PENGATURAN TERHADAP PERSEKUTUAN PERDATA, FIRMA DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER
MAKALAH
DIAJUKAN DALAM RANGKA DISKUSI PEMBAHASAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, FIRMA DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER YANG DISELENGGARAKAN OLEH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM DI HOTEL MAHARANI JAKARTA, TANGGAL 1 NOVEMBER 2011
OLEH DR. MUNIR FUADY, S.H., M.H., LL.M. (Dosen Hukum, Advokat, dan Kurator) Telp : (021) 30040107-30040108 HP : 0811997317
JAKARTA 2011
1
www.djpp.kemenkumham.go.id
PENGATURAN TERHADAP PERSEKUTUAN PERDATA, FIRMA DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER OLEH : DR. MUNIR FUADY, S.H., M.H., LL.M.
1. PEMBAHASAN TERHADAP PERSEKUTUAN PERDATA
Model berbisnis dengan persekutuan perdata banyak dilakukan dalam praktek, dengan berbagai variasinya. Sedemikian banyak variasinya sehingga undang-undang harus memberikan rambu-rambu yang jelas sampai seberapa longgar yang dapat diberikan terhadap suatu bentuk usaha agar masih
dapat dikategorikan sebagai suatu
persekutuan perdata. Katakanlah misalnya persekutuan perdata model sebuah kantor hukum yang ketat hubungan di antara para parner, sampai dengan sebuah perkumpulan bisnis yang hanya merupakan semacam sekretariat bersama semacam prakter dokter bersama, yang praktis tidak ada persekutuan modal sama sekali, kecuali hanya pemikulan ongkos-ongkos yang dilakukan secara bersama-sama. Menurut hemat penulis, sesuai dengan namanya, maka suatu perkumpulan baru dapat dikatakan sebagai suatu persekutuan perdata manakala terdapat unsur-unsur antara lain : 1. Bernaung di bawah suatu nama tertentu. 2. Suatu model bersama, jadi terdapat adanya semacam persekutuan modal. 3. Adanya pengurus, yang bertugas mengurus kepentingan perrsekutuan. 4. Adanya pembagian keuntungan dari persekutuan perdata di antara para sekutu. 5. Tanggung jawab harus dipikul sendiri-sendiri
di antara para partner, kecuali
tanggung jawab yang berasal dari kepengurusan persekutuan yang harus dipikul oleh persekutuan itu sendiri, yang apabila tidak mencukupi maka beban tanggung jawab juga dibebankan kepada masing-masing para sekutu. 2
www.djpp.kemenkumham.go.id
Karena itu sebuah kantor hukum biasanya masih dapat dikatakan sebagai sebuah persekutuan perdata, sedangkan praktek bersama di antara para dokter belum dapat dikatakan sebagai sebuah persekutuan perdata, mengingat tidak ada keuntungan yang dibagi, tidak ada modal yang bersekutu, bahkan seringkali
tidak ada pula nama
bersama. Akan tetapi pengaturan terhadap sebuah kantor hukum misalnya juga masih banyak terdapat variasi. Karena itu, ada baiknya pengaturan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab hukum dari masing-masing sekutu dalam suatu persekutuan perdata diatur sedemikian rupa sehingga dapat menampung semua versi persekutuan perdata yang terdapat dalam praktek. Dalam hal ini adalah harus jelas mana pengaturan yang merupakan hukum memaksa, sehingga tidak dapat dikesampingkan oleh para sekutu, dan mana yang merupakan hukum mengatur sehingga para sekutu dapat mengatur sendiri bagaimana maunya dengan menyimpang dari pengaturan yang ada. Dalam praktek sebuah kantor hukum misalnya, terdapat praktek persekutuan perdata antara lain sebagai berikut : 1. Dalam bentuk “Law Firm.” Bentuk ini sebenarnya tidak lagi tergolong ke dalam sebuah persekutuan perdata tetapi, sesuai namanya, sudah termasuk ke dalam persekutuan firma, sehingga sering disebut juga sebagai “firma hukum.” Akan tetapi, karena para sekutu dalam sebuah firma hukum adalah para lawyer, yang merupakan
para
professional,
yang
selaku
professional dituntut
untuk
bertanggung jawab sendiri-sednri secara professional, yang disebut dengan tanggung jawab professional, maka bawaan dari sifat-sifat persekutuan perdata masih jelas kelihatan dalam hal ini. 2. Dalam bentuk “Law Office.” Dalam hal ini, persekutuan di antara para sekutu bernaung di dalam sebuah nama dalam suatu kantor, in casu kantor hukum. Berbeda dengan bentuk law firm (firma hukum) yang lebih mendekati bentuk persekutuan firma, maka bentuk law office (kantor hukum) mendekati persekutuan perdata, atau yang dikenal dengan bentuk “partnership.” Maskipun begitu, istilah “partnership” ini sebenarnya merupakan suatu istilah “umum” yang 3
www.djpp.kemenkumham.go.id
dalam sistem hukum di beberapa Negara istilah “partnership” ini bahkan ditujukan juga terhadap persekutuan dalam bentuk firma, sementara dalam sistem hukum Indonesia dahulu kala ikatan usaha dalam bentuk kemitraan ini sering juga disebut dengan istilah “kongsi” atau “maskapai” yang merupakan ejaan bahasa Indonesia terhadap istilah “maatschap” yang memang merupakan suatu persekutuan perdata. Karena itu, saat itu di Indonesia dikenallah apa yang disebut dengan “Maskapai Andil Indonesia.” 3. Dalam bentuk “Law Offices.” Dalam “kantor-kantor hukum” (law offices) ini, terdapat banyak kantor hukum, yang dimiliki oleh masing-masing partner. Seolah-olah masing-masing sekutu memiliki kantor hukum sendiri-sendiri sehingga bertanggung jawab sendiri-sendiri meskipun mereka bernaung dalam sebuah nama kantor hukum. Jadi ikatan, demikian juga tanggung jawab,
di
antara masing-masing sekutu sangat longgar. Sebagai sebuah kantor tempat bernaungnya para professional, maka bentuk ini dipandang lebih ideal untuk sebuah persekutuan untuk memberikan jasa-jasa hukum. Di samping itu, kedudukan, hak, kewajiban, tanggung jawab dan pembagian keuntungan di antara para sekutu di masing-masing kantor hukum juga berbedabeda. Terhadap para sekutu misalnya terdapat banyak jenisnya dan banyak tingkatannya, antara lain sebagai berikut : 1. Ada partner pendiri. 2. Ada partner biasa. 3. Ada partner diangkat (yang biasanya hanya di gaji, yang kalaupun ada pembagian keutungan untuknya, persentasenya sangat kecil). 4. Ada partner pengurus (managing partner), baik yang berasal dari partner diangkat maupun yang berasal dari partner biasa, bahkan mungkin juga berasal dari partner pendiri. Yang namanya dapat diangkat menjadi nama suatu kantor hukum biasanya para partner pendiri yang kadang-kadang ditambah dengan nama partner biasa. 4
www.djpp.kemenkumham.go.id
Apa yang diharapkan dari pengaturan tentang persekutuan perdata adalah hendaknya pengaturan tersebut dapat mencakup berbagai bentuk alternatif kemitraan (partnership) tersebut di atas. Di samping itu, perlu juga dicari istilah dan singkatan yang tepat untuk persekutuan perdata ini. Apakah dipakai singkatan PP (persekutuan perdata), ataupun dipakai istilah yang tempo hari dipakai di Indonesia yaitu istilah “maskapai.” Jadi ada misalnya suatu persekutuan perdata yang disebut dengan nama “PP Tarmizi & Rekan” yang berarti persekutuan perdata yang bernama Tarmizi & Rekan. Menurut hemat penulis, istilah singkatan seperti ini mesti disebut dengan tegas dalam undang-undang. Selanjutnya, dalam hal pembubaran suatu persekutuan perdata, perlu dibeda-bedakan antara pembubaran by the operation of law (demi hukum) dengan pembubaran dalam arti voidable (dapat dibubarkan). Dalam hal ini, persekutuan perdata akan bubar demi hukum manakala misalnya jangka waktunya berakhir, atau karena telah selesainya kegiatan usahanya. Sedangkan persekutuan perdata “dapat” dibubarkan jika misalnya terjadi musnahnya barang yang diinbrengkan, keluarnya atau meninggalnya salah satu atau lebih para sekutu, adanya kesepakatan para sekutu untuk pembubaran, persekutuan melakukan pelanggaran hukum, melanggar kepentingan umum, dan sebagainya.
2. PEMBAHASAN TERHADAP PERSEKUTUAN FIRMA
Berkenaan dengan hak, kewajiban, tanggung jawab, kewenangan dari para sekutunya, maka dibandingkan dengan bentuk persekutuan perdata, bentuk persekutuan firma ternyata lebih seragam dan tidak terlalu banyak variasi. Jelas bahwa masing para sekutu akan bertanggung jawab secara renteng terhadap tindakan yang dilakukan oleh
5
www.djpp.kemenkumham.go.id
setiap para sekutu, yang dalam bahasa populernya disebut dengan sistem tanggung jawab “jointly and severally.” Selanjutnya, dalam hal penggunaan istilah, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa istilah lama yang sudah merakyat sudah tepat untuk dipakai kembali yaitu istilah firma, yang disingkat dengan “Fa” yang ditaruh di depan nama firma tersebut. Kemudian, sama seperti terhadap suatu persekutuan perdata, maka terhadap pembubaran suatu firma juga perlu dibeda-bedakan antara pembubaran by the operation of law (demi hukum) dengan
pembubaran dalam arti voidable (dapat
dibubarkan), sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
3. PEMBAHASAN TERHADAP PERSEKUTUAN KOMANDITER
Beberapa hal yang telah diuraikan di atas berlaku juga terhadap pembahasan mengenai persekutuan komanditer ini, sepeti adanya pemisahan antara “bubar” dan “dapat dibubarkan” sebuah persekutuan komanditer. Sedangkan untuk istilah persekutuan komanditer, seperti telah disampaikan dalam kesempatan sebelumnya, panulis masih merasa kurang pas apabila masih dipakai istilah atau singkatan “CV” untuk suatu persekutuan komanditer. Dalam hal ini patut dicari istilah atau singkatan bahasa Indonesia untuk itu. Penulis masih berpendapat jika untuk suatu “Perseroan Terbatas” dipakai istilah singkatan “PT” (bukan NV), kenapa untuk suatu “Persekutuan Komanditer” masih disingkat “CV” bukan misalnya “PK” yang merupakan kependekan dari istilah “Pesekutuan Komanditer.” 4. PENUTUP Dalam mengatur tentang persekutuan perdata, persekutuan firma dan persekutuan komanditer, pengaturannya sangat berbeda-beda satu sama lain. Akan tetapi demikianlah yang dibutuhkan dalam praktek. Hakikat persekutuan perdata yang sangat heterogen, sehingga diperlukan suatu aturan yang lentur, sedangkan hakikat 6
www.djpp.kemenkumham.go.id
persekutuan firma yang
lebih homogen, sehingga membutuhkan suatu pengaturan
yang homogen pula. Sedangkan hakikat
persekutuan komanditer lebih merupakan
persekutuan yang “banci.” Dalam arti di satu pihak dia lebih bersifat firma (bagi sekutu komplimenter), sehingga pola pengaturannya lebih seperti pengaturan terhadap firma, sedangkan dalam penampakannya yang lain, persekuatan komanditer lebih dekat ke peseroan terbatas (untuk sekutu komanditer), sehingga sampai batas-batas tertentu aturan hukum yang ada dalam undang-undang tentang perseroan terbatas sampai batas-batas tertentu harus diikuti pula. Selanjutnya, di antara bentuk-bentuk persekutuan perdata, firma dan persekutuan komanditer terdapat juga hal-hal yang sama, sehingga diperlukan pengaturan yang serupa pula. Misalnya, pengaturan tentang kewajiban pendaftaran, sehingga ke tiga bentuk tersebut mestinya mempunyai kewajiban untuk didaftarkan. Jadi yang harus didaftarkan bukan hanya firma atau perseroan komanditer saja. Meskipun begitu, menurut hemat penulis, diperlukan pengaturan tentang suatu tindakan “ratifikasi” terhadap tindakan-tindakan yang telah dilakukan sebelum pendaftaran sehingga tindakan-tindakan tersebut dapat berubah status menjadi suatu tindakan perseroan. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Jakarta, 1 Nopember 2011 Penulis/Pembahas Ttd DR. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M.
7
www.djpp.kemenkumham.go.id