HUBUNGAN ANTARA WORK/LIFE BALANCE DAN KOMITMEN BERORGANISASI PADA PEGAWAI PEREMPUAN (THE RELATIONSHIP BETWEEN WORK/LIFE BALANCE AND ORGANIZATIONAL COMMITMENT AMONG WOMEN EMPLOYEE) Putri Novelia Iman Sukhirman Gagan Hartana. T.B.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi pada pegawai perempuan. Partisipan dalam penelitian ini adalah pegawai perempuan tetap yang sudah bekerja minimal 1 tahun pada perusahaan X. Untuk melihat hubungan antara dua variabel, peneliti menggunakan teknik multiple correlation. Sampel dari penelitian ini berjumlah 87 pegawai perempuan dengan menggunakan accidental sampling. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi pada pegawai perempuan (r=0.274, p>0.05). Kata kunci: komitmen berorganisasi; pegawai perempuan; work/life balance.
Latar Belakang Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, jumlah pekerja perempuan mengalami peningkatan pada Februari 2012 dibandingkan Februari 2011. Menurut Direktorat Tenaga Kerja dan Olahraga (2011), partisipasi perempuan dalam dunia kerja diprediksi akan semakin terus meningkat dari tahun ke tahun. Terdapat berbagai alasan yang melandasi perempuan bekerja. Pertama, adanya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (Reddy, Vranda, Ahmed, Nirmala, & Siddaramu, 2010), misalnya membantu suami mencari pemasukan tambahan bagi keluarga, menjadi single parent sehingga harus menjadi tulang punggung keluarga (Lazăr, Codruţa, & Patricia, 2010), atau untuk memenuhi kebutuhan pribadi jika belum menikah. Hal ini juga didukung oleh Ford, Heinen, dan Langmaker (2007) yang menyatakan bahwa tekanan ekonomi yang terjadi pada beberapa dekade terakhir ini menjadi salah satu penyebab perempuan terjun ke dunia kerja. Kedua, latar belakang pendidikan yang dimiliki perempuan menjadikan bekerja sebagai bentuk aktualisasi dirinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Matlin (2008) yang menyatakan bahwa salah satu prediktor terbaik perempuan bekerja adalah latar belakang pendidikan yang ia miliki. Ketiga, adanya UNIVERSITAS INDONESIA
1 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
perubahan komposisi lingkungan kerja yang cukup drastis karena organisasi mulai berkembang secara global dan memanfaatkan teknologi yang canggih untuk meningkatkan produktifitas (Hitt, dalam Clarke & Anne, 2002). Perubahan ini membuat organisasi membutuhkan sumber daya yang dapat menampilkan performa kerja yang baik dan berkomitmen terhadap organisasi (Hughes & Bozionelos, 2007). Hal ini tentu saja berdampak pada semakin tingginya kebutuhan sumber daya manusia di dalamnya dan membuat organisasi tidak lagi memberikan batasan yang jelas antara pekerjaan yang harus dilakukan oleh laki-laki dan pekerjaan yang harus dilakukan oleh perempuan, oleh karena itu jenis kelamin bukan lagi menjadi pertimbangan utama bagi organisasi untuk menempatkan seseorang pada pekerjaan tertentu. Ada beberapa manfaat yang didapat perempuan ketika bekerja, misalnya adanya kesempatan untuk mengaktualisasikan diri, meningkatkan self esteem, dan
tercapainya
kepuasan hidup (Matlin, 2008). Akan tetapi, hal ini juga memiliki efek negatif yang berhubungan dengan stress dan ketegangan dalam kehidupan keluarga yang disebabkan oleh sulitnya memenuhi semua tanggung jawab peran perempuan yang berbeda-beda, baik di pekerjaan ataupun di luar pekerjaan (Matlin, 2008). Sulitnya memenuhi permintaan yang sesuai dengan peran menyebabkan munculnya konflik dalam kehidupan perempuan (Posig & Kickul, 2004) sehingga dapat meningkatkan pengalaman terjadinya work/life conflict (Friedman, Christensen, & DeGroot, 1998). Work/life conflict merupakan kondisi ketika seseorang mengalami tekanan di saat harus memilih menjalankan perannya dalam dunia kerja atau perannya di luar pekerjaan (Greenhaus & Beutell dalam Schabracq, Winnubst, & Coope, 2003). Tekanan dan konflik yang terjadi ini merupakan akibat dari adanya ketidakcocokkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang menjadi salah satu penyebab utama perempuan melepaskan jabatannya (Wang, Lin, & Tsai, 2012). Duffield, Pallas, dan Aitken (2004) mengatakan bahwa hanya perempuan yang memiliki keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadinya yang dapat melanjutkan pekerjaannya. Adanya keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan seperti keluarga, sosial, dan komunitas disebut dengan work/life balance. Konsep work/life balance telah banyak digunakan dalam praktik organisasi, namun untuk penelitian ilmiahnya sendiri masih relatif sedikit karena alat yang digunakan untuk mengukur work/life balance baru dikembangkan pada tahun 2001 oleh Fisher. Selain itu, konsep work/life balance ini pada awalnya dikembangkan untuk mengurangi konflik yang terjadi antara kehidupan UNIVERSITAS INDONESIA
2 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
pekerjaan dan keluarga (work/family conflict) karena konflik tersebut dapat berdampak bagi efektivitas organisasi. Konsep work/life balance yang digunakan pada penelitian ini adalah konsep dari Fisher (2001) yang menyatakan bahwa work/life balance merupakan sumber stress bagi pekerjaan yang memiliki empat isu utama, yaitu waktu, perilaku, ketegangan (strain), dan energi. Keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan terjadi jika individu mampu mengalokasikan waktu dan energi yang dimiliki tidak hanya untuk bekerja tetapi juga untuk kehidupan di luar pekerjaannya. Selain itu, adanya pencapaian tujuan yang diharapkan dalam dunia kerja atau dunia di luar pekerjaan pun juga harus terpenuhi. Dengan kata lain bahwa keseimbangan dapat terpenuhi ketika individu mempersepsi bahwa ia mampu memenuhi kebutuhan pekerjaannya tanpa harus mengganggu pemenuhan kebutuhan di luar pekerjaannya, begitu pula sebaliknya. Persepsi akan keseimbangan ini juga memiliki implikasi terhadap sikap, perilaku, dan kesejahteraan pegawai yang juga berpengaruh terhadap efektivitas organisasi. Ketika pegawai mempersepsikan bahwa tidak ada keseimbangan dalam hidupnya karena banyak waktu yang tersita oleh pekerjaan, maka hal ini akan membuat pegawai mencoba mempertimbangkan alternatif pekerjaan lain yang memungkinkan mereka untuk menyeimbangkan peran di pekerjaan dan rumahnya (Posig & Kickul, 2004). Menurut Kaiser, Ringlstetter, Rindl, dan Stolz (2010) keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan luar pekerjaan (work/life balance) menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen berorganisasi pada pegawai. Hubungan antara dua variabel ini masih belum dapat dinyatakan secara jelas karena masih sedikit penelitian tentang hubungan dua variabel ini. Komitmen berorganisasi diartikan sebagai kondisi psikologis yang dikarakteristikkan oleh adanya hubungan antara individu dengan organisasi yang memiliki implikasi atas keputusan individu untuk bertahan atau meninggalkan organisasi (Meyer & Allen,1997). Kebertahanan individu dalam organisasi mencerminkan keinginan, kebutuhan, dan keharusan untuk menjaga keberanggotaanya dalam sebuah organisasi. Berdasarkan studi yang dilakukan di India, perempuan bekerja yang memiliki anak memiliki komitmen kerja yang relatif lebih rendah dibandingkan perempuan yang belum memiliki anak karena adanya konflik peran yang dimiliki perempuan (Reddy, Vranda, Ahmed, Nirmala, & Siddaramu, 2010). Hal ini juga didukung oleh pendapat Thompson, Beauvais, dan Lyness (1999) yang menyatakan bahwa konflik peran antara pekerjaan dan UNIVERSITAS INDONESIA
3 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
kehidupan pribadi memiliki hubungan dengan absenteeism, turnover, menurunkan performa kerja, dan rendahnya komitmen berorganisasi. Hasil penelitian sebelumnya lebih banyak dilakukan di Eropa dan Amerika, sementara untuk Asia sendiri khususnya Indonesia masih relatif sedikit. Hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi yang diuji di India memiliki perbedaan ketika diuji di Filipina. Ditemukan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara work/life balance dengan komitmen berorganisasi baik pada pegawai perempuan maupun laki-laki (Evangelista, Lim, Rocafor, & Teh, 2009) karena adanya persepsi pegawai bahwa work/life balance bukan merupakan faktor penting dalam memutuskan apakah mereka akan bertahan atau meninggalkan perusahaan tersebut. Adanya obsesi untuk peningkatan karir, promosi berdasarkan keterampilan yang dimiliki dan mempertimbangkan jumlah bayaran yang mereka terima adalah alasan mereka untuk bisa bertahan atau meninggalkan perusahaan tersebut. Masih terbatasnya penelitian mengenai hubungan work/life balance dan komitmen berorganisasi khususnya di Indonesia membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hal ini. Penelitian yang ada tentang work/life balance di Indonesia hanya mencoba melihat hubungan antara work/life balance dan employee engagement yang diteliti oleh Askandar (2011) dan ia menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Employee engagement dapat diartikan sebagai kondisi psikologis positif yang berhubungan dengan pekerjaan, dan memiliki tiga karakteristik yaitu kekuatan, dedikasi, dan absorpsi (Schaufeli & Bakker, 2003). Berdasarkan penjelasan tersebut, komitmen (dedikasi) merupakan bagian dari engagement, akan tetapi belum ada satupun penelitian di Indonesia yang menyatakan secara secara jelas hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi. Selain itu, adanya perbedaan budaya barat dan luar barat (mis. Asia) mungkin saja akan menghasilkan penemuan yang berbeda dengan hasil sebelumnya. Menurut Markus dan Kitayama (1991) budaya luar barat seperti Asia cenderung memiliki konsep diri yang saling bergantung dengan orang lain. Hal ini berbeda dengan budaya barat yang cenderung lebih mandiri (independent). Adanya perasaan untuk saling bergantung dengan orang lain akan mempengaruhi work/life balance perempuan yang bekerja. Ketika perempuan bekerja mengalami kesulitan dalam rumah tangganya, keterlibatan anggota keluarga lain dalam menyelesaikan permasalahan perempuan menjadi solusi akan masalah perempuan sehingga tidak banyak menganggu keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan perempuan. Akan tetapi, tinjauan work/life balance dari sudut budaya masih relatif sedikit diteliti. UNIVERSITAS INDONESIA
4 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
Lalu, banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh ketidakseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan terhadap efektivitas organisasi juga menjadi alasan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hal ini serta melihat bagaimana hubungan antara kedua variabel tersebut jika dilakukan di Indonesia. Jadi, permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi pada pegawai perempuan?”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara work/life balance dan komitmen beroganisasi pada pegawai perempuan dan mengetahui sumbangan dimensi work/life balance terhadap komitmen berorganisasi. Tinjauan Literatur Work/Life Balance. Work/life balance didefinisikan sebagai tingkat kepuasan seseorang atas keterlibatan dirinya untuk “fit” dengan peran ganda yang dimilikinya dalam kehidupan (Lazăr, Codruţa, & Patricia, 2010). Meskipun definisinya masih sangat luas, work/life balance berhubungan dengan adanya kesesuaian antara waktu dan usaha untuk bekerja dan menjalani aktivitas di luar pekerjaan agar mencapai kehidupan yang harmonis (Clarke, dalam Lazăr, Codruţa, & Patricia, 2010). Hal ini sejalan dengan pendapat Fisher (2001) yang menyatakan bahwa work/life balance merupakan stressor kerja yang meliputi empat komponen penting yaitu: 1. Waktu, seberapa banyak waktu yang digunakan untuk bekerja dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk aktivitas lain di luar kerja. 2. Adanya tindakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini didasari oleh keyakinan seseorang bahwa ia mampu mencapai apa yang ia inginkan dalam pekerjaannya dan tujuan pribadinya. 3. Ketegangan (strain), yang termasuk dalam komponen ini adalah kecemasan, tekanan, kehilangan aktivitas penting pribadi, dan sulit mempertahankan atensi. 4. Energi yang digunakan untuk mencapai tujuan yang diharapakan. Energi merupakan sumber terbatas dalam diri manusia, sehingga ketika terjadi kekurangan energi untuk melakukan aktivitas kerja maupun di luar kerja akan meningkatkan stress. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa work/life balance merupakan persepsi individu atas kemampuannya untuk bisa mengalokasikan waktu dan energi mereka di dua domain yaitu lingkungan kerja dan lingkungan di luar kerja (misalnya UNIVERSITAS INDONESIA
5 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
keluarga, komunitas, agama, politik, dan pendidikan) dengan mengurangi konflik peran antar dua domain tersebut. Fisher (2001) menggolongkan work/life balance ke dalam tiga dimensi yaitu WIPL (work interference with personal life) yang mencerminkan sejauh mana pekerjaan individu dapat mengganggu kehidupan pribadinya, dan PLIW (personal life interference with work) yang mencerminkan sejauh mana kehidupan pribadi individu mengganggu kehidupan pekerjaannya, WEPL (work enhancement of personal life) yang mencerminkan sejauh mana kehidupan pribadi seseorang dapat meningkatkan performa individu dalam dunia kerja. Lalu pada tahun 2009, Fisher, Smith, dan Burger menambahkan satu dimensi lain untuk mengukur work/life balance yaitu PLEW (personal life enhancement of work) yang mencerminkan sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi individu. Keempat dimensi ini diperoleh dari pengembangan alat ukur berdasarkan empat komponen work/life balance seperti waktu, energi, ketegangan, dan perilaku. Komitmen Berorganisasi. Komitmen berorganisasi merupakan kondisi psikologis yang dikarakteristikkan oleh adanya hubungan antara pegawai dengan organisasi dan memiliki implikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan atau mengakhiri keberanggotaanya dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1991). Alasan seorang pegawai dapat bertahan dalam sebuah organisasi dapat berbeda-beda yang dikenal dengan three-component model, yaitu affective, continuance, dan normative commitment. Affective
commitment
mencerminkan
sejauh
mana
pegawai
tersebut
mengidentifikasikan dirinya, setia terhadap organisasinya, dan adanya kelekatan emosional dengan organisasi. Pegawai yang memiliki affective commitment tinggi bersedia untuk bertahan di sebuah organisasi karena mereka menginginkannya (want to do). Continuance commitment didasari oleh persepsi pegawai terhadap relativitas keuntungan yang mereka dapatkan dalam organiasinya dan membandingkannya dengan keuntungan yang mereka dapat jika menjadi anggota organisasi lain. Oleh sebab itu, dedikasi pegawai pada sebuah organisasi yang memiliki continuance commitment karena pegawai tersebut membutuhkan organisasi sebagai salah satu sumber penghasilannya atau hal yang menguntungkan baginya (need to do). Normative commitment didasari oleh adanya perasaan pegawai untuk mematuhi aturan organisasi, dimana menjadi seorang anggota organisasi merupakan hal yang baik dilakukan. UNIVERSITAS INDONESIA
6 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
Pegawai yang memiliki tingkat normative commitment yang tinggi merasa bahwa bertahan dalam sebuah organisasi merupakan sebuah keharusan (ought to). Ketiga komponen ini dapat berdiri secara independen dan pegawai dapat mengalami ketiga bentuk komitmen ini dalam derajat yang berbeda-beda. Pegawai Perempuan. Matlin (2008) menyebutkan ada dua kategori untuk bisa memahami perempuan bekerja yaitu employed women dan unemployed women. Employed women merupakan perempuan yang bekerja untuk menerima bayaran atau self-employed. Sedangkan unemployed women adalah perempuan yang bekerja tetapi tidak dibayar, misalnya ia bekerja untuk keluarganya, di rumah atau relawan organisasi, tetapi ia tidak menerima bayaran dari pelayanan yang ia berikan. Pada penelitian ini pegawai perempuan (karyawati) tergolong dalam employed women karena perempuan tersebut bekerja untuk menerima gaji dari organisasi/perusahaan tempat ia bekerja. Metode Penelitian Hipotesis Penelitian. Terdapat hubungan yang signifikan antara skor dimensi work/life balance dengan skor total komitmen berorganisasi pada pegawai perempuan. Tipe Penelitian. Penelitian ini tergolong tipe korelasional karena ingin melihat hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi dan tidak ada manipulasi dalam pengambilan datanya. Berdasarkan metode pengumpulan data, penelitian ini tergolong tipe kuantitatif karena sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah untuk mengkuantifikasi skor yang didapatkan dari kuesioner tentang work/life balance dan komitmen organisasi. Desain Penelitian. Menurut Kumar (2005) terdapat tiga kategori desain penelitian, yaitu berdasarkan number of contacts, reference period, dan nature of the investigation. Jika dilihat berdasarkan number of contacts, pengambilan data dalam penelitian ini hanya berlangsung satu kali atau dapat disebut juga dengan cross-sectional. Sedangkan dari segi reference period, penelitian ini merupakan penelitian yang retrospective karena menguji fenomena, situasi, masalah atau isu yang terjadi pada masa lalu. Jika dilihat dari ada atau tidaknya manipulasi, maka penelitian ini termasuk dalam penelitian non-experimental karena tidak ada manipulasi yang dilakukan terhadap objek. Variabel Penelitian. Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang diteliti, yaitu work/life balance dan komitmen berorganisasi. Definisi konseptual dari work/life balance adalah stressor yang berhubungan dengan pekerjaan yang terdiri dari empat komponen yaitu UNIVERSITAS INDONESIA
7 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
waktu, energi, pencapaian tujuan, dan ketegangan (Fisher, 2001). Definisi operasional work/life balance adalah skor dimensi yang didapatkan partisipan pada alat ukur work/life balance scale. Semakin rendah skor dimensi PLIW dan WIPL yang dimiliki individu dan semakin tinggi skor dimensi WEPL dan PLEW yang dimiliki individu, semakin tinggi persepsi individu bahwa kehidupan pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaannya seimbang. Definisi konseptual komitmen berorganisasi adalah kondisi psikologis yang membuat seseorang bertahan dalam sebuah organisasi karena adanya kebutuhan (need), keinginan (want) dan keharusan (ought) yang harus ia penuhi (Meyer & Allen, 1997). Definisi operasional komitmen organisasi jumlah skor yang didapatkan partisipan pada alat ukur organizational commitment questionnaire (OCQ). Semakin tinggi skor komitmen yang didapatkan individu pada alat ukur OCQ, semakin tinggi komitmen berorganisasi yang dimiliki individu tersebut. Uji Validitas Item, Validitas Alat Ukur, dan Reliabilitas Alat Ukur. Sebelum alat ukur work/life balance dan komitmen berorganisasi diberikan pada partisipan penelitian ini, peneliti melakukan adaptasi terhadap alat ukur yang sudah ada agar sesuai dengan budaya Indonesia dan tidak menimbulkan social desirability yang tinggi. Adaptasi dilakukan melalui proses terjemahan dan expert judgment. Setelah item-item dinyatakan baik oleh ahli, kedua alat ukur di uji coba dengan menggunakan teknik contrasted group. Alat ukur work/life balance diberikan kepada 4 orang yang tergolong dalam work/life balance tinggi dan 3 orang yang tergolong work/life balance rendah. Dari hasil uji validiasi diperoleh data bahwa validitas item work/life balance berkisar antara .36 - .93, validitas alat ukur sebesar .98, dan Cronbach’s alpha sebesar .96. Pada akhirnya, alat ukur WLBS yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 29 item yang terdiri dari 9 item untuk dimensi WIPL, 11 item untuk dimensi PLIW, 3 item untuk dimensi WEPL dan 6 item untuk dimensi PLEW. Skala yang digunakan adalah skala sikap dengan 5 pilihan respon. Respon 1 mengindikasikan bahwa paritisipan tidak sama sekali merasa pernyataan tersebut menggambarkan dirinya dan respon 5 mengindikasikan bahwa partisipan hampir setiap waktu merasa pernyataan tersebut menggambarkan dirinya. Berikut adalah contoh item WLBS.
UNIVERSITAS INDONESIA
8 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
Tabel 3.1 Contoh Item WLBS Dimensi
Contoh Item
WIPL
Jadwal kerja saya tidak memungkinkan saya bisa berekreasi dengan teman-teman saya.
PLIW
Kehidupan pribadi saya menyebabkan saya berangkat kerja dalam keadaan lelah.
WEPL
Setelah
bekerja,
saya
bisa
menikmati
waktu
yang
menyenangkan bersama keluarga. PLEW
Tuntutan kehidupan pribadi saya masih memungkinkan saya untuk menampilkan hasil kerja yang baik
Alat ukur komitmen berorganisasi diberikan kepada 5 orang yang tergolong dalam komitmen tinggi dan 5 orang yang tergolong komitmen rendah. Berdasarkan hasil uji validasi, didapatkan nilai validitas item yang baik berkisar .33 - .85, validitas alat ukur sebesar .64, dan Cronbach’s alpha sebesar .84. Dari hasil adaptasi didapatkan sejumlah 12 item yang dapat digunakan, yaitu 3 item untuk affective commitment, 6 item untuk continuance commitment dan 3 item untuk normative commitment. Ketiga komponen ini merupakan subskala dari keseluruhan skala komitmen terhadap organisasi dan item-itemnya dengan menggunakan skala sikap dengan memberikan respon 1 hingga 7. Respon 1 mengindikasikan bahwa partisipan sangat setuju dengan pernyataan yang digambarkan oleh item dan respon 7 mengindikasikan bahwa partisipan sangat tidak setuju dengan pernyataan yang digambarkan oleh item. Berikut adalah contoh item dari OCQ:
Tabel 3.2 Contoh Item OCQ Komponen
Contoh Item
Affective Commitment
Saya merasa bahagia perusahaan ini menjadi tempat saya mengakhiri karir saya.
Continuance Commitment
Keluar dari perusahaan ini tidak banyak mengubah penghasilan saya.
Normative Commitment
Pindah dari suatu perusahaan ke perusahaan lain tidak ada kaitannya dengan etika.
UNIVERSITAS INDONESIA
9 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
Menurut Kaplan dan Sacuzzo (1993), nilai validasi di atas 0.3 sudah dianggap valid dan nilai Cronbach’s alpha di atas 0.7 menunjukkan bahwa alat ukur tersebut sudah reliabel (Nunnally & Bernstein,1994). Dengan demikian disimpulkan bahwa kedua alat ukur diatas dapat dinyatakan valid dan reliabel. Metode Pengambilan Sampel. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling (Kumar,2005) dengan cara membagikan kuesioner kepada masingmasing sekretaris di setiap divisi perusahaan X dan menanyakan kesediaan mereka untuk mengisi kuesioner. Jumlah Partisipan dalam Penelitian. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 87 pegawai perempuan yang bekerja di perusahaan industri baja milik BUMN. Partisipan dipilih dengan empat karakteristik. Pertama, pegawai tetap karena pegawai tetap dianggap memiliki pengetahuan yang baik mengenai lingkungan kerja tempat ia bekerja dan menerima seluruh fasilitas dan kebijakan yang ditetapkan oleh perusahaan. Kedua, memiliki latar belakang pendidikan minimal SMA karena peneliti berasumsi bahwa dengan tingkat pendidikan tersebut partisipan dapat membaca dan memahami instruksi yang diberikan pada kuesioner penelitian sehingga diharapkan partisipan dapat memberikan jawaban yang sesuai dengan keadaan dirinya. Ketiga, sudah bekerja di perusahaan tersebut minimal 1 tahun karena waktu 1 tahun diasumsikan cukup untuk seorang pegawai mengenal lingkungan tempat ia bekerja sehingga adanya asumsi bahwa pegawai telah mampu beradaptasi dengan pekerjaan yang ia tekuni. Selain itu menurut Wanous (1992) pada umumnya seseorang akan memutuskan untuk bertahan atau meninggalkan organisasi setelah bekerja minimal 1 tahun. Keempat, pegawai perempuan karena fokus penelitian ini partisipannya adalah perempuan sesuai dengan yang telah disampaikan di latar belakang. Teknik Pengumpulan Data. Data yang diperoleh dari partisipan dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dimana didalamnya terdapat dua bagian yaitu kuesioner komitmen berorganisasi dan kuesioner work/life balance. Kuesioner komitmen berjumlah 12 item yang diadaptasi dari alat ukur Three-component model of Organizational Commitment Questionnaire (Meyer & Allen, 1997) dan work/life balance berjumlah 29 item yang diadaptasi dari alat ukur Work/Life Balance Scale (WLBS) (Fisher, Bulger, & Smith, 2009), jadi total keseluruhan item berjumlah 31 item. Setelah partisipan mengisi kedua bagian kuesioner tersebut, partisipan diminta untuk mengisi lembar data kontrol.
UNIVERSITAS INDONESIA
10 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
Metode Analisis Data. Ada tiga metode statistik untuk analisis data yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama, analisa statistika deskriptif untuk memperoleh gambaran umum mengenai karakteristik dari sampel yang penelitian berdasarkan nilai rata-rata, frekuensi dan presentasi data demografis yang didapat. Kedua, Multiple Regression untuk melihat sejauh mana dimensi work/life balance memiliki kontribusi terhadap komitmen berorganisasi. Ketiga, Multiple correlation untuk melihat hubungan work/life balance dan komitmen berorganisasi. Lebih lanjut, dengan menggunakan teknik multiple correlation peneliti ingin melihat sejauh mana dimensi work/life balance memiliki korelasi dengan komitmen berorganisasi. Hasil dan Analisis Hasil Gambaran
Karakteristik
Partisipan.
Tabel
berikut
merupakan
gambaran
karakteristik partisipan yang terdiri dari pendidikan terakhir, jam kerja dalam seminggu, status pernikahan, masa kerja di perusahaan, dan alasan partisipan bekerja di perusahaan X. Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Partisipan Karakteristik Pendidikan SMA D3 S1 S2 Tidak mengisi Masa Kerja < 3 tahun 3-10 tahun >10 tahun Jam Kerja < 40 Jam 40 - 42 Jam > 42 Jam Status Pernikahan Janda Belum Menikah Menikah Alasan Bekerja Physiological needs Safety needs Belongingness needs Esteem needs Self actualization needs
N
Presentase
21 28 30 3 5
24.10% 32.20% 34.50% 3.40% 5.70%
23 19 45
26.4% 21.8% 51.7%
3 59 25
3.4% 67.8% 28.7%
6 26 55
6.9% 29.9% 63.2%
43 27 8 13 33
34.68% 21.77% 6.45% 10.49% 26.61%
UNIVERSITAS INDONESIA
11 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa latar belakang pendidikan partisipan di Perusahaan X cukup tinggi yang didominasi oleh srata satu (34.5%: 30 orang) dan diploma tiga (32.2%: 28 orang). Kemudian diketahui juga bahwa masa kerja partisipan di perusahaan tersebut paling banyak berkisar >10 tahun (51.7%: 51 orang). Pembagian masa kerja ini dikategorikan berdasarkan tahapan karir dari Morrow dan McElory (1987) yang menyatakan bahwa masa kerja dalam organisasi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu early stage (<3 tahun), mid stage (3-10 tahun) dan late career stage (>10 tahun). Jika dilihat dari jumlah jam kerja, 67.8% partisipan (59 orang) bekerja selama 40-42 jam/minggu. Sedangkan untuk status pernikahan 63.2% (55 orang) sudah menikah dan 29.9% (26 orang) belum menikah. Lalu, diketahui juga bahwa tiga alasan teratas perempuan bekerja di perusahaan X karena untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya berupa makan, tempat tinggal, dan lain-lain (34.68%: 43 orang), aktualisasi diri (26.61%: 33 orang), dan memenuhi kebutuhan akan rasa aman (21.77%: 27 orang). Pada saat pengisian data kontrol ini, partisipan diperbolehkan untuk memilih jawaban alasan lebih dari satu sehingga jumlah responnya lebih dari 87 respon. Hubungan antara Work/Life Balance dan Komitmen Berorganisasi. Peneliti melakukan uji statistik multiple correlation untuk mengetahui hubungan antara dimensi work/life balance dan komitmen berorganisasi. Dari hasil tersebut diketahui indeks korelasi sebesar r=0.274 yang tidak signifikan pada level 0.165 (p>0.05). Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi, sehingga Ha dalam penelitian ini ditolak.
Tabel 4.2 Korelasi Work/Life Balance dan Komitmen Berorganisasi
Dimensi Work/Life Balance
r
p
0.274
0.165
Komitmen Berorganisasi
Peneliti kembali melakukan uji statistik dengan menggunakan teknik multiple regression metode stepwise untuk melihat prediktor terbaik dari work/life balance terhadap komitmen berorganisasi. Dari hasil tersebut didapatkan dimensi PLIW (personal life interference with work) sebagai prediktor terbaik komitmen berorganisasi pada karyawati di
UNIVERSITAS INDONESIA
12 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
penelitian ini. Dimensi PLIW (personal life interference with work) memiliki kontribusi sebesar 5.6% terhadap komitmen berorganisasi.
Tabel 4.3 Sumbangan Dimensi WLB pada Komitmen Berorganisasi Model (WIPL) (PLIW) (WEPL) (PLEW)
p 0.240 0.030 0.238 0.885
r -0.130 0.237* 0.130 -0.016
LOS 0.05
Kesimpulan, Diskusi dan Saran Kesimpulan. Berdasarkan interpretasi hasil analisis diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara work/life balance dan komitmen organisasi pada pegawai perempuan. Dengan demikian, Ha pada penelitian ini ditolak. Ketika dilakukan analisis lebih lanjut ditemukan prediktor terbaik dari work/life balance terhadap komitmen berorganisasi yaitu PLIW (personal life interference with work). Ketika kehidupan pribadi menganggu pekerjaan pegawai perempuan maka hal ini dapat mempengaruhi komitmen berorganisasi pegawai tersebut. Diskusi. Berdasarkan hasil dan analisis hasil penelitian, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang siginifikan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi. Hal ini tidak sesuai dengan penemuan dari Kaiser, Ringlstetter, Rindl, dan Stolz (2009) yang menyatakan bahwa keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan (work/life balance) menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen berorganisasi pada pegawai. Pada penelitian ini, hanya dimensi PLIW (personal life interference with work) dari work/life balance yang mempengaruhi komitmen berorganisasi. Ada berbagai kemungkinan alasan yang dapat menyebabkan penemuan ini memiliki perbedaan. Pertama, hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi tidak berhubungan secara langsung. Banyak faktor yang ikut serta mempengaruhi hubungan antara keduanya, seperti karakteristik pribadi, lingkungan kerja, dukungan organisasi, dan persepsi pegawai terhadap kebijakan dalam organisasi tempat ia bekerja. Seluruh faktor ini tidak diukur dalam penelitian ini. sehingga ada kemungkinan jika diikutsertakan hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi menjadi lebih bermakna. Berdasarkan studi UNIVERSITAS INDONESIA
13 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
yang dilakukan oleh Siegel, Fishman, Post, dan Garden (2005) selama pegawai mempersepsikan bahwa kebijakan yang dibuat organisasi cukup adil untuk pegawainya, maka konflik yang terjadi antara pekerjaan dan kehidupan pribadi pegawai tidak memiliki pengaruh terhadap komitmen organisasi mereka. Artinya, komitmen pegawai terhadap organisasi tidak ada hubungannya sama sekali dengan konflik yang terjadi selama pegawai tersebut mempersepsikan bahwa kebijakan di organisasinya cukup adil untuk dirinya. Selain itu, jika pegawai percaya bahwa tingginya kemungkinan konflik yang terjadi antara pekerjaan dan kehidupan pribadi di organisasi mereka (misalnya karakteristik pekerjaan, lingkungan organisasi) adalah sesuatu yang wajar maka hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi menjadi tidak signifikan. Kedua, alasan utama peneliti tertarik untuk mengangkat tema work/life balance dan komitmen organisasi pada perempuan karena adanya asumsi bahwa perempuan memiliki peran yang lebih banyak dibandingkan laki-laki sehingga banyaknya peran yang harus dijalankan oleh perempuan bekerja terkadang dapat menimbulkan konflik sehingga mempengaruhi efektivitas organisasi. Akan tetapi, seperti yang telah disebutkan pada latar belakang bahwa alasan perempuan bekerja adalah untuk mengaktulisasikan diri (Matlin, 2008) dan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (Reddy, Vranda, Ahmed, Nirmala, & Siddaramu, 2010). Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa selama dengan bekerja perempuan dapat mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya, maka ia akan tetap bekerja di organisasi tempat ia bekerja tersebut. Hal ini terbukti dari data demografis partisipan yang mengatakan bahwa alasan mereka bekerja di perusahaan X adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar (34.68%; 43 orang) dan aktualisasi diri (26.61%; 33 orang). Evangelista, Lim, Rocafor, dan Teh (2009) juga menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi selama pegawai mempersepsikan bahwa tujuannya bekerja untuk peningkatan karir dan mendapatkan sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Persepsi akan adanya peningkatan karir tidak menjadi variabel yang diukur dalam penelitian ini. Ketiga, penemuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Filipina yang memiliki persamaan budaya dengan Indonesia. Markus dan Kitayama (1991) menyatakan bahwa orang-orang dengan budaya luar barat seperti Asia (Filipina dan Indonesia) cenderung memiliki konsep diri yang saling bergantung dengan orang lain. Hal ini berbeda dengan budaya barat yang cenderung lebih mandiri (independent). Adanya perasaan untuk saling bergantung dengan orang lain akan mempengaruhi work/life balance perempuan yang bekerja. Ketika perempuan bekerja mengalami kesulitan dalam rumah tangganya, keterlibatan UNIVERSITAS INDONESIA
14 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
anggota keluarga lain dalam menyelesaikan permasalahan perempuan menjadi solusi akan masalah perempuan sehingga tidak banyak menganggu keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan perempuan. Adanya persamaan budaya dengan Filipina ini dapat menjadi penyebab tidak adanya hubungan yang signifikan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi. Keempat, jumlah partisipan yang digunakan dalam penelitian ini relatif kecil dan homogen. Karakteristik partisipan seperti jumlah jam kerja, karakteristik pekerjaan, dan lingkungan kerja yang mirip karena masih berada dalam satu perusahaan yang sama. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kaiser, Ringlstetter, Rindl, dan Stolz (2010) di Perancis, menggunakan partisipan sebanyak 275 pegawai perempuan dan laki-laki. Sementara pada penelitian ini, partisipan yang digunakan hanya 87 orang dan terbatas pada pegawai perempuan saja. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya jika ingin tetap menggunakan perempuan sebagai sampel penelitian, sebaiknya lebih dari 87 orang agar variasi antar sampel menjadi lebih beragam. Selanjutnya, berdasarkan analisis hasil penelitian, diketahui bahwa hanya dimensi PLIW yang berkontribusi secara signifikan terhadap komitmen berorganisasi. PLIW merupakan kondisi ketika kehidupan pribadi seseorang dapat mengganggu pekerjaan dan hal ini dapat mempengaruhi komitmen berorganisasi pegawai. Penemuan ini juga memiliki perbedaan dengan teori dari Fisher (2001) yang menyatakan bahwa terdapat empat dimensi untuk melihat work/life balance. Hanya saja peneliti meyakini bahwa dimensi ini sudah mewakili work/life balance karena sudah terdapat empat komponen utama yang menjadi dasar pengukuran work/life balance yaitu waktu, energi, perilaku, dan ketegangan (strain). Lebih lanjut, perbedaan penemuan ini dapat disebabkan oleh perbedaan individu berupa karakteristik pribadi, karakteristik pekerjaan, karakteristik keluarga, dan sikap (Schabracq, Winnubst, & Coope, 2003). Hal ini juga didukung oleh teori dari congruence model yang menyatakan bahwa ada pengaruh variabel ketiga untuk melihat hubungan antara domain kerja dan luar kerja, seperti kepribadian individu, faktor genetis, sosial, dan budaya (Morf dkk., dalam Fisher, 2001). Sehingga hal ini cukup menjelaskan bahwa work/life balance merupakan konstruk yang sangat kompleks sehingga banyak variabel lain yang ikut serta mempengaruhi hubungan keduanya. Peneliti juga menemukan adanya kontribusi dari status pernikahan terhadap hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi. Peneliti berasumsi bahwa status pernikahan menjadi faktor penting ketika berbicara tentang work/life balance pada perempuan karena bersinggungan dengan peran perempuan yang ia miliki sehingga akan mempengaruhi komitmennya terhadap organisasi. Akan tetapi, hal ini masih perlu ditinjau kembali baik UNIVERSITAS INDONESIA
15 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
secara teoritis maupun secara praktis agar hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi semakin jelas. Saran. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi di Indonesia dengan karakteristik partisipan dan perusahaan yang lebih variatif. Penelitian selanjutnya perlu menambahkan variabel lain untuk menjadi mediator hubungan antara work/life balance dan komitmen berorganisasi, misalnya persepsi pegawai terhadap kebijakan organisasi, persepsi akan peningkatan karir. Berdasarkan literatur, variabel ketiga seperti adanya persepsi akan peningkatan karir dan kebijakan organisasi ini menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi hubungan keduanya. Penelitian selanjutnya juga dapat membedakan hubungan antara work/life balance dan komitmen pada pegawai perempuan yang berstatus belum menikah, menikah, dan janda. Berdasarkan hasil yang diperoleh status pernikahan memiliki efek atas hubungan kedua variabel tersebut. Jika dilihat secara spesifik interaksi dimensi PLIW memiliki kontribusi yang signifikan terhadap komitmen berorganisasi pegawai. Ketika kehidupan pribadi mengganggu pekerjaan pegawai, maka hal tersebut akan mempengaruhi komitmen beroganisasi pegawai. Oleh karena itu, perusahaan hendaknya dapat ikut serta dalam menangani masalah pribadi pegawai, misalnya dengan memanfaatkan counseling dalam dunia kerja. Counseling dapat menjadi sarana bagi pegawai untuk menyelesaikan masalah kehidupan pribadi yang mempengaruhi performa pegawai tersebut dalam bekerja. Selain dengan counseling, perusahaan juga dapat membuat kebijakan untuk membantu pegawai mengatur kehidupan pribadi dan pekerjaannya, khususnya perempuan. Menurut Robbins dan Judge (2012), ada beberapa strategi yang dapat diaplikasikan oleh organisasi untuk meningkatkan work/life balance pegawai. Pertama, money-based strategies berupa insurance subsidies, flexible benefits, beasiswa pendidikan, dan lain-lain. Kedua, direct service berupa tersedianya tempat untuk penitipan anak, pusat kebugaran, produk organisasi yang diberikan secara gratis, dan lain-lain. Ketiga, culture-change strategies berupa pelatihan yang diberikan kepada manajer untuk membantu pegawainya agar dapat mengatur work-life conflict, memberikan apresiasi atas kinerja pegawai agar tercapai kepuasan kerja, fokus pada actual performance pegawai, dan lain-lain.
UNIVERSITAS INDONESIA
16 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
Daftar Pustaka Askandar, Isahdi. (2011). Hubungan antara Employee Engagement dengan Work-Life Balance pada pegawai. Depok: Skripsi Fakultas Psikologi UI. BPS Provinsi DKI Jakarta. (2012). Berita Resmi Statistik Provinsi DKI Jakarta 23/05/31/Th
XIV.
Retrieved
No. from
http://jakarta.bps.go.id/fileupload/brs/2012_05_07_13_29_11.pdf. Clarke, D., & Anne, R. (2002). Work-life balance in an industrial setting: Focus on advocacy. Nursing & Allied Health Source Journal. 50 (2). Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga .(2011). Pemberian penghargaan bagi perusahaan yang melaksanakan kesehatan kerja (program kesehatan reproduksi & gizi).
Retrieved
from
http://kesehatankerja.depkes.go.id/index.php/the_page/pemberian-penghargaan-bagiperusahaan-yang-melaksanakan-kesehatan-kerja-program-kesehatan-reproduksi-gizi Duffield, C., Pallas, O’brien, L, & Aitken, L. M. (2004). Nurses who work outside nursing. Journal of Advanced Nursing. 47 (6), 664-671. Evangelista, M., Lim, E., Rocafor, S., & Teh, G. (2009). Worklife balance and organizational commitment
of
generation
y
employees.
Theses.
Retrieved
from
http://www.slideshare.net/guesta4bb5b/worklife-balance-and-organizationalcommitment-of-generation-y-employees. Fisher, G., Bulger, C., & Smith, C. (2009). Beyond work and family: a measure of work/nonwork interference and enhancement. Journal of Occupational Health Psychology. 14(4), 441–456. Fisher, G.G. (2001). Work/personal life balance: A construct development study. ProQuest Dissertations and Theses. Ford, M.T., Heinen, B.A., & Langkamer, K.L. (2007). Work and family satisfaction and conflict: a meta-analysis of cross-domain relations. Journal of Applied Pyschology. 92 (1), 57-80. Friedman, S. D., Christensen, P., & DeGroot, J. (1998). Work & life: The end of the zero-sum game. Harvard Business Review, 119–129.
UNIVERSITAS INDONESIA
17 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
Hughes, J., & Bozioneles, N. (2007). Work-life balance as source of job dissatisfaction and withdrawal attitudes; An exploratory study on the views of male workers. Personnel Review. 36 (1), 145-154. DOI. 10.1108/00483480710716768. Kaiser, S., Ringlstetter, M., Reindl, C., & Stolz, M. (2010). The Impact of Corporate WorkLife Balance Initiatives on Employee Commitment: An Empirical Investigation in The German Consultancy Sector. Zeitschrift für Personalforschung. 24(3), 231-265. Kaplan, R. M., & Sacuzzo, D. P. (1993). Psychological Testing: Principles, Applications, and Issues (3rd Ed.). California: Brooks/Cole Publishing Company. Kumar, Ranjit. (2005). Research Metdhology: A Step-by-step Guide for Beginners (2nd ed.). Malaysia: Sage Publications. Lazăr, I., Osoian, C., & Raţiu, P. (2010). The Role of Work-Life Balance Practices in Order to Improve Organizational Performance. European Research Studies. 13(1). Markus, H.R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological Review. 98 (2), 224–53. DOI: 10.1037/0033295X.98.2.224 Matlin, M.W. (2008). The Psychology of Women (6th ed.). Belmont: Thomson Higher Education. Meyer, J.P., & Allen, N.J. (1997). Commitment in the Workplace: Theory, Research and Application. USA: Sage Publication. _______. (1991). Three-component conceptualization of organizational commitment. Human Resource Management Review. 1(1) 61-89. Morrow, P.C., & McElory, J. C. (1987). Work commitment and job satisfaction over three career stages. Journal of Organizational Behaviour. 30, 330-346. Nunnally, J. C., & Bernstein, I. H. (1994). Psychometric Theory (3rd Ed.). New York: McGraw Hill. Posig, M., & Kickul, J. (2004), Work-role expectations and work family conflict: gender differences in emotional exhaustion. Women in Management Review. 19 (7), 373-86. Reddy,N., Vranda, M., Ahmed, A., Nirmala, B., & Siddaramu, B. (2010). Work–Life Balance among Married Women Employees. Indian Journal of Psychological Medicine. 32.
UNIVERSITAS INDONESIA
18 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013
Robbins, S.P., & Judge, T.A. (2013). Organizatioanl Behavior (15th ed.). England: Pearson Education Limited. Schabracq, M.J., Winnubst, J. A.M., & Cooper, C. L. (2003). The Handbook of Work & Health Psychology (2nd ed.). John Wiley & Sons, Ltd. Schaufeli, W.B., & Bakker, A.B. (2003). Utrecht Work Engagement Scale Preliminary Manual. Utrecht University. Siegel, P.A., Fishman, A.Y., Brockner, J., Post.C., & Garden, C. (2005). The Moderating Influence of Procedural Fairness on the Relationship Between Work–Life Conflict and Organizational Commitment. Journal of Applied Psychology. 90 (1), 13–24. DOI: 10.1037/0021-9010.90.1.13. Thompson, C.A., Beauvais, L.L., & Lyness, K.S. (1999). When Work–Family Benefits Are Not Enough: The Influence of Work–Family Culture on Benefit Utilization, Organizational Attachment, and Work–Family Conflict. Journal of Vocational Behavior. 54, 392–415. Wang, M.L., Lin, T.M., & Tsai, L.J. (2012). The Relationships between Work-Family Conflict and Job Performance under Different Sources of Social Support: Nursing Staffs as Examples. Technology Management for Emerging Technologies. Wanous, J. P. (1992). Organizational entry: Recruitment, selection, orientation, and socialization of newcomers. MA: Addison Wesley.
UNIVERSITAS INDONESIA
19 hubungan antara..., Putri Novelia, FPsi-Ui, 2013