[Logo] PERSETUJUAN PENANAMAN MODAL MENYELURUH ASEAN Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Demokrasi Rakyat Laos, Malaysia, Uni Myanmar, Republik Filipina, Republik Singapura, Kerajaan Thailand, dan Republik Sosialis Vietnam, Negara-negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (“ASEAN”) selanjutnya secara bersama-sama disebut “Negara-negara Anggota” atau secara sendiri-sendiri “Negara Anggota”. MENGINGAT keputusan-keputusan pada Pertemuan Para Menteri Ekonomi ASEAN (“AEM”) ke-39 yang diselenggarakan di Kota Makati, Filipina, pada tanggal 23 Agustus 2007 untuk merevisi Persetujuan Kerangka Kerja tentang Kawasan Penanaman Modal ASEAN yang ditandatangani di Kota Makati, Filipina, pada tanggal 7 Oktober 1998 (“Persetujuan AIA”), sebagaimana yang telah diubah, menjadi suatu perjanjian penanaman modal menyeluruh yang berwawasan ke depan, dengan bentukbentuk dan ketentuan-ketentuan yang telah diperbaiki, sebanding dengan kebiasaan-kebiasaan internasional terbaik dalam rangka meningkatkan penanaman modal diantara negara-negara ASEAN serta untuk meningkatkan daya saing negara-negara ASEAN dalam menarik aliran masuk penanaman modal ke dalam ASEAN. MENYADARI perbedaan tingkatan pembangunan di dalam Negara-negara ASEAN, terutama di Negara-negara Anggota terbelakang yang membutuhkan fleksibilitas, termasuk perlakuan khusus dan membedakan, untuk mencapai masa depan ASEAN yang lebih terpadu dan saling tergantung. MENEGASKAN KEMBALI perlunya langkah ke depan dari Persetujuan AIA dan Persetujuan ASEAN untuk Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal yang ditandatangani di Manila, Filipina, pada tanggal 15 Desember 1987 (“ASEAN IGA”), sebagaimana telah diubah, dalam rangka meningkatkan lebih lanjut integrasi regional untuk mewujudkan visi Masyarakat Ekonomi ASEAN (“AEC”); MEYAKINI bahwa aliran masuk penanaman modal baru dan penanaman modal kembali yang berkelanjutan akan meningkatkan dan memastikan pembangunan perekonomian yang dinamis di negara-negara ASEAN.
1
www.djpp.kemenkumham.go.id
MENGAKUI bahwa lingkungan penanaman modal yang kondusif akan meningkatkan arus modal, barang dan jasa, teknologi dan sumber daya manusia secara lebih bebas, serta pembangunan ekonomi dan sosial secara keseluruhan di ASEAN; dan MENEKADKAN untuk meningkatkan lebih lanjut kerja sama ekonomi antara dan antar Negara-negara Anggota;
TELAH MENYETUJUI HAL-HAL sebagai berikut: BAGIAN A Pasal 1 Tujuan Tujuan dari Persetujuan ini adalah untuk menciptakan suatu rezim penanaman modal yang bebas dan terbuka di ASEAN dalam rangka mencapai tujuan akhir dari integrasi ekonomi dalam AEC sesuai dengan Cetak Biru AEC, melalui hal-hal sebagai berikut: (a)
liberalisasi progresif atas rezim-rezim penanaman modal di Negara-negara Anggota;
(b)
ketentuan peningkatan perlindungan yang lebih baik kepada para penanam modal dari semua Negara Anggota dan penanaman modalnya;
(c)
peningkatan transparansi dan prediktabilitas aturan-aturan, peraturan-peraturan, dan prosedur penanaman modal yang kondusif untuk meningkatkan penanaman modal di Negara-negara Anggota;
(d)
promosi bersama dari kawasan sebagai suatu kawasan penanaman modal terpadu; dan
(e)
kerja sama untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk penanaman modal yang dilakukan oleh para penanam modal dari suatu Negara Anggota di wilayah Negara-negara Anggota lainnya. Pasal 2 Prinsip-prinsip Pedoman
Persetujuan ini wajib menciptakan suatu lingkungan penanaman modal yang liberal, fasilitatif, transparan, dan berdaya saing di ASEAN dengan berpedoman pada prinsip-prinsip berikut ini:
2
www.djpp.kemenkumham.go.id
(a)
memberikan liberalisasi penanaman modal, perlindungan, promosi dan fasilitasi penanaman modal;
(b)
liberalisasi penanaman modal secara progresif dalam rangka menciptakan lingkungan penanaman modal yang bebas dan terbuka di kawasan ini;
(c)
memberikan manfaat bagi para penanam modal dan penanaman modalnya yang berbasis di ASEAN;
(d)
menjamin dan memberikan perlakuan preferensial antar Negara-negara Anggota;
(e)
tidak ada langkah mundur terhadap komitmen-komitmen yang dibuat berdasarkan Persetujuan AIA dan ASEAN IGA;
(f)
memberikan perlakuan khusus dan membedakan serta fleksibilitas-fleksibilitas lainnya kepada Negara-negara Anggota, bergantung pada tingkat pembangunan dan sensitivitas sektoralnya;
(g)
perlakuan timbal balik dalam penikmatan konsesi diantara Negara-negara Anggota, apabila sesuai; dan
(h)
mengakomodasi perluasan lingkup Persetujuan ini untuk mencakup sektor-sektor lainnya di masa mendatang. Pasal 3 Lingkup Penerapan
1.
Persetujuan ini wajib berlaku terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau diterapkan oleh
suatu Negara Anggota terkait dengan: (a)
para penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya; dan
(b)
penanaman modal, di wilayahnya, para penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya.
2.
Persetujuan ini wajib berlaku terhadap penanaman modal yang telah ada pada tanggal mulai
berlakunya Persetujuan ini, serta untuk
penanaman modal yang dibuat sesudah berlakunya
Persetujuan ini. 3.
Untuk maksud liberalisasi dan tunduk pada Pasal 9 (Persyaratan-persyaratan), Persetujuan ini
wajib berlaku untuk sektor-sektor berikut ini: (a)
fabrikasi;
(b)
pertanian;
3
www.djpp.kemenkumham.go.id
(c)
perikanan;
(d)
kehutanan;
(e)
pertambangan dan penggalian;
(f)
jasa-jasa yang terkait dengan sektor-sektor fabrikasi, pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan dan penggalian; dan
(g)
4.
setiap sektor lainnya, sebagaimana dapat disepakati oleh semua Negara Anggota.
Persetujuan ini wajib tidak berlaku untuk: (a)
setiap kebijakan perpajakan, kecuali Pasal 13 (Transfer) dan Pasal 14 (Pengambilalihan dan Kompensasi);
(b)
subsidi atau hibah yang diberikan oleh suatu Negara Anggota;
(c)
pengadaan barang oleh pemerintah;
(d)
jasa-jasa yang dipasok dalam pelaksanaan kewenangan pemerintah oleh badan atau otoritas yang berwenang dari suatu Negara Anggota. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, jasa yang dipasok dalam pelaksanaan kewenangan pemerintahan adalah setiap jasa yang dipasok bukan berdasarkan komersil tidak juga dalam rangka persaingan dengan satu atau lebih pemasok jasa; dan
(e)
kebijakan-kebijakan yang diterapkan atau dipertahankan oleh suatu Negara Anggota yang mempengaruhi perdagangan jasa berdasarkan Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di bidang Jasa, yang ditandatangani di Bangkok, Thailand, pada tanggal 15 Desember 1995 (“AFAS”).
5.
Meskipun telah diatur pada sub-ayat 4 (e), untuk maksud perlindungan penanaman modal
berkenaan dengan moda kehadiran komersial dari pemasokan jasa, Pasal 11 (Perlakuan terhadap Penanaman Modal), Pasal 12 (Kompensasi pada Kasus Kerusuhan), Pasal 13 (Transfer), Pasal 14 (Pengambilalihan dan Kompensasi) dan Pasal 15 (Subrogasi) serta Bagian B (Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal antara Penanam Modal dan Negara Anggota), wajib berlaku secara mutatis mutandis, untuk setiap kebijakan yang mempengaruhi pemasokan jasa oleh pemasok jasa dari suatu Negara Anggota melalui kehadiran komersial di wilayah Negara Anggota lainnya, tetapi hanya sepanjang yang terkait dengan penanaman modal dan kewajiban berdasarkan Persetujuan ini, tanpa memperhatikan apakah sektor jasa dimaksud terjadwal dalam jadwal komitmen Negara-negara Anggota yang dibuat berdasarkan AFAS atau tidak.
4
www.djpp.kemenkumham.go.id
6.
Tidak satupun dalam persetujuan ini wajib mempengaruhi hak dan kewajiban setiap Negara
Anggota berdasarkan setiap konvensi perpajakan. Dalam hal terjadi ketidakkonsistenan antara persetujuan ini dan konvensi dimaksud, konvensi dimaksud yang wajib berlaku sepanjang ketidakkonsistenannya. Pasal 4 Definisi
Untuk maksud Persetujuan ini: (a)
“penanaman modal yang dilindungi”, berdasarkan suatu Negara Anggota, adalah penanaman
modal yang dilakukan di wilayah Negara Anggota tersebut oleh penanam modal dari Negara Anggota lainnya, baik yang sudah ada sejak mulai berlakunya Persetujuan ini, atau didirikan, disetujui atau diperluas kemudian, dan telah diakui berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan serta kebijakan-kebijakan nasional Negara Anggota tersebut, dan apabila sesuai, secara khusus disetujui secara tertulis1 oleh otoritas yang berwenang dari suatu Negara Anggota. (b)
“mata uang yang dapat digunakan secara bebas” adalah mata uang yang ditetapkan oleh
Dana Moneter Internasional (“IMF”) berdasarkan Pasal-Pasal dari Persetujuannya dan setiap perubahan-perubahannya kemudian; (c)
“penanaman modal”2 adalah setiap jenis aset, yang dimiliki atau dikendalikan, oleh penanam
modal, termasuk tetapi tidak terbatas pada: (i)
benda bergerak dan benda tidak bergerak serta hak-hak kebendaan lainnya seperti hipotik, hak gadai atau jaminan gadai;
(ii)
saham-saham, stocks, surat-surat obligasi dan surat-surat utang perusahaan dan setiap bentuk keikutsertaan dalam suatu badan hukum dan hak-hak atau bunga yang diperoleh daripadanya;
(iii)
hak kekayaan intelektual yang diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dari masing-masing Negara Anggota;
(iv)
klaim atas uang atau atas setiap pelaksanaan kontrak yang terkait dengan suatu usaha dan
1
Untuk maksud perlindungan, tata cara terkait dengan persetujuan tertulis khusus wajib memenuhi seperti diatur dalam Lampiran 1 (Persetujuan Tertulis). 2
Apabila suatu aset tidak memenuhi karakteristik dari suatu penanaman modal, maka aset tersebut tidak dapat dianggap sebagai suatu penanaman modal apapun bentuknya. Karakteristik dari suatu penanaman modal meliputi komitmen modal, harapan keuntungan atau laba, atau asumsi risiko.
5
www.djpp.kemenkumham.go.id
memiliki nilai keuangan;3 (v)
hak-hak
berdasarkan
kontrak,
termasuk
kontrak
terima
jadi
(turnkey),
kontrak
pembangunan, kontrak pengelolaan, kontrak produksi atau kontrak bagi hasil; dan (vi)
konsesi usaha yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi dan memiliki nilai keuangan yang diberikan berdasarkan hukum atau berdasarkan suatu kontrak, termasuk setiap konsesi untuk mencari, mengolah, mengambil atau mengusahakan sumber daya alam.
Istilah “penanaman modal” juga mencakup jumlah yang dihasilkan dari penanaman modal, terutama laba, bunga, keuntungan modal, dividen, royalti dan biaya. Setiap perubahan bentuk dimana aset yang ditanamkan atau ditanamkan kembali wajib tidak mempengaruhi penggolongannya sebagai penanaman modal; (d)
“penanam modal” adalah orang perseorangan dari suatu Negara Anggota atau suatu badan
hukum dari suatu Negara Anggota yang sedang melakukan atau telah melakukan suatu penanaman modal di wilayah setiap Negara Anggota lainnya; (e)
“badan hukum” adalah setiap entitas hukum yang didirikan secara sah atau sebaliknya
diselenggarakan berdasarkan hukum yang berlaku dari suatu Negara Anggota, baik bertujuan untuk memperoleh laba maupun sebaliknya, dan baik yang dimiliki oleh swasta atau dimiliki oleh pemerintah, termasuk setiap enterprise, korporasi, trust, kemitraan, usaha patungan, kepemilikan tunggal, asosiasi, atau organisasi; (f)
“kebijakan” adalah setiap kebijakan dari suatu Negara Anggota, baik yang berbentuk hukum,
peraturan, aturan, prosedur, keputusan, dan tindakan-tindakan atau kebiasaan administratif, yang telah diterima atau dipertahankan oleh: (i)
pemerintah atau lembaga berwenang di tingkat pusat, provinsi atau kabupaten/kota; atau
(ii)
badan-badan nonpemerintah dalam pelaksanaan kekuasaan yang didelegasikan oleh pemerintah atau lembaga berwenang di tingkat pusat, provinsi atau kabupaten/kota;
(g)
“orang perseorangan” adalah setiap orang perseorangan yang memiliki kebangsaan atau
kewarganegaraan dari, atau hak tinggal tetap di Negara Anggota sesuai dengan hukum, peraturan, dan kebijakan nasionalnya ; (h)
“Negara Anggota ASEAN Baru” adalah Kerajaan Kamboja, Republik Demokratik Rakyat Laos,
Uni Myanmar, dan Republik Sosialis Vietnam;
3
Untuk kepastian yang lebih baik, penanaman modal tidak berarti klaim atas uang yang timbul semata-mata dari: (a) kontrak komersial untuk penjualan barang atau jasa; atau (b) perpanjangan pemberian kredit sehubungan dengan kontrak komersial tersebut.
6
www.djpp.kemenkumham.go.id
(i)
“WTO” adalah Organisasi Perdagangan Dunia; dan
(j)
“Persetujuan WTO” adalah Persetujuan Marrakesh mengenai Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia, yang dibuat di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994, sebagaimana mungkin telah diubah. Pasal 5 Perlakuan Nasional
1.
Masing-masing Negara Anggota wajib memberikan kepada para penanam modal dari setiap
Negara Anggota lainnya perlakuan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diberikan,, dalam keadaan yang serupa, seperti yang diberikan kepada para penanam modalnya sendiri berkenaan dengan perijinan, pendirian, pengambilalihan, perluasan, pengelolaan, pelaksanaan, pengoperasian dan penjualan atau pelepasan penanaman modal lainnya di wilayahnya. 2.
Masing-masing Negara Anggota wajib memberikan kepada penanaman modal dari para
penanam modal setiap Negara Anggota lainnya perlakuan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diberikan, dalam keadaan serupa, bagi penanaman modal di wilayah para penanaman modalnya sendiri berkenaan dengan perijinan, pendirian, pengambilalihan, perluasan, pengelolaan, pelaksanaan, pengoperasian dan penjualan atau pelepasan penanaman modal lainnya. Pasal 6 Perlakuan yang Sama 1.
4
Masing-masing Negara Anggota wajib memberikan kepada para penanam modal dari setiap
Negara Anggota lainnya perlakuan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diberikan, dalam keadaan yang serupa, kepada para penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya atau suatu Negara bukan Anggota berkenaan dengan perijinan, pendirian, pengambilalihan, perluasan, pengelolaan, pelaksanaan, pengoperasian dan penjualan atau pelepasan penanaman modal lainnya..
4
Untuk kepastian yang lebih baik: (a) Pasal ini wajib tidak berlaku untuk prosedur penyelesaian sengketa antara penanam modal-Negara yang berlaku dalam perjanjian-perjanjian lainnya di mana Negara pihak merupakan pihak di dalamnya; dan (b) terkait dengan penanaman modal yang termasuk di dalam lingkup Persetujuan ini, setiap perlakuan preferensial yang diberikan oleh suatu Negara Anggota kepada penanam modal dari setiap pihak lainnya wajib diperluas berdasarkan prinsip perlakuan yang sama bagi seluruh Negara Anggota.
7
www.djpp.kemenkumham.go.id
2.
Masing-masing Negara Anggota wajib memberikan kepada penanaman modal yang dilakukan
oleh para penanam modal dari Negara Anggota lainnya perlakuan tidak kurang menguntungkan dengan yang diberikan oleh Negara Anggota tersebut, dalam keadaan yang serupa, terhadap penanaman modal yang dilakukan di wilayahnya oleh para penanam modal Negara Anggota lain atau suatu Negara bukan Anggota berkenaan dengan perijinan, pendirian, pengambilalihan, perluasan, pengelolaan, pelaksanaan, pengoperasian dan penjualan atau pelepasan penanaman modal lainnya.
3.
Ayat 1 dan 2 wajib tidak diartikan sedemikian rupa sehingga mewajibkan suatu Negara Anggota
untuk memperluas kepada para penanam modal atau penanaman modal dari Negara-negara Anggota lainnya manfaat dari setiap perlakuan, preferensi atau keutamaan yang dihasilkan dari: (a)
setiap pengaturan sub-regional antara dan antar yang dibuat diantara Negara-negara Anggota;5 atau
(b)
setiap perjanjian yang telah ada sebagaimana yang telah diberitahukan oleh Negara-negara Anggota kepada Dewan AIA sesuai dengan Pasal 8 ayat 3 Persetujuan AIA.6 Pasal 7 Larangan terhadap Persyaratan Pelaksanaan
1.
Ketentuan-ketentuan dari Persetujuan mengenai Kebijakan-kebijakan Penanaman Modal yang
terkait dengan Perdagangan dalam Lampiran 1A dari Persetujuan WTO (“TRIMS”), yang tidak disebut secara spesifik dalam atau dimodifikasi dalam Persetujuan ini, wajib berlaku, secara mutatis mutandis, terhadap Persetujuan ini. 2.
Negara-negara Anggota wajib melaksanakan penilaian bersama terhadap persyaratan
pelaksanaan tidak lebih dari 2 tahun sejak tanggal mulai berlakunya Persetujuan ini. Tujuan dari penilaian dimaksud wajib meliputi peninjauan kembali persyaratan pelaksanaan yang telah ada dan mempertimbangkan kebutuhan untuk komitmen-komitmen tambahan berdasarkan Pasal ini. 5
Untuk kepastian yang lebih baik, pengaturan-pengaturan sub-regional antara dan diantara Negara-negara Anggota wajib meliputi tetapi tidak terbatas pada Greater Mekong Sub-region atau “GMS”, ASEAN Mekong Basin Development Cooperation atau “AMBDC”, Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle atau “IMT-GT”, Indonesia-Malaysia-Singapura Growth Triangle “IMS-GT”, Brunei-Indonesia-Malaysia-Filipina East ASEAN Growth Area atau “BIMP-EAGA”. 6
Subayat ini merujuk pada Traktat Persahabatan dan Hubungan Ekonomi antara Kerajaan Thailand dan Amerika Serikat yang ditandatangani di Bangkok, Thailand tanggal 29 Mei 1966.
8
www.djpp.kemenkumham.go.id
3.
Negara-negara ASEAN yang bukan Anggota WTO wajib mematuhi ketentuan-ketentuan WTO
sesuai dengan komitmen aksesinya terhadap WTO. Pasal 8 Manajemen Senior dan Dewan Direksi
1.
Suatu Negara Anggota wajib tidak mensyaratkan bahwa suatu badan hukum dari Negara
Anggota tersebut untuk menunjuk posisi pengelola senior, orang perseorangan dari setiap kewarganegaraan tertentu. 2.
Suatu Negara Anggota dapat mensyaratkan bahwa mayoritas dari dewan direksi dari suatu
badan hukum di Negara Anggota tersebut, merupakan kewarganegaraan tertentu, atau penduduk di wilayah Negara Anggota tersebut, dengan syarat bahwa persyaratan ini tidak menghalangi secara material kemampuan penanam modal untuk melaksanakan pengendalian atas penanaman modalnya. Pasal 9 Pensyaratan
1.
Pasal 5 (Perlakuan Nasional) dan Pasal 8 (Manajemen Senior dan Dewan Direksi) wajib tidak
berlaku terhadap: (a)
setiap kebijakan yang ada, yang dipertahankan oleh suatu Negara Anggota pada: (i)
pemerintah tingkat pusat, sebagaimana ditentukan oleh Negara Anggota tersebut dalam daftar pensyaratannya dalam Jadwal sebagaimana dirujuk pada ayat 2;
(ii)
pemerintah tingkat provinsi, sebagaimana ditentukan oleh Negara Anggota tersebut dalam daftar pensyaratannya dalam Jadwal sebagaimana dirujuk pada ayat 2; dan
(iii) (b)
pemerintah tingkat kabupaten/kota;
kelanjutan atau pembaharuan segera dari setiap pensyaratan sebagimana dirujuk pada subayat (a).
2.
Masing-masing Negara Anggota wajib menyerahkan daftar pensyaratannya kepada Sekretariat
ASEAN untuk mendapatkan pengesahan oleh Dewan AIA dalam waktu 6 bulan setelah penandatanganan Persetujuan ini. Daftar ini wajib merupakan bagian dari Jadwal pada Persetujuan ini.
9
www.djpp.kemenkumham.go.id
3.
Setiap perubahan atau modifikasi terhadap setiap pensyaratan sebagaimana tercantum dalam
Jadwal yang dirujuk pada ayat 2 wajib sesuai dengan Pasal 10 (Modifikasi Komitmen). 4.
Masing-masing
Negara
Anggota
wajib
mengurangi atau
menghapuskan
pensyaratan-
pensyaratan sebagimana diuraikan dalam Jadwal dimaksud sesuai dengan tiga tahapan Jadwal Strategis Cetak Biru AEC dan Pasal 46 (Perubahan).
5.
Pasal 5 (Perlakuan Nasional) dan Pasal 6 (Perlakuan yang Sama) wajib tidak berlaku untuk
setiap kebijakan yang dicakup dengan suatu pengecualian untuk atau penyimpangan dari, kewajibankewajiban berdasarkan Pasal 3 dan 4 dari Persetujuan mengenai Aspek-aspek Hak Kekayaan Intelektual terkait dengan Perdagangan dalam Lampiran 1C dari Persetujuan WTO, sebagaimana mungkin telah diubah (“Persetujuan TRIPS”), sebagaimana diatur secara spesifik dalam Pasal-Pasal tersebut dari Pasal 5 dari Persetujuan TRIPS. Pasal 10 Modifikasi Komitmen 1.
Selama jangka waktu 12 bulan setelah tanggal penyampaian masing-masing daftar pensyaratan
Negara Anggota, suatu Negara Anggota dapat menerapkan setiap kebijakan atau memodifikasi setiap pensyaratannya yang dibuatnya dalam Jadwal berdasarkan Pasal 9 (Pensyaratan) untuk pemberlakuan yang menjanjikan bagi para penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya dan penanaman modalnya, dengan syarat bahwa kebijakan-kebijakan atau modifikasi dimaksud wajib tidak berdampak sebaliknya bagi setiap penanam modal dan penanaman modal yang telah ada. 2.
Setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dirujuk pada ayat 1, suatu Negara Anggota
dapat melalui perundingan dan kesepakatan dengan setiap Negara Anggota lainnya yang telah membuat
komitmen-komitmen berdasarkan Persetujuan ini, menerapkan setiap kebijakan atau
memodifikasi atau menarik komitmen-komitmen dan pensyaratan-pensyaratan dimaksud, dengan syarat
10
www.djpp.kemenkumham.go.id
bahwa kebijakan, modifikasi atau penarikan dimaksud wajib tidak berdampak sebaliknya bagi setiap penanam modal atau penanaman modal yang telah ada.7 3.
Dalam setiap perundingan dan perjanjian yang dimaksud pada ayat 2, yang dapat memuat
ketentuan-ketentuan untuk penyesuaian kompensasi berkenaan dengan sektor-sektor lainnya, Negaranegara Anggota yang terkait wajib mempertahankan suatu tingkat umum timbal balik dan komitmenkomitmen saling menguntungkan serta pensyaratan-pensyaratan yang tidak kurang menguntungkan bagi para penanam modal dan penanaman modal daripada yang diberikan dalam Persetujuan ini sebelum perundingan-perundingan dan perjanjian-perjanjian dimaksud. 4.
Meskipun telah diatur pada ayat 1 dan 2, suatu Negara Anggota wajib tidak,, berdasarkan setiap
kebijakan yang diterapkan sesuai dengan Pasal ini setelah mulai berlakunya Persetujuan ini, mensyaratkan penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya dengan alasan kewarganegaraan penanam modal dimaksud, untuk menjual atau sebaliknya melepas suatu penanaman modal yang telah ada pada saat kebijakan tersebut berlaku efektif, kecuali diuraikan sebaliknya dalam persetujuan awal oleh lembaga-lembaga berwenang yang relevan. Pasal 11 Perlakuan terhadap Penanaman Modal 1.
Masing-masing Negara Anggota wajib memberikan perlakuan yang adil dan seimbang dan
perlindungan dan keamanan sepenuhnya bagi penanaman modal yang dilindungi dari para penanam modal setiap Negara Anggota lainnya..penanaman modal yang dilindungi 2.
Untuk kepastian yang lebih baik: (a)
perlakuan yang adil dan seimbang, mensyaratkan masing-masing Negara Anggota untuk tidak menolak keadilan dalam setiap proses hukum atau administratif sesuai dengan prinsip proses yang berlaku; dan
(b)
perlindungan dan keamanan sepenuhnya mensyaratkan masing-masing Negara Anggota untuk mengambil tindakan-tindakan dimaksud sebagaimana mungkin diperlukan untuk
7
Untuk menghindari keraguan, Negara-negara Anggota wajib tidak menerima setiap kebijakan atau memodifikasi setiap pensyaratannya berdasarkan Jadwal selama jangka waktu 6 bulan setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana diuraikan pada ayat 1.
11
www.djpp.kemenkumham.go.id
memastikan
perlindungan dan keamanan sepenuhnya bagi penanaman modal yang
dilindungi. 3.
Suatu penetapan bahwa telah terjadi pelanggaran ketentuan lainnya dari Persetujuan ini, atau
suatu perjanjian internasional yang terpisah, tidak dapat ditafsirkan sebagai suatu pelanggaran terhadap Pasal ini.
Pasal 12 Kompensasi dalam Kasus Kerusuhan Masing-masing Negara Anggota wajib memberikan kepada para penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya, terkait dengan penanaman modal yang dilindungi, yang mengalami kerugian di wilayahnya karena konflik bersenjata atau kerusuhan sipil atau negara dalam keadaan darurat, perlakuan nondiskriminasi terkait dengan restitusi, kompensasi atau pertimbangan bernilai lainnya. Pasal 13 Transfer 1.
Masing-masing Negara Anggota wajib mengijinkan semua transfer terkait dengan suatu
penanaman modal yang dilindungi yang akan dilakukan secara bebas dan tanpa penundaan, ke dalam atau ke luar wilayahnya. Tranfer-transfer tersebut meliputi: (a)
kontribusi terhadap modal, termasuk kontribusi awal;
(b)
laba, keuntungan modal, dividen, royalti, biaya perijinan, biaya bantuan teknis dan biaya teknis dan pengelolaan, bunga dan pendapatan terkini lainnya yang berasal dari setiap penanaman modal yang dilindungi;
(c)
hasil dari penjualan atau likuidasi penanaman modal yang dilindungikeseluruhan atau sebagian setiap penanaman modal yang dilindungi;
(d)
pembayaran-pembayaran yang dilakukan berdasarkan suatu kontrak, termasuk perjanjian pinjaman;
(e)
pembayaran-pembayaran yang sesuai dengan Pasal 12 (Kompensasi dalam Kasus Kerusuhan) dan Pasal 14 (Pengambilalihan dan Kompensasi);
(f)
pembayaran-pembayaran yang timbul dari penyelesaian suatu sengketa dengan setiap cara, termasuk pengadilan, arbitrase atau kesepakatan para Negara Anggota yang sedang
12
www.djpp.kemenkumham.go.id
bersengketa; dan (g)
penghasilan dan pendapatan lainnya dari personel yang dipekerjakan dan diijinkan untuk bekerja sehubungan dengan penanaman modal yang dilindungi di wilayahnya.
2.
Masing-masing Negara Anggota wajib mengijinkan transfer yang terkait dengan suatu
penanaman modal yang dilindungi yang akan dilakukan dalam mata uang yang dapat digunakan secara bebas pada nilai tukar pasar yang sedang berlaku pada saat transfer dimaksud.
3.
Meskipun telah diatur pada ayat 1 dan 2, suatu Negara Anggota dapat mencegah atau menunda
suatu transfer melalui penerapan yang seimbang, nondiskriminasi dan itikad baik, dari peraturan perundang-undangannya yang terkait dengan: (a)
kepailitan, kebangkrutan, atau perlindungan terhadap hak-hak para kreditor;
(b)
penerbitan, perdagangan atau penanganan surat berharga, efek berjangka, opsi-opsi, atau turunan-turunannya;
(c)
kejahatan atau pelanggaran dan pemulihan terhadap proses kejahatan dimaksud;
(d)
laporan keuangan atau penyimpanan catatan tentang transfer-transfer apabila diperlukan untuk membantu aparat penegak hukum atau lembaga-lembaga yang berwenang mengatur keuangan;
(e)
memastikan kepatuhan terhadap perintah-perintah atau putusan-putusan dalam proses hukum atau administratif;
(f)
perpajakan;
(g)
jaminan sosial, pensiun PNS, atau skema tabungan wajib;
(h)
hak-hak pesangon karyawan; dan
(i)
pensyaratan untuk mendaftar dan memenuhi formalitas lainnya yang dibebankan oleh Bank Sentral dan lembaga-lembaga berwenang relevan lainnya dari suatu Negara Anggota.
4.
Tidak ada satupun dalam Persetujuan ini wajib mempengaruhi hak dan kewajiban Negara-negara
Anggota sebagai anggota IMF, berdasarkan Pasal-Pasal Persetujuan IMF, termasuk penggunaan tindakan-tindakan pertukaran yang sesuai dengan Pasal-Pasal Persetujuan IMF, dengan syarat bahwa suatu Negara Anggota wajib tidak membebankan pembatasan, pada setiap transaksi modal yang tidak konsisten dengan komitmen-komitmen spesifik berdasarkan Persetujuan ini berkenaan dengan transaksi-transaksi dimaksud, kecuali: (a)
atas permintaan dari IMF;
13
www.djpp.kemenkumham.go.id
(b)
berdasarkan Pasal 16 (Kebijakan untuk Mengamankan Neraca Pembayaran); atau
(c)
apabila, dalam keadaan pengecualian, perpindahan modal menyebabkan, atau mengancam menyebabkan, gangguan serius terhadap perekonomian atau keuangan pada Negara Anggota yang bersangkutan.
5.
Kebijakan-kebijakan dimaksud sesuai dengan subayat 4(c)8: (a)
wajib konsisten dengan Pasal-Pasal Persetujuan IMF;
(b)
wajib tidak melebihi kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi keadaan-keadaan yang diuraikan dalam subayat 4(c);
(c)
wajib bersifat sementara dan wajib dihapuskan sesegera mungkin keadaan-keadaan yang tidak lagi membenarkan penggunaan atau kelangsungannya;
(d)
wajib dengan segera diberitahukan kepada Negara-negara Anggota lainnya;
(e)
wajib diterapkan sedemikian rupa sehingga setiap Negara Anggota lainnya yang diperlakukan tidak lebih menguntungkan daripada setiap Negara Anggota lainnya atau negara yang bukan Anggota;
(f)
wajib diterapkan berdasarkan suatu prinsip Perlakuan Nasional; dan
(g)
wajib menghindari kerugian yang tidak perlu bagi para penanam modal dan penanaman modal yang dilindungi, serta kepentingan komersial, ekonomi dan keuangan dari Negaranegara Anggota lainnya. Pasal 14 9
Pengambilalihan dan Kompensasi 1.
Suatu Negara Anggota wajib tidak mengambilalih atau menasionalisasi suatu penanaman modal
yang dilindungi baik secara langsung maupun dengan kebijakan-kebijakan yang setara dengan pengambilalihan atau nasionalisasi (“pengambilalihan”),10 kecuali: (a)
untuk kepentingan umum;
8
Untuk kepastian yang lebih baik, setiap kebijakan yang dilakukan untuk memastikan stabilitas nilai tukar, termasuk untuk mencegah aliran modal spekulatif, wajib tidak diterima atau dipertahankan untuk maksud melindungi suatu sektor tertentu. 9
Pasal ini wajib dibaca dengan Lampiran 2 (Pengambilalihan dan Kompensasi).
10
Untuk menghindari keraguan, setiap kebijakan pengambilalihan yang terkait dengan tanah wajib ditetapkan dalam masingmasing peraturan perundang-undangan dalam negeri Negara Anggota dan setiap perubahan daripadanya, serta wajib untuk maksud-maksud dan berdasarkan pembayaran kompensasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dimaksud.
14
www.djpp.kemenkumham.go.id
2.
(b)
dengan cara yang nondiskriminasi;
(c)
berdasarkan pembayaran kompensasi yang segera, memadai, dan efektif; dan
(d)
sesuai dengan proses hukum yang berlaku.
Kompensasi sebagaimana dirujuk pada subayat 1(c) wajib: (a)
dibayar tanpa penundaan;11
(b)
setara dengan nilai pasar yang adil dari penanaman modal yang dialihkan segera sebelum atau
pada
saat ketika pengambilalihan
diumumkan kepada publik, atau
ketika
pengambilalihan dilakukan yang mana yang dapat diterapkan. (c)
tidak mencerminkan setiap perubahan nilai karena pengambilalihan yang diinginkan telah diketahui lebih awal; dan
(d)
dapat diwujudkan sepenuhnya dan dapat ditransfer secara bebas sesuai dengan Pasal 13 (Transfer) antara wilayah-wilayah Negara Anggota.
3.
Dalam hal terjadi penundaan, kompensasi dimaksud wajib meliputi suatu bunga yang pantas
sesuai dengan peraturan perundang-undangan Negara Anggota yang melakukan pengambilalihan dimaksud. Kompensasi tersebut, termasuk setiap bunga yang terhutang, wajib dapat dibayar baik dalam mata uang dimana penanaman modal dimaksud dilakukan pertama kali atau apabila diminta oleh penanam modal tersebut, dalam mata uang yang dapat digunakan secara bebas. 4.
Apabila suatu penanam modal meminta pembayaran dalam suatu mata uang yang dapat
digunakan secara bebas, kompensasi sebagaimana dirujuk pada subayat 1(c), termasuk setiap bunga yang terhutang, wajib dipertukarkan ke dalam mata uang pembayaran sesuai dengan nilai tukar pasar yang berlaku pada tanggal pembayaran tersebut. 5.
Pasal ini wajib tidak berlaku untuk penerbitan perijinan-perijinan yang diberikan terkait dengan
hak kekayaan intelektual sesuai dengan Persetujuan TRIPS. Pasal 15 Subrogasi
11
Negara-negara Anggota memahami bahwa mungkin proses hukum dan administratif yang perlu dipenuhi sebelum pembayaran dapat dilakukan.
15
www.djpp.kemenkumham.go.id
1.
Apabila suatu Negara Anggota atau suatu badan dari suatu Negara Anggota melakukan
pembayaran kepada penanam modal dari Negara Anggota tersebut berdasarkan suatu jaminan, kontrak asuransi atau bentuk ganti rugi lainnya yang telah diberikan berdasarkan risiko nonkomersial berkenaan dengan suatu penanaman modal, Negara Anggota lainnya wajib mengakui subrogasi tersebut atau transfer setiap hak atau hak milik berkenaan dengan penanaman modal tersebut. Hak atau klaim yang disubrogasikan atau ditransfer wajib tidak lebih besar daripada hak atau klaim asal dari penanam modal tersebut. Namun demikian, hal ini tidak menyiratkan pengakuan dari Negara Anggota tersebut terhadap putusan dari setiap kasus atau jumlah klaim yang timbul daripadanya. 2.
Apabila suatu Negara Anggota atau suatu badan dari suatu Negara Anggota telah melakukan
pembayaran kepada penanam modal dari Negara Anggota tersebut dan telah mengambil alih semua hak dan klaim penanam modal tersebut, penanam modal tidak dapat, kecuali diberikan kewewenangan untuk bertindak atas nama Negara Anggota atau badan dari Negara Anggota yang melakukan pembayaran, mengajukan hak dan klaim terhadap Negara Anggota lainnya tersebut. 3.
Dalam pelaksanaan hak-hak atau klaim-klaim yang disubrogasikan, suatu Negara anggota atau
badan dari Negara Anggota yang mengajukan hak-hak atau klaim-klaim tersebut wajib mengungkapkan lingkup pengaturan klaim dengan para penanam modalnya kepada Negara Anggota yang relevan dimaksud. Pasal 16 Kebijakan untuk Mengamankan Neraca Pembayaran 1.
Dalam hal terjadi kesulitan neraca pembayaran dan keuangan eksternal yang serius atau
ancaman terhadapnya, suatu Negara Anggota dapat menerima atau mempertahankan pembatasan pembayaran atau transfer yang terkait dengan penanaman modal. Diakui bahwa tekanan-tekanan tertentu pada neraca pembayaran dari suatu Negara Anggota dalam proses pembangunan ekonomi dapat memerlukan penggunaan pembatasan untuk memastikan, antara lain, terjaganya tingkat cadangan keuangan yang memadai untuk pelaksanaan program pembangunan ekonominya.
2.
Pembatasan sebagaimana dirujuk pada ayat 1 wajib: (a)
konsisten dengan Pasal-Pasal Persetujuan IMF.
16
www.djpp.kemenkumham.go.id
(b)
menghindari kerugian yang tidak perlu terhadap kepentingan-kepentingan komersial, ekonomi, dan keuangan dari Negara Anggota lainnya;
(c)
tidak melebihi dari yang diperlukan untuk menangani keadaan-keadaan sebagaimana diuraikan pada ayat 1;
(d)
bersifat sementara dan akan dihapuskan secara bertahap seiring dengan membaiknya situasi sebagaimana diuraikan pada ayat 1;
(e)
diterapkan sedemikian rupa sehingga salah satu dari Negara Anggota lainnya dimaksud diperlakukan tidak kurang menguntungkan daripada yang diberikan kepada setiap Negara Anggota lainnya atau negara bukan Anggota.
3.
Setiap pembatasan yang diterapkan atau dipertahankan berdasarkan ayat 1, atau setiap
perubahannya, wajib dengan segera diberitahukan kepada Negara-negara Anggota lainnya. 4.
Sepanjang pembatasan tersebut tidak mengulang proses berdasarkan dalam kerangka WTO,
IMF, atau proses serupa lainnya, Negara Anggota yang menerapkan setiap pembatasan berdasarkan ayat 1 wajib memulai konsultasi dengan setiap Negara Anggota lainnya yang meminta konsultasi dimaksud dalam rangka untuk meninjau kembali pembatasan yang diterapkannya. Pasal 17 Pengecualian Umum 1.
Dengan tunduk pada persyaratan bahwa kebijakan tersebut tidak dilaksanakan dengan cara yang
sewenang-wenang atau dengan cara diskriminatif yang tidak dapat dibenarkan diantara Negara-negara Anggota atau para penanam modal mereka apabila terjadi keadaan-keadaan serupa, atau merupakan suatu pembatasan terselubung terhadap para penanam modal dari Negara Anggota lain dan penanaman modal mereka, tidak satupun dalam Persetujuan ini wajib diartikan untuk menghalangi penerapan atau penegakan oleh setiap Negara Anggota terhadap kebijakan-kebijakan: (a)
yang diperlukan untuk melindungi moral masyarakat atau untuk menjaga ketertiban umum;12
(b)
yang diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan;
12
Pengecualian tentang ketertiban umum dapat diminta oleh suatu Negara Anggota hanya apabila terdapat suatu ancaman nyata dan cukup serius terhadap kepentingan masyarakat yang mendasar.
17
www.djpp.kemenkumham.go.id
(c)
yang diperlukan untuk menjamin kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten dengan Persetujuan ini, termasuk yang berkaitan dengan: (i)
pencegahan praktik-praktik penipuan dan kecurangan untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya wanprestasi terhadap suatu kontrak;
(ii)
perlindungan terhadap privasi individu yang berkaitan dengan pengolahan dan penyebarluasan data pribadi dan perlindungan terhadap kerahasiaan catatan-catatan dan rekening-rekening individu;
(iii) (d)
keselamatan;
yang ditujukan untuk memastikan pengenaan atau pemungutan pajak langsung yang adil 13
atau efektif
berkenaan dengan penanaman modal atau penanam modal dari setiap
Negara Anggota; (e)
yang dibebankan untuk perlindungan kekayaan-kekayaan negara yang memiliki nilai seni, sejarah atau arkeologis;
(f)
yang berkaitan dengan pelestarian sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, apabila
kebijakan-kebijakan
dimaksud
diberlakukan
seiring
dengan
pembatasan-
pembatasan terhadap produksi atau konsumsi dalam negeri. 2.
Sepanjang menyangkut kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi pemberian jasa-jasa keuangan,
ayat 2 (Peraturan Dalam Negeri) dari Lampiran tentang Jasa-jasa Keuangan dari Persetujuan Umum tentang Perdagangan di Bidang Jasa dalam Lampiran 1B dari Persetujuan WTO (“Persetujuan Umum tentang Perdagangan di Bidang Jasa atau GATS”) wajib dimasukkan kedalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Persetujuan ini, secara mutatis mutandis.
Pasal 18 Pengecualian Keamanan Tidak satupun dalam Persetujuan ini wajib diartikan: (a)
mensyaratkan
setiap
Negara
Anggota
untuk
memberikan
setiap
informasi,
yang
pengungkapkannya dinilai bertentangan dengan kepentingan-kepentingan keamanan utamanya; atau
13
Untuk maksud subayat ini, catatan kaki nomor 6 Pasal 14 Persetujuan Umum tentang Perdagangan di Bidang Jasa dalam Lampiran 1B pada Persetujuan WTO (GATS) dimasukkan kedalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Persetujuan ini, secara mutatis mutandis.
18
www.djpp.kemenkumham.go.id
(b)
mencegah setiap Negara Anggota untuk melakukan setiap tindakan yang dianggap perlu untuk perlindungan kepentingan-kepentingan keamanan utamanya, termasuk tetapi tidak terbatas pada: (i)
tindakan yang terkait dengan bahan nuklir yang dapat difisikan atau difusikan atau bahanbahan turunannya;
(ii)
tindakan yang terkait dengan lalu lintas senjata, amunisi, dan peralatan perang dan lalu lintas barang dan bahan-bahan lainnya yang diangkut secara langsung atau tak langsung dengan maksud untuk memasok pendirian suatu markas militer;
(iii)
tindakan yang diambil pada waktu perang atau keadaan darurat lainnya terkait dengan hubungan dalam negeri atau internasional;
(iv)
tindakan yang diambil sedemikian rupa untuk melindungi prasarana publik yang sangat penting, termasuk prasarana komunikasi, listrik dan air, dari upaya-upaya sengaja yang dimaksudkan untuk melumpuhkan atau menurunkan kemampuan prasarana dimaksud; atau
(c)
mencegah setiap Negara Anggota dalam melakukan setiap tindakan sesuai dengan kewajibannya berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Pasal 19 Penolakan Manfaat
1.
Suatu Negara Anggota dapat menolak manfaat-manfaat dari Persetujuan ini kepada: (a)
penanam modal dari Negara Anggota lainnya yang merupakan badan hukum dari Negara Anggota lainnya tersebut dan pada penanaman modal dari penanam modal dimaksud apabila penanam modal dari Negara yang bukan Negara Anggota memiliki atau mengendalikan badan hukum dan badan hukum tersebut tidak memiliki operasi usaha yang substantif di wilayah Negara Anggota lainnya tersebut;
(b)
penanam modal dari Negara Anggota lainnya yang merupakan badan hukum dari Negara Anggota lainnya tersebut dan pada penanaman modal dari penanam modal dimaksud apabila penanam modal dari Negara Anggota yang menolak memiliki atau mengendalikan badan hukum dan badan hukum dimaksud tidak memiliki operasi usaha yang substantif di wilayah Negara Anggota lainnya tersebut; dan
(c)
penanam modal dari Negara Anggota lainnya yang merupakan badan hukum dari Negara Anggota lainnya tersebut dan pada penanaman modal dari penanam modal dimaksud
19
www.djpp.kemenkumham.go.id
apabila penanam modal dari suatu Negara bukan Anggota memiliki atau mengendalikan badan hukum, dan Negara Anggota yang menolak tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Negara bukan Anggota dimaksud. 2.
Setelah adanya pemberitahuan kepada Negara Anggota dari penanam modal dimaksud, dan
tanpa mengurangi arti dari ayat 1, suatu Negara Anggota dapat menolak manfaat-manfaat dari Persetujuan ini kepada penanam modal dari Negara Anggota lainnya dan pada penanaman modal dari penanam modal tersebut, apabila diartikan bahwa penanam modal tersebut telah melakukan penanaman modal yang melanggar hukum dalam negeri dari Negara Anggota yang menolak dengan membuktikan kepemilikannya di bidang-bidang penanaman modal yang diperuntukkan untuk orang perseorangan dan badan hukum dari Negara Anggota yang menolak tersebut. 3.
Suatu Badan hukum adalah: (a)
yang “dimiliki” oleh penanam modal sesuai dengan hukum, peraturan, dan kebijakan dalam negeri masing-masing Negara Anggota;
(b)
yang “dikendalikan” oleh penanam modal apabila penanam modal tersebut telah memiliki kuasa untuk menentukan mayoritas para direksinya atau sebaliknya yang menangani secara langsung secara sah.
Pasal 20 Formalitas Khusus dan Pengungkapan Informasi 1.
Tidak satupun dalam Pasal 5 (Perlakuan Nasional) atau Pasal 6 (Perlakuan yang Sama) wajib
diartikan untuk mencegah suatu Negara Anggota menerapkan atau mempertahankan kebijakan yang menerapkan formalitas-formalitas khusus terkait dengan penanaman modal, termasuk suatu persyaratan bahwa penanaman modal yang diasumsikan berdasarkan hukum menurut peraturan perundang-undangan dari Negara Anggota dimaksud dan mematuhi persyaratan pendaftaran, dengan syarat bahwa formalitas-formalitas tersebut secara substansi tidak menghalangi hak yang diberikan oleh suatu Negara Anggota kepada para penanam modal dari Negara Anggota lainnya dan penanaman modal sesuai dengan Persetujuan ini.
2.
Meskipun telah diatur pada Pasal 5 (Perlakuan Nasional) atau Pasal 6 (Perlakuan yang Sama),
suatu Negara Anggota dapat meminta penanam modal dari Negara Anggota lainnya, atau penanaman
20
www.djpp.kemenkumham.go.id
modal yang dilindungi, untuk memberikan informasi berkenaan dengan penanaman modal tersebut semata-mata untuk keperluan informasi atau statistik. Negara Anggota tersebut wajib melindungi setiap informasi rahasia dari setiap pengungkapan yang akan mengurangi keabsahan kepentingan komersial atau badan hukum tertentu, baik yang publik maupun swasta atau daya saing dari penanam modal tersebut atau penanaman modal yang dilindungi. Tidak satupun pada ayat ini wajib diartikan untuk menghalangi suatu Negara Anggota dari sebaliknya untuk menerima atau mengungkapkan informasi yang terkait dengan keseimbangan dan itikad baik dari penerapan hukumnya.
Pasal 21 Transparansi 1.
Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan dalam Persetujuan ini, masing-masing Negara Anggota
wajib: (a)
dengan segera dan sekurang-kurangnya setiap tahun memberitahukan kepada Dewan AIA mengenai
perjanjian-perjanjian
atau
pengaturan-pengaturan
yang
terkait
dengan
penanaman modal yang telah diberlakukan dan dimana perlakuan preferensial dimaksud telah diberikan; (b)
dengan segera dan sekurang-kurangnya setiap tahun memberitahukan kepada Dewan AIA tentang pengenalan hukum baru atau perubahan yang dilakukan terhadap hukum, peraturan, atau pedoman administratif yang ada, yang berpengaruh secara signifikan terhadap penanaman modal atau komitmen-komitmen suatu Negara Anggota berdasarkan Persetujuan ini;
(c)
mempublikasikan semua hukum, peraturan, dan pedoman administratif yang berlaku secara umum yang sesuai dengan, atau mempengaruhi penanaman modal di wilayah Negara Anggota tersebut; dan
(d)
mendirikan atau menunjuk suatu badan pengaduan apabila, atas permintaan dari setiap orang perseorangan, badan hukum atau setiap Negara Anggota lainnya, semua informasi terkait dengan kebijakan-kebijakan yang diminta untuk dipublikasikan atau disediakan berdasarkan subayat (b) dan (c) dapat diperoleh dengan segera.
2.
Tidak satupun ketentuan dalam Persetujuan ini wajib meminta suatu Negara Anggota untuk
memberikan atau mengijinkan akses terhadap setiap informasi rahasia, termasuk informasi berkenaan dengan penanam modal atau penanaman modal tertentu, pengungkapan yang akan menghalangi
21
www.djpp.kemenkumham.go.id
penegakan hukum, atau sebaliknya bertentangan dengan kepentingan umum, atau yang akan mengurangi keabsahan kepentingan komersial dari suatu badan hukum tertentu, baik publik maupun swasta. Pasal 22 Izin Masuk, Tinggal Sementara dan Bekerja bagi Penanam modal dan Personil Kunci
Berdasarkan hukum, peraturan, dan kebijakan nasional tentang imigrasi dan perburuhan yang terkait dengan izin masuk, tinggal sementara, izin untuk bekerja, dan konsisten dengan komitmenkomitmennya dalam AFAS, masing-masing Negara Anggota wajib memberikan izin masuk, tinggal sementara dan izin untuk bekerja bagi para penanam modal, eksekutif, manajer, dan anggota dewan direksi dari suatu badan hukum dari setiap Negara Anggota lainnya, dengan maksud untuk mendirikan, mengembangkan, mengelola, atau menyarankan pengoperasian, di wilayah Negara Anggota dimaksud terhadap
penanaman modal yang mereka, atau suatu badan hukum dari Negara-negara Anggota
lainnya mempekerjakan para eksekutif, manajer, dan anggota dewan direksinya, yang telah berkomitmen atau dalam proses berkomitmen untuk sejumlah modal yang substansial atau sejumlah sumber-sumber lainnya. Pasal 23 Perlakuan Istimewa dan Membedakan bagi Negara-Negara Anggota ASEAN Baru Dalam rangka meningkatkan manfaat-manfaat dari Persetujuan ini bagi Negara-negara Anggota ASEAN Baru, dan sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip sebagaimana tercantum dalam Pembukaan dan Pasal 1 (Tujuan) dan Pasal 2 (Prinsip-prinsip Pedoman), Negara-negara Anggota mengakui pentingnya memberikan perlakuan istimewa dan membedakan bagi Negara-negara Anggota ASEAN Baru, melalui: (a)
bantuan teknis untuk memperkuat kapasitasnya terkait dengan kebijakan dan peningkatan penanaman modal, termasuk di bidang-bidang seperti pengembangan sumber daya manusia;
(b)
komitmen-komitmen di bidang-bidang yang menjadi kepentingan bagi Negara-negara Anggota ASEAN Baru; dan
(c)
mengakui bahwa komitmen-komitmen dari masing-masing Negara Anggota ASEAN Baru dapat dilakukan sesuai dengan tahap pembangunannya masing-masing.
22
www.djpp.kemenkumham.go.id
Pasal 24 Peningkatan Penanaman Modal Negara-negara Anggota wajib bekerja sama dalam meningkatkan kesadaran ASEAN sebagai suatu kawasan penanaman modal terpadu dalam rangka meningkatkan penanaman modal asing ke dalam ASEAN dan penanaman modal intra ASEAN melalui, antara lain: (a)
mendorong pertumbuhan dan pengembanganan Usaha Kecil dan Menengah serta enterprise multinasional di ASEAN;
(b)
meningkatkan industri pelengkap dan jaringan produksi diantara enterprise multinasional di ASEAN;
(c)
menyelenggarakan misi-misi penanaman modal yang memfokuskan pada pengembangan klaster-klaster regional dan jaringan-jaringan produksi;
(d)
menyelenggarakan dan mendukung penyelenggaraan berbagai penjelasan singkat dan seminarseminar mengenai peluang-peluang penanaman modal dan mengenai hukum, peraturan, dan kebijakan penanaman modal; dan
(e)
melaksanakan pertukaran isu-isu lainnya yang menjadi perhatian bersama terkait dengan peningkatan penanaman modal. Pasal 25 Fasilitasi Penanaman Modal
Negara-negara Anggota wajib berusaha untuk bekerja sama dalam memfasilitasi penanaman modal kedalam dan diantara ASEAN melalui, antara lain: (a)
menciptakan lingkungan yang diperlukan bagi semua bentuk penanaman modal;
(b)
merampingkan dan menyederhanakan prosedur-prosedur untuk pengajuan dan penyetujuan penanaman modal;
(c)
meningkatkan penyebarluasan informasi penanaman modal, termasuk aturan, peraturan, kebijakan dan prosedur penanaman modal;
(d)
mendirikan pusat penanaman modal satu atap;
(e)
memperkuat basis data mengenai semua bentuk penanaman modal bagi perumusan kebijakan untuk memperbaiki lingkungan penanaman modal ASEAN;
(f)
melakukan konsultasi dengan masyarakat usaha terkait dengan hal-hal penanaman modal; dan
(g)
menyediakan jasa konsultasi bagi masyarakat usaha dari Negara-negara Anggota lainnya.
23
www.djpp.kemenkumham.go.id
Pasal 26 Meningkatkan Integrasi ASEAN Negara-negara Anggota mengakui pentingnya mempercepat integrasi ekonomi ASEAN melalui berbagai prakarsa, termasuk Prakarsa untuk Integrasi ASEAN, Integrasi Sektor-Sektor Prioritas, dan AEC, yang semuanya mencakup kerja sama di bidang penanaman modal. Dalam rangka untuk mendorong integrasi ekonomi ASEAN, Negara-negara Anggota wajib berusaha untuk, antara lain: (a)
menyelaraskan, apabila mungkin, kebijakan-kebijakan penanaman modal dan tindakan-tindakan untuk mencapai industri pelengkap;
(b)
membangun dan memperkuat kapasitas Negara-negara Anggota, termasuk pengembangan sumber daya manusia, dalam merumuskan dan memperbaiki kebijakan penanaman modal untuk menarik penanaman modal;
(c)
berbagi infomasi mengenai kebijakan-kebijakan dan kebiasaan-kebiasaan terbaik di bidang penanaman modal, termasuk kegiatan-kegiatan dan industri-industri yang dipromosikan; dan
(d)
mendukung upaya-upaya peningkatan penanaman modal diantara Negara-negara Anggota untuk kemanfaatan bersama. Pasal 27 Penyelesaian Sengketa antara atau antar Negara Anggota
Protokol ASEAN mengenai Mekanisme Penyelesaian Sengketa yang Ditingkatkan ditandatangani di Vientiane, Laos, pada tanggal 29 November 2004, sebagaimana telah diubah, wajib berlaku untuk penyelesaian sengketa berkenaan dengan penafsiran atau penerapan Persetujuan ini.
BAGIAN B Penyelesaian Sengketa antara Penanam Modal dan suatu Negara Anggota Pasal 28 Definisi
Untuk maksud Bagian ini:
24
www.djpp.kemenkumham.go.id
(a)
“Lembaga Berwenang yang Menunjuk” adalah: (i)
dalam hal arbitrase berdasarkan Pasal 33 subayat (1) (b) atau (c), Sekretaris Jenderal ICSID;
(ii)
dalam hal arbitrase berdasarkan Pasal 33 subayat (1) (d), Sekretaris Jenderal Pengadilan Arbitrase Tetap; atau
(iii)
dalam hal arbitrase berdasarkan Pasal 33 subayat (1) (e) dan (f), Sekretaris Jenderal, atau seseorang yang menduduki jabatan yang setara dari pusat atau lembaga arbitrase dimaksud;
(b)
“penanam modal yang bersengketa” adalah penanam modal dari suatu Negara Anggota yang mengajukan klaim atas namanya sendiri berdasarkan Bagian ini, dan apabila relevan, termasuk penanam modal dari suatu Negara Anggota yang mengajukan klaim atas nama suatu badan hukum dari Negara Anggota lainnya dimana penanam modal memiliki atau mengendalikan;
(c)
“Negara Anggota yang bersengketa” adalah suatu Negara Anggota yang terhadapnya diajukan suatu klaim yang diajukan berdasarkan Bagian ini;
(d)
“para pihak yang bersengketa” adalah penanam modal yang bersengketa dan suatu Negara Anggota yang bersengketa;
(e)
“ICSID” adalah Pusat Internasional untuk Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal;
(f)
“Aturan-Aturan Fasilitas Tambahan ICSID” adalah Aturan-Aturan yang Mengatur Fasilitas Tambahan untuk Proses Administrasi oleh Sekretariat Pusat Internasional untuk Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal;
(g)
“Konvensi ICSID” adalah Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal antara Negara-negara dan Warga Negara dari Negara-negara lainnya, dibuat di Washington, D.C, Amerika Serikat, tanggal 18 Maret 1965;
(h)
“Konvensi New York” adalah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pengakuan dan Penegakan Putusan Arbitrase Luar Negeri, dibuat di New York, Amerika Serikat, tanggal 10 Juni 1958;
25
www.djpp.kemenkumham.go.id
(i)
“Negara Anggota yang Tidak Bersengketa” adalah Negara Anggota dari penanam modal yang sedang bersengketa; dan
(j)
“Aturan-Aturan Arbitrase UNCITRAL” adalah aturan-aturan arbitrase dari Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Perdagangan Internasional, yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 15 Desember 1976.
Pasal 29 Lingkup Cakupan 1.
Bagian ini wajib berlaku untuk sengketa penanaman modal antara suatu Negara Anggota dan
penanam modal dari Negara Anggota lainnya yang telah menyebabkan kehilangan atau kerugian berdasarkan dugaan pelanggaran terhadap setiap hak yang diberikan berdasarkan Persetujuan ini berkenaan dengan penanaman modal dari penanam modal tersebut. 2.
Orang perseorangan yang memiliki kebangsaan atau kewarganegaraan dari suatu Negara
Anggota wajib tidak dapat mengajukan suatu klaim terhadap Negara Anggota tersebut berdasarkan Bagian ini. 3.
Bagian ini wajib tidak berlaku untuk klaim-klaim yang timbul dari peristiwa-peristiwa yang terjadi,
atau klaim-klaim yang telah diajukan sebelum mulai berlakunya Persetujuan ini. 4.
Tidak satupun ketentuan dalam Bagian ini yang dapat ditafsirkan sedemikian rupa sehingga
mencegah suatu penanam modal yang bersengketa untuk mencari penyelesaian administrasi atau hukum yang berlaku didalam Negara dari suatu Negara Anggota yang bersengketa. Pasal 30 Konsiliasi 1.
Para pihak yang bersengketa dapat setiap saat menyepakati untuk berkonsiliasi, yang dapat
dimulai setiap saat dan diakhiri setiap saat atas permintaan penanam modal yang bersengketa.
26
www.djpp.kemenkumham.go.id
2.
Apabila para pihak yang bersengketa sepakat, prosedur-prosedur untuk konsiliasi dapat
dilanjutkan sementara prosedur-prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 33 (Penyampaian Klaim) masih berlangsung. 3.
Proses-proses hukum yang melibatkan konsiliasi dan posisi-posisi yang diambil oleh para pihak
yang bersengketa selama proses tersebut wajib tidak mengurangi hak salah satu dari pihak yang bersengketa untuk proses hukum selanjutnya berdasarkan Bagian ini.
Pasal 31 Konsultasi 1.
Dalam hal terjadi suatu sengketa penanaman modal, para pihak yang bersengketa wajib terlebih
dahulu berupaya menyelesaikan sengketa dimaksud melalui konsultasi dan perundingan, yang dapat memasukan penggunaan prosedur-prosedur tidak mengikat yang melibatkan pihak ketiga. Konsultasi dimaksud wajib diawali suatu permintaan tertulis untuk konsultasi yang disampaikan oleh penanam modal yang bersengketa kepada Negara Anggota yang bersengketa. 2.
Konsultasi wajib dimulai dalam waktu 30 hari sejak Negara Anggota yang bersengketa menerima
permohonan konsultasi, kecuali para pihak yang bersengketa menyepakati sebaliknya. 3.
Dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa penanaman modal melalui konsultasi,
penanam modal yang bersengketa wajib melakukan semua upaya yang wajar kepada Negara Anggota yang bersengketa, sebelum dimulainya konsultasi, dengan memberikan informasi berkenaan dengan dasar hukum dan fakta-fakta untuk sengketa penanaman modal dimaksud. Pasal 32 Klaim oleh Penanam modal dari suatu Negara Anggota Apabila suatu sengketa penanaman modal belum dapat diselesaikan dalam waktu 180 hari sejak penerimaan permohonan konsultasi oleh suatu Negara Anggota yang bersengketa, penanam modal yang bersengketa dimaksud, berdasarkan bagian ini, dapat mengajukan untuk proses arbitrase terhadap suatu klaim: (a)
dimana Negara Anggota yang bersengketa dimaksud telah melanggar suatu kewajiban yang
27
www.djpp.kemenkumham.go.id
timbul berdasarkan Pasal 5 (Perlakuan Nasional), Pasal 6 (Perlakuan yang Sama), Pasal 8 (Pengelola Senior dan Dewan Direksi), Pasal 11 (Perlakuan Penanaman Modal), Pasal 12 (Kompensasi dalam Kasus Kerusuhan), Pasal 13 (Transfer), dan Pasal 14 (Pengambilalihan dan Kompensasi) terkait dengan pengelolaan, pelaksanaan, pengoperasian atau penjualan atau pelepasan lain terhadap suatu penanaman modal yang dilindungi; dan (b)
bahwa penanam modal yang bersengketa dimaksud, terkait dengan penanaman modal yang dilindunginya, telah menyebabkan kehilangan atau kerugian karena alasan-alasan atau yang timbul karena pelanggaran dimaksud. Pasal 33 Penyampaian Klaim
1.
Penanam modal yang bersengketa dapat menyampaikan suatu klaim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 (Klaim oleh Penanam modal dari Suatu Negara Anggota) berdasarkan pilihan dari penanam modal yang bersengketa: (a)
kepada pengadilan atau mahkamah administrasi di Negara Anggota yang bersengketa, dengan syarat bahwa pengadilan atau mahkamah dimaksud memiliki yurisdiksi atas klaimklaim tersebut; atau
(b)
berdasarkan Konvensi ICSID dan Aturan-Aturan ICSID mengenai Prosedur untuk Proses 14
Arbitrase,
dengan syarat bahwa baik Negara Anggota yang bersengketa dan Negara
Anggota yang tidak bersengketa merupakan pihak pada Konvensi ICSID; atau (c)
berdasarkan Aturan Fasilitas Tambahan ICSID, dengan syarat bahwa baik Negara Anggota yang bersengketa atau Negara Anggota yang tidak bersengketa merupakan pihak pada Konvensi ICSID dimaksud; atau
(d)
berdasarkan Aturan Arbitrase UNCITRAL; atau
(e)
kepada Pusat Regional untuk Arbitrase di Kuala Lumpur atau pusat regional untuk proses arbitrase lainnya di ASEAN; atau
(f)
apabila para pihak yang bersengketa menyepakati, kepada setiap lembaga arbitrase lainnya,
14
Untuk Filipina, penyampaian suatu klaim kepada ICSID dan Aturan-Aturan ICSID mengenai Prosedur untuk Proses Arbitrase wajib berdasarkan suatu kesepakatan tertulis antara para pihak bersengketa ketika suatu sengketa penanaman modal terjadi.
28
www.djpp.kemenkumham.go.id
dengan syarat bahwa pemilihan kepada setiap aturan atau forum arbitrase berdasarkan subayat (a) sampai (f) wajib tidak mencakup pemilihan aturan atau forum arbitrase lainnya. 2.
Suatu klaim wajib dianggap telah disampaikan untuk proses arbitrase berdasarkan Bagian ini
pada saat pemberitahuan dari pihak yang bersengketa atau permohonan untuk proses arbitrase (“pemberitahuan tentang arbitrase”) diterima berdasarkan aturan-aturan arbitrase yang berlaku.
3.
Aturan-aturan arbitrase yang berlaku berdasarkan ayat 1, yang berlaku pada tanggal klaim atau
klaim-klaim dimaksud telah disampaikan untuk proses arbitrase berdasarkan Bagian ini, wajib mengatur proses arbitrase kecuali sepanjang telah dimodifikasi oleh Persetujuan ini. 4.
Terkait dengan suatu sengketa tentang penanaman modal spesifik atau penggolongan sengketa,
aturan-aturan arbitrase yang berlaku dapat diabaikan, diubah atau dimodifikasi berdasarkan kesepakatan tertulis antara para pihak yang bersengketa. Aturan-aturan dimaksud wajib bersifat mengikat pada mahkamah atau mahkamah-mahkamah yang relevan yang dibentuk berdasarkan Bagian ini, dan pada masing-masing arbitrator yang bertugas pada mahkamah dimaksud. 5.
Penanam modal yang bersengketa wajib menyediakan pemberitahuan tentang arbitrase: (a)
nama arbitrator yang ditunjuk oleh penanam modal yang bersengketa; atau
(b)
kesepakatan tertulis dari penanam modal yang bersengketa untuk Lembaga Berwenang Penunjuk yang menunjuk arbitrator tersebut. Pasal 34 Ketentuan dan Pembatasan Penyampaian Klaim
1.
Sengketa wajib disampaikan untuk proses arbitrase berdasarkan Pasal 33 subayat (1) (b) hingga
(f) sesuai dengan Bagian ini, dan wajib berdasarkan ketentuan-ketentuan: (a)
penyampaian sengketa penanaman modal untuk proses arbitrase dimaksud dilakukan dalam waktu 3 tahun setelah penanam modal yang bersengketa menyadari atau saharusnya secara wajar telah menyadari, terjadi suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban berdasarkan Persetujuan ini yang menyebabkan kehilangan atau kerugian bagi penanam modal yang bersengketa atau suatu penanaman modal yang dilindungi; dan
(b)
penanam modal yang bersengketa yang menyediakan pemberitahuan tertulis, yang wajib
29
www.djpp.kemenkumham.go.id
disampaikan sekurang-kurangnya 90 hari sebelum klaim tersebut disampaikan, kepada Negara Anggota yang bersengketa mengenai keinginannya untuk menyampaikan sengketa penanaman modal tersebut untuk proses arbitrase tersebut dan secara singkat menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran dari Negara Anggota yang bersengketa berdasarkan Persetujuan ini (termasuk ketentuan-ketentuan yang diduga telah dilanggar) serta kehilangan atau kerusakan yang diduga disebabkan oleh penanam modal yang bersengketa atau suatu penanaman modal yang dilindungi; dan (c)
pemberitahuan tentang arbitrase berdasarkan Pasal 33 (2) yang disertai dengan pelepasan secara tertulis oleh penanam modal yang bersengketa terhadap hak penanam modal yang bersengketa untuk mengawali atau melanjutkan setiap proses hukum dihadapan pengadilan atau mahkamah administratif di Negara Anggota yang bersengketa, atau prosedur-prosedur penyelesaian sengketa lainnya, terhadap setiap proses hukum berkenaan dengan setiap kebijakan yang diduga melanggar sebagaimana dirujuk dalam Pasal 32 (Klaim oleh Penanam modal dari Suatu Negara Anggota).
2.
Meskipun telah diatur pada subayat 1(c), penanam modal yang bersengketa wajib tidak dihalangi
untuk mengawali atau melanjutkan suatu tindakan yang berupaya terhadap langkah-langkah sementara untuk perlindungan dengan maksud semata-mata untuk menjaga hak dan kepentingan penanam modal yang bersengketa dan tidak melibatkan pembayaran terhadap kerusakan atau penyelesaian substansi hal-hal yang menjadi sengketa, di hadapan pengadilan atau mahkamah administratif di Negara Anggota yang bersengketa. 3.
Suatu Negara Anggota wajib tidak memberikan perlindungan diplomatik, atau mengajukan suatu
klaim internasional berkenaan dengan sengketa dimana salah satu dari penanam modalnya dan Negara Anggota lainnya telah sepakat untuk menyampaikan atau telah menyampaikan untuk proses arbitrase berdasarkan Bagian ini, kecuali Negara Anggota lainnya dimaksud telah gagal mematuhi dan memenuhi putusan sebagaimana diambil dalam sengketa dimaksud. Perlindungan diplomatik, untuk maksud ayat ini, wajib tidak memasukan pertukaran diplomatik informal semata-mata untuk maksud memfasilitasi penyelesaian sengketa. 4.
Suatu Negara Anggota yang bersengketa wajib tidak menyatakan, sebagai suatu pembelaan,
gugatan balik, hak kompensasi atau sebaliknya, dimana penanam modal yang bersengketa yang terkait dengan penanaman modal yang dilindungi tersebut telah menerima atau akan menerima, sesuai
30
www.djpp.kemenkumham.go.id
dengan kontrak asuransi atau penjaminan, pengganti kerugian atau kompensasi lain baik keseluruhan maupun sebagian dari dugaan kerugian. Pasal 35 Pemilihan Para Arbiter 1.
Kecuali apabila para pihak yang bersengketa menyetujui yang lain, majelis terdiri dari tiga orang
arbiter: (a)
satu arbiter yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa; dan
(b)
arbiter ketiga, yang akan menjadi ketua majelis arbitrase, ditunjuk atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Arbiter ketiga wajib merupakan seorang warga negara dari suatu negara yang bukan Negara Anggota yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Negara Anggota yang bersengketa dan Negara Anggota yang tidak bersengketa, dan wajib tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap di Negara Anggota yang bersengketa atau di Negara Anggota yang tidak bersengketa.
2.
Setiap orang yang ditunjuk sebagai arbiter wajib memiliki keahlian atau pengalaman di bidang
hukum publik internasional, perdagangan internasional atau aturan-aturan penanaman modal internasional. Seorang arbiter wajib dipilih hanya atas dasar obyektifitas, keandalan, pertimbangan yang baik dan independensi dan wajib bertindak menurut dasar yang sama selama berjalannya prosesproses hukum arbitrase. 3.
Dengan tunduk pada Pasal 36 (Pelaksanaan Arbitrase), apabila majelis tidak dibentuk dalam
jangka waktu 75 hari sejak tanggal diajukannya suatu permohonan kepada arbitrase berdasarkan Bagian ini, Lembaga Berwenang yang Menunjuk, atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa, wajib menunjuk, menurut kebijakannya, arbiter atau para arbiter yang belum ditunjuk. 4.
Majelis wajib mengambil putusan-putusannya berdasarkan suara terbanyak dan putusan-
putusannya bersifat mengikat. 5.
Para pihak dalam sengketa tersebut wajib menanggung biaya dari masing-masing arbiternya
yang menjadi anggota dalam majelis dan menanggung bersama secara seimbang biaya ketua majelis arbitrase serta biaya-biaya terkait lainnya. Untuk semua hal lainnya, majelis wajib menentukan
31
www.djpp.kemenkumham.go.id
prosedur-prosedurnya sendiri. 6.
Para pihak yang bersengketa dapat menentukan aturan-aturan yang terkait dengan berbagai
pengeluaran yang dikeluarkan oleh majelis, termasuk remunerasi bagi para arbiter. 7.
Apabila seorang arbiter yang ditunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal ini mengundurkan diri
atau tidak dapat melakukan tugasnya, seorang pengganti wajib ditunjuk dengan cara yang sama sebagaimana ditentukan untuk penunjukan arbiter awal dan pengganti tersebut wajib memiliki segala kuasa dan kewajiban dari arbiter awal. Pasal 36 Pelaksanaan Arbitrase 1.
Apabila masalah-masalah yang berkaitan dengan yurisdiksi atau dapat tidaknya diterima diajukan
sebagai keberatan-keberatan awal, majelis wajib memutuskan masalah tersebut sebelum masuk kepada pokok perkara. 2.
Suatu Negara Anggota yang bersengketa dapat, selambat-lambatnya 30 hari setelah
pembentukan majelis, mengajukan suatu keberatan bahwa suatu klaim secara nyata tidak berdasar. Suatu Negara Anggota yang bersengketa juga dapat mengajukan keberatan bahwa suatu klaim sebaliknya berada di luar yurisdiksi atau kewenangan majelis. Negara Anggota yang bersengketa tersebut wajib menyebutkan setepat mungkin dasar dari keberatan tersebut. 3.
Majelis wajib menangani setiap keberatan tersebut sebagai suatu masalah pendahuluan yang
terpisah dari pokok perkara klaim tersebut. Para pihak yang bersengketa wajib diberikan kesempatan yang wajar untuk menyampaikan pandangan-pandangan dan pengamatan-pengamatannya kepada majelis. Apabila majelis memutuskan bahwa klaim tersebut secara nyata tidak berdasar, atau sebaliknya berada di luar yurisdiksi atau kewenangan majelis, majelis wajib memberikan putusan yang menyatakan hal tersebut. 4.
Majelis dapat, apabila diperlukan, memutuskan bahwa pihak yang menang menerima berbagai
pengeluaran dan biaya yang wajar yang timbul dalam mengajukan atau melawan keberatan tersebut. Dalam menentukan apakah putusan tersebut diperlukan, majelis wajib mempertimbangkan apakah
32
www.djpp.kemenkumham.go.id
klaim atau keberatan tersebut tidak beralasan atau secara nyata tidak berdasar, dan wajib memberikan kesempatan yang wajar kepada para pihak yang bersengketa untuk memberikan tanggapannya. 5.
Kecuali para pihak yang bersengketa menyepakati yang lain, majelis wajib menentukan tempat
arbitrase sesuai dengan aturan-aturan arbitrase yang berlaku, dengan ketentuan bahwa tempat tersebut wajib berada di wilayah suatu Negara yang merupakan salah satu pihak dalam Konvensi New York.
6.
Apabila suatu sengketa tentang penanaman modal terkait dengan kebijakan yang mungkin
merupakan suatu kebijakan perpajakan, Negara Anggota yang bersengketa dan Negara Anggota yang tidak bersengketa, termasuk perwakilan administrasi perpajakannya wajib melakukan konsultasi untuk menentukan apakah kebijakan yang dipersoalkan tersebut merupakan suatu kebijakan perpajakan. 7.
Apabila penanam modal yang bersengketa menggugat bahwa Negara Anggota yang
bersengketa telah melanggar Pasal 14 (Pengambilalihan dan Kompensasi) dengan menerapkan atau memberlakukan suatu kebijakan perpajakan, Negara Anggota yang bersengketa dan Negara Anggota yang tidak bersengketa wajib, atas permintaan dari Negara Anggota yang bersengketa, melakukan konsultasi untuk menentukan apakah kebijakan perpajakan yang dipersoalkan memiliki akibat yang setara dengan pengambilalihan atau nasionalisasi.
8.
Setiap majelis yang mungkin dibentuk berdasarkan Bagian ini wajib memberikan pertimbangan
yang serius terhadap keputusan kedua Negara Anggota berdasarkan ayat 6 dan 7. 9.
Apabila kedua Negara Anggota gagal memulai konsultasi sebagaimana dirujuk pada ayat 6 dan 7
atau membuat keputusan-keputusan bersama tersebut, dalam jangka waktu 180 hari sejak tanggal diterimanya permohonan konsultasi sebagaimana dirujuk dalam Pasal 31 (Konsultasi), penanam modal yang bersengketa tidak boleh dicegah untuk mengajukan permohonannya ke arbitrase sesuai dengan Bagian ini. Pasal 37 Konsolidasi
Apabila terdapat dua klaim atau lebih yang diajukan secara terpisah ke arbitrase berdasarkan Pasal 32 (Klaim oleh Penanam modal dari Suatu Negara Anggota) dan klaim-klaim tersebut mempunyai masalah
33
www.djpp.kemenkumham.go.id
hukum atau fakta yang serupa dan timbul karena peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan yang sama atau serupa, semua pihak yang bersengketa dapat menyepakati untuk menggabungkan klaim-klaim tersebut dengan cara yang sesuai menurut mereka. Pasal 38 Laporan Ahli
Tanpa mengurangi arti penunjukan berbagai ahli lainnya apabila diijinkan oleh aturan-aturan arbitrase yang berlaku, majelis, atas permintaan para pihak yang bersengketa, dapat menunjuk seorang ahli atau lebih untuk menyampaikan laporan kepada majelis secara tertulis tentang setiap masalah faktual yang terkait dengan permasalahan lingkungan hidup, kesehatan publik, keselamatan atau permasalahan ilmiah lainnya yang dikemukakan oleh satu pihak yang bersengketa dalam suatu proses arbitrase, dengan tunduk pada persyaratan dan ketentuan sebagaimana disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Pasal 39 Transparansi Proses Arbitrase 1.
Dengan tunduk pada ayat 2 dan 3, Negara Anggota yang bersengketa dapat menyediakan untuk
umum semua putusan akhir dan keputusan yang dibuat oleh majelis. 2.
Salah satu dari para pihak yang bersengketa yang berniat untuk menggunakan informasi yang
ditetapkan sebagai informasi rahasia dalam suatu persidangan wajib menyampaikan niatnya tersebut kepada majelis. Majelis akan melakukan pengaturan yang sesuai untuk melindungi informasi tersebut dari pengungkapan. 3.
Setiap informasi yang secara khusus ditetapkan sebagai informasi rahasia yang diserahkan
kepada majelis atau para pihak yang bersengketa wajib dilindungi dari pengungkapan kepada publik. 4.
Salah satu pihak yang bersengketa dapat mengungkapkan informasi rahasia tersebut kepada
orang-orang yang secara langsung terkait dengan proses-proses hukum arbitrase tersebut apabila dianggap perlu untuk penyusunan kasusnya, namun pihak yang bersangkutan wajib meminta agar informasi rahasia tersebut dijaga kerahasiannya.
34
www.djpp.kemenkumham.go.id
5.
Majelis wajib tidak meminta salah satu Negara Anggota untuk memberikan atau mengizinkan
akses terhadap informasi yang pengungkapannya akan menghalangi penegakan hukum atau bertentangan dengan undang-undang tentang perlindungan kerahasiaan dari Negara Anggota yang bersangkutan, rahasia pribadi, atau urusan keuangan dan rekening pribadi para nasabah dari lembagalembaga keuangan, atau yang dianggap oleh Negara Anggota tersebut bertentangan dengan keamanan utamanya.
6.
Negara Anggota yang tidak bersengketa berhak, atas biayanya sendiri,
menerima dari Negara
Anggota yang bersengketa sebuah salinan pemberitahuan tentang arbitrase, selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal diserahkannya dokumen tersebut kepada Negara Anggota yang bersengketa. Negara Anggota yang bersengketa wajib memberitahukan kepada semua Negara Anggota tentang diterimanya pemberitahuan tentang arbitrase tersebut dalam jangka waktu 30 hari setelah penerimaan tersebut. Pasal 40 Hukum Yang Berlaku 1.
Dengan tunduk pada ayat 2 dan 3, apabila suatu klaim diajukan berdasarkan Pasal 33
(Penyampain Klaim), majelis wajib memutuskan masalah-masalah yang dipersengketakan sesuai dengan Persetujuan ini, setiap Persetujuan lain yang berlaku diantara Negara-negara Anggota, dan aturan-aturan hukum internasional yang berlaku dan apabila sesuai, setiap undang-undang dalam negeri yang terkait yang berlaku di Negara Anggota yang bersengketa. 2.
Majelis wajib, atas dasar pertimbangannya sendiri atau atas permintaan dari salah satu pihak
yang bersengketa, meminta penafsiran bersama atas setiap ketentuan dalam Persetujuan ini yang menjadi masalah dalam suatu sengketa. Negara-negara Anggota wajib mengajukan setiap keputusan bersama secara tertulis yang menyatakan penafsiran mereka kepada majelis dalam jangka waktu 60 hari setelah disampaikannya permintaan tersebut. Tanpa mengurangi arti ketentuan dalam ayat 3, apabila Negara Anggota tidak dapat mengeluarkan keputusan tersebut dalam jangka waktu 60 hari, setiap penafsiran yang diajukan oleh suatu Negara Anggota wajib diteruskan kepada para pihak yang bersengketa dan kepada majelis, yang akan memutuskan perkara tersebut atas dasar pertimbangannya sendiri.
35
www.djpp.kemenkumham.go.id
3.
Suatu keputusan bersama dari Negara-negara Anggota, yang menyatakan penafsiran mereka
tentang suatu ketentuan dalam Persetujuan ini mengikat bagi suatu majelis, dan setiap keputusan atau putusan yang dikeluarkan oleh suatu majelis wajib konsisten dengan keputusan bersama tersebut. Pasal 41 Putusan Akhir
1.
Para pihak yang bersengketa dapat menyepakati suatu penyelesaian sengketa sewaktu-waktu
sebelum majelis mengeluarkan putusan akhirnya. 2.
Apabila suatu majelis membuat putusan akhir terhadap salah satu dari pihak yang bersengketa,
majelis hanya dapat memutuskan, secara terpisah atau bersama-sama: (a)
ganti rugi keuangan dan setiap bunga yang berlaku; dan
(b)
pengembalian kekayaan, dimana putusan tersebut wajib menentukan bahwa Negara Anggota yang bersengketa dapat membayar ganti rugi keuangan dan bunga yang berlaku sebagai ganti pengembalian kekayaan tersebut.
3.
Majelis juga dapat memutuskan berbagai biaya dan biaya pengacara sesuai dengan Persetujuan
ini dan aturan-aturan arbitrase yang berlaku. 4.
Majelis tidak boleh memutuskan kerugian yang bersifat menghukum.
5.
Suatu putusan yang dibuat oleh majelis tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,
kecuali diantara para pihak yang bersengketa dan terkait dengan kasus tersebut. 6.
Dengan tunduk pada ayat 7 dan prosedur peninjauan kembali yang berlaku terhadap suatu
putusan sementara, pihak yang bersengketa wajib, tanpa penundaan, tunduk pada dan mematuhi suatu putusan akhir.15 7.
Pihak yang bersengketa tidak boleh menuntut pelaksanaan dari suatu putusan akhir sampai:
15
Para pihak memahami bahwa mungkin terdapat proses-proses hukum dan administrasi dalam negeri yang perlu diperhatikan sebelum suatu putusan akhir dapat dipatuhi.
36
www.djpp.kemenkumham.go.id
(a)
terkait dengan putusan akhir berdasarkan Konvensi ICSID: (i)
setelah berlalunya jangka waktu selama 120 hari sejak tanggal ditetapkannya putusan akhir tersebut dan tidak ada pihak yang bersengketa yang meminta pengubahan atau pembatalan terhadap putusan akhir tersebut; atau
(ii) (b)
proses-proses hukum pengubahan atau pembatalan telah selesai;
dalam hal putusan akhir berdasarkan Aturan-aturan Kelengkapan Tambahan ICSID, Aturanaturan Arbitrase UNCITRAL, atau aturan-aturan yang dipilih berdasarkan Pasal 33 subayat (1)(e): (i)
setelah berlalunya jangka waktu selama 90 hari sejak tanggal ditetapkannya putusan akhir tersebut dan tidak ada pihak bersengketa yang telah memulai suatu proses hukum untuk mengubah, mengesampingkan, atau membatalkan putusan akhir tersebut; atau
(ii)
suatu pengadilan telah membatalkan atau mengabulkan suatu permohonan untuk mengubah, mengesampingkan, atau membatalkan putusan akhir tersebut dan tidak ada banding lebih lanjut.
8.
Suatu klaim yang diajukan untuk proses arbitrase berdasarkan Bagian ini akan dianggap timbul
karena adanya hubungan atau transaksi komersil untuk tujuan-tujuan Pasal 1 Konvensi New York.
9.
Setiap Negara Anggota wajib mengatur tentang pelaksanaan putusan akhir di wilayahnya. BAGIAN C Pasal 42 Pengaturan Kelembagaan
1.
Dewan AIA, sebagaimana yang dibentuk oleh AEM berdasarkan Persetujuan AIA, bertanggung
jawab atas pelaksanaan Persetujuan ini. 2.
Komite Koordinasi Penanaman Modal ASEAN (”ASEAN Coordinating Committee atau CCI”)
sebagaimana yang dibentuk oleh Dewan AIA dan terdiri dari para pejabat senior yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal dan para pejabat senior lainnya dari instansi-instansi pemerintah yang terkait, wajib membantu Dewan AIA dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. CCI wajib melapor
37
www.djpp.kemenkumham.go.id
kepada Dewan AIA melalui Rapat Para Pejabat Ekonomi Senior (Senior Economic Officials Meeting atau ”SEOM”). Sekretariat ASEAN menjadi sekretariat untuk Dewan AIA dan CCI. 3
Dewan AIA memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: (a)
memberikan pedoman kebijakan tentang berbagai hal yang terkait dengan penanaman modal global dan regional tentang promosi, fasilitasi, perlindungan, serta liberalisasi;
(b)
mengawasi, mengkoordinasikan dan meninjau ulang pelaksanaan Persetujuan ini;
(c)
memberikan informasi terkini kepada AEM tentang pelaksanaan dan pengoperasian Persetujuan ini;
(d)
mempertimbangkan dan merekomendasikan kepada
AEM setiap perubahan atas
Persetujuan ini; (e)
memfasilitasi penghindaran dan penyelesaian berbagai sengketa yang timbul karena Persetujuan ini;
(f)
mengawasi dan mengkoordinasi pekerjaan CCI;
(g)
mengambil setiap keputusan yang diperlukan; dan
(h)
melaksanakan fungsi-fungsi lainnya sebagaimana yang mungkin disetujui oleh AEM. Pasal 43 Konsultasi oleh Negara Anggota
Negara Anggota sepakat untuk saling berkonsultasi atas permintaan setiap Negara Anggota tentang setiap hal yang terkait dengan penanaman modal yang tercakup dalam Persetujuan ini, atau dengan cara lain mempengaruhi pelaksanaan Persetujuan ini. Pasal 44 Hubungan dengan Persetujuan Lainnya Tidak ada ketentuan dalam Persetujuan ini yang menyimpang dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ada dari suatu Negara Anggota berdasarkan Persetujuan-Persetujuan internasional lainnya dimana Negara Anggota tersebut merupakan salah satu pihak.
Pasal 45 Lampiran, Jadwal dan Instrumen di Masa Mendatang
38
www.djpp.kemenkumham.go.id
Persetujuan ini terdiri atas Lampiran-lampiran, Jadwal dan isi yang terkandung di dalamnya, yang merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari Persetujuan ini, dan semua instrumen hukum di masa mendatang yang disepakati sesuai dengan Persetujuan ini. Pasal 46 Perubahan
Ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini dapat dimodifikasi melalui perubahan-perubahan yang disepakati bersama secara tertulis oleh Negara-negara Anggota. Pasal 47 Pengaturan Peralihan Terkait dengan ASEAN IGA dan Persetujuan AIA 1.
Setelah Persetujuan ini mulai berlaku, ASEAN IGA dan Persetujuan AIA akan diakhiri.
2.
Menyimpang dari pengakhiran Persetujuan AIA, Daftar Pengecualian Sementara dan Daftar
Sensitif dalam Persetujuan AIA wajib berlaku atas ketentuan-ketentuan liberalisasi ACIA, mutatis mutandis, sampai dengan berlakunya Daftar Pensyaratan dari ACIA.
3.
Terkait dengan penanaman modal yang berada dalam lingkup Persetujuan ini serta berdasarkan
ASEAN IGA, atau dalam lingkup Persetujuan ini dan Persetujuan AIA, para penanam modal yang melakukan penanaman modal tersebut dapat memilih untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan, tetapi hanya secara keseluruhan, dalam Persetujuan ini atau ASEAN IGA atau Persetujuan AIA, sebagaimana yang terjadi, selama jangka waktu 3 tahun setelah tanggal pengakhiran ASEAN IGA dan Persetujuan AIA. Pasal 48 Mulai Berlakunya Persetujuan 1.
Persetujuan ini mulai berlaku setelah semua Negara Anggota telah memberitahukan atau,
apabila perlu, menyerahkan instrumen-instrumen ratifikasi kepada Sekretaris Jenderal ASEAN, yang tidak boleh lebih dari 180 hari setelah penandatanganan Persetujuan ini.
39
www.djpp.kemenkumham.go.id
2.
Sekretaris Jenderal ASEAN wajib segera memberitahukan kepada semua Negara Anggota
tentang pemberitahuan-pemberitahuan atau penyerahan setiap instrumen ratifikasi yang dimaksud dalam ayat 1. Pasal 49 Penyimpanan
Persetujuan ini akan disimpan oleh Sekretaris Jenderal ASEAN, yang wajib segera memberikan sebuah salinan yang sah kepada masing-masing Negara Anggota. DEMIKIANLAH, para pihak yang bertanda tangan di bawah ini, yang telah diberi wewenang yang sah oleh Pemerintahnya masing-masing, telah menandatangani Persetujuan Penanaman Modal Menyeluruh ASEAN ini. DIBUAT di Cha-am, Thailand, pada tanggal 26 Februari tahun Dua Ribu Sembilan pada sebuah salinan asli dalam Bahasa Inggris. Untuk Brunei Darussalam: Ttd. LIM JOCK SENG Wakil Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Untuk Kerajaan Kamboja: Ttd. CHAM PRASIDH Menteri Senior dan Menteri Perdagangan
40
www.djpp.kemenkumham.go.id
Untuk Republik Indonesia: Ttd. MARI ELKA PANGESTU Menteri Perdagangan
Untuk Republik Demokrasi Rakyat Laos: Ttd. NAM VIYAKETH Menteri Perindustrian dan Perdagangan Untuk Malaysia: Ttd. TAN SRI MUHYIDDIN YASSIN Menteri Perdagangan Internasional dan Perindustrian Untuk Uni Myanmar: Ttd. U SOE THA Menteri Perencanaan Nasional dan Pembangunan Ekonomi Untuk Republik Filipina: Ttd.
PETER B. FAVILA Menteri Perdagangan dan Perindustrian
41
www.djpp.kemenkumham.go.id
Untuk Republik Singapura: Ttd. LIM HNG KIANG Menteri Perdagangan dan Perindustrian
Untuk Kerajaan Thailand: Ttd. PORNTIVA NAKASAI Menteri Perdagangan Untuk Republik Sosialis Vietnam Ttd.
VU HUY HOANG Menteri Perindustrian dan Perdagangan
42
www.djpp.kemenkumham.go.id
LAMPIRAN 1 Persetujuan Tertulis Apabila diperlukan persetujuan tertulis khusus untuk penanaman modal yang dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan dalam negeri dari suatu Negara Anggota, Negara Anggota tersebut wajib: (a)
memberitahukan kepada semua Negara Anggota lainnya melalui Sekretariat ASEAN tentang rincian kontak dari instansi yang berwenang dari Negara Anggota tersebut yang bertanggung jawab untuk memberikan persetujuan tersebut;
(b)
apabila terdapat permohonan yang tidak lengkap, mengidentifikasikan dan memberitahukan kepada pemohon secara tertulis dalam jangka waktu 1 bulan sejak tanggal diterimanya permohonan tersebut tentang semua informasi tambahan yang diperlukan;
(c)
memberitahukan kepada pemohon secara tertulis bahwa penanaman modal yang bersangkutan telah secara khusus disetujui atau ditolak dalam jangka waktu 4 bulan sejak tanggal diterimanya permohonan yang lengkap oleh instansi yang berwenang; dan
(d)
apabila sebuah permohonan ditolak, memberitahukan kepada pemohon secara tertulis tentang alasan-alasan dari penolakan tersebut. Pemohon wajib diberikan kesempatan untuk mengajukan, atas kebijakan pemohon tersebut, suatu permohonan baru.
43
www.djpp.kemenkumham.go.id
LAMPIRAN 2 Pengambilalihan dan Kompensasi 1.
Suatu tindakan atau serangkaian tindakan yang dilakukan oleh suatu Negara Anggota bukan
merupakan pengambilalihan, kecuali apabila tindakan tersebut mengganggu hak kekayaan berwujud atau tak berwujud atau nilai tambah kekayaan dalam suatu penanaman modal yang dilindungi.
2.
Pasal 14 ayat (1) membahas dua situasi: (a)
situasi pertama adalah apabila nasionalisasi dilakukan terhadap suatu penanaman modal atau dengan cara lain dilakukan pengambilalihan langsung melalui pengalihan hak secara resmi atau penyitaan seketika; dan
(b)
situasi kedua adalah apabila suatu tindakan atau serangkaian tindakan yang berkaitan yang dilakukan
oleh
suatu Negara
Anggota mempunyai akibat yang
setara
dengan
pengambilalihan langsung tanpa pengalihan hak secara resmi atau penyitaan seketika. 3.
Penentuan apakah suatu tindakan atau serangkaian tindakan yang dilakukan oleh suatu Negara
Anggota, dalam suatu situasi fakta yang khusus, merupakan pengambilalihan dengan jenis sebagaimana dimaksud dalam subayat 2(b), mewajibkan dilakukannya suatu penyelidikan secara kasus per kasus dan berdasarkan fakta yang mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain: (a)
dampak ekonomis dari tindakan pemerintah, meskipun fakta bahwa suatu tindakan atau serangkaian tindakan yang dilakukan oleh suatu Negara Anggota berdampak buruk terhadap nilai ekonomis dari suatu penanaman modal, secara terpisah, tidak membuktikan terjadinya pengambilalihan tersebut;
(b)
apakah tindakan pemerintah tersebut melanggar komitmen tertulis yang bersifat mengikat yang diberikan sebelumnya oleh pemerintah yang bersangkutan kepada penanam modal yang bersangkutan, baik berdasarkan kontrak, izin atau dokumen hukum lainnya; dan
(c)
sifat dari tindakan pemerintah tersebut, termasuk tujuannya dan apakah tindakan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan umum sebagaimana dirujuk dalam Pasal 14 ayat (1).
4.
Berbagai kebijakan yang bersifat nondiskriminasi dari suatu Negara Anggota yang dirancang dan
diterapkan untuk melindungi tujuan-tujuan kesejahteraan masyarakat yang sah, seperti kesehatan masyarakat, keselamatan dan lingkungan hidup, bukan merupakan suatu pengambilalihan dari jenis yang dirujuk pada subayat 2(b).
44
www.djpp.kemenkumham.go.id
45
www.djpp.kemenkumham.go.id