untuk memberitahukan datangnja bila masuk kedalam rumah orang dengan tidak melihat seorang djuapun. punting, pitting, bahagian dan pisau atau parang jang masuk kedalam gagang. puntja, udjung; — beliung, biasanja: puting
beliung, djuga: pusaran air; angin puting (puntja) beliung, angin topan. p u ra (bah. M in.), pundi-pundi, dompet. pu rb a, tua. pu rau , parau. puteri, disini: anak perempuan (seperti dalam bah. Skr. dan Djawa Kuno putri). putih, — tapak melarikan diri, lari setjepattjepatnja; — tulang, bila saja telah mati. putjat, — pasi (pesi) (bah. M in.), putjat Iesi, putjat sekali. putjuk, — ditjinta ulam tiba, .awak rindu kekasih datang, diterima lebih banjak dari jang diharapkan. putus, memutus rangkai, dikatakan tentang keinginan jang tidak puas; putus rangkai hati saja rindukan . . ., saja ingin benar akan . . . .; M . diberi keputusan silat, kepandaian silat M . disempurnakan. ragi (bah. M in.), tjorak (tenunan), tulisan; pandai meragi, dikatakan tentang seseorang jang tahu mengatur sehingga permai; baru kena raginja, baru bagus! ragu, meragu (bah. M in.), mengganggu, mendjadikan ragu. raih, peraih ikan, orang jang memborong ikan ditengah laut untuk didjual lagi, tengkulak; perahu jang dipakai saudagar ikan itu dinamakan peraih djuga. ram pak, direbahkan. ram u an , bahan-bahan; segala apa jang akan didjadikan obat, disini: kotoran (tjatjing, tahi dsb.) jang dibutuhkan untuk membuat obat bagi sihir sidjundai; obat itu harus dimakan perempuan supaja ditimpa penja kit gila. Rambut jang diminta dukun itu perlu untuk „gasing” (bah. Min. gasieng) jang dibuat dari sebagian tengkorak manusia; pada gasing itulah dilekatkannja ram but tadi. Sambil „bertapa pada air terdjun” didengung-dengungkannja gasing itu dan dibatjanja beberapa mentera; pekerdjaan ini dilakukan kira8 satu minggu lamanja, beberapa djam siang dan malam. Sementara itu maka kenalah obat tadi, dan mentera2 dukun itu memperhebat lagi bentjana jang menimpa perempuan jang malang itu. Demikianlah kepertjajaan orang! Biasanja orang jang tak dibalas tjintanja melakukan sihir ini, untuk melepaskan dendam. rangkai (bah. M in.), tangkai; memutus rangkai lih. putus. rangkaja, (bah. M in. rangkajo, urang hajo) gelar perempuan baik2. ransum (bah. Bel. rantsoen), perbekalan sehari-hari jang diberikan di pendjara dan di tangsi, atau oleh madjikan. rantau, sebenamja: daerah jang tidak masuk daerah Minangkabau asli (tiga luhak); oleh sebab itu artinja: negeri asing; merantau, pergi kenegeri asing.
rapot (bah. Bel. rapport), lapuran; merapotkan, melapurkan. rasi, serasi, sebenarnja: lahir pada rasi jang sama; sesuai, tjotjok. R atih (bah. Skr. Rati, napsu), isteri Kama, dewa pertjintaan. ratu angabaja, gelar Djawa kuno jang disebut dalam buku Pararaton 18:7; gelar ini dipakai oleh Narasingha jang memangku djabatan dibawah radja W isnuwarddhana. regang, meregang, menegangkan, mengentjangkan; meregang badan, (menegangkan badan bila) mengembus napas jang peng habisan (bandingkan dengan bah. Min. maragangi djio.). reguk (bah. Min.), teguk. rengat (bah. Min.), merengat, merembes. rengkah, rekah. xeok, keok. repeteer (bah. Bel.), senapang —, senapang jang diisi dengan lebih dari 1 peluru, sehingga dapat orang menembak beberapa kali berturut-turut. ripuk (bah. Min.), hantjur luluh, remuk. risau (bah. Min.), rusuh hati; merisaukan, merusuhkan. rukuk (bah, Arab, ruku'), membungkuk (istimewa pada ketika sembahjang), menekur. rum ah, berumah (bah. Min.), sudah kawin; mempunjai isteri di, misalnja: S i Anu berumah dikampung S., isteri si Anu diam dikampung S.; berumah dua, mempunjai isteri dua orang; rumah batu, rumah gadai. rum pang (bah. Min.), bersela, bertjelah (dikatakan ump. terhadap gigi, pagar dsb.); tak akan rumpangnja, tak kan putus8nja. rusuh (bah. Min.), susah hati, dukatjita. saku, anak — lih. anak. salah, salah angkuh (bah. Min. angkuh = rupa), tidak semestinja, ada salahnja, tidak senonoh (= salah periksa, salah roman). salam (bag. Bel. zalm), sebangsa ikan kaleng. sam a, mempersama-samakan (bah. Min.), menjerang bersama-sama. sam adi (bah. Skr. dan bah. Djawa kuno samadhi, bah. Djawa semidi), pemusatan pikiran dalam tepekur dengan maksud mengheningkan tjipta. Sandhyakalaning M ajapahit, „ waktu sendja keradjaan Madjapahit” , nama sebuah tonil karangan Sanusi Pane, sandjung (bah. Min.), menjandjung-njandjung, mengangkat-angkat, memudji-mudi. sanggah (bah. Bali), kuil ketjil jang berdiri dihalaman rumah. sangkak (bah. M in.), petarangan, terak; menjangkak (bah. Min.), tegak bulu, seram, bila marah atau terkedjut; hatinja __
ia sudah marah kalau melihat engkau. sasaran (bah. Min.), tempat berlatih. saur (bah. Min.), tersaur, ters(er)andung. schriftelijk (bah. Bel.), (dengan) tulisan. sederhana, djuga dikatakan terhadap bentuk badan: baik, tjotjok perbandingannja. segan, apakah jang ibu segankan kekantor pos itu? apakah jang ibu takuti bila pergi kekantor pos? sekaut (bah. Bel. schout), kepala polisi. sekolah (bah. Port, escola), — Radja, dahulu di Sumatera Barat: kweekschool, sekolah tempat mendidik guru2; ditempat lain H.B.S. (Hogere Burgerschool, Sekolab Menengah). selam , berselam air, tjara membuktikan bersalah-tidaknja dengan keadilan Tuhan. Siapa jang lebih lama menjelam itulah jang benar. selat (bah. M in.), tjelah, selat-selat kasur, tjelah-tjelah antara bahagian3 kasur. selindit, serindit. seluk (bah. Min.), berbelit-belit; destar seluk „tjiling menurun” , salah satu tjara mengikat destar, biasanja dipakai ole orang baik3 di Padang. .. sem arak (bah. Min.), seri; pepatah M®; padusi sumara' rumah, perempuan ser rumah. _ sem odera (bah. Skr., bah. Djawa kun samudra, bah. Djawa samodra), lautan. sem pelah (bah. M in.), ampas tebu, kelap dsb.; — dunia, sampah dunia, orang hina-dina. , . senapati (bah. Skr., bah. Djawa kuno, Djawa), panglima perang. ... sepah, menjepah (bah. M in., mengunj > disepah harimau! dimakan harimau 1 serang (bah. M in.), berserang, bertam a sersi (bah. Bel. recherche), mata-mata. sesap, nama pohon. ., , •, sesat,sesat surut, terlangkah kembali(pe n '->3' . T Kalau dibuat kesalahan maka harusia kembali kedjalan jang betul. setem pel (bah. Bel. stempel), tjintjin ’ tjintjin jang memakai tjap. sia, sia-sia, djuga: begitu sadja, , n?, tidak ada maksud apa2; dengan tidak p1 pandjang; menjia-njiakan, djuga: tia menghiraukan. siar (bah. Min.), menjiar, membakar. . Siauw, Siau, nama salah satu pulau Sangir. _ ... siddik, fadjar siddik (bah. Ar. fa d jr sa4W ’ samar muka sebelum matahari terbit. sila, silaan, hal mempersilakan; panggi*®1^ sipat, — kuping, tunggang langgang (banding' kan deng. djatuh bangun). sirap (bah. Min.), tersirap darahnja, te perandjat ia. . ,...an sirih, menjirihi (bah. Min.), menjadjiKai sirih atau rokok. melihat engkau,
Siti Zawijah, nama anak saudagar (dalam tjeritera jang sama namanja) jang kawin dengan Haris Fadillah radja Basrah. Tjeritera ini banjak dibatja orang dahulu. sjarat (bah. Ar. shart) i “. djandji, 2°. barang apa jang harus ada untuk melakukan sesuatu atau memperbuat sesuatu. Sjiwa-buda, wudjud jang paling tinggi; karena menurut pendapat ahli3 filsafah Djawa pada masa itu Sjiwa dan Buddha tidak lain dari dua nama bagi wudjud jang tunggal. songsong, — barat (bah. Min.), dalam tjeri tera2 badju jang dipakai peri untuk terbang kembali kekeinderaan. suku (bah. Min.), nama keempat kaum Koto, Piliang, Bodi dan Tjaniago. Dari keempat kaum inilah terbentuk masjarakat Min. dan kaum ini pula jang berdua-dua membentuk laras (Datua' Katumanggungan dan Parapatih Sebatang). Panghulu suku ialah ketua rapat kepala2 keluarga; keluarga2 itu dari satu suku dan tinggal bersamaama dalam satu ,,kampuang” . Penghulu suku ini dibantu oleh seorang malin, seorang manti, dan seorang dubalang; bersama-sama mereka disebut urang nan ampe' djinih (orang jang empat djenis). Madjelis permusjawaratan panghulu suku memperhatikan kepentingan nagari. suluk (bah. Ar. suluk, pergi dari djalan tasawuf), bah. Min. bersuluk, hidup berchalwat (berchalwat, kesutjian, dan tidak makan daging di Sumatera Barat dianggap tanda2 bahwa orang masuk tarekat Naksibandijah). sum bang (bah. Min.), gerak jang salah djika bersilat; salah; menjumbangkan langkah, membuat langkah jang salah. sunat (bah. Ar. sunnah), dikatakan terhadap hal2 jang kalau dikerdjakan mendapat pahala dan kalau tak dikerdjakan tak ber dosa pula; puasa sunat, puasa jang baik kalau dilakukan tetapi tidak diwadjibkan. sungging (bah. Min.), menjungging, berdiri kepala tunduk punggung naik keatas, tanda mengedjek. sungkah (bah. Mm.), menjungkah(kan), menjengam. sunu, menjunu = menunu (bah. Min. tasunu djantueng = sakit hati). surat, suratan, djuga: garis2 pada telapak tangan, djadi djuga: nasib (jang dibatja dalam telapak tangan). Maksud bahagian kedua dari pantun ini ialah: bukanlah karena kebetulan begitu buruk keadaan saja: adalah ini karena nasib saja. surut, bawa surut, mengundurkan, menghambat kemadjuan; — lalunja, terhambattidaknja sesuatu; terdjadi tidaknja. sutan (bah. Min.), gelar pemuda8 jang telah kawin jang paling rendah, biasanja mulai
dengan sutan; bersutan dimata beradja dihati (bah. Min.), berbuat sekehendaknja. tablik (bah. Arab. tablTgh), penjiaran peladjaran agama Islam; bertablik, berpidato hendak menjiarkan peladjaran agama. tahan, tahanan (bah. Min.), barang simpanan, persediaan. taktik (bah. Bel tactiek), dengan —, dengan muslihat. , T am belan, pulau —, nama sekumpulan pulau di Laut Tiongkok, jang masuk Pulau Tudjuh. tam buh, tambuhan, piring nasi jang kedua, tambahan. tam bunan (bah. Min.), timbun, tumpuk. tam pik (bah. Djawa), menampik, djuga: menolak (permohonan). tam puk, umur setahun djagung darah setampuk pinang, peribah. Min., untuk menundjukkan um ur jang masih muda benar. T anahw angko, nama sebuah kampung se belah Barat daja kota Menado. tangkup, tertangkup, (djatuh) tertelungkup. taras (bah. Min.), teras; peribah. Min. bertaras keluar (bagai pimping) dikatakan tentang orang jang suka melagak, padahal kantungnja kosong. tarekat (bah. Ar. tarlkah, djalan; metodos), djuga: tjara. tarik, menarik langkah seribuh, lari, taruh, mempertaruhkan, menjimpan pada orang; menitipkan; menggadaikan. tatal, tertatal, tertangkap dengan tatal jang memakai getah. tating (bah. Min.), tatang. . taw af (bah. Ar. tawdf), berdjalan mengedari Ka'bah 7 kali; orang mulai pada batu hitam, dengan gedung Ka'bah pada sisinja jang kiri. , , taw ar, setawar, nama sebangsa tumbuhan jang dipakai obat. tebat (bah. Min.), empang, tambak. tebe (bah. Bel. t.b., ialah: ter beschikking); amtenar tebe, pegawai jang diperbantukan. tebus, menebus mulutnja jang terdorong, menepati djandjinja jang terlandjur. tegah (bah. Min.), meiarang; lar^i^ n . ’tek (bah. Min.), kependekan dari ketek• ketjil; panggilan terhadap biai ketek, bibik. telang, sebangsa aur jang berair; tak air telang dipantjung, tak kaju djandjang dikeping, peribah.: orang harus tahu bertenggang; — danta, bambu gading. telinga, bertelinga lebar, menurut kepertjajaan orang, tanda orang pelesit, seperti tulang tongkeng jang pandjang tanda harimau djadi-djadian dan orang jang telah mendjadi kaja dengan pertolongan orang halus; telinga tebal, tebal muka; telinga tipis, lekas sakit hati. tem poh, liburan, tjuti. tengah, tengah dua, satu setengah.
ten gg ang (bah. M in.) budi bitjara, ichtiar; bertenggang, mentjari djalan; tak dapat bertenggang, putus asa, menenggang, mengingat, memperhatikan; menenggang hati, berlaku dengan mengingat keadaan, bertindak dengan memperhatikan orangnja; mempertenggangkan, berlaku dengan teliti; hidup dengan (gadjinja). tepis, menepis buih, terbang dengan menjelisir buih. teran g , terang-terang kain (bah. Min.), belum begitu terang. tikai (bah. Min.), bertikai pangkai, berselisih paham; pertikaian, perselisihan, perbedaan. tim bal, bertimbal, dikiri kanan. tinggal, rumah —, rumah jang tidak didiami lagi. tingkat (bah. Min.), meningkat, memandjat, naik. tiris, rumah gedang ketirisan (bah. Min.), dikatakan terhadap sesuatu rum ah jang rupanja dikutuki, sehingga orang diam disitu selalu kekurangan uang, perkawinan _ mendjadi rusak dsb. tja(m )pak, tertja(m)pak, terlempar; mentja' pakkan, melemparkan. tjari, mentjari (hal.2) = mentjari redjeki. tjatjah, tjetjah, setjatjah, sebentar, sedikit; . tertjatjah, tersentuh; bertjetjah, lih. u m p u k . tjelem pung, nama sebangsa bunji-bunjian, _ sebangsa geloneng. tjentang perenang (bah. Min.), porak-parik, porak peranda. tjentjang, — latih (bah. M in.), sawah, jadang, negeri jang dibuat dengan mene_ bang hutan. tjepua, rahasia; apa jang harus dirahasiakan. tjerrrun, betjermin bangkai, malu karena sesuatu kedjadian aib dalam rumahnja sendiri atau ahli familinja jg dekat; tjerminilah bangkai dahulu, lihatlah pada dirimu sendiri dahulu. ‘■ 1$ “ * mentjibir (bah. Min.), menggiringsing. tjiimg (bah. M in.; bah. Djawa tjiling), babi _ hutan; — menurun, lih. seluk. tjurang, tjulas; tidak djudjur. tonggok (bah. Min.), tenggek, tengger. tonil (bah. Bel. toneel), sandiwara. tu si poke (bah. Makas.), orang jang sedang bertikam-tikaman. tubir, tekis; ditubir bibir, dipinggir sekali. tua, dunia sudah — , dunia hampir kiamat, djadi djanganlah kita heran bila ada kedjadian jang aneh; bertua-tua (bah. Min.), menurut umur. tuan, di Min. dipakai terhadap orang jang berpangkat tinggi; tuanku ialah panggilan jang sangat hormat; Tuanku Laras, gelar kepala laras (daerah).
tukar, seiring
bertukar djalan lih. iring; bertukar pikiran, mendjadi gila; penukarnukar air selera, makanan jang Iain dari
biasa. tum buk, tertumbuk, terbentur; kandas; peribah. — biduk dikelokkan, — kata dipikiri, kalau pembitjaraan gagal, maka harus diperbintjangkan sekali lagi. tunduk, petunduk, sesuatu jang menundukkan; obat — , obat pelemahkan musuh. tunggang (bah. Min.), tunggang hati, tetap hati akan mengerdjakan sesuatu pekerdja an; tunggang hilang brani mati, tak takut mati (berkelahi, mempertahankan sesuatu); tunggang hilang tak hilang, siapa jang berani akan menang. tu ru n , menurun mandikan anak, membawa baji ketepian akan dimandikan, dengan upatjaranja. T ursin a (bah. Ar. T u r Sina') gunung, tempat nabi Musa (jang bergelar Kallmullclh, jaitu: orang jang dilawan berkata-kata oleh Tuhan) berbitjara dengan Tuhan. Oleh sebab itu bukit Tursina dalam tasawuf mendjadi lambang pertemuan dan per gaulan rahasia antara roh manusia dengan Tuhan. uak, wak (bah. Djawa), paman, panggilan terhadap orang tua*. ubah, mengubah-ubah air selera lih. tukar. udang, ada berudang dibalik batu (peribah. Min.), dibelakang perkataan ada lagi kehendak jang tersembunji. udjung, pandai berdjuang — lidah, pandai mendjawab dengan tjerdik; — lidah, djuga: djuru bitjara. u do (bah. M in.), abang, kakak. u ku r, seukur, m enurut (ukuran), sesuai. ulas (bah. Min.), sambung; mengulas, menjambung; menolong, m em bantu; tak berulas, tak bersambung sedikit djuga tanganku olehnja, tiada ia berguna bagiku barang sedikitpun. u m p u k (bah. Min.), longgok; berumpuk, berlonggok; sedikit dibagi bertjetjah, banjak dibagi —, selamanja dibagi m enurut besarketjilnja djumlah uang jang ada. undung, undung-undung (bah. M in.), kudung, (bah. Djak. kekudungan). upatjara, — keradjaan, tanda2 kebesaran. upik (bah. Min.), panggilan terhadap anak perempuan. usah (bah. M in.), djangan. wak, lih. uak. w a’Ilahu a‘lam (bah. Ar.), Tuhan jang lebih mengetahui.
IS I Tanah A i r ....................................................... Sutan Baringin kalah beperkara................. Dua D j a l a n ................................................... Ajah Sitti Nurbaja ditimpa malapetaka. . Tersua law an................................................... Gurau senda di i Saw al.............................. Nelajan Sangihe............................................... Pingkan dan M atindas.................................. Indonesia, T um pah-darahku ..................... G una-guna....................................................... Sepantun la u t................................................... Tari gadis di u lu a n ...................................... Dibawah lindungan Ka’b ah .......................... Gelap g e l i t a ................................................... Tjeritera N a s ib ............................................... Perm ainanm u................................................... Kasih tak te rla ra i........................................... D iam lah ............................................................ Anak p e le s it................................................... S a w a h ................................................................ Mimpi jang b u r u k ...................................... Ratna bekerdja di toko t j i t a ..................... Isteri pemberian i b u n j a .............................. Darimanakah d a ta n g n ja .............................. Kalau tak u n tu n g ........................................... Kehilangan m e s tik a ...................................... Kehilangan m e stik a ...................................... Bagi k e k a s ih ................................................... H a n ju t................................................................ Bukan beta bidjak b e rp e ri.......................... Beladjar s i l a t ................................................... Ni Rawit tjeti pendjual o r a n g ................. M e la ti................................................................ Dari Goa keSaw ahlunto.............................. Hanja S a tu ........................................................ Penghulu W ijk X ....................................... Ngarai Si A n o k ............................................... Injik U t i h ........................................................ Kalau pipit hendak djadi enggang. . . . Berdiri a k u ........................................................ Pertjakapan waktu s e n d j a .......................... Do’a p o ja n g k u ............................................... Puteri S e d a r .................................................... Sandhyakalaning M ajapahit.......................... Menudju k elau t............................................... Daftar k a ta -k a ta ...........................................
. (M. J a m in ) .................................................. . (Merari S ireg ar).......................................... . (M. J a m in ) ................................................... . (Mh. R u s li).................................................. . (M. K a sim )................................................... . (M. K asim )................................................... . (J. E. T atengkeng)...................................... . (H. M. T aulu)............................................... . (M. J a m in ) ................................................... . (S. Hardjosumarto dan A. Dt. Madjoindo) . (J. E. T atengkeng)....................................... . (St. T. A lisjah b an a).................................. . (H. A. M. K. A m ru llah )..................... . (R. E ffend i).................................................... . (Habib St. M ah a rad ja ).............................. . (Amir H a m z a h )........................................... . (Suman H. S .) ............................................... . (J. E. T atengkeng)....................................... . (Ardi Som a).................................................... . (A. H asjm y)..................•................................. . (A. St. Pamuntjak N. S . ) .......................... . (A. M u is)........................................................ . (A. M u is)........................................................ . (R. E ffendi).................................................... . (Selasih)............................................................ . (Ham idah)........................................................ . (A. K artahadim adja).................................. . (Sanusi P a n e ) ............................................... . (Nur St. Isk an d ar)...................................... . (R. E ffend i)................................................... . (Tulis St. S ati)............................................... . (I. Gusti Njoman P. T isno )..................... . (Sanusi P a n e ) ............................................... . (H. S. D. M u n tu ) ....................................... . (Amir H a m z a h )........................................... . (A. Dt. M a d jo in d o ).................................. . (Rifai A li)........................................................ . (H. A. M. K. A m ru llah ).......................... . (Nur St. Isk an d ar)....................................... . (Amir H a m z a h )........................................... . (St. T . A lisjah b an a).................................. . (Amir H a m z a h )........................................... . (St. T . A lisjah b an a).................................. . (St. T . A lisja h b a n a ).................................. . (St. T. A lisja h b a n a )..................................
3 7
8
14 16 18
19 28
30 34 35 39 42 43 47 48
58 59 68 69 84 87
97
98 10 3 108 108 109 116 117
133 142 143 162
163 176 177 182 213 214 222 223 230
239 240
U NI VE RS 1T AS I N D O N E S I A
sr
p e r p u s t a k a a n
’%§& TglTkem bali
t g l. kem bali
Perpustakaan UI
Perpustakaan FIB UI