MAKALAH MEDIA LITERASI DAN DIGITAL LITERASI D I S U S U N Oleh :
NOVIA RIZQI (110709035)
ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah “Perpustakaan Digital”. Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai Media Literasi dan Digital Literasi Balik Informasi. Harapan penulis semoga makalah ini dipergunakan sebagai salah satu acuan, serta pengenalan untuk menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman bagi para pembaca. Makalah ini juga masih banyak terdapat banyak kekurangan, karena pengalaman yang saya miliki masih sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun sehingga penulis dapat memperbaikinya. Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini dan semoga makalah ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.
Medan, Mei 2013
Penulis
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Media massa adalah Media yang digunakan secara massal untuk menyebarluaskan informasi kepada khalayak. Informasi itu bisa berupa hiburan, atau pendidikan. Media massa terdiri media cetak dan media elektronik. Yang termasuk media cetak adalah koran, majalah, tabloid, newsletter, dan lain-lain. Sedangkan media elektronik adalah televisi dan film (media audiovisual), juga radio (media audio). Fungsi Media massa setidaknya ada empat, yaitu menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), membentuk opini atau pendapat (to persuade), dan menghibur (to entertain). Media literacy muncul didorong kenyataan bahwa fungsi media massa lebih dominan dalam hal menghibur, dan mengabaikan fungsi mendidik. Sebagaimana diketahui, peradaban masa depan adalah masyarakat informasi (information society), yaitu peradaban dimana informasi sudah menjadi komoditas utama, dan interaksi antar manusia sudah berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK), demikian antara lain sambutan tertulis Menkominfo yang disampaikan oleh Deputi Bidang SDM Kominfo Ir. RSY. Kusumastuti pada acara pembukaan Diklat Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk kalangan aparatur negara yang diselenggarakan di Jakarta, atas kerja sama Depkominfo dan Japan International Cooperation Agency (ccl – admin). Selain itu, perkembangan teknologi informasi memacu suatu cara baru dalam kehidupan, dari kehidupan dimulai sampai dengan berakhir, kehidupan seperti ini dikenal dengan elife, artinya kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan secara elektronik. Dan sekarang ini, sedang semarak dengan berbagai huruf yang dimulai dengan awalan e, seperti ecommerce, egovernment, eeducation, elibrary, ejournal, emedicine, elaboratory, ebiodiversity, dan yang lainnya lagi yang berbasis elektronika (Wardiana, 2002). Seperti telah diungkapkan di atas, eletronik secara tidak langsung mempunyai peran strategis dalam mengembangkan masyarakat informasi. Mengapa demikian, karena elektronik bertindak sebagai perantara atau media yang membawa atau menyuarakan informasi dari pengirim ke penerima. Jadi, tidaklah mengherankan jika saat ini pertumbuhan informasi berbanding lurus dengan keberadaan media yang berkembang di masyarakat. Antara media dan informasi bagai 2 sisi mata uang yang saling berdekatan dan mempunyai hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Informasi akan mudah dan cepat tersampaikan dengan adanya campur tangan media. Mediapun akan sedikit kehilangan giginya bila tidak ada yang disuarakannya. Jadi bisa dikatakan, media hadir untuk mempermudah dan mempercepat lajunya informasi sampai ke sasaran, sebaliknya informasi ada untuk mengisi media. Untuk itu guna menuju transformasi masyarakat menuju masyarakat informasi dan masyarakat berbasis pengetahuan, tidak saja membutuhkan infrastruktur (hardware, software, aplikasi, dan konektivitas/akses) yang handal, dan regulasi (peraturan) yang
mendukung, tetapi juga sumber daya manusia (SDM) ataubrainware dengan tingkat literasi (melek) media yang memadai dan kemampuan mengeksplorasi konten (literasi informasi) untuk menciptakan kemakmuran (ccl – admin). Bahkan dalam sebuah papernya, Fasli Jalal dan Nina Sardjunani menghubungkan antara tingkat literasi dengan harapan hidup masyarakat. Ternyata ada korelasi yang positif antara keduanya, artinya semakin tinggi tingkat literasi sebuah masyarakat semakin tinggi pula harapan hidupnya (Isnaini). Fenomena di atas akhirnya menimbulkan pelbagai paradigma baru dalam pendidikan. Pendidikan sebagai sarana belajar kian mendapatkan tantangan, ketika dihadapkan dengan zaman yang menurut para teorisi teknologi komunikasi (Marshall McLuhan dan Regis Debray) dikenal sebagai “The Age of Media Society” (Astuti). Kampus sebagai salah satu produsen yang membidani terbentuknya sebuah masyarakat intelektual, sudah sepantasnya ikut mengambil bagian dalam pewujudan masyarakat informasi seperti yang telah diungkapkan di atas. Namun sayangnya, tidak mudah untuk mewujudkan hal tersebut. Kendala yang melingkari terciptanya masyakat literat ini tidak lain adalah sebagai berikut (Bukhori, 2005) : Pertama, budaya minat baca bangsa Indonesia masih tergolong rendah. Terbukti, kebanyakan kita merasa lebih berani merogoh saku lebih tebal untuk membeli kebutuhan lain seperti makanan, pakaian, perhiasan, dan bahkan alat-alat rumah tangga, ketimbang membeli buku. Tingkat ekonomi yang rendah sering menjadi alasan lemahnya daya beli buku masyarakat. Karenanya, kita menjadi tidak akrab dan merasa asing dengan buku dan memiliki minat membaca yang rendah. Kedua, karena adanya dampak negatif perkembangan teknologi bagi masyarakat. Masyarakat kita yang awalnya bertradisi lisan atau oral society secara drastis bergerak ke budaya elektronik seperti TV dan radio, sebelum memasuki budaya tulis secara ajek. Kita telah langsung melompat dari tradisi mendongeng ke tradisi menonton sebelum terbiasa dengan tradisi membaca. Ditambah lagi, tipe pendidikan di Indonesia masih cenderung menganut interaksi satu arah dalam proses pembelajarannya. Dengan kondisi seperti ini, semakin mempertebal fakta bahwa keterampilan anak didik di Indonesia hanya sebatas sampai tataran menjadi pendengar yang baik saja. Terjadi demikian, karena mereka terbiasa hanya mempersiapkan telinga untuk belajar tanpa tahu bagaimana caranya mencari sampai meramu sebuah informasi. Jadi, tidak heran apabila diberikan kepadanya sebuah tugas yang mengharuskan mereka untuk mensintesis sebuah informasi, yang dikumpulkan hanya seperti memindahkan sumber ke tempat yang lain dengan dipertautkan atau dijahit dengan sumber yang lain tanpa dimaknai dengan hasil pemikirannya sendiri. Fenomena ini, merupakan miniatur yang menggambarkan secara jelas tentang bagaimana tingkat literasi anak didik (dalam hal ini mahasiswa). Kendala-kendala yang telah dihadirkan di atas, diperparah lagi dengan kenyataan bahwa keterampilan meliterasi media tidak selalu terintegrasi dengan mata kuliah yang diajarkan (tergantung dosennya). Media hanya dijadikan sebagai bahan bantu mengajar saja, bukan sebagai salah satu sumber belajar. Hal ini disebabkan karena minimnya fasilitas dan performance dosen yang kadang ”jauh” dari media. Padahal, bergelut dengan berbagai media dan menjadikannya sebagai sumber belajar banyak sekali informasi yang dapat ditimba dan gali darinya. Agar dalam pemanfaatannya menjadi efektif dan efisien, dibutuhkanlah kemampuan yang baik dalam membaca, menulis, serta
kemampuan untuk mengkomunikasikan secara komprehensif informasi yang didapat dari berbagai media yang ada, selanjutnya disebut dengan literasi media dan informasi. Kemampuan literasi media dan informasi wajib dimiliki mahasiswa, jika mereka tidak mau ketinggalan dan menjadi “asing” di masyarakat yang telah dikelilingi informasi ini. Dengan dimilikinya dua kemampuan tersebut pada diri mahasiswa, akan memudahkan mereka untuk merealisasikan slogan ”lifelong education”. Selain itu juga, keterampilan untuk meliterasi media dan informasi adalah salah satu strategi utama yang dikumandangkan UNESCO untuk dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Yang semakin memperkuat lagi keharusan memiliki kedua keterampilan ini, karena kedua keterampilan literasi ini banyak diproyeksikan para ahli sebagai 21st century skills yang dapat dijadikan password untuk dapat melenggang dengan sukses dalam masyarakat informasi (ncrel.org). Pendapat di atas senada dengan pernyataan Dan Blake tentang alasan perlunya mengajarkan media literasi pada mahasiswa, yaitu : (1) kita hidup ditengah lingkungan bermedia, (2) literasi media menekankan pada pemikiran kritis,(3) menjadi literat terhadap media merupakan bagian dari pembelajaran terhadap warga negara, (4) dengan mempunyai literasi terhadap media membuat kita dapat berperan aktif dalam lingkungan yang dipenuhi dengan media, (5) pendidikan media membantu kita dalam memahami teknologi komunikasi, dan (6) literasi media sudah terintegrasi dalam area K-12.
Rumusan Masalah
Bagaimana media literasi itu? Bagaimana digital literasi itu? Apa tujuan media literasi?
Tujuan Penulisan -Untuk memenuhi tugas Perpustakaan Digital.
BAB II PEMBAHASAN A. MEDIA LITERASI 2.1. Pengertian Media Literasi Media Literacy is a set of perspectives that we actively use to expose ourselves to the media to interpret the meaning of the messages we encounter. We build our perspectives from knowledge structures. To build our knowledge structures, we need tools and raw material. These tools are our skills. The raw material is information from the media and from the real world. Active use means that we are aware of the messages and are consciously interacting with them.Potter,W.J, 2005. (Satu set perspektif yang aktif kita gunakan untuk membuka diri kepada media untuk menafsirkan makna pesan yang kita hadapi. Kita membangun perspektif kita dari struktur pengetahuan. Untuk membangun struktur pengetahuan kita, kita perlu alat dan bahan baku. Alat-alat adalah keterampilan kita. bahan baku adalah informasi dari media dan dari dunia nyata. aktif menggunakan berarti bahwa kita sadar akan pesan dan berinteraksi dengan mereka secara sadar.) Literasi media muncul dan mulai sering dibicarakan karena media seringkali dianggap sumber kebenaran, dan pada sisi lain, tidak banyak yang tahu bahwa media memiliki kekuasaan secara intelektual di tengah publik dan menjadi medium untuk pihak yang berkepentingan untuk memonopoli makna yang akan dilempar ke publik. Karena pekerja media bebas untuk merekonstruksikan fakta keras dalam konteks untuk kepentingan publik (pro bono publico) dan merupakan bagian dalam kebebasan pers (freedom of the press) tanggung jawab atas suatu hasil rekonstruksi fakta adalah berada pada tangan jurnalis, yang seharusnya netral dan tidak dipengaruhi oleh emosi dan pendapatnya akan narasumber, dan bukan pada narasumber
Media literacy adalah : Kemampuan untuk memahami, menganalisis, mengakses, dan memproduksi pesan komunikasi massa. (Devito (2008:4)) Kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan (National leadership Confrence on Media literacy, 1992) Pengetahuan tentang bagaimana fungsi media di masyarakat (Paul Messaris,1990) Pemahaman kebudayaan, ekonomi, politik dan keterbatasan teknologi dalam suatu kreasi, produksi dan transmisi pesan.
Pengetahuan khusus, kesadaran dan rasionalitas sebagai proses kognitif dalam memperoleh informasi Fokus utama mengevaluasi secara kritis tentang pesan dan cara mengkomunikasikannya. Kemudian memahami sumber dan teknologi komunikasi, simbol yang digunakan, pesan yang diproduksi, diseleksi, diinterpretasi dan akibat yang ditimbulkannya. Media literacy adalah keterampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa.(Wikipedia).
Silverblatt menyatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki keterampilan literasi media apabila dirinya memuat faktor-faktor sebagai berikut: Sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat. Sebuah pemahaman akan proses komunikasi massa. Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan membahas pesanpesan media. Sebuah kesadaran akan isi media sebagai ‘teks’ yang memberikan wawasan dan pengetahuan ke dalam budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri. Peningkatan
kesenangan,
pemahaman
dan
apresiasi
terhadap
isi
media.
Di sisi lain, Potter (Baran and Davis, 2003 dalam Kidia) memberikan pendekatan yang agak berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu: Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal (Media Literacy is a continuum not a category) Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang. Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan.
2.2. Tujuan Media Literasi Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk menginterpretasi pesan. Tujuan dari melek media adalah untuk memberdayakan individuindividu dalam mengontrol media pemrograman. Istilah pemrograman dalam pengertian ini, tidak bermaksud program televisi atau media pesan. Seorang individu oleh dirinya sendiri tidak akan punya banyak pengaruh mengubah bagaimana massa kerajinan media pesan mereka. Seorang individu akan pernah bisa menjalankan banyak kendali atas apa yang akan
ditawarkan kepada publik. Namun, seseorang bisa belajar untuk mengerahkan banyak kontrol atas cara pikiran seseorang mendapat diprogram. Dengan demikian, tujuan media keaksaraan adalah untuk menunjukkan orang-orang bagaimana untuk mengalihkan kontrol dari media sendiri. Inilah yang saya maksud ketika saya mengatakan bahwa tujuan melek media untuk membantu orang mengendalikan program media. Media Literasi juga bertujuan untuk: Membatasi PILIHAN Media telah memprogram kita untuk percaya bahwa kita sedang menawarkan banyak pilihan, tetapi pilihan kisaran sangat terbatas. The media have programmed you to think that you have choices when in fact the degree of choice is greatly limited, berarti Media telah memprogram Anda berpikir bahwa Anda memiliki pilihan ketika pada kenyataannya tingkat pilihan sangat terbatas. Memperkuat PENGALAMAN Kita tetap akan kembali ke jenis pesan yang sama, percaya bahwa Kita akan memiliki pengalaman yang memuaskan sekali lagi seperti yang ada di masa lalu. Seiring berjalannya waktu, kebiasaan menjadi kuat, dan itu menjadi jauh lebih sulit untuk mencoba sesuatu yang baru.
2.3. Konsep Media Literasi Secara sederhana, media literasi pada dasarnya merupakan kepedulian masyarakat terhadap dampak buruk dari media, khususnya media massa. Perkembangan teknologi komunikasi, khususnya berkenaan dengan keberadaan media massa, di samping memberikan manfaat untuk kehidupan manusia ternyata juga memberikan dampak lain yang kurang baik. Beberapa dampak tersebut antara lain (1) Mengurangi tingkat privasi individu, (2) Meningkatkan potensi kriminal, (3) Anggota suatu komunitas akan sulit dibatasi mengenai apa yang dilihat dan didengarnya, (4) Intenet akan mempengaruhi masyarakat madani dan kohesi sosial, serta (5) Akan overload-nya informasi (Fukuyama dan Wagner, 2000). Tujuan dasar media literasi ialah mengajar khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau idea yang diimplikasikan oleh pesan atau citra itu. Berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Tinggi mengenai Penanggulangan Dampak Negatif Media Massa, yaitu 21 Century Literacy Summit yang diselenggarakan di Jerman pada 7-8 Maret 2002, diperoleh gambaran kesepakatan yang disebut 21 Century in A Convergen Media Word. Kesepakatan tersebut, seperti disampaikanBertelsmann dan AOL Time Warner (2002), menyatakan bahwa media literasi mencakup:
Literasi teknologi; kemampuan memanfaatkan media baru seperti Internet agar bisa memiliki akses dan mengkomunikasikan informasi secara efektif. Literasi informasi; kemampuan mengumpulkan, mengorganisasikan, mengevaluasi dan membentuk opini berdasarkan hal-hal tadi.
menyaring,
Kreatifitas media; kemampuan yang terus meningkat pada individu dimanapun berada untuk membuat dan mendistribusikan konten kepada khalayak berapapun ukuran khalayak. Tanggung jawab dan kompetensi sosial; kompetensi untuk memperhitungkan konsekuensikonsekuensi publikasi secara On-line dan bertanggung jawab atas publikasi tersebut, khususnya pada anak-anak Sementara menurut Centre For Media Literacy (2003)upaya untuk memampukan khalayak media untuk mengevaluasi dan berpikir secara kritis terhadap konten media massa, mencakup: Kemampuan mengkritik media. Kemampuan produksi media. Kemampuan mengajarkan tentang media . Kemampuan mengeksplorasi sistem pembuatan media. Kemampuan mengeksprolasi berbagai posisi. Kemampuan berpikir kritis atas konten media Menurut David Buchingham, agar media literasi menjadi dapat berjalan dengan optimal maka diperlukan adanya pendidikan media untuk literasi media, yang mencakup: a.Pendidikan media berkenaan dengan pendidikan tentang berbagai (full range) media. Tujuannya untuk mengembangkan “literasi” berbasis luas, yang tak hanya berkenaan dengan media cetak, tapi juga sistem simbolik citra dan suara. b.Pendidikan media berkenaan dengan pembelajaran tentang media, bukan pengajaran melalui media. c.Pendidikan media bertujuan untuk mengembangkan baik pemahaman kritis maupun partisipasi aktif, sehingga memampukan anak muda sebagai konsumen media membuat tafsiran dan penilaian berdasarkan informasi yang diperolehnya; selain itu memampukan anak muda untuk menjadi produser media dengan caranya sendiri sehingga menjadi partisipan yang berdaya di masyarakatnya. Pendidikan media adalah soal pengembangan kemampuan kritis dan kreatif anak muda. Sementara itu, sesuai dengan Deklarasi Unesco mengenai pendidikan media (Dokumen Grundwald)/UNESCO Declaration of Media Education (2006) diperoleh beberapa konsep penting mengenaipendidikan media. Konsep tersebut adalah:
1.Memulai dan mendorong program-program pendidikan media secara komprehensif –mulai dari tingkat pra-sekolah sampai universitas, dan pendidikan orang dewasa– yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan mendorong perkembangan kesadaran kritis, dan konsekuensinya, melahirkan kompetensi yang lebih besar di kalangan pengguna media cetak dan elektronik. Idealnya, program seperti ini mencakup analisa produk media, penggunaan media sebagai sarana ekspresi kreatif, serta memanfaatkan secara efektif dan berpartisipasi dalam saluran media; 2.Mengembangkan pelatihan untuk para guru dan tokoh masyarakat (intermediaries) untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap media, dan melatih mereka dengan metode pengajaran yang tepat, yang memperhitungkan penguasaan yang sudah dimiliki namun masih bersifat fragmentaris terhadap media yang dimiliki banyak siswa; 3.Mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan manfaat pendidikan media, dalam bidang-bidang seperti psikologi, sosiologi dan ilmu komunikasi. 4.Mendukung dan memperkuat tindakan-tindakan yang dilakukan dan mencerminkan pandangan UNESCO serta bertujuan untuk mendorong kerjasama internasional dalam pendidikan media.
B. DIGITAL LITERASI Pengertian Digital Literasi
Istilah literasi digital mulai popular sekitar tahun 2005 (Davis & Shaw, 2011)Literasi digital bermakna kemampuan untul berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti bacaan takberurut berbantuan komputer. Istilah literasi digital pernah digunakan tahun 1980 an,(Davis & Shaw, 2011), secara umum bermakna kemampuan untuk berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti membaca non-sekuensial atau nonurutan berbantuan komputer (Bawden, 2001). Gilster (2007) kemudian memperluas konsep literasi digital sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital.; dengan kata lain kemampuan untuk membaca, menulis dan berhubungan dengan informasi dengan menggunakan teknologi dan format yang ada pada masanya. Literasi digital adalah himpunan sikap, pemahaman, dan ketramnpilan menangani dan mengkomunikasikan informasi dan pengetahuan secara efektif dalam berbagai media dan format. Ada definisi yang menyertakan istilah hubung, berhubungan (coomunicating); mereka yang perspektisi manajemen rekod atau manajemen arsip dinamis menyebutkan istilah penghapusan (deleting) dan pelestarian (preserving). Kadang-kadang istilah penemuan (finding) dipecah-pecah lagi menjadi pemilihan sumber, penemuan kembali dan pengakaksesan (accessing) (Davis & Shaw, 2011). Walau pun literasi digital merupakan hal penting dalam abad tempat informasi berwujud bentuk digital, tidak boleh dilupakan bagian penting lainnya dari literasi digital ialah mengetahui bila menggunakan sumber non digital. Kompetensi utama Dalam literasi digital, yang menjadi kompetensi utama mencakup : Pemahaman format digital dan nondigital; Penciptaann dan komunikasi informasi digital; Evaluasi informasi; penghimpunan atau perakitan pengetahuan;
Literasi informasi dan Literasi media (Davis & Shaw, 2011) Kesemuanya itu merupakan ketrampilan dan kompetensi, dibuat pada tonggak (nomor i) yang merupakan landasan literasi digital. Ketramnpilan dan kompetensi tersebut memiliki jangkauan luas dan mungkin berbeda antara satu negara dengan negara lain. Di sini dapat juga ditambahkan kompetensi dimensi etis dalam arti pemakai mengetahui bagaimana mnsitat buku, jurnal, laporan teknis dalam format kertas, melainkan juga tahu menyitat dokumen yang diterbitkan di Web.
Ada yang menambahkan pada kompetensi utama itu kompetensi penerbitan n artinya kompetensi menghasilakn swaterbitandi situs pribadi Web. Kompetensi ini menggunakan berbagai kompetensi yang telah ada sebelumnya seperti mengunduh dan mengunggah berbagai jenis berkas digital 9citra, audio, teks dsb) dengan harapan seseorang menerbitkan informasi bermutu dengan tetap menghormati hak cipta.
Perkembangan digital literasi Media massa adalah Media yang digunakan secara massal untuk menyebarluaskan informasi kepada khalayak. Informasi itu bisa berupa hiburan, atau pendidikan. Media massa terdiri media cetak dan media elektronik. Yang termasuk media cetak adalah koran, majalah, tabloid, newsletter, dan lain-lain. Sedangkan media elektronik adalah televisi dan film (media audiovisual), juga radio (media audio). Fungsi Media massa setidaknya ada empat, yaitu menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), membentuk opini atau pendapat (to persuade), dan menghibur (to entertain). Media literacy muncul didorong kenyataan bahwa fungsi media massa lebih dominan dalam hal menghibur, dan mengabaikan fungsi mendidik. Saat kita bangun pagi, setelah shalat subuh biasanya kita akan menyetel televisi menyaksikan berita terkini, atau bagi sebagian orang berlangganan surat kabar, sudah dapat membaca dan menikmatinya di pagi hari. Bergegas mandi, sebahagian dari kita terbiasa bernyanyi sambil mengikuti lagu dari radio atau tape. Duduk menikmati hidangan sarapan, mata kita tidak lepas dari surat kabar atau televisi. Berangkat ke kantor, di dalam kendaraan anda pun menyetel kaset berisi lagu kesayangan atau memutar saluran radio kesayangan. Sampai di kantor, kita sibuk di depan komputer, mengakses data melalui internet hingga sore hari. Pulang ke rumah, kita pun duduk santai di depan televisi menikmati tayangan sore hari atau membaca majalah yang dibeli. Terakhir, saat malam hari menjelang tidur kita pun menyempatkan diri untuk mengecek pekerjaan lewat komputer, membalas email teman dan sebagainya. Bahkan bagi beberapa orang, tidur akan semakin nyenyak jika diiringi dengan musik instrumentalia yang syahdu. Namun fakta bicara, tidak semua isi media massa bermanfaat bagi khalayak. Banyak di antaranya yang tidak mendidik dan hanya mengedepankan kepentingan pemilik/pengelola media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Media literacy bermaksud membekali khalayak dengan kemampuan untuk memilah dan menilai isi media massa secara kritis, sehingga khalayak diharapkan hanya memanfaatkan isi media sesuai dengan kepentingannya.
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN Literasi Media terdiri dari dua kata, yakni literasi dan media. Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis atau dengan kata lain melek aksara sedangkan media dapat diartikan sebagai suatu perantara baik dalam wujud benda, manusia, peristiwa. Dari kedua macam definisi sederhana tadi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa literasi media adalah kemampuan untuk mencari, mempelajari, dan memanfaatkan berbagai sumber media dalam berbagai bentuk. Istilah literasi media juga dapat disamakan dengan istilah ’melek media’. Empat Faktor Utama dalam Model Media Literacy yaitu Struktur Pengetahuan, Personal Locus, Kemampuan dan Ketrampilan, dan Proses Informasi
Adapun sebagai indikator bahwa secara individu seseorang atau suatu masyarakat sudah melek media adalah sebagai berikut : Mampu memilih (selektif) dan memilah (mengkategori/mengklasifikasi) media, mana yang manfaat mana yang mudarat. Memahami bahwa Radio, terutama televisi merupakan lembaga yang ‘syarat’ dengan kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya dll Memahami bahwa Radio dan Televisi bukan menampilkan realitas dan kebenaran satusatunya, namun bisa merupakan ‘rekayasa’ dari pelaku-pelakunya. Mampu bersikap dan berperilaku kritis pada siaran radio dan televisi. Menyadari bahwa sebagai konsumen media, khalayak semua mempunyai Hak dan Kewajiban atas isi siaran radio dan televisi. Menyadari tentang dampak yang ditimbulkan media dan mengidentifikasi hal-hal yang harus dilakukan ketika menggunakan media. Selektif, pandai memilih dan memilah media yang akan digunakan; Hanya mempergunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan tertentu. Mampu membangun filter yang kokoh, baik bagi dirinya maupun terhadap orang-orang di lingkungannya, sehingga secara personal tidak mudah dipengaruhi media
DAFTAR PUSTAKA http://wsmulyana.wordpress.com/2008/12/22/perkembangan-media-massa-dan-medialiterasi/