LSM LAPINDA BIDOS (BIMA-DOMPU-SUMBAWA) PRO OTONOMI DAERAH
Latar Belakang : Korupsi Dalam Otonomi Daerah Otonomi Daerah adalah kebijakan yang menghargai pemerintahan daerah sebagai bagain dari negara. Dalam Pasal 18 UUD 1945, Negara ndonesia memposisikan pemerintahan daerah sebagai institusi yang memiliki kekuasaan dan kewenanga untuk mengatur
daerahnya
sesuai
peraturan
perundag-
undangan.
Dalam
proses
perjalanannya, peraturan hukum yang mengatur tentang otonomi daera selalu mengalami perubahan (baca sejarah). Perubahan itu adalah perubahan menuju arah yang demokratis. Undang- Undang 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah adalah undang- undang yang lahir di era reforamasi dan dinilai sebagai peraturan hukum yang demokratis. Melalui Undang- Undang ini, otonomi daerah diposisikan pada konteks otonomi luas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof Dr. M. Mas’ud Said, PhD (pakar otonomi daerah), ada lima dasar alasan bagi penetapan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah diantaranya : Yang pertama, adanya persepsi bahwa otonomi daerah akan bisa memberdayakan pemerintahan daerah dan masyarakat daerah. Para perancang otonomi daerah UU otonomi daerah yang baru tampaknya yakin bahwa salah satau carea terbaik untuk memajukan dan untuk memberikan ruang kesempatan bagi masyarakat daerah untuk menentukan kebijakan mereka sendiri agar bisa mewujudkan kesejahteraan daerah ialah dengan melaksanakan otonomi daerah. Yang kedua, adanya keyakinan bahwa otonomi daerah akan membantu menciptakan tercapainya prinsip pemerintaha yang demokrati dengan menjamin partisipasi, kesetaraan, dan keadilan yang lebih besar kepada daerah. Yang ketiga, otonomi daerah akan bisa meningkatkan peran Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan daerah dan memberdayakan mereka sebagai pengwasan demi terciptanya pengelolaan pemerintahan daerah yang lebih demokratis karena fokus dan lokus dari pendelegasian kewenangan akan
diberikan pada level kabupaten/kota dan dalam tingkatan yang lebih rendah juga kepada pemerintaha provinsi. Yang keempat, otonomi daerah diterapkan untuk mengantisipasi meningkatnya tantangan dan tuntutan baik dari dalam negeri maupun diluar negeri. Dalam hal ini peran lembaga donor dan para penasehat internasional tampak jelas paling tidak dalam dua hal. Yang pertama, dalam proses penyusunanan UU dimana GTZ, sebuah lembaga donor pemerintah Jerman dan lembaga donor yang lain turut membantu tim perancang dalam merumuskan konsep otonomi daerah. Yang kedua, pada saat IMF mewajibkan pemerintah Indonesia untuk menjamin diterapkannya proses otonomi daerah sebagaimana yang disyaratkan dalam Letter of Intent IMF tahun 2001/2002. Yang kelima, otonomi daerah diterapkan sebagai sebuah upaya untuk melestarikan bentuk – bentuk pemerintahan daerah yang bersifat tradisional, termasuk pemerintahan ditigkat desa. Menurut Prof M. Ryaas Rasyid (perancang Undang-Undang Otonomi Daerah) sebagaimana yang dikutip Mas’ud Said, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia merupakan sebuah kebijakan yang strategis. Bertolak dari konsep teoritik tersebut, bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berjalan satu dasawarsa lebih ini menuai banyak persoalan, diantaranya : kuatnya budaya korupsi ditingkat lokal, pemerintah daerah merasa kuasa tunggal, terjadinya konflik horizontal. Mengutip lapora akhir tahun Indonesia Coruption Watch (ICW) tahun 2004 menegaskan : Otonomi daerah di Indonesia yang sudah berjalan sekian tahun tidak membawa pengaruh yang positif bagi daerah, tetapi justru menyuburkan tindakan korupsi. Praktik korupsi kian menyebar dan melibatkan semakin banyak aktor terutama lembaga eksekutif dan legislatif daerah. Otonomi daerah yang awalnya merupakan konsekuensi logis dari penerapan desentralisasi kekuasaan dan kewenangan untuk membangun daerah menjadi desentralisasi untuk menyebarkan korupsi diaras lokal (daerah). Dadang (koordinator ICW) mengutip pendapat Legowo (2001) mengatakan, penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah yaitu program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Karenanya program otonomi daerah hanya
memberi peluang kepada elite lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Masyarakat harus berperan aktif dalam proses pengambilan kebijakan daerah, misalnya dalam penyusunan anggaran daerah (APBD), pada tahap perencanaan (masyarakat terlibat aktif dalam musrenbang), penetapan (masyarakat ikut menentukan Kebijakan Umum Daerah dan Prioritas Plafon Anggaran (PPA)), pelaksanaan (masyarakat mengontrol proses realisasi anggaran), evaluasi (masyarakat ikut mengkaji,
menelaah,
meneliti,
menanggapi,
dan
mengkritisi
Laporan
Pertanggungjawaban pemerintah daerah atas realisasi anggaran). Peran aktif masyarakat dalam proses penyusunan APBD akan meminimalisirkan munculnya istilah APBD yang dikatakan oleh Novita Dwi. Bahwa APBD untuk memperkaya anggota dewan (DPRD) dan Bupati beserta jajarannya, APBD merupakan pundi-pundi kekayaan negara yang enak untuk dinikmati sendiri dan dinikmati beramai-ramai, penyusunan APBD oleh DPRD dan kepala daerah seringkali melahirkan proyek dengan pembengkakan dana, tanpa melihat kebutuhan masyarakat luas, nilai kegunaan dari proyek
dinilai
kurang
bahkan
terkesan
menghamburkan
uang
rakyat.
Menurut Mas’ud Said, perilaku korupsi birokrasi di daerah dapat berdampak pada hilangnya modal finansial daerah, hilangnya modal sosial di daerah, hilangnya modal fisik di daerah, dan hilangnya modal manusia di daerah. Jika demikian, Otonomi daerah yang dianggap sebagai kebijakan populis tidak dapat terwujud dengan baik, mala sabaliknya yaitu membanghambat pembangnan daerah. Kalangan akademisi, praktisi, dan politisi menganggap, untuk mewujudkan otonomi daerah yang diidealkan perlu adanya asas tranparansi, partisipatif, dan keadilan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dan ini perlu didukung oleh lembaga independen sebagai mitra masyarakat dan pemerintah daerah. Inilah yang melatarbelakangi berdirinya Lembaga Anti Korupsi Pro Otonomi Daerah – Bima Dompu Sumbawa yang disingkat LAPINDA – BIDOS. Sekilas LAPINDO – BIDOS Lembaga Anti Korupsi Pro Otonomi Daerah – Bima Dompu Sumbawa selanjutnya disingkat LAPINDA – BIDOS adalah lembaga independen (LSM) yang bergerak pada pemberdayaan masyarakat beserta pemerintahan daerah dalam bingkai otonomi
daerah. Lembaga ini didirikan pada tanggal 1 Januari 2010 oleh beberapa anak bangsa yang peduli pada pembangunan daerah, khususnya di daerah Bima Dompu Sumbawa. Tujuan didirikannya LAPINDO – BIDOS yaitu untuk meningkatkan kualitas dan pemahaman masyarakat beserta pemerintah daerah dalam memberikan dukungan perjalanan Otonomi Daerah yang menjunjung tinggi asas Transparansi, Partisipatif, Keadilan, dan Anti Korupsi.Status Lembaga ini adalah sebagai wadah berhimpun para anak bangsa yang terpanggil jiwanya untuk memperkuat Otonomi Daerah yang bersih, transparansi, partisipatif, dan profesional di Daerah Bima Dompu Sumbawa. Lembaga ini institusi Non Pemerintah (LSM) sekaligus organisasi profesi yang bersifat independent, terbuka, mandiri, tidak berorientasi pada pencarian keuntungan (Non Profit) dan tidak diskriminasi. D. Kenapa LAPINDA - BIDOS? Berdasarkan penelitian Mas’ud Said tentang otonomi daerah di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) (hasil penelitiannya sudah dibukukan dengan judul ”Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia), menggambarkan bahwa ada beberapa kemajuan partisipasi masyarakat dalam mengawasi pembangunan daerah setelah diterapkan Otonomi Daerah. Kemajuan itu seiring dengan intensitas dari pelaksanaan pemerintahan yang lebih baik. Sejak munculnya keterbukaan yang lebih luas, beberapa praktik korupsi telah diungkapkan ke publik. Ini berkat adanya peran aktif masyarakat (media massa dan
LSM)
di
era
otonomi
daerah.
Media massa/LSM nasional dan daerah, seperti Kompas, Lombok Pos, Jawa Pos, dan LSM Forum Lintas Pelaku, SOMASI, Forum Kota Sehat dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan SIBER telah meningkatkan tekanan mereka terhadap pemerintah daerah. Hanya saja media massa tersebut fokus perhatianya terpusat pada ibu kota propinsi yaitu Mataram, sedangkan daerah- daerah yang jauh dari ibu kota, seperti Bima, Dompu, dan Sumbawa masih belum menjadi perhatian media massa/LSM tersebut. Oleh karena itu, LAPINDA – BIDOS memfokuskan perhatinya pada daerah Bima, Dompu, dan Sumbawa. Meskipun demikian, LAPINDA BIDOS tidak menutup kemungkinan untuk bergerak ke tingkat propinsi dan nasional. Mitra LAPINDA – BIDOS
LAPINDA – BIDOS bermitra dengan Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), organisasi- organisasi sosial lainya yang konsen pada bidang yang sama, pengusaha, perguruan tinggi, media massa cetak/elektronik baik nasional maupun lokal,dan lembaga pemerintah pusat dan daerah. Metode Arah Gerak LAPINDA - BIDOS Ada tiga pendekatan yang digunakan LAPINDA – BIDOS dalam mencapai tujuan tersebut, diantaranya : Pendekatan Eduktaif, Pendekatan Pengawasan (control), dan Pendekatan Aplikatif. Pendekatan edukatif adalah model yang digunakan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat dan pemerintahan Daerah untuk memahami hakikat otonomi daerah yan bersih (Anti Korupsi), transparansi, dan partisipatif dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan,
misalnya
pada
proses
penyusunan
program
pembangunan, penyusunan anggaran, pembuatan peraturan daerah, dll. Pendekatan pengawasan adalah model yang digunakan untuk memantau proses pembangunan daerah yang dibagi kedalam dua bentuk pengawasan diantaranya: pengawasan persuasif dan prefentif. Pengawasan persuasif dilakukan pada evaluasi kebijakan
daerah.
Pengawasan
prefentif
dilakukan
pada
proses
penetapan
pengambilan kebijakan daerah. Pendfekatan Aplikatif adalah model fasilitator sebagai mitra masyarakat luas dan pemerintahan daerah dalam merumuskan segala program pembangunan daerah. Arti mitra adalah LAPINDA – BIDOS sebagai fasilitator dalam merumuskan program pembangunan daerah, dan membuat draf akademik peratura daerah (perda). Target yang ingin dicapai pada model tersebut, diantaranya : terwujudnya masyarakat yang sadar akan pentingnya pemberantasan korupsi, terwujudnya good will pemerintahan daerah untuk mewujudkan tatakelolah pemerintahan yang bersih, transparansi dan partisipatif sesuai dengan arah otonomi daerah pada proses pembangunan daerah, terlibatnya masyarakat dalam proses pembangunan daerah secara aktif, lahirnya produk hukum daerah yang berpihak pada masyarakat luas. Dari sekian target tersebut adalah bentuk nyata dari hakikat otonomi daerah. Program Utama LAPINDA – BIDOS
1. Pelatihan Pendidikan Anti Korupsi. Mengingat korupsi di daerah masih merajalela dan adanya pemahaman masyarakat yang minim atas tindakan korupsi, maka kegiatan ini dipandang perlu untuk dilakukan guna mewujudkan pemahaman yang sama atas kejahatan tindak pidana korupsi. Sasaran dalam kegiatan ini adalah masyarakat, pemerintah daerah, pengusaha, pergura tiggi yang ada di daerah setempat, dan instansi vertikal pemerintah yang adad di daerah setempat. Kegiatan ini bekerjasama sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan pemerintah daerah setempat. Pelatihan Pendidikan Anti Korupsi ini dilakukan secara maraton di daerah Bima Dompu Sumbawa. 2. Pelatihan Legal Drafting (pembuatan peraturan perundang-undangan dan penyusunan program pembangunan daerah). Mengingat minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan peraturan hukum di daerah, banyaknya produk hukum yang masih banyak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yan lebih tinggi, minimnya kreatifitas pemerintah daerah dalam membentuk peraturan daerah dalam meningkatkan Pendapatan Daerah, maka kegiatan ini dipandang perlu untuk dilakukan. Kegiatan ini bekerjasama dengan Institut Parlemen Pemuda Indonesia (IPPI), Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Perguruan Tinggi Setempat, dan Pemerintah Daerah setempat. Visi – Misi LAPINDA – BIDOS Visi LAPINDA – BIDOS adalah menjadikan LAPINDA – BIDOS sebagai organisasi yang menjunjung tinggi Otonomi Daerah yang tranparansi, partisipatif, keadilan, dan anti Korupsi dalam pembangunan daerah. Misi LAPINDA – BIDOS adalah Menempatkan LAPINDA – BIDOS sebagai mitra pemerintahan daerah, masyarakat daerah, pengusaha, perguruan tinggi, media cetak/elektronik, dan organisasi sosial lainnya dalam mewujudkan pembangunan daerah sesuai dengan arah otonomi daerah yang menjunjungtinggi asas transparansi, partisipatif, keadilan, dan anti korupsi. Fungsi, Peran, Dan Usaha Lapinda – Bidos Lembaga ini berfungsi :
1. Sebagai sarana untuk mewujudkan persatuan dan alat perjuangan untuk menghentikan praktek-praktek penjajahan modern, pembodohan masyarakat, utamanya menentang Korupsi. 2. Sebagai sarana pembinaan dan pengembangan sikap mental anak Negeri menuju kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik. 3. Sebagai wahana komunikasi, konsultasi dan koordinasi berbagai langkah strategis untuk menata pemerintahan daerah yang baik (Good Governance). 4. Sebagai stabilisator, fasilitator dan integrator
masyarakat peduli dalam
membangun daerah yang demokratis. 5. Sebagai lembaga kontrol, riset, pembuat draf kebijakan, kajian kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan daerah, publikasi , advokasi, pendampingan peradilan dan pengawasan sejumlah pembangunan daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah dan Swasta. 6. Sebagai partnership Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi yang bertumpu pada kemandirian lokal. 7. Sebagai mitra kerja dunia usaha, Perguruan Tinggi dan Lembaga-lembaga lokal lainnya dalam penerapan pelaksanaan kegiatan yang bersih, transparan dan profesional. Lembaga ini berperan : 1. Sebagai Sumber Daya Sosial yang berperan aktif dalam proses percepatan pembangunan daerah yang bersih, tranparansi, partisipatif, keadilan, dan anti korupsi. 2. Sebagai media kaderisasi anak bangsa untuk mendukung perjalanan otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab. 3. Sebagai mitra konsultasi upaya pembangunan daerah secara Partisipatif. 4. Sebagai pengembang jaringan kemitraan dengan berbagai pihak dalam mewujudkan cita-cita bersama pada tegaknya supremasi hukum dan tata pemerintahan yang baik untuk mewujudkan kesejahteraan secara menyeluruh.
Lembaga ini berusaha : 1. Memantapkan pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah yang berkeadilan. 2. Berpartisipasi aktif, konstruktif dalam setiap proses Pembangunan daerah. 3. Meningkatkan komitmen dengan Pemerintah, Organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, para media cetak/elektronik dalam mengawal pembangunan daerah yang transparan, partisipatif, dan anti korupsi. Susunan, Kedudukan, Dan Pengurus Lapinda – Bidos Lembaga ini terdiri dari Badan Pendiri dan Badan Pengurus. Badan Pengurus terdiri dari Pengurus Pusat dan Pengurus Cabang. Badan Pengurus Pusat dan Sekretariat LAPINDA – BIDOS berkedudukan di Kabupaten Dompu. Pengurus Cabang LAPINDA – BIDOS dan Sekretariat berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten/Kota.