PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. A DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI BANGSAL MAWAR 1 RSUD KARANGANYAR
Disusun Oleh :
ANASTASIA INDAH FEBRASKA P11 066
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014
PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. A DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI BANGSAL MAWAR 1 RSUD KARANGANYAR
Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
Disusun Oleh :
ANASTASIA INDAH FEBRASKA P11 066
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014
i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama
: Anastasia Indah Febraska
NIM
: P11 066
Program Studi
: DIII Keperawatan
Judul
: PEMBERIAN PENURUNAN
POSISI
SEMI
SESAK
FOWLER
NAFAS
PADA
TERHADAP ASUHAN
KEPERAWATAN Tn. A DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI BANGSAL MAWAR 1 RSUD KARANGANYAR Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai dengan ketentuan akademik yang berlaku.
Surakarta, April 2014 Yang Membuat Pernyataan
Anastasia Indah Febraska P11 066
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh : Nama
: Anastasia Indah Febraska
NIM
: P11 066
Program Studi
: DIII Keperawatan
Judul
: PEMBERIAN
POSISI
PENURUNAN
SEMI
SESAK
FOWLER
NAFAS
TERHADAP
PADA
ASUHAN
KEPERAWATAN Tn. A DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI BANGSAL MAWAR 1 RSUD KARANGANYAR
Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di : Hari/Tanggal :
Pembimbing : Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep NIK. 200680021
iii
(
)
HALAMAN PENGESAHAN Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh : Nama : Anastasia Indah Febraska NIM
: P11 066
Program Studi
: DIII Keperawatan
Judul
: PEMBERIAN
POSISI
PENURUNAN
SEMI
SESAK
FOWLER
NAFAS
TERHADAP
PADA
ASUHAN
KEPERAWATAN Tn. A DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI BANGSAL MAWAR 1 RSUD KARANGANYAR
Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di : Hari/Tanggal :
DEWAN PENGUJI Pembimbing : Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep NIK. 200680021 Penguji 1 : Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep NIK. 200981037 Penguji 2 : Joko Kismanto, S.Kep., Ns. NIK. 200670020
(
)
(
)
(
)
Mengetahui, Ketua Program Studi DIII Keperawatan STIKES Kusuma Husada Surakarta
Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep NIK. 200680021
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan Judul “PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. A DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI BANGSAL MAWAR 1 RSUD KARANGANYAR”. Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Ibu Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta dan selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya laporan karya tulis ilmiah. 2. Ibu Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Ketua Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta dan selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukanmasukan, inspirasi, perasaan nyaman dan bimbingan serta menfasilitasi demi sempurnanya laporan karya tulis ilmiah. 3. Bapak Joko Kismanto, S.Kep.,Ns., selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dan bimbingan serta menfasilitasi demi sempurnanya laporan karya tulis ilmiah.
v
4. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat. 5. Kedua orang tuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan. 6. Teman-teman mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin
Surakarta, Mei 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME .....................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN.............................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
iv
KATA PENGANTAR .....................................................................................
v
DAFTAR ISI ....................................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................
x
DAFTAR LAMIRAN ......................................................................................
xi
BAB 1
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................
1
B. Tujuan Penulisan ....................................................................
4
C. Manfaat Penulisan ..................................................................
5
TINJAUAN TEORI A. Sistem Pernafasan ..................................................................
7
B. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ..............................
8
C. Sesak Nafas ............................................................................
17
D. Posisi Semi Fowler .................................................................
19
LAPORAN KASUS A. Pengkajian ..............................................................................
22
B. Perumusan Masalah Kesehatan ..............................................
29
C. Tujuan dan Kriteria Hasil .......................................................
30
D. Perencanaan Keperawatan .....................................................
30
E. Implementasi Keperawatan ....................................................
33
F. Evaluasi Keperawatan ...........................................................
36
PEMBAHASAN A. Pengkajian .............................................................................
vii
37
BAB V
B. Diagnosa Keperawatan ..........................................................
44
C. Intervensi Keperawatan ..........................................................
48
D. Implementasi Keperawatan ....................................................
51
E. Evaluasi Keperawatan ...........................................................
54
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................
58
B. Saran .......................................................................................
61
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ................................
10
Gambar 2.2
Posisi Semi Fowler ...................................................................
19
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Diagnosa Keperawatan NANDA, NOC, NIC ............................
x
16
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Pendelegasian pasien
Lampiran 2.
Log book surat
Lampiran 3.
Lembar konsul
Lampiran 4.
Asuhan keperawatan
Lampiran 5.
Jurnal
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan survey Kesehatan Nasional (surkesnas) tahun 2001 diketahui bahwa penyakit saluran nafas merupakan penyakit penyebab kematian terbanyak kedua di dunia setelah penyakit gangguan pembuluh darah ( Safitri dan Andriyani, 2011: 1). Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia. Data badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2002 PPOK menempati urutan kelima sebagai penyebab utama kematian di dunia dan diperkirakan pada tahun 2030 akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia. Menurut WHO, terdapat 80 juta orang menderita PPOK derajat sedang-berat. Lebih dari 3 juta meninggal karena PPOK pada tahun 2005, sekitar 5% dari jumlah semua kematian secara global. Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat kematian kelima di Indonesia. Prevalensi bronkhitis kronik dan PPOK berdasarkan SKRT tahun 1995 adalah per 13 per 1000 penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 : 1. Menurut SKRT tahun 2001, penyakit saluran nafas menduduki peringkat ketiga penyebab kematian utama di Indonesia setelah sistem sirkulasi, infeksi, dan parasit. Hasil survei penyakit tidak
1
2
menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 Rumah Sakit Provinsi di Indonesia (Jawa barat, jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%), dan lainnya (2%) (Depkes, 2004). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Perlambatan aliran udara umumnya bersifat progesif dan berkaitan dengan respons inflamasi yang abnormal terhadap partikel atau gas iritan. Karakteristik PPOK adalah kecenderungan untuk eksarserbasi. Gejala eksarsebasi disertai
akut
mengi,
yaitu
bertambahnya
bertambahnya
batuk
sesak disertai
nafas,
kadang-kandang
peningkatan
sputum
dan sputum menjadi lebih purulen dan berubah warna. Ekserbasi dapat
disebabkan
oleh
infeksi
mukosa
trakheobronkial,
terutama
Streptococcus Pneumonie, Haemophilus infulenzae, Moraxella catarrhalis (Aziz dan Soegondo, 2006:105). Penatalaksanaan ekserbasi akut yaitu dengan memberikan oksigen secukupnya untuk meredakan hipoksemia yang bermakna (PaO2 ≥ 55 mmHg) dan juga dengan nebulizer tiap 20 menit (Brashers, 2008: 89). Kebutuhan oksigenasi dalam tubuh harus terpenuhi karena apabila kebutuhan oksigen dalam tubuh berkurang, maka akan terjadi kerusakan pada jaringan otak dan apabila hal tersebut berlangsung lama, akan terjadi kematian jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan. Pemberian terapi
3
oksigen dalam asuhan keperawatan memerlukan dasar pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya oksigen dari atmosfer hingga sampai ke tingkat sel melalui alveoli paru dalam proses respirasi. Berdasarkan tersebut maka perawat harus memahami indikasi pemberian oksigen, dan metode pemberian oksigen (Hidayat, 2004: 79). Menurut Angela dalam Safitri dan Andriyani (2008), saat terjadi sesak nafas biasanya klien tidak dapat tidur dalam posisi berbaring, melainkan harus dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan jalan nafas dan memenuhi O2 dalam darah. Posisi yang paling efektif bagi klien dengan penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaik kan dengan derajat kemiringan 450 , yaitu dengan menggunakan gaya grafitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen ke diafragma. Penelitian Supadi, dkk (2008), menyatakan bahwa posisi semi fowler membuat oksigen di dalam paru-paru semakin meningkat sehingga memperingan kesukaran nafas. Posisi ini akan mengurangi kerusakan membran alveolus akibat tertimbunnya cairan. Hal tersebut dipengaruhi oleh gaya grafitasi sehingga O2 delivery menjadi optimal. Sesak nafas akan berkurang, dan akhirnya proses perbaikan kondisi klien lebih cepat. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di bangsal Mawar 1 RSUD Karanganyar, dalam setahun kurang lebih terdapat 135 pasien yang opname dengan diagnosa PPOK. Hasil observasi pada tanggal 10-12 April 2014 di Ruang Mawar 1 terdapat 3 orang pasien PPOK yang
4
kondisinya sedang sesak nafas, dengan yang sudah posisi semi fowler 1 orang dan yang belum posisi semi fowler 2 orang. Dari hasil wawancara, 2 dari 5 perawat belum mengetahui patofisiologi posisi
semi fowler untuk
menurunkan sesak nafas pada pasien PPOK tetapi perawat sudah melakukan tindakan pemberian posisi semi fowler tersebut pada setiap penderita dengan sesak nafas. Salah satu pasien yang sesak nafas tersebut adalah Tn. A dengan diagnosa PPOK, serta saat penulis mengkaji data didapatkan hasil bahwa Tn. A sesak nafas dengan terpasang oksigen dua liter per menit tanpa diberikan posisi semi fowler, dan setelah ditanya pasien mengatakan masih merasa sesak nafas. Sehubung dengan adanya masalah diatas, penulis tertarik untuk menyusun Karya Tulis Ilmiah dengan aplikasi riset yang berjudul “Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Penurunan Sesak Nafas pada Asuhan Keperawatan Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di Bangsal Mawar 1 RSUD Karanganyar”.
B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Melaporkan hasil pemberian posisi semi fowler terhadap penurunan sesak nafas pada Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di Bangsal Mawar 1 RSUD Karanganyar.
5
2. Tujuan Khusus a.
Penulis mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
b.
Penulis mampu merumuskan masalah diagnosa keperawatan pada Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
c.
Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Tn. A dengan Penyakit Paru obstruktif Kronik (PPOK)
d.
Penulis mampu melakukan implementasi keperawatan pada Tn. A dengan penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
e.
Penulis mampu melakukan evaluasi keperawatan pada Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
f.
Penulis mampu mengaplikasikan pemberian posisi semi fowler pada Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) melalui tindakan pemberian posisi semi fowler
C. Manfaat Penulisan 1. Bagi Profesi Keperawatan a. Agar dapat mengaplikasikan teori keperawatan tentang pemberian posisi semi fowler pada pasien sesak nafas ke dalam praktik pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. b. Sebagai bahan kepustakaan dan perbandingan pada penanganan kasus sesak nafas pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
6
2. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai informasi kepada mahasiswa keperawatan dalam mempelajari asuhan keperawatan pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). 3. Bagi Penulis a. Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). b. Serta dapat menerapkan standar asuhan keperawatan untuk pengembangan praktik keperawatan.
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Sistem Pernafasan Peran sistem pernafasan adalah untuk mengelola pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara udara dan darah. Oksigen diperlukan oleh semua sel untuk menghasilkan sumber energi, adenosine trifosfat (ATP). Karbondioksida dihasilkan oleh sel-sel yang secara metabolis aktif dan membentuk suatu asam yang harus dibuang dari tubuh. Untuk melakukan pertukaran gas, sistem kardiovaskuler dan sistem respirasi harus bekerja sama. Sistem kardiovaskuler bertanggung jawab untuk perfusi darah melalui paru. Sistem pernafasan melakukan dua fungsi terpisah yaitu, ventilasi dan respirasi (Corwin, 2002: 394). Ventilasi mengacu kepada pertukaran udara dari atmosfer masuk dan keluar paru. Ventilasi berlangsung secara bulk flow. Bulk flow adalah perpindahan atau pergerakan gas atau cairan dari tekanan tinggi ke rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi ventilasi yaitu tekanan, resistensi bronkus, persarafan bronkus, kontrol saraf atas respirasi, neuron motorik yang menjalankan respirasi, kemoreseptor sentral dan kemoreseptor perifer (Corwin, 2002: 395). Respirasi mengacu kepada difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler yang
memperfusinya.
Respirasi
berlangsung
melalui
difusi,
yaitu
perpindahan suatu gas sesuai penurunan gradient konsentrasinya. Faktor
7
8
yang mempengaruhi respirasi yaitu konsentrasi oksigen dan karbon dioksida dalam alveolus dan kapiler, luas permukaan, jarak untuk difusi, suhu, koefisien permeabilitas dan perfusi (Corwin, 2002: 398).
B. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 1.
Definisi Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, perlambatan aliran darah umumnya bersifat progesif dan berkaitan dengan respons inflamasi yang abnormal terhadap partikel atau gas iritan (Aziz dan Soegondo, 2006:105). Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu sindroma yang ditandai dengan abnormalitas uji aliran udara ekspirasi yang tidak menunjukkan perubahan bermakna selama periode beberapa bulan obesrvasi (Brashers, 2000: 85). Penyakit paru obstruktif kronik (chronic obstructive pulmonary diseases-COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan
resistensi
terhadap
aliran
udara
sebagai
gambaran
patofisiologi utamanya (Somantri, 2007: 43). Karakteristik PPOK adalah kecenderungan untuk eksarserbasi. Gejala eksarsebasi akut yaitu bertambahnya sesak nafas, kadang-kadang disertai
mengi,
bertambahnya
batuk
disertai
peningkatan
9
sputum dan sputum menjadi lebih purulen dan berubah warna. Ekserbasi dapat disebabkan oleh infeksi mukosa trakheobronkial, terutama Streptococcus
Pneumonie,
Haemophilus
infulenzae,
Moraxella
catarrhalis (Aziz dan Soegondo, 2006: 105). Menurut Aziz dan Soegondo (2006: 106) klasifikasi PPOK dalam National Heart, Lung and Blood Institute dan WHO, yaitu : a.
Stadium 0 (Derajat Berisiko PPOK) Spirometri normal, kelainan kronik (batuk, sputum produktif)
b.
Stadium I (PPOK Ringan) VEP1/KVP < 70%, VEP1>80% , dengan atau tanpa keluhan kronik (batuk, sputum produktif), dipsnea minimal, pemeriksaan fisik normal.
c.
Stadium II (PPOK Sedang) VEP1/KVP < 70%, 30% < VEP1 < 80% prediksi, (II A : 50% < VEP1 < 80% prediksi), (II B : 30% < VEP1 < 50% prediksi), dengan atau tanpa keluhan kronik (batuk, sputum produktif), sesak nafas saat aktivitas yang tidak terlalu berat, mengi, hiperinflasi, dan penurunan udara yang masuk.
d.
Stadium III (PPOK Berat) VEP1/KVP<70%, VEP1 < 30% prediksi atau VEP1 < 50% sesak nafas saat aktivitas ringan, gagal nafas serta kor pulmonal.
10
Gambar 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
2.
Etiologi Patrick (2006: 181) menyebutkan ada beberapa penyebab dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) , yaitu : a.
Faktor lingkungan, merokok, polutan udara, asma kronik
b.
Genetik : defisiansi α1 antitripsin merupakan predisposisi untuk berkembangnya PPOK dini Merokok menyebabkan hipertrofi kelenjar mukus bronkial dan
meningkatkan produksi mukus, menyebabkan batuk produktif. Pada bronkhitis kronis perubahan awal terjadi pada saluran udara yang kecil. Selain itu, terjadi distruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga udara distal
yang menyebabkan hilangnya
elastic recoil, hiperinflasi,
terperangkapnya udara dan peningkatan usaha untuk bernafas, sehingga terjadi sesak nafas. Dengan berkembangnya penyakit kadar CO2 meningkat dan dorongan respirasi bergeser dari CO2 ke hipoksemia. Jika
11
oksigen tambahan menghilangkan hipoksemia, dorongan pernafasan juga mungkin akan hilang, sehingga memicu terjadinya gagal nafas. 3.
Manifestasi Klinis Menurut Aziz dan Soegondo (2006: 105) manifestasi klinis PPOK yaitu : a.
Keluhan : sesak nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+), PPOK ringan tanpa keluhan dan gejala
b.
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik meliputi : Pernafasan Pursed Lips, takipnea, dada emfisematous atau barrel chest, dengan tampilan fisik pink puffer atau blue bloater, bunyi nafas vesikuler melemah, ekspirasi memanjang, ronki kering atau wheezing, bunyi jantung jauh, menggunakan otot bantu nafas.
c.
Diagnose pasti dengan uji spirometri 1) FEV1 /FVC < 70% 2) Uji bronkodilator FEV1 pasca bronkodilator < 80% prediksi.
4.
Komplikasi Komplikasi dari PPOK menurut Irman (2007: 56) , yaitu : a.
Hipoksemia Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PO2 < 55 mmHg dengan nilai saturasi O2 < 85 %. Pada awalnya pasien akan
12
mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis. b.
Asidosis Respiratori Asidosis respiratori timbul akibat dari peningkatan nilai PCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizziness, dan takipnea.
c.
Infeksi Saluran Pernafasan Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsang otot polos bronkhial, dan edema mukosa. Terhambatnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan menimbulkan dipsnea.
d.
Gagal Jantung Terutama cor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paruparu) harus diobservasi, terutama pada pasien dipsnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, namun beberapa pasien enfisema berat juga mengalami masalah ini.
e.
Disritmia jantung Disritmia jantung timbul akibat dari hipoksemia, penyakit jantung lain, dan efek obat atau terjadinya asidosis respiratori.
5. Penatalaksanaan Menurut Patrick (2006: 183) ada beberapa penatalaksanaan dari PPOK : a. Berhenti merokok harus menjadi prioritas
13
b. Bronkodilator, bermanfaat pada 20-40% kasus. Pada kasus berat bisa diberikan dosis tinggi dengan menggunakan nebulizer. Pada penyakit sedang pemberian kortikostiroid oral percobaan selama 2 minggu harus dipertimbangkan untuk menentukan reversibelitas obstruksi saluran pernafasan. c. Pemberian terapi oksigen jangka panjang selama > 16 jam memperpanjang usia pasien dengan gagal nafas kronis. d. Pada ekserbasi akut, pengobatan harus ditingkatkan, yaitu dengan memberikan oksigen secukupnya untuk meredakan hipoksemia yang bermakna (PaO2 ≥ 55 mmHg) dan juga dengan nebulizer tiap 20 menit e. Rehabilitasi paru, khususnya latihan olahraga 6.
Asuhan Keperawatan Asuhan keperawatan merupakan bentuk layanan keperawatan profesional kepada klien dengan menggunakan metodologi proses keperawatan, asuhan keperawatan diberikan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar klien pada semua tingkatan usia dan tingkatan focus (Asmadi, 2005: l 4). a. Pengkajian Pengkajian adalah pemikiran dasar yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, social dan lingkungan
14
(Darmawan, 2012: 36). Pengkajian Diagnosis PPOK menurut Somantri, Irman (2007:55), yaitu : 1) Pemeriksaan Fisik a) Pada paru-paru Menggunakan otot bantu pernafasan, dada barrel chest, gerakan
diagfragma
berkurang
bilateral,
perkusi
hipersonan, suara nafas berkurang di seluruh lapang paru, ekspirasi memanjang dengan mengi ekspirasi dengan ronkhi diseluruh lapang paru. b) Pada jantung Irama teratur dengan kadang-kadang denyut prematur, terlihat dorongan precordial ringan. 2) Chest X-ray, dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, diagfragma mendatar, peningkatan ruang udara retrostenal, penurunan tanda vaskular/ bullae (emfisema), peningkatan bentuk bronkovaskular (bronchitis), dan normal ditemukan saat periode remisi (asma) 3) Pemeriksaan
fungsi
paru,
dilakukan
untuk
menentukan
penyebab dari dipsnea, menentukan abnormalitas fungsi apakah akibat obstruksi atau retriksi, memperkirakan tingkat disfungsi, dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator. 4) TLC, meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asma, menurun pada emfisema.
15
5) Kapasitas inspirasi, menurun pada emfisema 6) FEV1/FVC, untuk mengetahu rasio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC), rasio menjadi menurun pada bronkhitis dan asma. 7) Darah komplit 8) Sputum
kultur,
untuk
menentukan
adanya
infeksi,
mengidentifikasi patogen. 9) Kimia darah b. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik mengenai respon individu, keluarga dan komunitas terhadap masalah kesehatan/ proses kehidupan yang aktual/ potensial yang merupakan dasar untuk memilih intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang merupakan tanggung jawab perawat. (Dermawan, 2012: 58). Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan. (Dermawan, 2012: 84).
16
Menurut
Soemantri
(2007:
78)
rencana
Asuhan
Keperawatan Pasien dengan PPOK, yaitu : Table 2.1 Diagnosa keperawatan NANDA, NOC, NIC No. 1.
2.
Diagnosa Keperawatan (NANDA) Bersihan jalan nafas tidak efektif Yang berhubungan dengan : a. Bronkospasme b. Peningkatan produksi secret (secret yang tertahan, kental) c. Meurunnya energi/fatigue Data-data : a. Pasien mengeluh sulit untuk bernafas b. Perubahan kedalaman/jumlah napas,dan penggunaan otot bantu pernafasan c. Suara nafas abnormal seperti wheezing, ronkhi, dan crackles d. Batuk (persisten) dengan atau tanpa produksi sputum.
Perencanaan Tujuan (NOC) Satus Respirasi : a. Kepatenan jalan nafas dengan skala… b. (1-5) setelah diberikan c. perawatan selama… d. a. Tidak ada demam e. b. Tidak ada cemas c. RR (respiratory rate) f. dalam batas normal d. Irama nafas dalam g. batas normal e. Pergerakan sputum h. i. keluar dari jalan nafas f. Bebas dari suara nafas j. tambahan
Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan : a. Kurangnya suplai O2 (obstruksi jalan nafas oleh secret, bronkospasme, dan terperangkapnya udara) b. Destruksi alveoli Data-data : a. Dipsnea b. Bingung, lemah c. Tidak mampu mengeluarkan secret d. Sianosis e. Sakit kepala f. Nilai ABGs abnormal
Satus Respirasi : Pertukaran gas dengan setelah skala…(1-5) diberikan perawatan selama…hari dengan kriteria : a. Status mental dalam batas normal b. Bernafas dengan mudah c. Tidak ada sianosis d. PO2 dan PCO2 dalam batas normal e. Saturasi O2 dalam rentang normal
a. b. c. d. e. f. g.
Intervensi (NIC) Manajemen jalan nafas Penurunan kecemasan Pencegahan aspirasi Fisioterapi dada Latihan batuk efektif Terapi oksigen Pemberian posisi semi fowler Memonitor respirasi Memonitor keadaan umum Memonitor tandatanda vital.
Managemen asam basa tubuh Managemen jalan nafas Latihan batuk Peningkatan aktivitas Terapi oksigen Memonitor respirasi Memonitor tanda vital
17
3.
(hipoksia dan hiperkapnia) g. Perubahan TTV h. Menurunnya toleransi aktivitas Ketidak seimbangan nutrisi : nutrisi kurang ari kebutuhan yang berhubungan dengan : a. Dipsnea, fatigue b. Efek samping pengobatan c. Produksi sputum d. Anoreksia, nausea/vomiting Data : a. Penurunan berat badan b. Kehilangan masa otot, tunos otot jelek c. Dilaporkan adanya perubahan senasi rasa d. Tidak bernafsu untuk makan dan tidak tertarik makan
Status nutrisi : Intake cairan dan makanan gas dengan skala…(1-5) setelah diberikan perawatan selama…hari dengan kriteria : a. Intake makanan adekuat b. Intake cairan adekuat c. Intake cairan per oral adekuat Status Nutrisi : Intake nutrient gas dengan skala… setelah diberikan perawatan selama… hari dengan kriteria : a. Intake kalori adekuat b. Intake protein, karbohidrat, dan lemak
a. Managemen cairan b. Monitor cairan c. Status diet d. Managemen gangguan makanan e. Managemen nutrisi f. Konseling nutrisi g. Pengaturan nutrisi h. Monitor tanda vital i. Managemen berat badan
Kontrol berat badan Gas dengan skala…setelah diberikan perawatan selama… hari dengan kriteria hasil : a. Mampu menjaga intake kalori secara optimal menjaga b. Mampu keseimbangan cairan c. Mempu mengontrol intake makanan secara adekuat
C. Sesak Nafas 1.
Definisi Sesak nafas adalah suatu yang dirasakan oleh klien secara patofisiologis dapat terjadi karena menurunnya oksigenasi jaringan, meningkatknya kebutuhan oksigen, meningkatnya kerja pernafasan,
18
adanya rangsang pada system syaraf pusat dan adanya penyakit neuromuscular (Muttaqin, 2006: 40). 2.
Klasifikasi Menurut Muttaqin (2006: 41) ada 5 klasifikasi sesak nafas yaitu : a.
Sesak nafas tingkat I Tidak ada batasan atau hambatan dalam melakukan kebiasaan sehari-hari, sesak nafas terjadi bila klien melakukan aktivitas jasmani yang lebih berat dari biasanya. Pada tahap ini klien dapat melakukan pekerjaan sehari-hari dengan baik.
b.
Sesak nafas tingkat II Sesak nafas ini terjadi bila klien melakukan aktivitas penting atau aktivitas yang biasa dilakukan pada kehidupan sehari-hari. Sesak baru timbul bila melakukan aktivitas yang lebih berat.
c.
Sesak nafas tingkat III Sesak nafas sudah terjadi bila klien melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau berpakaian, tetapi klien masih dapat melakukan tanpa bantuan orang lain. Sesak nafas tidak timbul saat klien beristirahat.
d.
Sesak nafas tingkat IV Klien sudah merasa sesak nafas saat melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, berpakaian, dan aktivitas lainnya, sehingga ia bergantung pada orang lain ketika melakukan kegiatan sehari-hari.
19
e.
Sesak nafas tingkat V Klien harus membatasi diri dalam segala tindakan atau aktivitas sehari-hari yang pernah dilaukan secara rutin. Menurut Angela dalam Refi Safitri dan Annisa Andriyani (2008),
saat terjadi sesak nafas biasanya klien tidak dapat tidur dalam posisi berbaring, melainkan harus dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan jalan nafas dan memenuhi O2 dalam darah. Posisi yang paling efektif bagi klien dengan penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaikan dengan derajat kemiringan 450 , yaitu dengan menggunakan gaya grafitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen ke diagfragma (Perry dan Potter, 2005).
D. Posisi Semi Fowler 1.
Definisi Posisi semi fowler adalah posisi setengah duduk dimana bagian kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikan. Posisi ini untuk memepertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernafasan pasien (Aziz, 2008: 74). Posisi semi fowler adalah posisi yang bertujuan untuk meningkatkan curah jantung dan ventilasi serta mempermudah eliminasi fekal dan berkemih, dalam posisi ini tempat tidur ditinggikan 45-600 dan
20
lutut klien agak diangkat agar tidak ada hambatan sirkulasi pada ekstermitas (Perry dan Grifin, 2005: 78) Penelitian Supadi, Nurachmah dan Mamnuah (2008), menyatakan bahwa posisi semi fowler membuat oksigen di dalam paru-paru semakin meningkat sehingga memperingan kesukaran nafas. Posisi ini akan mengurangi kerusakan membrane alveolus akibat tertimbunnya cairan. Hal tersebut dipengaruhi oleh gaya grafitasi sehingga O2 delivery menjadi optimal. Sesak nafas akan berkurang, dan akhirnya proses perbaikan kondisi klien lebih cepat. 2.
Prosedur Menurut (Cozier, 2009: 222) prosedur pemberian posisi semi fowler, yaitu : a.
Posisi klien telentang dengan kepalanya dekat dengan bagian kepala tempat tidur
b.
Elevasi bagian kepala tempat tidur 45-600
c.
Letakkan kepala klien di atas Kasur atau di atas bantal yang sangat kecil
d.
Gunakan bantal untuk menyokong lengan dan tangan klien jika klien tidak dapat mengontrol secara sadar atau menggunakan lengan dan tangannya
e.
Posisikan bantal pada punggung bawah klien
f.
Letakkan bantal kecil atau gulungan kain di bawah paha klien
g.
Letakkan bantal kecil atau gulungan handuk di bawah mata kaki
21
h.
Letakkan papan penyangga kaki di dasar kaki klien.
Gambar 2.3 Posisi Semi Fowler
BAB III LAPORAN KASUS
Bab ini menjelaskan tentang ringkasan asuhan keperawatan yang dilakukan pada Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), dilaksanakan pada tanggal 10-11 April 2014.
A. Pengkajian Asuhan keperawatan dimulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi. Pengkajian ini dilakukan dengan metode Allo anamnese dan Auto anamnese, pengamatan, observasi langsung, pemeriksaan fisik menelaah catatan medis, dan catatan perawat. 1. Identitas Klien Klien bernama Tn. A, umur 80 tahun, berjenis kelamin laki-laki, agama Islam, tidak sekolah, mantan pekerja pabrik gula, alamat Karangrejo, Karanganyar. Klien dirawat di Bangsal Mawar 1 RSUD Karanganyar. Penanggung jawab klien adalah Ny. S umur 60 tahun, pekerjaan petani, alamat Karangrejo, Karanganyar, hubungan dengan klien adalah istri klien. 2.
Riwayat Kesehatan Klien Dari hasil pengkajian yang dilakukan penulis, didapat riwayat kesehatan klien, Ny. S mengatakan pada tanggal 8 April 2014 pagi klien mengeluhkan sesak nafas, kemudian klien dibawa ke Puskesmas Kerjo,
22
23
dari puskesmas Kerjo klien dirujuk ke RSUD Karanganyar. Sampai RSUD Karanganyar diterima di IGD, saat dilakukan pemeriksaan fisik didapat data TD= 140/80 mmHg, N= 88x/menit, RR= 38x/menit, dan suhu=37,50 C, kemudian klien disarankan untuk opname, klien dipindahkan ke bangsal Mawar 1. Pada saat dikaji oleh penulis pada tanggal 10 April 2014 klien mengatakan masih megeluhkan sesak nafas dan batuk dengan dahak yang sulit keluar, dan dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital, TD= 120/80 mmHg, N=84x/menit, RR=38x/menit dan Suhu=37,20 C. Dari hasil pengkajian yang penulis lakukan didapatkan riwayat kesehatan terdahulu, klien mengatakan sering dirawat di Rumah Sakit atau opname karena penyakit yang sama. Klien memiliki riwayat merokok tetapi sudah berhenti sejak 20 tahun yang lalu. Klien tidak pernah dioperasi dan juga tidak memiliki riwayat alergi apapun. Klien mengatakan dalam keluarganya tidak ada riwayat penyakit yang menular atau pun menurun. Klien mempunyai satu kakak dan dua adek, klien menikah dengan Ny.S dan memiliki satu orang anak dan sudah memiliki 3 cucu. Klien hanya tinggal berdua dengan istrinya. 3. Pola Kesehatan Fungsional Pola persepsi dan pemeliharaan diri, klien mengatakan kesehatan itu penting, semisal jika sehat mau makan apa saja enak, tetapi saat sakit makan rasanya tidak enak, dan klien mengatakan selalu memeriksakan diri jika sudah merasa sakit.
24
Pola nutrisi dan metabolisme, sebelum sakit klien mengatakan makan 3x sehari dalam 1 porsi ada nasi, lauk, sayur mayor, minum teh 2x sehari, dan air putih kurang lebih 5 gelas belimbing/hari. Selama sakit klien mengatakan tidak mau makan, hanya makan 2-3 sendok disetiap porsinya, dan minum hanya teh jatah dari rumah sakit itu juga tidak habis. Klien mengatakan jika makan dan minum rasa sesak nafas semakin terasa. Hasil pemeriksaan IMT= 19, 60 (BB masih normal). Pola eliminasi urine, sebelum sakit klien mengatakan BAK kurang lebih tujuh kali sehari dengan pancaran kuat, bau khas warna kuning, tidak ada keluhan. Sedangkan selama sakit klien BAK kurang lebih tiga kali sehari, dengan pancaran kuat , bau khas, warna kuning jernih, dan juga tidak ada keluhan. Pada eliminasi alvie, sebelum sakit klien BAB satu kali sehari, dengan konsistensi lembek, warna kuning kecoklatan, dan tidak ada keluhan. Selama sakit klien mengatakan sejak masuk rumah sakit belum BAB. Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit klien melakukan kegiatan seperti makan/minum, toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi,/ROM secara mandiri. Sedangkan selama sakit klien makan/minum, toileting, berpakaian dan berpindah dibantu orang lain, sedangkan mobilitas di tempat tidur dan ambulasi/ROM bisa dilakukan secara mandiri. Pola istirahat tidur klien, sebelum sakit klien mengatakan tidur di malam hari kurang lebih 7-8 jam, dan kadang tidur siang kurang lebih 2
25
jam, tidak ada keluhan saat tidur, dan saat bangun terasa nyaman. Selama sakit, klien mengatakan tidak bisa tidur di malam hari, karena sesak nafas yang dirasakannya, dan karena suasana yang ramai. Klien tidur hanya 2-3 jam setiap malam dan di siang hari tidur 2 jam dan sering terbangun. Pola kognitif dan perseptual, sebelum sakit klien mengatakan sudah mengalami penurunan penglihatan dan sudah memakai alat bantu penglihatan. Namun pada pendengaran klien normal. Dan selama sakit fungsi indera penglihatan dan pendengaran klien sama seperti waktu sebelum sakit. Pola persepsi konsep diri, pada body image/gambaran diri klien mengatakan menyukai semua bagian tubuhnya yang dimiliki, karena semua harus disyukuri. Identitas diri, klien adalah seorang laki-laki dan mantan pekerja pabrik gula. Peran klien saat ini adalah sebagai seorang kepala keluarga. Ideal diri, klien mengatakan ingin cepat sembuh dan supaya bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Harga diri, klien adalah seorang suami, ayah, dan kakek yang disayangi oleh istri, anak dan cucunya. Pada pola hubungan dan peran, sebelum sakit klien mengatakan memiliki hubungan yang baik dengan keluarga dan tetangga. Selama sakit hubungan itu masih terjalin baik, dapat dilihat dari banyaknya keluarga dan tetangga yang menjenguk.
26
Pola seksualitas dan reproduksi, pasien adalah seorang laki-laki dan sudah memiliki 1 orang anak laki-laki. Klien sudah tidak pernah melakukan hubungan intim dengan istri. Pola mekanisme koping, klien mengatakan sudah berusaha bersabar dan berdoa, klien juga mengatakan menerima sakit yang dideritanya Pola nilai dan keyakinan, klien mengatakan beragama Islam, klien sebelum sakit rajin melakukan ibadah sholat 5 waktu, tetapi saat sakit klien tidak melakukan kegiatan ibadah. 4.
Pemeriksaan Fisik Hasil pemeriksaan, keadaan umum pasien baik. Tingkat kesadaran pasien sadar penuh (composmentis) dengan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) = 15 (E= 4, M=5, V=6), hasil pemeriksaan tandatanda vital didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, pernafasan 38x/menit irama tidak teratur, nadi 84x/menit dengan irama teratur teraba kuat dan suhu 37, 20 C. Bentuk kepala mecocepal tidak ada cidera, rambut beruban. Bentuk telingan kanan dan kiri simetris, tidak ada serumen, pendengaran baik. Bentuk mata simetris kanan dan kiri,palpebra terlihat sedikit hitam, konjungtiva tidak enemis, sclera tidak ikterik dan pupil isokor, sudah terdapat penurunan penglihatan. Lubang hidung simetris dan tidak terdapat polip. Mulut simetris, mukosa kering dan tidak ada stomatitis.
27
Leher tidak ada kaku kuduk, tidak ada jejas, tidak ada peningkatan vena jugularis. Pada pemeriksaan, paru-paru : inspeksi bentuk dada barel chest, terdapat retraksi dada, pengembangan paru kanan dan kiri sama, palpasi: vocal fremitus kanan dan kiri tidak sama, perkusi: sonor di seluruh lapang paru, auskultasi: terdengar suara vesikuler menurun, suara ronkhi kasar, dan wheezing di seluruh lapang paru. Jantung : Inspeksi bentuk dada kanan dan kiri sama, palpasi ictus cordis tidak tampak, perkusi suara pekak batas kanan atas SIC 2 linea paru dextra, batas kanan bawah SIC 4 linea paru scernalis dextra, batas kiri SIC 4 linea media clavicula sinistra, auskultasi, tidak ada suara tambahan regular. Abdomen : inspeksi, perut datar, umbilicus bersih, auskultasi, suara peristaltik usus 15x/ menit, perkusi suara pekak pada quadran I (hati), suara tympani pada quadran II (lambung), suara tympani pada quadran III (usus besar), suara tympani pada quadra IV (usus buntu), palpasi tidak ada nyeri tekan. Genetalia dan rektum bersih tidak ada kelainan. Pada ektremitas kekuatas otot kanan dan kiri 5, capillary refill < 3 detik, tidak ada perubahan tulang. 5.
Data Penunjang Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada tanggal 8 April 2014 didapatkan hasil sebagai berikut : Hemoglobin sebesar 13, 6 g/dL (nilai normal 12,00-16,00),
28
hematokrit 44,4 % (37,00-47,00), lekosit 7,8 x10^3 uL (5-10), trombosit 162 7,8 x10^3 uL (150-300), eritrosit 4,91 x10^6 uL (4,00-5,00), MPV 5,3 fL (6,5-12,00), PDW 19,2 % (9,0-17,00), MCV 90,4 fL (82,0092,00), MCH 28,1 pg (27,00-31,00), MCHC 31,1 g/dL (32,00-37,00), Limfosit % 12,92 % (25,00-40,00), monosit % 8,12 % (3,0-9,0), limfosit# 1,0 x10^3 uL (1,25-4,00), monosit# 0,2 x10^3 uL (0.30-1,00), gran % 79,04 % (50,00-70,00), Gran# 6,2 x10^3 uL (2,50-7,00), RDW 13,6 % (11,5-14,7), GDS 93 mg/dL (70-150). 6.
Terapi Pada tanggal 8 April 2014 terapi yang diberikan adalah infus Ringer Lakta 20 tetes per menit fungsinya untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit, injeksi ranitidine 50mg/12 jam fungsinya untuk pengobatan jangka pendek tukak lambung , Captropil 3x1 (12,5 mg) fungsinya untuk menurunkan tekanan darah, OBH 3x1 fungsinya untuk mengencerkan dahak/secret. Terapi pada tanggal 10-11 April 2014 yaitu infus Ringer Laktat 20 tetes per menit, ceftriaxone 1mg/12 jam fungsinya untuk mencegah infeksi pada saluran nafas, dexamethasone 10mg/8 jam fungsinya untuk mencegah inflamasi, pragesol 1000mg/8 jam fungsinya untuk mengurangi nyeri, aminophilin per drip 48 mg/ 8 jam fungsinya untuk obat saluran nafas, dan ambraxol tab 3x1 (30 mg) fungsinya untuk mengencerkan dahak (ISO, 2011).
29
B. Perumusan Masalah Keperawatan Dari hasil pengkajian dan observasi diatas penulis merumuskan masalah utama yaitu bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mukus dan peningkatan sekresi lendir dengan alasan karena merupakan keluhan utama yang dirasakan klien dan harus segera ditangani. Prioritas diagnosa keperawatan pada Tn. A adalah bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mucus dan peningkatan sekresi lendir. Data penunjang diagnosa keperawatan tersebut meliputi data subyektif klien mengatakan sesak nafas dengan batuk berdahak tetapi dahak sulit untuk dikeluarkan. Data obyektif yang didapat adalah Tn. A tampak lemah, pada pemeriksaan paru-paru : inspeksi bentuk dada barel chest (dada tong), terdapat retraksi dada, pengembangan paru kanan dan kiri sama, palpasi: vocal fremitus kanan dan kiri tidak sama, perkusi: sonor di seluruh lapang paru, auskultasi; terdengar suara vesikuler menurun, suara ronkhi kasar, dan wheezing di seluruh lapang paru. Tekanan darah 120/80 mmHg, suhu 37,20 C, Nadi 84x/menit dan RR 38x/menit. Dan untuk diagnosa yang kedua penulis merumuskan masalah gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Dengan data penunjang meliputi data subyektif klien mengatakan tidak bisa tidur, tidur selalu terganggu karena suasana ramai dan sesak nafas yang dirasakannya. Dan data obyektifnya, klien tampak tidak segar, palbebra kehitaman.
30
Diagnosa
yang
ketiga
penulis
merumuskan
masalah
resiko
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder terhadap peningkatan kerja pernafasan. Dengan data penunjang meliputi data subyektif klien mengatakan tidak nafsu makan, hanya makan 3 sendok karena saat menelan terasa semakin sesak. Data obyektif makanan tampak masih utuh, konjungtiva tidak enemis, IMT = 19,60 (Berat badan normal).
C. Prioritas Diagnosa Keperawatan Hasil analisa di atas, maka penulis membuat prioritas diagnosa keperawatan yang pertama bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mukus dan peningkatan sekresi lendir, yang kedua gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan, yang ketiga resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder terhadap peningkatan kerja pernafasan.
D. Tujuan dan Kriteria Hasil Setelah ditemukan masalah keperawatan, kriteria hasil yang ingin dicapai berdasarkan kriteria SMART, S (spesifik), M (Measureable), A (Achieveable), R (Region), T (Time). Pada diagnosa pertama, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan bersihan jalan nafas efektif dengan kriteria
31
hasil: klien mampu mendemonstrasikan batuk terkontrol, klien dapat mengeluarkan sekret, RR (Respiratory Rate) dalam batas normal (1624x/menit), tidak ada bunyi nafas tambahan. Pada diagnosa kedua, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pola tidur klien terpenuhi dengan kriteria hasil : klien tidur 7-8 jam per hari, klien tampak segar, klien melaporkan tidak ada gangguan tidur. Pada diagosa ketiga, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapakan klien akan menunjukkan kemajuan status nutrisi dengan kriteria hasil : klien tidak mengalami penurunan berat badan dan masukan makanan meningkat.
E. Perencanaan Keperawatan Penulis melakukan intervensi keperawatan berdasarkan ONEC, O (observation), N (Nursing), E (Education), C (Colaboration). Pada diagnosa pertama, rencana keperawatan yaitu observasi status pernafasan, rasional untuk memantau perkembangan pernafasan. Observasi tanda-tanda vital, rasional untuk menentukan status pernafasan dan kesadaran. Kaji kemampuan klien untuk mengeluarkan secret, ajarkan batuk efektif, fisioterapi dada, dan suction,
rasionalnya
memantau
tingkat
kepatenan
jalan
nafas
dan
meningkatkan kemampuan klien membebaskan jalan nafas. Berikan posisi semi fowler, rasionalnya menurunkan kerja otot pernafasan dengan pengaruh grafitasi. Berikan terapi oksigen, rasionalnya memenuhi kebutuhan oksigen.
32
Kolaborasi dengan dokter pemberian obat mukolitik, rasionalnya, untuk mengencerkan secret agar mudah keluar. Pada diagnosa yang kedua, rencana keperawatannya yaitu, kaji pola tidur dan istirahat klien rasionalnya mengetahui gangguan istirahat/ tidur klien untuk menentukan intervensi selanjutnya. Ciptakan lingkungan yang tenang rasionalnya lingkungan yang tenang dapat memberikan ketenangan untuk tidur dan istirahat. Anjurkan klien untuk banyak istirahat dan tidur yang cukup rasionalnya tidur yang cukup dapat memberi rasa segar pada klien dan mempercepat proses penyembuhan. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi oksigen di malam hari rasionalnya untuk melegakan jalan nafas dan menyamankan saat tidur. Pada diagnosa yang ketiga rencana keperawatan yaitu kaji masukan makanan rasionalnya pasien distrees pernafasan sering anoreksia sehingga cenderung berat badan menurun. Berikan perawatan oral rasionalnya kebersihan oral meningkatkan nafsu makan. Anjurkan makan sedikit tapi sering rasionalnya membantu mencegah distensi gaster dan ketidaknyamanan. Hidangkan makanan dalam porsi hangat rasionalnya meningkatkan nafsu makan. Kolaborasi dengan ahli gizi utuk menentukan diit rasionalnya menentukan diit yang tepat.
F. Implementasi Keperawatan Tanggal 10 April 2014, tindakan keperawatan yang dilakukan berdasarkan diagnosa yang pertama yaitu, pada jam 08.30 mengobservasi
33
tanda-tanda vital dengan respon subyetif dilakukan pemeriksaan
TTV, dan respon
klien mengatakan bersedia obyektif
keadaan umum
composmentis, tekanan darah 120/80mmHg, nada 84x/menit, suhu 37,20 C, dan pernafasan 38x/menit. Jam 09.15 mengobservasi status pernafasan klien dengan respon subyektif klien mengatakan masih sesak nafas dan sering batuk-batuk dengan dahak sulit keluar, dan respon obyektif Tn. A tampak lemah, Respiratory Rate 36x/menit, auskultasi terdengan suara ronkhi dan wheezing di seluruh lapang paru. Jam 10.00 memberikan posisi semi fowler dengan respon subyektif klien mengatakan posisi semi fowler membuatkan lebih rileks, dan respon obyektif Tn. A tampak lebih nyaman. Jam 10.00 memberikan terapi oksigen kanul 2 liter per menit, dengan respon subyektif klien mengatakan oksigen melegakan jalan nafasnya, dan respon obyektif klien tampak nyaman. Jam 11.00 memberikan terapi obat sesuai advis dokter yaitu injeki ceftriaxone 1mg/12 jam, injeksi pragesol 1000mg/8 jam, injeksi dexamethasone 10mg/8 jam, dan OBH 3x1 sendok makan, dengan respon subyektif klien bersedia diberikan obat, dan respon obyektif klien tampak sedikit kesakitan saat obat dimasukkan via IV. Tindakan keperawatan pada diagnosa yang kedua yaitu, jam 10.45 mengkaji pola tidur dan istirahat klien dengan respon subyektif istri klien mengatakan klien sulit untuk tidur, jika tidur mudah tebangun karena ramai dan karena sesak yang dirasakan dan respon obyektif klien tampak lemas dan tidak segar. Jam 10.50 menganjurkan klien untuk banyak istirahat dan tidur yang cukup dengan respon subyektif klien mengatakan akan berusaha untuk
34
tidur. Jam 11.00 menciptakan lingkungan yang tenang dengan membatasi pengunjung dengan respon subyektif istri klien mengatakan akan menciptakan lingkungan yang tenang untuk suaminya dan respon obyektif klien tampak tenang. Tindakan keperawatan pada diagnosa yang ketiga yaitu jam 10.40 mengkaji msukan makanan, dengan respon subyektif klien mengatakan hanya makan 3 sendok, karena jika makan semakin terasa sesak dan respon obyektif jatah makanan dari rumah sakit masih utuh, klien tampak lemah. Jam 12.00 menganjurkan makan sedikit tapi sering dengan respon subyektif klien mengatakan mau makan dan respon obyektif klien tampak makan. Jam 12.15 menghidangkan makanan dalam porsi hangat dengan respon subyektif klien mengatakan suka makanan yang masih hangat dan respon obyektif klien tampak memakan 3-4 sendok. Tanggal 11 April 2014, jam 08.00 WIB, tindakan keperawatan yang dilakukan untuk diagnosa pertama yaitu mengobservasi tanda-tanda vital dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dan respon obyektif keadaan umum klien baik, kesadaran composmentis, tekanan darah 150/90mmHg, nadi 88x/menit, suhu 37,50 C, pernafasan 34x/menit. Jam 08.15 mengobservasi status pernafasan dengan respon subyektif klien mengatakan masih merasakan sesak nafas dengan batuk dahak sulit keluar, dan respon obyektif klien tampak lemah, RR 38x/menit, auskultasi terdengar wheezing memanjang diseluruh lapang paru. Jam 09.00 mempertahankan posisi semi fowler dengan respon subyektif klien
35
mengatakan bersedia diberi posisi semi fowler karena pernafasannya lebih nyaman dan respon obyektif klien tampak lebih nyaman. Jam 09.15 memberikan terapi oksigen nasal kaul 2 liter per menit, dengan respon subyektif klien bersedia, dan respon obyektif, klien tampak nyaman. Jam 11.00 memberikan obat sesuai advis dokter yaitu injeksi ceftriaxone 1mg/12 jam, Aminophilin per drip 48mg/8 jam, dan ambraxol tab 3x1 (30mg) dengan respon subyektif klien bersedia diberikan obat dan respon obyektif klien tampak tenang saat obat dimasukkan. Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk diagnosa yang kedua yaitu, 09.30 mengkaji pola tidur dan istirahat klien dengan respon subyektif klien mengatakan semalam tidak bisa tidur karena sudah tidak betah, dan karena sesak nafas yang dirasakanya dan respon obyektif klien tampak lemah, palbebra hitam. Jam 10.00 menciptakan posisi/ lingkungan yang nyaman dengan respon subyektif klien mengatakan akan berusaha untuk tidur dan respon obyektif pasien tampak tidur saat menjelang siang. Jam 10.30 kolaborasi dengan dokter pemberian terapi oksigen dengan respon subyektif klien mengatakan nyaman dengan dipasangi oksigen dan respon obyektif klien tampak bisa tidur walaupun sering terbangun. Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk diagnosa yang ketiga yaitu jam 08.45 mengkaji masukan makanan dengan respon subyektif klien mengatakan sudah mau makan lebih banyak dan respon obyektif jatah makanan yang disediakan sudah muali dihabiskan oleh klien, klien masih terlihat lemas. Jam 12.00 menghidangkan makanan dalam porsi hangat
36
dengan respon subyektif klien mengatakan makanan hangat membuatnya nafsu makan dan respon obyektif makanan klien berkurang. Jam 13.00 menganjurkan klien/keluarga klien memberikan perawatan oral dengan respon subyektif klien mengatakan mulitnya lebih segar dan respon obyektif mulut kelihatan bersih.
G. Evaluasi Keperawatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan, hasil evaluasi pada tanggal 10 April 2014 dengan metode SOAP , diagnosa pertama hasilnya adalah subyektif klien mengatakan masih merasa sesak nafas dengan batuk dan dahak sulit keluar. Obyektif, auskultasi terdengar suara ronkhi dan wheezing di seluruh lapang paru, pasien tampak lemah, tekanan darah 120/80mmHg, nada 84x/menit, suhu 37,20 C RR (Respiratory Rate) 34x/menit. Analisis masalah keperawatan belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observsi tanda-tanda vital, observasi status pernafasan, berikan posisi semi fowler, kolaborasi pemberian obat sesuai advis dokter. Diagnosa kedua hasilnya, subyektif klien mengatakan tidak bisa tidur karena suasana ramai dan sesak nafas yang dirasakannya. Obyektif klien masih tampak lemah, palbebra kehitaman. Analisis masalah keperawatan belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi kaji pola tidur dan istirahat tidur, ciptakan lingkungan yang tenang, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi oksigen di malam hari.
37
Diagnosa ketiga hasilnya, subyektif klien mengatakan hanya makan sedikit karena jika untuk makan semakin terasa sesak. Obyektif klien tampak lemah, konjuntiva tidak enemis, makanan yang disediakan masih utuh. Analisis masalah keperawatan belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi kaji masukan makanan, berikan perawatan oral. Hasil evaluasi pada tanggal 11 April 2014 untuk diagnosa pertama yaitu subyektif klien mengatakan semalam tidak bisa tidur karena sesak nafas yang dirasakannya, klien masih batuk dan belum mengeluarkan dahaknya. Obyektif klien tampak lemah, tekanan darah 150/90mmHg, nadi 88x/menit, suhu 37,50 CRR (Respiratory Rate) 34x/menit, auskultasi terdengar wheezing memanjang di seluruh lapang paru. Analisa masalah keperawatan belum teratasi. Planning
lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan
meliputi observasi status pernafasan, observasi tanda-tanda vital, pertahankan posisi semi fowler, kolaborasi pemberian obat sesuai advis dokter. Diagnosa kedua hasilnya yaitu subyektif klien mengatakan tidak bisa tidur saat malam karena sesak yang dirasakannya, tetapi klien bisa tidur saat menjenga siang. Obyektif klien tampak lemah, palpebral kehitaman. Analisis masalah keperawatan belum teratasi. Planning, lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi kaji pola tidur dan istirahat, ciptakan lingkungan yang tenang. Diagnosa yang ketiga hasilnya yaitu subyektif klien mengatakan sudah mau makan lebih banyak jika disajikan dalam keadaan hangat. Obyektif klien
38
masih tampak lemah, konjungtiva tidak enemis, makanan yang disediakan sudah mulai berkurang. Analisis masalah keperawatan belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi kaji msukan makanan, sajikan makanan dalam keadaan hangat, berikan perawatan diri.
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pembahasan Pada bab ini penulis akan membahas tentang “Pemberian Posisi Semi Fowler terhadap penurunan sesak nafas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan penyakit paru obrtruktif kronik (PPOK) di Bangsal Mawar 1 RSUD Karanganyar”. Disamping itu bab ini penulis juga akan membahas tentang faktor pendukung dan kesenjangan-kesenjangan yang terjadi antara teori dan kenyataan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi. Prinsip dari pembahasan ini memfokuskan pada kegawat daruratan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia di dalam asuhan keperawatan. Penulis akan membahas semua diagnosa yang khususnya diagnosa keperawatan utama, alasannya karena yang paling aktual dan harus terlebih dahulu ditangani. Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, perlambatan aliran darah umumnya bersifat progesif dan berkaitan dengan respons inflamasi yang abnormal terhadap partikel atau gas iritan (Aziz dan , Soegondo, 2006: 105).
39
40
1. Pengkajian Pengkajian adalah mengumpulkan
informasi
pemikiran dasar yang bertujuan untuk atau
data
tentang
klien,
agar
dapat
mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Tujuan dari pengkajian adalah untuk memperoleh informasi tentang keadaan kesehatan klien, menentukan masalah keperawatan dan kesehatan klien, menilai keadaan kesehatan klien, membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah-langkah berikutnya (Dermawan, 2012: 36). Penulis melakukan pengkajian pada tanggal 10 April 2014 dengan alloanamnesa dan autoanamnesa. Hasil yang didapat yaitu data subyektif klien mengatakan masih megeluhkan sesak nafas dan batuk dengan dahak yang sulit keluar, dan dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital, TD= 120/80 mmHg, N=84x/menit, RR=36x/menit dan suhu=37,20 C. Serangan PPOK ditandai dengan keluhan klien sesak nafas, batukbatuk kronis, sputum yang produktif, terdapat otot bantu pernafasan, takipnea (Aziz dan Sidartawan, 2006: 105). Ada beberapa penyebab dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) , yaitu faktor lingkungan, merokok, polutan udara, asma kronik (Patrick, 2007: 181). Pada Tn. A penyebab dari PPOK yang dialami yaitu karena Tn. P memiliki riwayat sebagai perokok aktif dan sudah berhenti 20 tahun yang lalu. Tn. A juga mantan pekerja di pabrik gula dan sering terpapar polutan udara.
41
Asap rokok menyebabkan inflamasi
epitel
bronkus dan
penghancuran radikal oksigen toksin pada antielastase yang pada gilirannya, mengakibatkan kerusakan alveolus dan bronkus. Kerusakan pada dinding bronkus mengakibatkan obstruksi jalan nafas ekspirasi baik karena kehilangan elastistas jalan nafas, peningkatan produksi mukus, atau karena keduanya. Obstruksi ekspirasi dengan terperangkatnya udara, meningkatkan beban kerja pernafasan, dan ventilasi yang tidak merata mengakibatkan penurunan volume pernafasan per menit. Pasien dengan obstruksi jalan nafas akan datang dengan keluhan dipsnea, pemanjangan ekspirasi dan mengi/wheezing (Brasher, 2008: 91). Dalam pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan data bahwa keadaan umum klien composmentis. Pemeriksaan sistem pernafasan diperoleh Tn. A sesak nafas, batuk dengan dahak tidak bisa keluar, pernafasan 36x/menit (rentan normal 16-24x/menit) dan suhu 37,20 C. pada pemeriksaan paru-paru didapat inspeksi bentuk dada barel chest terdapat retraksi dada, pengembangan paru kanan dan kiri sama, palpasi: vocal fremitus kanan dan kiri tidak sama, perkusi: sonor di seluruh lapang paru, auskultasi; terdengar suara vesikuler menurun, suara ronkhi kasar, dan wheezing di seluruh lapang paru. Posisi tidur klien adalah supinasi. Pada penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan ditemukan pemeriksaan fisik yaitu pernafasan Pursed Lips, takipnea, dada emfisematous atau barrel chest, dengan tampilan fisik pink puffer atau
42
blue bloater, bunyi nafas vesikuler melemah, ekspirasi memanjang, ronki kering atau wheezing, bunyi jantung jauh, menggunakan otot bantu nafas (Aziz dan Sidartawan, 2006: 105). Menurut Allen (2008) dalam Melanie (2012), bahwa posisi tidur mempengaruhi keadaan pasien kardiopulmonari. Posisi tidur dengan posisi kepala dielevasikan dengan tempat tidur kurang lebih 45 derajat akan mempertahankan curah jantung dan sesak nafas berkurang. Pada posisi tidur berbarig (lying flat) akan menyebabkan sesak nafas semakin berat. Menurut Angela dalam Refi Safitri dan Annisa Andriyani (2008), saat terjadi sesak nafas biasanya klien tidak dapat tidur dalam posisi berbaring, melainkan harus dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan jalan nafas dan memenuhi O2 dalam darah. Tn. A termasuk pada PPOK stadium II (PPOK sedang) yaitu dengan keluhan batuk dan sputum produktif, sesak nafas saat aktivitas yang tidak terlalu berat, mengi, wheezing, dan penurunan udara yang masuk (Aziz dan Soegondo, 2006: 106) . Selama sakit Tn. A mengatakan tidak bisa tidur, tidur hanya 3-4 jam per hari dan sering terbangun karena sesak nafas yang dirasakan. Data dasar pada pengkajian aktivitas/istirahat pasien dengan PPOK menyatakan bahwa pasien PPOK akan mengalami gangguan intensitas tidur karena mengalami distress pernafasan dan perlu tidur dalam posisi duduk tinggi (Doengoes, 2000: 152).
43
Tn. A juga mengatakan tidak mau makan, hanya makan 2-3 sendok disetiap porsinya, dan minum hanya teh jatah dari rumah sakit itu juga tidak habis. Klien mengatakan jika makan dan minum rasa sesak nafas semakin terasa. Data dasar pada pengkajian makanan/ cairan pasien PPOK
akan
didapat
hasil
nafsu
makan
buruk/
anoreksia,
ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan, penurunan berat badan , turgor kulit buruk (Dongoes, 2000: 153). Selama sakit Tn. A melakukan aktivitas makan/ minum, toileting, berpakaian dan berpindah dibantu orang lain. Itu disebabkan Tn. A sudah merasa sesak jika melakukan banyak aktivitas. Tn. A termasuk dalam klasifikasi sesak nafas tingkat IV yaitu klien sudah merasa sesak nafas saat melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, berpakaian, dan aktivitas lainnya, sehingga ia bergantung pada orang lain ketika melakukan kegiatan sehari-hari (Muttaqin, 2006: 41). Terapi yang diberikan pada Tn. A adalah infus Ringer Lakta 20 tetes per menit fungsinya untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit, injeksi ranitidine 50mg/12 jam fungsinya untuk pengobatan jangka pendek tukak lambung, Captropil 3x1 (12,5 mg) fungsinya untuk menurunkan tekanan darah, OBH 3x1 fungsinya untuk mengencerkan dahak/secret. Terapi pada tanggal 10-11 April 2014 yaitu infus Ringer Laktat 20 tetes per menit, ceftriaxone 1mg/12 jam fungsinya untuk mencegah infeksi pada saluran nafas, dexamethasone 10mg/8 jam fungsinya untuk mencegah inflamasi, pragesol 1000mg/8 jam fungsinya
44
untuk mengurangi nyeri, aminophilin per drip 48 mg/ 8 jam fungsinya untuk obat saluran nafas, dan ambraxol tab 3x1 (30 mg) fungsinya untuk mengencerkan dahak (ISO, 2011). Pada saat masuk rumah sakit tekanan darah Tn. A 140/90 mmHg kemudian klien diberi terapi captropil 12.5 mg, kemudian tekanan darah klien menjadi 120/80 mmHg. Pemberian ambraxol untuk mengecerkan dahak belum sepenuhnya berhasil karena dahak masih tertahan dan belum bisa keluar.
2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik mengenai respon individu, keluarga dan komunitas terhadap masalah kesehatan/ proses kehidupan yang aktual/ potensial yang merupakan dasar untuk memilih intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang merupakan tanggung jawab
perawat.
Tujuannya
adalah
mengarahkan
rencana
asuhan
keperawatan untuk membantu klien dan keluarga beradaptasi terhadap penyakit dan menghilangkan masalah keperawatan kesehatan (Dermawan, 2012: 58). Dari data pengkajian yang sudah didapat penulis, tidak semua diagnosa yang ada dalam teori muncul pada Tn. A. Diagnosa yang tidak muncul adalah diagnosa gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya suplai oksigen dengan alasan karena pada pengkajian batasan karakteristik gangguan pertukaran gas belum terjadi pada Tn. A tidak
45
didapat data klien kebingungan, klien tidak mengalami sakit kepala, tidak ada sianosis, klien juga masih dalam keadaan sadar. Sedangkan pengertian dari gangguan pertukaran gas adalah kelebihan atau kekurangan pada oksigenasi dan atau eliminasi pada membran alveolar kapiler (Herdman, 2010: 128). Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 10 April 2014 didapat hasil untuk diagnosa pertama, yaitu data subyektif klien mengatakan sesak nafas dengan batuk berdahak tetapi dahak sulit untuk dikeluarkan. Dengan data obyektif yang didapat adalah Tn. A tampak lemah, pada pemeriksaan paru-paru : inspeksi bentuk dada barel chest (dada tong), terdapat retraksi dada, pengembangan paru kanan dan kiri sama, palpasi: vocal fremitus kanan dan kiri tidak sama, perkusi: sonor di seluruh lapang paru, auskultasi; terdengar suara vesikuler menurun, suara ronkhi kasar, dan wheezing di seluruh lapang paru. Tekanan darah 120/80 mmHg, suhu 37,20 C, Nadi 84x/menit dan RR 36x/menit. Maka muncul masalah keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mucus dan peningkatan sekresi lendir (Soemantri 2007: 78). Bersihan jalan nafas tidak efektif merupakan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obtruksi dari saluran nafas untuk mempertahankan bersihan jalan nafas. Batasan karakteristik dari bersihan jalan nafas tidak efektif yaitu ada suara nafas tambahan, perubahan frekuensi nafas, perubahan irama nafas, dipsnea, sputum dalam jumlah yang berlebih, batuk yang tidak efektif, gelisah (Herdman, 2010: 356).
46
Pada batasan karakteristik gelisah, sudah terkaji oleh penulis akan tetapi belum didokumentasikan oleh penulis karena kekurang telitian penulis dan keterbatasan waktu. Pada diagnosa yang kedua penulis memunculkan masalah gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Karena saat pengkajian didapat data subyektif klien mengatakan tidur hanya 3-4 jam per hari sering terbangun karena suasana yang ramai dan karena sesak nafas yang dialaminya. Dan data obyektif klien tampak lemas dan tidak segar. Gangguan pola tidur merupakan gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur. Batasan karakteristik gangguan pola tidur yaitu perubahan pola tidur abnormal, keluhan verbal kurang istirahat dan kurang puas saat tidur, penurunan kemampuan fungsi, melaporkan sering terjaga, melaporkan tidak mengalami kesulitan jatuh tidur (Herdman, 2009: 134). Pasien dengan sesak nafas juga akan mengalami gangguan pola tidur karena mengalami distress pernafasan (Doengoes, 2000: 152). Data klien melaporkan sering terjaga di malam hari sudah terkaji oleh penulis namun karena kekurangtelitian maka tidak terdokumentasi di asuhan keperawatan Tn. A. Diagnosa ketiga penulis menegakkan masalah keperawatan resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder terhadap peningkatan kerja pernafasan. Penulis mengacu pada data subyektif klien mengatakan hanya makan 3-4 sendok karena jika makan terasa lebih sesak. Dan data
47
obyektif klien tampak lemah. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh merupakan kondisi dimana asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Batasan karakteristik dari gangguan nutrisi yaitu penurunan berat badan, tidak bernafsu untuk makan, kehilangan masa otot dan tonus otot jelek (Herdman, 2009: 86). Penulis mengangkat masalah nutrisi dalam kategori resiko , hal ini karena belum ada penurunan berat badan dan belum ada kehilangan masa otot. Untuk mengkaji status nutrisi pasien, dapat dilakukan dengan pengkajian nutrisi berdasarkan ABCD yaitu A (Anthropometric) yaitu mengkaji status nutrisi dan ketersediaan energi otot, yang terdiri dari tinggi badan, berat badan, lingkar lengan, dan tebal lipatan tubuh. B (Biochemical) yaitu mengkaji status nutrisi yang ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari hemoglobin, hematokrit dan albumin. C (Clinical sign of nutrional status) yaitu dengan memperhatikan tanda-tanda abnormal secara fisiologisnya seperti melihat rambut, kulit, otot, mata, aktivitas dan neourologi. D (Dietery history) yaitu mengkaji riwayat pola makan/ diet dari pasien meliputi pengetahuan tentang nutrisi, kebiasaan makan, masalah diet, dan riwayat kesehatan (Asmadi, 2008: 79). Karena kekurangtelitian penulis dalam perumusan masalah keperawatan pada Tn. A penulis belum melakukan pengkajian nutrisi ABCD. Diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum seharusnya masuk dalam dokumentasi asuhan keperawatan Tn. A, yaitu dengan data Tn. A melakukan aktivitas makan/minum, toileting,
48
berpakaian dan berpindah dibantu orang lain. Itu disebabkan Tn. A sudah merasa sesak jika melakukan banyak aktivitas. Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis dan fisiologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang diinginkan. Batasan karakteristik intoleransi aktivitas yaitu respon tekanan darah abnormal tehadap aktivitas, respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas, perubahan EKG yang mencerminkan aritmia dan iskemia, dan ketidaknyamanan setelah beraktivitas. (Herdman, 2010 : 157). Namun karena keterbatasan waktu dan kekurang telitian penulis maka diagnosa ini tidak dapat terangkat. Untuk
menentukan
prioritas
masalah
keperawatan
penulis
menggunakan Teori Hierarki Maslow yaitu terdapat lima kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi, yakni kebutuhan fisiologis; kebutuhan rasa aman dan keselamatan; kebutuhan mencintai, dicintai dan dimiliki; kebutuhan akan harga diri, serta kebutuhan aktualisasi diri (Asmadi, 2008: 3). Masalah keperawatan gangguan oksigenasi menjadi prioritas utama yang dipilih penulis dari beberapa masalah yang muncul pada pasien. Alasan penulis karena kebutuhan oksigenasi diperlukan untuk proses kehidupan. Oksigenasi berperan penting dalam proses metabolisme sel, kebutuhan oksigen harus terpenuhi karena apabila kebutuhan oksigen dalam tubuh berkurang maka akan menimbulkan dampak yang bermakna bagi tubuh salah satunya kematian. Masalah kebutuhan oksigenasi
49
merupakan masalah utama dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Mubarak, 2007: 129). Hasil analisa di atas, maka penulis membuat prioritas diagnosa keperawatan yang pertama bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mukus dan peningkatan sekresi lendir, yang kedua gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan, yang ketiga resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder terhadap peningkatan kerja pernafasan.
3. Intervensi Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yan akan dilakukan, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi fokus keperawatan kepada klien atau kelompok, untuk membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi kesehatan lain, untuk menyediakan suatu kriteria guna pengulangan dan evaluasi keperawatan, untuk menyediakan kriteria dan klasifikasi pasien (Dermawan, 2012 : 84). Pedoman penulisan kriteria hasil berdasarkan SMART (Spesific, Measurable, Achieveble, Reasonable, dan Time). Spesific adalah berfokus pada klien, measurable dapat diukur, dilihat, diraba, dirasakan, dan dibau. Achieveble adalah tujuan yang harus dicapai, sedangkan Reasonable
50
merupakan tujuan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Time adalah batasan pencapaian dalam rentang waktu tertentu, harus jelas batasan waktunya (Dermawan, 2012: 99). Pada diagnosa pertama, penulis mencantumkan tujuan dan kriteria hasil setelah diakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan bersihan jalan nafas efektif dengan kriteria hasil : klien mampu mendemonstrasikan batuk terkontrol, klien dapat mengeluarkan sekret, RR (Respiratory Rate) dalam batas normal (16-24x/menit), tidak ada bunyi nafas tambahan. Kriteria waktu ini didasarkan pada unsur etiologi atau tanda dan gejala dalam diagnosis keperawatan yang ada (NOC, 2011). Rencana keperawatan yaitu observasi status pernafasan, rasional untuk memantau perkembangan pernafasan. Observasi tanda-tanda vital, rasional untuk menentukan status pernafasan dan kesadaran. Kaji kemampuan klien untuk mengeluarkan secret, ajarkan batuk efektif, fisioterapi dada, dan suction, rasionalnya memantau tingkat kepatenan jalan nafas dan meningkatkan kemampuan klien membebaskan jalan nafas. Berikan posisi semi fowler, rasionalnya menurunkan kerja otor pernafasan dengan pengaruh grafitasi. Berikan terapi oksigen, rasionalnya memenuhi kebutuhan oksigen. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat mukolitik, rasionalnya, untuk mengencerkan secret agar mudah keluar (Doengoes, 2000: 156). Pada diagnosa kedua, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
51
diahrapakan pola tidur klien terpenuhi dengan kriteria hasil : klien tidur 78 jam per hari, klien tampak segar, klien melaporkan tidak ada gangguan tidur (NOC, 2011). Rencana keperawatannya yaitu, kaji pola tidur dan istirahat klien rasionalnya mengetahui gangguan istirahat/tidur klien untuk menentukan intervensi selanjutnya. Ciptakan lingkungan yang tenang rasionalnya lingkungan yang tenang dapat memberikan ketenangan untuk tidur dan istirahat. Anjurkan klien untuk banyak istirahat dan tidur yang cukup rasionalnya tidur yang cukup dapat memeberi rasa segar pada klien dan mempercepat proses penyembuhan. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi oksigen di malam hari rasionalnya untuk melegakan jalan nafas dan menyamankan saa tidur (Doegoes, 2000: 930). Pada diagosa ketiga, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapakan klien akan menunjukkan kemajuan status nutrisi dengan kriteria hasil : klien tidak mengalami penurunan berat badan dan masukan makanan meningkat (NOC, 2011). Rencana keperawatan yaitu kaji masukan makanan rasionalnya psien distrees pernafasan serig anoreksia sehingga cenderung berat badan menurun. Berikan perawatan oral rasionalnya kebersihan oral meningkatkan nafsu makan. Anjurkan makan sedikit tapi sering
rasionalnya
membantu
mencegah
distensi
gaster
dan
ketidaknyamanan. Hidangkan makanan dalam porsi hangat rasionalnya meningkatkan nafsu makan. Kolaborasi dengan ahli gizi utuk menentukan diit rasionalnya menentukan diit yang tepat (Doengoes, 2000: 159).
52
Penulis tidak memasukan semua intervensi yang ada di teori pada dokumentasi asuhan keperawatan pada Tn. A, dengan alasan penulis merumuskan intervensi berdasarkan kebutuhan klien yang tercantum di tujuan dan kriteria hasil.
4. Implementasi Keperawatan Implementasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Darmawan, 2012 : 118). Penulis melakukan tindakan keperawatan berdasarkan diagnosa keperawatan
yang muncul pada klien sesuai dengan tujuan,
kriteria hasil dan rencana yang ditetapkan. Pada diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mucus dan peningkatan sekeresi lendir, tindakan keperawatan dilakukan selama dua hari. Pengidap PPOK memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat diberi terapi dengan oksigen tinggi, hal ini sangat mempengaruhi kualitas hidup sehingga status pernafasan juga harus diobservasi setia saat (Corwin, 2002: 438). Tindakan keperawatan meliputi, mengkaji status pernafasan, mengobservasi tanda-tanda vital, memberi terapi oksigen 2 liter per menit, mengkaji kemampuan klien untuk mengeluarkan secret, mengajarkan batuk efektif, fisioterapi dada, memberian obat mukolitik sesuai advis dokter, memberi posisi semi fowler. Mengatur posisi berbaring pasien
53
dengan semi fowler pada pasien sesak nafas dilakukan sebagai salah satu cara untuk membantu mengurangi sesak nafas, dengan memberikan posisi semi fowler diharapkan pasien merasa nyaman dan dapat mengurangi rasa sesak nafas (Safitri, 2011: 3). Pada asuhan keperawatan Tn. A dengan PPOK penulis sudah mengaplikasikan pemberian posisi semi fowler. Menurut Angela dalam Refi Safitri dan Annisa Andriyani (2008), saat terjadi sesak nafas biasanya klien tidak dapat tidur dalam posisi berbaring, melainkan harus dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan jalan nafas dan memenuhi O2 dalam darah. Posisi yang paling efektif bagi klien dengan penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaikan dengan derajat kemiringan 450 , yaitu dengan menggunakan gaya grafitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen ke diagfragma. Sesak nafas akan berkurang, dan akhirnya proses perbaikan kondisi klien lebih cepat. Dalam penelitian Refi Safitri dan Annisa Andriyani (2008), pemberian posisi semi fowler pada pasien dengan keluhan sesak nafas dilakukan selama 4 hari lalu dilakukan pengukuran tingkat sesak nafas, dan pasien dengan sesak nafas berat sudah berubah menjadi sesak nafas ringan. Akan tetapi karena keterbatasan waktu penulis hanya dapat melakukan pemberian semi fowler selama 2 hari dan saat dikaji ulang pasien dengan keluhan sesak nafas masih merasakan sesak nafasnya,
54
respiratory rate 34x/jam, namun pasien mengatakan lebih nyaman dengan posisi setengah duduk atau semi fowler. Pada hari pertama pemberian posisi semi fowler didapatkan hasil klien mengatakan masih merasakan sesak nafas namun dengan posisi semi fowler Tn. P merasa lebih nyaman, respiratory rate 34x/menit. Dan pada hari kedua diatur dengan posisi semi fowler hasil yang didapat klien mengatakan masih merasa sesak, sesak belum berkurang namun klien nyaman dengan posisi setengah duduk. Saat malam klien tetap tidak bisa tidur karena ramai, ingin cepat pulang dan menyebabkan tekanan darah naik dan respiratory rate tetap 34x/menit. Kurang berhasilnya tindakan semi fowler pada Tn. A bisa disebabkan karena beberapa hal diataranya karean pasien ingin cepat pulang, klien menjadi stress dan tidak bisa tidur. Kondisi stress atau tidak rileks yang dialami Tn. A mempengaruhi kerja saraf otonom. Saraf otonom mempengaruhi kerja jantung, paru, lambung, ginjal, dst. Sehingga pasien dengan kondisi yang tidak rileks akan sulit untuk mencapai kesembuhan (Adib, 2011: 68). Faktor lain adalah karena secret pada Tn. A masih sulit dikeluarkan sehingga menghambat jalan nafas. Tidakan keperawatan pada gangguan pola tidur juga dilakukan selama dua hari yang meliputi, mengkaji pola tidur dan istirahat klien, menciptakan lingkungan yang tenang, menganjurkan klien untuk banyak istirahat dan tidur.
55
Tindakan keperawatan pada resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dilakukan selama dua hari yang meliputi mengkaji masukan makanan, menghidangkan makanan dalam porsi hangat, menganjurkan untuk makan sedikit tapi sering, memberikan perawatan oral, mengkolaborasikan diit yang tepat dengan ahli gizi.
5. Evaluasi Keperawatan Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon perilaku klien yang tampil. Tujuan dari evaluasi antara lain untuk menentukan perkembangan kesehatan klien, menilai efektifitas dan efisiensi tindakan keperawatan, mendapatkan umpan balik dari respon klien, dan sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan (Dermawan, 2012:128). Evaluasi hari pertama pada diagnosa pertama hasilnya adalah klien mengatakan masih merasa sesak nafas dengan batuk dan dahak sulit keluar, auskultasi terdengar suara ronkhi dan wheezing di seluruh lapang paru, pasien tampak lemah, tekanan darah 120/80mmHg, nada 84x/menit, suhu 37,20 C RR (Respiratory Rate) 36x/menit, masalah keperawatan belum teratasi, lanjutkan intervensi observsi tanda-tanda vital, observasi status pernafasan, berikan posisi semi fowler, kolaborasi pemberian obat sesuai advis dokter. Hasil evaluasi pada hari kedua adalah klien mengatakan semalam tidak bisa tidur karena sesak nafas yang
56
dirasakannya, klien masih batuk dan belum mengeluarkan dahaknya. Klien tampak lemah, tekanan darah 150/90mmHg, nadi 88x/menit, suhu 37,50 C, RR (Respiratory Rate) 38x/menit, auskultasi memanjang di seluruh lapang paru. Masalah keperawatan belum teratasi, lanjutkan intervensi observasi status pernafasan, observasi tanda-tanda vital, pertahankan posisi semi fowler, kolaborasi pemberian obat sesuai advis dokter. Kriteria evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif adalah klien dapat mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih, klien menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas, batuk efektif dan mengeluarkan secret (Doengoes, 2000:156). Dari hasil analisa penulis kriteria evaluasi pada teori diatas belum dicapai oleh Tn. A karena klien masih merasa sesak nfas dan dahak masih sulit dikeluarkan. Pada hari pertama, klien mengatakan tidak bisa tidur karena suasana ramai dan sesak nafas yang dirasakannya. Klien masih tampak lemah, palbebra kehitaman. Masalah belum teratasi, lanjutkan intervensi kaji pola tidur dan istirahat tidur, ciptakan lingkungan yang tenang, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi oksigen di malam hari. Hari kedua hasilnya yaitu klien mengatakan tidak bisa tidur saat malam karena sesak yang dirasakannya, tetapi klien bisa tidur saat menjelang siang, klien tampak lemah, palpebra kehitaman. Masalah belum teratasi. Lanjutkan intervensi. Kaji pola tidur dan istirahat, ciptakan lingkungan yang tenang.
57
Kriteria evaluasi yang diharapkan dari pasien dengan diagnosa gangguan pola tidur adalah klien melaporkan perbaikan dalam pola tidur, mengungkapkan rasa sejahtera dan segar (Doengoes, 2000; 930). Menurut analisa penulis klien belum mencapai kriteria evaluasi, karena bersihan jalan nafas yang belum efektif dan klien merasa cemas karena ingin segera pulang. Hari pertama hasilnya yaitu klien mengatakan hanya makan sedikit karena jika untuk makan semakin terasa sesak. Klien tampak lemah, konjuntiva tidak enemis, makanan yang disediakan masih utuh. Masalah belum teratasi. Lanjutkan intervensi kaji masukan makanan, berikan perawatan oral. Hari kedua hasilnya yaitu klien mengatakan sudah mau makan lebih banyak jika disajikan dalam keadaan hangat. Klien masih tampak lemah, konjungtiva tidak enemis, makanan yang disediakan sudah mulai berkurang. Masalah belum teratasi. Lanjutkan intervensi kaji masukan makanan, sajikan makanan dalam keadaan hangat, berikan perawatan oral. Kriteria evaluasi yang diharapkan dari pasien dengan diagnosa resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yaitu klien menunjukkan
perilaku
pola
hidup
untuk
meningkatkan
atau
mempertahankan berat badan. Menurut analisa penulis klien sudah mencapai kriteria evaluasi, karena klien sudah berusaha untuk makan sedikit demi sedikit dan selalu ada tambahan masukan makanan setiap harinya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Setelah
penulis
melakukan
pengkajian,
penentuan
diagnosa,
perencanaan, implementasi, evaluasi serta mengaplikasikan pemberian posisi semi fowler terhadap penurunan sesak nafas pada Asuhan keperawatan pada Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di Bangsal Mawar 1 RSUD Karanganyar, maka dapat di tarik kesimpulan : 1. Pengkajian Hasil pengkajian pada Tn. A didapat data subyektif klien mengatakan sesak nafas disertai batuk dengan dahat tidak bisa dikeluarkan. Data obyektif yang didapat adalah Tn. A tampak lemah, pada pemeriksaan paru-paru : inspeksi bentuk dada barel chest (dada tong), terdapat retraksi dada, palpasi: vocal fremitus kanan dan kiri tidak sama, auskultasi; terdengar suara vesikuler menurun, suara ronkhi kasar, dan wheezing di seluruh lapang paru. Tekanan darah 120/80 mmHg, suhu 37,20 C, Nadi 84x/menit dan RR 36x/menit. 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa utama yang muncul pada Tn. A adalah bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mukus dan peningkatan sekresi lendir.
58
59
3. Intervensi Keperawatan Perencanaan keperawatan yang dibuat oleh penulis memiliki tujuan kriteria hasil yaitu setelah diakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan bersihan jalan nafas efektif dengan kriteria hasil : klien mampu mendemonstrasikan batuk terkontrol, klien dapat mengeluarkan sekret, RR (Respiratory Rate) dalam batas normal (16-24x/menit), tidak ada bunyi nafas tambahan. Dengan berdasarkan ONEC, O (observation), N (Nursing), E (Education), C (Colaboration). Pada diagnosa pertama, rencana keperawatan yaitu observasi status pernafasan, rasional untuk memantau perkembangan pernafasan. Observasi tanda-tanda vital, rasional untuk menentukan status pernafasan dan kesadaran. Kaji kemampuan klien untuk mengeluarkan secret, ajarkan batuk efektif, fisioterapi dada, dan suction, rasionalnya memantau tingkat kepatenan jalan nafas dan meningkatkan kemampuan klien membebaskan jalan nafas. Berikan posisi semi fowler, rasionalnya menurunkan kerja otor pernafasan dengan pengaruh grafitasi. Berikan terapi oksigen, rasionalnya memenuhi kebutuhan oksigen. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat mukolitik, rasionalnya, untuk mengencerkan secret agar mudah keluar. 4. Implementasi Keperawatan Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Tn. A selama tanggal 10-11 April 2014 yaitu mengobservasi status pernafasan, mengobservasi tandatanda vital, mengkaji kemampuan klien untuk mengeluarkan secret,
60
memberikan posisi semi fowler, memberikan terapi oksigen dan memberikan terapi obat mukolitik sesuai advis dokter. 5. Evaluasi Keperawatan Evaluasi keperawatan pada Tn. A selama 2 hari klien masih mengatakan merasakan sesak nafas dan dahak belum bisa keluar, tetapi klien sudah terlihat lebih segar, tampak lemah, tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 88x/menit, suhu 37,50 C, Respiratory Rate 34x/menit, auskultasi memanjang di seluruh lapang paru. Masalah belum teratasi, dan intervensi masih dilanjutkan. 6. Aplikasi Pemberian Posisi semi fowler Pengaplikasian pemberian posisi semi fowler terhadap penurunan sesak nafas pada Tn. A belum berhasil sepenuhnya, respiratory rate 38x/menit setelah 2 hari diatur dengan posisi semi fowler menjadi 34x/menit. Klien mengatakan saat diberi posisi semi fowler pernafasan berkurang meskipun sesak nafas belum hilang. Hal ini disebabkan karena pasien stress atau kurang rileks sehingga memperlambat kesembuhan dan juga banyaknya secret yang belum bisa dikeluarkan. 7. Analisa Asuhan Keperawatan Analisa asuhan keperawatan pada Tn. A dengan prioritas diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mukus dan peningkatan sekresi lendir, yaitu belum berhasil karena dahak belum bisa keluar dan klien masih merasakan sesak nafas,
61
akan tetapi sudah dilaksanakan semua prosedur medis dan keperawatan dalam menanganinya.
B. Saran Setelah penulis melakukan aplikasi pemberian posisi semi fowler terhadap penurunan sesak nafas pada asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), penulis akan memberi usulan dan masukan positif khususnya di bidang kesehatan antara lain : 1. Bagi Istansi Pelayanan Kesehatan Diharapkan Rumah Sakit Umum khususnya RSUD Karanganyar dapat memberikan pelayanan kesehatan dan mempertahankan hubungan kerja sama baik antara tim kesehatan maupun klien sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang optimal pada umumnya dan dapat mengaplikasikan pemberian posisi semi fowler terhadap pasien sesak nafas, khususnya pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). 2. Bagi tenaga kesehatan khususnya Perawat Diharapkan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan agar lebih maksimal, khususnya pada klien gangguan pemenuhan dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Perawat diharapkan dapat mengaplikasikan pemberian posisi semi fowler terhadap pasien dengan keluhan sesak nafas.
62
3. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan yang lebih berkualitas dan professional agar tercipta perawat yang professional, terampil, inovatif, aktif, dan bermutu yang mampu memberikan asuhan keperawatan secara menyeluruh berdasarkan kode etika keperawatan. Dan dapat mengaplikasikan pemberian posisi semi fowler terhadap pasien sesak nafas.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, M. 2011. Pengetahuan Praktis Ragam Penyakit Mematikan yang Paling Sering Menyerang Kita. Yogyakarta: Buku Biru Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Konsep & Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Penerbit Salemba Aziz, A. Rani, Sidartawan Soegondo. 2006. Panduan Pelayanan Medik: Perhimpunan Dokter Spesialis Dalam Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Brashers, L. Valentina. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi, Pemeriksaan Fisik & Managemen. Jakarta: EGC Corwin, J. E,. 2002. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC Davey, P. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan Perencanaan Konsep dan Kerangka Kerja. Yogyakarta: Gosyen Publishing Doengoes, M E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC Herdman, H. 2009. Nanda International: Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC Hidayat, A.A, dan Uliyah Musrifatul. 2004. Buku Saku Pratikum Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC ISO. 2011. Informasi Spesialite Obat. Jakarta: PT.ISFI Kozier B., Erb G. 2009. Buku Ajar Praktek Klinik Keperawatan: konsep, Proses, Praktik. Jakarta: EGC Muttaqin, A. 2006. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Saku Keterampilan & Prosedur Dasar. Jakarta: EGC Potter, A.P, dan Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.
Melanie, R. 2012. Analisis Pengaruh Sudut Tidur terhadap Kualitas Tidur dan Tanda Vital pada Pasien Gagal jantung di Ruang Rawat Intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Stikes Jenderal A. Yani Cimahi Safitri, Refi & Annisa A. 2011. Keefektifan Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Penurunan Sesak Nafas pada pasien Asma di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Gaster, Vol.8. Prodi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah Surakarta. Soemantri, I. 2007. Gangguan Sistem Pernafasan, Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika Supadi, E. Nurachmah, dan Mamnuah. 2008. Hubungan Analisa Posisi Tidur Semi Fowler dengan Kualitas Tidur pada Klien Gagal Jantung di RSU Banyumas Jawa Tengah.Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Volume IV no 2