Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan. Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi
sel
B,
peningkatan
jumlah
sel
yang
menghasilkan
antibodi,
hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun. Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4. Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. Sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity. Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T. Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan
sel
B
yang
teraktivasi
menyebabkan
terjadinya
hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada
sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik)
dan
CD4+
(inducer/helper).
SLE
ditandai
dengan
peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+. Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi. Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan. Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa .Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan
mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya. Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2.
Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL Negatif
: < 70 IU/mL
Positif
: > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti dsDNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun.
Antinuclear antibodies (ANA)
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La). Tes laboratorium yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
Pengobatan 1.
NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal janin. 2.
Kortikosteroid Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. 3.
Antimalaria Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis harian dan kumulatif, Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. 4.
Immunosupresan
Azathioprine Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan: mengurangi
biosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan tubuh.
Mycophenolate mofetil Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis purin,
proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan siklofosfamid, MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau alopecia (kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada azathioprine.
Methotrexate Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang diklasifikasikan
sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk modulasi produksi sitokin. Digunakan seminggu
sekali dan jika diperlukan diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak pada hari yang sama dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi risiko efek samping.
Cyclosporin Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan
penurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan kreatinin serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi sehingga pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting.
Cyclophosphamide Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang
mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir. Telah terbukti meningkatkan efek pengobatan terhadap pasien lupus ginjal dibandingkan hanya diberikan steroid saja. Obat ini juga banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan penyakit paru berat.
Rituximab Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial dalam
perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan kombinasi dengan methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan penurunan tingkat autoantibodi. Saat ini Rituximab termasuk salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus.
TUGAS IMUNOGEN PENYAKIT AUTOIMUN “SLE (Systemic Lupus Erythematosus).”
Oleh: AGDILA OKKE KALISTASARI NIM. 115130107111016
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014