PENGATURAN SUDUT POSISI TIDUR 450 TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS TIDUR PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. P DENGAN CONGESTIVE HEART FAILURE DI RUANG ASTER NO 2 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
Disusun Oleh :
LINGGA LIWA ATI P11 094
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014
PENGATURAN SUDUT POSISI TIDUR 450 TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS TIDUR PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. P DENGAN CONGESTIVE HEART FAILURE DI RUANG ASTER NO 2 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
Disusun Oleh :
LINGGA LIWA ATI P11 094
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014 ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan Judul “PENGATURAN SUDUT POSISI TIDUR 450 TERHADAP
PENINGKATAN
KUALITAS
TIDUR
PADA
ASUHAN
KEPERAWATAN Tn. P DENGAN CONGESTIVE HEART FAILURE DI RUANG ASTER NO 2 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA”. Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Ibu Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta dan selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dam bimbingan serta menfasilitasi demi sempurnanya studikasus ini. 2. Ibu Meri Oktariani, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Ketua Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta dan selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukanmasukan, inspirasi, perasaan nyaman dam bimbingan serta menfasilitasi demi sempurnanya studikasus ini. 3. Ibu Wahyuningsih Safitri, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dam bimbingan serta menfasilitasi demi sempurnanya studikasus ini.
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit kardiovaskuler yang diantaranya merupakan penyakit Congestive Heart Failure akan menjadi masalah kesehatan yang cukup serius terutama bagi orang dewasa, hal itu dinyatakan oleh Ready dan Yusuf (1998) dalam Abdul dan Hazdi (2008: 50). Data dari American Heart Asosiation (AHA) tahun 2006 menunjukkan bahwa terdapat ±23 juta orang dengan gagal jantung diseluruh dunia dan 5,8 juta diantaranya berada di Amerika Serikat. Dalam jurnalnya yang berjudul “Lifestyle dominates cardiovascular risks in Malaysia” Abdul dan Khasdi memperkirakan bahwa di dunia akan terjadi kenaikan angka kematian sebanyak 20 juta penduduk ditahun 2020 akibat penyakit kardiovaskuler yang termasuk didalamnya Congestive Heart Failure. Menurut Effendi (2010) di Indonesia ±10% dari total penduduk tahun 2010 telah menderita Congestive Heart Failure. Ulfah (2007: 169) menyatakan bahwa setiap individu mempunyai tingkat resiko yang berbedabeda terhadap penyakit Congestive Heart Failure sesuai dengan jenis kelamin dan penyebabnya, seorang laki- laki dewasa lebih besar beresiko terkena Congestive Heart Failure dikarenakan oleh terjadinya iskemik pada jantung, sedangkan pada perempuan akan lebih besar beresiko terserang Congestive Heart Failure dikarenakan penurunan fungsi diastolik yang dipengaruhi oleh
1
2
kadar estrogen. Pada bulan Mei 2014 di bangsal Aster RSUD Dr. Moewardi didapati pasien rawat inap dengan diagnosa Congestive Heart Failure mencapai 18 pasien dengan tingkat keparahan yang berbeda- beda. Jantung merupakan salah satu organ berongga berbentuk kerucut tumpul yang memiliki empat ruang dan terletak diantara paru- paru di bagian tengah rongga thorak (Ardiansyah, 2012: 14). Organ jantung sangat rentan terserang bermacam- macam penyakit dan kelainan yaitu salah satunya Congestive Heart Failure atau biasa disebut CHF. CHF merupakan keadaan dimana jantung mengalami ketidakmampuan untuk melakukan tugasnya yaitu memompakan darah dalam jumlah yang cukup guna memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (forward failure) atau mampu memenuhi kebutuhan namun harus dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure) (Barita dan Sitompul, 2004: 115). Banyak hal- hal yang mendasari terjadinya Congestive Heart Failure, diantaranya
kelainan otot jantung, aterosklerosis koroner, hipertensi dan
miokardium degeneratif, dari semua penyebab tersebut akan menyebabkan kondisi dimana kontraktilitas jantung menurun sehingga terjadilah Congestive Heart Failure, pada pasien dengan CHF gejala yang paling dirasakan adalah sesak nafas dan nyeri dada terlebih lagi saat beraktifitas, sesak nafas biasanya juga akan bertambah saat posisi berbaring, bahkan beberapa pasien dengan CHF mengalami sesak nafas hanya pada saat tidur, keadaan ini biasa disebut PND (Paroxismal Nokturnal Dispnea) yang tentunya akan mengganggu kualitas tidur pasien pada malam hari (Kasron, 2012: 56). Seorang perawat
3
dapat memberikan intervensi untuk meningkatkan kualitas tidur dalam upaya mengoptimalkan penyembuhan dan salah satu intervensi yang dapat dilakukan adalah pengaturan sudut posisi tidur 450 (Melani, 2012). Di ruang Aster RSUD Dr. Moewardi Surakarta 7 dari 10 perawat sudah mengetahui tujuan dari pengaturan sudut posisi tidur 450 sedangkan 3 diantaranya masih belum mengetahui sepenuhnya tentang tujuan pengaturan sudut posisi tidur 450 pada pasien Congestive Heart Failure. Pada Tn. P dengan Congestive Heart Failure di ruang Aster RSUD Dr. Moewardi saat dikaji penulis kondisinya sedang mengalami sesak nafas serta posisi tidur 300, maka dari itu penulis mengangkat judul karya tulis ilmiah tentang pengaturan sudut posisi tidur 450 pada pasien CHF dengan harapan untuk mengaplikasikan hasil penelitian Rita Melani tentang pengaturan sudut posisi tidur 450 untuk memperbaiki kualitas tidur pada pasien CHF, sehingga ilmu yang diperoleh penulis dari hasil penelitian tersebut bisa disebarluaskan di RSUD Dr.Moewardi Surakarta khususnya di bangsal Aster.
B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Melaporkan
aplikasi
riset
tentang
tindakan
keperawatan
keefektifan pengaturan sudut posisi tidur 450 untuk memperbaiki kualitas tidur pada pasien Congestive Heart Failure di bangsal Aster RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
4
2. Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn. P dengan Congestive Heart Failure. b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. P dengan Congestive Heart Failure. c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Tn. P dengan Congestive Heart Failure. d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn. P dengan Congestive Heart Failure. e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn. P dengan Congestive Heart Failure. f. Penulis mampu menganalisa hasil pengaturan posisi tidur 450 terhadap kualitas tidur pada Tn. P dengan Congestive Heart Failure yang mengalami penurunan kualitas tidur.
C. Manfaat Penulisan 1. Bagi praktisi keperawatan Diharapkan hasil dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan pengetahuan yang bermanfaat bagi praktisi perawat khususnya bagi perawat yang bertugas di ruang Aster RSUD Dr. Moewardi Surakarta tentang pengaturan sudut posisi tidur 450 untuk memperbaiki kualitas tidur pada pasien dengan Congestive Heart Failure.
5
2. Bagi Institusi Pendidik Diharapkan bagi institusi pendidik khususnya pada mata ajar Keperawatan Medikal Bedah mampu membuat penelitian ilmiah tentang pengaturan sudut posisi tidur 450 dan mampu memberikan informasi kepada mahasiswa dan mahasiswi keperawatan baik dengan teori maupun dengan praktek, bahwa pengaturan sudut posisi tidur 450 dapat meningkatkan kualitas tidur pada pasien dengan Congestive Heart Failure dan pengaturan sudut posisi tidur 450 merupakan salah satu intervensi yang dapat digunakan pada pasien dengan Congestive Heart Failure yang mengalami penurunan kualitas tidur. 3. Bagi Pasien Diharapkan dengan intervensi pengaturan sudut posisi tidur 450 pada pasien dengan Congestive Heart Failure yang mengalami penurunan kualitas tidur dapat membantu pasien dalam meningkatkan dan mencapai kualitas tidur yang optimal seperti saat pasien belum terserang Congestive Heart Failure. 4. Bagi Penulis Diharapkan
dengan
dibuatnya
karya
tulis
ini
penulis
memperoleh pengetahuan mengenai keefektifan pengaturan posisi tidur 450 pada pasien dengan Congestive Heart Failure yang mengalami penurunan kualitas tidur serta memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Congestive Heart Failure/ CHF Congestive Heart Failure/ CHF atau lebih sering dikenal dengan gagal jantung mempunyai beberapa pengertian antara lain menurut Erwinanto (2007) dalam Mariyono dan Santoso (2007: 86) Congestive Heart Failure/ CHF didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh, keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Congestive Heart Failure juga dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel- sel tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat (Udjianti, 2013: 153). Sumber lain menyatakan bahwa Congestive Heart Failure adalah kondisi ketidakcukupan jantung untuk memenuhi keadaan metabolik tubuh baik pada saat istirahat maupun aktivitas (Marrelli, 2008:117). Maka dapat disimpulkan
bahwa
Congestive
Heart
Failure/
CHF
merupakan
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh sehingga kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh untuk metabolisme tidak dapat terpenuhi baik dalam kondisi istirahat maupun beraktivitas. Penyebab dari Congestive Heart Failure itupun bermacam- macam yang paling sering ditemui adalah kelainan otot jantung yang nantinya akan berdampak pada penurunan kontraktilitas jantung, pada pasien dengan
6
7
aterosklerosis koroner, peradangan dan penyakit miokardium degeneratif juga akan mengalami penurunan kontraktilitas otot jantung yang sebelumnya akan didahului terjadinya infark miokardium, Hipertensi juga menjadi salah satu penyebab Congestive Heart Failure terbesar ke- 2 setelah kelainan otot jantung, Hipertensi akan menyebabkan peningkatan beban kerja jantung dan nantinya akan menyebabkan hipertrofi serabut otot jantung (Ardiansyah. 2012: 24). Dalam
Congestive
Heart
Failure
terdapat
klasifikasi
yang
menunjukkan tingkatan keparahan dari kondisi pasien, menurut New York Heart Assosiation (NYHA)
klasifikasi Congestive Heart Failure dibagi
menjadi 4 yaitu: (Muttaqin, 2009: 88) 1. Kelas I
: Bila pasien dapat melakukan aktivitas yang berat tanpa sesak nafas dan keletihan.
2. Kelas II : Bila ada sedikit keterbatasan aktivitas fisik, aktivitas fisik biasa menyebabkan keletihan dan sesak nafas namun dengan istirahat maka gejala akan hilang 3. Kelas III : Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas sehari- hari tanpa keluhan, biasanya pada keadaan ini telah terjadi edema pulmonal 4. Kelas IV : Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring, sesak nafas bahkan terjadi ketika pasien istirahat.
8
Pasien dengan Congestive Heart Failure banyak tanda dan gejala yang akan muncul. Tanda dan gejala itupun dapat berbeda sesuai dengan letak kegagalan jantung. Pada gagal jantung kanan akan menunjukkan sesak nafas, edema ekstremitas bawah, penambahan berat badan, hepatomegali, anorexia, mual, nokturia dan kelemahan, sedangkan pada gagal jantung kiri gejala yang akan terlihat antara lain sesak nafas, orthopneu, sianosis, oliguria, mudah lelah, edema pulmonal, Dispneu Nokturnal
Paroksimal/ DNP
(Kasron, 2012: 69). Penatalaksanaan
yang
dapat
dilakukan
untuk
pasien
dengan
Congestive Heart Failure diantaranya dengan penatalaksanaan medis dan keperawatan. Penatalaksanaan medis menurut Kasron (2012: 72) dapat diberikan obat diuretik untuk mengurangi afterload pada disfungsi sistolik dan mengurangi kongesti pulmonal pada disfungsi diastolik, berikan juga obat anti angina, antagonis kalsium. Penatalaksanaan keperawatan yang dapat dilakukan menurut Rani et al (2006: 55) antara lain istirahatkan pasien untuk mengurangi konsumsi oksigen, pantau tanda-tanda vital, edukasikan tentang keadaan yang terjadi pada pasien agar tidak timbul kecemasan, berikan posisi semifowler. Komplikasi yang dapat terjadi karena Congestive Heart Failure juga bermacam-macam menurut Ardiansyah (2012: 30) antara lain syok kardiogenik dimana akan terjadi kehilangan 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri dan nekrosis vokal di seluruh ventrikel. efusi dan tamponade
9
perikardium juga dapat menjadi komplikasi dari Congestive Heart Failure (Kasron, 2012: 71). Mekanisme yang mendasari Congestive Heart Failure menurut Brunner dan Suddarth (2002) dalam Muttaqin (2009: 92) meliputi menurunnya kemampuan kontraktilitas jantung, sehingga darah yang dipompa pada setiap kontriksi menurun dan menyebabkan penurunan suplai darah keseluruh tubuh. Karena suplai darah ke ginjal juga menurun maka akan terjadi pelepasan RAA (renin, angiotensin, aldosteron), dari pelepasan RAA tersebut maka akan terbentuk angiotensin II sehingga menyebabkan retensi natrium dan air, perubahan tersebut mengakibatkan peningkatan cairan ekstra-intravaskuler sehingga terjadi ketidakseimbangan volume cairan dan tekanan maka terjadilah edema. Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Gagal jantung yang berlanjut dapat menyebabkan asites yang dapat menimbulkan mual, muntah dan anoreksia. Mekanisme yang terjadi juga akan menyebabkan suplai darah ke paruparu menurun dan darah tidak masuk ke jantung, keadaan ini menyebabkan penimbunan cairan di paru-paru sehingga akan menurunkan pertukaran O2 dan CO2. Situasi ini akan menimbulkan gejala sesak nafas, orthopneu, PND. Apabila terjadi pembesaran vena dihepar maka akan mengakibatkan hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan. Suplai darah yang kurang didaerah otot dan kulit menyebabkan kulit menjadi pucat dan dingin serta timbul gejala seperti letih, lemah dan lesu (Muttaqin, 2012: 93).
10
B. Kualitas Tidur Tidur adalah suatu kegiatan yang tidak asing lagi bagi setiap orang, tidur merupakan suatu kondisi ketika seseorang tidak sadar namun mudah dibangunkan oleh stimulus atau sensori yang sesuai (Saputra, 2013: 169). Tidur juga dapar diartikan sebagai suatu gangguan kesadaran yang dapat bangun dikarakterisasikan dengan minimnya aktivitas, dapat dibangunkan merupakan faktor utama yang membedakan tidur dengan gangguan kesadaran lain yang tidak diharapkan seperti koma (Vaughans, 2013: 203). Menurut Alwi (2005) kualitas dapat didefinisikan sebagai tingkatan baik buruknya sesuatu. Maka dapat disimpulkan bahwa kualitas tidur adalah tingkatan baik buruknya kondisi saat manusia mengalami penurunan kesadaran yang mudah dibangunkan. Kualitas tidur dapat diukur dengan mengisi kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Pada kuisioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) merupakan alat untuk mengukur kualitas tidur yang didalamnya terdapat 10 pertanyaan yang ditujukan bagi pasien, dari 10 pertanyaan tersebut dapat diketahui 7 komponen yaitu kualitas tidur subyektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur serta disfungsi pada siang hari (Safitrie dan Ardani. 2013: 18- 19). Nilai dari 7 komponen PSQI kemudian dijumlahkan sehingga akan didapatkan nilai antara 0-21, apabila nilai > 5 mengindikasikan kualitas
tidur buruk, sedangkan nilai 5
mengindikasikan kualitas tidur baik (Melanie, 2012: 74).
11
Adapun bentuk dari Format kuisioner PSQI adalah (Choirul, 2013) A. PERTANYAAN UNTUK PASIEN 1. Kapan anda biasanya pergi tidur dimalam hari? Jawab : 2. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk tertidur? (dlm menit) Jawab : 3. Kapan anda biasanya bangun Jawab : 4. Berapa lama waktu tidur dalam semalam? (dlm jam) Jawab : 5. Masalah yang membuat tidur terganggu adalah...
Masalah a. Tidak dapat tertidur lebih dari 30 menit b. Bangun ditengah malam c. Harus bangun untuk ke kamar mandi d. Terjadi gangguan pernafasan e. Batuk f. Terlalu dingin g. Terlalu panas h. Mengalami mimpi buruk i. Mengalami nyeri j. Lain- lain Jumlah
Tidak Ada Dalam Sebulan Ini
1x Dalam Minggu
1x Atau 2x Dalam Seminggu
.......
3x Atau Lebih Dalam Seminggu
12
6. Bagaimana tentang kualitas tidur anda beberapa bulan terakhir? Sangat bagus
Agak bagus
Agak buruk
Sangat buruk
7. Apakah mengkonsumsi obat- obatan yang mempengaruhi tidur?
Tidak
1x Seminggu
1x Atau 2x Seminggu
3x Atau Lebih Dalam Seminggu
8. Apakah anda mengalami masalah (kantuk) saat mengemudi, sarapan, bekerja atau melakukan pekerjaan sehari- hari? 3x Atau Lebih 1x Atau 2x Tidak Pernah 1x Seminggu Dalam Seminggu Seminggu
9. Adakah masalah yang anda pikirkan dan harus diselesaikan? Semua Tidak Ada Masalah
Hanya Ada Masalah Kecil
Ada Beberapa Masalah
Ada Masalah Besar
10. Siapa orang yang membantu memecahkan masalah? Tidak Ada
Saudara Yang Berbeda Rumah
Saudara Serumah
Istri Atau Suami
13
B. PENILAIAN BAGI PENULIS KOMPONEN 1
: Kualitas Tidur subyektif
1. Untuk pertanyaan no 6 RESPON Sangat bagus Agak bagus Agak buruk Sangat buruk
NILAI 0 1 2 3
Komponen 1 nilainya: KOMPONEN 2
: Latensi Tidur
1. Untuk pertanyaan no 2 WAKTU 15 menit 16- 30 menit 31- 60 menit >60 menit NILAI pada pasien
NILAI 0 1 2 3
2. Untuk pertanyaan no 5a WAKTU Tidak ada dalam sebulan ini 1x dalam seminggu 1x atau 2x dalam seminggu 3x atau lebih dalam seminggu NILAI pada pasien
3. Jumlah antara no 1 dan 2
NILAI 0 1 2 3
14
4. Jumlah dari 2 pertanyaan JUMLAH NILAI 0 1- 2 3- 4 5- 6 Nilai pada pasien
NILAI KOMPONEN 0 1 2 3 Komponen 2 nilainya:
KOMPONEN 3 : Waktu tidur 1. Untuk pertanyaan no 4 WAKTU >7 jam 6- 7 jam 5- 6 jam <5 jam NILAI pada pasien Komponen 3 nilainya:
NILAI 0 1 2 3
KOMPONEN 4 : Efisiensi Tidur 1. Jam tidur malam (pertanyaan 4) : 2. Tambahkan jawaban dari pertanyaan no 3 dan 1 .... +.... = 3. Hitung no 1 dan 2 Rumus: (no 1: no 2)x 100= % (
:
)x
=
%
15
4. Hasil dalam nilai Efisiensi Tidur >85% 75- 84% 65- 74% <65% NILAI pada pasien
NILAI 0 1 2 3 Komponen 4 nilainya:
KOMPONEN 5 : Gangguan Tidur 1. Untuk pertanyaan no 5 WAKTU Tidak ada dalam sebulan ini 1x dalam seminggu 1x atau 2x dalam seminggu 3x atau lebih dalam seminggu
Pertanyaan 5b = Pertanyaan 5c = Pertanyaan 5d = Pertanyaan 5e = Pertanyaan 5f = Pertanyaan 5g = Pertanyaan 5h= Pertanyaan 5i = Pertanyaan 5j = 2. Jumlah dari pertanyaan 5b- 5j=
NILAI 0 1 2 3
16
3. Jumlah dalam nilai JUMLAH 0 1- 9 10- 18 19- 27
NILAI 0 1 2 3 Komponen 5 nilainya:
KOMPONEN 6 : Penggunaan Obat Tidur 1. Untuk pertanyaan no 7 WAKTU Tidak ada dalam sebulan ini 1x dalam seminggu 1x atau 2x dalam seminggu 3x atau lebih dalam seminggu NILAI pada pasien
NILAI 0 1 2 3 Komponen 6 nilainya:
KOMPONEN 7 : Disfungsi pada siang hari 1. Untuk pertanyaan no 8 RESPON Tidak pernah 1x dalam seminggu 1x atau 2x dalam seminggu 3x atau lebih dalam seminggu NILAI pada pasien
NILAI 0 1 2 3
17
2. Untuk pertanyaan no 9 RESPON Semua tidak ada masalah Hanya ada masalah kecil Ada beberapa masalah Ada masalah besar NILAI pada pasien
NILAI 0 1 2 3
3. Tambahkan no 1 dan 2 .....+..... = 4. Jumlah dalam nilai JUMLAH
NILAI 0 1 2 3 Komponen 7 nilainya:
0 1- 2 3- 4 5-6
JUMLAH NILAI SELURUH KOMPONEN ADALAH .... JUMLAH NILAI SELURUH KOMPONEN <5 >5
KUALITAS TIDUR
baik Buruk
Maka dapat disimpulkan bahwa pasien mempunyai kualitas tidur yang BAIK/BURUK Menurut Dochterman dan Bulechek (2000) dalam Melanie (2012: 71) Mengatur posisi tidur adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan posisi guna mencapai atau meningkatkan kenyamanan fisik dan psikologis.
19
C. Asuhan Keperawatan Menurut Carol V.A (1991) dalam Asmadi (2008: 161) asuhan keperawatan merupakan suatu proses yang sistematis dan ilmiah yang digunakan perawat dalam mencapai atau mempertahankan keadaan biopsiko- sosial- spiritual yang optimal melalui tahap pengkajian analisa data, intervensi, implementasi serta evaluasi. Dalam asuhan keperawatan mencakup lima tahapan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tahapan yang pertama adalah pengkajian. Pengkajian adalah suatu proses pengumpulan data tentang perilaku klien sebagai suatu model adaptif: fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan ketergantungan (Nursalam, 2008: 22). Pengkajian bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendapatkan data yang sesuai tentang keadaan klien (Christensen, 2009: 105). Dalam tahapan pengkajian ada bermacam- macam metode yang dapat digunakan antara lain wawancara, observasi, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan diagnostik (Asmadi, 2008:169) Tahapan yang kedua adalah analisa data. Menurut Helland (2009) dalam Christensen (2009: 213) analisa data merupakan suatu proses untuk menemukan masalah yang mungkin muncul baik aktual, potensial, maupun resiko. Menurut Asmadi (2008: 173) dalam analisa data terdapat 3 fase, fase pertama memproses data (mengorganisasi data membandingkan data dengan standar nilai normal, mengelompokkan data), fase kedua menentukan diagnosa keperawatan, fase ketiga menyusun atau memprioritaskan diagnosa.
20
Tahapan yang ketiga adalah intervensi. Intervensi merupakan suatu petunjuk tertulis yang menggambarkan secara tepat rencana tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosa keperawatannya, didalam intervensi berisikan tujuan, kriteria hasil yang diharapkan serta rasional dari tindakan- tindakan yang dilakukan (Asmadi, 2008: 175). Fase keempat adalah implementasi. Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan dengan tujuan untuk membantu klien dalam mencapai tujuan yang ditetapkan (Christensen, 2009: 215). Fase kelima atau fase terakhir yaitu evaluasi, Evaluasi merupakan penilaian terakhir proses keperawatan didasarkan pada tujuan keperawatan yang telah ditetapkan (Nursalam, 2008:25). Evaluasi bertujuan untuk melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan, menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum, mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai (Asmadi, 2008: 179).
D. Asuhan Keperawatan Congestive Heard Failure Pada pengkajian pasien dengan Congestive Heart Failure akan muncul banyak tanda dan gejala sesuai dengan bagian yang mengalami kegagalan. Pada gagal jantung kanan akan menunjukkan sesak nafas, edema ekstremitas bawah, penambahan berat badan, hepatomegali, anorexia, mual, nokturia dan kelemahan,
sedangkan pada gagal jantung kiri gejala yang akan terlihat
21
antara lain sesak nafas, orthopneu, sianosis, oliguria, mudah lelah, edema pulmonal, Dispneu Nokturnal Paroksimal/ DNP (Kasron, 2012: 69). Pada pemeriksaan foto thorak akan didapati kardiomegali terutama pada pasien dengan gangguan yang kronik, dapat juga ditemui kongesti paru sehingga perkusi yang dilakukan pada daerah paru akan terdengar pekak dan akan terdengar bunyi gallop pada jantung (Corwin, 2009: 508). Pemeriksaan echokardiografi juga dapat dilakukan untuk menilai dimensi ruang jantung yang biasanya terlihat pembesaran ventrikel kiri, serta fungsi ventikel yang biasanya mengalami penurunan pada pasien dengan Congestive Heard Failure. Perekaman EKG biasanya juga akan menunjukkan perubahan irama jantung serta pada beberapa pasien akan terlihat perubahan pada gelombang Q ataupun S-T (Gray et al, 2005: 87). Pada pasien dengan Congestive Heart Failure akan ada banyak masalah keperawatan yang akan muncul. Apabila muncul masalah keperawatan penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan afterload, gangguan preload atau gangguan kontraktilitas jantung dengan batasan karakteristik aritmia, perubahan pola EKG, distensi vena jugularis, oliguri, keletihan, sesak nafas, penurunan fungsi ventrikel kiri (Wilkinson dan Ahern, 2011: 105). Intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi pada penurunan curah jantung antara lain pemantauan pada tandatanda vital, pemantauan cairan, berikan penjelasan tentang efek obat yang diberikan, kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian dan penghentian obat tekanan darah (Hawari, 2011: 8).
22
Apabila muncul masalah keperawatan gangguan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi cairan dalam alveoli dengan batasan karakteristik pasien sesak nafas, nyeri dada, penurunan kesadaran, AGD tidak normal, pernafasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan (Nanda, 2009). Intervensi yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keadekuatan pertukaran gas antara lain observasi pernafasan (frekuensi, kedalaman, bunyi), pantau nilai AGD, posisikan pasien semi fowler, kolaborasikan dengan tim dokter untuk pemberian diuritik, suplemen kalium, oksigen melalui nasal kanul, serta monitor efek obat yang tidak diharapkan (Udjianti, 2010: 167). Apabila muncul masalah keperawatan kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi atau retensi natrium dengan batasan karakteristiknya adalah edema pada ekstremitas, oliguri, distensi vena jugularis, tensi meningkat, berat badan meningkat dan asites (Lunney at al, 2009: 98). Intervensi yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan volume cairan adalah kaji input – output cairan, anjurkan untuk mengurangi asupan garam, tinggikan ekstremitas yang mengalami edema dan kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat- obatan seperti diuritik (Nugroho, 2011: 270). Apabila muncul masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan menurunnya suplai darah ke jantung dengan batasan karakteristik pasien mengeluh nyeri dada, ekspresi meringis, peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan darah. Maka intervensi yang dapat dilakukan untuk
23
mengurangi nyeri antara lain kaji nyeri ( P, Q, R, S, T), ajarkan macammacam teknik distraksi, pantau tanda- tanda vital, kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian analgetik (Doengoes, 2000: 44). Apabila
muncul
masalah
keperawatan
intoleransi
aktivitas
berhubungan dengan gangguan transport oksigen dengan batasan karakteristik sesak nafas bila istirahat atau melakukan aktivitas, AGD abnormal, lemah, aritmia (Lunney, 2009: 157). Intervensi yang dapat dilakukan untuk mencapai aktivitas yang maksimal antara lain jelaskan batasan aktivitas pasien sesuai kondisi, kaji dan monitor respon dan tanda- tanda vital pasien terhadap aktivitas, bantu memenuhi kebutuhan dasar pasien, kolaborasikan dengan fisioterapi untuk berlatih melakukan aktivitas secara bertahap (Judith. 2007). Apabila
muncul
masalah
keperawatan
gangguan
pola
tidur
berhubungan dengan nyeri dan sesak nafas mempunyai batasan karakteristik antara lain pasien mengeluh sulit tidur, sering terbangun, sesak nafas, nyeri, tampak lesu, jumlah jam tidur berkurang, sering menguap, sering menggosok mata, orthopnea (Lunney, 2009: 134). Maka intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas tidur antara lain modifikasi lingkungan seperti mengatur pencahayaan, memberikan posisi semi fowler (300- 600), membatasi pengunjung (Judith, 2007).
E. Posisi Sudut 450 Posisi sudut 450 merupakan posisi setengah duduk dimana bagian kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini untuk
24
mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernafasan pasien (Uliyah dan Hidayat, 2008: 74). Posisi sudut 450 adalah merupakan posisi yang bertujuan untuk meningkatkan curah jantung dan ventilasi serta mempermudah eliminasi fekal dan berkemih, dalam posisi ini tempat tidur ditinggikan 450 dan lutut klien agak diangkat agar tidak ada hambatan sirkulasi pada ekstermitas (Perry, 2005: 78). Pengaturan sudut posisi tidur 450 dapat dilakukan dengan cara memposisikan klien telentang posisi kepala dekat dengan bagian kepala tempat tidur, elevasi bagian kepala tempat tidur 450, letakkan kepala klien di atas kasur atau diatas bantal yang tipis, gunakan bantal untuk menyokong lengan dan tangan klien jika klien tidak dapat mengontrol secara sadar atau menggunakan lengan dan tangannya, posisikan bantal pada punggung bawah klien, letakkan bantal kecil atau gulungan kain di bawah paha klien, bila ada letakkan papan penyangga kaki didasar kaki klien agar posisi tidak mudah berubah (Kozier dan Erb, 2009: 222).
Gambar 2.1
25
BAB III LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien Pasien bernama Tn. P, berjenis kelamin laki-laki dengan umur 71 tahun, berstatus kawin, Tn.P bertempat tinggal di daerah Turirejo, Mojogedang, Karanganyar, beragama islam dan pekerjaanya sebagai petani. Saat Tn.P dirawat di RSUD Dr.Moewardi Surakarta yang bertanggung jawab adalah Tn.S, Tn.S merupakan anak dari Tn.P, Tn.S berumur 45 tahun dan bekerja sebagai pegawai swasta, Tn.S bertempat tinggal di daerah Turirejo, Karanganyar.
B. Pengkajian Pengkajian dilakukan pada tanggal 9 April 2014 pukul 08.00 WIB, pengkajian dilakukan dengan metode auto-anamnesa dan allo-anamnesa. Keluhan utama yang dirasakan pasien adalah sesak nafas. Tn.P datang ke RSUD Dr.Moewardi Surakarta pada tanggal 8 April 2014 diantar oleh keluarga, saat itu keluhan Tn.P adalah sesak nafas dan nyeri dada. Saat di ruang Aster dilakukan pengkajian, pasien mengatakan sesak nafas, nyeri terasa pada bagian dada sebelah kiri, nyeri terasa hilang timbul, nyeri bertambah ketika bergerak, nyeri berskala 4, nyeri terasa seperti tertimpa beban berat.
25
26
Pasien mengatakan dahulu ia adalah seorang perokok, pasien juga mengatakan sebelumnya sudah sering masuk rumah sakit dikarenakan sesak nafas namun pasien lupa kapan pertama kali ia merasa sesak nafas dan dirawat di rumah sakit. Sebelum di RSUD Dr.Moewardi Surakarta pasien sempat dirawat di rumah sakit PKU selama 2 hari namun karena keadaannya tidak kunjung membaik maka pasien dibawa pulang. Setelah sehari berada di rumah keadaan pasien semakin memburuk, maka pihak keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Pasien mengatakan lingkungannya termasuk lingkungan yang bersih, Lingkungannya juga jauh dari polusi udara dan merupakan lingkungan yang tenang. Keluarga pasien menyataka, bahwa didalam keluarganya tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit jantung, hipertensi maupun diabetes mellitus. Pasien merupakan anak pertama dari 3 bersaudara, sedangkan istrinya merupakan anak ke- 2 dari 5 bersaudara. Kedua orang tua Tn.P dan istri sudah meninggal. pasien memiliki 4 orang anak yaitu 3 anak laki- laki dan yang terakhir 1 anak perempuan. Saat ini pasien tinggal bersama istri dan anak perempuannya.
27
Gambar 3.1 Genogram Tn.P Keterangan : :
Laki- laki sudah meninggal
:
Perempuan sudah meninggal
:
Perempuan
:
Laki- laki
:
Pasien
Pasien mengatakan tidak takut apabila harus dirawat di rumah sakit seperti saat ini, karena ia sudah terbiasa. Keluarga juga mengatakan tidak pernah membelikan obat warung bagi pasien. Apabila pasien mengeluh sakit maka keluarga akan membawa pasien ke puskesma atau rumah sakit terdekat. Sebelum sakit pasien mengatakan biasa makan 2-3 kali sehari, dengan komposisi nasi, lauk, sayur, air putih dan teh. Saat sakit dan dirawat dibangsal Aster pasien diberikan diit jantung III (rendah garam rendah lemak) yang berisikan nasi tim, sayur, lauk, air putih , teh dan snack. Pasien mengatakan selama sakit tidak bermasalah dengan pola makannya, pasien makan apa yang
28
disediakan ± ¾ porsi makanan yang disediakan habis, pasien juga tidak memilah- milah makanan. Pasien mengatakan tidak ada masalah dengan pola BAB dan BAK nya, pasien mengatakan sebelum sakit ia selalu buang air besar 1x dalam sehari, begitu juga saat pasien sakit. Pasien mengatakan sebelum sakit tidak ada masalah dengan buang air kecilnya, biasanya 5-6 kali dalam sehari. Saat di rawat di rumah sakit dipasang selang DC mulai tanggal 8 April 2014, pasien mengatakan selang kencing terpasang sejak berada diruang Aster dan belum pernah dibersihkan oleh perawat. Selama ± 8 jam urin yang tertampung dalam diurin bag ± 300cc, urin yang tertampung berwarna kuning pucat. Pasien mengatakan sebelum sakit pemenuhan kebutuhan aktivitas latihan dilakukan secara mandiri. Namun saat sakit aktivitas berpakaian, mobilitas ditempat, makan dan minum dibantu orang lain, saat makan, berpindah dan buang air besar dibantu orang lain dan alat, dan buang air kecil tergantung dengan alat, saat sakit ambulasi/ ROM dilakukan secara mandiri. Saat sebelum sakit pasien terkadang tidur siang ±1- 2 jam dan tidur malam ± 8-9 jam, saat bangun pasien mengatakan merasa nyaman dan segar. Saat dirawat dirumah sakit pasien mengatakan dapat tidur siang ±1-2 jam namun saat malam, waktu tidurnya hanya berkisar ± 4-6 jam pasien sulit mengawali tidur, saat bisa tidur maka akan mudah terbangun karena sesak nafas, pasien juga mengatakan saat bangun terasa kurang nyaman dan badan lesu. Saat dikaji pasien dalam keadaan semifowler dengan sudut ± 300 dengan
29
bagian kepala diganjal bantal dan selimut. Pasien mengatakan sesak nafas dan sesak nafas bertambah saat berbaring. Pola tidur juga dikaji menggunakan PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index) dan didapatkan nilai 11 yang berarti kualitas tidur pasien buruk. Pasien berbicara pelan, lancar dan jelas. Pasien juga dapat menjawab pertanyaan perawat dengan tepat. Pasien tidak mengalami gangguan peciuman dan perabaan namun kemampuan pendengaran pasien mulai berkurang. Pasien mengatakan terasa nyeri pada bagian dada sebelah kiri, nyeri terasa hilang timbul, nyeri bertambah ketika bergerak, nyeri berskala 4, nyeri terasa seperti tertimpa beban berat. Saat nyeri terasa pasien terlihat meringis dan memegang dada. Pola gambaran diri pasien sebelum sakit, pasien mengatakan badannya termasuk ideal, kulitnya juga termasuk kuning walaupun bekerja sebagai petani, pasien mengatakan sangat bersyukur akan keadaan fisik yang diberikan oleh Allah. Saat sakit pasien mengatakan walaupun dalam keadaan sakit, badannya tidak kehilangan berat badan dan masih termasuk ideal, walaupun kulitnya keriput pasien mengatakan tetap bersyukur karena memang sudah sewajarnya. Pasien mengatakan sebelum sakit ia melakukan kegiatan sehari- hari dengan dibantu istri dan terkadang anak perempuannya. Namun sekarang saat sakit pasien mengatakan ingin cepat sembuh lalu kembali kerumah dan kembali melakukan pekerjaannya sebagai petani. Sebelum sakit pasien juga merasa sangat disayangi anak dan istrinya, saat sakit pasien mengatakan
30
ketiga anak laki- lakinya lebih perhatian padanya, pasien merasa disayangi oleh istri dan anaknya. Sebelum sakit pasien mengatakan dapat bekerja membiayai kehidupan istrinya tanpa merepotkan anak-anaknya, namun sekarang pasien tidak mampu beraktivitas secara normal dan pasien juga mengatakan tidak ingin istrinya bekerja sendirian sebagai petani menggantikan dirinya. Pasien mengatakan sejak dulu pasien ingin menjadi suami yang baik bagi istrinya, saat inipun pasien tetap ingin menjadi suami yang baik bagi istrinya dan tidak ingin menyusahkan istri dan anaknya. Pasien mengatakan bahwa ia saat ini telah menua, dan yang ada dalam benaknya saat ini hanyalah ia ingin hidup bahagia bersama istri dan anaknya sampai ajal menjemput. Pasien juga mengatakan hubungannya dengan keluarga sangat dekat, terutama hubungannya dengan istri. Pasien mengatakan saat belum sakit ia menghilangkan perasaan bosan dengan cara berbincang-bincang dengan teman-temannya saat berada di sawah, sekarang berbicara dengan penunggu (anak/istri) atau berdoa dalam hati adalah cara yang pasien gunakan untuk menghilangkan kejenuhan. Saat dirumah pasien mengatakan ia rajin menjalankan ibadah sholat dengan istri, selama dirawat dirumah sakit pasien jarang melakukan ibadah sholat, tetapi ia selalu berdoa didalam hati.
31
C. Pemeriksaan Fisik Hasil pengkajian yang didapatkan pada Tn. P antara lain Tn. P dalam keadaan sadar penuh/ composmentis, namun pasien terlihat lesu. Saat dilakukan pengukuran tanda- tanda vital didapati hasil 140/80 mmHg, nadi 100x/ menit teraba kuat dengan irama teratur, pernafasan 28x/ menit, terlihat pernafasan cuping hidung, pasien mengatakan sesak nafas bertambah saat beraktivitas dan saat berbaring. Suhu tubuh pasien normal 36,40. Bentuk kepala pasien mesochepal, kulit kepalanya tidak ada lesi dan tidak ada jejas, kebersihan kulit kepala pasien terjaga. Rambut pasien terjaga kebersihannya dan tidak mudah rontok. Pada mata tidak ditemukan konjungtiva yang anemis dan sklera yang ikterik, pasien tidak menggunakan alat bantu penglihatan, tidak ditemukan juga odema orbita. Bentuk hidung pasien simetris, tidak ada polip dalam saluran nafas dan kebersihan hidungpun terjaga. Telinga pasien simetris, kebersihannya terjaga, pada telinga pasien tidak ada serumen berlebih, fungsi pendengaran pasien mulai sedikit menurun dan pasien tidak menggunakan alat bantu dengar. Kebersihan mulut pasien terjaga, mokusa bibir tidak kering, gigi pasien juga tidak berlubang. Pada leher tidak ditemukan vena jugularis dan tidak ada pembesaran tiroid. Daerah dada pasien terlihat simetris, tidak ada luka dan tidak ada jejas. Pemeriksaan paru- paru menunjukkan pasien menggunakan pernafasan cuping hidung. Teraba vokal fremitus kanan dan kiri sama, ekspansi paru kanan dan kiri juga teraba sama. Pada perkusi terdengar pekak pada lobus 3
32
paru kanan dan saat di auskultasi terdengar ronkhi. Pemeriksaan jantung menunjukkan bahwa ictuscordis teraba pada sela intercosta kelima, saat diauskultasi terdengar bunyi gallop, perkusi pada are jantung tidak terkaji karena tidak diijinkan oleh perawat jaga, namun pada foto thorak didapati hasil cardiomegali. Pemeriksaan fisik perut didapati bahwa pada perut pasien tidak terjadi asites, warna kulit bagian perut kuning langsat, tidak ditemukan luka dan jejas. Bising usus pasien terdengar pelan dengan frekuensi ± 7x/ menit. Saat diperkusi perut bagian atas kanan (terdapat organ hati) terdengar redup, perut bagian kiri atas (terdapat organ lambung) terdengar suara timpani, perut bagian kanan bawah dan kiri bawah (terdapat organ ginjal) terdengar suara timpani. Saat diraba tidak ditemukan pembesaran hati. Area genetalia pasien terjaga kebersihannya, terlihat terpasang selang DC dengan ukuran 30, selang DC terpasang sejak tanggal 8 April 2014. Tidak ditemukan tanda- tanda infeksi pada area genetalia (tidak ada kemerahan, bengkak, panas ataupun nyeri). Pada area rektum kebersihan terjaga dan tidak ada hemoroid. Daerah ekstremitas atas kekuatan otot kanan dan kiri gerakannya normal, menentang gravitasi dengan penahanan penuh, kenormalan kekuatan 100% dengan skala 5. Daerah ekstremitas bawah kekuatan otot kanan dan kiri normal penuh menentang gravitasi dengan penahanan penuh, kenormalan kekuatan 100% dengan skala 5. Pada ekstremitas atas dan bawah teraba
33
hangat, gerakan ROM ekstremitas kanan atas, kiri atas, kanan bawah dan kiri bawah normal. Pada ekstremitas atas dan bawah tidak ditemukan odema. D. Pemeriksaan Penunjang 1. Hasil Laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan ditanggal 8 april 2014, didapati hasil analisa gas darah yang abnormal, ph mencapai 7.527 (tinggi dengan rentan normal 7.310- 7.420), PCO2 29.0 mmHg, PO2 173.8 mmHg (tinggi dengan rentan normal 70.0- 100.0), hematokrit 36% (rendah dengan rentan normal 37- 50), HCO3 25.7 mmol/L, total CO2 20.8 mmol/L, O2 saturasi 99.7% (tinggi dengan rentan normal 94.0- 98.0) dan BE 1.6 mmol/L. Sedangkan hasil pemeriksaan hematologi rutin mendapatkan hasil normal dengan nilai hemoglobin 13.4 g/dl, leukosit 7.7 ribu/ul, trombosit 180 ribu/ul, eritrosit 4.58 ribu/ul. Pemeriksaan elektrolit pada tanggal 8 April 2014 mendapatkan hasil yang normal yaitu nilai natrium darah 139 mmol/L, kalium darah 3.8 mmol/L, klorida darah 110 mmol/L. Didapati juga nilai Kreatin, albumin dan ureum normal yaitu kreatinin 1.2 mg/dl, albumin 4.4 mg/dl, ureum 47 mg/dl. Pada tanggal 10 April 2014 juga dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil kolesterol total 127 mg/dl (normal <100), kolesterol LDL 80 (optimal <100), kolesterol HDL 33 mg/dl (rendah tapi masih dalam batas normal), albumin 3.6 g/dl.
34
2. Hasil pemeriksaan radiologi Hasil pemeriksaan foto thorak pada tanggal 8 April 2014 dan didapati hasil cardiomegali dengan konfigurasi hipertensi heard disease, edema pulmonal, efusi pleura kanan. 3. Hasil pemeriksaan EKG Pemeriksaan EKG dilakukan pada tanggal 8 April 2014 dan didapati hasil sinus takikardi dengan heard rate 104x/ menit dan terjadi iskemik anterolateral. 4. Hasil pemeriksaan Echocardiografi Pemeriksaan echocardiografi dilakukan pada tanggal 9 april 2014 dan didapati hasil penurunan fungsi jantung pada bagian ventrikel kiri dengan dilatasi LV (Left Ventrikel) dengan nilai EF 20-23% yang normalnya 53%- 77%, IVS dan PW menebal, massa meningkat, fungsi sistolik LV Menurun, fungsi diastolik gangguan relaksasi. 5. Terapi Medis Pada tanggal 9 april 2014 pasien mendapatkan terapi obat furosemid melalui injeksi intravena 20 mg per 8 jam, obat furosemid merupakan golongan deuritik yang bertujuan untuk mengurangi edema yang terjadi karena adanya kegagalan jantung atau hipertensi ringan sampai berat. Captropil yang diberikan dalam bentuk tablet 25 mg diminum 3 kali sehari 1 tablet, obat captopril merupakan obat ace inhibitor atau antihipertensi yang diindikasikan bagi pasien dengan hipertensi ringan dan sedang.
35
Aspilet juga diberikan dalam bentuk tablet dengan dosis 80 mg dan diminum sekali dalam sehari 1 tablet, aspilet merupakan obat analgesik non narkotik yang digunakan sebagai penghilang nyeri. Ranitidin diberikan sebagai pencegahan dari tukak lambung yang diakibatkan oleh pemberian aspilet, ranitidin diberikan melalui injeksi intravena dengan dosis 50 mg per 12 jam. ISDN (Isosorbide dinitrate) diberikan dalam dosis 50 mg diminum 3 kali sehari 1 tablet, ISDN merupakan obat antiangina yang diberikan pada pasien dengan penyakit jantung. Spironolacton diberikan dalam bentuk tablet dengan dosis 25 mg dan diminum 2 kali sehari 1 tablet, Spironolacton merupakan deuritik yang sekaligus digunakan untuk menghindari terjadinya hipokalemi. Cairan intravena Ringer Lactat diberikan 12tpm untuk menghindari terjadinya kekurangan cairan. Tanggal 10 April 2014 terapi obat yang diberikan tidak jauh berbeda yaitu captopril 25 mg dalam bentuk tablet diminum 3 kali sehari 1 tablet, Aspilet 80 mg dalam bentuk tablet yang diminum 1 kali sehari 1 tablet, ISDN (Isosorbite Dinitrate) 50 mg dalam bentuk tablet yang diminum 3 kali sehari 1 tablet, Spironolacton 25 mg diberikan dalam bentuk tablet yang diminum 2 kali sehari 1 tablet. Ranitidin 50 mg per 12 jam diberikan melalui intravena. Furosemid 20 mg tetap diberikan melalui intravena namun diberikan per 12 jam. Cairan intravena Ringer Lactat masih tetap diberikan 12 tpm melalui intravena.
36
E. Analisa Data Pada hari rabu, tanggal 9 April 2014, pukul 08.30 WIB ditemukan masalah keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan nafas (sesak nafas). Dengan data subyektif pasien mengatakan waktu tidur malam sangat kurang hanya ± 4- 6 jam, sulit mengawali tidur, apabila berhasil tidur maka akan mudah terbangun karena sesak nafas pasien juga menambahkan saat bangun badannya terasa kurang nyaman dan lesu. Ditemukan pula data obyektif yang mendukung diagnosa ini antara lain pasien terlihat lesu dan sesekali menguap, TD 140/80 mmHg, N 100x/ menit nilai PSQI 11 dengan interpretasi kualitas tidur buruk. Pada hari rabu, tanggal 9 April 2014, pukul 08.40 WIB diambil diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis. Dengan data subyektif Pasien mengatakan nyeri pada bagian dada sebelah kiri, nyeri terasa hilang timbul, nyeri bertambah ketika bergerak, nyeri berskala 4, nyeri terasa seperti tertimpa beban berat. Sedangkan data obyektif yang didapatkan pasien terlihat meringis dan memegang dada saat nyeri terasa, tekanan darah pasien 140/80 mmHg, nadi 100x/ menit, respirasi rate 28x/ menit. Pada hari rabu, tanggal 9 April 2014, pukul 08.45 WIB ditemukan masalah keperawatan gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar kapiler. Dengan data subyektif pasien mengatakan sesak nafas, namun sesak bertambah saat berbaring dan beraktivitas. Sedangkan data obyektif yang didapat adalah dari hasil
37
radiologi terjadi edema pulmonal, efusi pleura kanan, hasil echokardiografi terjadi penurunan pada fungsi ventrikel kiri, terlihat juga pernafasan cuping hidung, pemeriksaan analisa gas darah abnormal dimana ph mencapai 7.527. Pada hari rabu, tanggal 9 April 2014, pukul 08.50 WIB ditemukan masalah
keperawatan
intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Dengan data subyektif pasien mengatakan sesak bertambah saat beraktivitas dan data obyektif yang didapatkan adalah aktivitas pasien saat mandi dan berpindah dibantu orang lain dan alat, mobilitas ditempat dan makan/ minum dibantu orang lain, toileting (BAB) dibantu orang lain dan alat sedangkan toileting (BAK) dibantu total, respiration rate 28x/ menit dan nadi 100x/ menit. Pada hari rabu, tanggal 9 April 2014, pukul 08.55 WIB ditemukan masalah keperawatan penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan volume sekuncup. Dengan data subyektif pasien mengatakan sesak nafas, sesak nafas bertambah saat berbaring. Sedangkan data obyektif yang didapatkan adalah nadi 100x/ menit, respiration rate 28x/ menit, tekanan darah 140/80 mmHg, auskultasi daerah jantung menunjukkan adanya bunyi gallop, hasil echokardiografi terdapat penurunan fungsi jantung pada bagian ventrikel kiri dengan dilatasi LV (Left Ventrikel) dengan nilai EF 20-23%, hasil radiologi terlihat adanya cardiomegali dan edema pulmonal, hasil EKG terlihat sinus takikardi dengan heard rate 104x/ menit dan terjadi iskemik anterolateral.
38
Pada hari rabu, tanggal 9 April 2014, pukul 09.00 WIB ditemukan masalah keperawatan resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan selang DC. Dengan data subyektif pasien mengatakan dipasang selang kencing sejak dibangsal dan belum pernah dibersihkan oleh perawat. Sedangkan data obyektif yang diperoleh terlihat terpasang selang DC dengan ukuran 30, terpasang sejak tanggal 8 April 2014, tidak ditemukan tanda- tanda infeksi pada area genetalia (tidak ada kemerahan, bengkak, panas ataupun nyeri).
F. Prioritas Diagnosa Keperawatan Diagnosa yang telah didapatkan dari hasil analisa data dapat diprioritaskan, yaitu yang pertama gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar kapiler. Diagnosa yang kedua adalah penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan volume sekuncup. Diagnosa yang ketiga adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis. Prioritas yang selanjutnya adalah untuk diagnosa yang keempat yaitu intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Diagnosa yang kelima adalah gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan nafas (sesak nafas) dan diagnosa yang keenam adalah resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan selang DC.
39
G. Intervensi Diagnosa yang pertama yaitu gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar kapiler, tujuan dari tindakan yang akan dilakukan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam diharapkan tidak ada masalah gangguan pertukaran gas dengan kriteria hasil pasien mengatakan sesak nafas berkurang atau hilang, tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada edema pulmonal, respiration rate 16- 24x/ menit, hasil AGD normal. Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa pertama adalah kaji irama pernafasan (irama, kecepatan, kedalaman) guna untuk mengetahui adanya perubahan pernafasan normal. Observasi adanya perubahan warna kulit (pucat atau kehitaman) untuk mengetahui adanya hipoksia dengan cepat. Posisikan pasien dengan sudut 450 untuk meningkatkan cardiac output dan mengurangi sesak nafas. Kolaborasikan dengan doker untuk pemberian obat diuretik untuk mengurangi edema pulmonal. Pantau adanya tanda-tanda dehidrasi untuk mencegah terjadinya dehidrasi setelah diberikan obat deuritik. Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian oksigen 3 liter/menit melalui nasal kanul. Pantau humidifier serta tambahkan aquabides sampai pada garis batas untuk menjaga kelembapan oksigen yang diberikan. Edukasikan tentang penyebab sesak nafas untuk mengurangi kecemasan. Diagnosa yang kedua yaitu penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan volume sekuncup, tujuan dari tindakan yang akan
40
dilakukan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam maka diharapkan curah jantung kembali normal dengan kriteria hasil pasien mengatakan sesak nafas berkurang atau hilang, tidak sesak nafas saat berbaring, tidak terdengar bunyi gallop, nadi 60- 100x/ menit, respiration rate 16-24x/ menit, tekanan darah 120/70 mmHg- 130/80 mmHg, fungsi jantung ventrikel kiri kembali normal dengan nilai EF 53-77%. Intervensi yang dapat dilakukan untuk diagnosa kedua adalah kaji pernafasan
(kedalaman, irama,
kecepatan) untuk
mengetahui status
pernafasan. Lakukan pengukuran tanda- tanda vital (nadi, respiration rate, tekanan darah). Atur posisi sudut 450 untuk membantu meningkatkan cardiac output serta mengurangi sesak nafas. Berikan edukasi tentang tujuan mengatur posisi sudut 450
agar nantinya timbul kesadaran pasien untuk
mengatur posisi sudut 450 secara mandiri. Edukasikan pada pasien untuk mengurangi konsumsi garam dan kolaborasikan dengan ahli gizi untuk pemberian diit rendah garam agar tidak memperparah retensi natrium. Diagnosa ketiga yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis, tujuan dari tindakan yang dilakukan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam diharapkan nyeri hilang atau berkurang dengan kriteria hasil pasien mengatakan nyeri berkurang atau hilang dengan skala 0-1, pasien tidak memegang dada, pasien tidak meringis, tekanan darah 120/70 mmHg - 130/80 mmHg, nadi 60- 100x/ menit. Intervensi yang dapat dilakukan untuk diagnosa ketiga adalah kaji kualitas nyeri (P, Q, R, S, T) untuk mengetahui status perkembangan nyeri.
41
Ajarkan teknik distraksi (membayangkan hal- hal yang indah dan beristigfar) untuk mengalihkan perhatian pasien dari nyeri dan agar tidak timbul kecemasan. Edukasikan pada pasien tentang tindakan apa yang dapat dilakukan saat nyeri terasa (anjurkan untuk menghentikan seluruh aktivitas dan jangan panik) agar nyeri tidak terasa bertambah parah. Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian analgesik untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri. Diagnosa yang keempat yaitu intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, tujuan dari tindakan yang dilakukan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan tidak sesak nafas atau tidak lelah setelah beraktivitas dengan kriteria hasil tidak ada sesak nafas setelah beraktivitas (mobilitas diatas tempat tidur, berpindah/ naik dan turun dari bed, toileting secara mandiri), nadi setelah beraktivitas 60- 100x/ menit, respiration rate setelah beraktivitas 16- 24x/ menit, tekanan darah setelah beraktifitas 120/70 mmHg- 130/80 mmHg dan ADL (Activity Daily Living). Intervensi yang dapat dilakukan untuk diagnosa yang keempat adalah kaji respon klien terhadap aktivitas untuk mengetahui tingkat toleransi aktivitas. Lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (nadi, respiration rate tekanan darah) sebelum beraktivitas dan setelah beraktivitas guna mengetahui respon tubuh terhadap aktivitas. Hentikan aktivitas apabila pasien berespon sesak nafas ataupun nyeri dada, untuk mengurangi konsumsi oksigen yang digunakan tubuh dalam metabolisme.
42
Lakukan latihan secara bertahap untuk meningkatkan toleransi latihan pada pasien. Edukasikan pada pasien untuk meningkatkan aktivitas secara mandiri agar pasien termotivasi untuk meningkatkan aktivitas secara mandiri dan tercapai toleransi yang lebih cepat. Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian O2 nasal kanul untuk menambah intake oksigen setelah beraktivitas. Diagnosa yang kelima yaitu gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan nafas (sesak nafas), tujuan dari tindakan yang akan dilakukan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam diharapkan tidak ada gangguan pola tidur dengan kriteria hasil pasien mengatakan waktu tidur cukup, waktu tidur malam kembali normal ± 8-9 jam, saat tidur tidak mudah terbangun (maksimal 2x terbangun), saat bangun pasien merasa segar, tidak tampak lesu dan tidak menguap, tekanan darah 120/70 mmHg- 130/80 mmHg, nadi 60- 100x/ menit, jam tidur siang kembali normal ± 1- 2 jam, hasil PSQI menunjukkan penurunan nilai menjadi 6-8 atau <5. Intervensi yang dapat dilakukan untuk diagnosa kelima ini adalah kaji kebiasaan tidur pasien untuk mengetahui kebiasaan tidur pasien. Atur posisi pasien dengan sudut 450 untuk meningkatkan cardiac output sehingga sesak nafas berkurang dan kualitas tidur meningkat. Posisi sudut 450 dapat dilakukan dengan cara posisikan kepala pasien dekat dengan bagian kepala tempat tidur, elevasi/ naikkan bagian kepala tempat tidur 450 (ukur dengan busur), alasi bagian kepala dengan bantal yang tipis, ganjal punggung bawah pasien dengan selimut, berikan bantal pada lengan.
43
Batasi penunggu agar suasana kamar pasien terjaga ketenangannya. Untuk mengefektifkan manfaat posisi tidur 450 maka anjurkan pada keluarga untuk membantu membenahi posisi pasien saat posisi sudut 450 berubah. Edukasikan tentang pentingnya meningkatkan kualitas tidur agar timbul kesadaran untuk meningkatkan kualitas tidur. Diagnosa yang keenam yaitu resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan selang DC, tujuan dari tindakan yang akan dilakukan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam diharapkan tidak ada resiko infeksi dengan kriteria hasil tidak ditemukan tanda- tanda infeksi (tumor, rubor, dolor, kalor, fungsiolesa), selang DC dilepas. Intervensi yang dapat dilakukan untuk diagnosa keenam adalah observasi adanya tanda-tanda infeksi untuk mengetahui ada tidaknya infeksi. Lakukan perawatan selang DC setiap hari guna menjaga kebersihan area genetalia. Edukasikan tentang pentingnya menjaga kebersihan area genetalia agar
timbul
kesadaran
untuk
menjaga
kebersihan
area
genetalia.
Kolaborasikan dengan dokter untuk penggantian selang DC (setiap 7 hari).
H. Implementasi dan Evaluasi Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa yang pertama gangguan pertukaran gas pada hari rabu, tanggal 9 April 2014 pada pukul 09.05 WIB adalah mengkaji perubahan pernafasan, pasien mengatakan masih sesak nafas didapati respiration rate 27x/ menit, irama teratur, terpasang oksigen nasal kanul 3 liter/ menit. Memantau humidifier dan menambahkan aquabides
44
sampai pada garis batas dilakukan pada pukul 09.10 WIB, keluarga mempersilahkan perawat menambahkan air dan air aquabides di isi sampai pada garis batas. Mengobservasi adanya perubahan warna kulit dilakukan pada pukul 09.12 WIB, keluarga mengatakan warna kulit pasien memang kuning langsat, terlihat warna kulit pasien normal, tidak ada pucat atau kehitaman. Memposisikan
pasien
dengan
sudut
450.
Dilakukan
dengan
memposisikan kepala pasien dekat dengan bagian kepala tempat tidur, menaikkan bagian kepala tempat tidur 450 (ukur dengan busur), mengalasi bagian kepala dengan bantal yang tipis, mengganjal punggung bawah pasien dengan selimut dan memberikan bantal pada lengan pasien dilakukan pada pukul 09.13 WIB. pasien mengatakan posisinya lebih nyaman dan pasien telah berada pada posisi sudut 450 yang sebelumnya pasien ada di posisi sudut 300. Pukul 15.00 WIB penulis mengkaji status pernafasan kembali. Pasien mengatakan sesak nafas berkurang dan respiration rate 26x/ menit terlihat nafas cuping hidung. Memberikan edukasi tentang penyebab sesak nafas dilakukan pada pukul 15.03 WIB, pasien mengatakan baru mengetahui bila paru-parunya terdapat cairan, pasien nampak tenang dan menerima informasi dengan baik. Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian diuretik dilakukan pada pukul 15.45 WIB, pasien mengatakan bersedia diberikan obat lewat infus, obat furosemid 20 mg masuk melalui intravena. Memantau adanya tanda-
45
tanda dehidrasi (mokusa bibir kering, nadi cepat dan lemah, cemas) dilakukan pada pukul 15.50 WIB, pasien mengatakan tidak merasakan apa- apa pada badannya hanya sedikit sesak, didapati respiration rate 26x/ menit, nadi 100x/ menit dengan irama teratur, teraba sedang, tekanan darah 135/80 mmHg. Evaluasi untuk diagnosa pertama yaitu gangguan pertukaran gas dihari rabu tanggal 9 April 2014 dilakukan pada pukul 19.10 WIB. Pasien mengatakan sesak nafas berkurang, hasil pengukuran respiration rate 26x/ menit, terlihat nafas cuping hidung, terpasang oksigen nasal kanul 3 liter/ menit dan terdengar ronki pada paru kanan. Masalah teratasi sebagian dan lanjutkan intervensi. Intervensi yang akan dilanjutkan adalah kaji perubahan pernafasan, observasi adanya perubahan warna kulit, posisikan pasien dengan sudut 450, kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian oksigen, kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat diuretik, pantau adanya tanda-tanda dehidrasi, tambahkan aquabides sampai pada garis batas dan tambahkan intervensi dengan menciptakan suasana dan nyaman dan tenang. Pada hari kamis, tanggal 10 April 2014 untuk implementasi diagnosa pertama dilakukan pada pukul 07.05 WIB yaitu mengkaji perubahan pernafasan dan mengobservasi warna kulit, pasien mengatakan sesak nafas berkurang dan didapati hasil pengukuran respiration rate 24x/ menit, tidak ada pernafasan cuping hidung, kulit tampak normal (tidak pucat tidak kehitaman). Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian oksigen nasal
46
kanul 2 liter/ menit dilakukan pada pukul 07.10 WIB, pasien mengatakan oksigen yang diberikan sudah sesuai dan sekarang terpasang oksigen nasal kanul 2 liter/ menit. Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat deuritik dilakukan pada pukul 08.00 WIB, pasien mengatakan bersedia diberikan obat melalui infus dan obat masuk melalui intravena, pasien terlihat tenang saat obat masuk. Menciptakan suasana yang nyaman dan tenang dilakukan pada pukul 08.10 WIB dengan cara mengganti seprei pasien dan menganjurkan keluarga untuk membatasi pengunjung yang masuk ke dalam kamar. Pasien mengatakan senang karena sepreinya diganti karena semenjak ia dirawat seprei belum diganti, keluarga mengatakan bersedia membatasi pengunjung yang masuk dalam kamar. Pasien terlihat lebih nyaman dan senang. Memposisikan pasien dengan sudut 450 dilakukan dengan menaikkan bed bagian kepala 450 (ukur dengan busur) pada pukul 08.20 WIB. Pasien mengatakan posisinya nyaman dan sekarang posisi pasien setengah duduk dengan sudut 450 yang sebelumnya dalam posisi duduk. Memantau adanya tanda-tanda dehidrasi (efek dari obat deuritik) dengan cara melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital. Pasien mengatakan badannya baik- baik saja, tidak pusing, tidak lemas. Pasien nampak tenang, ekstremitas teraba hangat, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88x/ menit dan respiration rate 24x/ menit. Evaluasi untuk diagnosa pertama dihari kamis 10 April 2014 dilakukan pada pukul 17.00 WIB. Pasien mengatakan sesak nafas hilang,
47
respiration rate 22x/ menit, irama teratur, tidak ada pernafasan cuping hidung, masih terdengar ronki di paru kanan. Masalah teratasi, hentikan intervensi. Untuk diagnosa yang kedua pada hari rabu, tanggal 9 April 2014 mulai dilakukan implementasi yaitu mengkaji perubahan pernafasan yang dilakukan pada pukul 09.05 WIB. Pasien mengatakan masih sesak nafas dengan respiration rate 27x/ menit, irama teratur, terpasang oksigen nasal kanul 3 liter/ menit. Memposisikan pasien dengan sudut 450 dilakukan pada pukul 09.13 WIB. Dilakukan dengan cara memposisikan kepala pasien dekat dengan bagian kepala tempat tidur, menaikkan bagian kepala tempat tidur 450 (ukur dengan busur), mengalasi bagian kepala dengan bantal yang tipis, mengganjal punggung bawah pasien dengan selimut dan memberikan bantal pada lengan pasien. pasien mengatakan posisinya lebih nyaman dan pasien telah berada pada posisi sudut 450 yang sebelumnya pasien ada di posisi sudut 300. Melakukan pengukuran tanda- tanda vital (nadi, pernafasan, tekanan darah dan suhu) dilakukan pada pukul 10.00 WIB. Pasien mengatakan bersedia dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital. Didapatkan hasil dari pengukuran tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 102x/ menit dengan irama teratur, nadi teraba sedang, respiration rate 28x/ menit irama teratur, nafas cuping hidung. Memberikan edukasi untuk mengurangi konsumsi natrium/ garam dilakukan pada tanggal 10.32 WIB. Keluarga mengatakan akan membantu
48
pasien untuk mengurangi konsumsi natrium/ garam. Pasien dan keluarga terlihat mengangguk dan keluarga dapat menyebutkan contoh makanan yang mengandung natrium tinggi. Pada pukul 15.00 WIB penulis kembali mengkaji status pernafasan. Pasien mengatakan sesak nafas berkurang dan respiration rate 26x/ menit terlihat nafas cuping hidung. Memberikan edukasi tentang tujuan mengatur sudut posisi tidur 450 dilakukan pada pukul 15.13 WIB. Pasien dan keluarga mengatakan mengetahui informasi yang diberikan. Pasien dan keluarga terlihat mengerti dan dapat mengulangi informasi yang diberikan. Evaluasi untuk diagnosa kedua di hari rabu, tanggal 9 April 2014 dilakukan pada pukul 19.20 WIB. Pasien mengatakan sesak nafas berkurang namun saat berbaring masih terasa sesak nafas, terdengar bunyi gallop pada auskultasi jantung, nadi 98x/ menit, respiration rate 26x/ menit, pernafasan teratur, tekanan darah 135/ 80 mmHg. Dengan hasil evaluasi tersebut maka dapat dikatakan masalah teratasi sebagian. lanjutkan intervensi antara lain kaji pernafasan (kedalaman, irama, kecepatan), lakukan pengukuran tandatanda vital, atur posisi sudut 450, kolaborasikan dengan ahli gizi untuk pemberian diit rendah garam. Diagnosa kedua dihari kamis, tanggal 10 April 2014 tindakan yang pertama dilakukan adalah mengkaji perubahan pernafasan dan warna kulit, yang dilakukan pada pukul 07.05 WIB. Pasien mengatakan sesak nafas berkurang dan didapati hasil pengukuran respiration rate 24x/ menit, tidak ada pernafasan cuping hidung, kulit tampak normal (tidak pucat tidak
49
kehitaman). Melakukan pengukuran tanda- tanda vital dilakukan pada pukul 07.15 WIB. Pasien mengatakan mau dilakukan pengukuran tanda- tanda vital. Didapati hasil pengukuran tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 88x/ menit, respiration rate 24x/ menit, nadi 88x/ menit dan suhu 36.40 C. Berkolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diit rendah garam dilakukan pada pukul 07.25 WIB. Pasien mengatakan mau makan makanan yang diberikan dari rumah sakit dan keluarga terlihat mempersiapkan makanan yang akan dimakan pasien. Memposisikan pasien dengan sudut 450 dilakukan dengan menaikkan bed bagian kepala 450 (ukur dengan busur) pada pukul 08.20 WIB. Pasien mengatakan posisinya nyaman dan sekarang posisi pasien setengah duduk dengan sudut 450 yang sebelumnya dalam posisi duduk. Dihari kamis, 10 April 2014 untuk diagnosa kedua dilakukan evaluasi pada pukul 17.15 WIB. Pasien mengatakan sesak nafas hilang dan saat berbaring tidak terasa sesak nafas. Pada auskultasi paru terdengar bunyi gallop, nadi 88x/ menit dengan irama teratur teraba sedang, tekanan darah 120/70 mmHg dan respiration rate 22x/ menit. Dengan data yang didapat maka dapat dikatakan bahwa masalah teratasi sebagian. Maka intervensi akan dilanjutkan yang mencakup kaji pernafasan (irama, kedalaman, kecepatan), lakukan pengukuran tanda- tanda vital, atur posisi sudut 450, kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan diit rendah garam. Diagnosa yang ketiga pada hari rabu, tanggal 9 April 2014 pada pukul 09.18 WIB penulis mengkaji status nyeri pasien. Pasien mengatakan saat ini
50
nyeri tidak terasa, namun apabila sedang terasa nyeri seperti tertimpa beban berat, nyeri berskala 4, nyeri terasa hilang timbul, nyeri terasa pada dada sebelah kiri dan nyeri bertambah saat bergerak. Pasien terlihat tidak memegangi dada dan tidak meringis. Memberikan edukasi tentang tindakan yang harus diambil saat nyeri terasa (menganjurkan menghentikan seluruh aktivitas termasuk bicara dan jangan panik) dilakukan pada pukul 10.45 WIB, pasien mengatakan akan mengikuti saran perawat, keluarga dan pasien nampak memperhatikan dan dapat mengulangi informasi yang diberikan dengan benar. Mengajarkan teknik distraksi dengan cara membayangkan hal- hal yang indah dan beristigfar dilakukan pada pukul 10.55 WIB, pasien mengatakan ingin beristigfar saja dan pasien terlihat mempraktekkan cara beristigfar. Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat analgesik dilakukan pada pukul 15.45 WIB. Pasien mengatakan mau meminum obat yang diberikan, pasien nampak minum obat dibantu dengan keluarga. Hari rabu, tanggal 9 April dilakukan evaluasi untuk diagnosa ketiga pada pukul 19.30 WIB Pasien mengatakan nyeri tidak terasa sejak tadi siang. Terlihat pasien tidak memegangi area dada serta pasien tidak meringis dengan tekanan darah 135/80 mmHg, didapat juga nadi nya 98x/ menit. Maka dapat dikatakan masalah teratasi sebagian dan lanjutkan intervensi kaji status nyeri, kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat analgesik. Hari kamis tanggal 10 April 2014 untuk diagnosa yang ketiga, penulis mulai dengan mengkaji status nyeri (P. Q. R, S, T), Untuk diagnosa yang
51
pertama pada hari rabu, tanggal 9 April 2014 pada pukul 09.05 WIB, pasien mengatakan sudah tidak merasa nyeri lagi, dengan tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 88x/ menit, respiration rate
24x/ menit. Pada hari kamis,
tanggal 9 April 2014 dilakukan evaluasi pada pukul 17.30 WIB. Pasien mengatakan sudah tidak merasakan nyeri sejak kemarin. Pasien tidak terlihat meringis, pasien tidak memegang dada, skala nyeri 0, tekanan darah 120/ 70 mmHg, nadi 80x/ menit. Dari data yang didapat maka dapat disimpulkan masalah teratasi dan hentikan intervensi. Diagnosa yang keempat pada hari rabu, tanggal 9 April 2014 pada pukul 10.00 WIB penulis melakukan pengukuran tanda-tanda vital (nadi, pernafasan, tekanan darah, sushu), pasien mengatakan bersedia dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, maka didapatkan hasil tekanan darah 140/ 80 mmHg, nadi 102x/ menit dengan irama teratur dan teraba sedang, respiration rate 28x/ menit dengan irama teratur, nafas cuping hidung. Mengkaji respon pasien terhadap aktivitas dilakukan pada pukul 10.36 WIB. Keluarga mengatakan pagi tadi pasien terlalu banyak mengubah posisi sehingga sesak nafas bertambah, pasien terlihat masih sesak nafas dengan respiration rate 27x/ menit. Hari Rabu, tanggal 9 April 2014 untuk diagnosa keempat dilakukan evaluasi pada pukul 19.35 WIB. Pasien mengatakan sudah dapat bangun dan mobilisasi diatas tempat tidur dan sesak nafas tidak bertambah. Pasien terlihat sering mengubah posisi diatas tempat tidur dan tidak memperparah sesak nafas serta tidak nyeri. Maka dapat dikatakan bahwa masalah teratasi
52
sebagian dan lanjutkan intervensi kaji respon pasien terhadap aktivitas, lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital sebelum dan sesudah beraktivitas, kolaboraskan dengan dokter untuk pemberian O2 nasal kanul serta tambahkan intervensi lakukan latihan secara bertahap, hentikan aktivitas apabila pasien berespon sesak nafas dan nyeri dada, edukasikan pentingnya peningkatan aktivitas secara mandiri. Hari kamis, tanggal 10 April 2014 untuk diagnosa yang keempat penulis melakukan pengukuran tanda- tanda vital pada pukul 07.15 WIB. Pasien mengatakan bersedia dilakukan pengukuran tanda-tanda vital, didapatkan hasil tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 88x/ menit, respiration rate 24x/ menit dan suhu badan 36.40 C. Mengkaji respon pasien terhadap aktivitas juga dilakukan pada pukul 08.28 WIB, pasien mengatakan kalau bergerak banyak ditempat tidur sesak nafas tidak bertambah, pasien terlihat sering miring kekanan dan kekiri. Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital setelah melakukan kegiatan juga dilakukan pada pukul 08.32 WIB, pasien mengatakan mau dilakukan pemeriksaan tanda- tanda vital, didapatkan hasil tekanba darah 125/ 80 mmHg, nadi 88x/ menit, respiration rate 24x/ menit. Memberikan edukasi tentang
pentingnya melakukan peningkatan kegiatan secara mandiri
dilakukan pada pukul 08.37 WIB, pasien mengatakan sudah berlatih sesuai kemampuan, pasien terlihat mengangguk dan dapat mengulangi informasi yang diberikan dengan benar.
53
Melakukan latihan secara bertahap (turun dari bed, duduk di kursi, berdiri, kemudian naik lagi ke bed) dilakukan pada pukul 08.40 WIB, pasien mengatakan sesak nafas tidak bertambah, tidak lelah, tidak nyeri dada, terlihat pasien nampak tenang dan pasien melakukan latihan secara mandiri. Melakukan pemeriksaan tanda- tanda vital setelah beraktivitas dilakukan pada pukul 08.45 WIB, pasien mengatakan mau dilakukan pemaeriksaan tandatanda vital dan didapatkan hasil tekanan darah 130/80 mmHg, respiration rate 24x/ menit, nadi 90x/ menit. Evaluasi pada hari kamis, 10 April 2014 untuk diagnosa keempat dilakukan pada pukul 17.35 WIB. Pasien mengatakan sudah dapat mobilitas diatas tempat tidur dan berpindah dari tempat tidur dan berpindah dari tempat tidur ke kursi maupun sebaliknya secara mandiri tanpa sesak nafas dan nyeri dada. Pasien terlihat duduk dikursi tanpa menggunakan oksigen nasal kanul, nadi setelah pasien berpindah 88x/ menit, respiration rate setelah berpindah 22x/ menit dengan tekanan darah 120/70 mmHg, toileting belum mandiri (terpasang DC). Dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi sebagian dan lanjutkan intervensi kaji respon pasien terhadap aktivitas, lakukan pemeriksaan tanda- tanda vital sebelum dan sesudah beraktifitas, melakukan latihan secara bertahap, hentikan aktivitas apabila pasien berespon sesak nafas dan nyeri dada, hentikan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian O2 nasal kanul. Hari rabu, tanggal 9 April 2014 untuk diagnosa yang kelima penulis memposisikan pasien dengan sudut 450. Dilakukan dengan memposisikan
54
kepala pasien dekat dengan bagian kepala tempat tidur, menaikkan bagian kepala tempat tidur 450 (ukur dengan busur), mengalasi bagian kepala dengan bantal yang tipis, mengganjal punggung bawah pasien dengan selimut dan memberikan bantal pada lengan pasien dilakukan pada pukul 09.13 WIB. pasien mengatakan posisinya lebih nyaman dan pasien telah berada pada posisi sudut 450 yang sebelumnya pasien ada di posisi sudut 300. Menganjurkan keluarga untuk membantu membenahi posisi pasien saat possi sudut 450 berubah dilakukan pada pukul 09.16 WIB. Pasien mengatakan bersedia dibantu keluarga dan keluarga mengatakan siap membantu, keluarga terlihat mengangguk tanda bersedia membantu. Memberikan edukasi tentang tujuan mengatur sudut posisi tidur 450 dilakukan pada pukul 15.13 WIB. Pasien dan keluarga mengatakan mengetahui informasi yang diberikan. Pasien dan keluarga terlihat mengerti dan dapat mengulangi informasi yang diberikan. Mengkaji kebiasaan tidur pasien dilakukan pada pukul 19.00 WIB, keluarga mengatakan pasien biasa tidur jam 8 atau jam 9 malam dan biasanya tidur bersama istri. Pasien sudah terlihat menguap. Mengatur posisi sudut 450 dilakukan pukul 19.02 WIB, dilakukan dengan memposisikan kepala pasien dekat dengan bagian kepala tempat tidur, menaikkan bagian kepala tempat tidur 450 (ukur dengan busur), mengalasi bagian kepala dengan bantal yang tipis, mengganjal punggung bawah pasien dengan selimut dan memberikan bantal pada lengan pasien dilakukan pada. pasien mengatakan posisinya lebih
55
nyaman dan pasien telah berada pada posisi sudut 450 yang sebelumnya posisi pasien merosot kebawah. Membatasi penunggu dilakukan pada pukul
19.08 WIB, keluarga
mengatakan akan segera keluar dari kamar pasien, nampak keluarga berbenah untuk keluar kecuali istri pasien. Evaluasi untuk diagnosa kelima dihari rabu tanggal 9 April 2014 dilakukan pada pukul 19.43 WIB, Pasien mengatakan sempat tidur siang ± ½ - 1 jam, selama tidur siang tidak mudah terbangun, saat bangun pasien merasa segar, pasien juga mengatakan semoga nanti malam tidurnya nyenyak. Pasien nampak sesekali menguap, tekanan darah 135/ 80 mmHg dan nadi 98x/ menit. Masalah teratasi sebagian dan lanjutkan intervensi atur posisi pasien dengan sudut 450, batasi penunggu dan tambahkan intervensi kaji jam tidur dan kualitas tidur pasien, edukasikan tentang pentingnya meningkatkan kualitas tidur yang kurang. Dihari kamis tanggal 10 April 2014 untuk diagnosa kelima, penulis memposisikan pasien dengan sudut 450 dengan cara menaikkan bed bagian kepala 450 (ukur dengan busur), pasien mengatakan posisinya nyaman dan sekarang posisi pasien setengah duduk dengan sudut 450 yang sebelumnya dalam posisi duduk. Pada hari kamis 10 April 2014 untuk diagnosa kelima dilakukan 2 kali evaluasi. Evaluasi yang pertama dilakukan pada pukul 08.05 WIB, pasien mengatakan tidurnya semalam cukup dan nyenyak dari jam 9- 5 pagi, terbangun 2 kali namun mudah tidur kambali, saat bangun merasa segar. Pasien nampak segar, tidak lesu, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 98x/
56
menit, respiration rate 24x/ menit. Maka dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi sebagian. Lanjutkan intervensi batasi penunggu, posisikan sudut 450, tambahkan intervensi kaji jam tidur dan kualitas tidur siang, edukasikan tentang petingnya meningkatkan kualitas tidur yang kurang. Evaluasi yang kedua dihari kamis, tanggal 10 April 2014 dilakukan pada pukul 17.45 WIB. Pasien mengatakan tidur malamnya cukup dan nyenyak ± 8 jam, terbangun hanya 2 kali dan mudah tertidur lagi. Tidur siang ± 1- 1½ jam, tidak terbangun, saat bangun badan terasa segar. Terlihat pasien nampak segar, tidak lesu, pasien tidak tampak menguap, tekanan darah 120/70 mmHg dan nadi 88x/ menit, respiration rate 22x/ menit, PSQI menunjukkan nilai 5 yang menandakan kualitas tidur baik. Maka dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi dan intervensi dapat dihentikan. Diagnosa keenam pada hari rabu, tanggal 9 April 2014, penulis melakukan perawatan selang DC pada pukul 10.10 WIB setelah dilakukan perawatan selang DC pasien mengatakan area genetalia terasa lebih bersih, pada area genetalia tidak tampak adanya tanda- tanda infeksi (tumor, rubur, dolor, kalor, fungsiolesa). Memberikan edukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan area genetalia dilakukan pada pukul 10.25 WIB, pasien mengatakan akan menjaga kebersihan area genetalia, pasien nampak memperhatikan penjelasan dan pasien dapat mengulangi informasi yang diberikan dengan benar. Evaluasi untuk diagnosa keenam pada hari rabu, tanggal 9 April 2014 dilakukan pada pukul 19.50 WIB, pasien mengatakan sudah membersihkan
57
area genetalia sore tadi, pasien tidak merasa sakit, perih ataupun panas pada area genetalia. Saat dilakukan evaluasi selang DC terpasang dengan baik, tidak ada tanda- tanda infeksi (tumor, rubor, dolor, kalor, fungsiolesa). Maka dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi sebagian, lanjutkan intervensi observasi adanya tanda-tanda infeksi (tumor, rubor, dolor, kalor, fungsiolesa), lakukan perawatan selang DC, tambahkan intervensi edukasikan tentang tanda- tanda infeksi. Hari kamis, tanggal 10 April 2014 untuk diagnosa yang keenam, mengobservasi adanya tanda-tanda infeksi dilakukan pada pukul 09.30 WIB, pasien mengatakan pada area genetalia baik- baik saja, tidak nyeri, tidak gatal. Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi (tumor, rubor, dolor, kalor, fungsiolesa). Melakukan perawatan selang DC, pasien mengatakan terasa lebih bersih setelah dilakukan perawatan oleh perawat, area genetalia bersih selang DC terpasang dengan benar. Memberikan edukasi tentang tanda- tanda infeksi, pasien mengatakan sekarang sudah tau tanda- tanda infeksi, pasien dapat mengulangi informasi yang diberikan dengan benar. Diagnosa keenam dihari kamis, tanggal 10 April 2014 dilakukan evaluasi pada pukul 17.55 WIB, pasien mengatakan sudah membersihkan area genetalia tadi sore, area genetalia tidak gatal, tidak sakit. Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi, selang DC yang berukuran 30 masih terpasang dengan baik. Maka dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi sebagian, lanjutkan intervensi observasi adanya tanda-tanda infeksi dan lakukan perawatan selang DC.
58
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pembahasan Dalam bab ini penulis akan membahas tentang pengaruh pengaturan sudut posisi tidur 450 terhadap kualitas tidur pada asuhan keperawatan Tn. P dengan Congestive Heart Failure di ruang aster RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Disamping itu penulis juga akan membahas tentang kesesuaian dan kesenjangan antara teori dan kenyataan yang meliputi pengkajian, analisa data, intervensi, implementasi dan evaluasi. Pembahasan akan lebih ditekankan pada diagnosa gangguan pola tidur karena diagnosa gangguan pola tidurlah yang berhubungan dengan kualitas tidur, dimana menurut jurnal Melanie (2012) bahwa kualitas tidur dapat diperbaiki dengan pengaturan posisi tidur 450. Congestive Heart Failure didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel- sel tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat (Udjianti, 2013: 153). 1. Pengkajian Menurut Nursalam (2008: 22) pengkajian adalah suatu proses pengumpulan data tentang perilaku klien sebagai suatu model adaptif: fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan ketergantungan. Pasien masuk rumah sakit pada hari selasa, 8 April 2014 pada jam 6 pagi. Penulis
58
59
melakukan pengkajian pada hari rabu, 9 April 2014 di ruang Aster no 2 J pada jam 8 pagi. Keluhan utama pada saat dikaji adalah sesak nafas. Data tersebut telah sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa Congstive Heart Failure menyebabkan aliran darah di paru-paru tidak lancar dan darah tidak masuk ke jantung sehingga terjadi penimbunan cairan di paru- paru dan menghambat pertukaran gas, karena itulah pasien akan merasakan sesak nafas (Kasron, 2012: 59). Saat dirawat dirumah sakit pasien mengatakan dapat tidur siang ±1-2 jam namun saat malam, waktu tidurnya hanya berkisar ± 4-6 jam padahal jam tidur malam pasien normalnya ± 8-9 jam. Hasil pengkajian juga didapatkan bahwa pasien sulit mengawali tidur, saat bisa tidur maka akan mudah terbangun karena sesak nafas, pasien juga mengatakan saat bangun terasa kurang nyaman dan badan lesu. Data tersebut telah sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa menurut Nafrialdi et al (2006: 54) ada beberapa kriteria mayor yang dapat ditemui pada Congestive Heart Failure, salah satunya adalah PND (Paroxysmal Nocturnal Dispneu). PND merupakan keadaan dimana seseorang akan mudah terbangun karena terjadi sesak nafas mendadak atau nafas pendek pada saat tidur hal ini terjadi karena perpindahan cairan dari jaringan ke dalam kompartemen intravaskular (Muttaqin, 2009: 96). Pada pemeriksaan paru-paru menunjukkan pasien menggunakan pernafasan cuping hidung. Teraba vokal fremitus kanan dan kiri sama,
60
ekspansi paru kanan dan kiri juga teraba sama. Pada perkusi terdengar pekak pada lobus 3 paru kanan dan saat di auskultasi terdengar ronkhi. Pemeriksaan foto thorak pada tanggal 8 April 2014, didapati hasil efusi pleura kanan. Pemeriksaan jantung menunjukkan bahwa ictuscordis teraba pada sela intercosta kelima, saat diauskultasi terdengar bunyi gallop, pada foto thorak didapati hasil cardiomegali. Data yang didapatkan telah sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa menurut Alto (2009: 273) pemeriksaan fisik pada paru- paru akan dapat terdengar bunyi ronkhi pada basal paru, pada penderita Congestive Heart Failure dapat pula dibantu dengan dilakukannya pemeriksaan penunjang diantaranya foto rontgen dada, ekokardiografi dan akan dapat ditemui bunyi gallop pada jantung, cardiomegali, efusi pleura yang biasanya lebih sering terjadi pada paru kanan dari pada paru kiri. 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah penegakan diagnosa keperawatan yang akurat yang dilakukan dengan pengumpulan dan analisa data yang cermat, diagnosa yang akurat dibuat setelah pengkajian lengkap semua variabelnya (Potter dan Perry, 2005). Pada pasien Congestive Heart Failure diagnosa yang biasa muncul adalah ganguan pertukaran gas, kelebihan volume cairan, nyeri akut, intoleransi aktivitas, gangguan pola tidur (Nugroho, 2011: 270). Pada Tn. P ditemukan diagnosa keperawatan gangguan pertukaran gas, penurunan curah jantung, nyeri akut, intoleransi aktivitas, gangguan pola tidur dan resiko infeksi.
61
Diagnosa pertama yang diangkat adalah gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar kapiler. Gangguan pertukaran gas dapat didefinisikan sebagai kelebihan atau defisit cairan pada oksigenasi dan atau eliminasi karbon dioksida pada membrane alveolar kapiler. (Wilkinson dan Ahern. 2011: 806). Penulis mengangkat diagnosa gangguan pertukaran gas dengan mengacu dari hasil analisa data dimana data subyektif pasien mengatakan sesak nafas, namun sesak bertambah saat berbaring dan beraktivitas. Sedangkan data obyektif yang didapat adalah dari hasil radiologi terjadi edema pulmonal, efusi pleura kanan, hasil echokardiografi terjadi penurunan pada fungsi ventrikel kiri, terlihat juga pernafasan cuping hidung, analisa gas darah yang abnormal dimana ph mencapai 7,527 yang normalnya 7,310-7,420. Data ini telah sesuai dengan dengan batasan karakteristik menurut Wilkinson dan Ahern (2011: 806) yaitu nyeri dada, sesak nafas, gas darah arteri tidak normal, cuping hidung, perubahan frekuensi pernafasan, aritmia. Diagnosa kedua yang diangkat oleh penulis adalah penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan volume sekuncup. Penurunan curah jantung dapat didefinisikan sebagai ketidakadekuatan pompa darah oleh jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Wilkinson dan Aher, 2011: 105). Penulis mengangkat diagnosa penurunan curah jantung dengan mengacu dari hasil analisa data dimana data subyektif pasien mengatakan
62
sesak nafas, sesak nafas bertambah saat berbaring. Sedangkan data obyektif yang didapatkan adalah nadi 100x/ menit, respiration rate 28x/ menit, tekanan darah 140/80 mmHg, auskultasi daerah jantung menunjukkan adanya bunyi gallop, hasil echokardiografi terdapat penurunan fungsi jantung pada bagian ventrikel kiri dengan dilatasi LV (Left Ventrikel) dengan nilai EF 20-23%, hasil radiologi terlihat adanya cardiomegali dan edema pulmonal, hasil EKG terlihat sinus takikardi dengan heart rate 104x/ menit dan terjadi iskemik anterolateral. Data tersebut telah sesuai dengan teori yaitu batasan karakteristik untuk penurunan curah jantung adalah perubahan pola EKG, sesak nafas, bunyi gallop, penurunan indeks kerja ventrikel kiri, iskemia (Wilkinson dan Ahern, 2011: 106). Diagnosa ketiga yang diangkat oleh penulis adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis. Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan dan muncul akibat kerusakan jaringan degan awitan tiba- tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dan berlangsung kurang dari 6 bulan (Lunney et al, 2009: 410). Penulis mengangkat diagnosa nyeri akut dengan mengacu dari hasil analisa data dimana data subyektif pasien mengatakan nyeri pada bagian dada sebelah kiri, nyeri terasa hilang timbul, nyeri bertambah ketika bergerak, nyeri berskala 4, nyeri terasa seperti tertimpa beban berat. Sedangkan data obyektif yang didapatkan pasien terlihat meringis
63
dan memegang dada saat nyeri terasa, tekanan darah pasien 140/80 mmHg, nadi 100x/ menit, respirasi rate 28x/ menit. Data tersebut telah sesuai dengan batasan karakteristik untuk nyeri akut antara lain perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi pernafasan, laporan verbal, mengekspresikan perilaku (Lunney et al, 2009: 410). Diagnosa keempat yang diangkat oleh penulis adalah intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Intoleransi aktivitas menurut Lunney et al (2009: 157) adalah ketidakcukupan energi fisiologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang ingin dilakukan. Penulis mengangkat diagnosa intoleransi aktivitas dengan mengacu dari hasil analisa data dimana data subyektif pasien mengatakan sesak bertambah saat beraktivitas dan data obyektif yang didapatkan adalah aktivitas pasien saat mandi dan berpindah dibantu orang lain dan alat, mobilitas ditempat dan makan/ minum dibantu orang lain, toileting (BAB) dibantu orang lain dan alat sedangkan toileting (BAK) dibantu total, respiration rate
28x/ menit dan nadi 100x/ menit. Data yang
didapat telah sesuai dengan batasan karakteristik untuk intoleransi aktivitas menurut Lunney et al (2009: 157) salah satunya yaitu sesak nafas setelah beraktifitas. Diagnosa Kelima yang diangkat oleh penulis adalah gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan nafas (sesak nafas). Gangguan
64
pola tidur dapat didefinisikan sebagai gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur akibat faktor eksternal Lunney et al (2009: 134). Penulis mengangkat diagnosa gangguan pola tidur dengan mengacu dari hasil analisa data dimana data subyektif pasien mengatakan waktu tidur malam sangat kurang hanya ± 4- 6 jam, sulit mengawali tidur, apabila berhasil tidur maka akan mudah terbangun karena sesak nafas pasien juga menambahkan saat bangun badannya terasa kurang segar dan lesu. Ditemukan pula data obyektif yang mendukung diagnosa ini antara lain pasien terlihat lesu dan sesekali menguap, TD 140/80 mmHg, N 100x/ menit, PSQI menunjukkan nilai 11 dimana kualitas tidur dalam keadaan buruk. Data yang diperoleh telah sesuai dengan batasan karakteristik untuk gangguan pola tidur menurut Lunney et al(2009: 134) antara lain perubahan pola tidur normal, keluhan verbal merasa kurang tidur, melaporkan susah untuk jatuh tidur, melaporkan sering terbangun. Gangguan pola tidur pada Tn. P ini dapat digolongkan menjadi gangguan tidur pada fase NREM (Non- Rapid Eye Movement). NREM (Non- Rapid Eye Movement) merupakan fase dimana gelombang otak bergerak dengan sangat lambat dan biasanya ditandai dengan penurunan suhu, tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernafasan (Vaughans, 2013: 203). Fase NREM (Non- Rapid Eye Movement) terdapat 4 tahap, Tn. P tidak dapat melalui tahan ke-1 yaitu tahapan saat terjadi transisi antara bangun dan tidur, untuk melalui tahap ke- 1 seseorang harus rileks
65
(Saputra, 2013: 171). Sedangkan Tn. P mengalami penurunan curah jantung sehingga terjadi sesak nafas dan tidak tercapai keadaan yang rileks pada saat Tn. P akan tidur, apabila tahap ke-1 pada fase NREM (Non- Rapid Eye Movement) tidak dapat terlewati maka tahap-tahapan tidur selanjutnya tidak akan tercapai. Diagnosa keenam yang diangkat oleh penulis adalah resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan selang DC. Resiko infeksi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan terserang organisme patogenik (Lunney, 2009: 355). Penulis mengangkat diagnosa resiko infeksi dengan mengacu dari hasil analisa data dimana data subyektif pasien mengatakan dipasang selang kencing sejak dibangsal dan belum pernah dibersihkan oleh perawat. Sedangkan data obyektif yang diperoleh terlihat terpasang selang DC berukuran 30, terpasang sejak tanggal 8 April 2014, tidak ditemukan tanda-tanda infeksi pada area genetalia (tidak ada kemerahan, bengkak, panas ataupun nyeri). Dalam teorinya menurut Nugroho (2011: 270) tidak ditemukan diagnosa resiko infeksi pada pasien dengan Congestive Heard Failure, namun penulis tetap mengambilnya karena pada Tn. P terpasang selang DC. Data tersebut telah sesuai dengan batasan karakteristik untuk resiko infeksi yaitu adanya prosedur invasif. Penulis tidak mengambil diagnosa kelebihan volume cairan karena dalam pengkajiannya pasien tidak menemukan data pada Tn.P yang dapat menunjang untuk mengambil diagnosa kelebihan cairan.
66
Dimana menurut Lunney et al (2009: 98) kelebihan volume cairan dapat diambil apabila memenuhi batasan karakteristik, antara lain terdapat odema anasarka, pembesaran vena jugularis, oliguria, penambahan berat badan dengan sangat singkat, penurunan hemoglobin. Batasan karakteristik ada beberapa yang muncul pada Tn. P seperti adanya sesak nafas, edema pulmonal serta efusi pleura, namun penulis juga menyadari bahwa penulis mengalami keterbatasan untuk mengkaji status cairan yang lebih mendalam (balance cairan) dikarenakan tidak mendapat bantuan dan dukungan dari perawat yang berjaga yang telah mendapatkan advis dari dokter yang merawat Tn. P untuk tidak dilakukan penghitungan balance cairan dengan alasan kondisi pasien mulai stabil dan obat diuretik yang diberikan bekerja dengan baik dengan bukti tidak ada retensi urin dan status pernafasan yang terus membaik. Penulis juga berusaha memantau efek dari pemberian obat diuretik.
3. Intervensi Intervensi
merupakan
suatu
petunjuk
tertulis
yang
menggambarkan secara tepat rencana tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosa keperawatannya, didalam intervensi berisikan tujuan, kriteria hasil yang diharapkan, serta rasional dari tindakan- tindakan yang dilakukan (Asmadi, 2008: 175).
67
Pada diagnosa pertama gagguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar kapiler, penulis mencantumkan tujuan yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam diharapkan tidak ada gangguan pertukaran gas dan dengan kriteria hasil pasien mengatakan sesak nafas berkurang atau hilang,
tidak ada
pernafasan cuping hidung, tidak ada edema pulmonal, respiration rate 16- 24x/ menit, hasil analisa gas darah normal (Lunney et al, 2009: 128). Pada diagnosa kedua yaitu penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan volume sekuncup, penulis mempunyai tujuan yaitu curah jantung kembali normal. Dengan kriteria hasil yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam, diharapkan pasien mengatakan sesak nafas berkurang atau hilang, tidak sesak nafas saat berbaring, tidak terdengar bunyi gallop, nadi 60- 100x/ menit, respiration rate 16-24x/ menit, tekanan darah 120/70 mmHg- 130/80 mmHg, fungsi jantung ventrikel kiri kembali normal dengan nilai EF 53-77% ( Lunney at al, 2009: 162). Pada diagnosa ketiga yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis, penulis mempunyai tujuan yaitu nyeri hilang atau berkurang dan dengan kriteria hasil yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam, diharapkan pasien mengatakan nyeri berkurang atau hilang dengan skala 0-1, pasien tidak memegang dada, pasien tidak meringis, tekanan darah 120/70 mmHg - 130/80 mmHg, nadi 60- 100x/ menit (Doengoes, 2000: 44).
68
Pada diagnosa keempat yaitu intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Penulis mempunyai tujuan yaitu diharapkan tidak sesak nafas atau tidak lelah setelah beraktivitas dan dengan kriteria hasil yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam, dengan kriteria hasil tidak ada sesak nafas setelah beraktivitas (mobilitas diatas tempat tidur, berpindah/ naik dan turun dari bed, toileting secara mandiri), nadi setelah beraktivitas 60- 100x/ menit, respiration rate setelah beraktivitas 1624x/ menit, tekanan darah setelah beraktifitas 120/70 mmHg- 130/80 mmHg dan ADL (Activity Daily Living) (doengoes, 2000: 45). Pada diagnosa kelima yaitu gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan nafas (sesak nafas), penulis mempunyai tujuan yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam diharapkan ada gangguan pola tidur. Kriteria waktu didasarkan pada unsur etiologi atau tanda dan gejala dalam diagnosis keperawatan yang ada (Nursalam, 2009: 82). Penulis
juga
mencantumkan
kriteria
hasil,
yaitu
pasien
mengatakan waktu tidur cukup, waktu tidur malam kembali normal ± 8-9 jam, saat tidur tidak mudah terbangun (maksimal 2x terbangun), saat bangun pasien merasa segar, tidak tampak lesu dan tidak menguap, tekanan darah 120/70 mmHg- 130/80 mmHg, nadi 60- 100x/ menit, jam tidur siang kembali normal ± 1- 2 jam, hasil PSQI menunjukkan penurunan nilai menjadi 6-8 atau 5.
69
Pada diagnosa gangguan pola tidur penulis mempunyai target waktu 2x 24 jam untuk menyelesaikan masalah, lebih cepat 1 hari bila dibandingkan dengan Melanie (2012) yang mempunyai target waktu 2x 24 jam dalam menyelesaikan masalah. Menurut penulis masalah akan lebih cepat diselesaikan, melihat keadaan pasien yang mulai membaik dan dirawat diruang rawat inap. Sedangkan Melanie (2012) melakukan penelitian dengan sampel pasien yang dirawat di ruang rawat intensif. Pada diagnosa keenam yaitu resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan selang DC, penulis mempunyai tujuan yaitu diharapkan tidak ada resiko infeksi. Dengan kriteria hasil yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam, diharapkan tidak ditemukan tanda- tanda infeksi (tumor, rubor, dolor, kalor, fungsiolesa). 4. Implementasi Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan dengan tujuan untuk membantu klien dalam mencapai tujuan yang ditetapkan (Christensen, 2009: 215). Untuk diagnosa pertama yaitu gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar kapiler implementasi yang dilakukan penulis adalah (Udjianti, 2010: 165). Mengkaji irama pernafasan (irama, kecepatan, kedalaman) guna untuk mengetahui adanya perubahan pernafasan normal. Mengobservasi adanya perubahan warna kulit (pucat atau kehitaman) untuk mengetahui adanya hipoksia dengan cepat. Posisikan pasien dengan sudut 450 untuk meningkatkan cardiac output
70
dan mengurangi sesak nafas. berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat diuretik untuk mengurangi edema pulmonal. Pantau adanya tanda- tanda dehidrasi untuk mencegah terjadinya dehidrasi setelah diberikan obat diuretik. berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian oksigen 3 liter/ menit melalui nasal kanul. Memantau humidifier serta menambahkan aquabides sampai pada garis batas untuk menjaga kelembapan oksigen yang diberikan. Memberikan edukasi tentang penyebab sesak nafas untuk mengurangi kecemasan. Diagnosa yang kedua yaitu penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan volume sekuncup, implementasi yang dilakukan penulis adalah Mengkaji pernafasan (kedalaman, irama, kecepatan), implementasi ini dilakukan juga untuk mengatasi diagnosa pertama yaitu gangguan pertukaran gas, tindakan ini bertujuan untuk mengetahui status pernafasan. Melakukan pengukuran tanda- tanda vital (nadi, respiration rate, tekanan darah) juga dilakukan untuk memantau kondisi tanda- tanda vital pasien, tindakan ini juga ditujukan untuk mengatasi diagnosa keempat yaitu intoleransi aktivitas (Hawari, 2011: 6). Mengatur posisi sudut 450 dilakukan dengan tujuan untuk membantu meningkatkan cardiac output serta mengurangi sesak nafas, tindakan ini juga dilakukan untuk mengatasi diagnosa pertama dan kelima.
Pengaturan
posisi
sudut
450
dilakukan
dengan
cara
memposisikan kepala pasien dekat dengan bagian kepala tempat tidur, menaikkan bagian kepala tempat tidur 450, mengalasi bagian kepala
71
dengan bantal yang tipis, mengganjal punggung bawah pasien dengan selimut dan memberikan bantal pada lengan pasien. Implementasi ini telah sesuai menurut Angela (2008) dalam Safitri dan Andriyani (2011) Posisi yang paling efektif bagi pasien dengan penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaikan dengan derajat kemiringan 450. Penulis juga memberikan edukasi tentang tujuan mengatur posisi sudut 450 agar nantinya timbul kesadaran pasien untuk mengatur posisi sudut 450 secara mandiri. Memberikan edukasi tentang tujuan mengatur posisi sudut 450 menurut penulis dirasa penting karena merupakan salah satu cara untuk menjaga keefektifan implementasi ini. Memberikan edukasi
pada
pasien
untuk
mengurangi
konsumsi
garam
dan
berkolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diit rendah garam agar tidak memperparah retensi natrium. Diagnosa yang ketiga yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis, implementasi yang dilakukan penulis adalah mengkaji kualitas nyeri (P, Q, R, S, T) untuk mengetahui status perkembangan nyeri. Mengajarkan teknik distraksi, teknik distraksi yang diajarkan oleh penulis adalah membayangkan hal-hal yang indah dan beristigfar untuk mengalihkan perhatian pasien dari nyeri dan agar tidak timbul kecemasan. Memberikan edukasi pada pasien tentang tindakan apa yang dapat diambil saat nyeri terasa, penulis mengaanjurkan untuk menghentikan seluruh aktivitas dan jangan panik agar nyeri tidak terasa
72
bertambah parah. Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik guna mengurangi atau menghilangkan nyeri (Judith, 2007: 96). Diagnosa yang keempat yaitu intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, implementasi yang dilakukan penulis diambil dari Hawari (2011: 6) yaitu mengkaji respon klien terhadap aktivitas untuk mengetahui tingkat toleransi aktivitas. Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (nadi, respiration rate tekanan darah) sebelum beraktivitas dan setelah beraktivitas
guna
mengetahui
respon
tubuh
terhadap
aktivitas,
implementasi ini juga ditujukan untuk mengatasi diagnosa kedua yaitu penurunan curah jantung. Penulis juga melakukan implementasi menghentikan aktivitas apabila pasien berespon sesak nafas ataupun nyeri dada implementasi ini diambil untuk mengurangi konsumsi oksigen yang digunakan tubuh dalam
metabolisme.
Melakukan
latihan
secara
bertahap
untuk
meningkatkan toleransi latihan pada pasien. Memberikan edukasi pada pasien untuk meningkatkan
aktivitas secara mandiri agar pasien
termotivasi untuk meningkatkan aktivitas secara mandiri dan tercapai toleransi yang lebih cepat. Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian O2 nasal kanul untuk menambah intake oksigen setelah beraktivitas. Diagnosa yang kelima yaitu gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan nafas (sesak nafas), implementasi yang dilakukan penulis adalah mengkaji kebiasaan tidur pasien untuk mengetahui
73
kebiasaan tidur pasien. Mengatur sudut posisi tidur 450 untuk meningkatkan cardiac output
sehingga sesak nafas berkurang dan
kualitas tidur meningkat. Penulis berani melakukan tindakan pengaturan sudut posisi tidur 450 atas dasar penelitian yang dilakukan oleh Melanie (2012) yang menyebutkan bahwa sudut posisi tidur berpengaruh terhadap kualitas tidur pada pasien dengan Congestive Heart Failure. Penelitian yang dilakukan oleh Melanie (2012) mengambil sampel dengan didasari beberapa kriteria yang harus terpenuhi, kriteria tersebut adalah pasien dengan Congestive Heart Failure dengan kelas fungsional NYHA III dan NYHA IV, pasien tidak mendapatkan pengaruh obatobatan yang mempengaruhi tidur, pasien dapat berkomunikasi dan koopertif, hemodinamik dalam keadaan stabil. Tenaga medis menyatakan bahwa Tn. P merupakan pasien Congestive Heart Failure yang berada dalam kelas NYHA III, dalam terapi pengobatannya pasien tidak diberikan obat yang mempengaruhi tidur, Tn. P juga merupakan pasien yang dapat berkomunikasi serta kooperatif, keadaan hemodinamik Tn.P juga stabil. Penelitian Melanie (2012) menyebutkan bahwa usia dan jenis kelamin tidak mempengaruhi perlakuan dan hasil dari tindakan pengaturan sudut posisi tidur 450. Dalam penelitiannya Melanie (2012) tidak menyebutkan bagaimana posisi sudut 450 dilakukan, hanya menyebutkan bahwa pengaturan sudut 450 dilakukan dengan cara diukur menggunakan busur. Dalam Kozier dan Erb (2009: 222) Posisi sudut 450
74
dapat dilakukan dengan cara memposisikan kepala pasien dekat dengan bagian kepala tempat tidur, elevasi/ naikkan bagian kepala tempat tidur 450, alasi bagian kepala dengan bantal yang tipis, ganjal punggung bawah pasien dengan selimut, berikan bantal pada lengan. Penulis melakukan pengaturan sudut posisi tidur 450 pada Tn. P dengan cara posisikan kepala pasien dekat dengan bagian kepala tempat tidur, elevasi/ naikkan bagian kepala tempat tidur 450 (ukur dengan busur), alasi bagian kepala dengan bantal yang tipis, ganjal punggung bawah pasien dengan selimut, berikan bantal pada lengan. Selain itu penulis juga membatasi penunggu agar suasana kamar pasien terjaga ketenangannya. Penulis juga menganjurkan pada keluarga untuk membantu membenahi posisi pasien saat posisi sudut 450 berubah, untuk mengefektifkan manfaat posisi tidur 450. Penulis juga memberikan edukasi tentang pentingnya meningkatkan kualitas tidur agar timbul kesadaran untuk meningkatkan kualitas tidur. Diagnosa yang keenam yaitu resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan selang DC, implementasi yang dilakukan penulis diambil dari (Judith, 2007: 109) adalah mengobservasi adanya tanda-tanda infeksi yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi yang terjadi pada area genetalia. melakukan perawatan selang DC setiap hari guna menjaga kebersihan area genetalia sehingga mengurangi pertumbuhan bakteri. Penulis juga
memberikan
edukasi
tentang
pentingnya
menjaga
kebersihan area genetalia dengan tujuan agar timbul kesadaran pada
75
pasien dan keluarga untuk menjaga kebersihan area genetalia terutama saat terpasang selang DC. 5. Evaluasi Evaluasi merupakan penilaian terakhir proses keperawatan didasarkan pada tujuan keperawatan yang telah ditetapkan (Nursalam, 2008: 25). Evaluasi bertujuan untuk melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan, menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum, mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai (Asmadi, 2008: 179). Evaluasi pada diagnosa pertama yaitu gangguan pertukaran gas, dihari pertama, rabu tanggal 9 April 2014 dilakukan pada pukul 19.10 WIB. Pasien mengatakan sesak nafas berkurang, hasil pengukuran respiration rate 26x/ menit, terlihat nafas cuping hidung, terpasang oksigen nasal kanul 3 liter/ menit dan terdengar ronki pada paru kanan. Masalah teratasi sebagaian dan lanjutkan intervensi Intervensi
yang
akan
dilanjutkan
adalah
kaji
perubahan
pernafasan, observasi adanya perubahan warna kulit, posisikan pasien dengan sudut 450, kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian oksigen, kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat diuretik, pantau adanya tanda-tanda dehidrasi, tambahkan aquabides sampai pada garis batas dan tambahkan intervensi dengan menciptakan suasana dan nyaman dan tenang.
76
Evalusi untuk diagnosa gangguan pertukaran gas dihari kamis, 10 April 2014 dilakukan pada pukul 17.00 WIB. Pasien mengatakan sesak nafas hilang, respiration rate 22x/ menit, irama teratur, tidak ada pernafasan cuping hidung, masih terdengar ronki di paru kanan. Masalah teratasi, hentikan intervensi. Evaluasi pada diagnosa kedua yaitu penurunan curah jantung dihari rabu, tanggal 9 April 2014 dilakukan pada pukul 19.20 WIB. Pasien mengatakan sesak nafas berkurang namun saat berbaring masih terasa sesak nafas, terdengar bunyi gallop pada auskultasi jantung, nadi 98x/ menit, respiration rate 26x/ menit, pernafasan
teratur, tekanan
darah 135/ 80 mmHg. Dengan hasil evaluasi tersebut maka dapat dikatakan masalah teratasi sebagian. Lanjutkan intervensi antara lain kaji pernafasan (kedalaman, irama, kecepatan), lakukan pengukuran tandatanda vital, atur posisi sudut 450, kolaborasikan dengan ahli gizi untuk pemberian diit rendah garam. Evaluasi pada diagnosa kedua yaitu penurunan curah jantung dihari kamis, tanggal 10 April 2014 dilakukan pada pukul 17.15 WIB. Pasien mengatakan sesak nafas hilang dan saat berbaring tidak terasa sesak nafas. Pada auskultasi paru terdengar bunyi gallop, nadi 88x/ menit dengan irama teratur teraba sedang, tekanan darah 120/70 mmHg dan respiration rate 22x/ menit. Dengan data yang didapat maka dapat dikatakan bahwa masalah teratasi sebagian. Maka intervensi akan dilanjutkan yang mencakup kaji pernafasan (irama, kedalaman,
77
kecepatan), lakukan pengukuran tanda-tanda vital, atur posisi sudut 450, kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan diit rendah garam. Evaluasi pada diagnosa ketiga yaitu nyeri akut dihari rabu, tanggal 9 April 2014 dilakukan pada pukul 19.30 WIB Pasien mengatakan nyeri tidak terasa sejak tadi siang. Terlihat pasien tidak memegangi area dada serta pasien tidak meringis dengan tekanan darah 135/80 mmHg, didapat juga
nadi nya 98x/ menit. Maka dapat dikatakan masalah teratasi
sebagian dan lanjutkan intervensi kaji status nyeri, kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat analgesik. Evaluasi pada diagnosa ketiga yaitu nyeri akut dihari kamis, tanggal 10 April 2014, dilakukan pada pukul 17.30 WIB. Pasien mengatakan sudah tidak merasakan nyeri sejak kemarin. Pasien tidak terlihat meringis, pasien tidak memegang dada, skala nyeri 0, tekanan darah 120/ 70 mmHg, nadi 80x/ menit. Dari data yang didapat maka dapat disimpulkan masalah teratasi dan hentikan intervensi. Evaluasi pada diagnosa keempat yaitu intoleransi aktivitas dihari rabu, tanggal 9 April 2014, dilakukan pada pukul 19.35 WIB. Pasien mengatakan sudah dapat bangun dan mobilisasi diatas tempat tidur dan sesak nafas tidak bertambah. Pasien terlihat sering mengubah posisi diatas tempat tidur dan tidak memperparah sesak nafas serta tidak nyeri. Evaluasi
yang
telah
dilakukan
untuk
diagnosa
keempat
mendapatkan kesimpulan bahwa masalah intoleransi aktivitas teratasi sebagian dan lanjutkan intervensi kaji respon pasien terhadap aktivitas,
78
lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital sebelum dan sesudah beraktivitas, kolaboraskan dengan dokter untuk pemberian O2 nasal kanul serta tambahkan intervensi lakukan latihan secara bertahap, hentikan aktivitas apabila pasien berespon sesak nafas dan nyeri dada, edukasikan pentingnya peningkatan aktivitas secara mandiri. Evaluasi pada diagnosa keempat yaitu intoleransi aktivitas dihari kamis, tanggal 10 April 2014, dilakukan pada pukul 17.35 WIB. Pasien mengatakan sudah dapat mobilitas diatas tempat tidur dan berpindah dari tempat tidur dan berpindah dari tempat tidur ke kursi maupun sebaliknya secara mandiri tanpa sesak nafas dan nyeri dada. Pasien terlihat duduk dikursi tanpa menggunakan oksigen nasal kanul, nadi setelah pasien berpindah 88x/ menit, respiration rate setelah berpindah 22x/ menit dengan tekanan darah 120/70 mmHg, toileting belum mandiri (terpasang DC). Dapat disimpulkan bahwa masalah intoleransi aktivitas teratasi sebagian dan lanjutkan intervensi dengan kaji respon pasien terhadap aktivitas, lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital sebelum dan sesudah beraktifitas, melakukan latihan secara bertahap, hentikan aktivitas apabila pasien berespon sesak nafas dan nyeri dada, hentikan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian O2 nasal kanul. Evaluasi pada diagnosa kelima yaitu gangguan pola tidur dilakukan 1 kali dihari rabu dan 2 kali di hari kamis. Evaluasi pada hari rabu, tanggal 9 April 2014, pukul 19.43 WIB. Pasien mengatakan sempat
79
tidur siang ± ½ - 1 jam, selama tidur siang tidak mudah terbangun, saat bangun pasien merasa nyaman, pasien juga mengatakan semoga nanti malam tidurnya nyenyak. Pasien nampak sesekali menguap, tekanan darah 135/ 80 mmHg dan nadi 98x/ menit. Masalah teratasi sebagian dan lanjutkan intervensi atur posisi pasien dengan sudut 450, batasi penunggu dan tambahkan intervensi kaji jam tidur dan kualitas tidur pasien, edukasikan tentang pentingnya meningkatkan kualitas tidur yang kurang. Evaluasi pertama pada hari kamis, tanggal 10 April 2014 pada pukul 08.05 WIB, pasien mengatakan tidurnya semalam cukup dan nyenyak dari jam 9- 5 pagi, terbangun 2 kali namun mudah tidur kambali, saat bangun merasa segar. Pasien nampak segar, tidak lesu, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 98x/ menit, respiration rate 24x/ menit. Maka dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi sebagian. Lanjutkan intervensi batasi penunggu, posisikan sudut 450, tambahkan intervensi kaji jam tidur dan kualitas tidur siang, edukasikan tentang petingnya meningkatkan kualitas tidur yang kurang. Evaluasi kedua dilakukan dihari kamis, tanggal 10 April 2014 dilakukan pada pukul 17.45 WIB. Pasien mengatakan tidur malamnya cukup dan nyenyak ± 8 jam, terbangun hanya 2 kali dan mudah tertidur lagi. Tidur siang ± 1- 1½ jam, tidak terbangun, saat bangun badan terasa segar. Terlihat pasien nampak segar, tidak lesu, pasien tidak tampak menguap, tekanan darah 120/70 mmHg dan nadi 88x/ menit, respiration rate 22x/ menit, PSQI menunjukkan nilai 5 yang menandakan kualitas
80
tidur baik. Maka dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi dan intervensi dapat dihentikan. Evaluasi pada hari kamis, tanggal 10 April 2014 dilakukan juga menggunakan kuisioner PSQI. Penulis tidak menggunakan PSQI dalam setiap evaluasinya dikarenakan penggunaan PSQI dalam asuhan keperawatan pada Tn.P ini berdasarkan aturan dalam penerapan jurnal “Analisis Pengaruh Sudut Posisi Tidur terhadap Kualitas Tidur dan Tanda Vital Pada Pasien Gagal Jantung Di Ruang Rawat Intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung” oleh Melanie (2012), dimana dalam jurnal tersebut menyebutkan bahwa penggunaan PSQI hanya untuk pengkajian dan evaluasi dihari terakhir. Hasil evaluasi PSQI didapatkan nilai 5 yang berarti kualitas tidur pasien dalam kriteria baik. Dari hasil itulah penulis berani menyimpulkan bahwa pengaturan sudut posisi tidur 450 pada Tn. P dengan Congestive Heard Failure efektif untuk memperbaiki posisi tidur. Evaluasi pada diagnosa keenam yaitu resiko infeksi dihari rabu, 9 April 2014 dilakukan pada pukul 19.50 WIB, pasien mengatakan sudah membersihkan area genetalia sore tadi, pasien tidak merasa sakit, perih ataupun panas pada area genetalia. Saat dilakukan evaluasi selang DC dengan ukuran 30 terpasang dengan baik, tidak ada tanda-tanda infeksi (tumor, rubor, dolor, kalor, fungsiolesa). Maka dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi sebagian, lanjutkan intervensi observasi adanya tandatanda infeksi (tumor, rubor, dolor, kalor, fungsiolesa), lakukan perawatan
81
selang DC, tambahkan intervensi edukasikan tentang tanda- tanda infeksi. Evaluasi pada diagnosa keenam yaitu resiko infeksi dihari kamis, 10 April 2014 dilakukan pada pukul 17.55 WIB, pasien mengatakan sudah membersihkan area genetalia tadi sore, area genetalia tidak gatal, tidak sakit. Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi, selang DC dengan ukuran 30 masih terpasang dengan baik. Maka dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi sebagian, lanjutkan intervensi observasi adanya tandatanda infeksi dan lakukan perawatan selang DC.
82
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, menentukan diagnosa, intervensi, melakukan implementasi dan evaluasi serta mengaplikasikan pengaturan sudut posisi tidur 450 terhadap peningkatan kualitas tidur pada asuhan keperawatan Tn. P dengan Congestive Heart Failure diruang Aster RSDM Dr. Moewardi Surakarta, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Pengkajian Keluhan utama yang dirasakan pasien adalah sesak nafas. Pola tidur siang pasien saat sebelum sakit dan saat sakit tidak berubah yaitu ± 1- 2 jam. Pola tidur malam pasien berubah bila dibandingkan dengan pola tidur sebelum sakit. Dimana sebelum sakit ± 8-9 jam dan saat sakit ± 4-6 jam, Pasien juga mengatakan sebelum sakit saat bangun merasa nyaman dan segar sedangkan saat sakit terasa kurang nyaman dan badan lesu. Pasien menyatakan saat sakit sulit mengawali tidur, saat bisa tidur maka akan mudah terbangun karena sesak nafas Saat dikaji pasien dalam keadaan semifowler dengan sudut ± 300 dengan bagian kepala diganjal bantal dan selimut. Pasien mengatakan sesak nafas dan sesak nafas bertambah saat berbaring. Pola tidur juga dikaji menggunakan PSQI (Pittsburgh Sleep Quality Index) dan
82
83
didapatkan nilai 11 yang berarti kualitas tidur pasien buruk ( format pengkajian PSQI Terlamampir ). 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. P adalah gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan nafas (sesak nafas). 3. Intervensi Penulis
membuat
intervensi
keperawatan
dalam
diagnosa
gangguan pola tidur ini dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam diharapkan tidak ada gangguan pola tidur. Dengan kriteria hasil pasien mengatakan waktu tidur cukup, waktu tidur malam kembali normal ± 8-9 jam, saat tidur tidak mudah terbangun (maksimal 2x terbangun), saat bangun pasien merasa nyaman, tidak tampak lesu dan tidak menguap, tekanan darah 120/70 mmHg- 130/80 mmHg, nadi 60- 100x/ menit, jam tidur siang kembali ± 1- 2 jam, hasil PSQI menunjukkan penurunan nilai menjadi 6-8 atau < 5. Intervensi yang direncanakan penulis adalah kaji kebiasaan tidur pasien untuk mengetahui kebiasaan tidur pasien. Atur posisi pasien dengan sudut 450 untuk meningkatkan cardiac output sehingga sesak nafas berkurang dan kualitas tidur meningkat. Posisi sudut 450 dilakukan dengan cara posisikan kepala pasien dekat dengan bagian kepala tempat tidur, elevasi/ naikkan bagian kepala tempat tidur 450 (ukur dengan busur), alasi bagian kepala dengan bantal yang tipis, ganjal punggung bawah pasien dengan selimut, berikan bantal pada lengan.
84
Selain itu penulis juga menambahkan intervensi batasi penunggu agar suasana kamar pasien terjaga ketenangannya. Anjurkan pada keluarga untuk membantu membenahi posisi pasien saat posisi sudut 450 berubah, untuk mengefektifkan manfaat posisi tidur 450. Edukasikan tentang pentingnya meningkatkan kualitas tidur agar timbul kesadaran untuk meningkatkan kualitas tidur. 4. Implementasi Tindakan keperawatan pada Tn. P dilakukan mulai dari hari rabu tanggal 9 April 2014 sampai hari kamis tanggal 10 April 2014 dan tindakan tersebut meliputi mengkaji kebiasaan tidur pasien, mengatur posisi pasien dengan sudut 450, membatasi penunggu, menganjurkan pada keluarga untuk membantu membenahi posisi pasien saat posisi sudut
450
berubah,
memberikan
edukasi
tentang
pentingnya
meningkatkan kualitas tidur agar timbul kesadaran untuk meningkatkan kualitas tidur. 5. Evaluasi Evaluasi dilakukan 1 kali dihari rabu tanggal 9 April 2014 dan 2 kali dihari kamis tanggal 10 April 2014. Evaluasi yang terakhir Pasien mengatakan tidur malamnya cukup dan nyenyak ± 8 jam, terbangun hanya 2 kali dan mudah tertidur lagi. Tidur siang ± 1- 1½ jam, tidak terbangun, saat bangun badan terasa segar. Pasien nampak segar, tidak lesu, pasien tidak tampak menguap, tekanan darah 120/70 mmHg dan nadi 88x/ menit, respiration rate 22x/ menit, PSQI menunjukkan nilai 5
85
yang menandakan kualitas tidur baik. Maka dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi dan intervensi dapat dihentikan. 6. Aplikasi pengaturan sudut posisi tidur 450 Didalam pengaplikasian pengaturan sudut posisi tidur 450 selama 2 hari dapat dikatakan berhasil karena pasien mengatakan tidur malamnya cukup dan nyenyak, waktu tidur pasien kembali norma ± 8 jam, hasil PSQI menunjukkan nilai 5 yang menandakan kualitas tidur baik.
B. Saran Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada Tn. P dengan Congestive Heart Failure, penulis akan memberikan usulan dan masukan positif, khususnya dibidang keperawatan antara lain: 1. Bagi institusi pelayanan kesehatan (rumah sakit) Diharapkan rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan dan mempertahankan hubungan kerjasama yang baik antara tim kesehatan maupun pasien, diharapkan rumah sakit juga dapat memberikan informasi lebih tentang pengaturan sudut posisi tidur 450 kepada para perawat sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan pada umumnya dan pasien Congestive Heart Failure khususnya.
86
2. Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat Hendaknya para perawat memiliki tanggung jawab untuk selalu memperbarui pengetahuan serta keterampilannya, tak lupa selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lain dalam pemberian asuhan keperawatan. Pengaturan sudut posisi tidur 450 yang benar juga perlu diterapkan dalam asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami gangguan tidur khususnya pada pasien Congestive Heart Failure. 3. Bagi institusi pendidikan Diharapkan ada penelitian untuk menyusun artikel ilmiah tentang pengaturan sudut posisi tidur 450 dan diadakannya praktek untuk pengaturan sudut posisi tidur 450 dengan benar sehingga dapat membantu meningkatkan mutu dalam pembelajaran untuk menghasilkan perawatperawat yang lebih profesional, inovatif, terampil dan bermutu dalam pemberian
asuhan
keperawatan
terutama
dalam
memberikan
implementasi pengaturan sudut posisi tidur 450 untuk pasien Congestive Heart Failure secara komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik keperawatan. 4. Bagi penulis Setelah melakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan Congestive Heart Failure diharapkan penulis dapat lebih mengetahui cara pengaturan sudut posisi tidur 450 yang baik dan benar terutama pada penyakit Congestive Heart Failure terutama mengalami gangguan pola
87
tidur dan diharapkan dapat menambah wawasan dalam menangani masalah keperawatan Congestive Heart Failure.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Khalib.L, Hazdi Khairul.Y. 2008. Lifestyle Dominates Cardiovaskular Risks In Malaysia. http://mji.ui.ac.id/journal/index.php/mji/article/view/299 Diakses pada tanggal 5 April 2014. Alan, H. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. Alto A.Wiliam. 2009. Buku Saku Hitam Kedokteran Internasional Editor Daniel K.Oniel. Alih Bahasa Oleh Rizqi Akbarini. Indeks Permata Puri Media. Jakarta. Hal 273. Ardiansyah M. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. DIVA Pres. Jogjakarta. Hal 12- 30. Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan Editor Eka Anisa. EGC. Jakarta. Hal 161-175. Choirul M Shodikin. 2013. Kuisioner PSQI. http://id.scribd.com/doc/127552791/ kuesioner-PSQI-doc. Diakses pada tanggal 1 April 2014. Christensen Paula.J. 2009. Proses Keperawatan: Aplikasi Model Konseptual. Edisi 4. EGC perpustakaan nasional : katalog dalam terbitan (kdt). Jakarta hal 105- 213. Corwin, E J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Alih Bahasa Oleh Subekti N.B. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 508. Doengoes, M E, et al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC. Jakarta. Hal 44-45 Efendi R Siregar. 2010. Pengaruh Posisi Tungkai Ditinggikan 30 Derajat Diatas Tempat Tidur Terhadap Pengurangan Edema Kaki Pada Pasien Jantung RSUP H. Adam Malik Medan. http://repository.usu.ac.id/handle/ 123456789/24518 Diakses Tanggal 1 April 2014. Gray Huon.H, Dawkins Keith.D, Morgan John.M, Simpson Iain.A. 2005. Lecture Note Kardiologi. Edisi 4. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hal 87. Hawari D. 2011. Daftar Diagnosa Keperawatan Nanda, NIC dan NOC. Edisi 2. FKUI. Jakarta. Hal 6-8 Hidayah, U.M. 2008. Praktikum Keterampilan Dasar Praktek Klinik. Salemba Medika. Jakarta. Hal 74.
Judith M Wilkinson. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawataan Dengan Intervensi NIC Dan Kriteria Hasil NOC. EGC. Jakarta. Hal 96- 109. Kasron. 2012. Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Nuhamedika.Jakarta. Hal 59- 71. Kozier .B, Erb .G. 2009. Buku Ajar Praktek Keperawatan Klinis. Edisi 5. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 222. Kushariyadi. 2005. Pengaruh Pemberian Cognitive Support Terhadap Pasien Congestive Heart Failure di RSU Soetomo Surabaya. http://ejournal.umm. ac.id/index.php/sainmed/article/view/1010 Diakses tanggal 1 April 2014. Mariyono H Harbanu, Santoso Anwar. 2007. Gagal Jantung. http://portalgaruda. org/download_article.php?article=13160&val=927 Diakses pada tanggal 1 April 2014. Marrelli. 2008. Buku Saku Dokumentasi Keperawatan. Alih Bahasa Oleh Egi Komara Yudha. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 117. Melanie Ritha. 2012. Analisis Pengaruh Sudut Posisi Tidur terhadap Kualitas Tidur dan Tanda Vital Pada Pasien Gagal Jantung Di Ruang Rawat Intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. http://stikesayani.ac.id/ publikasi/e-journal/files/2012/201208/201208-008.pdf Diakses Tanggal 1 April 2014. Muttaqin Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Editor Elly Nurachmach. Salemba Medika. Jakarta. Hal 96. Nafrialdi R.A.A, Soegondo S, Nasir A.U.Z, Wijaya I.P, Mansjoer A. 2006. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. Hal 54. Lunney M, Gaff M, Smith K, Brokel J, Heath C, Hughes D, Leanss M. 2009. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. EGC. Jakarta. Hal 98- 410. Nugroho Taufan. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, Penyakit Dalam. Nuha Medika. Yogyakarta. Hal 270 Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Sripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. Hal 22- 25.
Perry, A. Grifin. 2005. Buku Saku Keterampilan Dan Prosedur Dasar. EGC. Jakarta. Hal 78. Potter, A.P, dan Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta:EGC. Rani A, Soegondo S, Nasir A, Prasetya I, Nafrialdi, Mansjoer A. 2006. Panduan Pelayanan Medik. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta Pusat. Hal 55. Safitri, Refi. Annisa A. 2011. Keefektifan Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Penurunan Sesak Nafas pada pasien Asma di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Gaster, Vol.8. Prodi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah Surakarta. Safitrie A dan Ardani M.Hasib. 2013. Studi Komparatif Kualitas Tidur Perawat Shift Dan Non Shift Di Unit Rawat Inap Dan Unit Rawat Jalan. Diakses pada 5 April 2014. Hal 18- 19. Saputra Lyndon. 2013. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Binarupa Aksara Publisher. Tangerang Selatan. Hal 169- 171. Sitompul Barita dan Irawan J.Sugeng. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Editor Ismudiati, Baraas F, Karo S.K, Surwianti P.R. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 115. Udjianti Wajan Juni. 2013. Keperawatan Kardiovaskuler. Salemba Medika . Jakarta. hal: 153- 167. Vaughans W. Bennita. 2013. Keperawatan Dasar. ANDI. Yogyakarta. Hal 203. Widayanti R. 2004. Pola Pengobatan Penyakit Kardiovaskuler Decompensacio Cordis Pada Penderita Rawat Inap di RSUD Tingkat II Purbalingga Tahun 2003. http://repository.uii.ac.id Diakses tanggal 1 April 2014. Wilkinson Judith .M, Ahern Nancy .R. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Diagnosa Nanda, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC Edisi 9. Alih Bahasa Oleh Wahyuningsih Esty. EGC Medical Publisher. Jakarta. Hal 105- 806.