LITERASI DIGITAL SEBAGAI SOLUSI ATAS KESENJANGAN DIGITAL UNTUK MEMBANGUN PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES DEMOKRASI
Oleh MURIA ENDAH SOKOWATI PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
[email protected] / 0816 426 7335
Rumah Suluh
1
DAFTAR ISI
Status dan perkembangan …………………………………………………………………..
1
Kebijakan dan Program yang ada …………………………………………………………
5
Kendala dan permasalahan …………………………………………………………………..
8
Usulan perubahan kebijakan – Rekomendasi Umum ……………………………..
11
Rekomendasi Khusus ……………………………………………………………………………
13
Lampiran …………………………………………………………………………………………….
17
Rumah Suluh
2
STATUS DAN PERKEMBANGAN
Teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia menunjukkan perkembangan yang signifikan. Riset yang dilakukan oleh Ericsson menunjukkan bahwa kepemilikan tablet tahun 2013 meningkat pesat sebesar 5% dibandingkan tahun 2011 yang masih mencapai 1%. Untuk kepemilikan laptop, sebesar 24% masyarakat memiliki laptop di tahun 2013, sementara di tahun 2011 tercatat hanya 9%. Peningkatannya lebih dari dua kali lipat, sebuah angka yang cukup fantastis. Angka yang lebih besar adalah untuk kepemilikan smartphone yang mencapai 16% di tahun 2013, di mana di tahun 2011 kepemilikan smartphone masih tercatat sebesar 2%. Data tersebut menunjukkan tingginya kepemilikan perangkat berteknologi komunikasi dan informasi. Untuk lebih jelasnya, pertumbuhan signifikan tersebut dapat dilihat pada chart berikut:
Tidak hanya memiliki, para pengguna perangkat-perangkat canggih tersebut juga aktif menjadi content provider (penyedia konten), terutama untuk media sosial, seperti Facebook, Twitter, Path, Blog, Kaskus dan sebagainya, atau instant messaging, seperti Blackberry Messenger, Whatsapp, Line, WeChat dan sebagainya. Data kementerian komunikasi dan informatika menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 82 juta orang, di mana 95%-nya menggunakan internet untuk kepentingan mengakses media sosial. Situs media sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter. Indonesia menempati peringkat ke 4 pengguna Facebook terbesar setelah USA, Brasil, dan India, sementara untuk Twitter Indonesia berada di peringkat ke 5 setelah USA, Brazil, Jepang, dan Inggris. Data lebih detil diungkapkan oleh Webershandwick bahwa untuk wilayah Indonesia ada sekitar 65 juta pengguna Facebook aktif. Sebanyak 33 juta pengguna aktif per harinya, 55 juta pengguna aktif yang memakai perangkat mobile dalam pengaksesannya per bulan dan sekitar 28 juta pengguna aktif yang memakai perangkat mobile per harinya. Untuk Twitter, menurut data dari PT Bakrie Telecom, memiliki 19,5 juta pengguna di Indonesia dari total 500 juta pengguna global. Selain Twitter, media sosial lain yang dikenal di Indonesia adalah Path dengan jumlah pengguna 700.000 di Indonesia. Line sebesar 10 juta pengguna, Google+ 3,4 juta pengguna dan LinkedIn 1 juta pengguna.
Rumah Suluh
3
Media sosial merupakan media online yang paling disukai pengguna internet di Indonesia. Hal tersebut bisa dipahami karena media ini memungkinkan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menyediakan konten. Lewat berbagai fitur di dalamnya, pengguna dimungkinkan menjadi penyedia berbagai informasi, bukan hanya menjadi konsumen pasif selayaknya yang terjadi dalam media-media konvensional. Semangat untuk aktif sebagai content provider merupakan implikasi atas gerakan reformasi pasca runtuhnya orde baru. Salah satu bentuk gerakan tersebut adalah adanya kebebasan untuk menyampaikan pendapat yang sudah diamandemenkan dalan UUD 45 pasal 28 tentang kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini dipelopori oleh kebebasan pers yang mendorong masyarakat untuk tidak lagi khawatir mengemukakan pendapatnya. Media sosial bersama-sama dengan jurnalisme warga menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri, menyampaikan aspirasi, dan melakukan refleksi-sebuah wadah yang mendukung demokratisasi. Partisipasi kedua media tersebut dibuktikan pada masa-pemilihan presiden yang lalu, baik sepanjang masa kampanye hingga proses penghitungan suara. Media sosial-seperti Facebook dan Twitter-menjadi media lalu lintas informasi baik dari atas-dalam hal ini adalah pemerintah, KPU, calon presiden, tim sukses atau pihak-pihak lain yang secara formal menjadi bagian dari proses pemilihan umum-maupun dari bawah, yaitu publik. Tak hanya secara vertikal, namun juga horisontal. Secara top-down, media sosial menjadi wadah untuk mensosialisakan misi visi kandidat, kebijakan, citra yang akan ditampilkan dan sebagainya, sementara secara bottom-up menjadi sarana bagi publik untuk menyampaikan opini, aspirasi dan harapan kepada para kandidat. Untuk komunikasi horisontal, media sosial menjadi media berkomunikasi antar warga, saling menyampaikan informasi hingga mencari dan menunjukkan dukungan. Melihat kenyataan itu, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa media sosial mampu menjadi acuan bahkan sumber referensi bagi publik untuk menentukan pilihannya atau menjadi tolak ukur popularitas masingmasing kandidat. Fakta di atas menunjukkan bahwa publik atau masyarakat telah menjadi partisipan dalam proses demokrasi di Indonesia. Namun benarkah demikian ? Jika ya, publik yang seperti apa yang terlibat aktif dalam proses tersebut? Untuk itu, kita perlu melihat data profil pengguna internet sebagai acuan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Secara demografis, sebanyak 25.52% pengguna internet Indonesia berusia antara 25-30 tahun, 20% pada kisaran usia 21-24 tahun, 12,56% berusia 18-20 tahun,
Rumah Suluh
4
11.93% berusia 35-40 tahun, dan 11,58% untuk usia 31-34 tahun. Dari sisi penghasilan, sebanyak 39,84% berpenghasilan 0-Rp. 4,3 juta, 6,9% berpenghasilan Rp. 4,3 juta- Rp. 8,6 juta, dan 11,17% berpenghasilan Rp. 8,6 juta-Rp. 12,9 juta. Sebanyak 44,59% tinggal di kota-kota besar, 38,32% tinggal di ibukota, dan 17,09% tinggal di daerah terpencil. Sebanyak 66,96% berpendidikan S1, 21,58% SMA, dan 9,54% pasca sarjana.
Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengguna internet di Indonesia dikuasai oleh mereka yang tinggal di daerah perkotaan, SES ABC, welleducated, dan berusia muda. Sementara kelompok masyarakat di luar kategori tersebut dapat dikatakan bukanlah pengguna internet. Banyak hal yang menyebabkan mengapa mereka bukan menjadi pengguna internet, mulai dari akses internet yang belum mampu menjangkau daerah-daerah tertentu, harga perangkat dan akses internet yang masih cukup mahal, rendahnya skill untuk mengoperasikan perangkat teknologi komunikasi dan informasi, hingga konstruksi yang negatif atas teknologi, seperti belum membutuhkan, atau tidak ingin direpotkan oleh teknologi itu sendiri. Lalu bagaimana internet habit para pengguna? Menurut survey yang dilakukan oleh APJII tahun 2013, aktivitas pengguna internet tertinggi adalah pengiriman dan penerimaan e-mail yang mencapai 95,75%, diikuti dengan pencarian berita/informasi (78,49%), pencarian barang/jasa (77,81%), informasi lembaga pemerintahan (65,07%), dan media sosial (61,23%). Sementara untuk media sosial sendiri, aktivitasnya masih didominasi untuk “curhat”, berjualan, dan berkomunikasi dengan teman.
Rumah Suluh
5
Berdasarkan data tersebut, maka ada dua hal yang menjadi catatan. Pertama, terjadi kesenjangan digital (digital divide) secara usia, status sosial ekonomi, lokasi geografis, dan tingkat pendidikan. Kedua, bagi pengguna, mayoritas aktivitas yang dilakukan masih jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan pertukaran informasi yang dibutuhkan oleh publik dalam rangka membangun kehidupan yang demokratis. Artinya partisipasi pengguna dalam membangun iklim demokrasi masih cukup rendah. Maka, jawaban atas pertanyaan di atas adalah, pengguna internet masih belum mampu menjadi partisipan aktif, apalagi bagi publik secara keseluruhan. Hal ini tentu saja sangat disayangkan mengingat pertumbuhan teknologi komunikasi dan informasi di Indonesia tidak diikuti oleh partisipasi publik dalam proses demokratisasi. Digital divide menjadi persoalan yang masih belum disadari oleh pemerintah dan pengambil kebijakan sebagai hambatan yang perlu segera di atasi dalam rangka mendorong iklim demokrasi. Digital divide adalah gap atau kesenjangan antara individu, rumah tangga, industri, komunitas dan kelompok masyarakat, geografis, tingkat sosial ekonomi tertentu dalam memperoleh kesempatan untuk mengakses teknologi komunikasi dan informasi. Penyebab dari kesenjangan ini adalah pada belum meluasnya persebaran teknologi itu sendiri, lemahnya skill, kurangnya konten digital yang bermanfaat, termasuk kurangnya pemanfaatan teknologi untuk menjadi solusi dari berbagai persoalan masyarakat. Untuk itu diperlukan langkah-langkah strategis dan kebijakan dari pemerintah untuk mengatasi persoalan digital divide ini. Kebijakan dalam bidang digital perlu mendapat perhatian yang serius untuk dapat meningkatkan partisipasi publik di masamasa yang akan datang.
Rumah Suluh
6
KEBIJAKAN DAN PROGRAM YANG ADA Program dan kebijakan pemerintah dalam bidang Teknologi dan Komunikasi telah dirumuskan sejak tahun 1980an. Berikut ini program dan kebijakan tersebut: PROGRAM PEMERINTAH BIDANG TIK TAHUN Akhir 1980an 1997
PROGRAM Sistem Informasi Manajemen Nasional (Simnas) Pengembangan Nusantara 21 (N21)
1998
National Information Technology Framework (NITF)
1998
Program Pengembangan Infrastruktur Informasi (IIDP) Sistem Informasi Nasional atau Sisfonas
2002
2006
Strategi e-Indonesia
TUJUAN Proses pengembangan strategi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Nasional Pengembangan sistem informasi yang bersifat nasional yang mencakup hampir seluruh bidang kepemerintahan dan bisnis. Pengembangan infrastruktur teknis sistem informasi Memfokuskan pada kerangka pengaturan, keamanan jaringan serta pelatihan. Pengkoordinasian dan pengintegrasian seluruh sumberdaya sistem informasi yang dimiliki oleh pemerintah untuk membentuk suatu sistem informasi pemerintahan yang terintegrasi secara nasional. Merumuskan strategi TIK dalam rangka percepatan pembangunan nasional yang meliputi suprastruktur informasi. Di dalam Strategi eIndonesia ditetapkan beberapa Early Winning Program (EWP) antara lain: e-Pendidikan, eLayanan Publik, e-Finance, dan Nomor Identitas.
Dalam rangka mewujudkan Strategi e-Indonesia, pemerintah membentuk Dewan TIK Nasional (DeTIKNas), dan diketuai oleh presiden melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 20 tahun 2006. DeTIKNas mempunyai visi untuk mempercepat pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia secara efisien dengan membuat kebijakan TIK secara nasional melalui sinkronisasi programprogram TIK di seluruh kementerian atau lembaga. Tugas DeTIKNas adalah sebagai berikut : 1. Merumuskan kebijakan umum dan arahan strategis pembangunan nasional, melalui pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi; 2. Melakukan pengkajian dalam menetapkan langkah-langkah penyelesaian permasalahan strategis yang timbul dalam rangka pengembangan teknologi informasi dan komunikasi; 3. Melakukan koordinasi nasional dengan instansi Pemerintah Pusat/Daerah, Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Dunia Usaha, Lembaga Profesional, dan komunitas teknologi informasi dan komunikasi, serta masyarakat pada umumnya dalam rangka pengembangan teknologi informasi dan komunikasi; 4. Memberikan persetujuan atas pelaksanaan program teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat lintas departemen agar efektif dan efisien. Selanjutnya DeTIKNas merumuskan Program Flagship, atau program strategis yaitu suatu program TIK yang menjadi fokus nasional. Program Flagship Rumah Suluh
7
tersebut adalah sebagai berikut:
Deskripsi Singkat Program Flagship Flagship
National Single Window (NSW) e-Pendidikan
Palapa ring
Software Legal
e-Procurement
Rumah Suluh
Deskripsi Merupakan satu jendela dalam bentuk ICT yang merupakan suatu sistem yang mampu melakukan pengajuan data dan informasi, single submission, single processing data dan informasi, serta single decision untuk melakukan suatu release barang. TIK berperan dalam menunjang tiga pilar kebijakan pendidikan, yaitu perluasan dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, serta penguatan tata kelola akuntabilitas dan citra publik pendidikan. Peranan TIK di dalam dunia pendidikan menjadikan pendidikan yang bermutu, akuntabel, murah, merata, dan terjangkau oleh rakyat banyak. Akselerasi pertumbuhan dan pemerataan pembangunan sosial ekonomi melalui ketersediaan infrastruktur jaringan telekomunikasi berkapasitas besar yang terpadu bisa memberikan jaminan kualitas internet dan komunikasi yang berkualitas tinggi, aman, dan murah. Mendorong penggunaan software legal, yaitu dengan melakukan serangkaian kampanye mengenai software legal guna mensosialisasikan, mengajak, memberikan pendidikan kepada semua pihak untuk tidak menggunakan software bajakan, serta memberikan pemahaman kepada masyarakat umum dan institusi tentang software legal. Suatu proses pengadaan barang dan jasa secara online melalui internet, proses ini akan menjadi transparan dan dapat mudah diawasi oleh masyarakat sehingga proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah akan
8
e-Anggaran
Nomor Identitas Nasional e-Health E-Cultural Heritage e-Agriculture
adil (fair). Sistem anggaran yang meleburkan anggaran rutin dan anggaran pembangunan dalam satu format anggaran, yang diharapkan akan mengurangi alokasi yang tumpang-tindih. Penerapan e-Anggaran diharapkan dapat menciptakan efisiensi dalam penggunaan anggaran sehingga mewujudkan good governance Semua penduduk tercatat dengan data yang unik dan data penduduk tercatat, akurat dan terkontrol Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Program strategis yang bertujuan untuk membangun karakter bangsa dan melestarikan budaya nasional. Bertujuan untuk memangkas rantai distribusi produk-produk pertanian yang panjang, dan berusaha mendekatkan produsen kepada konsumen untuk meningkatkan posisi tawar para petani.
KENDALA DAN PERMASALAHAN Rumah Suluh
9
Jika melihat bagaimana implementasi dan evaluasi masing-masing program flagship, tentu saja ada banyak kendala. Sebut saja belum adanya koordinasi dari masing-masing departemen, adanya peraturan-peraturan yang menghambat implementasi, kurangnya sosialisasi program, hingga belum adanya perencanaan yang strategis dan taktis yang akhirnya membuat program tersebut kurang berjalan optimal, bahkan berujung pada pemborosan pendanaan. Ketika sebuah proyek TIK gagal, maka yang terjadi adalah kerugian besar. Tulisan ini tidak akan membahas persoalan tersebut secara mendalam, namun akan melihat berbagai kendala dan permasalahan tentang program dan kebijakan pemerintah di bidang TIK secara umum yang berkaitan dengan persoalan partisipasi publik yang sejak awal menjadi perhatian. Di bagian awal tulisan ini, telah disinggung bagaimana digital divide menjadi sumber persoalan bagi rendahnya partisipasi publik dalam memanfaatkan TIK untuk mendukung iklim demokratisasi. Kesenjangan digital tersebut mencakup pada dua aspek, yaitu pada aspek piranti TIK yang meliputi hardware, software, jaringan dan skill; sedangkan aspek kedua adalah pada sikap dan perilaku pengguna. Pada bagian ini, penulis akan membahas kendala dan permasalahan program dan kebijakan pemerintah di bidang TIK dengan menghubungkan pada dua aspek tersebut. Sebetulnya persoalan kesenjangan digital atau digital divide ini sudah menjadi perhatian dari DeTIKNas. Hal tersebut menjadi bagian dari latar belakang persoalan TIK di Indonesia yang menjadi dasar perumusan program flagship seperti yang disampaikan dalam makalah ICT 2007 Indonesia Summit and Techo Conference. Bagaimana DeTIKNas melihat persoalan Digital Divide ini dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Pada bagan tersebut, DeTIKNas melihat bahwa persoalan digital divide mundul ketika menghubungkan infrastuktur TIK dengan persoalan budaya. Kesenjangan digital terjadi karena belum adanya dukungan secara kultural dari publik. Misalnya Rumah Suluh
10
adanya resistensi dari lembaga tertentu atas perangkat TIK yang dioperasikan di lembaga tertentu karena perangkat TIK merubah pola kerja atau kebiasaan kerja lembaga tertentu. Namun yang masih disayangkan adalah jika merujuk pada perumusan program flagship dapat dikatakan bahwa pemahaman DeTIKNas terhadap digital divide masih terbatas pada persoalan hardware, software, jaringan dan skill-yang disebut oleh penulis sebagai aspek yang pertama. Jika melihat kebijakan dan program TIK yang dirumuskan oleh pemerintah masih menitikberatkan pada persoalanpersoalan seperti pemerataan perangkat TIK dan akses internet, integrasi data, pelatihan pengoperasian perangkat TIK dan sejenisnya. Misalnya saja jika kita melihat pada strategi implementasi e-Government berikut ini:
Jika dilihat dari aspek pertama, sesungguhnya program flagship yang dirumuskan oleh DeTIKNas sudah cukup baik. Artinya, upaya mereduksi kesenjangan digital dengan mengatasi persoalan hardware, software, jaringan dan skill atau sumber daya manusia sudah cukup strategis. Hanya perlu perencanaan yang lebih matang untuk dapat menghasilkan implementasi yang mencapai sasaran sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Menurut Majalah ICT edisi Februari 2014, DeTIKNas dinilai belum banyak memberikan kontribusi yang signifikan pada perkembangan TIK di Indonesia, sehingga ada dan tidaknya DeTIKNas tidak berdampak apa-apa. Tidak ada kebijakan strategis yang terlihat dihasilkan hingga saat ini. Beberapa program flagship yang pernah digembar-gemborkan tidak nampak hasilnya, kalaupun ada berjalan, itu dikarenakan instansi terkait yang menjalankan dibanding DeTIKNas itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa DeTIKNas belum mampu menjalankan program flagship secara optimal.
Rumah Suluh
11
Beberapa program yang sudah berjalanpun belum menunjukkan hasil yang signifikan. Misalnya saja program IGOS (Indonesia Goes Open Source) sebagai program yang dibuat untuk mengatasi pembajakan software ilegal. Program ini melakukan sosialisasi di beberapa instansi tentang pemanfaatan open source sebagai software yag legal. Namun, program ini tidak menunjukkan hasil yang diharapkan mengingat masih maraknya penggunaan software bajakan saat ini dan pemanfaatan open source yang masih minim. Contoh lain produk DeTIKNas adalah disahkannya UU ITE tahun 2008 yang kontroversial, terutama pada pasal 27 dan 28 yang bertentangan dengan UU lain, misalnya UU Pers. Pasal ini dinilai memberangus kebebasan berekspresi yang menjadi hakekat dari teknologi digital. Akibatnya pasalpasal tersebut justru banyak memakan korban pihak-pihak yang beropini lewat dunia maya. Melihat kasus-kasus di atas, maka sudah seharusnya lembaga ini perlu dievaluasi kembali agar blueprint yang sudah ada yang sesungguhnya sudah cukup baik, bisa diimplementasikan sehingga tercapai hasil yang diharapkan. Hal lain yang menjadi kelemahan pemerintah dan DeTIKNas adalah masih diabaikannya aspek yang kedua. Pengadaan dan kepemilikan perangkat TIK tidak diikuti oleh sikap dan perilaku masyarakat. Kehadiran teknologi mendorong terjadinya perubahan sosial. Agar teknologi dapat berjalan optimal, maka perlu kesiapan masyarakat. Bagaimanapun teknologi ibarat dua sisi mata uang, yang diciptakan untuk menjadi solusi atas persoalan. Namun jika tidak disikapi dan digunakan secara tepat justru dapat menjad senjata yang berbahaya. Untuk itu perlu dibangun kesadaran untuk memanfaatkan teknologi secara bijak dan dewasa. Persoalan inilah yang belum diperhatikan secara serius oleh pemerintah. Padahal kesenjangan digital sebenarnya mencerminkan beragam kesenjangan dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dan akibat perbedaan pemanfaatannya dalam suatu negara yang tidak hanya disebabkan karena kurangnya infrastruktur dan skill atau sumber daya manusia, namun juga pada miskinnya materi atau konten dan rendahnya pemanfaatan teknologi itu sendiri. Pemanfaatan di sini bukan pada semata-mata digunakan, namun digunakan secara tepat guna. Akibat belum adanya pemanfaatan teknologi secara tepat guna dapat dilihat pada munculnya berbagai persoalan, seperti pembobolan kartu kredit, maraknya konten pornografi di internet, kasus pencemaran nama baik di media sosial, penipuan online dan sebagainya. Kasus-kasus tersebut merupakan side effect dari teknologi yang disebabkan karena belum siapnya masyarakat terhadap perubahan yang dibawa oleh teknologi. Teknologi informasi dan komunikasi sejatinya bisa dimanfaatkan secara optimal dalam membangun partisipasi publik sehingga tercipta iklim demokrasi yang lebih baik.
Rumah Suluh
12
USULAN PERUBAHAN KEBIJAKAN – REKOMENDASI UMUM Partisipasi publik hanya dapat terjadi dalam masyarakat yang berdaya (emancipation society). Menurut Habermas (2003), masyarakat yang emansipatif ini adalah masyarakat yang memiliki kebebasan dan kesetaraan, yaitu bebas dari dominasi kepentingan pihak manapun, dan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Untuk itu, komunikasi merupakan sarana yang sangat penting dalam emansipasi karena bahasa merupakan alat di mana emancipatory interest bisa dipenuhi. Dalam rangka membangun masyarakat yag emansipatif, perlu dibangun ideal speech situation dengan mendorong kebebasan mengeluarkan pendapat, membangun akses yang setara bagi setiap individu untuk berbicara dan mengemukakan pendapatnya, serta perumusan norma-morma dan peraturan dalam masyarakat yang tidak hanya menyuarakan pihakpiha tertentu, namun dapat mengakomodasi seluruh struktur dalam masyarakat. Dalam kesenjangan digital, kondisi tersebut tidak dapat dicapai karena kesenjangan digital menciptakan dominasi dari pihak-pihak yang memiliki akses atas teknologi terhadap mereka yang tidak memiliki akses. Kondisi tersebut juga tidak menciptakan kesempatan yang sama pada setiap orang untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Hanya kelompok-kelompok yang memiliki dan menguasai TIK yang memiliki kekuatan dan kesempatan untuk menguasai dunia digital, sementara pihak yang tidak memiliki akses dan kemampuan hanya akan menjadi pihak yang tersubordinasi. Bagi mereka yang mampu menghasilkan sekaligus memanfaatkan teknologi memiliki peluang lebih besar untuk mengelola sumber daya ekonomi, sementara yang tidak memiliki teknologi harus puas sebagai penonton saja. Untuk itu, kesenjangan digital harus diatasi, dan solusi untuk itu adalah digital literacy. Digital literacy atau literasi digital merupakan kemampuan menggunakan teknologi digital untuk memahami, mengevaluasi, menggunakan dan menciptakan informasi. Berdasarkan pemahaman tersebut, literasi digital bukan sekedar literasi komputer, atau literasi ICT yang hanya menitikberatkan pada aspek teknis. Gilster (1997:1) mendefinisikannya sebagai berikut: The ability to understand and use information in multiple formats from a wide range of sources when it is presented via computers. The concept of literacy goes beyond simply being able to read; it has always meant the ability to read with meaning, and to understand. Gilster menjelaskan literasi digital sebagai sebuah pemikiran kritis, bukan sebagai kompetensi teknis. Literasi digital lebih dari sekedar skill atau kompetensi, namun sebuah evaluasi kritis. Hal inilah yang sering diabaikan oleh para perumus kebijakan digital di Indonesia. Literasi digital yang dilakukan selama ini masih terbatas pada skill dan kompetensi. Dalam menggunakan teknologi digital, seorang individu harus memiliki kesadaran, skill, pemahaman dan menggunakan pendekatan reflektif-evaluatif (Martin, 2003:18). Lewat literasi digital, seorang individu diharapkan bukan sekedar menguasai teknis atau mengoperasikannya, namun juga mampu memahami, mengevaluasi, mengkritisi, baik teknologi dan konsekuensi yang mengikutinya, maupun informasi
Rumah Suluh
13
yang dibawanya. Dengan memiliki kompetensi tersebut, individu akan mampu menciptakan inovasi atas teknologi, baik piranti maupun konten. Untuk itu, penulis merekomendasikan untuk dirumuskan kebijakan yang dapat membangun kompetensi digital (digital competence). Kompetensi ini menjadi level dasar dari level digital usage dan digital transformation, yang mencakup aspek-aspek yang luas dimulai dari skill hingga pendekatan yang lebih kritis, konseptual dan evaluatif. Kompetensi digital harus dibangun sejak dini dan sejalan dengan program pembangunan karakter yang menjadi fokus perhatian pendidikan dasar yang digagas oleh Ir. Joko Widodo selaku presiden terpilih. Kompetensi digital juga diperlukan untuk mendukung wacana tentang blusukan secara online lewat media sosial yang juga disampaikan oleh presiden terpilih untuk menjaring aspirasi publik. Blusukan sendiri menjadi ciri khas kepemimpinan beliau yang akan dilanjutkan saat beliau resmi menjadi presiden RI. Tanpa kompetensi digital yang memadai, program ini tidak akan mampu menjangkau seluruh publik dalam berbagai level dan kondisi. Fokus pada level kompetensi digital adalah berdasarkan argumentasi bahwa jika kompetensi ini terpenuhi, maka di level-level berikutnya secara otomatis akan dapat dicapai. Level digital usage meliputi fase di mana kompetensi digital dapat menjadi sebuah profesi, sementara digital transformation adalah kemampuan untuk berinovasi dan berkreasi secara digital (Martin, 2003). LEVELS OF DIGITAL LITERACY
Kebijakan yang berkaitan dengan kompetensi digital hendaknya menjadi perhatian dari pemerintah, dalam hal ini DeTIKNas, dan dapat dirumuskan bersamasama dengan kebijakan yang berkaitan dengan aspek-aspek yang lain, seperti pengadaan hardware dan software, jaringan dan skill seperti yang sudah dijalankan selama ini. Kompetensi digital dapat dicapai melalui pembelajaran atau edukasi. Edukasi dapat dilakukan secara formal maupun informal. Secara formal berarti lewat institusi formal, seperti sekolah. Secara informal bisa lewat pelatihan-pelatihan berkala yang dilakukan lewat institusi atau komunitas-komunitas dalam masyarakat.
Rumah Suluh
14
REKOMENDASI KHUSUS Dalam membangun kompetensi digital, ada 4 elemen yang harus dipersiapkan. Ke empat elemen tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pemerataan infrastruktur Pemerataan infrastruktur dilakukan dengan membangun fasilitas telekomunikasi yang memadai. Pembangunan fasilitas telekomunikasi harus dibuat berimbang antara kota, desa, dan daerah tertinggal, sehingga setiap masyarakat yang ingin mengakses informasi dapat tercapai dengan tersedianya fasilitas telekomunikasi yang memadai. Layanan Internet memainkan peranan penting dalam mengurangi digital divide. Untuk itu pemerataan dan perbaikan akses internet menjadi prioritas utama. Pembangunan hotspot-hotspot baik di kota, di desa hingga di daerah terpencil penting untuk direalisasikan. Selain itu perangkat TIK, atau komputer perlu disediakan di sekolahsekolah dasar, menengah dan atas, juga di instansi-instansi pemerintah. Warung-warung internet harus tersedia di setiap kelurahan dengan tarif yang murah. 2. Membangun konteks Membangun konteks berarti mengkondisikan kehidupan individu sehari-hari apakah akan positif ataukah negatif (Cheng, 1985). Berkaitan dengan pembentukan kompetensi digital, perlu dibangun atmosfer atau suasana yang kondusif dalam konteks ICT. Dalam pendekatan Social Construction of Technology disebutkan bahwa penerimaan individu atas teknologi ditentukan oleh konstruksi individu terhadap teknologi. Jika ia menyadari bahwa teknologi akan menjadi solusi bagi persoalan hidupnya, maka ia akan mengadopsi teknologi tersebut. Konstruksi sosial ini tidak lepas dari persoalan kultur yang memediasi pemahaman individu atas teknologi (Kitchin, 1998). Salah satu persoalan yang menjadi hambatan dalam membangun konstruksi positif atas teknologi adalah kurangnya konten atau materi dan sistem pengoperasian yang berbahasa Indonesia. Hal ini sangat menghambat terutama bagi old generation. Untuk itu yang perlu menjadi perhatian adalah perlunya upaya untuk menciptakan konteks dengan menyiapkan konten dan materi berbahasa Indonesia yang diupload via media sosial, blog, website dan sejenisnya yang membangun kerangka pemahaman bahwa TIK merupakan kebutuhan publik dan merupakan sarana yang penting bagi publik untuk membantu publik dalam mencapai tujuan hidupnya. Hal ini bisa dilakukan oleh tim yang ditunjuk oleh DeTIKNas. 3. Menyiapkan kompetensi teknis Kompetisi teknis di sini mencakup peningkatan kemampuan individu di bidang TIK, tidak hanya mengoperasikan namun juga mampu menjadi Rumah Suluh
15
produser yang mampu berkreasi dan berinovasi produk-produk digital. Persiapan meningkatkan kompetensi teknik dilaksanakan bersama-sama dengan pembangunan elemen berikutnya. 4. Membangun kultur digital : menuju masyarakat informasi Membangun kultur digital berarti mempersiapkan masyarakat untuk bisa menangani, menerima, menilai, memutuskan dan
memilih informasi yang tersedia. Penyiapan kondisi psikologis bagi masyarakat untuk menerima, menilai, memutuskan dan memilih informasi bagi diri mereka sendiri akan lebih efektif dan mendewasakan masyarakat dalam mengelola informasi dengan baik. Selain itu kultur ini juga mendorong individu untuk senantiasa berpikir dan bersikap kritis terhadap informasi yang dibawa oleh teknologi digital; dan memposisikan teknologi digital semata-mata sebagai alat dan sarana yang membantu manusia untuk menyelesaikan persoalannya, termasuk berpartisipasi dalam proses demokrasi. Dengan memposisikan teknologi sebagai alat, maka individu tidak akan terjebak pada determinasi teknologi yang berlebihan. Determinasi teknologi sendiri adalah pandangan yang menganggap bahwa teknologi sebagai dewa penolong yang mendorong individu menjadi tergantung dan dikendalikan oleh teknologi. Semakin banyak publik yang memiliki tingkat kompetensi digital yang tinggi, maka akan semakin kompetitif nilai keunggulannya. Untuk itu salah satu masalah yang muncul dalam masyarakat adalah terdapatnya kesenjangan digital antar generasi di masyarakat. Bersama-sama dengan elemen ke 3, maka perlu dilakukan beberapa program kegiatan yang menyasar tiga segmen generasi yang berbeda, yaitu old generation, today’s generation, dan next generation. a. Old generation, yaitu generasi yang berusia di atas 50 tahun. Usia ini merupakan usia yang seringkali menolak untuk mengadopsi perangkat TIK karena dianggap merepotkan dan kesulitan untuk mengoperasikannya. Kelompok ini juga sering dijuluki gaptek atau gagap teknologi. Salah satu objektif literasi digital pada old generation adalah untuk mencapai kualitas hidup yang memadai di usia senja mereka dan membiarkan orang-orang lanjut usia ini untuk memiliki partisipasi aktif. TIK menjadi sarana untuk mempromosikan kehidupan partisipatif mereka. Caranya adalah dengan membangun konstruksi pemahaman bahwa TIK membantu mereka untuk dapat meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Metode yang dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan secara personal kepada old generation dengan melakukan sosialisasi-sosialisasi yang memanfaatkan komunitas atau kelompok lanjut usia. Sebagai perbandingan, di negara maju dibuat sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang yang lanjut usia, lalu mereka ditraining secara khusus. Namun, untuk efisiensi dapat memanfaatkan organisasi-organisasi yang sudah ada. b. Today’s generation. Terdapat dua generasi yang berpengaruh langsung Rumah Suluh
16
terhadap masyarakat, yaitu today’s generation dan old generation. Old generation secara bertahap akan memberikan tongkat estafetnya kepada today’s generation. Yang menjadi masalah di Indonesia adalah tingkat kompetensi digital pada today’s generation masih terbilang cukup rendah. Hal ini tentunya akan berdampak pada terbentuknya next generation. Untuk itulah perlu usaha keras agar terjadi akselarasi kompetensi digital pada today’s generation. Kelompok generasi ini adalah mereka yang sudah menyelesaikan pendidikannya atau di luar usia sekolah. Kisaran usianya antara 23-50 tahun yang dapat dikatakan sebagai usia produktif dan usia bekerja, apakah di instansi tertentu, menjadi pengusaha dan menyandang profesi tertentu. Untuk mereka yang berada pada generasi ini pelatihan TIK sudah sering dilakukan. Tujuannya adalah meningkatkan kemampuan dan keahlian mereka mengoperasikan dan memanfaatkan perangkat TIK agar dapat menjalankan profesi mereka dengan optimal. Untuk itu pelaksanaan pelatihan ini perlu ditingkatkan secara berkala dan berkelanjutan dengan menambah materi tentang kultur digital. Materi tentang kultur digital ini sering diabaikan sehingga kompetensi digital yang berkaitan dengan sikap dan perilaku yang kondusif terhadap kultur digital belum dimiliki oleh mereka yang masuk dalam generasi ini. Pelatihan intensif dapat dilakukan lewat institusi terkait atau asosiasi yang mewadahi profesi. Objektifnya adalah untuk menyiapkan kondisi psikologis masyarakat untuk menerima, menilai, memutuskan dan memilih informasi bagi diri mereka sendiri akan lebih efektif dan mendewasakan masyarakat untuk bisa mengelola informasi dengan baik. Dengan kemajuan teknologi informasi seseorang atau masyarakat akan mendapat kemudahan akses untuk menggunakan dan memperoleh informasi sesuai dengan kebutuhannya. Pada titik inilah today’s generation sebagai generasi produktif dapat meningkatkan partisipasi mereka dalam proses demokrasi dan pembangunan. c. Next Generation, yaitu kelompok masyarakat yang akan memiliki tingkat melek digital yang tinggi. Namun generasi ini baru akan memberikan kontribusinya langsung pada masyarakat di kemudian hari. Cara yang perlu dilakukan untuk mempersiapkan generasi ini adalah dengan melatih penguasaan TIK dan membangun budaya digital sejak dini. Usia next generation adalah usia sekolah, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Untuk itu, implementasi e-learning dalam proses pendidikan menjadi penting untuk segera dilakukan. E-learning yang dimaksud adalah pemanfaatan TIK dalam proses belajar mengajar yang dapat membantu (bukan menggantikan) peran guru secara tatap muka. Lewat e-learning, siswa dibiasakan untuk berada dalam lingkungan digital sehingga budaya digital ini bisa terinternalisasi. Peran guru di sini menjadi sangat penting, sehingga perlu disiapkan tenaga pengajar yang handal untuk menjadi agen sosialisasi budaya digital bagi siswanya. Pelatihan intensif dan berkelanjutan perlu dilakukan untuk seluruh guru. Selain itu perlu
Rumah Suluh
17
dimasukkan metode e-learning ini sebagai salah satu metode wajib dalam proses belajar mengajar di sekolah. Untuk menjalankan program untuk mendukung elemen 3 dan 4, perlu dibentuk tim khusus, bisa di bawah DeTIKNet sehingga kegiatan sosialisasi dan pelatihan yang menyasar tiga generasi dengan segmen dan karakteristik publik yang berbeda dapat dijalankan dengan lebih serius dan terarah. Tim selanjutnya perlu mempersiapkan langkah-langkah berikut: a.
b. c.
Mempersiapkan strategi sosialisasi dan pelatihan untuk ke 3 generasi. Perlu dibuat strategi yang berbeda bagi ke tiga generasi tersebut karena masing-masing generasi memiliki kebutuhan dan tujuan yang berbeda. Mempersiapkan tenaga pendidik dan instruktur instruktur TIK. Mempersiapkan materi dan membuat modul yang mencakup kompetensi teknis dan sosialisasi budaya digital.
Rumah Suluh
18
LAMPIRAN
KEBIJAKAN PENINGKATAN KOMPETENSI DIGITAL
Rumah Suluh
19